Abstrak Tulisan ini akan membahas konflik etnis Sinhala-tamil yang terjadi di Sri Lanka melalui pendekatan state-formation dan politisasi etnis. Pembentukan negara di Sri Lanka telah mengalami politisasi etnis oleh SLFP yang menyebabkan eksklusi bagi identitas Tamil di Sri Lanka. Akibatnya sentimen identitas muncul dan meluas di kalangan Sinhala menyebabkan timbulnya konflik etnis dan kekerasan terhadap orangorang Tamil. Manifestasi penderitaan dan viktimisasi yang dirasakan orang-orang Tamil menjadi pemicu lahirnya berbagai gerakan separatis Tamil yang semakin membawa konflik kedua etnis dalam spektrum kekerasan. Puncaknya, salah satu gerakan separatis yaitu LTTE berevolusi menjadi gerakan militan yang melakukan proses pembentukan negara independen bagi kelompok Tamil secara radikal. Sulitnya negosiasi muncul sebagai bentuk kontestasi kekuatan pembentukan negara kedua pihak yang berkonflik yaitu LTTE dan pemerintah Sri Lanka. Key words: state formation, konflik etnis, Sinhala, Tamil, politisasi etnis
Anggraeni Dwi Widhiasih (21100017) Eka Fatmawati (211000281)
Pendahuluan Konflik dan kekerasan yang pernah berlangsung di Sri Lanka yang melibatkan etnis Sinhala dan Tamil merupakan salah satu konflik kekerasan yang berlangsung lama dan menelan banyak korban baik dari pihak Sinhala maupun Tamil. Konflik yang secara umum melibatkan etnis Sinhala dan etnis Tamil ini kemudian menyempit dan berpusat antara pemerintah Sri Lanka (mayoritas Sinhala) dan dengan kelompok militan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) yang mewakili orang Tamil. Menurut Jayadeva Uyangoda, konflik etnis antara Sinhala dan Tamil dikarakterkan sebagai teka-teki karena pihak utama yang berkonflik telah berulangkali mengacuhkan kesempatan untuk menyusun penyelesaian secara damai melalui negosiasi. 1 Hal ini ditandai dengan adanya gencatan senjata selama kurun waktu empat tahun dan bertahun- tahun negosiasi damai antara pemerintah dengan LTTE yang kemudian justru berujung pada kembali pecahnya kekerasan etnis di Sri Lanka. Bahkan tsunami pada Desember 2004 lalu pun gagal menciptakan ruang yang cukup bagi kemungkinan negosiasi damai antara kedua belah. Konflik antara Sinhala dan Tamil ini telah berakhir pada tahun 2009 dengan ditandai terbunuhnya pemimpin LTTE dan diumumkannya keberhasilan pemerintah mengalahkan LTTE. Meskipun demikian, banyaknya korban kemanusiaan yang jatuh saat maupun setelah konflik berlangsung membuat perhatian akan kompleksitas yang pernah terjadi di Sri Lanka tidak begitu saja surut. PBB memperkirakan jumlah pengungsi Srilanka mencapai 100 ribu jiwa dan mereka terperangkap dalam are seluas 20 kilometer persegi 2 . Alotnya negosiasi yang berlangsung guna menuju perdamaian disinyalir muncul akibat konflik yang tidak hanya sekedar didasari etnisitas namun juga akibat adanya kekuatan sistemik yang mendorong terjadinya konflik.
1
Jayadeva Uyangoda, Ethnic Conflict in Sri Lanka: Changing Dynamic (Washington: East-West Center, 2007), xvii. 2 Liputan6. Puluhan Ribu Warga Srilanka Mengungsi. Di akses di http://news.liputan6.com/read/176401/puluhan-ribu-warga-srilanka-mengungsi. Pada tanggal 21 April 2009 (12.55 WIB).
Terdapat berbagai perspektif yang muncul dalam studi terkait kasus di Sri Lanka ini. Sejumlah media, akademisi dan aktor yang terlibat memandang konflik Sinhala-Tamil sebagai kasus kejahatan terorisme. Menurut Dingiri Banda Wijetunga- mantan Presiden Sri Lanka (Mei 1993-November 1994)-, 'Tidak ada masalah etnis di Sri Lanka, hanya ada masalah teroris'.3 Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa sejak berdirinya pada awal 1970-an, LTTE telah melakukan serangan secara luas terhadap berbagai instalasi strategis di seluruh Sri Lanka sekaligus menargetkan serangan kepada warga sipil baik yang berasal dari suku Sinhala maupun dari Tamil. LTTE juga disinyalir telah menjadi salah satu organisasi militan yang paling berbahaya dan menemukan berbagai bentuk baru aksi teror yang kemudian diduga menjadi prototype bagi organisasi teroris lain di dunia. Internasionalisasi yang dilakukan oleh LTTE mendorong organisasi ini untuk memiliki lebih banyak kekuatan. Sehingga tidak heran jika kemudian LTTE menjadi grup militan pertama yang mendapatkan akses ke perangkat kekuatan udara dan memungkinkan terjadinya serangan udara oleh LTTE kepada gedung WTO Sri Lanka.4 Perspektif terorisme yang banyak dianut oleh para analis kebijakan dan aktor internasional umumnya berusaha menjelaskan tindakan teror yang terus disebarkan oleh LTTE. Pusat kajian perspektif ini terkait erat dengan masalah keamanan baik keamanan manusia, negara maupun regional mengingat konflik di Sri Lanka ini telah memasuki tahap internasionalisasi. Namun perspektif ini kurang mampu menjelaskan sentimen etnis maupun kelompok yang mengudara sepanjang konflik berlangsung. Perspektif ini juga kurang mampu memaparkan akar permasalahan dari konflik ini yang cenderung terkait dengan politik identitas etnis. Sehingga kebutuhan untuk memunculkan konsep peacebuilding dan pembangunan pasca konflik dalam masyarakat multi etnis sulit terpenuhi. Di sisi lain, perspektif yang mengkaji faktor etnisitas kerap disebut sebagai perspektif domestik dimana banyak pihak nasionalis dari Sinhala dan Tamil yang beranggapan bahwa konflik ini muncul sebagai potret konflik primordial akibat 3
Asoka Bandarage, The Separatist Conflict in Sri Lanka: Terrorism, Ethnicity, Political Economy (New York : Routledge, 2009), 15. 4 Bandarage. The Separatist Conflict, 1.
kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak
5
sehingga akhirnya
menimbulkan perasaan terdiskriminasi pada etnis minoritas yaitu etnis Tamil. Adanya rasa diskriminasi tersebut menimbulkan kekecewaan terutama dengan lambannya respon pemerintah. Akumulasi kekecewaan kemudian nampak pada keinginan untuk memisahkan diri atau separatisasi. Sebagai dampaknya, maka muncul berbagai gerakan separatis di Sri Lanka berbasis identitas etnis Tamil yaitu antara lain People’s Liberation Organization of Tamil Eelam (PLOTE), Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE), Eelam People’s Revolutionary Liberation (EPRLF), Tamil United Liberation Front (TULF), Tamil Eelam Liberatioan Organisation (TELO) dan Eelam Revolutionary Organisation of Students (EROS). 6 Namun dari kesekian organisasi tersebut, LTTE merupakan organisasi separatis yang paling militan dan radikal dalam menyebarkan teror guna mencapai tujuannya. Secara umum, penulis memandang konflik Sinhala-Tamil sebagai dampak dari terjadinya proses pembentukan negara yang diwarnai politisasi etnis. Setelah konsep kedaulatan turut dianut oleh negara- negara di luar Eropa selepas Perang Dunia II, ragam etnis dan identitas juga ikut terbagi dalam kotak- kotak negara yang terbentuk kala itu. Berakhirnya Perang Dingin pada akhir abad ke-20 menciptakan tatanan dunia baru yang menyebabkan mulai berkurangnya perang antarbangsa, namun bersamaan dengan ini rupanya perang saudara semakin meningkat ditandai dengan terjadi berbagai konflik komunal didunia baik yang berdasarkan identitas etnis, agama maupun identitas lainnya. Perang saudara terutama banyak terjadi di negara modern yang memiliki banyak kelompok etnis. Beberapa negara baru yang lahir setelah Perang Dingin merupakan hasil dari konflik subnasional yang berbasis etnis. Konflik etnis umumnya dapat timbul selama proses pembentukan negara, ketika perkelahian meletus dalam proses inklusi dan eksklusi yang menentukan “masyarakat” mana yang harus negara miliki.7 Diskursus inklusi – eksklusi pada
5
Bandarage. The Separatist Conflict, 16. Bandarage. The Separatist Conflict, 125. 7 Andreas Wimmer,“Who Owns The State?Understanding Ethnic Conflict in Post-Colonial Societies,” Nations and Nationalism 3 (4) (1997): 635. 6
proses pembentukan negara mengarah pada ‘batas’ baik secara fisik maupun nonfisik terhadap entitas yang termasuk dalam wilayah kedaulatan negara atau tidak. Konteks mengenai mana yang terinklusi dan mana yang tidak merupakan wacana yang dimunculkan negara yang dalam pandangan Linklater lahir akibat adanya ketakutan akan koneksi gerakan ideologis yang tak terlihat yang dapat bertumbuh di sepanjang batas dan lini-lini resmi negara.8 Sehingga sebagai reaksinya, negara kemudian berusaha memonopoli hak atas penentuan identitas politik negarabangsa. Hal ini termasuk dengan menentukan lambang agama negara, bahasa negara dan berbagai perangkat identitas kebangsaan lainnya. Dalam hal ini, negara menciptakan dirinya sendiri sebagai penentu pandangan hidup setiap warga negaranya. Padahal identitas bersifat cair dan ia bisa terus berubah serta perlu selalu dievaluasi sehingga bila negara melakukan formulasi identitas maka artinya negara harus membekukan dan menghentikan perkembangan identitas.9 Ketika negara sudah menganut satu moralitas tertentu dengan menentukan pandangan hidup warga negaranya dan membekukan suatu identitas yang tidak sesuai maka niscaya akan terdapat identitas yang mengalami represi atau bahkan amputasi hak. Kondisi demikian umumnya menjadi akar terciptanya konflik baik secara horizontal maupun vertikal. Di Sri Lanka hal ini terjadi pada etnis Tamil dan Sinhala dimana kedua etnis mengalami fase perebutan kekuasaan atas kedaulatan teritori yang kemudian dimenangkan oleh Sinhala. Selanjutnya monopoli politik identitas negara-bangsa terjadi dan menyebabkan represi terhadap warga Tamil. Dengan demikian etnis Tamil tereksklusi dari identitas negara Sri Lanka dan penginklusian hanya terjadi pada etnis Sinhala. Dalam kasus ini, proses inklusi dan eksklusi mendapat katalis dari keberadaan elit politik yang melakukan politisasi etnis. Bojana mengungkapkan bahwa political entrepreneurs, dalam pencarian mereka
untuk
kekuasaan
kerap
memobilisasi
konstituen
etnis
dengan
mempromosikan permusuhan antar-etnis menggunakan senjata retoris yang 8
Andrew Linklater, Critical Theory and World Politics: Citizenship, Sovereignty and Humanity (New York: Routledge, 2007), 42. 9 Saraswati LG, et al, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus (Depok: Filsafat UI Press, 2006), 136.
menyalahkan dan menebar ketakutan bahkan kebencian.10 Negara Dunia Ketiga biasanya merupakan pewaris birokrasi kolonial yang berkembang sebelum lembaga-lembaga demokratis dan masyarakat sipil yang kuat bisa mengakar sehingga para elit baru sangat bergantung pada hubungan etnis dalam upaya mereka membangun negara dan menciptakan legitimasi.11 Hal ini menyebabkan persaingan antar-etnis atas sumber daya dan hak-hak, yang disertai dengan rekonstruksi kategori sosial ‘inklusi’ dan ‘eksklusi’, etnifikasi dan intoleransi etnis.12 Etnifikasi didefinisikan sebagai suatu situasi di mana kepentingan sosial, psikologis, dan politik identitas etnis meningkat secara relatif terhadap identitas lain, dan intoleransi etnis mengacu pada penolakan akses ke sumber daya dan hak-hak kelompok etnis lain. Politisasi etnis pada birokrasi biasanya cepat mengakibatkan transformasi banyak kategori etnis ke dalam kelompok yang sebenarnya loyalis, bukan satu kesatuan nasional. Setelah identitas etnis dan kepentingan politik mengikat bersama-sama dengan cara ini maka ranah simbolik menjadi medan perang untuk bersaing menuntut etnonasionalitas.13 Perjuangan terhadap politik identitas etnis kemudian dapat dilihat pada ranah simbol yang kemudian akan merepresentasikan siapa yang berdaulat atas teritori negara tersebut. Secara umum, politisasi etnis akan ditandai oleh tiga hal, yaitu etnisasi birokrasi, eksklusi elit pendidikan dari aparatur negara serta ketimpangan distribusi barang dari negara yang dianggap sebagai diskriminasi etnis sehingga mengarah ke solidarisasi segmen yang lebih luas dari populasi dengan tuntutan etnonasionalis yang dirumuskan oleh elit pendidikan.14 Hal ini secara lebih lanjut akan menuntun pada konflik etnis berkepanjangan sebagaimana kasus konflik etnis yang berlangsung selama puluhan tahun di Sri Lanka. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana proses pembentukan negara Sri Lanka dan politisasi etnis menyebabkan konflik kekerasan etnis yang 10
Bojana Blagojevic,”Causes of Ethnic Conflict: A Conceptual Framework,” Jounal of Global Change and Governance, vol III. No 1. Rutgers University : Division of Global Affairs (2009): 4. 11 Wimmer,”Who Owns The State,” 648. 12 Blagojevic,”Causes of Ethnic Conflict,” 4. 13 Wimmer,”Who Owns The State,” 644. 14 Wimmer,”Who Owns The State,” 646.
sistemik di Sri Lanka. Analisis akan mencakup momen-momen histori sepanjang proses pembentukan negara Sri Lanka sejak tahun 1948 hingga meletusnya konflik kekerasan yang ditandai dengan berdirinya LTTE pada tahun 1972 bersamaan dengan penetapan konstitusi yang menyatakan bahwa Sri Lanka ialah negara Buddha. Permasalahan Perspektif terorisme yang umumnya digunakan untuk menganalisa konflik Sinhala – Tamil di Sri Lanka tak mampu menyediakan kerangka yang menjelaskan bagaimana heterogenitas etnis dan politik pembentukan negara sangat berpengaruh terhadap terjadinya konflik etnis. Sehingga dengan demikian perspektif tersebut hanya dapat menjelaskan perilaku saat konflik terjadi dan bukan akar permasalahan. Pada saat yang sama perspektif tersebut kurang mampu menyediakan solusi peacebuilding yang sesuai dengan akar permasalahan. Sehingga penulis akan menganalisa kekuatan sistemik yang mendorong adanya konflik melalui pendekatan state formation dan politisasi etnis. Kedua pendekatan ini dirasa mampu menjelaskan mengapa secara umum konflik etnis terjadi pada negara- negara berkembang di dunia dan secara khusus menjelaskan bagaimana konflik Sinhala – Tamil terjadi secara sistemik di Sri Lanka. Pendekatan ini akan mengulas bagaimana sistem pembentukan negara Sri Lanka paska kolonialisme berdampak pada terjadinya konflik kekerasan etnis yang ditandai dengan kelahiran LTTE di Sri Lanka. Secara lebih lanjut, pendekatan politisasi etnis juga akan membantu menjelaskan bagaimana birokrasi dan elit politik sangat berpengaruh terhadap meletusnya konflik kekerasan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Menjelaskan mengapa secara umum konflik etnis muncul pada negara berkembang yang heterogen.
Menjelaskan akar konflik Tamil-Sinhala di Sri Lanka melalui konsep state formation atau pembentukan negara.
Menjelaskan hubungan politisasi etnis dan konflik etnis di Sri Lanka.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan logika induktif. Sehingga analisa akan berangkat dari realitas yang kemudian akan dipahami, dijelaskan dan dibenturkan dengan berbagai teori maupun pendekatan yang ada. Dalam hal ini ialah pendekatan state formation dan politisasi etnis. Sehingga teori hanya digunakan sebagai pisau analisis dan pembahasan data saja, bukan sebagai alat ukur hipotesa. Sedangkan analisa akan dilakukan menggunakan metode intepretatif terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Landasan ontologi yang akan digunakan ialah dasar monisme dimana peneliti menjadi bagian dari dunia yang ia pelajari dan tidak ada perbedaan atau jarak antara pikiran dengan dunia realita. Dengan demikian maka realita tidaklah terletak jauh di luar diri dan pikiran peneliti namun juga menjadi wadah tempat peneliti melakukan studi. Hal ini menyebabkan sesuatu dapat menjadi fakta karena ia berada di pikiran manusia yang menciptakan citra beserta seluruh kategorinya. Sehingga dapat dikatakan dunia sosial tercipta akibat adanya konstruksi sosial yang bersifat tidak universal dan tergantung pada perspektif serta siapa aktor yang menjalankannya. Teknik pengumpulan data akan dilakukan melalui studi literatur dan historical comparative guna menjelaskan kombinasi faktor-faktor sosial yang membentuk kondisi tertentu. Data yang diambil ialah momen-momen sejarah terkait pembentukan negara Sri Lanka serta kerangka waktu terjadinya konflik yang akan dianalisa dengan pendekatan intepretatif state formation dan politisasi etnis. Pembahasan Komposisi etnis di Sri Lanka terdiri dari sekitar 74% suku Sinhala yang sebagian besar beragama Buddha, 18% Tamil yang sebagian besar Hindhu dan
7% sisanya merupakan orang-orang Islam.15 Hal ini berarti bahwa orang- orang Sinhala menduduki posisi sebagai mayoritas di Sri Lanka dengan orang Tamil sebagai minoritasnya. Secara garis besar, suku Tamil menempati wilayah utara dan timur laut pulau Ceylon sedangkan suku Sinhala menempati wilayah Selatan dan Barat. Sri Lanka dulunya bernama Ceylon, namun semenjak tahun 1972 mulai berganti nama menjadi Sri Lanka dan menjalankan struktur konstitusi kesatuan seperti Inggris. Ketika para penjajah dari Portugis pertama menginjakkan kaki di pantai Ceylon pada tahun 1505, wilayah sekitar pantai Ceylon terbagi atas tiga kedaulatan yaitu kerajaan Tamil di bagian utara Semenanjung Jaffna dan dua kerajaan Sinhala di bagian selatan di Kotte dan Kandy. Sekitar tahun 1619, Portugis menaklukan kekuasaan Tamil di Jaffna sehingga mengakhiri kedaulatan Tamil. Namun tidak lama kemudian kekuasaan Portugis digantikan oleh Belanda. Penyatuan wilayah Jaffna, Kotte dan Kandy di bawah satu kekuasaan baru terjadi saat Inggris menggantikan kekuasaan Belanda pada akhir abad ke-18. Penaklukan Inggris terhadap wilayah Kotte dan Kandy ditujukan untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan sebagai dampak dibukanya industri kapitalisme di lahan jajahan Inggris.16 Secara garis besar, Sri Lanka mengalami penjajahan oleh Portugal, Belanda, dan
Inggris. Tetapi Inggris yang meninggalkan warisan paling
mendalam dibandingkan Belanda. Inggris mengembangkan kebijakan yang menyokong pembedaan etnis dalam masyarakat. Dalam hal ini Inggris lebih memberikan perhatian kepada etnis Tamil. Tamil dapat mengakses pendidikan lebih baik ketimbang etnis Sinhala yang pada waktu itu dicurigai oleh misionaris Katolik dan sekolah-sekolah Inggris. 17 Sehingga pada masa penjajahan hingga kemerdekaan pada tahun 1948, posisi etnis Sinhala cenderung miskin dan kurang terdidik ketimbang etnis Tamil. Asumsi bahwa Tamil mengambil banyak 15
A. R. M. Imityaz,”Ethnic Conflict in Sri Lanka: The Dilemma of Building the Unitary State,” Conflict and Peace in South Asia, edt. Manas Chatterji and B.M. Jain (Amsterdam: Elsevier, 2008), 132. 16 Imityaz,”Ethnic Conflict in Sri Lanka,” 133-135. 17 Kearny Robert, Communalism and Language in the Politics of Ceylon (USA: Duke University Press, 1967), 56-57.
keuntungan pada era penjajahan Inggris pun muncul dari sini dan berdampak pada sentimen etnis Sinhala terhadap Tamil. Setelah
kemerdekaan,
Sri
Lanka
mengadopsi
struktur
kesatuan
konstitusional sebagaimana sistem yang diterapkan Inggris baik di Sri Lanka pada era penjajahan maupun di Inggris sendiri. Sistem ini termanifestasi dalam Konstitusi Donoughmore tahun 1931 dan Konstitusi Soulbury tahun 1947. 18 Sistem negara kesatuan yang terpusat yang menjadi ide utama mayoritas Sinhala setelah Sri Lanka merdeka membentukan ideologi inti dari politik pembentukan negara di wilayah pulau Ceylon. Namun bentuk ini bagi orang Tamil dianggap diskriminatif sehingga orang Tamil cenderung menginginkan sistem federal yang bagi orang Sinhala dianggap terlalu ekstrem. 19 Banyak pihak Tamil yang kemudian khawatir bahwa pengaturan konstitusional ini tidak akan memberikan perlindungan terhadap masyarakat minoritas dominasi oleh mayoritas Sinhala.20 Hal ini disebabkan karena sifat konstitusi kesatuan yang cenderung terpusat dan memberikan supremasi tertinggi terhadap kekuasaan mayoritas di pusat. Menurut pendapat Patricia Mayo yang dipaparkan dalam tulisan Wardhani, pengutamaan kehendak kolektif kerap menimbulkan ketidakpekaan pemerintah pusat terhadap kebutuhan rakyatnya terutama yang minoritas sehingga nasionalisme etnis yang berkepanjangan muncul. “…dogmatic centralism and social uniformity’ to oversimplification of administration threaten identity and the modern state’s “coercive apparatus and its lack of sensitivity to the needs of its citizen””.
21
Hal demikian agaknya muncul dalam relasi etnisitas di Sinhala dimana realisasi suara dan niat suku Sinhala untuk membentuk negara kesatuan pada akhirnya membuat suku Tamil mulai merasa takut bahwa kebutuhannya nantinya akan sulit terfasilitasi. Kondisi ini menjadi awal dimana suara dari etnis Tamil 18
Ashok K. Behuria,”Ethnic Conflict in Sri Lanka: Seeking a Transformative Way Out,” Startegic Analysis, Vol 30. No 1, Institute for Defence Studies and Analyses (2006), 97. 19 Uyangoda, Ethnic Conflict, 11-12. 20 Christine Fair, Urban Battle Field of South Asia: Lesson Learned from Sri Lanka, India and Pakistan (RAND Corporation, 2004), 18. 21 B. L. S. Wahyu Wardhani, Globalisasi dan Konflik Etnis (Surabaya: Cakra Studi Global-Strategis, 2012), 6.
sebagai bagian dari Sri Lanka kurang didengar. Di sisi lain, kecenderungan etnis Sinhala untuk mendominasi teritori pulau Ceylon dapat terlihat pada bentuk konstitusi yang terpusat dan mengabaikan histori pembagian wilayah antara Sinhala dan Tamil. Politisasi etnis di Sri Lanka dimulai ketika partai SLFP (Sri Lanka Freedom Party) berusaha menggalang dukungan politik untuk memenangkan pemilu selanjutnya dengan menyerang kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh UNP (United National Party). SLFP didirikan oleh Solomon Bandaranaike yang merupakan mantan senior di partai UNP dimana UNP ialah partai yang berkuasa di Sri Lanka sejak kemerdekaan. SLFP beranggapan bahwa kebijakan UNP cenderung berpihak pada orang- orang kaya dan Barat. Selain itu SLFP juga merasa bahwa orang-orang Tamil telah membagi kekuasaan secara tidak adil selama masa kekuasaan Inggris dengan mengambil keuntungan dari kesempatan pendidikan Bahasa Inggris yang tersedia bagi mereka. Dalam situasi pada saat itu, isu bahasa merupakan slogan politik yang koheren dan mudah dimengerti dan menjadi isu utama yang menyatukan masyarakat Sinhala. Dengan demikian politisasi etnis yang dilakukan SLFP menargetkan dukungan dari orang-orang Sinhala sekaligus orang- orang menengah ke bawah yang anti Barat. SLFP kemudian mulai berfokus pada platform yang menjanjikan penggantian bahasa Inggris di Sri Lanka dengan bahasa Sinhala dalam kurun waktu 24 jam setelah partainya memenangkan pemilu.22 Kebijakan ini kemudian dikenal dengan nama Sinhala Only Official Language Act of 1956. Tindakan SLFP serupa dengan paparan Bojana yang mengungkapkan bahwa political entrepreneurs atau pengusaha politik kerap menggunakan isu etnis dalam rangka meraup kekuasaan politik melalui retoris yang cenderung memojokkan suatu kelompok etnis, suku maupun masyarakat tertentu. Dengan demikian maka etnifikasi mulai terjadi dimana relasi negatif antara Sinhala dan Tamil mulai muncul seiring dengan kampanye politik SLFP. Keberhasilan SLFP memenangkan pemilu yang kemudian membawa Bandaranaike ke tampuk kekuasaan tertinggi di Sri Lanka membuktikan bahwa wacana inklusi dan eksklusi 22
Imityaz,”Ethnic Conflict in Sri Lanka,” 136-137.
berhasil direkonstruksi ulang oleh SLFP melalui kritik terhadap masyarakat Tamil dan kebijakan UNP yang dinilai pro Barat. Kebijakan "Sinhala Only" meskipun pada dasarnya merupakan kebijakan anti-Inggris dan anti-Barat, namun kemudian ia berkembang menjadi masalah anti-Tamil di benak etnis Sinhala yang miskin. Padahal bahasa merupakan aspek yang menyimbolkan negara dimana pelembagaannya akan memberikan imaji bahwa siapa yang memiliki bahasa tersebut maka berarti ia merupakan bangsa yang memiliki negara atau terinklusi pada Negara tersebut. Sehingga bagi masyarakat Tamil kebijakan ini berarti eksklusi identitas Tamil dari identitas nasional negara. Jumlah suku yang biner menyebabkan kontestasi inklusi dan eksklusi berlangsung sangat kentara. Akibatnya, kebijakan "Sinhala Only" ini ditentang oleh para politisi Tamil dari Sri Lanka, terutama yang termasuk ke dalam Federal Party (FP), dan sayap kiri. Orang-orang Tamil khawatir bahwa kebijakan ini akan mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Pertama, mereka takut bahwa bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa resmi akan menyebabkan masalah dalam pekerjaan mereka dan menghambat prospek mereka promosi ke jabatan yang lebih tinggi. Kedua, mereka yakin bahwa pelaksanaan kebijakan Sinhala Only pada akhirnya akan menghasilkan pembatasan hak-hak fundamental mereka. Ketiga, sebagai catatan Chattopadhaya, kebijakan tersebut memicu kerusuhan komunal pertama antara Sinhala dan Tamil. Sementara RUU tersebut sedang diperdebatkan di Parlemen, terjadi kerusuhan komunal serius di Colombo dan provinsi timur. Pada tanggal 5 Juni 1956, gangguan terjadi di Colombo dimana sekitar 200 orang Tamil yang dipimpin oleh 12 anggota DPR melakukan protes diam dan demonstrasi di luar gedung parlemen. Mereka diserang, bahkan dilempari batu oleh masa Sinhala yang disewa oleh para politisi Sinhala. Kerusuhan kemudian menyebar ke kota dan menyebabkan orang-orang Tamil dilecehkan dan terjadi penjarahan toko-toko milik orang Tamil, baik Tamil India maupun Tamil Sri
Lanka. 23 Inilah awal munculnya sikap bermusuhan dari orang-orang Tamil terhadap kepemimpinan Sinhala di Sri Lanka. Orang-orang Tamil percaya bahwa kebijakan- kebijakan yang diterapkan oleh orang- orang Sinhala secara umum bersifat etnosentris dan mengabaikan kebutuhan orang Tamil. Kebijakan Citizenship Act of 1948 dan Sinhala Only Act of 1956 merupakan contoh dua kebijakan yang dinilai mengeksklusikan orang – orang Tamil dari sistem kenegaraan Sri Lanka. Secara teori, politasasi etnis mulai secara serius berlangsung dengan adanya politisasi etnis pada birokrasi dan eksklusi elit pendidikan dari aparatur negara. Eksklusi elit pendidikan mulai terjadi dengan digunakannya bahasa Sinhala sebagai bahasa untuk pelayanan publik. Sebelumnya bahasa yang digunakan ialah bahasa Inggris yang pada umumnya hanya dipelajari oleh orang Tamil maupun orang- orang Sinhala yang kaya. Dengan digunakannya bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa nasional, maka akses informasi bagi etnis Tamil menjadi sulit. Berbagai protes damai yang diarahkan FP dan orang-orang Tamil terhadap pemerintah Sinhala justru mendapatkan respon kekerasan dari orang-orang Sinhala. Pada bulan Mei hingga Juni 1958 terjadi kericuhan anti-Tamil di sepanjang pulau, terutama di bagian Selatan dimana orang tamil menjadi minoritas. Kejadian ini mengakibatkan ratusan orang Tamil tewas dan sekitar 12.000 jiwa kehilangan rumah tinggalnya.24 Pada tahap tersebut, negara Sri Lanka secara nyata berusaha memonopoli hak atas penentuan identitas politik negarabangsanya melalui pembatasan penggunaan bahasa nasional yang terbatas pada bahasa satu etnis saja sementara terdapat etnis lainnya di Sri Lanka. Secara sistemik, politisasi etnis pada birokrasi sudah menunjukkan friksi di masyarakat. Pemikiran politik masyarakat Tamil dikembangkan di bawah pengaruh kerusuhan anti-Tamil tahun 1956, 1958, 1977, 1981, dan 1983 bersama-sama dengan diskriminasi dan serangkaian janji oleh pemerintah untuk menyelesaikan keluhan Tamil. Pada 1949, S.J.V. Chelvanayakam yang telah menolak untuk
23
H. P Chattopadhaya, Ethnic Unrest in Modern Sri Lanka: An Account of Tamil-Sinhalese Race Relations (New Delhi : M.D. Publications Pvt. Ltd, 1994), 52. 24 Imityaz,”Ethnic Conflict in Sri Lanka,” 143.
bergabung dengan UNP, yang dipimpin oleh seorang yang cukup moderat yaitu DS Senanayake dan memilih membentuk partai federalnya yang disebut Illankai Thamil Arasu Katchi atau Sri Lanka Tamil State Party. Pada tahun 1954, Chelvayanakam mengartikulasikan idenya untuk mendirikan negara yang terpisah. "Lebih baik untuk memiliki wilayah kita sendiri, budaya kita sendiri dan harga diri daripada menjadi minoritas di pulau dan hidup atas keberuntungan dari masyarakat mayoritas. "25
Dengan demikian politisasi etnis sukses terjadi dengan diskriminasi yang semakin meluas dan adanya keinginan kelompok etnis yang terdiskriminasi untuk memisahkan diri.
Dengan
demikian proses
pembentukan negara
yang
mengeksklusi kelompok etnis Tamil akibat adanya politisasi mengakibatkan lahirnya gerakan- gerakan separatisme yang menginginkan adanya kedaulatan teritorial di utara bagi masyarakat Tamil secara independen dari wilayah selatan yang didominasi Sinhala. Penolakan pemerintah Sri Lanka terhadap tuntutan Tamil ini disinyalir muncul akibat adanya ketakutan bahwa Tamil di utara Sri Lanka akan berafiliasi politik dengan Tamil Nadu yang berada di selatan India. Pada tahun 1972, terjadi perubahan konstitusi di Sri Lanka yang menyebabkan nama Ceylon berubah menjadi Republik Sri Lanka. Namun konstitusi ini tidak merubah kebijakan diskrimintaif yang pada era Solomon Bandaranaike telah memicu kerusuhan. Justru konstitusi ini menempatkan agama Buddha di tempat paling utama sekaligus menegaskan kembali penggunaan bahasa Sinhala di semua aspek layanan publik. Buddhisme pun telah sama dihubungkan dengan identitas nasional Sri Lanka. Sedangkan Buddha adalah agama yang umumnya dianut oleh etnis Sinhala saja. Pengaruh politik muncul dari segi religini ini dimana para biarawan telah mengembangkan justifikasi Buddha untuk perjuangan bersenjata dalam perang sipil melawan Tamil, membayangkan perang sebagai kewajiban agama mereka untuk menciptakan
25
Behuria,”Ethnic Conflict in Sri Lanka: Seeking a Transformative Way Out,” 99.
sebuah negara Buddhis Sinhala.26 Sehingga dengan demikian reformasi tersebut justru semakin memperjelas diskriminasi terhadap orang Tamil di Sri Lanka. Bagi orang Tamil, Konstitusi Republik yang didirikan pada tahun 1972 lebih cenderung mirip seperti sebuah piagam yang melegitimasi supremasi orang-orang Sinhala Buddha. Pada tahap ini, monopoli identitas politik negara Sri Lanka secara nyata menempatkan etnis Sinhala sebagai bangsa yang utama di Sri Lanka, mengesampingkan keberadaan etnis Tamil yang beragama Hindhu. Penempatan etnis Sinhala sebagai representasi kekuasaan yang berdaulat atas Sri Lanka dapat dilihat pada birokrasi, bahasa dan agama nasional yang menjunjung tinggi nilainilai etnis Sinhala. Michael Walzer berpendapat bahwa kesatuan politik negara tidak memiliki bentuk atau bukan substansi teraba. Negara tidak dapat dilihat secara langsung melainkan harus dipersonifikasikan sebelum dapat dilihat, dilambangkan sebelum dapat dicintai dan dibayangkan sebelum dapat dipahami.27 Sehingga dengan kata lain perlambangan negara akan tertuju pada birokrasi, pemerintahan, pemimpin serta masyarakat yang dianggap mewakili teritori tempat negara tersebut memanifestasikan kedaulatan. Ditilik dari rekam kerusuhan pun telah terjadi politisasi etnis yang memecah belah Sinhala dan Tamil di Sri Lanka. Pada tahun 1972 itu pulalah Velupillai Prabhakaran membentuk Tamil New Tigers (TNT) yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya LTTE, yaitu organisasi separatis Tamil yang berevolusi menjadi organisasi teroris yang sangat militan. 28 Kekerasan komunal di Sri Lanka terhadap orang Tamil, menurut Kearney memperlebar jurang antara masyarakat dan memperparah penderitaan serta viktimisasi Tamil. Selain itu, kekerasan tersebut juga membuat orang Tamil kehilangan harapan dan mengisolasi orang Tamil dari politik umumnya. Perkembangan politik di Sri Lanka sejak tahun 1983 dikatakan tidak meyakinkan Tamil bahwa politisi di 26
Linell E. Cady et al., Religion and Conflict in South and Southeast Asia: Disrupting Violence (NY: Routledge, 2007), 11. 27 Michael Walzer,”On the Role of Symbolism in Political Thought,”Political Science Quarterly 82:2 (1967): 194. 28 Yael Stein & Alex Barnea Burnley, “Sri Langka – Tamil and Sinhalese Conflict Timeline 19722010”. Diakses di http://www.genocidepreventionnow.org/Portals/0/docs/Sri-Lanka_Timeline22web_1_.pdf pada tanggal 26 Desember 2013 pukul 13.01 WIB.
selatan (teritori mayoritas Sinhala) Sri Lanka akan mereformasi struktur negara di Sri Lanka untuk mengakomodasi aspirasi logis dari minoritas, terutama Tamil.29 Gerakan LTTE yang secara bertahap berubah menjadi gerakan teroris yang militan dan radikal serta alot dalam negosiasi lahir sebagai bentuk manifestasi ketidakpercayaan kelompok Tamil garis keras terhadap negara sekaligus terdapat kekuatan yang secara sistemik terbentuk semenjak kerusuhan anti-Tamil terjadi. Kekuatan ini ialah kekuatan sentiment identitas yang mendorong LTTE untuk membentuk suatu kedaulatan independen yang memiliki kekuasaan dan supremasi untuk mendeterminasikan diri tanpa adanya batasan dari supremasi lain, dalam hal ini negara Sri Lanka. Bagi LTTE, perang merupakan usaha untuk membebaskan wilayah utara yang dihuni orang Tamil agar menjadi menjadi negara independen. Sedangkan bagi pemerintah Sri Lanka yang memperjuangkan bentuk negara kesatuan Sri Lanka, menaklukan LTTE juga merupakan sebuah proyek pembentukan negara yaitu menunjukkan kedaulatan untuk menginklusi kelompok LTTE, dengan ataupun tanpa reformasi.30 Dengan demikian, kedua belah pihak pada dasarnya berada dalam ajang konstestasi kekuatan pembentukan negara di mana yang satu ingin mengeksklusikan diri dan yang lainnya ingin melakukan inklusi. Dan hal ini terjadi secara tumpang tindih, membuat konflik berlangsung selama puluhan tahun dan kemungkinan negosiasi yang nyaris tidak mungkin. Konflik ini sendiri kemudian berakhir dengan adanya perang dari pemerintah melawan LTTE. Atau dengan kata lain negara melakukan supremasi tertingginya, yaitu untuk melakukan kekerasan dalam rangka menjaga keutuhan kedaulatan wilayahnya. Seiring dengan berakhirnya gencatan senajata pada Mei 2006, maka pemerintahan Mahinda Rajapaksa yang pada saat itu kembali terpilih untuk memimpin pun menguatkan kembali militer untuk mengantisipasi serangan LTTE yang semakin meliar. Dua tahun peperangan kemudian menghasilkan terbunuhnya pemimpin utama dan pendiri LTTE yaitu Velupillai Prabhakaran
29
R. N. Kearney, “Sri Lanka in 1984: The Politics of Communal Violence,” Asian Survey, 25 (2), A Survey of Asia in 1984: Part II (1985): 257-263. 30 Uyangoda, Ethnic Conflict, 10.
pada 17 Mei 2009. Dua hari setelahnya yaitu 19 Mei 2009, Mahinda Rajapaksa mengumumkan kemenangan pemerintah atas LTTE.31 Kesimpulan Pembentukan negara secara umum membutuhkan identitas- identitas tertentu untuk diinklusi menjadi “wajah” negara. Sejalan dengan proses tertentu terdapat identitas yang harus dieksklusi, baik identitas yang berada dalam teritori begara maupun tidak berada dalam teritori tersebut. Adanya elit politik atau political entrepreneur yang menggunakan wacana etnis sebagai jalan untuk menguasai birokrasi negara dapat menyebabkan sentimen etnis. Politisasi etnis yang berkembang melalui etnisasi birokrasi, pemisahan elit akademis dari aparatur pemerintahan dan diskriminasi distribusi barang dapat menyebabkan adanya proses eksklusi pada identitas tertentu yang di titik puncaknya dapat menimbulkan keinginan untuk memisahkan diri dari negara (separasi). Dalam kasus konflik Sinhala-Tamil di Sri Lanka, proses pembentukan negara pasca-kolonialisme secara sistemik mensyaratkan adanya eksklusi dan inklusi identitas tertentu. Identitas Sinhala menjadi satu-satunya identitas etnis yang diinklusi dan dijadikan ‘wajah’ utama Sri Lanka yang kemudian berdampak pada eksklusi identitas etnis Tamil. Konstitusi yang tidak menjembatani jurang etnis antara Sinhala dan Tamil sedari awal pendirian Sri Lanka menjadi benih eksklusi terhadap kebutuhan Tamil di Sri Lanka. Namun politisasi etnis yang dilakukan oleh SLFP menjadi faktor utama yang menimbulkan proses eksklusi identitas Tamil dari identitas nasional Sri Lanka. Kebijakan Sinhala Only pada tahun 1956 menjadi titik awal eksklusi orang-orang Tamil di Sri Lanka terutama dengan adanya kelompok Sinhala yang merespon protes orang-orang Tamil dengan tindak kekerasan. Hal ini diperparah oleh perubahan konstitusi pada tahun 1972 yang menempatkan Buddha sebagai agama nasional. Monopoli politik identitas negara bangsa ditunjukkan oleh birokrasi, agama dan bahasa yang merepresentasikan etnis Sinhala semata. Yang kemudian berdampak pada sulitnya akses informasi dan politik bagi etnis Tamil. 31
Stein,“Sri Langka – Tamil and Sinhalese Conflict Timeline 1972-2010”.
Manifestasi penderitaan dan viktimisasi yang dirasakan orang-orang Tamil menjadi pemicu lahirnya berbagai gerakan separatis Tamil yang semakin membawa konflik kedua etnis dalam spektrum kekerasan. Pada puncaknya, salah satu gerakan separatis yaitu LTTE berevolusi menjadi gerakan militan yang melakukan proses pembentukan negara independen bagi kelompok Tamil secara radikal. Sulitnya negosiasi muncul sebagai bentuk kontestasi kekuatan pembentukan negara kedua pihak yang berkonflik yaitu LTTE dan pemerintah Sri Lanka.
DAFTAR PUSTAKA
Bandarage, Asoka. The Separatist Conflict in Sri Lanka: Terrorism, Ethnicity, Political Economy. New York: Routledge, 2009. Behuria, Ashok K. Ethnic Conflict in Sri Lanka: Seeking a Transformative Way Out. Startegic Analysis, Vol 30. No 1, Jan – Mar 2006. Institute for Defence Studies and Analyses (2006):93-121. Blagojevic, Bojana. Causes of Ethnic Conflict: A Conceptual Framework. Journal of Global Change and Governance, vol III. No 1.Division of Global Affairs. Rutgers University. Winter (2009):1-25. P, Chattopadhaya H. Ethnic Unrest in Modern Sri Lanka: An Account of TamilSinhalese Race Relations. New Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd, 1994. Cady, Linell E et al. Religion and Conflict in South and Southeast Asia: Disrupting Violence. NY: Routledge, 2007. Fair, Christine. Urban Battle Field of South Asia: Lesson Learned from Sri Lanka, India and Pakistan. RAND Corporation, 2004. Imityaz, A. R. M. “Ethnic Conflict in Sri Lanka: The Dilemma of Building the Unitary State”. Conflict and Peace in South Asia. edt. Manas Chatterji & B.M. Jain. Amsterdam: Elsevier, 2008. Robert, Kearney. N. Sri Lanka in 1984: The Politics of Communal Violence. Asian Survey, 25 (2), A Survey of Asia in 1984: Part II, 1985. ................... Communalism and Language in the Politics of Ceylon. USA: Duke University Press, 1967. Linklater, Andrew. Critical Theory and World Politics: Citizenship, Sovereignty and Humanity. NY: Routledge, 2007.
Saraswati LG.,et al. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press, 2006. Uyangoda, Jayadeva. Ethnic Conflict in Sri Lanka: Changing Dynamics. Washington: East-West Center, 2007. Walzer, Micheal. “On the Role of Symbolism in Political Thought.” Political Science Quarterly 82:2 (1967). Wardhani, B. L. S. Wahyu. Globalisasi dan Konflik Etnis. Surabaya: Cakra Studi Global-Strategis, 2012. Wimmer, Andreas. “Who Owns The State? Understanding Ethnic Conflict in PostColonial Societies.” Nations and Nationalism 3 (4) (1997): 631-666. Rujukan Online Yael Stein and Alex Barnea Burnley. SriLangka – Tamil and Sinhalese Conflict Timeline 1972-2010. Di akses di http://www.genocidepreventionnow.org/Portals/0/docs/SriLanka_Timeline22-web_1_.pdf. Pada tanggal 26 Desember 2013 (13.01 WIB). Liputan6.
Puluhan
Ribu
Warga
Srilanka
Mengungsi.
Di
akses
http://news.liputan6.com/read/176401/puluhan-ribu-warga-srilankamengungsi. Pada tanggal 21 April 2009 (12.55 WIB).
di
Karya Tulis Ilmiah Analisa Pendekatan Pembentukan Negara dan Politisasi Etnis terhadap Konflik Etnis Studi Kasus: Konflik Etnis Sinhala- Tamil di Sri Lanka
Oleh Anggraeni Dwi Widhiasih Eka Fatmawati
Program studi Hubungan Internasional Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina 2015