MASALAH IMPUNITAS DAN
KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* Oleh MD Kartaprawira Bahwasanya Indonesia adalah Negara Hukum, dengan jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Siapa pun tidak bisa mengingkari. Tetapi apakah sebagai Negara Hukum Indonesia telah melaksanakan norma-norma hukum yang merupakan hukum positif secara konsekwen dan menyeluruh? Jawabannya adalah negative. Dalam kaitannya dengan kasus pelanggaran HAM 1965, yang korbannya besar sekali (antara 500.ribu – 3 juta manusia) rasanya sebutan negara hukum tidak pantas diterapkan untuk negara Indonesia. Sebab selama kurun waktu 50 tahun masih terus berlaku impunitas: para pelaku kejahatan (pelanggaran HAM berat atau kejahatan kemanusiaan) dibiarkan bebas diluar proses hukum, bebas dari pertanggung-jawaban atas tindakan kriminal yang mereka lakukan. Maka masalah penghentian impunitas merupakan salah satu masalah pokok dalam Negara Indonesia. Sebab norma-norma hukum pidana yang tertuang dalam system perundang-undangan tidak akan ada manfaatnya apabila sanksinya tidak dengan tegas diterapkan. Hal tersebut penting sekali, agar para penjahat/pelanggar hukum, yang punya kekuatan besar baik dalam bidang ekonomi maupun politik, tidak akan lepas dan bebas dari hukuman. Impunitas di abad sekarang ini tidak mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar dari sudut nilai-nilai adab dan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan tidak ada satu Negara pun di dunia yang ingin ditunjuk sebagai Negara biadab yang tak mengenal nilai-nilai keadilan. Maka seharusnya penyelenggara negara sendirilah yang berkepentingan untuk membuktikan bahwa Indonesia adalah negara hukum, beradab, berkeadilan dan demokratik. Sedang rakyat di Negara manapun musti menghendaki tegaknya tata-hukum yang menjamin keadilan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka seyogyanya tidak dilupakan arti penting adagium Yunani Kuno, bahwa “keadilan harus ditegakkan, meskipun besok langit runtuh”. Kita bangsa Indonesia yang dalam konstitusinya/UUD 1945 tercantum pasal 1 ayat 3 tersebut di atas, sungguh merasa malu dengan masih berlakunya impunitas. Apalagi selain konstitusi kita juga memiliki „UU Hak Asasi Manusia“ dan „UU Pengadilan HAM“dan perundang-undangan lain semacamnya. Seharusnya praktek impunitas tidak terjadi. Tapi nyatanya sudah 50 tahun, sampai dewasa ini impunitas dalam kaitannya kasus 1965-66
1
masih aman bersembunyi/disembunyikan dalam bunker kekuasaan. Strategi dan taktik lepas pertanggung jawaban hukum Macetnya puluhan tahun proses penuntasan kasus yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan 1965-1967 berarti pula suatu bukti berlangsungnya terus impunitas sekian puluhan tahun juga. Situasi tersebut mengakibatkan penderitaan para korban berkepanjangan. Sampai meninggal dunia pun mereka tidak sempat melihat hukum diberlakukan secara wajar, kebenaran dan keadilan ditegakkan. Fakta berlakunya impunitas sebegitu lama di Indonesia tentu bukan hal yang kebetulan. Maka tidak aneh timbul pertanyaan: mengapa hal tersebut bisa terjadi, bukankah di RI sudah lama memiliki KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Acara Pidana)? Di dalam KUHP berbagai macam tindak kejahatan selalu ditentukan sanksinya , hukumannya. Tidak ada kejahatan yang lewat bebas dari tanggung-jawab pidana. Tapi fakta-nyatanya ketika jenderal Suharto pegang kekuasaan di singgasana Orde Baru pasca G30S, dia sendiri membuka lebar-lebar jalan berlakunya praktek impunitas. Pembunuhan, penganiayaan fisik, pembuangan ke tempat-tempat kerja paksa, dan lain-lain tindak pidana tidak hanya tidak dicegah yang kemudian dilakukan proses pengadilan, tapi justru penguasa Negara ini sendiri menjadi perencana dan pelaksana tindak criminal dengan menghalalkan berlakunya impunitas terhadap 3 juta korban manusia (orang komunis/yang dituduh komunis dan pendukung BK) demi suksesnya kudeta terhadap Pemerintahan Soekarno. Suharto dan kliknya tentu menyadari apa yang akan menimpa dirinya kelak apabila KUHP dan KUHAP (yang pada waktu itu merupakan hukum positif) dilaksanakan dengan tegas, jujur dan konsekwen, akan diseret kepengadilan untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Maka tidak mengherankan apabila direkayasa strategi pencegahan dilaksanakannya pengadilan kasus tersebut di atas sedemikian rupa, sehingga para pelaku sampai meninggal dunia tidak sempat diajukan ke pengadilan, dan para korban sampai meninggal dunia tidak sempat melihat keadilan ditegakkan baginya. Dengan demikian mereka lepas dari vonis pengadilan sebagai penjahat kemanusiaan, sehingga merasa dirinya bukan penjahat. Sebab berlaku prinsip praduga tak bersalah, sebelum ada keputusan hakim seseorang tidak bisa dikatakan pejahat. Secara logika strategi tersebut memang masuk akal: sebab setiap penjahat (maling, pencopet, koruptor, pembunuh, dll) selalu berusaha agar sampai kapan pun lolos dari tanggung jawab hukum, tidak bisa diseret ke depan pengadilan.Ragam perwujudan 2
strategi dan taktik tersebut muncul a.l. sebagai berikut: 1. Presiden Suharto, sebagai dalang pelanggaran hak asasi manusia 1965/66 dengan gemilang sukses teori lepas tanggung jawab hukum dan memanfaatkan impunitas. Dia terhindar dari kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya, sebab ketika meninggal dunia pengadilan tidak sempat menjatuhkan vonisnya. Jadi secara „yuridis“ dia bukan penjahat HAM. Begitu juga halnya dengan jenderal Sarwo Edi yang mengaku telah membantai 3 juta manusia. Oleh rejim Suharto taktik pencegahan kasus 1965 tersebut dilakukan dengansikap pemberlakuan politik-gebuk terhadap siapa saja yang menentang Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya. Dengan demikian sama sekali proses hukum terhadapnya ditutup rapat-rapat. Semua pejabat, politisi, ilmuwan, apalagi rakyat biasa tidak ada yang berani buka mulut. 2. Dalam era “reformasi” pun para penjahat kemanusiaan masih bisa selamat lepas dari vonis hakim, sebab mereka yang duduk di kursi kekuasaan kebanyakan orang-orang product rejim orba yang “berbaju reformasi”. Dalam tahun-tahun terakhir presiden SBY beberapa kali berjanji akan menangani kasus tersebut. Dan dekat sebelum habis jabatannya SBY sempat berjanji akan mengucapkan maaf, meskipun belum jelas apa yang dimaksud: Pemaafan untuk Suharto dan tokoh-tokoh rejimnya yang telah membunuh dan menyengsarakan 3 juta rakyat tak berdosa? Pemaafan untuk penyelenggara negara yang telah lalai tidak menangani kasus tersebut selama waktu setengah abad, sehingga dalam waktu tersebut para korban tidak mendapat keadilan berikut segala akibat atas hak-haknya? Ternyata janji pernyataan minta maaf (meskipun belum jelas maksudnya) sampai detik terakhir masa jabatannya tidak dilakukan juga oleh SBY. Artinya dia berhasil juga melanjutkan strategi lepas tanggung jawab hukum bagi para pelaku dengan menggunakan taktik mengundur-undur penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Apa bukan begitu Bpk. Dr. Albert Hasibuan? 3. Mahkamah Konstitusi pun dengan langgam spesifik yuridis, praktis secara tak langsung juga menjalankan srtrategi lepas tanggung jawab atas berlangsungnya impunitas berkaitan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Hal tersebut diwujudkan dengan keputusan pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (2004) yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Suatu keputusan aneh, sebab hakim memutuskan sesuatu di luar permohonan yang diajukan oleh para pemohon, yaitu judicial review Pasal 27 UU N0.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan 3
Rekonsiliasi (UU KKR). Mengapa MK tidak mencabut hanya pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD seperti yang diajukan para pemohon, sehingga bisa dibuat pasal baru yang tidak bertentangan UUD? Pembatalan UU KKR tersebut berakibat berlanjutnya terus impunitas. Berarti juga masalah penuntasan kasus tersebut di atas, c.q. masalah rekonsiliasi nasional harus menunggu timbulnya UU Rekonsiliasi baru, yang sampai sekarang belum kunjung muncul dan tak diketahui kapan munculnya. Dan sedihnya lagi pembentukan UU KKR yang telah memakan waktu, tenaga (DPR+Presiden) dan milyaran uang rakyat musnah ditangan beberapa orang (hakim MK: 8 setuju, 1 dissenting opinion). 4. Terbentuknya Komnas HAM diharapkan bisa membuka pintu proses penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66, meskipun institusi tersebut hanya mempunyai wewenang limit (penyelidikan). Hasil kerja penyelidikannya selama 3 tahun telah berhasil menyimpulkan bukti adanya pelanggaran HAM berat di sekitar tahun 1965/66 di Indonesia. Ternyata hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut setelah diserahkan ke Jaksa Agung untuk ditindak-lanjutkan ke tingkat proses penyidikan dikembalikan lagi oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM dengan alasan-alasan tertentu. Akibatnya proses kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 di tingkat penyidikan di Kejaksaan Agung macet. Agaknya pembentukan institusi negara Komnas HAM oleh penyelenggara negara hanya diperlukan sebagai „alat-pingpong“ belaka antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM agar impunitas terus berjalan aman. Hal-hal tersebut di atas mau tidak mau berakibat tertundanya terus proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Himbauan kepada Presiden Jokowi Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas seyogyanya Pemerintah Jokowi dengan serius memperhatikan dan menangani masalah berlakunya impunitas yang sangat memalukan tersebut. Sehingga dengan demikian bisa membuktikan bahwa Indonesia adalah benar-benar Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Dan dengan demikian bisa diharapkan suksesnya penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan kasus pelanggaran HAM 1965-66 (dan pelanggaran HAM masa lalu lain-lainnya). Harap mendapat perhatian juga, bahwa bobot Indonesia Hebat akan tergantung a.l. bebasnya Indonesia dari impunitas. Para korban telah 50 tahun menunggu datangnya keadilan dengan penuh keprihatinan. Semoga Presiden Jokowi tidak lupa akan janjinya. 4
Negeri Belanda, 07 Juli 2015 *) Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi di Zeist (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.
5