PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
JURNAL ILMIAH Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh : AVIANTINA SUSANTI NIM. 105010100111051
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM 2014
1
PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
Aviantina Susanti, Dr. Mohammad Ridwan S.H. M.S., Ikaningtyas SH. LLM. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Email :
[email protected]
ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, dan menganalisis pengaturan hukum internasional yang berkenaan dengan perlindungan terhadap etnis rohingya, dan mengetahui dan menganalisa upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat terhadap etnis rohingya di Myanmar berdasarkan hukum internasional. Penelitian dilakukan dengan metode normatif. Bahan yang digunakan adalah bahan primer, sekunder, dan tersier yang didapatkan dari studi kepustakaan. Pada hasil penelitian telah dapat diketahui bahwa jika dilihat berdasarkan pada tindakan salah secara internasional maka negara Myanmar telah melanggar kewajiban internasional dalam melindungi kepentingan masyarakat internasional dimana dalam hal tersebut tedapatnya pelanggaran berat atas kewajiban internasional dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran HAM maka negara mempunyai tanggungjawab untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di negaranya. Berdasarkan pada pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa negara Myanmar seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum langsung membawa kasus yang terjadi ke ranah hukum. Upaya diplomasi yang dapat dilakukan dengan menggunakan mediasi dimana Myanmar dapat meminta bantuan kepada PBB sebagai pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan kasus ini. Jika masih belum berhasil upaya tersebut, maka kasus yang terjadi dapat diadili di International Criminal Court (ICC) dan dapat dijatuhi hukuman yang sesuai berdasarkan hukum internasional. Kata Kunci : Penyelesaian Kasus, HAM Berat, Etnis Minoritas
2
ABSTRACT This research aims to described and analyse rules of international law with respect to protection against ethnic rohingya, and find out and analyse the efforts that can be made in resolving the cases of severe Human rights violations against the ethnic rohingya in Myanmar based on international law. The Research is conducted through normative. The materials used are the primary, secondary, and tertiary studies of librarianship. It is found that Myanmar government has commited international wrongfull act by neglecting its international obligations in protecting international community’s interest toward international peace and security. For such human rights violation, Myanmar has an obligation to resolve it under article 33 of the UN Charter throught diplomacy before bringing to judicial institution. The diplomacy can be done through mediation system and if it fails, then such violation can be brought before the ICC (International Criminal Court) and should be sentenced based on international law.
Keywords : The settlement of the case, gross violation of human rights, ethnic minorities
3
A. Pendahuluan Manusia diciptakan oleh Tuhan berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya, dan lain sebagainya agar manusia dapat dengan mudah untuk mengenali satu sama lain. Bentuk fisik, budaya, bahasa dapat dikenali dengan mudah dalam pengelompokan etnis. Etnis adalah suatu populasi yang memiliki identitas kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan biasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau dianggap sama.1 Di dunia ini terdapat adanya kelompok etnis mayoritas dan etnis minoritas, sebenarnya hingga saat ini definisi tentang kelompok etnis minoritas belum dapat diterima secara universal, tetapi definisi etnis minoritas yang sering digunakan diberbagai negara adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk.2 selain itu, kelompok etnis minoritas jumlah penduduknya lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya yang berada di suatu negara. Nasib etnis minoritas ini tidak selalu mendapatkan perlakukan yang baik di wilayah negara yang didudukinya, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sering dialami oleh etnis minoritas ini. Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menurut C.De Rover bahwa pelanggaran HAM merupakan setiap tindakan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara, dan dapat menimbulkan pertanggungjawaban internasional kepada negara tersebut. Tindakan salah menurut internasional dianggap ada jika:3
1
Janu Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm 8 2
Anonim, Pendidikan Layanan Khusus, Pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/2008/10/04/pengertian-kelompok-etnik-minoritas/ diakses pada tanggal 16/8/2013 pukul 21:57 WIB 3
C.De Rover, To Serve and Protect Acuan Universal Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm 22
4
1. Tindakan yang terdiri atas suatu perbuatan atau kelalaian perbuatan dipertalikan
(dipersalahkan)
kepada
negara
berdasarkan
hukum
internasional. 2. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar kewajiban internasional dari negara tersebut. Dalam Rome Statute of The International Criminal Court 1998 (Statuta Roma tahun 1998) Art 5 dijelaskan mengenai definisi dari pelanggaran HAM yang berbunyi:4 The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression; yang berarti bahwa pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Seiring dengan perkembangannya kejadian yang terjadi, salah satunya di negara Myanmar. Konflik etnis Rohingya ini merupakan konflik yang didasari atas perlakuan diskriminasi karena perbedaan etnis dan agama. Etnis rohingya tidak diakui keberadaannya oleh negara Myanmar dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Kewarganegaraan Myanmar (Burma Citizenship Law 1982), Myanmar menghapus Rohingya dari daftar delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan dan dari 135 kelompok etnis kecil lainnya. President Myanmar Thein Sein melakukan pengusiran pada etnis ini dengan mengatakan dalam forum internasional, bahwa “Rohingya are not our people and we have no duty to protect them”, Presiden Thien Sein menginginkan etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR (United Nations High Comissioner for Refugee) atau ditampung di negara ketiga. Selain itu, Presiden Thein Sein menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai “a threat to national security”. Pernyataan yang dilakukan oleh Presiden Thein Sein berdampak buruk bagi etnis 4
Art 5, Rome Statute of The International Criminal Court 1998
5
rohingya yang tidak hanya berasal dari pemerintah saja tapi juga dari masyarakat Myanmar. Perlakuan buruk
yang terjadi terhadap etnis rohingya sebenarnya sudah
dialami sejak tahun 1962 pada saat pemerintahan presiden U Nay Win. Presiden U Nay Win membentuk operasi-operasi hingga menyebabkan orang Rohingya terusir paksa dari negara Myanmar. Terusir paksa melalui beberapa tindakan sistematis yang berupa: Extra Judicial Killing, penangkapan sewenang-wenang, penyitaan property, perkosaan, propaganda anti-rohingya dan anti-muslim, kerja paksa, pembatasan gerak,
pembatasan lapangan kerja, larangan berpraktek agama. Hingga saat ini
perlakuan tersebut masih terjadi dan memuncak ketika pada bulan Juni 2012, dimana penduduk dari kelompok etnis Rakhine menyerang bis dan membunuh 10 orang muslim yang diduga oleh etnis Rakhine sebagai Rohingya yang berada di dalam bis. Tuduhan tersebut dikarenakan 3 orang muslim Rohingya telah memperkosa dan membunuh perempuan yang berasal dari kelompok etnis Rakhine. Permasalahan tersebut meluas hingga menyebabkan ratusan korban kelompok etnis Rohingya, puluhan ribu rumah dibakar, ratusan orang ditangkap dan ditahan secara paksa. 5 Konflik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Myanmar untuk melegalisasi tindakan pemerintah Myanmar mengusir etnis Rohingya dari negara Myanmar. Masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Myanmar merupakan salah satu masalah yang sangat serius di dunia ini, karena bukan hanya berdampak negatif bagi masyarakat yang berada di wilayah Myanmar saja tetapi berdampak pula pada negara yang lain. Selain itu, pelanggaran HAM berat ini bukanlah perkara mudah untuk diselesaikan. Oleh karena itu, perlu perlakuan serius dalam menangani masalah ini. Dari latar belakang pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul : PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.
5
Hery Aryanto, Kondisi Faktual Muslim www.indonesia4rohingya.org, (27 September 2013)
Rohingya
di
Indonesia
(online),
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum internasional terhadap etnis rohingya? 2. Bagaimana upaya penyelesaian kasus terhadap etnis rohingya di Myanmar dalam pelanggaran HAM berat berdasarkan hukum internasional?
C. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi internasional yang memiliki kekuatan mengikat secara yuridis, sumber bahan hukum sekunder adalah literature-literatur yang dapat memperjelas sumber hukum primer, seperti : buku-buku, jurnal, majalah, internet, sumber bahan hukum tersier adalah kamus bahasa Indonesia, kamus hukum. Tekhnik untuk memperoleh bahan hukum yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan. Tekhnik analisis yang digunakan adalah interprestasi gramatikal dan interprestasi logis.
D. Pembahasan 1. Analisa Tindakan Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya Rome Statute of The International Criminal Court 1998 (Statuta Roma tahun 1998) Art 5 dijelaskan mengenai definisi dari pelanggaran HAM, bentuk-bentuk dari pelanggaran HAM yang terdapat pada Statuta Roma ini berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Tindakantindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap etnis rohingya termasuk dalam pelanggaran HAM yang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Mengenai
7
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dijelaskan dalam art. 7 Statuta Roma. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat unsur-unsur yang dibagi menjadi:6 1. Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread). 2. Atau Sistematik (systematic) yang ditujukan kepada penduduk sipil. 3. Adanya pengetahuan (with knowledge). Berkaitan dengan kasus yang terjadi, Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel untuk memudahkan para pembaca, seperti yang terlihat dibawah ini : No.
Unsur Tindak Kejahatan Kemanusiaan
Tindakan Pemerintah Myanmar Terhadap Etnis Rohingya
Keterangan
tindakan Tindakan Pemerintah Myanmar telah menimbulkan ratusan dari yang meluas etnis rohingya tewas, luka-luka, serta ada yang melarikan diri ke negara lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik
Meluas yang dimaksud dalam hal ini merupakan tindakan yang dilakukan dapat menimbulkan banyak korban dalam skala yang besar dan berakibat serius.
Pemerintah Myanmar membentuk operasi-operasi untuk menyebabkan etnis rohingya terusir secara paksa. Operasi-operasi yang telah dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis rohingya, antara lain:
Sistematis yang dimaksud dalam hal ini merupakan metode yang dilakukan telah teroganisir atau telah direncanakan sebelumnya.
1.
Adanya
2.
Sistematis
a. Operasi militer tahun 1948; b. Operasi Burma Territorial Force (BFT) tahun 19496
Muladi, Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka
Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional,
Alumni,
Bandung, 2011, hlm 177-178., lihat juga I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 180-184
8
1950; c. Operasi Militer (Rezimen Darurat Chin ke-2) pada Maret 1951-1952; d. Operasi Mayu tahun 19521953; e. Operasi Mone-Thone pada Oktober 1954; f. Operasi Tentara gabungan Imigrasi Januari 1955;
dan pada
g. Operasi Polisi Militer Gabungan tahun 1955-1958; h. Operasi Kapten Htin Kyaw tahun 1959; i. Operasi Shwe Oktober 1966;
Kyi
pada
j. Operasi Kyi Gan pada Oktober-Desember 1966; k. Operasi Ngazinka 1967-1969; l. Operasi Myat Mon Februari 1969-1971;
tahun pada
m.Operasi Mayor Aung Than tahun 1973; n. Operasi Sabe pada Februari 1974-1979; o. Operasi Nagamin Februari 1978-1980;
pada
p. Operasi Swe Hintha pada Agustus 1978-1980; q. Operasi Galone tahun 1979; r. Operasi Pyi Thaya tahun
9
1991-1992; s. Operasi Na-Sa-Ka tahun 1992 sampai dengan sekarang; 3.
Pengetahuan
Tindakan Pemerintah Myanmar terhadap etnis rohingya berupa penangkapan sewenang-wenang dan pemerasa, penyitaan property, propaganda antirohingya dan anti muslim, perkosaan, kerja paksa, pembatasan gerakan, larangan berpraktek agama, pembatasan pendidikan. Dimana dalam hal ini mengakibatkan etnis rohingya meninggalkan negara Myanmar serta pemerintah Myanmar mengetahui akan hal tersebut dan itu sesuai dengan tujuan yaitu mengusir etnis rohingya dari negara Myanmar.
Pengetahuan yang dimaksud dalam hal ini merupakan bahwa si pelaku telah mengetahui sebelumnya atau sadar tindakan yang dilakukan dapat menimbulkan suatu akibat.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis rohingya berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (crimes against humanity of deportation or forcible transfer of population). Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Crimes Against Humanity of Deportation or forcible transfer of population) dalam pasal 7 ayat 2 huruf c Statuta Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa berarti pemindahan orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka tinggal secara sah tanpa diberikan alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Kata paksa disini tidak hanya terbatas pada paksaan fisik saja, namun dapat berupa ancaman kekerasan atau yang dapat memberikan tekanan psikologis. Muladi memberikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran HAM, antara lain :7 7
Muladi, Op.Cit., hlm 140
10
Pertama, negara harus menjalankan terlebih dahulu willingness and ability untuk mengadili, jika tidak mau atau tidak mampu dalam mengadili maka kasus tersebut akan diambil alih oleh pengadilan pidana internasional; Kedua, negara berdasarkan prinsip equality before the law harus mencegah terjadinya impunity; Ketiga, karena pengadilan HAM berat merupakan pengadilan sesudah terjadinya konflik, negara harus terlebih dahulu dapat menyelesaikan konflik seperti dengan cara membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi; Keempat, pengadilan HAM berat didasarkan atas kejahatan-kejahatan yang diatur dalam hukum internasional; Kelima, negara harus berusaha untuk memenuhi terlebih dahulu ketentuan yang diatur dalam UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985; Keenam, negara harus memastikan dan sanggup bahwa kejahatan pelanggaran HAM berat tidak akan terulang lagi dikemudian hari. Ketujuh, negara harus melindungi saksi dan korban; Kedelapan, negara mematuhi berbagai ketentuanketentuan internasional yang berhubungan dengan perlindungan HAM. Sebagai contoh pada kasus ini pemerintah Myanmar tidak dapat mengambil suatu tindakan yang tegas untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di negaranya, bahkan terkesan membiarkan permasalahan tersebut berlarut-larut terjadi. Apabila ditinjau berdasarkan hukum internasional, jika suatu negara dirasa tidak mau untuk mengadili para pelaku tindak kejahatan maka kasus tersebut dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB. Dengan ini kasus yang terjadi di Myanmar dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk merekomendasikan penyelesaian apa yang digunakan untuk mengakhiri kasus yang terjadi di Myanmar.
2. Alasan Keberlakuan Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Etnis Rohingya Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada etnis ronghingya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pengusiran secara paksa, pengusiran secara paksa disini dengan melakukan Tindakan-tindakan sistematis sebagai berikut :
11
1. Etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya sebagai warga negara Myanmar Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan seseorang termasuk warga negaranya atau tidak. Terdapat asas yang dapat digunakan oleh negara untuk menentukan termasuk warga negaranya atau tidak, yaitu: Asas Ius Soli adalah kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan dari tempat kelahirannya dan Asas Ius Sanguinis adalah kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan dari keturunannya atau orang tuanya.8 Terdapat suatu konvensi internasional yang menjelaskan bahwa seseorang dapat dicabut dari kewarganegaraannya karena adanya berbagai alasan, konvensi tersebut ialah Konvensi tentang Pengurangan Penduduk yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan 1961. Penjelasan dalam konvensi tersebut
yang penulis
tuliskan dalam paraphrase adalah sebagai berikut: Pasal 7 ayat 4, seseorang
yang dinaturalisasi dapat kehilangan
kewarganegaraannya dengan alasan bertempat tinggal di negara lain dalam jangka waktu tidak kurang dari tujuh tahun berturut-turut. Ketentuan ini
ditetapkan oleh Undang-undang negara yang
bersangkutan, jika ia gagal untuk menyatakan kepada penguasa yang tepat untuk keinginannya tetap menjadi warga negaranya. Pasal 8 ayat 2b, kewarganegaraan yang sudah diperoleh dengan perwakilan yang salah atau dengan penipuan; Pasal 8 ayat 3a, orang itu tidak konsisten dengan kewajibannya untuk setia pada negara dengan cara tidak mempedulikan larangan yang melarang pemberian layanan atau bekerja pada negara lain atau dengan cara yang sangat berbahaya untuk kepentingan vital negaranya; Pasal 8 ayat 3b, orang itu telah bersumpah atau membuat pernyataan yang formal tentang kesetiaan kepada negara lainnya atau telah
8
Herlin Wijayati, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Bayumedia, Malang, 2011, hlm 58
12
memberikan suatu bukti yang pasti bahwa ia meninggalkan kesetiaannya kepada negaranya; Selain dari alasan-alasan tersebut, seseorang tidak dapat diambil atau dicabut dari kewarganegaraannya. Mengenai kewarganegaraan bahwa Pasal 15 ayat 1 Universal Declaration of
Human
Right
dijelaskan
bahwa
setiap
orang
berhak
atas
suatu
kewarganegaraan. Pada kasus ini yang terjadi bahwa etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, hal ini terlihat dari perkataan Presiden Myanmar Thein Sein yang mengatakan bahwa “rohingya are not our people and we have no duty to protect them” dan presiden Thein Sein menginginkan agar sebaiknya etnis rohingya ditampung atau dikelola saja oleh UNHCR atau negara ketiga yang ingin menampungnya.9 Jika, dilihat dalam pasal 3 Burma Citizenship Law 1982 yang dinyatakan sebagai berikut: “Nationals such as the Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burman, Mon, Rakhine or Shan and ethnic groups as have settled in any of the territories included within the state as their permanent home from period anterior to 1185 B.C., 1823 A.D. are Burma Citizens.” Sebenarnya etnis rohingya termasuk dalam kewarganegaraan Myanmar, karena etnis rohingya sudah menduduki wilayah Myanmar pada abad ke 7. Hal ini tentunya didukung dengan sejarah sebelum Arakan diduduki oleh raja Burma yang bernama Bodaw Paya pada tahun 1748 terdapat kehadiran kesultanan muslim di Arakan tahun 1430, kesultanan muslim ini telah berkuasa selama kurang lebih 350 tahun.10 Pada tahun 1824 Inggris mengokupasi Arakan dan menempatkan Arakan di bawah India, kemudian pada tahun 1937 Arakan berpisah dengan India dan tahun 1948 Arakan bergabung dengan Burma. 11
9
Anonim. Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org pada tanggal 16/8/2013 pukul 16:40 WIB 10
Hery Aryanto, Op.Cit., hlm 2
11
Ibid.,
13
Walaupun Arakan diakui sebagai wilayah Myanmar tetapi dalam kenyataannya pada pasal 4 Burma Citizenship Law 1982 menyatakan bahwa etnis nasional ditentukan oleh dewan negara sehingga berdasarkan pasal tersebut etnis rohingya kehilangan status sebagai warga negara Myanmar. Selain itu, jika pemerintah Myanmar mencabut kewarganegaraan etnis rohingya karena alasan perbedaan agama, bahasa, etnis dan itu tidak sesuai dengan alasan pencabutan kewarganegaraan yang telah disebutkan diatas maka alasan ini sangatlah diskriminatif dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam hukum internasional. 2.
Adanya larangan untuk berpraktek agama pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap individu mempunyai hak kebebasan untuk beragama, yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukakannya, beribadah dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri” Selain itu terdapat Deklarasi mengenai Hak-hak Penduduk yang termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama, dan Bahasa 1992, dalam deklarasi ini menjelaskan mengenai perlindungan negara terhadap eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama dan kaum minoritas serta hak-hak bagi kaum minoritas. Hak-hak tersebut adalah hak untuk memeluk dan menjalankan agama secara bebas12, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan agama mereka13, hak untuk mendirikan dan memelihara hubungan yang melewati batas negara secara bebas dan damai dengan anggota lain yang berasal dari kelompok mereka dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas lainnya yang mempunyai ikatan agama dengan mereka 14, orang yang
12
Pasal 2 ayat 1 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun 1992 13
Ibid., pasal 2 ayat 2
14
termasuk dalam kaum minoritas dapat melaksanakan hak-hak mereka tanpa diskriminasi.15 Namun, pada kasus ini etnis rohingya tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya, ini terlihat bahwa yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir semua masjid di ibu kota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar, banyak masjid dan madrasah di Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak boleh beribadah di dalamnya. Jika ada yang melanggar atau mencoba untuk sholat akan ditangkap dan dihukum.16 Selain itu adanya larangan untuk merenovasi masjid manapun dan larangan untuk membangun masjid yang baru.17 3. Adanya perlakuan diskriminasi terhadap etnis rohingya Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966 memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya diskriminasi. Pasal 5 dalam konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965, yang berbunyi sebagai berikut: Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dasar yang dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi ini, negara-negara pihak melarang dan menghapuskan semua bentuk diskriminasi rasial serta menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlukan sama di depan hukum, terutama untuk menikmati hak dibawah ini: i. Hak untuk diperlakukan dengan sama di depan pengadilan dan badanbadan peradilan lain; ii. Hak untuk rasa aman dan hak atas perlindungan oleh negara dari kekerasan dan kerusakan tubuh, baik yang dilakukan aparat pemerintah maupun suatu kelompok atau lembaga; 14
Ibid., pasal 2 ayat 5
15
Ibid., Pasal 3 ayat 1
16
Rohingya 101 data dan fakta, Loc.Cit
17
Hery Aryanto, Op.Cit., hlm 5
15
iii. Hak politik, khususnya hak ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih dan dipilih atas dasar hak pilih yang universal dan sama, ikut serta dalam pemerintahan maupun pelaksanaan maslah umum pada tingkat manapun, dan untuk memperoleh kesempatan yang sama atas pelayanan umum; iv. Hak sipil lainnya, khususnya; (i) Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara yang bersangkutan; (ii) Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke negaranya sendiri; (iii) Hak untuk memiliki kewarganegaraan; (iv) Hak untuk menikah dan memilih teman hidup; (v) Hak untuk memiliki kekayaan baik atas nama sendiri ataupun bersama dengan orang lain; (vi) Hak waris; (vii) Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; (viii)Hak untuk berpendapat dan menyampaikan pendapat; (ix) Hak berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai; v. Hak ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya : (i) Hak untuk bekerja, memilih pekerjaan secara bebas, mendapatkan kondisi kerja yang adil dan memuaskan, memperoleh perlindungan dari pengangguran, mendapat upah yang layak sesuai pekerjaannya, memperoleh gaji yang adil dan menguntungkan; (ii) Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja; (iii) Hak atas perumahan; (iv) Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan, perawatan medis, jaminan sosial dan pelayanan-pelayanan sosial; (v) Hak atas pendidikan dan pelatihan; (vi) Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam kegiatan kebudayaan; (vii) Hak untuk dapat memasuki suatu tempat atau pelayanan manapun yang dimaksudkan untuk digunakan masyarakat umum, seperti transportasi, hotel, restoran, warung kopi, teater, dan taman. Dan Pasal 27 Kovenan internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik 1966 berbunyi sebagai berikut: “Di negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budayanya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.”
16
Pada kasus ini yang terjadi pemerintah Myanmar mengeluarkan kebijakan “burmanisasi” dan “budhanisasi”. Walaupun dalam negara Myanmar terdapat berbagai etnis minoritas yang beragama selain budha, tetapi etnis tersebut masih diakui sebagai warga negara Myanmar sedangkan etnis rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Hal tersebut dikarenakan adanya alasan bahwa etnis rohingya adalah umat muslim dan identitas mereka seperti ciri fisik dan bahasa dianggap berbeda dengan mayoritas penduduk di Myanmar. 18 Selain hal tersebut adanya pembatasan atas pernikahan dimana etnis rohingya ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan ijin menikah, adanya pembatasan dalam hal mendapatkan pekerjaan, adanya pembatasan dalam hal mendapatkan pendidikan dimana dalam hal ini telah menyebabkan 80% etnis rohingya buta huruf.19 Berdasarkan kasus tersebut maka pemerintah Myanmar telah tidak menaati prinsip larangan diskriminasi dimana prinsip ini adalah adanya larangan untuk memberikan perbedaan perlakuan yang didasarkan karena perbedaan agama, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya.
3. Upaya Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya di Myanmar atas Pelanggaran HAM Berat berdasarkan Hukum Internasional Dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum ke ranah hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut : Ayat 1, Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung secara terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.
18
Rohingya 101 dan fakta, Loc.Cit
19
Hery Aryanto, Loc.Cit
17
Ayat 2, Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu. Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui perundingan yang diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat individu, organisasi internasional dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian. 20 Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
20
NN, PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Myanmar. Diakses http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/118524655/PBB-Kutuk-Kekerasan-terhadapMuslim-Myanmar. pada tanggal 21/1/2014 pukul 07:32 WIB.
dari
18
Dengan memperhatikan empat yurisdiksi pada ICC yaitu :21 1. Rationae materiae : kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, seperti yang dijelaskan dalam pasal 5-8 Statuta Roma tahun 1998. Berkaitan dengan kasus yang terjadi bahwa yang dialami oleh etnis rohingya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 2. Rationae personae : berdasarkan pasal 25 Statuta Roma tahun 1998, ICC hanya mengadili individu tanpa memandang apakah ia merupakan seorang pejabat negara dan sebagainya. Berkaitan dengan kasus yang terjadi di Myanmar maka disini yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan adalah individu. 3.
Ratione loci : ICC dapat mengadili kasus-kasus yang terjadi di negara peserta dimana menjadi lokasi tempat terjadinya kejahatan hal ini diatur dalam pasal 12 Statuta Roma tahun 1998.
4. Ratione temporis : berdasarkan pada pasal 11 statuta roma tahun 1998, bahwa ICC hanya dapat mengadili kejahatan yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002. Berkaitan dengan kasus yang terjadi di Myanmar bahwa kejahatan yang terjadi sesudah tanggal tersebut. Walaupun negara Myanmar bukan negara peserta yang meratifikasi mahkamah pidana internasional, tetapi bukan berarti kejahatan yang terjadi terhadap etnis rohingya tidak dapat diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional. Karena semua warga negara berada dibawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam salah satu kondisi antara lain : kesatu, negara dimana tempat lokasi kejadian ia telah meratifikasi perjanjian mahkamah pidana internasional; kedua, negara tersebut telah mengakui yurisdiksi mahkamah pidana internasional dalam dasar ad hoc; ketiga,
21
Sefriani, Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998, Jurnal Hukum no 2, April Vol.14, Yogyakarta, 2007
19
Dewan Keamanan PBB menyampaikan kasus yang terjadi ke mahkamah pidana internasional.22 Jadi, kasus tersebut dapat diadili menggunakan ICC.
E. Penutup 1. Kesimpulan a. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak ia lahir atau dimulainya ia berinteraksi dengan masyarakat. Hak tersebut tidak dapat diambil oleh siapapun bahkan negara mempunyai tanggungjawab untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu, tidak peduli apakah ia individu yang termasuk dalam etnis mayoritas ataupun etnis minoritas. Mengenai etnis minoritas sudah terdapat perlindungan terhadap etnis minoritas tentang hak-hak yang dimilikinya yang berdasarkan hukum internasional secara umum sudah diatur dalam instrument-instrument internasional, seperti Deklarasi mengenai Hak-hak Penduduk yang Termasuk Kelompok Minoritas Berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama, dan Bahasa 1992, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial 1965. b. Berdasarkan pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dan pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan menggunakan mediasi terlebih dahulu. Apabila cara tersebut tidak berhasil, Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.
22
Simon, Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009, hlm 9
20
2. Saran 1. Pemerintah Myanmar hendaknya segera menghentikan kekerasan yang terjadi pada etnis rohingya, karena tindakan yang dilakukan telah melanggar prinsip perdamaian dan keamanan dunia. Selain itu, Dewan Keamanan PBB diharapkan dapat segera bertindak dengan tegas untuk menyelesaikan kasus yang terjadi terhadap etnis rohingya, karena apabila pemerintah Myanmar dalam kasus ini tidak dapat atau tidak mau menyelesaikan kasus yang terjadi maka Dewan Keamanan PBB dapat mengambil alih kasus tersebut dan menyerahkannya kepada International Criminal Court.
21
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : C.De Rover, To Serve and Protect, Acuan Universal Penegakan HAM , Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-1, 2000. I Gedhe Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. Muladi, Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, Alumni, Bandung, 2011. Murdiyatmoko, Janu, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2007. Simon, Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009. Wijayati, Herlin, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Bayu Media, Malang, 2011. Jurnal: Sefriani, Yurisdiksi ICC Terhadap Negara Non Anggota Statuta Roma 1998, Jurnal Hukum no 2, April Vol 14, Yogyakarta, 2007. Peraturan Perundang-undangan: Rome Statute of The International Criminal Court 1998 Universal Declaration of The Human Rights 1948
United Nations Charter Burma Citizenship Law 1982 Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities 1992 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 Konvensi tentang Pengurangan Penduduk yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan 1961 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
22
Situs Internet: Hery
Aryanto, Kondisi Faktual Muslim Rohingya di www.indonesia4rohingya.org, diakses pada tanggal 27/9/2013.
Indonesia.
Anonim, Rohingya 101 Data dan Fakta. www.indonesia4rohingya.org, diakses pada tanggal 16/8/2013. Anonim, Pendidikan Layanan Khusus. Pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/2008/10/04/pengertian-kelompoketnis-minoritas/, diakses pada tanggal 16/8/2013. Anonim, PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Myanmar. Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/118524655/PBB-Kutuk-Kekerasanterhadap-Muslim-Myanmar. pada tanggal 21/1/2014 pukul 07:32 WIB.