eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 42-50 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
PERAN OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHT DALAM PENYELESAIAN KASUS GENOSIDA ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR (1978-2012) DEWI ASRIEYANI1 0902045160
Abstract: Description of the various forms of human rights violations in Myanmar, would not be separated by the Rohingya case that became one of the most humanitarian violations happened a long time in the country. Rohingya are a group of people who have long inhabited one of the Arakan region of Myanmar / Rakhine, becoming one of the most oppressed ethnic minorities in the country are due to policies of the military government that does not recognize them as one of the indigenous groups in Myanmar. This further strengthened with the establishment of Burma Citizenship Law 1982, which the law states that the Rohingya are not recognized as citizens of Myanmar, and only considered the immigrant communities. The occurrence of human rights violations, then make OHCHR as part of the UN human rights agency took on the role to pursue completion of the human rights violations that have long experienced by ethnic Rohingya. Keywords: Human Rights Violations, Rohingya Ethnic, OHCHR Pendahuluan Pemerintahan Myanmar yang dijalankan melalui junta militer, membuat negara tersebut memiliki sistem yang otoriter dan melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakatnya. Berbagai tindakan pelanggaran pernah terjadi pada masyarakatnya, terutama pada kelompok penentang pemerintah, termasuk juga pelanggaran hak asasi manusia yang banyak terjadi pada etnis minoritas. Contohnya yang pernah dialami oleh etnis Khacin, Mon, Chin, etnis Shan. Bentuk pelanggaran tersebut antara lain perlakuan diskriminasi dan tidak diberikannya hak kebebasan dan hak politik untuk ikut serta dalam pemerintahan Myanmar, karena sejak pemerintah junta berkuasa, posisi pemerintahan telah didominasi oleh etnis mayoritas Myanmar yaitu Burma. Selain contoh kasus tersebut, terjadinya berbagai bentuk penindasan melalui pembantaian hingga pembersihan etnis yang mengarah pada tindakan genosida terhadap etnis Rohingya yang 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
Peran OHCHR dalam Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya (Dewi Asrieyani)
berlangsung hingga saat ini, telah menambah panjang kasus kemanusiaan yang pernah terjadi di Myanmar. Masyarakat Rohingya telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang termasuk pada tindakan genosida terutama sejak 1978. Hak kebebasan untuk bergerak (freedom to movement) bagi orang-orang Rohingya dibatasi secara ketat dan sebagian besar dari mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar (www.amnesty.org, diakses 18 September 2012). Pada tahun 1978, terjadi pula operasi militer masif, yang dikenal dengan nama Operasi Naga Min. Pemerintah Myanmar pada saat itu memperkenalkan kartu identitas untuk warga negara Myanmar tetapi menolak untuk memberikan kartu identitas tersebut kepada etnis Rohingya (M. Ali Kettani, 2005:207-208). Terjadinya pelanggaran kemanusiaan genosida terhadap etnis Rohingya, akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui badan HAM (OHCHR) mengambil peran untuk mengupayakan penyelesaian pada kasus yang telah lama dialami etnis Rohingya. Penelitian ini akan membahas bagaimana peran-peran yang dilakukan OHCHR dalam penyelesaian kasus tesebut. Kerangka Dasar Teori dan Konsep 1. Konsep Genosida Genosida merupakan suatu bentuk kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang secara jelas telah melanggar hak-hak asasi manusia, dan juga tertuang dalam Deklarasi Universal HAM yang menjadi instrumen penegakan HAM internasonal. Adapun penjelasan mengenai bentuk pelanggaran HAM berat secara umum mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan juga genosida. Genosida juga berarti pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama (www.preventgenocide.org, diakses 18 Oktober 2012). 2. Teori Organisasi Internasional Organisasi internasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsifungsi yang memberi manfaat timbal balik yang dilaksanakan melalui pertemuanpertemuan serta kegiatan-kegiatan secara berkala. L. Leonard dalam buku “International Organization” mengemukakan bahwa negara-negara yang berdaulat menyadari perlunya pengembangan cara/metode kerjasama berkesinambungan yang lebih baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk organisasi internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (T May Rudy, 2005: 2). Selanjutnya analisa aktivitas organisasi internasional juga akan menampilkan sejumlah perannya yaitu: inisiator, fasilitator, mediator, rekonsiliator, dan determinator (Situmorang, dkk, 2006: 95). Organisasi internasional dalam isu-isu internasional berperan sebagai aktor yang independen dengan hak-haknya sendiri. Organisasi internasional juga memiliki peran penting dalam memonitori, dan
43
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 42-50
menengahi perselisihan yang timbul dari adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh suatu negara. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, yaitu menjelaskan dan menganalisa peran OHCHR dalam penyelesaian kasus genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Data yang disajikan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dari literatur seperti buku, jurnal, dan juga situs-situs dari internet. Teknik analisa data yang digunakan adalah data kualitatif. Hasil Penelitian Pelanggaran kemanusiaan terhadap etnis Rohingya telah terjadi sejak pemerintahan junta militer berkuasa di Myanmar. Hal ini terutama terjadi karena pemerintah menganggap etnis Rohingya bukanlah masyarakat pribumi negara Myanmar, dan hanya merupakan warga pendatang yang ditempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh. Selain itu, dengan dibuatnya UU Kewarganegaraan Myanmar 1982, etnis Rohingya resmi dideklarasikan sebagai warga asing di Myanmar. Hal tersebut kemudian membuat berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM terjadi pada etnis Rohingya dengan tujuan untuk mengusir keberadaan mereka dari wilayah Myanmar. Kasus pelanggaran HAM yang telah termasuk dalam tindakan genosida yang terjadi pada etnis Rohingya membuat OHCHR sebagai bagian dari badan HAM PBB mengambil peran dalam penyelesaian kasus tersebut. Adapun peran yang dilakukan OHCHR, dilakukan melalui fungsi inisiator, fasilitator, dan mediator. Terdapat pula dukungan dan hambatan yang didapatkan OHCHR dalam melakukan tindakan tersebut. 1. Peran yang dilakukan OHCHR dalam Kasus Rohingya Untuk masalah HAM yang terjadi di Myanmar termasuk kasus Rohingya, The High Commissioner/ Komisi hak asasi manusia memberikan tugas kepada Special Rapporteur Paulo Sergio untuk melakukan pelaporan dan investigasi, serta melakukan tindakan upaya langsung atas permasalahan tersebut melalui sebuah mandat. Mandat pelapor khusus tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar diberikan sesuai pada resolusi 60/251 dari Majelis Umum PBB. Selama mandatnya, yang dimulai pada bulan Desember 2000, Pelapor Khusus diberi wewenang untuk mengunjungi Myanmar pada enam kesempatan. Namun, Pelapor Khusus belum diizinkan masuk untuk melakukan misi ke Myanmar oleh pemerintah Myanmar hingga tahun 2003 (www.rohingya.org, diakses pada 10 Desember 2012). Sementara pelapor khusus belum diberi akses masuk kedalam Myanamar selama periode yang telah ditentukan, pelapor khusus terus melakukan upaya lain melalui pengumpulan informasi dari berbagai sumber independen mengenai situasi hak asasi manusia di Myanmar, dan mengunjungi negara-negara
44
Peran OHCHR dalam Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya (Dewi Asrieyani)
tetangga, untuk menjalin koordinasi dimana timnya dapat menerima dukungan dari semua anggota negara PBB. Secara Umum kegiatan yang dilakukan oleh pelapor khusus untuk situasi HAM di Myanmar yaitu antara lain: 1) Melakukan pertemuan dan dialog dengan pemerintah Myanmar terkait dengan pelaksanaan upaya penegakan dan penyelesaian masalah HAM di negaranya. 2) Melakukan dialog dengan para tokoh kelompok oposisi, dalam hal ini adalah kelompok pro-demokrasi, seperti para petinggi NLD, dalam rangka mencari jalan tengah penyelesaian masalah, khususnya terkait pelanggaran HAM di Myanmar. 3) Melakukan berbagai kunjungan ke tempat-tempat tertentu, seperti penjara-penjara di Myanmar dan wilayah tempat terjadinya pelanggaran, sekaligus melakukan wawancara secara acak dalam rangka mengumpulkan berbagai informasi penting terkait dengan penegakan HAM di Myanmar. 4) Menerima berbagai laporan dari berbagai sumber terkait dengan kondisi HAM di Myanmar, dalam rangka mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang situasi yang terjadi, untuk kemudian memetakan kondisi lapangan, menentukan masalah-masalah penting dan mendesak, yang nantinya akan disusun dalam sebuah laporan. Adapun peran yang dilakukan OHCHR dalam kasus pelanggaran kemanusiaan genosida terhadap etnis Rohingya, dijelaskan berdasarkan pada teori organisasi internasional, dimana fungsi OHCHR sebagai organisasi internasional dapat menjalankan perannya untuk memonitori dan mencari penyelesaian terhadap suatu permasalahan yang dihadapi suatu negara, seperti yang dialami Myanmar, serta lebih lanjut dapat menjalankan perannya sebagai inisiator, fasilitator, dan mediator. A. Sebagai Inisiator Berdasarkan pada tugas utama OHCHR untuk melindungi dan menjaga hak asasi manusia, OHCHR kemudian melakukan beberapa tindakan sebagai langkah utama untuk mendapatkan penyelesaian terhadap pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya. Antara lain: 1) Pada masa kunjungan tim pelapor khusus Tomas Ojea Quintana tahun 2012, timnya telah mengambil tindakan dengan melakukan penyelidikan khusus dan independen terhadap kasus pelanggaran HAM genosida yang terjadi pada etnis Rohingya, termasuk pada kasus konflik yang terjadi antara masyarakat Budha Rakhine dengan etnis Rohingya di wilayah Arakan pada Juni 2012, yang telah mengakibatkan terjadinya penindasan berkelanjutan dan pengungsian terhadap masyarakat Rohingya. Pada bulan Juni 2012 muncul kabar yang menyebutkan salah satu masyarakat Rohingya telah melakukan pemerkosaan terhadap seorang wanita Budha Rakhine. Hal tersebut kemudian memicu kemarahan kelompok Budha Rakhine, yang kemudian melakukan penyerangan terhadap etnis Rohingya. Konflik antara Budha Rakhine dengan etnis Rohingya sebenarnya juga telah terjadi sejak Myanmar belum mendapatkan kemerdekaannya. Salah satu akar konflik tersebut karena masyarakat Budha Rakhine memiliki kecemburuan sosial terhadap etnis Rohingya yang dianggap semakin memiliki populasi yang meningkat di wilayah Arakan. Masyarakat Budha Rakhine menganggap keberadaan etnis Rohingya tersebut dapat mendominasi dan mengurangi hak atas
45
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 42-50
lahan dan ekonomi di wilayah Arakan yang merupakan tempat tinggal dari kedua kelompok. Selanjutnya pada kunjungan tersebut, pelapor khusus Thomas Ojea Quintana akhirnya juga melakukan negosiasi kepada pemerintah Myanmar untuk dapat mengatasi terjadinya pelanggaran berkelanjutan terhadap masyarakat Rohingya serta menghentikan konflik yang terjadi antara etnis Budha Rakhine dan etnis Rohingya di wilayah Arakan. 2) Dibuatnya UU kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 menjadi bentuk penegasan dari tidak diakuinya masyarakat etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan juga sebagai awal dari tindakan diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Melalui undang-undang tersebut, masyarakat rohingya resmi dideklarasikan sebagai warga non kebangsaan atau warga asing di Myanmar . Hal tersebut kemudian menjadi alasan pelapor khusus untuk mendorong pemerintah Myanmar agar dapat memprioritaskan penyelesaian status hukum dari masyarakat Rohingya, agar mereka dapat memiliki status kewarganegaraannya kembali, melalui review ulang dan amandemen UU Kewarganegaraan 1982 sebagaimana diperlukan. Selain itu, pelapor khusus juga meminta kepada pemerintah Myanmar untuk melakukan review terhadap kebijakan kontrol imigrasi dan perbatasan yang ditetapkan pemerintah yang telah memutus ruang gerak dari masyarakat Rohingya, serta melakukan reformasi kebijakan untuk meningkatkan hak atas tanah dan perumahan dalam menyelesaikan masalah penyitaan tanah oleh pasukan pemerintah dan perusahaan swasta lainnya kepada masyarakat Rohingya. 3) Pelanggaran kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar telah membuat banyak masyarakat Rohingya melakukan pengungsian ke wilayah yang berbatasan langsung dengan Arakan seperti Bangladesh, untuk dapat mencari perlindungan dari keadaan sulit yang mereka alami di negaranya sendiri. Hingga tahun 2012, tercatat puluhan ribu masyarakat Rohingya telah melakukan pengungsian ke wilayah bangladesh. Namun karena kondisi Bangladesh yang juga termasuk dalam negara miskin, membuat pemerintah Bangladesh ingin melakukan pemulangan kembali pengungsi Rohingya ke wilayah Myanmar. Hal tersebut kemudian membuat tim pelapor khusus Tomas Ojea Quintana pada masa kunjungannya tahun 2012, juga menyerukan kepada pemerintah Bangladesh untuk tidak melakukan pemulangan paksa terhadap semua pengungsi, pencari suaka, dan masyarakat Rohingya lainnya yang mencari pelindungan di Bangladesh, yang semakin meningkat hingga 70.000 jiwa (www.ochr.org, diakses pada 8 Desember 2012). Pihak OHCHR juga telah berkoordinasi dengan UNHCR untuk dapat membantu mengatasi masalah pengungsi Rohingya di Bangladesh. B. Sebagai Fasilitator OHCHR sebagai badan penegak HAM memiliki tugas untuk dapat menjalankan atau menciptakan suatu kerjasama dengan pihak lain. Adapun dalam kasus Rohingya, OHCHR menjalankan beberapa tindakan untuk dapat memfasilitasi pemerintah Myanmar dengan organisasi internasional lainnya, terutama agar dapat memperoleh bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Rohingya yang menjadi korban dalam tindakan kekerasan yang terjadi. Antara
46
Peran OHCHR dalam Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya (Dewi Asrieyani)
lain: 1) Untuk dapat memberikan penanganan pada masyarakat etnis Rohingya yang menjadi korban terhadap pelanggaran yang terjadi, pihak OHCHR telah melakukan usaha dengan memfasilitasi terjadinya kerja sama antara Pemerintah Myanmar dengan badan kemanusiaan PBB lainnya seperti UNHCR, serta organisasi internasional untuk dapat menyediakan akses bantuan kemanusiaan dan dukungan kepada etnis Rohingya, termasuk pada masyarakatnya yang menjadi pengungsi. Hal tersebut diharapkan dapat membantu pemulihan pada kondisi etnis Rohingya yang semakin memprihatinkan karena dampak kekerasan yang di alami atas pelanggaran yang ditujukan terhadap mereka. 2) Operasi militer yang dilakukan pada etnis Rohingya dan pecahnya konflik antara kedua kelompok pada tahun 2012, telah mengakibatkan kerugian materil pada masyarakat Rohingya dengan adanya penyitaan atas lahan dan aksi pembakaran tempat tinggal mereka oleh kelompok masyarakat Budha Rakhine dan juga oleh junta militer. Melihat kondisi tersebut, pihak OHCHR kemudian melakukan upaya dengan membuka kerjasama untuk membahas pemenuhan kebutuhan dasar dan perumahan untuk masyarakat Rohingya selama pertemuan pada bulan Oktober 2012, dengan pihak perwakilan baru Myanmar untuk PBB, beserta delegasi dari negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang telah turut bekerja sama dengan Myanmar untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi (www.ohchr.org, diakses pada 29 Desember 2012). C. Sebagai Mediator Untuk dapat tercipta suatu penyelesaian yang efektif atas kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya, OHCHR juga melakukan tindakan agar pemerintah Myanmar dapat menjaga hubungan baik berupa dialog atau bentuk kerjasama lainnya dengan negara-negara tetangga agar dapat membantu mencapai suatu penyelesaian secara tepat atas kasus yang terjadi. Antara lain: 1) Untuk dapat membantu mendapatkan penyelesaian pada kasus pelanggaran kemanusiaan terhadap etnis Rohingya, pelapor khusus mendorong pemerintah Myanmar untuk dapat menjaga dialog dengan negara-negara tetangga, baik itu secara bilateral dan multilateral untuk mengidentifikasi solusi jangka panjang terhadap permasalahan Rohingya, didasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Dalam pandangan dimensi regional terhadap masalah ini, ASEAN dituntut memainkan peran yang lebih proaktif dalam membantu untuk mendapatkan solusi tersebut (http://daccess-dds-ny.un.org, diakses pada 9 Desember 2012). 2) Dalam mendapatkan penyelesaian yang efektif terhadap kasus Etnis Rohingya, selama kunjungan pelapor khusus Tomas Ojea Quintana pada Agustus 2012, pihaknya juga telah mengupayakan kepada pemerintah Myanmar untuk dapat mengidentifikasi secara objektif penyebab sesungguhnya terjadinya pelanggaran kemanusiaan berupa pembakaran rumah-rumah masyarakat Rohingya serta kekerasan fisik yang dilakukan kelompok masyarakat Budha Rakhine terhadap etnis Rohingya di wilayah Arakan. Selain itu, pelapor khusus juga meminta kepada pemerintah Myanmar untuk mendirikan sebuah Komisi Investigasi independen untuk menangani permasalahan pelanggaran tersebut. Dimana tim terdiri dari berbagai lapisan pejabat publik, perwakilan dari
47
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 42-50
etnis dan tokoh agama, serta kelompok masyarakat sipil lainnya, untuk dapat membawa kasus tersebut serta pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan. 2.
Dukungan dan Hambatan OHCHR dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya di Myanmar A. Hambatan-hambatan: 1) Dalam pelaksanaan tugas yang dijalankan OHCHR, pemerintah Myanmar telah mengulur waktu kunjungan tim pelapor khusus Pauolo Sergio selama tiga tahun yaitu sejak tahun 2000 sampai 2003 untuk mulai masuk ke wilayah Myanmar, melakukan pelaporan dan identifikasi mengenai situasi HAM dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi terutama kepada etnis Rohingya. 2) Pemerintah Myanmar telah menghambat masuknya bantuan internasional lainnya seperti yang yang dilakukan UNHCR dan OKI untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Rohingya yang telah menjadi korban atas pelanggaran kemanusiaan yang terjadi. 3) Adanya pembatasan akses bagi media internasional di wilayah Arakan oleh pemerintah Myanmar, yang dapat membantu pengumpulan informasi terkini mengenai situasi HAM di wilayah tersebut. B. Dukungan yang telah didapatkan, yaitu: 1) Pemerintah Myanmar bersedia mendirikan sebuah komisi investigasi independen untuk menangani permasalahan yang terjadi, dan agar masalah tersebut tidak semakin meluas ke hal-hal lainnya. 2) Peran yang dilakukan OHCHR juga telah mendapatkan dukungan atau hasil positif dari Pemerintah Myanmar, yaitu adanya rencana pemerintah untuk melakukan review ulang dan mengamandemen Undang-undang kewarganegaraan 1982 yang telah menetapkan Masyarakat etnis Rohingya sebagai warga asing di Myanmar. Selain itu, pemerintah juga telah mengupayakan untuk memberikan pendidikan yang layak kepada masyarakat Rohingya sebagai hal yang dianggap penting untuk menenuhi kebutuhan dasar dan hak asasi masyarakat Rohingya.
Kesimpulan a. Pelanggaran HAM genosida yang terjadi pada etnis Rohingya berawal dari kebijakan pemerintah Myanmar yang tidak mengakui keberadaan masyarakat Rohingya sebagai warga negara Myanmar, yang juga ditetapkan dalam undang-undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Hal tersebut kemudian memicu terjadinya pelanggaran kemanusiaan berkelanjutan terhadap etnis Rohingya melalui kekerasan fisik maupun pelanggaran di berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti dalam hal sosial, beragama, ekonomi, maupun pendidikan. b. Terjadinya kasus genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar, membuat OHCHR sebagai bagian dari badan penegakan HAM PBB mengambil peran untuk mengupayakan penyelesaian atas permasalahan tersebut.
48
Peran OHCHR dalam Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya (Dewi Asrieyani)
Dalam melaksanakan tugasnya di Myanmar, OHCHR memberikan mandat kepada Special Rapporteur/Pelapor Khusus untuk melakukan tugas pelaporan atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan melakukan upayaupaya agar mendapatkan penyelesaian terhadap kasus tersebut. Peran yang dilakukan antara lain melakukan penyelidikan khusus dan independen terhadap permasalahan yang terjadi dan melakukan negosiasi kepada pemerintah Myanmar agar dapat mengambil tindakan untuk menghentikan berbagai bentuk pelangaran tersebut. Selanjutnya OHCHR juga melanjankan perannya melalui fungsi inisiator, fasilitator, dan mediator. Adapun hambatan dan dukungan yang telah didapatkan OHCHR dalam penyelesaian kasus genosida terhadap etnis Rohignya, yaitu hambatan antara lain pemerintah Myanmar telah mengulur waktu kunjungan tim pelapor khusus Pauolo Sergio selama tiga tahun yakni dari tahun 2000 sampai dengan 2003 untuk memulai melakukan pelaporan dan investigasi mengenai situasi HAM dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi. Sedangkan bentuk dukungan yang telah didapatkan antara lain Pemerintah Myanamar telah bersedia untuk mendirikan sebuah Komisi Investigasi independen untuk menangani permasalahan yang terjadi, dan agar masalah tersebut tidak semakin meluas ke hal-hal lainnya, serta telah berencana untuk melakukan review ulang dan amandemen terhadap Undang-undang kewarganegaraan yang telah menetapkan Masyarakat etnis Rohingya sebagai warga asing di Myanmar.
Referensi Buku Kettani, Ali M. 2005. Minoritas Muslim di Dunia Saat Ini. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rudy, May T. 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung: Rafika Aditama. Situmorang, dkk. 2006. Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya Internet United Nation General Assembly, “Situation of Human Right in Myanmar’, http;//daccess-ods.un.org/TMP/2007607.html, diakses pada 12 September 2012 Facts About the Rohingya Muslim of Arakan, http://www.rohingya.org/portal/index.php/learn-about-rohingya.html, diakses pada 15 September 2012 About OHCHR, http://www.ohchr.org/EN/AboutUs/Pages/WhatWeDo.aspx, diakses pada 1 Oktober 2012 Sanctions Myanmar, http://www.sanctionswiki.org/Myanmar, diakses pada 3 Oktober 2012 Report of the special Rapporteur on the Situation of Human Rights in Myanmar, http://www.rohingya.org/portal/index.php/rohingya-library/37-report/84-
49
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 42-50
report-of-the-special-rapporteur-on-the-situation-of-human-rights-inmyanmar.html, diakses pada 15 Desember 2012 Situation of Human Rights in Myanmar, http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G12/163/70/PDF/G1216370.pdf?OpenEle ment, diakses pada 3 Januari 2012 Press Conference by Special Rapporteur on Human Rights in Myanmar, http://www.ohchr.org/RU/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsI D=12394&LangID=E, diakses pada 5 Februaru 2012
50