UPAYA PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA DI RWANDA
Ade Perkasa & Achmad Bagus Prasetyo
Abstract Rwanda is one of the country located in African region. There are two ethnic in Rwanda, Hutu and Tutsi that have become an attention to international society because of its violation of human rights done by Hutu ethnicity to Tutsi violently. This conflict is a sensitive conflict because this is one of the conflict that caused by ethnic problem, because of that problem there are many of Rwandas population become the victims of this conflict. United Nations as an international agency is representing the international society to participate in making a peace efforts for this conflict that took place in Rwanda using peace trilogy theory specifically peace making, peace keeping, and peace building. There are many organizations stands below United Nations is taking part to help the United nations efforts to solve the conflict in Rwanda.
Pendahuluan Rwanda adalah sebuah negara yang terletak pada kawasan Afrika Tengah, yang diduduki oleh tiga kelompok etnik yaitu 84% Hutu, 15% Tutsi, dan 1% Twa. Dalam sejarahnya, etnik Hutu mayoritas bekerja dibidang pertanian dan perkebunan, sedangkan etnik Tutsi adalah para pemilik tanah. Perang saudara di Rwanda ini dapat dikatakan bermula dari kebijakan zaman kolonial Belgia pada tahun 1916-1962 yang dimana dapat dikatakan kedua etnik tersebut dibedakan oleh kebijakan kolonial tersebut. 1 Etnik Tutsi lebih diunggulkan dibanding dengan etnik Hutu dikarenakan oleh edukasi serta pekerjaan yang dimiliki oleh etnik Tutsi, dan pihak administrasi Belgia pun memperkenalkan kartu identitas khusus yang digunakan untuk dapat membedakan kedua etnik tersebut. Hal tersebut membentuk Billy Batware, Rwandan Ethnic Conflicts: A Historical Look at Root Causes (Austria: European Peace University, 2012) Hlm 1. 1
ketegangan antara kedua etnik tersebut, yang pada akhirnya pada tahun 1959 sebuah perang antar saudara ini terjadi untuk dapat menggulingkan raja dari pihak Tutsi yang berkuasa, dan setelah tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1962 perang tersebut memberikan kemerdekaan kepada kelompok etnik Hutu yang membuat mayoritas dari anggota pemerintahan Rwanda berasal dari kelompok etnik Hutu. Kejadian ini memakan korban ribuan korban jiwa dari pihak Tutsi, dan sekitar 150.000 penduduk beretnik Tutsi melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Uganda, Tanzania, Burundi, dan Kongo.2 Setelah kejadiaan tersebut sudah lama berlalu, penduduk-penduduk keturunan etnik Tutsi yang khususnya berada di kamp-kamp pengungsian di Uganda mulai membentuk sebuah kelompok pemberontak yaitu Rwandan Patriotic Front (RPF), yang pada tahun 1990, RPF memasuki Rwanda dengan atas nama demokrasi, good governance, serta ketidaksetujuan atas kekerasan yang dilakukan pada masa lalu. Konflik Rwanda Era 1990-an Setelah terbentuknya kelompok pemberontakan yang disebut juga dengan RPF, di tahun 1990, tujuan dari kelompok tersebut adalah untuk menggulingkan kepemimpinan Habyarimana (Presiden Rwanda dari kelompok radikal Hutu) serta pemerintahannya dan memberikan jalan agar penduduk beretnik Tutsi yang diasingkan dapat kembali ke Rwanda, dan pada bulan oktober 1990, militan RPF yang berasal dari Uganda mulai kembali memasuki wilayah Rwanda dan bercampur dengan penduduk Tutsi lainnya yang berada di Rwanda. 3 Di tahun 1992, militan RPF berhasil menduduki provinsi-provinsi di bagian utara Rwanda, dan akhirnya tentara Rwanda membalas serangan dari RPF yang mengakibatkan jatuhnya ratusan penduduk etnik Tutsi yang dimana perbuatan kejam tersebut berlalu tanpa adanya hukuman bagi pihak yang bertanggung-jawab atas serangan tersebut, dan sebagai respon lain dari kelompok Habyarimana, mereka membentuk sebuah kelompok milisi sendiri beranggotakan penduduk sipil yang diberikan pelatihan serta persenjataan yang dinamakan the Interahamwe. 4 Dengan adanya serangan yang dilakukan oleh RPF, pemerintahan Habyarimana memberikan persetujuan untuk memulai serta membentuk sebuah propaganda yang bertujuan
2Ibid. 3
Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm 102.
4Ibid.
untuk membuat jarak antara etnik Hutu dengan etnik Tutsi. Propaganda yang paling dikenal muncul dengan sebutan Hutu Ten Commandments yang berisikan aturan-aturan yang diperuntukkan kepada penduduk etnik Hutu agar dapat meyakinkan seluruh etnik Hutu bahwa seluruh etnik Tutsi adalah musuh bagi seluruh etnik Hutu. Selain propaganda tersebut, propaganda lainnya adalah seperti gambar-gambar perang, perbudakan, ketidak-adilan, pembunuhan serta kekejaman yang direkayasa oleh pemerintah Hutu yang diperuntukkan agar penduduk etnik Hutu menjadi takut akan kekejaman etnik Tutsi dan mulai mempersenjatai diri mereka sendiri untuk dapat menjaga serta mempertahankan kelompok mereka apabila terjadi serangan dari kelompok etnik Tutsi. 5 Pada bulan maret 1992, Radio Rwanda yang terletak di Bugesera adalah media pertama yang digunakan untuk memberikan propaganda serta perintah secara tidak langsung untuk membunuh orang-orang beretnik Tutsi. Radio tersebut menyiarkan kepada masyarakat umum atas ancaman-ancaman serangan yang akan dilakukan oleh kelompok etnik Tutsi. 6 Respon dari upaya pemerintah Habyarimana ini membuat RPF membentuk sebuah radio sendiri yaitu radio Muhabura. Melihat aksi dari RPF tersebut, pihak Habyarimana membentuk Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM), radio tersebut tidak lama mendapat pendengar yang banyak.7 Terus berlanjutnya konflik di Rwanda pada tahun 1991-1992 ini diwarnai dengan beberapa gencatan senjata serta negosiasi dari kedua belah pihak tetapi pada akhirnya tetap tidak mendapatkan kesepakatan. Akhirnya pada bulan Januari 1993, kelompok RPF berhasil untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintahan dalam sesi negosiasi. Dan sampai saat itu, Habyarimana selalu dapat mengandalkan Perancis sebagai pemasok kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipercaya dalam bidang persenjataan serta bantuan-bantuan politik, akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, pemerintah Perancis percaya bahwa pemerintahan Rwanda sangat membutuhkan bantuan yang lebih dari sebelumnya apabila ingin terus melawan kelompok RPF, dan pada akhirnya pihak Perancis semakin lama semakin tidak bersedia untuk menyediakan bantuan-bantuannya seperti sebelumnya. 8 Dengan kondisi menguatnya pasukan RPF dan melemahnya bantuan yang diberikan oleh pihak Perancis ini membuat pihak Habyarimana mengeluarkan ide untuk memobilisasi 5Ibid.,hlm
106. Allan Thompson, The Media and The Rwanda Genocide (London: Pluto Press, 2007) hlm 42. 7 Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm 106. 8Ibid.,hlm 43. 6
para penduduk sebagai salah satu cara mempertahankan diri serta memaksa para penduduk untuk dapat membantu tentara Rwanda. Dengan bergabungnya penduduk-penduduk sipil dalam membantu mobilitas tentara Rwanda, berbagai propaganda serta pihak-pihak militer telah menjelaskan bahwa musuh dari mereka adalah penduduk sipil beretnik Tutsi dan juga para militan RPF.9 Pada 6 April 1994 pesawat Presiden Habyarimana ditembak jatuh oleh pihak yang tidak menyetujui rencana Presiden dalam membangun demokrasi di Rwanda. Alasan penembakan tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis tersebut. Dalam rentang waktu setelah tewasnya Presiden Habyarimana, kelompok ekstrimis yang merupakan bagian dari partai politik etnis Hutu melakukan kudeta yang pada akhirnya dapat menguasai pemerintahan Rwanda. Peristiwa inilah yang menjadi pemicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda, hal tersebut memicu etnis Hutu dalam membantai etnis Tutsi dan pihak manapun yang mendukung Arusha Accord. Pasukan Khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.10 Kelompok bersenjata tersebut membunuh siapa saja yang mendukung Arusha Accord tanpa peduli status. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata.Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi Arusha Accord. Korban yang tewas tidaklah sedikit, sebagian korban diletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad korban pembantaian. 11 Pembantaian ini dilakukan oleh Pemerintahan Rwanda yang berisi pihak-pihak etnis Hutu. Dalam pembantaian ini, tidak kurang dari 800.000 jiwa bahkan lebih etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. 12 Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100
9Ibid.
Dinah L. Shelton, 2005, Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity, Vol 1 dan 2, Thomson Gale, Detroit, New York, San Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London, Munich. 11 http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm, diakses pada 17 September 2014, Pukul 23.04 WIB. 12 Ibid. 10
km dari timur Kigali. Korban yang jatuh dari etnis lain tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya.
Upaya PBB dalam Penyelesaian Konflik di Rwanda Upaya Peace Keeping oleh PBB Setelah tiga tahun konflik antara pemerintah Rwanda dengan kelompok RPF berjalan, akhirnya pada bulan agustus 1993 konflik tersebut diselesaikan dengan penandatanganan Arusha Accord. Arusha Accord adalah sebuah kesepakatan yang ditanda-tangani di Tanzania dibawah tekanan pihak internasional yang bertujuan untuk membentuk perdamaian dari situasi krisis serta perang saudara yang terjadi di Rwanda, yang diikuti oleh hampir seluruh pihak yang terlibat. 13 Salah satu dari bagian kesepakatan tersebut adalah pembentukan pasukan perdamaian oleh United Nations (UN) yang lebih dikenal dengan sebutan United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang bertugas untuk membantu implementasi dari kesepakatan tersebut. UNAMIR dibentuk atas resolusi nomor 872 melalui sidang pada 5 Oktober 1993 sebagai pasukan khusus yang membawa misi perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda selama enam bulan. Kelemahan dan kekurangan dari keberadaan UNAMIR adalah tidak adanya izin dari para Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan senjata ketika terjadi kerusuhan atau keadaan perang oleh kaum militan Hutu maupun pemberontak Tutsi. Resolusi Dewan Keamanan PBB hanya menetapkan kontribusi UNAMIR terhadap keamanan kota Kigali dalam area terbatas dengan penetapan weapons secure area yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertikai di dalam dan di sekitar kota Kigali. Pembatasan kinerja pasukan dalam melakukan pengamanan Mandat PBB yang diberikan pada UNAMIR antara lain : a.
Memonitor pengawasan gencatan senjata
b.
Memonitor situasi keamanan selama periode akhir mandat pemerintahan transisi sampai diadakannya pemilu
c. 13
Membantu pembersihan ranjau Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm 102.
d.
Melakukan investigasi
e.
Mencari kejadian-kejadian sejenis dan melaporkan ke Sekretaris Jenderal PBB.
f.
Memonitor proses pemulangan kembali pengungi Rwanda.
g.
Membantu koordinasi bantuan kemanusiaan. Intervensi PBB di Rwanda tidak berlangsung efektif akibat adanya sejumlah faktor
kelemahan. Dengan dibekali mandat yang lemah, dan kurangnya persenjataan, perlengkapan serta dukungan logistik, UNAMIR bukan hanya gagal menjamin proses pedamaian dan implementasi Arusha Accord, tetapi juga gagal mencegah dan menghentikan terjadinya genosida. Kegagalan memberikan respon yang layak terhadap genosida juga ditunjukkan oleh PBB dengan mengurangi secara drastis jumlah pasukan internasional justru pada saat kehadirannya sangat diperlukan. Sumber utama kegagalan PBB dalam mengatasi bencana kemanusiaan di Rwanda lebih disebabkan oleh faktor politis; negara–negara besar dan anggota Dewan Keamanan PBB kurang memiliki political willdalam mengupayakan penyelesaian konflik Rwanda secara sungguh–sungguh. Keengganan politis ini terlihat, baik pada proses awal pembentukan UNAMIR maupun di tengah berlangsungnya misi tersebut. UNAMIR terbentuk dengan mandat yang lemah, kekuatan pasukan, persenjataan dan perlengkapan yang kurang memadai. Setiap upaya untuk memperkuat mandat UNAMIR dan meningkatkan kapabilitasnya selalu ditentang, terutama oleh Amerika Serikat dan Ingrris, meskipun konlfik di Rwanda semakin menunjukkan tanda–tanda meningkatnya kekerasan dalam skala besar. Di tengah terjadinya genosida, Dewan Keamanan PBB justru mengurangi dan menarik sebagian besar pasukannya dari Rwanda, dan bukan mencari upaya untuk mengatasi kendala–kendala yang ada. Seandainya pasukan PBB yang telah ada di lapangan diberikan kekuatan militer dan mandat yang memadai, genosida mungkin akan dapat dicegah atau setidaknya dibatasi. Keengganan politis pula yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasukan UNAMIR II. Upaya Peace Building oleh PBB Dewan Keamanan PBB memerintahkan pelaksanaan investigasi dari tindak kekerasan menurut hukum humaniter internasional yang terjadi di Rwanda. Pada 8 Juni 1994, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 925 disertai dengan laporan sekretaris jendral mengenai situasi di Rwanda pada 31 Mei 1994 yang menyimpulkan bahwa pembunuhan yang
terjadi di Rwanda merupakan tindak genosida, Dewan Keamanan PBB menekankan bahwa tindakan genosida telah terjadi di Rwanda dan genosida merupakan tindakan kriminal yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. 14 Atas dasar hal tersebut, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 935 dan membentuk komisi untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan-kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang yang terjadi dalam peristiwa di Rwanda.15 Genosida di Rwanda berakhir pada 18 Juli 1994 ditandai dengan kemenangan dari pihak RPF. Paska berakhirnya peristiwa genosida di Rwanda, PBB membentuk sebuah badan peradilan ad hoc yang bertugas mengadili seluruh pelaku tindak kejahatan HAM dan bertanggung-jawab atas peristiwa genosida.Keputusan pembentukan badan peradilan ad hoc juga didasari oleh permintaan khusus dari pemerintah Rwanda untuk mengadili para pelaku genosida.16 International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan pengadilan ad hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB merujuk pada peristiwa yang terjadi di Rwanda tergolong kedalam tindakan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang termasuk kedalam juridiksi dari hukum internasional. Dalam hal ini PBB merasa memiliki tanggung-jawab atas peristiwa tersebut, seperti yang tercantum dalam konvensi PBB tahun 1948 tentang genosida (UN Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), dimana PBB berkewajiban untuk mencegah, membantu penyelesaian konflik serta mengadili para pelaku tindak kejahatan dalam peristiwa genosida.17 Pengadilan kejahatan internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk melalui resolusi Dewan Keamanan PBB no.955 pada tahun 1994, dalam statusnya menyatakan bahwa lingkup kewenangan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan internasional. Juridiksi ICTR meliputi: genosida; kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity); dan pelanggaran pasal 3 seluruh konvensi-konvensi jenewa 1949 beserta protocol tambahan II tahun 1977 (Violation of common article 3 Geneva Convention and editional protocol II of 1977).18
14R.A
Dallaire dan B. Poulin, UNAMIR, Mission to Rwanda (1995) hlm 25-26.
15Ibid. 16
17United
Nations Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948. of the International Criminal Tribunal for Rwanda, 1994.
18Statute
Pembentukan ICTR diharapkan dapat berkontribusi dalam proses resolusi konflik yakni pembangunan perdamaian (Peace Building) di Rwanda. Konsep dari pembangunan perdamaian paska konflik ditujukan untuk menciptakan kondisi yang mencegah terjadinya kembalinya sebuah konflik, dan Peace Building harus menjadi pelengkap dari usaha yang telah dijalankan dalam proses Peace Keeping dengan tujuan menciptakan rasa percaya diantara masyarakat paska konflik. 19 ICTR merupakan badan yang berperan dalam tahapan Peace Building yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian rekonsiliasi di Rwanda. Penutup Konflik yang terjadi di Rwanda adalah sebuah konflik internal antara etnis Hutu dengan etnis Tutsi yang memperebutkan kekuasaan dalam pemerintahan Rwanda yang disebabkan oleh rasa fanatis yang dimiliki oleh etnis Hutu terhadap etnis Tutsi. Hal ini disebabkan karena etnis Tutsi sebagai etnis minoritas dapat menguasai pemerintahan Rwanda, sedangkan etnis Hutu sebagai etnis mayoritas sama sekali tidak mendapatkan peran dalam pemerintahan Rwanda. Karena etnis Tutsi adalah etnis minoritas di Rwanda, mereka merasa terancam dan akhirnya banyak dari etnis Tutsi melarikan diri dari Rwanda ke berbagai negara sekitar Rwanda. Penduduk yang berada di tempat-tempat pengungsian tersebut akhirnya merasa bahwa mereka masih bagian dari Rwanda yang pada akhirnya membuat mereka bersatu dan membentuk RPF. Aksi dari RPF dapat dikatakan memukul pihak pemerintahan Rwanda dan membuat pemerintahan Rwanda harus melakukan perlawanan agar dapat mempertahankan posisi mereka. Hal ini membuat banyaknya korban yang berjatuhan di wilayah Rwanda. Dengan terus berlanjutnya konflik antara kedua etnis tersebut, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Rwanda dan pada akhirnya menjadi sorotan dari pihak internasional yang memaksa mereka untuk melakukan upaya perdamaian dengan membentuk sebuah kesepakatan yang dinamakan Arusha Accord. Arusha Accord adalah salah satu bentuk upaya peace keeping yang dilakukan oleh PBB untuk dapat menghentikan konflik yang berada di Rwanda yang juga disepakati oleh Presiden Rwanda saat itu. Kesepakatan ini memberikan mandat kepada pasukan perdamaian
19Resolusi
diadopsi oleh Majelis Umum PBB no.47/120 B.An Agenda for Peace, 1993.
PBB untuk masuk kedalam Rwanda dan juga memaksa pihak yang berkonflik untuk melakukan gencatan senjata. Kesepakatan ini tidak berlangsung lama sebelum terjadinya sebuah insiden yang melibatkan Presiden Rwanda saat itu terbunuh oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya kesepakatan Arusha Accord dan membuat mereka dapat menduduki pemerintahan Rwanda. Hal ini menimbulkan konflik baru di Rwanda yang dilakukan oleh pemerintah Rwanda untuk melawan pihak-pihak yang menyetujui kesepakatan Arusha Accord baik mereka adalah etnis Tutsi ataupun etnis Hutu. Konflik ini menimbulkan pembataian besarbesaran yang dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida. Konflik ini berakhir dengan kemenangan dari pihak RPF dengan menguasai banyak wilayah di Rwanda. Dengan berakhirnya konflik yang terjadi di Rwanda ini, pihak internasional dengan segera masuk ke Rwanda. PBB melanjutkan usaha perdamaiannya dengan melakukan upaya peace building dengan membentuk sebuah pengadilan internasional yang disebut International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertugas untuk dapat mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden genosida ini.
DAFTAR PUSTAKA
Batware, Billy. (2012). Rwandan Ethnic Conflicts: A Historical Look at Root Causes, Austria: European Peace University. Maria van Haperen. (1994). The Rwanda Genocide. R.A Dallaire dan B. Poulin, (1995). UNAMIR, Mission to Rwanda Resolusi diadopsi oleh Majelis Umum PBB no.47/120 B. An Agenda for Peace, 1993 Shelton, Dinah. L. (2005). Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity, New York. Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda, 1994 Thompson, Allan. (2007). The Media and The Rwanda Genocide, London: Pluto Press. United Nations Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948 Website: http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_Rwanda.htm, September 2014
diakses
pada
17