eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (2) 519-536 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
PERAN UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER FOR REFUGEE (UNHCR) DALAM MENANGANI PENGUNGSI SURIAH DI LEBANON Linda Purwitasari1 Nim. 0902045237 Abstract United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) is an international organization established by the General Assembly of the United Nations (UN) on December 14, 1950, this organization has the mandate to lead and coordinate international action to protect refugees and resolve refugee problems in the world. The purpose of this study is to know how the the role and constraints UNHCR in addressing the problems of Syrian refugees in Lebanon (2012-2015), through UNHCR as initiator, facilitator and determiners. This study is a qualitative research. It uses the library research method by taking the data from books, journals, articles and the internet. UNHCR's third effort is a direct assistance to refugees in order to facilitate the needs of refugees. In addition, UNHCR also helps refugees to get durable solution that is, local integration, returns voluntarily and resettlement in a third country. Nevertheless, the role of UNHCR in performing its role is not maximized because hampered by the lack of shelter provided to refugees, lack of access to healthcare to refugees and the lack of operational funds.
Keywords : UNHCR, Syrian Refugees in Lebanon.
Pendahuluan Timur Tengah telah sejak lama dianggap sebagai salah satu trouble spot di dunia. Banyak peristiwa yang terjadi di wilayah yang kaya akan minyak ini. Mulai dari konflik suatu negara, konflik antar negara di kawasan, hingga konflik yang melibatkan negara-negara di luar kawasan yang kerap kali masalah yang muncul menjadi isu internasional yang sulit diselesaikan. Salah satu konflik berkepanjangan yang sampai saat ini masih berlangsung adalah konflik yang terjadi di Suriah.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Kurang lebih dari empat tahun, negara yang berbatasan langsung dengan Lebanon di sebelah utara dan timur ini mengalami gejolak politik yang melibatkan pemerintahan Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar Al Assad dan sekelompok oposisi yang menentang pemerintahannya. (http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/templateDetail.js p?id=137322&lokasi=lokal.) Dipicu dari meletusnya revolusi di Timur Tengah pada tahun 2011 yang bermula dari Tunisia, Mesir, Libya dan pada akhirnya sampai ke Suriah. Pergolakan revolusi tersebut pada akhirnya membawa efek domino di kawasan tersebut. Bahkan karena ekstrimnya, gambaran yang melanda Suriah sekarang sudah dideskripsikan lebih besar dari sebuah revolusi. Konflik Suriah variannya beraneka ragam, tidak dapat lagi diidentikkan sebagai sebuah konflik antara Sunni dan Syiah semata misalnya. Karena berbagai kelompok, bangsa, etnis, dan negara memiliki kepentingan. Sehingga dapat dinilai bahwa konflik ini berorientasi pada kekuasaan. Konflik Suriah berawal dari grafiti di dinding sekolah disebuah kota kecil di perbatasan Yordania bernama Daraa, sebanyak 15 anak ditangkap dan ditahan pada 6 Maret 2011 atas karya grafiti mereka yang bertuliskan As-Shaab/Yoreed/Eskaatel nizam (Rakyat Ingin Menyingkirkan Rezim!). (http://www.academia.edu/8209106/Konflik_di_Suriah.).Sebanyak 15 orang anak ini yang terdiri dari anak laki-laki berusia sekitar 10-15 tahun mereka tidak hanya ditangkap dan ditahan melainkan juga disiksa. Hal ini memicu para demonstran untuk turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Demonstrasi tidak hanya terjadi di Daraa tetapi juga terjadi di beberapa kota di Suriah lainnya seperti Damaskus. Para demonstrasi secara terus-menerus melancarkan aksi mereka dengan menyuarakan tuntutan-tuntutan demokrasi, dan menuntut diterapkannya sistem multipartai. Awalnya, aksi demonstrasi berhasil dibubarkan oleh tentara Suriah. Dari demonstasi itu, beberapa demonstran ditahan dan ditembak oleh pasukan keamanan. Upaya yang dilakukan kelompok oposisi Suriah dalam menurunkan kekuasaan Presiden Bashar al Assad telah menjadi konflik antara pemerintah dengan kelompok oposisi Suriah. Konflik dalam negeri Suriah merupakan konflik terpanjang dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya yang terkena dampak Arab spring. Dengan demikian konflik di Suriah sebagai konflik yang memiliki dampak terburuk Arab spring, dengan jumlah korban jiwa hingga 130.433 jiwa.(http:huffingtonpost.com/2013/12/ 31/death-toll-syria_n_4524443.html.). Krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa, luka-luka dan hancurnya tempat tinggal. Hal demikian menjadikan masyarakat Suriah memilih untuk pergi meninggalkan Suriah menuju negara-negara yang berbatasan langsung dengan Suriah. Seperti Lebanon, Turki, Yordania, Irak dan Mesir menjadi tujuan pengungsi untuk mencari perlindungan dan menghindari konflik. Dengan demikian konflik Suriah yang terjadi sejak tahun 2011 telah berdampak terhadap meningkatnya jumlah pengungsi ke negara-negara tetangga Suriah.
520
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Lebanon menjadi salah satu negara tujuan bagi para pengungsi Suriah, selain Lebanon negara tetangga Suriah seperti Turki dan Yordania turut menjadi negara tujuan bagi para pengungsi untuk menyelamatkan diri dari zona perang. Sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Suriah, Lebanon berada pada tekanan besar arus pengungsi Suriah. Pada tahun 2012 tak kurang pengungsi mencapai 25% dari empat juta penduduk Lebanon. Sehingga diperperkirakan bahwa Lebanon telah menjadi negara dengan konsentrasi pengungsi per kapita tertinggi diseluruh dunia. Dari data UNHCR pada tahun 2011 hingga tahun 2013, dijelaskan bahwa Lebanon merupakan negara yang menjadi tujuan pengungsi terbesar dibandingkan negara tetangga lainnya. Arus besar pengungsi menuju Lebanon dikarenakan faktor geografis Lebanon yang berbatasan langsung dengan Suriah di Utara dan Timur. Hal tersebut menjadikan mayoritas pengungsi Suriah menuju wilayah-wilayah Lebanon seperti wilayah Lebanon Selatan, Beirut, Lebanon Utara, dan Bekka. Selain faktor geografis, terdapat faktor historis antara Lebanon dan Suriah yang menjadikan Lebanon dengan Suriah memiliki hubungan yang kuat baik sosial, ekonomi dan politik. Namun konflik yang terjadi di Suriah selama tiga tahun mengakibatkan peningkatan arus pengungsi menuju Lebanon. Hal ini terlihat sejak tahun 2011 berjumlah 3.798 jiwa kemudian pada tahun 2012 berjumlah 525.061 dan pada tahun 2013 berjumlah 2.352426 jiwa. Peningkatan arus pengungsi tersebut telah menimbulkan permasalahan bagi Lebanon seperti permasalahan sosial antara pengungsi Suriah dengan masyarakat Lebanon yang diakibatkan oleh masalah tempat tinggal dan masalah kesehatan. Walaupun demikian, kehadiran pengungsi Suriah di wilayah Lebanon menjadikan Lebanon tetap menerima pengungsi Suriah dan berperan aktif dalam memfasilitasi, dan berkoordinasi dengan United Nations High Commissioner for Refugge (UNHCR), hal demikian karena Lebanon terikat oleh prinsip non refoulment dan deklarasi hak asasi manusia beserta Memorandum of Understanding (MoU) dengan UNHCR terkait penanganan pengungsi. Oleh karena itu, dalam menghadapi tingginya arus pengungsi menuju wilayah Lebanon maka pemerintah Lebanon melalui Kementrian Sosial, Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Keamanan Lebanon untuk berkoordinasi dan bekerjasama dengan UNHCR dalam melindungi para pengungsi Suriah. Kerjasama antara pemerintah Lebanon dengan UNHCR dilakukan karena UNHCR merupakan unit dari PBB yang menangani secara khusus masalah pengungsi. UNHCR juga merupakan organisasi internasional yang memiliki mandat khusus dalam menangani masalah-masalah pengungsi. Mandat khusus tersebut dilakukan dengan mencarikan solusi berkelanjutan berupa repatriation (pemulangan pengungsi ke negara asalnya), integration (integrasi di negara pemberi suaka), dan resettlement (pemukiman kembali ke negara ketiga). Selain mencarikan solusi berkelanjutan UNHCR juga bertugas menyediakan bantuan jangka pendek yang bersifat material dan non-material untuk menangani pengungsi Suriah. Pengungsi Suriah yang masuk ke wilayah Lebanon terus memuncak pada tahun 2012 sehingga membutuhkan bantuan UNHCR yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikan bantuan,
521
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
perlindungan dan pencarian solusi bagi para pengungsi sesuai dengan mandat yang di berikan oleh PBB atas nama kemanusiaan. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Teori Peran Organisasi Internasional Peranan merupakan seperangkat prilaku yang diharapkan dari seseorang atau struktur yang menduduki suatu posisi dalam sistem. Peranan juga dapat diartikan suatu prilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status. Dengan kata lain peranan merupakan seperangkat prilaku yang diharapkan dari seseorang atau dari struktur yang menduduki suatu posisi dalam sistem. Peran dari struktur tunggal maupun bersusun, ditentukan oleh prilaku peran itu sendiri dari pemegang peran terhadap tuntutan dan situasi yang mendorong dijalankannya peran tersebut. Peran merupakan aspek dinamis kedudukan, apa bila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia telah menjalankan suatu peranan. Disisi lain peran juga berhubungan dengan harapan. Peranan merupakan seperangkat prilaku dengan kelompok, baik kecil maupun besar, yang keseluruhannnya menjalankan berbagai peran. Organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai pola kerjasama yang melintas batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuantujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antar pemerintah dengan pemerintah maupun antar sesama kelompok non pemerintah pada negara yang berbeda. Semua Organisasi Internasional memiliki struktur organisasi untuk mencapai tujuannya. Apa bila struktur-struktur tersebut sudah menjalankan fungsinnya, maka organisasi tersebut telah menjalankan peranan tertentu. Dengan demikian peranan dianggap sebagai fungsi baru dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kemasyarakatan. Konsep Pengungsi Masalah pengungsi sesungguhnya telah ada sejak umat manusia mengenal adanya konflik dan peperangan, karena umumnya yang menjadi pengungsi adalah korban dari aksi kekerasan atau mereka yang melarikan diri dari ganasnya perang yang terjadi di wilayahnya atau di negaranya. Karenanya, pengungsi dapat dikatakan sebagai orang-orang tidak dapat mencari penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan tanpa adanya bantuan dan perlindungan dari negara dimana mereka berada. Kepergian mereka juga karena terpaksa, akibatnya mereka tidak dapat mengurus dokumen-dokumen (surat-surat) perjalanan yang sangat dibutuhkan sewaktu mereka berjalan melintasi batas negara mereka untuk pergi mengungsi ke negara lain.
522
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Sedangkan pengertian pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata 'ungsi' dan kata kerjanya adalah 'mengungsi', yaitu pergi mengungsi (menyingkir) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman). Dari pendapat diatas dapat diartikan bahwa pengungsi adalah sekelompok manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi baik di negara asalnya maupun dinegara dimana mereka mengungsi. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak memiliki dokumen perjalanan. Kepergian mereka ketempat atau kenegara lain bukan atas keinginan dari diri (pribadi) mereka tetapi karena terpaksa karena tidak adanya jaminan keselamatan dari negara asal mereka. Konvensi 1951 menyusun standar minimum bagi perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak dasar mereka. Konvensi juga menetapkan status hukum pengungsi, dan mencantumkan ketentuan-ketentuan tentang hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan, mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalanan, mengenai penerapan biaya fiskal, dan mengenai hak mereka untuk memindahkan aset miliknya ke negara lain di mana mereka telah diteriman dengan tujuan pemukiman kembali. Konvensi melarang pengusiran dan pemulangan paksa terhadap orang-orang berstatus pengungsi. Pasal 33 Konvensi menetapkan bahwa "tidak satupun negara Pihak dapat mengusir atau mengembalikan (memulangkan kembali) pengungsi dengan alasan apapun ke wilayah perbatasan di mana jiwa atau kemerdekaan mereka akan terancam kerena pertimbangan ras, agama, kewarganegraan, anggota dari kelompok sosial atau pendapat politik tertentu." Pasal 34 membahas persoalan naturalisasi dan asimilasi bagi pengungsi,. Ketentuan-ketentuan lain berkenaan dengan masalah hak atas akses terhadap pengadilan, pendidikan, jaminan, sosial, perumahan, dan kebebasan untuk bergerak. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan peran UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee) dalam menangani pengungsi Suriah di Lebanon (2012-2015). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah, tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Teknik analisis data yang telah digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yang menjelaskan yang dilandaskan pada kerangka pemikiran konseptual yakni teknik analisis yang dilandaskan pada kerangka pemikiran, dengan menggunakan teori.
523
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Hasil Penelitian Konflik Suriah Konflik Suriah sebelum Arab Spring berawal Pada tahun 1920, ketika Kerajaan Suriah didirikan oleh Faisal I dari keluarga Hashimiah yang kemudian menjadi Raja Irak. Namun, pemerintahannya di Suriah berakhir hanya beberapa bulan setelah bentrokan antara pasukan Arab Suriah dan pasukan Perancis pada Pertempuran Maysalun. Pasukan Perancis menduduki Suriah setelah konferensi San Remo dan meminta kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Suriah di bawah mandat Perancis. Pada tahun 1925 Sultan Pasha al-Atrash memimpin pemberontakan di Druze dan menyebar ke seluruh bagian Suriah dan Lebanon. Hal ini dianggap sebagai salah satu revolusi yang paling penting terhadap mandat Perancis, karena pertempuran mencakup seluruh Suriah dan menyaksikan pertempuran sengit antara pemberontak dan pasukan Prancis. Pada tanggal 23 Agustus 1925 Sultan Pasha al-Atrash resmi menyatakan revolusi melawan Perancis, dan segera meletus pertempuran di Damaskus, Homs dan Hama. Al-Atrash memenangkan beberapa pertempuran melawan Prancis pada awal revolusi, terutama Pertempuran Al-Kabir pada tanggal 21 Juli 1925, Pertempuran al-Mazra pada tanggal 2 Agustus 1925, dan pertempuran di dataran Almsifarh dan Suwayda. Setelah mengalami kekalahan, kemudian Perancis mengirimkan ribuan pasukan ke Suriah dan Lebanon dari Maroko dan Senegal yang dilengkapi dengan senjata modern. Hal ini kemudian mengubah hasil pertempuran dan membuat Perancis kembali memperoleh banyak kota, meskipun perlawanan berlangsung sampai musim semi pada tahun 1927. Perancis berniat menghukum mati Sultan al-Atrash, tapi Sultan berhasil melarikan diri dan kemudian para pemberontak akhirnya diampuni oleh Perancis. Sultan al-Atrash kembali ke Suriah pada 1937 setelah penandatanganan Perjanjian Perancis-Suriah. Suriah dan Perancis merundingkan 7% perjanjian kemerdekaan pada bulan September 1936 dan Hashim al-Atassi yang merupakan Perdana Menteri di bawah pemerintahan Raja Faisal adalah presiden pertama yang terpilih di bawah konstitusi baru, yang juga merupakan titik awal pertama dari republik modern Suriah. Namun, perjanjian tersebut tidak pernah berlaku karena legislatif Perancis menolak untuk meratifikasinya. Dengan jatuhnya Perancis pada tahun 1940 selama Perang Dunia II, Suriah berada di bawah kontrol Pemerintah Vichy sampai Inggris dan Perancis merdeka dan menduduki negara itu kembali pada bulan Juli 1941. Suriah memproklamirkan kemerdekaannya lagi tahun 1941, namun tidak sampai 1 Januari 1944 negara tersebut diakui sebagai republik merdeka. Pada bulan April 1946, Perancis mengundurkan tentara mereka karena mendapat tekanan dari kelompok-kelompok nasionalis Suriah dan Inggris, dan kemudian meninggalkan Suriah di tangan pemerintahan republik yang telah terbentuk selama mandat. Kudeta militer kembali terjadi di Suriah pada 13 November 1970 dimana Menteri Pertahanan Suriah pada masa itu, Hafiz al-Assad menobatkan dirinya sebagai Perdana Menteri. Selama Suriah berada di bawah kepemimpinan Hafiz Al-Assad hingga ia tutup usia
524
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
pada 10 Juni 2000, kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya Bashar AlAssad hingga saat ini. Bashar mewarisi sistem politik satu partai, yang didominasi oleh militer yang beraliran sekte Alawi. Sistem tersebut terdiri dari pemerintahan resmi dan pemerintahan bayangan. Pada pemerintahan resmi terdapat institusi seperti kabinet, parlemen, kepengurusan partai Ba‟ath, dan beberapa partai kecil. Keputusan yang sebenarnya dibuat dibelakang pemerintahan resmi tersebut pada sebuah golongan kecil yang berisikan kepala pemerintahan yang bertugas untuk memelihara kestabilan rezim. Hanna Batatu, seorang ahli sejarah Timur Tengah mengemukakan bahwa 61% dari pemerintahan bayangan tersebut menganut sekte Alawi. Pemerintahan bayangan ini memberikan jawaban kepada presiden yang bersifat mutlak. Orang-orang yang berada di luar area pemerintahan dapat tetap menjalankan pekerjaan mereka dengan tenang selama mereka tidak ikut campur dalam keputusan politik.
Pada tahun 2011 Suriah mengalami konflik internal yang dipicu oleh Arab Spring di wilayah Timur Tengah. Sama halnya dengan negara Timur Tengah lainnya yang terkena dampak Musim Semi Arab (Arab Spring), konflik Suriah juga diawali dengan aksi demonstrasi masyarakat Suriah. Gerakan demonstrasi masyarakat Suriah dimulai dari tuntutan masyarakat Suriah di kota Dera’a yang menuntut pembebasan anak-anak sekolah yang ditangkap polisi Suriah. Penangkapan anak-anak sekolah tersebut terjadi dikarenakan mereka menulis slogan revolusi yang diteriakan rakyat di Tunisia, Mesir dan Libya yang bertuliskan Assahab yoreed eskaat el nizam yang artinya rakyat ingin menumbangkan rezim. Grafiti yang ditulis oleh anak-anak tersebut dianggap oleh pemerintah sebagai aksi provokasi kepada masyarakat sehingga pemerintah melalui Mukhabarat memerintahkan agar anak-anak tersebut ditangkap. Anak-anak tersebut ditangkap dan disiksa sehingga membuat para orang tua dan pimpinan kabilah sangat marah kepada rezim. Demonstrasi yang dilakukan di Suriah berkembang menjadi demonstrasi publik yang bertujuan untuk perubahan pemerintahan. Tuntutan masyarakat Suriah tersebut diakibatkan karena perekonomian Suriah mengalami penurunan dan kecewa terhadap pemerintahan Assad yang telah lama memerintah Suriah. Namun tuntutan-tuntutan masyarakat Suriah melalui gerakan demonstrasi dihalangi oleh pihak keamanan, dengan cara penembakan terhadap para demonstran yang mengakibatkan jatuhnya korban tewas dari masyarakat Suriah. Penembakan terhadap para demonstran tersebut menjadikan masyarakat Suriah semakin marah terhadap rezim Assad sehingga mengakibatkan bentrokan antara demonstran dengan pemerintah.
525
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Berkembangnya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Suriah dalam menurunkan kepemimpinan Presiden Bashar Al-Assad, menjadikan masyarakat Suriah bergabung dalam beberapa kelompok oposisi. Terdapat empat kelompok oposisi yaitu: (Syrian National Council (SNC), Free Syrian Army (FSA), National Coordinator Bereu (NCB), dan gerakan akar rumput yang sifatnya lokal. Terbentuknya kelompok-kelompok oposisi menjadikan adanya dua kelompok yang saling bertentangan. Dua kelompok tersebut yaitu pihak oposisi yang ingin menjatuhkan kekuasaan Presiden Bashar al Assad dan pihak pemerintah yang mempertahankan kekuasaan Presiden Bashar al Assad. Dengan adanya kedua kelompok yang saling bertentangan tersebut menjadikan konflik dalam negeri menjadi konflik berkepanjangan. Dampak dari konflik tersebut berakibat pada terjadinya krisis kemanusian yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa, lukaluka dan hancurnya tempat tinggal penduduk Suriah. Sekitar kurang lebih 130.433 jiwa penduduk Suriah meninggal dunia akibat konflik tersebut. Korban yang meninggal diantaranya adalah anak-anak dan perempuan sekitar 11.709 jiwa, dari kelompok pemberontak sekitar 29.083 jiwa serta dari kelompok pemerintah Suriah sekitar 52.290 jiwa dan sisanya sekitar 50.000 jiwa meninggal di dalam penjara. Hal inilah yang menyebabkan ratusan ribu masyarakat Suriah memilih pergi meninggalkan Suriah menuju negara-negara yang berbatasan langsung dengan Suriah seperti Lebanon, Turki, Yordania, Irak dan Mesir untuk mencari perlindungan dan menghindari konflik. Pengungsi Suriah di Lebanon Pada awalnya masyarakat Suriah hanya pergi dari desa ke desa untuk mencari perlindungan namun situasi dalam negeri yang tidak menentu menjadikan masyarakat Suriah pergi meninggalkan negaranya untuk mendapatkan perlindungan di negaranegara tetangga. Oleh karena itu, kekerasan dan konflik dalam negeri menjadikan warga Suriah sebagai pengungsi dalam negeri. Konflik dalam negeri menjadikan masyarakat Suriah kehilangan anggota keluarga, hancurnya rumah-rumah dan hilangnya pekerjaan. Menurut UNHCR jumlah pengungsi dalam negeri (Internal Displacement Persons (IDPs) ) di Suriah dari 2.016.500 jiwa pada tahun 2012 meningkat menjadi 6.520.800 jiwa pada akhir tahun 2013. Peningkatan jumlah pengungsi dalam negeri (Internal Displacement Persons/IDPs) tersebut berdampak kepada negara-negara tetangga Suriah. Menurut laporan UNHCR bahwa per tanggal 31 Desember 2013 jumlah pengungsi Suriah yang menuju negara-negara tetangga mencapai 2.352.426 jiwa, tersebar di Turki 352.242 jiwa, Lebanon 858.641 jiwa, Iraq 212.181 jiwa, Yordania 576. 354 jiwa dan Mesir 131.707 jiwa. (http://popstats.unhcr.org/PSQ_TMS.aspx?SYR=2001&EYR=2013&POPT=ID&DO GN=N&DPOPT=N internet.).
526
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Masuknya pengungsi Suriah ke Lebanon melalui perbatasan-perbatasan kedua negara menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengungsi di Lebanon dari jumlah pengungsi pada akhir November 2011 mencapai 3.798 jiwa dan pada akhir Januari 2012 berjumlah 6.374 kemudian meningkat pada akhir September 2012 mencapai 156.612. Jumlah pengungsi yang masuk ke Lebanon tidak semuanya memasuki Lebanon secara resmi atau legal dan terdaftar tetapi ada juga yang masuk ke Lebanon dengan illegal dan tidak terdaftar. Terdapat beberapa kelompok warga Suriah yang menuju Lebanon yaitu, Kelompok pertama yang terdiri dari warga negara ganda yang memiliki kedua paspor Lebanon dan Suriah. Kelompok kedua yaitu warga Suriah yang datang ke Lebanon melalui jalur hukum dan diperpanjang izin tinggal mereka di akhir masa dari tinggal di Lebanon. Kelompok ketiga adalah yang konsisten yang datang dari Suriah ke Lebanon melalui jalur resmi, tapi tidak bisa memperpanjang izin tinggal karena biaya perpanjangan, dengan demikian warga Suriah tersebut tinggal secara ilegal di Lebanon. Kelompok-kelompok tersebut terdiri dari warga Suriah yang masuk Lebanon secara ilegal dan tidak memiliki identitas dokumen yang masih berlaku. Banyaknya kelompok yang masuk ke Lebanon menjadikan sulitnya untuk mengetahui jumlah warga Suriah yang masuk ke Lebanon terlebih pemerintah Lebanon menerapkan kebijakan pintu terbuka dengan membuka perbatasan antara Lebanon dan Suriah. Pada awal kedatangannya, masyarakat Lebanon menerima dengan senang hati kedatangan pengungsi Suriah. Namun karena konflik dalam negeri Suriah yang berkepanjangan berdampak kepada terjadinya ketegangan sosial antara masyarakat Lebanon dengan pengungsi Suriah. Ketegangan sosial yang diakibatkan oleh tingginya jumlah pengungsi Suriah yang masuk ke Lebanon yang mencapai 858.242 jiwa sedangkan jumlah penduduk Lebanon 4.965,914 jiwa berdampak kepada munculnya permasalahan-permasalahan sosial seperti persaingan pekerjaan dan peningkatan kemiskinan. Permasalahan persaingan pekerjaan ditandai dengan masuknya pekerja Suriah yang merupakan sebagian besar pekerja tidak terampil dengan pendidikan rendah mengancam pekerja Lebanon, terutama dalam pembangunan, pertanian dan pada tingkat lebih rendah pada sektor jasa. Pekerja Suriah lebih diminati karena mereka bersedia dibayar dengan upah yang lebih rendah. Dengan masuknya pengungsi Suriah kepada sektor pekerjaan masyarakat Lebanon, maka pengungsi Suriah telah menjadikan adanya penurunan upah dan kesempatan kerja yang terbatas bagi warga negara Lebanon. Keterlibatan UNHCR (United Nations High Commessioner for Refugees) Pengaturan pengungsi tidak lepas dari peran organisasi internasional atau lembaga internasional. Eksistensi lembaga seperti UNHCR (United Nations High Commessioner for Refugees) dalam menangani pengungsi memegang peranan penting, sehingga UNHCR yang merupakan bagian dari majelis Umum PBB dengan tugasnya bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan penanganan pengungsi di berbagai negara. Komisi Tinggi PBB untuk urusan pengungsi ini bermarkas di Jenewa, Swiss. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950, dan mulai
527
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
menjalankan tugasnya pada 1 Januari 1951 untuk jangka waktu tiga tahun dan memiliki tugas terbatas yaitu untuk menyediakan perlindungan hukum bagi pengungsi Eropa yang tersingkir pasca Perang Dunia II. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB untuk kemudian mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru. UNHCR diberi mandat oleh PBB untuk memimpin dan mengkoordinasikan aksi internasional untuk perlindungan pengungsi di seluruh dunia dan penyelesaian masalah pengungsi. Tujuan utama UNHCR adalah untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para pengungsi. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut UNHCR berusaha memastikan setiap orang untuk dapat menggunakan hak mencari suaka dan menemukan tempat perlindungan yang aman di negara lain, dan pulang secara sukarela. Bantuan UNHCR kepada pengungsi untuk kembali ke negara mereka sendiri atau untuk menetap secara permanen di negara lain merupakan sebagai tanggung jawab UNHCR dalam mencari solusi yang permanen bagi pengungsi. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para pengungsi. UNHCR terus melaksanakan tujuannya tersebut melalui kegiatankegiatan yang ditunjukan kepada pengungsi dalam melindungi hak-hak pengungsi secara langsung. Untuk itu, UNHCR dalam melindungi pengungsi melalui tugastugasnya mencakup berbagai aktivitas perlindungan yang diberikan kepada pengungsi, baik di lapangan maupun di markas besar UNHCR. Tugas-tugas tersebut sebagaimana tercantum dalam UNHCR’s Protection mandat yaitu: menjamin pemberian suaka, menganggarkan kebutuhan dan memonitor perlakuan terhadap pengungsi dan pencari suaka bersama dengan negara tuan rumah dengan menjamin keamanan fisik pengungsi, mengidentifikasi kelompok-kelompok pengungusi yang rentan dengan cara memastikan kebutuhan-kebutuhan pengungsi terhadap perlindungan-perlindungan tertentu dan memprioritaskan bantuan dengan jalan memastikan kesejahteraannya, mendukung sejumlah negara-negara untuk menetapkan sistem registrasi dan dokumentasi. Peran UNHCR dalam menangani pengunsi Suriah di Lebanon 1. Peran UNHCR sebagai inisiator Inisiator mengacu pada upaya organisasi internasional dalam hal ini adalah UNHCR dapat menjalankan peranannya sebagai penengah dalan permasalahan dan konflik yang terjadi di Suriah, dimana akibat konflik yang terjadi di suriah menimbulkan gelombang pengungsi besar-besaran ke Lebanon. Hal ini menimbulkan masalah tidak hanya bagi pengungsi Suriah ini sendiri tetapi juga pada masyarakat Lebanon. Disinilah peran UNHCR sangat dibutuhkan untuk membantu pengungsi tersebut. Berbagai macam upaya dilakukan oleh UNHCR diantaranya dengan mengajukan suatu masalah kepada masyarakat internasional agar mendapatkan solusi sehingga mendorong UNHCR untuk mengangkat kasus pengungsi Suriah di Lebanon menjadi salah satu agenda yang harus dibahas dan dicari penyelesaiannya oleh masyarakat internasional.
528
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Dalam penanganan pengungsi, UNHCR berperan sebagai inisiator setelah UNHCR melihat bahwa permasalahan kemanusiaan terhadap pengungsi semakin kompleks sehingga UNHCR sebagai organisasi internasional membawa permasalahan pengungsi kepada masyarakat internasional melalui Konferensi Donor yang diadakan di Kuwait pada tahun 2013. Dalam konferensi tersebut UNHCR memberikan informasi mengenai keadaan pengungsi yang membutuhkan bantuan masyarakat internasional. 2. Peran UNHCR sebagai fasilitator Kedatangan Pengungsi Suriah ke Lebanon dari tahun 2012 sampai tahun 2015 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 jumlah pengungsi yang menuju ke Lebanon mencapai 126.000 jiwa sedangkan pada tahun 2015 telah mencapai 1.000.000 jiwa. UNHCR sebagai fasilitator merupakan upaya organisasi internasional untuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dalam menangani suatu masalah. Sebagaimana dalam kasus pengungsi Suriah bahwa permasalahan pengungsi merupakan isu kemanusiaan yang bersifat multidimensional. Hal ini karena permasalahan pengungsi tidak hanya menyangkut permasalahan bagi setiap individu (personal) yang melarikan diri akibat ancaman dari konflik internal. Permasalahan pengungsi juga menyangkut permasalahan kelompok, etnis, dan masyarakat (community) yang pergi meninggalkan negaranya. Berbicara tentang kebutuhan dan layanan dasar para pengungsi Suriah bisa mencakup berbagai hal diantaranya adalah: a. UNHCR sebagai Fasilitator dalam Permasalahan Tempat Tinggal Tempat tinggal menjadi perhatian penting bagi UNHCR terutama dengan terus meningkatnya jumlah pengungsi di Lebanon pada tahun 2012 hingga 2015. Dengan demikian dalam memenuhi hak-hak pengungsi maka UNHCR sebagai fasilitator memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tempat tinggal pengungsi Suriah di Lebanon. Dari semua bantuan yang diberikan oleh UNHCR untuk pemukiman berjumlah 19.753 keluarga dan 99.489 jiwa. Namun total jumlah yang diberikan oleh UNHCR tidak sesuai dengan total target yang harus dicapai oleh UNHCR dalam memberikan bantuannya yaitu 194.500 bantuan. Jumlah Keluarga Dan Pengungsi Suriah Yang Telah Menerima Bantuan Tempat Tinggal Di Lebanon Tahun 2013 Aktivitas Jumlah Keluarga Jumlah Pengungsi Penerima Bantuan Penerima bantuan Tempat Tinggal Tempat Tinggal Rehabilitasi Rumah 1.485 7.522 Permukiman Informal 8.358 41.190 Penampungan Kolektif 876 4.355 Penampungan Sementara 357 1.795 Bangunan yang Belum 4.320 21.692 Selesai Cash for rent 4.477 7.522 Jumlah penerima manfaat dari 19.753 99.489 bantuan tempat tinggal
529
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Sumber: Vincent Dupin, “UNHCR Monthly Update Shelter” UNHCR, (November 2013): 1 Terkait dari penjelasan diatas, untuk menangani pengungsi Suriah di Lebanon terdapat aktor-aktor yang terlibat dalam melakukan penanganan masalah pengungsi, yaitu UNHCR sebagai organisasi internasional dalam menangani masalah pengungsi dengan melakukan kerjasama dan koordinasi dengan aktor lain, seperti pemerintah Lebanon dan organisasi internasional lainnya. Seperti yang dijelaskan dalam konsep organisasi internasional bahwa kehadiran organisasi internasional mencerminkan kebutuhan manusia untuk bekerjasama, sekaligus sebagai sarana untuk menangani masalah-masalah yang muncul melalui kerjasama tersebut. Dengan demikian, untuk merealisasikan bantuan-bantuan kepada pengungsi, UNHCR bekerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya, yaitu: Danish Refugee Council (DRC); Première Urgence-Aide Médicale Internationale (PU-AMI); Norwegian Refugee Council (NRC); Social Humanitarian Economical Intervention for Local Development (SHEILD); Cooperative Housing Foundation International (CHF); MEDAIR; Comitato Internazionale per lo Sviluppo dei Popoli (CISP); Islamic Relief (IR); Caritas Lebanon Migrant Centre (CLMC); Secours Islamique France; Makhzoumi Foundation; UN-HABITAT, dan Save the Children UK. Kerjasama UNHCR dengan organisasi mitra tersebut dilaksanakan untuk memainkan peran perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi bagi tempat tinggal pengungsi di Lebanon. b. UNHCR sebagai Fasilitator dalam Permasalahan kesehatan Sebagai konsekuensi dari terjadinya kekerasan di Suriah dan hancurannya infrastruktur di Suriah, banyak pengungsi tiba di Lebanon dalam kondisi kesehatan yang membutuhkan perhatian. Kondisi kesehatan yang memperhatikan tersebut karena pengungsi mengalami kondisi trauma dan kondisi hidup di bawah standar yang menjadikan adanya krisis kemanusiaan. Dengan demikian, kebutuhan perawatan kesehatan secara umum menjadi perhatian UNHCR dalam melindungi hak-hak pengungsi. Kebutuhan perawatan kesehatan pengungsi meliputi: perawatan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, pelayanan kesehatan anak seperti vaksinasi, pengobatan penyakit-penyakit akut, seperti infeksi saluran pernapasan, penyakit pencernaan, dan penyakit kronis. Merujuk kepada konsep pengungsi, pengungsi yang mengungsi di suatu negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, maka dari itu dalam menjaga hak-hak pengungsi di bidang kesehatan UNHCR berusaha mempertahankan status kesehatan penduduk dengan mengurangi resiko tersebarnya penyakit dan menangulangi wabah penyakit yang potensial. Oleh karena itu, UNHCR memberikan pengobatan kepada pengungsi melalui cara peningkatan akses kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Kesehatan pengungsi di wilayah pengungsian merupakan komponen kunci dari perlindungan dan prioritas bagi UNHCR.
530
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Pemberian bantuan dalam bidang kesehatan dibagi menjadi dua jenis bantuan, yaitu perawatan kesehatan primer dan sekunder. Perawatan kesehatan primer, yaitu UNHCR mendukung jaringan pusat layanan kesehatan primer yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi pengungsi yang membutuhkan perawatan medis. Perawatan kesehatan primer yang dilakukan oleh UNHCR meliputi 80% dari biaya konsultasi untuk semua pengungsi dan 85% dari biaya prosedur diagnostik untuk kelompok tertentu seperti wanita hamil, anak di bawah 5 tahun dan orang dewasa di atas 65 tahun. Selain itu, UNHCR memperluas jaringan dengan pelayanan medis mobile untuk memastikan bebas akses biaya kepada para pengungsi yang paling rentan dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Sedangkan, perawatan kesehatan sekunder adalah UNHCR hanya memberikan bantuan untuk situasi darurat saja. Bantuan tersebut hanya 75% dari semua perawatan darurat untuk penyelamatan jiwa. Selain itu, dalam memenuhi perawatan sekunder juga UNHCR telah membentuk komite perawatan khusus untuk meninjau kasus tertentu berdasarkan keputusan pada prognosis, rencana pengobatan dan kriteria biaya. 3. UNHCR Sebagai Determinator Konflik yang terjadi di Suriah menjadikan jumlah pengungsi yang menuju Lebanon semakin meningkat. Peningkatan arus pengungsi tersebut telah menimbulkan permasalahan bagi Lebanon. Permasalahan tersebut karena adanya kepadatan penduduk di wilayah Lebanon. Adapun terkait penanganan pengungsi Suriah di Lebanon, penelitian ini melihat UNHCR sebagai organisasi internasional yang khusus menangani pengungsi perlu mencari solusi permanen dalam menangani permasalahan pengungsi Suriah di Lebanon. Berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, UNHCR merupakan organisasi perlindungan bagi pengungsi yang memiliki kewenangan dalam menentukan status bagi pengungsi. Hal ini karena seseorang tidak bisa mendapatkan status pengungsi hanya berdasarkan pengakuan, maka dibuatlah sebuah mekanisme untuk menentukan kelayakan seseorang menerima status sebagai pengungsi. Mekanisme itu disebut Refugee Status Determination (RSD), yaitu proses dimana UNHCR menguji apakah seorang individu yang telah mengajukan permohonan suaka. Penentuan status pengungsi tersebut adalah yang sesuai dengan defininisi pengungsi yang berlaku dalam konvensi 1951 tentang status pengungsi. Dalam kasus pengungsi Suriah di Lebanon UNHCR belum mampu menjalankan integrasi lokal terhadap pengungsi Suriah. Hal tersebut kerena Lebanon merupakan bukan negara yang meratifikasi konvensi 1951 tentang status pengungsi. Selain itu, dalam menjalankan integrasi lokal tersebut dibutuhkan proses yang bertahap dan kompleks karena berkaitan dengan proses hukum, sosial dan budaya. Dan Lebanon juga menegaskan bahwa Lebanon bukanlah sebagai negara suaka, sehingga dalam menjaga hak-hak pengungsi hanya memberikan bantuan langsung untuk menjaga hak-hak pengungsi untuk menjalankan menjalankan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan melaksanakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan UNHCR pada September 2003 untuk mengelola isu-isu pengungsi.
531
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Kemudian, berkaitan dengan pemulangan secara sukarela ke negara asal atau voluntary repatriation pengungsi Suriah dari Lebanon ke Suriah. UNHCR dalam pelaksanakannya belum dapat menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini karena Suriah sebagai negara asal pengungsi masih dalam keadaan konflik sehingga dikhawatirkan keadaan negara asal tersebut dapat mengancam keamanan dan kehidupan pengungsi. Hal tersebut juga di dasari atas syarat dilakukannya repatriasi oleh UNHCR adalah jika keadaan negara asal dalam keadaan yang damai. Walaupun integrasi lokal dan pemulangan kembali ke negara asal tidak dapat dilaksanakan oleh UNHCR. Terdapat satu solusi yang mampu dilaksanakan oleh UNHCR sebagai bentuk upaya UNHCR melindungi hak-hak pengungsi yaitu pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement). Pemukiman kembali di negara ke tiga (Resettlement) merupakan salah satu solusi UNHCR dalam memberikan hak dan melindungi pengungsi dalam mengupayakan pemukiman ke negara ketiga. Proses pemukiman kembali ke negara ketiga dilakukan dengan syarat jika keadaan pengungsi tidak dapat untuk kembali pulang atau tetap di negara tuan rumah, resetttlement atau pemukiman melibatkan seleksi dan transfer pengungsi dari negara di mana mereka telah mencari perlindungan ke negara ketiga yang telah setuju untuk mengakui mereka sebagai pengungsi dengan tinggal permanen. Status pengungsi menjamin perlindungan terhadap refoulement sehingga pengungsi dapat dimukimkan dan mendapatkan akses untuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan warga negara. Adanya Resettlement juga memberikan kesempatan kepada pengungsi untuk menjadi warga negara naturalisasi di negara tujuan pemukiman. Dengan demikian Resettlement memainkan peran penting untuk hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan, atau hak asasi manusia lainnya yang beresiko bagi pengungsi. Oleh karena itu, Resettlement merupakan salah satu solusi yang tahan lama UNHCR yang diberi mandat untuk melaksanakan kerjasama dengan negara penerima. Dalam kasus pengungsi Suriah yang berada di Lebanon UNHCR telah mengirimkan lebih dari 19.000 pengungsi Suriah untuk mendapatkan solusi dengan dilakukannya Resettlement dan bantuan kemanusiaan. Hampir 7.000 telah berangkat, dan 99% dari kasus tersebut merupakan pemukiman kembali (resettlement) dan telah diterima oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Hambatan UNHCR dalam Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon UNHCR sebagai organisasi internasional yang memiliki mandat memimpin dan mengkoordinasikan aksi internasional untuk perlindungan pengungsi dan penyelesaian masalah pengungsi. Tujuan utama UNHCR adalah untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para pengungsi yang berdasarkan konvensi 1951 tentang status pengungsi dan protokol tambahan 1967 yang merupakan instrumen dasar UNHCR dalam melakukan kegiatannya di seluruh dunia. Akan tetapi, dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut terdapat hambatan yang dihadapi oleh UNHCR terutama dalam masalah pengungsi Suriah di Lebanon.
532
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Pemerintah Lebanon bukan merupakan peserta dalam penandatangan Konvensi 1951 tentang status pengungsi dan Pemerintah Lebanon tidak memiliki undang-undang mengenai pengungsi dan pencari suaka. Dalam hal ini, kegiatan atau peran UNHCR dalam menangani pengungsi Suriah tentunya akan mengalami banyak kendala dalam menangani pengungsi Suriah. Sebagaimana fokus penelitian ini kepada permasalahan tempat tinggal dan kesehatan. Maka hambatan yang dihadapi UNHCR dalam Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon pada tahun 2012-2015 antara lain hambatan-hambatan dalam menangani permasalahan tempat tinggal dan kesehatan di Lebanon. 1. Hambatan dalam Penanganan Permasalahan Tempat Tinggal Peningkatan arus pengungsi Suriah yang menuju Lebanon berdampak kepada terjadinya kekurangan pilihan tempat tinggal. Hal tersebut menjadi hambatan bagi UNHCR dalam memfasilitasi tempat tinggal untuk pengungsi Suriah. Karena tidak adanya tempat yang mampu menerima jumlah pengungsi yang besar, sehingga berdampak pada pertumbuhan permukiman informal yang tidak teratur, (pemukiman informal merupakan pemukiman yang ditempati oleh pengungsi di lahan-lahan kosong di tengah kota baik berupa lahan privat maupun lahan lahan umum). Pertumbuhan permukiman informal tersebut menimbulkan risiko bagi pengungsi dan meningkatkan ketegangan dengan masyarakat setempat. Selain keterbatasan wilayah Lebanon dalam menerima pengungsi Suriah, hambatan dalam penanganan masalah tempat tinggal juga terdapat pada solusi yang diberikan UNHCR dalam menangani permasalahan tempat tinggal. Sebelumnya terdapat tiga pilihan solusi yang diberikan UNHCR kepada pengungsi sesuai dengan peran UNHCR dalam melaksanakan tugas mandatnya, yaitu: pertama, mengembalikan para pengungsi ke Suriah (rapatriation), kedua, menampung para pengungsi di Lebanon (integrasi lokal), dan ketiga, memindahkan pengungsi ke negara lain (resettlement). Namun dalam melaksanakan tiga pilihan solusi tersebut tersebut terdapat hambatan-hambatan untuk melaksanakan solusi tersebut. 2. Hambatan dalam Penanganan Permasalahan Kesehatan Begitu juga, terdapat hambatan-hambatan dalam menangani permasalahan kesehatan pengungsi Suriah oleh UNHCR di Lebanon. Hambatan tersebut antara lain, jauhnya akses kesehatan ke tempat pengungsi sehingga pengungsi menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan. Akses ke pusat-pusat perawatan kesehatan merupakan tantangan bagi beberapa pengungsi yang tinggal di lokasi terpencil. Selain itu, akses dibatasi oleh jam kerja yang pendek dan terbatasnya tenaga kesehatan yang terlatih. Walupun UNHCR menyediakan unit medis keliling untuk untuk mengatasi kendala tersebut, tetapi untuk menjangkau daerah-daerah terpencil unit medis keliling belum mampu menjangkau wilayahwilayah terpencil karena akses jalan yang kurang baik.
533
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Kemudian, tingginya biaya perawatan kesehatan menjadikan pengungsi dibebankan biaya medis yang sama seperti warga negara Lebanon. Meskipun kontribusi oleh UNHCR dan mitra lainnya di puskesmas didukung oleh komunitas kemanusiaan, banyak pengungsi masih merasa sulit untuk menutupi biaya perawatan medis. Selain itu, hambatan UNHCR dalam menangani permasalahan kesehatan pengungsi Suriah di Lebanon adalah karena peningkatan jumlah pengungsi mengakibatkan UNHCR tidak dapat memenuhi semua kebutuhan perawatan kesehatan. Peningkatan jumlah pengungsi tersebut berdampak pada peningkatan dana perawatan kesehatan yang tidak mencukupi, terutama pada perawatan sekunder. Selain hambatan-hambatan penanganan permasalahan pengungsi dalam permasalahan tempat tinggal dan kesehatan. Terdapat juga hambatan dana dalam menjalankan kegiatan-kegiatan UNHCR di Lebanon, hambatan dana tersebut karena peningkatan kebutuhan pengungsi lebih besar daripada dana yang disediakan. Pada tahun 2011 kebutuhan anggaran dana yang disediakan UNHCR kepada pengungsi Suriah sebesar USD 13,7 juta untuk Lebanon. Kemudian meningkat menjadi 471 juta pada tahun 2014 dan menjadi 556 juta di tahun 2015. Konsekuensi dari minimnya anggaran dana yang disediakan UNHCR menjadi salah satu hambatan bagi UNHCR dalam menjalankan kegiatannya untuk memenuhi hak-hak pengungsi. Hal tersebut menjadikan kegiatan-kegiatan UNHCR dalam menangani pengungsi Suriah belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Kesimpulan Permasalahan pengungsi Suriah di Lebanon dapat mencakup masalah keamanan manusia (human security), karena jumlah pengungsi Suriah terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah pengungsi ini mengakibatkan berbagai macam masalah yang diantaranya adalah masalah kebutuhan dan layanan dasar yang menyangkut permasalahan tempat tinggal dan kesehatan. Kehadiran pengungsi Suriah di Lebanon menjadikan UNHCR berperan aktif dalam memfasilitasi dan berkoordinasi untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi. UNHCR merupakan organisasi internasional yang memiliki mandat khusus dalam menangani masalah pengungsi yang didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum PBB. Mandat khusus tersebut dilakukan dengan mencarikan solusi berkelanjutan (durabel solution) yaitu pulang secara sukarela, (voulentary repatriation), mengintegrasikan secara local (local integration) dan untuk bermukim kembali di negara ketiga (resettlement). Selain itu, UNHCR juga memberikan bantuan jangka pendek yang bersifat material, yaitu dalam bidang kesehatan UNHCR memberikan bantuan kesehatan primer dan sekunder, dan dalam bidang tempat tinggal UNHCR menyediakan tempat penampungan yang aman, dan distribusi barang-barang untuk menutupi kebutuhan dasar pengungsi. UNHCR juga mendukung Pemerintah Lebanon dalam mengkoordinasikan respon pengungsi dengan lembaga lainnya, dengan membentuk komite tripartit untuk menjadi badan koordinasi dan kerjasama antar lembaga dalam menyelesaikan permasalahan pengungsi Suriah.
534
Peran UNHCR Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon (Linda Purwitasari)
Upaya yang dilakukan oleh UNHCR mencakup kepada peran UNHCR sebagai organisasi internasional yang berperan sebagai inisiator, fasilitator dan determinator. Sebagai inisiator UNHCR mengajukan permasalahan pengungsi Suriah kepada masyarakat internasional melalui konferensi donor yang diadakan di Kuwait. Sebagai fasilitator UNHCR menyediakan fasilitas bantuan secara langsung kepada pengungsi Suriah, dan sebagai determinator UNHCR memberikan status pengungsi melalui mekanisme refugee status determination (RSD) berdasarkan konvensi 1951 tentang status pengungsi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat di antaranya hambatan dalam penanganan permasalahan tempat tinggal karena kurangnya tempat tinggal yang disediakan, hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan jumlah pengungsi di Lebanon sedangkan tempat tinggal di Lebanon terbatas. Hambatan lainnya adalah hambatan dalam penanganan permasalahan kesehatan, seperti minimnya akses kesehatan kepada pengungsi sedangkan permintaan akses kesehatan pengungsi terus meningkat. Selain itu, UNHCR sangat bergantung kepada pendonornya dalam hal keuangan agar dapat tetap beroperasi.
Daftar Pustaka Bett, Alexander. 2010. “Towards A Soft Law Framework for the Protection of Vunarable Irreguler Migrants”, International Journal of Refuggees Law : Oxford University Press. Romsan, Achmad. 2003. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional. Jakarta: UNHCR. Rudi, M. Rizki. 2005. Pokok-pokok Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM . Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Nani Januari, Peran UNHCR Dalam Menangani Permasalahan Pengungsi Rohingya di Aceh, Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, 2012.
Sumber Lain: Alice Wimmer, UNHCR Monthly, Update Health UNHCR, (November 2013): 1, (terdapat di https://data.unhcr.org/.../download.php?id=4432. pada 22 April 2016) Anne Allmeling, Pengungsi Suriah Membutuhkan Bantuan Segera, Deutsche Welle, 30 Januari 2013, (terdapat di www.dw.de/pengungsi-suriah-membutuhkanbantuansegera/a-16559867internet. pada 23 April 2016)
535
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 519-536
Assessment of the Impact of Syrian Refugees in Lebanon and Their Employment Profile 2013, (terdapat di http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--arabstates/---ro-beirut/documents/publication/wcms_240134.pdf. pada Maret 2016) Background : Syria bureau of Near Eastren Affair, United States Dapartment of State, (terdapat di http://www.state.gov/p/nea/ci/sy/index.htm. pada Maret 2016) Broto Wardoyo; Anatomi Penyelesaian Konflik Internal di Suriah, Analisis CSIS (vol. 43 No.2. Juni 2014): 181, (terdapat di http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/templateDeta il.jsp?id=137322&lokasi=lokal. pada Maret 2016). Death Toll In Syria Surpasses 130,000, Monitoring Group Says, (terdapat di http://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/death-toll-syria_n_4524443.html?. pada 5 Mei 2016) United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Public Health, (terdapat di http://www.unhcr.org/pages/49c3646cdd.html internet. pada 22 April 2016)
536