BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan orang yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan maupun membahagiakan tetap memiliki arti. Kemampuan untuk memahami dan mengalami suatu perasaan positif dan negatif akan membantu memahami makna kehidupan yang sebenarnya. Kemampuan ini sering disebut sebagai empati. Empati merupakan bagian penting social competency (kemampuan sosial). Empati juga merupakan salah satu dari unsur-unsur kecerdasan sosial. Terinci dan berhubungan erat dengan komponen-komponen lain, seperti empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian sosial. Empati dasar yakni memiliki perasaan dengan orang lain atau merasakan isyarat-isyarat emosi non verbal (Goleman, 2007) Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang. Ketepatan empatik yakni memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain dan pengertian sosial yakni mengetahui bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman, 2007) Secara lebih luas empati diartikan sebagai keterampilan sosial tidak sekedar ikut merasakan pengalaman orang lain (vicarious affect response), tetapi juga mampu melakukan respon kepedulian (concern) terhadap perasaan dan perilaku orang
1
tersebut. Tidak heran jika latihan memberikan sesuatu atau bersedekah, selain merupakan sarana beribadah, juga bisa melatih empati anak pada orang lain yang memunculkan sifat berderma (filantropi) (Frieda Mangunsong, 2010). Dengan demikian penekanan empati tersebut menyatakan bahwa kemampuan menyelami perasaan orang lain tersebut tidak membuat tenggelam dan larut dalam situasi perasaannya tetapi mampu memahami perasaan negatif atau positif seolah-olah emosi itu alami sendiri (resonansi perasaan). Kemampuan berempati akan mampu menjadi kunci dalam keberhasilan bergaul dan bersosialisasi di masyarakat. Dalam kehidupan berkelompok pasti mendapati orang dalam watak yang beraneka ragam. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat memaksakan pendapat, pikiran atau perasaan kepada orang lain. Di sinilah, empati sangat berperan penting. Individu dapat diterima oleh orang lain jika dia mampu memahami kondisi (perasaan) orang lain dan memberikan perlakuan yang semestinya sesuai dengan harapan orang tersebut. Kemampuan empati perlu diasah setiap orang agar dirinya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Empati akan membantu orang untuk cepat memisahkan antara masalah dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong orang mampu melihat permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektifitas dalam memecahkan masalah. Banyak alternatif yang memungkinkan dapat diambil manakala individu berempati dengan orang lain dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya empati sulit rasanya mengetahui
apa yang
sedang dihadapi seseorang karena tidak dapat memasuki perasaannya dan memahami kondisi yang sedang dialami.
2
Tuhan menciptakan manusia dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Perempuan dilambangkan dengan kelembutan, mempunyai perasaan yang lembut dan lebih sensitif terhadap sesuatu, perempuan lebih peduli dengan orang lain. Sedangkan laki-laki sering dianggap seseorang yang keras, kasar, dan lebih cuek dengan orang lain. Namun pada kenyataannya banyak perempuan yang melakukan kekerasan kepada anaknya, kepada pembantu atau pun kepada saudaranya. Ada juga perempuan yang melakukan penipuan, bahkan ada juga yang sampai melakukan pembunuhan demi materi. Tetapi laki-laki juga ada yang menjadi perawat, pekerja sosial, bahkan seorang konselor. Jadi sebetulnya laki-laki dan perempuan tidak menjadi patokan apakah jiwa sosial rendah ataupun tinggi. Bisa saja jiwa sosial individu tumbuh dari lingkungan yang berbeda. Orang yang tinggal di lingkungan yang keras, maka individu akan terbangun menjadi orang yang keras juga. Namun jika individu tinggal di tempat yang mempunyai kepedulian dengan orang lain yang sangat tinggi maka mereka akan terlatih dan terbiasa untuk peduli dengan orang lain. Penelitian
Martha
(1990)
mengenai
gender
differences
in
Empaty
mengungkapkan, ada steoreotip budaya lama bahwa perempuan cenderung lebih empatik daripada pria. Selama bertahun-tahun steretip ini telah didukung oleh teori dan penelitian di bidang beragam seperti psikoanalisis, sosial, perkembangan kepribadian, dan psikologi feminis. Hubungan antara jenis kelamin, dan berbagai aspek empati (afektif dan kognitif) juga diperiksa. The Empathy Scoring System, dan sistem baru yang mengandung beberapa aspek empati, digunakan untuk mengukur
3
empati, 30 siswa pria dan 30 siswa wanita yang berpartisipasi dalam studi yang lebih tinggi dari remaja awal. Didapatkan p = 0,03 (p< 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan empati pada siswa laki-laki dengan siswa perempuan (penelitian ini diambil sampel pada siswa SMA). Hojat, Gonnella, Nasca (2002), penelitian untuk mengetahui perbedaan score empati antara kelompok dokter pria dan wanita yang mengkhususkan diri dalam psikiatri, kedokteran internal, pediatri, obat-obatan darurat, dan obat-obatan keluarga di wilayah Philadelphia dengan menggunakan Skala Jefferson yang hanya terdiri dari komponen afektif, ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan score empati baik pada komponen afektif antar dokter pria dengan wanita. Berdasarkan hasil penelitian yang bertolak belakang dari Martha (1990) dan Hojat dkk (2002), maka perlu dilakukan penelitian ulang tentang ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara empati remaja perempuan dengan laki-laki. Di sisi yang lain, Eisenberg (2002) menyatakan bahwa perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada
kepercayaan bahwa perempuan lebih
nurturance (bersifat
memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Pola asuh orang tua kepada anaknya juga akan berpengaruh terhadap sikap berempati pada anak itu sendiri. Di sini siswa yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi. Kemudian perbedaan gender khususnya SMP 3 Salatiga
4
juga mempengaruhi dalam berempati. Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada kepercayaan bahwa perempuan
lebih
nurturance
(bersifat
memelihara)
dan
lebih
berorientasi
interpersonal dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Kemudian dalam bersosialisasi antara siswa juga sangat berpengaruh terhadap sikap berempati antara siswa itu sendiri. Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan social yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan social. Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan pra penelitian yang dilakukan pada kelas IX A SMP Negeri 3 Salatiga, hasilnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
5
1.1.1 Deskripsi Empati Siswa Laki-laki Prapenelitian Tabel. 1.1. Hasil Sebaran Empati Siswa Laki-laki Laki-laki Cumulative
Valid
Missing
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
Sedang
7
23.3
46.7
46.7
Tinggi
8
26.7
53.3
100.0
Total
15
50.0
100.0
System
15
50.0
30
100.0
Total
1.1.2. Deskripsi Empati Siswa Perempuan Prapenelitian Tabel. 1.2. Hasil Sebaran Empati Siswa Perempuan Perempuan Cumulative
Valid
Missing Total
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
Rendah
1
3.3
6.7
6.7
Sedang
1
3.3
6.7
13.3
Tinggi
13
43.3
86.7
100.0
Total
15
50.0
100.0
System
15
50.0
30
100.0
6
Tabel. 1.3 Mean Perbedaan Empati Siswa Laki-Laki dengan Perempuan (prapenelitian) NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks
empati
jenkel
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Perempuan
15
17.90
268.50
laki-laki
15
13.10
196.50
Total
30 b
Test Statistics
empati Mann-Whitney U
76.500
Wilcoxon W
196.500
Z
-1.506
Asymp. Sig. (2-tailed)
.132
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.137
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: jenkel
Dari Tabel 1.3 terlihat empati siswa laki-laki dan siswa perempuan pada kelas IX A SMP Negeri 3 Salatiga, tidak ada perbedaan karena sig >0,05 jadi hasil prapenelitian ini tidak signifikan. Berdasarkan latar belakang di atas, dan berdasarkan hasil prapenelitian, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul ” Perbedaaan Empati Antara Siswa Laki-Laki Dan Perempuan Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga”
7
1.2 Rumusan Masalah ”Adakah perbedaan yang signifikan empati antara siswa laki-laki dan perempuan pada siswa kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga?”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikasi perbedaan empati antara siswa laki-laki dan perempuan pada siswa kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi yang telah ada yaitu mengenai empati, sehingga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah khususnya dalam bidang bimbingan konseling. Penelitian ini memberi manfaat teoritik yang bila hasil penelitian ini ada perbedaan yang signifikan maka sejalan dengan hasil penelitian Marta (1990). Sedangkan apabila penelitian ini tidak ada perbedaan yang signifikan maka sejalan dengan hasil penelitian Hojat dkk (2002). Dukungna hasil penelitian ini masuk dalam kajian Bimbingan dan Konseling pribadi sosial.
8
1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini bagi sekolah diperoleh kepastian ada tidaknya perbedaan
yang signifikan empati antara siswa laki-laki dan siiwa perempuan kelas IX SMP N 3 Salatiga sebagai bahan masukan bagi sekolah terutama bagi guru pengajar mata pelajaran yang secara langsung memberikan pengajaran kepada siswa dan menanamkan empati kepada siswa. Dan diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja untuk menggali kecerdasan emosional yang dimilikinya.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesa, manfaat penelitian, sistematika penulisan. Bab II Landasan teoretik, empatik, empati laki-laki dan perempuan, manfaat empati, penelitian yang terkaid, hipotesa. Bab III Metode penelitian, jenis penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, angket, teknik analisa data, analisis deskriptis dan inferensial. Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi : deskripsi subyek penelitian, pengumpulan data, analisis data, uji hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. Bab V. Penutup, berisi : kesimpulan dan saran.
9