Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013 Dikara Maitri Pradipta Alkarisya – xxxxxxxx Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang internasionalisasi konflik etnis Darfur yang kembali terjadi pada tahun 2003 hingga 2013. Internasionalisasi merupakan sebuah proses dari perubahan konflik etnis yang semakin meluas cakupan dan aktornya. Beberapa indikator untuk melihat apakah konflik etnis tersebut terinternasionalisasi adalah adanya difusi, eskalasi, dan adanya intervensi baik dari PBB dan beberapa negara yang berkepentingan di Darfur seperti Libya dan Cina. Kehadiran Cina dan Libya pun memberikan perubahan domestik Sudan dalam konflik Darfur. Libya membawa kepentingan nasionalnya karena adanya keinginan membentuk Arab Legion. Sementara itu, Cina menginginkan minyak di Sudan sekaligus membantu Sudan dalam memberikan pasokan senjata yang digunakan untuk menyerang warga Darfur. Sehingga lewat penelitian terhadap uji indikator tersebut, penulis sepakat bahwa konflik Darfur telah menjadi konflik yang sudah memasuki skala internasional. Penelitian ini menghasilkan bahwa konflik etnis Darfur bukan lagi konflik berskala domestik, melainkan berskala internasional. Kata kunci: Konflik Etnis, Internasionalisasi, Difusi, Eskalasi, Intervensi. This research studied about the internationalization of the Darfur ethnic conflict that occurred back in 2003 to 2013. Internationalization is a process of change in the ethnic conflict and the expanding scope of actors. Some of the indicators to see whether the internationalization of ethnic conflict occurs is the presence of diffusion, escalation, and intervention from both the UN and some countries that have an interest in Darfur such as Libya and China. The presence of China and Libya also provides domestic change in Sudan in the Darfur conflict. Libyan bring their national interest because of its desire to form the Arab League. Meanwhile, China wants Sudan's oil while helping Sudan in supplying weapons used to attack the people of Darfur. So through research to test these indicators, the authors agree that the Darfur conflict has been a conflict that has entered the international scale. This research also found that ethnic conflict is no longer the Darfur conflict domestic scale, but international. Keywords: Ethnic Conflict, Internationalization , Diffusion, Escalationn , Intervention.
979
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Darfur merupakan sebuah provinsi yang terletak di sebelah Barat Sudan yang berbatasan langsung dengan Chad dan Afrika Tengah. Ketiga negara tersebut merupakan kawasan yang tidak stabil domestiknya. Berhasil merdeka dari penjajahan bukanlah suatu pencapaian akhir bagi suatu negara. Kemerdekaan adalah langkah awal bagi pemerintah untuk melunasi janji sebelum kemerdekaan, yakni memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Pasca kolonialisasi Inggris dan Mesir, Sudan masih berada dalam kondisi yang belum stabil. Hal ini dikarenakan konflik etnis yang tak kunjung selesai, bahkan Sudan tidak dapat menjaga keutuhan wilayahnya. Hal ini terlihat dari keinginan rakyat Sudan Selatan untuk memisahkan diri menjadi suatu negara baru. Meski Sudan Selatan telah menjadi negara baru, ketegangan konflik internal Sudan sendiri belum berakhir. Ialah Darfur yang merupakan suatu provinsi yang terletak di Sudan Barat. Perselisihan etnis Fur terjadi dengan etnis Arab yang memiliki kebiasan hidup nomaden, atau suka berpindah-pindah tempat tinggal. Kebiasaan hidup berpindah-pindah ini merupakan kebiasaan bagi sejumlah kecil etnis Arab. Kelompok Arab Darfur terkenal sebagai kelompok yang miskin dan tidak memiliki daratan tetap untuk tinggal. Seorang Syeikh yang paling dihormati oleh etnis Arab Darfur mengatakan bahwa hidup nomaden merupakan cara etnis Arab untuk hidup dan menjaga eksistensi mereka sebagai suatu kelompok etnis, terutama mencegah dari kepunahan. Awal mula konflik etnis Darfur dimulai sejak kehadiran bangsa Arab di Darfur. Bangsa Arab memilih Darfur karena wilayah ini dianggap subur dan memiliki air bersih. Akhirnya bangsa Arab yang selalu hidup berpindah-pindah, memutuskan untuk menetap di Darfur. Pertanian yang subur di Darfur memang menarik kaum nomaden untuk tinggal. Akan tetapi, kehadiran mereka menghasilkan gesekan antar etnis, terutama bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani. Gesekan sosial tersebut membuat Darfur mengalami penurunan dalam bidang pertanian dan kestabilan ekologi yang terganggu. Hal ini pun berdampak pada pembangunan di seluruh wilayah dan membuat kemiskinan bagi seluruh masyarakat Darfur. Faktanya, Darfur memiliki 36 suku yang terbagi menjadi 90 klan atau sub-divisi. Konflik etnis Darfur terbagi menjadi dua kubu yaitu Arab dan non-Arab yang disebut sebagai zurga atau hitam. Konflik antara etnis Arab dan golongan zurga sudah terjadi sejak tahun 1970 dan semakin memburuk ditahun 1980-an. Konflik yang semakin memburuk disebabkan karena absennya peran pemerintah untuk bertindak tegas dengan membuat peraturan yang harus dipatuhi oleh dua kubu. Konflik etnis Darfur yang tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah Sudan akhirnya kian meluas ke seluruh kawasan Darfur. “... several
980
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
times when closely linked tribes did not help ethnically related groups in localised conflicts and attributes this restraint to the prevalence of coexistence values in Darfur until the late 1980s.” Tahun 1980-an menjadi tahun yang penting bagi tahapan terjadinya konflik etnis Darfur. Tahapan-tahapan tersebut antara lain, (1) kekeringan dan kelaparan, (2) lahirnya ideologi Arab supremacism yang dipromosikan oleh perkumpulan Arab, dan (3) perang antara Arab dan Fur pada tahun 1987 hingga 1989 yang menjadikan konflik etnis Darfur sebagai krisis kemanusiaan terburuk di Afrika. Pemberontakan Darfur menyita perhatian berbagai kalangan karena kekejaman dan kerusakan yang diakibatkannya sangat parah. Terutama pada pemberontakan ketiga yang lebih banyak menimbulkan penderitaan. Pemberontakan ketiga terjadi sejak tahun 2003 dan beberapa etnis seperti Fur, Zaghawa, dan Masalit tergabung kedalam kubu anti pemerintah Sudan. Pemberontakan tahun 2003 mengakibatkan korban yang tewas berjumlah 300.000 orang, sekitar 1,8 juta penduduk mengungsi, dan 2800 desa dihancurkan. Dua kelompok besar pemberontakan yakni Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM) memilih untuk bekerjasama karena kedua pihak merasakan adanya diskriminasi dari pemerintah Sudan. SLA dan JEM merasa pemerintah Sudan lebih berpihak untuk melindungi bangsa Arab. SLA melakukan pergerakan pada tahun 2003 untuk memperjuangkan nasib masyarakat Darfur untuk mendapat otonomi bagi kawasannya. Sejarahnya, SLA mendorong kelahiran JEM yang juga merupakan kelompok pemberontak. Sejak awal kemunculan kedua pergerakan anti pemerintah ini, pemerintah Sudan mengabaikan eksistensi mereka. Namun, pada bulan April 2003, kedua grup melakukan penyerangan yang paling besar melawan pemerintah Sudan yaitu dengan cara menyerang bandara el Fasher dan menghancurkan lusinan pesawat militer. JEM dan SLA juga melakukan penculikan terhadap seorang jenderal dari angkatan udara Sudan. Menganggapi aksi pemberontak, Presiden Sudan, Omar Al Bashir, justru mengambil langkah militer untuk menumpas para pemberontak yang didukung oleh Janjaweed. Aksi genosida yang dilakukan Presiden Bashir bersama etnis Arab, yang merupakan kelompok minoritas di Darfur, semakin mengancam hak-hak kelompok masyarakat berkulit hitam. Genosida di Darfur adalah hal yang tidak bisa diabaikan karena menjadi bukti dari kegagalan pemerintah Sudan untuk mengelola ekonomi, politik, dan kondisi sosial yang efektif. Pemerintah Sudan justru mengacu kepada paradigma yang menjadikan perbedaan ras sebagai sebuah masalah dan sikap tersebut adalah ciri dari negara yang gagal. Pemerintah Sudan telah kehilangan legitimasi untuk mengelola negara dan hanya mendapat dukungan dari etnis Arab dan kelompok masyarakat penganut Islam. Ironisnya, amanat dari Presiden Bashir
Jurnal Analisis HI, September 20
981
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
untuk melawan kelompok pemberontak justru menimbulkan korban dari kalangan masyarakat sipil. Serangan yang dilakukan oleh kelompok militer Janjaweed terhadap pemberontak Darfur tidaklah seimbang karena lawan mereka tidak memiliki persenjataan yang canggih seperti yang dimiliki tentara Janjaweed. Pemerintah Sudan dianggap lebih berpihak pada etnis Arab dan justru bekerjasama melakukan genosida terhadap etnis lainnya. Sejak tahun 2006 hingga 2007, PBB melakukan investigasi mengenai kekejaman pemerintah Sudan dibawah Bashir terhadap masyarakat sipil Darfur. Fakta-fakta yang diperoleh PBB baik secara langsung melihat kekejaman tentara Janjaweed dan mendengar cerita akan penderitaan rakyat Darfur, PBB segera mengirimkan bantuan bagi para warga untuk berlindung. Ditambah lagi, PBB mendapat data mengenai jumlah korban yang sangat tinggi pada tahun 2003 hingga 2004. “... the deaths peaked from September 2003 and May 2004, subsiding substantially afterward principally because Khartoum’s couterinsurgency strategy had been succesful in destroying the base of rebel operations in the villages; the humanitarian aid agencies had arrived to provide services to those displaced; and Khartoum may have felt more pressure from international community as a result of its murderous tactics.”
Sumber Gambar Grafik Jumlah Korban Darfur pada tahun 2003 dan 2004 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun – tahun setelahnya:
982
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Andrew S. Natsios, “Sudan, South Sudan, & Darfur What Everyone Needs To Know”, Oxford University Press, New York. 2012, hal. 151. Penyebab Terjadinya Internasionalisasi Konflik Darfur Difusi dan Eskalasi Konflik Etnis Faktor pertama adalah difusi dan eskalasi konflik etnis. Kedua hal ini dapat terjadi bersamaan dalam suatu konflik etnis dan mempunyai variabel yang saling terikat. Terjadinya difusi dan eskalasi didorong oleh security dilemma pada etnis. Maksud dari security dilemma adalah adanya perasaan tidak aman akan kekuatan etnis lain dan etnis yang merasa terancam tersebut berupaya meningkatkan kekuatannya. Beberapa hal yang mendorong terjadinya difusi dan eskalasi adalah pertama, melemahnya struktur institusional negara; kedua, adanya perubahan dalam keseimbangan kekuatan etnis yang menjadi sumber potensial terjadinya kompetisi dalam melakukan pembagian kesejahteraan sosial, ekonomi, dan politik; dan ketiga adalah tingkat ekonomi, sosial, dan integrasi budaya dalam sistem global dan regional.
Jennifer Giroux, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation of Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis States Working Papers Series No.2, LSE Destin Development Studies Group, hal.2, 2009. Tersedia: http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf (diakses pada: 18 Juni 2014). Difusi Konflik Etnis Darfur ke Chad
Jurnal Analisis HI, September 20
983
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Jennifer Giroux, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation of Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis States Working Papers Series No.2, LSE Destin Development Studies Group, hal. 3, 2009. Tersedia: http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf (diakses pada: 18 Juni 2014). Jika melihat peta diatas, Sudan, Chad, dan Afrika Tengah adalah negara yang berbatasan langsung. Jennifer Giroux dan kawan-kawan menyebutnya sebagai ‘segitiga berbahaya’ atau tormented triangle. Konflik domestik yang terjadi di tiga negara sudah memberikan perubahan pada keamanan regional. Namun, terjadinya eskalasi dan difusi konflik etnis Darfur memberikan efek bahaya yang lebih besar. Chad dan Sudan adalah negara yang menjadi tempat tinggal etnis Zaghawa. Sebagai suatu etnis, mereka tentunya memiliki ikatan keluarga. Sementara di Darfur sendiri juga didominasi oleh etnis Zaghwa, Fur, dan Masalit. Ketiga etnis tersebut bekerjasama untuk menggulingkan pemerintahan Bashir yang akhirnya menjadi konflik etnis Darfur. Keikutsertaan etnis Zaghawa Chad dalam konflik etnis Darfur pun tidak dapat dipungkiri. Apalagi sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Sudan, terutama wilayah Darfur, ikatan diantara Chad dan Darfur semakin erat dalam mewujudkan kepentingan mereka. Akan tetapi, hubungan antara Chad dan Sudan mempunyai dinamika yang tidak jelas. Terkadang kedua negara memiliki hubungan yang baik, namun dapat pula berubah menjadi kondisi yang tidak harmonis.
984
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Ikatan Etnis Zaghawa Sebagai etnis yang menentang aksi Janjaweed, Zaghawa bersama etnis yang berasal dari Darfur membentuk JEM. Presiden Deby berasal dari etnis yang sama dengan mayoritas anggota JEM, yakni Zaghawa. Akan tetapi, Presiden Deby mendapat tekanan dari pemerintah Sudan untuk memberikan dukungan terhadap aksi pembasmian etnis Zaghawa di Darfur. Di sisi lain, Presiden Deby sangat membutuhkan dukungan etnis Zaghawa di Chad untuk kelangsungan kepemimpinannya. Akhirnya, di tahun 2005, Presiden Deby memutuskan untuk tidak bekerjasama dengan Presiden Bashir dan menentang segala aksi yang berkaitan dengan pembantaian etnis-etnis di Darfur. Presiden Bashir pun membantu kelompok pemberontak Darfur. Yang menarik dari keputusan yang telah diambil Presiden Deby adalah sebelum tahun 2005, Presiden Deby adalah rekan setia Sudan. Pemerintahan Chad tidak pernah memberikan bantuan kepada pemberontak Darfur meskipun kelompok pemberontak telah mengajukan permintaan sejak awal tahun 1990. Akan tetapi, aksi SLA dan JEM menggunakan sejumlah kota di Chad sebagai basis dan merekrut pasukan pemberontak di kalangan Chadian Republican Guard, yang merupakan tonggak keamanan bagi Chad. SLA dan JEM juga meminta dukungan kepada etnis Zaghawa atau yang disebut juga sebagai etnis Beri, yang berada di Chad, termasuk masyarakat yang dekat dengan pemerintah Chad. Laju Pengungsi Darfur ke Chad Laju pengungsi Darfur ke Chad adalah salah satu faktor dari rangkaian proses terjadinya regionalisasi konflik di kawasan Afrika. Tahun 2003 menjadi tahun terjadinya kembali konflik etnis Darfur dan menyita perhatian internasional untuk memberikan perlindungan bagi empat juta penduduk yang berada dalam situasi berbahaya. Apalagi ketika aksi genosida di Darfur kerap memberikan ancaman bagi masyarakat sipil, para pengungsi tak enggan meninggalkan rumah mereka. Tentara Janjaweed menimbulkan ketakutan bagi masyarakat sipil Darfur, terutama bagi wanita. Selain genosida, kasus pemerkosaan pun juga marak terjadi. Anak laki-laki menjadi buruan tentara Janjaweed untuk direkrut menjadi pasukan Janjaweed. Ironisnya, tentara Janjaweed tak enggan membunuh warga sipil hingga jumlah korban yang terbunuh akibat genosida pada tahun 2006 mencapai angka 200.000 korban. Sementara itu, dari tahun 2003 hingga 2007, konflik etnis Darfur telah memakan korban sebanyak 400.000 nyawa. Mayoritas para pengungsi tinggal di kawasan perbatasan Darfur dan Chad. Menurut data dari United Nations High Comissioner for Refugees (UNHCR), hingga tahun 2013, jumlah pengungsi dari Darfur ke Chad
Jurnal Analisis HI, September 20
985
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
berjumlah 352.900 dan menetap di 12 titik Chad Timur. UNHCR juga mengatakan bahwa sekitar 2.5 juta penduduk Darfur dipindahkan dari rumahnya pada bulan Januari hingga Juni tahun 2013. Jumlah pengungsi dari Darfur diprediksi akan terus bertambah. Apalagi kondisi Darfur semakin membahayakan bagi masyarakat. Pada tahun 2008, lokasi yang menjadi penyebaran para pengungsi dan mendapat bantuan dari UNHCR antara lain, Lokasi pengungsian Oure Cassoni Iridimi Touloum Am Nabak Mile Kounongo Amlayouna Baga Bredjing Treguine Djabal Goz Amer
Jumlah pengungsi 28.125 18.384 23.262 16.705 16.254 13.669 18.172 20.026 30.170 15.838 15.681 20.365
Sumber data: UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern Chad”, 2008. Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25 Juni 2014).
Sumber data: UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern Chad”, 2008. Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25 Juni 2014).
986
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Diagram diatas merupakan prosentase jumlah penyebaran pengungsi Darfur di sejumlah pengungsian di Chad. Bredjing menjadi markas pengungsi yang paling banyak disinggahi oleh masyarakat Darfur hingga tahun 2008. Konflik N’Djamena Hubungan antara Presiden Bashir dan Presiden Deby semakin memburuk seiring dengan laju pengungsi Darfur ke Chad serta adanya bantuan senjata dari pemerintah Chad ke pemberontak Darfur dan bantuan senjata dari pemerintah Sudan kepada pemberontak Chad. Sejak tahun 2006, serangan ke Chad dan upaya untuk menciptakan perdamaian terus terjadi. pada tanggal 8 Februari 2006, perjanjian perdamaian antara Chad dan Sudan disepakati di Libya. Namun, perjanjian perdamaian tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan. Serangan kembali terjadi pada bulan Oktober tahun 2006, Desa Dajo yang terletak di Dar Sila, Chad, mendapat serangan dari tentara Janjaweed dan pemberontak Chad. Sebelumya, kawasan tersebut dikuasai oleh pemerintah Chad dan pemberontak Darfur. Penyerangan ini menjadi bukti bahwa difusi konflik etnis Darfur telah terjadi. Puncak dari difusi konflik etnis Darfur terjadi pada tahun 2008 khususnya pada tanggal 28 Januari hingga 3 Februari, terjadi serangan koalisi dari pemberontak Chad, FUC. Serangan di N’Djamena, ibukota Chad, merupakan rangkaian proses penyerangan konflik regional yang berkaitan dengan krisis di Darfur yang menjalar ke Chad dan Afrika Tengah. Konflik yang menyebar di kedua negara ini juga disebut sebagai konflik genosida seperti yang terjadi di Darfur. Dalam proses penyerangan ke N’Djamena, pemerintah Chad mendapat dukungan dari kelompok pemberontak Darfur, terutama JEM. Pada tanggal 31 Januari, kelompok oposisi Chad melakukan penyerangan kembali ke N’Djamena selama dua hari dan menjadi pertarungan yang sangat berbahaya. Sekitar 700 warga sipil terbunuh dan ratusan lainnya mengalami luka. Kemudian, sebanyak 50.000 masyarakat Chad memilih untuk melarikan diri ke Kamerun. Begitu pula kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan semakin marak terjadi di N’Djamena. Pada tanggal 13 Maret 2008, kesepakatan perdamaian kembali dibentuk untuk mencegah konflik Chad dan Sudan yang semakin besar.
Eskalasi Konflik Etnis Darfur di Chad dan Afrika Tengah Yang dimaksud dengan eskalasi konflik adalah keterlibatan kelompok lain karena sengaja atau tidak sengaja terlibat yang terdorong karena adanya peluang atau kesempatan. Terciptanya peluang tersebut bisa dikarenakan melemahnya pusat pemerintahan negara. Sama seperti
Jurnal Analisis HI, September 20
987
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
difusi, ikatan etnis menjadi motivasi utama untuk mendorong keterlibatan dalam suatu konflik etnis. Sikap solidaritas bagi sesama etnis di negara lain disebut sebagai ethnopolitik. Jika ethnopolitik ini terjadi maka pergerakan etnis tersebut akan melakukan lintas batas negara. Randolph Siverson dan Harvey Starr menjelaskan bahwa negara yang terlibat dalam eskalasi konflik tidak akan mempedulikan batas negara dan keinginan untuk hadir kawasan yang terlibat konflik sebagai aliansi. Apalagi jika lemahnya aktor pemerintahan dalam melawan gerakan pemberontak. “It is is surmised that this escalation toward subgroupism stems mainly from incapacity of both domestic and international systems to confront and resolve these increasingly significant and critical issues.” Bentuk eskalasi yang terlihat berbeda dengan difusi adalah bahwa eskalasi tidak hanya semata konflik terjadi di negara lain. Namun, bentuknya berupa konflik antar negara yang dapat dilihat melalui proses terjadinya. Proses tersebut adalah adanya penyebaran konflik di negara lain diikuti dengan kelompok etnis pemberontak dapat melakukan pelatihan militer di teritori negara lain yang juga terlibat konflik, tanpa sepengetahuan pemerintah pusat negara pemberontak. Keller menjelaskan bahwa hal ini dapat menyebabkan ketegangan antar kedua negara karena adanya tuduhan satu sama lain karena memberikan bantuan kepada kelompok pemberontak. Selain memberikan pelatihan militer, bantuan dapat pula berupa bantuan senjata dan memberikan dana bagi kelompok militer. Konflik etnis Darfur akhirnya semakin meluas di Chad pada tahun 2006. Kedua pihak pemerintah saling menuduh satu sama lain mengenai dukungan yang diberikan kepada pihak pemberontak. Sementara itu pihak pemberontak Chad yang dipimpin Mahamat Nouri semakin melebarkan pengaruhnya dan menyatukan dukungan dengan kelompok pemberontak Chad lainnya. Dukungan pemerintah Sudan pun tak lepas dari aksi pemberontakan kelompok militan Chad. Pada tanggal 22 Oktober 2006, gerakan pemberontak Chad ini mengambil alih kekuasaan di Goz Beida yang merupakan ibukota dari wilayah Dar Sila yang terletak di Chad bagian tenggara. Di tanggal 23 Oktober, mereka kembali mengambil alih Am Timan, ibukota dari kawasan Salamat. Kemudian setelah menguasi daerah tersebut, Mahamat Nouri dan kelompok pemberontaknya kembali ke pemerintah Sudan. Hal ini menunjukkan loyalitas kelompok pemberontak Chad kepada pemerintah Sudan karena telah menyuplai senjata pada setiap aksi yang dilakukan. Janjaweed juga melakukan perekrutan tentara pemberontak dari etnis Arab Chad, terutama bagi rakyat yang tidak memiliki suara dalam aktivitas yang diselenggarakan pemerintah Chad. Pada bulan Mei 2009, kelompok pemberontak Chad kembali mendapat bantuan dari pemerintah Sudan untuk menyerang kawasan Timur Laut Chad. Bantuan yang diberikan berupa persenjataan, tentara sebanyak 600 orang, dan kendaraan sebanyak 50 hingga 60 buah.
988
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Intervensi Pihak Ketiga di Konflik Etnis Darfur Pasukan Keamanan Uni Afrika Tentara Uni Afrika yang dikirim ke Darfur disebut dengan AMIS (African Mission in the Sudan). Akan tetapi, kemampuan Uni Afrika untuk mencapai target perdamaian bergantung kepada kemampuannya untuk memobilisasi kemauan politik negara anggota. Oleh karena itu, proses politik di dalam organisasi menjadi hal yang sangat penting bagi kelangsungan perdamaian. Upaya pertama kali yang dilakukan AMIS adalah dengan mengirimkan 80 tentara untuk melakukan pengamatan yand dikoordinir oleh Darfur Integrated Task Force yang bermarkas di kantor pusat Uni Afrika, Addis Ababa. Sedangkan markas AMIS di Darfur terletak di El Fasher. AMIS bukanlah misi yang hanya disponsori oleh Uni Afrika saja, melainkan organisasi internasional lainnya seperti PBB, Uni Eropa, NATO (North Atlantic Treaty Organization), bahkan negara-negara seperti Jepang dan Korea juga ikut mendukung. Beberapa negara yang mengirimkan tentaranya untuk pertama kali dalam misi AMIS antara lain, Gambia, Kenya, Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, dan Senegal. Negara-negara tersebut dikelompokkan menjadi Troop Contributing Countries (TCC). Selain TCC, adapula yang disebut dengan The Civilian Police Contributing Countries, yang terdiri dari Kamerun, Gambia, Mauritania, Nigeria, Afrika Selatan, dan Zambia. Sayangnya, misi AMIS tidak berjalan dengan lancar karena adanya hambatan seperti kekerasan melawan masyarakat sipil. Apalagi jika melihat mandat AMIS yang terbatas karena kurangnya kapasitas dan sumber daya yang tidak memadai. Oleh karena itu, Uni Afrika sangat membutuhkan kekuatan dan bantuan yang lebih besar dalam mengatasi konflik di Darfur. Mandat Uni Afrika yang sangat lemah dalam mengawasi krisis kemanusiaan dan menciptakan perdamaian, mendorong adanya pertemuan yang membahas mengenai Technical Assesment Mission yang diadakan pada tanggal 10 hingga 22 Maret 2005 yang dihadiri oleh PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Pertemuan ini membahas bahwa AMIS harus diperkuat dan mandat harus lebih ditingkatkan untuk melindungi tempat pengungsiaan. Jumlah personel AMIS ditingkatkan menjadi 3320 anggota termasuk 2341 pasukan militer, 450 anggota sebagai pengamat, 815 anggota sebagai anggota polisi. Peningkatan jumlah anggota dan penguatan mandat disebut sebagai AMIS II. “AMIS II was similarly mandated to monitor and observe compliance with the ceasefire; provide security for humanitarian relief; and facilitate the return of internally displaced persons (IDPs)”. Kehadiran AMIS tidak memberikan perubahan yang signifikan di Darfur. Walaupun sempat pada awal tahun
Jurnal Analisis HI, September 20
989
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
2006 intensitas konflik etnis Darfur sempat menurun. Namun hal ini disebabkan karena setiap kelompok pemberontak, SLA dan JEM, dengan pemerintah Sudan telah menandatangani DPA (Darfur Peace Agreement) yang hanya dipatuhi dalam waktu satu tahun saja. Kehadiran Operasi Peacekeeping PBB Sejak AMIS dianggap tidak dapat melaksanakan mandat dari Uni Afrika, PBB akhirnya memutuskan untuk membantu AMIS. Berdasarkan resolusi dewan keamanan nomor 1706, sekertaris jendral PBB pada tahun 2006, Kofi Annan, memutuskan untuk menguatkan pasukan AMIS dengan mengirimkan pasukan keamanan PBB dan bertransisi menjadi UNAMID. Guna memperkuat misi peacekeeping, UNAMID berencana untuk terus menambah pasukan hingga berjumlah menjadi 19.555 pasukan militer termasuk 3772 polisi dan 320 pengamat. Oleh karena itu pada bulan Oktober 2008, UNAMID kembali mengirim pasukan berseragam hingga jumlah totalnya mencapai 10.537 termasuk 8579 pasukan militer yang terdiri atas 8142 tentara, 285 pegawai kantor, 113 pengamat militer, dan 29 sebagai humas. Adapun jumlah polisi sebanyak 1948 personil yang terdiri atas polisi individual sebanyak 1808 dan polisi unit sebanyak 140 personil. Jumlah staf dan tentara UNAMID pun juga meningkat di setiap tahunnya untuk mencapai target pasukan. Di tahun 2009, PBB merekrut sebanyak 2564 staf dari masyarakat sipil termasuk 645 staf internasinal, 1704 staf nasional, dan 215 berasal dari relawan PBB. Tentunya pengiriman pasukan ke UNAMID tidak memakan biaya yang sedikit. Pengiriman pasukan pada tahun 2008 dan 2009, sedikitnya memakan biaya 1,7 milyar dollar Amerika Serikat dan menjadi anggaran dana terbesar yang dikeluarkan sepanjang sejarah operasi peacekeeping.
990
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Sumber gambar grafik pengiriman pasukan, peralatan militer, dan bantuan dana oleh UNAMID: Global Researcher, “Crisis in Darfur”, Volume 2, Nomor 9, 2008, Tersedia: http://photo.pds.org:5012/cqresearcher/getpdf.php?id=cqrglobal2008 090000 (30 Maret 2014). Untuk menjalankan mandat-mandat UNAMID, ada beberapa komponen yang harus diperhatikan seperti, proses perdamaian; hubungan masyarakat sipil; keamanan baik militer polisi, dan institutusi lokal dan nasional yang mengutamakan pada hal disamarment, demobilisasi, dan reintegrasi; mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia; mengajarkan tentang penerapan hukum; melindungi anak-anak; humanitarian liason; hingga isu kesehatan dan gender. Selain fokus pada isu keamanan, UNAMID juga memberikan bantuan untuk kehidupan sehari-hari bagi para internally displaced person (IDP). UNAMID menyediakan air bersih dan tenda perlindungan bagi para IDP. UNAMID juga memberikan perlindungan bagi ribuan masyarakat Jurnal Analisis HI, September 20
991
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Darfur yang mengungsi terutama yang berada di Korma, Darfur Utara, Khor Abeche dan Darfur Selatan karena kawasan-kawasan ini menjadi pusat berkumpulnya IDP. Selain itu, serangan dari pemerintah Sudan juga sering terjadi di tempat pengungsian tersebut. UNAMID juga bekerjasama dengan komunitas kemanusiaan yang berada di Nyala untuk bantuan darurat. Seiring berjalannya operasi UNAMID, organisasi hybrid ini mengalami sejumlah hambatan. Akibatnya, UNAMID berjalan tidak efektif. Apalagi sejumlah tantangan berasal dari pemerintah Sudan yang sejak awal pengiriman pasukan UNAMID sudah menolak kehadirannya. “Sudan’s rejection of the deployment of Western European and Latin American troops in Darfur is behind reluctance of some States to provide UNAMID with the necessary technical expertise and crucial equipment including means of transport, communication, logistics and combat helicopters which are equipments necessary for an effective military operation.” Intervensi Libya Dinamika antara Libya dan Sudan mengalami pasang surut dimulai dari naiknya Gaddafi menjadi pemimpin Libya. Antara tahun 1967 hingga 1971, Sudan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Libya bersama dengan negara Arab lainnya. Akan tetapi, pada awal taun 1970, Presiden Numeyri yang pada saat itu memimpin Sudan, menjalin kebijakan luar negeri bersama negara-negara Barat. Sikap Sudan pada saat itu membuat sejumlah kepentingan berbenturan dengan relasinya bersama Libya. Akibatnya, hubungan antara Sudan dan Libya tidak berjalan dengan baik. Hubungan keduanya semakin memburuk ketika tahun 1970an hingga 1980an terjadi pertempuran regional diantara keduanya. Ketika Bashir menjadi presiden Sudan pada tahun 1989, hubungan dengan Libya sempat membaik. Akan tetapi, kondisi kedua pihak sangat ambigu jika melihat adanya ketidak konsistenan Gaddafi. Meskipun telah membaik, faktanya Gaddafi membantu pemberontak Darfur yang ingin menggulingkan Bashir. Partisan Intervention: Hubungan Cina dan Pemerintah Sudan Cina merupakan negara yang juga memiliki peran penting dalam perkembangan politik Sudan. Memang, Cina menganut prinsip non-intervensi. Akan tetapi, melalui prinsip non-intervensi yang dianut Cina, mereka justru dapat membangun relasi dengan pemerintah Sudan. Bahkan Cina memegang peranan yang sangat penting sejak pertengahan tahun 1990an yang menunjukkan bahwa perannya sudah tertanam dan terjalin relasi yang baik. Tahun 1990an menjadi tahun awal Cina masuk
992
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
ke Sudan karena adanya hubungan antar pemerintah yang terkait dengan perdagangan minyak. Perusahaan minyak Cina telah meluas ke kawasan Sudan meskipun berada pada kondisi di tengah perang dan tak lepas dari faktor politik. Keterlibatan politik Cina di Sudan semakin kuat diiringi dengan pertumbuhan ekonomi Cina di Sudan. Terutama setelah adanya Comprehensive Peace Agreement (CPA) yang disepakati pada Januari 2005. “China is Sudan’s biggest economic partner, taking 75 percent of its exports. China is Sudan’s military mentor, advising its army and giving it guns.” Di tahun 2007, ketika UNAMID hadir di Darfur, Cina mengklaim memiliki tanggung jawab dalam kasus etnis ini. Ketika presiden Hu Jintao menjabat sebagai presiden, ia melakukan kunjungan ke Sudan pada Februari 2007 untuk memberikan dukungan kepada China National Petroleum Corporation (CNPC) di Khartoum. Berkat kunjungan Hu Jintao, hubungan kedua negara semakin erat terutama dalam memberikan saran untuk menerima masuknya PBB di Darfur. Presiden Hu menjelaskan kepada Presiden Bashir bahwa Darfur adalah bagian dari Sudan dan sebagai presiden, Presiden Bashir harus berupaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Cina merasa bertanggung jawab terhadap masuknya UNAMID ke Darfur. Cina pun menyatakan akan membantu Sudan untuk meminimalisir peran UNAMID. Sikap Cina tersebut, membuat hubungan dengan Sudan semakin erat. “...the Chinese government has also claimed to be a ‘responsible’ power that exerted ‘influence’ on the Sudanese government to accept a United Nations-African Union peacekeeping force in Darfur and sought credit for its ‘constructive’ role in passing Security Council Resolution 1769 on 31 July 2007 that enabled this.” Sikap Cina yang menentang adanya campur tangan PBB disebabkan sikap PBB dianggap sebagai agenda liberal yang akan berakhir pada intervensi multilateral. Prinsip yang dianut PBB dianggap tidak adil. Hal ini bukan berarti Cina tidak sepakat dengan segala keputusan PBB, namun Cina akan mendukung keputusan PBB jika dianggap sesuai dengan logika normative contestation. Prinsip misi penjaga perdamaian PBB yang tidak disetujui Cina antara lain, penyebaran pasukan perdamaian selalu diikuti dengan perjanjian genjatan senjata, terdapat persyaratan dari PBB yang harus dipenuhi bagi host country atau pihak yang terlibat konflik, dilarang menggunakan senjata kecuali untuk perlindungan diri, dan ketidaksesuaian antara serangan yang dilakukan dengan komando awal.
Jurnal Analisis HI, September 20
993
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Kepentingan Ekonomi Cina Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa Cina adalah rekan ekonomi Sudan paling kuat, khususnya dalam perdagangan minyak. Sudan adalah negara yang memiliki kekayaan minyak yang sangat banyak dan melakukan ekspor minyak ke Cina dalam jumlah yang banyak. Sembilan dari sepuluh barel minyak Sudan dikirim ke Cina melalui pipa minyak yang telah dibangun oleh perusahaan minyak Cina sehingga dari kilang minyak Sudan hanya melakukan proses pemompaan saja. Cina hampir menguasai semua kekayaan minyak Sudan. Cina memberikan wewenang kepemilikan pelabuhan minyak kepada pemerintah Sudan. Namun, kepemilikan perusahaan dan segala keputusan tetap berada pada Cina. Sudan memiliki 19 lokasi tambang minyak, sembilan dari tambang tersebut dimiliki oleh Cina dan berkat kekuasan Cina di Sudan, ekonomi nasional Cina naik lebih dari 10 persen tiap tahunnya. Bagi Cina, minyak adalah harga termahal yang harus dijaga dari konflik Sudan ini. Kedua pihak saling melengkapi satu sama lain. Sudan sangat membutuhkan uang dari Cina dan keuntungan tersebut digunakan untuk melakukan pembelian senjata. Kementrian Energi dan Pertambangan Sudan, Awad Ahmed Al-Jaz mengatakan bahwa apabila Cina membawa uang, Sudan akan memberikan minyak lebih kepada Cina. Perusahaan minyak Cina yang beroperasi di Sudan bernama China National Petroleum Corporation (CNPC), yang merupakan perusahaan negara yang melakukan suplai minyak mentah dan gas alam. CNPC yang merupakan perusahaan raksasa dunia menempati posisi ke-24 pada tahun 2007 dalam urutan Fortune Global 500 perusahan yang mendapatkan keuntungan lebih dari 110 milyar US $.
994
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Sumber: Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money, Arms, and Politics in Sudan”, 2008, hal. 5. Tersedia: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311-cah -investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014). Hubungan antara CNPC dengan Sudan terbukti simbiotik karena posisi CNPC adalah perusahaan asing yang melakukan investasi terbesar di sektor minyak Sudan. Begitu pula dengan Sudan juga merupakan sasaran pasar minyak terbesar untuk melakukan investasi bagi Cina. Hubungan bilateral yang terjalin baik memudahkan CNPC untuk mengontrol ratusan ribu barel perhari. Hubungan juga membantu Sudan membangun industri minyak dan Sudan memberikan peluang bagi Cina untuk membangun pasar minyak. Sedangkan negara lain mendapat hambatan untuk melakukan investasi minyak di Sudan. Cina akhirnya melakukan penjualan ke Sudan sebanyak 21% dari total impor global yang menunjukkan bahwa Sudan adalah negara terbesar yang melakukan impor dari Cina. Begitu pula Sudan yang mengekspor minyaknya ke Cina sebanyak 71% dari total ekspor Sudan. Bantuan Militer dan Senjata Kerjasama perdagangan senjata Sudan dan Cina yang semakin meningkat, terlihat dari pembeluan senjata kecil, bagian-bagian dari senjata kecil, dan amunisi persenjataan. Peningkatan pembelian senjata seiring dengan ekspor minyak pertama kali oleh Sudan pada tahun 1999. Pembelian senjata oleh Sudan semakin meningkat di tahun 2003, yang Jurnal Analisis HI, September 20
995
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
merupakan terjadinya kembali Konflik etnis Darfur. Kemudian di tahun 2005 pun kembali meningkat. Sejumlah penstudi mengatakan bahwa konflik etnis Darfur yang semakin memburuk pada tahun 2003, tak dapat dipungkiri terdapat peran Cina yang telah melakukan perdagangan senjata kepada pemerintah Sudan. Dari tahun 2003 hingga 2006, penjualan senjata Cina telah mencapai keuntungan lebih dari 55 juta US$. Pada tahun 2003, ketika Sudan melakukan penyerangan ke Darfur, Sudan membeli alat pengeboman yang bernama 20 A-5C fantan fighter bombers. Fantan mampu menembakan 4000 pounds senjata dalam satu serangan. Penyerangan ditujukan ke sejumlah desa yang dihuni oleh kelompok pemberontak Darfur.
Sumber: Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money, Arms, and Politics in Sudan”, 2008, hal. 12. Tersedia: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311-cah -investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014). Jika melihat grafik diatas, maka terbukti bahwa kekerasan di Darfur meningkat di tahun 2003 karena penjualan senjata ke Sudan mencapai angka U$ 3juta. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2006, Cina berhasil menjual senjata lebih dari UU$ 55juta ke Sudan. Bahkan Cina memberikan diskon kepada Sudan karena kemudahan dalam transaksi minyak dikirim ke Cina. Sehingga melalui data tersebut, Cina menjadi negara terbesar dalam menjual senjata ke Sudan dibandingkan negara lain. Kesimpulan
996
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Melalui penjabaran dari rangkaian faktor internasionalisasi konflik etnis terhadap konflik etnis Darfur dengan pemerintah Sudan, dapat disimpulkan bahwa konflik etnis Darfur telah mengalami internasionalisasi. Konflik etnis Darfur pada tahun 2003 membuktikan bahwa konflik etnis ini berubah skalanya. Untuk menjelaskan bagaimana konflik etnis menginternasionalisasi, dapat dilihat melalui beberapa faktor. Yang pertama adalah adanya difusi konflik etnis, eskalasi, dan intervensi yang mendukung pihak pemberontak Darfur dan pihak pemerintah Sudan. Faktor pertama adalah difusi yang terjadi di Chad. Penyebab terjadinya difusi konflik etnis dilatarbelakangi dengan adanya laju pengungsi dan ikatan etnis. Laju pengungsi di Chad menjadi penyebab utama karena terjadi perekrutan tentara baik dari pihak pemberontak Darfur dan pemerintah Sudan. Kedua pihak pun juga melakukan penyerangan satu sama lain di wilayah Chad, terutama di wilayah pengungsian. Ikatan etnis Zaghawa Chad dan Darfur juga bekerjasama dalam melawan pemerintahan Presiden Bashir di Sudan. Hal ini mendorong terjadinya eskalasi konflik etnis, yang merupakan faktor kedua. Eskalasi konflik etnis Darfur terjadi di Chad dan Afrika Tengah yang merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Darfur. Keadaan domestik Chad dan Afrika Tengah pun tidak dalam kondisi yang stabil karena kedua negara mengalami perselisihan dengan kelompok pemberontak. Bentuk eskalasi dari konflik etnis Darfur adalah adanya perlindungan antar pihak ke ketiga negara ini, bantuan senjata, dan pelatihan militer. Presiden Bashir memberikan bantuan senjata dan pelatihan militer kepada kelompok pemberontak Chad untuk membuat kekacauan di Chad dan melemahkan kekuatan Presiden Deby. Hubungan yang baik antara Presiden Deby dan Presiden Bozizie, presiden Afrika Tengah yang menjabat sejak tahun 2003 hingga 2013, dianggap sebagai ancaman bagi Sudan. Presiden Bashir kembali melakukan pengiriman senjata dan pelatihan militer bagi kelompok pemberontak Afrika Tengah. Faktor ketiga adalah adanya intervensi. Ada dua jenis intervensi yang terjadi di Sudan, yaitu intervensi dengan misi perdamaian yang dilakukan oleh PBB dan intervensi negara lain yang membawa kepentingan nasionalnya. Meskipun intervensi tidak selalu menjadi upaya dari misi dan negosiasi yang berhasil, namun keterlibatan organisasi regional dianggap penting dari masa ke masa. Selain itu, keterlibatan negara lain juga dianggap sebagai intervensi. Kehadiran negara lain justru memberikan ancaman perluasan konflik karena memiliki kecenderungan berpihak pada salah satu kubu. UNAMID hadir untuk, diantaranya, memberikan perlindungan kepada masyarakat sipil sebagai wujud kemanusiaan, melakukan pengawasan terhadap implementasi perjanjian untuk menghentikan gencatan senjata, mendampingi pemerintah dalam proses politik secara terbuka,
Jurnal Analisis HI, September 20
997
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
berkontribusi pada hak asasi manusia dan hukum, membantu untuk melindungi lingkungan guna rekonstruksi ekonomi dan pembangunan, serta melakukan pengawasan mengenai situasi perbatasan dengan Chad dan Republik Afrika Tengah. Selanjutnya, adalah Libya dan Cina sebagai pihak yang melakukan intervensi ke Sudan. Misi yang dibawa pun bukanlah misi perdamaian seperti UNAMID. Namun, kembali kepada kepentingan nasional setiap negara. Misalnya saja Libya yang berpihak kepada pemberontak Darfur sedangkan Cina condong kepada pemerintah Sudan. Melalui penelian ini, penulis membuktikan bahwa faktor internasionalisasi konflik etnis dapat diaplikasikan pada konflik etnis Darfur. Konflik etnis Darfur yang telah masuk ke tingkatan internasional menjadi perhatian internasional agar konflik etnis Darfur tidak kian meluas. Begitu pula dengan hak asasi manusia yang harus menjadi perhatian khusus agar konflik etnis Darfur berakhir damai. Penelitian mengenai konflik etnis Darfur, khususnya melihat dari perspektif internasionalisasi, dapat diulas lebih dalam lagi. Terutama mengenai intervensi yang dilakukan oleh sejumlah negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, hingga sejumlah negara di Asia Tenggara. Begitu pula dengan keefektifan organisasi internasional yang terus hadir dalam seiring mendukung isu kemanusiaan bagi masyakarat Darfur. Kemudian, sejak tahun 2010 yang menunjukkan adanya intensitas ketegangan konflik yang mulai mereda, bahasan mengenai proses de-eskalasi konflik sangat menarik. Kompleksitas permasalahan di Sudan, Chad, dan Afrika Tengah menjadi bahasan yang menarik untuk menguji teori-teori yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan internasional. Begitu pula dengan fokus di bidang globalisasi informasi dengan melihat sejauhmana peranan media massa internasional dalam proses pembentukan kebijakan dari aktor yang terlibat di konflik etnis Darfur ini. Daftar Pustaka Buku Fein, Helen., Genocide: A Sociological Perspective, Sage Publications, London, 1993. FS, Pearson., R.A, Baumann., Pickering, JJ. “Military intervention and realpolitik”, dalam Wayman FW dan Diehl PF, Reconstructing Realpolitik. Michigan: University of Michigan Press, 1994. Hebron, Lui., dan Stack, John F., “The Internationalization of Ethnicity: The Crisis of Legitimacy and Authority in World Politics”, dalam The
998
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Ethnic Entanglement: Conflict and Intervention in World Politics, Praegaer, Connecticut, 1999. Holsti, K. J., Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis. Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 2009. Natsios, Andrew S., Sudan, South Sudan, & Darfur What Everyone Needs To Know. Oxford University Press, New York, 2012. Oberschall, Anthony., Peace Intervention, dalam Conflict and Peace Building in Divided Societies: Responses to Ethnic Violence. Routloedge Taylor and Francis Group, New York, 2007. Ryan, Stephen., “The International Dimension of Ethnic Conflict”, dalam Ethnic Conflict and International Relations, Darmouth Publicing Company, Vermont, 1995. Stack, John., “Ethnic Group as Emerging Transnational Actors”, dalam Ethnic Identities in Transantional World, Greenwood Press, Westword, 1981. Tatum, Dale C., “Genocide At The Dawn of 21 Century: Rwanda, Bosnia, Kosovo, and Darfur”, Palgrave MacMillan, New York, 2010. Wardhani, Baiq LSW., “Globalisasi dan Etnis Konflik”, Cakra Studi Global Strategis, Surabaya, 2012. Hay, I., Boucher D., Dungey C., “Making the Grade: A Guide to Successful Communication and Study”, Oxford University Press. Melbourne, 2002. Jurnal Online dan Research Paper Bercovitch, Jacob dan Derouen Jr, Karl., “Determinants of a Successful Process Mediation in Internationalized Ethnic Conflicts: Assessing the Determinants of Successful Process”, Journal of Armed Forces and Society, Volume 30, No. 2, 2004, hal. 147-170. Tersedia: http://afs.sagepub.com/content/30/2/147 (2 April 2014). Brosche, Johan., “DARFUR – Dimensions and Dilemmas of a Complex Situation”, Department of Conflict and Peace Research, Uppsala University Paper No. 2, 2008. Tersedia: www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/Sud%202.pdf (1 April 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
999
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Carment, David., “The International Dimensions of Ethnic Conflict: Concepts, Indicators, and Theory”, dalam Journal of Peace Research, Volume 30, no. 2, 1993. Tersedia: http://www.jstor.org/stable/425195 (15 April 2014). Carment, David., Patrick, James., dan Taydas Zeynep.,“The Internationalization of Ethnic Conflict: State, Society, and Synthesis”, International Studies Review, Volume 11, 2009, hal. 63-86 . Tersedia: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-2486.2008.0182 5.x/pdf (2 April 2014). Contessi, Nicola P. “Multilateralism, Intervention and Norm Contestation: China's Stance on Darfur in The UN Security Council”, Security Dialogue, Volume 41, no.3, 2010, hal. 323-344. Tersedia: http://sdi.sagepub.com/content/41/3/323 (19 Juni 2014). Corbetta, Renato and Grant, Keith A., “Intervention in Conflicts from a Network Perspective”, Journal of Conflict Management and Peace Science, Volume 29, No.3, 2012, hal.314-340. Tersedia: http://cmp.sagepub.com/content/29/3/314 (23 Juni 2014). Evans, Gareth. “The Responsibiity to Protect: An Idea Whose Come ... and Gone?” International Relations, Volume 22, no. 3, 2008, hal.283-298. Tersedia: http://ire.sagepub.com/content/22/3/283 (19 Februari 2014). Giroux, Jennifer, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation of Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis States Working Papers, Series No.2, LSE Destin Development Studies Group, 2009. Tersedia: http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf (diakses pada: 18 Juni 2014). Massey, Simon dan Roy May., “Commentary the Crisis in Chad”, African Affairs, Oxford University Press, Volume 105, No. 420, 2006, hal.443-449. Tersedia: http://www.jstor.org/stable/3876811 (10 April 2014). Herz, Manuel., “Refugee camps in Chad: planning strategies and the architect’s involvement in the humanitarian dilema”, Research Paper, No. 147 UNHCR. Tersedia: http://www.unhcr.org/4766518f2.html (21 Juni 2014).
1000
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Kagwanja, Peter and Patrick Mutahi. “Protection of civilians in African peace missions: The case of the African Union”, ISS Paper, Vol. 139 (2007). Tersedia: www.mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/98927/.../PAPER139.p df (5 Juni 2014). Lansana, Gberie., “The Darfur Crisis: A Test Case For Humanitarian Intervention”, KAIPTC Paper, No. 1, September, 2004, Tersedia: http://www.kaiptc.org/Publications/Occasional-Papers/Documents /no_1.aspx (8 Juli 2014). Murithi, Tim., “The African Union’s Foray into Peacekeeping: Lessons from the Hybrid Mission in Darfur”, Journal of Peace, Conflict and Development, Volume 14, 2009. Tersedia: http://www.bradford.ac.uk/ssis/peace-conflict-and-development/issue14/theafricanunionsforay.pdf (16 Mei 2014). Salih, Kamal O., “The Internationalization of The Communal Conflict in Darfur and Its Regional and Domestic Ramifications: 2001 – 2007”, Arab Studies, Volume 30, No. 3, Summer, 2008, hal.-14. Tersedia: http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/220614413?acc ountid=13771 (1 Juni 2014). Skrede, Gleditsch, Kristian dan Salehyan., “Fighting at Home, Fighting Abroad: How Civil Wars Lead to International Disputes”, Journal of Conflict Resolution, Volume 52, 2008, hal.479-506. Tersedia: http://jcr.sagepub.com/content/52/4/479.full.pdf+html (19 Mei 2014)
Website Afriquejet, “Ban Laments Lack of Helicopters for UNAMID Operations”, 2010. Tersedia: http://www.afriquejet.com/news/africa-news/ban-laments-lack-of-heli copters-for-unamid-operations-2010050748946.html (diakses pada 15 April 2014). Albert, Micah., “Chad: A Country in Crisis”, 2008. Tersedia: http://wpj.sagepub.com/content/25/3/196.citation (diakses pada 20 Juni 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
1001
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
All Africa, “Central African Republic: Govt to Evacuate Darfur Refugees in Central African Republic”, 2014. Tersedia: http://allafrica.com/stories/201406232260.html (25 Juni 2014). Amnesty International, “A Compromised Future Children Recruited by Armed Forces and Groups in Eastern Chad”, 2011. Tersedia: http://www.amnistia-internacional.pt/files/Relatoriosvarios/Criancas_ soldado_Chade.pdf (25 Juni 2014). ArchChicago. “China and Sudan, Problematic Relations”, n.d. Tersedia: http://www.archchicago.org/departments/peace_and_justice/pdf/issu es/china_sudan.pdf (21 Mei 2014). BBC, “Thousands of Darfur Refugees Remain Displaced in Chad”, 2012. Tersedia : http://www.bbc.com/news/world-africa-16575416 (diakses pada 21 Juni 2014). BBC, “Chad Rekrut Anak – anak Sebagai Tentara”, 2011. Tersedia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/02/110210_chadchildarm y.shtml (23 Juni 2014). Encyclopedia Britannica, Idriss Deby, n.d. Tersedia: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/752468/Idriss-Deby (17 Juni 2014). Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money, Arms, and Politics in Sudan”, 2008. Tersedia: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311cah-investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014). International Crisis Group (ICG), “Darfur Rising: Sudan’s New Crisis”, 2004. Tersedia: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/africa/horn-of-africa/sudan /Darfur%20Rising%20Sudans%20New%20Crisis.pdf (19 April 2014). Brosche, Johan., “UNAMID” dalam Darfur – Dimensions and Dilemma of Complex Situation”, Upsala Universitet Department of Peace and Conflct Research, 2008. Tersedia: http://www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/Sud%202.pdf (23 Mei 2014). Kunig, Philip., “Prohibition of Intervention”, n.d. Tersedia: http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-97 80199231690-e1434?rskey=rBONsy&result=1&prd=OPIL (23 Juni 2014).
1002
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Large, Daniel. “China & the Contradictions of ‘Noninterference’in Sudan”. 2008, hal. 93. Tersedia: http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/0305624080201156 8 (20 Mei 2014). Meerpohl, Meike., “Libya, Chad and Sudan – An Ambiguous Triangle?”, n.d. Tersedia: http://www.zms.ruhr-uni-bochum.de/mittelmeerstudien/mam/downlo ads/zms_-_wps_-_5.pdf (20 Mei 2014). Prendergast, John., “Sudan, Chad, and the Central African Republic: The Regional Impact of the Darfur Crisis, Statement Before the Subcommittee on African Affairs”, n.d. Tersedia: http://www.iccnow.org/documents/Sudan,_Chad,_and_the_Centr al_African_Republic_The_Regional_Impact_of_the_Darfur_Crisis .pdf (17 Juni 2014). Sato, Jeremy B. dan Stansen, Bonnie J., “A System Dynamics Approach to Analyzing Violence, Death, and Displacement in Darfur”, n.d. Tersedia: http://www.systemdynamics.org/conferences/2007/proceed/papers/S ATO487.pdf (25 Juni 2014). Sudan Human Security Baseline Assesment (HSBA). “Sudan – Chad Proxy War Chronology”, n.d. Tersedia: http://www.smallarmssurveysudan.org/fileadmin/docs/facts-figures/s udan/darfur/sudan-chad-proxy-war/HSBA-Chad-Sudan-Proxy-War -Chronology.pdf (18 Juni 2014). Tubiana, Jérôme., “Renouncing the Rebels: Local and Regional Dimensions of Chad–Sudan Rapprochement”, 2011. Tersedia: http://www.smallarmssurveysudan.org/fileadmin/docs/working-paper s/HSBA-WP-25-Local-and-Regional-Dimensions-Chad-Sudan-Rapp rochement.pdf (10 Juni 2014). United Human Rights Council, “Genocide in Darfur”, n.d. Tersedia: http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide-in-sudan.htm (12 Mei 2014). UNAMID, “Background – The Darfur Conflict”, n.d. Tersedia: http://unamid.unmissions.org/Default.aspx?tabid=10998&language=e n-US (17 April 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
1003
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
UNHCR, “Global Report Chad”, http://www.unhcr.org/539809eeb.html 2014).
2013. Tersedia: (diakses pada 20 Juni
UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern Chad”, 2008. Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25 Juni 2014). UNHCR, “Peta penyebaran pengungsi di Afrika Tengah”. Tersedia: http://www.unhcr.org/images/operationsMaps/country-caf.jpg Juni 2014).
(20
United Nations Mission in Sudan (UNMIS), “UNMIS Background”, n.d. T e r s e d i a : http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmis/backgro und.shtml (19 Mei 2014) UNAMID, “UNAMID protects displaced civilians following Darfur violence”. 2014. Tersedia: http://unamid.unmissions.org/Default.aspx?tabid=11027&ctl=Detai ls&mid=14214&ItemID=23347&language=en-US (23 Juni 2014). Video : Council on Foreign Relations, Darfur: Winner of 2007 News and Documentary Emmy Award, New York. Tersedia: http://www.cfr.org/sudan/crisis-guide-darfur/p13129 (diakses pada 18 Juni 2014). Resolusi PBB : United Nations Security Council, “Resolution 1706(2006), S/RES/1706(2006)”, 2006, paragraph 11. Tersedia: http://www.responsibilitytoprotect.org/files/Darfur%20Resolution.pdf (11 Mei 2014). United Nations, “Report of the Secretary-General on the Deployment of the African Union United Nations Hybrid Operation in Darfur”, 2007. Tersedia: http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/2007/307/r ev.1 (diakses pada 9 April 2014). UNAMID, “Security Council Resolution, S/2007/307”, 5 Juni 2007”, T e r s e d i a : http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/2007/3 07/rev.1 (24 Juni 2014).
1004
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3