BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam
pertumbuhan
tumbuhan
berkayu/pohon
tidak
tertutup
kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang tumbuh secara normal. Salah satu proses yang mungkin dialami dalam pertumbuhan pohon adalah proses terbentuknya kayu reaksi. Terbentuknya kayu reaksi
tersebut
disebabkan
oleh
adanya
respon
dari
pohon
terhadap
pertumbuhannya yang miring atau tumbuh tidak pada posisi normal yang biasanya diakibatkan oleh faktor alam seperti angin, tanah longsor, banjir dan erupsi gunung berapi (Nugroho, 2012). Kayu reaksi yang terdapat pada pohon bertipe angiospermae (pohon daun lebar) disebut kayu tarik dan pada pohon bertipe gymnospermae (pohon-pohon berjenis conifer) disebut kayu tekan (Barnett dkk, 2013). Respon pohon untuk kembali tumbuh normal ditandai dengan naiknya batang pohon menuju posisi tegak yang disebut juga proses derajat pemulihan sudut batang (stem recovery degree). Terjadinya pemulihan sudut batang dalam upaya pohon untuk tumbuh normal ke posisi semula disebabkan terbentuknya kayu tarik pada bagian atas batang atau cabang dan kayu tekan pada bagian bawah batang atau cabang pohon. Semakin besar kayu tarik dan kayu tekan yang terbentuk maka peluang pohon untuk kembali tumbuh normal ke posisi semula juga semakin besar (Nugroho, 2012). Kayu tarik merupakan kayu reaksi yang pada umumnya terbentuk pada sisi atas cabang atau batang yang tidak lurus pada pohon bertipe dikotil yang secara anatomi ditandai kurangnya lignin pada dinding sel dan kehadiran lapisan gelatin (g-layer) pada seratnya (Barnett dkk, 2013; 1
Nugroho, 2012). Anatomi kayu reaksi dalam hal ini kayu tarik dan kayu tekan berbeda dengan anatomi kayu normal. Pada kayu tarik memiliki serat yang lebih panjang dibanding serat yang terdapat pada kayu normal dan mengandung proporsi lignin yang lebih rendah dari kayu normal yang membuat tampak lebih putih pada warnanya (Barnett dkk, 2013). Untuk perbedaan kayu tekan dengan kayu normal terlihat jelas pada kenampakan warna kayu dimana kayu tekan memiliki warna yang lebih gelap dibanding dengan kayu normal dan memiliki trakeid yang lebih pendek dibanding kayu normal pada pohon yang sama (Barnett dkk, 2013). Dalam beberapa kasus yang ditemui, kayu tarik dapat digolongkan dalam cacat kayu. Hal ini didasari adanya perbedaan yang diperoleh antara pohon yang tumbuh dengan kayu tarik dan yang tumbuh normal. Doğu dan Grabner (2010) mengatakan bahwa kayu tarik merupakan penyebab penting dalam cacat kayu karena menyebabkan perubahan dalam kayu solid dan penghambat dalam penggunaan dalam industri perkayuan. Dalam penelitiannya terhadap sifat anatomi dan sifat fisik kayu tarik sengon, Nurcahyo (2006) mengatakan bahwa batang yang memiliki kayu tarik, empulur hatinya mengalami pergeseran. Empulur hati tidak berada di tengah batang melainkan bergeser ke bagian sisi bawah batang. Oleh karena itu, batang yang memiliki kayu tarik akan memiliki kualitas yang berbeda dalam pemanfaatannya. Salah satu hal yang akan dipengaruhi kayu reaksi dalam pemanfaatan kayunya untuk industri penggergajian adalah dalam pola pemotongan kayunya akan menjadi lebih sulit untuk mendapatkan sortimen dengan arah pemotongan radial dimana sortimen dengan 2
arah pemotongan tersebut banyak diminati di industri perkayuan dikarenakan dimensi yang stabil saat digunakan dibanding kedua arah lainnya. Sementara dalam hal penggergajian, studi mengatakan bahwa konsumsi energi yang digunakan lebih tinggi saat memotong kayu tarik (Coutand dkk, 2004). Kayu tarik dan kayu tekan berpotensi untuk mempengaruhi dalam pengerjaan material kayu dimana keduanya dipenuhi dengan tegangan pertumbuhan yang tinggi yang terkadang lebih besar di kayu tarik daripada di kayu tekan. Tegangan pertumbuhan pada kayu reaksi menyebabkan pemecahan log pada kayu keras yang terdapat kayu tarik dan pinching pada kayu lunak yang terdapat kayu tekan (Castéra dkk, 1994). Kemudian dalam hal pengeringan kayu, percobaan pada kayu tekan dari spesies Picea abies yang dibandingkan dengan kayu normal (kayu opposite) menunjukkan bahwa pengeringan khususnya titik jenuh serat berkurang secara signifikan (Tarmian dkk, 2009). Karena Kandungan air di kayu tarik yang hijau lebih rendah dari batasan kayu normal, kayu kering mungkin mencapai kadar air akhir pada waktu yang sama. Namun, periode waktu untuk mencapai kelembapan seragam secara keseluruhan lebih lama pada sampel kayu reaksi (Davis dkk, 2002 dalam Barnett dkk, 2013). Nangka merupakan jenis tumbuhan kayu keras yang banyak ditemukan di daerah Asia khususnya Asia Tenggara. Nangka dapat tumbuh tinggi mencapai 25 m dan pada umumnya berdiameter 30-80 cm. Batangnya biasanya lurus, silinder, memiliki tajuk yang rendah dan tebal dan juga tidak beraturan (CABI, 2014). Manfaat dari nangka itu sendiri sangat beragam yaitu selain buahnya yang bisa menjadi makanan dan sumber ekonomi, kayunya juga dapat digunakan untuk 3
keperluan mebel dan benda lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu (IPTEKnet, 2005). Berkenaan dengan manfaat nangka tersebut, Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memilik potensi besar dalam pemanfaatan nangka. Pada laporan tahun 2007, Yogyakarta memiliki potesi besar untuk pohon nangka. Disebutkan juga bahwa nangka di daerah Yogyakarta dapat memproduksi 194.823 kwintal yang diperoleh dari 140.853 pohon (Indonesia.go.id, 2007). Banyaknya potensi tersebut mendasari pemilihan nangka menjadi objek dalam penelitian ini. Namun, keadaan geografis provinsi Yogyakarta yang rentan terkena bencana alam mengakibatkan provinsi Yogyakarta seering terkena bencana alam diamana data BNPD menunjukkan bahwa sepanjang Februari 2015 sudah terjadi 25 bencana alam di Yogyakarata (Beritasatu.com, 2015). Bencana alam tersebut dapat mengakibatkan posisi tumbuh pohon yang tidak normal serta minimnya penelitian tentang kayu tarik pada spesies nangka maka perlu dilakukan penelitian terhadap kayu tarik pada spesies nangka. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan sudut kemiringan terhadap pembentukan kayu tarik pada semai nangka. Kayu tarik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormonal (Nugroho, 2012) yang menerangkan bahwa hormon gibrreline yang diberikan pada semai Acacia mangium memberikan pengaruh pada pembentukan kayu tarik. Kemudian spesies juga berpengaruh dalam pembentukan kayu tarik. Kemudian kayu tarik juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan spesies. Hal ini dibuktikan dengan penelitian dari Abe dkk (1995) yang menyebutkan bahwa karakteristik kayu tarik pada Fraxinus mandshurica var. japonica yang sengaja dimiringkan memiliki 4
perbedaan dengan spesies lain. Faktor berikutnya yang mempengaruhi kayu tarik adalah sudut kemiringan. Namun minimnya penelitian tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap pembentukan kayu tarik mendasari pemilihan sudut kemiringan sebagai faktor dalam penelitian ini. Sudut kemiringan merupakan indikator terhadap rangsangan yang diberikan pada semai selama pertumbuhannya dan diduga perbedaan sudut kemiringan akan memberikan data yang berbeda pada pembentukan kayu tarik. Pemilihan sudut didasarkan pada kondisi lahan yang beragam yang membuat pohon tidak selalu tumbuh lurus.
5
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh sudut kemiringan semai terhadap derajat pemulihan batang semai nangka (Artocarpus heterophyllus) 2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh sudut kemiringan terhadap pembentukan
kayu
tarik
pada
semai
nangka
(Artocarpus
heterophyllus). 3. Untuk mengetahui variasi anatomi pada posisi kayu reaksi dan kayu opposite maupun kayu normal. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang kayu tarik yang terbentuk pada semai yang diketahui dari pengamatan terhadap anatomi kayu dan apakah besar sudut yang diberikan berpengaruh terhadap derajat kenaikan sudut semai dan pembentukan kayu tarik pada semai nangka.
6