BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali, bahkan mereka yang dikaruniai ingatan sekalipun tidak akan dapat menyusun kembali masa lampau secara utuh. Di dalam proses kehidupan manusia sudah tentu ada suatu peristiwa, tetapi hanya peristiwa yang banyak mengubah kehidupan manusia yang paling melekat dalam pikiran manusia sebagai sebuah kesan, sedangkan yang tidak meninggalkan kesan mendalam seringkali dilupakan oleh manusia sebagai suatu peristiwa sejarah. Dengan demikian, sebenarnya peristiwa sejarah baik yang berkesan maupun yang tidak berkesan dalam pikiran manusia secara moral merupakan tanggung jawab sejarawan untuk mengeksplorasikan untuk direkonstruksi menjadi sebuah historiografi.1 Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik bersama dengan proses belajar dari keseluruhan budi pekertinya. 2 Kebudayaan mengandung unsur-unsur yang universal sekalian merupakan isi dari kebudayaan yang ada di dunia yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
1 2
Koentjaraningrat, Metode- metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 27 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1983, hal
195.
12 Universitas Sumatera Utara
hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.3 Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara kehidupan masyarakat itu sendiri. Seseorang yang memiliki perilaku berdasarkan nilai-nilai budaya, terutama nilai moral dan etika maka akan disebut sebagai manusia yang berbudaya. Nilai-nilai kebudayaan ini kemudian merupakan dasar yang spesifik untuk mengharapkan orang-orang bertingkah laku secara benar pada waktu yang tepat. Budaya menjadi pengikat diri individu-individu yang memberi ciri khas keanggotaan suatu kelompok yang berbeda dengan individu-individu dari kelompok budaya lain. Para etnosains4 percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsip itu biasanya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya.5 Masyarakat Batak Toba adalah salah satu masyarakat berbudaya yang dikenal di Indonesia. Masyarakat Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon (kekayaan, kemuliaan dan keberhasilan) merupakan hal-hal yang sangat diidam-idamkan orang Batak. Hal ini sangat terlihat jelas dari ketaatan melaksanakan berbagai upacara adat merupakan cara yang harus ditempuh untuk menjamin tercapainya tujuan yang dimaksud. Dengan melakukan pemujaan kepada roh dari para leluhurnya, maka roh-roh tersebut akan memberkati segala yang dikerjakannya. Bagi masyarakat Batak Toba di 3
Ibid, hal. 124. Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu dimana penekanannya di sini adalah pada sistem atau perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat yang lain. 4
5
William Haviland, Antropologi, Jilid II, Edisi keempat, Jakarta: Erlangga Ihromi, 1998,
hal.13.
13 Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara, mengangkat martabat sebuah marga itu merupakan hal yang penting. Salah satunya dengan melaksanakan ritual mangongkal holi6 (memindahkan tulang belulang leluhur), bangunan permanen yang di khususkan untuk orang meninggal dan kerangka manusia untuk dikumpulkan di satu tempat baru yang lebih baik yang disebut Tambak. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan hidup, namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan.7 Lewat rangkaian mangongkal holi ini maka akan tercapai hasangapon, atau kemuliaan sebuah keturunan marga. Dengan kehidupan masyarakat yang makmur masyarakat Batak Toba dapat mendirikan Tugu. Tugu pada umumnya adalah sebuah bangunan peringatan, akan tetapi pada masyarakat Batak Toba istilah Tugu lebih mendekati arti yang sering disebut tambak. Bagi masyarakat Batak mendirikan Tambak menjadi sangat penting karena masyarakat Batak masih mempercayai adanya hubungan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Jadi, dalam tulisan ini penulis selanjutnya akan menggunakan kata tambak. Tambak merupakan bagian penting bagi kebudayaan Batak Toba. Berbagai upaya dilakukan kelompok marga untuk dapat mendirikannya. Semakin mewah bentuknya dan semakin besar ukurannya, maka semakin bangga kelompok yang memilikinya. Mendirikan tambak sangat penting, karena sebagian orang Batak Toba
6
Mangongkal Holi ( panangkok saring-saring) merupakan salah satu upacara adat suku batak toba. “Mangongkal ” artinya menggali,Sedangkan ”Holi” artinya adalah Tulang, makan dapat dikatakan Mangongkal Holi adalah mengggali Tulang. Mangongkal Holi berasal dari kultur Batak Toba Pra-Kristen Yang menganggap upacara ini perlu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua atau leluhur yakni dengan meninggikan posisi tulang belulang di atas tanah khususnya di bukit yang tinggi dan batu yang keras. 7 Basyral Harahap dan Hotman Siahaan Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak, Jakarta:Sanggar William Iskandar, 1987, hal.15.
14 Universitas Sumatera Utara
masih mempercayai adanya hubungan manusia dengan roh orang yang sudah meninggal. Kemegahan tambak dan besarnya biaya pesta tambak merupakan sarana marga itu untuk menunjukkan kehebatan mereka di hadapan marga lainnya. Masyarakat Batak Toba sangat bersemangat untuk menunjukkan kehebatan masing-masing marga mereka. Kemegahan tambak merupakan sarana untuk menunjukkan ketinggian gengsi sosial (social prestige) terhadap marga-marga lainnya. Cara tersebut ditempuh sebagai salah satu jalan untuk memperoleh pengakuan dari marga lain akan kehebatan atau kemuliaan marganya. Masyarakat Batak Toba untuk menunjukan kehebatan marga mereka di depan marga lainnya ada nilai-nilai yang dipegang yang mendasari motif- motif penentu keberhasilan Suku Batak. Ada tiga bentuk motif pada individu yang mempengaruhi filsafat hidup masyarakat Batak Toba ketiga motif itu, yaitu (1) achievement motive (2) power motive dan (3) affiliation motive.8 Atau lebih kita kenal dengan istilah motif prestasi, motif kekuasaan dan motif persatuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun suku bangsa Batak Toba mayoritas penduduknya hanya bermata pencaharian
sebagai
petani
dengan
kehidupan
yang
sederhana,
mereka
memperlihatkan kompetensi akademis dan kebutuhan berprestasi yang sangat besar. Masyarakat Batak Toba meletakkan pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Antara keluarga Batak Toba yang satu dengan yang lainnya saling
8
Irmawati , Nilai-Nilai yang Mendasari Motif-Motif Keberhasilan Suku Batak, studi psikologi ulayat, Disertasi, 2007.
15 Universitas Sumatera Utara
berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknya. Dengan pendidikan yang tinggi, orang Batak Toba semakin mudah untuk menembus kesuksesan. Nilai-nilai hamoraon, hagabeon, dan hasangapon mengandung prinsip menguasai yang dalam bentukan psikologis menumbuhkan motif untuk mempengaruhi/menguasai orang lain (the power motive) dan motif untuk berprestasi (the achievement motive). The power motive dan the achievement motive berada dalam satu kesatuan, kesatuan yang saling berinteraksi dan bersifat melengkapi karena hanya dengan menunjukkan prestasi, seorang individu Batak Toba akan memiliki pengaruh. Selanjutnya, maka the affiliation motive merupakan motif untuk penyatuan dan menunjukkan kehebatan satu kelompok tertentu. Pada akhirnya dari penyatuan ini sering menghadapi kompetisi dan konflik yang merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi. Masyarakat Batak Toba sangat ingin menunjukkan bahwa dari keturunan marganya telah banyak yang memiliki pendidikan tinggi, kekayaan, jabatan, dan berbagai kehebatan lainnya. Untuk menunjukkan kehebatan satu marga dalam masyarakat maka muncul ide untuk membangun kubur tambak orang tua mereka. Membangun tambak juga tidak terlepas dari keikutsertaan sanak saudara yang berada di tanah perantauan. Bagi sanak saudara yang berada di perantauan, keikutsertaan mereka ke dalam acara pesta tambak itu, juga merupakan kesempatan untuk memamerkan kehebatan dan keberhasilan mereka di perantauan. Kepada kerabat marga mereka yang berada di Bona Pasogit (daerah asal pertama marga). Semangat melakukan “pameran gengsi sosial” ini telah menimbulkan dorongan di
16 Universitas Sumatera Utara
tengah-tengah orang Batak Toba untuk melaksanakan pesta pembangunan tambak marganya dengan sehebat mungkin. Mereka ingin menunjukkan bahwa marganya tidak kalah dengan marga-marga lainnya, bahkan kalau bisa menunjukkan bahwa marga mereka jauh lebih hebat dari marga lainnya. Jika ditelusuri di sepanjang jalan lintas sumatera di kawasan Tobasa, Taput, dan Samosir begitu banyak bangunan tambak orang Batak di sepanjang pinggir jalan dengan aneka ragam desain bermunculan, bersaing menjadi yang paling mewah. Bentuknya beraneka ragam, bahkan banyak yang tampak megah dan unik. Padahal sebelumnya makam asli keluarga Batak cukup hanya ditandai dengan pohon beringin. Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak. Pembangunan tambak juga terdapat dan berkembang di kecamatan Porsea, di desa Tangga Batu I, Porsea yang mayoritas dihuni masyarakat Batak Toba. Masyarakat di desa ini juga menghormati para leluhurnya dengan cara membangun tambak peringatan terhadap leluhurnya. Meskipun pada awalnya desa Tangga Batu I ini mayoritas berpenghasilan dari pertanian tetapi dengan
adanya pembangunan
industri di desa ini memacu semakin majunya perekonomian desa ini dan pendapatan masyarakat bertambah. Pembangunan industri yang dimulai tahun 1986 pada akhirnya tidak hanya memajukan perekonomian, akan tetapi juga memajukan pola pikir dan perkembangan pendidikan masyarakat. Dari uraian diatas, penulis tertarik mengangkat topik ini untuk diteliti apa motif masyarakat Batak Toba yang berada di desa Tangga Batu I membangun tambak orang yang sudah meninggal dengan begitu megah. Berdasarkan uraian di atas 17 Universitas Sumatera Utara
penulis membuat Judul: Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea (1986 – 2005). Adapun cakupan temporal ditentukan pada tahun 1986 berdasarkan pada awal pembangunan dan beroperasi pabrik Inti Indorayon Utama atau nama baru yaitu PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang menjadi faktor pemicu semakin berkembangnya perekonomian masyarakat pada masa itu. Tahun penelitian ini di akhiri pada tahun 2005 yang merupakan tahun diadakannya pemekaran wilayah sebagai bentuk realisasi otonomi daerah. 1.2 Rumusan Masalah Dalam sebuah penulisan karya ilmiah, dibutuhkan rumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penulisan yang di lakukan menjadi terarah dan tepat sasaran sesuai dengan objek yang telah ditentukan pada latar belakang. Dengan demikian, rumusan masalah sebagai berikut: 1. Motif pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea Tahun 1986-2005? 2. Bagaimana perkembangan pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea tahun 1986-2005? 3. Bagaimana dampak pembangunan tambak pada perkembangan
Desa
Tangga Batu I Kecamatan Porsea 1986-2005? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji maka selanjutnya sebuah penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan dari penelitian ini menjawab permasalahan yang sudah terlebih dahulu di rumuskan ke
18 Universitas Sumatera Utara
dalam sebuah rumusan masalah. Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam rekonstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu membandingkan masa kini dengan masa yang akan datang. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menjelaskan motif pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005. 2. Menjelaskan perkembangan pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005. 3. Menjelaskan dampak pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005. Selanjutnya, terlaksananya penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dalam menghasilkan karya-karya historiografi sejarah kebudayaan serta memberikan referensi literature yang berguna terhadap dunia akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah kedepannya. 2. Dengan penelitian ini diharapkan memperkaya khasanah penelitian sejarah kebudayaan serta menambah wawasan masyarakat tentang perkembangan kebudayaan dari masa lampau hingga di era yang semakin modern ini. 3. Menjadi referensi bagi pemerintah dalam memahami perkembangan yang terjadi pada kebudayaan batak toba untuk kedepannya menjadi referensi mempertahankan khasanah kebudayaan. 19 Universitas Sumatera Utara
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam penulisan karya ilmiah, maka diperlukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mendukung penelitian tersebut. Dalam hal ini penulis memakai beberapa buku sebagai acuan untuk mendukung penulisan tersebut. Tinjauan pustaka adalah literatur yang relevan dan memiliki keterkaitan secara dekat dengan pokok permasalahan yang di teliti. Tinjauan pustaka berisi tentang uraianuraian yang mengarahkan peneliti betapa pentingnya literatur sehingga digunakan sebagai sumber acuan yang menimbulkan ide, sumber informasi dan pendukung penelitian. Adapun literatur yang digunakan peneliti yang berkaitan langsung dengan permasalahan adalah sebagai berikut: Hotman Siahaan dan Bahsyral Harahap dalam Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak
(1987),
menguraikan
budaya-budaya
Batak
yang
berinteraksi
dan
bermasyarakat dengan manusia lain baik yang memiliki hubungan kekerabatan maupun tidak serta dapat saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang kemudian dijadikan penulis sebagai acuan bahwasannya masyarakaat yang berorientasi dengan manusia lain. Bungaran Antonius Simanjuntak dalam konflik status dan kekuasaan orang Batak Toba (2009), memuat perihal religi, kekuasaan dan adat-istiadat yang lama berkembang di Batak Toba yang memuat gejolak sosial yang terjadi dalam interaksi masyarakat. Togar Nainggolan dalam Batak Sejarah Toba dan Tranformasi religi (2012), membahas tentang gejolak sosial yang terjadi dan sistem perubahan sistem religi
20 Universitas Sumatera Utara
yang mengalami proses akulturasi dengan kepercayaan masyarakat terhadap adatistiadat dan sistem yang telah lama berkembang. William Haviland dalam Antropologi (1998), banyak membahas mengenai aneka kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai suatu acuan untuk berinteraksi serta menceritakan objek kajian terhadap identitas masyarakat zaman dahulu sehingga identitasnya kembali dapat ditelusuri. Irmawati
dalam
Nilai-Nilai
yang
Mendasari
Motif-Motif
Penentu
Keberhasilan Suku Batak (2007), (disertasi) membahas mengenai upaya memahami keberhasilan suku Batak Toba dan bagaimana nilai-nilai dalam konteks budaya masyarakat
suku Batak Toba yaitu: Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon
menumbuhkan motif prestasi, motif kekuasaan dan motif persatuan bagi suku Batak Toba, yang kemudian memotivasinya bekerja keras mencapai keberhasilan. J.C Vergouwen dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (1986), membahas secara luas dan mendalam tentang seluruh sisi kehidupan masyarakat Batak Toba, Vergouwen dalam dalam tulisannya membahas secara detail, tentang kehidupan kemasyarakatan, struktur silsilah, konsep religious,
persekutuan
masyarakat, konsep hukum, hak kepemilikan tanah, politik lokal, kepercayaan asli, adat istiadat, dan pemecahan masalah diantara masyarakat Batak Toba. Tulisan ini menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami dan mendalami masyarakat adat yang ada di Indonesia yaitu Batak Toba.
21 Universitas Sumatera Utara
1.5 Metode Penelitian Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menganalisis serta mengungkapkan kembali fakta–fakta masa lampau. Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum didalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian didalam rekonstruksi kejadian masa lampau. Adapun prosedur dalam pengumpulan data penelitian ini tidak terlepas dari empat tahapan penelitian yaitu tahap pencarian dan pengumpulan data atau sering disebut tahap heuristik, tahap kritik terhadap data (kritik intern dan kritik ekstern), tahap penginterpretasian data dan tahap penulisan atau histografi. Metode sejarah berisi tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah tulisan sejarah. Tahapan-tahapan tersebut adalah heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi.9 a. Heuristik Tahap pertama adalah heuristik. Secara sederhana heuristik berarti metode sejarah untuk mencari dan pengumpulan sumber-sumber historis yang berkaitan dengan topik penelitian. Pada tahapan ini peneliti akan mencari data-data melalui dua cara yaitu melakukan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field search). Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka penulis akan mengunjungi beberapa perpustakaan yakni, Perpustakaan Universitas Sumatera
9
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1985,
hal. 8-9.
22 Universitas Sumatera Utara
Utara, Perpustakaan Universitas Negeri Medan, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, dan Perpustakaan Tengku Lukman Sinar. Pada studi lapangan nantinya peneliti akan lebih menekankan pada metode wawancara. Hal ini dapat dilakukan karena masih terdapat informan yang memahami terkait rumusan permadalahan yang diangkat. b. Verifikasi Setelah mendapatkan sumber-sumber yang diinginkan, maka tahap kedua dalam penelitian selanjutnya adalah kritik sumber. Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya.10 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik, baik kritik interen maupun eksteren. Kritik intern data yang didapat baik dari sumber lisan maupun tulisan akan di klasifikasikan menjadi sumber primer ataupun sumber sekunder. Selanjutnya, sumber primer dan sekunder melalui proses kritik eksternal, Kritik eksteren mencakup seleksi dokumen. Apakah dokumen tersebut perlu digunakan atau tidak dalam penelitian. Kemudian juga menyoroti tampilan fisik dokumen, mulai dari ejaan yang digunakan, jenis kertas, stempel, atau apakah dokumen tersebut telah dirubah atau masih orisinil ataupun hasil wawancara dengan informan yang kemudian pada akhirnya diuji kembali keaslian sumber tersebut demi menjaga agar data yang di dapat merupakan data yang objektif. Dengan demikian kritik intern dan ekstern merupakan bagian penting dalam proses penelitian sumber sejarah.
10
Kuntowijoyo,” Pengantar Ilmu Sejarah”, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995,
hal.99.
23 Universitas Sumatera Utara
c. Interpretasi Tahap selanjutnya adalah intepretasi. Intepretasi merupakan tahapan ketiga dalam metode sejarah. Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian penafsiran-penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikritik. Dalam tahap ini, data yang diperoleh dianalisis kembali sehingga melahirkan hasil analisis yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang di teliti, sesuai dengan rumusan masalah yang telah di buat. d. Historiografi Tahap terakhir dari penelitian sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan penyusunan hasil interpretasi menjadi satu kisah atau kajian yang menarik yang tersusun secara sistematis. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapat penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.
24 Universitas Sumatera Utara