ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Vol.1 No.7
Minggu II - Mei 2007
Memecah Dilema Investasi dan Hak Buruh
Kaum Buruh Masih Terus Dipinggirkan !
T
IDAK bisa dipungkiri lagi bahwa hubungan ketenagakerjaan di Indonesia terkait dengan hubungan-hubungan ekonomi di tingkat internasional, termasuk juga akibat-akibatnya bagi dunia perburuhan. Terjadinya polarisasi investasi di negara-negara G-8 — tidak hanya modal keuangan tapi juga modal pengetahuan dan modal teknologi, diasumsikan akan membawa teknologi, pengetahuan, modal dan kemampuan manajemen yang jauh lebih baik berdasarkan pengalaman dan skalanya. Keunggulan itulah yang akan membawa negara-negara berkembang menjadi maju lewat peningkatan teknologi, pengetahuan, pengerahan modal domestik, peluang berusaha dan perbaikan manajemen perusahaan dari perusahaan-perusahaan lokal yang menjadi mitranya. Pola produksi memang berubah, namun rantai produksi dibentang ke berbagai negara, dengan tidak mengabaikan prinsip bahwa ekstraksi nilai maksimum bisa dilakukan dengan ongkos produksi yang terendah. Jika suatu tempat bisa menawarkan ongkos produksi minimum untuk produksi padat modal — seperti riset dan pengembangan — maka rantai produksi itu akan diletakkan di situ. Sebaliknya ongkos produksi minimum untuk produksi padat karya — seperti perakitan dan menjahit pakaian — biasanya ditempatkan di negara-negara berkembang dengan tingkat pendidikan buruh yang masih terbatas sehingga bisa dibayar murah. ... bersambung ke halaman 2
Aksi Buruh 1 Mei 2007 (Joppi Perangin-angin)
Semsar Siahaan - Buruh
D
ALAM aksi demontrasi memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei 2007 lalu , sejumlah tuntutan pokok mencuat : 1. Menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing; 2. Menuntut kenaikan upah; 3. Menuntut ditetapkannya 1 Mei Sebagai Hari Libur Nasional Ketiga tuntutan disebut pokok karena langsung menyentuh ke perut buruh dan merupakan masalah akut. Tuntutan ketiga pernah diberlakukan di masa pemerintahan Soekarno di dalam UU No.1/1951, namun semua batal demi hukum semenjak pemerintahan Megawati mengeluarkan UU No.13 tahun 2003, yang menjadikan berbagai UU sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. Tuntutan pertama dan kedua diajukan karena persis dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, memungkinkan sistem kontrak dan outsourcing diberlakukan. Sistem ini diyakini para buruh akan menem... bersambung ke halaman 3
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007
Sambungan dari halaman 1... Kaum Buruh Masih Terus Dipinggirkan
Memindahkan rantai produksi yang padat karya akan lebih mudah dibandingkan dengan memindahkan rantai produksi yang padat modal. Rantai produksi yang padat modal memerlukan pembangunan infrastruktur yang mahal dan sumber daya manusia yang canggih yang akan menggerakkan inovasi. Kedua hal tersebut kebanyakan tidak dapat diperoleh di negaranegara berkembang baik itu karena faktor fisik (termasuk infrastruktur), keterbatasan modal untuk mengadakan investasi dalam infrastruktur, belum siapnya kondisi sosial dan perangkat hukum, maupun faktor politik. Menjadi pertanyaan di sini: mengapa rantai produksi padat karya lebih mudah dipindahkan? Harus dilihat bahwa pada prinsipnya, dalam suatu proses produksi, bahan baku dan bahan pendukung diolah menjadi bahan jadi yang harganya jauh melebihi penjumlahan harga bahan baku dan harga bahan pendukung. Nilai surplus, di mana keuntungan dari produksi berasal, merupakan selisih dari harga barang jadi, dikurangi dengan hargaharga yang harus dibayarkan, yaitu: upah buruh, biaya perijinan dan sejenisnya, biaya transportasi dan distribusi, biaya pengelolaan, biaya pemeliharaan, dan harga bahan baku dan harga bahan pendukung. Secara sederhana dari biayabiaya tersebut terdiri dari barang saja, yaitu harga bahan — termasuk bahan baku, pendukung, serta peralatan dan perawatannya. Di samping itu juga ada yang tidak hanya barang saja, yaitu biaya tenaga kerja — tidak hanya dalam bentuk upah buruh tapi dalam upah terkait dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar (outsourcing). Dari biaya-biaya tersebut, biaya terkait dengan barang merupakan biaya yang ditentukan menu-
rut harga berlaku di pasar — misalnya harga bahan baku, harga bahan pendukung, harga minyak pelumas, harga komponen dan harga kemasan. Biaya-biaya ini besarnya relatif, dihasilkan dari transaksi dengan pemasok. Komponen harga barangnya sebetulnya sudah ditentukan melalui mekanisme pasar dan tidak bisa ditekan lagi. Lalu, untuk mendapatkan surplus lebih banyak, apa yang harus ditekan? Sekilas upaya menekan biaya barang sudah terlihat bahwa harga barang bisa ditekan melalui “relasi sosial”-nya. Hubungan baik dengan produsen karena membeli dalam jumlah besar sehingga bisa menjadi prospek untuk hubungan ke depan, menjadi pelanggan maupun karena kerabat dekat merupakan relasi sosial yang umum dijumpai. Ekstraksi nilai surplus juga bisa diperoleh dari relasi sosial dengan buruh. Buruh yang kurang terampil, pendidikan rendah, kehidupan paspasan dan berasal dari golongan bawah dalam relasi produksi merupakan faktor produksi yang murah. Oleh karena itu, semakin suatu negara mempunyai buruh tidak terdidik dalam jumlah yang besar, maka makin banyak proses produksi padat karya yang dimilikinya. Juga dalam sejarah pertumbuhan industrinya, banyak negara maju mulai dengan industri padat karya, seperti industri ringan, baru kemudian setahap demi setahap, karena prospek keuntungannya tidak besar lagi, akan melahirkan industriindustri padat modal. Dalam pertumbuhan industrinya, masalah yang sering dihadapi negara ialah prospek keuntungan berkurang dengan makin mahalnya upah buruh. Bila perusahaan menganggap bahwa buruh semakin mahal maka menjadi pekerjaan rumah lagi untuk mencari jalan keluar dari tekanan upah ini. Komponen dari mahalnya buruh ini bisa yang langsung — yaitu upah — namun juga
Tempophoto (Lourentius Edi Purwanto)
bisa dari fasilitas yang harus diberikan oleh perusahaan berdasarkan ketetapan pemerintah tertentu. Tidak bisa dipungkiri bahwa industrialisasi membawa peningkatan penghidupan buruh di suatu negara. Jika mereka semula sangat bergantung pada sektor pertanian yang prospek keuntungannya ditentukan tidak hanya oleh risiko pasar namun juga risiko alam, mereka bisa menemukan alternatif penghidupan dari pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian, yang pendapatannya relatif lebih pasti. Proses produksi pun tidak tergantung pada alam. Peningkatan penghidupan ini juga meningkatkan wawasan akan konsumsi yang meningkatkan kebutuhan hidup layak, seperti makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan. Peningkatan kebutuhan ini akan memberikan tekanan pada industri untuk memberi upah lebih tinggi kalau mereka mau mempekerjakan buruh. Saat tekanan upah sudah tinggi, sehingga memakan porsi biaya yang besar, bagi dunia industri setidaknya ada tiga cara untuk mengatasinya. Cara pertama, dengan melakukan pemindahan rantai produksi ke tempat di mana tekanan upah masih rendah. Argumennya
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007
3
ialah perusahaan harus mempertahankan daya saing dengan memberikan solusi: mencopot salah satu rantai proses produksinya dan kemudian melakukan relokasi ke tempat di mana faktor produksi bisa didapat lebih murah, atau melakukan outsourcing dari mata rantai tersebut ke tempat yang bisa memberikan solusi lebih murah. Cara kedua, perusahaan cenderung menggunakan buruh yang lebih mudah diputus kontraknya jika tidak lagi diperlukan. Buruh mudah dilepas dan direkrut lagi, sementara perusahaan tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk menjamin kesejahteraan buruh sesuai peraturan. Ini yang dinamakan flexible labour market. Fleksibilitas pasar tenaga kerja dianggap merupakan kunci sukses dalam meraup manfaat dari globalisasi dan liberalisasi — termasuk penurunan angka kemiskinan dan tingkat kesenjangan pendapatan. Buruh yang lebih fleksibel mempunyai posisi yang lebih lemah dalam kontrak kerja — baik itu karena belum begitu paham lika-liku kontrak
kerja, maupun karena tingkat kesadaran dan pendidikan yang membatasi pengetahuan mereka tentang masalah hubungan industrial. Namun buruh bisa menjadi lebih lemah jika memang mereka tidak bisa mengelak dari kontrak tersebut, karena bekerja di situ merupakan satu-satunya pilihan, atau karena memang mempunyai masalah hukum yang hendak disembunyikan. Cara ketiga, pengusaha berupaya menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel dengan berupaya mempengaruhi peraturanperaturan legal yang berlaku. Upaya ini bisa dilakukan dengan menekan institusi-institusi hukum yang ada, sehingga pengaruh mereka bisa dituangkan dalam peraturanperaturan legal. Para pemilik faktor produksi dominan ini bukan hanya perusahaan multinasional, yang sekarang sering sekali didengungkan sebagai biang keladi terciptanya pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel di negara-negara tujuan investasinya. Tetapi, pemilik faktor produksi
dominan bisa juga perusahaanperusahaan domestik yang berupaya untuk memperoleh iklim berproduksi yang lebih menguntungkan, dengan memperbesar eksploitasi pada pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Peran yang dimainkan para pengusaha berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik merupakan hal yang lumrah pada negara-negara berkembang. Kondisi seperti ini yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Membiarkan proses ini terus berlangsung dengan sendirinya bisa mengundang kerugian karena buruh diharuskan tunduk pada prinsip-prinsip pencapaian nilai tambah secara maksimum dalam proses produksi. Sementara mengubah proses ini pun tidak mungkin hanya dengan demokrasi sebagaimana dipahami secara umum, tanpa memperhitungkan peran khusus dari unitunit masyarakat dan juga faktor negara yang memang peduli dan mempunyai komitmen terhadap perbaikan nasib buruh. (*****)
Sambungan dari halaman 1... Memecah Dilema Investasi dan Hak Buruh
labour market menjadi salah satu pilihan untuk mensiasati pendapatan dan pemasukan negara. Dilema ini terus menerus bergulir, seperti tak menemukan ujung pasti. Di satu sisi pemerintah harus memberikan jaminan kerja dan melindungi hak-hak buruh. Di sisi yang lain ketergantungan terhadap investasi masih menjadi jalan terbaik pemulihan ekonomi saat ini. Berhadapan dengan dilema ini dua arus muncul. Pertama adalah teori keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam rupa upah buruh murah, kemudahan investasi jangka panjang, dll, dinilai masih menjadi daya tarik utama. Arus kedua adalah yang menolak pandangan keunggulan kom-
paratif itu. Basisnya adalah realitas. Contohnya di Thailand dan Malaysia, upah buruh yang tinggi tidak menyurutkan investasi yang masuk (dengan satu catatan bahwa Malaysia banyak mempekerjakan tenaga kerja ilegal, yang mayoritas warga Indonesia) Di antara dua arus inilah pemerintah mendayung. Di sini yang diharapkan adalah kebijakan pemerintah yang tepat dan efisien yang mampu untuk bermain di antara gelombang dan pusaran globalisasi. Dibutuhkan paradigma industri yang di satu sisi konsisten, efektif dan bisa menarik investasi, di sisi lain bisa juga melindungi dan memperluas hak-hak buruh. (*****)
patkan mereka semakin terjepit, terpinggirkan, serta terabaikannya hak-hak mereka. Sejumlah aktivis buruh menilai UU ini merupakan bagian dari proyek globalisasi untuk menciptakan flexible labour market atau pasar buruh yang fleksibel. Outsourcing akan memudahkan pengusaha menggunakan dan memberhentikan buruh sesuai dengan kebutuhan produksi mereka. Bagi buruh, ini jelas merugikan. Namun di sisi yang lain, investasi asing masih merupakan salah satu sumber pokok pendapatan negara, di sini adopsi hukum pasar flexible
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007
1 Mei (May Day) Sebagai Hari Libur Nasional Masa Presiden Soekarno 1 Mei Ditetapkan Sebagai Hari Libur
S
UDAH jadi semacam ritual, tanggal 1 Mei berbondong-bondong buruh turun ke jalan. Beragam tuntutan dikemukakan para buruh di seluruh Indonesia. Salah satunya meminta “1 Mei ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional”. Mengapa 1 Mei? Peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Sejak tahun 1918, Hindia Belanda sudah tercatat sebagai wilayah pertama di Asia yang memperingati May Day. Pada masa kolonialisme Belanda, gerakan buruh merupakan salah satu entitas sosial-politik yang berdiri di garis yang anti-penjajahan, antipenindasan dan anti-eksploitasi, menjadikannya sebagai salah satu tonggak pergerakan kerakyatan di Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa buruh memberikan andil besar dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Karena andil itu pula, kemudian pemerintahan Soekarno memasukkan golongan buruh ke dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dari 263 KNIP, 38 orang berasal dari golongan buruh atau sebesar 14.45 persen dari komposisi anggota KNIP (PP No.6/1946), sehingga kaum buruh dapat menyuarakan tuntutantuntutan mereka di tingkat nasional. Kerlibatan wakil-wakil buruh dan sikap berpihak pemerintah kepada mereka, mendorong dirancangnya Undang-Undang Kerja pada tahun 1947. Dalam RUU Kerja yang digodok pada tahun 1947-48, diusulkan satu klausul yakni: “Pada hari 1 Mei Buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Tuntutan itu dilanjutkan permintaan salah satu anggota Fraksi Buruh agar pemerintah sesegera mungkin menerbitkan Peraturan Pe-
merintah (PP) yang menentukan berlakunya aturan mengenai bebasnya buruh dari kewajiban bekerja pada 1 Mei, dengan tetap mendapat gaji penuh. Akhirnya, RUU Kerja tersebut disahkan oleh pemerintah melalui UU No.1/1951 yang berisi pernyataan diberlakukannnya RUU Kerja Tahun 1948 menjadi Undang-undang. Era pemerintahan Soekarno, 1 Mei adalah hari yang diperingati secara nasional. Perayaan 1 Mei tahun 1948 misalnya, dirayakan tidak hanya oleh buruh, tani, pemuda, tetapi dirayakan juga oleh pejabat negara lainnya. Seperti yang dilakukan oleh Keresidenan Aceh, Gubernur Sumatera, Menteri Perburuhan dan Sosial, Panglima Besar Sudirman, dan termasuk juga oleh Wakil Presiden, Bung Hatta. Di situ terlihat posisi dan sikap pemerintahan Soekarno terhadap kaum buruh. Akan tetapi keadaan berubah akibat peristiwa 1965. Buruh tidak hanya dimundurkan, tetapi juga mengalami stigmatisasi. Kebijakan ekonomi yang pro-modal asing tidak hanya menghapus keberpihakan pemerintah kepada buruh, bahkan berlanjut dengan represi.
Pro-Kontra Hari Buruh Sebagai Hari Libur Nasional Memang ada perbedaan hubungan yang mencolok terhadap tuntutan untuk menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Menteri Tenaga
Peringatan 1 Mei 1953 (Badan Arsip Provinsi Jawa Timur)
Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Erman Soeparno, misalnya, berpendapat usulan tersebut harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan departemen lain. Setelah ada persetujuan, DPR harus diajak bicara untuk memutuskan ini, “1 Mei jadi libur nasional tidak bisa diputuskan sendiri”, ujarnya. Lain lagi yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, Indonesia saat ini memiliki 16 hari libur nasional — paling tinggi di kawasan Asia. “Kalau (hari libur) ditambah lagi, kerja kita hanya liburan”, katanya (Koran Tempo, 2/5/2007). Akan tetapi sikap berpihak juga muncul. Misalnya dari Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang juga Menteri Koperasi dan UKM. Ia mendukung tuntutan buruh untuk menjadikan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, dan bagi perusahaan yang tetap mempekerjakan karyawannya pada tanggal tersebut harus memberikan uang lembur (Antara, 1/5/2007). Dukungan lain datang dari anggota Komisi II DPR Mahfudz Siddiq yang mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan penetapan 1 Mei sebagai hari buruh. Mahfudz
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007 mengatakan, penetapan hari buruh akan menciptakan ketenangan dalam masyarakat dan bisa mengurangi potensi konflik. Menurut dia, tarikmenarik kepentingan juga tidak akan terjadi antara dua kelompok jika pemerintah menetapkan 1 Mei menjadi hari libur nasional. Bagi Mahfudz, pengusaha dan pekerja juga akan tenang setiap tanggal tersebut. (Sindo Sore, 2/5/2007). Dari kalangan pengusaha ada juga yang setuju. Pengusaha di Medan misalnya, meminta 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur agar mereka tidak merugi, karena sebagian besar para pekerjanya ikut berdemo merayakan May Day. Bahkan, sejumlah pabrik di Sidoarjo, Jawa
Menakertrans Erman Soeparno - Tempophoto (Gunawan)
5
Timur, sudah terlebih dulu mengantisipasi aksi ini dengan berinisiatif menjadikan 1 Mei sebagai hari cuti bersama, seperti yang dilakukan PT. Maspion, pabrik terbesar di kawasan itu (Koran Tempo, 2/5/2007). Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk menunjukkan sikap dan posisi yang jelas. Lepas dari segala trauma dan viktimisasi masa lalu, kaum buruh sebagai komunitas kerja terbesar, dan lahan pencarian kehidupan yang mendominasi puluhan juta warga Indonesia, harus dihormati! Sudah saatnya pemerintah mengakui 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional, dan menetapkannya sebagai hari libur nasional (***)
Sistem Outsourcing Akal-akalan Melemahkan dan Meminggirkan Hak-hak Kaum Buruh
O
UTSOURCING adalah upaya perusahaan untuk mengadakan proses produksi dengan menggunakan sumber daya dari luar induk organisasi usaha. Dalam industri kapitalis sekarang, yang paling lazim di outsource adalah tenaga jasa pendukung dan jasa distribusi. Dengan itu, organisasi atau perusahaan bisa lebih fokus pada usaha pokok yang telah mejadi kompetensinya. Konon, berkembangnya pola outsourcing ini dipicu oleh temuan integrated circuit atau dikenal dengan istilah chip semi-conductor. Dengan ditemukannya chip maka semua perangkat elektronika menjadi ringkas dan kecil. Ini memicu tidak hanya percepatan dan kuantitas produksi tetapi juga mendorong intensitas pada bidang Penelitan dan Pengembangan (Litbang). Kombinasi temuan chip, semiconductor dan Litbang mendorong perubahan karakter pada bagian
produksi: pertama, lingkaran produksi menjadi semakin pendek; kedua, model sistem roda berjalan manual digantikan dengan model yang lebih mapan, terstandarisasi dan tetap. Akibatnya, perusahaan tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang tetap, produksi yang terkonsentrasi dan menetap di satu lokasi. Lebih jauh lagi, perusahaan memiliki alasan untuk mengurangi biaya produksi. Hal ini juga yang membuat konsep outsource ini bagi sebuah perusahaan multinasional (MNC) melekat dengan konsep offshoring. Offshoring adalah upaya untuk terus memindahkan lokasi produksi agar mendapatkan pajak yang lebih murah atau upah buruh yang lebih rendah. Perkembangan lanjut dari outsource dan offshoring dari proses produksi ini pada akhirnya menggeser proses pengelolaan manufaktur dari negara maju seperti Amerika Serikat ke negara berkem-
bang. Sebuah produk bisa dengan merk yang sama tetapi telah diproduksi dari bermacam negara. Misalnya sebuah perusahaan besar penghasil PC seperti Apple, riset dan rancang bangun dari produk PC dilakukan sendiri oleh perusahaannya di Amerika Serikat. Sedangkan pabrik komponen, bisa tersebar di Singapura (untuk menghasilkan chip), monitor PC di Malaysia, dan motherboard-nya di Taiwan. Lalu semua komponen dirakit menjadi satu di Indonesia. Ini yang menjadi dasar dari apa yang disebut sebagai pembagian kerja internasional baru (the new international divison of labour). Dengan menyebar proses produksi ini, perusahaan induk dapat terus konsentrasi untuk menghasilkan produk baru, dan tidak membutuhkan biaya investasi yang besar. ... bersambung ke halaman 8
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007
Upah Murah: Sudah Nggak Jaman !
M
ENGHADAPI krisis dan kemacetan investasi industri belakangan ini, baik pengusaha maupun pemerintah masih menggembar-gemborkan kenaikan upah buruh sebagai salah satu sebabnya. Pemahaman dan propaganda semacam ini, selain keliru juga ketinggalan jaman. Dalam era globalisasi, relokasi industri adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Kecepatan perpindahan modal dan finansial terjadi hanya dalam hitungan menit. Untuk bisa ikut bergabung dan bermain di wilayah ini, dibutuhkan sarana dan infrastruktur yang terintegrasi dan terartikulasikan dalam kebijakan dan komitmen politik yang jelas. Struktur dan kultur pembangunan ekonomi industri nasional harus berjalan paralel dengan perkembangan internasional. Berhadapan dengan kondisi ini, pengusaha dan pemerintah Indonesia masih gagap. Kegagapan ini nampak dari dalam konsep keterbukaan liberal yang malah mematikan basis perekonomian yang ada. Kebijakan pemerintah bukannya mendorong penguatan perekonomian lokal, tapi justru sebaliknya. Sebagai contoh, ketika pintu lalu lintas barang dan jasa di buka lebar atau liberalisasi, produk impor membanjiri pasar domestik, dengan harga di bawah harga pasar produk lokal. Akibatnya industri dalam negeri tidak mampu bersaing dan terancam bangkrut. Jelas saja, situasi ini dirasakan sangat tidak kondusif bagi perkembangan usaha. Iklim usaha yang tidak kondusif di dalam negeri menyebabkan sejumlah investor besar dan menengah terancam minggat, karena tidak kuat meneruskan kegiatan produksinya (Neraca, 13/9/2006). Namun begitu, meski persoalan
jakarta-indymedia.org
telah sedemikian gamblang, pengusaha-pemerintah masih cenderung menyalahkan pihak buruh. Sikap yang salah alamat ini, secara tak langsung sebenarnya disadari juga oleh pemerintah. Dalam sebuah pernyataanya, Menteri Perindustrian, Fahmi Idris mengatakan, ada empat faktor utama penghambat laju pertumbuhan industri saat ini yaitu, pasokan gas, perbankan, harmonisasi tarif dan penyelundupan (Media Analisa, 19/4/2007). Kalau salah satu persoalannya adalah modal, sektor perbankan sudah menurunkan tingkat bunga,
tapi dana yang masih mengendap di BI sekitar Rp. 263 Triliun (Kontan, 30/4/2007). Dari pernyataan Fahmi itu, tersirat dengan jelas bahwa upah buruh tidak masuk sebagai salah satu penyebab penghambat pertumbuhan dan perkembangan industri. Dengan demikian secara keseluruhan hambatan tersebut bersifat sekunder, atau tidak berhubungan langsung dengan produksi, (kecuali pasokan BBM). Dari gambaran di atas, maka jelas, industri kita tidak bisa lagi mengandalkan upah buruh murah sebagai keunggulan. Faktor lain yang juga harus diperhitungkan untuk menilai
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007 sebab-sebab kemunduran industri dan investasi adalah teknologi. Teknologi sangat berpengaruh dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi, teknologi modern yang berkembang sekarang ini dapat menjaga kualitas dengan konsisten. Negara-negara di Asia cenderung memproduksi produk yang sama, hal itu dikarenakan keseragaman bahan baku yang tersedia. Menurut Rosabeth M. Kanter, sukses dalam kompetisi tingkatan dunia, baik antar perusahaan atau negara, hanya dapat diperoleh oleh entitas-entitas yang memiliki barang dan jasa yang memenuhi standar kelas dunia (Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya, Repositioning Asia, 2001). Sekali lagi, bukan karena upah murah! Dari gambaran di atas dapat diperoleh beberapa poin penting. Pertama, upah buruh murah tidak bisa lagi dijadikan sebagai faktor yang dapat diunggulkan. Malah upah buruh murah justru menjadi bumerang bagi industri. Struktur industri yang dibentuk sejak bertahun-tahun menghasilkan industri yang putus, artinya sangat tergantung terhadap rendahnya upah buruh, bukan teknologi atau kemampuan bahan baku atau sumber daya manusia. Ke depan, kemampuan daya saing industri harus menekankan kemampuan teknologi dan pemanfaatan bahan baku lokal secara optimal. Bukan lagi mengandalkan keunggulan upah buruh murah. Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M. Soewandi dalam suatu rapat kerja dengan Komisi V DPR pada tahun 2004, mengatakan, penyerapan tenaga kerja yang banyak tidak bisa diandalkan dengan upah yang murah, karena akan banyak negara lain yang bisa berkompetisi dalam soal ini (Sinar Harapan, 4/2/2004). Negara-negara yang kurang sejahtera dibandingkan Indonesia seperti Bangladesh, Sri Lanka atau
negara-negara Afrika lebih punya daya saing bila mengandalkan upah buruh murah. Karena itu, Indonesia harus menambah tingkat kompetisi dengan tetap menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar didasarkan pada penggunaan bahan baku dalam negeri sampai pada proses akhir. Cina tidak lagi bersaing dari segi upah, namun produktivitas. Produktivitas Cina 1,5 kali lebih besar dibandingkan Indonesia dengan upah buruh sama, sehingga biaya produksi jauh lebih murah. Kedua, pemerintah selama ini memanjakan pengusaha dengan menekan buruh. Kebijakan ini sama sekali tidak mendidik dunia usaha. Perlindungan dan subsidi tidak memiliki efek langsung pada produksi. Idealnya pemerintah melindungi industri dalam negeri dengan memaksa pengusaha untuk meningkatkan teknologi produksi serta penggunaan bahan baku dari dalam negeri. Untuk hal di luar produksi, peraturan dan kebijakan bisa berupa penyederhanaan birokrasi, yang sekaligus penghematan waktu dan efisiensi. Masalah besar lainnya, dan ini juga membuat investor enggan adalah terlalu besarnya pungutan yang tidak resmi atau pungli. Menurut pengalaman pengusaha, besarnya pungutan yang harus dibayar bisa mengeruk 10 persen keuntungan usaha. Dari paparan di atas, jelas bahwa kemandegan industri dan investasi kita, sama sekali tidak berkaitan dengan upah buruh. Di titik ini, untuk mendorong pertumbuhan industri, pemerintah harus mengubah pola dan prinsip perlindungan dan subsidi usaha dalam negeri, dengan konsep dan penciptaan struktur industri yang mendidik pengusaha, bukannya menekan buruh. Baru dari sini kesejahteraan rakyat bisa lebih terang prospeknya. (**)
7
Hak-Hak Normatif Buruh Hak yang bersifat ekonomis: misalnya upah, tunjangan hari raya (THR), tunjangan hari tua, fasilitas perumahan, dan lainnya; Hak yang bersifat politis: misalnya hak membentuk serikat buruh, hak menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, hak mogok, hak tidak diperlakukan diskriminatif, dan lainnya; Hak yang bersifat medis: misalnya hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, hak melahirkan, hak istirahat, hak menyusui anak, hak atas jaminan pemeliharaan kerja, larangan memperkerjakan anak, dan lainnya; Hak yang bersifat sosial: misalnya hak cuti, kawin, libur resmi, pembatasan pekerjaan anak dan perempuan pada malam hari, dan lainnya. Sumber: Panduan Bantuan Hukum di Indonesia 2006
Analisis Mingguan ini diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir, Daniel Hutagalung, Donny Ardyanto, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Otto Pratama, Rachland Nashidik, Robby Kurniawan, Robertus Robet, Ronny Agustinus, Santi Nuri Dharmawan Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.7/2007
Sambungan dari halaman 5... Outsourcing Akal-akalan
Outsourcing Tenaga Kerja Seiring perkembangan jaman, praktek outsource ini bermetamorfosis bukan hanya pada industri high tech tetapi juga semua jenis industri konvensional ,yang berkarakteristik low tech dan padat tenaga kerja. Ini yang kemudian menimbulkan masalah-masalah perburuhan yang makin kompleks. Sistem outsourcing yang sudah mulai dipakai di dunia sejak tahun 1980-an ini, merupakan sebuah sistem baru pembagian kerja dalam proses produksi. Bila Adam Smith mengusulkan pembagian kerja berdasarkan tahapan kerja dalam unitunit khusus untuk meningkatkan produksi, outsourcing adalah pemindahan/pendelegasian unit khusus tersebut ke pada pihak lain di luar perusahaan. Ketika mulai meluas diterapkan oleh industri di tahun 1990-an, outsourcing tidak hanya terjadi dalam proses sub-produksi. Dalam wilayah produksi, bahkan dalam bagian yang merupakan bisnis utama (core-business), outsourcing juga dilakukan. Artinya, outsourcing tidak hanya terjadi terhadap buruh manufaktur namun juga terhadap pekerja kerah putih. Di Indonesia, outsourcing diterapkan terhadap unit-unit kerja tertentu dalam industri manufaktur, seperti pemotongan dan sablon di bidang garmen, pembuatan sol di industri sepatu, dll. Di bidang lain, outsourcing lebih meluas terutama dengan banyaknya lembaga-lembaga penyedia tenaga kerja untuk riset, pengembangan, rekrutmen, hingga kebersihan (cleaning service) dan office boy. Bahkan untuk bidang Litbang, perusahaan sebesar IBM juga melakukan outsourcing. Secara teoritis, sistem outsourcing memberikan perusahaan kesem-
patan untuk berkonsentrasi penuh dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Karena urusan rekrutmen, manajemen tenaga kerja, kompensasi dan gaji, pajak, Jamsostek, hukum, kesehatan karyawan, asuransi, training, dan lain lain akan dikelola oleh lembaga penyedia tenaga kerja. Bagi perusahaan, sistem ini menjanjikan laba yang lebih besar dengan adanya penurunan biaya, serta fleksibilitas karena bila membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas mereka bisa beralih ke lembaga penyedia tenaga kerja yang lain.
“outsourcing tidak hanya terjadi terhadap buruh manufaktur, namun juga terhadap pekerja kerah putih” Bagi buruh, sistem baru ini mengubah secara fundamental hubungan antara pekerja dengan yang mempekerjakan (majikan). Pertanyaan terbesar bagi buruh dengan adanya sistem outsourcing adalah, kepada siapa dia bekerja sekarang? Siapa yang dia bisa sebut sebagai majikannya sekarang? Apakah majikannya adalah majikan tempat dia bekerja atau lembaga penyedia tenaga kerja yang menjadi penyalurnya? Namun pertanyaan-pertanyaan itu menjadi kurang penting ketika buruh dijadikan pekerja permanen oleh lembaga penyedia tenaga kerja, dan dipastikan tetap memperoleh hak-hak minimumnya ketika sedang tidak disalurkan ke perusahaan. Artinya, bukan kebijakan baru manajemen perusahaan untuk melakukan outsourcing yang men-
jadi persoalan bagi buruh. Namun, siapa yang bertangung jawab terhadap kesejahteraan buruh dalam sistem outsourcing. Secara prinsip, sistem outsourcing memang menciptakan satu ketidakpastian baru bagi masa depan buruh. Hubungan antara lembaga penyedia tenaga kerja dengan perusahaan yang menyewanya, sangat mempengaruhi keberlangsungan pekerjaan buruh. Kondisi ini hanya memperlemah kondisi buruh. Mereka dapat dengan mudah kehilangan pekerjaan apabila terjadi perselisihan dengan pihak majikan atau pemilik pabrik, karena status mereka akan selamanya menjadi pekerja kontrak honorer, atau yang tiap 3 bulan kontrak diperpanjang tetapi statusnya masih bukan karyawan tetap. Ini semua menjadi bagian yang sering disebut sebagai Flexible Labor Market (manajemen pasar tenaga kerja yang lentur) Untuk saat ini, muncul sejumlah alternatif untuk mengatasi bencana akibat outsourcing ini. Pertama mungkin dengan insentif pajak. Perusahaan yang melakukan outsource tenaga kerjanya lebih dari 50 % dari total pekerjannya misalnya akan dikenakan pajak laba yang lebih tinggi. Dari sini soal upah diharapkan bisa dikompensasi dari pajak. Kedua, negara melakukan pengawasan yang ketat terhadap perusahaan penyedia jasa tenaga kerja terutama untuk soal kontrak ketanaga kerjaan. Negara dituntut untuk tidak tutup mata terhadap praktek outsourcing di sektor perburuhan dan jangan membela pegusaha atau investor. Ketiga, negara mendata lagi siapa siapa saja saja perusahaan penyedia tenaga kerja, supaya praktek percaloan tidak terjadi sekaligus menekankan kewajiban tertentu seperti meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja binaannya dan peningkatan kualitas tenaga kerja (*)