Konflik Etnis Antara Etnis Dayak dan Madura Di Sampit dan Penyelesaiannya (2001—2006) Rinchi Andika Marry, Mohammad Iskandar Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini menjelaskan tentang konflik etnis yang terjadi di Sampit. Kalimantan Tengah pada 18 Februari 2001 yang melibatkan dua kelompok etnis yaitu Suku Dayak dan Madura. Konflik antara dua kelompok etnis ini telah berulang kali terjadi pada masa Orde Baru, tetapi konflik terbuka baru meledak pada era Reformasi. Banyak faktor yang menjadi pemicu konflik diantaranya yang utama adalah sosial-budaya. Benturan antara kedua kelompok etnis ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dari pihak Suku Madura dan membuat mereka harus meninggalkan Kalimantan Tengah. Mereka harus tinggal di tempat-tempat pengungsian di Jawa Timur. Pemerintah telah melakukan beberapa usaha rekonsiliasi untuk kedua pihak yang berkonflik. Setelah melakukan beberapa perjanjian perdamaian, warga dari suku Madura boleh kembali lagi ke Kalimantan Tengah dengan beberapa persyaratan. Mereka yang diijinkan kembali tersebut diantaranya haruslah yang tidak terlibat tindak kriminal dan telah lahir dan tinggal di Kalimantan Tengah dalam waktu yang lama. Kata Kunci : Konflik Etnis; Suku Dayak; Suku Madura; Sampit; Kalimantan Tengah.
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
The Ethnic Conflict Between Madurese and Dayaks In Sampit and The Settlement (2001—2006) Abstract This thesis describes about an ethnic conflict which occured in Sampit, Central Kalimantan on February 18th 2001, involving two ethnic groups which were Madurese and Dayaks. The conflict had been many times happened in the New Order era, but exploded in the Reformation era. There were motives on the conflict, including socio-culture. The clash between the two causing many victims from Madurese. They also had to leave Central Kalimantan. They had to live in evacuation areas in East Java. The government tried some efforts to do reconciliation for them. After some agreements they have done, the Madurese could come back to Central Kalimantan with conditions. They who were allowed to coming back were They who were not involved in crime and have born and lived in Central Kalimantan for a very long time. Keywords: The Ethnic Conflict; Masacre; Madurese; Sweeping; kayau; Central Kalimantan.
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
2
Latar Belakang Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan Suku Dayak sebagai penduduk aslinya. Dalam perkembangannya kemudian, khususnya setelah Indonesia merdeka, banyak etnik lain yang bermigrasi ke Kalimantan seperti Suku Jawa, Madura, Batak, dan Sunda, sehingga penduduk Kalimantan menjadi lebih heterogen dibandingkan dengan masa sebelumnya. Para etnik pendatang bermigrasi ke Kalimantan sebagian besar dilatari oleh faktor ekonomi. Pulau Kalimantan menjadi daerah destinasi para imigran karena kekayaan alam yang melimpah sementara jumlah penduduk masih sedikit. Semakin lama jumlah penduduk di Pulau menjadi semakin heterogen akibat semakin berdatangannya para imigran dari pulau lain terutama Pulau Jawa dan Madura. Sebagai suku asli yang mendiami pulau Kalimantan, Suku Dayak cenderung hidup mengelompok dan memiliki pola pemukiman yang sebagian besar tinggal di pinggiran sungai atau pedalaman.1 Interaksi mereka dengan lingkungannya juga diatur oleh hukum adat. Suku Madura bermigrasi ke Kalimantan sejak tahun 1930-an melalui program transmigrasi pemerintah Hindia Belanda. Namun migrasi terbesar terjadi pada masa Orde Baru melalui program transmigrasi yang dimulai pada Pelita I—VI.2 Mereka telah berbaur dengan penduduk lokal bahkan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat. Di Kalimantan Tengah jumlah etnis Madura yang paling besar adalah di Sampit. Mereka menguasai sektor industri penebangan dan perdagangan kayu.3 Menurut Dr. Kuntowijoyo, ikatan solidaritas orang Madura khususnya yang berada di perantauan lebih menggunakan fungsi agama secara simbolik yang cenderung menjadikan orang Madura perantauan memiliki pola eksklusif. Hal ini menjadi faktor yang mempersulit mereka berintegrasi ke dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial setempat. Jika terjadi persoalan di daerah baru, kepentingan 1
“Dendam Dayak Bisa Tujuh Turunan”, Kompas, 04 Maret 2001 Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, Jakarta: UI Press. 1985, hlm. 57 3 ICG, “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, Jakarta/Brussel: International Crisis Group, 2001, hlm. 7 (Terjemahan) 2
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
3
etnik didahulukan serta harus membela sesama orang Madura bukan dari benar atau salahnya.4 Pada masa Orde Baru, hal-hal yang menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) sangat tabu untuk dibicarakan sehingga setiap terjadi ketegangan yang disebabkan faktor ini langsung diselesaikan dengan cara hukum formal maupun kesepakatan damai melalui hukum adat setempat. Meskipun telah ada kesepakatan damai, konflik masih sering muncul kembali karena ada pihak yang melanggar kesepakatan damai tersebut. Konflik-konflik ini memunculkan stigma terhadap masing-masing pihak yang tidak bisa hilang begitu saja. Perbedaan latar belakang budaya menjadi salah satu faktor kuat terjadinya konflik tersebut. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT) telah mencatat sejumlah konflik besar antara Suku Madura dan Dayak yang terjadi, antara lain adalah perkelahian, perkosaan, dan pembunuhan yang sebagian besar korbannya adalah dari Suku Dayak dan pelakunya ditengarai dari Suku Madura. Faktor lain yang juga menjadi penyebab konflik etnis antara Madura dan Dayak adalah adanya persaingan elit politik lokal akibat diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 1999. Fakta di lapangan memperlihatkan munculnya persaingan yang tinggi di kalangan elite lokal di Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur) untuk menguasai pemerintahan dan kekayaan daerah. Elit-elit lokal ini seringkali menggunakan sentimen anti Madura untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. 5 Sentimen anti Madura ini digunakan oleh elit-elit politik lokal karena telah berkembang luas di masyarakat. Pada Era Reformasi, semangat kesatuan menjadi pudar dan semangat kedaerahan menjadi semakin dominan sebagaimana dengan diterapkannya otonomi daerah. Hal-hal yang berbau SARA yang pada era Orde Baru menjadi hal tabu dan dilarang bahkan dikecam, pada era reformasi mulai didengung-dengungkan. Di daerah-daerah banyak terjadinya konflik-konflik yang menyangkut SARA dan salah satunya yang dalam skala besar adalah konflik etnis di Kalimantan Tengah 4
Ibid.
5
Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana suratkabar di Kalimantan meliput dan memberitakan konflik di Sampit tahun 2001, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta. Februari 2004, hlm. 23
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
4
antara etnis Dayak dan Madura. Era reformasi dijadikan sebagai era yang tepat untuk memperjuangkan hal-hal yang dilarang dan tidak boleh dilakukan pada masa Orde Baru. Metode Penelitian Proses penyusunan makalah penelitian ini menggunakan metode sejarah sebagai metode dalam pencarian data, pengolahan data, serta dalam penulisan akhir. Metode sejarah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, verifikasi, dan historiografi. Tahap yang pertama ialah tahap pengumpulan data atau heuristik. Pada tahap ini dilakukan usaha-usaha untuk mencari sumber-sumber tertulis yang relevan dengan tujuan penelitian. Selain itu juga dilakukan usaha untuk mencari sumber primer berupa dokumen-dokumen dan arsip di Kota Sampit dan Palangka Raya. Untuk sumber primer, pencarian data dilakukan di Kota Sampit dan Palangkaraya. Untuk sumber sekunder dilakukan penelitian kepustakaan guna mendapatkan sumber-sumber terkait yang penulis peroleh di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Selanjutnya tahap verifikasi data atau sumber-sumber yang ditemukan. Data-data yang telah terkumpul penulis verifikasi lalu diinterpretasikan. Tahap ini merupakan tahap kajian mengenai permasalahan yang diangkat sehingga menghasilkan interpretasi baru yang berupa sintesis dari analisis. Tahap terakhir adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah yang meliputi metode, teori, serta suasana zaman sewaktu peristiwa terjadi. Pada proses akhir ini dilakukan rekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah tulisan sejarah. Pembahasan •
Migrasi Etnis Madura ke Kalimantan Tengah
Kondisi geografis Pulau Madura yang terkenal kering dan tandus tidak memungkinkan untuk memeroleh hidup yang layak sementara kepadatan penduduknya sangat tinggi. Kondisi ini membuat orang-orang Madura melakukan migrasi keluar pulau. Pada masa-masa awal, migrasi karena faktor ekonomi dilakukan ke wilayah terdekat, yaitu Jawa Timur. Surabaya merupakan destinasi yang paling diminati oleh orang-orang Madura. Selain karena jarak yang relatif
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
5
cukup dekat, kesempatan kerja juga lebih bervariatif terutama di sektor informal seperti menjadi penjual makanan keliling, buruh kasar, buruh pabrik dan lainlain.6 Semakin lama migrasi orang-orang Madura sudah semakin meluas, tidak terbatas hanya ke Jawa Timur saja, tetapi juga ke pulau lainnya di Indonesia. Pulau Kalimantan menjadi salah satu tujuan migrasi orang-orang Madura. Para imigran dari Pulau Madura ini bermigrasi melalui program transmigrasi pemerintah dan tidak sedikit bermigrasi atas keinginan sendiri. Migrasi awal terjadi pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dan sempat terhenti pada masa kependudukan Jepang. Kemudian pada masa Presiden Soekarno program transmigrasi dimulai lagi dan dilanjutkan oleh Orde Baru melalui program Pelita I—VI. Orang-orang Madura bermigrasi ke Kalimantan dengan dua alasan pokok. Pertama, sumber daya alam di Kalimantan sangat melimpah, wilayahnya luas dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Kekayaan alam pulau Kalimantan ini memungkinkan untuk perkembangan kegiatan ekonomi di bidang pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan perdagangan. Kedua, Pulau Kalimantan dikelilingi oleh sungai-sungai besar yang memungkinkan bagi orangorang yang ingin bermigrasi dengan menggunakan transportasi laut. Di Kalimantan Tengah, para transmigran Madura ini di tempatkan di areal-areal perkebunan sebagai tenaga upahan atau buruh kontrak. Mereka diberikan tempat tinggal sederhana oleh pemerintah untuk ditinggali bersama keluarganya. Sedangan imigran Madura yang bermigrasi atas keinginan sendiri banyak menempati area-area sekitar pesisir seperti Kotawaringin karena akses dan letaknya mudah untuk dicapai.7 Mereka membawa hewan ternak untuk dipelihara di tanah yang baru. Mata pencaharian awal mereka di Kalimantan Tengah adalah petani atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti kuli bongkar pasang muatan di pelabuhan Sampit dan sekitarnya.8 Penyebaran para imigran Madura di wilayah Kalimantan Tengah seperti di Sampit, Palangka Raya, Kasongan, dan Tewah dilakukan dengan menyeberangi sungaisungai besar seperti Sungai Kapuas, Mentaya, dan Katingan. Penyebaran para 6
Suhandadji, “Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di Surabaya: Kajian Perilaku Ekonomi Migran Madura di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kotamadya Surabaya”, Jakarta: UI, 1998, hlm. 152 7 Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: PT Gramedia, hlm.25 8 Sri Edi Swasono, Op. Cit, hlm. 55
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
6
imigran Madura ini semakin pesat setelah jalan penghubung antar-daerah selesai dibuat. Selain itu, semakin bermunculannya perusahaan-perusahaan pertambangan dan karet juga menjadi pemicu berkembang pesatnya persebaran para imigran Madura ke Sampit dan sekitarnya. Perpindahan penduduk Madura ke Sampit secara signifikan terjadi saat Proyek Jalan Kalimantan, jalan raya yang menghubungkan Sampit dengan Palangkaraya (220 km) pada 1957 dimulai.9 Interaksi Orang Madura dengan Penduduk Lokal Pola permukiman orang-orang Madura dianggap eksklusif, mereka cenderung hidup mengelompok dengan suku mereka saja.10 Namun semakin lama, banyak pula orang Madura yang telah hidup berbaur dengan masyarakat setempat, baik itu dengan penduduk lokal maupun para pendatang lainnya. Orang Madura yang berada di perantauan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama orang Madura. Solidaritas ini juga berlaku ketika terjadi konflik dengan suku lain. Mereka cenderung akan membela sesama orang Madura, tidak dilihat dari benar atau tidaknya perbuatan orang Madura tersebut.11 Mereka juga memiliki hubungan kekerabatan yang erat terhadap sesama orang Madura. Rasa solidaritas dan kekerabatan antar sesama orang Madura di perantauan ini dipupuk dengan menggunakan fungsi agama secara simbolik. Peran kyai sebagai pemimpin agama sangat kuat. Kyai, bisa dikatakan sebagai elite desa yang menangani ritual-ritual keagamaan.12 Migrasi Orang-orang Madura ke Kalimantan Tengah membawa dampak bagi berbagai aspek. Dari aspek ekonomi, orang Madura banyak menguasai berbagai mata pencaharian. Orang Madura sangat gigih dan ulet dalam bekerja sehingga mereka banyak menguasai banyak mata pencaharian di daerah perantauan, termasuk pekerjaan kasar seperti kuli angkut di pelabuhan dan sebagainya. Tujuan dari kegigihan dan sikap ulet ini adalah untuk memperbaiki nasib supaya bisa
9
Bektiati, dkk, “Mencari Akar, Mencari Jawaban: Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D”, Koran Tempo edisi 01/30 hlm. 23 10 Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana Surat Kabar di Kalimantan Meliput dan Memberitakan Konflik Sampit tahun 2001, Jakarta: ISAI, 2004, hlm. 21 11 Ibid. 12 Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura: 1850-1940, Yogyakarta: Matabangsa, 2002, hlm. 333
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
7
lepas dari kemiskinan hidup. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi etnis lokal. Dari aspek sosial-budaya, orang Madura yang datang ke Kalimantan Tengah membawa budaya aslinya sambil berinteraksi dengan penduduk lokal maupun etnis pendatang lainnya. Jika pada masa-masa awal tidak terlihat adanya gesekan, lain halnya pada masa Orde Baru ketika banyak imigran Madura mulai berdatangan dan hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Dalam interaksi dengan warga sekitar, kebanyakan Orang Madura dianggap sangat temperamental dan sering membawa senjata tajam kemana pun mereka pergi sehingga dianggap dekat dengan budaya kekerasan.13 Jika terjadi konflik dengan pihak lain, mereka seringkali cepat marah dan menggunakan cara kekerasan, bukan menyelesaikannya dengan kepala dingin. Stigma-stigma mengenai perangai Orang Madura mulai bermunculan dan banyak ditemukan di tengah masyarakat.14 Di mata Orang-orang Dayak, kekerasan sudah menjadi ciri khas Orang Madura ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika melihat ke dalam masyarakat Dayak, mereka juga memiliki sistem kekerabatan yang kuat. Jika terjadi sesuatu yang menimpa seseorang dalam suku Dayak, hal tersebut akan menyangkut keseluruhan keluarga pihak ayah maupun ibu bahkan sampai suku. Sistem kekerabatan ini berlaku bagi orang Dayak yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan.15 Kerukunan antara kedua kelompok etnis ini semakin tercoreng setelah imigran Madura tahun 1990-an mulai berdatangan yang memiliki watak berbeda dengan pendahulunya. Kebanyakan imigran Madura yang datang ke Kalimantan Tengah pada masa ini dianggap sebagai “preman” atau mereka yang suka melakukan tindak kekerasan. Mereka bermigrasi bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi karena tindakan kriminal yang mereka lakukan sehingga mendapat penolakan di tempat asal mereka. Ketegangan antara kedua kelompok etnik ini berulang kali terjadi pada masa Orde Baru. Akar ketegangan tidak hanya permasalahan budaya yang saling berbenturan, namun juga marjinalisasi secara tidak langsung oleh pemerintah dalam bidang 13
Eriyanto, Op. Cit. hlm. 21 Ibid. 15 Ibid. 14
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
8
ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi pada masa Orde Baru. 16 Perasaan seperti ini berkembang semakin besar dan menyebabkan konflik berulangkali terjadi dan tidak pernah benar-benar selesai. Puncaknya adalah konflik yang terjadi di Sampit pada Februari 2001 yang berdampak sangat serius bagi kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Konflik bernuansa etnis ini memakan banyak korban jiwa dari pihak Madura dan membuat mereka harus meninggalkan Kalimantan Tengah. Sebelum konflik terbuka di Sampit pecah, ada beberapa peristiwa yang menjadi pemicunya sehingga membuat situasi antara kedua kelompok etnis ini memanas, diantaranya peristiwa perkelahian di Desa Kereng Pangi yang menewaskan seorang Dayak bernama Sendung. Peristiwa ini memunculkan solidaritas etnis sesama orang Dayak menjadi semakin kuat. Selain itu penemuan sejumlah bahan peledak yang diyakini sebagai bom rakitan di beberapa rumah warga Madura turut memanaskan suasana. Ditambah dengan isu ditemukannya Dokumen Haji Marlinggi semakin memperkuat isu rencana penguasaan wilayah oleh etnis Madura. Ketidak tegasan aparat dalam menangkap pelaku pembunuhan Sendung serta pemilik bom-bom rakitan di rumah-rumah warga juga turut menjadi pemicu kemarahan etnis Dayak yang pada akhirnya membuat mereka bertindak sendiri melakukan penghakiman terhadap warga Madura.
Peristiwa Pecahnya Konflik Terbuka di Sampit Tahun 2001 Konflik bermula pada 18 Februari 2001 dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.17 Berawal dari penyerangan dan pembunuhan terhadap 4 anggota keluarga dari warga etnis Madura bernama Matayo di Kecamatan Baamang, Sampit.18Motif penyerangan terhadap rumah warga Madura tersebut terkait balas dendam terhadap peristiwa yang terjadi di Kereng Pangi. Tuduhan diarahkan kepada orang Dayak. Warga etnis Madura yang marah kemudian mendatangi rumah Timil yang dianggap telah menyembunyikan pelaku pembunuhan keluarga Matayo. Mereka yang tidak berhasil menemukan pelaku yang dicari ini lalu membakar rumah 16
“Luka Itu Terbuka!”, Kompas, 4 Maret 2001 Rusli Haudy, Tangisan Anak Pulau: Sebuah Catatan Tragedi Sampit. Jakarta: CV. DIharfin Jaya, 2001, hlm. 27 18 “Dendam Yang Tak Kunjung Padam”, Kompas, 4 Maret 2001 17
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
9
Timil beserta isinya. Tidak hanya itu, para warga etnis Madura yang marah tersebut kemudian menuju rumah Dahur, saudara Timil yang di tinggal di Jalan Padat Karya, lalu membakar rumah tersebut beserta para penghuninya. Dahur beserta anak dan seorang cucunya tewas terpanggang di dalam rumahnya. Berita mengenai peristiwa ini langsung menyebar dengan cepat di kalangan warga etnis Dayak. Kondisi semakin memanas ketika sekelompok warga etnis Dayak yang merasa tidak terima terhadap aksi pembakaran melakukan aksi balasan kepada pihak Madura. Akhirnya, sekelompok warga Dayak membakar rumah warga Madura di Jalan Tidar.19 Dalam peristiwa tersebut, ada tokoh intelektual yang menjadi dalang utamanya. Tokoh intelektual tersebut adalah pejabat Kotawaringin Timur, yaitu Fedlik Asser dan Lewis yang sehari-harinya menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda. Fedlik Asser juga merupakan tokoh paguyuban Etnis Dayak.20 Target mereka adalah untuk menggagalkan pelantikan pejabat Eselon I, II, dan III yang akan mengisi struktur baru otonomi daerah pada 19 Februari 2001.21 Fedlik dan Lewis merasa tidak puas karena pejabat yang akan dilantik tersebut semuanya beragama Islam. Keduanya ingin Wahyudi K. Anwar, Bupati Kotawaringin Timur pada saat itu, untuk turun dari jabatannya.22 Mereka berdua membayar sejumlah provokator untuk menyulut kerusuhan dengan melakukan penyerangan ke rumah warga Madura. Pada kerusuhan awal tanggal 18 dan 19 Februari 2001, etnis Madura melakukan sweeping23 terhadap rumah-rumah orang Dayak. Selama melakukan sweeping, warga Madura juga melemparkan bom-bom rakitan seperti yang terjadi di Jalan Baamang Tengah I , Baamang Tengah II, dan Baamang Tengah III.24 Pembakaran dan perusakan di Sampit terus dilakukan, seperti pembakaran yang terjadi di Perumahan Karyawan Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah Cabang Sampit di Jalan HM. Arsyad Gang Mangga Dua, rumah beberapa orang Dayak di 19
Kompas, 26 Februari 2001 “Konflik Sampit Tidak Berdiri Sendiri. Bersifat Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Tempo, 11 Maret 2001 21 Heru Cahyono, Op. Cit., hlm. 79 22 “Konflik Sampit Tidak Beridiri Sendiri. Sifatnya Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Loc. Cit 23 Istilah sweeping sering digunakan saat terjadi kerusuhan. Istilah ini mengacu pada tindakan pencarian dan pembunuhan terhadap pihak lawan 24 “Kesepakatan Warga Antar Etnis di Sampit Tentang Solusi Tragedi Sampit Kelabu”, hlm. 4 20
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
10
Jalan Dormosugondo, di Komplek Dusma, dan Hotel Rama di Jalan Baamang Tengah I, Sampit. 25 Tidak hanya melakukan pembakaran dan pengrusakan terhadap rumah warga Dayak, sekelompok oknum dari etnis Madura ini juga memasang spanduk-spanduk provokatif yang memancing kemarahan warga etnis Dayak. Spanduk-spanduk tersebut antara lain spanduk bertuliskan “Kota Sampit Kota Sampang II” yang dipasang di Jalan S. Parman, spanduk “Selamat Datang di Kota Madura” yang dipasang di sekitar Jalan Jiwa, Pelabuhan Sampit, dan spanduk “Kota Sampit Serambi Mekkah” di Jalan S. Parman.26 Aksi tersebut membuat orang-orang Dayak dari luar Sampit berdatangan ke Sampit untuk melakukan pembalasan dan perlawanan terhadap orang-orang Madura. Mereka datang dengan bersenjatakan senjata tradisional seperti mandau (sejenis parang), lunju (tombak), dan sumpit. Konflik berdarah antara dua kelompok etnis ini tidak dapat dihindari lagi. Sebelum melakukan sweeping terhadap warga Madura, mereka terlebih dulu melakukan upacara atau ritual khusus, yakni meminta ijin dan pertolongan kepada roh nenek moyang. Dalam upacara ini, mereka melakukan pemanggilan roh nenek moyang yang disebut Nayo atau Nayau demi melancarkan jalannya kayau.27 Setelah ritual dilakukan, barulah tindakan kayau terhadap orang-orang Madura dilakukan. Dalam aksi kayau (pemenggalan kepala) dan sweeping yang dilakukan etnis Dayak, warga Madura yang terdesak mencoba melarikan diri
ke hutan atau
mencari perlindungan kepada aparat. Mereka yang lari ke hutan banyak yang berhasil ditangkap lalu dieksekusi di tempat. Sweeping dilakukan kepada semua orang yang memiliki darah dan garis keturunan Madura meskipun tidak tahu menahu soal kerusuhan awal yang terjadi antara kedua kelompok etnis ini. Tuntutan mereka agar seluruh warga etnis Madura yang ada di Kalimantan Tengah segera pergi. Sweeping dilakukan ke rumah-rumah dan jalan-jalan besar maupun gang-gang kecil. Selain itu, sweeping juga dilakukan terhadap setiap kendaraan yang lewat, tidak terkecuali kendaraan yang keluar masuk Sampit. Selama kerusuhan berlangsung, pembunuhan terhadap etnis Madura terjadi dimana-mana, awalnya di sekitar pusat kota Sampit, terutama di permukiman 25
Ibid. Ibid. 27 “Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.: Dalam Konflik Sampit, yang Bertanggung Jawab Nayau", Wawancara Tempo dengan Prof.Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D, 20 Mei 2001 26
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
11
yang banyak orang-orang Madura, lalu berlanjut ke seluruh Kota Sampit. Korban tidak terbatas hanya orang dewasa saja, tetapi anak kecil dan lansia pun turut menjadi sasaran pembunuhan.28 Gelombang pengungsi warga Madura semakin besar. Warga etnis Madura yang tidak berhasil mengungsi keluar Sampit atau yang sudah ketakutan dan terdesak memilih hutan di dekat rumah sebagai alternatif tempat persembunyian. Mereka yang melarikan diri ke hutan hanya membawa harta benda seadanya demi menghindari pembunuhan terhadap keluarganya. Selain hutan, Kantor Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur di Jalan Jenderal Sudirman yang berhadapan dengan Kantor Polres Sampit turut menjadi pilihan untuk menghindari pembunuhan sambil menunggu waktu untuk diungsikan keluar Sampit. Selama melakukan sweeping dan eksekusi terhadap warga etnis Madura, mereka yang sudah “kalap” ini berusaha menghindar dari aparat supaya tidak ditangkap. Aparat menyita senjata-senjata tajam yang dipergunakan untuk sweeping tersebut kepada yang berhasil ditangkap. Meskipun demikian, orang-orang Dayak ini tetap tidak menghentikan aksi sweeping terhadap orang Madura sehingga sempat membuat aparat dan pemerintah daerah kewalahan. Ketegangan akibat konflik mulai mereda setelah keinginan orang-orang Dayak terpenuhi, yakni seluruh warga Madura dianggap telah meninggalkan tanah Kalimantan Tengah. Kegiatan kayau pun mulai dihentikan meskipun masih tetap siaga. Dampak Konflik Konflik etnis yang terjadi di Sampit membuat akitivitas di sekolah-sekolah, kantor-kantor milik pemerintah maupun swasta dihentikan sementara sampai situasi kembali kondusif. Kegiatan perekonomian di Sampit menjadi lumpuh. Banyak ruko, kios, dan pasar yang terpaksa tutup selama kerusuhan berlangsung untuk menghindari penjarahan dan tindakan serupa lainnya.29 Terjadi krisis bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari. Di Pelabuhan Sampit, kapal-kapal pengangkut barang tidak berani merapat. Kalaupun ada kapal yang berani merapat, kegiatan pembongkaran barang tidak bisa dilakukan karena keterbatasan tenaga buruh. Buruh yang biasanya melakukan kegiatan bongkar-angkut barang ini adalah 28 29
Ibid. “Stok Pangan Menipis, Harga Mencekik”, Kompas, 4 Maret 2001
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
12
warga etnis Madura.30 Lumpuhnya kegiatan ekonomi saat kerusuhan membawa dampak pada aksi penjarahan, terutama terhadap harta benda atau aset milik etnis Madura yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Dampak lain yang paling besar dirasakan oleh warga etnis Madura. Untuk mendinginkan suasana, Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur mengungsikan warga etnis Madura keluar Kalimantan Tengah, sebagian besar ke Jawa Timur untuk menghindari meluasnya konflik. Tindakan ini sifatnya sementara sampai situasi dianggap kondusif. Tindakan sweeping terhadap Madura ini mau tidak mau membuat citra etnis Dayak menjadi buruk. Mereka dinilai beringas, kejam, dan keji atas tindakan kayau yang mereka lakukan terhadap warga Madura di Sampit dan Kalimantan Tengah.31 Tindakan ini juga sempat memicu situasi panas bagi orang Madura di luar Kalimantan Tengah yang menyaksikan berita tersebut. Imbasnya, mereka ingin membalaskan dendam kepada orang-orang Dayak yang ada di Jawa atau Madura. Di antara etnis Dayak sendiri ada yang pro dan kontra mengenai tindakan mengungsikan etnis Madura keluar Kalimantan Tengah. Mereka yang setuju menginginkan warga etnis Madura keluar dari Kalimantan Tengah secara permanen atau selamanya. Salah satu alasannya adalah adanya kekhawatiran akan terjadinya bentrokan serupa sebagai aksi balas dendam dari pihak etnis Madura terhadap etnis Dayak.32 Mereka yang tidak setuju umumnya karena memiliki keluarga keturunan Madura atau tetangga Madura yang selama ini tidak pernah bermasalah dengan mereka. Penyelesaian Konflik Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah memfasilitasi pertemuan-pertemuan, baik formal maupun informal, dari para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda dari kedua etnis untuk melakukan proses perdamaian. Di Kalimantan Tengah telah diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh paguyuban dari 30
Ibid. LMMDD-KT, “Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran”, Kalimantan Tengah: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah, 2001 32 “ Madura ke Kalteng Bisa Bentrok Lagi”, Kalteng Pos, 21 Oktober 2001 31
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
13
warga pendatang dengan tokoh-tokoh adat Dayak pada 4 Maret 2001. Pertemuan tersebut memfokuskan pada pernyataan sikap terhadap warga Madura. Pada Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) yang berlangsung pada 4—7 Juni 2001 di Palangkaraya menghadirkan peserta dari dua kubu yang dominan, yakni Dayak garis keras dan Dayak garis lemah. 33 Dua kubu ini memiliki pendapat yang saling berlawanan. Dayak garis keras menolak sama sekali etnis Madura yang saat itu sedang mengungsi di Madura untuk kembali lagi ke Kalimantan Tengah. Sementara itu, Dayak arus lemah memperbolehkan mereka untuk kembali, namun dengan banyak persyaratan yang harus disanggupi oleh pengungsi Madura. Salah satu syaratnya adalah mereka yang kembali harus membayar denda adat dan selama enam bulan mendapat pengawasan.34 Pada akhirnya Kongres Rakyat Kalimantan Tengah tersebut mengambil sejumlah keputusan berdasarkan jalan tengah, yaitu; (1) Warga Masyarakat Kalimantan Tengah siap menerima ajakan damai dan permintaan maaf dari warga Madura pada umumnya; (2) Jika kedua pihak telah saling memaafkan dan bertekad untuk hidup berdampingan secara damai, maka langkah-langkah re-evakuasi, rehabilitasi, dan penegakan hukum dapat dilakukan sejalan dengan peraturan; (3) Masyarakat Madura yang akan kembali ke Kalimantan Tengah harus menjalani seleksi dan persyaratannya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) perihal kependudukan; (4) Mengingat proses re-evakuasi harus dilakukan melalui perundingan-perundingan, kesiapan mental dari kedua belah pihak, maka masih diperlukan masa pendinginan (cooling down) yang cukup hingga situasi dan kondisi mental kedua belah pihak mampu introspeksi diri untuk mencapai suatu kerukunan. Warga etnis Madura yang berada di pengungsian berharap dapat kembali meskipun masih ada rasa trauma dan takut jika konflik yang sewaktu-waktu dapat terulang kembali. Berdasarkan hasil pendataan Forum Komunikasi Korban Kerusuhan Kalimantan Tengah (FK-4), 90% lebih pengungsi menginginkan untuk kembali lagi ke Kalimantan Tengah. 35 Mereka lebih memilih kembali ke Kalimantan Tengah dengan risiko nyawa terancam dan mengabaikan rasa trauma terhadap konflik daripada bertahan di pengungsian dan hanya berharap pada 33
“Soal Kongres Rakyat Kalteng…”, diunduh dari http://www.kompas.com/kompascetak/0106/20/daerah/jemb28.htm 34 Ibid. 35 Ibid., hlm. 12
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
14
bantuan pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli pada nasib mereka tanpa dapat melakukan apa-apa. 36 Alasan lainnya karena kebanyakan mereka tidak memiliki aset atau usaha yang dapat menunjang keberlangsungan hidup mereka di Pulau Madura.37 Rasa tertekan selama di pengungsian juga membuat mereka ingin kembali lagi ke Kalimantan Tengah. FK-4 telah menyusun langkah-langkah konkret mengenai nasib para pengungsi. Mereka membuat acara pertemuan akbar pengungsi, yaitu Musyawarah Besar Pengungsi Kalimantan Tengah (MBPKT) di Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura. Secara garis besar, pertemuan ini bertujuan untuk menampung aspirasi pengungsi yang mayoritas ingin kembali ke Kalimantan Tengah. Pertemuan tersebut juga menghasilkan komitmen pengungsi Kalimantan Tengah, yakni mereka siap menaati segala peraturan dan aspirasi masyarakat Kalimantan Tengah yang ada di Kalimantan Tengah supaya mereka bisa kembali.38 Langkah awal dari usaha-usaha konkret yang dilakukan oleh FK-4 yaitu dengan melakukan pendataan-pendataan terhadap para pengungsi, yakni mendata siapa saja yang menginginkan untuk kembali ke Kalimantan Tengah. Sebagian besar pengungsi, yakni sekitar 95% diantara total keseluruhan, mengatakan ingin kembali ke Kalimantan Tengah. Setelah pendataan, kemudian dilakukan pembinaan mental terhadap para pengungsi etnis Madura dengan tujuan untuk menghapus rasa traumatis atas konflik yang telah dialami. Selama berada di pengungsian ini, peran kiai dan pemuka agama memiliki andil besar dalam proses penyembuhan rohani pengungsi dari rasa frustrasi dan tertekan selama di pengungsian.39 Upaya rekonstruksi pasca konflik juga dilakukan sebagai tahap lanjutan dari resolusi konflik di Kalimantan Tengah. Upaya ini dilakukan atas kesadaran bahwa tidak semua etnis Madura dan Dayak yang berkonflik, mereka hanya korban generalisasi penyebaran konflik.40 Wilayah-wilayah pemukiman warga keturunan Madura di Kalimantan Tengah yang tidak mengalami konflik secara masif ini
36
Wawancara dengan Bapak Sohibul Hidayat, 27 April 2014 Ibid. 38 Ibid. 39 Wawancara dengan Bapak Abdul Wahid, 25 April 2014 40 Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Berdamai Dengan Sejarah: Panduan Praktis Mengelola Konflik, Yogyakarta: Alenia Press 37
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
15
kemudian menjadi sasaran eksplorasi potensial dalam upaya dan proses repatriasi pengungsi warga keturunan Madura ke Kalimantan Tengah. FK-4 kemudian melakukan penelitian lapangan di Madura dan Kalimantan Tengah untuk menghimpun bahan dan masukan dalam menyusun rencana strategis, efektif, dan aman. Data-data yang berhasil ditemukan dalam penelitian tersebut selanjutnya diolah dan dikonsepkan. FK-4 menyusun sembilan langkah repatriasi pengungsi41, yaitu; (1) Tahap Konsolidasi; (2) Tahap Pemetaan Wilayah Konflik; (3) Tahap Negosiasi; (4) Tahap Pendampingan dan Pendidikan; (5) Tahap Pendataan; (6) Tahap Sosialisasi; (7) Tahap Seleksi; (8) Tahap Realisasi; (9) Tahap Pemantauan Dari sejumlah pertemuan dan kesepakatan yang dilakukan kedua pihak, baik secara internal maupun eksternal tersebut menghasilkan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2004 yang mengatur masalah pengungsi korban kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah. Tidak hanya itu, pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam menentukan Peraturan Daerah (Perda) dengan menyebarkan angket berisi 43 pertanyaan dengan lima pilihan jawaban yang harus diisi oleh masyarakat. Hasilnya sangat membantu dalam menentukan tindakan pemerintah selanjutnya yang lebih konkret. Peraturan Daerah tersebut terdiri atas enam bab. Dalam bab dua pasal dua Perda tersebut, terdapat poin penting mengenai rekonsiliasi. Poin tersebut antara lain etnik yang kembali ke Kalimantan Tengah harus menjunjung tinggi falsafah “Belom Bahadat”42 dan falsafah “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Sementara itu, pasal tiga membahas perihal penanganan dan penataan, yaitu pemberian bantuan dalam bentuk pelayanan dan pembinaan mental, serta melakukan penataan tempat pemukiman yang ditinggalkan akibat konflik.43 Dalam tahap awal proses pemulangan warga etnis Madura ke Kalimantan Tengah, Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah memprioritaskan anggota DPRD, mahasiswa, dosen, dan PNS sebagai pihak-pihak yang pertama kali dipulangkan ke Kalimantan Tengah. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa kalangan tersebut bukanlah pihak yang akan membuat masalah yang bisa menyebabkan kerusuhan susulan. 41
Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Op, Cit Belom Bahadat berasal dari Bahasa Dayak yang artinya hidup yang berbudaya atau beradab 43 Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 5 Tahun 2004 (data terlampir) 42
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
16
Kesimpulan Konflik antara Etnis Dayak dan Etnis Madura di Sampit telah berlangsung sejak lama dan paling terlihat mencolok terjadi pada masa Orde Baru. Keteganganketegangan yang terjadi antara kedua kelompok etnis ini terutama dilatari karena faktor pergesekan nilai budaya yang kemudian merambat kepada faktor-faktor lainnya seperti politik dan sosial. Ketegangan-ketegangan ini berlangsung berulang kali dan tidak pernah berkembang menjadi konflik terbuka karena kontrol pemerintah Orde Baru sangat kuat sehingga dapat mencegah hal-hal yang sifatnya destruktif terhadap persatuan Negara Republik Indonesia. Meskipun demikian, konflik-konflik tertutup tersebut masih menyisakan kemarahankemarahan yang tertahan dan menumpuk di pihak Dayak. Setelah Orde Baru runtuh, Indonesia mengalami masa peralihan yaitu era Reformasi. Kontrol pemerintah pusat terhadap daerah sangat lemah sehingga menyebabkan konflik terbuka dan lebih besar dari sebelumnya terjadi di Sampit pada 18 Februari 2001 antara Etnis Dayak dan Madura. Ada kepentingan politik yang turut menjadi penyebab pecahnya konflik. Konflik terbuka ini terjadi sebagai akibat perubahan yang belum mapan dari Orde Baru ke era Reformasi. Pada konflik terbuka ini, masyarakat golongan awam dipolitisi untuk kepentingan tertentu dan memantik kerusuhan besar antara Etnis Dayak dan warga pendatang, Madura. Kemarahan warga etnis Dayak yang sudah pada puncaknya tidak bisa dibendung lagi. Kemarahan dilampiaskan kepada Etnis Madura karena dianggap tidak bisa menyesuaikan diri dengan budaya Dayak. Etnis Madura dianggap sarat dengan nuansa kekerasan dalam interaksinya dengan Etnis Dayak sehingga membuat mereka tidak disukai. Konflik terbuka awalnya terjadi sebagai reaksi spontan untuk membela diri untuk menghindari ancaman “penguasaan” wilayah yang akan dilakukan oleh Etnis Madura. Bukti-bukti seperti penemuan bom-bom rakitan di rumah-rumah warga Etnis Madura sebelum kerusuhan maupun saat kerusuhan terjadi, spanduk-spanduk dan yel-yel provokatif, serta Dokumen Haji Marlinggi, memperkuat tindakan mereka untuk memunculkan budaya kayau yang telah ditinggalkan ratusan tahun lalu sejak Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1884.
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
17
Daftar Referensi • Buku dan Jurnal De Jonge, Huub. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT Gramedia. 1989 Edi Swasono, Sri dan Masri Singarimbun. Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI Press. 1985 Haudy, Rusli. Tangisan Anak Pulau: Sebuah Catatan Tragedi Sampit. Jakarta: CV. DIharfin Jaya. 2001 Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana Suratkabar di Kalimantan Meliput dan Memberitakan Konflik di Sampit Tahun 2001. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI). 2004
Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Berdamai Dengan Sejarah: Panduan Praktis Mengelola Konflik, Yogyakarta: Alenia Press Achwan, Rochman dkk. “Overcoming Violent Conflict: Volume 1 Peace and Development Analysis In West Kalimantan, Central Kalimantan, And Madura”. Jakarta: Crisis Prevention and Recovery Unit (CPRU). 2005
_______. “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”. Jakarta/Brussel: International Crisis Group. 2001. (Terjemahan) _______. “Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran”. Kalimantan Tengah: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah. 2001 Suhandadji. “Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di Surabaya: Kajian Perilaku Ekonomi Migran Madura di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kotamadya Surabaya”. Jakarta: UI Press. 1998
•
Koran Sejaman
“Mencari Akar, Mencari Jawaban: Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D”. Koran Tempo edisi 01/30 “Konflik Sampit Tidak Berdiri Sendiri. Bersifat Laten dan Bisa Menjadi Wabah”. Tempo, 11 Maret 2001 “Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.: Dalam Konflik Sampit, yang Bertanggung Jawab Nayau", Wawancara Tempo dengan Prof.Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D, 20 Mei 2001 “Stok Pangan Menipis, Harga Mencekik”. Kompas, 4 Maret 2001 “Provokator Kerusuhan Sampit Tertangkap”. Liputan6.com, 24 Februari 2001
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
18
“ 20.000 Pengungsi Terkurung di Sampit: Korban Jiwa 187 Orang”. Kompas, 24 Februari 2001 “ Madura ke Kalteng Bisa Bentrok Lagi”, Kalteng Pos, 21 Oktober 2001 “Soal Kongres Rakyat Kalteng…”, diunduh dari http://www.kompas.com/kompascetak/0106/20/daerah/jemb28.htm “Dendam Dayak Bisa Tujuh Turunan”. Kompas, 04 Maret 2001 “Dendam Yang Tak Kunjung Padam”. Kompas, 4 Maret 2001 “Luka Itu Terbuka!”, Kompas, 4 Maret 2001
• Wawancara Wawancara dengan Bapak Abdul Wahid pada 25 April 2014 Wawancara dengan Bapak Sohibul Hidayat, 27 April 2014 Wawancara
dengan
Bapak
Anto,
pada
14
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
April
2014
19
14 Universitas Indonesia Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
60 Universitas Indonesia Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014