BAB II EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR
A. SEJARAH ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR Setelah perang dunia ke-2, ketika pemerintahan Inggris dimulai kembali di Burma, seluruh etnis Bengali yang kembali ke Bengala selama perang berlangsung kembali ke Arakan. Mereka membawa banyak pendatang untuk bermukim dengan mereka. Karena gelombang imigrasi tersebut, banyak warga Arakan yang meninggalkan desa mereka yang terletak di wilayah Utara Arakan dan pindah ke selatan.33 Desa-desa ini lalu diberi nama “Old or Deserted Villages” (desa tua atau desa yang ditinggalkan), disebut juga Ywa-Haun dengan bahasa Burma (disebut juga Rwa-Haun atau Ra-haun dalam pengucapan orang-orang Arakan). Penduduk Bengali yang baru tersebut tidak dapat mengucapkan ‘Ra-Haun’ serta Ra-HaunTha dengan benar, dan mengucapkannya dengan aksen Bengali mereka, masingmasing menjadi “Ro-han” dan “Rohan-za”, yang kemudian melenceng penyebutannya menjadi ‘Ro-han-ja’ dan akhirnya menjadi ‘Ro-hin-gya’.34 Para pelaut muslim pertama kali mencapai Burma pada Abad kesembilan, pedagang yang pertama sekali disebut pada sejarah Burma, yang diasumsi adalah orang-orang muslim, adalah dua anak laki-laki dari pedagang Arab yang diselamatkan dari kapalnya yang karam di pesisir Martaban. Mereka diketahui 33
Khin Maung Saw, “Response to the Press Release of the ‘Rohingyas’ By Khin Maung Saw, Berlin, Germany 2009”, https://democracyforburma.wordpress.com/2012/06/27/response-tothe-press-release-of-the-rohingyas-by-khin-maung-saw-berlin-germany-2009-wontharnu/, diakses 24 Juni 2015. 34 Ibid.
22
23
mencapai Burma pada tahun 1055, pada masa pemerintahan Raja Anawratha (1044-1077)35 Pada awal tahun 1950-an, beberapa cendekiawan Muslim Bengali dari bagian barat laut Arakan mulai menggunakan istilah “Rohingya” ini untuk menyebut diri mereka. Mereka memang keturunan langsung imigran dari Kabupaten Chittagong bagian Timur Bengala (sekarang adalah Bangladesh), yang telah bermigrasi ke Arakan setelah provinsi tersebut diserahkan kepada India Britania di bawah ketentuan-ketentuan Perjanjian Yandabo, suatu peristiwa yang mengakhiri perang Inggris-Burma pertama (1824-1826).36 Sebagian besar pendatang ini menetap di area perbatasan Mayu, dekat dengan tempat yang sekarang menjadi perbatasan Burma dengan Bangladesh modern. Sebenarnya dalam catatan kolonial Inggris mereka disebut sebagai “Chittagonians”. Kaum Muslim di Negara Arakan dapat dibagi menjadi empat kelompok yang berbeda, yaitu kaum Chittagong Bengali di perbatasan Mayu; keturunan dari komunitas Muslim Arakan pada periode Mrauk-U (1430-1784) yang saat ini hidup di Mrauk-U dan kota-kota di Kyauktaw; keturunan dari tentara bayaran Muslim di pulau Ramree yang dikenal oleh bangsa Arakan sebagai Kaman; dan kaum Muslim dari area pusat Burma yaitu Myedu, yang ditinggalkan oleh
35
Moshe Yegar, The Muslims of Burma: A Study of a Minority Group (Otto Harrassowitz: Wiesbaden, 1972) hal 2. 36 Aye Chan, “The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar)”, 2005, hal 396.
24
penjajah Burma di Kabupaten Sandoway setelah penaklukan Arakan pada tahun 1784.37 Pada awalnya kebanyakan dari mereka datang ke Arakan sebagai buruh perkebunan yang datang saat dibutuhkan dan pulang setelah musim panen selesai. R. B. Smart memperkirakan jumlahnya sekitar dua puluh lima ribu selama musim panen saja. Dia menambahkan bahwa jumlah yang sama juga datang untuk membantu proses pembajakan, untuk bekerja di pabrik dan di bagian pengangkutan barang dagang. Sebanyak total lima puluh ribu imigran datang setiap tahunnya (Smart 1957 : 99).38 Selain itu, keinginan akan tanah adalah motif utama bermigrasinya sebagian besar orang-orang Chittagong ini. Catatan pengadilan inggris menunjukkan peningkatan tuntutan hukum litigasi untuk kepemilikan atas tanah pada dekade pertama abad kedua puluh. Hakim Kabupaten Akyab pada tahun 1913 melaporkan bahwa di Buthidaung, imigran dari Chittagong jika dibandingkan dengan orang-orang dari suku Arakan proporsinya adalah 2-1, tetapi 6/7 dari litigasi atas tanah di pengadilan dimulai oleh orang-orang dari Chittagong (Smart 1957 : 163). Catatan kolonial lain memberikan pernyataan yang mencolok tentang pemukiman imigran Bengali dari Kabupaten Chittagong, seperti: “Meskipun kami berada di Arakan, kami melewati banyak desa yang ditinggali oleh pendatang atau
37 38
Ibid. Ibid. hal 400.
25
keturunan dari pendatang Muslim, dan kebanyak dari mereka adalah orang Chittagong” (Walker 1981(I) : 15)39 Pemerintahan kolonial India menganggap orang-orang Bengali sebagai subyek yang dapat diterima, dan melihat penduduk asli Arakan sebagai orangorang yang terlalu menentang, mereka memulai pemberontakan dua kali pada tahun 1830-an. Kebijakan inggris juga menguntungkan bagi pemukiman masyarakat pertanian Bengali di Arakan. Sebuah catatan colonial mengatakan: Orang Bengali adalah ras yang cermat, yang dapat membayar dengan mudahnya pajak yang dianggap berat oleh orang Arakan….(Mereka) tidak kecanduan seperti halnya orang Arakan terhadap perjudian, dan rokok opium, dan persaingan mereka secara bertahap dapat menggusur posisi rakyat Arakan (Report of the Settlement Operation in the Akyab District 1887-1888: 21).40 Pemerintah Myanmar saat ini menganggap masyarakat Rohingya sebagai "pendatang haram" yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai dampaknya, etnis Muslim itu kini harus berjuang keras menghadapi penindasan yang dilakukan etnis mayoritas Burma. Nyawa mereka pun menjadi taruhannya. Abu Tahay, memaparkan sejarah keberadaan kelompok etnis tersebut dalam karya tulisnya, "Rohingya Belong to Arakan and Then Burma and So Do Participate”.41 Di situ disebutkan, sejarah etnis Rohingya bermula ketika masyarakat kuno keturunan Indo-Arya yang menetap di Arakan (Rakhine sekarang--Red) memutuskan untuk memeluk Islam pada abad ke-8. Pada masa-masa selanjutnya, generasi baru mereka kemudian juga mewarisi darah campuran Arab (berlangsung 39 Ibid. 40
Ibid. hal 401. Ahmad Islamy Jamil, Melacak Asal Usul Etnis Rohingya http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/05/31/np7roj-melacak-asal-usuletnis-rohingya, diakses 21 Juni 2015. 41
26
pada 788-801), Persia (700- 1500), Bengali (1400-1736), dan ditambah Mughal (pada abad ke-16).42 Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku Kanran dari kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi dengan ibukota dekat Kyaukadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad ke-2 sebelum Masehi, Chanda Suriya diangkat menjadi raja (S.W Cocks : 1919) enam puluh tahun sebelum dinobatkannya raja Chanda, para pengungsi Burma berusaha menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu digagalkan bangsa Arakandan mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara. Dengan demikian, sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan sejarah penting yang tercatat (S.W Cocks : 1919).43 Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di sini, Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab tetapi generasi Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma dijajah oleh Inggris (Maug tha Hla 2009 : 20-21). Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian tenggara Arakan di awal 1950an. 44 Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari Chittagong Timur Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat perang Inggris- Burma 1 berakhir (1824-1826). Ketiga, dalam skrip Ananda Chandra 42 Ibid. 43
Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Dalam Penyelesaian Kekerasan Etnis Muslim Rohingya Di Myanmar, Skripsi oleh Diah Nurhandayani Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, hal 21. 44 Ibid. hal 23.
27
dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi Tibeto-Burman Theraveda Buddhist ke kawasan Arakan. Dengan mengalahkan bala tentara Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal. Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas Hindu yang secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turki dan Asia Tengah yang mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam di Arakan. Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan melahirkan generasi masyarakat Rohingya. Lebih dari itu, data modern mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejak dekade ke-19 ketika pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan Bengal kekawasan Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah.45
B. PENGATURAN
MENGENAI
STATUS
KEWARGANEGARAAN
DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL Kewarganegaraan adalah ikatan hukum antara seseorang dengan suatu Negara. Kewarganegaraan memberikan orang sebuah identitas diri, namun yang 45
Ibid. hal 24.
28
lebih penting lagi, kewarganegaraan memungkinkan mereka memiliki dan menggunakan berbagai macam hak yang melekat didalamnya. Karenanya,
tidak
adanya
kewarganegaraan
atau
keadaan
tanpa
kewarganegaraan dapat membahayakan, dan bahkan dalam beberapa kasus dapat menghancurkan hidup orang-orang yang bersangkutan. Walaupun terdapat pengakuan internasional terhadap hak akan suatu kewarganegaraan, kasus-kasus baru keadaan tanpa kewarganegaraan terus meningkat. Mengatasi keadaan tanpa kewarganegaraan masih menjadi masalah besar di abad 21 ini. Diperkirakan saat ini terdapat 12 juta orang yang tidak berkewarganegaraan di seluruh dunia.46 Hubungan antara hukum internasional dengan hukum pengungsi internasional, terletak pada jenis lapangan hukumnya. Aturan-aturan yang bermacam-macam dapat digolongkan menjadi lapangan hukum tertentu. Khusus hukum pengungsi internasional, sama halnya seperti pembagian dalam lapanganlapangan hukum yang ada. Pembagian seperti telah dikemukakan di atas sering dikenal dengan pembagian hukum klasik.47 Status hukum seseorang yang mendiami suatu negara disebut dengan warga negara. Status warga negara perlu dipergunakan untuk keperluan serta melindungi setiap orang secara hukum. Nasionalitas atau kewarganegaraan merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Kewarganegaraan seseorang
46
UNHCR, “Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan: Konvensi 1954 tentang Status Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan”, 2010, hal 1. 47
Wagiman, S.Fil., S.H., M.H., Hukum Pengungsi Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal 34-35.
29
merupakan relasi yuridis yang terus menerus antara dua pihak, yaitu negara disatu sisi dengan warga negara pada sisi yang lain. Relasi itu mencakup serangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak. Setiap negara memiliki hak penuh untuk menentukan nasionalitas seseorang. Adapun instrumen internasional sebatas mengantisipasi relasi warga negara dengan warga negara lain atau negara dengan warga negara lain.Warga negara merupakan warga dari suatu negara. Seseorang disebut warga negara suatu negara atau bukan ditentukan oleh hukum positif dari masing-masing negara. Pada hakikatnya negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya. Namun pada kenyataannya seringkali terjadi negara tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya, yaitu memberikan perlindungan terhadap warga negaranya sebagaimana mestinya. Bahkan negara yang bersangkutan justru melakukan penindasan terhadap warga negaranya. Ketika negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu memberikan perlindungan terhadap warga negaranya seringkali terjadi seseorang mengalami penindasan yang serius atas hak-hak dasarnya, sehingga terpaksa harus meninggalkan negaranya serta mencari keselamatan di negara lain. Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar warganya akan diambil alih oleh masyarakat internasional. Masyarakat internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan guna menjamin dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati.48 48
Ibid hal 50-51.
30
Sejumlah besar instrumen internasional mengatur mengenai hak seseorang atas kewarganegaraan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 sendiri menyatakannya pada Pasal 15 yaitu bahwa "setiap orang memiliki hak untuk berkewarganegaraan", dan bahwa "tidak seorangpun dapat secara sewenangwenang dicabut kewarganegaraannya, atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya”.49
1.
Convention Relating to the Status of Stateless Persons Konvensi 1954 mengakui status hukum internasional “orang-orang tanpa
kewarganegaraan”.
Pasal
1
menetapkan
rumusan
bagi
orang
tanpa
kewarganegaraan dalam hukum internasional: “For the purpose of this Convention, the term “stateless person” means a person who is not considered as a national by any State under the operation of its law.”50 Berarti orang tanpa kewarganegaraan adalah “seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh Negara manapun dalam pelaksanaan hukum negara tersebut”. Rumusan ini sekarang juga diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Orang-orang yang memenuhi definisi ini berhak akan hak-hak dan kewajibankewajiban tertentu yang terdapat dalam Konvensi 1954. Konvensi ini tidak mencakup apa yang disebut orang-orang yang secara de facto tidak memiliki kewarganegaraan, yang mana tidak terdapat dalam rumusan yang diterima secara umum dalam hukum internasional. 49 50
Universal Declaration of Human Rights, Pasal 15 ayat (1) dan (2). Convention relating to the Status of Stateless Persons, Pasal 1.
31
Akan tetapi, orang-orang yang secara de facto tidak memiliki kewarganegaraan berhak akan perlindungan di bawah hukum hak-hak asasi manusia internasional. Para pengungsi tanpa kewarganegaraan tercakup dalam Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan harus diperlakukan sesuai dengan hukum pengungsi internasional.51 Konvensi 1954 menjamin hak akan bantuan administrasi kepada orangorang tanpa kewarganegaraan (administrative assistance), 52 suatu hak akan identitas diri (identity papers),53 dan dokumen perjalanan (travel documents),54 dan mengecualikan mereka dari persyaratan-persyaratan timbal balik (exemption from reciprocity)55. Konvensi ini menyatakan bahwa orang-orang tanpa kewarganegaraan dapat mempertahankan hak dan kebebasan mendasar tanpa diskriminasi (nondiscrimination). 56 Hak tersebut termasuk hak milik (movable and immovable property), 57 akses gratis ke pengadilan (access to courts), 58 akses terhadap pekerjaan (wage-earning employment), 59 perumahan setidaknya seperti yang diberikan kepada orang asing (housing), 60 dan pendidikan dasar dan bantuan publik setara dengan apa yang warga negara terima (public education).61
51
UNHCR, “Melindungi Hak-Hak Orang Tanpa Kewarganegaraan”, Op. Cit. hal 4. Convention Relating to the Status of Stateless Persons, Pasal 25 53 Ibid. Pasal 27. 54 Ibid. Pasal 28. 55 Ibid. Pasal 7. 56 Ibid. Pasal 3. 57 Ibid. Pasal 13. 58 Ibid. Pasal 16. 59 Ibid. Pasal 17. 60 Ibid. Pasal 21. 61 Ibid. Pasal 22. 52
32
Ketentuan-ketentuan yang diselaraskan ini dirancang untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
khusus
yang
dihadapi
oleh
orang-orang
tanpa
kewarganegaraan dikarenakan mereka tidak mempunyai kewarganegaraan manapun, misalnya dengan memberi mereka sebuah dokumen perjalanan yang diakui bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan yang berfungsi sebagai pengganti sebuah paspor. Hal-hal ini tidak diatur di manapun dalam hukum internasional namun berada di antara manfaat-manfaat hukum pokok untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan dalam Konvensi 1954.
2.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Hak atas kewarganegaraan tertulis pada Pasal 24 ICCPR yang
menetapkan:62 1. Every child shall have, without any discrimination as to race, colour, sex, language, religion, national or social origin, property or birth, the right to such measures of protection as are required by his status as a minor, on the part of his family, society and the State. 2. Every child shall be registered immediately after birth and shall have a name. 3. Every child has the right to acquire a nationality. Terjemahan pasal: 1.
2. 3.
Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi apapun dalam hal ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran, hak untuk langkah-langkah seperti perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai minor, pada bagian keluarganya, masyarakat dan negara. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memiliki nama. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
62
International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 24.
33
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah anak dari ketiadaan perlindungan negara karena anak tersebut tidak memiliki kewarganegaraan. Ketentuan ini tidak mengharuskan suatu negara untuk memberikan kewarganegaraannya untuk setiap anak yang lahir di wilayah negara tersebut. Namun, negara juga diminta untuk melakukan tindakan yang tepat, baik secara internal maupun bekerjasama dengan negara lain, untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kewarganegaraan ketika ia dilahirkan. Tidak ada diskriminasi sehubungan dengan akuisisi kewarganegaraan dalam hukum nasional negara tersebut baik untuk anak-anak sah, anak yang lahir diluar nikah, anak yang lahir dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan, maupun anak yang didasarkan oleh status kewarganegaraan salah satu atau kedua orang tua.63 3.
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) The Committee on Migrant Workers (CMW) terdiri dari 14 ahli
independen. Mereka bertugas mengawasi penerapan dari peraturan ICRMW. Termasuk salah satu dari badan perjanjian PBB yang paling terakhir terbentuk, komite ini mengadakan pertemuan pertama mereka pada bulan Maret 200464
63
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, “General Comment No. 17: Rights of the child (Art. 24) : . 07/04/1989. CCPR General Comment No. 17.” http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/cc0f1f8c391478b7c12563ed004b35e3?Opendocument, diakses 22 Juli 2015. 64 Claiming Human Rights: Guide to International Procedures Available in Cases of Human Rights Violations in Africa, “The Committee on Migrant Workers”, http://www.claiminghumanrights.org/icrmw.html, diakses 22 Juli 2015.
34
Hak-hak pekerja migran sebagaimana ditetapkan oleh konvensi ini dibagi menjadi dua kategori umum65: •
Hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya (Bagian III): berlaku untuk semua pekerja migran (kecuali pekerja yang ilegal)
•
Hak-hak tertentu pekerja migran dan anggota keluarganya (Bagian IV): hanya berlaku untuk pekerja migran dalam situasi biasa Terkandung dalam pasal 29 ICRMW: “Each child of a migrant worker shall have the right to a name, to registration of birth and to a nationality”66 Secara harafiah dijelaskan bahwa setiap anak dari pekerja migran memiliki
hak untuk mempunyai nama, untuk didaftarkan kelahirannya, dan atas kewarganegaraan.
4.
Convention on the Rights of the Child Perlindungan terhadap kewarganegaraan dalam konvensi ini dimulai sejak
kelahiran anak. Ketentuan mengenai hal ini dinyatakan pada Pasal 7 dan 8, sebagai berikut67: Article 7 1. The child shall be registered immediately after birth and shall have the right from birth to a name, the right to acquire a nationality and. as far as possible, the right to know and be cared for by his or her parents. 2. States Parties shall ensure the implementation of these rights in accordance with their national law and their obligations under the 65
Claiming Human Rights: Guide to International Procedures Available in Cases of Human Rights Violations in Africa, “ Protected Main Rights of The ICRMW”, http://www.claiminghumanrights.org/icrmw_protected_rights.html, diakses 22 Juli 2015. 66 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 1990, Pasal 29. 67 Convention on the Rights of the Child 1989, Pasal 7 dan 8.
35
relevant international instruments in this field, in particular where the child would otherwise be stateless. Article 8 1. States Parties undertake to respect the right of the child to preserve his or her identity, including nationality, name and family relations as recognized by law without unlawful interference. 2. Where a child is illegally deprived of some or all of the elements of his or her identity, States Parties shall provide appropriate assistance and protection, with a view to re-establishing speedily his or her identity. Sama halnya dengan International Covenant on Civil and Political Rights, Convention on the Rights of the Child 1989 juga memberikan ketentuan yang sama bahwa negara harus menjamin hak-hak ini untuk melindungi status kewarganegaraan anak.
5.
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment Pada Pasal 6 ayat 3 konvensi ini ditentukan bahwa: Article 6 (3): “Any person in custody pursuant to paragraph 1 of this article shall be assisted in communicating immediately with the nearest appropriate representative of the State of which he is a national, or, if he is a stateless person, with the representative of the State where he usually resides.” Terjemahan pasal: Pasal 6 ayat 3: “Setiap orang yang berada dalam ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini, harus dibantu untuk segera berkomunikasi dengan perwakilan terdekat dari negara dimana ia merupakan warga negara, atau, jika tidak memiliki kewarganegaraan, harus dibantu untuk berkomunikasi dengan perwakilan dari negara tempat ia biasanya berada.” Konvensi ini memberikan perlindungan yang sama baik kepada warga
negara tertentu maupun kepada orang tanpa kewarganegaraan, karena pada pasal
36
tersebut dijelaskan bahwa seseorang dapat dibantu melaporkan perlakuan atas tindakan yang dilarang dalam konvensi tersebut terhadapnya, kepada wakil dari negaranya yang berada pada negara tersebut, atau jika seseorang tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan, maka boleh melaporkannya kepada wakil dari negara ia biasa bertempat tinggal.68
6.
Convention on the Rights of Person with Disabilities Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum pada 13 Desember 2006 dan
mulai berlaku pada 3 May 2008. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi hak dan harga diri orang-orang penyandang cacat. Pihak dari perjanjian dituntut untuk mendukung, melindungi dan memastikan kenikmatan penuh atas hak asasi manusia untuk orang penyandang cacat dan memastikan mereka mendapatkan kesetaraan penuh dalam hukum. Article 18 - Liberty of movement and nationality 1. States Parties shall recognize the rights of persons with disabilities to liberty of movement, to freedom to choose their residence and to a nationality, on an equal basis with others, including by ensuring that persons with disabilities: (a) Have the right to acquire and change a nationality and are not deprived of their nationality arbitrarily or on the basis of disability; (b) Are not deprived, on the basis of disability, of their ability to obtain, possess and utilize documentation of their nationality or other documentation of identification, or to utilize relevant processes such as immigration proceedings, that may be needed to facilitate exercise of the right to liberty of movement; (c) Are free to leave any country, including their own; (d) Are not deprived, arbitrarily or on the basis of disability, of the right to enter their own country. 2. Children with disabilities shall be registered immediately after birth and shall have the right from birth to a name, the right to acquire a 68
Claiming Human Rights: Guide to International Procedures Available in Cases of Human Rights Violations in Africa, “ Definitions of the Right to a Nationality”, http://www.claiminghumanrights.org/nationality_definition.html, diakses pada 22 Juli 2015.
37
nationality and, as far as possible, the right to know and be cared for by their parents. Pasal tersebut diatas menuntut hak orang-orang penyandang cacat untuk mendapatkan kebebasan bergerak, kebebasan untuk memilih kependudukannya dan kewarganegaraannya, menerima dan merubah kewarganegaraannya dengan kapasitas yang sama dengan orang lain, dan juga mencegah penolakan atas dasar penyandang cacat. Anak-anak yang menyandang cacat juga dilindungi hak atas kewarganegaraannya dan juga hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tua mereka.
7.
Convention on the Nationality of Married Women Convention on The Nationality of Married Women
melindungi
kewarganegaraan wanita dalam hal kehilangan atau akuisisi kewarganegaraan oleh suaminya. Konvensi ini lahir karena status hukum wanita yang dikaitkan dengan pernikahan, hal ini membuat wanita bergantung pada kewarganegaraan suami mereka daripada wanita sebagai individu yang berdiri sendiri. Konvensi ini menjunjung
hak
wanita
untuk
dapat
mempertahankan
hak
atas
kewarganegaraannya sendiri tanpa memperhatikan status pernikahan.69 Ketentuan tersebut dituangkan pada Pasal 1, 2 dan 3, sebagai berikut: Article 1 Each Contracting State agrees that neither the celebration nor the dissolution of a marriage between one of its nationals and an alien, nor the change of nationality by the husband during marriage, shall automatically affect the nationality of the wife. Article 2 69
Convention on the Nationality of Married Women 1957
38
Each Contracting State agrees that neither the voluntary acquisition of the nationality of another State nor the renunciation of its nationality by one of its nationals shall prevent the retention of its nationality by the wife of such national. Article 3 1. Each Contracting State agrees that the alien wife of one of its nationals may, at herrequest, acquire the nationality of her husband through specially privileged naturalization procedures; the grant of such nationality may be subject to such limitations as may be imposed in the interests of national security or public policy. 2. Each Contracting State agrees that the present Convention shall not be construed asaffecting any legislation or judicial practice by which the alien wife of one of its nationals may, at her request, acquire her husband’s nationality as a matter of right. 8.
Convention on the Reduction of Statelessness Mulai berlaku sejak 19 Desember 1975, konvensi ini menguraikan
mekanisme UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) dalam menanggulangi dan mencegah masalah status tanpa kewarganegaraan. Konvensi 1961 menetapkan perlindungan terhadap status tanpa kewarganegaraan dalam beberapa konteks yang berbeda. Fokus utama dari Konvensi ini adalah pencegahan status tanpa kewarganegaraan pada saat kelahiran dengan mewajibkan Negara untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak yang lahir di wilayah mereka, atau dilahirkan oleh warga negara mereka yang berada di luar negeri, yang jika tidak diberikan akan menjadi orang tanpa kewarganegaraan. Untuk mencegah status tanpa kewarganegaraan dalam kasus tersebut, negara bisa memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak secara otomatis pada saat lahir atau setelahnya melalui permohonan. Konvensi ini selanjutnya berupaya untuk mencegah status tanpa
39
kewarganegaraan di kemudian hari dengan melarang penarikan atau pencabutan kewarganegaraan dari warga negara-baik melalui penurunan, penolakan, atau perampasan kewarganegaraan – yang ketika dilakukan akan menghasilkan status tanpa kewarganegaraan. Akhirnya, Konvensi ini menginstruksikan negara untuk menghindari status tanpa kewarganegaraan dalam konteks pengalihan wilayah.70
9.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Ditetapkan melalu Resolusi Majelis Umum 2106 (XX) 21 Desember 1969,
mulai berlaku pada 4 Januari 1969. Konvensi ini menuntut negara untuk menjamin hak setiap orang, tanpa membeda-bedakan warna kulit, ras, asal usul kebangsaan atau etnis untuk kesetaraan dalam hukum, dan menikmati hak-hak yang ada dengan sepenuhnya, seperti hak politik untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam pemilihan umum, termasuk juga hak atas kewarganegaraan yang termasuk dalam hak sipil yang dijamin pada konvensi ini. Ketentuan ini dituangkan pada pasal 1 dan 5 yang berbunyi: Article 1 1. In this Convention, the term “racial discrimination” shall mean any distinction, exclusion, restriction or preference based on race, colour, descent, or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life. 2. This Convention shall not apply to distinctions, exclusions, restrictions or preferences made by a State Party to this Convention between citizens and non-citizens. 3. Nothing in this Convention may be interpreted as affecting in any way the legal provisions of States Parties concerning nationality, citizenship 70
Introductory Note by the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, on the Text of the 1961 Convention on the Reduction of Statelessness
40
or naturalization, provided that such provisions do not discriminate against any particular nationality. Article 5 In compliance with the fundamental obligations laid down in article 2 of this Convention, States Parties undertake to prohibit and to eliminate racial discrimination in all its forms and to guarantee the right of everyone, without distinction as to race, colour, or national or ethnic origin, to equality before the law, notably in the enjoyment of the following rights: (c) Political rights, in particular the right to participate in elections – to vote and to stand for election – on the basis of universal and equal suffrage, to take part in the Government as well as in the conduct of public affairs at any level and to have equal access to public service; (d) Other civil rights, in particular: (...) (iii) The right to nationality; 10.
Convention on the Rights of the Child in Islam Kovenan ini menjamin hak kewarganegaraan untuk anak dan bahwa
negara pihak akan melakukan segala upaya untuk menyelesaikan masalah tanpa kewarganegaraan untuk setiap anak yang lahir di wilayah mereka atau kepada warga negara mereka diluar wilayah mereka. Ditetapkan pada Pasal 7 yang menyatakan: Article 7: Identity 1. A child shall, from birth, have right to a good name, to be registered with authorities concerned, to have his nationality determined and to know his/her parents, all his/her relatives and foster mother. 2. States Parties to the Covenant shall safeguard the elements of the child’s identity, including his/her name, nationality, and family relations in accordance with their domestic laws and shall make every effort to resolve the issue of statelessness for any child born on their territories or to any of their citizens outside their territory. 3. The child of unknown descent or who is legally assimilated to this status shall have the right to guardianship and care but without adoption. He shall have a right to a name, title and nationality.
11.
41
American Declaration of the Rights and Duties of Man Berbunyi hampir sama dengan konvensi-konvensi lain yang menjamin hak
seseorang untuk mendapatkan dan mengubah kewarganegaraan mereka, yang dinyatakan sebagai berikut pada Pasal 19:71 Article XIX “Every person has the right to the nationality to which he is entitled by law and to change it, if he so wishes, for the nationality of any other country that is willing to grant it to him.” 12.
American Convention on Human Rights Pasal 20 konvensi ini menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak atas
kewarganegaraan dari negara dimana mereka dilahirkan jika ia tidak memiliki kewarganegaraan dari negara lainnya. Ketentuan tersebut dapat mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan karena ketentuan dalam pasal tersebut tidak membedakan latar belakang kewarganegaraan orangtua dari seorang anak. Dinyatakan sebagai berikut: Article 1: Obligation to Respect Rights 1. The States Parties to this Convention undertake to respect the rights and freedoms recognized herein and to ensure to all persons subject to their jurisdiction the free and full exercise of those rights and freedoms, without any discrimination for reasons of race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, economic status, birth, or any other social condition. [...] Article 20: Right to Nationality 1. Every person has the right to a nationality. 2. Every person has the right to the nationality of the state in whose territory he was born if he does not have the right to any other nationality. 3. No one shall be arbitrarily deprived of his nationality or of the right to change it. 71
UNHCR, “Extracts Relating to Nationality and Statelessness From Selected Universal and Regional Human Rights instruments”, Last updated November 2009, hal 7.
13.
42
Commonwealth of Independent States Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms Mulai berlaku sejak 11 Agustus 1998, Pasal 24 konvensi ini menyatakan
bahwa semua orang berhak atas kewarganegaraan dan tidak ada orang yang dapat secara
sewenang-wenang
dicabut
kewarganegaraannya
atau
hak
untuk
merubahnya72 Article 24 1. Everyone shall have the right to citizenship. 2. No one shall be arbitrarily deprived of his citizenship or of the right to change it. 14.
Arab Charter on Human Rights Mulai berlaku sejak 22 May 2004, Arab Charter on Human Rights juga
menyebutkan tentang hak setiap orang atas kewarganegaraan, dan tentang pelarangan pencabutan kewarganegaraans secara semena-mena. Konvensi ini juga mengharuskan Negara-negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah yang mereka anggap tepat, sesuai dengan undang-undang domestik mereka mengenai kebangsaan, untuk memungkinkan anak untuk memperoleh kewarganegaraan ibu, dengan memperhatikan, dalam semua kasus, untuk kepentingan terbaik sang anak. Article 29 1. Everyone has the right to nationality. No one shall be arbitrarily or unlawfully deprived of his nationality. 2. States parties shall take such measures as they deem appropriate, in accordance with their domestic laws on nationality, to allow a child to acquire the mother’s nationality, having due regard, in all cases, to the best interests of the child. 3. No one shall be denied the right to acquire another nationality, having due regard for the domestic legal procedures in his country.
72
Ibid. hal 8.
43
Hukum internasional memberikan hak, kekuasaan, dan kewenangan kepada negara itu untuk mengatur objek yang bukan merupakan masalah domestik. Hukum internasional pula yang membatasinya. Secara garis besar, jenis-jenis yurisdiksi negara dapat ditinjau berdasarkan pada: (1) hak, kekuasaan, dan kewenangan untuk mengatur; (2) hak, kekuasaan, dan kewenangan atas objek yang diatur; (3) hak, kekuasaan, dan kewenangan atas tempat atau terjadinya objek yang diatur.73 Seperti halnya yurisdiksi kriminal, yurisdiksi sipil pun menyangkut hak atau yurisdiksi negara atas peristiwa hukum sipil yang terjadi di tempat tertentu. Dalam hal ini adalah peristiwa-peristiwa hukum sipil yang menyangkut aspek internasional sehingga pengaturan dan penyelesainnya pada tahap awal terletak pada hukum internasional. Jika menurut hukum internasional sudah jelas tentang negara yang memiliki yurisdiksi atas suatu peristiwa sipil tersebut, negara yang memiliki yurisdiksi itu akan menerapkan hukum nasionalnya atas peristiwa tersebut.74 Maksud peristiwa hukum sipil, untuk masa kini memang sukar untuk diberikan perumusan yang tegas dan pasti. Sama sukarnya dengan memberikan perumusan tentang hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Walaupun demikian, tidak berarti kita tidak perlu untuk membahas yurisdiksi sipil ini. Sebab, suatu peristiwa sipil agar diselesaikan dengan tuntas, harus dikembalikan di tiap-tiap negara. Untuk menentukan negara yang berwenang untuk menyelesaikannya, pastikan lebih dahulu negara yang memiliki yurisdiksi 73
Dedi Supriyadi, M.Ag, Hukum Internasional Dari Konsepsi Sampai Aplikasi (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal 133. 74 Ibid. hal 144.
44
sipil atas peristiwa hukum sipil tersebut. Dalam hal ini, hukum internasional berperan mengaturnya atau memberikan petunjuk dan penyelesaian.75 Secara umum, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC (International Law Comission) menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui rancangan artikel yang dibuat oleh ILC. Dengan demikian, meskipun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai konvensi, ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), yang berisi: Article 38 (1): The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Terjemahan pasal: Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan hukum internasional sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya, akan berlaku: 75
Ibid. hal 145.
45
a. konvensi internasional, baik umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui oleh negara-negara yang bersengketa; b. kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai bukti dari pada sesuatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. prinsip-prinsip hukum umum yang telah diterima sebagai hukum; d. tunduk pada ketentuan pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaranajaran sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara-negara, sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum. Praktik tersebut akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur pertanggung jawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.76 Dengan semakin meningkatnya jumlah dan jenis orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat kediaman atau negara mereka karena adanya peristiwa-peristiwa dalam negeri, menyebabkan jenis orang yang mendapat bantuan dan perlindungan dari UNHCR telah berkembang melebihi apa yang telah ditetapkan dalam Statuta UNHCR itu sendiri.77 Tanggapan yang responsif dari masyarakat internasional tercermin dalam resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc) Perserikatan Bangsa-Bangsa misalnya terhadap beberapa kasus pengungsi Afrika yang terjadi di tahun 1960-an. Membanjirnya pengungsi Afrika ini sebagai akibat timbulnya konlfik bersenjata dalam negeri pada negara-negara di Afrika. Sehingga memerlukan suatu pendekan yang sedikit pragmatis dalam menentukan status pengungsi.
76
Ibid. hal 165-166. Achmad Romsan ,SH., MH., LL.M., dkk., UNHCR Pengantar Hukum pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, (Bandung, Sanic Offset 2003) hal 46. 77
46
Perkembangan lain lagi adalah apa yang disebut dengan istilah “displaced persons” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan orang-orang yang terlantar karena adanya huru hara, ataupun kejadian lainnya sehingga terjadinya migrasi atau perpindahan penduduk secara besar-besaran. Tentu saja orang-orang yang dikategorikan dalam pengertian displaced persons tidak dijumpai dalam definisi pengungsi yang terdapat dalam statuta UNHCR.78 UNHCR berfungsi tidak saja memberikan perlindungan dan bantuan terhadap para pengungsi yang melintasi batas wilayah negara mereka, tetapi juga terhadap mereka yang ingin pulang secara suka rela (returnees) ke negaranya. Disini UNHCR telah diminta oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tetap melanjutkan kerja kemanusiaan sebagai bagian dari operasi repatriasi sukarela.79
C. EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR Berita tentang Muslim Rohingya timbul menyusul konflik sektarian yang terjadi antara etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Penyebab konflik itu sendiri tak begitu jelas. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa kerusuhan itu merupakan buntut peristiwa perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei 2012. Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya. 78 Ibid. hal 47. 79
Ibid. hal 48.
47
Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan rasial di Rakhine pun meluas. Sebenarnya konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine kerap terjadi sejak puluhan tahun silam. Apa sebenarnya akar masalahnya? Salah satu akar konflik menahun itu adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat tiadanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan.80 Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu. Akar konflik yang lain adalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus 80
Anonim, “Mengenal Etnis Rohingya Dari Sudut Pandang Sejarah”, http://www.untukku.com/berita-untukku/mengenal-etnis-rohingya-dari-sudut-pandang-sejarahuntukku.html, diakses 24 Juli 2015.
48
meningkat. Tentu saja, hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap kerikil dalam sepatu, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini.81 Sejatinya Rohingya tidak tepat disebut “etnis” karena kata itu merupakan label politis yang digunakan untuk memperjuangkan keberadaan kelompok tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan Myanmar mengatakan bahwa nama Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an, setelah kemerdekaan Myanmar. Lalu, siapa sebenarnya mereka? Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara.82
81 82
Ibid. Ibid.
49
Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434). Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal. Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sektor agraris. Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah mulai timbul konflik dengan penduduk local yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Bertambahnya jumlah penduduk migrant membuat penduduk lokal khawatir. Konflik yang terjadi antara kaum minoritas Rohingya dengan etnik-etnik lain serta Pemerintah Myanmar merupakan kelanjutan dari sentimen kebangsaan yang berakar dari sejarah kelam mereka. Sehingga, pertikaiannya bukan hanya karena perbedaan warna kulit, bahasa dan kepercayaan semata, namun berasal
50
dari kompleksitas permasalahan yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan begitu saja. 83 Dari perspektif historis, permasalahan Rohingya memiliki persamaan dengan kasus genocide di Rwanda pada tahun 1994. Belgia yang menjajah Rwanda sebelum kemerdekaannya menerapkan kebijakan sistem pemisahan penduduk terhadap dua kaum yang mendiami negeri tersebut: yaitu kaum Hutu dan kaum Tutsi. Kaum Hutu merupakan bangsa asli Rwanda namun memiliki strata sosial lebih rendah. Sedangkan kaum Tutsi merupakan pendatang dari Afrika Timur, memiliki strata social yang lebih tinggi dan menguasai hampir 90% perekonomian Rwanda. Kebijakan pemisahan ini pada akhirnya menimbulkan sentiment akut disertai pembantaian (Genocide) yang dilakukan oleh kaum Hutu terhadap kaum Tutsi. Kaum Hutu bermaksud menguasai Rwanda dari pengaruh kaum Tutsi.84 Perbedaan kasus Rwanda dan Myanmar adalah Pemerintah Belgia di Rwanda dengan sengaja menciptakan sistem pemisahan penduduk terhadap kaum pribumi sehingga akan mudah bagi pemerintah jajahan untuk mengatur dan mengelola tanah jajahannya. Sedangkan yang terjadi di Myanmar adalah British meninggalkan Myanmar setelah perang dunia kedua dengan terpaksa melepaskan beberapa tanah jajahannya kepada kaum nationalis tanpa memberikan legalitas perlindungan kepada kaum Rohingya yang banyak membantu British pada perang 83
M. Hafeza, “Rohingya: Warga Negara Tanpa Negara”, https://maxtroman.wordpress.com/2012/10/31/rohingya-warga-negara-tanpa-negara/, diakses 24 Juli 2015. 84 Ibid.
51
dunia kedua. Hal ini semakin memberi konstribusi yang besar terhadap krisis kemanusiaan kaum Rohingya hingga sekarang ini. Permasalahan Rohingya sedemikian kompleks, sehingga pemecahannya bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari titik pangkalnya. Demokratisasi yang mulai dilakukan junta militer tahun 2010, berhasil membuka tabir tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Myanmar kepada dunia luar. Isu-isu berkaitan HAM Rohingya baru akhir-akhir ini diketahui oleh masyarakat internasional setelah maraknya pemberitaan mengenai kondisi kamp-kamp pengungsian Rohingya yang memprihatinkan di perbatasan Bangladesh dan Thailand. Para sejarawan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Saat itu Daulah al-Khilafah menjadi negara terbesar di dunia selama beberapa abad. Islam mulai menyebar di seluruh Birma ketika mereka melihat kebesaran, kebenaran, dan keadilannya. Kaum Muslimin memerintah propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad antara tahun 1430 hingga tahun 1784 M.
Penderitaan Muslim di sana mulai terjadi saat
penjajah kerajaan Budha maupun kolonialis Inggris menjajah negeri itu.85
85
Ibid.