HYBRID TRIBUNAL SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Ikaningtyas, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl.MT .Haryono 169 Malang 65145, telp 0341-553898, fax 0341-566505 Email:
[email protected] Abstract Post-referendum of East Timor separation from Indonesia, followed by humanitarian incidents. In that incident have occurred numerous crimes against humanity, such as murder, extermination, persecution, and etc. To overcome its situation UN released Security Council Resolution No. 1272, by established UNTAET as the transitional administration in East Timor, one of mandate was to establish a system of justice against the perpetrators of serious crimes against humanity in the form of a hybrid tribunal. Similarly in Cambodia, during the period between the 1975-1979 reign of the Khmer Rouge has done a number of serious human rights violations by committing acts of genocide against people of Cambodia. Several years after the Khmer Rouge fell, the UN set up a special authority which task was to assist the interim administration by established United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) by the UN through the Security Council Resolution No. 745 in 1992. Both at East Timor an Combodia, the implementation of hybrid tribunal faces several obstacles, such as: Lack of human resources, lack of duration, lack of funding and lack of cooperation of the local Government. Key words : Hybrid Tribunal, Violation, Human Rights Abstrak Pasca jajak pendapat lepasnya Timor Timur dari Indonesia, diwarnai dengan insiden kemanusiaan. Dalam insiden tersebut telah terjadi berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan, pembumihangusan, penganiayaan dan sebagainya. Merespon kejadian tersebut berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1272, akhirnya dibentuklah UNTAET sebagai pemerintah transisi di Timor Timur, yang salah satu mandatnya adalah membentuk system peradilan terhadap pelaku kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang berbentuk hybrid tribunal. Begitu pula di Kamboja, Selama kurun waktu antara tahun 1975-1979 pemerintahan Khmer Merah telah melakukan sejumlah tindakan pelanggaran HAM berat dengan melakukan aksi pembantaian terhadap para penduduk Kamboja. Beberapa tahun setelah Khmer Merah tumbang, PBB membentuk sebuah otoritas khusus yang bertugas untuk membantu melaksanakan pemerintahan sementara di negara tersebut, yakni UNTAC melalui Resolusi DK PBB Nomor 745 /1992. Pelaksanaan hybrid tribunal mengalami beberapa kendala, baik di Timor Timur maupun di Kamboja. Adapun kendala-kendala tersebut adalah adalah : Kurangnya sumber daya manusia, Kurangnya waktu yang diberikan, Kurangnya pendanaan serta kurangnya kerjasama dari Pemerintah Nasional. Kata kunci: hybrid Tribunal, Pelanggaran , HAM
1
Latar Belakang Pengertian “negara” dalam arti luas merupakan kesatuan sosial yang diatur secara institusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Menurut kodratnya manusia adalah seorang pribadi sosial yang harus hidup dalam suatu masyarakat, supaya bersama dengan manusia yang lain dapat berkembang. Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia hendak bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang akan melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.1 Tujuan negara itu dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan, waktu serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang dalam waktu 100 atau 200 tahun yang lalu tidak menjadi tugas negara, dalam jaman sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting.2 Prof. Mr. Dr. J. Barent dalam bukunya Der Wetenschap der Politick mengemukakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya, ialah pemeliharaan, yaitu pemeliharaan ketertiban, keamanan serta penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam arti seluas-luasnya.3 Dalam bukunya Political Scienc, Jacobsen dan Lipman menyebut tujuan yang demikian itu sebagai “tujuan negara yang utama”.4Augustinius menyatakan tujuan negara adalah dihubungkan dengan cita-cita manusia hidup di alam kekal yaitu sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Menurut John Locke dengan pembentukan political or civil society, manusia itu tidak dilepaskan hak asasinya. Tujuan negara memelihara dan menjamin hak-hak asasi yaitu :5 Hak hidup/nyawa, Hak atas badan, Hak atas harta benda, Hak atas kehormatan, Hak kemerdekaan. Dalam penyelenggaraan negara tersebut sangat terkait adanya suatu kedaulatan negara. Menurut J.H.A. Logemann, Pengertian Kedaulatan Negara adalah kekuasaan mutlak atau kekuasaaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang dipunyai oleh suatu sistem negara nasional yang berdaulat. Pengertian Kedaulatan 1
Samidjo, Ilmu Negara, Amrico, Bandung, 1986, hal. 27. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 148. 3 J. Barent, De Wetenschap Der Politiek, Terjemahan L. M. Sitorus, Ilmu Politik, PT. Pembangunan, Jakarta, 1965, hal. 49 dalam A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, Malang, 2005, hal. 27. 4 Isjwara, E. Pengantar Ilmu Politik; Cetakan ke-3, Dhiwantara, Bandung, 1967, hal. 152 seperti dikutip dalam Ibid. 5 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hal. 50. 2
2
Negara dalam Arti kenegaraan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.Kedaulatan merupakan salah satu syarat beridirinya suatu negara.6 Kedaulatan negara ada yang bersifat internal ada yang eksternal. Kedaulatan Internal adalah kekuasaan tertinggi dimana negara memiliki kekuasaan atas warga negaranya sendiri dalam batas-batas sendiri atau sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan dan penegakan kewenangan dalam spesifik wilayah dan terhadap populasi. Sebaliknya, kedaulatan eksternal mewujudkan prinsip penentuan nasib sendiri dan menunjukkan bahwa dalam hubungan internasional setiap negara berada pada posisi kemerdekaan masing-masing negara. Dalam kaitannya tujuan sebuah negara yaitu tujuan negara yang sebenarnya, ialah pemeliharaan,
yaitu
pemeliharaan
ketertiban,
keamanan
serta
penyelenggaraan
kesejahteraan umum dalam arti seluas-luasnya serta Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan suatu keutamaan dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), setiap negara mengalami suatu persoalan. Terutama halnya mengenai pemenuhan atas HAM bagi tiap-tiap rakyatnya atau masyarakatnya. Bahkan apabila terjadi pengabaian atas HAM bagi warga negaranya dalam skala berat, penyelenggara negara bisa dituntut dalam forum internasional. Dunia internasional secara khusus pada tahun 1948 melalui organisasi internasional Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan suatutekat bulat menyepakati The Universal Declaration of Human Rights(UDHR), sebagai standar universal perlindunganterhadap HAM, serta sebagai salah satu sumber Hukum Internasional maupun Hukum HumaniterInternasional yang berkaitan denganpersoalan penegakan HAM7. Langkah besar tersebut telah sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam pembukaan Piagam PBB (UN Charter) yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin serta kebangsaan seseorang. 6
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Yang Menerbitkan PT Rineka Cipta : Jakarta, hal.87 7 Cassimatis, Anthony E., Human Rights Related Trade Measures Under international Law, 9th edition, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden. 2007, Hal. 65. Disebutkan juga bahwa latar belakang pembentukan UDHR merupakan gagasan beberapa negara EropaAmerika Serikat yang telah mengalami sejarah panjang melawan kekejaman saat terjadi revolusi pemerintahan yang telah menewaskan nyawa rakyat tak berdosa.
3
Keberadaan suatu lembaga peradilan internasional pertama kali muncul saat berakhirnya Perang Dunia ke-2 (World War II) pada tahun 1945. Pada saat itu bentuk lembaga peradilan ini bersifat sementara (Ad Hoc) dimana hanya bertugas untuk menangani kasus tertentu dan pada waktu tertentu, dalam hal ini berkaitan dengan kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa perang. Pertama kali dibentuk pada tahun 1946 yaitu International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) atau dikenal pula sebagai Nuremberg Tribunal, International Military Tokyo Tribunal (IMTT)atau yang juga lebih dikenal dengan sebutan Tokyo Trial tahun 1948, International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) tahun 1993 dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR)8. Beberapa bentuk lembaga peradilan internasional tersebut merupakan realisasi dalam penanganan masalah penegakan hak asasi manusia serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang membutuhkan perhatian dunia telah terjadi di kawasan Asia Tenggara, peristiwa kemanusiaan tersebut telah merenggut banyak nyawa yang terjadi pada tahun 1975 hingga tahun 1979 di negara Kamboja. serta kasus pelanggaran HAM pada saat peristiwa referendum Timor-Timur di Indonesia pada tahun 1999. Kasus di Kamboja bermula saat terjadi suksesi pemerintahan nasional negara Kamboja ke pemerintahan rezim berideologi komunis Khmer Merah9 (Khmer Rouge / Red Khmer). Selama hampir empat tahun pemerintahan rezim komunis tersebut ditengarahi telah terjadi pembunuhan massal terhadap sebagian rakyat Kamboja yang dianggap melawan rezim tersebut. Laporan lembaga Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross / ICRC) menyatakan bahwa selama pemerintahan
8
lembaga IMTN dan IMTT dijelaskan dalam buku karangan Cryer, Robert, Ha’ Kan Friman, Darryl Robinson, Elizabeth Wilmshurst, An Introduction To International Criminal Law And Procedure, Cambridge University Press. 2007, Hal. 102 merupakan pelopor lembaga peradilan internasional pertama di dunia yang mana pada saat itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan untuk menyeret para pihak yang terlibat dalam kejahatan perang di akhir perang dunia ke 2, sampai pada tahun 1990 dibentuk lembaga peradilan ad hoc lain yang menangani kasus kejahatan kemanusian oleh pemerintah suatu negara antara lain ICTY untuk negara bekas Yugoslavia dan ICTY untuk peradilan di Rwanda. 9 Khmer merah merupakan suatu organisasi politik yang ada di Negara demokratik Kamboja, organisasi ini berkembang antara tahun 1975-1979 dimana pada waktu itu dipimpin oleh seorang Jenderal militer Pol Pot yang mana bertindak sebagai pemipmin partai dan sekaligus penguasa negeri itu.
4
rezim Khmer Merah telah terjadi pembunuhan hampir dua juta rakyat Kamboja yang sebagian besar berasal dari ibukota Phnom Pehn10. Selama masa pemerintahan rezim Khmer Merah terdapat beberapa data yang menyebutkan rincian tentang jumlah rata-rata korban yang terdapat dalam situs pemakaman massal dari 21 wilayah konsentrasi yang dijadikan sebagai tempat eksekusi para korban kekejaman pemerintah Kamboja saat itu, dari beberapa laporan menyebutkan bahwa terdapat lebih dari satu juta jiwa atau sekitar 16 % dari jumlah total keseluruhan populasi rakyat Kamboja yang turut menjadi korban kekejaman Rezim Khmer Merah. Kesemua data tersebut diambil dalam kurun waktu empat tahun sejak tahun 1995-199911. Tahun 1979 menandai berakhirnya pemerintahan rezim Khmer Merah dan beberapa tahun setelah pemerintahan tersebut tumbang kekuasaan negara Kamboja berganti-ganti dan pada akhirnya dunia internasional membentuk sebuah otoritas khusus yang bertugas untuk membantu melaksanakan pemerintahan sementara di negara tersebut, yakni dengan dibentuknya United Nations Transitional Authority in Cambodia(UNTAC)oleh PBB pada tahun 1993 sebagai fasilitator pelaksanaan pemilu guna membentuk pemerintahan yang baru. Permasalahan yang muncul setelah berakhirnya pemerintahan Khmer Merah adalah masalah peradilan bagi para pihak yang terlibat dalam peristiwa kemanusiaan tersebut, hal ini dikarenakan masih banyak para petinggi Khmer Merah yang berkeliaran dan bebas dari jerat hukum, meski pemimpin utama mereka Pol Pot mati dalam masa pelarian. Tahun 2001 dimulai suatu pembicaraan antara pemerintah Kamboja dengan Pihak PBB terkait masalah peradilan para petinggi Khmer merah, hingga pada tahun 2003 terbentuklah suatu lembaga peradilan ad hocyang secara khusus menangani proses peradilan petinggi Khmer Merah melalui resolusi Majelis Umum PBB 12 . Lembaga peradilan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan The Extraordinary Chambers In The 10
International Committee Of The Red Cross, 2009, Country Report Cambodia: ICRC Worldwide Consultation On The Rules Of War, Greenberg Research. 11 Craig Etcheson, "The Number" -- Quantifying Crimes Against Humanity in Cambodia, (Funded by the Dutch and US Governments – to be published by the British Government), http://www.mekong.net/cambodia/toll.htm diakses 23 Februari 2016 12 UN Resolution 57/228. Khmer Rouge trials, 22nd May 2003 Lembaga peradilan ECCC dibentuk berdasarkan hukum nasional kamboja, namun dasar pembentukan lembaga peradilan ad hoc ditentukan melalui resolusi Majelis Umum PBB (UN’s General Assembly) dengan nomor registrasi 57/228 tanggal 23 Mei 2003.
5
Courts Of Cambodia (ECCC), lembaga peradilan yang berpusat di kota Phnom Pehn ini merupakan salah satu dari sekian bentuk lembaga peradilan internasional bentukan PBB dengan pemerintahan suatu negara atau lebih dikenal denganhybrid court13. Sedangkan untuk Kasus Timor Timur dimulai setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur (Tim-Tim) untuk menerima atau menolak otonomi khusus, pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal dibawah payung PBB. Perjanjian bilateral tersebut intinya mengatur tentang penyelenggaraan jajak pendapat dan pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timtim. 14 Sejak opsi diberikan dan setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak kekerasan berupa kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI). Menurut Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor-Timur yang dibentuk oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), bentuk kejahatan berat yang terjadi di Timor Timur bukan diakibatkan oleh perang saudara, melainkan hasil dari suatu tindakan kekerasan yang sistematis. Situasi tersebut membuat PBB mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/115. Resolusi ini meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk membentuk Komisi Penyelidik Internasional yang memfokuskan penyelidikan pada pelanggaran berat HAM di Timor Timur (International Commissions of Inquiry on East Timor). Mandat dari Komisi adalah mengumpulkan informasi yang sistematis mengenai kemungkinan tindakan pelanggaran HAM yang merupakan pelanggaran terhadap HHI yang dilakukan di Timor Timur. Laporan
Commissions of Inquiry on East Timor tertanggal 10 Desember 1999
kepada Dewan Keamanan PBB, menyebutkan TNI bersama milisi telah pelanggaran 13
Gidley, Rebecca, Working Paper No. 1 Responsibility to Protect in Southeast Asia Program : The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia and the Responsibility to Protect, Asia-Pacific Centre for the Responsibility to Protect. 2010. Pembentukan hybrid court Kamboja ECCC telah mendapat perhatian publik internasional dimana melalui lembaga peradilan ini diharapkan dapat mengembagkan prosedur tatacara mengadili pelaku kejahatan internasional di negara-negara konflik. 14 General Assembly Fifty-fourth session, security council fifty-fifth year,Agenda item 96, Question of East Timor, “Identical Letters dated 31 January 2000 from the Secretary General addressed to the President of the General Assembly, The President of the Security Council and the Cahir Person of the Comission of Human Rights”. Hal.6 15 General Assembly Fifty-fourth session. Op cit. hal.2
6
berat terhadap kemanusian (kejahatan kemanusiaan), antara lain : pemindahan paksa, politik bumi hangus, dan pengrusakan harta benda. Menanggapi kondisi tersebut , DK PBB mengeluarkan mandatnya melalui Resolusi 1272, yang menyerukan untuk membuat sebuah mekanisme yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM, dan menyerukan Republik Indonesia untuk mengadili para pelaku secepat mungkin serta melakukan prses hokum yang cepat, menyeluruh, efektif dan transparan yang sesuai dengan standart internasional tentang keadilan dan proses hokum yang adil. Berdasarkan mandate tersebut UNTAET16 selaku pemerintah transisi di Tim Tim membentuk hybrid tribunal yang meliputi Special Panels for Serious Crimes (SPSC) dan Serious Crimes Unit (SCU) di Dili. Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas terdapat masalah terkait pembentukan sebuah lembaga peradilan internasional yang khusus menangani kasus pelanggaran HAM berat. Permasalahan tersebut yaitu Apakah Hybrid Tribunal yang telah diterapkan baik dalam Kasus kamboja (ECCC) dan Kasus Timor-Timur telah berjalan efektif ?. Dalam pembahasan maka digunakan metode yuridis normatif. Pembahasan Dalam penyelesaian sengketa internasional melalui forum peradailan, secara umum terdapat dua lembaga peradilan internasional yang bersifat tetap dan permanen keduanya berada di bawah naungan organisasi internasional PBB, yakni Mahkamah Internasional (International Court of Justice) serta Mahkamah Pidana Internasional
16
UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor; /Administrasi Sementara PBB di Timor Timur) adalah pemerintahan sipil yang bertujuan untuk memelihara misi perdamaian di Timor Timur, sebagai akibat dari resolusi 1272 (1999) dari DK PBB pada tanggal 25 Oktober1999. Misi perdamaian ini diperkuat oleh datangnya sejumlah pasukan yang dipimpin oleh Australia, didukung oleh Selandia Baru, dan diikuti oleh Perancis, Argentina, Brasil, Denmark, Fiji, Republik Irlandia, Jepang, Malaysia, Rusia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Portugal, Swedia, Amerika Serikat, dan Britania Raya. Dua resolusi terbaru dari Dewan Keamanan PBB memperpanjang mandat UNTAET:a.resolusi 1338, diadopsi pada tanggal 31 Januari2001, memperpanjang mandat hingga tanggal 31 Januari 2002; b.resolusi 1392, diadopsi pada tanggal 31 Januari 2002, memperpanjang mandat hingga tanggal 20 Mei 2002.Secara resmi, misi ini berakhir pada tanggal 20 Mei 2002, dengan sebagian besar fungsi dibebankan pada pemerintah TimTim.http://id.wikipedia.org/wiki/UNTAET. diakses pada 23 Februari 2016 .
7
(International Criminal Court)17. Kedua lembaga peradilan tersebut memiliki tugas dan wewenang yang berbeda, dimana dalam hal ini Mahkamah Internasional lebih menangani kasus atau sengketa yang melibatkan subyek hukum negara saja, berbeda dengan mahkamah Pidana internasional yang menangani kasus-kasus kejahatan internasional, kejahatan kemanusian, serta kejahatan perang yang dilakukan oleh pemerintah atau individu dalam suatu negara. Keberadaan suatu lembaga peradilan internasional pertama kali muncul saat berakhirnya Perang Dunia ke-2 (World War II) pada tahun 1945. Pada saat itu bentuk lembaga peradilan ini bersifat sementara (Ad Hoc) dimana hanya bertugas untuk menangani kasus tertentu dan pada waktu tertentu, dalam hal ini berkaitan dengan kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa perang. Pertama kali dibentuk pada tahun 1946 yaitu International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) atau dikenal pula sebagai Nuremberg Tribunal, International Military Tokyo Tribunal (IMTT) atau yang juga lebih dikenal dengan sebutan Tokyo Trial tahun 1948, International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) tahun 1993 dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR)18. Pembentukan lembaga-lembaga peradilan internasional pada saat itu hanya didasarkan pada kebutuhan untuk menyeret para pihak yang paling bertanggungjawab dalam terjadinya kasus kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh individu atau
pemerintah pada masa perang atau saat terjadi konflik. Mekanisme pembentukan serta pelaksanaan lembaga peradilan tersebut diatur lansung oleh PBB serta pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya, dengan kata lain komponen serta struktur organisasi lembaga peradilan ini diserahkan seluruhnya pada otoritas internasional sehingga semua rujukan 17
Istanto, Sugeng, Prof. Dr., Hukum Internasional,penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. 1994. hal. 94 Pembentukan lembaga peradilan ini berawal pada tahun 1922 dengan nama Permanent Court of International Justice (PICJ), dimana pada akhirnya digantikan dengan International Court of Justice (ICJ) pada 1948 sebagai bagian dari organ permanen organisasi intenasional PBB. Sementara International Criminal Court (ICC) baru dibentuk pada tahun 2002 berlandasakan Rome Statute 1998 sebagai bagian dari lembaga peradilan pidana internasional di bawah PBB yang berpusat di The Hague. 18 Cryer, Robert, Ha’ Kan Friman, Darryl Robinson, Elizabeth Wilmshurst, An Introduction To International Criminal Law And Procedure, Cambridge University Press, 2007. Hal. 102 Disebutkan bahwa IMTN dan IMTT merupakan pelopor lembaga peradilan internasional pertama di dunia yang mana pada saat itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan untuk menyeret para pihak yang terlibat dalam kejahatan perang di akhir perang dunia ke 2, sampai pada tahun 1990 dibentuk lembaga peradilan ad hoc lain yang menangani kasus kejahatan kemanusian oleh pemerintah suatu negara antara lain ICTY untuk negara bekas Yugoslavia dan ICTY untuk peradilan di Rwanda.
8
dalam menyelesaikan suatu kasus berpedoman pada kaedah hukum internasional secara umum. Dalam perkembangannya keterlibatan PBB dalam mengadili kasus pelanggaran post conflict telah terjadi misalanya : keterlibatan PBB di Kamboja berdasarkan pada Agreement on a Comprehensive Political Settlement of The Cambodia Conflict, persetujuan ini bertujuan untuk membentuk dewan nasional di Negara tersebut. Selain itu pada Mei 1994 melalui Chapter VII, DK PBB mengadopsi Resolusi 940 dengan member otoritas bagi Negara -negara anggota PBB untuk membentuk kekuatan multilateral untuk memfasilitasi Haiti keluar dari rezim militirisme. Kemudian DK PBB melalui resolusi 1244 membentuk pemerintah transisi di Kosovo yang disebut United Nations Interim Administration in Kosovo (UNMIK). Dimana PBB kemudian membentuk badan peradilan yang sifatnya kombinasi antara hokum internasional dan hokum local baik secara struktur, sumber hokum. Hal tersebut rupanya juga diberlakukan oleh PBB dalam menangani, dan mengadili kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. A. Hybrid Tribunal sebagai upaya penanganan kasus kejahatan kemanusiaan berat di Timor Timur Peristiwa disintegrasi Timor Timur memang telah terjadi 17 tahun yang lalu, namun bukan berarti berbagai kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang memakan korban meninggal dunia sekitar 1500 jiwa 19 begitu saja bisa dilupakan. Berbagai upaya telah dilakukan sebagai upaya penanganan kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Mulai dari upaya nasional kedua belah Negara (Indonesia dan East Timor), sampai pada upaya internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peristiwa ini dimulai setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur (Tim-Tim) untuk menerima atau menolak otonomi khusus, pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal dibawah payung PBB. Perjanjian bilateral tersebut intinya mengatur tentang penyelenggaraan jajak pendapat 19
Laporan dari SCU (Serious Crimes Unit) tahun 2003. SCU merupakan bentukan dari UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) yang merupakan pemerintahan transisi di Timor Timur bentukan PBB, pada masa setelah jajak pendapat 1999.
9
dan pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timtim.20 Sejak opsi diberikan dan setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak kekerasan berupa kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kejahatan Kemanusiaan yang ditengarai dilakukan oleh pihak TNI/POLRI itu berupa : Pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual, pemindahan penduduk secara paksa, penghancuran harta benda, penghilangan orang secara paksa. Peristiwa tersebut membuat .PBB mendesak pemerintah Indonesia agar menjamin keamanan yang memadai bagi stafnya disana. Di samping itu komisaris tinggi PBB untuk urusan HAM juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap laporan yang diterimanya tentang kerusuhan-kerusuhan tersebut, dan ia mendesak agar Dewan Keamanan (DK) PBB segera mengirimkan pasukan perdamaiannya, jika pemerintah RI dianggap tidak dapat memenuhi tanggungjawabnya untuk menjamin keamanan rakyat Timor Timur. Di lain pihak, sekjen PBB dalam waktu yang singkat telah berusaha keras agar pemerintah RI mengambil langkah-langkah secepatnya untuk segera menyetujui pembentukan pasukan keamanan internasional. Sesudah menrima laporan dari sekjen PBB, sebagaimana dimuat dalam dokumen DK-PBB No: S/1999/976, DK PBB kemudian mengirimkan wakil dari Negara-negara anggota tetapnya (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia) ke Jakarta dan Timor Timur untuk membicarakan masalahnya dengan pemerintah RI. Setelah delegasi anggota DK-PBB kembali ke New York, DK-PBB telah mengadakan sidangnya tanggal 15 September 1999 dan telah menyetujui Resolusi 1264. Berdasarkan laporan Komisi Penyelidik Internasional tertanggal 10 Desember 1999 kepada DK PBB, para pelapor khusus menyebut bahwa TNI bersama milisi pro integrasi
telah
melakukan
kejahatan
berat
antara
lain,
pemindahan
paksa,
pembumihangusan, pengrusakan harta benda, pembunuhan dsb. Tindakan –tindakan tersebut dilakukan dalam skala secara luas dan dilakukan secara sistematis. Dua bulan kemudian setelah laporan pelapor khusus kepada PBB, pada tanggal 31 Januari 2000, Komisi Penyelidik Internasional untuk Timor Timur melaporkan bahwa telah terjadi 20
General Assembly Fifty-fourth session, security council fifty-fifth year,Agenda item 96, Question of East Timor, “Identical Letters dated 31 January 2000 from the Secretary General addressed to the President of the General Assembly, The President of the Security Council and the Cahir Person of the Comission of Human Rights”. Hal.6
10
pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap hokum humaniter internasional, komisi ini juga menemukan keterlibatan TNI dalam tindakan pelanggaran tersebut. Menanggapai kondisi tersebut DK PBB mengeluarkan mandatnya melalui resolusi 1272 yang menyerukan untuk membentuk sebuah mekanisme yang dapat membawa para pelaku kejahatan tersebut ke pengadilan, dan menyerukan agar RI mengadili para pelaku secepat mungkin serta melakukan proses hokum yang cepat, menyeluruh, efektif dan transparan yang sesuai dengan standar internasional tentang keadilan. UNTAET21 (United Nations Transtitional Administration for East Timor) selaku pemerintah transisi di Timor Timur sesuai regulasi 2000/11 yang dikeluarkan pada bulan Maret 2000, membentuk system peradilan bagi Timor-Timur, selanjutnya 3 bulan kemudian melalui peraturan 2000/15 UNTAET membentuk Special Panels for Serious Crime (SPSC) serta membentuk Serios Crime Unit (SCU) melalui regulasi 2000/16.22 Pendirian dua special panels yang berkedudukan di Pengadilan Distrik Dili tersebt diatur pada bagiam 1.1 Regulasi 2000/15. Special panels memiliki yurisdiksi (ratione loci) meliputi seluruh wilayah Timor Timur. Hal ini diatur dalam bagian 2.5 Regulasi 11/2000 : In accordance with section 7.3 of UNTAET regulation no.2000/11 the panels established by the present regulation shall have jurisdiction throughout the entire territory of East Timor. Dalam melaksanakan yrisdiksinya special panels akan menerapkan ketentuan hkum yang meliputi hokum yang berlaku di Timor-Timur sebelum tanggal 25 Oktober 1999, regulasi dan direktif UNTAET maupn hokum internasional, hal ini diatur dalam bagian 3 Regulasi. Hokum yang berlaku di Timor-Timr adalah hokum yang berlaku sebelum tanggal 25 Oktober 1999 sepanjang tidak bertentangan dengan standar-standar HAM yang secara internasional diakui dalam regulasi maupun direktif UNTAET. Adapun menurut pasal 165 Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste yang diberlakukan pada tanggal 20 Mei 2002 dinyatakan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku di Timor-Timur sebelum tanggal 20 Mei 2002 akan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi maupun prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. 21
UNTAET adalah pemerintahan sipil bentkan PBB yang bertujuan untuk memelihara misi perdamaian, sebagai akibat dari resolsi 1272/1999 dari DK PBB pada tanggal 25 Oktober 1999. Id.wikipedia.org/wiki/UNTAET 22 Suzanne Kartsenstein,Hybrid tribunal : searching for justice in East Timor. US: Harvard Human Rights Jornal; Vol 16 ;2003. Hal. 251
11
Majelis hakim yang bertugas di kedua special panels terdiri dari dua hakim internasional dan sat orang hakim local. Hakim internasional yang bertugas di special panels antara lain berasal dari Negara-negara : Italia, Burndi, Brazil, Cape Verde dan Portugal.23 Dua institusi lainnya yang dibentuk oleh UNTAET untuk mendukung kinerja special panels yaitu SCU (Serious Crime Unit ) yang bertanggung jawab atas penyidikan dan penuntutan dan the Legal Aid Service, yang bertanggung jawab untuk menyediakan pengacara bagi mereka yang dituduh melakukan kejahatan-kejahatan serius. Serious Crime Unit (SCU) atau Unit Kejahatan Berat adalah salah satu dari dua unit kerja penting dalam lembaga Kejaksaan Agung Timor-Leste. Unit lainnya adalah untuk kejahatan biasa. Yang ditangani SCU adalah kejahatan berat yang terjadi tahun 1999 di Timor Leste. Penyelidikan komisi yang dibentuk PBB pada 1999 menyimpulkan bahwa di Timor-Leste antara Januari dan September 1999 telah terjadi pelanggaran hukum perang dan pelanggaran hukum humaniter internasional. Oleh karena itu, ketika dengan Resolusi 1272 Dewan Keamanan PBB membentuk pemerintah transisi UNTAET, di dalamnya terdapat komponen sipil yang khusus bertugas menyelidiki dan menuntut kejahatan tersebut, yaitu SCU. Di masa transisi, SCU berada di bawah Kejaksaan Agung, yang saat itu merupakan bagian dari struktur pemerintah transisi UNTAET.24 Sejak SCU memulai proses investigasi dan penuntutan pada awal bulan Februari 2000, terdapat 95 kasus dengan tersangka sebanyak 391 orang dari 440 tersangka yang melakukan kejahatan bera terhadap kemanusiaan telah diajukan ke special panels di Pengadilan Distrik DIli. B.
The Extraordinary Chambers In The Courts Of Cambodia (ECCC) dalam
menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan Khmer Merah Khmer Merah merupakan salah satu partai politik penguasa di kamboja sejak awal tahun 1970an, partai yang mengusung ideologi komunis Indochina ini dipimipin oleh seorang lulusan Perancis bernama Pol Pot. Sejak partai politik ini menguasai Kamboja menggantikan pemerintahan monarki Norodom Sihanouk, melalui kepemimpinannya 23
Andrey Sudjatmoko, op.cit. hal 132 Seiring dengan penyerahan kedaulatan dari PBB kepada Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste, Kejaksaan Agung pun menjadi bagian dari pemerintah yang baru dibentuk itu. Tetapi, status SCU tetap tidak berubah. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1410 (tanggal 17 Mei 2002) tentang pembentukan UNMISET, misi baru pengganti UNTAET, menyebutkan bahwa unit ini adalah “bagian dari komponen sipil” UNMISET (butir 3a). 24
12
Jenderal Pol Pot ingin menjadikan negara Kamboja sebagai salah satu kekuatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut diwujudkan dengan cara mengembangkan serta memajukan negara Kamboja melalui sektor pangan dengan meningkatakan mutu serta sistem pertanian negara tersebut. Usaha peningkatan sektor pangan negara Kamboja terbayar dengan dengan terjadinya tragedi kemanusiaan yang telah menelan hampir dua juta jiwa rakyat Kamboja25. Selama kurun waktu antara tahun 1975-1979 pemerintahan Khmer Merah telah melakukan sejumlah tindakan pelanggaran HAM berat dengan melakukan aksi pembantaian terhadap para penduduk Kamboja yang dianggap telah menentang pemerintahan tersebut. Kasus pembantaian sejumlah warga negara Kamboja ini bermula saat terjadi suksesi pemerintahan sebelum Khmer Merah, para petinggi Khmer Merah mengeluarkan kebijakan untuk membunuh semua warga termasuk mantan pejabat pada masa pemerintahan terdahulu. Pemerintah Khmer Merah melakukan aksi pembunuhan masal ini dengan cara mengumpulkan para akademisi, pejabat serta warga yang dianggap berpendidikan yang bermukim di kota Phnom Pehn untuk dibawa ke wilayah pedesaan dan dipekerjakan sebagai petani sampai pada saatnya mereka dibunuh secara bersamaan. Tindakan pembunuhan masal ini merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Khmer Merah untuk membersihkan negara tersebut dari para pembelot serta pengaruh asing dengan menjadikan negara ini negara yang berideologi komunis. Salah satu kebijakan komunis Khmer Merah adalah menjadikan Kamboja kekuatan pangan Asia Tenggara dengan melakukan sistem kerja paksa lahan pertanian (peasant) di semua wilayah negara tersebut. Para pekerja tersebut sebagian besar merupakan warga kota Phnom Pehn serta pihak-pihak lain yang dianggap menentang pemerintah Khmer Merah26. Kekejaman pemerintahan Khmer Merah saat itu bersifat menyeluruh kesemua tataran kehidupan rakyat Kamboja, pemerintah melakukan tindakan pelanggaran HAM tersebut tanpa mengenal batasan umur perbedaan jenis kelamin hingga suku bangsa. Selama masa pemerintahan tersebut para korban kejahatan kemanusiaan Khmer Merah banyak yang tewas akibat kelaparan, penyakit maupun siksaan yang 25
Scully, Seeta, Judging the Successes and Failures of the Extraordinary Chambers of the Courts of Cambodia, Asian-Pacific Law & Policy Journal Vol. 13:1. Toronto-Canada, 2012. Hal. 302 26
Seeta Scully, Ibid, hal. 303
13
dilakukan di beberapa pusat konsentrasi yang menyebar di seluruh wilayah negara Kamboja. Terdapat banyak peneliti internasional yang melakukan riset terkait kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di negara Kamboja, hal ini berhubungan dengan jumlah pasti korban yang dikumpulkan dari seluruh wilayah konsentrasi pembantaian Khmer Merah. Data-data tersebut diambil melalui sejumlah peneliti internasional yang peduli terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang menimpa sejumlah rakyat Kamboja. Berikut merupakan beberapa data tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Kamboja selama tahun 1975-1979 pada masa pemerintahan Khmer Merah yang dilaporkan sejak tahun 1995-1999. Beberapa tahun setelah pemerintahan Khmer Merah tumbang kekuasaan negara Kamboja mengalami masa transisi dan pada akhirnya membuat masyarakat internasional melalui
PBB membentuk sebuah otoritas khusus yang bertugas untuk membantu
melaksanakan pemerintahan sementara di negara tersebut, yakni dengan dibentuknya United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) oleh PBB melalui Resolusi DK PBB Nomor 745 tahun 1992 sebagai fasilitator pelaksanaan pemilu guna membentuk pemerintahan yang baru. Penderitaan akibat kekejaman pemerintahan di masa Khmer Merah saat berkuasa selama bertahun-tahun masih menjadi polemik di negara tersebut, isu-isu pelanggaran HAM berat yang dilakukan kelompok komunis tersebut masih menjadi tugas besar serta perhatian utama bagi pemerintah yang baru untuk mengadili dan menghukum para pihak yang terlibat. Hal tersebut dikarenakan masih banyak para petinggi Khmer Merah yang berkeliaran dan bebas dari jerat hukum, meski pemimpin utama mereka Pol Pot mati dalam masa pelarian pada tahun 1997. Menanggapi permasalahan tersebut pemerintah Kamboja yang diwaikili oleh Perdana Menteri Kamboja tahun 1999 mulai menjajaki pembicaraan dengan PBB untuk meminta bantuan terkait mekanisme dalam mengadili para pemimpin Khmer Merah. Majelis Umum PBB (UN’s General Assembly) serta komisi HAM PBB (UN’s Human Rights Commission) mengeluarkan sebuah resolusi menanggapi permasalahan
14
pembentukan lembaga peradilan internasional di Kamboja
27
. Resolusi tersebut
merupakan landasan kerjasama antara PBB dengan pemerintah Kamboja dalam membentuk suatu lembaga peradilan yang pada kahirnya dikenal dengan sebutan The Extraordinary Chambers In The Courts Of Cambodia (ECCC), lembaga peradilan ini merupakan model peradilan hasil kerjasama antara PBB dengan Kamboja dimana didalamnya menggunakan hukum nasional negara Kamboja dan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Proses awal pembentukan ECCC dimulai pada tahun 1997 melalui pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen yang melakukan pembicaraan dengan Sekretaris Jenderal PBB saat itu Koffi Annan. Negosiasi secara internasional antara pemerintah Kamboja dan PBB saat itu berlangsung selama lima tahun hingga 2003 yang mana negosiasi secara langsung baru dimulai sejak tahun 1998. Selama proses negosiasi terkait pembentukan ECCC kedua belah pihak saling mengajukan proposal serta opsi tentang bentuk lembaga peradilan yang kemudian akan dibentuk. PBB secara agresif mengajukan proposal kepada pemerintah Kamboja tentang pembentukan lembaga peradilan yang lebih bercirikan internasional, hal ini merupakan permintaan publik internasional terkait sistem serta tingkat independensi lembaga peradilan domestik negara Kamboja yang dinilai tidak mampu mengatasi kasus kejahatan internasional. Kemudian, Resolusi Majelis Umum PBB 52/135 tentang kondisi HAM terkini di negara Kamboja tersebut menjadi dasar untuk Sekretaris jenderal PBB untuk melakukan tindakan strategis untuk menanggulangi permasalahan HAM di Kamboja. Berlandaskan resolusi tersebut sekjen PBB Koffi Annan membentuk sekelompok ahli hukum internasional guna meneliti serta mempersiapakan segala sesuatu terkait pembentukan lembaga peradilan ad hoc internasional Khmer Merah.
Proses
negosiasi
tentang
pembentukan lembaga peradilan tersebut berlangsung beberapa tahun kemudian dengan beberapa penolakan terhadap proposal oleh pemerintah negara Kamboja. Hingga pada 13 Mei 2003 pemerintah Kamboja dan PBB menyetujui sebuah perjanjian internasional tentang pembentukan peradilan internasional bagi pelaku kejahatan internasional oleh
27
Klein, Katheryn M., Bringing the Khmer Rouge to Justice: The Challenges and Risks Facing the Joint Tribunal in Cambodia, Northwestern University School of Law Volume 4, Issue 3, Northwestern Journal of International Human Rights, 2006. Hal. 552
15
Khmer Merah yang kemudian dikenal dengan March Agreement
28
. Perjanjian
internasional antara pemerintah Kamboja dan PBB ini berisi beberapa hal teknis berkaitan dengan tujuan dibentuknya ECCC serta hukum yang akan dipakai untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah. Pembentukan lembaga peradilan ECCC merupakan mekanisme lanjutan yang ditempuh oleh Pemerintah Kamboja dalam rangka memberikan keadilan bagi korban kejahatan yang dilakukan oleh Khmer Merah tahun 1975-1979. Usaha untuk mengadili para pihak yang paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan di Kamboja tersebut pernah dilakukan sebelumnya, pada awal tahun 1990an pemerintah Kamboja melakukan proses peradilan terhadap dua senior pemimpin Khmer Merah yaitu Pol Pot dan Ieng Sary. Pemerintah Kamboja menggunakan sistem peradilan nasional serta perundangan tentang tindak pidana domestic berdasarkan The 1956 Cambodian penal Code dengan yurisdiksi kejahatan pembunuhan, penyiksaan serta penyiksaan terhadap kelompok keagamaan tertentu. Selain itu lembaga peradilan yang kemudian dikenal dengan sebutan “People’s Revolutionary Tribunal” menuntut kedua pemimpin Khmer Merah tersebut melakukan kejahatan genosida29. Lembaga peradilan ECCC terbagi menjadi tiga tingkatan peradilan, Pre-Trial Chamber, Trial Chamber, serta Supreme Court Chamber. Proporsionalitas kedudukan Hakim di ketiga tingkatan peradilan berbeda-beda, Pre-Trial dan Trial Chamber terdiri dari dua hakim internasional dan tiga hakim Kamboja, sementara untuk Supreme Court Chamber terdiri dari empat hakim Kamboja dan tiga hakim internasional. Semua hakim internasional yang duduk dalam lembaga ECCC diangkat oleh Dewan Hakim Agung Kamboja (the Supreme Council of the Magistracy of Cambodia) atas usulan dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB)30. Pre-Trial Chamber dalam hal ini mendengarkan usul dan permohonan menentang perintang yang dikeluarkan oleh koordinator hakim pemeriksa ketika kasus masih dalam tahap pemeriksaan. Tingkatan peradilan ini terdiri dari dua hakim internasional dan tiga 28
Draft Agreement between the United Nations and the Royal Government of Cambodia concerning the Prosecution of Crimes Committed during the Period of Democratic Kapuchea, U.N. GAOR 3D Comm., 57th Sess., Annex, Agenda Item 109(b), U.N. Doc. A/57/806 (2003) [hereinafter MARCH AGREEMENT]. 29 The Khmer Institute of Democracy, Fair Trial Principles. Hal. 4 30
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), Judicial Chambers http://www.eccc.gov.kh/en/judicial-chamber diakses pada 4 Agustus 2016
16
hakim nasional, sehingga dibutuhkan setidaknya empat suara dari lima hakim yang ada. Trial Chamber disini berperan untuk memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan kesaksiann bukti serta argumen yang dipaparkan para pihak dalam persidangan, namun kasus yang bersangkutan harus disidangkan terlebih dahulu sebelum masuk tahapan peradilan ini. Tingkatan peradilan ini juga membutuhkan setidaknya empat suara dari lima hakim yang ada. Terakhir Supreme Court Chamber mendengarkan permohonan yang menolak segala keputusan yang dikeluarkan oleh peradilan sebelumnya. Tingkatan peradilan ini terdiri dari tiga hakim internasional dan empat hakim nasional, sehingga dibutuhkan setidaknya lima suara dari tujuh hakim yang ada31. Office of the Co-Prosecutors (OCP) merupakan bagian terpisah dan independen dalam lembaga ECCC yang menjalankan tugasnya bebas dari campur tangan pihak manampun termasuk pemerintah Kamboja. Tugas utamanya adalah untuk melakukan upaya penuntutan terhadap para petinggi Khmer Merah serta para pihak yang paling bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan pada masa pemerintahan Demokratik Kampuchea. Bagian ini mangadakan penyelidikan awal, menuntut berdasarkan pemeriksaan, pre-trial, trial, serta proses banding. Tugas lainnya adalah memproses keluhan para korban serta ikut berpartisipasi dalam proses pemeriksaan peradilan. Bagian ini dikepalai oleh orang Kamboja dan koordinator penuntut umum internasional dan beberapa staff baik nasional maupun internasional. Pengangkatan para penuntut umum baik nasional maupun internasiona dilakukan oleh Dewan Hakim Agung Kamboja (the Supreme Council of the Magistracy of Cambodia) untuk internasional atas usulan dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB)32. OCP saat ini mempekerjakan sebanyak dua puluh tujuh staff nasional maupun internasional yang bekerja diberbagai kapasitas termasuk sebagai penuntut, deputi, asistan, penyelidik, analis, Peneliti, managemen informasi serta translator. Semua anggota OCP dibekali pemahaman serta keterampialn dibidang hukum, hal ini dilakukan untuk memudahkan jalannya proses persidangan.
31
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), ibid. Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), Office of the Co-Prosecutors http://www.eccc.gov.kh/en/ocp/office-co-prosecutors diakses pada 4 Agustus 2016
32
17
Office of Co-Investigating Judges (OCIJ) bertugas untuk menginvestigasi faktafakta yang diberikan oleh penuntut umum. setelah proses investigasi selesai OCIJ akan menerbitkan surat dakwaan untuk dikirim dan diproses di persidangan atau melakukan pembatalan atau mengakiri proses pemeriksaan. Terdapat dua OCIJ yaitu Judge You Bunleng (Cambodia) dan Judge Mark Brian Harmon (USA)33. Court Management Section (CMS) bertugas untuk mengkoordinasi dan menyediakan pelayanan yang efisien bagi institusi pengadilan serta proses persidangan dalam kaitannya mendukung proses peradilan. CMS secara traditional terlihat sebagai ruang mesin dari lembaga peradilan ini yang menyediakan segala keperluan logistik lembaga peradilan serta saat proses persidangan berlangsung. Secara mandiri CMS bertugas mengelolah seluruh hal adminsitratif persidangan untuk disalurkan keseluruh bagian yang ada dalam lembaga peradilan ECCC34. CMS dipimipin oleh seorang kepala biro yang berperan sebagai koordinator sekaligus bertugas menjaga hubungan kerja yang harmonis antara para aparat penegak hukum (hakim) di setiap tingkat peradilan, koordinator hakim pemeriksa, coordinator penutut umum, kepala bidang pembelaan, kepala bidang perlindungan korban serta pejabat peradilan lainnya. Kepala CMS dibantu oleh beberapa pegawai dalam bagian tersebut serta pegawai bagian berkas atau pegawai peradilan lainnya. Peran dari Defence Support Section (DSS) adalah untuk memastikan terlaksananya proses persidangan yang adil, bagian ini bertanggungjawab untuk melakukan pembelaan atas tuduhan melalui para pengacara yang telah ditentukan. Selain itu juga menyediakan proses administarasi terkait persdiangan serta pembayaran untuk para pengacara. DSS melakukan tindakan pembelaan melalui media, NGO, serta lembaga peradilan lainnya. Anggota dari bagian ini terdiri dari pengacara tindak criminal internasional yang sudah berpengalaman, pegawai administrasi serta penerjemah. Proses persidangan dalam lembaga peradilan ECCC memiliki kesamaan dengan lembaga peradilan lainnya, hal ini berhubungan dengan proses dakwaan terhadap para pelaku kejahatan. Proses persidangan dalam hal ini dipimpin oleh lima orang hakim yang 33
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), Office of Co-Investigating Judges (OCIJ), http://www.eccc.gov.kh/en/ocij diakses pada 4 Agustus 2016
34
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) , Court Management Section http://www.eccc.gov.kh/en/office-of-administration/court-management-section diakses 4 Agustus 2016
18
bertugas untuk memeriksa surat dakwaan, bukti serta saksi-saksi yang diajukan oleh para penuntut umum. Hakim dalam hal ini juga bertugas untuk memeriksa serta mendengarkan tuntutan, pembelaan yang diajukan oleh para pihak. Proses terakhir adalah mengeluarkan putusan atas kasus yang diajukan, dalam proses pemutusan kasus hanya dibutuhkan empat suara hakim dari lima hakim yang ada dimana dalam Trial Chamber hakim terdiri dari empat hakim nasional serta tiga hakim internasional. Proses persidangan selanjutnya dan terakhir adalah Supreme Court Chamber dalam proses peradilan ini hakim melakukan pemeriksaan atas putusan peradilan selanjutnya apakah menguatkan putusan atau membatalkan putusan peradilan sebelumnya. Dalam memutuskan suatu putusan dibutuhkan enam suara hakim dari tujuh hakim yang ada, dimana Supreme Court Chamber terdiri dari lima hakim nasional dan empat hakim internasional35. Lembaga peradilan ECCC baru beroperasi secara penuh sejak tahun 2007, Kasus pertama dimulai pada tahun 2007 kemudian disebut dengan istilah case 001 dimana para penuntut umum mulai melakukan pemeriksaan hukum terkait case 001 dengan pelaku KAING Guek Eav alias Duch, Duch merupakan pimpinan S-21 (tuol Sleng) sebuah penjara di ibukota Phnom Pehn dan pusat tempat penyiksaan. Duch telah dipenjara sejak tahun 1999 sebagai bagian dari hukuman yang didasarkan pada hukum Kamboja tahun 1994. Lembaga peradilan ECCC mendakwa Duch dengan tuntutan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatn perang, pembunuhan dan penyiksaan. Pembentukan ECCC bisa dikatakan efektif jika memenuhi beberapa kriteria, pertama “preventif” ECC dibentuk bukan hanya untuk memberikan keadilan bagi para korban kejahatan kemanusiaan Khmer Merah namun juga sebagai alat untuk menanggulangi atau mencegah kasus serupa terjadi di masa depan, keberhasilan ECCC ditentukan oleh eksistensi selama pembentukannya serta penerapan yang dapat mencegah sifat yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum nasional maupun internasional. kedua “kuratif”
ECCC dibentuk juga sebagai model untuk merestrukturisasi peradilan
nasional Kamboja, lembaga peradilan ini didirikan untuk memebrikan kontribusi sekaligus memperbaiki kekurangan yang ada dalam sistme peradilan nasional Kamboja, 35
the Law On The Establishment Of Extraordinary Chambers In The Courts Of Cambodia For The Prosecution Of Crimes Committed During The Period Of Democractic Kampuchea (Cambodian Law), Art.14(1)(c)
19
keberhasilan dapat diukur dengan sejauh mana kekurangan atau kerusakan yang ada dalam sistem peradilan nasional Kamboja dapat diperbaiki atau dihilangkan. Lebih jauh dijelaskan bahwa pembentukan lembaga peradilan ECCC harus sesuai dengan tujuannya, jika terjadi kegagalan atau kesalahan maka dibutuhkan cara yang mudah untuk memperbaikinya. Dalam perkembangannya ECCC dibentuk dalam kondisi sistem peradilan nasional yang cacat dan rusak akibat rezim Khmer Merah sehingga keberlakuannya harus disesuaikan dengan kondisi yang ada saat itu. Namun kenyataannya baik pada hybrid tribunal di Timor dan Kamboja menjadi tidak efektif dalam penanganan kasus kejahatan HAM Berat dikarenakan factor : a. Kurangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia b. Kurangnya durasi waktu yang diberikan c. Kurangnya pendanaan d. Kurangnya kerjasama pemerintah local Simpulan Persoalan penegakan hokum melalui hybrid tribunal untuk kasus pelanggaran HAM Berat di Timor Timur dan
Kamboja memang tidak optimal. Secara umum
Efektivitas penegakan hukum yang dilakukan oleh Special Panel for East Timor dan ECCC dapat dinilai dari beberapa komponen, diantaranya struktur yang berhubungan dengan sistem hukum nasional Kamboja. Selanjutnya substansi dimana terkait dengan implementasi suatu peraturan hukum, dan budaya yang menjelaskan tentang pandangan umum masyarakat tentang pelaksanaan suatu aturan hukum. Kaitannya dengan kasus Kamboja, penegakan hukum yang dilakukan oleh Special Panel for East Timor dan ECCC dinilai tidak efektif karena secara faktual semua komponen yang ada dalam teori efektivitas hukum tersebut tidak terpenuhi.
20
DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta 2001 Alain de Benoist, what is sovereignity? Translated by Julia Kostova from “Qu’est-ce que la souveraineté? in Éléments, No. 96, 1999 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamikan Global, Alumni, Bandung. 2008 Cassimatis, Anthony E., Human Rights Related Trade Measures Under international Law, 9th edition, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden. 2007 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Yang Menerbitkan PT Rineka Cipta : Jakarta Garner, Bryan A, Black's Law Dictionary Ninth Edition,LawProse, Inc.Texas, 2009 Gidley, Rebecca, Working Paper No. 1 Responsibility to Protect in Southeast Asia Program : The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia and the Responsibility to Protect, Asia-Pacific Centre for the Responsibility to Protect. 2010. General Assembly Fifty-fourth session, security council fifty-fifth year,Agenda item 96, Question of East Timor, “Identical Letters dated 31 January 2000 from the Secretary General addressed to the President of the General Assembly, The President of the Security Council and the Cahir Person of the Comission of Human Rights Hillier, Tim, Sourcebook On Public International Law,Cavendish Publishing Limited,UK,1998 Huala Adolf , Aspek- aspek Negara dalam Hukum Internasional, Bandung. 2011 International Committee Of The Red Cross, 2009, Country Report Cambodia: ICRC Worldwide Consultation On The Rules Of War, Greenberg Research Isjwara, E. Pengantar Ilmu Politik; Cetakan ke-3, Dhiwantara, Bandung, 1967 J. Barent, De Wetenschap Der Politiek, Terjemahan L. M. Sitorus, Ilmu Politik, PT. Pembangunan, Jakarta, 1965, hal. 49 dalam A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, Malang, 2005 Joseph, Sarah, Adam McBeth, Research Handbook on International Human Rights Law, Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts, USA. 2010 Klein, Katheryn M., Bringing the Khmer Rouge to Justice: The Challenges and Risks Facing the Joint Tribunal in Cambodia, Northwestern University School of Law Volume 4, Issue 3, Northwestern Journal of International Human Rights, 2006 Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, Cetakan ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003
21
Olga Martin –Ortega dan Johanna Herman, Hybrid Tribunal and The Rule of Law, JAD--‐PbP Working Paper No.7 May 2010 Scully, Seeta, Judging the Successes and Failures of the Extraordinary Chambers of the Courts of Cambodia, Asian-Pacific Law & Policy Journal Vol. 13:1. Toronto-Canada, 201 Shaw, Malcolm N., International Law, Sixth Edition, Cambridge University Press, UK, 2008 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000 Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 1993 Sugeng Istanto, Prof. Dr., Hukum Internasional,penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994 Soeryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), C.V Rajawali, Jakarta, 1990 Wahyu Wagiman, SH., Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005, Jakarta Udombana, Nsongurua J. , So Far, So Fair: The Local Remedies Rule In The Jurisprudence Of The African Commission On Human And Peoples’ Rights , Department Of Jurisprudence And International Law, University Of Lagos, Nigeria , The American Journal Of International Law [Vol. 97:1]. A. A. Cançado Trindade, The Application Of The Rule Of Exhaustion Of Local Remedies In International Law 1 (1983). UN Resolution 57/228. Khmer Rouge trials, 22nd May 2003 Rome Statute 1998 Craig Etcheson, "The Number" -- Quantifying Crimes Against Humanity in Cambodia, (Funded by the Dutch and US Governments – to be published by the British Government), http://www.mekong.net/cambodia/toll.htm Introduction to the ECCC, http://www.eccc.gov.kh/en/about-eccc/introduction
22