1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Luka atau hilangnya dan rusaknya sebagian jaringan tubuh adalah hal yang umum dan banyak dialami dalam kehidupan sehari-hari. Luka bisa disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan atau gigitan hewan (Potter dan Perry, 2010). Luka akibat pembedahan pada umumnya berukuran besar dan dalam sehingga membutuhkan waktu penyembuhan yang lama. Hal ini akan mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien, menimbulkan ketergantungan, meningkatkan kebutuhan akan perawatan atau pelayanan dan meningkatkan biaya perawatan (Robert, 2012). Luka akibat pembedahan yang menimbulkan nyeri, membuat pasien merasa takut dan cemas untuk melakukan mobilisasi, sehingga pasien cenderung untuk berbaring mempertahankan seluruh tubuh kaku, dan tidak mengindahkan daerah pembedahan. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya komplikasi yaitu kaku persendian, postur yang buruk, kontraktur otot, nyeri tekan, trombosis vena apabila tidak melakukan mobilisasi. Mobilisasi segera secara bertahap sangat membantu jalannya penyembuhan penderita, kemajuan mobilisasi
tergantung
jenis
komplikasi yang dialami (Moira, 2009).
1
operasi
yang dilakukan
dan
2
Mobilisasi pada pasien post opeasi salah satunya adalah perubahan gerak dan posisi, ini harus diterangkan pada penderita atau keluarga yang menunggu, supaya mengerti pentingnya mobilisasi dan berkesinambungan akan dapat membantu pengaliran darah ke seluruh tubuh, sehingga tubuh mampu menghasilkan zat pembakar dan pembangun yang membantu proses penyembuhan luka dengan mobilisasi miring ke kiri dan ke kanan sudah dapat di mulai 6 -8 jam setelah pasien sadar, dan mobilisasi duduk setelah 24 jam. Latihan pernapasan dapat dilakukan dengan tidur terlentang se mungkin setelah sadar dan menggunakan teknik nafas dalam dan mengeluarkan melalui mulut secara perlahan. Pada hari ke 2 penderita dapat duduk selama 5 menit. Selanjutnya secara berturut-turut hari demi hari penderita dianjurkan belajar berjalan dan kemudian berjalan sendiri pada hari yang ketiga sampai kelima post operasi (Hidayat, 2010). Secara
psikologis, mobililasi juga
dapat membantu
pasien
mengembalikan kepercayaan bahwa dia sudah mulai sembuh. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa adanya luka setelah pembedahan akan mengalami proses penyembuhan luka terdiri dari fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi dimana pada fase inflamasi dan proliferasi membutuhkan sirkulasi darah yang baik yang akan membantu kesembuhan luka, dengan sirkulasi darah yang baik akan membantu memenuhi nutrisi sel dalam darah sehingga membantu mempercepat pertumbuhan jaringan (Sjamsuhidayat, 2009).
3
Ada beberapa masalah yang sering muncul pada luka pasca pembedahan. Diantaranya masalah tersebut adalah luka yang mengalami stress selama masa penyembuhan akibat perubahan metabolisme yang dapat meningkatkan resiko lambatnya penyembuhan luka (Potter dan Perry, 2010). Menurut Flangan da Mark Maran (2010), berpendapat bahwa lambatnya penyembuhan luka pasca pembedahan dapat diatasi dengan perawatan atau pelaksanaan luka dengan meningkatkan aktivitas fisik atau mobilisasi pasca bedah. Mobilisasi merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat penyembuhan atau pemulihan luka pasca bedah (Taylor, 2007). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 6 Maret 2014 di Bangsal Terate RSUD Kebumen setiap harinya rata-rata merawat 6-8 pasien pasca operasi dengan masa perawatan luka rata-rata 3-7 hari. Hasil pengamatan terhadap 3 pasien pasca operasi menunjukkan, 2 pasien pada hari ke 5 observasi masih terdapat granulasi abnormal dan 1 pasien dengan pada hari ke 5 observasi, luka terlihat menutup sempurna. Bangsal Terate RSUD Kebumen pernah terjadi dehisensi yaitu luka yang membuka sebelum waktunya disebabkan karena jahitan yang terlalu kuat atau penggunaan bahan benang yang buruk maupun pergerakan pasien atau mobilisasi yang salah. Mobilisasi yang dilakukan perawat yaitu 6 jam setelah operasi pasien dianjurkan untuk miring kanan dan kiri dan 24 jam setelah operasi pasien dianjurkan untuk duduk. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen.
4
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah “Apakah ada hubungan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen ?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen. 2. TujuanKhusus a. Mengetahui mobilisasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen. b. Mengetahui proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen. D. ManfaatPenelitian 1. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi RSUD Kebumen agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien dalam memberikan informasi yang akurat serta adekuat tentang kaitan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi. 2. Bagi Instansi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan informasi dan referensi kepustakaan untuk menambah ilmu pengetahuan tentang mobiliasai dan proses penyembuhan luka pada pasien post operasi.
5
3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah wawasan dalam mempersiapkan,
mengumpulkan,
mengolah,
menganalisa
dan
menginformasikan data, meningkatkan pengetahuan dalam bidang keperawatan serta dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti lain.
E. Keaslian Penelitian 1. Yuliati (2012) melakukan penelitian dengan judul Hubungan pengetahuan tentang mobilisasi post sectio caesaria dengan pelaksanaan mobilisasi di Ruang Melati RSUD Saras Husada Purworejo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang mobilisasi post sectio caesaria dengan pelaksanaan mobilisasi di Ruang Melati RSUD Saras Husada Purworejo. Penelitian ini termasuk deskripsi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah post caesaria ratarata/bulan sebanyak 40 orang dengan jumlah sampel 36 orang yang diambil secara incidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan tentang mobilisasi post sectio caesaria di Ruang Melati RSUD Saras Husada Purworejo termasuk kategori kurang (66,7%). Pelaksanaan mobilisasi post sectio caesaria kategori kurang (69,0%). Uji hipotesis diperoleh ada hubungan pengetahuan tentang mobilisasi post sectio caesaria dengan pelaksanaan mobilisasi di Ruang Melati RSUD Saras Husada Purworejo. Persamaan dari penelitian ini adalah kesamaan
6
tema tentang mobilisasi post operasi. Adapun perbedaan penelitian ini adalah pada subjek, sempel, lokasi dan populasi. 2. Situmorang (2011) melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Madu Terhadap Penyembuhan Luka Gangren Diabetes Mellitus”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas madu terhadap penyembuhan luka gangren diabetes mellitus dengan menggunakan desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 4 orang masing-masing kelompok intervensi dan kontrol terdiri dari 2 responden. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa madu efektif digunakan dalam perawatan luka gangren diabetes. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan terapi madu, mulai hari kesepuluh terjadi proses penyembuhan yang ditandai dengan tumbuhnya jaringan granulasi diikuti jaringan epitel kemudia pada hari 13 luka mulai tertutup. Dengan adanya penelitian ini diharapkan perawat perlu melakukan terapi alternatif seperti madu karena kenyataan sebenarnya yang terjadi pada pasien adalah luka diabetes dapat sembuh dengan cepat. Persamaan dari penelitian ini adalah kesamaan tema tentang penyembuhan luka. Adapun perbedaan penelitian ini adalah pada subjek, sempel, lokasi dan populasi.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Mobilisasi a. Pengertian Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009). b. Fungsi Mobilisasi Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraa. Menurut Smith (2010), mobilisasi ditujukan untuk: 1) Mempercepat penyembuhan luka 2) Memperbaiki sirkulasi 3) Mencegah statis vena
7
8
4) Menunjang fungsi pernafasan optimal 5) Meningkatkan fungsi pencernaan 6) Mengurangi komplikasi pasca bedah 7) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi 8) Mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. c. Kerugian Tidak Melakukan Mobilisasi Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing,takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping. Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi (Smith, 2010). Masalah yang sering terjadi dengan mobilisasi pasca operasi adalah ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dan memilih untuk istirahat di tempat tidur. Smeltzer (2012) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agen anestesia. Selain
9
itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi. Dengan demikian, kebanyakan dari pasien post operasi mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Oswari, 2010) d. Anjuran Melakukan Mobilisasi Pasien dianjurkan untuk segera melakukan mobilisasi setelah 24 – 48 jam pertama pasca bedah. Pergerakan pasca pembedahan akan mempercepat pencapaian level kondisi seperti pra pembedahan. Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan motivator sehingga pasien pasca operasi mampu melakukan mobilisasi secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan keperawatan mobilisasi sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif (Perry & Potter, 2010) e. Rentang Gerak Dalam mobilisasi Menurut Carpenito (2010) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang gerak:
10
1) Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Misalnya: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. 2) Rentang gerak aktif Rentang gerak aktif untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Misalnya: berbaring, pasien menggerakkan kakinya. 3) Rentang gerak fungsional Rentang gerak fungsional untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan f. Jenis Mobilisasi Menurut Alimul (2009) jenis mobilisasi meliputi: 1) Mobilisasi penuh Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. 2) Mobilisasi sebagian Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
11
sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu : a) Mobilitas sebagian temporer Mobilisasi temporer merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: dislokasi sendi dan tulang. b) Mobilisasi sebagian permanen Mobilisasi sebagian permanen merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena
cedera
tulang
belakang,
poliomyelitis
karena
terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2009). g. Langkah-langkah Mobilisasi Menurut Kasdu (2011) mobilisasi dilakukan secara bertahap berikut ini akan dijelaskan tahap mobilisasi pada post operasi : 1) Setelah operasi, pada 6 jam pertama paska operasi harus tirah baring dulu. Mobilisasi yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki
12
2) Setelah 6-10 jam,
diharuskan untuk dapat miring kekiri dan
kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli 3) Setelah 24 jam dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk 4) Setelah dapat duduk, dianjurkan belajar berjalan. Menurut Farrer (2011), latihan ditempat tidur dengan posisi terlentang. Langkah-langkah dalam mobilisasi antara lain: 1) Latihan nafas dalam ± setengah menit (untuk menyempurnakan ekspansi paru dan mengurangi statis sekresi lendir bronkhial paru) Caranya : Berbaring pada punggung, kedua lutut ditekuk. Letakkan kedua belah tangan pada perut dibawah bagian iga. Tarik nafas perlahanlahan dan dalam lewat hidung, kemudian keluarkan lewat mulut sambil
mengencangkan
dinding
perut
untuk
membantu
mengosongkan paru-paru. 2) Latihan lengan Caranya : Berbaring pada punggung, kedua lengan diluruskan diatas kepala dengan telapak tangan menghadap keatas. Kendurkan sedikit lengan kiri dan kencangkan lengan kanan. Pada saat yang sama, lemaskan tungkai kiri dan kencangkan tungkai kanan sehingga seluruh sisi tubuh yang kiri manjadi kencang sepenuhnya. Ulangi hal yang sama pada sisi tubuh yang berlawanan.
13
3) Latihan jari dengan gerakan abduksi dan aduksi selama setengah menit. Caranya : Lakukan
gerakan
tangan
dengan
gerakan
membuka
dan
menggenggam lalu gerakkan jari tangan dengan gerakan menjauh dan merapat selama setengah menit. 4) Latihan jari kaki Caranya : Lakukan gerakan telapak kaki kiri dan kanan ke atas dan ke bawah seperti gerakan menggergaji, kemudian gerakan abduksi dan adduksi selama setengah menit. 5) Latihan miring kanan dan kiri Caranya : Lakukan miring ke salah satu sisi dengan lengan atas ke depan. Bagian dasar tungkai agak fleksi, sementara tungkai fleksi pada paha dan lutut. Kepala klien di sangga dengan bantal dan bantal kedua diletakkan memanjang antara tungkai. Posisi ini digunakan ketika diinginkan sering berubah posisi klien (setiap 2 jam sekali). Posisi ini untuk membantu drainase kavitas abdomen dan untuk mencegah komplikasi pernafasan post pembedahan. 6) Latihan posisi semi fowler (hari ke II) Caranya :
14
Badan klien ditinggikan pada sudut 60-700. Ini merupakan posisi duduk nyaman. Tetapi posisi ini harus dilakukan dengan perlahan untuk mengurangi perasaan ringan kepala. Umumnya klien merasa pening setelah bagian kepala tempat tidur dinaikkan. Karena itu frekuensi nadi dan warna kulit harus dikaji dengan sering. Jika klien mengeluh pusing, tempat tidur harus diturunkan dengan perlahan. Jika pusing hilang, bagian kepala tempat tidur dapat dinaikkan lagi dalam 1 atau 2 jam. Tempatkan sanggaan pada kaki untuk mencegah klien merosot di tempat tidur dan membuat klien lebih aman. Pertahankan posisi klien sampai 1 jam. Bila tidak ada keluhan, ubah posisi klien sampai posisi duduk. 7) Latihan duduk ditempat tidur dengan kaki menjuntai ke bawah tempat tidur (pada hari ke III) Dengan bantuan perawat, bantu klien untuk duduk dipinggir tempat tidur dengan kaki dibawah. Saat perubahan posisi ini, klien dianjurkan untuk meletakkan tangan kiri pada area insisi untuk membelat (menyangga area insisi untuk meminimalkan penarikan jahitan). Sedangkan tangan kanan pegangan pada pagar tempat tidur. 8) Latihan turun dari tempat tidur dan berjalan disekitar tempat tidur dengan bantuan atau melakukan sendiri (pada hari ke III)
15
Latihan ini dapat dilakukan setelah klien cukup merasa kuat untuk berdiri. Lakukan dengan bantuan perawat. Sediakan kursi di sisi tempat tidur untuk membantu klien bila merasa lelah. 9) Latihan berjalan sendiri (pada hari ke IV) Latihan berjalan sendiri dapat dilakukan di sekitar tempat tidur atau sampai ke kamar mandi. Hal ini melatih klien untuk mandiri untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai dengan kemampuannya dalam beraktivitas. Prinsip ambulasi pada klien post Sectio Caesar dilakukan secara bertahap dan teratur diikuti dan disesuaikan dengan kondisi fisik klien. Mobilisasi berujuan untuk mencegah terjadinya thrombosis dan emboli. Miring kekanan dan kekiri sudah dapat dimuai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang se mungkin setelah sadar. Pada hari kedua, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalamdalam lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur telentang diubah menjadi setengah duduk/semi fowler. Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan kemudian belajar sendiri pada hari ke-3 sampai 5 pasca bedah. Jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat adalah yang paling dianjurkan (Mochtar, 2008).
16
2. Luka a. Pengertian Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan banyak hal atau berbagai faktor. Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 2005). Luka adalah gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 2007). b. Jenis-jenis luka Luka
sering
digambarkan
berdasarkan
bagaimana
cara
mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka. Derajat luka menurut Taylor (2007), sebagai berikut : 1)
Berdasarkan derajat kontaminasi a. Luka bersih Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b. Luka bersih terkontaminasi Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran
17
perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka
tidak menunjukkan tanda
infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%. c. Luka terkontaminasi Luka terkontaminasi adalah luka
yang berpotensi
terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka
laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi.
Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d. Luka kotor Luka
kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang
mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen.
Luka ini bisa sebagai akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama. 2)
Berdasarkan Penyebab a) Vulnus ekskoriasi permukaan
atau luka lecet/gores adalah cedera pada
epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
18
b) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur . c) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio
19
memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa. 2. Penyembuhan Luka a. Pengertian Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur, fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 2007). b. Proses penyembuhan luka Menurut Kozier (2005) proses penyembuhan alami meliputi : 1) Fase inflamasi atau lag Phase Berlangsung pada hari ke-5. Akibat luka terjadi pendarahan. Ikut keluar trombosit dan sel-sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus
20
dingding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamlin yang meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi aksudasi cairan edema. Dengan demikian timbul tandatanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman. Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada
kekuatan pertautan luka sehingga di sebut fase
tertinggal. Inflamasi terjadi akibat dari reaksi tubuh terhadap invasi mikroorganisme patogen atau terhadap trauma karena luka. Pada bagian yang mengalami peradangan akan muncul tanda-tanda seperti : (1) Rubor atau kemerahan, (2) Tumor atau pembengkakan, (3) Dolor atau nyeri, (4) Kalor atau panas dan (5) Functio laesa atau hilangnya fungsi. 2) Fase proliferasi atau fibroblast Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblast (menghubungkan sel-sel)
yang
berasal
dari
sel-sel
mesenkim.
Fibroblas
menghasilkan mukopolisakarid dan serat kolangen yang terdiri dari asam-asam
amino
glisin,
prolin
dan
hidroksiprolin.
21
Mukopolisekarid mengatur deposisi serat-serat
kolangen yang
akan mempertautkan tepi luka. Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan
dihancurkan,
dengan
demikian
luka
mengkerut/mengecil. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, seratserat
kolagen, kapiler-kapiler baru; membentuk
jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik pembentukan orignan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan
penyembuhan
luka
:
penyatuhan
kembali,
penyerapan yang berlebih. 3) Fase remondeling atau fase resorpsi Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal. Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblashingga struktur luka menjadi utuh. Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi. Penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normal
22
strukturnya, fungsinya dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound Healing Society). Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black & Jacob’s , 2007). Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya hasil yang mendekati tepi luka.
Pengangkatan jahitan itu
tergantung usia, status nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasa diangkat pada hari ke 6-7 proses operasi untuk menghindari terbentuknya bekas jahitan walaupun pembentukan
kollagen
samapai jahitan menyatu berakhir hari ke-21 (Taylor, 2007). Suatu luka yang bersih bila dilakukan persiapan dan pembedahan yang baik serta perawatan pasca operasi yang baik pula maka luka akan tetap bersih. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat mampu mencegah terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan anti septik proses penyembuhan luka tetap dapat terjadi (Oetomo, 2008). c. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka Faktor yang mempercepat penyembuhan luka menurut (Kozier, 2005) :
23
1) Pertimbangan perkembangan Anak dan orang dewasa lebih cepat
lebih cepat
penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 2005). 2) Nutrisi Penyembuhan
menempatkan
penambahan
pemakaian
metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat (Taylor, 2007). 3) Infeksi Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka. bakteri.
Dengan
adanya
Sumber utama infeksi adalah
infeksi
maka
fase-fase
dalam
penyembuhan luka akan terhambat. 4) Sirkulasi dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit
24
pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk
penyembuhan luka lambat karena
jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok. 5) Keadaan luka Keadaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat.
Misalnya
luka kotor akan lambat
penyembuhannya dibanding dengan luka bersih. 6) Obat Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin an anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama. 7) Mobilisasi Mobilisasi pasca operasi
ditujukan untuk mempercepat
penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi
25
pencernaan, mengurangi komplikasi pasca bedah, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang d. Pengkajian luka Menurut (Kozier, 2005), pengkajian luka meliputi : 1) Lokasi Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah. 2) Ukuran luka Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan yang telah dicatat berpola kotakkotak berukuran sentimeter. 3) Kedalaman luka Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hatihati kedalam luka dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar
26
luka. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter. 4) Gowa atau terowongan Gowa dan terowongan dapat diketahui dengan melakukan palpas jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan. Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hatihati dan kaji saluran yang abnormal tersebut.Jangan pernah menggunakan
kekuatan
menggunakan
kapas
dorongan
lidi.
Ukur
yang lokasi
berlebilan dan
bila
kedalaman
lubang/penetrasi. Untuk penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat datkan gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8. 5) Warna dasar luka Warna dasar
luka sangat penting dikaji
karena
berhububungan dengan penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa macam warna dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap masing-masing sesuai warna dasar tersebut.
27
a. Nekrotik Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi atau tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan palpasi terlebih dahulu. Dengan melakukan palpasi dapat dirasakan ada tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan disekitar luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya yang perlu diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan penderita apakah merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit tersebut. Untuk luka seperti ini membutuhkan suasana yang lembab sehingga nekrotik yang kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya. Jenis balutan yang baik adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan balutan transparan. b. Sloughy Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau tampak berair/basah.
Sloughy
ini harus diangkat dari
permukaan luka karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian pada dasar luka akan
tumbuh
jaringan granulasi buntuk proses penyembuahan. Untuk luka seperti ini dtuhkan hydrogen untuk melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiberuntuk menyerap eksudat yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif. (moist/lembab)
28
untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber yang mengandung calcium alginato dapat menghentikan pendarahan dengan segera. c. Granulasi Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapat dibiarkan tanpa pambalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai pengganti kulit utuk mencegah kontaminasi dari dunia luar dan menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan sel granulasi tersebut. Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh diberikan balutan hydrogen apabila eksudat banyak dapat digunakan
hydrofiber
dan yang
mengandung calcium alginate labih efektif. d. Epitelisasi Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini masih dalam proses glanulasi.
Untuk itu perlu pemilihan
balutan yang dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis (extra
thin). Balutan ini berbentuk wafer/padat, tidak
berbentuk seruk, namun cukup lunak dan nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan trauma terhadap luka.
29
e. Tipe Penyembuhan Luka Menurut Smeltzer dan Bare (2012) proses penyembuhan luka akan melalui beberapa intensi penyembuhan, antara lain : 1) Penyembuhan melalui intensi pertama (Primary Intention) Luka terjadi dengan pengrusakan jaringan yang minimum, dat secara aseptic, penutupan terjadi dengan baik, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal. 2) Penyembuhan melalui intensi kedua (Granulasi) Pada luka terjadi pembentukan pus atau tepi luka tidak saling merapat, proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama. 3) Penyembuhan melalui intensi ketiga (Suture Sekunder) Terjadi pada luka yang dalam yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan sehingga akan membentuk jaringan parut yang lebih dalam dan luas.
30
B. Kerangka Teori Operasi
Luka
Proses penyembuhan 1) Fase inflamasi atau lag Phase 2) Fase proliferasi atau fibroblast 3) Fase remondeling atau fase resorpsi
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka 1. Pertimbangan perkembangan NutrisiInfeksi 2. Sirkulasi dan Oksigenasi 3. Keadaan Luka 4. Obat 5. Mobilisasi
Derajat luka 1. Berdasarkan derajat kontaminasi a. Luka bersih b. Luka bersih terkontaminasi c. Luka terkontaminasi d. Luka kotor 2. Berdasarkan Penyebab a. Vulnus ekskoriasi. b. Vulnus scissum.. c. Vulnus laseratum. d. Vulnus punctum. e. Vulnus morsum. f. Vulnus combutio.
Penyembuhan Luka
Penyembuhan Luka 1. Maksimal 2. Tidak Maksimal
Gambar 2.2 Kerangka Teori Menurut Kozier (2005 dan Taylor (2007)
31
C. Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Bebas
Kelompok Intervensi (Dibimbing Mobilisasi )
Kelompok Kontrol (Mobilisasi Mandiri)
Variabel Terikat Penyembuhan Luka
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Variabel Pengganggu Pertimbangan perkembangan Nutrisi Infeksi Gambar Sirkulasi dan 2.3 Kerangka Konsep Oksigenasi Keadaan Luka Obat
: tidak diteliti : diteliti
D. Hipotesa Penelitian Hipotesa dari penelitian ini adalah ada hubungan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen.
32
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimen kuasi (Quasi Eksperiment) dengan desain penelitian post test only with control group design (Alimul, 2007).
B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Bangsal Terate RSUD Kebumen pada bulan April 2014.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian Populasi adalah sekelompok subjek dengan karakteristik tertentu (Notoatmodjo, 2010). Adapun populasi target yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca operasi pada tahun 2013 yaitu 1800 pasien. 2. Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Menurut Al Ummah (2007) ukuran sampel minimal dalam penelitian adalah 30 sampel. Penelitian ini mengambil 30 pasien post operasi yang diambil secara purposive sampling. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (dibimbing) dan kelompok kontrol
32
33
(mandiri) dengan perbandingan 1:1 sehingga kelompok perlakukan sejumlah 15 pasien dan kelompok kontrol sejumlah 15 pasien. Kriteria sampel yang ada dalam penelitian ini adalah kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi yaitu kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitia yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2007). Dalam penelitian ini kriteria inklusinya adalah: 1) Pasien pasca operasi yang menjalani perawatan ≥ 5 hari di Bangsal Terate RSUD Kebumen 2) Bersedia menjadi responden. b. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini yang merupakan kriteria eksklusi adalah: pasien pasca operasi dengan komplikasi penyakit DM.
D. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap menentukan variabel terikat (Saryono, 2008). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mobilisasi.
34
2. Variabel Terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi (Saryono, 2008). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah proses penyembuhan luka post operasi.
E. Definisi Operasional No 1
Variabel
Definisi Operasional
Parameter
Mobilisa si
Kegiatan pelatihan mobilisasi di tempat tidur dengan melatih bagian–bagian tubuh untuk melakukan peregangan atau belajar berjalan yang terdiri dari : a. Tirah baring pada 6 jam pertama b. Miring kekiri dan kekanan pada 6-10 jam setelah operasi c. Belajar untuk duduk setelah 24 jam setelah operasi d. Belajar Berjalan Setelah Mampu Duduk e. Latihan posisi semi fowler (hari ke II) f. Latihan duduk ditempat tidur dengan kaki menjuntai ke bawah tempat tidur (pada hari ke III) g. Latihan turun dari tempat tidur dan berjalan disekitar tempat tidur dengan bantuan atau melakukan sendiri (pada hari ke III) h. Latihan berjalan sendiri (pada hari ke IV).
Dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu : 1. Kelompok perlakuan (dibimbing) 2. Kelompok kontrol (mandiri)
Skala
35
2
Proses penyemb uhan luka post operasi.
Suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Proses penyembuhan luka post operasi dilihat dari 4 karakteristik luka: a. adanya jaringan granulasi abnormal b. adanya pus pada luka c. luka tidak menutup d. luka dijahit kembali
Pengukuran proses Nominal penyembuhan luka dilakukan pada hari ke 5. Menggunakan skala guttman yaitu observer memilih alternatif jawaban ya dan tidak, sesuai dengan keadaan pasien. Apabila “Ya” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi skore 0 Dikategorikan menjadi 2 yaitu: a. Penyembuhan luka baik bila skor 0 b. Penyembuhan luka tidak baik bila skor > 0
F. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden (Sugiyono, 2011). Data primer pada penelitian ini adalah data mobilisasi dan proses penyembuhan luka post operasi. b. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain dan data sudah ada (Sugiyono, 2011). Data sekunder pada penelitian ini didapat dengan studi dokumen rekam medik tentang jenis pembedahan pasien dan lama perawatan.
36
2. Langkah - langkah Pengumpulan Data Setelah mendapat izin dari pihak RSUD Kebumen, peneliti kemudian bekerja sama dengan perawat ruangan dalam pengumpulan data. Peneliti menginformasikan, menunjukkan serta mensosialisasikan kriteria sampel penelitian. Bila
keluarga pasien bersedia dan menandatangani
informed consent yang telah disediakan oleh peneliti. Jaminan kerahasiaan menjadi salah satu informasi yang disampaikan kepada pasien. Bila pasien tidak bersedia, maka pasien punya hak untuk menolak ataupun mengundurkan diri karena suatu hal tanpa sanksi apapun. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama adalah kelompok perlakuan yaitu kelompok yang dibimbing mobilisasi dan kelompok kontrol melakukan mobilisasi secara mandiri didasarkan anjuran perawat yang disesuaikan dengan keadaan pasien, sedangkan untuk kelompok intervensi dilakukan kegiatan pelatihan mobilisasi di tempat tidur dengan melatih bagian–bagian tubuh untuk melakukan peregangan atau belajar berjalan yang terdiri dari : tirah baring pada 6 jam pertama, miring ke kiri dan ke kanan pada 6-10 jam setelah operasi, belajar untuk duduk setelah 24 jam setelah operasi, belajar berjalan setelah mampu duduk, latihan posisi semi fowler (hari ke II), latihan duduk ditempat tidur dengan kaki menjuntai ke bawah tempat tidur (pada hari ke III), latihan turun dari tempat tidur dan berjalan disekitar tempat tidur dengan bantuan atau melakukan sendiri (pada hari ke III), latihan berjalan sendiri (pada hari ke IV). Kemudian dari kedua kelompok tersebut diobservasi proses
37
penyembuhan luka pada hari ke 5. Proses penyembuhan luka post operasi dilihat dari 4 karakteristik luka: adanya jaringan granulasi abnormal, adanya pus pada luka, luka tidak menutup, dan luka dijahit kembali.
G. Teknik Analisa Data Menurut Notoatmodjo (2009), analisa data merupakan kegiatan untuk menganalisis data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan teknikteknik tertentu. Data kualitatif dianalisis dengan teknik analisis kualitatif, sedangkan data kuantitatif dianalisis menggunakan analisis kuantitatif. Khusus untuk analisis kuantitatif, dapat dilakukan secara manual atau menggunakan program komputer. Kegiatan analisis data meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis univariat (analisis deskriptif) dan analisis bevariat (analisis uji hipotesis). 1. Analisis Univariat (Analisis Deskriptif) Analisis univariat (deskriptif) digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan masing-masing variabel yang diteliti, berupa distrsi frekwensi dan persentase dari data variabel mobilisasi dan proses penyembuhan luka post operasi. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: f P = -------- x 100% N Keterangan: P = angka pesentase f = frekuensi N = banyaknya responden (Sugiyono, 2009).
38
2. Analisis Bivariat (Uji Hipotesis) Analisa bivariat adalah analisis yang menghubungkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat (Arikunto, 2006). Tujuan analisis bivariat adalah untuk menguji hipotesis kerja yang diajukan, tentang adanya hubungan mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post operasi di Bangsal Terate RSUD Kebumen. Uji statistik yang digunakan Chi Square. Korelasi chi square digunakan untuk data diskrit nominal dan ordinal dengan rumus : Rumus Chi Square: 2 fo fh x2 fh Keterangan:
x2
= chi square.
fo
= frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sampel.
fh
= frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan
dan
frekuensi yang diharapkan dari populasi. Jika Chi Square lebih kecil dari Chi Square Tabel maka H0 atau
hipotesis statistik diterima. Jika Chi Square hitung lebih besar dari Chi Square Tabel maka H0 atau hipotesis statistik ditolak. Jika probabilitas (Asym. Sig) lebih kecil dari 0,05 maka H0 atau hipotesis statistik ditolak. Jika probabilitas (Asym. Sig) lebih besar dari 0,05 maka H0 atau hipotesis statistik diterima (Sugiyono, 2007).
39
H. Etika Penelitian Etika dalam penelitian keperawatan meliputi : 1. Inform Consent Tujuannya agar responden mengikuti maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika subjek menolak menjadi responden maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. 2. Anomity Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan memberi nama responden kepada lembar pengumpulan data (kuisioner yang diisi oleh responden). Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu. 3. Confidentiality Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun
masalah-masalah
lainnya,
semua
informasi
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
yang
telah
40
HUBUNGAN MOBILISASI TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA POST OPERASI DI BANGSAL TERATE RSUD KEBUMEN LEMBAR OBSERVASI
A. Identitas Responden (diisi oleh peneliti) 1. Nomor reponden : ............................. 2. Nama responden : ............................. 3. Jenis Pembedahan : ............................. 4. Evaluasi hari ke : .............................
B. Lembar Proses Penyembuhan Luka Post Operasi
No
Proses Penyembuhan Luka Post Operasi
Hasil Observasi Ya
1
Adanya jaringan granulasi abnormal
2
Adanya pus pada luka
3
Luka tidak menutup
4
Luka dijahit kembali
Tidak
C. LATIHAN MOBILISASI No
Latihan Mobilisasi Post Operasi
Hasil Dilakukan
Tdk dilakukan
Setelah operasi, pada 6 jam pertama paska operasi harus tirah baring dulu. Mobilisasi 1
yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki
dan
memutar
pergelangan
kaki,
mengangkat tumit, menegangkan otot betis
41
serta menekuk dan menggeser kaki Setelah 6-10 jam, diharuskan untuk dapat 2
miring kekiri dan kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli
3
4 5
Setelah 24 jam dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk Setelah dapat duduk, dianjurkan belajar berjalan. Latihan posisi semi fowler (hari ke II) a. Badan klien ditinggikan pada sudut 60700. b. Tempatkan sanggaan pada kaki untuk mencegah klien merosot di tempat tidur dan membuat klien lebih aman. c. Pertahankan posisi klien sampai 1 jam. d. Bila tidak ada keluhan, ubah posisi klien sampai posisi duduk. Latihan duduk ditempat tidur dengan kaki
6
menjuntai ke bawah tempat tidur (pada hari ke III) Latihan turun dari tempat tidur dan berjalan
7
disekitar tempat tidur dengan bantuan atau melakukan sendiri ( pada hari ke III) Latihan berjalan sendiri (pada hari ke IV).
8
Latihan berjalan sendiri dapat dilakukan di sekitar tempat tidur atau sampai ke kamar mandi