Bab 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Jepang telah banyak memberikan inspirasi
kedisiplinan dalam tatanan hidup umat manusia sebagai makhluk sosial secara menyeluruh. Misalnya saja nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya Jepang. Masyarakat negeri matahari terbit ini merupakan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai tradisional di tengah-tengah pola kehidupannya yang sudah modern. Hal tersebut membuat Jepang menjadi sebuah bangsa yang maju yang sangat disegani oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di antara banyaknya nilai-nilai tradisional Jepang yang berakar dari budaya luhur mereka, terdapat beberapa hal yang menarik untuk dipelajari, seperti chu, ko, giri, ninjou, gimu, dan on. Nilai-nilai itulah yang kemudian dianggap sebagai ciri khas atau karakteristik bangsa Jepang. Sebuah karakter yang membangun bangsa Jepang sehingga menjadi bangsa besar seperti sekarang ini. Nilai-nilai tersebut tidak hanya tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, namun juga dalam wujud karya seni. Misalnya saja kaligrafi, lukisan, seni gerak, atau karya tulis. Tak bisa dipungkiri bahwa karya seni bangsa Jepang memiliki nilai historis dan karakteristik yang sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah mukashi banashi, yaitu dongeng rakyat yang melegenda dan diwariskan secara turun–menurun dari generasi ke generasi. Dalam Encyclopedia Wikipedia (2008) mukashi banashi adalah cerita rakyat. Disebut juga sebagai “mukashi”, “mukashiko” atau “mukashi gatari”. Terlahir dari
1
tengah-tengah kehidupan masyarakat dan disebarluaskan dari mulut ke mulut, mukashi banashi menjadi salah satu literatur dan tulisan rakyat. Mukashi banashi juga dijadikan dalam bentuk anime di televisi maupun anime dalam bentuk video. Dari kebanyakan cerita rakyat Jepang, dapat dibagi menjadi empat kategori utama. Kategori tersebut meliputi: mukashi banashi yaitu cerita mengenai kisah atau dongeng rakyat; densetsu, yaitu cerita tentang legenda; kaidan yaitu cerita-cerita fiksi termasuk di dalamnya cerita tentang makhluk-makhluk yang menyeramkan atau makhluk gaib; kotowaza, yaitu segala sesuatu mengenai peribahasa dan petuah-petuah kuno. Dalam Mukashi Banashi Library (2008) dijelaskan bahwa tokoh-tokoh karakter yang biasanya ada pada cerita rakyat tersebut terdiri dari: sepasang kakek-kakek dan neneknenek, atau laki-laki dengan nama yang mengandung Taro atau Jiro. Taro memiliki dua arti, yaitu nama anak laki-laki atau juga bisa berarti panggilan laki-laki secara umum. Kebanyakan dari tokoh utama cerita rakyat tersebut adalah seorang yang pemalas, kecil atau besar atau lahir dari sesuatu yang tidak masuk akal. Bahkan ada juga tokoh kaya yang menjadi miskin akibat sombong dan malas, atau sebaliknya, tokoh miskin yang menjadi kaya karena selalu bersyukur atau mendengarkan apa kata-kata Tuhan. Namun, tentu saja semua itu hanya sebuah cerita. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak ragam dan perbedaan dalam mengenali makhluk-makhluk pada cerita rakyat Jepang yang tentunya berbeda dari peradaban barat. Berikut ini pemahaman praktis mengenai hal tersebut dan karakter mereka dalam cerita atau legenda rakyat Jepang: 1.
Kami (神): Kami adalah para dewa Jepang. Kami sering muncul dalam cerita rakyat dan tidak semua dari mereka itu punya kekuatan. Selain itu mereka juga
2
mempunyai sifat menyerupai manusia biasa. Mereka dapat sangat marah dan murka jika tidak dipuja dan dihormati secara terus menerus, akan tetapi mereka tetap berfikiran bijaksana layaknya para dewa. Dalam setiap hal di alam ini terdapat banyak dewa; dari matahari sampai samudra, dari batu hingga sungai, bahkan setiap pucuk rumput pun mempunyai dewanya sendiri. 2.
Oni (鬼): Oni seringkali diterjemahkan sebagai makhluk raksasa seram, mereka adalah tipikal tokoh-tokoh yang menyeramkan atau jahat atau antagonis dan sangat liar. Raksasa ini biasanya hidup di gunung atau gua. Mereka berkulit biru, merah atau hitam, mempunyai tanduk menyerupai lembu, dan mengenakan pakaian loreng layaknya harimau. Raksasa ini sering membawa tetsubo (batangan besi, palang tunggal) atau kanabo (tongkat besi). Mereka bisa juga bijaksana namun licik, atau lamban dan bodoh, tergantung pada siapa yang menjadi tokoh sumber cerita tersebut.
3.
Tennin (天人): Adalah makhluk-makhluk suci yang sebenarnya berasal dari mitologi Cina kuno, tetapi juga telah masuk ke dalam budaya Jepang melalui cerita rakyat. Mereka biasanya hidup di bulan atau di khayangan, tetapi sesekali turun ke bumi dengan mengunakan hagoromo atau pakaian bidadari. Salah satu tokoh tennin yang paling terkenal dalam cerita rakyat Jepang adalah Kaguya Hime. Biasanya para tennyo istilah para tennin yang berarti dewi kayangan atau bidadari ini menggenakan jubah merah, biru dan hijau.
3
4.
Sennin (仙人): Adalah manusia biasa yang telah mencapai tingkat keabadian dan mempunyai beberapa kekuatan seperti dapat terbang, termasuk berkomunikasi dengan binatang.
5.
Sennyo (仙女): Seorang makhluk cantik yang misterius ini karakternya hampir sama dengan tennyo, tapi biasanya mereka hidup di pegunungan atau di bawah tanah.
6.
Bakemono (化け物): Nama lain dari monster atau setan atau iblis yang banyak dijumpai dalam cerita rakyat Jepang pada umumnya. Bakemono atau obake (hantu, roh), dapat berupa semua jenis monster. Meskipun begitu, di Jepang terdapat begitu banyak monster yang mempunyai ciri-ciri kebiasaan dan bentuk tertentu.
7. Chouja (長者): Adalah kelompok orang-orang kaya dalam tingkat kehidupan di desa. Seringkali chouja adalah pemimpin atau kepala suku di suatu desa. Namun seringkali diceritakan, seseorang yang miskin kemudian menjadi kaya atau chouja melalui kejadian yang tidak biasa. Bahkan ada yang telah kehilangan seluruh hartanya tetapi tetap mempertahankan status chouja-nya. Japan an Illustrated Encyclopedia (1993:390) mengutip bahwa istilah mukashi banashi atau kisah-kisah kuno sebelumnya dikenal dengan beberapa istilah lain yaitu kohi (tradisi bercerita), mindan (cerita rakyat), and dowa (cerita anak-anak). Mukashi banashi biasanya merupakan kisah yang ditulis secara indah berdasarkan karakter dan kejadian fiktif. Cerita-cerita bersejarah, umumnya dipercaya sebagai kisah nyata, atau dikenal juga dengan sebutan densetsu atau legenda. Baik mukashi banashi dan densetsu 4
adalah bagian dari tradisi bercerita yang diwariskan secara turun-temurun. Pada umumnya, densetsu secara jelas menyebutkan waktu, keadaan, serta karakter yang terlibat, sedangkan kisah-kisah mukashi banashi biasanya dimulai dengan waktu yang samar, seperti "昔話、あるところに" (dahulu kala di suatu tempat) dan diakhiri
dengan "であったとさ" (begitulah katanya), yang menunjukan bahwa kisah tersebut merupakan cerita dari mulut ke mulut. Tiga dongeng anak Jepang yang akan dianalisis dalam skripsi ini berdasarkan pada buku seri cerita anak Jepang Nihon Ohanashi Meisakuzensyuu, yaitu: 1.
Urashima Tarou; secara singkat dongeng ini menceritakan tentang seorang nelayan bernama Urashima Tarou yang kemudian dibawa oleh kura-kura ke istana para dewi laut sebuah tempat yang terdapat di bawah laut, sebagai ucapan terima kasih karena Urashima Tarou telah menolongnya. Setibanya Urashima Tarou di istana para dewi laut, dia mendapat sebuah kotak yang tidak boleh dibuka olehnya. Urashima Tarou merasa hanya tinggal satu tahun saja di istana para dewi laut, akan tetapi ketika dia pulang dan kembali ke daratan ternyata waktu telah berjalan selama ratusan tahun. Dia menemukan bahwa keluarganya pun telah lama meninggal. Saat itu Urashima Tarou teringat akan kotak yang diperolehnya ketika di istana para dewi laut. Dengan hati yang hancur, Urashima Tarou membuka kotak tersebut. Ternyata kotak itu membuatnya berubah menjadi seorang kakek-kakek, dan itu menunjukan usianya yang sebenarnya. Urashima Tarou pun kemudian meninggal.
2.
Momotarou; secara singkat menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang lahir dari buah persik yang ditemukan sedang mengapung di atas sungai oleh 5
sepasang kakek dan nenek. Buah persik tersebut diambil dan dipotong oleh mereka dan ternyata dari dalamnya muncul seorang anak laki-laki. Anak itu dinamai Momotarou, kemudian dirawat dengan penuh kasih sayang oleh mereka. Setelah dewasa, kota tempat tinggal mereka diserbu oleh sekelompok monster raksasa. Demi membayar hutang budi kedua orangtua angkatnya, Momotarou berjanji akan melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka dan orang banyak. Akhirnya Momotarou pun pergi mendatangi pulau tempat tinggal para monster raksasa bersama tiga sahabatnya, yaitu tiga ekor binatang yang dapat berbicara: seekor monyet; anjing; dan burung. 3.
Tsuruno Ongaeshi; secara singkat menceritakan tentang seorang pemuda miskin yang tinggal di gunung. Suatu hari ketika dia hendak pergi membeli kursi dari uang yang sudah lama dia kumpulkan. Dalam perjalannya menuju kota, dia melihat seekor burung bangau yang terluka karena jebakan perangkap si pemburu hutan. Si pemuda merasa kasihan, akhirnya dia melepaskan perangkap itu dan membebaskan burung bangau. Keesokan harinya tiba-tiba datang seorang wanita cantik yang bersedia menjadi istrinya meskipun si pemuda itu memiliki apa-apa. Sejak saat itu kehidupannya berubah, si pemuda itu kini dapat makan enak dan hidup berkecukupan.
Di dalam tiga dongeng anak Jepang yang berjudul Urashima Tarou, Momotarou dan Tsuruno Ongaeshi tersebut, terdapat nilai-nilai budaya bangsa Jepang yang telah disebutkan sebelumnya. Namun pembahasan lebih lanjut dalam skripsi ini, hanya terbatas pada konsep giri dan ninjou. Berdasarkan Encyclopedia Wikipedia (2008) giri adalah nilai-nilai budaya Jepang yang dalam bahasa Inggris kurang lebih diartikan sebagai tugas atau kewajiban, atau 6
bahkan beban kewajiban, dengan penekanan pada pengaruh budaya dan kultur Jepang, daripada hanya sekedar arti dari kata tersebut. Dalam Nihon Kokugo Daijiten (1993:456) giri disimpulkan sebagai hutang budi, menjaga nama baik, kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dalam hubungan manusia. Artinya jika seseorang telah menerima sesuatu kebaikan dari orang lain maka ia harus membalas kebaikan itu, walaupun tindak balasan itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, jika seseorang tidak menjalankan giri maka ia dikenal sebagai orang yang melalaikan giri dan tidak akan mendapatkan respek dari lingkungannya. Japan an Illustrated Encyclopedia (1993:456) menjelaskan bahwa kewajiban sosial (giri) berarti kewajiban untuk melakukan sesuatu berdasarkan suatu prinsip sosial yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Sedangkan perasaan manusia (ninjou) merupakan rasa kemanusiaan dan perasaan kasih sayang kepada sesama manusia secara universal, misalnya cinta, iba, simpati, hampa dan sebagainya. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap manusia di seluruh dunia untuk saling membantu antar sesama manusia. Perasaan seperti ini biasanya timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan atau kesusahan dan membutuhkan pertolongan. Dalam Guide to Japanese Language (2008) tertulis bahwa ninjou berhubungan dengan kadar emosi manusia seperti rasa simpati; kasihan; cinta; dan pertemanan. Ninjou adalah sebuah ekspresi spontan terhadap orang lain. Seperti frasa Jepang yang berbunyi; "hangat dalam ninjou" yang berhubungan dengan manusia yang bijaksana dan berbudi. Menjadi bijaksana dan berbudi saja tidaklah cukup, selain itu diharuskan pula memperhatikan satu makna dari kewajiban moral untuk dapat diterima di masyarakat 7
sekitarnya. Baik ninjou maupun giri adalah penting dalam kehidupan masyarakat Jepang, dan wajib memelihara keharmonisan sepanjang masa. Dalam Encyclopedia Wikipedia (2008) ninjou adalah sebuah emosi manusia atau empati dalam konteks budaya Jepang. Hal tersebut dapat juga diartikan sebagai perasaan manusia yang berkaitan dan berseberangan dengan nilai-nilai giri atau kewajiban sosial di dalam budaya Jepang. Secara umum ninjou dapat dikatakan sebagai perasaan manusia yang memantul kembali di dalam konflik kewajiban sosial. Karena ninjou adalah sebuah istilah kebudayaan yang spesifik, maka unsur kepentingan konsep tersebut ditentukan oleh beberapa sudut pandang yang luas, yang erat terkait dengan persepektif seseorang atas nihonjinron (teori budaya Jepang) secara keseluruhan. Dalam Japan As It Is dalam Suyana (1996:27) dijelaskan bahwa masyarakat Jepang lebih mudah cenderung untuk menghargai ninjou melebihi giri. Maka dari itu ninjou lebih kepada suatu hubungan yang tidak pamrih atau tidak mengharapkan balasan dari si penerima bantuan. Akan tetapi ketika mereka masuk ke dunia kedewasaan, di mana hubungan antar manusia bergantung atas kewajiban rasa timbal balik, mereka belajar mematuhi norma-norma sosial dan menjadi lebih taat pada kewajiban-kewajiban giri. Karena jika mereka melalaikan kewajiban giri, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Menurut Abe dalam Guide to Japanese Language (2008) mengungkapkan bahwa konflik antara giri dan ninjou, disebutkan sebagai topik yang utama dalam kisah-kisah drama Jepang sejak dahulu kala. Dengan demikian, jika dipandang dari konsep giri dan ninjou pada tiga mukashi banashi yang akan dibahas dalam skripsi ini, gambaran mengenai penerapan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan nyata bangsa Jepang akan dapat dipahami lebih mendalam. 8
1.2
Rumusan Permasalahan Skripsi ini akan membahas masalah giri dan ninjou dalam mukashi banashi (analisis
terhadap tiga dongeng anak Jepang) 1.3
Ruang Lingkup Permasalahan Proses analisis dalam skripsi ini dibatasi pada pembahasan pokok masalah, yaitu:
konsep giri dan ninjou dalam tiga dongeng anak Jepang tersebut.
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memperoleh manfaat dari konsep giri dan ninjou
tersebut, sehingga diharapkan dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya sekedar memahami arti kata giri dan ninjou itu sendiri. Penulis percaya bahwa meskipun berasal dari nilai-nilai tradisional bangsa Jepang yang hidup di masa lampau, konsep pengertian giri dan ninjou dapat diterapkan pada pola kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini.
1.5
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan metode
deskriptif analisis. Data yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber kemudian dianalisis dengan menggunakan landasan teori dan konsep, yang diambil dari buku-buku koleksi pribadi penulis maupun buku-buku koleksi umum dari perpustakaan.
9
1.6
Sistematika Penulisan Pada Bab 1 akan diuraikan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, ruang
lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab 2 akan diuraikan mengenai teori-teori yang akan penulis gunakan untuk menganalisis permasalahan, di antaranya adalah konsep giri dan ninjou pada tiga dongeng anak Jepang yang berjudul Urashima Tarou, Momotarou dan Tsuruno Ongaeshi. Bab 3 akan menguraikan analisis penulis atas tiga dongeng anak Jepang yaitu Urashima Tarou, Momotarou dan Tsuruno Ongaeshi yang akan dihubungkan dengan teori-teori yang telah diuraikan dalam Bab 2. Pada Bab 4 penulis akan memberikan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Simpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan yang ada dalam skripsi. Selain itu juga berisi saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan peneliti selanjutnya. Bab 5 berisi ringkasan keseluruhan isi skripsi yang dimulai dari latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, penguraian teori-teori yang digunakan, analisis data konsep giri dan ninjou pada ketiga dongeng anak Jepang, serta hasil penelitian yang ditulis secara singkat dan padat namun mudah dipahami.
10