Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2016, hal. 62-71 Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi
IDENTITAS DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI: BANTUAN KEMANUSIAAN TURKI KEPADA ETNIS ROHINGYA PASCA KONFLIK KOMUNAL MYANMAR TAHUN 2012-2015 Ringgo Febriar Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269 Website: http://www.fisip.undip.ac.id Email:
[email protected] Abstract The flow of Rohingya refugee from Myanmar to some neighboring countries was initially overlooked by ASEAN member states. Yet, Turkey which is not a member of ASEAN had committed to help out Rohingya refugee by giving humanitarian aid. This research seeks to explain the impact of Muslim identity on Turkish foreign policy by using constructivist approach. This research employed qualitative research through which the data was collected both by primary and secondary sources. This research concluded that Muslim identity does not determine Turkish humanitarian aid towards Rohingya refugees but rather universal moral and humanitarian values. Keywords:
Turkish foreign policy, humanitarian aid, constructivist, Rohingya, Muslim identity
1. Pendahuluan Pada bulan Juni 2012, terjadi kerusuhan antara warga Myanmar beragama Buddha dengan etnis Rohingya beragama Muslim yang menyebabkan 200 warga Muslim Rohingya tewas dan ribuan kehilangan tempat tinggal. Konflik ini dipicu oleh isu yang beredar seputar pemerkosaan dan pembunuhan terhadap wanita muda yang beragama Buddha oleh salah satu warga Muslim Rohingya. Konflik yang menewaskan ratusan jiwa tersebut menyebabkan pemerintah Myanmar mengeluarkan pernyataan bahwa negara dalam keadaan darurat dengan memberikan kendali atas kasus etnis Rohingya kepada pihak militer yang berujung pada eksodus etnis Muslim Rohingya ke negara tetangga seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia (BBC, 2012). Kapal yang pertama kali menuju ke wilayah ASEAN menepi di wilayah perairan Thailand, tepatnya pada bulan Mei 2015. Namun Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha memberikan alasannya tersendiri untuk tidak menampung para pengungsi. Dia mengungkapkan bahwa Thailand tidak punya cukup dana dan sumber daya tenaga untuk menampung para pengungsi dan tidak ingin dengan masuknya para pengungsi Rohingya menjadi awal bagi masuknya pengungsi-pengungsi dari negara lain untuk masuk ke wilayah Thailand (The Guardian, 2015). Namun atas desakan dari masyarakat internasional, pemerintah Thailand pun memberikan bantuan dengan menurunkan sejumlah anggota militernya untuk membantu memperbaiki kapal yang rusak dan memberi pengarahan kepada beberapa imigran tentang
62
pengoperasian kapal. Salah satu kapal yang berisi 350 penumpang yang mayoritas adalah warga muslim Rohingya ditemukan di selatan perairan Thailand tanpa awak kapal. Keadaan di dalam kapal pun sangat memprihatinkan, mengingat mereka ditinggal oleh awak kapal tanpa persediaan minuman serta makanan yang mengakibatkan paling tidak 10 orang tewas selama perjalanan (BBC, 2015). Sama halnya dengan yang terjadi di Thailand, sebagian dari kapal yang menuju ke Indonesia ternyata mendapat respon yang kurang baik dari pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari keputusan yang diambil Presiden Jokowi untuk menimbang terlebih dahulu apakah negara lain seperti Thailand dan Malaysia juga akan melakukan hal yang sama apabila Indonesia menampung para pengungsi Rohingya. Pernyataan penolakan juga muncul dari Juru Bicara Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI), Fuad Basya yang tidak memberikan ijin masuk untuk kapal asing untuk berlabuh diperairan Indonesia (CNN, 2015). Setelah sebelumnya sempat ditolak kehadirannya di Indonesia, akhirnya melalui Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menyetujui pihaknya untuk menerima para imigran yang berada di wilayah perairan Indonesia. Kebijakan tersebut tercapai setelah diadakan pertemuan dari perwakilan tiap tiap negara bersama dengan dua negara lain seperti Malaysia dan Thailand. Ia mengatakan: 1.300 Rohingya dan Bangladesh mendarat di pantai Sumatera Utara itu kami rawat dengan baik, kami beri makanan. Yang sakit kami obati. Hari ini Deputi Sekjen PBB Jan Ellisson menelepon Dirjen Multilateral kita untuk menyampaikan apresiasi atas kemurahan hati pemerintah Indonesia karena telah menerima pengungsi Rohingya dan Bangladesh (Tempo, 2015). Dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia dalam hal ini serius untuk membantu para imigran muslim Rohingya yang berada di wilayah perairan Indonesia dan berkomitmen untuk memberikan fasilitas yang dibutuhkan para imigran. Respon pemerintah Malaysia terhadap masuknya para imigran pada awalnya hampir serupa dengan pernyataan perwakilan negara lain seperti Thailand dan Indonesia yaitu menolak. Hal ini terlihat ketika Wakil Menteri Dalam Negeri Wan Junaidi Jafaar mengatakan “We cannot welcome them here, if we continue to welcome them then hundreds of thousands will come from Myanmar and Bangladesh. If the boat is still good and can sail back, we give them food, and drink and fuel and send them back”(CNN, 2015). Pernyataan tersebut mengindikasikan keengganan pemerintah Malaysia untuk menerima kehadiran para imigran di negaranya. Atas desakan masyarakat Internasional, kesepakatan oleh ketiga negara ASEAN yakni: Indonesia, Thailand, dan Malaysia terkait penampungan imigran Rohingya dan Bangladesh akhirnya tercapai setelah dilakukan pertemuan di Putra Jaya, Malaysia pada tanggal 20 Mei 2015. Beberapa keputusan penting yang akan diterapkan oleh ketiga negara tersebut tercapai. Pertama, mencari akar permasalahan dan faktor yang menyebabkan eksodus yang dilakukan oleh warga etnis muslim Rohingya bisa terjadi. Selagi mengidentifikasi permasalahan ini, ketiga negara akan tetap memberikan bantuan. Kedua, Malaysia, Indonesia, Thailand akan tetap bertanggung jawab dan memberikan bantuanbantuan kemanusiaan kepada imigran sesuai dengan hukum internasional yang diselaraskan dengan hukum nasional yang berlaku di tiap-tiap negara. Langkah nyatanya Indonesia dan Malaysia membangun pengungsian sementara (shelter) yang hanya akan berlaku satu tahun bagi 7000 pengungsi (The New York Times, 2015). Melihat hal ini, dunia internasional tergerak untuk memberikan bantuan. Salah satu negara yang peduli dengan nasib warga Rohingya adalah Turki. Pada tahun 2012,
63
Pemerintah Turki melalui perdana menteri Ahmet Davutoglu memberikan bantuan terhadap etnis muslim Rohingya sebesar 3,4 juta lira Turki atau sekitar 16 miliar rupiah yang dianggap sebagai bantuan luar negeri pertama untuk para migran Islam Rohingya yang bermigrasi untuk mencari bantuan ke negara lain melewati perjalanan laut. Pemerintah Turki juga mengirimkan delegasinya menuju kamp pengungsian untuk bertemu dan memberikan bantuan langsung berupa makanan bagi 1500 migran Rohingya yang dipimpin oleh istri Perdana Mentri, Emine Erdoğan (Today’s Zaman, 2012). Dalam menjelaskan kepentingan negara melalui pendekatan realis, seharusnya negara melindungi warga negaranya sendiri dalam setiap pengambilan kebijakannya seperti yang diungkapkan oleh Machiavelli (dikutip dalam Janice Leung, 2000:3), bahwa negara harus bertindak sesuai dengan apa yang dianggap menguntungkan negaranya, kepentingan domestik harus selalu didahulukan sebelum kepentingan luar negeri. Anggapan lain juga muncul dari salah satu tokoh penting realis Hans Morgenthau yang mengatakan ‘’Nonetheless, realist characteristically give primary emphasis to egoistic passions and the tragic presence of evil in all political actions’’ (Morgenthau 1946: 203). Dapat diartikan bahwa pendekatan realis menggambarkan negara dalam setiap pengambilan tindakan politiknya menitik beratkan pada self-interest dan egoistis. Namun dalam kasus kebijakan Turki dalam isu Rohingya, pemerintah Turki berkomitmen dalam memberikan bantuan kepada muslim Rohingya. Turki menawarkan kepada Indonesia dan Malaysia untuk membangun permukiman sementara layak huni. Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu dalam pertemuan ke-42 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Kuwait mengatakan ”Turkey will help the two countries about building settlement centers and provide material and technical support for infrastructure’’ (TRT World, 2015). Jika asumsi Realis benar, maka Turki seharusnya hanya membela warga negaranya sendiri. Namun faktanya, tidak ada satupun warga Turki dalam kapal yang ditumpangi oleh kurang lebih 1000 warga Myanmar dan Bangladesh. 2. Pembahasan Identitas negara dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan sebuah negara. Konstruktivisme beranggapan bahwa identitas adalah entitas yang terkonstruksi secara sosial yang dapat mempengaruhi sebuah negara dalam bertindak dan menentukan sikap terhadap ligkungan internasional. Hal ini dapat dijelaskan bahwa suatu tindakan akan didasari pada sebuah kepentingan apakah negara akan mempertahankan, memodifikasi, atau merubah identitasnya (Rosyidin, 2015: 48-51). Keterlibatan sebuah negara terhadap suatu agama dapat dilihat dari beberapa kriteria yang nantinya dapat dikaitkan dengan sebuah identitas. Pertama, konstitusi sebuah negara mengakui satu agama. Kedua, negara memfasilitasi dan membiayai pembangunan tempat ibadah serta pemimpin umat sebuah agama. Ketiga, sistem hukum yang berlaku di sebuah negara menggunakan sistem hukum agama. Keempat, sekolah negeri menerapkan ajaran agama terhadap muridnya (Cesari, 2014). Empat hal diatas bisa menjadi dasar identifikasi ciri-ciri negara yang merujuk kepada salah satu agama, dalam hal ini identitas Turki sebagai negara Muslim. Pada poin pertama memang bertolak belakang dengan Turki yang tidak hanya mengakui satu agama saja melainkan menghormati pemeluk agama lain mengingat Turki menerapkan ideologi sekulerisme. Namun pada poin kedua, ketiga, dan keempat sangat sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Erdogan dibawah partai politik berbasis Islam AKP. Pada tahun 2014 Turki dipimpin oleh ketua dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) bernama Recep Tayyip Erdogan yang mana juga pernah menjabat sebagai mantan Perdana Menteri Turki. Pada masa pemerintahannya terlihat jelas identitas Muslim yang
64
coba dibangun oleh Erdogan melalui beberapa perubahan kebijakan, salah satunya adalah mengganti penggunaan bahasa Latin yang diajarkan pada masa pemerintahan Ataturk dengan bahasa Arab. Ia mengatakan: “Our jugular vein was ripped” (Fulford, 2015). Dalam hal ini ia menggunakan perumpaan atas ungkapan bahwa nilai-nilai asli yang dimiliki Turki pada masa Ottoman sudah hilang, dalam hal ini adalah penggunaan bahasa. Dalam bidang pendidikan khususnya jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), Erdogan berencana untuk menerapkan jam pelajaran tambahan agama Islam selama satu jam dalam satu minggu. Pada jenjang yang lebih tinggi, ia berencana untuk mengkonversi universitas Istanbul menjadi pusat pembelajaran Islam serta akan membangun masjid di 80 universitas yang tersebar di Turki. Jumlah murid yang bersekolah di pendidikan berbasis Islam pun meningkat drastis paska partai AKP mengambil alih pemerintahan, sejumlah murid tercatat sudah terdaftar di berbagai sekolah yang memungkinkan anak usia 10 hingga 18 mengikuti kelas penjurusan imam hatips. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 90% yang pada mulanya murid hanya berjumlah 493, sekarang mencapai 936 orang (Fulford, 2015). Hal ini tercantum pada konstitusi Turki pada artikel nomor 24 yang mana menyebutkan bahwa: “Education and instruction in religion and ethics shall be counducted under state supervision and control. Instruction in religious culture and moral education shall be compulsory in the curricula of primary and secondary school (reffered to Islamic values). Otrher religious education and instruction shall be subject to individual’s own desire and in the case of minor to the request to their legal representatitves” (Cesari, 2014: 88). Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Erdogan mengambil penuh kebijakannya terhadap sistem pendidikan agama dan moral yang berbasis Islam yang diterapkan kepada siswa strata pertama dan kedua. Tidak hanya melalui pernyataan Presiden saja, namun Menteri Luar Negeri Turki Ahmed Davutoglu juga mengungkapkan pentingnya Islam bagi Turki: “In Islamic political theory … it is ‘almost impossible to find a political justification without reference to absolute sovereignty of Allah”. Secara langsung Davutoglu menyatakan bahwa segala kebijakan terkait politik Islam Turki harus sesuai dengan ajaran-ajaran Allah (Edelman dkk, 2013: 26). Selain itu Davutoglu juga menganggap bahwa: “(Turkey) the natural heir to the Ottoman Empire that once unified the Muslim world and therefore has the potential to become a trans-regional power that helps to once again unify and lead the Muslim world”. Ia yakin bahwa Turki memiliki kemampuan untuk menyatukan kekuatan regional dan memimpin dunia Muslim dalam masyarakat internasional (Edelman dkk, 2013: 28). Identitas Turki sebagai negara Muslim dapat dilihat dari mayoritas penduduknya yang hampir 70-75% menganut ajaran Islam Sunni. Selain aspek agama sebagai representasi dari identitas sebuah negara, ada beberapa penjelasan lainnya menurut Yavuz:“Identity is a frame of reference within which both social and political environment is recognizable and discernible... The definition of national interest and discourses of identity change along with changes in government policy and the political elites” (Gulay, 2014: 193).Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa identitas sebuah negara tercerminkan dari lingkungan sosial dan politik negara itu sendiri. Identitas dalam hal ini berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah serta para elit politik yang memiliki kekuasaan di sebuah negara. Apabila terjadi perubahan kebijakan oleh para pemerintah, maka identitas sebuah negara pun menyesuaikan, begitupun dengan sebaliknya.
65
Wendt (1994: 385) beranggapan bahwa negara merupakan unit analisis yang penting bagi fenomena hubungan internasional, struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif ketimbang material, identitas dan kepentingan negara membangun struktur sosial. Wendt ingin memberikan pandangan yang lain mengenai struktur sosial yang tidak hanya dibentuk oleh nilai-nilai materil saja, melainkan adanya peran nilai nonmateril (ide) dalam hal ini identitas yang dapat menciptakan struktur sosial (kebijakan). Dalam penelitian terkait bantuan kemanusiaan Turki kepada etnis Rohingya ini akan menggunakan identitas tipe (Type Identity). Identitas ini terbentuk ketika seorang aktor melakukan interaksi dengan aktor lain melalui proses yang berulang ulang (intersubyektivitas) yang akan menciptakan definisi siapa ‘’Self’’ dan siapa ‘’Other’’ berdasarkan pada karakteristik yang ditunjukkan oleh masing masing aktor. Karakteristik tersebut pada akhirnya merujuk aktor pada sebuah golongan atau kelompok tertentu sesuai “nilai-nilai sosial” yang sudah ditetapkan oleh golongan maupun kelompok tertentu (Behravesh, 2011). Dalam penelitian ini, konstruktivisme mencoba menjelaskan hubungan antara identitas dengan pengambilan kebijakan sebuah negara. Identitas adalah variabel independen yang dapat membentuk kepentingan, tindakan, atau bahkan dalam pengambilan kebijakan luar negeri sebuah negara. Wendt (dalam Yucel Bozdaglioglu, 2007: 128) beranggapan bahwa agen dan struktur dapat saling mempengaruhi melalui hubungan intersubyektivitas yang berdasarkan pada kepentingan, ide dan norma. Identitas membantu sebuah negara untuk mengetahui siapa dan apa aktor (negara) itu sendiri, yang nantinya akan memunculkan perilaku sebuah negara terhadap negara lain. Sedangkan kepentingan berguna untuk menjelaskan apa yang diinginkan oleh negara tersebut. Pengertian kepentingan menurut Wendt (dalam Behravesh, 2011): “Presuppose identities because an actor cannot know what it wants until it knows who it is, and since identities have varying degrees of cultural content so will interests”. Berdasarkan dari pernyataan Wendt diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah negara tidak akan tahu apa yang akan dilakukan negara itu sendiri sebelum sebuah negara mengenal identitas negaranya sendiri. Identitas Turki sebagai negara Islam terlihat melalui karakter yang ditunjukkannya melalui komitmen terhadap etnis Muslim Rohingya dalam memberikan bantuan kemanusiaan.Hal ini terbukti ketika pada tahun 2012 pasca konflik internal di Myanmar yang menyebabkan etnis Rohingya harus mencari bantuan ke negara lain, Turki memberikan bantuan uang sebesar 3,4 juta lira yang berhasil dikumpulkan melalui Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Turki melalui penggalangan dana masal. Tidak hanya bantuan berupa uang, pemerintah Turki yang diwakilkan oleh Istri Presiden, Emine Erdogan, turun langsung memberikan bantuan kebutuhan pokok seperti makanan ke daerah kamp-kamp yang dihuni oleh kurang lebih 1500 migran Rohingya (Today’s Zaman, 2012). Pemerintah Turki melalui Menteri Luar Negerinya, Mevlüt Çavuşoğlumenunjukkan komitmennya terhadap kasus ini dengan menyatakan: “Turkey offered help with the issue and will continue its support’’ (ditujukan kepada etnis Rohingya) (Hurriyet Daily News, 2015). Dengan pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah Turki memiliki simpati dan berjanji akan terus memberikan bantuannya terhadap para muslim Rohingya. Profesor Mohamad Abdalla dari Universitas Griffith tidak sepenuhnya membenarkan faktor agama menjadi salah satu kebijakan pemberian bantuan terhadap etnis Rohingya. Ia mengatakan: “Turkey’s Attitude toward Rohingya Muslims will depend on multiple factors including, but not limited to their Islamic values. A host of geopolitical factors, internally and externally, determine Turkey’s attitudes toward the Rohingya
66
Muslims” (Wawancara dengan Mohammad Abdalla, 13/01/2016). Dapat disimpulkan bahwa agama bukan menjadi faktor yang mendasari sikap Turki terhadap muslim di Rohingya, namun ada faktor lain seperti faktor internal dan eksternal, serta geografis. Namun ia belom bisa memberi penjelasan lebih lanjut terkait bagaimana faktor-faktor diatas bisa mempengaruhi kebijakan Turki terhadap etnis Rohingya. Dosen Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jogjakarta, mengatakan ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi pemberian bantuan bagi etnis Rohingya diluar kesamaan agama. Dari hasil wawancara tersebut menghasilkan beberapa jawaban terkait peran identitas dalam kebijakan bantuan kemanusiaan kepada etnis Rohingya. Ia mengatakan bahwa bantuan yang diberikan terhadap negara-negara muslim (termasuk Rohingya) oleh pemerintahan Presiden Tayyip Erdogan tidak berdasarkan identitas sesama Muslim. Namun menurutnya Erdogan ingin “memanusiakan manusia” tanpa melihat asal-usul serta etnis apa yang akan diberikan bantuan terlihat dari bagaimana Erdogan memberikan bantuan tidak hanya kepada sesama umat muslim saja, contohnya ketika Turki dibawah pemerintahan Erdogan memberikan bantuan kepada pengungsi Suriah, Afghanistan, dan Irak. Dimana Irak bagian utara provinsi Sulaiymaniah adalah basis penduduk beragama Kristen (Wawancara dengan Harmiyati, 10/09/2015). Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil Erdogan terkait bantuannya terhadap Rohingya bukan karena faktor agama, namun dibalik itu ada rencana yang ingin dicapai oleh pemerintahan Erdogan dibawah partai AKP untuk mengembalikan kejayaan Ottoman dengan cara politik hegemoni yang positif, terlihat dari kebijakan Erdogan untuk menerapkan nilai-nilai Islam di beberapa bidang (Wawancara dengan Harmiyati, 10/09/2015). Pendapat berbeda disampaikan oleh Noor (2015) bahwa kebijakan Turki untuk membantu Rohingya bukanlah hal yang baru dikarenakan pada kasus bencana alam Tsunami yang menimpa Aceh pada tahun 2004, Turki ikut turun membantu warga Aceh. Noor masih melihat faktor yang melatarbelakangi tindakan bantuan Turki ke Rohingya sama dengan apa yang dilakukan Turki terhadap Aceh, yakni Turki sedang menjalankan politik “Soft Power” untuk menjunjung tinggi perdamaian di dunia. Keuntungan yang akan didapatkan oleh Turki dengan menjalankan politik “Soft Power” ini adalah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dan membentuk citra negara Turki sebagai negara cinta perdamaian. Bantuan kemanusiaan yang dilakukan Turki hanya berdasarkan nilai kemanusiaan semata seperti apa yang telah disampaikan Datuvoglu (RSIS, 2015). Sejak tahun 2012 sebenarnya Myanmar sudah menjadi fokus bagi pemerintah Turki, terbukti dengan dibukanya Kedutaan Besar Turki pada Maret 2012. Inisiatif bantuan Turki terhadap etnis Rohingya melalui Organization of Islam Cooperation (OIC) dilihat Öztürk berdasarkan pada kepentingan politik negara Turki. OIC berperan dalam menekan pemerintah Myanmar untuk menjalankan proses rekonsiliasi, memberikan tempat yang layak bagi para etnis Rohingya, serta mendukung pengembangan ekonomi jangka panjang di wilayah tertentu. Semua tindakan yang dilakukan oleh Turki dengan bantuan OIC berujung pada keinginan Sekretaris Jenderal OIC Ihsanoglu untuk membuka kantor cabang di Myanmar, meskipun pada akhirnya ditolak oleh warga Buddha. Dari inisiatif tersebut,Öztürk menyimpulkan bahwa kepentingan Turki membantu etnis Rohingya adalah kepentingan politik untuk mempermudah akses Turki masuk ke Myanmar (The SISP, 2013). Binder dan Erten (2013) melakukan wawancara dengan salah satu pejabat resmi yang bertempat di Ankara, narasumber menyebutkan: “Turkey helps (to Rohingya) where need arises, but need is not enough to determine an allocation, the donation must also further Turkey’s relation with the specific country in line with our foreign policy
67
interests”. Hal ini dapat disimpulkan bahwa bantuan Turki tidak memandang dari negara mana korban berasal dan kapanpun ada yang membutuhkan Turki siap membantu, namun harus tetap selaras dengan kebijakan luar negeri Turki (Binder & Erten, 2013:11). Kunjungan Davutoglu bersama istri Erdogan menuju ke Rohingya merupakan suatu usaha pembentukan citra Turki sebagai kekuatan Islam. Turki ingin membangkitkan kembali kejayaan Ottoman dengan mencitrakan dirinya sebagai pemimpin negara Islam untuk membantu sesama kaum Muslim yang membutuhkan. Kekuatan kebijakan luar negeri Turki serta diplomasi yang ditujukan terhadap sesama Muslim secara tidak langsung menjelaskan kebijakan yang diambil berdasarkan pada moral keislaman (AlGhazzi & Kraidy, 2013). Menteri Luar Negeri Turki Davutoglu meyakinkan bahwa kebijakan Turki dalam memberikan bantuannya terhadap Rohingya berdasarkan pada perspektif kemanusiaan. Turki menerapkan diplomasi kemanusiaan (Humanitarian Diplomacy) yakni diplomasi yang tidak hanya sekedar memberikan bantuan kemanusiaan semata, melainkan menggunakan kepemilikan kekuasaan (Power) dan kepekaan hati nurani (Conscience). Ia mengatakan bahwa: “Our reason for doing all this is not to intervene in the internal affairs of a country (reffered to Myanmar), but rather to uphold universal humanitarian values by clearly presenting Turkey’s humanitarian diplomacy perspective”. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa bantuan yang diberikan kepada Rohingya memang berdasarkan kepada nilai kemanusiaan yang universal, tanpa memandang identitas aktor maupun negara manapun (Davutoglu, 2013). Dalam konferensi perwakilan negara yang digelar pada tahun 2012, perwakilan Turki memaparkan dasar kebijakan Humanitarian Diplomacy sebagai: “Humanitarian diplomacy reflects the compassionate and competent character of the Republic of Turkey and depicts the human oriented nature of our foreign policy which merges our interests with our values. Turkish foreign policy takes human dignity as a point of reference and remains determined to use all its means and capabilities in this direction. In this regard and in light of the historical transformation taking place in our immediate neighborhood, the deliberations in the Conference has confirmed the need for Turkey to continue to implement humanitarian diplomacy in an effective and decisive way in a broad geography stretching from Syria to Afghanistan and Myanmar to Somalia in the forthcoming period. … It was also confirmed that Turkey cannot be indifferent to the developments taking place in the southern and northern basins of the Mediterranean, with which it enjoys special ties stemming from history”(Hasimi, 2014). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar kebijakan Humanitarian Diplomacy Turki adalah menjunjung tinggi martabat manusia. Kompetensi dan keseriusan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang ditunjukkan oleh Turki dengan membantu negaranegara seperti: Myanmar, Syria, Afghanistan dan Somalia. Implementasi dari Humanitarian Diplomacy Turki dapat melalui sektor pemerintah, non-pemerintah, maupun privat. Dari sektor pemerintah, Turki sebagai negara donor memberikan bantuan pembangunan resmi atau Official Development Assistence (ODA) kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan terkait kasus kemanusiaan termasuk dampak konflik di Myanmar. Sebanyak 51,6% anggaran ditujukan untuk pendaan bantuan kemanusiaan, 22,3% ditujukan untuk bantuan infrastruktur sosial, 17,8%. untuk beragam permasalahan lainnya, sedangkan sisanya untuk bantuan ekonomi bagi pembangunan
68
infrastruktur seperti transportasi dan tempat penampungan (Hausmann & Lundsgaarde, 2015). Dari sektor non-pemerintah, Turki bekerja sama dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) untuk memberikan bantuan kemanusiaan terhadap Myanmar. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu: “The OIC head, myself and other friends have expressed [to Myanmar top officials] that we appreciate the new democracy experience of Myanmar and the latest reforms the country introduced in this regard. However, we [told them] that as this situation of Rohingya Muslims has been deteriorating, not improving, since our visit to the country in 2012, precautions should swiftly be taken to improve the situation. We underlined that the OIC is ready to offer all kinds of support and I proposed the layout of an action plan to the OIC head [in this regard]”(Today’s Zaman, 2013). Pernyataan yang diungkapkan oleh Davutoglu mengindikasikan komitmen Turki bersama dengan Organisasi Kerja Sama Islam untuk memberikan bantuan terhadap etnis nuslim Rohingya dan menyatakan siap untuk menyusun rencana-rencana pemberian bantuan. Implementasi Humanitarian Diplomacy dari kerjasama Turki dengan Organisasi Kerja Sama Islam disampaikan langsung oleh Davutoglu dengan mengatakan: “[The action plan] includes easing the psychological tension between the societal [groups], delivering humanitarian aid [to Rohingya Muslims] as soon as possible, setting up a dialogue mechanism between the OIC and Myanmar, and one of the embassies in Myanmar -- probably our embassy -- to work as a contact point” (Today’s Zaman, 2013). Pemerintah Turki berencana untuk meredakan konflik antar kelompok yang sedang terjadi Myanmar, memberikan bantuan kemanusiaan secepat mungkin, dan sedang melakukan pembicaraan terkait pembukaan kantor kedutaan besar yang diharapkan berfungsi sebagai penghubung antara Turki dan Myanmar. 3. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa identitas Turki sebagai negara Muslim tidak mempengaruhi Turki untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada etnis Rohingya. Meskipun pada awalnya ada beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Presiden dan perwakilan negara Turki lainnya mengenai pentingnya menolong sesama Muslim, tidak lantas dapat disimpulkan bahwa bantuan tersebut diberikan atas dasar persamaan identitas. Dari beberapa narasumber menyebutkan bahwa faktor kemanusiaanlah yang mendasari kebijakan Turki untuk memberikan bantuan kepada etnis Rohingya, kesimpulan ini diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu melalui jurnal yang ditulisnya tentang kebijakan bantuan kemanusiaan Turki.Faktor-faktor lain dibalik bantuan kemanusiaan Turki beragam seperti kepentingan Turki dalam menjalankan politik “Soft Power” guna mengembalikan kejayaan Ottoman dengan memberikan bantuan kepada sesama Muslim, pembentukan citra Turki sebagai negara Islam yang cinta perdamaian, hegemoni positif di wilayah ASEAN, dan menjalin kepentingan politik Turki dengan Myanmar. Penelitian ini mengajukan beberapa saran bagi penelitian selanjutnya. Pertama, lakukan teknik wawancara secara lebih mendalam dengan narasumber yang memiliki
69
kompetensi mengenai Turki yang akan semakin baik dalam menyimpulkan faktor apa yang mendasari kebijakan Turki terkait bantuan terhadap Rohingya. Kedua, penelitian selanjutnya dapat menggunakan paradigma bantuan kemanusiaan (humanitarian diplomacy) yang berguna untuk menyelaraskan antara nilai kemanusiaan dengan kepentingan politik supaya tidak terjadi tumpang tindih diantara keduanya dalam menyikapi bantuan Turki terhadap Rohingya. Ketiga, penelitian selanjutnya dapat menggunakan Presiden Turki Erdogan serta partai AKP sebagai obyek penelitian. Penelitian mendalam dapat dilakukan dengan mengetahui latar belakang dan otobiografi Presiden Erdogan serta partai AKP yang sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri Turki. Daftar Pustaka Buku/Jurnal: Bozdaglioglu, Yuvez. 2004. Turkish Foreign Policy and Turkish Identity: A Constructivist Approach. New York: Routledge. Cesari, Jocelyine. 2014. The Awakening of Muslim Democracy: Religion, Modernity and the States.New York: Cambridge University Press. Gulay, Ozturk. 2012. Handbook of Research on the Impact of Culture and Society on the Entertainment Industry. United States of America: IGI Global. Leung, Janice. 2000. “Machiavelli and International Relations Theory”. Glendon Journal of International Studies.1 (1) : 3-12. Rosyidin, Mohamad. 2014. The Power Of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Tiara Wacana. Wendt, Alexander. 1995. “Constructing International Politics”. International Security. 20 (1) : 71-81. Wendt, Alexander. 1995. “Constructing International Politics”. International Security. 20 (1) : 71-81. Internet: BBC. 2014. Why is there communal violence in Myanmar?. http://www.bbc.com diakses tanggal 3 November 2015. BBC. 2015. Bangladeshi boat migrants doomed from the start. http://www.bbc.com diakses tanggal 28 Oktober 2015. BBC. 2015. Indonesia, Malaysia siap tampung pengungsi dengan syarat. http://www.bbc.com/ diakses tanggal 6 November 2015. BBC. 2015. The perilous journey of a migrant boat that made it. http://www.bbc.com/ diakses tanggal 1 November 2015. BBC. 2015. Why are so many Rohingya migrants stranded at sea?. http://www.bbc.com/ diakses tanggal 5 Juni 2015. Behravesh, Maysam. 2011.“The Thrust of Wendtian Constructivism”. http://www.eir.info/ diakses tanggal 7 Juni 2015. Binder, Andrea and Ceyda Erten. 2013. ”From dwarf to giant – Turkey’s contemporary humanitarian assistance”. file:///C:/Users/Ringgo/Downloads/binder-erten-2013-event-turkey-humanitarianperspectives.pdf diakses tanggal 22 Januari 2016. CNN. 2015. Bangladesh Pindahkan Kamp Imigran Rohingya ke Pulau Terpencil. http://www.cnnindonesia.com/ diakses tanggal 19 November 2015. CNN. 2015. Migrant boat, out of fuel, refused entry to Indonesia, official says. http://edition.cnn.com/ diakses tanggal 10 Juni 2015.
70
CNN. 2015. We will send Rohingya back, says Malaysia, amid calls to rescue migrants. http://edition.cnn.com/ diakses tanggal 10 Juni 2015. Edelman dkk, 2013. “The Roots of Turkish Conduct: Understanding the Evolution of Turkish Policy in the Middle East”. http://www.silkroadstudies.org diakses tanggal 11 Januari 2016. Hausmann.,Jeannine., Erik Lundsgaarde. 2015. “Turkey’s Role in Development Cooperation”. http://ssc.undp.org/ diakses tanggal 25 Januari 2016. Hurriyet Daily. 2015. Turkish FM says Ankara would have sheltered Rohingya. http://www.hurriyetdailynews.com/ diakses tanggal 9 Juni 2015. New York Times. 2014. Myanmar Policy’s Message to Muslims: Get Out. http://www.nytimes.com/ diakses tanggal 2 Oktober 2015. New York Times. 2015. Joint Statement on the Asian Migrant Crisis. http://www.nytimes.com/ diakses tanggal 10 November 2015. Noor, Farish A. 2015. “Rohingya Refugees: Turks to the Rescue”. https://www.rsis.edu.sg/ diakses tanggal 22 Januari 2016. Ozturk, Burcu. 2013. “The Role of Religion In Turkish Foreign Policy: The Case of Relations Between Turkey and Organization of Islamic Cooperation (OIC)”. http://www.sisp.it/ diakses tanggal 22 Januari 2016. Tempo. 2015. Menteri Retno Bantah Indonesia Tolak Pengungsi Rohingya. http://dunia.tempo.co/ diakses tanggal 2 November 2015. Tempo. 2015. Thailand Dirikan Kamp Sementara untuk Pengungsi Rohingya. http://dunia.tempo.co/ diakses tanggal 3 November 2015. The Guardian. 2015. Malaysia and Thailand turn away hundreds on migrant boats. http://www.theguardian.com/ diakses tanggal 10 Juni 2015. Today’s Zaman. 2013. Davutoğlu proposes OIC action plan for Rohingya Muslims. http://www.todayszaman.com/ diakses tanggal 25 Januari 2016. Today’s Zaman. 2012. PM’s wife, Davutoğlu deliver Turkish aid to Rohingya Muslims.http://www.todayszaman.com/ diakses tanggal 7 Juni 2015. Today’s Zaman. 2012. Turkey extends helping hand to Rohingya Muslims.http://www.todayszaman.com/ diakses tanggal 8 Juni 2015. TRT World, 2015. Turkey offers help for Rohingya Muslims. http://beta.trtworld.com/ diakses tanggal 11 Juni 2015.
71