BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia dikenal sebagai makhluk hidup paling sempurna. Hal ini dikarenakan manusia memiliki akal yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup yang lain. Meski demikian, ada hal yang general akan dialami oleh semua makhluk
hidup
termasuk
manusia,
yaitu
tumbuh
dan
berkembang.
Perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia diawali oleh kelahiran, balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Jangka waktu yang lama dalam perkembangan tersebut tentu akan membawa banyak perubahan dalam diri manusia, terlebih pada saat lanjut usia. Santrock (2007:193) menjelaskan bahwa dewasa akhir dimulai pada usia 60 tahunan dan diperluas hingga usia 120 tahunan. Rentang usia ini adalah rentang usia kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia, yaitu 50 hingga 60 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan populasi lansia tahun 2009 telah mencapai 737.000.000 jiwa dan sekitar dua pertiga dari jumlah tersebut berada di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia bisa mencapai 11,3% atau sekitar 28.800.000 jiwa. Jumlah populasi yang banyak dengan rentang usia yang panjang pada lanjut usia dalam prosesnya tentu akan memiliki banyak permasalahan. Permasalahan yang nanti akan terjadi muncul sebagai akibat perubahan fisik dan psikologis, termasuk kehidupan sosial. Hal tersebut didukung oleh
1
2
Harapan, Sabrian, dan Utomo (2014:1) yang mengatakan bahwa lanjut usia mengalami perubahan fisik atau biologis, perubahan pisikologis, dan perubahan sosial. Beberapa masalah yang muncul secara konkrit adalah penurunan kemampuan fisik (seperti: keriput, mudah lelah, penurunan kemampuan indra, mengalami sakit), kehilangan peran, kesepian, terisolasi, dan mengalami kekhawatiran akan kematian. Beberapa masalah di antaranya masih dapat diantisipasi secara jelas, namun bagaimana dengan kematian yang menimbulkan berbagai macam persepsi. Kematian cenderung dipandang sebagai sesuatu yang tidak jelas dan mengancam. Papalia, Olds, & Feldman (2004: 40) mengatakan kondisi mati adalah saat nafas dan denyut jantung individu telah berhenti dalam rentang waktu yang signifikan atau dapat dikatakan ketika seluruh aktivitas syaraf di otak telah berhenti bekerja. Kematian yaitu perhentian permanen pada proses fisik dan mental dalam suatu organisme (APA Dictionary of Psychology dalam Dirgantara, 2014: 18). Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2008: 566) kematian diartikan sebagai sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi; tidak bernyawa. Kematian merupakan sesuatu yang mutlak terjadi dalam kehidupan manusia. Bakker (2005: 291) mengatakan bahwa segala yang hidup pasti mati, oleh sebab itu kematian dinilai sebagai nasib natural bagi yang hidup. Bakker (2005:291) menjelaskan bahwa hakekat kematian dapat dirumuskan sebagai “berakhirnya kehidupan” (cessatio vitae) ataau “berhentinya makhluk” (cessatio entis viventis).
3
Pembahasan mengenai kematian seolah hanya berdasarkan pemahaman akan kehidupan yang harus berakhir pada suatu titik yaitu kematian. Hal tersebut terkesan dangkal dan tidak memiliki landasan yang lebih matang dalam memaknai kehidupan bahkan kematian itu sendiri. Salah satunya adalah pembahasan kematian dalam perspektif agama yang sudah banyak dibahas (Adnyani, 1999: 3). Hal tersebut ternyata tidak cukup mampu memberikan kelegaan dan penerimaan untuk menganggap kematian sebagai sesuatu yang baik. Pemahaman yang didapat seolah menjadi pisau bermata dua yang memberikan dua gambaran berbeda bagi manusia khususnya lanjut usia yang dekat dengan kematian. Pemahaman yang hanya didasarkan pada sisi dogmatis padahal masih ada banyak permasalahan hakiki yang belum terselesaikan menimbulkan kecemasan baru sehingga membuat kehidupan manusia menjadi tidak tenang dan tidak bahagia. Perlu diketahui bahwa pemegang peran penting dalam kehidupan adalah manusia sehingga pemasalahan dalam kehidupan perlu kembali pada manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk hidup bereksistensi akan mengalami proses perkembangan yang akan sampai pada kematian. Kematian akan dialami secara kongkrit sebagai puncak dari eksistensi manusia. Filsafat yang mempelajari eksistensi manusia adalah filsafat eksistensialisme. Driyarkara (1964: 55) menjelaskan bahwa eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang seluruhnya pada eksistensi. Dalam hal ini, eksistensi menjiwai seluruh perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia adalah pengalaman dimana manusia mengalami dirinya sendiri sebagai faktor yang mendasar. Hal
4
tersebut juga membuat manusia sadar akan dirinya dan sesuatu yang lain, di sini manusia berusaha keluar dari dirinya sehingga sampailah pada yang disebut eksistensi. Pada akhirnya eksistensi merupakan peristiwa yang asasi, pengalaman yang asasi, yang mampu memberikan penngetahuan yang asasi (Driyarkara, 1964: 65). Salah satu filsuf eksistensialisme yang menjadikan kematian sebagai pembahasan pokoknya adalah Martin Heidegger. Martin Heidegger sebagai salah satu filsuf eksistensialisme mencoba menjelaskan mengenai kematian sebelum akhirnya kembali lagi kepada keberadaan manusia itu sendiri. Baginya manusia di antara “ada” dan “ketiadaan”. Proses menuju pada ketiadaan menimbulkan rasa cemas pada diri manusia (Aziz, 2013: 259). Abidin (2009:178) menjelaskan bahwa Heidegger dalam bukunya Was its Metaphysik menjelaskan bahwa ketiadaan adalah ancaman bagi Ada dan puncak dari ketiadaan adalah kematian. Kecemasan yang muncul sebagai kesadaran akan ketiadaan menjadi proses yang harus dialami oleh manusia. Hal tersebut seolah memberi gambaran bahwa lanjut usia sebagai manusia dengan usia tua juga mengalami proses kecemasan tersebut. Kemampuan refleksi dan kesediaan untuk mendengarkan hati nurani menjadi pembahasan yang penting dalam filsafat Heidegger dalam memaknai kematian sebagai jalan menuju eksistensi yang otentik. Hal ini didukung oleh Zubair dalam Wijaya & Savitri (2015: 2) yang menjelaskan bahwa kematian dapat diungkapkan melalui pemahaman akan struktur manusia yang terdiri dari jiwa dan raga, sehingga kematian dapat dipahami sebagai peristiwa berpisahnya jiwa dan raga. Raga atau badan
5
dipahami sebagai kualitas kebendaan yang pada saat kematian akan musnah, sedangkan jiwa dipahami sebagai kualitas rohani yang pada saat kematian akan tetap abadi. Dua kualitas dalam diri manusia ini mampu memberikan pemahaman bahwa kematian tidak cukup hanya dipandang sebagai mati secara fisik saja. Sedangkan Bakker (2005: 292) menegaskan kematian perlu dijelaskan secara noumenal (metafisik dan hakiki). Berangkat dari hal tersebut, peneliti menilai penelitian mengenai lanjut usia dan kematian menjadi fokus yang penting untuk dibahas. Hal tersebut didukung dengan kurangnya perhatian mengenai permasalahan lansia dan kematian, baik dalam suatu pembahasan maupun terpisah. Selain itu, pemikiran filsafat Martin Heidegger yang menjadikan kematian sebagai pembahasan sentral dianggap mampu menjadi kacamata teoritis yang jelas dalam menjelaskan pandangan lanjut usia tentang kematian sehingga pemaknaan yang lebih mendalam akan kehidupan dapat diperoleh. Pemikiran Heidegger yang tidak meninggalkan keberadaan manusia seolah mampu merangkul kematian sebagai proses yang tidak terpisahkan. Berdasarkan pada pemikiran tersebut, peneliti ingin memperoleh konteksnya, bagaimana lanjut usia menanggapi kematian dan bagaimana pada akhirnya hal tersebut akan membawa lanjut usia pada eksistensi hidup sehingga pemaknaan yang utuh, hakiki, dan positif dapat diperoleh, sehingga penelitian ini pun menjadi penting untuk diteliti.
6
1. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang ada, maka rumusan masalah yang muncul adalah: 1.1. Apa pandangan lanjut usia tentang kematian? 1.2. Apa hakekat kematian menurut Martin Heidegger? 1.3. Apa analisis kritis filsafat Martin Heidegger terhadap pandangan lanjut usia tentang kematian?
2. Keaslian Karya Beberapa penelitian sebelumnya yang hampir mirip dengan objek material mengenai “Lansia” dan “Kematian”, yaitu: 2.1. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Pandangan Bhagawadgita Tentang Manusia Dan Kematian oleh Abdul Mursyid (1483, 1995) 2.2. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Kematian Manusia Sebuah Studi Antropologi Filosofis Terhadap Teori Naluri Kematian Sigmund Freud oleh Antun Joko Susman (2221, 1998) 2.3. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Eksistensi Dunia
Transendental:
Suatu
Studi
Filosofi
terhadap
Pengalaman Mendekati Kematian oleh Fitri Syaufani Raudah (2610, 2000)
7
2.4. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Dunia sebagai “Alam Kubur” (Menyingkap Makna “Kematian” Dalam Pandangan Syekt Siti Jenar Sebagai Kritik terhadap Makna Kehidupan Penganut Paham Materialisme oleh John Rinaldi (02816, 2005) 2.5. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada,
Makna
Pencerahan dalam Konsep Kematian Anand Krishna oleh Yani Setia Budi (0093, 2009) 2.6. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Hubungan antara Kepuasan Hidup dengan Ketakutan akan Kematian Personal pada Usia Lanjut oleh Gabriela Diana Asti (2004) 2.7. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Penyesuaian terhadap Hilangnya Pasangan Hidup pada Lansia oleh Carolina Retno Ekowati (2008) 2.8. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Perbedaan Tingkat Kecemasan terhadap Kematian pada Lansia dengan Budaya Jawa dan Budaya Tionghoa oleh Alfonsus Bayu Dirgantara (2014)
Beberapa penelitian sebelumnya yang hampir mirip dengan objek formal mengenai “Konsep Kematian Martin Heidegger”, yaitu:
8
2.1. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Konsep Historisitas dalam Eksistensi Manusia menurut Martin Heidegger (1889-1976) oleh Deden Basarah (2076, 1998) 2.2. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Manusia dan Kematian Menurut Ajaran Filsafat Martin Heidegger (1889 – 1976) oleh Y. Made Sarina (961, 1987) 2.3. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Kematian dalam Perspektif Eksistensialisme (Studi komporasi Pemikiran Martin Heidegger dengan Karl Jaspers tentang Kematian) oleh Niluh Gede Widi Adnyani (2526, 1998) 2.4. Skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Kematian manusia telaah komparatif pemikiran Heidegger dan Injil Johanes oleh K.H. Soekamta (2420, 2003)
3. Manfaat Penelitian 3.1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan mengenai hakekat kematian secara filosofis, psikologis, dan fisik yang berkaitan langsung dengan manusia secara khusus pada lanjut usia. 3.2. Bagi Akademis Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
sumbangan pemahaman bahwa objek material suatu penelitian
9
dapat mengenai salah satu proses kehidupan, yaitu lanjut usia. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai eksistensi manusia secara pribadi terlebih mengenai makna kematian pribadi. 3.3. Bagi Masyarakat Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menyadarkan
masyarakat akan pentingnya kesediaan untuk kembali melihat salah satu proses kehidupan secara lebih mendalam. Hal tersebut diharapkan sampai pada kesadaran dan pemaknaan dalam mempersiapkan kematian bagi lanjut usia.
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian pada penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan secara jelas mengenai pandangan lanjut usia tentang kematian. 2. Mendeskripsikan secara jelas hakekat kematian menurut Martin Heidegger. 3. Menganalisis secara kritis prespektif filsafat Martin Heidegger terhadap pandangan lanjut usia tentang kematian.
10
C. Tinjauan Pustaka: Kondisi usia pada dewasa akhir sering disebut sebagai lansia atau usia lanjut (old age). Suardiman (2011: 1) menjelaskan bahwa siklus kehidupan menjadi tua diawali dari proses kelahiran tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak, menjadi semakin tua, dan akhirnya meninggal. Hurlock dalam Asti ( 2004: 19) menyatakan lanjut usia sebagai periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu periode seseorang telah “beranjak jauh” dari periode sebelumnya yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat. Lanjut usia merupakan proses kehidupan manusia dengan waktu yang begitu panjang dan mencapai perubahan signifikan seperti kondisi fisik dan psikologis. Samino dalam Suardiman (2011: 37) mangatakan bahwa proses menua didefinisikan sebagai akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan patofiologi organ tubuh yang berlangsung berdampingan dengan perubahan waktu dan ada kemungkinan untuk terserang penyakit atau kematian. Manusia berkembang secara evolusioner menuju tingkataan yang lebih sempurna dalam hal emosional dan fungsional organ tubuh, namun pada saat lanjut usia justru terjadi kemunduran sesuai hukum alam yang disebut sebagai “menua” atau senesense. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Prof. Dr. Siti Partini Suardiman, S.U. dalam Asti (2004: 19) bahwa manusia lanjut usia adalah manusia yang telah menjalani proses penuaan dalam arti mengalami penurunan daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya fisik terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
11
Rentang waktu yang lama dalam perkembangan lanjut usia semakin menimbulkan perubahan dan permasalahan. Kondisi ini jelas memerlukan suatu sikap untuk menanggapinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian diri. Secara lebih jauh, penyesuaian diri diperlukan supaya para lanjut usia tersebut dapat mencapai kebahagiaan dengan memiliki keterbukaan akan isu-isu kehidupan, termasuk isu kematian. Kematian menjadi salah satu isu yang popular di kalangan lanjut usia. Hal tersebut didukung oleh Maas dkk dalam Harapan dkk (2014: 2) yang menyatakan bahwa lanjut usia sering diasumsikan mengalami kekhawatiran berlebih mengenai ancaman dan kehilangan kehidupan yang dikaitkan dengan penuaan. Hal senada diutarakan oleh Kűbler-Ross dalam Dirgantara (2014: 1) yang mengatakan bahwa kecemasan akan kematian lebih dirasakan oleh lanjut usia karena pada rentang usia tersebut banyak penyakit kronis yang dialami oleh lanjut usia. Kondisi tersebut ternyata ditanggapi beragam oleh lanjut usia. Pada suatu sisi, kematian seolah menjadi suatu kondisi yang tidak jelas dan menakutkan. Wijaya & Savitri (2015) menjelaskan bahwa kecemasan mengenai kematian merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan ketika para lanjut usia memikirkan kematian. Hal ini disebabkan oleh kondisi tidak jelas yang menyertai kematian. Kematian seolah-olah menjadi begitu dekat namun terkadang seperti diberi jarak seolah masih lama akan datang. Sedangkan Chusairi dalam Wijaya & Savitri (2015) mengatakan kematian merupakan
12
pengalaman yang tidak terelakkan yang dapat terjadi setiap saat, sehingga dapat menimbulkan kecemasan dalam diri individu. Meski demikian, pada satu sisi yang lain kematian mampu dipandang secara lebih jernih dan terbuka. Hal tersebut nampak ketika kematian mampu menimbulkan ketertarikan bagi manusia secara khusus lanjut usia untuk memenuhi keingintahuan akan kematian diri sendiri (Asti, 2004: 9). Pertanyaan yang muncul dari kondisi tersebut meliputi kapan akan mati, penyebab kematian, bagaimana kondisi menghadapi kematian, dan bagaimana kondisi saat mati. Kondisi ini bersifat positif karena lanjut usia berusaha berdamai dengan proses kehidupannya untuk akhirnya sampai pada kematian. Sikap positif ini berkaitan erat dengan kondisi psikologis yang sehat dimana lansia secara sadar menerima kematian sebagai suatu proses yang memang akan terjadi pada setiap individu sehingga tidak perlu ditolak apalagi dihindari. Pada akhirnya, sikap manusia secara khusus lanjut usia menghadapi isu kematian terbentuk menjadi dua sisi yang saling bertolak belakang. Seperti apapun dan bagaimanapun bentuk tanggapan mengenai kematian, kematian tetaplah sesuatu yang mutlak akan terjadi dalam kehidupan. Schultz dalam Asti (2004: 10) mengatakan bahwa kematian merupakan suatu proses bukan menjadi suatu momen. Pandangan-pandangan tersebut memang sudah banyak dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, namun konteks mengenai pandangan lanjut usia mengenai kematian belum secara utuh mampu dideskripsikan secara lebih mendalam. Filsafat sebagai ilmu yang membahas mengenai makna dirasa
13
mampu memberikan konstribusi sebagai kacamata untuk mengolah kasus tersebut. Pada suatu sisi, banyak penelitian filsafat yang tidak secara khusus menggunakan objek material yang konkrit seperti rentang waktu kehidupan manusia. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi pelopor dalam penelitian filsafat berikutnya supaya dapat memberikan pandangan secara lebih jelas dalam konkrit.
D. Landasan Teori: Heidegger membahas secara jelas mengenai perihal ketiadaan. Ketiadaan menjadi ancaman serius bagi anda. Hal ini diperjelas dengan mengatakan bahwa manusia hanya menunda untuk menjadi tidak-ada dalam ketiadaan dimana puncaknya adalah kematian. Adnyani (1999: 8) menuliskan bahwa filsuf eksistensialisme memandang kematian sebagai suatu masalah penting dimana hal tersebut merupakan kondisi antara keberadaan manusia dan kecemasan eksistensinya. Kondisi tersebut akan memunculkan ketakutan terhadap kematian yang merupakan kecemasan paling fundamental (Siswanto, 2009: 59). Kecemasan ini disebut dengan Angst yang merupakan ketidakpastian hidup di dunia. Kecemasan ini dijelaskan sebagai suatu bentuk dalam menghadapi kemungkinan Ada, bersifat non-relasional, letaknya bukan di luar tetapi di dalam wujudnya itu sendiri. Sikap terhadap kematian menurut Heidegger dituliskan dalam Existentialism from Within oleh Allen (1953: 36):
14
“The right attitude to death is to envisage it as involved in life. Death is not the axe that cuts down the tree, it is the fruit that grow on it,”. “Sikap yang benar untuk mati adalah dengan memandangnya sebagai sesuatu yang terlibat dalam kehidupan. Kematian bukanlah kapak yang menebang pohon, itu adalah buah yang tumbuh di atasnya,”.
Manusia dianggap hidup dalam eksistensi semu dan tidak sebenarnya. Manusia terlalu sibuk oleh banyak pendapat akan kehidupan yang berupa materi. Meski demikian, manusia dengan kemampuannya memiliki kesempatan untuk keluar dari hal tersebut dan “menemukan dirinya sendiri” Hadiwijono (2011: 154). Hadiwijoyo (2011: 156) dalam bukunya “Sari Sejarah Filsafat 2” mengenai pemikiran dari Heidegger mengatakan bahwa jalan menuju pada hidup sejati, keputusan pasti, pengetahuan yang benar, dan eksistensi yang sebenarnya, berada pada kapastian temporal, adalah dengan kematian. Kesadaran manusia pada hal tersebut akan membawa manusia pada ketekunan melepaskan diri dari eksistensi yang tidak benar dan mengikuti suara hati untuk sampai pada eksistensi yang benar sehingga sampai pada kegembiraan. Kematian
merupakan
totalitas
yang
eksistensial
(das
Genzheitsexistenzial) dalam struktur Dasein. Dalam hal ini, kematian menjadi penentu dan sebagai totalitas eksistensi manusia. Heidegger dalam bukunya Time and Being (2001: 296) mengatakan bahwa kematian adalah cara terbaik untuk mewujudkan eksistensi puncak manusia. Kematian adalah kemungkinan bagi yang Ada maka setiap yang Ada dalam keberadaan pada manusia memiliki hakikat “Ada menuju kematian” (Being-unto-Death). Secara lebih lugas,
15
dikatakan bahwa bayi yang lahir sudah berada di dalam jalan kematian, sehingga bagi Heidegger (Pattipo, 2012) eksistensi manusia didefinisikan sebagai Sein sum Tode atau Ada menuju kematian. Kondisi tersebut menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bahkan melalui kematian kemungkinan makna kehidupan akan semakin nyata dengan menerima kematian itu sendiri. Heidegger dalam Abidin (2009: 179) menjelaskan bahwa dengan menerima kematian berarti manusia menuju pada eksistensi yang otentik atau diri yang solid. Hal ini didukung oleh Siswanto (2009: 60) yang menjelaskan bahwa kematian adalah egentlich (otentik) dimana kematian adalah eigen (milikku sendiri). Pada saat kematian semakin dekat dan muncul rasa kecemasan pada kematian, maka manusia akan melarikan diri dengan menyembunyikan diri pada sesuatu yang lain bukan pada jadi-adanya manusia itu sendiri. Hal ini diasumsikan bahwa manusia tidak mengakui Dasein-nya pada hakikatnya yang adalah “ada-menuju-kematian”. Sutrisno (1993: 152) mengatakan bahwa mati merupakan tindakan eksistensial manusia satu-satunya yang wajib dijalani sendiri dan tidak biasa mengharapkan bantuan dari orang lain. Setiap manusia pasti akan mati dengan sendirinya dan oleh sebab itu, menolak faktisitas kematian sama saja dengan menolak keindividuan diri manusia tersebut dan hidup secara tidak sejati.
16
E. Metodologi Penelitian 1. Bahan Penelitian 1.1. Bahan Primer: 1.1.1. Hasil wawancara dengan 5 subjek yang telah memasuki usia lanjut usia awal (60 tahun – 74 tahun). 1.1.2. Allen, E.L. (1953) Existentialism from within. London: Broadway House 1.1.3. Bakker, Anton. (2000). Antropologi Metafisik Yogyakarta: Penrbit Kanisius 1.1.4. Heidegger, Martin. (2001). Time and Being. UK: Blackwell Publishers Ltd 1.1.5. Santrock, Jhon W. (2007). Life Span Develompmen: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit Erlangga 1.1.6. Setiabudhi, Tony & Hardywinoto. (1999). Panduan Gerotologi Tinjauan dari Berbagai Aspek: Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
1.2. Bahan Sekunder: Semua bahan pendukung yang diperoleh dari internet (jurnal, majalah, skripsi online) serta semua media cetak atau
17
visual dengan isi yang berkaitan dengan tema penelitian. Beberapa di antaranya, yaitu: 1.2.1. Harapan, Puspita. Febriana Sabrian, & Wasisto Utomo (2014). Studi Fenomenologi Persepsi Lansia dalam mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian. JOP
PSIK.
Vol.
1
No.
2.
Diakses
dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article =186674&val=6447&title=Studi%20Fenomenologi %20Persepsi%20Lansia%20Dalam%20Mepersiapk an%2020Diri%20Menghadapi%20Kematian
pada
tanggal 29 September 2015 1.2.2. Pattipo, Anthony. (2012). Filsafat Manusia. Diakses dari https://pattipo.wordpress.com/2012/02/07/filsafatmanusia/
pada 22 Oktober 2015
1.2.3. Wijaya, Fredy Setya & Safitri, Ranni Merlin. (2015). Persepsi terhadap Kematian dan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia. Diakses dari
http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wp-
content/upload/2012/06/Naskah-Publikasi-Rannidan-Freddy.ok_.pdf 2015
pada tanggal 29 September
18
2. Jalan Penelitian 2.1. Wawancara: Proses tanya jawab yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan tema. Subjek yang diwawancarai sudah ditentukan dengan segala pertimbangan logis. 2.2. Inventarisasi dan Kategorisasi Pengumpulan data keputusan sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian. Menulis secara jelas dan terperinci hasil wawancara sehingga menjadi data lengkap sesuai dengan maksud dari penyampaian subjek. 2.3. Klasifikasi data: Pengelompokan data primer dan skunder (sesuai dengan objek material dan objek formal penelitian) dengan mengelompokkan cirri khas masing-masing data. Proses ini diarahkan kepada tujuan penelitian sehingga data-data yang tidak relevan mulai disisihkan. 2.4. Analisis data: Melakukan analisis dan penafsiran terhadap data-data yang terkumpul untuk sampai pada pengungkapan makna dari permasalahan penelitian ke dalam kondisi saat ini.
19
2.5. Memaparkan hasil dalam uraian tertulis: Melakukan pengecekan sehingga didapatkan paparan hasil penelitian yang kritis, berimbang, dan obyektif.
3. Analisi Hasil: Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika-filosofis, dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: 3.1. Deksripsi: Penguraian secara menyeluruh terhadap objek material dan objek formal yang akan digunakan. 3.2. Interpretasi: Peneliti berusaha memahami baik dari sisi dirinya dan juga dari sisi subjek guna menerobos data yang ada untuk sampai pada peristiwa sehingga mampu menangkap makna, nilai, dan norma yang terkandung dalam data. 3.3. Induksi-deduksi Pengalaman manusia dalam jumlah yang terbatas dijadikan contoh kemudian dirumuskan dalam gambaran umum. Sedangkan pemahaman umum yang telah ada digunakan untuk memberikan
latar
belakang
kepada
data-data
sehingga
dihasilkan arti dan nilai yang jelas. Selanjutnya data tersebut menjadi identifikasi hasil yang valid.
20
3.4. Koherensi Intern Hasil data disintensiskan dengan data pustaka baik primer maupun
sekunder
sehingga
menjadi
data
yang
berkesinambungan secara konten dan historisnya. Proses yang jelas dalam penelaahan hasil menjadikan pemahaman lebih komprehensif. 3.5. Holistika Permasalahan yang muncul adalah mengenai manusia maka menjadi penting untuk melihat dan menganalisis hasil data dengan hakikat manusia baik secara umum maupun khusus. 3.6. Kesinambungan Historis Unsur-unsur yang muncul merupakan kesinambungan dari proses perkembangan manusia. Pemahaman lama diteruskan dan diberikan pembaharuan akan semua yang jelas dan telah dibuktikan kebenarannya, dikoreksi dan dikembangkan lagi sehingga menjadi lengkap secara serasi.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab dengan satu bagian untuk lampiran, yaitu: BAB I Berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, bahan
21
penelitian, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematikan penulisan.
BAB II Berisi tentang pembahasan mengenai Objek Material, yaitu hal-hal berkaitan dengan lanjut usia dan kematian. Data didapatkan dari teori-teori terkait, penelitian-penelitian, dan buku-buku sebagai sumber primer.
BAB III Berisi tentang pembahasan Objek Formal, yaitu mengenai prespektif filsafat Martin Heidegger yang berisi dari Biografi singkat, filsuf-filsuf yang mempengaruhi, dan pokok-pokok pemikiran termasuk didalamnya mengenai kematian. Data didapatkan dari buku-buku sebagai sumber primer.
BAB IV Berisikan hasil analisis data yang kemudian di analisi secara kritis dengan teori dan pandangan filosofis dan teori yang di gunakan, dalam hal ini konsep kematian menurut prespektif filsafat Martin Heidegger. Data tersebut diolah sehingga didapatkan hasil yang akurat serta komprehensif mengenai hakekat kematian menurut prespektif filsafat Martin Heidegger terhadap lanjut usia dan kematian.
22
BAB V Berisi penutup, rangkuman penulisan penelitian berisikan kesimpulan dan saran.