Ketika
tak
anak
bisa
lagi
memilib Fenomena Anak di Indonesia
,vW m ÍKantor Perburuhan Internasional ogram mrarrtasional Penghapusan Pekerja Anak 9
2002
KETIKA ANAK TAK BISA LAGI MEMILIH": Fenomena Anak Yang Dilacurkan di Indonesia
KETIKA ANAK TAK BISA LAG! MEMILIH": Fenomena Anak Yang Dilacurkan di Indonesia
Editor: Andri Yoga Utami Pandji Putranto
Kantor Perburuhan Intemasional Program Intemasional Penghapusan Pekerja Anak
iii
Hak Cipta @ Kantor Perburuhan Intemasional, 2002 Pertama terbit tahun 2002 Hak cipta publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu. kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. 1LO Jakarta. Kantor Perburuhan Intemasional, 2002 Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak yang Dilacurkan di Indonesia ISBN 92-2-813429-1 Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut. atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut. atau yang berkenan dengan penentuan batas batas negara tersebut. Penyebutan nama perusahaan. produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan. produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan. produk atau proses tertentu yang bersifit komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi-publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office. CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor Perburuhan Intemasional di Jakarta dengan alamat Gedung PBB. Lantai 5, Jl. M. H. Thamrin 14, Jakarta 10240. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut. Dicetak di Indonesia
iv
Kata Pengantar
Anak seharusnya dapat menikmati masa kanak-kanak dan remajanya dengan bersekolah, bermain dan mengembangkan bakat serta potensi dirinya untuk masa depan, namun realita menunjukkan sebaliknya. Sebagian anak Indonesia yang kurang beruntung justru terperangkap dalam bentuk pekerjaan terburuk dan eksploitatif seperti anak yang dilacurkan. Diakui atau tidak, fenomena anak yang dilacurkan telah merebak di Indonesia tidak hanya di kota-kota besar, namun sudah merambah ke pinggir-pingir kota. Meski fenomena ini terpampang jelas di depan mata kita dan bukan merupakan sesuatu hal yang baru, publik seolah menutup mata. Anak yang dilacurkan dibiarkan terus terjadi dan belum lagi menjadi prioritas. Bahkan, cenderung ditutuptutupi sehingga menjadi fenomena yang terus hidup dan berkembang dalam keterselubungan. Sampai saat ini, belum ada upaya preventif maupun rehabilitatif yang memadai untuk mengatasinya, bahkan data dan informasi mengenai hal ini pun relatif terbatas. Keterbatasan informasi ini yang merupakan salah satu kendala utama dalam mengetahui peta seutuhnya permasalahan anak yang dilacurkan. Untuk itulah, ILO-IPEC (Kantor Perburuhan Internasional - Program International Penghapusan Pekerja hnak/International Labour Organisation - International Programme on the Elimination of Child Labour) memandang penting penerbitan buku ini sebagai wahana mengangkat permasalahan anak yang dilacurkan. Selain juga v
sebagai upaya memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada para pembaca menyangkut kompleksitas permasalahan, faktor penyebab dan pendorong, serta proses sosial yang terjadi. Diharapkan penerbitan buku ini akan dapat metengkapi informasi yang telah ada serta dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca. Buku ini dihasilkan melalui proses panjang berupa penelitian yang dilakukan tahun 1998 oleh gabungan beberapa peneliti dari tiga institusi. Penelitian di wilayah Jabotabek dan Jawa Barat dilakukan oleh Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya: Dr. Irwanto, Titing Martini, bekerja sama dengan peneliti dari Yayasan Kusuma Buana; dr. Joedho Prihartono, Jeremias Wutun, Kindi Marina. Sementara di Surabaya Jawa Timur dilakukan oleh peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, Drs. Bagong Suyanto MA, Dra Emy Susanti Hendrarso MA, dan Muchammad Jalal. Kedua hasil penelitian tersebut merupakan sumber utama buku ini. Karenanya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Irwanto beserta rekan, dr. Joedo Prihartono beserta rekan dan Drs. Bagong Suyanto MA beserta rekan. Proses editing dan penyusunan buku sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2000 namun karena satu dan lain hal proses editing ini sempat terhenti dan dilanjutkan kembali pada tahun 2002. Dalam proses penyusunan tersebut, tim editor mendapat masukan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Mereka adalah Ibu Erna Sofyan Sjukri SH mantan Hakim Agung yang mengkritisi dari sisi hukum, Ibu Romany Sihite MA dan Bapak M. Kemal Dermawan MA dosen FISIP UI yang memberi masukan dari sudut kriminologi AKP Dra. Susan Diaz dari RPK Polda Metrojaya yang memperkaya aspek praktek hukum di lapangan, observasi lapangan dan wawancara anak yang dilacurkan dibantu oleh Ayi dan Azizah Pekerja Sosial dari Bandungwangi yang tetap gigih mendampingi anak yang dilacurkan, serta Wenny pustakawan DIA-YKAI yang senantiasa
vi
menyediakan info terbaru baik berupa literatur maupun berita dari media masa. Ucapan terimakasih kami sampaikan pula kepada segenap staff ILO-IPEC yang telah membantu proses pelaksanaan penelitian sampai penerbitan buku. Tidak kalah pentingnya adalah kesediaan informan yang terlibat langsung dalam penelitian ini, dan bersedia mengungkapkan sisi-sisi kehidupannya -anak yang dilacurkan, orangtua, calo dan pelanggan. Kami menyadari bahwa buku ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat menghargai segala kritik dan saran dari majelis pembaca. Semoga buku ini memberikan sumbangan dan manfaat, khususnya dalam menambah pemahaman mengenai fenomena anak yang dilacurkan di Indonesia, sebagai upaya mendorong kepedulian berbagai pihak dalam mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini di kemudian hari.
Alan Boulton Direktur Kantor Perburuhan Internasional Indonesia
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar
v
Daftar Isi
ix
1. Pendahuluan Sumber Informasi Pengumpulan Data dan Informasi Pelacuran di Jawa Pelacuran Anak: Kapan Berawal dan Mengapa Semakin Merebak? Hakekat Pelacuran Anak: Definisi Pelacuran Anak Pelacuran Anak: Korban Ataukah Pelaku? Pelacur Anak: Sebutan Salah Kaprah Mengapa Pelacur Anak Terjadi? Praktek Pelacuran Anak: Tipe-dpenya
1 4 5 7 10 12 12 13 15 16 20
2. Mampir Sejenak di Tempat Mangkal Tempat Mangkal di Jakarta dan Jawa Barat Taman Viaduct Prumpung Kramat Tunggak Cilegeng Indah Mangga Besar Tempat Mangkal di Surabaya Dolly
23 23 24 27 28 30 32 34
ix
3. Mengenal Tempat Asal: "Bongas Pentil: Saluran Buangan" Sekelumit Sejarah Geografi Perkawinan dan Perceraian Denyut Perekonomian Desa Bongas Pertanian Non Pertanian Pendidikan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Agama dan Kepercayaan Kesenian dan Budaya
37 37 39 42 43 43 46 48 49 51 52
4. Anakku Sayang, Anakku Malang Untuk Apa Mempunyai Anak? Kedudukan Anak Perempuan Mengapa Anak Tidak Menean Pekerjaan Lain?
57 57 60 64
5. Jejaring jejaring; Awas Kalau Terjaring Jejaring Gajah Jejaring: Sifat dan Tipenya Jejaring: Dari Mata-mata Sampai Taoke Peranan Orangtua Mata-mata: Peranan Saudara dan Tetangga Peranan Calo Peranan Tokoh Formal dan Informal Peranan Germo Peranan Pelanggan Sam: Lebih Bernafsu "Main" dengan Anak BudP: Mengukur Stamina Kejantanan
67 67 68 70 71 76 78 84 86 90 91 93
6. Peijalanan Faktor Pendorong Kemiskinan Bondage Riwayat Pelacuran dalam Keluarga Permisif dan Rendahnya Kontrot Sosial
x
95 95 95 96 99 100
Rasionalisasi Stigmatisasi Perjalanan Hidup Emma: Berasal dan Keiuarga Besar Pela cur Astri: Sudah Lumrah Jadi "Gituan" Atr. Untuk Bayar Hutang Ayah Mini, Karena Ditipu Lastri: Hitangnya Keperawanan Santi: dari Keiuarga Berantakan 7. Perlindungan Hukum: Siapa yang Dilindungi? .... Upaya Menekan Laju Praktek Pelacuran Pelacuran Anak dan Hukum di Indonesia Hukum: Praktik dan Implementasinya Tren Global: Merespon Isu Penghapusan Eksploitasi dan Komersialisasi Seksual Terhadap Anak Deklarasi Stockholm Deklarasi Yokohama Konvensi IL0 182
101 101 102 102 110 116 125 132 136 145 145 149 151
156 157 160 165
8. Implikasi Krisis Demi Krisis Anak Perempuan: Jalan Keluar? Resiko yang Lebih Besar Industri Pariwisata dan Pelacuran Anak Apa yang dapat Dilakukan? Upaya Preventif Edukatif untuk Mendorong Perubahan Rehabilitasi Psikososial Upaya Menyeluruh Melibatkan Multisektor
172 174 175
Daftar Daftar Daftar Daftar
177 185 189 193
Pustaka Indeks Istilah Singkatan
xi
156 167 168 169 171 172
Pendahuluan
1
Pelacuran anak atau anak yang dilacurkan merupakan potret realita terburuk yang dialami oleh banyak anak Indonesia. Begitu buruknya dampak dan resiko yang ditimbulkan sehingga pelacuran anak digolongkan sebagai salah satu bentuk pekerjaan yang tidak dapat ditolerir keberadaannya (intolerable forms) dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Sampai saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan jumlah anak yang dilacurkan di Indonesia. Survei maupun pendataan yang dilakukan Biro Pusat Statistik tidak mengakomodir pelacur sebagai bagian dari profesi atau pekerjaan sehingga tidak mungkin terungkap datanya. Di sisi lain pendataan Departemen Sosial maupun Dinas Sosial hanya menjangkau mereka yang berada di kawasan "lokalisasi" yang jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang berada di "luar", sehingga tidak dapat menggambarkan realita permasalahan di lapangan. Diakui bahwa data yang akurat sulit didapat mengingat praktek pelacuran lebih banyak yang ilegal, informal, dan terselubung. Hasil pendataan Departemen Sosial tahun 2000/2001 jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Panti Rehabilitas!' Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) di seluruh Indonesia adalah 73.0371. Sumber lain yang disampaikan oleh 1
Hasil pendataan Pusat Data Informas! Departemen Sosial (tahun 2000/2001) yang dikeluarkan setiap tahun
1
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mensinyalir jumlah anak yang dilacurkan mencapai 30% dari total pekerja seks di Indonesia yang berjumlah 650.000. (Media Indonesia, 12 Desember 2001:11)2 Cambaran lebih sempit, di sebuah pusat rehabilitasi Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jakarta Utara, menurut Irwanto (1999) disinyalir sedikitnya 5% dari 2.750 pekerja seks berusia kurang dari 15 tahun (dalam Suyanto, B:2002). Sementara itu, di kompleks lokalisasi Dolly Surabaya pelacuran anak adalah hal yang biasa dan diperkirakan jumlahnya sekitar sepersepuluh dari penghuni kompleks ini (Hull dkk., 1997:75). Hasil identifikasi yang dilakukan Yayasan Abdi Asih memperkirakan di Dolly paling-tidak terdapat sekitar 300 anak perempuan usia 18 tahun ke bawah yang bekerja sebagai PSK. Di daerah lain di Jawa Timur, seperti Tretes, Malang, Kediri, Jember, dan lain-lain, meskipun tidak ada catatan resmi, namun dapat dipastikan bahwa di sana juga terdapat PSK yang masih berusia di bawah umur (Suyanto, B:1999). Di Medan dan Batam, sejumlah media massa acapkali juga telah mengungkap adanya praktek penipuan dan penyekapan terhadap sejumlah anak perempuan untuk dilacurkan. Penjualan ini biasanya dilakukan di lokalisasi pelacuran di Pulau Siacanang, Belawan, Kodya Medan, Bandar Baru, Kabupaten Deli Serdang bahkan sampai ke Batam dan Riau (Sofian, A:1999) Kompleksitas masalah anak yang dilacurkan ditunjukkan dengan semakin berkembangnya praktek prostitusi yang melibatkan anak tidak hanya di kota-kota besar namun telah merambah ke daerah pinggiran. Banyak kasus anak yang dilacurkan ditemukan terkait dengan jaringan bisnis mafia perdagangan anak (child trafficking) yang didalamnya ada unsur penipuan, penculikan, dan eksploitasi (Irwanto, dkk, 2001; Sofian, A, 1999, Gatra, 3 Oktober 1998). Dunia pelacuran Tidak dijelaskan lebih lanjut sumber data dari mana dan bagaimana memperoleh estimasi jumlah tersebut.
2
Pendahuluan anak juga sangat dekat dengan penyalahgunaan narkoba, obat terlarang serta praktek aborsi. Faktor pendorong yang muttifaktor seperti kemiskinan yang membelenggu, juga faktor lain seperti kurangnya perhatian orangtua, beberapa mitos kepercayaan tradisional, kehidupan urban yang konsumtif, berbagai bentuk eksploitasi anak serta tidak kalah pentingnya adalah faktor sosial budaya setempat yang ikut menyuburkan dan melanggengkan praktek pelacuran anak (Jones, 1994; O'Grady, 1994; Muntarbhorn, 1996; Suyanto, B, 1998). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batasan Usia Kerja dengan UU No. 20/1999, serta Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak melalui UU No. 1/2000. Khususnya Konvensi ILO 182 menyatakan praktek pelacuran anak adalah bentuk pekerjaan terburuk yang hams dihapuskan. Ratifikasi konvensi ini mengandung konsekuensi negara peserta untuk mengambil tindakan segera sebagai langkah darurat untuk, menetapkan prioritas serta langkah-langkah memadai untuk segera menghapuskan bentuk pekeijaan terburuk dan berbahaya bagi anak. Langkah aksi yang perlu dilakukan adalah dengan cara menuangkannya dalam peraturan perundangan; melakukan program aksi yang ditujukan untuk memberantas, mencegah dan melakukan upaya rehabilitasi bagi korban; mengidentifikasi resiko yang dialami baik trauma fisik, psikis maupun mental dan mengupayakan pemulihannya agar dapat kembali dan diterima masyarakat serta menjalani kehidupan layaknya anakanak lainnya; memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan secara cuma-cuma dan memberikan perhatian khusus lebih kepada anak perempuan sehubungan dengan situasi khusus yang harus mereka alami. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai leading sector menindaklanjuti ratifikasi konvensi tersebut dengan membentuk Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Untuk Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 yang diberi mandat untuk
3
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih melakukan identifikasi permasalahan, memantau implementasi konvensi dan menyusun Rencana Aksi Nasional. Komite Aksi Nasional yang beranggotakan wakil dari lintas sektor terkait, LSM, Serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha, dan Media Massa telah berhasil merumuskan Rencana Aksi Nasional yang didalamnya memprioritaskan lima jenis pekerjaan terburuk yang perlu segera dihapuskan termasuk praktek anak yang dilacurkan. Rencana Aksi Nasional semakin kuat kedudukan hukum maupun politisnya setelah ditetapkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 12 Agustus 2002. Perkembangan yang patut dicatat adalah telah di sahkannya UU Perlindungan Anak oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 25 September 2002 setelah menunggu hampir 20 tahun. Kemajuan ini patut disyukuri sekaligus sebagai tantangan semua pihak khususnya pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan produk hukum tersebut menjadi tindakan konkrit untuk menghapuskan dan menyelamatkan anak yang terperangkap dalam pekerjaan terburuk demi masa depannya. Sumber Informasi Untuk melakukan aksi penanganan perlu didukung data dan informasi yang akurat serta pemahaman masalah. Salah satu upaya dalam rangka memahami fenomena anak yang dilacurkan di Indonesia, ILO IPEC bekerjasama dengan peneliti dari Universitas Atmajaya Dr. Irwanto dkk melakukan penelitian pada tahun 1998 di Jabotabek, Jawa Barat dan bekerjasama dengan Drs. Bagong Suyanto,MA Antropolog dari FISIP Universitas Airlangga melakukan penelitian anak yang dilacurkan di Surabaya, Jawa Timur. Penelitian ini melibatkan tim peneliti yang terdiri dari Tiling Martini, Jeremias Wutun, Joedo Prihartono dan Kindi Marina. Penelitian tersebut berhasil mengungkap sisi sosial budaya anak yang dilacurkan beserta kompleksitas permasalahannya.
4
Pendahuluan Hasil peneLitian tersebut merupakan sumber utama buku ini. Mengingat hasil penelitian ini dilakukan tahun 1998, maka dalam proses editing dilakukan penggantian dan penambahan data baru untuk memperkaya, melengkapi dan menyesuaikan dengan perkembangan permasalahan anak yang dilacurkan anak dewasa ini. Revisi maupun editing dilakukan dengan menambahkan data hasil wawancara beberapa narasumber yang memiliki kapasitas dan kompetensi dalam permasalahan anak yang dilacurkan, wawancara dengan sektor terkait misalnya dengan Departemen Sosial yang memiliki program rehabilitasi pelacuran, pihak Kepolisian, ahli hukum, kriminolog serta sebuah LSM yakni Bandungwangi yang memiliki dampingan anak yang dilacurkan. Selain itu juga dilakukan studi literatur dan media massa serta observasi langsung ke "tempat mangkal" di mana banyak ditemukan anak yang dilacurkan di Jakarta seperti di Taman Viaduct Prumpung.
Pengumpulan Data & Informasi Penelitian mengenai anak yang dilacurkan atau mengenai pelacuran secara umum selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa populasinya relatif tersembunyi dan sifat perilakunya tidak diterima secara sosial. Keadaan seperti ini memberikan kendala yang cukup besar. Menyadari keterbatasan tersebut, maka penelitian dilakukan melalui berbagai pendekatan yang secara deskriptif kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena yang diteliti, yaitu: keterlibatan anak-anak dalam pelacuran, secara mendalam. Meskipun demikian, keterlibatan anak dalam industri seks komersial mempunyai latar belakang yang sangat beragam. Pilihan pada kasus-kasus dari desa Bongas Pentil, Kabupaten Indramayu ini dilandasi pemikiran bahwa insidensi pelacuran dari desa ini selalu dimulai dari masa kanak-kanak (Hull dkk., 1997). Selain itu, berbeda dengan gadis-gadis lain yang terlibat dalam pekerjaan serupa, partisipasi masyarakat dan keluarga dalam menunjang karir anak yang dilacurkan cukup besar. Adapun pemilihan Lokalisasi
5
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Dolly di Surabaya didasari temuan penelitian sebelumnya bahwa ada sepersepuluh anak yang dilacurkan di lokalisasi tersebut, di sisi lain Dolly juga merupakan tempat lokalisasi terbesar dan terkenal di Jawa Timur. Telah ada beberapa penelitian mengenai pelacuran di Indramayu (Koentjoro, 1989; Wibowo dkk., 1989) meskipun demikian, studi mereka tidak khusus mengenai anak-anak yang dilacurkan. Kajian tentang pelacuran anak telah dilakukan oleh Lumoindang & Lumoindang (1996) akan tetapi khusus untuk remaja yang berada di kota-kota besar sebagai Anak Baru Gede (ABG), Liku-liku pelacuran ABG di Surabaya oleh Getrudis Angsana (1999), M. Kemal Dermawan meneliti pelacuran anak terselubung (1998) Penelitian tentang Trafficking dan Pelacuran Anak oleh Ahmad Sofian (1999). Farid (1998) sudah mencoba melakukan kajian literatur disertai beberapa kasus yang diwawancara baik di daerah Semarang, Yogyakarta, Manado, maupun Ujung Pandang. Adapun teknik untuk memperoleh data dilakukan dengan menjalin hubungan baik dengan anak, keluarga maupun pihak terkait seperti calo, germo, pelanggan dengan cara tinggal dan mengunjungi ke lokasi pelacuran maupun tempat asal mereka. Khusus di Surabaya peneliti melakukan penggalian dengan participatory research yaitu menyamar menjadi pelanggan. Pengumpulan data melalui teknik wawancara dilakukan secara bertahap. Pada awalnya wawancara dilakukan secara cukup bebas walau topik-topik pembicaraan telah direncanakan. Pertemuan awal hanya digunakan untuk membangun rasa percaya dan upaya untuk diterima sebagai bagian dari mereka, dilanjutkan dengan wawancara secara semi terstruktur di mana panduan wawancara yang cukup mendetil sudah disiapkan terlebih dahulu. Observasi dan dokumentasi foto merupakan bagian dari proses pengumpulan data melalui pengamatan pada lokalisasi yang menjadi tempat anak dilacurkan, diskotik-diskotik tempat anak mangkal, serta tempat penampungan mereka.
6
Pendahuluan Pelacuran di Jawa Pelacuran atau prostitusi bukan gejala baru di Indonesia. Sulit untuk mengatakan kapan pelacuran di Indonesia terjadi. Tidak ada satu dokumen sejarah pun yang mampu menentukan saat-saat bersejarah dalam dunia seks komersial di negara ini. Meskipun demikian informasi sejarah pelacuran di Jawa diperoleh melalui penelitian Hull dkk. (1997) yang menyebutkan bahwa landasan berkembangnya industri seks komersial telah nampak dalam praktek-praktek perseliran di antara raja-raja Jawa, jauh sebelum kolonialisasi tanah Jawa. Banyaknya selir dianggap mencerminkan kekuasaan seseorang dan kesaktiannya. Selir yang "tidak terpakai" lagi biasanya dikaryakan, apalagi di masyarakat yang mengenal kasta. Menurut catatan Kuntjoro (1989) daerah-daerah yang lazim menjadi tempat para raja dan orang-orang kaya untuk memperoleh selir adalah Kabupaten Indramayu, Krawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan di Jawa Timur. Sampai sekarang, daerah-daerah ini masih dikenal sebagai pemasok pelacur ke kota-kota besar (Hull dkk., 1997). Evolusi industri seks komersial mulai nampak nyata dengan semakin banyaknya pendatang yang berprofesi pedagang atau prajurit yang kebanyakan adalah laki-laki. Hubungan permintaan dan penawaran semakin jelas di kantung-kantung kemiskinan di mana pelacuran menjanjikan pendapatan tunai yang cukup besar dibanding bertani atau pekerjaan buruh yang semakin sulit diperoleh. Bagi perempuan desa yang tidak mempunyai keterampilan memadai untuk bekerja di luar sektor pertanian, pelacuran merupakan alternatif terbaik secara ekonomis. Keadaan ini juga berlaku ketika Indonesia mengalami perubahan struktural besarbesaran di bidang ekonomi (Hull dkk., 1997). Pertanian sebagai sektor primer bukan lagi sebagai tempat mencari nafkah utama bagi sebagian besar rakyat. Sebagai contoh, di
7
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih tahun 1990 masih terdapat 49.9% angkatan kerja yang berada di sektor pertanian. JumLah itu menurun terus sehingga berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 dicatat hanya sebesar 45,28% (BPS, Statistik Indonesia, 2000). Sejalan dengan perkembangan kota-kota sebagai sentra kegiatan ekonomi, pelacuran perlahan-lahan berubah dari kegiatan di pinggiran kota dan daerah perkebunan menjadi bagian dari ekonomi non-formal di daerah perkotaan. Secara de jure komersialisasi seks disetujui pemerintahan kolonial pada tahun 1852 dengan seperangkat peraturan termasuk untuk pemeriksaan kesehatan, pengasingan bagi pelacur yang sakit, konsentrasi praktek pelacuran di rumah bordil dan lainlain untuk mencegah akibat-akibat négatif yang ditimbulkannya (Hull dkk., 1997). Model yang dikembangkan sebagian masih bertahan sampai hari ini walau pun telah ada pengembangan program. Jika dahulu fungsi rumah bordil hanya untuk konsultasi dan pemeriksaan kesehatan, saat ini fungsinya berkembang untuk pusat rehabilitasi sosial, resosialisasi dan bimbingan lanjutan hingga Pekerja Seks tersebut mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat (Dityanrehabsos dan Tindak Kekerasan, Depsos, 2001). Program pemerintah tersebut dikenal dengan Program Rehabilitasi Sosial Tuna Susila. Kramat Tunggak, misalnya, oleh pemerintah disebut sebagai panti rehabilitasi (dengan nama: Panti Sosial Karya Wanita). Dalam perkembangan industri seks komersial di Jawa, berbagai tindakan yuridis telah diambil khususnya untuk mencegah penyebaran penyakit menular seksual (PMS). Kepentingan pelanggan memperoleh prioritas jauh lebih besar daripada kepentingan pelacur. Jika pemeriksaan kesehatan dilakukan, kadang dengan paksa, tujuannya adalah agar penularan PMS dapat dicegah di antara pedagang, tentara kolonial, pegawai pamongpraja, dan orang-orang kaya. Status hukum mereka diabaikan, karena dikategorikan sebagai "tindakan atau pekerjaan ilegal", mereka menjadi subyek hukum karena "penyimpangan perilaku"nya (Hull dkk, 1997). Oleh karena
8
Pendahuluan itu, pelacuran merupakan suatu pekerjaan yang penuh dengan resiko, apalagi jika yang terlibat adalah anak-anak. Perkembangan industri seks komersial di kota-kota besar di Jawa modern dan Indonesia pada umumnya semakin kompleks khususnya bita dikaitkan dengan konteks kepentingan bisnis yang lebih luas yaitu dalam dunia bisnis hiburan komersial atau dikenal dengan dunia entertainment. Perubahan nilai masyarakat dan tuntutan "modernisasi" yang menjurus gaya hidup "hedonis yang memuja kenikmatan" terutama di kota-kota besar, menuntut berbagai fasilitas pelayanan sosial penunjang seperti panti pijat, Bar, Café, Karaoke, Diskotik dit. Dalam perkembangannya oleh karena dorongan berbagai faktor dan kepentingan yang berperan dalam bisnis komersial tersebut baik dari sisi pengusaha, pekerja, pemakai jasa, dan pihak lain seperti calo, preman, petugas keamanan dll., entertaiment tersebut berubah menjadi pelacuran terselubung (disguise prostitution). Berbagai faktor serta kepentingan dan pihak-pihak yang terkait dengan bisnis tersebut saling berhubungan secara "saling menguntungkan" satu sama lain, sehingga praktek pelacuran terselubung semakin marak dan menjamur. Hull dkk. (1997) menunjukkan bahwa industri ini dikelola dengan sangat profesional dan dengan kekuatan sosial politik yang nil. Selain itu, secara ekonomi industri ini mempunyai perputaran uang US$ 3 milyar, setaraf industri raksasa (Hull dkk., 1997). Dengan kekuatan ekonomi seperti itu, apapun tentu dapat mereka lakukan. Berbagai kasus tertangkapnya germo besar, seperti Hartono, tidak berhasil mengungkapkan jaringannya karena bisnis ini telah bercampur dengan berbagai kepentingan, termasuk kepentingan para pemilik modal dan para penguasa serta tentunya para pengguna yang berasal dari berbagai kalangan.
9
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih Pelacuran Anak: Kapan Berawal dan Mengapa Semakin Merebak? Sangat sulit menemukan data kapan mulainya anak terlibat dalam komoditas seksual ini, setidaknya sangat terbatas informasi mengenai hal ini. Konon munculnya fenomena pelacuran anak tidak terlepas dari teori supply and demand (permintaan dan penawaran), kapan hal ini terjadi? Apakah dalam análisis Hull dkk. (1997) sudah ada indikasi keterlibatan anak dalam industri ini? Tidak dijelaskan secara gamblang namun menurut Hull, dkk. ada indikasi yang kuat mengingat tingginya persentase perkawinan di bawah usia 16 tahun di Jawa (tertinggi di Jawa Barat) serta tingginya tingkat perceraian di bawah usia, sehingga keterlibatan anak-anak di sektor seks sangat mungkin terjadi. Studi tentang perceraian me-nunjukkan adanya korelasi yang kuat antara perkawinan muda dan tingkat perceraian (lihat Irwanto dkk., 1998) dan studi Gavin Jones di Jawa Barat (Jones GW,1994) menunjukkan bahwa perceraian di propinsi itu adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Tingginya angka pernikahan di bawah usia ini berarti bahwa konsepsi mengenai masa kanak-kanak untuk perempuan relatif lebih pendek di Jawa, khususnya Jawa Barat, di banding dengan di daerah lain. Mengutip laporan Sub Direktorat Rehabilitasi Moral, Hull dkk. (1997) menunjukkan bahwa sejak tahun 1971 sudah diketahui bahwa rentang umur pada pelacur yang terdaftar adalah 15-25 tahun, walau jumlahnya sulit diperkirakan di samping faktor kultur dan lingkungan sosial yang mendorong anak masuk dunia pelacuran. Sulitnya melacak kapan prostitusi anak ada serta faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perilaku. Seperti halnya kawin kontrak, perceraian muda, yang sangat dikenal di sepanjang Pantura khususnya daerah Indramayu, Karawang, Subang, Cirebon, dll. Reputasi kawin cerai ini dapat membentuk permisivitas
10
Pendahuluan terhadap free sex yang akhirnya menjurus pada praktek pelacuran. Dalam konteks budaya contohnya adalah, tedek yang dianggap memiliki unsur permisivitas dan mengarah tindakan menyimpangan seksual. Namun penari ledek melakukan prakteknya hanya dalam konteks saat mementaskan perannya sebagai penari, di luar pentas mereka memerankan dirinya sebagai peran manusia biasa lagi. Dengan kata lain penyimpangan yang mereka lakukan tidak harus berkembang menjadi pelacuran seperti ini. Bila ditinjau dari teori motivasi bisa jadi dalam prosesnya telah terjadi pergeseran nilai yang semula dipengaruhi sosial budaya berubah dengan nilai ekonomis yang nyata sehingga pelacuran anak diterima sebagai fenomena yang lumrah. Sangat mungkin yang terjadi adalah sudah adanya dasar budaya lokal yang permisif terhadap penyimpangan perilaku seksual dan kemudian terjadi rembesan pengaruh sosial budaya maupun ekonomi dari luar sehingga mempengaruhi dan terjadi perubahan bentuk menjadi praktek pelacuran. Analisa ini memperkuat temuan Hull, dkk serta temuan Teguh Budiono (2002) tentang kuatnya interaksi antara kultur yang permisif dengan nilai yang hedonis yang merupakan salah satu faktor pendorong praktek pelacuran di Indramayu. Bila ditinjau dari teori penawaran dan permintaan, dilibatkannya anak-anak dalam praktek prostitusi dikarenakan adanya permintaan pasar yang meningkat. Tingginya permintaan terhadap anak karena adanya anggapan bahwa jam terbang mereka masih sedikit sehingga mereka dianggap masih "suci" atau belum terkontaminasi dari berbagai virus dan penyakit. Sementara itu juga berkembang kepercayaan keperawanan bisa membuat awet muda dan makin jantan. Hubungan seks dengan anak-anak memberikan rasa superior suatu perasaan bahwa ia ternyata masih "kuat". Selain itu, ketakutan akan infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk merebaknya berita mengenai epidemi HIV/AIDS, telah mendorong mereka untuk cenderung memilih pelacur muda yang dianggap masih cukup bersih, dengan alasan jam terbang
11
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih anak-anak itu masih sedikit (lihat juga Dharmaputra dkk., 1996; Sofian.A, 1999, Suyanto. B, 1999). Hat ini bisa menerangkan gejata semakin meningkatnya permintaan anak dalam praktek pelacuran namun mungkin belum dapat menjawab secara pasti sejak kapan pelacuran anak berawat di Jawa.
Hakekat Pelacuran Anak Definisi Pelacuran Anak UNICEF (Document A/50/456) mendefinisikan pelacuran anak atau child prostitution sebagai berikut: "The act of engaging or offering the services of a child to perform sexual acts for money or other considerations with that person or any other persons". Pada tahun 1996, Kongres Dunia Menentang Exploitas! Komersiat Seksual terhadap Anak-anak menyatakan bahwa pelacuran adalah sebuah bentuk eksploitasi yang paling kejam pada anak-anak. Kongres ini membatasi exploitasi komersial seksual pada anak-anak sebagai: "The use of a child for sexual purposes in exchange for cash or in-kind favours the child her or himself the customer, intermediary or agent, and others who profit from the trade in children for these purposes Dari kedua definisi di atas dapat diambil beberapa persoalan pokok. Pertama, anak adalah subyek yang terlibat dalam pemberian jasa seksual (termasuk pornografi). Kedua, bahwa penggunaan anak untuk maksud-maksud tersebut adalah tindakan yang bersifat eksploitatif. Ketiga, tindakan eksploitatif ini memberikan keuntungan pada pihak-pihak tertentu selain anak itu sendiri.
12
Pendahuluan Pelacuran Anak: Korban ataukah Pelaku? Ada perbedaan pendapat ahli dalam memandang masalah pelacuran anak, apakah anak dipandang sebagai korban ataukah pelaku tindak pelanggaran norma susila ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa dalam kasus anak yang dilacurkan, anak dipandang sebagai korban sekaligus pelaku (Dermawan, MK, 2002, Angsana, G, 1999). Pendapat ke dua menyatakan bahwa dalam kasus anak yang dilacurkan, anak harus dipandang sebagai korban, anak tidak dapat dimasukkan dalam kategori pelaku.)3. Pandangan pertama menganggap anak sebagai korban didasari pemikiran bahwa anak memerlukan perlindungan dari orang dewasa, keterlibatan anak dalam dunia pelacuran menunjukkan bahwa orang dewasa dan lingkungan sosialnya telah gagal melindungi anak sehingga mereka terjerumus dalam pekerjaan atau perilaku menyimpang. Di sisi lain anak juga dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran hukum dalam halini pelanggaran norma masyarakat karena pelacuran dianggap oleh masyarakat Timur (termasuk Indonesia) sebagai perbuatan yang tabu dan terlarang. Bahkan Angsana, G. menyatakan anak yang dilacurkan dapat dituntut pidana dan dikategorikan sebagai anak nakal. Penindakan dari sisi hukum perlu dilakukan terutama untuk menekan penyebarannya (Hakiki). Berbeda dengan pendapat ke dua yang dengan tegas menyatakan bahwa anak adalah korban. Sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosialnya, anak digolongkan sebagai individu yang belum "sempurna" yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh dari orang dewasa. Pilihan dan keputusan seorang anak menekuni profesi pelacur tidak dapat digolongkan sebagai pilihan dengan kesadaran penuh dan sukarela namun seringkali dipengaruhi dan didorong oleh 3
Diperoleh melalui wawancara dengan Romany Sihite SH MA pada tanggal 22 Juni 2002 dan Erna Sofyan Sjukri, MA pada tanggal 5 Juli 2002
13
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih lingkungan sekitarnya. Hal ini tidak dapat disamakan dengan püihan orang dewasa yang secara sadar memutuskan menjadi pekerja seks sebagai profesi. Pendapat anak adalah korban sama dengan definisi UNICEF dan basil Kongres Dunia Stochkolm. Berikut adalah pendapat Romany Si hite, seorang kriminolog: "Anak yang dilacurkan merupakan korban ganda atau terkena tindak kriminal ganda. Berbagai kasus anak yang dilacurkan ataupun anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual bukanlah atas dasar sukarela, kesadaran penuh dan pilihan, akan tetapi campurtangan orang dewasa apakah calo, famili, saudara atau bahkan orangtuanya sendiri yang menjerumuskan anak terjun ke dunia pelacuran. Sebelum mereka menjadi pelacur seringkali didahului dengan kasus penipuan, penyekapan dan penculikan. Jika anak telah terperosok masuk dunia pelacuran akan semakin susah melepaskan diri karena telah masuk dalam struktur yang terorganisir ada kekuasaan germo, calo yang bermain atau bahkan orangtuanya yang justru menjadikan anak sumber pencari nafkah. Dengan demikian anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh dari orang dewasa malah dimanfaatkan untuk kepentingan orang dewasa.'' (wawancara dilakukan di tahun 2002) Pendapat ini diperkuat oleh Erna Sofyan Sukri yang menyatakan bahwa: "Dari sisi hukum dan perundangan yang berlaku, baik itu mengacu pada paso/ 34 Konvensi Hak Anak maupun pasalpasal dalam KUHPseperti posai: 287, 288, 290, 292, 293, 294, 296, dan 297 memandang anak sebagai korban dan menjerat pelaku yaitu konsumen ataupun orang yang dengan sengaja menyebabkan terjadinya pelacuran anak dengan jeratan hukum pidana atau denda." (wawancara dilakukan di tahun 2002) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan seks di bawah usia 18 tahun bagi perempuan, jarang dilakukan dengan menghargai hak partisipasi perempuan tersebut.
14
Pendahuluan Kejadian seperti itu lebih karena orang dewasa yang memaksakan keinginannya atau orangtua yang karena berbagai sebab teLah memberikan hak pada orang lain untuk menyetubuhi atau mengawini anak gadisnya. Insidensi anakanak yang dipekerjakan sebagai penghibur dan pelacur diwarnai dengan berbagai tipuan dan paksaan di luar kuasa anak itu untuk membela dan melindungi dirinya (O'Grady, 1994). Dari sisi ini jelaslah bahwa anak adalah korban. Pelacur Anak: Sebutan Salah Kaprah Yang menjadi persoalan besar dalam konseptualisasi masalah ini adalah sifat keterlibatan anak. Prostitusi anak tentunya mengandaikan adanya anak yang menjadi pelacur. Meskipun demikian, menyebut seorang anak sebagai pelacur adalah sebuah sebutan yang salah kaprah (misnomer). Mengapa? Sebutan "pelacur" atau "pekerja seks" mengandaikan yang bersangkutan melakukan pekerjaan itu dengan sukarela. Seperti ditegaskan oleh Hechler, David : 1995 Child Sex and Tourism sebutan pelacur anak adalah salah kaprah karena mereka adalah korban. "The term of child prostitute is really misnomer. These children have been prostituted and the responsibility lies solely with their exploiters. For adults, protitution may be career choice and some may call it a "victimless crime". But for children in sexual servitude, there is no choice and they are the victims". Sebagai contoh dalam hal perkawinan dini, peran orangtua, lingkungan dan budaya sangat dominan. Studi Hanum dkk. (1997) terhadap pasangan muda yang menikah di bawah usia 16 tahun menunjukkan dominannya peranan orangtua dalam menentukan perkawinan mereka. Hasil penelitian Narwoko mengenai nilai anak (value of children) juga menemukan hal yang sama bahwa orang tua cenderung memaksakan kehendaknya sehingga anak tidak bisa
15
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih berkembang sesuai dengan keinginannya sendiri dan dihargai hak partisipasinya (Hakiki: 1999). Pada sisi lain, "pelacuran anak" melibatkan anak-anak, laki-laki maupun perempuan, yang karena kesulitan ekonomi dan berbagai faktor lain dalam keluarga, telah menyebabkan mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya di jalanan, jauh dari pengawasan dan perlindungan orangtua (Kusumanegara et al., 1994; O'Grady, 1994; Irwanto et al., 1995). Oleh karena itu, anak-anak ini menghadapi berbagai resiko diperlakukan salah oleh orang-orang yang lebih besar atau dewasa, termasuk perlakuan salah secara seksual (Bongkok, 1994; Boyden, 1991; Kusumanegara et al., 1994; Irwanto et al., 1995; Impelizeiri, 1995; Young, 1996). Dengan demikian, bagi mereka istilah "pelacur anak" tidak tepat. Berkaitan dengan soal peristilahan ini, ada sementara pendapat umum yang mempertanyakan sejauh mana pentingnya penggantian istilah. Ada halyang lebih substansial tidak sekedar penggantian istilah yaitu melihat isu pelacuran anak sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk dan intolerable. Oleh karena itu apapun istilah yang dipakai apakah anak yang dilacurkan, pekerja seks anak, ataukah pelacur anak akan jauh lebih bermakna bila permasalahan dapat ditangani secara konkrit dengan mewujudkan komitmen berbagai pihak terkait. Jangan sampai penggantian istilah hanya menjadi "retorika" karena tidak disertai aksi nyata seperti halnya penggantian istilah pelacur menjadi wanita tuna susila atau pekerja seks, namun tidak merubah kondisi mereka. Mengapa Pelacur Anak Terjadi? Truong (1992) menggambarkan kompleksitas permasalahan pelacuran sebagai fenomena yang multifaktor, multiinterest dan melibatkan berbagai pihak yang disadari ataupun tidak. Pelacuran merupakan produk dari mata rantai faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik, serta merupakan hasil
16
Pendahuluan ketja berbagai pihak yang mungkin tidak mereka sadari dan akui. Salah satu penjelasan klise, tetapi mengandung sedikit kebenaran adalah karena adanya kemiskinan. Tetapi "Kenapa anak, khususnya perempuan yang biasanya menjadi korban? Kenapa bukan orang dewasa yang menjual tenaga mereka (atau dirinya) untuk mengatasi permasalahan sesuap nasi dari hari ke hari? Selain itu, kemiskinan seperti apa? Karena di negaranegara miskin seperti Laos dan Myanmar gejala itu jarang terjadi. Kebanyakan anak yang dijual ke Thailand dari negaranegara itu adalah hasil tipuan atau paksaan. Hull dkk. (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dianggap mendorong wanita Indramayu masuk ke dunia prostitusi, seperti kurang taat terhadap agama Islam, kemiskinan dan rendahnya pendidikan warga, juga terdapat di daerah sekitarnya tetapi tidak terbukti mendorong para wanitanya untuk bekerja sebagai pelacur. Mereka menyatakan bahwa ada kemungkinan kekhasan Indramayu terjadi secara kebetulan karena berkembangnya spesialisasi yang membentuk diri, seperti daerah lain di sekitarnya yang membentuk keahlian khusus dalam bidang pekerjaan tertentu. Definisi kemiskinan beraneka macam. Di satu pihak ada kemiskinan yang memang berarti sumber daya pas-pasan bahkan kadang kurang untuk memenuhi hidup sehari-hari. Rada masyarakat ini jika sandang dan pangan telah dicukupi, maka mereka tidak merasa miskin lagi. Di samping itu ada kemiskinan yang telah disaturasi dengan berbagai informasi gaya hidup konsumtif dan materialistis modern sehingga harapan dari setiap warga yang miskin adalah untuk memiliki cukup uang guna membeli berbagai consumer goods (seperti tv, kulkas, motor, mobil, telepon genggam, perhiasan, asesori luar negeri dll.). Meskipun kebutuhan makan sehari-hari telah terpenuhi, mereka masih merasa miskin sebelum beberapa barang konsumtif yang menjadi ukuran "kaya" belum mereka miliki. Kemiskinan seperti inilah yang mendorong anak-anak muda/remaja untuk
17
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih menjajakan dirinya seperti "perek" di kota-kota besar kita. Di Filipina kemiskinan mendorong keluarga untuk hutang dalam jumlah besar dan menjadikan anak (biasanya gadis) mereka sebagai agunan (lihat Blanc, 1994). Walaupun disinyalir kemiskinan merupakan sumber utama pendorong anak dilacurkan, namun ada faktor non ekonomi lainnya yang turut berperan seperti kurangnya perhatian orangtua, disfungsi keluarga, beberapa kehidupan tradisional, kehidupan urban yang konsumtif, serta berbagai bentuk eksploitasi anak (Jones et al, 1994; O'Grady, 1994; Muntharborn, 1996; Suyanto B, 1999). Faktor non ekonomi yang mendorong anak masuk ke dunia pelacuran adalah tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan keluarga di Jawa (Flull,dkk, 1997:19). Di sisi lain juga tingginya angka perkawinan di bawah umur terutama di daerah Jawa Barat termasuk Indramayu. Data nasional mengindikasikan angka yang sangat tinggi dan mengejutkan yaitu persentase perempuan berumur 10 - 18 tahun yang pernah kawin dan umur perkawinan pertama di Indonesia mencapai lebih dari 50% (Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1999). Tetapi penjelasan seperti ini belum menjawab pertanyaan "Mengapa anak? Mengapa biasanya perempuan?" Menurut pendapat feminis, salah satu alasan mendasar adalah perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, di mana yang terakhir biasanya di pihak yang lemah (baca misalnya Saraswati Sunindyo, 1993). Rowbothan (1973) juga menyatakan bahwa diluar muatan ekonomi, pelacuran adalah ekspresi dari hegemoni kultural pria atas kaum perempuan (dalam Truong, 1992:7). Menurut Truong (1992:18) banyak kasus menunjukkan terjerumusnya perempuan kerapkali terpaksa dan dipaksa masuk ke dalam pelacuran oleh kaum pria yang menggunakan beragam sarana, yang berkisar dari sekedar janji-janji muluk pekerjaan, perkawinan atau perbudakan terselubung dari cinta, loyalitas terhadap mucikari, sampai ke penculikan dan penyekapan (Suyanto B., 1999). Di tengah-tengah berbagai kesulitan ekonomi, laki-laki merasa
18
Pendahuluan mempunyai piLihan dengan menggunakan posisi sosialnya untuk menghidupi dirinya dari keringat dan darah pihak yang lebih lemah, yaitu anak-anak dan (khususnya) perempuan sedangkan pihak-pihak yang disebut belakangan tidak dapat berbuat apa-apa. Dari aspek psikotogi pendapat Ennew & Milne (1989) menyatakan bahwa karena anak begitu percaya pada orang dewasa, khususnya orangtua mereka, maka mereka pun mudah dikhianati. Sulit memang memikirkan orangtua yang demikian, tetapi dunia kita memang bukan The Wonder Land,. Kedua pengarang tersebut berargumen bahwa sejak dilahirkan anak hanya berpandangan bahwa mereka lahir karena "maksud baik" (good intentions). Oleh karena itu, anak mempercayakan semua haknya pada orangtua. Masalahnya, seperti pernah diteliti oleh Masri Singarimbun (Darroch et al., 1981). LeVine et al. (1988) pada masyarakat di mana jaminan hidup itu minim dan mortalitas bayi cukup tinggi, maka anak dihargai lebih sebagai bagian dari jaminan hidup keluarga ketimbang sebagai individu seutuhnya dengan berbagai hak dan kewajiban Dalam komunitas seperti ini partisipasi anak dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi. Jika pull-factor yang berupa kegiatan ekonomi sangat tinggi, maka bisa dianggap pelacuran sebagai alternatif yang cukup menarik (bagi orangtua!). Yang terakhir adalah masalah definisi tentang anak. Sejak kapankah seorang individu sudah tidak disebut sebagai anak lagi? Burman (1996) mempersoalkan adanya definisi lokal, global dan yang telah diglobalisir (globalized) mengenai anak. Ketegangan di antara ketiga definisi inilah yang menurut Burman menghambat lajunya program-program pengembangan anak dan legislasi hak anak. Pada tingkat nasional sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, ada beberapa perbedaan definisi anak. Sa la h satunya menurut UU Perkawinan No. 1/1974 bahwa seorang anak perempuan sudah dianggap dewasa secara hukum bila sudah berusia 16 tahun ke atas, berbeda dengan definisi anak menurut UU No.4/1979 tentang Kesejahteraan
19
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Anak membatasi usia anak sampai 21 tahun, sementara UÜ yang mengatur mengenai partisipasi politik warga negara usianya adalah 17 tahun. Pada tingkat komunal, batasan umur mungkin lebih rendah, sedangkan menurut Konvensi Hak Anak (KHA), yang telah diratifikasi melalui Keppres 36/1990, maka definisi anak diglobalisasi menjadi 18 tahun ke bawah. Batasan usía tersebut sama dengan UU No. 1/2000 yang merujuk pada ketentuan Konvensi ILO 182 yaitu 18 tahun ke bawah tidak dapat ditolerir untuk bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, termasuk juga pelacuran. Batasan siapa yang hendak dipakai? Burman menyatakan bahwa jika konvensi internasional yang digunakan sebagai landasan, maka program tidak akan sensitif terhadap budaya setempat. Ini tentu keadaan yang sulit. Sebaliknya, jika definisi lokal saja yang digunakan, maka upaya pengembangan anak juga akan mandeg pada kondisi setempat. Oleh karena itu diperlukan suatu norma universal yang didasarkan atas keadaan atau kondisi nyata anak. Yang menjadi masalah adalah, selama batasan tentang "anak" itu masih kabur, maka semua pihak akan sulit melakukan pengawasan terhadap pelanggaran dan pengendalian terhadap pemenuhan hak-hak anak. Praktek Pelacuran Anak: Tipe-tipenya Pada dasarnya pelacuran anak dapat digolongkan dua tipe berdasarkan latarbelakang dan motivasi yaitu golongan dimana anak terjun ke dunia pelacuran karena dorongan sosial dan budaya sedangkan tipe kedua adalah anak yang terjun dikarenakan dorongan yang sifatnya individual misalnya pengaruh keluarga tidak harmonis, tekanan ekonomi, pergaulan seks bebas, keinginan material. Golongan pertama ditemukan di daerah penghasil pelacuran anak seperti Indramayu (Irwanto, 1998). Tipe kedua adalah pelacur ABG yang banyak beroperasi di pusat perbelanjaan, berpindah dari hotel ke hotel, menjajakan diri di jalanan (Angsana, G.:1999; Lumoindang & Lumoindang: 1996) 20
Pendahuluan Namun begitu secara spesifik dikenal pula berbagai tipe pelacuran. Ada tiga macam tipe pelacuran menurut hubungannya dengan pihak pengelola yaitu yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan dikenal dengan prostitusi freelance. Kedua adalah pelacur anak yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hirarkhis. Tipe ketiga, pelacur yang di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Pelacur freelance seringkali beroperasi di pinggir jalan, mal atau masuk satu bar ke bar lainnya. Tipe ini juga ditemui di Prumpung, biasanya terjadi pada pelacur anak yang merasa ditindas, dirugikan atau dikekang oleh germo sehingga memutuskan freelance dengan konsekuensi mencari langganan sendiri tanpa campur tangan germo. Pelacur anak yang baru biasanya masih membutuhkan ikatan dengan germo karena belum mengenal medan dan sasaran, sedangkan yang relatif lama lebih mandiri karena telah mengetahui peta konsumen dan bahkan memiliki langganan tetap. Tipe kedua biasanya hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh konsumen. Sedangkan tipe ketiga adalah pelacur yang tergabung dalam panti pijat, tempat lokalisasi, dan hotel-hotel (Saptari dan Holzner, 1997: 391-392). Dilihat dan kategori tingkatan, Dermawan, MK (1998:2) membedakan tipe-tipe pelacur yang dapat disusun dalam rentang tingkatan yaitu antara lain: street walkers, bar girls, studio model and escort, masseuses, hotel and conventional prostitutes, call girls. Walaupun peletakan tipe pelacur ke dalam rentang tingkatan tidaklah dapat dikatakan sempurna namun secara umum dapat dikata-kan bahwa streetwalkers berada pada tingkatan terendah, sedangkan call girls ada pada tingkatan tertinggi. Ditinjau dari kondisi dan sifat kerjanya streetwalkers merupakan tipe pelacuran yang paling transparan atau mudah dilihat, didekati konsumen, harga dan tipe pelayanan seksual dapat ditawar, transaksi biasanya dilakukan di hotel murahan atau bahkan di mobil, truk dll. Berbeda dengan call girls yang
21
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih selain berpenampUan menarik, orang yang mempunyai kelebihan dalam bidang sosial, pintar, pandai membawa diri. Dalam bisnisnya dirancang sebagian besar melalui teLpon sehingga sifat dan kondisi kerjanya Lebih tertutup dibanding street walker. Ketertutupan kerja pelacuran berdampak tidak mudahnya pihak-pihak luar melihat aktivitas ini di sisi Lain dapat memanipuLasi aktivitas peLacuran yang terjadi dengan berkedok pada aktivitas peLacuran yang sesungguhnya hingga disebut dengan peLacuran terseLubung (disguised prostitution) (Dermawan, MK:1998). PeLacuran terseLubung ini ditemui misaLnya pada usaba panti pijat, bar, tempat hiburan karaoke atau bahkan saLon yang sebenarnya hanya merupakan kedok untuk menutupi usaba yang sebenarnya, yaitu prostitusi. Beberapa haL yang mendasari usaba terseLubung adaLah: kepentingan untuk menghindari sanksi atau ancaman hukum, menghindari sanksi sosiaL, dan adanya kepentingan untuk menetraLisir perbuatannya akibat adanya stigmatisasi (Dermawan, NK,1998). DaLam perkembangannya praktek peLacuran konvensionaL seperti peLacuran di LokaLisasi atau rumah bordiL teLah berubah dan bertambah dengan poLa baru yang menarik dan modeLnya cepat berubah-ubah daLam bentuk unik yang terseLubung tersebut.
22
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal
2
Tempat Mangkal di Jakarta dan Jawa Barat Beberapa lokasi yang merupakan tempat mangkal anak yang dilacurkan di Jakarta, khususnya anak yang berasal dari Indramayu, seperti Kramat Tunggak, Mangga Besar, Prumpung merupakan lokasi yang diobservasi dalam penelitian ini. Kramat Tunggak yang dahulu dikenal dengan kawasan lokalisasi pelacuran terkenal dan terbesar di Jakarta, belakangan ini bahkan telah berubah fungsinya menjadi kawasan Islamic Village. Bermula dari perkembangan lokalisasi yang tidak dapat terbendung lagi yang sebelumnya merupakan lokasi terisolir dan jauh dari jangkauan masyarakat, telah tumbuh pesat meluas sampai pemukiman masyarakat umum, walaupun pada tahun 1981 telah dibangun tembok gerbang pembatas oleh pemerintah daerah setempat. Protes sebagian masyarakat yang merasa dirugikan tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah daerah maupun warga Kramat Tunggak akhirnya terakumulasi sampai pada tindakan kekerasan massa dan pembakaran lokalisasi (Republika, 12 Maret 2002). Berubahnya fungsi lokalisasi tersebut tidak seketika menghapuskan praktek prostitusi di daerah Kramat Tunggak namun hanya memindahkan ke tempat lokalisasi ilegal yang justru tidak terpantau yaitu di warung remang-remang sepanjang jalan raya Kramat Tunggak.
23
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Mangga Besar merupakan pusat tumbuh suburnya pelacuran terselubung di pusat kota Jakarta dengan semakin menjamurnya bisnis hiburan di area tersebut. Bar, diskotik, tempat karaoke, pusat kebugaran, panti pijat dll merupakan bisnis pembungkus yang juga menawarkan bisnis seks. Mangga Besar merupakan daerah prostitusi untuk kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan Kramat Tunggak dan Mangga Besar, kawasan Prumpung sampai dengan Jatinegara dan Pisangan menjadi tempat tumbuh suburnya pelacuran anak dewasa ini. Taman Viaduct yang terletak di samping pertigaan Kodim, tak jauh dari Stasiun Jatinegara merupakan tempat mangkal pelacuran anak. Prumpung merupakan salah satu tempat mangkal pelacuran anak yang penting untuk diketahui sebagai tambaban informasi di samping kawasan Blok M, Manggarai, Boker, Mangga Besar. Taman Viaduct Prumpung Perkembangan kawasan Prumpung sebagai tempat lokalisasi ilegal telah berkembang lama, sejak tahun 70 an telah ada warung remang-remang yang menyediakan jasa prostitusi terselubung. Prumpung merupakan kawasan yang strategis. Kawasan yang menyatu dengan pangkalan truk, dekat dengan keramaian seperti stasiun kereta, pusat perbelanjaan, bioskop Bhumi Jati (yang seringkali memutar film "muraban dan porno"), juga merupakan wilayah strategis bagi konsumen yaitu sopir-sopir truk yang sedang mangkal maupun pengguna jalan. Tidak jauh dari lokasi di kawasan Rawa Bunga juga tersedia tempat penginapan yang bisa dipakai untuk transaksi seksual sesaat. Kondisi saatini dibandingkan dengan tahun 1994 ketika Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) melakukan penelitian di Prumpung jauh berbeda. Salah satu yang menjadi perhatian waktu itu adalah maraknya warung remang-remang di daerah Prumpung sampai dengan Rawa Bunga yang
24
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal menyediakan jasa anak-anak belia sebagai "pemanis" warung. Sebagian anak-anak ini ada yang berfungsi sebagai pemanis warung saja namun ada juga yang menjadi pelacur, tempat ini menjadi sarang transaksi seksual terselubung. Warung-warung ini terutama berada di sekitar taman depan gedung perkantoran sepanjang Prumpung, di Lapangan Berkah, di depan gedung Bioskop Bhumy Jati dan di deretan sepanjang Pangkalan Truk hingga ke Kantor Telkom. Ada sekitar 50 warung remang-remang yang beroperasi, dan di setiap warung menyediakan satu atau lebih pemanis warung yang berusia diantara 14 sampai 18 tahun. Tidak seperti warung umumnya, warung remang-remang ini beroperasi malam hari dari jam 19.00 sampai menjelang subuh. Anakanak belia tersebut sebagian besar berasal Indramayu lainnya berasal dari Kuningan, Cirebon, Cilacap dan Solo. Saat ini jumlah warung remang-remang semi permanen semakin bertambah pesat, juga berkembang penjualan minuman dengan payung tenda yang dijajakan oleh anak belia yang menjadi pelacur. Taman Viaduct yang dahulunya relatif kosong dan hanya dihuni oleh pelacur dewasa saat ini menjadi tempat mangkal mereka.
Kotak 1. Taman Viaduct : Tempat Mangkal Baru Ada pembagian zona di Taman Viaduct, dari sisi memanjang di depan Kantor Kejaksaan Jakarta Timur sampai ke sisi jalan raya Stasiun Jatinegara merupakan zona anak-anak, semakin dekat dengan jalan raya pelacur dewasa yang mangkal di situ. Di sebelah Barat taman dipakai tempat transaksi seks waria. Zona ini telah merupakan kesepakatan tak tertulis yang tak boleh dilanggar. Pembagian zona ini memudahkan konsumen menuju sasaran yang diinginkan. Kapan pertama kali pelacuran anak berkembang di wilayah ini sangat sulit mendapatkan informasinya. Menurut informasi dari informan sejak tahun 70 an taman yang gelap dan penuh dengan
25
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
rerimbunan pohon ini telah digunakan untuk praktek pelacuran dewasa. Semakin kedepan ternyata pelacur anak mendominasi daerah tersebut. Tahun 1995 pada saat salah satu peneliti Bandungwangi mengadakan survei di daerah tersebut sudah ditemukan anak yang dilacurkan namun angkanya melonjak akhir-akhir ini. Tidak mudah mendata mereka karena mobilitas mereka yang cukup tinggi berfluktuasi antara 2-3 bulan walaupun ada yang lebih satu tahun tetap berada di situ. Berdasarkan pendataan Pekerja Sosial Bandungwangi yang dilakukan malam hari dimana anak sedang beroperasi terdapat 109 pelacur dengan komposisi yang sangat mengejutkan 90% adalah anak dan 90% dari mereka berasal dari Indramayu. 10 % lainnya dari daerah sekitar Jawa Barat seperti Cianjur, Bogor, Ciamis, Bandung, Subang, Banten, Karawang, Majalengka sedangkan dari luar Jawa Barat 5 orang saja. Kelompok usia yang ditemui terendah usia 11 tahun sampai dengan 15 tahun sebanyak 9 orang, 16-20 sebanyak 80 orang, di atas 20 tahun sebanyak 20 orang. Khusus anak dari Indramayu dan Jawa Barat keluarga mengetahui profesi mereka, dan keluarga mengijinkan. Taman Viaduct menjadi favorit mereka karena lokasinya yang ramai dan mudah melarikan diri bila terjadi razia. Anak-anak ini tinggal dengan menyewa rumah kos-kosan di sekitar Prumpung secara berkelompok berdasarkan kampung asal, hubungan kelurga ataupun pertemanan. Ada yang tinggal dengan germonya atau terpisah. Diantara mereka yang mempunyai germo konsumen dengan sendirinya dicarikan germo melalui calo dengan konsekuensi ada pembagian hasil antara 50%-75% untuk germo. Kalau beruntung mereka mendapat. Biasanya yang merasa dirugikan dan ditekan germo akan memisahkan diri sehingga berpraktek secara freelance. Sejak krisis moneter tahun 1998 sampai saat ini terasa sekali semakin sedikit konsumen yang datang sehingga persaingan antar mereka sangat ketat. Menurut informasi dari pekerja sosial Bandungwangi konsumen mereka sebagain besar adalah cepak (sebutan ABRI) ataupun pejalan kaki yang lalu lalang di sekitar Prumpung. Mereka menyebut razia dilakukan oleh Petugas Trantib dan Kepolisian. Bila petugas Trantib yang merazia mereka harus rela mengeluarkan uang agar dilepas, atau kalau tidak merelakan dirabaraba oleh petugas. Lain halnya bila kepolisian yang merazia mereka dimasukkan ke Panti Cipayung untuk menjalani rehabilitasi, namun menurut mereka hanya rehabilitasi formalitas, menunggu sampai 3 bulan atau menunggu ditebus germo. Ada juga yang dikembalikan ke kampung namun mereka biasanya akan kembali lagi ke Jakarta.
26
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal Kramat Tunggak Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila Kramat Tunggak (KT) yang sebelumnya merupakan lokalisasi terbesar di Jakarta saat ini telah berubah peruntukannya, seperti telah diinformasikan di atas. KT merupakan tempat penting untuk mendapatkan informasi tentang anak yang dilacurkan, disinyalir 5% dari total PSK di KT berusia dibawah 18 tahun.
Kotak 2: Kramat Tunggak Bermula dari survey yang dilakukan oleh Pemda OKI pada tahun 1969 diketahui bahwa wilayah penyebaran para pelacur yang terbesar berada di wilayah Jakarta Utara, seperti di Rawa Malang, Pulo Bunder, Rawa Bebek, Ancol, dan Pelabuhan Sunda Kelapa (pasar ikan). Untuk menampung mereka serta mencegah dampak negatifnya pada masyarakat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Ca.7/1/13/70 tanggal 21 April 1970 tentang pelaksanaan usaha lokalisasi dan Resosialisasi WTS menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat lokalisasi bagi para pelacur tersebut. Kramat Tunggak saat ini telah mencapai luas 11.00 hektar dipilih karena lokasi tersebut jauh dari pemukiman penduduk dan kondisinya sulit dijangkau. Namun pesatnya pembangunan kota membuat lokasi ini ikut berkembang. Di sekitarnya berkembang pemukiman penduduk yang bukan pelacur. Untuk membedakan lokalisasi ini dari pemukiman masyarakat umum, pada tahun 1981 pemerintah membangun tembok keliling dari beton dengan tinggi 2,5 m. Sebagai pintu masuk dibuat dua gerbang utama. Lokalisasi ini tepatnya terletak di Jl. Kramat Jaya di RW 01 (khusus) kelurahan Tugu Utara, Kec. Koja Jakarta Utara yang terdiri dari 8 RT. Perkembangan bangunan di dalam lokalisasi sangat pesat. Bermula hanya terdiri dari beberapa rumah, kini (1997) sudah betjumlah 277 rumah. Semuanya merupakan rumah permanen dengan penataan lingkungan yang cukup apik. Biaya pembangunan rumahrumah ini cukup tinggi, antara Rp 400 juta hingga Rp 1 milyar, penyebabnya adalah biaya perizinan yang begitu tinggi sebagai upaya membatasi penambahan bangunan.
27
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih Jumlah penghuni lokalisasi ini diperkirakan antara 3000-4000 orang, di antaranya adalah 2500 pelacur. Sisanya adalah mudkari atau pengasuh, bartender, dan bujang. Di luar itu terdapat orangorang luaryang datang untuk menjualjasanya, antara lain: pedagang, tukang semir sepatu, penyuntik silikon dan renternir, selain itu ada pula petugas panti yang bertugas baik memberi kelengkapan administratif ataupun juga ketrampilan pada para pelacur tersebut. Unsur paling penting dari lokalisasi adalah tamu, berapa orang yang datang setiap hari? Jumlahnya tidak dapat diketahui secara persis. Jika 1 pelacur berkencan dengan 1 orang tamu maka jumlah tamu dapat di estimasi antara 2000-2500 orang. Siapakah mereka? Dalam upaya memahami penggunaan kondom, Yayasan Kusuma Buana meminta 200 pelacur mendata pelanggannya. Diketahui bahwa pekerjaan mereka adalah karyawan swasta, pegawai negeri, mahasiswa, Anak Buah Kapal, buruh dan juga anggota ABRI. Permasalahan sosialyang dijumpai di lokalisasi ini antara lain: persaingan antarsesama pelacur dalam mendapatkan tamu, masalah kecanduan rokok (termasuk minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang) biasanya melanda pelacur yang berusia muda. Ada pula masalah frustasi, tindakan fatalistik akibat kejenuhan serta merasa tertipu yang kemudian berkembang dengan menyakiti diri sendiri. Masalah lain yang cukup penting adalah masalah kesehatan terutama penyakit menular seksual yang di akibatkan disinformasi tentang cara perawatan kesehatan yang henar. Lalu masalah pencurian dan penganiayaan/pembunuhan akibat gaya hidup para pelacur itu sendiri yang lebih suka memperlihatkan keberadaannya dengan cara menghiasi tubuh dengan perhiasan emas yang cukup menyolok mata.
Cilegeng Indah Kompleks pelacuran tidak resmi yang disebut CI (Cilegeng Indah), berada di kawasan Indramayu.
28
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal
Kotak 3: Misten Cilegeng Indah (CI) Perjalanan menuju CI dari Bongas ditempuh 35 menit dengan menggunakan kendaraan ojek sepeda motor. Peneliti bersama dua kenalan dari Bongas, menyewa ojek sepeda motor untuk setengah hari. Perjalanan dari Bongas pukul 14.00 WIB tiba di CI pukul 14.40 WIB. Perjalanan kami melewati desa-desa yang telah diaspal sarana jalannya. Pemandangan sawah-sawah di kanan dan kiri jalan tampak datar dengan penataan petak-petak yang luas serta penataan pengairan yang rapi. Sungai yang kami lewati dialiri air yang terlihat jernih dan masih cukup deras. Untuk sampai CI kami harus keluardari kecamatan Bongas lalu melintasi kecamatan Gabus Wetan dan masuk ke kecamatan Haur geulis, di kecamatan inilah CI berada. Memasuki CI lokasi persawahan mulai tidak ada, diganti perbukitan yang sulit dijangkau oleh aliran air dari irigasi. Pemandu kami menerangkan bahwa areal sekitar CI merupakan lahan pemerintah yang diperuntukkan bagi penanaman pohon kayu putih. Memang di sekitar jalan yang kami lewati tumbuh beberapa pohon kayu putih namun tampak sudah ditebangi. Sebagian lahan bahkan telah gundul. Menurut mereka lahan-lahan tersebut sekarang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan palawija. CI adalah nama suatu kompleks perumahan yang agak tidak teratur pembangunannya. Ada yang berdiri sendiri-sendiri, ada yang berkelompok kecil-kecil. Sebagian besar dari bangunan adalah warung-warung yang di didisain seperti bar dengan musik yang cukup keras. Ada yang menempelkan nama usahanya sebagai diskotik. Bangunannya cukup besar dan dilengkapi dengan sistem audio dan lampu warna-warni. Kami sampai di CI saat hari masih siang, sekitar pukul 15.00 Wib, tampak situasi lokasi yang lengang seperti tidak ada penghuninya. Salah satu kawan seperjalanan kami punya kakak yang bekerja sebagai keamanan di salah satu diskotik di daerah tersebut yaitu wisma M. Karena itu kami langsung masuk ke wisma M, di dalam ada beberapa gadis yang sedang bersantai menemani pasangannya, pria-pria yang telah berusia sekitar 50-an.
29
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih
Kami bertemu dengan kakak kawan tersebut. Dia menyambut bersama dengan pacarnya, seorang pelacur yang juga bertugas sebagai bartender. Sekilas melihat ruangan itu, situasinya tidak berbeda dengan beberapa wisma di KT. Namun bangunan wisma M ini belum rampung seluruhnya, ada beberapa kamar yang masih belum rapi (berlantaikan tanah, dengan dinding batako yang belum diplester). Dari pengamatan sekilas ini terlihat baru sekitar 6 kamar yang sudah dipakai/ditempati karena sudah terpasang tempat tidurnya. Situasi atap kamar tidak diplafon, dinding tidak dicat dan tidak ada fasilitas kipas angin ataupun TV. Ada pula peralatan diesel yang dipasang di salah satu kamar yang belum terpakai. Di belakang rumah ada halaman terbuka di mana terlihat areal perkebunan. Banyak sampah-sampah seperti bekas botol Krating Daeng berserakan tidak teratur. Selain itu, banyak lalat yang berkerumun di sekitarnya. Situasinya sangat kumuh dan berbau busuk (anyir). Kami memperoleh banyak informasi mengenai jaringan pelacuran yang melibatkan gadis-gadis Bongas di Jakarta. Kunjungan selanjutnya kami lakukan pada malam hari, tempat ini berbeda dengan siang hari yang lengang, dimalam hari cukup ramai dan remang-remang. Tamu yang datang kebanyakan adalah laki-laki desa sekitarnya, walau ada juga motor dan mobil yang bernomor polisi B. Pada kunjungan yang ketiga dan mengelilingi hampir semua wisma kami memperoleh kesan bahwa di tempat itu telah heredar obat-obat terlarang, termasuk ecstacy. Tempat ini tidak jauh berbeda dari Kramat Tunggak, hanya lebih sedikit jumlah rumahnya, sangat terbuka, dan lebih sepi.
Mangga Besar Kawasan ini strategis dan terletak di pusat kota dan pusat bisnis di Jakarta Pusat menyebabkan bisnis seks di daerah tersebut semakin ramai dan diminati khususnya para pebisnis di lingkungan pecinan tersebut.
30
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal
Kotak 4: Mangga Besar Jalan Mangga Besar terletak di daerah "pecinan", tengahtengah kota Jakarta. Di jalan rayanya terdapat berbagai restorán ciña dan pertokoan. Princen Park, sebuah arena pasar malam yang sangat populer di jaman Belanda juga terletak di daerah ini walau pada tahun 1988 fungsinya telah berubah menjadi pertokoan modern. Daerah Mangga Besar sebenarnya merupakan bagian dari sentra bisnis Jakarta yang berpusat di bilangan Glodok dan Pinangsia. Yang mencolok di sentra bisnis ini adalah maraknya pedagang klontong dan elektronika besar maupun kecil serta berbagai pusat hiburan, khususnya karaoke bar, panti pijat, dan diskotik. Mangga Besar adalah area yang tidak pernah sepi baik siang maupun malam hari. Selain jalan raya Mangga Besar, terdapat puluhan gang. Di salah satu gang ini, sebuah gang sempit yang sulit dilalui oleh dua mobil sekaligus, inilah kami mengunjungi indekost anakanak yang dibawa dari Indramayu untuk bekerja sebagai karyawan sebuah diskotik. Ada dua rumah yang kami kunjungi, keduanya di jalan-jalan sempit tidak jauh satu sama lain. Yang pertama adalah rumah bertingkat 3 dengan ukuran kurang lebih 10m lebar x 20 m panjang. Pagar besi yang membatasi rumah ini dengan jalan hanya terbuka separo. Ada beberapa mobil yang diparkirdi halaman depan dan beberapa tamu orang kantoran yang keluar masuk. Kami datang, masuk ke ruang depan tanpa ada yang menegur, lalu naik tangga sampai ke lantai tiga. Setiap lantai terdapat beberapa kamar yang tertutup dan ber-AC. Suara beberapa gadis terdengar dari kamarkamar tersebut. Penghuninya seperti gadis-gadis kelas menengah dengan pakaian rapi dan bau parfum yang mencolok. Katanya yang indekost di rumah ini memang kelas "mahal". Tujuan kami berkunjung sebenarnya untuk bertemu dengan seorang gadis yang menjadi informan kami atau bertemu bapak M yang bekerja sebagai calo. Keduanya tidak berada di tempat. Maka kami bergegas kembali ke mobil dan pergi ke rumah berikutnya. Juga berlantai 3, bedanya adalah bahwa rumah ini lebih sederhana, lebih terbuka, dan lebih ramai. Waktu kami masuk rumah, banyak gadis-gadis muda berpakaian "seadanya" sedang bercengkerama dalam bahasa Jawa gaya Indramayu bercampur logat Betawi yang kaku. Kami bertemu dengan seorang penjaga dan menanyakan gadis yang hendak kita temui. Dengan mudah orang tersebut mencarikan
31
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih
informan kita dan kami diperbolehkan mengobrol di ruang tamu. Di depan ada sebuah tilpun yang selalu berdering. Selain itu ada Ibu-ibu yang menjual makanan, rupanya ia berasal dari desa yang sama dari kebanyakan wanita di rumah ini karena dia juga berbahasa Indramayu. Kata Pak M yang menjadi informan kita, rumah ini khusus kos-kosannya anak-anak gadis Indramayu dan dikenal sebagai kelas di bawah Rp. 100.000-an.
Te m pat Mangkal di Surabaya Sama dengan di Jakarta, praktek pelacuran di Surabaya berkembang makin pesat sejak pasca kemerdekaan. Kompleks pelacuran Bangunrejo yang terletak di dekat pelabuhan konon disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia pada tahun 1950-an. Kompleks ini sekarang menjadi daerah perumahan elit seiring dengan melonjaknya harga tanah, dan para pelacur sekarang sudah pindah ke kawasan lain, seperti Dolly dan Jarak. Banyak kawasan di Surabaya, terutama dekat stasiun kereta api, di daerah kumuh seperti Kremil, Tandes dan Bangunsari telah berkembang menjadi kantong-kantong pelacuran untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (Hull dkk., 1997: 73). Menurut catatan Dinas Sosial Kodya Surabaya, jumlah pelacur di Surabaya pada tahun 1995 diperkirakan sebanyak 3.906 orang. Jumlah kompleks pelacuran sebanyak 5 kawasan dan jumlah mucikari sebanyak 860 orang. Dibandingkan tahuntahun sebelumnya, jumlah mucikari dan pelacur yang beroperasi di Surabaya secara statistikal cenderung menurun. Tetapi, perlu dicatat bahwa angka-angka ini adalah data resmi yang belum tentu mencerrmnkan realitas yang sebenarnya. Untuk tahun 1997-1999, jumlah mucikari yang tercatat dilaporkan sebanyak 720 yang tersebar di 4 kompleks lokalisasi. Jumlah PSK menurut catatan terakhir sebanyak 3.936 orang, belum termasuk PSK yang beroperasi di jalanan, prostitusi terselubung di panti-panti pijat, dan sebagainya.
32
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal Diprediksi, jumlah PSK di Surabaya sejak krisis naik berbarengan dengan terjadinya tekanan kebutuhan hidup yang makin kuat di berbagai daerah dan meningkatnya problema rumah tangga, khususnya kasus perceraian dan penganiayaan istri (wife abuse). Tidak mustahil, sejajar dengan perkembangan kota Surabaya menuju ke arah metropolis, jumlah pelacur dan praktek pelacuran justru makin marak. Jarak misalnya diketahui memiliki sekitar 250 rumah bordil dan dihuni sekitar 2.000 orang perempuan pekerja seks. Di lokalisasi Dolly paling-tidak ada 56 rumah yang dipergunakan sebagai tempat pelacuran yang masing-masing menampung kurang-lebih 10 pelacur. Bahkan diperkirakan di kompleks ini jumlah pelacur yang beroperasi sekitar 1.000 orang. Di kompleks Dolly pelacuran anak-anak adalah hal yang biasa dan diperkirakan jumlahnya sekitar sepersepuluh dari penghuni kompleks ini (Hull dkk., 1997:75). Di daerah landes menurut estimasi dihuni sekitar 500 orang pekerja seks. Di sepuluh jalan kecil di Bangunrejo paling-tidak dihuni sekitar 2.750 pekeija seks. Secara keseluruhan, apabila angka-angka tersebut di atas dijumlahkan maka diperkirakan ada sekitar 7.500 orang pelacur yang beroperasi di rumah-rumah bordil dalam lokalisasi di Surabaya (Hull dkk., 1997: 74). Jumlah ini belum termasuk pekerja seks yang beroperasi di night dub, para wanita panggilan atau wanita yang bekerja rangkap sebagai tukang pijat dan pelacur. Di Surabaya, kawasan lokalisasi yang terbesar dalam arti terluas dan paling populer, adalah kompleks Dolly dan sekitarnya: Jarak dan Putat. Di Dolly tercatat sebanyak 60 unit dengan sekitar 1.000 pelacur dengan perkiraan populasi 10% dari total PSK.
33
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
Kotak 5. Dolly Di Surabaya, kawasan lokalisasi yang terbesar -dalam arti terluas dan paling populer -adalah kompleks Dolly dan sekitarnya: Jarak dan Putat. Menurut pengetahuan banyak orang, semua kompleks pelacuran seluas kurang-lebih 25 hektar yang terletak di Kecamatan Sawahan itu bernama Dolly, padahal sebenarnya tidak sesederhana itu. Sebenarnya ada tiga lokasi yang bisa dilihat dan dibedakan dengan jelas kalau kita melihat kenyataan di lapangan, yakni Dolly sendiri, Jarak dan lokalisasi Putat. Memang sudah biasa, kalau orang misalnya akan pergi ke Jl. Jarak, mereka akan bilang "Pergi ke Dolly". Demikian juga kalau mau pergi ke Jl. Putat Jaya. Dari basil observasi sekitar pertengahan tahun 1998, di gang Dolly diketahui terdapat 36 wisma (rumah bordil) yang saling berhadapan. Di sebelah kiri -kalau lewat pintu depan- ada 18 wisma, dan di sebelah kanan berderet-deret sebanyak 18 wisma pada pada malam hari selalu hingar-bingar dengan suara musik dan lampu yang gemerlapan. Selain wisma-wisma, di gang Dolly juga terdapat beberapa fasilitas, seperti: wartel dengan dua kamar kios telpon, baik untuk lokal maupun interlokal, sebuah counter ding-dong dengan 5 mesin, yaitu semacam permainan judi dengan media sebuah mesin permainan yang hanya bisa dijalankan dengan memasukkan koin seratusan. Jika beruntung, penjudi bisa merontokkan dan mendapatkan puluhan koin yang telah dimasukkan sebelumnya. Di kompleks pelacuran Dolly, tarif kencan relatif sama, yakni berkisar antara 40-75 ribu. Tetapi, ada beberapa hal yang perlu diketahui pelanggan sebelum memutuskan mereka akan kencan atau tidak. Pertama, mengenai batas waktu kencan tiap-tiap wisma tidak sama. Ada yang mematok 60 menit, 75 menit, dan 90 menit. Yang jelas tamu tidak diperkenankan berkencan lebih dari 90 menit yang merupakan toleransi batas waktu paling lama. Tetapi, kalau tamu berkencan kurang dari 60 menit -misalnya 30 menit sudah puas- si tamu tetap harus bayar penuh. Selain itu, wisma tertentu biasanya juga punya koleksi khusus, dengan harga spesial. Di depan tiap-tiap wisma di kompleks lokalisasi Dolly, biasanya berdiri satu sampai tiga makelar yang berusaha merayu tamu untuk mampir, minum atau kencan di wisma masing-masing. Berbagai jurus dan gaya, mereka gunakan untuk menawarkan koleksi gadis-gadis
34
Mampir Sejenak di Tempat Mangkal
yang mereka miliki. Sambil menyambut tamu yang datang -sambil menggandeng tangan atau merangkul pundak, seolah sudah akrabbiasanya mereka langsung menunjukkan salah satu atau dua pekerja seks komersialyang terlihat jelas dari luar. Selanjutnya mereka akan menawarkan kelebihan-kelebihan pelacur yang ditunjuk maupun fasilitas kamar yang dimiliki. Kehadiran para makelar di depan tiap-tiap wisma ini sangat penting artinya bagi kelancaran usaba wisma, maupun bagi laku tidaknya gadis-gadis penjaja jasa seksual dari para pengunjung. Bagi wisma, kehadiran makelar ini, ibaratnya semacam tenaga marketing suatu perusahaan penghasil barang. Sedangkan bagi gadis-gadis sendiri, makelar ini sangat berperan dalam mempromosikan kelebihan-kelebihan di depan calon tamu. Ini sangat penting dan menentukan bagi calon tamu, untuk jadi kencan dengan gadis yang ditawarkan atau tidak. Namun demikian, kehadiran para makelar atau calo bagi para pelacur sekaligus juga pihak yang menyebabkan mereka acapkali tersubordinasi. Disadari betul, apabila mereka bersikap tidak bersahabat kepada para makelar, dan kemudian makelar-makelar itu menjelek-jelekkan gadis yang bersangkutan kepada calon tamu, maka tamatlah sudah riwayat pelacur tadi. Saking takutnya pada para makelar, pelacur biasanya tak segan-segan mau melayani kencan gratis, atau kadang-kadang juga memberi tips tambaban kepada para makelar, selain potongan resmi dari wisma. Makelar di Gang Dolly, rata-rata mendapatkan 510 ribu dari tiap-tiap tamu yang didapatnya. Jumlah penghasilan yang bisa dikumpulkan oleh tiap-tiap pelacur tidak sama, biasanya tergantung wisma masing-masing dalam memberikan bagi hasil, dan daya tarik pelacur itu sendiri di mata pelanggan. Secara pukul rata, penghasilan pelacur di kompleks lokalisasi Dolly berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 untuk per pelanggan. Bagi yang sudah mempunyai langganan tetap, atau kebetulan lebih cantik dibandingkan yang lain, rata-rata tiap malamnya bisa mendapatkan tamu hingga delapan sampai sembilan tamu. Tetapi yang biasa-biasa saja, rata-rata mendapatkan teman kencan tiga sampai lima tiap malam. Semua kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok tiap hari, seperti makan, minum, tidur, mandi dan cuci (adakalanya juga obat-obatan), menjadi tanggung jawab pemilik wisma atau mucikari. Setiap hari mereka mendapatkan makan tiga kali, dengan menu yang enak tetapi diatur. Maksudnya, ada beberapa menu
35
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih
makanan tertentu yang tidak boleh dimakan dengan alasan tertentu. Misalnya yang diterapkan oleh salah satu wisma X, pelacur tidak diperbolehkan diberi telur ayam ras, ikan asin, ikan pindang, dan semua jenis ikan laut. Alasannya, semua jenis makanan tadi bisa menyebabkan bau vagina tidak sedap. Untuk cuci dan seterika pakaian, wisma juga menyediakan pembantu yang menangani itu. Memang para pelacur ini sengaja dibebaskan dari pekerjaan yang sekiranya bisa mengganggu mereka dari merawat kecantikan tubuh. Selain makanan, mereka juga mendapatkan jamu-jamu secara rutin. Seperti misalnya jamu sari rapet, atau jamu-jamu lain khusus untuk membuat vagina tetap wangi (tidak berbau), juga jamu untuk menjaga kondisi tetap prima. Untuk mengontrol kesehatan mereka, baik dari penyakit umum maupun penyakit kelamin, diadakan pemeriksaan rutin oleh petugas kesehatan. Kontrol ini diwajibkan bagi setiap pelacur, baik yang di Dolly, Jarak, maupun Putat Jaya. Pemeriksaan dilakukan setiap hari Rabu pagi sampai siang, bertempat di Balai RW wilayah masingmasing. Untuk menjaga kondisi kebugaran, setiap Jum'at pagi ada beberapa tempat senam aerobik yang bisa diikuti oleh semua penghuni kompleks.
36
Mengenal Tempat Asal: ''Bongos Pen tit. Saturan Buangan"
3
Sekelumit Sejarah Nama Bongas sendiri menurut beberapa tetua desa berarti ujung dalam bahasa Indramayu. Awal mulanya daerah ini bemama Kalen Bongas atau ujung tempat saturan pembuangan. Sedangkan arti kata Pentil dijelaskan oleh Bapak Akuwu seperti berikut ini: "Nah..kalau blok Pentil itu artinya segerombol. Diujung kalen itu ditanam..banyak tumbuh pohon mangga...(biji mangga yang dibuang ke dalam kalen hanyut dan tertumpuk di ujung/muara saturan)... Nah kalau buah mangga masih kecil rasanya asam, itu namanya buah pentil. Kalau orang sini mengatakan yang belum masak itu pentil. Nah, itu namanya blok pentil." (AKW - kump.wwcr). Pada awalnya tidak ada yang menempati daerah tersebut, lalu masuklah para pendatang, antara lain dari desa Gabus Raneaban. Setelah makin banyak yang datang maka jadilah sebuah desa. Untuk memudahkan sanak saudara mencari mereka, dinamailah daerah tersebut desa Bongas. Tidak diketahui apakah yang melatarbelakangi penduduk Gabus Raneaban atau desa-desa lain itu untuk berpindah ke Bongas. Namun dan catatan yang bisa diketahui bahwa pemerintahan yang teratur di desa Bongas sudah dikenal sejak tahun 1890 dengan bukti adanya sejumlah nama akuwu atau pengurus desa. Hingga sekarang desa tersebut sudah di pimpin 37
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih oleh 22 orang akuwu, akuwu yang saat ini terpilih adalah keturunan ketiga dari Akuwu yang ke 15.
Kotak 4 : Legenda rayuan perempuan... Para informan meyakini bahwa Desa Bongas sudah ada sejak tahun 1890-an menilik pada akuwu pertama yang memerintah desa tersebut. Namun waktu itu hanya satu desa saja dan dihuni oleh beberapa keluarga. Tidak didapatkan babad tentang desa itu sendiri yang ada dan sering diceritakan penduduk adalah babad Indramayu. Paling tidak didapatkan dua versi mengenai babad Indramayu tersebut. Versi pertama babad kota Indramayu mengisahkan adanya seorang pemimpin dari Bagelen yang ingin memperluas daerah kekuasaannya. Pemimpin tersebut kemudian menyamar sebagai wanita dan mengajukan pinangan ke Bupati Sumedang. Pinangan tersebut diterima dan diberi mas kawin tanah, luasnya ditentukan oleh pemimpin tersebut yaitu seukuran kulit kerbau yang dibentangkan. Ternyata kulit itu kulit ajaib sehingga luas tanah mas kawin itu antara perbatasan Indramayu sekarang dengan daerah Sumedang. Namun setelah perkawinan dilakukan Bupati Sumedang merasa tertipu karena pengantin wanitanya ternyata laki-laki. Walaupun demikian mas kawin yang sudah diberikan tak bisa diambil lagi. Versi kedua juga sama yaitu pria yang menyamar menjadi wanita untuk mencapai keinginannya. Wanita itu bernama Nyi Endang Darma Ayu. Namun pada versi ini tidak terjadi pernikahan karena sang wanita terlebih dahulu terjun ke sungai karena terbuka kedoknya. Nama dari Nyi Endang tersebut digunakan untuk menamai daerah yang telah diukur yaitu Indramayu. Desa Bongas menjadi salah satu desa yang telah diukur. Sumber: wawancara Legenda di atas dapat dinikmati lewat sandiwara. Dalam acara yang disebut keriaan, lakon yang dibawakan biasanya adalah sejarah atau babad Indramayu. Sayang sekali bahwa pada saat pengumpulan data ini dilakukan para pemimpin
38
Mengenal Tempat Asal: "BongasPenti!, Saturan Buangarí' sandiwara4 itu sedang keluar desa untuk bekerja. Ini lazim terjadi jika sawah mereka sedang tak ditanami dan tidak ada keriaan yang menanggap grup sandiwara. Namun satu hal diakui oleh para informan yaitu adanya anggapan bahwa orang Indramayu, terutama wanitanya, menggunakan tipu daya untuk mencapai maksudnya. Masyarakat Bongas percaya dengan legenda tersebut sehingga sebagian besar dari mereka menganggap anak perempuan lebih bernilai dibanding anak laki-laki karena anak perempuan dengan kewanitaannya dianggap dapat melakukan tipu daya untuk mengeruk kekayaan laki-laki itu.
Geografi Bongas, desa seluas 6,09 km2 terletak di propinsi Jawa Barat, Kecamatan Bongas dan Kabupaten Indramayu. Jumlah Penduduk pada tahun 1996 tercatat sebesar 5061 jiwa (Monografi Desa, 1996). Desa ini berbatasan dengan desa Kertamulya disebelah Utara, desa Sidamulya di sebelah selatan, desa Cipaat di sebelah barat dan desa Kertajaya dis ebelah Timur. Kecamatan Bongas pada mulanya hanya terdiri dari satu desa saja yaitu desa Bongas, yang dipecah menjadi beberapa dusun atau blok atau pecantitan. Namun karena dianggap sudah terlalu besar, pada tahun 1974 desa dimekarkan menjadi 3 (tiga) desa yaitu desa Bongas, Margamulya dan Sidamulya. Pemekaran terjadi lagi pada tahun 1981, kali ini menjadi 6 (enam) desa, yaitu: Desa Bongas, Kertamulya, Margamulya, Kertajaya, Sidamulya dan Cipedang. Masih dianggap terlalu besar, pada tahun 1983 desa Bongas dan Margamulya dipecah lagi menjadi desa Cipaat dan desa Plawangan. Sehingga yang dahulu hanya desa menjadi setingkat kecamatan dan dipecah menjadi 8 desa dengan desa Kertamulya sebagai ibukota Menurut penduduk ada 3 kelompok sandiwara yang sering melakonkan babad tersebut
39
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih kecamatan. Ketika ditanya mengapa bukan desa Bongas yang menjadi pusat pemerintahan kecamatan? Menurut beberapa narasumber, letaknya yang tidak strategis dan karena dikenal sebagai daerah pasokan pelacur, telah menyebabkan desa induk ini dianggap dapat mempengaruhi citra kecamatan. Ada juga informan yang mengatakan: "Ya.. Karena politik akuwu kita!Akuwu kita tidak mau desa kitajadi ibukota kecamatan dikarenakan kalau ada rezeki, maka harus dibagi-bagi dengan Camat Kalau ada Camat di depan mata kan mot/', mau makan apa? Kan tidak mungkin kalau ada orangnya di depan mata tidak dibagi?" (E - Calo.) Selain itu, pemecahan atau pemekaran desa ini memang telah dianggap penduduk ikut memiskinkan Desa Bongas. Informan mengatakan: "Dulu kan desanya cuma satu Bongas aja..terus..di apa tadi...pemekaran wilayah jadi ada dua Bongas pentil sama Japatan teros ada lagi Cipedang sekarang sudah 6 desa. Waktu masih satu...kan masih belum banyak orangyang kerja ke Jakarta...ada juga janda-janda apa ibu-ibu... Lamalama anak-anak pentilnya pada ikut ...kan banyak bawa orang Jakarta...ada yang diambil istn...dijadiin gendokan..kan banyak orang bolak-balik Jakarta-sini, Jakarta-sini... jalonan dulu masih susah... kalau ujan kejeblos... maklum tanahnya kan ta nab sawah.... "(PDR cat.l). Persoalannya adalah, apakah benar bahwa sebelum adanya pemekaran penduduk desa Bongas belum miskin? Bukti-bukti untuk itu tidak diperoleh. Oleh karena itu, sebagai bagian dari perasaan diri "menjadi miskin", pemekaran boleh jadi memang patut dijadikan alasan. Yang lebih jelas adalah bahwa pemekaran itu menyebabkan desa Bongas yang sekarang menjadi lebih eksklusif, sehingga jika penduduknya memang sudah miskin, maka perasaan itu makin manjadi-jadi karena sekarang mereka lebih melihat kenyataan itu di anta ra mereka dan tentunya ada stigmatisasi oleh penduduk desa
40
Mengenal Tempat Asal: "BongosPentU, Saturan Buangarf' lain yang melihat penduduk desa ini pada umumnya miskin dan menjadi pemasok pelacur. Selain masalah pemekaran wilayah, Desa Bongas juga rentan terhadap penyediaan air dari Bendungan Jatiluhur. Pada tahun 1989/90, 1996/97 desa itu pernah tidak mendapat air dan mengalami kekeringan, walau sekarang sudah tidak lagi. Selain itu, menurut seorang informan, tanah mereka dekat dengan karang (karena dekat laut) "...tanahnya disini karang..mbak paling banter 7 apa 8 meter udah karang semua...kan deket sama laut...tub eretan aja udah bates laut...kan enggak bisa ...mau bikin pompa aja disini pake paralan 20-an airnya baru bogus" (PDR - catl) Menilik statistik kependudukan Desa Bongas, diketahui bahwa desa ini mempunyai angkatan kerja yang cukup besar karena dari 5061 penduduk 74% (Monografi Desa, 1996) adalah penduduk usia produktif dengan perbandingan antara pria dan wanita yang cukup seimbang. Namun jika diamati, sebagian besar penduduk yang bekerja adalah wanita baik itu sebagai petani, pelacur ataupun pekerjaan lain, sementara para prianya sebagian besar tidak bekerja. Menurut seorang informan: Kalau saya liat-liat anak laki-laki disini bong-bong aja...apa tu h manja ...enggak mau repot-repot nyari uang untuk ngasih makan anak istri... kalau bisa istri sama anaknya yang kasih makan (PDR - catl) Tingkat pengangguran di desa Bongas termasuk cukup tinggi, dari 3.791 orang yang masuk dalam angkatan kerja hanya 23% saja yang bekerja, dari jumlah itu sebagian besar atau sekitar 56% adalah buruh tani. Desa Bongas dibagi menjadi 2 dusun, 4 Rukun warga dan 18 rukun tetangga. Setiap RT beranggotakan sekitar 75 kepala keluarga dengan jumlah anggota per kepala keluarga antara 3-5 orang. Jumlah rumah di desa Bongas ada sekitar 1347 buah dengan jenis 7 buah rumah permanen, 687 rumah 41
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih semi permanen dan 653 rumah non permanen. Rumah permanen selain dimiliki kepala desa sebagian besar dimiliki oleh keluarga yang mempunyai anak yang bekerja sebagai pelacur. Demikian juga dengan rumah semi permanen. Rumah non permanen biasanya dimiliki oleh warga yang anggota keluarganya tidak pernah, belum ataupun baru menjadi pelacur. Perkawinan dan Perceraian Jika dilihat selintas, jumlah perkawinan dan perceraian di desa Bongas tidaklah "tinggi"5 karena menurut monografi desa selama tahun 1996 ada 60 pasangan yang menikah dan hanya 18 pasangan yang bercerai (30%). Namun menurut beberapa informan hal itu lumrah karena banyak pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya di KUA desa tersebut. Seorang informan menyebutkan, ada beberapa pasangan yang menikah di KUA Patrol, selain itu banyak pasangan terutama para pelacur yang insyaf dan diperistri orang luar desa Bongas hanya menikah secara agama (bawah tangan) atau bahkan hanya kumpul kebo saja. Ini dapat dimengerti karena jika mau dinikahkan di catatan sipil, banyak syaratyang harus dipenuhi seperti mendapatkan surat ijin dari istri pertama jika ia sudah menikah dan sebagainya. Karenanya banyak wanita Bongas6 yang hanya dijadikan istri simpanan saja dan dikunjungi dua minggu atau sebulan sekali. Ada cerita yang sering dibicarakan penduduk jika membahas masalah istri simpanan ini yaitu beberapa kali terjadi di tengah pesta pernikahan antara seorang wanita 5
6
Angka perceraian untuk perkawinan pada usia 10-14 tahun adalah 9.5% sedang untuk perkawinan pada usia yang lebih tua selalu lebih rendah (BPS, 1996 ). Oleh karena itu, peceraian di Bongas sebenarnya cukup tinggi. Sedangkan menurut pengamatan lapangan, angka yang dilaporkan itu memang rendah karena jika kita bertanya-tanya, lebih banyak orang yang sudah pernah cerai dibanding yang belum. Informan tidak bisa menyebutkan jumlah secara pasti serta tidak ada data dari KUA ataupun desa. 42
Mengenal Tempat Asa I: " Bon gas PentH, Saturan Buangarí' Bongas dan laki-laki dari "kota" ada sekelompok orang yang menyeret pengantin laki-laki untuk dibawa pulang. Ternyata orang-orang itu adalah keluarga istri terdahulu dari si pengantin pria yang mencium perbuatannya. Denyut Perekonomian Desa Bongas Pertanian Bongas terletak cukup jauh dari jalan raya propinsi yang menghubungkan antara Jakarta dengan Cirebon yaitu lebih kurang 8 km. Untuk mencapai Bongas ada dua jalan yaitu melalui pasar Patrol dan melalui Legok. Jalan yang menghubungkan Legok dengan Bongas sebagian telah diaspal, namun sekitar 3 km sebelum mencapai desa itu jalan yang harus dilalui sangat buruk karena belum diaspal sama sekali, hanya ditimbuni oleh pasir dan bebatuan. Jika dari Legok, Bongas memang seakan-akan berada di suatu ujung dari jalan yang panjang. Kurang lebih 5 km menjelang masuk desa tersebut di kiri-kanan jalan terhampar persawahan sejauh mata memandang. Bertanam padi adalah mata pencaharian penduduk yang utama dengan luas sawah lebih kurang 400 ha dengan hasil rata-rata pertahun mencapai 1200 ton yang didapat dari dua kali panen. Perkebunan sayur dan buah menempati tempat yang kedua dan terakhir yaitu perkebunan bawang merah seluas 2 ha dengan hasil rata-rata 10 ton pertahun, pisang seluas 4 ha dengan hasil mencapai 20 ton pertahun. Di sektor peternakan, warga Bongas lebih menyukai menernakan ayam kampung, itik serta sedikit kambing, dengan alasan ketigajenis binatang ternakini mudah perawatan serta pakannya. Lahan pertanian mendapatkan aliran air dari waduk Jatiluhur dan juga sungai Cipunegara yang melewati pinggiran desa Bongas. Irigasi di desa ini sudah termasuk bagus karena merupakan irigasi teknis yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. Karena masa tanam yang relatif tidak terganggu masalah
43
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih pengairan, Bongas dikenal sebagai lumbung padi yang cukup berlimpah. Namun pada saat penelitian ini berlangsung lahan sawah di sana sedang tidak dapat ditanami karena pasokan air sangat kurang baik dari Jatiluhur maupun dari sungai Cipunegara. Beberapa tetua desa menghubungkan hal ini dengan marahnya danyang penunggu desa karena kurangnya sesajen yang mereka berikan pada saat diadakan bersih desa. Tetapi ada pula penduduk yang menghubungkan kelangkaan air dengan musim kemarau yang melewati batas ini. Salah satu persoalan serius yang dihadapi oleh Desa Bongas adalah bahwa sebagian besar sawah dimiliki oleh orang-orang di luar desa Bongas. Menurut salah satu mantan Akuwu hampir 60% tanah persawahan dikuasai orang luar desa Bongas. Hal ini sudah terjadi sejak sekitar 10 tahun yang lalu, menurutnya selain pertambahan penduduk, pemekaran wilayah pun dianggap sebagai penyebab berpindahnya tanah sawah pada orang luar desa Bongas. Pak RT yang menjadi informan kita menjelaskan bahwa dari 90 KK di wilayahnya, hanya 15 yang memiliki tanah dengan lúas rata-rata 2-5 bau. Sedangkan menurut Bapak Akuwu yang diwawancara, jumlah pemilik sawah tidak lebih dari 20%. Ketimpangan yang sangat besar dalam hal kepemilikan sawah di Bongas sangat mencolok. Ada seseorang yang memiliki sawah hingga 10 bau lebih (menurut pak RT bahkan ada yang memiliki 70 bau) tapi ada yang tidak memiliki sawah sama sekali. Entah kebetulan atau tidak, pemilik sawah yang sangat luas adalah keluarga yang mempunyai anak yang bekerja sebagai pelacur. Bagi warga desa yang mempunyai uang tetapi tidak mempunyai sawah biasanya menyewa atau menggadai sawah milik orang lain. Harga sewa sawah perbau pada tahun 1997 bulan Agustus hingga sekitar bulan November ini antara 1,5 juta hingga 2 juta rupiah. Untuk dapat menggadai seseorang harus menyiapkan uang sebesar 4 sampai 6 juta rupiah selama satu tahun, sedangkan untuk membeli sawah dibutuhkan uang sekitar 17 hingga 20 juta
44
Mengenal Tempaf Asal: "BongosPentH, Saturan Buangarí' rupiah perbau. Cerita informan berikut ini dapat memberikan i lustra si: "Ya.jarangorangsinipunya sawah..kebanyakan udah abis dijualin...buat makan keluarga... di sini yang punya sekarang paling 15 apa dua puluh orang yang lain... punya orang desa lain..Cipedangyang banyak...Japatan...Gabus wetan...gitu..(T: Kok bisa sih pak...lari ke orang luar semua..)Ya..yang kaya-kaya ya..orang sana bukan orang Bongos...makanya orangtua bolehin anaknya kerjajadilonte di Jakarta..kan enggak pada punya uang. Kalau uangnya udah ngumpul bisa buat beli sawah"(PDR - catl) Menurut seorang tetua desa, lima atau sepuluh tahunan terakhir ini adalah masa suram bagi para buruh tani yang disebabkan semakin langkanya pekerjaan di sawah bagi mereka. Tenaga pembajak sawah yang sebelumnya dilakukan oleh manusia diganti oleh traktor tangan. Menurut salah seorang pemilik sawah, penggunaan traktor selain cepat juga murah biayanya7. Oleh karena itu, hampir semua pemilik sawah lebih suka menyewa atau membeli sendiri traktor tangan untuk membajak sawah. Saat ini pekerjaan yang tersedia di sawah untuk para buruh adalah nandur (menanam) ataupun nderep (memanen). Selain itu, di sawah praktis tidak ada pekerjaan lagi. Penghasilan dari nderep disawah sekitar Rp 10.000,- per hari, biasanya bisa bekerja selama satu atau dua minggu dalam musim panen. Penghasilan bersih yang dibawa ke rumah berkisar antara Rp 80.000,- hingga Rp 100.000,-. Untuk tetap mendapatkan pekerjaan di sawah para buruh tersebut banyak yang kemudian pergi ke desa ataupun kecamatan bahkan kota lain seperti ke Sukra, Karawang, Subang atau ke Banten. Langkanya lahan pekerjaan lain di sekitar desa memaksa sebagian buruh yang tak mendapat pekerjaan di sektor pertanian untuk migrasi ke kota dan bekerja sebagai kuli angkut
Seorang informan menyatakan bahwa penggunaan mesin memang telah mengurangi kesempatan kerja buruh tani. Menurutnya petani penggarap sawah akan berontak kalau mesin dipakai secara meluas.
45
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih (terutama para pria), ojek, tukang beca, dan menjadi pelacur (bagi para wanitanya). Non Pertanian Selain bertani, sebagian kecil warga Bongas me-menuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi pengojek yang melayani trayek Bongas-Legok. Ojek merupakan satu-satunya transportasi umum dari dan menuju Bongas. Menurut salah seorang tetua desa, sebelum jalan menuju Bongas diperbaiki ada angkutan umum yang masuk hingga ke mulut desa. Namun entah mengapa setelah jalan menuju desa ditimbuni pasir dan batu, mobil angkutan yang hanya berjumlah dua buah tidak dioperasikan lagi. Untuk menjual basil padi ataupun perkebunan, penduduk tidak menemui kesulitan karena pengepul8 mendatangi petani. Kalaupun ingin menjual sendiri, warga desa dapat menyewa salah satu dari 4 (empat) truk yang dipunyai oleh seorang warga Bongas. Pekerjaan lain yang tersedia adalah sebagai tukang. Namun menurut seorang informan yang mempunyai keahlian sebagai tukang batu, pekerjaan sebagai tukang hanya ramai pada musim panen atau jika ada rumah dari keluarga yang anaknya bekerja sebagai pelacur sedang diperbaiki. Seorang tukang yang ahli bisa mendapatkan bayaran Rp 10.000,- sehari ditambah sarapan dan makan siang, sedangkan keneknya mendapatkan Rp 6.000,- sehari dengan makan dan sarapan juga. Sebagai pekerjaan sambilan ada juga warga yang berjualan garam pupuk. Keuntungan yang diperoleh sebenarnya cukup besar namun karena garam tersebut tidak selalu dibutuhkan setiap saat maka pekerjaan itu juga tidak dapat menjadi andalan penghasilan.
Orang yang mengumpulkan hasil pertanian biasanya adalah juga petani yang memiliki sawah sangat luas. 46
Mengenal Tempat Asa I: " Bon gas PentH, Saturan Buangarí' Menurut beberapa informan, Bongas dihidupkan karena adanya uang masuk basil dari pelacuran. Uang ini berhasil menciptakan pekerjaan yang menambah pendapatan pada banyak orang, mulai dari keluarga si pelacur sampai dengan kuli yang menggarap sawah milik si pelacur. Namun data di kelurahan hanya mencatat sekitar 64 wanita yang bekerja sebagai pelacur. Padahal menurut seorang informan, satu RT saja bisa mempunyai 5 sampai 10 orang wanita yang bekerja sebagai pelacur di berbagai tempat dengan variasi usia antara 12-30 tahun. Seorang informan lain yang kebetulan adalah ketua RT mengatakan bahwa ia mencatat semua anak yang keluar desa dan bekerja sebagai pelacur di berbagai tempat, lengkap dengan ñama samarannya serta alamat tempat tinggalnya9. Informan tersebut juga memberikan keterangan mengenai mengapa hanya sedikit jumlah mereka yang tercatat bekerja sebagai pelacur. Menurut beliau ada kemungkinan jumlah yang tercatat di kelurahan adalah mereka yang sudah mendapatkan KTP karena banyak anak-anak yang belum mempunyai surat keterangan apapun sudah pergi ke kota untuk menjadi pelacur. Kemungkinan lain adalah adanya anak-anak yang bekerja sebagai pelacur namun hanya pulang-balik saja tidak menginap, seperti anak-anak yang bekerja di kompleks pelacuran di sekitar desa tersebut yaitu di Patrol, Haur Geulis dan sebagainya. Kemungkinan ketiga adalah anak-anak itu tercatat bukan sebagai pelacur tetapi mungkin sebagai pembantu RT ataupun pekerjaan lain walaupun ia bekerja sebagai pelacur. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk desa itu ada 2 toko dan 4 buah warung yang menyediakan kebutuhan seharihari warga. Harga yang ada relatif lebih tinggi dibanding dengan daerah Patrol atau Indramayu, terlebih untuk jenisjenis sembilan bahan pokok kecuali beras. Sayangnya informan tersebut tidak berani memberikan data itu pada karm karena la khawatir akan keselamatannya dan keselamatan kami maupun anak yang bekerja sebagai pelacur tersebut. 47
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Pendidikan Walaupun jarak Bongas dengan Jakarta hanya sekitar 5 (lima) jam saja tetapi akses dalam memperoleh pendidikan dapat dikatakan terbatas. Desa Bongas sampai dengan penelitian ini dilaksanakan hanya mempunyai 2 buah SD Negeri, sebuah SD Swasta, dan sebuah Madrasah. Data Monografi Desa tahun 1996 menyebutkan jumlah murid SD sekitar 613 dengan guru berjumlah 19 orang. Sedangkan Madrasah menampung sekitar 315 orang murid dengan 7 guru. Menurut salah seorang tetua desa, sebagian besar guru-guru tersebut berasal dari Kuningan, Sumedang dan Cirebon, tidak diketahui mengapa tidak ada putra desa tersebut yang berminat menjadi guru di desa itu. Ceritera seorang informan: Wah..kalau guru mah enggak ada mbak...guru di sini kebanyakan dari Kuningan, Cirebon...Indramayu..enggak ada yang orang sininya...pegawai kecamatan juga paling ada satu dua orang..yang lain dari daerah lain ...untungnya akuwu sini dipilih kalau ditaruh sama pemerintah...apa itu kata pak Rt ...eh...drop-dropan kan enggak mungkin orang sini. (T: Lob emangnya kenapa?) Enggak pada makan sekolahan (tertawa). (T:Yang benar aja pak). Iya...sekolahan mahal sekarang mbak..anaksaya aja mau ujian disuruh bayar 20 ribu katanya...saya dapet uang darimana ...sekarang lagi enggak ada kerjaan begini (PDR - cat 1). Hingga saat ini desa Bongas belum memiliki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLIP) ataupun yang setingkat. Jika ada lulusan SD yang berminat melanjutkan ke SLIP mereka harus ke desa lain yang memiliki SLTP baik negeri maupun swasta ataupun Tsanawiyah (sekolah agama setingkat SLTP). Bahkan menurut Statistik (Bongas Dalam Angka 1994) hanya ada 1 SLTP negeri di Kecamatan Bongas yang membawahi 8 desa. Walaupun demikian menurut beberapa anak remaja, hal itu tidak terlalu berpengaruh karena jarak sekolah dengan desa tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh dengan sepeda. Salah seorang siswa SLTP tersebut mengatakan jarak sekolah dengan 48
Mengenal Tempat Asal: "Bongos PentU, Saturan Buangan" desanya jika ditempuh sepeda hanya sekitar 30 menit. Jika tidak mempunyai sepeda maka harus berjalan memotong melewati areal persawahan jarak yang ditempuh juga sekitar 30 menit. Untuk mencapai tingkat pendidikan lebih tinggi dari SLIP, menurut beberapa orangtua merupakan hal yang tidak mungkin. SeLain biaya sekolah dianggap sangat mahal, juga jarak tempuh amat jauh karena Kecamatan Bongas tidak me mi Li ki SLTA baik negeri maupun swasta ataupun pendidikan yang setingkat dengan SLTA. Beberapa remaja yang sempat diwawancara membenarkan hal ini, salah seorang remaja bernama CH yang bersekolah disebuah SMEA swasta di Eretan memberikan perincian biaya sehari bersekolah sebagai berikut: Berangkat dan rumah ke Legok dengan ojek sekitar Rp 2000, lalu naik angkot dengan biaya Rp 400, untuk biaya transportas!' saja menghabiskan 4800 rupiah sehari. Jika sebulan maka biaya yang dibutuhkan untuk transportasi sebesar Rp 115.200, belum lagi untuk biaya makan, buku serta uang sekolah bulanan, pilihan lain adalah kost dekat sekolah, biasanya dilakukan jika sekolah di kota Indramayu, namun pilihan kedua inipun memakan biaya yang cukup besar pula. Tidak heran jika lulusan SLTA di desa Bongas hanya sekitar 2,5% dari seluruh jumlah penduduk. Menurut beberapa ibu hanya orang-orang kaya saja yang dapat melanjutkan sekolah hingga lulus SLTA. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Hingga saatini untuk pelayanan kesehatan desa Bongas disediakan satu Puskesmas pembantu dengan tenaga 2 orang perawat, 1 tenaga bidan, serta 4 orang dukun bayi untuk me laya ni 5061 penduduk dan 24% di antaranya adalah anakanak. Jika membutuhkan pelayanan dokter, mereka harus pergi ke desa Cipedang dan Kertamulya. Banyak penduduk yang
49
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih lebih percaya pada dukun atau orang pandai. Bahkan untuk berobat ke orang pintar biasanya mereka pergi ketempat yang jauh seperti ke Tasikmalaya, Cirebon atau kota-kota lain terutama jika penyakitnya berat dan tidak dapat diobati oleh "orang pintar" di desa tersebut. Walaupun demikian pergi ke dokter juga bukan sesuatu yang menakutkan bagi warga desa jika memang penyakit tersebut mengharuskan mereka ke dokter. Sebagai contoh Ranti yang pernah sakit GO cukup parah lebih memilih ke dokter dibanding ke dukun atau "orang pintar. Tetapi pada umumnya mereka memang lebih memilih dukun atau mantri karena biaya yang dianggap relatif lebih murah. Mantri desa tersebut mengatakan penyakit yang sering diderita anak-anak adalah diare dan ISPA sedangkan penyakit yang dikeluhkan oleh anakanak muda baik laki-laki ataupun perempuan adalah penyakit kelamin seperti GO dan Sipilis. la bahkan menginformasikan bahwa ada seorang warga desa tersebut yang sudah kena HIV walaupun belum menjadi AIDS, tetapi sampai sejauh mana kebenaran berita itu ia tidak tahu yang diketahuinya orang yang diisukan tertular itu dulu pernah bekerja di Kramat Tunggak, sekarang orang tersebut tidak bekerja lagi di KT10. Pelayanan KB bagi masyarakat menurut data dalam monografi desa telah mencakup sebagian besar PUS yaitu 91% dari 1094 pasangan usia subur. IUD cukup diminati penduduk (39%) dan pil (38%), 16% menggunakan suntik, 7% MOP dan kurang dari 1 % menggunakan MOW. Namun disamping PUS yang mengikuti program KB, beberapa informan mengatakan ada pelacur yang juga mempergunakan program KB itu untuk melindungi diri agar tidak hamil selama berpraktek. Kontrasepsi yang diminati adalah pil dan suntik terutama pada anak-anak usia belasan. Salah seorang orangtua informan mengatakan ia menyuruh anaknya untuk suntik KB agar terhindar dari kehamilan yang tak diinginkan, namun ia tidak mengatakan secara terus terang kepada anaknya tentang hal 10
Tidak ada sumber lain yang bisa dikonfirmasikan mengenai hal ini. 50
Mengenal Tempat Asal: "Bongos PentH, Saturan BuangarP itu. Informan yang lain secara terang-terangan menyuruh atau mengingatkan anaknya untuk membeli pil KB jika anaknya pulang kampung. Selama ini tidak ada efek samping yang dilaporkan dialami oleh anak-anak tersebut. Agama dan Kepercayaan Hampir seluruh penduduk Bongas adalah pemeluk agama Islam, namun menurut seorang tetua, agama yang dijalankan hanya sebatas yang diketahui warga saja. Tidak jarang agama tersebut dicampuradukkan dengan kepercayaan mistis yang juga mereka pegang teguh. Menurut informan ada beberapa aliran kebatinan yang diikuti oleh penduduk Bongas, antara lain: Ragabodo (berasal dari Cirebon), Tareh atau Kodriah, Kholifah, dan aliran yang dipimpin oleh Kyai Basir. Disamping itu agama Islam yang dianut oleh sebagian penduduk adalah aliran Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Untuk mengakomadasi kegiatan keagamaan, desa Bongas mempunyai 2 mesjid dan 10 musholla. Kepercayaan akan "orang pandai" atau pemujaan terhadap makam atau bangunan yang dikeramatkan masih dianut oleh sebagian besar penduduk Bongas. Seorang informan mengatakan ada beberapa tempat yang sering didatangi oleh penduduk Bongas terutama yang bekerja sebagai pelacur dan ingin meminta pengasihan agar laris sebagai pelacur. Sebagian besar para pelacur itu sendiri yang datang ke tempat tersebut, namun ada kalanya orangtuanya yang mewakili, terutama jika yang menjadi pelacur masih anakanak. Pengasihan itu seringkali berupa jimat, susuk, air minum ataupun kembang setaman, tergantung tempat mana yang didatangi. Benda-benda itu diberikan pada anak-anak mereka. Menurut kepercayaan mereka pula ada pengasihan yang harus diganti dalam jangka waktu tertentu. Selain pengasihan yang dibawa oleh anak, orangtua juga merasa perlu membantu anak dari jauh (rumah) demi keamanan anak dalam bekerja. Cara yang dilakukan adalah
51
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih dengan bantuan "orang pandai". Salah satu informan menceritakan tentang fungsi lampu sentir di rumahnya sebagai pembawa berita atan tanda jika anaknya daLam bahaya. Menurutnya, lampu tersebut akan bergoyang-goyang cukup kuat jika anaknya membutuhkan bantuannya. Ada juga orangtua yang melakukan puasa pada harihari tertentu untuk mengasah kepekaan perasaannya sehingga ia akan merasakan jika anaknya ada dalam bahaya. Cara lain yang diterapkan hampir semua orangtua untuk menjaga keamanan anak adalah dengan cara ngalap yaitu mengambil uang anak sekali seminggu atau dua minggu sehingga uang yang ada di tangan anak hanya sedikit. Atau dengan menyerahkan anak pada seorang germo yang sudah sangat dikenal penduduk. Germo itu menerapkan sistem pembayaran tidak langsung pada anak sehingga uang dikumpulkan di tangan si germo dengan begitu keselamatan anak terjamin karena ia tidak membawa banyak uang. Kesenian dan Budaya. Bahasa sehari-hari warga Bongas adalah bahasa Indramayu, bahasa ini mirip dengan bahasa Cirebon, tetapai beberapa warga Bongas menolak jika dikatakan bahasa mereka adalah bahasa Cirebon. Memang ada beberapa kesamaan seperti penyebutan kata "sira untuk kamu atau kata bagen untuk biarkan. Kata-kata tersebut juga muncul dalam bahasa Cirebon. Seorang tokoh masyarakat menyatakan bahasa Cirebon agak lebih halus dibandingkan dengan bahasa Indramayu. Selain digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indramayu juga muncul dalam bahasa kesenian masyarakat, sandiwara yang sangat disukai warga desa Bongas juga menggunakan bahasa Indramayu sebagai bahasa tuturnya. Walaupun ceritanya saat ini semakin berkembang dengan meniru cerita dari TV (mungkin telenovela) yaitu antara orang kaya dengan orang miskin, namun tokoh dan bahasa masih menggunakan bahasa Indramayu.
52
Mengenal Tempat Asal: "BongasPentU, Saluran Buangan" Masuknya TV ke desa-desa termasuk Bongas memberikan dampak positif sehingga warga desa menjadi lebih terbiasa dengan Bahasa Indonesia. Walaupun dalam monografi desa tidak tercantum jumlah warga yang bisa berbahasa Indonesia tetapi dari penuturan beberapa informan diketahui bahwa sebagian besar warga Bongas mengerti bahasa Indonesia. Hal lain yang berpengaruh kemungkinan adalah banyaknya anakanak muda yang telah bekerja di Jakarta dan membawa pulang bahasa atau idiom tertentu ke desanya. Selain itu banyaknya tamu (gendakan) yang rata-rata berasal dari luar daerah terutama mereka yang menginap lebih dari satu hari juga turut mempengaruhi kemampuan berbahasa Indonesia penduduk setempat. Kesenian selama masa panen atau saat ada keriaan yang diminati masyarakat antara lain adalah: Tarling, Sandiwara, Wayang, Dangdut dan akhir-akhir ini setelah listrik masuk desa adalah Laser Video. Biasanya tontonan itu dimulai pada jam 21.00 ma la m dan berakhir jam 4.00 pagi. Berikut ini ceritera informan kami: "[Jenis-jenis hiburan] Ya ada Tarling, Sandiwara, Wayang. Mereka [kaum muda] lebih suka Tarling soalnya adajogetjogetnya. Kalau Wayang biasanya untuk yang tua saja. Kalau yang muda biasanya tidak mau. " (PRT -) Empat orang gadis (usia 12, 14, 18 tahun) yang diwawancara sekaligus memberikan jawaban serupa: "[T: Kesenian apa yang paling kalian senangi?]. Tarling! [Serentak]. Soalnya senang lihat laki-lakijoget. [T: Kalau Sandiwara?]. Malas... bosen. Enakan video ya... Ceriteranya bogus. ..jagoannya macem-macem.xakep. Kalau Sandiwara itu-itu saja! Enakan pacaran di belakang dari pada nonton (Sandiwara). Sandiwara buat orangtua saja...jarang sekarang ada. " (TGR). Namun sudah sekitar 6 bulan ini Bupati Indramayu mengeluarkan edaran yang berisi pembatasan menye-
53
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih lenggarakan keramaian hingga pukul 24.00 WIB. Larangan itu sendiri dikeluarkan karena banyaknya korban akibat perkeLahian di tempat keramaian. Seorang warga Bongas mengatakan sejak minuman keras merambah desa memang kerap terjadi perkelahian. la mencontohkan perkeLahian yang terjadi pada perhelatan sunatan keponakannya, perkelahian itu disebabkan oleh terinjaknya kaki seorang pemuda RT-nya dengan pemuda RT Lain, karena sudah mabuk maka mereka tidak mampu mengontrol diri lagi, sehingga terjadi perkelahian massai. Minuman keras itu baru muncul sekitar tahun 90-an, mulanya dibawa oleh para pelacur yang pulang dari Jakarta, mereka merayakan lebaran dengan minum-minum dan mengajak para pemuda yang lain. Selain itu juga banyak cukong dari Jakarta yang mengikuti gendakannya ke kampung menjamu anak-anak muda kampung tersebut dengan rokok dan minuman keras seperti bir, anggur, whisky dan sebagainya. Tujuan para cukong itu adalah agar kegiatannya aman dan tidak diganggu. Desa Bongas sendiri tidak mempunyai kesenian yang khas desa itu (seperti Tarling atau Jaipong), bahkan grup tari tersebut mereka tidak punya. Mereka hanya punya satu grup sandiwara saja yang sering manggung jika ada acara keríaan di kampung itu. Bongas agaknya tidak memiliki budaya yang khas seperti beberapa desa yang masih dalam kabupaten Indramayu seperti adat jaringan11 yang dikenal beberapa desa pantai di kabupaten, misalnya seperti di desa Eretan atau Lelea. Adat dalam perjodohan ataupun perkawinan mengikuti budaya yang umum dalam masyarakat Jawa ataupun Sunda seperti ada lamaran, yaitu permintaan pihak laki-laki secara resmi pada orangtua pihak perempuan, mereka juga mengenal !1
Suatu kebiasaan muda-mudi untuk bertemu di malam hari dalam suasana keramaian - bahkan sekarang sudah seperti pasar malam dengan tujuan untuk mencari jodoh. Saat ini sudah banyak pria dan wanita yang sudah berumur pun menggunakan kesempatan ini (Mutiara,867. Tahun XXX ,3-9 Juni, 1997). 54
Mengenal Tempat Asal: "BongosPentU, Saturan Buangari' peningsetan, acara temon dan sebagainya. Perjodohan biasanya tidak diatur oleh orangtua tetapi diurus oleh anakanak sendiri, hanya orang kaya saja yang mengatur perjodohan anak-anaknya. Menurut beberapa orangtua, hal itu wajar karena jika orang kaya dapat orang miskin tidak seimbang dan lagi kekayaannya akan berkurang, haL itu tidak akan terjadi jika orang kaya menikah dengan orang kaya. Kecenderungan yang timbul dalam beberapa tahun ini adalah orangtua tidak suka jika anak gadisnya menikah dengan pemuda desa itu. Menurut mereka, pemuda Bongas suka berjudi, minum dan main perempuan sehingga bisa menyengsarakan istri selain itu pekerjaannya juga tidak tetap yang berarti tidak bisa menghidupi keluarganya dengan Layak. Yang agak khas dari penduduk Bongas adalah baik orangtua maupun anak-anak gadisnya tidak terlalu mementingkan usia pasangannya pada saat menikah. Hasil diskusi dengan beberapa remaja putri berusia 13-17 tahun menemukan bahwa mereka tidak keberatan jika pasangannya berusia tua dan berstatus duda asalkan bisa menghidupi keluarga. Mereka pun tidak keberatan jika harus menjadi istri kedua atau ketiga. Hal ini ditunjang juga oleh hasil diskusi dengan beberapa ibuibu. Secara umum masyarakat Bongas tidak terlalu memperhatikan ikatan pernikahan yang disyahkan oleh negara, kebanyakan bahkan tidak tahu perbedaan antara pernikahan secara agama dengan pernikahan secara negara. Kumpul kebo juga merupakan hal biasa di kalangan mereka. Seorang informan mengatakan banyak warga Bongas yang tidak menikah secara syah, terutama perempuan yang menjadi pelacur. Rada umumnya mereka (para pelacur tersebut) menjadi gendakan atau pacar saja yang kehidupannya dibiayai secara penuh oleh yang memacari, kadangkala hubungan itu sampai membuahkan anak. Walaupun belum terdata, seorang Rt mengatakan bahwa banyak anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mereka biasanya langsung dimasukkan dalam kartu kelahiran keluarga ibunya di kampung.
55
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih
56
Anakku Sayang, Anakku Malang
Untuk Apa Mempunyai Anak? Pada tahun 1970-an, beberapa antropolog dan psikolog perkembangan mempertanyakan: Untuk apa mempunyai anak? Dari pertanyaan seperti itu, mereka ingin mengetahui nilai yang diterapkan oleh orangtua dan masyarakat terhadap anak. Penelitian seperti ini dianggap penting karena daLam merancang suatu program kependudukan yang langsung berkaitan dengan reproduksi, maka program tersebut harus dikemas sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku, termasuk mengenai tujuan mempunyai anak. Kita sadari benar bahwa motivasi mempunyai anak bukan suatu keinginan yang bersifat tunggal, seperti: "Untuk melengkapi kebahagiaan perkawinan kami". Motivasi untuk memperoleh keturunan mencakup tujuan-tujuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat bahwa perkawinan harus membuahkan anak, mempunyai keturunan yang meneruskan usaha orangtua, mempunyai anak yang berbakti dan mampu menjamin masa depan orangtua mereka, menambah rezeki, terutama jika anaknya banyak, dan sebagainya. Dengan demikian, jelas bahwa nilai anak tidak hanya dilihat secara biologis ("punya keturunan"), psikologis ("melengkapi kebahagiaan"), maupun sosial ("agar tidak dicemooh"), teta pi juga ekonomis ("menjamin hari tua").
57
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Robert A. Levine (1974; 1988) dalam penelitiannya untuk menjawab pertanyaan tersebut yang melibatkan Indonesia (Singarimbun, 1979) sampai pada kesimpulan yang sama. Penelitian-penelitian nilai anak menunjukkan bahwa status sosiaL ekonomi masyarakat, termasuk jenis pekerjaan orangtua akan menentukan aspirasi mereka terhadap anak. Pada komunitas yang mempunyai prevalensi kematian bayi tinggi dan anggota masyarakatnya selalu dirundung kesulitan ekonomi, maka aspirasi mereka lebih bersifat kuantitatif. Dengan kata lain, rasa tidak aman dan kurangnya jaminan sosial di masyarakat telah membentuk aspirasi yang lebih mengutamakan jumlah anak dibanding kualitas mereka. Tujuan dan strategi reproduksi mereka adalah memperoleh anak sebanyak-banyaknya sehingga akan selalu tersedia tenaga kerja yang akan membantu orangtua mencari nafkah dan menjamin hari tua. Pada masyarakat seperti itu, insiden pekerja anak merupakan hal yang lumrah. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka pengasuhan anak ditekankan pada membentuk anak yang menurut dan berbakti pada orangtua. Sanksi sosial maupun fisik dan psikologis (emosional) untuk anak-anak yang tidak memenuhi harapan orangtua cukup berat, dari deraan fisik sampai dengan pengucilan. Aspirasi ini berlaku di masyarakat serupa di berbagai budaya yang berbeda12. Penelitian Singarimbun dkk. (1977) menunjukkan bahwa nilai instrumental anak memperoleh perhatian yang cukup kuat baik dalam masyarakat Jawa maupun Sunda, terutama dalam memberikan jaminan di han tua. Di antara kedua komunitas tersebut tidak terdapat perbedaan yang mencolok terhadap preferensi jenis kelamin anak. Anak laki-laki lebih dihargai dari anak perempuan karena masalah kepedulian orangtua mengenai hal-hal yang berhubungan dengan nama baik keluarga. Anak perempuan sangat dihargai karena kemampuann mereka membantu di rumah. 12
Penelitian tentang nilai anak dilakukan di Asia (Thailand, Taiwan, Singapura, dan Indonesia), Afrika (Kenya), AS, dan Amerika Latin (Mexico).
58
Anakku Sayang, Anakku Malang Penelitian Ananta & Hatamadji (1986) yang melibatkan lokasi di daerah Jakarta, Wonogiri, dan Indramayu13 menunjukkan hasilyang relatif sama. Alasan utama mempunyai anak adalah untuk membantu pekerjaan orangtua (alasan instrumental) dan menambah kebahagiaan orangtua (alasan psikologis). Meskipun demikian, responden dari Indramayu lebih menekankan pada nilai instrumental "dapat membantu pekerjaan orangtua dan dapat membantu urusan rumah tangga" di banding kedua lokasi penelitian yang lain (h. 46). Pengalaman di berbagai negara, termasuk di Indonesia (Bali), menunjukkan bahwa aspirasi yang bersifat kuantitatif dapat berubah menjadi kualitatif, artinya lebih mementingkan kualitas anak dari pada jumlahnya, jika kesejahteraan keluarga menjadi lebih baik. Streadfield (1986) mendokumentasikan menurunnya fertilitas di Bali dari Total Fertility Rate (TFR) sebesar 6.5 pada tahun 1970 menjadi 3.6 sepuluh tahun kemudian. Perubahan fertilitas ini khususnya terjadi pada wanita yang berumur lebih dari 30 tahun. Beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi penurunan fertilitas ini adalah berkurangnya tanah persawahan sehingga mengurangi permintaan tenaga kerja untuk sektorini, dan berubahnya nilai sosial dan ekonomi anak. Perubahan nilai tersebut disebabkan karena orangtua tidak mau lagi anak-anak mereka menjadi petani. Mempunyai anak banyak bukan menjadi simbol status lagi. Anak-anak mereka harus dapat pekerjaan yang mempunyai jabatan di masyarakat atau status ekonomi yang lebih baik. Ini hanya akan dapat dicapai jika anak-anak mereka sekolah cukup tinggi dan keluarga mempunyai sumber daya untuk menyekolahkan mereka setinggi mungkin.
Di Kecamatan Gabus Wetan, Desa Suka Slamet, Desa Raneaban, dan Desa Gabus Kulon.
59
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Kedudukan Anak Perempuan Dalam masyarakat yang mementingkan kontribusi ekonomi dari setiap anggota, maka anak perempuan mempunyai kedudukan -dan oleh karena itu juga resiko- yang khusus. Berbagai penetitian pekerja anak memberikan petunjuk bahwa anak perempuan mem-punyai nilai tambah karena sejak kecil sudah dapat diandalkan untuk menjadi pengganti orangtua di rumah, baik mengurus adik-adiknya maupun mengganti Ibu dalam membantu membereskan keperluan rumah tangga (White & Tjandraningsih, 1990; Irwanto dkk., 1995, Daliyo dkk., 1996). Selain itu, mereka dipandang lebih penurut dari anak laki-laki sehingga seorang Ibu yang bekerja dan membutuhkan bantuan, khususnya dalam pekerjaan manual borongan, maka anak perempuan memperoleh prioritas yang lebih tinggi. Keadaan ini diperburuk dengan adanya anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, suatu pandangan yang telah banyak berubah (Oey-Gardiner, 1997). Sebagai contoh adalah dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan dikalahkan lakilaki oleh hambatan sosial budaya, walaupun partisipasi perempuan di sekolah, khususnya SO, sama besarnya dengan laki-laki. Data yang diolah Oey-Gardiner (1997; lihat juga Irwanto dkk., 1998) menunjukkan bahwa rasio partisipasi itu mulai berbeda di SLTP dan SLTA. Oey-Gardiner (1997) menyatakan bahwa penyebabnya jelas bukan kebijakan pendidikan dari pemerintah tetapi adanya faktor sosial budaya yang menghambat partisipasi perempuan dalam pendidikan yang lebih tinggi walau masyarakat tahu bahwa prestasi sekolah perempuan sama baiknya kalau tidak lebih baik dari laki-laki. Studi yang dilakukan Daliyo dkk. (1997) di NTT dan NTB juga menunjukkan kecenderungan yang sama di mana anak perempuan lebih cenderung untuk diberhentikan sekolah jika keadaan ekonomi keluarga memaksa. Terbatasnya jenjang pendidikan yang diraih anak-anak perempuan inilah yang menyebabkan mereka tidak memiliki "pilihan" khususnya untuk
60
Anakku Sayang, Anakku Malang mendapatkan "pekerjaan yang prestisius". Mereka terLempar pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian, ketrampilan dan pendidikan formal seperti pelacuran. Jika keadaan ekonomi keluarga menjadi sangat memprihatinkan, maka orangtua akan memandang anak-anak mereka sebagai beban, khususnya untuk perawatan kesehatan dan sekolah (Singarimbun dkk., 1977). Dalam keadaan seperti itu, maka anak perempuan -apalagi dari kecil sudah kelihatan cantik- akan memberikan harapan besar bahwa kemiskinan keluarga akan segera berakhir jika mereka sudah besar. Kecantikan anak perempuan akan dijadikan modal untuk memperoleh rezeki. Berikut ini contoh dari seorang informan di Bongas Pentil: [Tanya: Kalau buat bapak enakan mana punya anak perempuan apa anak laki..]Yah...semua sama namanyajuga rejeki dari Tuhan...diterima aja...[T: ...kalau boleh milih gitu... enakan anak laki apa perempuan ?]Ya... ada enaknya ..ada enggakya mbak...peribasanya kalau anak laki..kan bisa disuruh macul..kalau anak perempuan masak... gitu.. tapi anak laki juga repot kalau udah gede punya urusan sendiri biasanya emak bapaknya keron (ditinggalkan-wt)... kalau anak perempuan kan enggak...sampe di mana aja pastiyang namanya orangtua diurusin... Kalau cakep bakal jadi modal...punya anak perempuan satu kalau pinter kayak ...siSNT..ya..enak.. tapi kalau kayak si DSP. ..kan repot juga.. .kalau pulang cuma narok anaknya saja...terus pergi lagi, orangtua malah bebannya gede kan..(PDR - catl). [Tanya: Kalau menurut Ibu, lebih enak punya anak lanang atau anak wadon?] Wadonl (T: Kenapa?] Laki-laki gituan..., beda sama akan perempuan. Kalau perempuan kan bisa cari duit... kalau laki-laki tidak bisa...bisanya cuma ngolah sawah saja. [T: Bukannya laki-laki juga bisa cari duit?] Ah...kalau ngolah sawah berapa? Paling buat makan saja engga cukup. Kalau perempuan...sekali goyang [sambil tersenyum dan mengunyah makanan]..ya gitu..sekali gitu bisa ratusan nbu...kalau di sini sudah kerja [anak
61
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih perempuan] ..badannya jadi kasar dan item..susah duitnya... (Ibu-ibu - parage.doc). Dalam hal anak disosialisasikan untuk mencari duit "gampang"14, maka orangtua mempunyai kekuasaan penuh. Dalam kedudukan sosialnya di desa penetitian kami, anak perempuan tidak mungkin akan menolak. Penelitian Hanum (1997) terhadap masyarakat Jawa di beberapa desa di Propinsi Bengkulu menujukkan betapa dominannya orangtua terhadap anak. Perkawinan anak di bawah usia 16 tahun kebanyakan merupakan upaya orangtua. Anak-anak biasanya sudah dijodohkan pada waktu mereka masih sangat muda (masih duduk di bangku SD) dan pengikatan perkawinan dapat dilakukan walau hubungan suami istri belum terjadi. Juga penelitian Narwoko tentang nilai anak yang menunjukkan dominasi penuh kekuasan orangtua terhadap masa depan anaknya pada Suku Jawa dan Madura (Hakiki:1999). Hal yang hampir sama terjadi di Bongas. Peranan orangtua besar sekali. Hal ini sudah sangat dikenal oleh kalangan pialang. Berikut ini ceritera informan kami: [Tanya: Kalauyangperawan itu nyarinya gimana?]...Yang penting ada uangnya, saya bisa hubungi orantuanya. [T: Bagamana kalau anaknya tidak mau?]. Yang penting sekarang orangtuanya dulu. Urusan anaknya gampang diatur! Di sini anak-anak itu kalau yang begituan biasanya sudah tabu. (TKO - brokerl.doc) Dalam perdebatan antara Voluntary dan Involuntary prostitution, maka posisi anak yang dilacurkan jelas. Dalam kebanyakan kasus keterlibatan mereka dalam industri seks awalnya bersifat involuntary. Mereka terpaksa mengikuti kehendak orangtua walau mungkin tidak setuju. Ilustrasi berikut ini mampu memberikan nuansa betapa nasib anak 14
Mencari duit "gampang" adalah persepsi para orangtua dan masyarakat. Tentu bagi yang mengalaminya akan melampaui proses sosial-emosional yang sangat sulit.
62
Anakku Sayang, Anakku Malang sudah ditentukan sejak kecil. Berikut ini ceritera seorang ibu tentang anaknya yang masih kecil. Wawancara dilakukan dengan beberapa ibu sekaligus. [Tanya: Wah ini anaknya Bu15? Kok korengan. Sakit engga?] Tau itu mas, sudah lama kok engga sembuhsembuh. [T: Sudah diobati belum?] Sudah...tapi anaknya suka main...nakal gitu...Tapi gini-gini modal Iho (sambil mengelus kepala anaknya. [Ibu lain menyahut: Tapi anaknya jelek..paling buat bantu di sawah.] Kan bisa didandanin. Kalau hidungnya pesek sekarang, kan bisa dibuat mancung. [Ibu lain lagi: Jelek sekarang...tapi nanti kalau sudah besar...kalau dipelihara baik-baik nanti juga bisa bersih]....(Ibu-ibu - parage.doc) Untuk menambah rujukan berikut ini ceritera seorang pialan g yang berasal dari daerah itu. Pendapat ini ia kemukakan sebagai sesuatu yang biasa ia lakukan sebagai pialang yang selalu harus mencermati kesempatan-kesempatan yang ada: [Tanya:...jadi perawan sudah jauh-jauh hari dipirit-pirit dong?] Justru itu penting! Soalnya sekarang sudah susah cari perawan yang nganggur. Kalau sudah besar sedikit, kita harusjaga-jaga. [T: Maksudnya dijaga?] Ya..kitapesan pada orangtuanya supaya jaga anaknya. Kan sekarang banyak orang cari perawan. Biasanya sesudah tamat SO, sudah tahu laki-laki.. biasanya orangtua menjaga anaknya supaya tidak bergaul sembarangan dengan laki-laki. Anak laki di simkan banyak pengangguran, apa-apa mengharap dan orangtua, kawin..orangtua, makan orangtua, mau dikasih apa nanti istrinya..? (BRK - broker.doc) Tentu saja ada yang berceritera bahwa sejak kecil anakanak Bongas sudah tahu mengenai hubungan seks. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sejak lulus SD mereka sudah mengenai laki-laki. Tetapi perlu kita ingat bahwa jika hal-hal tersebut benar, maka ini hasil sosialisasi menyeluruh, dari
Anak perempuan kecil (kurang lebi'h 5 tahun) dan kurus.
63
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih kakak-kakak yang pernah melacur atau diLacurkan sampai ke orangtua yang memang menginginkan anaknya mengikuti jejak teman-teman anaknya yang sudah maju di kota besar. Kedudukan perempuan Bongas yang sangat subservient terhadap orangtuanya berlangsung sampai dengan anak tersebut menginjak dewasa. Saiah satu bentuk kekuasaan orangtua terhadap anak dapat digambarkan dengan konsep ngalap. Ngalap adalah tindakan orangtua yang mengambil gaji atau pendapatan anaknya yang dilacurkan. Tindakan ini dapat dilakukan mingguan atau bulanan. Ilustrasi seorang mucikari berikut memberikan gambaran betapa beratnya nasib anakanak tersebut: Pokoknya anak-anak Indramayu itu biasanya duitnya engga ngumpul. Soalnya hampirsetiap minggu didatangi orangtua atau saudaranya minta duit. Kalau anak-anak Jawa itu duitnya ngumpul, jadi kalau ngirim agakgedean. Tapi kalau anak Indramayu pulang paling bawa duit sedikit, pas buat ongkos saja. Makanya orang-orang Indramayu itu orangnya banyakyang stress, mabok. Habis duitnya engga ngumpui Kalau duitnya dapat sedikit, orangtuanya ngedumel. Apalagi denger anaknya mabok-mabokan. Sebenarnya kita kasihan, tapi yah itu hak orangtuanya (GTEM - mamis) Melihat nasib anak-anak Bongas Pentil ini, orang akan bertanya: Apakah tidak ada alternatif lain? Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka pendapatan halal dan cukup terhormat? Mengapa Anak Tidak Menean Pekerjaan lain? Karir dalam pekerjaan untuk perempuan Bongas memang amat terbatas, seperti telah dijelaskan di depan. Selain pendidikan yang pada umumnya rendah, pendapatan dari bekerja di sawah sudah dianggap tidak memadai untuk memenuhi tuntutan orangtua yang telah berubah. Pada saat ini, mempunyai rumah tembok yang bagus dengan segala perabotannya, parabola, dan sawah yang besar sudah menjadi
64
Anakku Sayang, Anakku Malang tuntutan umum. Padahal tuntutan seperti itu tidak dapat dipenuhi oleh kaum laki-laki desa yang melihat pekerjaan di sawah kurang bergengsi. Salah seorang anak yang dilacurkan menjawab dengan nada rendah sebagai berikut: (R menjawab pertanyaan dengan menunduk) saya mau kerja apalagi...kan kalau di kampung enggak ada kerjaan...kalau mau kerja pabrikjuga upahnya berapa ... sayakan cuma lulus SD aja...kalau kerja gini kan cepet dapet uangnya..banyak juga uangnya (Ranti) Salah satu pertanyaan yang kami ajukan adalah alasan untuk tidak mengambil kesempatan untuk bekerja sebagai TKI di Arab Saudi. Berikut jawaban yang umumnya kami terima: "Engga mau... katanya di sana banyakyang dipukulin sama majikannya,.. disiksa,.. diperkosa,.. engga dikasih gajinya. Banyak tetangga saya di kampung dipulangin engga dikasih duit...Saya engga mau disuruh kerjajadi TKW. Mendingan jadi beginian aja. " (Ranti). Penjelasan dari seorang informan yang sudah berumur juga tidak jauh berbeda: Wah kalau TKI dulu ada, katanya di Arab banyak gajinya. Tapi kenyataannya cuman dapat setengah juta. Kadang itu tiga bulan sekali. Terus kerjanya itu katanya cukup berat. Jadi sekarang sudah tidak ada lagi yang ke sana7 (PTUA)
65
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
66
Jejaring.....jejaring Awas Kalau Teijaring
Jejaring Gajah Tidak mudah menemukan jatur atau jaringan anak yang dilacurkan, ada jalur melalui mata rantai panjang, cukup rumit yang sifatnya sangat tertutup, antar mata rantai tidak saling mengenal namun ada juga jalur pendek dimana satu-sama lain saling mengetahui bahkan masih berhubungan kerabat atau pertemanan. Beberapa contoh kasus di Medan sebagian besar anak yang dilacurkan diperoleh melalui jalur tertutup dengan cara bujuk rayu, penipuan dan pemaksaan oleh "kolektor" (Sofian, A. 1999). Kasus di Jawa Timur hampir serupa sehingga profesi sebagai pelacur selalu "ditutupi " agar tidak diketahui keluarga maupun kampung asalnya (Suyanto,B, 1999). Berbeda dengan di Indramayu, yang sebagian besar melalui jalur yang dikenal walaupun mata rantainya ada yang rumit namun ada yang sangat simpel. Berikut ini beberapa jawaban yang diperoleh dari pertanyaan yang ingin mengungkap bagaimana mendapatkan seorang anak sebagai pelacur. "Ada orang sini namanya"Warto sama Singan en , mereka itu kenal dekat sama germa. Nanti dia punya banyak orang suruhan buat nyari.... Kalau ada yang bisa saya ajak..saya juga nanti hubungin dia. Orang sini sudah percaya sama saya, nanti saya kasih tau sama orang suruhan pak Wid atau Sinag kalau ada anak yang bisa ikut, "(Pak T Inf.)
67
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih "....menurut pengaiaman saya, sudah melalui beberapa tangan. Jadi modelnya dari kita ke pemesan...nanti pemesan kadang iangsung ke germa... kadang tangan lain dulu baru germa. Dari germa nanti ke pemesan baru nanti ke Bosnya" (Ojek- 1) "...Enggak itu ama calonya, kan calonya tetangga saya, yang deket sama maminya di sana ... gitu saya diajakin ...saya mau" (Cahya - informs) Jika direkonstruksi dari hasil wawancara, maka kita memperoleh informasi bahwa keterlibatan perempuan Bongas da la m industri seks komersial memang melalui rute yang cukup rumit. Jejaring: Sifat dan Tipenya Sebagaimana dengan industri apapun di dunia bisnis, pemenuhan permintaan dan penawaran dilayani dalam sebuah sistem, baik yang terorganisasi rapi, maupun sebagai suatu bentuk organisasi quasi di mana para pelakunya mempunyai interdependensi yang tinggi, peranan yang cukup jelas, tetapi tidak mempunyai struktur yang pasti. Industri seks komersial tidak berbeda dengan industri yang lain (Hull dkk., 1997). Khususnya pada industri jasa yang dianggap bertentangan dengan hukum, jejaring bisnisnya harus dapat dibuat sedemikian rupa sehingga bersifat loosely organized/connected sehingga pada saat-saat darurat (operasi polisi), tidak seluruh jejaring hancur. Bahkan pada saat permintaan pasar berubah, dengan sangat luwes jejaring dapat segera disesuaikan. Jelas bahwa jejaring tidak dapat hidup dengan sendirinya jika tidak ada permintaan dan penawaran. Walau pada saat bisnis sepi, jejaring akan tetap diupayakan untuk dipertahankan, karena tanpa mekanisme ini pemenuhan terhadap permintaan dan penawaran akan sangat sulit. Oleh karena itu, dengan sifat yang loosely connected, masing-masing elemen dari jejaring dapat menjadi sangat fleksibel dalam strategi bertahan hidupnya. Di banyak negara, misalnya. 68
Jejaring
jejaring A was Kalau Terjaring
industri seks erat sekali hubungannya dengan ranah-ranah (domain) lain seperti penjualan obat (drug trafficking) dan politik. Sebagaimana akan kita simak dalam laporan ini, kedua ranah itu bukan asing di Indonesia, juga dalam dunia pelacuran anak. Jejaring dalam industri seks komersial di Indonesia sangat kompleks dan besar sekali. Hull dkk. (1997), misalnya, menghitung bahwa industri ini mempunyai kurang lebih 140 ribu pelacur16 di semua kelas dengan uang yang berputar sekitar US$ 3,3 milyar, jauh lebih besar dari dana pembangunan sektor pendidikan. Selain pelacur itu sendiri, industri ini melibatkan pemilik rumah bordil, bar, salon, hotel, tempattempat hiburan, pejabat, departemen pemerintah daerah dan pusat, perantara, preman, dan tentunya pelanggan. Masingmasing dengan peranan atau aturan main yang cukup jelas, walau sering tumpang tindih (misalnya keamanan merangkap menjadi calo). Ironisnya, besarnya biaya untuk mempertahankan industri ini sebagian besar justru diambil dari keringat pelacur atau tubuh-tubuh mungil anak gadis yang dijual keperawanannya. Pada tingkat lokal, jejaring ini mungkin hanya terdiri dan pemilik warung, pelacur yang bersangkutan, preman setempat, dan pemimpin lokal (yang "mengijinkan" operasi warung) terutama di daerah-daerah yang dengan sengaja akan diubah menjadi daerah turisme lokal maupun internasional dan pelacuran dilihat sebagai komponen yang dibutuhkan sekaligus kesempatan untuk menambah penghasilan keluarga bagi sang pelacur (lihat Saraswati Sunindyo, 1993). Pada tingkatan yang lebih kompleks bisa melibatkan perantara lokal Jumtah pelacur di Indonesia memang sulit ditentukan. Murray (1993) misalnya memberikan jumlah yang sangat besar, yaitu 500.000 ribu —suatu jumlah yang fantastis karena berarti 1 di antara 400 orang yang kita kenal adalah pelacur (jika penduduk kita 200 juta). Berdasarkan laporan daerah dan observasi, Hull dkk. (1997) memberikan angka yang lebih realistis. Oleh karena itu, anqka ini yang kami kutip.
69
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih maupun internasional dengan koneksi-koneksi yang luar biasa. Kompleksitas Jejaring industri seks komersial tentunya tidak dikenal oleh pelacur itu sendiri. Sunindyo (1993) menyebutkan bahwa perempuan desa banyak yang beranggapan bahwa dengan menjadi pelacur mereka terbebas dari hubungan majikan-buruh seperti pada jem's pekerjaan lainnya. Mereka berfikir bahwa dengan keluwesan profesinya dapur tetap mengepul dan ia bebas untuk menentukan kapanpun akan berhenti. Dalam kenyataannya, memang tidak semudah itu. Sebagaimana diuraikan oleh Hull dkk. (1997), dalam industri inipun pekerja tidak otonom. Nasibnya bahkan dapat lebih buruk karena potensi eksploitasinya tinggi sekali. Apalagi jika yang dilacurkan adalah anak-anak belasan tahun. Mereka bercita-cita dapat membantu orangtua dan ingin mempunyai sedikit tabungan untuk dirinya sendiri. Jarang mereka perkirakan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak akan lepas dari dunia pelacuran karena adanya sistem bondage17 melalui hutang-hutang baik pada dirinya sendiri maupun pada orangtuanya. Jejaring : Dari Mata-mata sampai taoke18 Dari penelitian di Bongas Indramayu diketahui rumitnya jaringan dan masing-masing memiliki peran yang saling mendukung. Sejak kapan Bongas pentil -desa di ujung selokanmenjadi salah satu pemasok, Bongas memang salah satu desa di Kabupaten Indramayu yang konon kabarnya memiliki banyak wanita cantik. Walau desa ini tidak sangat miskin, seperti digambarkan di depan, masuknya perempuan ke dalam
Bondage adalah istilah dalam bahasa Inggris yang berarti perbudakan dan perhambaan. Taoke adalah istilah yang diambil dari bahasa Cina (Fukien) yang berarti orang besar —mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Istilah ini tidak digunakan untuk merujuk pada etnik tertentu.
70
Jejaring
jejaring Awas Kalau Terjaring
industri seks komersial sudah dianggap biasa. Sejarah yang tercatat memang tidak jelas. Seorang informan yang sudah uzur, menyebutkan: "Awalnya mah jaman petjuangan. Waktu sesudah jaman kemerdekaan kan banyak tentara yang masih bertempur dengan Behnda, sekitartahun 1947-48. Nab mungkin dan jaman itu daerah inijadi kesohor karena jaman itu banyak perempuan disiniyang dipakai sama tentara Belanda. Ada yang dibawa keiuar daerah" (montan AKW). Jelas dari penjelasan informan di atas bahwa pelacuran yang melibatkan perempuan Bongas sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda. Jika kita melihat perkembangan pelacuran di Jawa, maka Indramayu memang terletak tidak jauh dari daerah-daerah perkebunan seperti Bandung Selatan, Subang, Garut, Sukabumi, dan Cianjur Selatan (Kunto, 1993; Hull dkk., 1997). Dalam tulisan Kunto disebutkan bahwa pelacuran berkembang pada waktu pekerja perkebunan (Mandor dan Manajer Belanda) mencari pelayanan seksual dari perempuanperempuan lokal. Jarak Indramayu dengan perkebunanperkebunan tersebut tidak jauh sehingga memungkinkan terlibatnya perempuan Indramayu dalam memenuhi kebutuhan mandor dan manager perkebunan. Memang tidak jelas bagaimana perempuan Bongas terlibat. Nampaknya melalui hubungan pertemanan dan kabar dari mulut ke mulut. Peranan Orangtua Masuknya gadis-gadis Bongas ke dalam industri seks memang ada yang melalui proses "sederhana" di mana seorang kakak atau tetangga dekat merekrut dan mengajak seorang gadis untuk pergi ke kota (biasanya Jakarta). Dalam hal ini sang kakak atau tetangga tadi memang telah dipesan dan sudah mengetahui bahwa ada anak gadis manis yang mereka kenal dan mereka yakin dapat membawa anak itu menjadi pelacur di Jakarta (atau kota lain). Tetapi kalau kita perhatikan
71
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih secara seksama, maka kebanyakan perempuan Bongas sudah dipersiapkan cukup lama untuk memasuki dunia pelacuran. Persiapan untuk memasuki industri seks komersial biasanya dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Meskipun demikian, orangtua ini tidak berdiri sendiri. Dalam berbagai kasus yang kami dengar dari informan, seorang "mata-mata" sudah lama mengidentifikasi anak yang manis. Tugas matamata adalah mengingatkan kedua orangtua gadis cilik tersebut akan besarnya kemungkinan bahwa anak mereka akan tumbuh menjadi gadis cantik dan dengan demikian akan menghasilkan uang untuk keluarga. Mereka kemudian membujuk orangtua tersebut, dengan berbagai iming-iming, agar setelah lulus SD anak gadis tersebut diperkenankan untuk diajak pergi ke kota. Peranan orangtua untuk mempersiapkan anak-anak mereka menjadi pelacur sangat besar. Persiapan yang dilakukan orangtua, baikyang bersifat sosial-psikologis maupun spiritual cukup banyak. Prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut: (1)
Orangtua sangat menekankan prinsip filial piety atau kepatuhan pada orangtua. Karena anak dibesarkan oleh orangtua, maka anak harus dapat membalas budi orangtua, terutama jika ia mampu menghasilkan uang yang cukup banyak. Memang ini praktek umum di Indonesia. Dalam konteks anak yang dilacurkan, himbauan ini merupakan tekanan yang sangat besar.
(2)
Anak-anak dijaga, baik secara fisik maupun sosial, sehingga ia benar-benar tumbuh besar sesuai dengan yang diinginkan. Pergaulan anak dimonitor ketat sekali oleh orangtua sehingga ia siap untuk dilacurkan dengan posisi tawar-menawar tertinggi. Seorang anak perawan mempunyai harga "jual" yang cukup tinggi. Untuk memperoleh perawan seorang perantara (broker/calo) menceriterakan sebagai berikut: "Biasanya (orangtua)dipanjar Rp 500,000, nanti kalau misinya selesai ada yang dikasih Rp 1.000.000,- tapi itu jugajarang sampai soalnya nanti germoyang bayar melalui
72
Jejaring
jejaring Awas Kalau Terjaring
makelardi kampung baru nanti ke orangtua anak. Pokoknya gitulah namanya juga bisnis"(Hengky - Broker). Jika anak dipandang telah siap -biasanya setelah luLus SD dan telah mengalami menstruasi -maka ada dua cara yang ditempuh oleh orangtua, yaitu: a). Anak dikawinkan lalu sebentar kemudian cerai. Ini dilakukan karena banyak germo yang merasa kerepotan kalau mempunyai anak buah yang belum berpengalaman. b). Menghubungi mata-mata atau calo setempat untuk memulai transaksi. Tetapi jika daya tariknya begitu besar, pertimbangan opportunity costs rupanya akan mendorong orangtua melepaskan anaknya walau masih kecil Berikutini contoh dari seorang ayah: "Ya..namanya juga kepengen mbak...liat temennya rumahnya bogus, pakaiannya bogus... kalau ada rejekinya bisa kawin sama orang Jakarta...malah masih ponakan saya .. itu anaknya mang Ence kawin sama orang Singapur apa... diajak tinggal di Bekasi disekolahin bahasa Inggris sega la... kan pada kepengen... makanya biar anaknya masih kecil juga dibawa aja ke Jakarta "(Inf./B) Sebelum anak "berangkat", berbagai persiapan spiritual dilakukan. Biasanya orangtua menghubungi orang pintar dan meminta petunjuk agar anaknya kelihatan menarik (walau tidak cantik) dan laris. Kotak: 7 menggambarkan keadan yang diamati oleh peneliti ketika menginap/ tinggal di desa yang diteliti. Selama anak mendatangi dan sebagai balas dilacurkan akan sawah.
menjadi pelacur, orangtua selalu mengambil "bagian" mereka. Selain itu, budi kepada orangtua, anak yang memperbaiki rumah atau membelikan
73
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih (6)
Jika orangtua mengalami kesulitan, khususnya jika mempunyai hutang pada pihak-pihak tertentu, maka orangtua akan mengalami jepitan ganda. Di satu pihak, akan ada orang atau pihak-pihak yang akan meminta mereka "menjual" anak gadisnya. Di pihak lain, mereka memang mengalami kesulitan rumah tangga dan -ini tidak jarang terjadi -mereka sendiri sudah mempunyai sejarah pelacuran, baik dalam keluarga luas atau salah satu di antara mereka sendiri. Dalam situasi terjepititulah orangtua akan memperkenalkan anak mereka pada pihak yang akan menyelesaikan masalah hutang dengan menerima anak gadis mereka menjadi pelacur asuhan dari pihak tersebut. Masalah ini akan lebih jelas dalam bab berikutnya, khususnya perjalanan hidup Ati.
Peranan orangtua dalam memperkenalkan dan mempertahankan keterlibatan anak dalam industri seks komersial memang bukan peristiwa yang luar biasa. Berbagai penelitian di Thailand, Srilanka, dan Filipina juga menemukan hal yang sama (Ireland, 1993). Dibandingkan dengan daerah lain, maka hubungan anak dan orangtua mereka tidak mengalami perubahan, walau seperti telah diuraikan di depan, anak mengalami tekanan batin yang cukup besar. Pada saat tim peneliti, termasuk peneliti utama berkunjung ke rumah mereka, kami diterima sebagai "saudara jauh". Orang tua dan anak tidak malu-malu untuk menceriterakan pengalaman mereka. Setelah kami validasi silang dengan informaninforman lain di sekitar rumah keluarga anak yang dilacurkan, kami memperoleh kesan bahwa mereka cukup jujur dalam menceriterakan pengalaman-pengalaman mereka.
Kotak 7 : Biar Laris... Beberapa tempat favorit untuk meminta "berkah" penglaris atau pengasihan adalah: Tasikmalaya, Serang dan sebuah tempat yang disebut dengan "Bantar Bolang". Dimanakah Bantar Bolang
74
Jejaring
¡ejaring Awas Kalau Terjarmg
itu? -informan kami tidak memberikan petunjuk secara rinci -hanya dikatakannya "Adoh...mbak...menyang bengi..tekane neng kana surup.Aakone bae engko karo Sumaryati.. neng endh.mamak mah..belih ngerti" (Jauh mbak berangkatpagi buta sampai disana sudah malam, tanya saja nanti sama Sumaryati di mana tempatnya.. mamak mah tidak mengerti). Biasanya orangtua sudah mencoba beberapa tempat dan menemukan yang cocok. Jika anak yang akan berangkat menjadi pelacur masih terlalu kecil, orangtuanyalah yang akan pergi mencari pengasihan atau penglaris itu. Tetapi jika anak sudah merasa berani ia akan diajak juga ketempat itu dan diminta untuk melakukan ritual yang sudah ditentukan. Ritual umum yang dilakukan anak adalah berpuasa pada harihari kelahiran si anak, berpantang makanan tertentu (misalnya: tidak makan ikan basah), ataupun hanya makan-makanan tertentu saja antara lain ngrowot atau makan buah saja, mandi air kembang setelah melakukan puasa, minum air yang diberikan oleh "orang pintar" dan sebagainya. Ada juga yang melakukan meditasi dan puasa selama beberapa hari di sebuah makam keramatyang diyakini akan membantu memberikan sinar tertentu pada mereka. Orangtua akan meminta penglaris yang baru jika anaknya tidak sempat pulang ke kampung lebih dari 40 hari -pada saat itu jimat diyakini sudah tidak bertuah lagi. Untuk menjaga keselamatan anak, orangtua melakukan puasa pada hari-hari kelahiran anak misalnya Rabu Paing atau Kamis Kliwon. Puasa ini untuk mengasah batin orangtua sehingga cepat tanggap jika anaknya dalam bahaya. Cara lain yang digunakan salah seorang informan memantau keamanan anaknya adalah dengan menggunakan lampu sentir. Katanya Mbah Tanjung (orang pintar) jika lampu itu bergoyang dengan kuat berarti anaknya dalam bahaya. Sebisabisanya orangtua harus datang ke Jakarta. Dalam rumah informan tersebut memang kami lihat ada dua lampu sentir, selain itu ada dua pula tempayan tanah liât berukuran cukup kecil yang selalu ditutupi. Selama kami berada di rumah tersebut lampu sentir itu tetap menyala baik siang maupun malam, padahal rumah informan ini sudah di lengkapi dengan listrik sehingga lampu tersebut tidaklah perlu.
75
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
Suniten ( informan ) menceritakan caranya memperoleh berkah "pengalaris". Desa yang didatangi adalah Bantar Bolang, karena ia merasa cocok dengan "orang pintar" di sana. Sebenarnya di Bantar Bolang yang ada hanyalah sebuah makam tua yang ditunggui oleh seorang juru kunci yang sudah turun temurun berjaga di sana. Suniten mengenal makam itu dari ayah tirinya. Bagaimana sejarah makam itu? Kebanyakan informan mengaku tidak tahu. Mereka mengenalnya hanya dari mulut ke mulut saja. Di makam tersebut Suniten disuruh bersemedi dan puasa sekuatnya (namun ia hanya kuat hingga 3 hari). Untuk sahur dan buka puasa hanya boleh makan ketan saja, itupun hanya sekepalan tangan besarnya. Tidurnya harus di samping makam tersebut. Suniten tidak sendirian, banyak orang lain yang juga datang dengan maksud tertentu. Mereka tidak diperbolehkan mengobrol. Mereka hanya duduk di tempat masing-masing dan menghafal ajian yang diberikan oleh juru kunci. Setelah tiga hari Suniten pulang dan dibekali nasi ketan kering yang harus dimakan selama tujuh hari berturut-turut. Tidurnya harus di depan pintu rumahnya dan harus setelah jam 12 malam. Pada hari ke 7 saat tidur ia bermimpi didatangi oleh sesosok mayat (pocongan) yang terus mengejarnya hingga ia sangat ketakutan dan terbangun. Keesokan harinya Suniten mendatangi makam tersebut dan diberitahu bahwa ia sudah boleh berangkat ke Jakarta. Rupanya tamu Suniten memang menjadi sangat banyak. Bahkan penghasilannya sebulan bisa mencapai 4 sampai 5 juta. Di saat sepi seperti sekarang ia masih bisa membawa pulang uang sekitar 3 juta rupiah per bulan.
Mata-mata: Peranan Saudara dan Tetangga Saudara dan tetangga adalah pihak-pihak yang terlibat dalam rekrutmen anak. Tidak jarang bahwa orangtua menitipkan anaknya pada tetangga atau saudara yang mereka anggap telah berhasil. Di desa Bongas, seorang pelacur yang berhasil, -artinya dapat memperlihatkan kekayaan berupa rumah yang besar dan modern, sawah yang lúas, atau harta benda lain seperti motor dan mobil- dianggap sebagai
76
Jejaring
¡ejaring Awas KalauTerjaring
"model"19 di desa. Dia menjadi ukuran yang harus dapat dicapai oleh generasi berikutnya. Di kampung yang kami kunjungi, ada beberapa rumah "mewah", mungkin terlalu mewah jika dilihat konteksnya di desa yang tidak terlalu mudah dicapai dengan mobil. Dari ceritera orang-orang desa, rumah-rumah tersebut milik keluarga yang anak-anak perempuannya bekerja di Jakarta menjadi pelacur. Rumah keluarga yang ditumpangi peneliti dibuat dengan beton dan dilapis keramik mahal. Ketika ditanya berapa uang yang dihabiskan pada saat membangun, ternyata lebih dari Rp. 50 juta hanya untuk bangunan saja. Kurang lebih 75 meter sebelah kanan rumah tersebut ada sebuah rumah tingkat bercat putih yang nampak aneh karena besar sekali dan -(penulis) sebagai orang Jakarta -hanya cocok didirikan di perumahan kelas menengah atas seperti di Bintaro Jaya, Pondok Indah, atau Kelapa Gading. Konon kabarnya, pada waktu dibangun (tahun 1996) telah dihabiskan biaya tidak kurang dari Rp. 150 juta! Rumah ini memang sepi, karena jumlah penghuninya sedikit. Kotak 8 : Mata-mata Mata-mata atau spion merupakan sebutan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan mengamati pertumbuhan seorang anak perempuan dan merayu orangtua agar melepaskan anaknya untuk bekerja menjadi pelacur di Jakarta. "...Maksudnya kita harus usaha nyah, kasih tau sama anaknya....anaknya yang kita deketin...umpamanya kalau kita perlu sama anak demplon itu...kalau dia belum dicarter...belum disenggolsenggol, nab...anaknya kita deketin...kalau anaknya mau, baru orangtuanya" (Pak T, infor-l) Namun sulit untuk membedakan peran mata-mata dengan calo kecil, karena tidak setiap kasus melibatkan baik mata-mata maupun Istilah "model" diartikan sebagai orang yang dapat dibanggakan atau dapat memberikan modal pda keluaga sehingga keluarga terlepas dari kesulitan ekonomi.
77
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
calo kecil. Ada kalanya dalam satu kasus tidak ada mata-mata tetapi langsung calo kecil. Perlu tidaknya peranan mata-mata sangat tergantung pada kemampuan germo dalam menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Semakin dekat hubungan mereka semakin kecil peranan mata-mata, calo kecil ataupun calo besar dalam bisnis pelacuran ini. Kekayaan seperti itu memang membangun citra bahwa hidup itu tidak susah. Inilah ceritera seorang tetangga yang mengenal pemilik rumah putih tersebut: Ya... enggak kerja...mau kemana ..emang enak yang anaknya kerja di Jakarta...ada paceklik..dapurnya ngebul terns...say a aja makan kan ikut mak Suti...sekolah kalau ada kurangnya dibantuin juga sama mak Suti. Mak Suti dapet dari Runi" (PDR-catl) Keluarga dan tetangga yang merasakan nikmatnya mempunyai anak yang laris di Jakarta akan berfungsi ganda, sebagai orang yang menyiapkan generasi mendatang -terutama jika mempunyai anak banyak -dan sebagai "mata-mata" bagi calo untuk melihat anak-anak gadis di desa yang manis dan dapat didekati untuk direkrut. Peranan Calo20 Mata rantai yang sangat penting dalam bisnis pelacuran anak mungkin saja tidak terletak dipihak keluarga atau anak yang dilacurkan tetapi justru di tangan para calo, demikian mereka dikenal di desa Bongas, germo dan sebagainya. Pada awalnya ada orang yang mencari anak-anak untuk menjadi pelacur, yang kemudian diusahakan oleh orang-orang tertentu. Hull dkk. (1997) merujuk pada Soesilo (1972) mendefinisikan calo sebagai mediator yang menghubungkan calon pelanggan dengan pekerja seks. Perlu dipahami bahwa yang kami maksud dengan calo di sini berbeda dengan para 20
Calo yang kami maksud sama pengertiannya dengan perantara atau broker yang dijelaskan oleh Hull dkk. (1996).
78
Jejaring
jejaring Awas Kalau Terjaring
calo yang bekerja di berbagai fasilitas hiburan di kota besar seperti di Jakarta. Pertama, ada yang disebut calo lokal yang berhubungan dengan calo-calo dari kota atau langsung dengan pengguna jasa (pelanggan), walau jarang terjadi. Sebagian besar dari calo yang kami temui lebih banyak berhubungan dengan germo atau pemilik diskotik. Pada penelitian ini kami mendapat lima orang informan yang sudah cukup lama menggeluti profesi ini. Empat orang berasal dari desa Bongas, satu orang berasal dari Jakarta. Pekerjaan utama mereka bermacam-macam, dua orang sebagai tukang ojek, satu orang pengelola tempat hiburan (diskotik), seorang penganggur (tidak mempunyai pekerjaan tetap) yang kehidupannya ditopang oleh anaknya yang bekerja sebagai pelacur, dan seorang lagi adalah "cuma berbisnis kecil-kecilan" Berikut ini ceritera Tanto, seorang informan yang ditemui di Cilegeng Indah: T...paling kita lemparke Diskotik. Sama germo yang pesan ..nanti...biasanya lewat banyak tangan. Kalau itujustru uangnya agaksusah keterima -soalnya berbelit-belit, sudah nyarinya (germo - penulis) susah- dapat uangnya belum tentu jelas. Kadang tidak sesuai dengan janji. Tetapi saya lebih senang kalau buat drop untuk keija di diskotik, soalnya nyari barangyang gituan gampang, yangpenting tampang dan bodinya seras/, ya..nggak?" (T/CI/Broker). Menurut Marwis, seorang calo yang lain, menjadi calo di Indramayu saat ini sudah sulit, banyak saingannya. "Wah itu du lu, sekarang sudah susah... soalnya banyak saingan ... banyak makelar-makelaryang kesana. Sekarang apalagi ayam-ayamnya21 sudah pada tahu sendiri. Kadang orangtuanya yang antar anaknya ke sini, langsung sama Istilah "ayam" digunakan untuk merujuk pada para perempuan yang di'Lacurkan - yang konotasinya sangat merendahkan martabat perempuan. IstiTah ini tidak khas di Indonesia saja karena dalam masyarakat yang berbahasa Inggris juga dikenal istilah "chicks" yang artinya "anak ayam". Kami menggunakan istilah ini hanya sebagai bagian dari kutipan.
79
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih germo. Saya mainnya di diskotik, hotel -di Kramat biasanya anak-anaknya sendiriyang ke sana- biasanya kalau sudah tidak taku di hotel atau di diskotik, mereka ke sana.(M/ CI/Broker). Dalam penelitian ini, yang dijual oleh para calo itu adalah informasi tentang keberadaan seorang anak yang potensial menjadi pelacur. Seringkali para calo tidak hanya berhenti hingga disitu tetapi juga ikut bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada anak-anak itu. Jika para calo memperoleh jaringan yang baik, memang pekerjaan mereka menjanjikan penghasilan yang tidak sedikit dan jaminan jangka panjang. (T:Kira-kira berapa keuntungan kalau dapat setiap satu anak perawan) Kalau itu tergantung cakep atau tidak. Kalau yang cakep bisa Rp 500.000,- tapi kalau yang biasa ratarata Rp 200.000,- (M/CI/Broker) Di beberapa tempat, di mana hubungan antara calo dengan germo sudah cukup lama, maka calo selalu memperoleh bagian dari penghasilan pelacur, yang besarnya kurang lebih Rp. 2.500,-/sekali melayani pelanggan. Dang ini biasanya dibayarkan oleh germo setiap akhir bulan. kalau saya... .dulu perhitungannya setiap anak yang dikirim sama saya, saya dapat jatah Rp 100.000,- tapi sekarang bagiannya kalau sudah kerja di sana saya sekarang dapat Rp 2500,- setiap tamu, tinggal itung aja" (Ojek 1broker)
Kotak 9 : Jadi Calo Bukan Cita-cita Dari ceritera para informan, kita memperoleh kesan bahwa pekerjaan menjadi calo sebenarnya tidak pernah dicita-citakan. Mereka menggeluti pekerjaan ini bermula dari senang melakukan hubungan seks dengan para pelacur dan mempunyai hubungan yang luas.
80
Jejaring
¡ejaring A was KalauTerjaring
Du Lu saya kerja di... (BUMN) ... pernah ikut Yayasannya, bagian penagihan. Terus saya dekat dengan teman-teman yang istilahnya punya akses ke sana (penulis: pelacur). Jadi waktu itu saya suka diminta untuk menyediakan "aya m " ka La u ada pertemuan di daerah mana gitu. Terus Lama keLamaan keenakan. Akhirnya saya keLuar kerja, tapi reLasi dengan pegawai-pegawai di (sebuah BUMN) sampai sekarang beLum putus. Dulu pernah ada pertemuan di daerah Semarangsaya ngirím "ayam"25 orang. Pokoknya biar sampai BaLi saya tetep Layanin, apaLagi kalau buat Bos. Buat keLuar negerí juga bisa pesen sama saya? (M/ CI/ Broker). Día berceritera bahwa awal-awalnya memang tidak mudah, suka rugí, habis untuk ongkos saja. Menurutnya, jika sudah berpengalaman dan mengenal kontak-kontak yang diperlukan, maka tinggal pesan saja
Seperti dikatakan oleh informan di atas, tidak jarang mereka yang berprofesi sebagai pelacur pun sesekali ikut menjadi calo. Jika mereka pulang kampung biasanya mendapat ti ti pan dari germonya agar mencari teman. Kalau berhasil ada imbalan yang akan diberikan. Jika perlu, bahkan dianjurkan untuk mengajak sanak saudara untuk bekerja di tempat germonya tersebut. "....Ya... ada juga, tapi biasanya diajak teman. Biasanya germo yang nyuruh. Satu kepaLa dapat Rp 50.000,-an" (Pak T, Inf.-i) "Jadi maksudnya bukan germonya saja, biasanya maíah temannya yang sudah sukses datang kembaíi kesini dan ngomong-ngomong ketemannyayang ada disini. Nah kaíau temennya mau...ayooo. " (AKW) "KaLau orang Indramayu itu tega mbak...kayak disini si I itu dia puLang kampung bawa keponakannya dua kerja disini...tetangganya juga dibawa... "(Nunik, P-dewasa) Walau menjadi calo seringkali bukan sebagai pekerjaan utama, namun dari segi pendapatan mungkin yang terbesar. 81
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Informan yang bekerja sebagai tukang ojek menuturkan sebagai berikut: "Ya kalau mengharapkan dan ojek berapa sih sehari, mana disini saingannya banyak, lihatkan tadi mas, kaiau tidak berebut kita tidak bisa dapat penumpang. Sekarang banyak orang orang kaya dari bisnis ini, kalau dulu mana ada, kalau penyalur nah itu "bisa kaya." (Ojek 1- broker) "... Itu kita seperti bos kemana-mana naiknya taksi terus. Duit keluar seperti air, yah maklum dapatnya juga kayak air..."(Satpam-CI) Di antara para calo ternyata terdapat organisasinya juga. Ada yang mereka sebut sebagai "Calo Besar" dan "Calo Keci'l". Walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit perbedaannya, tetapi dari percakapan para informan dapat kita mengerti perbedaan antara keduanya yang terletak pada punya atau tidaknya anak buah. Seseorang disebut calo besar jika ia punya anak buah yang menjangkau ke berbagai desa di wilayah kecamatan Bongas, sedangkan calo kecil jika ia hanya bekerja sendiri dan berhubungan langsung baik dengan orangtua maupun germo. Sebagaimana sebuah jejaring, urusan seorang calo tidak hanya berhenti ketika ia sudah mengantar pesanan. Selain di beberapa tempat ada sistem upeti seperti yang dijelaskan di atas, maka jika ada masalah dengan anak yang mereka bawa, mereka pulalah yang harus ikut bersusah payah menyelesaikan permasalahan yang timbul: "...biasanya kalau ada yang mesan anak, kita yang bawa...nah kalau ada masalah kita juga yang ngurus." (Ojek 1- broker) Dari berbagai informasi yang berhasil kami kumpulkan, agaknya calo-calo besar telah membentuk kelompok-kelompok sendiri yang bertugas memata-matai dan membujuk keluarga calón pelacur. Untuk memperkuat jejaring mereka banyak 82
Jejaring
jejaring Awas Kalau Terjaring
germo yang juga merekrut bujang dan bartender dari kampung yang sama sehingga dari mulai pelacur sampai ke germo bisa saja berasal dari satu kampung yang sama. Pelacuran selalu ditopang oleh suatu organisasi yang rapih dan mempunyai hubungan yang lúas. Dari informan diperoleh gambaran bahwa jejaring yang luas telah terbentuk. Daerah penelitian kita telah menjadi sebuah pusat pasokan bagi pelanggan di berbagai tempat di Indonesia. Itu mereka biasanya keija di Kramat, Mangga Besar, Puncak, Bogor, Baker, Jembatan lima, Rawa Malang, sekarang banyakyang ke Tanjung Pinang, Batam, Lampung. Kalau yang di sini itu di daerah Hour Geulis, ada juga yang ke Saritem di daerah Bandung.? (Ojek 1-broker) tapi saya lebih senang kalau buat drop ke Diskotik... ada yang ke Kramat, Rawa Malang, Baker,..."(Satpam CI).
Kotak 10 : Sang Dewa Penyelamat Potongannya kurus, sederhana, dan kalau bicara suaranya halus, suaranya cukup tegas tetapi ramah. Pak Herman adalah seorang germo di Kramat Tunggak yang amat terkenal di Bongas Pentil, mungkin juga di desa-desa lain di Indramayu. Pak Herman adalah pemilik wisma sederhana yang memiliki kurang lebih 20 kamar. Semuanya dihuni oleh gadis-gadis muda Indramayu. "Kalau anak-anak Pak Herman itu memang rata-rata anakanak pilihan, rata-rata masih muda, cantiklah. Soalnya kalau tidak kan kurang laku. " "Banyak yang pesen anak-anak...biasanya cukongcukong... Di KT kan banyak saingan. Kalau engga berani beda... engga laku Pak Herman termasuk yang mikirin sampai di situ". Pak Herman mempunyai banyak sekali anak buah yang tersebar di seluruh Indramyu. la juga dikenal oleh pejabat-pejabat desa
83
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
sebagai dermawan yang membantu dalam pembangunan desa dan pemilihan pejabat. la sangat royal terhadap para pemuda dan orangtua di desa, terutama mereka yang suka minum-minum.
Peranan Tokoh Formal dan Informal Meskipun jarang disebut dalam literatur mengenai pelacuran, peranan tokoh formal di daerah Bongas cukup besar dalam memperlancar kerja industri seks komersial yang berkaitan erat dengan penduduk setempat. Dengan kata lain, di Desa Bongas, tokoh formal adalah bagian integral dari industri seks komersial. Informasi yang dikumpulkan dari germo, tokoh informal (seorang mantan Akuwu atau kepala Desa), orangtua anak yang dilacurkan, dan para calo lokal menunjukkan bahwa pimpinan formal desa memperlancar legitimasi keluar masuknya orang "asing" ke desa untuk mencari perempuan muda untuk dibawa ke kota baik dijadikan pelacur, dipekerjakan sebagai pramuwisma diskotik, atau menjadi istri simpanan bos-bos, atau orang tua yang hendak mengirim anak-anaknya bekerja menjadi pelacur. Sebagai contoh adalah pernyataan Bapak RT berikut ini: "(Tanya: Kalau adayang bekerja seperti itu apa periu izin?) Jawab: Kalau izin bagaimana y a... yang penting kalau sudah punya suami dapat persetujuan boleh dari suaminya. Tetapi kalau yang belum bersuami, harus diketahui orangtua. Kalau sudah beres itu lapor sama RT. (T: Apa kelurahan tabu?) J: lya.. harus! Nanti dari RT kan melapor ke Akuwu." (RT-Inf.l). Laporan ini memang penting karena menurut informan mereka yang tidak melaporkan akan mendapat "gangguan" dari masyarakat. "Ya untuk keamanannya harus lapor ke RT. Tidak masalah kalau sudah melapor. Soalnya di sini kalau tidak begitu suka diganggu masyarakat....itu mereka suka minta macam-
84
Jejaring
¡ejaring Awas Kalau Terjaring
macam, uang inilah, uang itulah! Kalau sudah melapor biasanya kalau ada macam-macam saya bisa tanggung jawab. Kalau tidak nantiyang punya rumah yang menanggungnya. (T: Apa itu sudah biasa? Maksudnya...tidak akan jadi omongan?) J: Ya, di sini itu biasa." (RT-inf.l) Ada seorang informan, mantan Akuwu di desa Bongas yang pada masa jabatannya pernah mencoba mempersempit gerak germo-germo yang berasal dari luar Jawa: "Saya pernah mempersempit gerak germo-germo yang berasal dari daerah Sumatera. Saya perketat karena alasannya mempekerjakan perempuan tadi sebagai pembantu. Ternyata itu hanya siasat dia. Saya bersitegang dengan mereka sehingga saya dibenci oleh germo-germo itu. Salah satu faktor kakak saya tidak terpilih menjadi Kepala Desa karena dulunya saya pernah mempersempit ruang gerak germo. Jadi orang sini juga membenci saya. " (AKW). Informan juga memberikan petunjuk bahwa pembangunan desa, baik jalan-jalan yang beraspal maupun keindahan desa. (Tanya: Apa germo-germo itu ada juga yang mem ban tu pembangunan di desa ini?) Jawab: Yaa... ada juga, bahkan Pak Camat juga. Tugu tub (sambil menunjuk tugu yang terletak di sisi jalan masuk desa) itu salah satu bentuk partisipasi germo-germo di Kramat Tunggak. Jalonan juga, sebelum di aspal seperti sekarang dulu pernah disirtu pakai koral. (AKW). Fungsi pimpinan format dalam mempertancar dinamika pelacuran yang metibatkan warganya menjadi tebih mudah dimanfaatkan jika yang bersangkutan juga mempunyai saudara dekat (seperti keponakan) yang juga bekerja sebagai pelacur. Dari pengalaman subyektif informan di atas, kita dapat mengambit pelajaran bahwa jika masyarakat miskin, maka segala usaha yang dilakukan oteh aparat yang dianggap mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat 85
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih tersebut -terlepas dan" nilai (baik/buruknya) tindakan tersebut -akan memperoleh reaksi négatif yang dapat merugikan kepentingan aparat tersebut. Jika aparat tidak dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik, maka ia akan dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang memberikan alternatif lebih baik bagi masyarakat setempat. Alternatif yang lebih baik bagi sebagian masyarakat Bongas adalah dengan melacurkan anak-anak mereka untuk memperoleh penghasilan yang layak, bahkan lebih dari cukup. Setelah mereka memperoleh penghasilan yang lebih dari cukup, maka mereka dianggap sebagai model dan menjadi sangat berpengaruh di desa, terutama karena mereka mempunyai uang untuk mendukung suatu program atau pencalonan seorang pe mi m pin. Peranan Germo Germo atau pengasuh didefinisikan oleh Hull sebagai seseorang yang langsung bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas yang memungkinkan terjadinya perdagangan seks, memainkan peranan penting dalam industri seks formal. (Hull, 1997, h. 68). Buku Putih Rahabilitasi Sosial Tuna Susila (Depsos, 1996) membatasi pengertian germo/ mucikari sebagai: "Orang-orang yang mata pencahanannya baik sambilan atau sepenuhnya, mengadakan dan membiayai serta membuka, memimpin serta mengatur tempat untuk praktek peiacuran ialah dengan mempertemukan pelacur dengan pelanggannya. Untukpekerjaan inigermo mengambit bagian dan basil yang diperoleh pelacur dari Langganannya." (h.2). Definisi Depsos memang tidak berbeda jauh dari Hull dkk. (1997). Menurut pengertian seperti di atas, maka selain pemilik wisma di lokalisasi22, maka pemilik diskotik yang
Walau Kramat Tunggak resminya adalah Panti Rehabilitasi - fungsinya dianggap oleh banyak pengamat seperti lokalisasi. 86
Jejaring
jejaring Awas KalauTerjaring
memberikan fasilitas dari tempat kos sampai dengan kamarkamar bagi berlangsungnya hubungan seks komersial termasuk dalam kategori germo. Untuk penelitian ini diwawancara empat germo di Kramat Tunggak yang mempunyai jalur ke desa Bongas PentiL Informas! mengenai mereka tentu saja diperoleh dari berbagai nara sumber. Perkenalan masyarakat desa Bongas dengan germo sudah terjadi sejak awal daerah Kramat Tunggak dijadikan lokalisasi, seorang informan mengatakan ada germo yang sudah sangat mengenai desa Bongas sampai ke pelosok. Germo tersebut tetap terkenal sampai sekarang. Selain itu dari desa tersebut juga ada seorang germo yang membuka tempat pelacuran di daerah Riau. Selain mereka beberapa germo -termasuk pemilik berbagai diskotik di Jakarta -juga sudah dikenal di desa Bongas. Bahkan para germo tersebut punya jaringan masingmasing yang sudah terbentuk sejak lama. Paling tidak ada 3 germo yang dapat diidentifikasi mempunyai jaringan kerja di desa Bongas, dua adalah germo yang beroperasi di Daerah Kota dan Mangga Besar, dan seorang lagi adalah germo yang beroperasi di lokalisasi di Jakarta. Marilah kita melihat beberapa fungsi penting yang dijalankan oleh para germo: Pertama, menurut Hull fungsi para germo ini adalah memberikan jasa perlindungan bagi para pelacur anak buahnya dengan cara memotong penghasilan mereka (Hull 1997, 68). Berbagai bentuk perlindungan yang dapat kita pelajari dari para informan adalah dalam bentuk pengobatan, mencegah pemerasan dan tindak kekerasan, dan perhatian terhadap keluarga para pelacur di desa terutama dalam bentuk kesejahteraan fisik-material. Dana yang digunakan memang dipotong dari uang jasa yang diperoleh anak-anak yang dilacurkan. Ada tiga cara pemotongan yaitu pemotongan itu dilakukan secara tidak langsung yaitu germo meminta uang pada si pelacur jika ada tamu. Cara kedua adalah pemotongan secara langsung yaitu konsumen membayar kepada germo 87
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih (sistem pembayaran dimuka), germolah yang memotong biaya-biaya yang hams dibayar si pelacur (seperti: sewa kamar, biaya calo -jika ada -dan sebagainya) dan sisanya diberikan pada pelacur tersebut. Cara ketiga yang mirip dengan cara kedua tetapi uang tidak langsung diberikan pada anak-anak yang dilacurkan. Uang i ni disimpan oleh para germo sampai dengan anak atau orangtua membutuhkan uang tersebut baru diberikan dengan berbagai potongan. Cara ketiga ini memang dirasakan sangat membatasi oleh sementara anak yang kami jadikan informan. Ranti (14 tahun), seorang informan yang pernah bekerja di sebuah diskotik di Jl. Mangga Besar, Jakarta mengatakan sebagai berikut: (Tanya: Mengapa pindah dari MB ke KT?). Jawab: Ya... Rasanya enak Mbak. Udah kerja capai-capai uangnya diambü Mami semua. Engga bisa megang. Maunya saya, uangnya dibawa saya saja. Kan kalau Bapak datang saya bisa kasiin. Siapa tahu butuh uang di kampung itu? (Ranti, inf.) Hal yang sama ia rasakan ketika ikut dengan seorang germo yang kami berinitial Herman di Kramat Tunggak. Waktu di Daun Muda^juga sama. Tapi kalau di situ kan di catet. Jadi kalau kita mau pulang dipotong utang sama Pak Herman. Kalau mau ngutang juga bisa. Tapi yah...enggak bebas. Jadi saya pindah sinisaja...ikut sama Mbak Tarmi. Enak kalau di sini... enggak rewel Maminya. (Ranti, Inf.) Sa la h seorang informan yang anaknya bekerja sebagai pelacur di sebuah wisma di lokalisasi di Jakarta menyebutkan uang yang diterima anak berkisar antara Rp 30.000, sampai Rp 50.000, setiap kali menerima tamu. Anaknya tidak perlu membayar biaya apapun selama tinggal di wisma tersebut, namun anak juga tidak bisa mengambil uang semaunya. Uang itu bisa diambil jika orangtua datang meminta ataupun anak tersebut akan pulang kampung. Ñama samaran. 88
Jejaring
jejaring Awas KalauTerjaring
Yanti sering ngirim apa bawa sendiri ke ibu uang Rp 100.000,- sampaiRp 200.000,- perminggu. Kalau ada lebih ....kadang biasanya ada persenan dan pak Herman, kalau biasanya kita datang terns tidak punya uang, kadang dia (pak Herman) yang ongkosin... Kalau pern boyaran uang biasanya langsung dipegang Pak Herman langsung, kan ada bagian pembukuannya. Kalau buat anak paling uang jajan saja, kalau makan sudah ada disitu. Enggak ada namanya uangsewa atau uangapa-apa lainnya. (Orangtua Yanti -inf.) Kedua, adalah fungsinya sebagai kreditor atau pemberi hutang. Salah satu cara untuk menjaga kelanggengan hubungan para germo dengan sumber-sumber pemasoknya adalah dengan memberikan berbagai pinjaman, atau menghitung berbagai pengeluaran dan anak-anak asuhannya sebagai hutang secara sepihak. Persoalan ini akan kita bahas lebih lanjut lagi. Ketiga, adalah fungsi germo yang bersifat karitatif pada aparat maupun pada institusi desa. Seperti telah dijelaskan di atas, melalui fungsi inilah mereka mengendalikan kekuasaan di desa untuk kepentingan kelancaran bisnis mereka. Para germo sangat rajin berpartisipasi dalam acara-acara desa, baik itu perhelatan atau keriaan yang diadakan oleh orangtua maupun tetua desa. Berdasarkan wawancara dengan informan germo maupun bukan, hal ini dilakukan oleh hampir semua germo. ...makanya nyumbang aja ...kan yang penting maminya nyumbang..biar enggakjelekdimata orangsananya (Mami S- inf.) Keempat, adalah fungsi mereka dalam memberikan figur orangtua pengganti bagi anak-anak yang dilacurkan. Tidak heran bahwa para germo ini banyak yang diperankan oleh wanita yang umumnya dikenal dengan sebutan "Mami".
89
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Peranan Pelanggan Pelanggan atau pengguna jasa seks merupakan rantai "terakhir" dalam jejaring industri seks komersial. Merekalah "pasar" yang selalu perlu dipertimbangkan oleh komponenkomponen lain dalam jejaring ini dalam mengolah pasokan dan logistiknya. Dari berbagai informan yang kami wawancara pelanggan adalah individu yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Ceritera anak-anak yang dilacurkan jelas bahwa dari segi etnisitas mereka itu kebanyakan adalah pelanggan domestik walau ada yang menerima orang asing. Meskipun demikian, yang menarik untuk kita bahas dalam bab ini adalah peranan mereka dalam jejaring industri seks komersial. Dari kajian literatur yang dilakukan oleh Hulldkk. (1996) dapat kita simpulkan bahwa pelangganlah yang menentukan tempat disediakannya fasilitas untuk melakukan transaksi. Bagi kelas menengah ke atas, privasi dan kenyamanan menjadi sa la h satu kriteria yang harus dipertimbangkan oleh para pemasok dan germo. Selain itu, dari maraknya pelayanan di diskotik maupun Karaoke Bar/Pub, juga dapat ditarik pelajaran bahwa para pelanggan ini ternyata tidak hanya menginginkan seks secara langsung tetapi melalui berbagai pelayanan hiburan yang menarik, bahkan memungkinkan adanya interaksi kelompok dalam proses mencari pelayanan seksual. Bagi germo di berbagai lokalisasi, misalnya, para pelanggan ini memang tidak selalu diharapkan untuk "ngamar", tetapi paling tidak minum dan merokok yang sangat menguntungkan bisnis sampingan para germo. Se le ra pelanggan merupakan salah satu faktor penting dalam pengelolaan jejaring industri seks komersial. Wawancara dengan para pelanggan yang rata-rata berusia sekitar 40 tahun menunjukkan bahwa hubungan seks dengan anak-anak memberikan rasa superior, suatu perasaan bahwa ia ternyata masih kuat. Selain itu, ketakutan akan infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk merebaknya berita mengenai epidemi
90
Jejaring
jejaring Awas Katau Terjaring
HIV/AIDS, telah mendorong mereka untuk cenderung memilih pelacur muda yang mereka anggap masih cukup bersih, dengan alasan jam terbang anak-anak itu masih sedikit (lihat juga Dharmaputra dkk., 1996; Mboi, 1996). Hal lain yang membuat para pelanggan itu tertarik dengan anak-anak adalah karena //tosie"beda dengan pelacur yang sudah dewasa, dalam hal ini para pelanggan itu menggunakan ukuran usia. Mereka mengatakan sudah berusia di atas 20 tahun "rasanya" berbeda dengan usia di bawah 17 atau 18 tahun. Persoalan kenikmatan seksual ini nampaknya sangat diperhatikan oleh para pelanggan. Karena berbagai alasan di atas, ada wisma di Kramat Tunggak yang mayoritas penghuninya adalah perempuan muda usia, tidak bising, dan ber AC. Berikut ini profil pelanggan yang berhasil diwawancarai dan amati. Samu: Lebih Bernafsu "Main" dengan Anak Saya biasa di panggil Sam, usia saya sekitar 41 tahun, sudah menikah dan pendidikan DO perguruan tinggi. Walaupun demikian saya adalah karyawan suatu media yang cukup terkenal dan menangani bagian artistik majalah tersebut. Tentu anda heran, sudah punya bini koq masih nglontel Jangan salah. Hubungan saya dengan istri baik-baik saja. Istri saya juga hebat ngeseknya. Masalahnya saya memang hobi. Saya sudah sering pergi ke lokalisasi sejak saya masih kuliah. Mungkin karena hobi itu kuliah saya tidak dapat saya selesaikan dengan baik. Teta pi sekarang frekuensi kunjungan saya tidak terlalu tinggi, dalam sebulan hanya sekali atau dua kali saja. Saya suka ke lokalisasi terutama ke Wisma Daun Muda ini karena suasananya yang tenang dan ayamnya yang mudamuda usia. Memang di wisma lain juga ada yang muda-muda teta Pi hanya satu atau dua orang. Beda dengan di sini yang memang menyediakan yang muda-muda. Pak Herman memang Sam=Nama samaran.
91
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih bagus intuisi bisnisnya. Día sediakan apa yang tidak disediakan orang lain. Lihat saja, walaupun dia tidak menyediakan musik dan tempat untuk joget tamunya tetap banyak.25 Buat saya pelacur muda memang lebih menarik karena masih segar dan liât tubuhnya. Mereka juga masih terjamin kesehatannya karena jam terbangnya masih sedikit dibandingkan yang sudah tua-tua. Soal cantik atau tidak itu sangat relatif dan kadang tidak terlalu saya perhatikan. Yang penting usianya di bawah dua puluh tahun, kalau di atas itu saya tidak bernafsu. Selain rajin ke lokalisasi saya juga masih punya pacarpacar lain, yang satu usianya 19 tahun sedangkan satu lagi masih 15 tahun. Keduanya tinggal di daerah Parung. Mereka sama sekali tidak tahu kalau saya sudah menikah. Di antara mereka juga tidak tahu kalau saya duakan. Pokoknya tergantung kepintaran saya saja memberi alasan kalau terlambat ngapel. Di tempat pak Herman ini saya memang belum punya pacar, tapi sudah punya langganan namanya Neneng umurnya masih sekitar 14 atau 15 tahun. Sebelum ini saya sudah punya pacar tapi saya dengar dia sudah pulang kampung, mungkin insyaf. Itu sebabnya saya mulai menean ayam lain buat jadi pacar saya di sini. Jujur saja, kalau di sini saya hampir tidak pernah pakai kondom sebagai pengaman, karena saya pikir anak-anak di sini cukup bersih. Saya hanya menggunakan kondom kalau saya pergi ke luar kota dan tiba-tiba ingin berkencan. Yang penting bagi saya adalah saya yakin teman kencan saya bersih maka saya tidak akan pakai kondom. Kalau saya ragu, di sinipun saya akan pakai kondom juga. Bagaimanapun saya masih takut terkena penyakit kotor. Wisma Daun Muda menerapkan aturan, tamu harus bayar pada bartender lebih dulu sebelum kencan dengan oyamnyo. Berapa besanya, tergantung negosiasi dengan bartender tapi ~
SaatWawancara
dilakukan ada serombongan tamu Korea yang sedang minum ditemani pelacur muda usia. 92
Jejaring
jejaring Awas KalauTerjaring
sudah ada harga mati yaitu Rp 40.000,- boleh lebih tetapi jangan kurang. Jumlah i tu adalah harga short time kalau kita mau menginap tarifnya akan berbeda. Sedangkan tips untuk teman kencan tergantung pada tamu, pihak wisma tidak mematok harga sama sekali. Buat saya pribadi, jumLah uang tips sangat tegantung pada puas atau tidaknya saya dengan peLayanan teman kencan itu. Kalau puas saya bisa beri sampai Rp 40.000,- tapi kalau tidak puas saya beri di bawah itu. Budi26: Mengukur Stamina Kejantanan Saya seorang wiraswastawan yang berusia 33 tahun dan sudah menikah. Pengalaman saya ke lokalisasi hanyalah di Kramat Tunggak, sedangkan diskotik adalah diskotik HP dan Mawar di daerah Jakarta Barat. Buat saya pergi ke lokalisasi atau diskotik hanyalah selingan jika saya sedang jenuh berhubungan dengan istri, atau dengan pacar saya. Istilah kerennya adalah mencari variasi. Walaupun sering ke lokalisasi saya jarang berhubungan dengan pelacur muda atau anak-anak. Pelacur muda atau anakanak buat saya tidak terlalu menjadi kebutuhan karena mereka kurang kreatif dalam bercumbu. Berbeda dengan mereka yang berusia di atas 20 tahun yang sudah banyak jam terbangnya yang berarti sudah tahu apa yang diinginkan tamu. Tetapi jika kita berhubungan dengan pelacur muda, ada kebanggaan tersendiri karena kita mampu menggaet anak-anak. Itu berarti stamina kita masih bagus! Kalau saya lihat dari aspek kesehatan, wanita muda memang lebih sehat karena secara fisik masih segar dan juga belum banyak dinikmati oleh tamu-tamunya. Tetapi ada juga wanita muda yang kurang memperhatikan kesehatan karena mengejar materi semata. Sepanjang pengetahuan saya, banyak juga wanita usia matang (20 - 30 tahun) yang masih sehat karena mereka sangat menjaga kesehatannya. Jadi itu semua
Budi=Nama samaran.
93
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih tergantung pada orangnya saja. Walaupun memang jelas kelebihan pelacur muda yaitu secara alami mereka masih banyak tenaganya dibandingkan yang sudah di atas 20 tahun. Masalah ta rip setahu saya sangat bervariasi, jika di Kramat antara Rp 25.000,- sampai Rp 50.000,-, sedangkan di diskotik antara Rp 50.000,- sampai dengan Rp 100.000,- Kalau saya sedang punya uang cukup saya lebih suka ke diskotik. Selain dekat dengan tempat tinggal saya di Slipi juga lebih banyak variasi. Mau cuma duduk sambil menonton orang joget, mau joget atau mau booking juga, terserah sama kita. Lain kalau di Kramat Tunggak, sudah tempatnya jauh, musiknya juga tidak bervariasi paling-paling dangdut. Seperti saya sebut di atas selain punya istri saya juga punya pacar yang saya temukan di diskotik HP. Dengan simpanan ini saya sudah berhubungan selama 2 tahun bahkan saya pernah pulang ke kampung simpanan saya di Wonosobo. Di sana keluarga dan tetangganya menganggap kita berdua adalah suami istri. Saya bertemu dengan simpanan saya ini di diskotik HP, karena cocok dan pintar melayani saya, akhirnya ia saya jadikan simpanan. Sekarang saya yang membayari biaya kostnya di daerah Kebon Kacang.
94
Perjalanan
Faktor Pendorong Perjalanan hidup seorang anak sampai menjadi seorang pelacur akan disampaikan dalam bab ini. Sebelum pembaca meneliti lembaran-lembaran pahit mereka, kami telah mengidentifikasi beberapa faktor penting yang menjadi benang merah dalam perjalanan mereka. Berikut ini beberapa faktor yang mendorong mereka untuk menjadi pelacur. Kemiskinan Kemiskinan diakui menjadi faktor pendorong yang amat penting dalam pelacuran yang melibatkan anak. Meskipun dermkian, arti kemiskinan ini bersifat sangat relatif. Tergantung dan apa yang diinginkan dan sejauh mana apa yang dimiliki saat ini jika dibandingkan dengan keinginan tersebut. Oleh karena itu, kemiskinan memang perlu dipertimbangkan dalam melakukan análisis terhadap terjadinya anak yang dilacurkan tetapi serempak dengan itu juga perlu dilihat faktor-faktor lain yang memberikan konteks pada kemiskinan tersebut. Dalam umu-ilmu sosial dikenal adanya konsep Comparison Level (CL), khususnya dalam kerangka Social Exchange Theory (Thibaut & Kelly, 1959) dan terutama dalam penerapannya ke dalam penlaku keluarga (Nye, 1979; Klien & White, 1996). Dalam menentukan suatu tindakan bagi anak-anak mereka, orangtua
95
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih mempertimbangkan berbagai pilihan alternatif (alternative choices) yang ditentukan oleh tingkat pembanding (CL) yang digunakan. Di desa Bongas Pentil, tingkat pembanding yang digunakan adalah di satu sisi ekstrem yang pertama terdapat berbagai bentuk perilaku yang tidak diinginkan, khususnya di kalangan laki-laki muda. Mereka kebanyakan menganggur atau bekerja tidak tetap dan mempunyai kebiasaan kawin cerai atau menjual istrinya jadi pelacur. Di sisi ekstrem lainnya adalah para pelacur yang membawa pulang banyak uang, membelikan orangtua sawah dan memperbaiki rumah mereka, dan akhirnya tetap dapat kawin dengan suami yang mereka inginkan. Di tingkat individu yaitu pada diri anak itu sendiri, maka pemikiran yang mungkin telah diutarakan oleh orangtua mereka berkali-kali menjadi masuk akal juga buat mereka. Apalagi jika dalam keluarga sudah terdapat masalah yang secara potensial akan memiskinkan mereka, seperti kasus Ati yang akan anda baca dalam Bab ini. Karena meluasnya praktek-praktek pelacuran di desa yang kami teliti, maka keluarga-keluarga yang kami wawancara melihat CL yang terakhir sebagai patokan mereka. Jika hidup sudah mulai sulit sedikit, maka alternatif itulah yang mereka ambil. Pada dasarnya sebagian besar penduduk Bongas memang miskin, tetapi tidak semua rumah tangga di desa itu membiarkan anak-anak mereka menjadi pelacur. Pencegahan yang dilakukan dengan memikirkan masalah kemiskinan itu sendiri akan sulit berhasil jika CL yang dijadikan pagu oleh penduduk setempat jauh lebih tinggi dari apa yang dapat diharapkan oleh pemerintah. Bondage Secara universal nampaknya telah diakui bahwa fenomena anak-anak yang dilacurkan erat kaitannya dengan debt-bondage atau aturan hutang-piutang yang harus dibayar melalui ikatan kerja seperti perbudakan dengan seorang anak. Ceritera-ceritera yang kami kumpulkan dari desa Bongas sarat
96
Perjalanan dengan fenomena ini. Para germo yang telah berpengalaman, seperti Pak Herman yang kami wawancara dalam penetitian ini, sangat jeli dengan kebutuhan keluarga calon korbannya. Mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan kreditor untuk memperoleh anak yang mereka incar. Selain itu, para germo, khususnya juga Pak Herman ini, mengenal hutang yang disebut sebagai utang bangun. Utang bangun adalah suatu cara memobilisasi uang anak yang telah terkumpul untuk membuat rumah salah seorang dari mereka. Uang tersebut sebenarnya bukan milik germo yang bersangkutan tetapi milik anak-anak yang bekerja di wisma si germo. Biasanya itu berlaku untuk germo yang menerapkan sistem pembayaran di muka bagi konsumen. Bagaimana mekanisme sistem utanq banqun ini terjadi? ..Maksudnya día bisa bangun rumah anak-anak yang bekerja di sana, itujuga bukan uang Pak Herman sendiri. Jadi, misalnya anak saya bekerja di sana, terus diiihat orangnya nurut apa kata dia, terus anaknya mau bangun rumah, tinggal Hat aja. Biasanya duityang ngumpul nanti buat bangun rumah si A atau si B. Nanti katau sudah selesai satu dibangun jatah yang law. Jadi duit hasil ngumpul anak-anak misalnya sebulan ada 10 juta di kas, nanti bangun rumah Yanny dulu, nanti bulan berikut jatah si anu, terus seperti itu.. (Pak T-infl) Katau germonya ingin punya banyak murid di si ni, dikasih Hat keberhasilan anak muridnya dengan membangun rumah dan lainnya. Jadi itu salah satu taktik germo juga, memperbanyak murid (AKW) Sepertinya ada kebutuhan dari germo untuk memperhhatkan pada penduduk kampung bahwa anak yang bekerja padanya telah menjadi orang sukses. Selain itu germo juga dianggap sebagai orang yang "baik budi" dengan "membantu" kehidupan keluarga anak buahnya, dampaknya adalah orangtua tidak segan meminta pada germo tersebut untuk mengambil anaknya sebagai anak buah. Jika orangtua menganggap germo tidak "memakmurkan", meminjam istilah
97
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih seorang informan, anak buahnya maka germo itu tidak akan dititipi anak oleh orangtuanya. Da la m industri seks komersial tidak ada yang gratis! Semua yang telah dikeluarkan oleh germo itu harus dibayar kembali, tentu saja dari keringat anak-anak yang dilacurkan. Ikatan itu selain membuat germo populer juga membuat anak yang bekerja padanya tidak punya kesempatan untuk keluar dan bekerja pada germo yang lain. Karena ia harus melunasi hutang yang di buatnya. Selain itu anak-anak lain yang tidak berhutang juga tidak bisa keluar karena ada kemungkinan uang yang telah mereka kumpulkan tidak dibayarkan oleh germo dengan alasan uangnya masih dipinjam oleh anak yang utang bangun tersebut. Model saling bergantung ini sangat menguntungkan germo dan menekan para pelacur. Walaupun demikian ada juga anak-anak yang setelah rumahnya dibuat bagus lalu kabur dari wisma tersebut. Sejauh informasi yang didapat, germo yang dirugikan itu tidak menuntut pada si anak untuk mengembalikan uangnya. Seperti contoh di bawah ini, dalam keadaan seperti itu, germo masih berusaha agar keluarga yang bersangkutan tidak merasa enak atas pinjaman yang telah diberikan. "... Tapisekarang pak Herman tidak seperti dulu lagi, soalnya seperti anak saya ya, sudah dibangun rumah, tews anaknya kabur bekerja di tempat lain. Banyakan anak yang tidak benar, sudah dibuatkan rumah, anaknya pindah ke tempat lain? (TrTerus Pak Herman nya marah tidak ?) Marah-marah...ya bagaimana..?Soalnya itu bukan kemauan kita, itu anaknya yang mau, jadi mau dibilang apa..? ya..'.sudah saja?... (T: Loh terus rumah yang sudah dibikin pak Herman ini bagaimana, apa tidak minta ganti rugi?) Tidak, sampai sekarang, tapi memang benar apa yang pernah diucap Pak Herman, katanya? Wah rumahnya enggak beres R kalau kamu tidak pulang lagi kesini? Iya...ucapannya benar, sampai sekarang tidak beres" (Pak tua) Pengeluaran seorang germo untuk memperoleh gadis yang akan dijadikan pelacur memang besar. Salah satunya adalah untuk membina hubungan dengan tokoh-tokoh desa, 98
Perjalanan baik itu tokoh formal maupun informal. Seorang calo menyebutkan untuk membina hubungan dengan lurah biasanya ia sering memberi uang rokok jika ia akan menean calón pelacur anak di desa tersebut. Lurah akan membantu, bahkan secara eksplisit di-katakannya : "Ma la h kita dikasih selimut tidur".... (T: Terus dapat ayamnya) Kalau kesana kita tinggal pesan berapa, nanti dihubungin makelar, biasanya lurah sendiriyang koordinir makelarnya. Nanti kita kasih ongkos rokoklah istilahnya" (Marwis - broker) Ongkosnya lebih mahal lagi jika yang hendak dicari adalah seorang anak yang masih "perawan". Berikut ini pengakuan seorang calo berpengalaman: "Biasanya (orangtua)dipanjar Rp 500,000, nanti kalau misinya selesai adayang dikasih Rp 1.000.000,- tapi itu jugajarang sampai soalnya nanti germa yang boyar melalui makelar di kampung baru nanti ke orangtua anak. Pokoknya gitulah namanya juga bisnis"(Marms -broker). Da la m hal seperti di atas, anak yang dilacurkan hanya mempunyai kesan bahwa barga keperawanannya adalah Rp. 700.000 sampai Rp. 800.000,-27. Ongkos setinggi inilah yang dipikul oleh si anak gadis. Menurut penuturan para gadis tersebut, biasanya mereka membayar hutang-hutang mereka dalam waktu 1 bulan penuh dengan rata-rata tamu yang dilayani 2 orang atau lebih per malam. Pembaca dapat menghitung sendiri berapa penghasilan seorang germo melalui anak-anak ini. Riwayat Pelacuran dalam Keluarga Faktor lain yang ikut mendorong seorang anak dilacurkan adalah adanya sejarah pelacuran dalam keluarga anak itu. Dalam kelima kasus yang kami sajikan berikut ini, semuanya Informasi yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa harqa keperawanan" dapat berkisar Rp. 2.500.000 atau lebih.
99
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih mempunyai saudara -dekat atau jauh -yang menjadi pelacur. Dengan adanya riwayat seperti ini, maka karir sebagai pelacur telah menjadi bagian dari harapan kolektif dalam keluarga tersebut, terutama jika keadaan yang mereka hadapi memang su lit. Hal ini tercermin dari berkembangnya keyakinan bahwa bekerja sebagai pelacur sama seperti sebuah penyakit keturunan. Sekali itu terjadi dalam keluarga, maka akan cenderung terulang pada keluarga-keluarga dalam generasi berikutnya. Rasionalisasi seperti ini jelas mempermudah dalam mengambil keputusan, khususnya bagi orangtua. Hal lain yang nampak adalah dominannya peranan ibu dalam mendorong anak untuk bekerja sebagai pelacur, karena riwayat pelacuran di Indramayu memang sebagai salah satu alternatif yang lebih bagi perempuan desa untuk memperoleh kebebasan dan kehidupan yang lebih layak. Di Surabaya juga ditemukan kasus seorang anak diajak oleh bibinya yang sebelumnya telah berprofesi sebagai pelacur di Dolly. Hanya perbedaannya kasus anak yang dilacurkan di luar Indramayu tidak diketahui oleh keluarga, dan cenderung ditutupi karena lingkungan sosial menstigma pelacur. Permisif dan Rendahnya Kontrol Sosial Pada masyarakat timur termasuk Indonesia pandangan tentang seksualitas cenderung menekankan arti penting keperawanan (Saptari:1996). Di sisi lain realita seringkali menunjukkan lain, khususnya di kota-kota besar penlaku permisif terhadap pergaulan bebas seksual semakin menonjol, sementara itu kontrol sosial semakin rendah. Begitu juga yang terjadi di Indramayu, kultur yang permisif dan hedonis menyebabkan perilaku seks di luar nikah dibiarkan. Di satu sisi perilaku permisif terhadap seks bebas di sisi lain masyarakat masih mensakralkan nilai keperawanan menyebabkan seorang yang sudah tidak perawan merasa tidak memiliki martabat dan harga diri yang akhirnya dapat mendorong mereka terjun ke dunia prostitusi, walaupun tidak
100
Perjalanan mutLak. Beberapa kasus pelacuran di Jawa Timur dilatarbelakangi faktor ini. Rasionah'sasi Rasión a lisasi adalah upaya untuk menetralisir perbuatan dari stigmatisasi. Melalui proses rasionalisasi orangtua pelacur anak maupun anak yang dilacurkan akhirnya membentuk suatu pembenaran terhadap perilaku penyimpangan yang mereka lakukan. Rationalization menorut Clinard dan Meier adalah suatu alasan pembenaran atas suatu perbuatan dengan bersandar pada argumentasi rasional (Dermawan, MK:1998). Sebagai contoh Saya perlu makan sementara tidak ada pekerjaan lain selain menjadi pelacur atau tidak ada salahnya menjadikan anak sebagai komoditas karena orangtua telah banyak berjasa maka anak harus patuh pada orangtua termasuk menjadikannya pelacur". Stigmatisasi Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memandang pelacur sebagai perilaku patologis atau hal yang kotor, maksiat, dan asusila. Stigmatisasi atau pelabelan négatif yang selalu melekat menyebabkan pihak yang dilabel sulit melepaskan diri bahkan cenderung mempersonifikasikan dirinya dengan label yang ada. Sebagai contoh stigmatisasi terhadap suatu daerah tertentu yang dianggap sebagai penghasil pelacur seperti Indramayu dan Pati. Stigma yang telah tertanam turun temurun, di sisi lain intervensi "melawan arus" tidak pernah dilakukan sehingga menyulitkan warga Indramayu dan Pati melepaskan diri dari label tersebut. Lambat laun hal ini justru mendorong dan melanggengkan stigma yang telah terbangun. Seperti pendapat salah satu anak yang dilacurkan yang ditemui di Prumpung bahwa Indramayu sudah terlanjur terkenal sebagai daerah penghasil pelacur sehingga tidak ada gunanya melawan arus karena sudah terlanjur dicap seperti itu.
101
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Stigma terhadap pelacur juga menyebabkan mereka sulit beralih profesi. Sebagai contoh salah satu anak binaan Bandungwangi yang telah sadar dan berhasil alih profesi sebagai pekerja pabrik, setelah bekerja beberapa lama kemudian ketahuan bahwa profesi sebelumnya adalah pelacur, ia dikeluarkan oleh pihak manajemen dengan alasan dapat "mengganggu lingkungan kerja". Ketidakadilan dan cap négatif yang selalu dilekatkan masyarakat menyebabkan mereka sulit lepas dari profesinya.
Perjalanan Hidup Emma28: Berasal dari Keluarga Besar Pelacur "Panggil saja saya Emma", begitu katanya pada para langganan dan tamunya di wisma Daun Muda. Saya memilih nama Emma karena ngetrend dan mudah diingat. Umur saya sebenarnya 15 tahun kurang beberapa bulan, tetapi di si m saya bilang umur saya sudah 17 atau 18 tahun, tergantung kemauan tamu. Kata orang saya cantik dengan rambut lurus sebahu membingkai wajah yang berbentuk bulat. Kulit saya kuning langsat, tapi tinggi saya hanya sekitar 145 cm, jadi kelihatan agak gemuk. Saya lahir di desa Bongas Pentil, dari pasangan ibu Sukinem dan Bapak Kardjo. Saya adalah anak kedua dari 6 bersaudara (dari dua ayah). Kakak saya laki-laki sekarang pengangguran di desa. Dua adik (kandung) masih sekolah SD, sedangkan yang dua terakhir adalah adik tiri tetapi belum sekolah. Keluarga saya pernah tinggal di Jakarta yaitu di daerah Tanah Abang. Ibu saya berjualan serabi sedangkan ayah saya menarik becak. Waktu saya berusia 6 tahun, keluarga kami kembali ke desa Bongas Pentil. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan mereka boyong kembali ke kampung. Hasil bekerja di Jakarta oleh bapak dan ibu dibelikan bebek. Mulanya 28
Nama samaran (semua nama dalam Bab ini diganti). 102
Perjalanan sedikit lama-lama menjadi banyak. Dan 300 bebek itulah kami sekeluarga memperoleh nafkah. Di samping itu bapak saya bekerja sebagai buruh tani. Ketika saya kelas 4 SD ayah dan ibu saya bercerai, alasan perceraian itu adalah wanita lain. Perceraian itu membuat saya dan saudara saya berpisah. Saya dan kakak saya dititipkan pada nenek dari ibu, sedangkan adik saya yang dua lagi pada nenek dari pihak ayah. Untuk menghidupi saya dan kakak, ibu merantau ke Rorotan, Tangerang untuk berjualan nasi. Setahun kemudian Ibu menikah dengan seorang buruh pabrik ABG yang suka makan di warungnya. Namanya Pak Marto yang sekarang menjadi ayah tiri saya. Bapak tiri saya lebih muda 5 tahun dibandingkan ibu saya. Setelah nikah bapak tiri saya keluar dari pabrik dan membantu ibu berjualan nasi. Tidak lama menikah kemudian mereka kembali ke desa Bongas Pentil. Ayah tiri saya bekerja sebagai buruh tani demikian juga dengan ibu. Saya berkumpul kembali dengan keluarga baru saya setelah lulus SD. Masa kecil saya berlangsung biasa saja, selain gemar menari saya juga menyukai kegiatan pramuka. Saya sudah pentas menari dari usia 3 tahun. Kata ibu, saya termasuk anak yang pandai di kelas, tapi saya tidak punya rapor. Kata ibu, rapor saya masih dipegang ibu guru dan belum bisa di ambil. Saya tidak tahu kenapa? Sayangnya saya tidak dapat melanjutkan sekolah karena penghasilan orangtua yang sangat pas-pasan. Bahkan sewaktu sekolah SD selain dibiayai oleh ibu, saya juga dibantu ayah dan nenek. Saya sendiri sebenarnya masih ingin sekolah tetapi karena tak ada biaya ya...tak apalah. Saya tidak menyesal tidak melanjutkan sekolah, karena banyak teman-teman saya yang juga bernasib sama. Sejak tidak bersekolah pekerjaan saya sehari-hari hanya membantu ibu saya di rumah dan bermain dengan temanteman saja. Saya juga mulai tahu yang namanya laki-laki dan bahkan mulai berpacaran. Sudah lumrah di kampung saya ada anak lulus SD berpacaran, soalnya orangtua menganggap kita sudah dewasa. Saya juga sudah pernah kumpul kebo dengan
103
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih seorang pemuda dari desa tetangga selama dua minggu. Hubungan saya i tu tidak disetujui oleh orangtua saya karena pacar saya itu bukanlah anak orang kaya serta hanya pengangguran saja. Bagaimana saya akhirnya bekerja jadi beginian? Saya sudah tabu pekerjaan ini sejak masih kecil. Soalnya di kampung saya sudah biasa anak perempuan bekerja jadi pelacur. Salah seorang bibi saya (adik ayah kandung saya) ada yang bekerja di wisma ini bersama saya29, bibi saya itu bernama Santi, dia termasuk kembangnya di sini. Umurnya baru sekitar 18 tahun. Bi Santi itu sudah lima tahun bekerja jadi pelacur. Dia sekarang sudah sukses! Punya rumah yang harganya Rp 150 juta, punya sawah luas, peralatan rumahtangganya juga sangat lengkap. Masih ada beberapa orang lagi saudara saya yang bekerja jadi pelacur, tetapi tidak semuanya di sini. Ada yang bekerja di Bandung ada juga di kota lain.
I MAMPIR SEJENAK Keterangan beberapa tetangganya menyebutkan bahwa keluarga luas Emma seperti bibi, baik dari pihak ayah maupun ibunya, banyak yang bekerja sebagai pelacur. Seorang informan menjelaskan Ibu Sukinem juga pernah bekerja sebagai pelacur sebelum bertemu ayah tiri Emma.
Di kampung ada beberapa tetangga saya yang mempunyai wisma (rumah bordil -pen) baik di Jakarta maupun di daerah lain. Mau bekerja jadi pelacur? Gampang! Tetangga saya kenal baik dengan beberapa germo yang ada di berbagai daerah. Pokoknya banyak teman, tetangga, dan saudara yang bekerja di berbagai pekerjaan seputar pelacuran. Jika menawari pekerjaan, mereka selalu terus terang mengenai pekerjaan apa yang akan diberikan sesampai di tempat yang dituju. Saatwawancara. Wawancara dilakukan berkali-kali di Kramatlunggak. 104
Perjalanan Sâya juga ditawari oleh beberapa teman dan saudara untuk ikut mereka bekerja menjadi pelacur. Kalau dipikir-pikir memang lebih enak bekerja jadi pelacur karena uangnya banyak, bekerjanya mudah dan tidak capek apalagi kalau tempat bekerjanya juga tidak jauh30. Syukur-syukur bisa ketemu sama bos-bos kaya yang mau mengambil jadi istri. Pokoknya saya mau seperti bibi saya yang sudah berhasil....bisa bikin rumah yang bagus dan punya sawah dan satu-satunya jalan keluar memang jadi pelacur itulah. Walaupun tidak suka, bapak dan ibu saya tidak melarang saya bekerja sebagai pelacur. Habis memang sudah biasa buat orang di kampung kami. Lagi pula apa yang bisa saya kerjakan di kampung? Tidak ada pekerjaan apapun di sana kecuali jadi buruh tani dan jadi pelacur. Daerah Kota dan Mangga Besar adalah tempat pertama kali saya menjadi pelacur, saya pindah dari satu diskotik ke diskotik yang lain. Saya memang punya sifat bosan, karena itu saya yang paling sering berpindah tempat, di setiap diskotik saya hanya betah paling lama dua bulan setelah itu pindah ke tempat yang lain. Langganan saya juga bukan orang sembarangan, saya paling sering dapat bos-bos yang suka kasih tips besar sama saya. I MAMPIR SEJENAK Seorang informan (teman Emma) mengatakan sebelum menjadi pelacur, keperawanan Emma dijual pada seorang pemitik diskotik yaitu diskotik Eksotik di Mangga Besar dan sempat dijadikan gendakan selama satu bulan. Setelah itu Emma mengelilingi diskotik di daerah Manqqa Besar.
Walau kita semua tahu bahwa menjalani hidup sebagai pelacur dalam usm yang relatif mas,'h muda itu sangat sulit, yang kami tulis di sini aaalan kata-kata yang bersangkutan.
105
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih Saya juga sempat ikut-ikutan menggunakan ecstasy, mulanya hanya karena tidak enak sama tamu yang suka menawarkan inex itu. Lama-lama saya jadi ketagihan juga dan rutin nenggaknya, habis kalau tidak nginex susah untuk joget jogetnya. Bahayanya kalau kita sudah nge-on begitu kita lupa sama pekerjaan, saya jadi malas melayani tamu. Buntutnya Maminya marah-marah sama saya soalnya tidak dapat uang. Kiriman uang ke kampung juga tidak teratur. Saya pikir-pikir lagi akhirnya saya putuskan saya mau insyaf, tidak lagi minum ecstasy. Tapi kalau saya di diskotik terus, saya tidak akan berhenti minum ecstasy sebab mudah sekali mendapatkannya bahkan kalaupun kita tidak punya uang ada saja yang menawari secara gratis. Akhirnya saya putuskan pulang kampung sambil mencari tempat lain -di luar diskotik- untuk menjadi pelacur. Selama di kampung saya bertanya-tanya pada beberapa orang tetangga yang suka membantu mencarikan tempat bekerja buat anak-anak. Sebelum saya menjatuhkan pilihan, bibi saya datang dari Jakarta, waktu itu dia sudah bekerja di tempat Pak Herman31' dia langsung menawarkan bekerja di tempat itu. Saya langsung mau, soalnya tidak semua anak bisa masuk ke tempat Pak Herman. Katanya kalau sudah masuk di sana pasti jadi orang sukses karena Bapak itu baik, suka menolong. Anak-anak di tempat Pak Herman ini hampir semuanya anak kampung saya, memang ada juga anak dari lain desa tetapi hampir semuanya masih satu kecamatan dengan saya. Umur teman-teman saya ini hampir sebaya dengan saya, bahkan ada yang lebih muda lagi. Yang tertua di sini usianya sekitar 25 tahun. Memang Pak Herman ketat sekali dengan batasan usia itu. Kata orang-orang di kompleks tempat saya memang khusus untuk yang muda-muda, habis kalau yang tua sudah banyak sekali, susah saingannya kalau tidak ada anak-anak yang muda. Di wisma ini orang memang khusus 31
Bukan nama sebenarnya. 106
Perjalanan datang untuk begitu, soalnya di tempat kita tidak ada musik jadi tidak boleh joget atau disko. Pengunjung juga tidak boleh minum sampai mabuk. Dengan sendirinya kita juga tidak ikutikutan mabuk atau taping. Khusus untuk taping Pak Herman memang sangat ketat, kalau kita ketahuan pasti langsung dikeluarkan dari wismanya. Walaupun sangat ketat sebenarnya Pak Herman baik sekali orangnya asalkan kita menurut pada aturan yang sudah ditetapkan. Bapak juga rajin memeriksakan kesehatan kita sama dokter. Dia tidak pernah menyuruh kita periksa kesehatan massai -seperti yang beberapa kali terjadi- tetapi dia mendatangkan dokter sendiri. Kalau kita sakit dan kita tidak punya uang, Pak Herman tidak segan membantu kita. Apalagi kalau gituan mulai gatal dan panas, dia pasti menyuruh kita berobat secepatnya tanpa perlu memikirkan berapa biayanya. Buat bapak yang penting kita sembuh dulu. Bapak juga mengatur giliran kita boleh pulang kampung. Biasanya kalau kita sudah sebulan di sini kita dikasih libur seminggu di kampung. Yang penting wisma jangan kosong. Itu prinsipnya, nanti langganan kabur semua. Setelah saya pikir, sebenarnya pulang bergiliran itu ada enaknya juga karena uang yang kita bawa pasti lumayan besar. Buat saya peraturan itu tidak menjadi masalah sebab saya tidak begitu suka pulang kampung. Apa enaknya kalau kita di kampung tidak ada teman, karena temannya merantau semua. Lagi pula kalau di kampung kita tidak mendapatkan penghasilan. Selain itu bapak juga tidak memperbolehkan kita itu pergi main-main baik ke wisma lain ataupun ke luar daerah lokalisasi. Tetapi khusus untuk saya ada perkecualian, saya masih relatif bebas pergi kemana saja karena pacar saya seorang anggota ABRI sehingga pak Herman dan anak buahnya masih sungkan menegur. Saya sendiri juga malas ke mana-mana. Kalau siang saya lebih suka tidur atau istirahat saja biar malam harinya saya bisa fit dan bisa menyenangkan tamu. Kalau tamu senang tentu dia akan menean saya lagi kalau dia kembali ke wisma ini.
107
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih Walaupun sudah dua tahun bekerja, rumah saya belum bisa dibangun. Rumah ibu saya masih seperti dulu saat ditempati dengan bapak kandung saya. Rumah berukuran 5 x 7m2 itu masih berlantai peluran yang sudah bolong-bolong, atap yang belum diinternit, dengan pasak penyangga rumah yang sudah lapuk serta tembok rumah bebata setengah. Untuk memperoleh air juga masih sulit, karena pompa masih belum punya. Untuk masak, mandi, atau cuci dan kakus mereka harus menumpang di rumah tetangga yang berjarak 30 meter dari rumah. Di Wisma Daun Muda saya dapat bagian Rp 30.000,setiap mendapatkan seorang tamu, uang itu bersih milik saya. Keperluan yang lain seperti uang makan dan sewa kamar dipotong langsung dari tamu-tamu itu. Memang sebelum mengajak ngomar, tamu harus bayar dulu sama kasir, dari tamu saya hanya diberi uang tips saja, jika tidak mendapatkan tips barulah saya diberi uang jajan mingguan sama pak Herman. Uang hasil kerja saya baru diberikan jika ada keluarga saya yang datang ke Jakarta mengambil atau kalau saya pulang kampung.
I MAMPIR SEJENAK Menurut keterangan seorang informan, Emma sebenanya cukup laris di wisma Daun Muda tetapi karena ia harus membantu keluarga ibu dan juga ayahnya maka Emma tidak bisa menabung banyak. Hal ini dibenarkan oleh Ibu Sukinem, yang sering marah pada Emma jika Emma ketahuan memberi uang pada ayah kandungnya. Emma sendin mengakui bahwa ayah kandungnya seringkali datang ke tempat ra bekerja dan meminta uang padanya. Menurut Emma, uang itu digunakan untuk membantu membiayai sekolah adik-adik Emma yang dititipkan di tempat neneknya. Selain iu Emma juga jarang mendapatkan uang dari gendakannya yang seorang anggota ABRI, karena gaji anggota ABRI yang kecil tidak memungkinkan ia memberi uang banyak pada Emma.
108
Perjalanan Berikut penuturan Emma yang belum berkeinginan berhenti dan profesinya. '....Pacar saya yang ABRI itu masih bujangan loh dan baru berusia sekitar 23 atau 24 tahun, tapi kalau saya diminta menikah sama pacar saya itu, saya masih pikirpikir, habis...dia kan bukan orang kaya, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga saya di kampung. Makanya wataupun saya pacaran sama Mas Dedi, saya belum ada keinginan insyaf. Bapak, ibu saya dan Mas Dedi juga tidak keberatan kok!
I MAMPIR SEJENAK Ibu Sukinem mengatakan : (T^alau Emma mau insyaf hams puny a apa dulu bu....) Ya...maunya ada rumah ada tanah,..kalaupunya laki ...ya...yang banyak uangnya.. .istilahnya bos, juga disayang, jarang berantem Ibu Sukinem tidak perduli apakah suami Emma nanti sudah beristri atau belum yang penting sang suami harus sayang sama Emma dan keluarganya serta siap membantu jika keluarganya ada kesulitan. Sedangkan Emma tidak perduli siapa yang akan jadi suaminya yang penting ia sudah punya rumah, tanah dan sebagainya, katanya: "...Pokoknya kalau sudah berhasil, kalau sudah berhasit bisa can suami yang mana saja" Sekarang Emma sudah mempunyai tabungan berupa tanah seluas setengah bau, yang rencananya akan digarap oleh Ayah tin dan kakak Emma. Selama bekerja, Emma tidak pernah mengalami sakit kelamin seperti diderita oleh teman-temannya. Menurut Ibunya, Emma rajin minum air rehusan daun sirih sehrngga penyakit tidak ada yang mendatangi. Sedangkan untuk menjaga supaya tidak hamil, Emma minum p,l KB secara teratur. Menurut Ibu Sukinem, Emma tahu pil KB dan teman-temannya. Walaupun demikian Jika Emma akhirnya hamil juga Ibu Sukinem tidak akan keberatan, katanya:
109
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
"Ya...biarín aja, orang disini hamit uwur 12-13 tahua aja udah banyak, yangsudah buntingya...tidakapa-apa(T:Tapi kalau dia enggak ada lakinya gimana) Enggak apa-apa...kan banyak...gampang dipikirin kalau udah bunting aja". Selama ketja begini saya sudah punya tamu bermacammacam, baik sukunya maupun kewarganegaraan. Tetapi memang paling banyak orang Indonesia, apalagi di wisma im ada peraturan tidak boleh menampik tamu. Saya sudah pernah melayani baik orangtua maupun yang masih muda. Para tamu yang datang dipersilahkan memilih siapa yang akan melayam mereka, dan kita harus mau melayani mereka. Jika tidak mau biasanya kita akan kena omelan, bahkan ada pula yang dipukul, walaupun hal itu sangat jarang tejadi. Pemukulan bisa jadi merupakan alternatif terakhir, karena dengan dimarahi saja kita sudah sangat takut. Kalau ada anak yang tidak suka biasanya mereka langsung angkat kaki dari wisma, hal ini terjadi pada beberapa teman saya. Kalau saya selama ini tidak pernah menampik tamu, jadi tidak pernah diomeli. Lagipula orangtua saya sangat berharap saya tidak pergi dari wisma Daun Muda karena mereka merasa sangat berhutang budi pada pak Herman, karena senng membantu jika mereka membutuhkan uang. Mereka juga berharap saya bisa dekat dengan Pak Herman agar bisa utang bangun sehingga rumah mereka menjadi bagus, dan saya bisa mengajak Mas Dedi menginap di rumah. Astri32: Sudah Lumrah Jadi "Gituan" Ñama saya Astri. Saya baru 7 bulan berada di lokalisasi pelacuran di Jakarta ini. Tetapi saya sudah tahu dan melakukan pekerjaan ini sejak berusia 14 tahun kurang. Sebelum ke Jakarta ini, saya sudah sempat berada di Tanjung Pinang selama 6 bulan.
32
Ñama samaran 110
Perjalanan Saya berasal dari desa Bongas Japatan di daerah Indramayu. Orang tua saya petani yang tidak punya sawah, jadi bekerjanya hanya menjadi buruh di sawah orang saja. Saya anak sulung dari dua bersaudara, sedangkan yang nomor dua laki-laki usianya bam 6 tahun, namanya Anto33. Adik saya itu sudah sekolah kelas I, saya sayang sekali sama adik, walaupun bandelnya minta ampun. Kemarin waktu saya pulang dari kampung Anto minta dibelikan sepeda roda dua. Sayang saya sedang tidak punya uang, kalau punya pasti saya belikan. Saya sendiri putus sekolah di kelas IV SD karena orangtua tidak mampu membiayai lagi. Sewaktu usia saya 12 tahun saya mulai pacaran dan pada umur 13 tahun saya menikah dengan laki-laki pilihan orangtua saya. Baru menikah 3 bulan saya minta cerai, sebab suami saya pengangguran. Lagipula saya sebenarnya tidak cinta sama dia, jadi waktu bapak sama ibu saya menyuruh cerai saya mau saja. Sebagai buruh tani, bapak saya tidak selalu mendapat pebekerjaan. Kalaupun bekerja, penghasilan yang didapat ayah hanya berkisar Rp 7500-Rp 10.000,- sehari. Uang sebesar itu tentu pas-pasan, belum lagi kalau di kampung tidak ada pekerjaan sama sekali seperti dalam musim kering sekarang. Coba bayangkan, sehari ibu saya paling sedikit butuh uang sekitar Rp. 3.000,-, untuk beli minyak tanah, minyak sayur, beras sama lauk pauknya, sekitar Rp 500,- untuk jajan adik saya Anto, untuk rokok bapak juga butuh uang, kalau di hitung semua pengeluaran maka sehari bisa menghabiskan uang Rp 5.000,- atau lebih (kalau harus membeli pakaian, odol, keperluan sekolah, dan lain-lain). Walaupun banyak kebutuhan ibu selalu berusaha menabung. Jika ada rezeki atau tabungan sudah banyak, akan dibelikan perhiasan, biasanya gelang keroncong. Itu tabungan keluarga saya, sama seperti keluarga-keluarga lain di desa saya yang menabung dalam bentuk perhiasan. Tabungan itu sangat berguna terutama di musim paceklik seperti sekarang, gelang 33
Ñama samaran
111
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih dapat dijual buat makan. Masalahnya tabungan gelang ibu saya tidak pernah banyak. Maklumlah, buruh tani tidak selalu mendapat peketjaan, paling-paling hanya cukup buat makan selama menunggu musim tanam berikutnya. Yang selalu membingungkan ibu adalah kalau ada anaknya yang sakit, pasti tabungan itu yang dipakai atau kalau pacekliknya lama seperti sekarang, mau makan apa kita? Situasi seperti itu membuat saya punya pikiran untuk bekerja jadi gituaniA saja, soalnya sudah lumrah di kampung saya kalau ada anak gadis, janda ataupun ibu rumahtangga yang bekerja jadi gituan. Kalau ditanya bekerja di mana, dia bilang bekerja di Jakarta, tidak salah lagi pasti bekerja jadi gituan. Apalagi di kampung saya itu, ada seorang tetangga saya yang punya wisma di lokalisasi ini, selain mengajak anakanak kampung jadi pelacur, dia juga mengajak pemudanya untuk jadi bartender dan bujang di wismanya. Jadi walaupun bekerja di Jakarta, rasanya seperti di kampung sendiri, habis orang-orangnya kenal semua, tetangga semua di kampung. Jadi kalau ada apa-apa di sini, biasanya kabarnya cepat sampai di desa. Orangtua saya juga tidak keberatan saya bekerja jadi gituan apalagi saya sudah janda. Sudah lumrah, soalnya kalau saya tidak keluar dari kampung nanti dapat jodohnya juga orang kampung lagi, yang sama-sama miskin. Kalau saya bekerja jauh dari kampung, siapa tahu jodoh saya bagus. Apalagi kalau nasib saya mujur bisa digendakin bos yang kaya. Kalau tidak pun saya juga bisa cari uang sendiri. Pertama kali bekerja jadi gituan saya lakukan di Tanjung Pinang. Ceritanya waktu saya sudah cerai beberapa bulan sama suami saya, saya berkenalan dengan seorang laki-laki. Dia bukan orang kampung saya tetapi sering mampir. Saya tidak tahu apa pekerjaannya. Kenalan saya itu tanya sama saya, apa saya mau bekerja jadi gituan? Kata "gituan" sering digunakan untuk menyebut pelacur. Selain itu dikenal pula sebutan Telembuk. 112
Perjalanan Orang itu bilang begini "As mau enggak ikut saya...ada pekeijaan...di Tanjung Pinang". "Di mana ?" kata saya. "Jauh di sana" kata orang yang belakangan ternyata seorang cato itu. Pada mulanya saya tidak mau, tapi begitu si calo bilang, ada bibi saya di sana, saya akhirnya mau. Saya tabu apa pekerjaan yang ada di sana dan saya memang mau bekerja jadi gituan. Saya berangkat bersama 3 orang gadis yang lain. Ketiganya berasal dari desa yang berbeda-beda tetapi masih dan Indramayu. Usia mereka ada yang sama dengan saya, ada juga yang lebih tua. Kami semua naik kapal laut yang besar. Soalnya kalau ke Tanjung Pinang tidak bisa naik bis. Itu pertama kali saya naik kapal. Di Tanjung Pinang saya bekerja di sebuah lokalisasi kecil yang tidak resmi. Di sana ada sekitar 200 orang pelacur dari berbagai daerah. Usia mereka beragam dari mulai 14 tahun seperti saya sampai yang berusia di atas 30 tahun juga ada. Lokalisasi itu biasanya melayani tamu-tamu yang bekerja sebagai pelaut, selain pelaut lokal ada juga pelaut asing seperti dari Malaysia ataupun Thailand. Selama saya bekerja di sana setiap bulan saya bisa mengumpulkan uang Rp 1.000.000,- yang saya kirimkan ke kampung. Cara bekerja di sini sama di sana beda. Di Tanjung Pinang pakai sistem booking yaitu sudah ditentukan berdasarkan pemesanan tamu baik tempat dan lamanya waktu pemesanan. Biasanya kalau tamu mau sama kita, dia tinggal tunjuk terus bayar sama maminya sebesar Rp 90.000,-. Saya hanya diberi tips saja setelah melayani tamu itu. Uang dari tamunya itu dibagi antara saya, mami, dan perantara juga. Saya mendapat uang makan dan bagian dari sama sewa kamar yang langsung dipotong dari uang itu. Kira-kira saya dapat Rp 40.000,- per tamu. Memang itu sama dengan tarif di sini (Kramat Tunggak) tetapi kalau di sana tamu saya lebih banyak. Semalam saya
113
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih bisa dapat 3 sampai 4 tamu. LagipuLa tips dari tamu di Pinang jauh lebih besar di banding dari tamu di sini. Apalagi kalau tamunya pelaut asing, dia akan lebih royal memberi tips sama kita. Setelah enam bulan bekerja di Tanjung Pinang, saya rindu sama orangtua. Saya minta pulang sama mami di sana. Karena saya sudah tidak punya hutang sama mami, saya diperbolehkan pulang. Dua bulan di kampung, saya mulai bosan, untung salah seorang saudara saya ada yang mengajak saya bekerja di Jakarta. Saya pergi bersama dia ke lokalisasi ini, pada mulanya saya tinggal satu wisma dengan saudara saya itu, tetapi dua bulan kemudian saya keluar dan pindah ke wisma ini. Wisma yang saya tempati ini pemiliknya adalah tetangga saya di kampung yang saya ceritakan tadi. Jadi dia kenal betul dengan saya dan keluarga saya. Pernah mami saya itu cerita sama orangtua saya kalau saya lagi frustasi karena pacar saya main ke wisma lain, saya sempat menggores-gores lengan saya dengan silet sebagai pelampiasan rasa kesal. Bicara penghasilan, di wisma ini penghasilan saya sangat menurun di bandingkan dengan di Tanjung Pinang. Di sini saya hanya bisa menghasilkan Rp 500.000,- sebulan atau setengahnya dari penghasilan saya di Pinang. Tamu saya di sini termasuk sedikit, karena seminggu hanya dapat 4 atau paling banyak 7 orang tamu. Sebenarnya kalau semua tamu mau ngamctr^, penghasilan saya cukup besar karena sekab ngamar saya dapat Rp 50.000,-. Tapi karena kebanyakan hanya minta ditemani minum dan joget, maka saya hanya dapat uang tips saja, yang jumlahnya hanya Rp 10.000, Rp 30.000,- saja per tamu. Selain tamu biasa, saya juga punya tamu langganan, kita disini bilang kenalan. Kalau sama kenalan lebih repot lagi, soalnya kadang-kadang mereka tidak punya uang banyak tapi ngajak ngamar. Karena sudah kenal dan sudah akrab mau tidak 35
Meminta pelayanan seksual 114
Perjalanan mau kita layanin juga. Seperti kejadian kemarin, ada kenalan saya yang datang dari sore, sejak datang dia terus mengajak minum sampai kita mabuk. Setelah itu dia minta ngamar dan hanya membayar Rp 40.000,- saja. Setelah dia pulang saya sudah tidak sanggup cari tamu lain soalnya saya sudah teler berat karena kebanyakan minum. Mami saya biasanya saya titipi uang untuk orangtua saya di kampung, sebab mami saya itu setiap minggu pasti pulang kampung. Kalau saya tidak bisa seenaknya saja pulang, harus giliran agar wisma ini tidak kosong. Biasanya saya pulang sebulan sekali, itupun harus dengan persetujuan mami dulu. Rute saya kalau pulang ke rumah lewat Cilincing-Cakung-Legok terus sampai kampung saya. Biasanya saya pulang sendiri saja tetapi kadangkala sama teman yang searah ataupun juga sama saudara saya kalau kebetulan ia mau pulang juga. Di kampung saya malas lama-lama, paling lama dua minggu. Setelah itu saya ke sini lagi. Saya memang tidak betah di kampung, habis sepi sekali, jarang ada teman sebaya saya, semua pada pergi ke Jakarta. Mau nonton TV saja harus ke rumah tetangga. Memang lebih enak di Jakarta atau di Pinang, selain ramai dan banyak hiburan saya juga bisa dapat uang. Saya sebenarnya tidak betah di wisma ini, tetapi apa boleh buat saya harus tetap di sini sampai "hutang" saya sama mami lunas. Setelah hutang itu lunas saya akan kembali ke Tanjung Pinang, karena penghasilan saya lebih besar di sana. Kalau saya di sini saja kapan saya mau punya rumah yang bagus, sawah yang lúas, dan barang-barang lain yang bagusbagus yang saya maui? Sekarang saja saya sedang bingung karena orangtua saya mau menyewa tanah dari tetangga tetapi uangnya sampai sekarang belum ada. Saya tidak mau hutang lagi sama mami saya, soalnya saya tidak boleh pergi dari wisma ini kalau belum bayar utang saya. Selama bekerja jadi gituan rasanya saya belum pernah kena penyakit, paling pusing sama masuk angin saja. Biasanya sembuh kalau saya minum obatatau di kerik. Saya juga jarang
115
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih dapat tamu yang suka pakai kondom, kebanyakan tamu tidak mau memakai kondom. Untuk mencegah penyakit saya suka membersihkan bagian itu dengan sabun dan saya suka minum jamu juga. Supaya tidak hamil saya minum pil KB setiap hari. Saya juga tidak pakai operasi plastik, soalnya banyak langganan saya di Tanjung Pinang yang bilang saya cantik, jadi buat apa pakai operasi atau suntik segala? Saya juga tidak mau sampai tua bekerja begini. Saya mau menikah dan punya anak, tetapi rasanya tidak akan insyaf sekarang, soalnya belum punya apa-apa. Hasil bekerja selama ini selain untuk makan dan biaya sekolah adik saya, baru bisa untuk menembok rumah di kampung. Rencana saya setelah menembok, saya mau membangun bagian lain dari rumah saya. Setelah itu akan saya isi dengan barang-barang dan baru kemudian beli sawah. Selama belum bisa membeli sawah, rencananya mau menyewa saja dulu. Untuk itu dibutuhkan sekitar 2 juta-an setahun. Nanti kalau ada rejeki lagi saya mau menggadai saja. Memang uang yang dibutuhkan jauh lebih besar yaitu sekitar 4-6 juta rupiah sebahu per tahun, tetapi kalau menggadai kita akan untung karena selain dapat padi uang kita juga kembali. Ati36: Untuk Bayar Hutang Ayah Ñama saya Ati, anak pertama dari dua bersaudara. Saya berasal dari desa Bongas Pentil dan tinggal di sana bersama ayah dan ibu serta seorang adik. Selain keluarga saya, ada juga beberapa saudara dari ibu dan bapak yang tinggal di desa. Kalau boleh dibilang keluarga besar kami ada di desa Bongas. Adik saya bernama Ari37 sekarang duduk dikelas II SLIP. Saya sering iri juga pada adik saya itu sebab ia bisa sekolah sampai SLIP sedangkan saya hanya lulusan SO. Walaupun begitu saya sangat sayang pada Ari dan yang membiayai sekolahnya sampai saat ini adalah saya. Ñama samaran Ñama samaran 116
Perjalanan Saya sudah 3 tahun bekerja sebagai pelacur. Saya pernah bekerja di Mangga Besar, Boker dan terakhir di lokalisasi ini. Bermula dari keterpaksaan kini saya melihat menjadi pelacur adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan biaya baik bagi pendidikan adik ataupun juga untuk membiayai kehidupan keluarga saya.
I MAMPIR SEJENAK Pada awalnya ia amat pendiam dan terkesan menjauh, karenanya dirasa perlu minta bantuan seorang temannya yang berprofesi sama dan kenal dekat dengan peneliti untuk menemani ngobrol. Selain itu peneliti juga berusaha mengenal keluarga Ati di kampung pada saat mencari data di daerah asal. Sewaktu bertemu Ati di Jakarta peneliti selalu membuka obrolan dengan membicarakan kampung halamannya. Strategi ini efektif sebab Ati kemudian menganggap peneliti juga sebagai temannya dan membuat proses penelitian berjalan cukup lancar. Selain dengan Ati, peneliti juga berkesempatan ngobrol dengan ayah, ibu dan adiknya di kampung asal Ati. Sedikit pengamatan juga dilakukan baik di kamar tempat Ati berpraktek serta rumahnya di kampung.
Ati sendiri berperawakan kurus, berkulit hitam ("kata orang soya hitam mams toh, katanya). Tingginya mungkin hanya 150 cm saja. Umurnya yang palsu 17 tahun, tetapi? "saya baru 15 kurang kok mbak" ia mengaku. Setiap bertemu dengan Ati ingatan yang sangat kuat melekat adalah kemurungan dan kepucatan wajahnya. la salalu mengatakan sedang sakit, bahkan pernah tidak sanggup bangun dari tempat tidur selama dua hari. Ayah dan ibu saya menikah pada tahun 1981, setahun kemudian saya lahir dan dua tahun kemudian Ari. Saya paling suka masa-masa waktu kecil bermain dengan teman-teman saya
117
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
seperti Susi, Emma, Dewi, Yanti38 dan lain-lain, tidak perlu memikirkan macam-macam sampai pusing kepala seperti sekarang ini. Waktu kecil dulu saya bercita-cita menjadi Ibu rumahtangga, seperti Ibu saya. Mungkin karena dulu, waktu saya kecil, belum ada TV sehingga tahunya hanya jadi petani atau jadi Ibu rumah tangga. Berbeda dengan adik saya Ari, cita-citanya mau menjadi bidan, atau teman yang lain yang mempunyai cita-cita menjadi polwan, suster ataupun menjadi pram jgari.
I MAMPIR SEJENAK Perkembangan cita-cita ini agaknya ditunjang oleh masuknya listrik ke kampung tersebut, dari pengamatan sepintas terlihat TV juga telah menjadi kebutuhan masyarakat. Salah seorang informan yang bercita-cita menjadi pramugari mengatakan ia mengetahui tentang profesi pramugari ini dari TV, walaupun tidak tabu pekerjaannya apa - pokoknya "seperti di TV mas" (M). Memang, jika kita pergi ke kampung Ati sekarang, kampung tersebut sudah terang benderang. Setiap sudut kampung diterangi oleh lampu listrik. Namun Ati mengatakan listrik masuk desa baru ada sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu. Hal ini dikuatkan oleh seorang informan yang pebekerjaannya sebagai calo, katanya "....kalau tidak salah dulu saya pertama di daerah Haurgeulis, daerahnya masih gelap kalau malam, belum masuk listrik, kalau sekarang mah...enak udah i:erong"(Hengky)39.
Ayah saya sebenarnya baik tetapi dia suka mabuk dan juga suka main perempuan, walaupun begitu ayah saya tidak pernah menikahi wanita yang dikencaninya. Kata ibu saya kalau laki-laki main perempuan lagi itu biasa. Ibu juga tidak
Semua ñama samaran Seorang calo
118
Perjalanan pernah melihat dengan mata kepala sendiri kalau ayah main perempuan, dia hanya mendengar dan tetangga jika suaminya main perempuan. Makanya ibu saya masa bodoh saja. Untuk menghidupi kami sekeluarga, ayah saya berdagang di pasar, la juga menjadi calo untuk berbagai macam barang seperti traktor tangan, sepeda motor dan sebagainya. Tetapi uangnya selalu habis di meja judi karenanya anak dan istrinya selalu disuruh hutang. Yang lebih parah ayah saya mulai menghabiskan modal berdagangnya dan ia juga mulai malas berdagang. Sehari-hari pekerjaannya selalu nongkrong di kalangan''0 bersama anak-anak muda di kampung. la juga mulai ikut serta dengan kelompok preman desa yang mala^para germo serta gendakan yang datang ke kampung itu.
I MAMPIR SEJENAK Dalam satu kesempatan bertemu dengan Ayah Ati, peneliti mencium bau alkohol yang menyengat. Gaya bicara dan gerak-geriknya memperlihatkan bahwa beliau masih sangat dipengaruhi alkohol, padahal pertemuan itu kami lakukan pagi hari. Ibu Ati, kelihatannya sangat takut pada suaminya, hal itu terlihat sekali saat kami ngobrol bersama. Setiap ia akan bicara selalu dipotong dan tidak diberi kesempatan bicara oleh suaminya.
Belakangan saya baru tahu ayah saya juga punya hutang pada seseorang untuk memuaskan nafsu berjudinya. Hutang itu menurut ukuran di kampung cukup besar, sampai-sampai saya kaget sekali. Pada suatu hari rumah kami di datangi seseorang yang menanyakan apakah ayah saya ada di rumah. Karena ayah tidak ada, saya tanyakan apakah keperluannya. Orang itu hanya berpesan agar ayah saya membayar hutangnya. Ketika ayah saya datang, saya katakan apa yang dipesankan orang itu. Ayah saya kelihatan agak takut dan tidak banyak 40 41
Tempat bermain judi Meminta uang secara paksa
119
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih korr.erua*, ./va sendiri juga tidak terlalu mengurus hal itu. Ternyata kemudian silih berganti orang datang untuk menagih hutang pada ayah saya, ayah saya jarang sekali mau menemui mereka, kalaupun ia bertemu mereka ia hanya menjanjikan akan membayar secepatnya. Tetapi mau bayar dengan apa? Saya tahu ayah saya tidak bekerja. Sampai pada suatu hari, ada yang datang dengan membawa tentara dan memaksa menemui ayah saya. Katanya kalau ayah saya tidak mau bayar hutang, dia akan Lapor pada polisi biar ayah saya dipenjara. Saya, ibu saya dan adik saya juga mendengar ancaman itu, kami sungguh takut sekali. Apalagi ayah saya, dia sampai menangis karena takut. Kami akhirnya ikut juga menangis42. Semalaman saya menangis. Saya bukan memikirkan nasib ayah saya, yang saya pikirkan ibu dan adik saya. Bagaimana kehidupan kami nantinya? Terus terang saya benar-benar marah pada ayah saya, tapi saya juga kasihan sama dia. Selama beberapa hari saya diam saja, saya juga tidak mau berbicara dengan ayah saya. Sebenarnya saya sudah punya rencana bagaimana keluar dari masalah ini, tetapi saya mesti pikirkan lagi baik-baik. Akhirnya saya putuskan akan bekerja menjadi pelacur saja, toh banyak teman saya, tetangga bahkan saudara saya yang bekerja menjadi pelacur, mengapa saya tidak? Setelah bulat tekad saya bilang sama bapak saya keputusan itu. Bapak saya mulanya tidak mau43 tetapi akhirnya ia merestui juga saya bekerja jadi pelacur. Ibu saya tidak berani melarang karena takut ayah marah. Menurut ibu, keluarga besar dari pihaknya tidak ada yang bekerja sebagai pelacur. Meskipun demikian, beberapa orang dari keluarga bapak saya ada yang bekerja sebagai pelacur. Ibu percaya pekerjaan itu diturunkan « "
Sewaktu mencentakan hal im ia menangis tersedu-sedu, padahal kejadian tersebat sudah cukup lama berselang Dari keterangan retangga-tetangga Ati, team peneliti mendapatkan kenvata-m bahwa walaupun ayahnya tidak memaksa tetapi ide agar Ati menjad. pelatur sedikit banyak datang dari ayahnya, bahkan 'ya1' va nula yai.ç, menghubungi seorang calo dari desa Gabus Wetan yann me rurus keberangkatan Ati ke Jakarta.
120
Perjalanan secara turun temurun. Jika sudah ada dalam garis keluarga, maka tidak bisa ditolak lagi. Karena itu ia menerima saja saat saya mau bekerja sebagai pelacur. Saya diantar Pak Rahmat44 ke Jakarta ke tempat Mami Yenni45. Di sana saya melihat sudah banyak juga anak-anak sebaya saya, ada juga yang lebih tua. Saya sampai di sana sudah agak sore, rupanya banyak yang akan berangkat beketja. Dandanan mereka bagus-bagus, baik bajunya, sepatu, asesoris sampai kosmetiknya. Malam itu saya disuruh istirahat dulu. Ada juga beberapa orang yang tidak pergi bekerja karena ia sedang menstruasi. Saya berkenalan dengan mereka, walaupun baru kenal saya merasa akrab karena mereka memakai bahasa yang sama dengan saya. Begitu saya tanya asal mereka, ternyata mereka hampir semuanya berasal dari daerah Indramayu, bahkan ada juga teman sekampung saya. Saya mulai bekerja di diskotik keesokan harinya, sebelumnya saya diberi baju dan peralatan kosmetik seperti lipstik, foundation dan bedak. Pertama masuk diskotik saya agak bingung, maklum orang kampung melihat sesuatu yang baru dan aneh pula. Teman-teman yang lain sudah menyebar menean tamu, karena bingung saya ikut salah seorang teman baru saya duduk di sebuah bangku. Pelanggan pertama saya seorang bapak muda yang usianya sekitar 40 atau 45 tahun. Saya diajak ke hotel. Di sana saya pertama kali di ajak hubungan badan. Walaupun bapak itu baik tetapi saya tetap kesakitan. Katanya saya dibayar Rp 800.000,-, tapi saya tidak tahu, soalnya uangnya sama Mami Yenni dan katanya langsung di benkan kepada Pak Rahmat yang menyampaikan kepada aya h saya. Sampai sekitar sebulan saya masih sering kesakitan kalau diajak hubungan seks, tapi lama kelamaan saya sudah biasa saja. Kadang-kadang enak tapi kadang tidak juga apalagi kalau kita sedang kecapaian, makin tidak enak saja rasanya.
Ñama samaran Ñama samaran
121
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
I MAMPIR SEJENAK Menurut beberapa orang informan, utang ayah Ati sebenarnya sudah lunas saat ia mengirim anaknya ke Jakarta, karena calo yang dimintai tolong membawa Ati sudah melunasi hutang itu. Ati sebenarnya membayar hutang pada calo itu bukan pada debitur sebelumnya. Sebenarnya hal ini biasa terjadi, seorang informan menjelaskan anak-anak perawan itu sebelumnya sudah diintai, terlebih lagi jika orangtuanya punya hutang banyak. Ayahnya sudah ditempel terus-menerus dan dipengaruhi sehingga luluh, ada kemungkinan gertakan yang dilakukan debiturnya juga bekerjasama antara calo dengan sang debitur. Walaupun hal ini hanya dikatakan oleh seorang informan saja, baik orangtua Ati maupun Ati tidak mau membenarkan atau menolak hal ini.
Saya tidak tahan lama bekerja di diskotik, sebab temanteman saya banyak yang sombong. Apalagi saya tidak secantik teman-teman yang lain, sehingga tamu saya makin sedikit. Selama di diskotik saya punya pacar. Dia pengangguran tapi kadang-kadang diajak bekerja sama orang atau sama kakaknya. Saya cinta sekali sama pacar saya itu. Pacar saya mengajak saya ke tempat lain di Jakarta juga saya mau dan kami pergi selama dua bulan. Selama itu saya tetap bekerja sebagai pelacur. Uang penghasilan tidak saya kirimkan ke kampung tetapi saya pergunakan untuk hidup dengan pacar saya itu. Lama-kelamaan ayah saya bisa menemukan saya, dia marah sekali. Saya disuruh pulang, pacar saya juga diajak pulang. Kami disuruh menikah tetapi begitu tahu pacar saya penganggur, bapak saya membatalkannya. Akhirnya pacar saya pulang dan saya ditinggal di kampung.
122
Perjalanan I MAMPIR SEJENAK Ati kabur ke Broker, sebuah lokalisasi tidak resmi di Jakarta Timur. Seorang informan mengatakan bahwa Ati sebenarnya kabur karena ia tidak tahan dirongrong ayahnya terus-menerus akhirnya ia kabur dari diskotik itu. Sering ayahnya seminggu sekali datang ke tempat Ati bekerja dan minta uang. Jika Ati tidak punya duit ayahnya meminjam pada germo. Tidak kuat diperlakukan demikian Ati kabur ke Boker bersama pacarnya, ia menghitang selama dua bulan. Selama itu kehidupan keluarga mereka kembali kesulitan, baru setelah Ati ditemukan dan ayahnya berjanji tidak meminta uang terus menerus Ati mau kembali ke kampung.
Dua bulan di kampung saya bosan, apalagi bapak saya masih seperti dulu, suka mabuk dan judi. Makanya sewaktu Pak Herman datang dan menawarkan saya bekerja di tempat dia, saya mau saja. Daripada saya di rumah, tidak punya uang dan dengar bapak saya marah-marah terus lebih baik saya di Jakarta saja. Di wisma tempat Pak Herman banyak teman-teman sebaya saya, ada juga yang lebih muda tapi yang paling tua umurnya hanya sekitar 25 tahun tidak ada yang lebih tua lagi. Memang sepanjang saya bekerja di wisma ini, belum pernah saya lihat ada yang usianya 30 tahun. Kata orang-orang wisma ini khusus untuk yang muda-muda saja. S1 stem pembayaran di wisma ini adalah tamu langsung bayar pada kasir di depan. Jadi kita tidak di bayar lagi, tetapi biasanya tamu suka memberi tips, besarnya tips itu berbeda tergantung kebaikan hati tamu. Untuk setiap tamu saya dikasih sebesar Rp 30.000,-, tetapi tamu bayar ke kasir sebesar Rp 40.000,- a tau Rp 50.000,- saya tidak tahu persis. Selisih antara yang saya terima dan pembayaran tamu adalah milik pak Herman sebagian dan sebagian lagi dipakai saya untuk makan sehan-han. Penghasilan saya itu tidak saya terima setiap hari, tetapi dikumpulkan di Pak Herman, kalau orangtua saya datang,' biasanya seminggu atau dua minggu sekali baru dikasihkan
123
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih sama mereka. Besarnya antara Rp 100.000,- sampai Rp 150.000,- kalau dihitung-hitung penghasilan saya selama di wisma Daun muda dapat dikatakan tidak banyak, soalnya saya selalu kalah bersaing dengan teman-teman. Mereka itu putihputih dan cantik-cantik. Pak Herman kemudian menawarkan untuk operasi hidung agar wajah saya tambah cantik. Saya setuju saja dan untuk keperluan operasi ini saya kemudian hutang sebesar 1, 4 juta rupiah pada Pak Herman. Memang semenjak operasi hidung, saya mulai dapat tamu cukup banyak sehingga bisa membayar hutang dan memberikan uang sebesar Rp 500.000 atau Rp 600.000,- per bulan pada orangtua saya. Setelah hutang operasi lunas, ayah saya minta sama saya untuk hutang sepeda motor pada Pak Herman. Sepeda motor itu akan digunakan untuk mengojek. Saya setuju saja, karena dengan mengojek ayah saya akan dapat penghasilan sendiri sehingga saya tidak terlalu merasa di desak mencari uang. Sampai saat ini, hutang motor itu baru terbayar setengah (sekitar 3 juta) makanya saya tidak berani mengusulkan utang bangun rumah sama Pak Herman. Selama ini pelanggan saya kebanyakan pelanggan lokal, saya jarang mendapatkan pelanggan asing, namun beberapa teman saya ada yang mendapatkan pelanggan asing seperti Yanti. Tapi saya pernah dapat tamu orang Arab, saya benarbenar kesakitan waktu diajak hubungan seks, habis barangnya besar sekali, lagi pula lama sekali dia ngeweknya. Tapi saya tidak berani menolak atau menangis kencang-kencang karena di wisma ini ada peraturan harus melayani tamu dengan bark dan tidak boleh menolak tamu yang sudah memilih kita. Untungnya saya tidak sering dapat tamu yang seperti itu. Saya pernah kena penyakit gatal-gatal di kemaluan saya, tetapi kata dokter bukan penyakit yang berbahaya, saya cuma di kasih obatdan setelah minum obatitu, penyakit saya sembuh. Untuk menghindari kena penyakit itu lagi saya rajin membersihkan kemaluan saya dengan cairan pembersih, saya sekarang pakai wims. Tamu saya jarang yang mau pakai kondom, saya sendin kalau ditanya mau apa tidak pakai kondom, saya akan bilang
124
Perjolancm tidak mau, soalnya kalau pakai kondom sakit sekali, suka-suka juga lama ngeweknya. Untuk menghindari supaya tidak hamil, saya suntik KB saja sama mantri di desa saya tiga bulan sekali. Saya cocok dengan metode KB itu soalnya tidak bikin saya gemuk dan tidak perlu dilakukan setiap hari seperti kalau minum pi I KB. Saya memang sangat ngeri kalau sampai hamil karena selain biayanya sangat besar saya sangsi apakah orangtua akan menerima anak tersebut. Saya memang tidak mau bekerja begini terus-menerus. Kalau saya sudah bisa beli sawah dan bangun rumah, saya mau berhenti dan mau tinggal di rumah menggarap sawah. Kalau ada yang mau saya juga mau menikah, kan saya sudah punya modal buat hidup. Mini46: Karena Did pu Mini (15 tahun) adalah salah seorang pelacur anak yang bekerja di kompleks lokalisasi Jarak. Mini dilahirkan 15 tahun silam di Desa Bodang, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang. Sebagai anak paling tua pasangan keluarga bapak Sukir dan ibu Sayuti, Mini mempunyai dua adik yang semuanya laki-laki, satu bernama Samin dan Jeki yang terkecil. Sejak kecil Mini tumbuh dan tinggal di desa Bodang dengan diasuh oleh kedua orangtuanya. Sebagai anak desa yang memang hanya mengenal kesederhanaan di berbagai sisi kehidupan, sedan kecil Mini tidak pernah punya angan-angan muluk berkaitan dengan macam apa kehidupan yang didambakan kelak. Mini tidak pernah membayangkan kelak ingin menjadi apa atau semacamnya. Bagi dia, kehidupan akan mengalir seperti air, dan ia cenderung hanya mengikuti arus. Sebagai anak seorang petani gurem, setelah lulus dan SD di desa Bodang tahun 1994, Mini kurang punya kesempatan untuk melanjutkan sekolah di SMP. Selain penghasilan yang didapatkan dari sektor pertanian memang pas-pasan untuk Ñama samaran
125
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih menopang kehidupan keluarga, kedua orangtua Mini tampaknya juga kurang memahami apa pentingnya sekolah bagi anaknya di kemudian hari. Di Desa Bodang, anak putus sekolah atau sekolah maksimal hanya di jenjang SD adalah hal yang biasa, dan apa yang dialami Mini bukanlah hal yang terlalu merisaukan. Sebagai anak yang tertua, kewajiban Mini bukan saja harus membantu orang tua melakukan pekerjaan domestik, melainkan juga ia memiliki fungsi sebagai salah satu pencari tambaban nafkah bagi keluarga. Bahwa Mini terpaksa harus putus sekolah sampai SD saja sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan orangtua Mini. Banyak faktor yang menjadi kendala bagi anak-anak Bodang seusia Mini untuk bisa mengenyam pendidikan di atas jenjang SD. Saatini saja SMP paling dekatdengan desa Bodang jaraknya masih 9 kilometer, yaitu SMP 2 Sukodono. Itupun belum ada waktu Mini lulus SD tahun 1994 lalu. Kalau ada anak desa setempat yang hendak melanjutkan ke SMP, mereka harus ke kota Lumajang sebagai alternatif terdekat. Padahaljarak antara Bodang dengan kota Lumajang masih sekitar 20 kilometer. Keadaan ini memaksa pengeluaran biaya yang tidak sedikit bagi orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya selepas SD. Akibatnya hanya orang-orang tertentu saja yang berusaha dan memang mampu menyekolahkan anak-anaknya ke Lumajang. Mereka umumnya adalah petani kaya atau anak-anak para pamong desa yang secara ekonomi cukup kuat. Sejak lulus SD tahun 1994, kegiatan sehari-hari Mini hanya membantu ibunya di rumah seperti: memandikan adiknya Jeki, antri mengambil air bersih, memasak, dan lainlain. Sebagai anak perempuan desa. Mini memang tidak bisa lepas dari peran dan kewajiban gender yang dibentuk lingkungan di sekitarnya. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih banyak diberi peluang bergerak di luar rumah, Mini menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, membantu ibu. Karena merasa tidak ada kegiatan selain hanya berkutat dengan kehidupan keluarga yang begitu-begitu saja, Mini
126
Perjalanan suatu saat akhirnya bertekad untuk keluar dan rumah menean suasana baru. Kebetulan ada seorang yang menawarinya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya dengan gaji lumayan. Bagi Mini itu merupakan angin segar untuk mewujudkan keinginannya keluar dan suasana keluarga yang dinilai terlalu monoton dan kondisi kesempatan kerja di Desa Bodang yang dipandang kurang prospektif. Apalagi kedua orangtua juga mendukung dengan tawaran itu. Awal April 1997 merupakan lembaran baru bagi kehidupan Mini. Berbekal angan-angan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji sekitar 70 ribu rupiah per bulan. Mini berangkat ke Surabaya diantar calo yang menawarinya bekerja. Sesampai di Surabaya, Mini diantarkan ke sebuah keluarga di Kedung Anyar, Surabaya, dan sepertinya Mini memang akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Anehnya di keluarga itu Mini tidak diperlakukan layaknya sebagai seorang pembantu. Setiap hari dia hampir tidak pernah disuruh bekerja, tapi justru diberi makan enak-enak, dibelikan pakaian, bebas menggunakan fasilitas hiburan seperti TV dan lain-lain. Keadaan ini membuat dia penasaran dan sekaligus merasa tidak enak, ingin membantu pekerjaan ini tidak boleh, itu tidak boleh. Rasa penasaran Mini tak lama kemudian terjawab juga, setelah akhirnya diberi penjelasan kalau tempat kerja sebenarnya itu tidak di rumah itu, yang notabene sesungguhnya adalah rumah keluarga germo "Group Kalimantan" pemilik tiga wisma di Jalan Jarak. Jaman sekarang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu kurang banyak menghasilkan uang dan tidak ada gengsinya. Untuk itu dia akan diberi pekerjaan lebih baik dengan penghasilan yang lebih baik pula, begitu kurang lebih kata mereka. Setelah seminggu di rumah germo itu, tibalah saatnya dia diantar ke tempat kerja baru, yang ternyata adalah sebuah panti pijat dan sekaligus pelacuran. Pada awalnya Mini sangat tersen tak setelah mengetahui macam apa lapangan kerja yang akan ditekuninya. Bahkan sempat juga Mini minta untuk
127
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih diantarkan pulang saja, tetapi permintaannya itu tidak bisa dikabulkan dengan berbagai alasan. Menurut mereka Mini telah terlanjur dibeli dari makelar. Kalau mau keluar dan kembali ke desa asalnya. Mini harus mengembalikan uang itu. Tentu saja mengembalikan uang merupakan hal yang tak mungkin dilakukannya saat itu. Apalagi berada di kota Surabaya bagi Mini waktu itu tidak ada bedanya dibandingkan kalau sedang tersesat di rimba belantara. Bisa dibayangkan apa yang dapat dilakukan Mini sebagai seorang gadis ingusan yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar seperti Surabaya. Keadaan waktu itu benar-benar tidak memberinya pilihan lain bagi Mini, selain untuk tetap mematuhi pekerjaan apa saja yang dikehendaki untuknya. Mulai saat itu Mini disediakan satu kamar pribadi yang sekaligus juga sebagai tempat praktek setiap menerima tamu. Mini juga diberi penjelasan, kalau semua kebutuhan makan minum dicukupi, tetapi harus bisa mencari uang sendiri, mengingat tidak ada gaji setiap bulannya. Mini juga diberitahu, sekali menerima tamu akan mendapatkan bagian Rp 2.S00,- dan itulah yang harus dikumpulkannya sebagai gaji. Tibalah saatnya bagi Mini untuk bersosialisasi dengan 12 teman barunya, para pekerja seks komersial yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Untungnya dia diterima dan diperlakukan dengan baik oleh teman-teman yang rata-rata lebih tua darinya. Perhatian Bos pun terlihat simpatik terhadap semua anak buah termasuk dirinya. Suasana ini membuat Mini kerasan dan cepat bisa menyesuaikan diri dengan duma barunya. Mula-mula -menurut penuturan Mini- dia hanya mau sebatas memberikan pelayanan pijat kepada pengunjung yang datang. Tetapi karena niat pengunjung datang ke tempat itu memang tidak untuk pijat, melainkan mencari pasangan kencan, mereka kebanyakan tidak mau dengan pelayanan Mini yang hanya pijat saja. Selanjutnya mereka membatalkan dan pindah pada rekan Mini lain yang mau diajak main seks.
128
Perjalanan Dengan tidak adanya tamu yang mau terhadap pelayanannya, berarti tidak ada pula uang yang bisa diperoleh. Keadaan ini membuat Mini harus berpikir dua kali, mau tetap menjaga kehormatan teta pi tidak punya penghasilan dan selalu mendapat marah Bos, atau terpaksa menyerahkan darah perawannya dan melacurkan diri seperti teman-teman senasibnya untuk bisa lepas dari tekanan keuangan dan Bos. Bersamaan dengan itu Mini mulai akrab dengan seorang pemuda yang selalu berusaha mendekati dia. Remuda ini akhirnya menjadi pacar Mini, dan pemuda ini pula yang berhasil mendapatkan darah perawannya di kemudian hari. Mulanya Mini sebenarnya ingin bertahan dengan keadaannya yang masih perawan, dan hanya memberikan pelayanan pijit saja. Bagaimanapun sisa-sisa nilai moral yang ditanamkan dan diperolehnya selama hidup di desa masih lamat-lamat dipegangnya. Tetapi karena pacarnya selalu mendesak, apalagi kondisi pekerjaan juga menuntut dia untuk memberikan pelayanan seksual, akhirnya dengan diiringi perasaan berdosa yang begitu dalam. Mini memutuskan mengawali pengalaman seksualnya. Waktu di desa Bodang dulu Mini memang pernah menjalin cinta monyet dengan seorang remaja tetangganya, tetapi kegiatan pacaran mereka belum pernah sampai menjurus ke aktivitas seksual. Bahkan, jangankan berciuman, berjalan bergandengan tangan pun Mini nyaris tidak pernah melakukannya. Di kompleks lokalisasi, rasa berdosa, rasa bersalah dan rasa malu Mini pelan-pelan memang memudar karena lingkungan di sekitarnya menjadi pembanding sekaligus referensi baru yang mampu menutupi semua nilai moral yang diketahuinya dulu. Berbekal pengalaman seks dengan pacar barunya ini, keberaman Mini untuk melayani tamu menjadi selangkah lebih maju. Terhadap tamu-tamu tertentu yang sekiranya berkenan di hati, Mini mau melayani apa pun yang menjadi permintaannya. Penghasilan pun sedikit demi sedikit mulai meningkat sejalan dengan meningkatnya keberanian dalam
129
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih melayani tamu. Walaupun demikian, keberanian Mini masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan rekan-rekan lain. Mini masih sering menolak tamu yang ingin mengajaknya berhubungan seks, sementara itu rekan lain sudah perpegang pada prinsip "tamu berarti uang", jadi jangan sampai pernah menolak tamu walaupun minta pelayanan macam-macam. Hari berganti hari, tanpa terasa Mini telah merasakan kehidupan di jalan Jarak lebih dari tiga bulan. Waktu yang sebenarnya tidak terlalu lama itu, pelan-pelan telah mampu merubah sosok Mini dan gadis lugu menjadi seorang remaja yang atraktif, bahkan termasuk menor. Sekarang Mini telah pandai menggunakan make-up yang dulu relatif belum dikenalnya. Membeli pakaian serta aksesoris lain untuk mempercantik penampilan, sekarang juga sudah menjadi tuntutan bak kebutuhan makan minum saja. Mini sekarang merasa sudah menjadi bagian dari kehidupan metropolis. Paling tidak itu akan ditunjukkannya pada saat-saat pulang ke Bodang kampung halamannya. Dua bulan atau kadang satu bulan sekali. Mini menyempatkan pulang menjenguk orangtua dan adik-adiknya. Dengan membawa Rp 100.000,- atau Rp 200.000,- dan diberikan kepada orangtuanya. Mini seolah-olah merasa sudah menunjukkan dirinya sebagai anak yang berbakti. Keinginan untuk bisa berbakti kepada orangtua ini memang sudah menjadi cita-cita sederhana yang digenggamnya sejak kecil. Sekarang dia sudah punya penghasilan sendiri, dan jumlah itu tidak sedikit bagi bocah yang belum pernah membayangkan bisa bekerja dan memperoleh penghasilan sendiri itu. Apalagi di desa seperti Bodang, mana mungkin bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan sebanyak itu. Sekarang Mini juga sudah mulai memberikan penilaian dan membandingbandingkan antara desanya dengan kota. Menurutnya hidup di kota relatif lebih mudah untuk mencari uang dibandingkan di desa. Kalau disuruh memilih pun, sebenarnya lebih senang hidup di kota asalkan tidak bekerja di tempat pelacuran seperti ini. 130
Perjalanan Sampai sejauh ini belum seorang pun di desa asalnya tahu apa sebenarnya yang dlakukan Mini di Surabaya, termasuk juga kedua orangtuanya. Sepengetahuan mereka Mini bekerja sebagai pembantu rumahtangga, dan kebetulan mendapatkan majikan baik hati, yang mau memberikan bonus-bonus dan membelikan pakaian walaupun bukan han raya. Bagi Mini apa yang dilakukan selama ini merupakan rahasia besar, dan tak seorang pun (terutama keluarganya) boleh tahu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau keluarganya sampai tahu bahwa sebenarnya dia adalah seorang pelacur. Saat ini Mini sepertinya tidak punya pilihan lain selain harus tetap menekuni pekerjaan sebagai pelacur. Sebenarnya apa yang dilakukannya selama ini sangat bertentangan dengan kemauan dan nuraninya. Sisa-sisa imán yang dimiliki bisa tercermin dari kaligrafi Allah, Muhammad, serta sepotong ayat Alqur'an yang menjadi penghias kamar prakteknya. Sebagai orang yang masih berpegang pada ajaran Agama (Islam), Mini sadar kalau apa yang dilakukannya saat ini dosa dan bertentangan dengan ajaran agamanya. Dia juga tahu, bagaimana pandangan masyarakat umum terhadap wanita yang bekerja sebagai pelacur dan sejenisnya. Untuk itu, suatu saat keluar dari tempat pelacuran merupakan satu-satunya citacita yang dimiliki. Mengenai bagaimana perencanaan kehidupannya kelak benar-benar belum terpikir oleh Mini. Mini bukanlah tipe orang yang dapat merencanakan secara matang segala apa yang akan dilakukan di kemudian hari. Apa yang akan terjadi yaitu yang akan dilakukan, walaupun dengan penyesuaian diri terlebih dahulu. Akibat tidak adanya perencanaan dalam kehidupannya itu, sampai-sampai menabung merupakan kata yang asing baginya. Belum pernah terpikir di benak Mini tentang kehidupan masa datang yang butuh banyak biaya, dia yang akan menikah dengan calon suami yang bagaimana, bagaimana model keluarga yang dikehendaki, dan lain-lain. Untuk sementara ini Mini hanya pasrah dengan keadaan yang sekarang dan entah sampai kapan. Jauh di lubuk hati Mini ada cita-cita
131
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih tersendiri yang terkadang muncul: ia sabar menunggu hingga ada orang lain yang menawarinya bekerja dan keluar dari pekeijaan yang dianggap sebagian anggota masyarakat nista ini. Lastri: Hilangnya Keperawanan Lastri adalah salah seorang pelacur anak yang secara sengaja memilih profesi ini karena dianggap merupakan alternatif paling realistis. Lastri (15 tahun) adalah gadis desa yang lahir di Nganjuk, tepatnya di dukuh Nggaeng, desa Ngudikan, kecamatan Wilangan. Lastri yang punya nama sebenarnya Mustia itu punya satu kakak laki-laki bernama Agus, dan satu adik laki-laki bernama Kusein. Sebelum ibunya meninggal tahun 1994, kehidupan keluarga Lastri sebetulnya sudah menunjukkan tanda-tanda akan berantakan. Bagaimana tidak, ayahnya sudah lama menikah lagi dengan orang lain, dan tinggal dengan istri barunya. Tentu saja mulai saat itu Lastri dan saudarasaudaranya tidak mendapatkan lagi kasih sayang dari seorang ayah. Satu-satunya kasih sayang orangtua hanya didapatnya dari seorang ibu saja. Tetapi sekarang ibunya juga telah meninggal. Saat ini Lastri tak ubahnya seperti anak yatim piatu. la dan saudara-saudaranya tidak mungkin dapat hidup bersama dengan ayahnya karena dia sekarang sudah tinggal dengan keluarga barunya. Bahkan tempat ayahnya tinggal pun Lastri juga tidak tahu. Melihat kondisi seperti itu, Bibi Lastri segera turun tangan, dan memutuskan Agus, Lastri, Kusein ikut di bawah asuhannya. Agus yang pada waktu itu sudah berusia 16 tahun dan berbekal ijasah SD, segera bekerja sebagai tenaga serabutan pada sebuah toko di Nganjuk. Lastri sendiri masih harus tinggal di rumah saja, karena selain masih 12 tahun, dia juga baru menyelesaikan SD-nya. Sehari-hari kegiatannya hanya
132
Perjalanan membantu meringankan pekerjaan Budenya, termasuk juga merawat Kusein yang waktu itu baru 9 tahun. Singkatnya, Lastri kemudian tumbuh menjadi gadisyang berparas lumayan, dan tubuhnya pun cukup semampai. TersebutLah Wito, seorang tetangga yang sebetulnya sudah punya anak istri. Entah dengan teknik bagaimana, akhirnya Wito berhasil juga mengambil hati Lastri. Mereka pun akhirnya menjalin hubungan cinta walau hams lewat jalan belakang. Bagaimana tidak, baik Bude Lastri maupun Istri Wito tentu saja akan marah bila sampai tahu hubungan gelap tersebut. Lastri sendiri tidak mengaku secara terus-terang apa yang menyebabkan ia sampai jatuh cinta kepada Wito, lelaki yang sebenarnya dari segi usia sudah tergolong dewasa, dan barangkali lebih cocok sebagai pamannya daripada teman kencan. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman di bidang seksual, tentu saja Wito juga ingin merasakannya bersama Lastri. Berbagai usaha dilakukan Wito untuk bisa mewujudkan keinginannya, dan tampaknya usahanya tidak sia-sia. Suatu hari di bulan Maret 1996 Wito berhasil membujuk Lastri untuk mau mencoba berhubungan seks dengannya. Sebagai anak yang belum tahu apa-apa tentang seks, dan juga entah faktor cinta atau apa, Lastri bersedia juga mencobanya. Tentu saja hubungan seks tersebut tidak hanya dilakukan satu kali saja, hingga akhirnya skandal mereka terbongkar. Apa mau dikata, Lastri bagaimanapun juga hams berpisah dengan Wito. Bagi Wito sendiri mungkin tidak ada masalah dengan perpisahan ini, tetapi bagi Lastri selain harus menanggung malu, dia juga sudah kehilangan darah perawan yang merupakan milik satusatunya paling berharga selama ini. Berbagai beban kini menumpuk pada pundak bocah yang telah ditinggal ibunya itu. Bersamaan dengan kondisi kekalutannya itu datang saudara jauhnya yang selama ini bekerja di Gang Dolly Surabaya. Dia bilang kalau ada yang sedang membutuhkan banyak orang sebagai penghuni wisma
133
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih yang baru dibangun. Wisma itu tak lain Wisma Dua Sembilan tempat Lastri bekerja saat ini. Tawaran itu tentu saja tidak langsung diterimanya, untuk sementara dia merenungkannya terlebih dahulu. Mau diterima, dia berarti akan memasukkan dirinya ke lembah hitam yang sangat memalukan baik diri sendiri maupun keluarga. Tetapi di lain pihak Lastri sudah merasa ternoda, "Mengapa tidak masuk sekalian? pikirnya. Apalagi berbagai beban yang selama ini dipikulnya, juga ayahnya yang sekarang tidak perduli lagi dengan keadaan dia maupun saudaranya, serasa makin mendukungnya saja untuk menerima tawaran itu. Di awal Juni 1997 datang dua orang ke rumahnya, satu saudara jauhnya sendiri dan Pak Syahri bos Wisma Dua Sembilan yang saat ini butuh banyak anak buah. Di saat itu pula Pak Syahri menawarkan langsung kepada Lastri untuk mau menjadi salah seorang pegawainya. Pak Syahri juga berterus terang mengenai pekerjaan apa yang akan dilakukan Lastri di Surabaya nanti. Hanya saja gambaran mengenai fa si lita s selama di wisma, bagaimana kegiatan sehan-hari, dan besarnya penghasilan yang bisa didapatkan tiap harinya dijelaskan secara panjang lebar. Kali ini Lastn tidak memerlukan pertimbangan yang terlalu bertele-tele, dan la segera mengiyakan segala sesuatu yang ditawarkan Pak Syahri. Akhirnya hari itu Lastri pamit pada Budenya untuk bekerja di pabrik Pak Syahri di Surabaya sana. Dan hari itu juga mereka bertiga berangkat menuju ke Wisma Dua Sembilan di Gang Dolly no. 29, Surabaya. Hari-hari pertama dilaluinya tanpa masalah yang berarti, karena bagaimanapun juga dia sudah siap dan sudah membayangkan situasi bagaimana yang akan dihadapi di tempat kerjanya ini. Sebagai pendatang baru tentu saja Lastri langsung diserbu pelanggan. Dalam satu hari dia bisa mendapatkan sekitar 4 atau 5 tamu, bahkan kadang-kadang juga lebih. Dengan mendapatkan bagian Rp 16.000,- sekali kencan, Lastri merasa mendapatkan penghasilan luar biasa
134
Perjalanan dalam tiap harinya. Keadaan ini mampu membalut penyesalannya untuk masuk dunia petacuran ini. Kegiatan sehari-hari Lastri bisa dibilang sangat santai an menyenangkan. Tiap hari bekerja mulai jam 17.00 hinqqa jam 05.00. Setelah itu tidur sepuasnya hingga bangun sekitar jam 13 00. Makan, minum, termasuk juga cuci dan setrika, 100% menjadi tanggungan Wisma. Memang Wisma Dua Sembilan ini m k l 3.pembantu wam'ta y^ng khusus melayani kebutuhan sehan-han para pelacur. Sehingga pelacur memang hanya en tugas untuk membuat dirinya tampak cantik dan melayani tamu saja. Simbiosis mutualisme yang diterapkan tampaknya betul-betul menguntungkan kedua belah pihak Wisma dapat pemasukan banyak dari pelacur, sementara pelacur sendin tidak merasa dirugikan dengan sistem pern be nan prosentase hasil, juga fasilitas-fasilitas yang ditenmanya selama ini.
i , •Den9an |jen'jhai,lan 'ata-rata «tu juta rupiah tiap bulan, Lastri merasa senang dan betah untuk tetap menekuni pekerjaan sebagai pelacur. Hubungannya dengan teman-teman sekerja pun terjalm dengan akrab. Mereka saling bergantian member, pertolongan pada yang sedang membutuhkan. Saling memrnjam uang, pakaian, dan parfum, merupakan bal biasa yang menambah hubungan mereka menjadi semakin akrab. Lastri kini merasa memiliki sesuatu yang bisa diUan9 yan9 Dan keel d,a3"" memang belum sempat mempunyai Dari Zril'/ «lama cita-cita bekerja.
c.ta itu meurnd,,'dUrP yan9 harllS diPikl,lnl'3- ^"9 mi citaya SeilÍ <Ít !eCl, l
1
ang tanah di Nganjuk seharga Rp 1.800.000 00-
eagaimanapun juga Lastri tahu kalau tidak akan terus-menerus b keoa sebagai pelacur. Dia juga sadar bahwa pekeriarvZ ¡ ama m asyarakat. s au rr,Lastri i sendin ydnar ^baik ^ pemeluk Islam mengaku sebagai walaupun selama ini tidak sempat menunaikan Sholat lima
135
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih waktu. Untuk itu kalau tiba waktunya nanti, Lastri ingin berhenti dan memulai lembaran baru dalam hidupnya. Dia punya rencana untuk membuat rumah dan toko pracangan, sebagai bidang usaha barunya selepas dari Gang Dolly. Citacita ini tentunya tidak akan terwujud tanpa didukung modal yang cukup. Untuk itu, sementara ini dia masih ingin mengumpulkan modal dulu guna menunjang ata-ntanya tersebut. Sebagai seorang pelacur Lastri mengaku tidak takut terhadap berbagai jenis penyakit menular seksual yang bisa menimpanya sewaktu-waktu. Bagi dia penyakit itu memang resiko yang harus dibayar dari bidang pekerjaan yang sedang diialaninya. Toh kalau benar-benar terkena penyakit, menurut Lastri penyembuhannyapun mudah: cukup datang ke klimk kesehatan untuk diobati dan pasti sembuh. Apalagi memang ada dana dari wisma untuk itu. Lastri begitu yakin, kalau semua jenis penyakit menular seksual bisa diobati, termasuk juga HIV-Aidsyang sebenarnya belum ada obatnya. Anggapan Lastri ini menunjukkan seberapa jauh kesadarannya terhadap bahaya penyakit menular seksual yang selalu menghantui dan siap merenggutnya sewaktu-waktu. Bahkan Lastri mengaku sering melayani tamunya tanpa kondom, karena memang dia tidak pernah memben anjuran atau saran terlebih dahulu sebelum berkencan. Santf7: Dan Keluarga Berantakan Perkenalkan ñama saya Santi, saya sekarang mondok di wisma Laras Damai» di lokalisasi in,. Saya sudah berada sini hampir satu tahun. Sebelumnya saya pernah beke'Ja daerah Kota lalu pulang kampung sebentar dan ke Jakar ag Sa a adaiah anak ke 3 dari 6 bersaudara tapr dengan bapak yang berbeda. Ibu saya adaiah janda dengan dua anak 47 48
Ñama samaran Ñama samaran 136
Perjalanan sebelum bertemu bapak saya, setelah menikah mereka punya anak dua orang yaitu saya dan adik saya. Sewaktu saya berusia 10 tahun ibu dan bapak saya bercerai lalu ibu saya mem'kah lagi dan mempunyai dua orang anak lagi. Adik saya yang terkecil saat ini berusia 2 tahun. Memang keluarga saya membingungkan karena ayah kandung sayapun sewaktu menikah dengan ibu berstatus duda dengan 2 anak, anakanaknya ikut ibu tiri saya sehingga saya tidak mengenalnya l
,aPa tln' serta kal
a 45
sa a
y bisa sekolah sampai tamat SD tidak seperti saya
Sekitar 0,4 ha Ñama samaran
137
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih yang hanya sempat duduk di kelas 3 saja. Ira sudah pernah menikah ketika berusia 16 tahun tetapi setahun kemudran suaminya meninggal dan Ira kembali ke rumah ibu saya. Tidak lama setelah menjanda Ira ikut dengan tetangga ke Jakarta dan bekerja di daerah Mangga Besar. Saya sendiri setelah tidak sekolah hanya membantu ibu saya bekerja di rumah, memasak dan mengasuh adik. Kadang kala saya juga ikut nderep kalau diajak teman atau tetangga, tetapi saya jarang mau ikut karena biasanya nderepnya terlalu jauh dari kampung sehingga upah bekerja dan ongkosnya tida seimbang. Akhirnya saya memburuh di sawah hanya di kampung saya saja. Sewaktu saya berumur 14 tahun" kurang saya diajak kakak saya bekerja di Jakarta, kata Ria danpada saya keluyuran tidak tentu di kampung lebih baik bantu keluarga dengan bekerja di Jakarta. Saya tidak mau pada mulanya karena saya sudah mau dilamar sama pacar saya yang bekerja sebagai montir di Indramayu. Tetapi ibu dan bapak saya juga ikut membujuk saya, katanya pekerjaan montir tidak bisa menjamin saya hidup enak, apalagi pacar saya itu hanya sebagai karyawan saja bukan sebagai pemilik bengkel itu. Saya pikir-pikir benar juga mereka, kalau saya kawin tapi nasibnya seperti Ira yang ditinggal mati suaminya atau tetap miskin juga sementara adik-adik saya banyak, saya jadi ^ak tosa membantu keluarga saya. Akhirnya saya setuju bekerja i Jakarta, tapi sebelum Ira mengajak saya. pergi, dia diajak^ ke Saritem sama temannya. Ira lalu menghubungi Pak Rahmat orang yang dulu mengajak dia ke Jakarta untuk memtipkan saya Saya tahu akan dapat uang banyak karena saya masih perawan, beda dengan Ira yang sudah janda. Setahu saya bapak saya akan dikasih uang satu juta sama Pak Rahmat kalau saya mau dibawa.
ibunyapun lupa tanggal dan bulan la dilahirkan. 138
Perjalanan Waktu saya bilang mau, bapak saya ke tempat pak RT untuk mencatatkan ñama saya dan ke mana saya pergi serta sama siapa. Dr desa saya itu perlu supaya kalau ada apa-apa dengan saya, orangtua di kampung bisa cepat di beri tabu. mua orang yang pergi harus memberitahu pak RT yang nantinya akan memberitahukan pada pak RW dan Akuwu. Pak RT juga datang ke rumah dan memberitahu saya agar hatihati karena saya belum punya KTP dan juga belum menikah, pokoknya saya disuruh ikut apa saja yang dikatakan oleh Pak Rahmat dan Mami Yuyun di Jakarta nanti. Saya pernah sekali mehhat Mami Yuyun itu sewaktu ia diundang selamatan rumah baru anak buahnya. Rumah Mbak Restu52 tidak begitu jauh dan rumah saya. Kebetulan waktu itu saya sama ibu saya sedang rewang di sana. Ira tidak pernah menjadi anak buah Mami Yuyun karenanya ia tidak tahu apakah Mami Yuyun orang baik atau tidak. Tetapi menurut beberapa tetangga saya yang anak atau saudaranya pernah menjadi anak buah Mami Yuyun Mami Yuyun adalah orang yang baik. Terus terang saya agak ut karena tidak punya teman yang berangkat bersama tungnya di sana ada beberapa teman sekampung yang menjadi anak buah Mami Yuyun. RahnJ0'ilalu
sa a y dlbawa ke desa
Emplit oleh anak buah Pak Bongas Pentil. Di sana sudah menunggu 3 orang anak yang kelihatannya sama umurnya RanH3™^' ^ ^ ^ mUcla' Salal1 satu"ya1 menjadÍ teman Saya selama di Ma Besa daê h hü "99a sampai sekaran9 d, l0kali!asi kami h. h ' fni -valaupun kam, berbeda wasma Saya belum pernah ke Jakarta sebelum 3 l
dengar orang breara dalam bahasa Indonesia. Seda dengan «ya yang untuk nonton teleyisi saja harus ke rumah tetanggâ sehingga jarang mendenga, orang bicara bahasa Indonesia. Ñama samaran
139
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Supaya tídak malu saya belajar bahasa Indonesia, Mami Yuyun juga menyuruh saya bisa bahasa Indonesia sedikit supaya bisa mengobrol sama tamu atau pelanggan saya. Pertama kali mendapatkan tamu saya agak takut, walaupun sudah diberitahu oleh Ira dan juga teman-teman lain di tempat Mami Yuyun saya masih saja gemetar. Apalagi tamu pertama saya orangnya agak berangosan dan maunya cepat-cepat. Waktu pertama kali ngewek saya menangis habis mmnya kasar sakali. saya juga takut lihat darah yang ketuar. Sehabis metayani tamu itu saya istirahat dua h karena paha saya sakit. Mami Yuyun tidak marah tetap, dta hanya membolehkan saya istirahat dua han saja. ^ Tamu yang kedua lebih sopan dan lebih baik, mungkin karena umurnya jauh lebih tua dari tamu yang pertama . Tamu yang kedua ini namanya Oom Roy" umurnya sek,tar 50 tahun Tadinya saya memanggil dengan Pak Roy te api saya mengganti panggi'.an Pak dengan Oom, katanya bia tid terasa tua. Saya suka dengan Oom Roy karena ra royal kalau menrberi tip. Saya sering diberi uang tips Rp 100.000,- sampa, Rp 200.000,- belum lagi suka membelikan baju-baju bagus selain itu melayani Oom Roy tidak capek karena kalau d booking semalam tidak banyak main. Hanya saja Oom y jarang datang, paling banyak sebulan tiga kal, datangnya. Saya sering memilih tamu karena saya takut dikasann laqi seperti tamu yang pertama kali booking saya. Karena sering menolaktarnu Mami Yuyun marah sama saya, saya sendin jadi masa bodolTakhirnya s^ya cuma kuat « atau ^ ~ Mami Yuyun. Saya kembali ke kampung bersama Ranti yang iuga tidak kuat di tempat Mami Yuyun itu. Ibu saya tidak marah waktu tahu saya pulang kampung. Tadinya saya'senang juga bisa pulang kampung, teta, Um lama bosan juga karena di kampung saya tidak bisa mengu
berqanti-ganti.
140
Perjalonan badan karena hams membantu ibu saya mengasuh adik dan juga masak. Akhirnya saya sering pergi ke lokalisasi di dekat desa saya". Tapi bayaran di sana tidak sebesar di Jakarta. Lagiputa di tempat itu tamunya jarang sekali yang datang, kadang-kadang ada teman saya juga yang ke sana. Sewaktu sedang luntang-lantung begitu ada tetangga yang menawari saya untuk mengisi kamar di wismanya di lokalisasi ini. Tidak berpikir dua kali, tawaran itu saya terima, tidak lama setelah itu Ranti ke rumah saya dan mengajak saya pergi juga ke oka isasi yang sama. Akhirnya saya bilang kita ketemu saja di lokalisasi itu dan saya bilang kalau saya tidak betah di wisma tempat saya mondok saya mau pindah ke tempat Ranti saia Ranti juga begitu. ' ^elama dl kota saya tidak mempunyai gendakan tetapi di lokalisasi ini saya sudah ganti gendakan 3 kali. Yang terakhir etemu saya di Haur Geulis sewaktu saya sering nongkrong di sana Na manya Mas Tamo, orangnya baik dan royal sama saya. bel<er a di Ta halt TV f be|narnya J njung rtender (h adiskotik milik tetangganya. Karena Pinang itu sayasebagai jarang bertemu dulu bertemu di lokalisasi di Haur Geulis, lalu lama idak ketemu dan waktu ketemu lagi saya sudah di Jakarta. ejak bertemu itu saya langsung dekat dengan Mas Tarno dan dia sendin selalu ke tempat saya kalau dia pulang ke Jawa Biasanya dia pulang dua bulan sekali dia mengajak saya pergi katanïa d H "If " Batam j aluh Z",? lebih besar dibanding di Jakarta. 'Lagipula tamunya ebanyakan orang asing seperti orang Singapura atau Malaysia yang mau membayar mahal.
PUlan9 kam ,un „ra„ntSeWaktU ' untuk 9' mengatakan orangtua saya ,kemg.nan saya bekerja di Batam pada Ibu aya agak khawatir karena jarak Batam dan kampung sayajauh
lagiputa saya d, sana sendiri. Sedangkan bapak saya te,se,ah 3 9 13 3 tÍdak omon senngkal, nnVkTu kalah"'™ kalah sama " ,bu ,,' 'saya, ' ^ makanya ^ dia sering 9masa ^
Lokalisasi itu dikenal dengan ñama Cilegeng Indah atau CI
141
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih bodoh. Tapi akhirnya ibu saya juga mengijinkan setelah saya bilang ada teman dari kampung sebelah yang berangkat juga ke sana. Sebenarnya di Jakarta ini saya juga punya penghasilan yang lumayan karena sehari tamu saya sekitar 4 sampai 6 orang. Kalau ibu atau bapak saya datang saya bisa kasih uang sekitar Rp 500.000,- sampai Rp 750.000,- Tapi saya mau juga pergi ke tempat-tempat yang bagus yang saya belum pernah lihat, apaLagi lihat laut yang bersih, selama im laut yang saya tabu cuma Sampur saja, itupun di ajak sama teman dan perginya malam-malam. Kata Mas Tamo, di Tanjung Pinang dan di Batam kita bisa sepuas-puasnya ke laut karena dekat se kali dengan tempat saya bekerja nantinya. Tapi yang penting buat saya adalah saya bisa mengumpulkan uang banyak untuk beli sawah dan membangun rumah di kampung. Saya tidak takut kena penyakit kotor soalnya saya selalu rajin minum jamu dan juga rajin membersihkan diri dengan obat seperti Wim55. Kadang-kadang kalau saya lihat tamu saya aqak kotor saya memilih tidak mau menemani ngamar. Di wisma taras Damai, mau menerima tamu atau tidak adalah urusan kita Mami tidak akan ikut campur bahkan kalau tamunya memaksa kita bisa minta tolong sama keamanan wisma untuk mengusir tamu itu. Yang tidak boleh di wisma ini adalah kita tidak mejeng di bar, walaupun lagi haid kita tetap harus menunggu tamu. Untuk itu setiap jam 17.30 kita harus keluar dan menyerahkan kunci kamar kita pada bartender dan bisa diambil kalau ada tamu atau pelanggan yang mai* Kalau kita sakit, barulah kita bisa istirahat di kamar tidak usah memajang diri. Sava tidak tahu bagaimana nanti aturannya d. tempat keria saya yang barn, tapi kalau terpaksa harus melayanr tamu vang kelihatannya kotor saya mau saja pakai kondom walaupun S enak -asanya. Saya beberapa kal, mendapat tamu yang minta pakai kondom, saya mau saja asal kondomnya yang 55
Salah satu merk vaginal douche 142
Perjalanan biasa-biasa saja tidak yang aneh-aneh. Saya pernah sekali mendapat tamu yang mau pakai kondom yang aneh karena ada rambut-rambutnya, saya langsung kabur keluar kamar, akhirnya tamu saya tidak jadi pakai kondom itu. Selama bekerja begini saya baru sekali kena penyakit kotor tapi itupun baru gatal-gatal saja sebelum saya obati sudah sembuh lebih dulu. Sebenarnya kalau tamu pakai kondom enak juga karena saya tidak perlu minum pit KB setiap hari tapi kalau ingat rasanya yang tidak enak saya lebih memilih pakai pi I KB saja.
143
KeKko Anok Tak Bisa Lagi Memilih
144
Perlindungan Hukum: Siapa yang Dilindungi?
Upaya
1
Menekan Laju Praktek Pelacuran
Bagaimana kacamata hukum positif Indonesia dalam memandang permasalahan pelacuran pada umumnya dan anak yang dilacurkan khususnya? Apakah ada sanksi maupun upaya hukum untuk menekan laju perkembangan dunia pelacuran khususnya pelacuran anak agar tidak semakin meningkat? Pelacuran dikategorikan sebagai perbuatan melanggar asusila atau norma-norma sosial yang berlaku di suatu masyarakat (khususnya norma ketimuran) sehingga digolongkan delinquent behaviour atau perilaku menyimpang. Pelacur tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal. Terbukti di dalam KUHP tidak secara tegas mengatur ancaman hukum bagi si pelacur. Hanya ada tiga pasal berkaitan dengan praktek pelacuran yaitu pasal 296, 506 dan 297. Pasal-pasal tersebut mtinya ditujukan untuk menghilangkan atau menekan tumbuhnya pelacuran dengan mengatur sanksi pidana bagi pihak yang membantu dan menyediakan pelayanan seks ilegal serta bagi mereka yang memperdagangkan anak di bawah umur. Pihak yang menyediakan pelayanan seks tersebut dikenal dengan istilah germo, mucikari dan calo. Dengan demikin si pelacur dewasa maupun anak yang dilacurkan tidak dapat dijaring dengan hukuman pidana.
145
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih Pasal 296 Barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya 1 tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15.000,Pasal 297 Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Pasal 507 Barangsiapa sebagai mucikari mengambil keuntungan dari pelacur perempuan dihukum kurungan selamalamanya tiga bulan. Kembali ditinjau dari segi hukum sekalipun terhadap germo, mudkari dan calo yang telah tegas-tegas diancam pidana, begitu juga pidana bagi pelaku yang memperdagangkan anak di bawah umur tetapi dalam kenyataannya jeratan hukum tersebut tidak pernah sampai pada sasarannya. Germo dan calo yang jelas beroperasi tidak pernah terkena jerat hukum, mereka bebas melalukan aktivitasnya, hanya satu dua kasus yang diajukan ke pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa pasal-pasal KUHP tersebut tidak diterapkan dalam menanggulangi masalah pelacuran. Diakui bahwa salah satu faktor penyebab adalah lemahnya penegakan hukum, sehingga kesenjangan ini menyebabkan praktek prostitusi semakin merebak dan pelaku semakin jauh dari jeratan hukum. Dari sisi historis, berbagai upaya telah dilakukan untuk menjembatani permasalahan ini yaitu melalui kebijakan lokal maupun sektoral yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan yang berkembang di masyarakat (Soedjono, D.: 1980). Kebijakan tersebut adalah melokalisir pelacuran di satu tempat tertentu sehingga prakteknya dapat dimonitor dan dikendalikan. Kebijakan 146
Perlindungan Hukum: Siapayang DiUndungi? tersebut didasari realita merebaknya praktek pelacuran yang tak terkendali telah menimbulkan kerawanan sosial dan penyebaran penyakit menular seksual, di sisi lain dengan melokalisir diharapkan dapat menekan perkembangannya dan menjamin efisiensi usaba rehabilitas! melalui bimbingan moral sosial, pemeliharaan kesehatan, pendidikan dan ketrampilan. Sebagai contoh di DKI Jakarta, sebelum dikeluarkannya kebijakan lokalisasi, Jawatan Sosial yang saat ini disebut Departemen Sosial telah mendirikan Pilot Proyek Panti Rehabilitas!' WTS di Pasar Rebo yang disebut dengan Panti Mulya Jaya pada tahun 1959, kemudian diresmikan oleh Menteri Sosial H. Moelyadi Joyomartono tahun 20 Desember 1960. Panti ini menampung WTS jalanan maupun yang berpraktek di lokalisasi ilegal yang terkena razia. Sampai tahun 2001 terdapat 26 unit yang terdiri dari 1 unit di bawah pengelolaan Departemen Sosial, 21 unit sejak tahun 1999 telah diserahkan pemerintah daerah dan 5 unit dikelola langsung pemerintah daerah tersebar di 21 propinsi (Dityanrehabsos dan Tindak Kekerasan, Depsos, 2001). Pemda DKI tahun 1970 mengeluarkan kebijakan melokalisir lokasi pelacuran yang tersebar di Jakarta ke suatu tempat yang disebut lokalisasi Kramat Tunggak menindaklanjuti SK Gubernur Ca.7/1/13/70 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi Wanita Tuna Susila serta pembidangan tugas dan tanggungjawab. Dengan Surat Gubernur No. Ca7/l/39/71 pejabat-pejabat diinstruksikan untuk menekan laju perkembangan dunia pelacuran dengan menutup dan memindahkan praktek pelacuran di wilayah Jakarta yang tersebar seperti di Koja, Cilincing, Kalibaru, Pejagalan, Pademangan, Penjaringan, Planet Atrium Senen dll ke wilayah Lokalisasi Kramat Tunggak, Kecamatan Koja. Para germo dan pelacur diharuskan mendaftarkan diri untuk memperoleh Kapling. Lokalisasi ini tidak dalam rangka légalisas!, atau dalam arti hukum tidak melegalkan atau menghalalkan pelacuran. Dengan adanya kebijakan ini berarti pelacuran di luar lokasi yang telah ditentukan pemerintah
147
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih dianggap ilegal dan sewaktu-waktu dapat dikenakan sanksi hukum bagi pelacur, germo maupun pelaku. Namun perda i ni dalam prakteknya tidak seperti yang diharapkan. Praktek perkembangan pelacuran sangat sulit ditekan buktinya jumlah pelacur yang terkumpul 300 an dengan germo 76 orang (tahun 1970) jumlahnya meningkat terus dari tahun ke tahun hingga tahun 90 an terdapat lebih dari 2.000 pelacur yang bekerja di Kramat Tunggak berikut germo 228 (Endang Sedyaningsih - Mamahit, 1999). Saatini upaya untuk menekan praktek pelacuran di luar lokalisasi adalah dengan melakukan razia secara berkala atau insidental ke lokasi-lokasi pelacuran. Razia ini dilakukan oleh lintas instansi pemda yaitu Petugas Trantib, Kepolisian dan Dinas Sosial. Razia ini dilandasi Perda No.11/88 yaitu berdasarkan pelanggaran pasal pelarangan melakukan aktifitas ekonomi di jalanan dan pasal menganggu ketertiban umum. Perda ini memberikan sanksi 3 bulan kurungan penjara dan denda Rp 50.000,-. Terlepas rendahnya jeratan hukum serta lemahnya penegakan hukum di lapangan, kenyataannya sampai saat ini perkembangan bisnis pelacuran semakin susah dibendung baik yang secara terbuka apalagi yang tersembunyi bahkan pelibatan anak-anak semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa penghapusan pelacuran adalah hal yang pelik. Secara formal mungkin saja industri seks ini dapat dilarang, namun secara informal selama naluri seksual manusia masih menuntut kepuasan, permintaan tetap tinggi, sehingga sangat sulit memberantasnya. Di sisi lain dinamika masyarakat dalam merespon permasalahan pelacuran berbeda dari waktu ke waktu. Dahulu lokalisasi tidak terlalu menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat namun kini lain. Belakangan diberitakan bahwa Lokalisasi Kramat Tunggak tela h ditutup akibat masa membakar lokalisasi yang dianggap telah mengganggu ketentraman dan kerawanan lingkungan. Di lokasi tersebut didirikan Islamic Center. Nasib serupa juga dialami Lokalisasi Boker karena pihak Pemda Jakarta Timur berencana membongkar dan menjadikan 148
Perlindungan Hukum: Siapayang DUindungi? daerah lokalisasi tersebut menjadi Gelanggang Olah Raga tahun 2003. Ditutupnya lokalisasi ini ternyata tidak menjadikan selesai permasalahan melainkan menimbulkan permasalahan bam dimana makin tumbuh pesatnya pelacuran jalanan dan pelacuran terselubung. Terbukti data dari Dinas Sosial tahun 2001 tentang Rekapitulasi Pekerja Seks liar mencapai 2.649 dengan tingkat sebaran yang sangat tinggi yaitu 31,4% atau 83 dari 264 Kelurahan dan 76,2% atau 32 dari 42 Kecamatan (dalam Irwanto, 2002)
Pelacuran Anak dan Hukum di Indonesia Pertanyaan selanjutnya adalah apakah telah tersedia perangkat hukum yang berpihak kepada anak sebagai korban eksploitasi seksual dan bagaimana dalam praktiknya? Menarik untuk disimak adalah tersedia atau tidaknya perlindungan hukum terhadap anak, khususnya jika tindakan kekerasan atau perlakuan seksual dialami oleh anak. Ada beberapa pasal dalam 1980)
56
benl
' yan9 menjerat pelaku (Sugandhi,
Pasal 287 (1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istennya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup hma betas tahun atau, kalau tidak terang berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum pantos untuk dikawini, dipidana engan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya ditakukan kalau ada pengaduan kecuah kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun ataujúa ada salah satu ha[ 291 dan pasal 294.
149
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Pasal 288 (1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum pontos dikawini dipidana dengan pidana penjara setama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka (2) Ma perbuatan itu berakibat badan perempuan tersebut mendapat luka berat, dijatuhkan pidana penjara selamalamanya delapan tahun. (3) Bila perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana selama-lamanya dua betas tahun. Pasal 290 (1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun: (2) barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya, atau patut dapat disangkanya, bahwa umurorang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umur itu tidak terang, bahwa orang itu belum pontos dikawini. (3) barangsiapa membujuk seseorang, yang diketahuinya, atau patut dapat disangkanya, bahwa umurorang itu belum cukup lima betas tahun atau kalau umur tidak terang, bahwa ia belum pantos untuk dikawini, untuk melakukan atau membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul, atau untuk berzina dengan orang lain.
Pasal 292 Orang yang sudah dewasa, yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa, yang sejenis kelamm dengan dia, padahal diketahuinya atau patut disangkanya bahwa anak itu belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
150
Perlindungan Hukum: Siapayang DUindungi? PasaI 293 (1) Barangsiapa dengan hadiah atau perjanjian, akan memberi uang atau barang dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya masih di bawah umur, maka melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan pebuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidanapenjara selama-lamanya lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan dari orang yang dilakukan kejahatan itu terhadapnya. PasaI 294 (1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, dengan anak tirinya, anak angkatnya (anak piaraannya), anak yang di bawah pengawasannya, semuanya di bawah umur, orang di bawah umur yang diserahkan kepadanya untukdipeliharanya, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya yang masih di bawah umur, dipidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Sama dengan Pasal 294 di atas, orang yang dengan sengaja menyebabkan atau mempermudah terjadmya perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, baik sebagai mata pencaharian atau bukan, diancam dengan pasal 295 dengan tindakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Hukum: Praktik dan Implementasinya Ada beberapa Hal yang menarik dalam uraian pasal-pasal tersebut di atas. Pertama, jika dilihat bagian-bagian hukum yang disajikan di atas, kelihatannya cukup jelas dan telah
151
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih disertai tindakan hukuman yang cukup tinggi56. Pertanyaan yang mengganggu adalah: Mengapa fenomena pelacuran anak ini masih terus berlangsung tanpa hambatan yang berarti? Persoalan hukum jelas bukan hanya persoalan substansi, tetapi juga persoalan struktur dan budaya hukum (Ihromi, 1990). Pertama, Walau secara material substansial terdapat pasal-pasal dalam perundang-undangan kita yang memandang perbuatan melacurkan anak adalah suatu tindakan kriminal yang dapat dikenai tindakan hukuman, jika tidak ada aparat yang terlatih dan struktur kelembagaan yang akan mengimplementasikannya maka undang-undang itu menjadi tidak berguna. Pihak Kepolisian Polda Metro Jaya dalam menanggapi tuntutan masyarakat terhadap semakin maraknya korban kekerasan perempuan dan anak sejak 16 April 1999 membentuk RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) untuk Perempuan dan Anak. Namun data di RPK sendiri menunjukkan bahwa tidak pernah ada kasus berkaitan dengan anak yang dilacurkan. Diakui bahwa sampai saat ini belum ada program khusus dalam rangka penindakan secara aktif praktek pelacuran yang melibatkan anak, karena RPK sifatnya hanya menunggu laporan kasus yang masuk, tetapi tidak secara proaktif mengadakan penindakan di lapangan. Dari 89 kasus yang terdata selama satu tahun terakhir ada 5 kasus terkait dengan Pasal 293 dan satu kasus terkait pasal 287, namun kedua kasus tersebut bukan terkait dengan masalah anak yang dilacurkan tetapi masalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman, atau pacar (Data RPK Polda Metro Jaya, 2002). Dari data media massa diperoleh informasi bahwa di Semarang seorang ibu yang memperjual belikan dua anak gadisnya usia 14 tahun dan 16 tahun dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Namun sayang sekali tidak termonitor apakah germo atau calonya ditangkap dan dikenai hukuman ataukah tidak.
Dikonsultasikan dengan para ahli dari Filipina dan Thailand dalam Konsultasi untuk Kongres Menentang Exploitasi Komersial Seksual pada Anak di Bangkok, Thailand tanggal 2-5 April 1996.
152
Perlindungan Hukum: SiapayangDUindungi? Sebenarnya banyak kasus perdagangan anak, penjualan keperawanan anak dengan tujuan prostitusi yang terungkap di media massa namun tidak termonitor apa tindakan aparat penegak hukum selanjutnya. Ketidak konsistenan pemberitaan media yang cenderung hanya mengungkap permasalahan teta pi tidak menelusuri keLanjutannya menyulitkan masyarakat umum mengetahui perkembangan permasalahan yang ada. Kedua, Permasalahan lain adalah jika kedua faktor di atas ada tetapi jika masyarakat pada umumnya tidak memandang perbuatan seperti yang diundang-undangkan itu sebagai masalah, atau mempunyai prioritas yang cukup tinggi untuk dipermasalahkan, maka undang-undang tersebut juga tidak berguna. Sebagai contoh adalah jika masyarakat memandang bahwa melacurkan diri adalah tindakan yang wajar jika dihimpit oleh kemiskinan yang mencekik, walau tindakan mi mehbatkan anak-anak. Apalagi jika masyarakat juga berpendapat bahwa dengan cara itulah anak-anak dapat membantu keluarga mereka, karenanya tidak perlu dipersoalkan lagi. Contoh lain aparat yang seharusnya menegakkan hukum seringkali menjadi oknum dibalik usaha komersialisasi seksual anak. Ketiga, kebanyakan pasal merupakan delik aduan bagi anak-anak yang berusia di atas 12 tahun. Hal ini mempersulit pemrosesan dan penerapannya karena kebanyakan anak tidak akan mengadu secara mandiri dan sukarela. Berdasarkan berbagai sumber, anak-anak yang dilacurkan rata-rata berusia (llhat jU9a Lumoi ndon & Lumoindong, 1996). Selain tekanan ekonomi yang 'kuat, gmereka juga telah dibuat sangat tergantung pada pekerjaan yang dilakukannya Dengan keadaan seperti ini, bagaimana mereka dapat melaporkan diri? Belum lagi sulitnya proses peradilan yang senng menjadi ajang viktimisasi sekunder (justru diperlakukan sebagai orang yang salah) bagi pada korban (Irwanto dkk., 1998). Lebih sulit lag, jika yang terlibat dalam proses memasuki
Petacuran adalah orang yang dekat, famili bahkan orangtua sendin. Beberapa kasus di media masa maupun hasil
153
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih penelitian ini berhasil mengungkap peran dan tindakan orangtua menjual keperawanan atau menawarkan anak sendiri menjadi pelacur. Keempat, dalam perundang-undangan kita hanya ditentukan hukuman bagi para pelaku tetapi tidak satupun yang mengatur keharusan adanya tindakan rehabilitatif atau pertolongan bagi korban. Suda h selayaknya pe ratura n perundangan mengatur secara tegas masalah ganti rugi atau restitusi untuk korban baik secara material maupun non material sehingga korban anak terselamatkan baik fisik maupun mental. Di Amerika Serikat restitusi korban anak diatur dalam undang-undang tersendiri. Sampai saat ini program re h a bili ta si yang dilakukan pemerintah daerah maupun pusat khususnya Departemen Sosial dan Dinas Sosial masih bersifat parsial dan hanya melalui pendekatan panti namun belum dilakukan program yang komprehensif dan terpadu antar sektor terkait bagi korban pelecehan seksual, apalagi jika korbannya anak-anak. Kelima, minimnya peraturan perundangan yang bersifat prevensi atau pencegahan. Dalam rangka pencegahan perlu dikembangkan peraturan perundangan di tingkat daerah yang sensitif terhadap perlindungan anak disertai dengan penegakan hukum yang efektif. Sebagai contoh di Amerika Serikat ada peraturan yang mengharuskan di dalam diskotik atau tempat hiburan malam dilarang pengunjung atau siapapun berusia di bawah umur berada di dalamnya. Bila dilanggar maka pengusaha yang mendapatkan sanksi hukuman. Keenam, minimnya kontrol sosial dan permisivisme masyarakat. Di kota-kota besar di mana permasalahan kerawanan sosial maupun kriminalitas semakin kompleks tidak mungkin hanya mengandalkan aparat penegak hukum saja yang seringkali bersikap pasif dan menunggu respon dan masyarakat. Justru mekanisme yang harus dikembangkan adalah adanya kontrol sosial masyarakat terhadap permasalahan yang berkembang. Minimnya kontrol sosial dan 154
Perlindungan Hukum: SiapayangDUindungi? disisi lain semakin meningkatnya permisivisme masyarakat terhadap kehidupan seks bebas menyebabkan praktek pelacuran anak berkembang tanpa hambatan. Ketujuh, sulitnya memberantas praktek pelacuran, seperti juga perjudian dan narkoba dikarenakan praktek tersebut sengaja dipelihara dan diorganisir oleh berbagai pihak yang terlibat pentas pelacuran, mereka saling terkait dan mendukung sehingga sulit dihapuskan. Tidak mungkin pelacuran langgeng bila hanya mengandalkan peran pelacur atau konsumen saja, namun sistem yang mendukung baik internal maupun eksternal dalam penyediaan jasa seksual sehingga dapat dikategorikan sebagai permasalahan yang sistemik57. Sebagai contoh praktek pelacuran di Taman Viaduct yang jelas melibatkan anak-anak di bawah usia berada di lokasi sekitar Kodim dan Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menindak bila ada kejahatan atau penyimpangan publik di lingkungannya. Razia yang dilakukan aparat untuk menertibkan pelacuran jalanan terkesan hanya formalitas saja karena setelah dirazia dapat dilepas bila anak membayar denda uang sejumlah tertentu, atau paling siai dimasukkan ke Panti Rehabilitasi di Cipayung, Kedoya atau Pasar Rebo, bila ditebus germo maka mereka dapat keluar. Bahkan hasil penelitian YKAI tahun 1995 di Prumpung pihak Kodim mengambil keuntungan untuk biaya keamanan yang setiap malamnya ditarik. Penjual teh botol dan minuman di taman juga merasa diuntungkan dengan kehadiran anak yang dilacurkan. Orangtua anak mendorong dan mempersiapkan anak menjadi pelacur (Data dari Bandungwangi menunjukkan bahwa 90% anak-anak tersebut diketahui dan diijinkan oleh orangtuanya). Masyarakat sekitar menyewakan rumah untuk kos juga wisma-wisma shor time yang digunakan untuk transaksi seksual di daerah Rawabunga. Belum lagi calo dan germo yang mendapat keuntungan dari bisnis ini serta konsumen yang membutuhkan jasa seksual. Menurut Suyanto, B (1999) bisnis Informarmasi diperoleh melalui wawancara langsung dengan M. Kemal Dermawan, 11 Juli 2002
155
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih seks ini melibatkan perputaran uang yang besar dan Hull menyebut sampai milyaran rupiah. Bahkan, ada kesan, kendati masyarakat acapkali mencoba menutup paksa berbagai kompleks lokalisasi dan aparat keamanan tak sekali dua kali melakukan operasi penggerebekan, tetapi sepertinya semuanya sia-sia. Mekanisme rekruitmen, tawaran pelayanan, dan jaringan operasi bisnis prostitusi kian lama justru menjadi kian rumit dan canggih. Dan, di tengah iklim persaingan yang makin ketat, tak sedikit germo kemudian menempuh jalan pintas untuk meraih pelanggan dan mengeruk keuntungan besar, yakni mencari sebanyak mungkin PSK-PSK baru yang masih anak-anak, dan bahkan kalau perlu dengan cara paksa: mulai dari penipuan, ancaman, penganiayaan, penyekapan, dan berbagai bentuk intimidasi lain. Kepentingan-kepentingan berbagai pihak inilah yang mengesampingkan kepentingan yang lebih besar yaitu perlindungan anak dari eksploitasi seksual.
Tren Global: Merespon Isu Penghapusan Eksploitasi dan Komersialisasi Seksual terhadap Anak Kecenderungan dunia internasional dalam menanggapi permasalahan eksploitasi dan komersialisasi seksual terhadap anak menunjukkan langkah kemajuan dengan diselenggarakannya berbagai kegiatan baik berupa konferensi yang menghasilkan komitmen global, lahirnya berbagai instrumen hukum internasional serta terjalinnya hubungan bilateral maupun multilateral dalam rangka menentang segala bentuk eksploitasi seksual terhadap anak. Di antara peristiwa dan instrumen penting yang dapat dijadikan tonggak kemajuan adalah Kongres Dunia I: Menentang Eksploitasi Komersial Seksual pada Anak di Stockholm, Svvedia yang menghasilkan dokumen Deklarasi Stockholm, di'anjutkan dengan Kongres Dunia II di Yokohama,
156
Perlindungan Hukum: Siapayang DUindungi? Jepang yang menghasilkan Deklarasi Yokohama serta ch'deklarasikannya Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Terburuk Pekerjaan yang dilakukan Anak. Di samping i tu juga pengakuan dan deklarasi Kovensi Hak Anak yang merupakan landasan hak asasi manusia khususnya hak anak. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia ikut mengambil bagian, bahkan telah meratifikasi instrumen internasional tersebut dan terikat untuk segera mengimplementasikannya. Berbagai kewajiban paska ratifikasi merupakan tantangan yang membutuhkan komitmen baik dari pemerintah yang didukung oleh masyarakat luas. Deklarasi Stockholm Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Komersial Seksual pada Anak yang berlangsung di Stockholm, Swedia pada tanggal 27-31 Agustus 1996 telah mengeluarkan suatu pernyataan atau deklarasi yang secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut58: Bahwa negara-negara peserta, seluruh anggota badanbadan di PBB, organisasi masyarakat dan individuindividu yang ikut dalam kongres sepakat untuk mengadopsi deklarasi dan Agenda untuk Aksi sebagai sebuah komitmen dalam semangat kemitraan global menentang eksploitasi komersial seksual pada anak-anak. Tantangan 1.
Setiap harinya semakin banyak anak-anak di seluruh dunia yang mengalami eksploitasi seksual. Oleh karena itu, diperlukan tindakan segera pada semua tingkatan untuk menghentikan praktek-praktek tersebut.
2.
Menghormati hak-hak anak sesuai dengan prinsip-prinsip KHA di mana anak berhak atas per-lindungan sepenuhnya Bukan terjemahan! Manya interpretas) bebas dan tidak ditulis lengkap.
157
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memitih dari berbagai macam bentuk eksploitasi. Negara-negara peserta didorong untuk mengupayakan perlindungan itu dan melakukan berbagai usaba untuk menangani korban agar sembuh baik secara fisik maupun psikologis sehingga dapat kembaLi bersatu dengan masyarakat. 3.
Eksploitasi komersial seksual terhadap anak adalah bentuk kekerasan pada anak, pemaksaan kerja pada anak, dan merupakan bentuk perbudakan zaman ini.
4.
Eksploitasi komersial seksual pada anak lebih banyak disebabkan oleh tindakan-tindakan kriminal, terutama merasuknya jejaring kriminal pada kepentingankepentingan anak yang diperburuk karena tidak berfungsinya hukum untuk melindungi anak.
5.
Individu-individu dari berbagai lapisan masyarakat; keluarga, bisnis, pelayan masyarakat, pemerintahan, dan lain-lain ikut bertanggung jawab atas praktek-praktek eksploitatif ini. Mereka sering bersikap masa bodoh dan membutakan mata terhadap akibat-akibat yang diderita oleh anak-anak dan ikut melanggengkan nilai-nilai yang mendorong dilakukannya praktek eksploitasi tersebut.
6.
Diakui bahwa banyak faktor ikut berpengaruh, antara lain kesenjangan ekonomi, disintegrasi keluarga, meningkatnya konsumerisme, adanya persediaan dan permintaan dalam pasaran seks komersial, migrasi ke kota, diskriminasi dan lain-lain. Kemiskinan merupakan salah satu faktor kunci, tetapi kemiskinan tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran terhadap praktek-praktek tersebut.
7.
Eksploitasi komersial seksual pada anak-anak ber-akibat jangka panjang dan dapat membahayakan jiwa anak. Selain adanya berbagai penyakit yang mematikan, stigmatisasi anak sebagai pelacur berakibat sangat buruk untuk masa depan anak.
158
Perfindungan Hukum: Siapayang DWndungi? 8.
9.
10.
Adanya perundang-undangan saja tidak cukup. Diperlukan kemauan politik yang lebih besar untuk meiaksanakan semangat deklarasi ini. Selain negara, maka tanggung jawab dalam mengatasi masalah ini harus diterima oleh masyarakat, termasuk anak-anak itu sendiri. Perlunya peran dan perhatian yang lebih besar dari media massa untuk membantu mengungkap kasus-kasus eksploitasi seksual anak.
Komitmen 1.
Kongres Dunia ini meminta semua pemerintahan dalam bekerja sama dengan organisasi-organisasi nasional maupun internasional untuk segera melakukan tindakan yang meliputi: Memberikan prioritas tinggi dan mengalokasikan dana secukupnya untuk mencapai tujuan kongres. Melakukan kerja sama antara pemerintah dengan semua sektor dalam masyarakat untuk mencegah anak masuk ke dalam dunia seks komersial. Memaksimalkan upaya-upaya pengembangan dan pendidikan sehingga menciptakan lingkungan dan sikap-sikap yang menghargai hak-hak anak. Meyakinkan kepada semua pihak bahwa eksploitasi komersial seksual pada anak adalah tindakan kriminal yang serius dengan konsekuensi maksimal. Memperlakukan para pelaku yang terlibat dalam tindakan eksploitatif seksual pada anak sebagai kriminal dan memberi hukuman yang pantas, baik bagi orang asing maupun lokal. Mengembangkan dan meiaksanakan rencana yang komprehensif dan program-program untuk mencegah timbulnya praktek-prktek eksploitatif ini dan untuk membantu anak kembali berfungsi secara wajar dalam keluarga dan masyarakatnya.
159
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Adopsi dan laksanakan kebijakan dan konvensikonvensi internasional yang relevan untuk tujuan perlindungan anak dari perlakuan eksploitatif. Mobilisasi komunitas-komunitas politik dan lainlain, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk menghapus praktek-praktek eksploitatif pada anak. Bangun dan dukung keterlibatan orang banyak pada upaya-upaya pencegahan dan penghapusan eksploitasi komersial seksual pada anak. 2.
Kongres Dunia mengulangi pernyataan komitmen-nya pada hak-hak anak sesuai KHA dan mengadopsi deklarasi ini dalam rangka membantu pelaksanaan konvensi tersebut serta instrumen lain yang relevan untuk mengakhiri eksploitasi komersial seksual terhadap anakanak di seluruh dunia.
Deklarasi Yokohama Lima tahun kemudian setelah Kongres Dunia I Menentang Eksploitasi Komersial Seksual pada Anak telah berlangsung Kongres Dunia II yang diselenggarakan 17-20 Desember 2001 di Yokohama, Jepang. Kongres ini telah berhasil mengkaji perkembangan respon terhadap permasalahan eksploitasi komersial seksual pada anak sebagai langkah tindak lanjut untuk mempertegas komitmen yang telah dicanangkan pada kongres sebelumnya. Berikut garis besar Deklarasi atau dikenal dengan "The Yokohama Global Commitment 2001" yang terbagi menjadi dua hal pokok yaitu identifikasi tindak lanjut yang telah dilakukan setelah Kongres Dunia I dan komitmen tindak lanjut untuk masa depan . Tindak Lanjut: 1.
Telah mengkaji perkembangan sebagai proses tindak lanjut untuk mempertegas komitmen untuk melindungi
160
Perlindungan Hukum: Siapayang DUindungi? anak dari segata bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual Meyakini perlindungan dan pemajuan hak anak merupakan hal pokok untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual. Kemajuan yang dicapai beberapa negara sejak Kongres I antara lain: perhatian besar dan implementasi yang efektif terhadap Hak-hak Anak oleh negara peserta telah menciptakan lingkungan di mana anak dapat menikmati hak-haknya. meningkatnya mobilisasi pemerintah, pemerintah daerah, organisasi non pemerintah termasuk dunia internasional untuk pemajuan dan perlindungan hak anak serta pemberdayaan anak dan keluarga untuk menyelamatkan masa depan anak. mengadopsi berbagai hal di antaranya kebijakan, peraturan hukum, program, mekanisme, sumber daya dan menyebarluaskan hak anak dalam rangka memastikan anak dapat tumbuh dalam suasana aman dan bermartabat. mempertegas tindakan menentang prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual baik agenda di tingkat nasional maupun internasional, menentukan strategi atau rencana aksi, memberlakukan hukum baru yang menjerat pelaku sebagai tindak kriminal termasuk mempertimbangkan letak teritorial/wilayah. melakukan implementasi yang lebih efektif dengan penegakan kebijakan, sensitifitas hukum dan gender untuk mencegah dan menangani eksploitasi seksual anak, termasuk peningkatan kampanye kepedulian, akses pendidikan yang lebih baik untuk anak, dukungan dan jaminan sosial untuk keluarga dan anak untuk mengatasi kemiskinan, aksi menentang kejahatan dan permintaan untuk eksploitasi seksual
161
Ketika Anak Tak Bisa Lag! Memilih anak, dan penuntutan bagi yang mengeksploitasi anak. penyediaan fa si lita s yang sensitif anak seperti hotline anak melalui telpon, penampungan, prosedur administratif dan hukum, dan penanganan yang efektif. komprehensif, sistematis dan keterlibatan yang berkelanjutan dari sektor swasta (serikat pekerja, organisas! pengusaha, travel biro, industri pariwisata, internet provider dll) dalam memperkuat perlindungan anak, termasuk mengadopsi dan mengimplementasikan ke dalam kebijakan korporasi, code of conduct untuk perlindungan anak terhadap ekspolitasi seksual. partispasi anak dan anak muda melalui jaringan kerja, forum dan keterlibatan sebagai konselor dan komunikator kelompok sebaya. pengembangan standar internasional dan regional melalui berkembangnya instrumen baru meliputi: Protocol to prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention againts Transnational Organized Crime (2000) dan Convention on Cybercrime (2001), the Rome Statuses of International Criminal Court (1998). lahirnya Konvensi IL0 182 mengenai Pelarang-an dan Tindakan segera Penghapusan bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan yang dilakukan Anak dilengkapi dengan Rekomendasi No. 190, pada 19 November 2000, dan Optional Protocol on the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography pada 18 danuari 2002. kemajuan yang dicapai dalam Special Session of the United Nations General Assembly on Children.
162
Perlindungan Hukum: Siapayang DMndungi? kerjasama antara pemerintah lokal dan pusat, antar sektor pemerintah, organisas! non pemerintah, regional-sub regional dan organisas!" internasional, masyarakat, pelaku kunci, dan hubungan antara badan PBB dengan mekanisme monitoring khususnya dengan Komite Hak Anak dan Komite PBB yang membawahi Hak Asasi Manusia. 3.
Menghargai inisiasi konsultasi pada tingkat regional yang diadakan di Bangkok, Rabat, Dhaka, Montevidoe, Budapest, Philadelphia dan berbagai seminar nasional sampai dengan Kongres di Yokohama.
4.
Menyadari masih perlunya melakukan perlindungan anak secara global.
Komitmen: 1.
Menyatakan perlunya implementasi efektif Konvensi Hak Anak dan instrumen terkait lainnya oleh negara peserta dan perlunya menggarisbawahi perlindungan anak dan eksploitasi komersial seksual dalam bentuk prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual.
2.
Mendorong ratifikasi instrumen internasional khususnya Konvensi ILO 182 dan Optional Protokol Konvensi Hak anak untuk Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak.
3.
Menegaskan kembali komitmen membangun budaya menghormati setiap orang dengan dasar non diskriminasi dan menghapuskan eksploitasi komersial anak, khususnya dengan mengambil pengalaman berharga dan meningkatkan kerjasama.
4.
Menyepakati kembali Deklarasi dan Agenda Aksi Kongres Dunia I dan khususnya dalam hal pengembangan agenda nasional, strategi rencana aksi, merancang focal point, mengumpulkan data yang komprehensif dan sensitif
163
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih gender, pengukuran efektivitas implementasi, termasuk harmonisasi dan penegakan hukum berbasis hak anak. 5.
Menguatkan kembali upaya menentang komersialisasi seksual anak khususnya dengan cara mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan anak dieksploitasi, seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan,konflik senjata, HIV AIDS, disfungsi keluarga, faktor permintaan, kriminalitas melalui langkah komprehensif dengan peningkatan akses pendidikan anak khususnya anak perempuan, program anti kemiskinan, program dukungan/jaminan sosial, peningkatan kepedulian masyarakat, pemulihan fisik dan psikis anak, reintegrasi sosial korban anak, aksi menentang segala bentuk ekploitasi dan komersialisasi seksual anak, di sisi lain dengan tidak menghukum korban anak.
6.
Menekankan pengembangan jaringan untuk mencegah komesialisasi seksual anak di tingkat internasional, regional, bilateral, nasional dan lokal khususnya di antara masyarakat dengan badan hukum, imigrasi dan kepolisian.
7.
Memastikan cukupnya alokasi sumberdaya termasuk ketersediaan informasi peningkatan pendidikan dan pelatihan tentang Hak anak untuk anak, orangtua, penegak hukum, pemberi layanan, dan pihak-pihak terkait.
8.
Cara efektif untuk keberlanjutan aksi global melalui pengembangan agenda di tingkat regional dan nasional, strategi rencana aksi, membangun mekanisme monitoring regional, sub regional, nasional.
9.
Mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak négatif perkembangan teknologi khususnya mengenai pornografi di internet, disamping itu menggali potensi berkembangnya teknologi untuk perlindungan anak dan komersialisasi dan eksploitasi seksual melalui
164
Perlindungan Hukum: Siapayang DWndungi? penyebaran informasi dan membangun jaringan kerja di antara mitra. 10.
Menegaskan kembali pentingnya keluarga dan penguatan perlindungan sosial anak, anak muda, keluarga melalui kampanye peningkatan kepedulian dan monitoring eksploitasi seksual anak berbasis komunitas.
11.
13.
Komitmen untuk meningkatkan kerjasama di semua tingkat dan mensinergikan upaya penghapusan segala bentuk eksplotasi seksual anak. Menyatakan bahwa ekspolitasi seksual anak tidak dapat dito le ran si dan hams ditindak.
Konvensi ILO 182 Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan yang dilakukan oleh Anak merupakan konvensi yang di dalam sidang pembahasannya disepakati hampir oleh semua negara peserta baik negara maju maupun berkembang. Konvensi ini dilengkapi dengan Rekomendasi 190, dideklarasikan 19 November 2000. Sampai saat ini sudah lebih dari 20 negara meratifikasi konvensi tersebut termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 182 melalui UU No. 1/2000. Pada intinya konvensi ini mengatur mengenai batasan usia yaitu 18 tahun dan menentukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan oleh anak yang perlu segera dihapuskan. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan anak tersebut adalah: 1.
2.
Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti: perdagangan anak, kerja ijon dan perhambaan, kerja paksa atau wajib kerja, pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk: pelacuran, produksi pornografi atau untuk pertunjukkan
165
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih porno, kegiatan terlarang khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang. 3.
Pekerjaan yang sifatnya atau dari lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak seperti : pekerjaan yang mengekspos anak terhadap penyalahgunaan fisik, psikologis atau seksual -
pekerjaan di bawah tanah, bawah permukaan laut, di tempat tinggi yang berbahaya atau dalam ruangan tertutup. pekerjaan dengan mesin, peralatan dan perangkat yang berbahaya atau yang mencakup pekerjaan dengan pengerjaan tangan atau angkutan beban yang berat. pekerjaan di lingkungan yang tidak sehat, misalnya dapat mengekspos anak terhadap zat berbahaya, bahan atau proses, suhu tinggi, tingkat kebisingan atau getaran yang merusak kesehatan mereka. pekerjaan dalam kondisi yang sulit seperti pekerjaan dengan jam kerja yang panjang atau pada malam hari atau pekerjaan dimana anak tanpa alasan dikurung di tempat kerja oleh pengusaha.
Dalam rekomendasi 190 disebutkan bahwa negara yang telah meratifikasi konvensi IL0 182 diwajibkan untuk mengambil tindakan segera untuk langkah penghapusan. Juga direkomendasikan perlunya membuat Rencana Aksi Nasional serta membentuk Komite yang bertugas untuk memastikan implementasi dapat berjalan dengan efektif sekaligus memonitor implementasi rencana aksi di lapangan. Dalam rencana aksi harus memuat batas waktu serta prioritas penghapusan bentuk terburuk pekerjaan anak, sehingga pencapaiannya dapat dimonitor dan dievaluasi pada saat negara melaporkan ke PBB.
166
Implikasi
Krisis demi Krisis Krisis multidimensional yang dialami Indonesia memberikan implikasi yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat terutama mereka yang berada di kalangan bawah. Jika kita menengok statistik pendapatan rumah tangga yang diterbitkan dalam Indikator Kesejahtaran Rakyat 1995 (BPS, 1996), maka kita melihat bahwa pada tahun 1990 rumah tangga di kota yang bekerja di sektor non-pertanian ternyata telah mem-peroleh pendapatan rata-rata sebesar US $ 1.882,2. Im cukup besar jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang bekerja sebagai buruh pertanian baru memperoleh penghasilan US$ 438.4, kurang lebih seperempatnya. Sedangkan keluarga yang memiliki tanah kurang dari setengah hektar, penghasilannya adalah US$ 566.5. Kalau kita asumsikan bahwa keadaan kita saatini menyeret situasi yang dihadapi sama seperti pada tahun 1980an, maka penghasilan keluarga-keluarga buruh tani ada kemungkinan anjlok lagi sampai dengan US$ 150. Penghasilan yang sangat minim dan harga-harga kebutuhan pokok yang melangit tentunya membuat situasi mereka teramat sangat sulit. Faktor kedua yang harus diperhitungkan adalah adanya arus migrasi balik ke desa karena PHK baik di dalam negeri maupun mereka yang telah bekerja di luar negeri sebagai tenaga kontrak internasional. Arus balik ini tidak disertai
167
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih pembukaan lapangan kerja yang memadai di desa-desa. Akibatnya, setelah tabungan mereka menipis, maka akan terjadi arus migrasi ke kota besar-besaran. DaLam keadaan ekonomi yang tidak menentu seperti ini, dan akan berlangsung cukup lama, maka kesempatan kerja di kota-kota besar juga akan sangat sempit. Persaingan akan menjadi sangat sengit dan yang menjadi korban, seperti biasanya, adalah wanita dan anak-anak. Merekalah yang akan bekerja di sektor-sektor yang paling berbahaya dan dengan upah yang paling rendah. Oleh karena i tu, keluarga yang mempunyai anak banyak akan terpaksa menghentikan sekolah anak-anak mereka dan meminta mereka membantu ekonomi keluarga. Anak Perempuan: Jalan Keluar? Kalau kita menyimak statistik pendidikan, maka kita akan memperoleh kesan yang sangat kuat bahwa anak-anak perempuan kita telah dapat memanfaatkan pendidikan nasional secara maksimal. Rasio antara anak laki-laki dengan perempuan di tingkat SD hampir mendekati satu (Oey-Gardiner, 1997). Angka bertahan dan angka mengulang mereka relatif lebih baik dari laki-laki (Suryadi & Cahyana, 1998). Meskipun demikian, kita mengetahui bahwa angka melanjutkan ke jenjang SLIP dan S LIA mulai lebih rendah dari laki-laki karena faktor-faktor sosial yang memandang perempuan tidak memerlukan pendidikan lebih tinggi (Oey-Gardiner, 1997). Jika keadaan ekonomi mendesak, maka anak laki-laki akan memperoleh preferensi untuk mempertahankan dan melanjutkan sekolah dibanding anak perempuan. Penelitian Daliyo dkk. (1996) di NIB dan NTT menunjukkan gejala yang sama. Hal ini dapat dimengerti karena anak perempuan dengan mudah dapat menggantikan ibu dalam melakukan pekerjaan domestik jika Ibu harus keluar mencari pekerjaan. Di samping itu, kita juga dapat mamahami bahwa adanya anak perempuan datam situasi krisis ekonomi yang mencekik akan memhenkan jalan keluar. Pertama, jika anak perempuan
168
Implikasi itu sudah akübaliq, maka orangtua dapat mencarikan pasangan yang akan memberikan jaminan ekonomi pada mereka sekaligus menghilangkan status ketergantungan anak tersebut melalui perkawinan. Kedua, jika anak cukup menarik dan orangtua mempunyai hubungan dengan jaringan industri seks komersial maka anak perempuan tersebut juga dapat digunakan sebagai jalan keluar melalui keperawanannya dan penghasilannya kelak sebagai pelacur. Oleh karena itu, anak-anak akan menghadapi resiko yang lebih besar untuk dilacurkan dalam keadaan ekonomi seperti mi. Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam merencanakan hidup anak-anak mereka dan keluarga secara keseluruhan, maka orangtua mempertimbangkan ada tidaknya Comparative Level for Alternative (CL Alt). Dari sejarah hidup anak-anak yang kami wawancara, nampaknya pelacuran masih mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi orangtua-orangtua mereka dan komunitas Bongas pada umumnya. Resiko yang lebih besar Akibat knsis yang berkepanjangan, nasib anak yanq dilacurkan ada kecenderungan semakin memprihatinkan Mereka akan cenderung lebih muda karena akan cukup banyak orangtua yang tidak berhasil membiayai anak mereka sampai se sekolah karena pendapatan yang berkurang. Pada saat yang sama maka industri seks komersial juga akan mengalami ke esuan Oleh karena itu, jika keadaan tidak lebih baik, para pelacur di masa yang akan datang akan terpaksa mengikuti harga pasar yang lebih rendah. Mereka akan mau melakukan apa saja asal memperoleh penghasilan. Saat ini saja kebanyakan dan mereka mengaku tidak suka untuk memakai kondom, demikian juga pelanggannya. Untuk memperoleh jumlah uang yang sama dengan saat ini, mereka akan membutuhkan lebih banyak tamu. Meningkatnya frekuensi den an saUnaant9berbahaya. han h'h 9 ada perlindungan akan sangat Jua dalam hal ini tidak intervensi yanq
169
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih memberikan tekanan untuk melindungi diri sendiri, khususnya dengan kondom, sangat mungkin bahwa insidensi penyakit menular seksual, khususnya HIV/AIDS akan memngkat dengan cepat. Persoalannya adalah bahwa tidak semua anak yang dilacurkan bekerja di panti-panti atau lokalisasi yang dapat dikontrololeh Departemen Kesehatan. Banyak di antara mereka, khususnya yang baru-baru, justru bekerja di berbagai tempat hiburan atau di jalanan yang jauh dari program pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus secepatnya mengambil tindakan untuk "mengamankan" tempat-tempat hiburan yang diketahui menjadi arena transaksi seks komersial. Dengan demikian, upaya "pengamanan" ini harus dilakukan dengan penyebaran informasi dan peraturan yang jelas dan dilaksanakan dengan tegas. Di samping itu, perlu diingat bahwa pemenuhan gizi akan berkurang dan kemampuan untuk membeli obat-obatan akan semakin lemah. Jika kondisi tubuh lemah, maka dengan mudah akan terjadi infeksi. Jika infeksi tidak ditangani dengan sebaikbaiknya, maka kondisi tubuh akan lebih terpuruk lagi. Situasi seperti ini memang seperti lingkaran setan. Hal lain yang perlu diperhatikan perilaku mereka yang berhubungan dengan kesehatan fisik maupun psikologis Seperti telah diuraikan dalam bab terdahulu, anak-anak Indramayu termasuk pelacur yang mempunyai banyak masalah psikologis, karena tekanan orangtua di samping berbagai masalah dalam hubungannya dengan germo, teman, dan pacar atau gendakan mereka. Dari kisah perjalanan hidup mereka nampaknya bermabok-mabokan merupakan salah satu bentu pelayanan pada pelanggan sekaligus sebagai pelampiasan emosional karena merasa kesepian dan tidak berpengharapan. Pada beberapa kasus, anak-anak ini menyayat-nyayat tubuhnya dengan benda tajam, biasanya silet (khususnya di bawah leher di atas payu dara, paha, dan lengan atau bahu). Gejala im tidak khusus terjadi pada anak-anak Indramayu, tetapi juga
170
Implikasi pada pelacur da,i daerah lain, Penyediaan klinik-klinik reproduks, yang murah dan memberikan pelayanan belaWas ■ berbaga, tempat yang biasanya dijangkan oleh para pelacur perlu drupayakan, Klinik-klrnik seperti i ni barns melakukan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KJE) di samnina pengobatan dan konseling terutama untuk kejiwaan. Industri Pariwisata dan Pelacuran Anak Jika kapital untuk industri manufaktur terseok karena 'usa nya dis.nbns, dan iangkanya bahan ba^karena eroketnya nrla, tukar rnpiah terhadap dolar AS, maka di sektor de
,n,S J Sn! a ,ndustr
',
'
C
27 jn„rT998 ,
' pariwisata, peluang menrperoleh
beSa
'' ^
^
Street
be.um ban;;5; Persoalannya
(26-
membuat
adalah
sebelum
d khaWaMan adalah
terjadi
krisi,
¡ feome ada.ah tur ' onres, ' L r''"'"5'"' -a' 9 1 Pernah bahwa ia kerap dipfsan unir " "í"" yang diminta untnk menemani PHetolrard "'39130'!' sedar rapat. Se la in itu preferensi terhaHa « ig melakukan -a.ge.asbes^sS5^
171
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Jika perkembangan populasi dan pelayianan :seksual komersial ini tidak diikuti dengan pelayanan ^abatan yang baik, karena obat-obatan mahal dan merebakT dapat dipastikan akan sangat mempengaruh, Sumber Daya Manusia kita, apalagi jika ini menjad, pem.cn ep.dem, HI / AIDS yang saat ini masih rendah prevalensinya d Indone i . Kemungkinan ka arah itn akan lebih besar j,ka seks konrersral dianggap komoditi leisure/santai yang paling mu-ah harganya sangat elastis. Apa yang Dapat Dilakukan? Hal mendasar yang perla ditekankan dalam penanggulangan masalah pelaturan anak adalah meruba^ a ™, hprfikir di semua tingkatan masyarakat demi ng n befba; bag, anak (#. best interest „/ dWJ anak haraslah dipandang sebagai korban. Selanjatnya anak
:5W=£3«5SS penanganan yang sihtnya ,ra .1 dan r'P dan
menaje pada akar permasalahan perla ditekankan. Upaya Preventif Edukatif untuk Mendorong Perubahan Salah sata kesalitan yang sangat besar dalam menghadapi s,teas, seperti yang ^^ada piíhan
leb¡h
ban Jrbanding da;n^ pekenaa ^ ^ seba9ai pelacur
172
Implikasi
berkuasaSaS1
SeCara
raPÍ
pih3k
-Plhak W sangat
PreVentl f dapat faerjalan den an bai k maka ' 9 ' ' 1 Sar yaitU Sandan9 Pangan dan a an meereka eka hharus dapat a" ' ' ' 'intervensi P P dipenuhi, baik melalui
pemenntah maupun upaya-upaya lokal. Akan tetapi upaya apapun akan suht menandingi daya tank yang ditawarkan oleh P germo melalui pingaman-pinjamannya atau penghasilan bulanan yang diterima oleh orangtua yang saat ini jauh lebih I J Pen9ba^an pekerjaan guru, pegawai negeri golongan I dan II, atau soprr. Oleh karena itu jlka masalah mi arus diperhatikan, maka kombinasi antara faktor deteren yaitu penerapan hukum yang konsisten dan program perbaikan ekonomi harus berjalan seimbang. Karena akan melakukann a banTuan d'ari y maka dan organisasi kemasyarakatan, media, dan bantuan masyarakat internasional diperlukan.
Hal lain yang mendasar adalah memperhatikan kekuatan (UNKEF, 1M6, sebagai P ndidikan kita dapat meningkatkan kesadaran masyarakat "tang nila, anak khususnya perempuan, moratitas, nilai-nilai yang manjunjung tingg, martabat manas,a. Oleh karena ¡tu infrastruktur pendidikan dan pelayanan umum di desa peril drperbark, Jauhnya sekolah SLTP dan SLTA dan desa tersebut dar maha nya transportas, telah menyebabkan orangtua urung sek"h tTn i k-u j
"tt 3 ^
aPala3, pen ada
9
an fa si lita s SLTP dan SLTA
d m nskinka beâslswl bet3' tÍdakuntuk ' " mencetak "- «Wnya diupayakan as,swa-beas,swa model-model desa kalan9an perempuan danSbekya ' yan9 ^kolah cukup Hnggi 5 3 6 93 pen
'- ™-taka,
memPeP9a Phi aaP
'
Dalam upaya pendidikan masyarakat kita memerlukan bantuan dan media. T.dak hanya dalam hal penyebarLasan
173
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih tetapi juga melalui etos kerja mereka dalam pelaporanpelaporan. Kita ketahui bahwa media, selain dapat menjadi rekanan yang efektif untuk pendidikan masyarakat juga merupakan instrumen yang efektif dalam 9^m0"sasi kehidupan (International Federation of Journalists, 1996). Pelaporan yang bertanggung jawab mengenai prostitusi dan penyiaran informasi pendidikan untuk kelompok sasaran te rte n tu dapat diupayakan melalui asosiasi profesi.yang, ada, seperti halnya dalam rangka pencegahan HIV/AIDS. Penggunaan paduan media bark media cetak maupun elektronik sangat diperlukan. Strategi perubahan norma dan perilaku dengan melakukan intervensi program KIE yang sifatnya menumbuhkan kesadaran bark pada lingkungan lua maupun kelompok sasaran di tingkat grassroot, walaupun memerlukan upaya besar, keterlibatan berbagar prhak dan waktu panjang karena menyangkut kultur sosral budaya sangat diperlukan s'ehingga lambat laun dapat merubah norm sakaligus menciptakan kontrol sosial yang positif menghambat lajunya praktek pelacuran anak. Rehabilitasi Psikososial Salah satu upaya penting yang perlu dipikirkan adalah tindakan-tindakan rehabilitasi psikososial bagi anak-anak yang telah dilacurkan (NGO Groups for CRC, 1996). Disadan ena bahwa pengalaman dilacurkan membenkan trauma tertent nada anak walau dari berbagai wawancara dengan informan kami persoalan ini tidak sangat menonjol. Informan bjasanya mengatakan bahwa pada saat mereka pertama kali melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya timbul rasa takut dan rasa sakit. Kecemasan dan kegundahan pada waktu mereka akan dilacurkan tidak terlalu nampak karena adanya' P^slPa oranqtua dan masyarakat. Penenmaan orangtu dan masyarakat akan peke^aan yang akan dilakukan anak-ana ini munqkin telah membantu mengurangi tekanan bati mereka Meskipun demikian, kami yakin bahwa prosesnya tidak " mudah itu. ini terbukti bahwa salah satu informan kita 174
Implikasi menangis terus selama seminggu lebih59 dan bahwa seoranq mami menyatakan betapa sulitnya mengurus anak-anak yanq dilacurkan tersebut. Tekanan batin juga dinyatakan oleh informan karena mereka hams selalu setor kepada orangtua mereka dan akan dimarahi jika tidak me-lakukannya. Tekanan seperti ini, ditambah dengan tekanan-tekanan dalam ubungan sos^1 lamnya menyebabkan anak-anak melakukan tindakan berbahaya dengan menyakiti (melukai) dirinya sendiri 3
den an
9 nabok-mabokan atau dengan benda tajam. Jika masalah pelacuran anak akan ditangani secara
nggu -sungguh, maka upaya-upaya rehabilitatif dan resosiahsasi perlu dilakukan untuk memungkinkan mereka ber at, em ' dengan .asyanakat dan merasaka„ sisa-sisa masa kanak-kanak mereka dengan kasih sayang dan LSM LS Van3 ber e,, alama anak dapat menyelenggarakan da"3tnHd.m.nta " nbantnannya P nntnk 9 " dalam advokasi y program seperti itu.
Karena pentingnya upaya rehabilitatif bagi anak-anak yang dilacurkan, pembangunan kapasitas kelembagaan baik Pemen ntahan da Ilam orgamsasi-orgamsasi ' kemasyarakatan ' Perguruan perlu Tinggididukunq maupun
enehtian-penelitian lanjutan untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai gejala sosialini memang masih diperlukan tetapi segera hams dibarengi dengan pembentukan keahlian yang khusus. Pengembangan kapasitas lokal untuk keperluan mi sudah sangat mendesak. Keperluan Upaya Menyeluruh Melibatkan Multisektor
-^bDi'i:ttb;rm;ira;:itgn » duacutn fenomena pelacuran sebagai produk mata rantai flktor swiaT e onomi, budaya dan politik yang mana merupakan hasil kerja
yang bahkan hingga saat ini tanya, men9enai awal
sebagai pelacur
175
dia bekerja
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih a.-
ji úrrt yanq berkepentingan. Memutus mata rantai
praktek pelacuran anak tidak dapat dilakukan hanya dan si si pelaku a tau penyedia jasa namun juga dan sisi pemakai dan perantara. Menqingat kompleksitas peraasalahan yang dihadapi langkah yang sifatnya parsial dan sekedar berusai a menghapus praktek pelacuran secara instant, membubarkan dan kemudian membakar lokatisasi di berbagai tempat sepert, yang terjadi di era reformasi belakangan ini sesungguhnya sama sekali tidak akan menyelesaikan pernnasalahan. Pendekatan-pendekatan yang s.fatnya punitif dan represi niscaya tidak akan pernah mampu menyelesa.kan akar persoalan hingga tuntas. Untuk itu berbaga. langkah pencegahan, rehabilitasi, dan penegakan hukum haruslah Silakukan secara konsisten menyeluruh, melibatkan kerjasama multi sektor dan multi institusi yang terkait. Berbagai sektor pemerintah terkait erat dengan permasalahan ini adatah sektor ketenagakerjaan, sosial, kesehatan, hukum, kepolisian pariwisata, pendidikan, agama, dengan dukungan seluruh komponen masyarakat baik LSM, Organisasi Profesi, O'd-'nisara somal, Perguruan Tinggi, Serikat Pekerga, Pengusaba, Medra Massa dan masyarakat lúas.
176
Daftar Pustaka
Anonim (1996) Report of the Asia-Pacific regional preparaton consultation for the world congress against commerça sexual exploitation of children. Bangkok: UNICEF. Angsana, Getrudis (1999), Skripsi tentang Pelacuran ABC d, Surabaya Blanc, C.S. (1994). Some comparative urban trends: Street work, homelessness, schooling, and family survival strategy In C.S. Blanc et al. (Eds.) Urban children in distress: Global predicaments and innovative strategies Switzerland: Gordon & Breach. Bongkok,^(1995). Pefuangan dan penindasan. Yogyakarta:
BOyden
' Zed Books"' P'
(1991)
'
0fthe
^■
L0nd0n:
BPS (1995). Demographic and health survey 1994. JakartaCentral Bureau of Statistics. BPS (1995). IndikatorKesejahteraan Rakyat 1995.3akarta- Biro PusatStatistik. BPS (1998). Indikator Kesejahtaraan Rakyat 1997. Jakarta: Biro rusatStatistik. BPS(1999). Indikator kesejahteraan Rakyat 1999.Jakarta: Biro PusatStatistik.
177
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Budiono, Teguh (2002). Dalam makalah: Pengalaman mengamati Masalah Pelacuran dan Perdagangan Anak di kabupaten Indramayu. Burman, E. (1996). Local, global or globalized? Child development and international child rights legislation. Journal of Child Research, 3(1): 45-65. Daliyo, et al. (1995). Child labour and educational planning in Nusa Tenggara Barat and Nusa Tenggara Timur. Center for Population and Manpower Studies Indonesian Institute of Sciences and Demography Program, RSSS The Australian National University. Darroch, R.K., Meyer, P.A., & Singarimbun, M. (1981). Two are not enough: The value of children to Javanese and Sundanese Parents. Honolulu: East-West Center. Depsos (1996). Buku putih rehabilitasi sosia/ tuna susila. Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial. Dermawan, Kemal.M. PelacuranTerselubung dan Pelacuran Anak di Indonesia. Dipresentasikan dalam Semiloka Nasional Prostitusi Anak dan Industn Panwisata Yogyakarta 1-2 Juli 1998 kerjasama PUSPAR UGM dan IL0 IPEC. Dharmaputra, N.G., dkk. (1996). Situational analysis on HIV/ AIDS and its impact on chidren, women and families i Indonesia. Report prepared for the United Nation Children?s Fund, Jakarta: Center for Health Research, University of Indonesia Endang R. Sedyaningsih, Mamahit (1999) PerempuanPerempuan Kramat Tunggak, Ford Foundation, Jakarta Ennew, J. & Milne, B. (1989). The next generation: Lives of third world children. London: Zed Book Ltd.
178
Daftar Pustaka Farid, M. (1998). Sexual abuse, sexual exploitation, and commercial sexual exploitation of children. Dalam Irwanto dkk. (1998). A situational analysis of children m need of special protection. Final Draft. A report to UNICEF Jakarta. Gatra, Sindikat Dagang ABG, Edisi 3 Oktober 1998 Hanum, S.H. (1997). Perkawinan usia belia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan UGM & The Ford Foundation. Hakiki, Jurnal LPA Surabaya, Jejak-Jejak Pelacur Anak di Gang Dolly, Edisi Pertama, September 1999. Hechler, David (1997). Child Sex Tourism Hull, T.H., Sulistyamngsih, E. & Jones, G.W. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Impelizeiri, F., (1995). Street children and NGOs in Rio: A followup study on non-governmental projects. Bontafogo, RJ: AMAIS Livraria e Editora & IUPERJ. Irwanto, Diao, A.L., & Moeliono, L. (1995). The life-styles of street children in Jakarta (Unpublished monograph) Irwanto dkk. (1998). A situational analysis of children in need of special protection. Final Draft. A report to UNICEF Jakarta. Irwanto,dkk.(2001). Perdagangan Anak di Indonesia, Kantor FLO, Jakarta Irwanto (2002). Dalam makalah ESKA dan Perdagangan AnakSituasi
dan
Tantangannya
di
Indonesia.
ipresentasikan dalam acara menyoal Masalah erdagangan dan Pelacuran Anak di Indonesia Depnakertrans dan IL0 IPEC, 22 Juli 2002
179
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih International Federation of dournalists (1996). Prime time for children: Media, ethics, and reporting of commercial sexual exploitation. Stockholm: World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children. Iones Gavin W. (1994). Marriage and divorce in Islamic South ' East Asia. Singapore: Oxford University Press. Katjasungkana, N. (1988). Perkembangan hukum positif yang mengatur kejahatan seksual. Makalah disampaikan da la m Seminar Pelaku Kejahatan Usia Muda oleh BPHN, Jakarta: FISIP UI, Depok. Koentjoro (1989). Melacur sebagai sebuah karya dan pengorbanan wanita pada keluarga ataukah penyakit sosial? Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Kedua Wanita Indonesia, Fakta-fakta dan karakteristik. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Kusumanegara, A. (1994), Profile, on Street Children in Jakarta Area. CCIPS-YKAI & PACI Indonesia. KiKiimaneaara A (1995). Learning from Families on The Edge: Ses,"» Cale. Jakarta: CCIPS YKAI 8, Childhope Asia. LeVine, RA, Miller, P.M., &West, M.M. (1988). Parental behwior in diverse societies. San Fransrsco, CA: Jossey-Bass, Inc. Lumoindong, G., & Lumoindong, I.R. (1996). Penyimpangan seksual ABG kita. Tinjauan etis teologis terhadap prakti hubungan seks pranikah. Yogyakarta:Yayasan An i. Muntabhorn, Vivit (1996) Sexual Exploitation of Children New York and Geneva. United Nations Center for Human Rights. Mutiara, Edisi 876 Th. XXX, 3-9 Juni 1997
180
Daftar Pustaka Narwoko dkk (1991) Opini Masyarakat Kota terhadap KKBSSebuah Studi Sosiologi tentang Idéalisme dan Jumlah Anak, Surabaya: Lembaga Penelitian UNAIR. NGO Groups on the CRC (1996). Prevention and psycho-social rehabilitation of child victims of sexual exploitation. Stockholm: World Congress against Commericial Sexual Exploitation of Children. OGrady, R. (1992).The child and the tourist. Bangkok: ECPAT. O'Grady, R (1994). The rape of the innocent: One million children tr
°PPed m the slavery of prostitution. Bangkok* ECPAT oey -Ga^ne, M. (1991). EduCational d achievements and challenges. In Gavin W. Jones & Terrence H. Hull (ed.), Indonesia Assessmentpopulation and human resouces. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies and Australian National University, (p. 135 - 166). Raharjo, Y., & Raharto, A. (1998). Dampak krisis moneter dan bencana alan, terhadap tenaga kerja, migrasi dan kehidupan keluarga. Dalam Y. Raharjo, F. Betke M Novena & T. Handayani (Eds.). Prihatin lahir batinDampok knsis moneter dan bencana El Nino terhadap Jakarta:
Pushtbang
Kependudukan
dan
Ketenagakerjaan, LI PL Saptari. Ratna & Brigitte Hilzner (1997) Perempuan. Kef a dan Jakart"f ^
^mpuan,
Sedyamngsih, Mamahit, Endang R 0999)Perempuanerempaan d, Kramat Tunggak. Pustaka Sinar Harapan Soedjono,D,SH(1977) Pelacaron: Ditinjaa dan Segi Hukum dan Bandung""
MaSy
'"°kat
181
Ka
Cantara:
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Soemardjan, S. (1998). Prihatin lahir batin: dampak berbaga krisis dalam rumah tangga. DaLam Y. Raharjo, F. Betke, M. Noveria, &T. Handayani (Eds.). Prihatin lahirbabn: Dampak kñsis moneter dan bencana El Nmo terhadap masyarakat, keluarga, Iba dan Anak di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Ketenagakerjaan, LIPI.
Kependudukan
dan
Soedjono,D. (1977) Pelacuran: Ditinjau dari segi hukum dan kenyataan dalam masyarakat, Karya Nusantara, Bandung Sofian, Ahmad (1999). Penjualan Anak DalamJindikat B/snw Pelacuran di Medan. Dalam majalah Hakiki, Edis! September 1999 LPA Jawa Timur. Sunindvo S (1993). She who earns: The politics of prostitution 'in Java. Doctoral dissertation in Sociology, University of Wisconsin - Madison, USA. Survadi, A. & Cahyana, A. (1998). Análisis angka partisipasi dan putus sekotah menaratjender. Makalah disajika pada seminar dua han análisis data Susanas 1996, Jakarta, 4-5 Mei 1998. Suyanto, Bagong (2002), Anak-anak Perempaan Yang Macwkan Suyanto, Ba ong^lM, ^ ^ ^ c ,antn Raoona (1999) Anak-Anak Wanita Yang Dilacurkan. Surabaya, dalam Hakiki. Ournal LPA Ed.s, pertama September 1999. Suyanto, Bagong (1998), Anak Yang Dilacurkan Studi Kasus:]awa Timur, IL0-IPEC, Jakarta Truong, Thand-0am(1992) Seh Uangéan dan Pelacuran di Asia Tenggara,lP3iS. Jakart . UNICEF (1996). Education: A force for change. Stockholm World ( congress against Commercial Sexual Exploitation of fhildrpn. 182
Daftar Pustaka O' S-' Gunawan A., Merina, D., Anisah, & Azizi, D. (1989). Penehtian deskriptif mengenai sebab-sebab kota Indramayu sebagai prod usen uta m a wanita tuna susita Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas lndonp«;i^ Young, R. (1996). Understanding the underlying factors in the prostitution of children. Dalam Anonim (1996). epor t of the Asia-Pacific regional preparatory onsultatwnforthe world congress against commercial sexual exploitation of children. Bangkok: UNICEF.
183
Ketika AnakTak Bisa Lagi Nlemilih
184
Indexs
A D
ABG 6, 20, 103, 177, 179, 180 aborsi 3 AIDS 11, 50, 91, 164, 170 172, 174, 178 aspirasi 58, 59, 173
debt-bondage 96 Departemen Sosial 1, 5, 147, 154, 193 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 3 disguised prostitution 22 Dolly 2, 6, 32, 33, 34, 35, 36, 100, 133, 134, 136, 179
B Bandungwangi vi, 5, 26, 102 155 BlolcM 24 Boker 24, 83, 117, 123, 148 Bongas x, 5, 29, 30, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45/ 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53 54, 55, 61, 62, 63, 64, 68, 70, 71, 72, 76, 78, 79, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 96, 102 103, 111, ne, isg, i69
E ecstacy 30, 191 eksploitasi 2, 3, 12, 18, 149 156, 157, 158, 159,'160,' 161, 163, 164, 165 entertainment 9 F filial piety 72 freelance 21, 26
call girls 21 calo 6, 9, 14, 21, 26, 31, 35, 69, 72, 73, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 84, 88, 99, 113 118, 119, 120, 122, 127, 145, 146, 155 child trafficking 2 Cilegeng Indah 28, 29, 79, 141
gendakan 53, 55, 105, 119 141, 170 germo 6, 9, 14, 21, 26, 52, 67, 68, 72, 73, 78, '79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,' 88, 89, 90, 97, 98, 99 104 119, 123, 127, 145, 146, '
185
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih 147, 148, 152, 155, 155, 170, 173, 190 GO 50, 194 H hedonis 9, 11, 100 HIV 11, 50, 91, 136, 164, 170, 172, 174, 178, 193 hukum 4, 5, 8, 13, 14, 19, 22, 68, 145, 146, 147, 148, 149 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 161, 162, 164, 173, 176, 180, 182, 189
ilegal 1, 8, 23, 24, 145, 147, 148 ILO 3, 4, 20, 157, 162, 163, 165, 166, 178, 179, 182, 193 Indramayu 5, 6, 7, 10, 11, 17, 18, 20, 23, 25, 26, 28, 31, 32, 37, 38, 39, 47, 48, 49, 52, 54, 59, 64, 67, 70, 71, 79, 81, 83, 100, 101, 111. 113, 121, 138, 170, 178, 183 industri seks 5, 7, 8, 9, 62, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 84, 86, 90, 98, 148, 169, 171 inex 106, 190 informal 1, 84, 99, 148 intolerable form 186
iam terbang 11, 91 Jarak 32, 33, 34, 36, 71, 125, 127, 130 iaringan 2, 30, 67, 70, 87, 156, 162, 164, 165, 169, 186 karitatif 89 kemiskinan 3, 7, 17, 18, 61,
95, 96, 153, 158, 161, 164 Kepolisian 5, 26, 148, 152 keriaan 38, 39, 53, 54 kolektor 67 kondom 28, 92, 116, 124, 125, 136, 142, 143, 169, 170 konsumtif 3, 17, 18 Konvensi 3, 4, 14, 20, 157, 160, 162, 163, 165, 166, 194 korban 3, 13, 14, 15, 17, 54, 149, 152, 153, 154 Kramat Tunggak 8, 23, 24, 27, 30, 50, 83, 85, 86, 87, 88, 91, 93, 94, 104, 113, 147, 148, 178, 181 kreditor 89, 97 kumpul kebo 42, 55, 103, 189
Lokalisasi 5, 27, 113, 141, 147, 148 lokalisasi 1, 2, 6, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 32, 33, 34, 35, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 107, 110, 112, 113, 114, 117, 123, 125, 129, 136, 137, 139, 141, 147, 148, 149, 156, 170, 176 loosely connected 68 M mafia 2 Mangga Besar x, 23, 24, 30, 31, 83, 87, 88, 105, 117, 137, 138, 139, 171 materialistis 17 motivasi 11, 20, 57 mucikari 18, 28, 32, 35, 64, 86, 145, 146 N narkoba 3, 155 ngalap 64 nglonte 91 ^/-iUt- /-Inh 186
Indeks
participatory 6 petacuran ix, x, xi, 1, 2, 3, 5 6, 7, 8, 9, to, ii, 12, '13,' i*- 16, 18, 19, 21, 22, 23', 24, 25, 26, 28, 30, 32, 33, 34, 47, 61, 69, 70, 71, 72, 74, 78, 84, 85, 86, 87, 95, 96, 99, 100, 101, 104,'lio', 127, 130, 131, 135, 145, 146, 147, 148, 149, 152, 153, 155, 165, 169,171,1/2, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 182, 191 pelacuran. 20 pelaku ix, 13, 14, 146, 148, 149, 154, 159, 161, 176, 180 Permisif 100 permisif 11, 100 PMS 8, 11, go, 172 prostitusi 2, 7, 10, 11, 15, 17, 21, 22, 23, 24, 32, 100 146, 153, 156, 161, 163, 172, 174, 178, 189 Prumpung ix, 5, 21, 23, 24, 25 26, 101, 155 p SK 27, 32, 33, 156 PSKW 1
148, 149,155, 156, 158, 159, 169, 170, 171, 172, 182, 180 short time 93, 191 Sipilis 50 stigmatisas)' xi, 22, 40, 101, 158 street walkers 21 subservient 64 suci 11 superior 11, 90
Tandes 32, 33 Taoke x, 70 teler 115 terselubung l, 6, 9, is, 22, 24 25, 32, 149 41 PS 35, 93, 105, 108, 113, 114, 123, 140, 191 tradisional 3, 18, 189, 191 transaksi 21, 24, 25, 73 90 155, 170 ' ' trauma 3, 174 triping 107 U UNICEF 12, 14, 173, 177 179 182, 183, 193
rasionalisasi xi, 100, 101 ratifikasi 3, 157, 163 rehabilitas)' xi, 1, 2, 3, 5, g 1°' 26, 27, 86, 147, 154, 155, 174, 176, 178, 193
value of children 15, 173 Viaduct ix, 5, 24, 25, 26, 155
Yayasan Abdi Asih 2 Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia 24
sel
« 1- 2, 5, 7, 8, 9, 10, 11 14, 15, 16, 20, 24, 25, 30, 33, 35, 62, 63, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 78, 80, 84, 86, 87, 90, 98, 100, 121, 124 128, 129, 130, 133, U5
187
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
188
Daftar Istilah
booking
,
pesa„ tempat
,.stjlah .ni.
^
:
prostitusi bila petanggan memesan dull orangnya sebelum berkencan istUah bahasa Jawa kasar, untuk menyebu
kumpul kebo:
tamu atau pelanggan istUah dan bahasa Jawa yang menggambarkar
gendak
dimana hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tela h tinggal satu atap/rumah layaknya suami-istri namun tidak diikat oleh tali perkawinan yang berlandaskan hukum negara yang berlaku. '«fck
:
penari sen,' pertunjukan tradisional Jawa yang sangat interaktif di mana pengunjung dapat an9SUn9 nlenari ber!ama IriTnii' diperbolehkan' memegang atau meraba-raba agían tubuh terlarang penari disaksikan oleh pengunjung yang lain, dengan memberikan
imbalan sejumlah uang. Hubungan ini dapat dilanjutkan secara lebih intim sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pertunjukan lazimnya diadakan saat ada hajatan pengantin atau hajatan lainnya 0nthe
:
mejeng
:
pe^acur'lallaSa ^aVVa ^asar untuk menyebut bergaya untuk menarik perhatian lawan jenis
189
Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih nderep
:
kegiatan memanen padi yang merupakan masa sibuk siklus tanam padi
nenggak
:
istilah bahasa 'prokem' Jakarta untuk menyebut perilaku seseorang yang sedang minum-minuman keras atau minum obat-obat terlarang (golongan narkotika dan obat adikti lainnya)
ngalap
orangtua mengambil uang basil kerja anaknya, dalam kasus anak yang dilacurkan uang langsung diminta dari si anak maupun langsung ke germo/majikan
ngamar
melakukan kencan, hubungan intim atau seksual di kamar.
ngapel
waktu untuk kencan
nge-on
istilah bahasa 'prokem' Jakarta untuk menyebut keadaan seseorang yang sedang fly/ mencapai puncak kenikmatan karena pengaruh narkotika dan obat adiktif lainnya.
ngetrend
mengikuti mode atau gaya masa kim
ngewek
istilah 'prokem' dari Jakarta untuk menyebut perilaku hubungan intim atau hubungan seksual
nginex
:
istilah 'prokem' dari Jakarta untuk menyebut keadaan ketergantungan terhadap konsumsi inex (salah satu obat termasuk dalam kategon narkotika dan zat adiktif)
nglonthe
pengasihan
•
istilah dalam bahasa Jawa kasar untuk menyebut laki-laki yang gemar melakukan hubungan intim dengan pelacur adalah jimat yang diperoleh dari dukun tradisional/paranormal ditujukan agar senantiasa mendapatkan rejek! atau lans dalam mpnialankan usaha atau kerjanya.
190
Daftar Istilah rewang
short-time
:
budaya Jawa yang merupakan wujud gotonq royong membantu bila ada warga yang sedang memihki hajat menunjukkan waktu pendek (satu kali orgasme) dalam melakukan hubungan seksual. .h mi juga dikenal untuk hotel atau penginapan yang melayani pasangan yang mgin kencan sesaat tanpa menginap
tips
tripping
uang jasa, dalam dunia pelacuran dikenal tips yaitu uang jasa yang diberikan di luar tarif resmi yang d^erikan pegguna jasa langsung kepada pelacur keadaan dimana seseorang dalam keadaan fly akibat pengaruh ecstacy (termasuk dalam kategon narkotika dan obat terlarang)
191
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih
192
Daftar Singkatan
ILO
International Labour Organization
IPEC ' LSM
•
UU Jabotabek : FISIP : Difyanrehabsos •' Depsos
^
Pantura
;
1 0 ^r^u ?1 Pr09ramme ot Child ,Labour
on
the Eliminatic
Lembaga Swadaya Masyarakat Undang-Undang Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Pantai Utara Jawa
HIV
Human Immunodeficiency Virus
AIDS
Aquired Immune Deficiency Syndrome
UNICEF
United Nations Children Fund
Kodya
;
KK RT KTP SD SLIP SETA
Kotamadya Kepala Keluarga
•
Rukun Tetangga «arta Tanda Penduduk Sekolah Dasar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
193
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih Sekolah Menengah Ekonomi Atas Gonorrhea Infeksi Saluran Pernafasan Atas Pasangan Usia Subur Intra uteri ne Device Metode Operatif Pria (Vasektomi) Metode Operatif Wanita (Tubektomi) Keluarga Berencana Tenaga Kerja Indonesia Tenaga Kerja Wanita Daerah Khusus Ibukota Surat Keputusan Peraturan Daerah Ketentraman dan Ketertiban Konvensi Hak Anak Pemutusan Hubungan Kerja Komunikasi Informasi Edukasi Non Government Organization Convention on the Rights of the Child
194
I LO Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional "Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih" Fenomena Anak yang Dilacurkan ISBN 92-2-813429-1
Ketika AnakTak Bisa Lagi Memilih