ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI
Dari Editor
Susunan Redaksi
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA REDD Antara Madu dan Racun / Rakhmat Hidayat ……...................................................................…………..4 4 INTRODUKSI Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Skema REDD+/ Rudi Syaf …………..........................................……………..5 5 LAPORAN UTAMA • Perubahan Iklim, REDD dan Komitmen Pemerintah/ Rakhmat Hidayat ……...........................................……9 9 • Masyarakat Belum Paham Skema REDD/ Rakhmat Hidayat&Rainal Daus…..........................................…..1313 • Musim Buah Kacau,Orang Rimba Bingung/ Robert Aritonang ………………...........................................…...1515 • Simancung, Potret Pengelolaan Hutan secara Lestari/ Riche Rahma Dianti.................................................1717 FOKUS • Jalan Panjang Lahirnya Aturan Lokal di Sekitar Kawasan Harapan Rainforest/ Desriandi&Elviza Diana.….20 20 • Harapan Rainforest,Harapan Bathin IX/ Dinaldi&Elviza Diana………….............................................……….2424 • Membangun 10 Desa Model Pemetaan Partisipatif/ Elviza Diana……………...........................................….26 26 GIS SPOT • Deforestasi di TNBD/ Askarinta Adi………………………………...........................................………………….2828 DARI HULU KE HILIR...... • Menikmati Pesona Alam Taman Nasional Bukit Duabelas/ Abdul Rahman ……............................................3030 • Enam Desa Sepakat Lindungi Sungai/ Elviza Diana………………………………...........................................32 32 WAWANCARA • “Solusi Baru Penanggulangan Kemiskinan”/ Elviza Diana……………………….............................................34 34 SUARA RIMBA • Pesona Sejuta Madu dibalik Petuah Sialang/ Elviza Diana&Surana …………...............................................3535 • Manau Selamatkan Orang Rimba di Sungai Terap/ Jusia Hari Abdi …………................................................3737 AKTUAL • Penyelamatan Zona Penyangga Untuk Mendukung Pelestarian Hutan/ Sukmareni……...............................3838 • Hutan Terpelihara, Remaja Menjaga/ Elviza Diana ……………………………….............................................3939 • Sekolah Formal untuk Anak Rimba/ Sukmareni…………………………………...............................................4141 • Menghitung Orang Rimba/ Sukmareni……………………………………………...............................................4343 • Akhir dari Perjalanan Panjang Tata Batas TNBD/ Ade Candra…………………..............................................4444 SELINGAN • Timah dan Nasib Ekologi Kepulauan Bangka Belitung/ Amilda Sani ……………...........................................4646 • Dunia Anak-anak Kota Kapur, Antara Lokasi Tambang Timah dan Sekolah/ Amilda Sani ….........................4949 MATAHATI • Ritual Memandiko Budak, Selamatkan Bayi Agar Terhindar Dari Berbagai Penyakit/ Novri Hidayat….. .......5151 • Mimpi “Sarjana-Sarjana Universitas” Simpang Macan/ Wewen Effendi…………………….............................5353 Sang Kemare, Info WARSI, Dari Kita........................................................................................................... 55
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Foto Cover : Deforestasi hutan Jambi / Heriyadi A. / Dok. KKI Warsi Desain dan Cetak :
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id
P
erubahan cuaca merupakan hal yang tidak bisa lagi dihindari. Secara kasat bisa terlihat dari perubahan cuaca yang tidak menentu. Ketika harusnya sudah masuk musim kemarau, di beberapa wilayah di Indonesia ternyata masih dilanda banjir, sementara di bagian wilayah lain juga telah terjadi kekeringan yang menyebabkan masyarakat kesulitan air bersih dan gagal panen. Kejadian ini terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Anomali cuaca, demikian para pakar menyebutnya. Namun satu hal yang bisa kita sadari bahwa semua perubahan ini merupakan dampak dari perubahan iklim global. Ketika kita sudah merasakan dampaknya, ditataran global pembahasan untuk pengurangan emisi karbon sebagai penyebab perubahan iklim masih berlangsung alot. Negara-negara penghasil emisi karbon nampaknya masih setengah hati untuk menurunkan emisi karbon mereka. Di sisi lain, negara-negara pemilik hutan seperti Indonesia, Brazil, Kongo, Costa Rica, Kamerun, Kolombia, Malaysia, Papua New Guinea, Peru, Republik Demokratik Kongo dan Gabon, bersepakat untuk mempertahankan hutan mereka guna mengurangi emisi dari kehilangan hutan. Skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) pun gagas untuk mempertahankan hutan dari kerusakan. Skema REDD ini, diharapkan akan memberikan ruang baru untuk menyelamatkan hutan secara global. Hanya saja sudah lebih dari tiga tahun skema ini di gagas, belum juga melahirkan kesepakatan kongkret bagaimana seharusnya mekanisme REDD ini di jalankan. Pada konferensi internasional membahas iklim dan hutan pada 26-27 Mei 2010 di Oslo Norwegia, diharapkan akan melahirkan suatu mekanisme yang jelas dalam memfasilitasi kemitraan sukarela antara negara maju dan negara berkembang yang memiliki hutan tropis untuk pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari penggundulan dan perusakan hutan di negara berkembang (REDD+). Pada pertemuan di Oslo itu Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia telah menandatangani letter of intent yang menyepakati pemberian dana hibah sebesar 1 milyar dollar dari Norwegia untuk Indonesia guna mengurangi emisi dari pengrusakan hutan (REDD+). REDD ini jugalah yang menjadi laporan utama kami dalam edisi kali ini, harapannya tulisan-tulisan yang disuguhkan akan memberi pencerahan pada kita semua, bagaimana sebenarnya REDD, harapan dan tantangannya. Tak ketinggalan kami sampaikan juga tulisan-tulisan lainnya yang kami anggap menarik untuk pembaca sekalian nikmati atau bahkan kita renungkan.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
4
SALAM RIMBA
EFEK RUMAH KACA
REDD Antara Madu dan Racun Madu ditangan kananmu Racun ditangan kirimu Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku...........
P
enggalan lagu madu dan Racun yang diciptakan Ari Wibowo serta pernah menjadi hits ditahun 80an rasanya pas untuk menggambarkan perdebatan terkait dengan isu perubahan iklim secara umum dan skema REDD secara khusus. Gonjang-ganjing yang melingkupi isu tersebut telah dimulai sejak awal, benturan kepentingan yang sangat kuat antara negaranegara industri sebagai penghasil emisi dengan dengan negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai tabungan hutan tropis. Namun sangat potensial untuk menjadi penyumbang emisi besar atas kerusakan hutan, baik karena deforestasi ataupun degradasi yang memang dirancang untuk membiayai pembangunan. Perhatian sekaligus pertentangan antara negara industri dengan berkembang telah dimulai sejak tahun 1992, ketika semua negara didunia mulai merasakan dampak langsung ataupun tidak langsung akibat perubahan iklim. Skema-skema untuk menurukan emisi karbon sebagai penyebab perubahan iklim pun di keluarkan, mulai dari kesepakatan penurunan emisi sebagaimaan termaktub di Protokol Kyoto, hingga pada COP 13 di Bali sebagaimana kesepakatan dalam Bali Action Plan upaya lain untuk menurunkan emisi melalui skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Berbicara REDD tentu tidak bisa dilepaskan dengan sejarah pengelolaan sumberdaya alam di Idonesia, berbagai persoalan yang muncul akibat ketidak tepatan pengelolaan, konflik, KKN, tata pemerintahan, hak-hak masyarakat adat/lokal jelas tidak bisa dikesampingkan. Munculnya dua kutub yang menerima dan menolak merupakan gambaran penting untuk lebih memperjelas sekma ini. Kekuatiran banyak pihak akan pelaksanaan REDD yang justru akan menyingkirkan hak-hak masyarakat adat dan lokal, memperluas praktek KKN, Ketidak jelasan strategi dan mekanisme ditingkat nasional, kebijakan, informasi serta sosialisasi yang minim, penunggangan isu oleh para brooker Carbon, pemiskinan, dehumanisasi, pelanggaran HAM dan lainnya patut untuk dijadikan sebagai agenda awal untuk diselesaikan sebelum REDD dilaksanakan. Sehingga kekuatiran dan kritik terhadap REDD bisa dijadikan sebagai alat penyatu untuk memperbaiki berbagai persoalan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia.
Sementara disi lain, gambaran dan janji-janji manis terkait REDD seolah membius banyak pihak. Kesan bahwa dengan skema REDD akan mengucur uang dari langit jelas harus disingkirkan. Buaian bahwa dengan menjual karbon dari hutan akan mampu menghasilkan milyaran untuk pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta juga harus didudukan dengan jelas. Sehingga racun Carbon yang melenakan semua orang, bisa dipandang dengan realistis. Banyaknya prasyarat, tanggung jawab, kerumitan mekanisme di level nasional dan internasional, kebuntuan perundingan di leevel inter nasional, periapan yang masih sangat minim, persoalan hak dan juga tata kelola pemerintahan akan menjebak kita kedalam perpecahan. Sehingga sangat penting untuk mendengarkan beberapa prasyarat awal yang harus dipersiapkan berdasarkan dari berbagai proses konsultasi di kampung, Kecamatan, Kabupaten, provinsi bahkan antar provinsi. REDD hanyalah sebuah konsep pendekatan, bagaimana melaksanakannya secara berkeadilan merupakan persoalan yang penuh dengan kerumitan. Bagaikan pisau bermata dua, bagaikan madu dan racun yang akan menjebak ketika keputusan diambil secara tergesa-gesa. Tapi apapun, skema ini akan tetap berjalan, suka atau tidak. Oleh penguatan masyarakat adat/lokal dikampung menjadi mutlak, Sehingga mereka tidak akan menjadi korban yang kesekian kalinya dari kebijakan internasioanl dan nasional yang akan dijalankan. Sangat wajar, ketika salah seorang tokoh adat menyampaikan pandangannya yang disampaikan dalam salah satu proses konsultasi. “Kompensasi REDD bukanlah belas kasihan, tapi kewajiban atas usaha dan kerja keras kami menjaga kawasan hutan yang tersisa” “Hutan Kami bukan untuk REDD tapi untuk sumber air sawah, listrik, tempat ambil buah dan getah, sayuran, madu, obat-obatan, bibit tanaman, rotan manau dan kayu ramuan” “Yang kami butuhkan adalah pengakuan, perlindungan dan dukungan atas hutan kami, bukan REDD” Semoga suara-suara yang selama ini nyaris tidak terdengar bisa menjadi suara sakti untuk dijadikan bahan utama dari perumusan kebijakan. Seperti kata-kata lama bukankah bahwa “suara rakyat itu suara Tuhan? Maka laksanakan perintah tersebut.(Rakhmat Hidayat)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
INTRODUKSI
Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Skema REDD+ Jika aktifitas bisnis berlangsung sebagaimana sebelumnya dan tidak adanya suatu tindakan nyata dalam mengelola pemanasan global, Sir Nicholas Stern Penasehat Ekonomi Perdana Menteri Inggris dalam The Stern Review on Climate Change menyebutkan dunia akan mengalami kelaparan pada tahun 2050 nanti. Pada era anak cucu kita nanti, fenomena yang akan memicu kerusuhan di bumi ini akan mereka alami. Hal ini akan terjadi jika tidak ada sikap secara global untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
P
erubahan iklim mulai dibahas secara resmi dalam skala Internasional pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazil pada 1992. Peningkatan emisi karbon di atmosfer bumi mendapatkan perhatian yang serius dari para delegasi yang berasal 50 negara. Dari konvensi inilah lahir kerangka kerja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk perubahan iklim yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Secara berkala para pihak yang tergabung dalam kerangka kerja ini melakukan pertemuan untuk mengambil langkah-langkah guna mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pertemuan para pihak Conference of The Parties (COP) 3 untuk UNFCC di Kyoto Jepang 1997, disepakati sebuah tata cara penurunan emisi gas rumah kaca— gas penyebab pemanasan global—. Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol ini menargetkan dan menjadwalkan penurunan emisi yang harus dilakukan negara Annex-1 (yang terdiri dari negara industri serta negara dengan ekonomi dalam transisi), yaitu sebesar 5,2% dari tingkat emisi bersama mereka di tahun 1990. Pada pertemuan selanjutnya, pencegahan deforestasi untuk mengatasi pemanasan global juga mulai dibicara-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
5
6
INTRODUKSI kan. Emisi dari tata guna lahan menyumbang hampir 1/5 (sekitar 6 GT) total emisi dunia, dan hampir seluruhnya terjadi karena deforestasi dan pengrusakan hutan. Secara global stok karbon dalam biomas hutan juga menurun sebesar 1,1 GT per tahun sebagai akibat dari deforestasi dan degradasi yang masih berlangsung. Dalam COP ke 11 di Montreal 2005, hutan untuk mitigasi terhadap perubahan iklim mulai masuk sebagai bahasan konvensi. Adalah Papua New Guinea dan Costa Rica yang didukung oleh delapan pihak yang tergabung dalam Coalition for Rainforest Nations (CfRN), yang pertama kali memunculkan konsep ini. Mereka mengajukan proposal tentang insentif untuk pencegahan deforestasi atau dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED). Isu RED ini kemudian dimatangkan dalam COP 13 di Bali 2007 dengan konsep Reduced Emissions from Deforestation and Degradation(REDD) yang dimasukkan dalam Bali Action Plan. Dalam dokumen Bali Action Plan tersebut, REDD merupakan pendekatan Kebijakan dan insentif positif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; peran konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. Dimasukannya penurunan emisi dari deforestasi di negara berkembang, karena diperkirakan deforestasi akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk, keperluan pembangunan dan lain-lain. Apabila tidak ada intervensi kebijakan yang memungkinkan, negara berkembang akan tetap mengalami deforestasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Hal inilah yang menjadi latar bidikan penurunan emisi di negara-negara berkembang. Karenanya, pencegahan deforestasi menjadi isu utama dalam percaturan politik internasional dalam mengurangi pemanasan global selain juga mendorong negara-negara industri untuk menurunkan kadar emisi mereka. Pembahasan REDD terus berkembang dan mengalami tarik ulur yang kompleks. Negara-negara pemilik hutan gencar menyuarakan ini untuk segera merealisasikan REDD seperti Tuvalu, Brazil, Filipina dan Gabon. Sementara beberapa negara lainnya, seperti India dan Cina masih memperdebatkan bahwa mereka juga merasa berhak untuk mendapatkan dana kompensasi, dengan alasan rata-rata emisi mereka juga jauh berada di bawah emisi perkapita yang dikeluarkan Amerika. Di pihak lain, Amarika mau secara sukarela terlibat dalam skema REDD namun hanya akan memberikan kompensasi untuk deforestasi yang berhasil di tahan, sementara di negara pemilik hutan kerkeinginan semua hutan yang berhasil dipertahankan dari deforestasi dan degradasi diberikan kompensasi.
INTRODUKSI
Padahal REDD diharapkan akan melahirkan kesepakatan bersama para pihak, sehingga bisa menjadi salah satu lanjutan penurunan emisi sebagaimana diamanatkan Protokol Kyoto yang akan habis pada 2012. Asumsi awal, pada 2009 konsep REDD ini telah disepakati oleh para pihak sehingga pada COP 15 di Kopenhagen Denmark, sudah dapat disepakati mengenai pendanaan, aturan dan implementasi REDD. Namun hingga dilangsungkannya COP 15 pada 2009 lalu negosiasi REDD kembali berjalan alot. Tarik menarik kepentingan dan keadilan iklim semakin menyemarakkan COP 15. Pada pertemuan ini, masih belum tercapai kesepakatan REDD yang final dan mengikat. Hal ini disebabkan kurangnya konsensus internasional di dalam keseluruhan kesepakatan tentang penanggulangan perubahan iklim. Hambatan utama dalam kesepakatan iklim ini adalah target penurunan emisi dan pendanaannya. Padahal kesepakatan REDD sangat tergantung pada keberhasilan negosiasi akhir, khususnya yang terkait dengan kedua isu tersebut. Jika ada kesepakatan penurunan emisi dan pendanaannya, hasil akhir dari negosiasi seperti ini akan dapat mempercepat kesiapan program-program REDD nasional dan mendorong adanya dukungan internasional yang berdedikasi. Ketiadaan kesepakatan REDD menyebabkan tidak satupun yang ada dalam teks konsep Copenhagen Accord (kesepakatan Kopenhagen—dokumen akhir COP 15), yang dapat dianggap pasti. Namun demikian, negosiator-negosiator di COP 15 berhasil mencapai konsensus untuk sejumlah isu penting yang sangat memungkinkan akan menjadi bagian dari kesepakatan REDD, yang kemudian dikenal dengan REDD+. Pada REDD+ memperluas ruang lingkup mekanisme kompensasi dengan memasukkan aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan. Aktifitas-aktifitas seperti peningkatan pengelolaan kawasan lindung, hutan tanaman dan restorasi hutan, serta pembalakan berdampak rendah dapat dimasukkan sebagai bagian dari strategi REDD+. REDD+ dapat dilihat sebagai suatu perkembangan yang positif untuk pengelolaan kehutanan. Akan tetapi terdapat sejumlah kekhawatiran bahwa REDD+ akan membuka peluang bagi sektor-sektor industri untuk mengklaim kredit karbon meskipun di saat yang sama masih tetap mengeksploitasi kawasan hutan yang ada dengan cara-cara yang tidak lestari. Namun demikian REDD+ tetap menjadi langkah awal yang cukup baik sebagai salah satu cara mitigasi terhadap perubahan iklim. Dalam Copenhagen Accord, menyebutkan akan dibentuk Copenhagen Green Climate
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Peralihan tata guna lahan menyumbang seperlima emisi karbon. Foto : Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Fund dengan komitmen tiga tahun ke depan sebesar US $ 30 milyar. Untuk jangka panjang, negara-negara maju sepakat untuk mencapai sasaran pendanaan US $ 100 milyar per tahun sebelum 2020. Juga akan dibuat mekanisme untuk mendorong pengembangan dan alih teknologi untuk mendorong aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. REDD+ akan menggerakkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta di negara berkembang untuk membangun secara sistematik investasi, kebijakan lingkungan, struktur kelembagaan, dan layanan pedesaan (pendidikan, aturan hukum, kesehatan, bantuan teknis) yang perlu agar ekonomi yang menjaga hutan dapat menggantikan kegiatan yang merusak hutan.
Indonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung. Permenhut ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Juga perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha.
Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap REDD
Saat ini yang penting untuk dilakukan dalam menyikapi REDD diantaranya Menyusun Reference Level (RL)/ Reference Emission Level (REL) sebagai basis bagi upaya penurunan laju deforestasi, laju degradasi hutan dan penerapan manajemen hutan lestari baik dikawasan hutan produksi, konservasi dan lindung, serta peningkatan dan pengelolaan cadangan karbon.
Menyikapi REDD, Presiden SBY pada KTT G-20 di Pitsburg USA 2009 menyatakan komitmen Indonesia akan menurunkan total emisi karbon sebesar 26 % sampai tahun 2020. Penurunan emisi yang akan di capai dari sektor kehutanan dan gambut melalui pengelolaan hutan berkelanjutan dan rehabilitasi lahan gambut.
Selain itu, juga perlu menetapkan lokasi demonstration activity sebagai acuan dalam implementasi REDD+ dan kejelasan lokasi yang bersangkutan sehingga dapat diketahui penanggung jawab dan para pihak yang terlibat serta kondisi awal dan yang diproyeksikan dalam pengelolaan ke depan.
Selain itu, juga telah dipersiapkan sejumlah aturan yang akan mengatur pelaksanaan REDD di Indonesia. Diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Secara khusus terkait dengan arahan metode untuk implementasi REDD+ yang telah disepakati, antara lain: identifikasi penyebab deforestasi dan degradasi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
7
8
INTRODUKSI serta cara penanganannya, identifikasi dan pelaksanaan kegiatan yang dapat mengurangi emisi, meningkatkan penyerapan dan memelihara cadangan karbón dan pembangunan sistem Monitoring-Reporting-Verification (MRV/ memonitor, melaporkan, dan memverifikasi pengelolaan hutan) yang akuntabel dan transparan. Sebagai dari respon dari tekad Indonesia menurunkan emisi ini, Pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Indonesia telah menandatangani Letter of Intent (LoI) tentang kerjasama penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. LoI ini yang ditandatangi Menteri Luar Negeri RI R.M. Marty M. Natalegawa dan Minister of the Environment and International Development Norwegia Erik Solheim, pada akhir Mei lalu dalam rangkaian Konvensi Iklim dan Hutan di Oslo Norwegia. Dalam kerjasama itu, Pemerintah Norwegia memberikan dana hibah sebesar 1 milyar dollar (sekitar Rp 9 triliyun) untuk membantu Indonesia menurunkan emisi karbon dari deforestasi di hutan alam dan kawasan gambut. Ini merupakan dana hibah yang cukup besar dalam skema implementasi REDD di Indonesia, sehingga memberikan harapan juga tantangan bagi para pihak di Indonesia untuk mendukung penurunan emisi karbon. Pemerintah secara cepat menyiapkan langkah-langkah kongkret menindaklanjuti LoI ini. Kabar terbarunya, Kementrian Kehutanan tengah bersiap untuk membentuk Badan Reducing Emissions Form Deforestation and Degradation (REDD+) dan Lembaga Independen MRV. Dalam kesepakatan Indonesia-Norwegia ini, Indonesia akan melakukan moratorium perizinan di kawasan hutan alam dan kawasan gambut yang akan dimulai pada 2011 nanti. Monitoring penurunan emisi dari aktifitas ini akan dilakukan pada Desember 2013. Di satu sisi kerjasama ini merupakan langkah maju untuk pengelolaan kehutanan di Indonesia. Hanya saja dalam kerjasama ini dianggap masih lemah karena moratorium perizinan baru akan dilakukan pada 2011 nanti, sehingga bisa jadi daerah akan tetap berlomba-lomba untuk mengeluarkan perizinan sebelum batas itu. Kekhawatiran ini merupakan hal yang sangat wajar mengingat proses perizinan masih berlanjut. Untuk di Jambi misalnya, berdasarkan data Dinas Kehutanan
LAPORAN UTAMA
Provinsi Jambi, terdapat kawasan hutan yang berstatus sebagai eks HPH yang dalam hal ini perizinannya telah dikembalikan kepada pemerintah. Kawasan itu adalah eks PT Injabsin, Serestra II, Rimba Karya Indah, Bina Lestari, Hatma Hutani, dengan luas mencapai 329 ribu ha. Selain itu, juga terdapat kawasan yang dicadangkan untuk HTI, yaitu Rimba Hutani Mas dan Duta Alam Makmur, dengan luas 135.675 ha. Jika kawasan eks HPH dan pencadangan HTI ini tetap dipertahankan sebagai hutan, akan masuk dalam skema moratorium berdasarkan LoI Norwegia-Indonesia. Tentu akan lain persoalannya jika perizinan dikawasan ini berlanjut dan hutan alampun beralih fungsi menjadi HTI dan peruntukan lainnya. Namun jika pemerintah berkomitmen menyelamatkan hutan alam, sekaligus bisa mengakses dana hibah dari Norwegia untuk pemulihan kawasan hutan di Jambi, penghentian proses perizinan pencadangan HTI dan eks HPH, merupakan suatu keharusan. Tindakan ini juga sekaligus akan sangat mendukung pemulihan kawasan hutan di Jambi. Walau skema REDD+ di satu pihak merupakan harapan untuk menyelamatkan hutan sekaligus adanya kompensasi dari upaya itu, tetap memunculkan sejumlah kekhawatiran. Akan banyak pertanyaan yang muncul yang harus dijawab sebelum skema REDD+ ini dijalankan, terutama menyangkut pengakuan hak kelola masyarakat. Apakah hak kelola masyarakat seperti hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan dan lain sebagainya juga akan diakui dalam skema ini. Jangan sampai REDD+ ini berjalan, namun menafikan hak-hak masyarakat seperti pada waktu pengelolaan hutan yang dilakukan pihak swasta atas legalitas pemerintah dalam bentuk HPH ataupun HTI. Sudah seharusnya, pemerintah dan stakeholder kunci berjuang untuk pengakuan hak masyarakat dalam setiap pengelolaan hutan, karena masyarakatlah yang akan sangat merasakan dampak dari setiap kebijakan pengelolaan yang dilakukan. Dan masyarakat juga yang akan paling merasakan dampak dari perubahan iklim, sementara di pihak lain, masyarakat merupakan elemen terkecil dalam penyumbang emisi.(Rudi Syaf) Kondisi kawasan hutan Jambi di lihat dari udara. Foto : Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Kawasan hutan Lembah Masurai kaya cadangan karbon, namun terancam hilang dan beralih fungsi menjadi areal HTI. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Perubahan Iklim, REDD dan Komitmen Pemerintah
Ketika sistem alam mulai berubah akibat perubahan iklim, hampir semua penduduk di muka bumi ini gagap untuk menghadapinya. Resiko daratan dan pulau-pulau kecil yang tenggelam, pola tanam yang tidak bisa diperkirakan, penyakit baru yang aneh dan dulu tidak pernah diperkirakan, sekarang muncul menyerang bergantian. Bencana ekologi seakan silih berganti, bukan hanya menimpa negara-negara miskin yang terpencil, namun juga merambah sampai negara-negara maju seperti China, Jepang, Amerika atau negara-negara Eropa. Kalau tidak ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk bersama-sama mengatasinya, rasanya kejadian yang tergambar dalam film “Water World” akan menjadi kenyataan. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
B
erdasarkan publikasi diberbagai media, dijelaskan bahwa kehebohan dan perhatian hampir semua umat manusia terkait dengan isu perubahan iklim dimulai saat pertama kali IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengeluarkan temuan terbaru mengenai trend perubahan iklim. Dimana salah satu publikasi utamanya adalah konsentrasi gas CO2 di atmosfir makin meningkat dari 278 ppm pada era pra-industri (1850) hingga naik menjadi 379 ppm tahun 2005. Kenaikan ini membuat terjadinya peningkatan suhu atmosfir bumi yang mengakibatkan sejumlah dampak,
seperti es mencair, kenaikan permukaan air laut dan perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut diprediksi akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh dan kurang lebih 2000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam. Horor lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan manusia dalam perubahan iklim menyatukan berbagai negara untuk membuat tanggapan bersama yang melahirkan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 atau dikenal dengan UNFCCC. Di bawah payung konvensi, ber-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
9
10
LAPORAN UTAMA bagai perundingan perubahan iklim untuk menyepakati pengurangan emisi dan skema-skema pendukungnya terus berlanjut, antara lain melahirkan kesepakatan monumental Protokol Kyoto. Namun, pasca-Kyoto, terdapat berbagai dorongan agar cakupan masalah dalam perubahan iklim diperluas dengan mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah tertentu. Salah satu temuan IPCC misalnya, menyebutkan bahwa total emisi karbon sekarang, seperlimanya merupakan sumbangan dari aktivitas perubahan tata guna lahan, di mana sumbangan terbesarnya berasal dari deforestasi di hutan tropis. Temuan ini bersamaan dengan berbagai agenda ekonomi- politik lainnya, kemudian mendorong isu hutan dan kehutanan dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Diskusi politik antar negara dalam mengatasi masalah ini, ada pihak penghasil emisi dan pihak penyerap emisi. Negara-negara penyerap emisi yaitu pemilik hutan yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang akan berusaha mencoba menjaga hutannya, dan sebagai kompensasinya negara penghasil emisi yang umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka keluarkan. Yang menjadi masalahnya yaitu bagaimana menghargai nilai karbon itu. Inilah ide dibalik skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Dimana hutan tropis menutupi sekitar 15% permukaan darat bumi dan mengandung sekitar 25% carbon dalam biosfir daratan. Saat ini hutan-hutan tersebut semakin berkurang luasannya dimana sekitar 13 juta hektar/tahun dialihfungsikan menjadi peruntukkan lain. Akibatnya terjadi peningkatan emisi gas-gas penyebab efek rumah kaca di atmosfir terutama karbon. IPCC memperkirakan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis pada tahun 1990Tanpa adanya skema REDD pun masyarakat di dalam dan sekitar telah mengelola hutannya secara lestari. Foto Heriyadi Asyari-Lander RJ/Dok. KKI Warsi
LAPORAN UTAMA
an yaitu 1,6 miliar ton karbon per tahun sebanding 20% dari emisi karbon secara global. Untuk konteks Indonesia, kalau kita mau belajar dari masa lalu, sejak zaman kolonial sampai orde reformasi persoalan pengelolaan sumberdaya hutan merupakan masalah yang tak pernah usai. Karena di dalam pengelolaannya sangat kuat tarik-menarik kepentingan ekonomi-ekologi dan social budaya. Di satu sisi, sumberdaya hutan dituntut untuk membiayai pembangunan, sehingga orientasi pengelolaannya lebih berkiblat pada kepentingan ekonomi semata. Berdasarkan Data Departemen yang didasarkan pada hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha/tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela (Bapplan, 2003). Gambaran tersebut telah menjadi bukti bahwa sejak tahun 60-an sampai saat ini. Dimana hampir semua kawasan hutan produksi dikelola oleh kalangan dunia usaha, dampaknya kerusakan ekologi merajalela dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan menjadi miskin papa. Sementara dua sisi lainnya makin terabaikan. Merujuk pada hasil penelitian dan pengalaman empiris dapat dijelaskan bahwa hutan dan kehutanan di Indo-
Sumber daya hutan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya, tapi juga sebagai penyeimbang ekosistem dan penyimpan cadangan karbon. Foto: Heriyadi Asyari/Dok. KKI Warsi.
nesia sangatlah terkait dengan kemiskinan. Temuan Center for Economic and Social Studies (CESS, 2005) dari hasil pengolahan data Podes Tahun 2003, data BKKBN Tahun 2003 dan data SUSENAS Tahun 2002, memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin per desa yang terletak di dalam dan sekitar hutan, ternyata lebih besar angkanya dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang tinggal di desa luar hutan. Sebelumnya Brown (NRM-III, 2004) menyebutkan bahwa sebanyak 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta diantaranya adalah kaum miskin. Sekitar 20 juta orang lagi tinggal di desa-desa dekat hutan dimana enam juta orang diantaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (CIFOR 2004). Jika dikaitkan dengan jumlah keseluruhan penduduk miskin Indonesia yang tinggal di pedesaan (14,6 juta penduduk pada tahun 2004), maka jumlah kaum miskin yang tinggal di lingkungan hutan adalah hampir mencapai sepertiga dari keseluruhan kaum miskin di Indonesia! Dapat dibayangkan ketika sisi yang lain terlupakan maka akan muncul berbagai persoalan yang berkepanjangan. Bagi masyarakat, hutan merupakan bagian dari
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
hidup dan kehidupan yang tidak terpisahkan, karena hutan menjadi alat ekspresi budaya masyarakat. Baik ekspresi kepentingan ekologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, religi dan media untuk menciptakan serta menguji teknologi lokal mereka. Dari proses itu hadir berbagai karakter dan praktek pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan berbasiskan tradisi sangat sangat beragam diberbagai titik diseluruh penjuru nusantara. Sistem pengelolaan hutan yang beragam dapat dilihat dari tata cara mereka mengelola hutan seperti konsep simpukng, benung, tembawakng, hutan adat, parak, repong, rimbo larangan, leuweung, mone, talang, hompongon, hutan kemenyan, hutan sagu, hutan keluarga dan lainnya. Secara khusus sumberdaya hutan tetap menjadi sumberdaya terpenting bagi masyarakat, karena mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya.Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi mereka hutan bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan. Sehingga tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif,
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
11
12
LAPORAN UTAMA tetapi dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya. Praktek pengelolaan berkelanjutan yang telah dipraktekan oleh masyarakat, sayangnya masih belum dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan yang “khas” Indonesia. Pengelolaan masih merujuk pada konsep yang berkembang di negara-negara barat. Ini ditunjukkan pada proses penentuan kawasan hutan menjadi kawasan konservasi, konsesi HPH/HTI, perkebunan besar swasta, areal transmigrasi dan pertambangan seringkali merampas dan menegasikan bukti kepemilikan adat dan bentuk pengelolaan yang telah lahir, tumbuh dan berkembang dutengah masyarakat. Monopoli Pemerintah dan pengusaha terhadap pengelolaan hutan sebagai dampak keberpihakan berlebihan pada pengusaha, dimanifestasikan kedalam berbagai hak istimewa untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Akibatnya terjadilah proses degradasi sumberdaya hutan yang sangat parah dan dehumanisasi pada masyarakat adat dan lokal yang hidup didalam dan sekitar hutan.Kondisi ini menimbulkan terjadinya kemiskinan yang akut serta kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat yang mempunyai hak terhadap hutan dengan para investor sebagai subjek pelaku pembangunan yang diberi hak di dalam pengelolaan hutan. Harus diakui saat ini isu REDD telah menjadi isu besar secara internasional. Asumsi dasarnya sederhana yaitu dengan mempertahankan hutan dari deforestasi dan degradasi maka iklim bumi akan bisa dikendalikan. Walaupun asumsinya sederhana namun masalahnya sangat kompleks. Dalam kompleksitas masalah ini hal terpenting yang cenderung luput dari untuk mendapat perhatian adalah hak-hak komunitas lokal di dalam dan sekitar hutan. Bagi komunitas lokal, isu REDD sangat jauh dari jangkauan dan hampir tidak punya akses untuk turut menentukan arah dan kebijakan REDD. Pada hal isu ini akan berkaitan langsung dengan kawasan hutan dimana komunitas ini hidup dan berpenghidupan. Jika REDD ini diimplementasikan oleh negara tanpa kepastian hak-hak komunitas di dalam dan sekitar hutan akan sangat membahayakan keberadaan mereka. Berbagai kemungkinan bisa terjadi yang mengancam hak-hak mereka terhadap sumber daya hutan sebagai implikasi dari REDD. Seperti pembatasan hak dan akses terhadap sumber daya hutan dan semakin tidak diakuinya hak mereka terhadap hutan. Lalu pertanyaanya apakah REDD dan skema perdagangan karbon yang mengikutinya akan membuat masyarakat semakin miskin atau sebaliknya? Dari berbagai laporan publikasi diperkirakan Pemerintah Indonesia akan mendapat sekitar US$ 3,75 milyar atau
setara dengan Rp. 33,75 Triliyun tiap tahun dari skema REDD. Berdasarkan Proposal Avoided Deforestation yang dibuat Pemerintah Indonesia ke UNFCCC dijelaskan bahwa dana tersebut merupakan dana kompensasi yang bisa dibagikan kepada otoritas pengelola kawasan lindung, perusahaan kayu bersertifikat yang menerapkan manajemen hutan lestari, inisiatif pemberantasan ilegal logging, skema pembayaran jasa lingkungan dan manajemen hutan berbasis masyarakat. Di balik keinginan Pemerintah, ada sejumlah kekhawatiran tentang rencana implementasinya, terutama terkait dengan isu tata kelola (governance), kebijakan (tataruang, tenurial), bagaimana hak-hak masyarakat serta apakah mereka akan menjadi penerima manfaat utama, keterlibatan masyarakat, fungsi hutan lain seperti ekosistem dan biodiversity (tidak semata-mata hanya karbon) dan lainnya. Tata kelola hutan (forest governance) di Indonesia masih rawan dengan korupsi. Sistem yang korup ini tidak hanya melibatkan aparat kehutanan dan birokrasi pemerintah saja, tetapi juga terkait dengan partai politik, aparat penegak hukum, pihak legislatif, dan lainnya. Sebagai contoh, akhir-akhir ini terungkap kasus korupsi dalam perubahan status kawasan hutan yang melibatkan anggota DPR dan aparat pemerintah daerah. Selain itu ditemukan pula inkonsistensi kebijakan Departemen Kehutanan. Di satu sisi, melalui REDD, pemerintah Indonesia ingin menunjukkan komitmen dalam melindungi hutan. Namun di sisi lain, pemerintah juga masih mengeluarkan ijin untuk penebangan kayu baik melalui HTI maupun HPH dan pemanfaatan kawasan menjadi peruntukan lain, seperti kelapa sawit, tambang, areal transmigrasi dan lainnya. Begitu gamblang ini sangat jelas akan bertentangan dengan “janji” Presiden SBY yang akan menurunkan tingkat emisi Indonesia sebanyak 26% secara mandiri. Dari berbagai dokumen, hampir tidak pernah disebutkan secara jelas peran dan manfaat apa yang akan diterima oleh masyarakat adat/lokal yang hidup didalam dan sekitar hutan. Mekanisme REDD lebih dimaknai hanya sebagai tambang uang baru dari perdagangan karbon, bukan masalah lingkungan yang harus diatasi ada atau tidak kompensasi. Sampai saat ini secara formal Indonesia masih belum punya posisi yang jelas mengenai isu hak dan komunitas dalam perdebatan perubahan iklim. Kendati dalam pidatonya di Poznan, menteri lingkingan hidup menyampaikan bahwa perlunya mengakui dan memberi partisipasi penuh dan efektif bagi masyarakat adat/ lokal dalam mekanisme REDD. Tapi pertanyaan kritisnya adalah apakah kebijakan yang sudah ada memang benar-benar melindungi dan memberikan partisipasi penuh serta efektif bagi masyarakat adat/lokal? Jika belum bagaimana memastikannya? (Rakhmat Hidayat)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
LAPORAN UTAMA
Masyarakat Belum Paham Skema REDD Dari berbagai proses diskusi dan konsultasi di kabupaten dan kampung sangat terlihat jelas kalau masyarakat tidak tahu dan paham berbagi hal terkait dengan REDD dan mekanisme perdagangan karbon, apalagi terlibat didalam penyusunan berbagai kebijakan REDD. Realitasnya hampir semua proses tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehingga berbagai persoalan mungkin muncul di dalam implemtasinya nanti.
P
ersoalan ini diantaranya adanya keraguan apakah implemenatsi REDD dapat adil secara sosial, tepat secara lingkungan? Kemudian juga bagaimana memastikan bahwa insntif yang dihasilkan harus dikembalikan untuk proses restorasi hutan dan insentif untuk masyarakat yang mengelola kawasan hutannya secara berkelanjutan. Ada juga pertanyaan bagaimana warga miskin yang kehidupannya tergantung dari sumber daya hutan akan memperoleh insentif yang berimbang karena keharusan untuk menjaga kawasan. Lantas bagaimana memastikan bahwa pengurangan kemiskinan, perlindungan HAM, hak-hak masyarakat adat, termasuk persetujuan atas informasi awal tanpa paksaan (FPIC), dan tujuan perlindungan keanekaragaman hayati tidak terpinggirkan. Skema REDD hendaknya bisa menjadi salah satu strategi untuk mendorong proses pengakuan dan perluasan kawasan kelola masyarakat sebagai upaya untuk mendorong terciptanya keberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah daerah di dalam pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berbagai skema pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga telah dibuka, baik dengan memakai pendekatan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat juga agroforest karet. Skema tersebut juga relevan dengan berbagai kebijakan yang telah ada terkait dengan isu REDD. Oleh karena itu, kesenjangan informasi terkait dengan isu perubahan iklim dan REDD perlu disampaikan dengan jelas dan kontinyu kepada masyarakat adat/ lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan, pemerin-
Masyarakat dalam beberapa konsultasi publik terkait skema REDD masih banyak yang belum paham dengan skema ini. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
tah daerah dan kalangan organisasi non pemerintah di daerah. Kesenjangan informasi terjadi karena a) informasi terkait REDD hanya dimiliki oleh golongan tertentu (pemerintah pusat, lembaga internasional, calo carbon), b) belum adanya informasi yang jelas dan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan utama didaerah, khususnya masyarakat adat/lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan, padahal merekalah yang akan menjadi pelaksana skema ini dan penerima dampak terbesar, c) informasi sebagian besar menggunakan bahasa asing dan teknis sehingga susah untuk dipahami, d) kampanye terkait REDD hanya menjelaskan tentang keuntungan saja, tapi menyembunyikan kerugian dan dampak negatif terhadap masyarakat, e) informasi yang tersedia tidak berimbang, hanya dari atas. Sehingga dibutuhkan informasi alternatif yang sesuai dengan kondisi sumberdaya dan budaya lokal
“Kompensasi REDD bukanlah belas kasihan, tapi kewajiban atas usaha dan kerja keras kami menjaga kawasan hutan yang tersisa” (suara dari konsultasi REDD di kabupaten Bungo)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
13
14
LAPORAN UTAMA Selan itu juga sangat disadari bahwa di Pulau Sumatera secara umum dan Sumatera Bagian Selatan secara khusus banyak kelompok-kelompok masyarakat asli dan lokal yang hidupnya sangat bergantung kepada sumber daya hutan. Mereka tersebar luas di lima provinsi dengan berbagai tipe ekosistem tempat hidup dan berpenghidupan juga beragam, mulai dari kawasan lahan basah di Pantai Timur sampai hutan hujan tropis dataran tinggi di sekitar Bukit Barisan. Saat ini, KKI WARSI sedang dan telah melakukan proses konsultasi diberbagai komunitas yang hidup pada berbagai tipe kawasan hutan. Ada banyak ide-ide, saran, ketakutan, keraguan dan harapan terhadap REDD. Praktek-praktek pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan dan berkeadilan yang telah dilakukan selama ini dalam bentuk hutan adat, rimbo larangan, rimbo hulu air, kawasan lindung desa, lubuk dan lebung larangan, parak, talang, hompongan dan lainnya apakah akan menjadi lebih baik atau malah akan sebaliknya. Hal-hal semacam itu menjadi catatan penting yang didapat selama melakukan proses konsultasi. Proses konsultasi mutlak dilakukan karena a) masyarakat adat/lokal sangat tergantung dari sumberdaya alamnya, b) sumberdaya alam merupakan bagian dari sistem kehidupan, c) masyarakat adat/lokal dan daerah penerima dampak utama atas terjadinya perubahan iklim dan berjalannya skema REDD, d) masyarakat adat/lokal telah mempunyai kearifan, teknologi dan pengetahuan lokal di dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, e) masyarakat adat/lokal merupakan penyumbang terkecil terhadap pertambahan emisi sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim, f) perubahan iklim terutama diakibatkan oleh implementasi model pembangunan yang tidak berkelanjutan dan mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut, g) skema-skema untuk mengatasi perubahan Iklim seperti Protocol Kyoto dan REDD dikuatirkan akan memiliki dampak yang merugikan, seperti penggusuran dari wilayah adat, pencaplokan lahan, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan dan h) masyarakat adat/lokal hampir tidak pernah dilibatkan didalam pembuatan kebijakan yang menyangkut hidup dan penghidupan mereka. Berdasarkan proses konsultasi dari tingkat kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi dan antar provinsi di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Bengkulu di hampir 100 desa, didapat berbagai pandangan dan aspirasi masyarakat terkait dengan isu REDD, yaitu a) REDD lebih banyak menguntungkan pengusaha dan sebaliknya merugikan masyarakat, b) upaya pengurangan kerusakan hutan seharusnya tidak mengandalkan REDD, c) REDD hanya menjadi obyek pelimpahan tanggung jawab pengurangan emisi yang mayoritas dilakukan oleh negara maju ke negara berkembang, d) REDD akan “menjual” atau “menggadaikan” potensi sumberdaya alam dengan murah dalam upaya
LAPORAN UTAMA
mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK, e) mekanisme REDD sangat rumit, f) masyarakat adat/lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan harus menjadi penerima manfaat utama dari mekanisme distribusi kompensasi yang diperoleh dari REDD, g) REDD harus mampu mendorong pengelolaan hutan ke arah yang lebih baik, oleh karena itu pemerintah dituntut untuk melaksanakan law enforcement yang lebih tegas dalam rangka mengurangi deforestasi, h) kriteria utama penerapan REDD adalah daerah yang rawan terhadap terjadinya deforestasi, karena inilah daerah yang akan menyumbang emisi terbesar, i) REDD harus memasukan prinsip-prinsip HAM dan j) REDD harus menjadi media untuk mendorong pengakuan terhadap kawasan kelola rakyat. Dalam berbagai proses konsultasi diberbagai level, muncul beberapa prasayarat yang harus disiapkan sebelum pelaksanaan REDD diantaranya adalah a) masyarakat adat/lokal yang hidup didalam dan sekitar hutan diakui hak-haknya untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkannya secara berkelanjutan, sesuai dengan aturan adat dan aturan lokal lainnya, b) pengakuan hak kelola masyarakat sangat penting dan mendesak karena tingginya ancaman dari rencana konversi hutan alam menjadi HTI, perkebunan sawit dan kegiatan pertambangan, serta kegiatan pembalakan liar (illegal logging), c) adanya dukungan proaktif dari Pemerintah di berbagai level, termasuk dari legislatifnya, tidak hanya berbentuk komitmen tetapi juga bisa berbentuk anggaran terfokus dalam kerangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, serta pembinaan yang kontinyu dari instansi terkait dalam upaya-upaya pengelolaan hutan yang berkelanjutan, berkeadilan dan mensejahterakan masyarakatnya, d) kawasan-kawasan hutan hak kelola masyarakat juga diusulkan untuk dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan provinsi setempat, e) adanya keleluasaan pengembangan model-model sesuai karakteristik local untuk memperkaya proses pembelajaran, f) REDD tidak hanya berpatokan pada luasan kawasan, g) prinsip HAM masuk ke dalam prinsip Good Forest Governance. (Rakhmat Hidayat/Rainal Daus)
Apakah REDD ini akan sama saja dengan cara pengelolaan hutan ala HPH dan HTI yang pada akhirnya hanya merusak hutan kami? Cukup sudah kerusakan itu…
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Ketika musim buah kacau, Orang Rimbapun harus membeli buah di pasar untuk memenuhi kebutuhan mereka. Foto: Dok KKI Warsi
Musim Buah Kacau, Orang Rimba Bingung Komunitas lokal sekitar hutan memang tidak seperti para ilmuwan. Komunitas lokal memahami perubahan iklim dari perbagai perubahan alam di sekeliling mereka. Mereka berbicara atas apa yang mereka lihat, mereka alami dan mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai perubahan-perubahan ini tidak pernah mereka ukur secara angka-angka kwantitatif namun mereka mampu menjelaskan secara detail perubahan-perubahan alam yang terjadi disekelilingnya.
B
agi Orang Rimba semua tata alam bergerak dengan pola-pola yang penuh keteraturan. Misalnya siang dengan malam, musim penghujan dan musim kemarau, musim bunga dan musim madu, musim buah dan musim penyakit. Semua ini berjalan dengan pola yang telah teratur. Keteraturan alam yang mereka yakini dikendalikan oleh kekuatan supranatural. Umumnya mereka menyebutnya Dewo. Keyakinan mereka setiap aspek dari alam ini dikendalilan oleh satu Dewo. Misalnya yang berkuasa atas sungai disebut Orang Di Mato Ayik. Dewa ini akan mengendalikan kehidupan di sungai termasuk mengendalikan banjir.
Secara tradisional, Orang Rimba tidak pernah memasak air untuk diminum. Mereka percaya bahwa air yang bersumber dari pegunungan merupakan kemurahan dari dewa mata air yang telah terjamin untuk kehidupan. Keadaan ini telah berubah sekarang ini. Sewaktu pertama kali transmigrasi masuk tahun 80-an, menurut penuturan Tumenggung Tarib, anggota kelompoknya meninggal belasan Orang akibat sakit perut akibat diare karena meminum air mentah. Diduga air yang diminum ini habis diracun oleh orang luar untuk menangkap ikan.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
15
16
LAPORAN UTAMA Sekarang ini pencemaran sungai jauh lebih buruk. Kegiatan logging dan eksploitasi lainnya telah memporakporandakan hampir semua tempat dalam hutan, sehingga hampir pasti dimana saja terjadi pencemaran oleh ulah manusia. Orang Rimba yang sebelumnya meminum air dari sungai, kini sudah dicemari dengan berbagai kotoran yang akan jauh lebih berbahaya jika tidak dimasak terlebih dulu. Mau tidak mau dalam istilah REDD tindakan adaptasi sangat dibutuhkan oleh Orang Rimba. Warsi melalui fasilitasi kesehatan, mendorong Orang Rimba agar terbiasa memasak air sebelum meminumnya. Tindakan adaptasi ini perlahan-lahan mulai dibiasakan oleh Orang Rimba. Dampak lainnya yang sering disebut Orang Rimba adalah menyusutnya air di sungai. Sebagian anak sungai bahkan kering ketika musim kemarau panjang. Sungai yang dulunya tempat ikan dan berbagai binatang konsumsi lainnya kini telah langka. Banyak jenis ikan kini sudah sangat langka seperti; ikan blido, ikan keleso (arwana) ikan tapa dan ikan kelemak. Dewa yang berkuasa atas musim buah-buahan disebut Orang di Buah. Jika musim ini tiba Orang Rimba menyebutnya petahunon. Dewa ini juga berkuasa atas musim kemarau atau musim penghujan. Siklus petahunon yang dikaitkan dengan musim kemarau dan penghujan telah terpola setiap tahun dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda dari tahun ke tahun, namun selalu berada pada jarak waktu yang relatif sama. Sebagai bagian dari iklim tropis, musim penghujan biasanya dimulai September hingga Desember. Kemarau Elnino tahun 1997 merupakan salah satu musim kemarau terpanjang di pernah terjadi. Selama lebih 6 bulan kawasan tempat Orang Rimba tidak pernah ditetesi hujan. Kebakaran terjadi dimana-mana. Beberapa perusahaan di sekitar Orang Rimba bahkan sengaja membakar lahan yang baru di land clearing. Tiba-tiba asap tebal masuk ke dalam tutupan hutan yang cukup baik. Matahari yang sulit tembus karena kanopi tebal ditambah asap sangat tebal, menjadikan suasana siang hari segera berubah menjadi malam hari. Beberapa wanita histeris merespon suasana ini. Anak-anak banyak yang menangis bukan saja karena kesakitan oleh asap, tetapi ketakutan karena suasana kegelapan. Beberapa orang dewasa berjalan dengan membawa senter. Fenomena ini baru kali terjadi dan segera menjadi perbincangan di tengah-tengah komunitas. Upacara berbalai pun segera dilakukan untuk memohon perlindungan dari dewo sekaligus mohon diturunkan hujan. Ketidak teraturan iklim dan cuaca semakin terasa bagi Orang Rimba sekarang ini. Sulitnya hadir musim buah (petahunon) merupakan salah satu keluhan yang umum
LAPORAN UTAMA
ditemui. Kaitan dengan ini adalah semakin langkanya tiba musim madu karena keberadaan madu terkait dengan bunga-bungaan penghasil manisan madu. Orang Rimba percaya musim madu dibawah kuasa dewa Orang Dirappa. Madu dan musim buah bagian penting dalam aktifitas mata pencaharian Orang Rimba baik untuk konsumsi maupun untuk di jual. Untuk menjawab perubahan ini Orang Rimba mulai beradaptasi dengan meningkatkan intensitas perladangan sebagai sumber ekonomi utama. Tanaman utama diladang adalah padi, ubi kayu dan sayuran, yang ditanam secara terbatas serta menanam tanaman tahunan karet. Ini berarti Orang Rimba akan menjadi semakin bergelut dengan ekonomi pasar terutama dengan komoditas utama karet. Banyak kelompok yang telah didukung getah karet sebagai sumber pencarian. Getah karet dipertukarkan di pasar untuk mendapatkan bukan hanya produk luar tetapi juga buah-buahan, ikan, tembakau, yang selama ini didapat secara subsisten dari dalam hutan. Dewa yang memegang hak atas segala keragaman jenis tumbuh-tumbuhan disebut Kayu Kayan sedangkan yang memegang hak atas segala jenis binatang disebut ciag mancipai. Orang Rimba percaya bahwa kedua dewa ini akan selalu melindungi dan mempertahankan keragaman hayati di dalam hutan. Sejak masa logging, perkebunan dan masuknya transmigrasi, tidak pernah berhenti mengeksploitasi hutan di kawasan hidup Orang Rimba. Almarhum Malaikat di Terab (Tumenggung Mija) menyatakan kayu kayan la rubuh. Ungkapan ini secara simbolik menjelaskan dewa pelindung hutan sudah kalah oleh kekuatan luar. Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa kekuatan luar telah menghancurkan sistem kepercayaan Orang Rimba. Hutan yang menjadi jati diri utama Orang Rimba kebanyakan telah pergi dan berubah fungsi. Bahkan separoh dari Orang Rimba tinggal di kawasan yang tidak berhutan sama sekali. Hilangnya hutan sebagai salah satu penyebab pemanasan global, jauh lebih awal telah dikonsepsikan Orang Rimba menuju kehancuran alam. Bahkan beberapa tumenggung 10 tahun lalu telah menyebut kehancuran hutan sebagai “kiamat sudah tiba”. Ungkapan ini senada dengan diskusi perubahan iklim yang sedang diributkan dunia. Dunia Orang Rimba memang tidaklah sekompleks dunia Orang luar. Namun masalahnya sama yaitu kehancuran hutan alam. Yang membedakan Orang Rimba dengan dunia kita adalah kerakusan dan skala kepentingan antar negara. Bagi Orang Rimba tidak perlu canggih-canggih amat menghitung perubahan iklim sampai penghitungan carbon segala. Jika iklim dan pemanasan global mau dikurangi, marilah kembali menanam dan melindungi Kayu Kayan dan Ciag Mancipai. (Robert Aritonang)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Pemetaan partisipatif di Simancung untuk membuat peta ruang sederhana. Foto : Pitra Akhriyadi/Dok KKI Warsi
Simancung, Potret Pengelolaan Hutan secara Lestari Simancung, hanyalah sebuah perkampungan sederhana nun jauh di pedalaman Solok Selatan Sumatera Barat. Secara administratif kampung ini merupakan salah satu jorong dari Kanagarian Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Satu hal yang patut dipelajari dari masyarakat kampung ini adalah kearifan mereka dalam mengelola sumber daya yang ada di sekitar mereka.
L
ongsor pada di kawasan Bukit Panjang disebelah barat dusun, menjadi salah satu titik balik masyarakat untuk menetapkan aturan ketat dalam membuka kawasan hutan dan menebang pohon. Masyarakat sepakat tidak boleh menebang kayu dan membuka lahan di Bukit Panjang. Pembukaan lahan hanya boleh dilakukan di kaki-kaki bukit. Sampai saat ini aturan ini dianggap sebagai aturan adat dan masih berlaku. Sejauh ini, aturan ini tidak pernah dilanggar oleh masyarakat Simancung, jikapun ada orang luar yang mencoba menebang pohon di bukit ini, masyarakat Simancung akan cepat memberi tahu dan menghentikan aktifitasnya. Daerah-daerah yang bertetangga dengan Simancung telah mengetahui aturan ini dan turut mematuhinya.
Kini Hutan Bukit Panjang yang oleh pemerintah diberi status sebagai Hutan Lindung ini, tengah dalam proses inisiatif untuk dijadikan sebagai kawasan hutan nagari seluas 580 ha. Pada kawasan ini telah dilakukan pemetaan partisipatif, dan sedang dalam proses pengajuan ke pemerintah Kabupaten Solok Selatan. Sebelumnya masyarakat SImancung bersama Lembaga Tumbuh Alami pernah menginisiasi untuk menjadikan hutan Bukit Panjang menjadi hutan adat. Namun rencana ini belum mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang. Kini dengan terbukanya kesempatan sebagai mana termaktup dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang salah satunya memberi ke-sempatan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
17
18
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
pada masyarakat untuk mengelola hutan dalam bentuk hutan desa atau nama yang sesuai dengan wilayahnya. Dengan adanya peluang ini, masyarakat desa didampingi KKI Warsi kembali mengajukan pada pemerintah untuk mendapatkan legalitas pengelolaan. Namun demikian meski hingga ini proses ini terus berjalan, dalam pengelolaan sumber daya alamnya, masyarakat tetap menjaga kelestarian hutan mereka. Bahkan sudah memiliki rencana untuk menjadikan kawasan hutan ini sebagai labor alam dan tujuan ekowisata.
jadi berlanjut sampai 1990-an. Jalan yang bisa diakses dengan sepeda motor baru dibuka pada akhir tahun 1990.
dari sumber daya yang ada disekitar mereka, sehingga melahirkan aturan yang menjaga ketersediaan sumbersumber makanan masyarakat.
Namun sejak jalan ini dibuka, juga makin banyak orang yang keluar masuk Simancung untuk membuka lahan, dan mengklaim kepemilikan lahan. Hanya saja kemudian banyaknya pendatang ini, juga meresahkan para pendahulu yang mengelola Simancung . Seperti maraknya menangkap ikan dengan menggunakan putas di Batang Simancung.
Tradisi mandarahi kapalo banda
Untuk mendukung rencana ini, masyarakat yang telah memiliki ladang di dalam Bukit Panjang tidak lagi mengelola lahan mereka kecuali mengambil hasil ladang saja. Selain itu, masyarakat yang ingin mengambil kayu yang berada dalam ladangnya dalam kawasan Bukit Panjang, terlebih dahulu harus minta izin dari wali jorong dan menjelaskan untuk tujuan apa menebang kayu. Mereka hanya akan diizinkan mengambil kayu untuk keperluan pembangunan rumah dan untuk membangun fasilitas umum.
Sejak resmi menjadi daerah administratif Dusun Simancung aturan-aturan berkaitan dengan pengelolaan lahan mulai diterapkan. Diantaranya orang luar selain anggota kelompok tani yang hendak membuka lahan di Simancung harus terlebih dahulu melalui izin kepala dusun. Selain itu mereka juga membuat aturan yang melarang menangkap ikan dengan menggunakan putas dan setrum karena jika menggunakan putas atau setrum semua ikan akan mati, serta merusak kondisi air sungai. Padahal sungai sangat penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk memasak, mandi dan juga untuk mengairi sawah. Juga disepakati larangan menangkap belut dengan menggunakan lukah. Belut hanya boleh ditangkap dengan menggunakan lampu petromaks. Menurut wali jorong Simancung jika menggunakan lukah belut-belut yang kecilpun akan terjerat dalam lukah, hal ini membuat belut akan cepat habis.
Jikapun legalitas pengelolaan kawasan ini masih belum di dapatkan, masyarakat bersikukuh untuk tetap mempertahankan hutan mereka, dan berkomitmen untuk tidak menebang pohon dan membuka ladang baru di Bukit Panjang. Mereka merasa sudah cukup dengan lahan yang telah mereka dapatkan selama ini dan memaksimalkan pengelolaannya. Selain memaksimalkan areal persawahan, masyarakat juga menanam karet dan kayu manis di ladang-ladang dengan harapan hasil kebun dapat membantu perekonomian keluarga. Aturan pengelolan sejak awal berdiri Sejak awal masyarakat Simancung telah menerapkan aturan yang ketat dalam mengelola sumber daya alam mereka. Perkampungan Simancung mulai dirintis pada tahun 1974 oleh empat orang warga Nagari Alam Pauh Duo—dulunya Koto Baru--, yang tidak memiliki lahan di nagari asalnya. Mereka mencari lokasi baru untuk penghidupan mereka. Dengan di fasilitasi oleh Koperasi Unit Desa (KUD) 1 Koto Baru, warga desa ini menelusuri daerah perbukitan Ampalu selama lebih dari tiga jam. Dari perjalanan ini mereka menemukan lokasi baru yang dianggap cocok untuk areal pertanian, di sebuah lembah di aliran sungai Batang Simancung. Untuk mengolah lahan di aliran Batang SImancung ini, mereka membentuk kelompok Tani Durian Tigo Capang. Saat di buka, Simacung merupakan kawasan hutan bebas dan bukan hak ulayat kaum tertentu. Sistem membuka lahan di hutan-hutan yang bukan ulayat milik kaum tertentu ini dikenal masyarakat dengan istilah transmigrasi spontan. Sejak awal, kelompok Tani Durian Tigo Capang membuat aturan pemilikan dan pengolaan lahan. Mereka membagi kawasan pengelolaan ber-
Jorong Simancung di lembah Batang Simancung, mengelola sumber daya alam mereka secara arif dan lestari. Foto : Pitra Akhriyadi/Dok KKI Warsi
dasarkan kontur wilayah yang merupakan hulu sungai Batang Simancung. Untuk areal persawahan dibuat di pinggir aliran sungai. Tiap-tiap orang mendapatkan lahan sawah dengan ukuran lebar 50 meter diukur dari pinggiran aliran sungai sedangkan panjang lahan tergantung pada kemampuan mereka untuk membuka lahan. Membuat sawah di kepala-kepala aliran sungai dimaksudkan agar lahanlahan sawah mendapatkan distribusi air yang cukup. Sedangkan untuk membuka ladang tidak aturan tertentu, mereka diperbolehkan membuka lahan berdasarkan kemampuan mereka dan harus mempertimbangkan ketersediaan lahan berladang untuk anggota kelompok yang lain. Selain itu, ada juga aturan pengelolaan lahan. Lahan yang tidak diolah oleh pemiliknya dalam kurun waktu enam bulan akan menjadi lahan milik kelompok, sehingga dalam kehidupan sehari-hari ketua kelompok tani dianggap sebagai pemimpin di Simancung. Dalam perkembangannya, banyak orang yang berminat untuk ikut serta membuka lahan di Simancung. Hal ini membuat KUD Koto Baru 1 membuat nomor-nomor urut pengkaplingan lahan, meski dalam aplikasinya hanya beberapa orang yang menetap dan membuka lahan di Simancung dari banyak orang yang mendaftar di KUD. Menurut beberapa masyarakat awal yang membuka lahan dan masih menetap di Simancung, menyebutkan akses jalan yang terbatas menjadi penyebab banyak pendaftar yang mengundurkan diri. Untuk masuk dan keluar Simancung bahkan untuk membawa hasil panenpun, harus dilakukan dengan berjalan kaki. Teknologi pengolahan hasil panenpun menggunakan peralatan sederhana yang mereka sebut dengan endek sejenis alat tradisional untuk menumbuk padi. Hal ini terus ter-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Jika ada yang menangkap ikan dengan menggunakan putas akan didenda 10 sak semen, jika ada yang menangkap belut dengan menggunakan lukah, sanksinya lukah akan dirusak. Aturan-aturan diatas di buat karena letak dan akses Simancung yang jauh menuju pasar atau tempat membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, masyarakat memang mengandalkan kebutuhan harian
Dalam kehidupan sehari-hari aktifitas utama masyarakat Simancung adalah petani sawah. Aktifitas petani sawah ini, juga menghadirkan tradisi mandarahi kapalo banda, suatu tradisi untuk mengucapkan syukur terhadap hasil panen. Proses mandarahi kapalo banda dilakukan setiap setelah panen padi, tiap-tiap orang memberikan 10 sukek padi (bisa juga dibayar dengan uang yang setara dengan Rp 80.000). Padi dan uang ini digunakan oleh pengurus masjid yang akan untuk membeli seekor kerbau dan seperangkat bumbu. Dulu, pada awal diselenggarakannya tradisi ini sekitar 1984, hewan yang dipotong adalah kambing. Setahun berikutnya hewan dipilih adalah sapi hingga 8 kali masa panen. Selanjutnya di ganti dengan kerbau hingga saat ini. Setelah itu hewan ini disembelih, isi perut kerbau seperti hati, jantung dan lainnya serta kepala kerbau ditinggalkan untuk masjid. Bahan-bahan ini akan dimasak bersama-sama sebagai lauk pada acara berdoa bersama di masjid. Sedangkan sisa daging dibagikan pada semua masyarakat. Berdoa bersama ini, dilakukan untuk mensyukuri hasil panen dan berdoa agar pada panen berikutnya mereka diberikan hasil yang berlimpah. Pada saat acara puncak berdoa bersama dimasjid seringkali dihadiri oleh para pejabat pemerintah daerah Solok Selatan. Menurut wali jorong simancung Katik Jala tujuan awal digelarnya acara ini adalah untuk mengajak pemerintah daerah melihat keadaan perekonomian dan sosial masyarakat agar simancung turut menjadi perhatian pembangunan pemerintah. Sekaligus tradisi ini dilakukan sebagai pananda diawalinya musim bertanam. Biasanya bertanam akan dilakukan pada dua atau tiga hari setelah acara mandarahi kapalo banda dilakukan. Kearifan masyarakat dan Konsep REDD
Masyarakat Simancung sepakat untuk tidak lagi membuka ladang di kawasan perbukitan. Foto Pitra Akhriyadi/Dok KKI Warsi
Masyarakat Simancung, sejak awal berkomitmen menjaga sumber daya hutan mereka. Bagi masyarakat yang penting adalah terhindar dari kerusakan yang berarti juga menghindari bencana. Namun ketika konsep pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon, kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat dengan baik, hingga kini belum ada kepastian apakah akan dimasukkan dalam skema ini, sehingga juga bisa mendapatkan dukungan finansial untuk pengelolaan hutan yang lebih baik. Kita masih harus berjuang bersama untuk mendapatkan dukungan para pihak, sehingga inisiatif-inisiatif masyarakat dalam mengelola hutan secara bijak dan lestari juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak internasional. (Riche Rahma Dewita)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
19
fokus
HARAPAN RAINFOREST
Jalan Panjang Lahirnya Aturan Lokal di Sekitar Kawasan Harapan Rainforest
peningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa manfaat peraturan desa bagi pemerintah desa dan masyarakat antara lain : pertama, peraturan desa dapat melindungi hak warga negara dari gangguan warga negara lainnya. Kedua, peraturan desa dapat melindungi kawasan desa dari gangguan pihak lain yang berasal dari luar desa baik orang-perorangan maupun koorporasi. Ketiga, peraturan Desa dapat membantu kelancaran roda pemerintahan Desa. Keempat, peraturan desa bisa dijadikan sebagai payung hukum untuk memanfaatkan dan melindungi potensi desa yang dapat digunakan untu kesejahteraan masyarakat. Jika dikaji lebih jauh masih banyak lagi manfaat yang dirasakan dengann adanya peraturan desa, pendek kata dengan peraturan desa bisa mewujudkan desa mandiri. Ironisnya, kewenang ini tidak disambut baik oleh pemerintah desa. Pemerintah desa tidak menjalankan kewenangan yang mereka miliki dengan baik. Tidak diketahui secara persis mengapa kewenangan ini tidak dilaksanakan. Ada dua asumsi yang ada dalam pemikiran penulis yang menyebabkan kewenangan ini tidak terlaksana dengan sempurna : pertama, kurangnya kemampuan pemerintahan desa dalam merumuskan peraturan desa, karena dalam perumusan peraturan desa prosedur dan formatnya baku. Kedua, pemerintah desa tidak mengetahui bahwa mereka mempunyai kewenangan membuat peraturan desa, yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari pemerintahan yang lebih tinggi atau pemikiran pemerintah desa yang sudah terformat dan terbiasa menerima perintah dari atasan sehingga tidak sadar kalau politik ketatanegaraan sudah berubah. Bertolak dari kondisi tersebut, KKI WARSI sebagai sebuah lembaga yang sudah lama bereksistensi dalam bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat yang termarjinalkan di pinggir hutan mencoba untuk menjawab persoalan ini. Seperti pendampingan yang dilakukan dalam program “Merintis Jalan Baru untuk Melestarikan Hutan Tropis di Indonesia: Dari Penebangan Illegal sampai ke Pengawasan yang Lebih Baik” yang bertujuan untuk melahirkan dukungan para pihak pada pemulihan hutan yang dikenal dengan restorasi ekosistem pada kawasan Harapan Rain Forest. Berbagai upaya telah dilakukan dalam mendorong lahirnya aturan lokal di sekitar harapan rainforest dan segala dinamika yang terjadi.
Kawasan Restorasi Ekosistem di Provinsi Jambi, solusi untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran. Foto: Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Di awal masa reformasi, gonjang-ganjing otonomi daerah menjadi isu santer di seluruh pelosok negeri. Upaya pengembalian otonomi daerah ini, di lakukan melalui disahkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undangundang ini tampaknya merupakan angin segar bagi pemerintahan daerah. Pemerintah daerah medapatkan kembali kewenangan untuk mengurus dan mengelola rumah tangga sendiri. Pemerintahan daerah mulai bisa memanfaatkan potensi masing-masing untuk menunjang jalannya roda pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan ini sesungguhnya diberikan pada pemerintah di tingkat kabupaten ini, setidaknya membawa pengaruh terhadap pemerintah desa.
Berawal Dari Adat Istiadat
S
ebagai respon positif dari pemerintah pusat terhadap keinginan daerah ini, pemerintah pusat memberi kewenangan pada pemerintah desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Wujud pengakuan ini pemerintah pusat memberi kewenangan kepada desa untuk membuat peraturan desa melalui Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Perturan desa yang dikeluarkan desa ini juga diakui dalam hirarki perundang-undangan Indonesia, walau kedudukannya berada pada posisi yang paling rendah dan ruang lingkup berlakunya terbatas. Kewenangan ini sesungguhnya, merupakan pengembalian hak pemerintah desa untuk mengurus desa. Peraturan desa sunguh banyak manfaatnya guna menjalankan pemerintahan di desa dan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Mempelajari adat istiadat dan kebiasaan nilai sosial yang ada atau pernah ada, merupakan langkah pertama yang dilakukan jika hendak mendorong lahirnya suatu aturan di tingkat masyarakat/komunitas. Ini sangat penting dilakukan untuk menyamakan aturan adat dengan aturan yang akan di buat, sebagai wujud pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat inilah yang dikatakan para penggiat masyarakat adat dengan sebutan mempelajari kearifan lokal. Dalam upaya penggalian nilai adat istiadat dan kebiasaan, nilai sosial bukan suatu hal yang mudah, tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap, mesti tinggal dan menjalankan kehidupan bersama masyarakat dalam waktu yang relatif lama. Semua aktivitas masyarakat mesti diikuti, mulai ritual agama, ritual adat,
pola masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari, pola masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, pola kehidupan bermasyarakat dalam membina hubungan kekeluargaan bahkan pola pergaulan muda-mudi di desapun mesti diikuti. Ada banyak kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap masing-masing desa. Diantaranya, kearifan lokal dalam menggelar peradilan adat dan tradisi beselang yang berlaku di Desa Lubuk Napal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun. Jika dilihat prosedur sidang adat di Lubuk Napal, sama halnya dengan persidangan yang digelar di pengadilan, sidang adat juga mempunyai prosedur dan sistematika persidangan yang jelas, akan tetapi pelaksanaan persidangan membutuhkan waktu yang relatif pendek dan biaya yang kecil. Prosedur peradilan adat di Desa Lubuk Napal, secara berurut dimulai dengan pembukaan sidang oleh sekretaris desa. Kemudian kepala desa membacakan kronologis terjadinya sengketa, mulai dari kedatangan pelapor yang melaporkan terjadinya suatu pelanggaran hukum, menyebutkan identitas pelapor dan terlapor (pihak yang diadukan) serta duduk perkara serta tuntutan. Setelah Kepala desa selesai membacakan semuanya mereka mempersilakan kepada pihak pelapor untuk mengklarifikasi kebenaran laporan. Pihak pelapor memasuki ruangan sidang, dan menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan perkara (kalau permasalahan tanah termasuk asal usul tanah). Usai memberikan penjelasan pelapor meninggalkan ruangan sidang. Selanjutkan ke ruang sidang dihadirkan pihat terlapor. Setelah memasuki persidangan kepala desa membacakan tuntutan pihak kepada pihak yang diadukan. Setelah pembacaan, pihak yang diadukan menyampaikan pendapat mengenai tuntutan atau melakukan pembelaan. Setelah pihak yang diadukan menyampaikan pendapat dilaksanakan tanya jawab antara peserta sidang dengan pihak yang diadukan. Usai rangkaian ini, peserta sidang ibaratnya menjadi juri yang kemudian melakukan musyawarah yang dipimpin oleh ketua lembaga adat. Peserta sidang mempunyai hak yang sama memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pengambilan keputusan ini tanpa dihadiri oleh pihak yang bersengketa. Setelah terdapat kata sepakat maka sidang dikembalikan pada sekretaris Desa. Setelah peserta sidang mendapatkan keputusan, pihak yang bersengketa dipersilakan memasuki ruangan sidang untuk mendengarkan keputusan yang dibacakan oleh kepala desa. Pembacaan keputusan diakhiri dengan permintaan kepala desa agar pihak yang bersengketa mematuhi keputusan sidang. Sebelum sidang ditutup kepala desa memerintahkan sekretaris desa untuk membuat berita acara persidangan dengan melampirkan daftar hadir sidang. Setelah rangkaian kegiatan terlaksana secara sempurna sekretaris desa menutup persidangan. Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak patuh terhadap hasil sidang adat maka lembaga adat dengan persetujuan pemerintah desa merekomendasikan agar perkara di selesaikan sesuai hukum positif Indonesia. Berbeda dengan yang berlaku di desa lainnya, Desa Lubuk Napal tidak hanya dilakukan peradilan adat yang berkaitan dengan tanah, tetapi juga menyangkut perkara pidana seperti pencurian kecil-kecilan dan perkelahian.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
fokus
HARAPAN RAINFOREST Pengkajian yang terpenting dilakukan adalah tentang tumpang tindih dengan aturan yang lebih tinggi, jika ada perturan desa tumpang tindih dengan aturan yang lebih tinggi, peraturan desa tidak ada fungsinya sama sekali. Dalam penegakkan hukum pasti berpedoman pada aturan yang lebih tinggi. Hal ini berkalitan dengan asas perundang-undangan “leg superior derogat leg imperior” peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Dengan demikian jika terjadi pertentangan antara peraturan desa dengan peraturan perudang-undangan lainya, peraturan desa batal demi hukum karena peraturan desa dalam hirarki perundang-undangan kedudukannya berada pada level yang paling bawah.
Pada perkara pidana perkelahian yang jadi bahan pertimbangan utama dalam memutus perkara adalah kondisi korban akibat perkelahian tersebut. Kondisi korban perkelahian ini dikenal dengan beberapa istilah: Lebam balu, korban perkelahian mengalami memar-memar pada bagian tubuhnya. Dalam hal ini pelaku akan dijatuhkan hukuman berupa keharusan untuk membayar sejumlah uang atas dasar kemampuan dan kerelaan hati pelaku, yang jumlahnya relatif kecil, untuk biaya pengobatan korban. Luko Luki, korban mengalami luka pada bagian tubuhnya. Luka Luki ini terbagi menjadi : Luko atas luka pada bagian atas leher, luko bawah di bawah leher. Pada luka luki, pelaku harus membayar sejumlah uang atas dasar kesepakatan pelaku dengan korban dan acara jamuan yang dihadiri oleh keluarga masing-masing pihak. Luko atas atau bawah mempengaruhi keharusan yang dilakukan pelaku di saat pelaksanaan jamuan, luko atas pelaku harus memotong kambing, sementara luko bawah cukup dengan memotong ayam.
Penyusunan substansi peraturan desa ke dalam rancangan peraturan desa sangat penting memperhatikan hasil musyawarah penggalian kebutuhan peraturan, mempelajari kembali aturan yang telah ada (baik hukum positif maupun hukum adat). Setelah selesai meramu dan menghasilkan rumusan-rumusan hukum, kerja selanjutnya adalah membuat kerangka dalam format hukum perundang-undangan (rancangan peraturan desa).
Tradisi Baselang Baselang, satu kata yang sering kita dengar dan akrab dengan telinga di Lubuk Napal. Baselang merupakan istilah bagi masyarakat Lubuk Napal untuk melakukan kegiatan kerja bersama-sama, seperti lazimnya sebuah kegiatan gotong royong akan tetapi kegiatan ini tidak dilakukan untuk kepentingan umum melainkan untuk saling membantu dalam meyelesaikan suatu pekerjaan, seperti kelompok arisan kerja. Bedanya dengan kelompok arisan kerja, baselang bukanlah kelompok yang teroganisir, tidak punya struktur pengurus dan pula tidak mengenal sanksi, semuanya atas dasar kerelaan dengan prinsip kekeluargaan. Baselang biasa dilakukan untuk kegiatan menugal (menanam) padi ladang, menegak rumah, mencari dan membelah kayu saat akan diadakan pesta di rumah warga. Untuk mengajak baselang, tidak membutuhkan prosedur yang rumit, tuan rumah (orang yang mengajak) cukup hanya dengan memberi tahu masyarakat lainya bahwa keesokan harinya di rumah mereka ada pekerjaan yang akan di kerjakan dan meminta masyarakat lainnya unyuk membantu. Dalam membantu bekerja ini tidak dikenal upah dan segala macam hal yang berkaitan dengan uang, tuan rumah cukup hanya menyediakan makan dan minum orang yang ikut baselang. Banyak atau sedikit orang yang ikut baselang di suatu tempat sangat di pengaruhi oleh tingkat kerajinan tuan rumah pergi baselang ke tempat orang lain. Jika tuan rumah rajin ikut baselang, hampir bisa dipastikan juga banyak yang akan datang, sebaliknya jika tuan rumah enggan pergi baselang ke tempat orang lain peserta baselang di tempat mereka cenderung sedikit. Manfaat dari kegiatan baselang ini adalah pekerjaan yang berat akan menjadi ringan karena dikerja bersama-sama. Manugal (menanam) padi ladang dengan luas satu sampai dua hektare biasanya dilakukan masyarakat dalam waktu setengah hari saja, padahal jika dilakukan sendiri atau dilakukan oleh keluarga inti saja bisa memakan waktu 10 hingga 15 hari. Selain itu dengan adanya kegiatan baselang ini sistem kekeluargaan dan saling toleransi tetap akan terjaga, masyarakat merasa malu jika mereka tidak ikut membantu orang lain dengan ikut baselang.
Pada konsultasi publik ini pembahasan difokuskan pada kelengkapan materi/isi yang diatur dan ada dalam rancangan peraturan desa. Selanjutnya juga penting untuk fokus pada kesesuaian materi dan rumusan yang ada dalam bab, pasal maupun ayat. Metode yang dilakukan dalam menerima pendapat masyarakat untuk dua persoalan ini adalah membacakan pasal demi pasal, ayat demi ayat dan langsung diminta pendapat masyarakat. Apabila ada koreksi dari masyarakat tim perumus langsung mencatat sebagai hal yang perlu diperbaiki.
Pertemuan masyarakat Lubuk Napal membahas peraturan desa. Foto Neldi Savrino/Dok KKI Warsi
Peningkatan Kapasitas Masyarakat Selain mempelajari adat-istiadat yang berlaku di masing- masing desa, yang juga perlu dilakukan dalam memfasilitasi lahirnya peraturan desa di sekitar kawasan Harapan Rainforest adalah peningkatan kapasitas masyarakat. Hal ini dianggap penting, karena banyak aparatur pemerintahan desa yang belum menyadari kewenangannya dalam membuat peraturan desa. Padahal, kewenangan ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 7 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004. Namun demikian tidak semuanya kepala desa dan BPD melaksanakan kewenangan yang dimilikinya dengan baik, bahkah ada yang lebih ironis lagi ada pemerintah desa yang tidak tahu kalau mereka mempunyai kewenangan untuk itu. Begitu juga halnya dengan desa-desa yang berada di sekitar kawasan harapan rainforest, hampir dikatakan semua desa belum ada yang membuat Peraturan desa. Berdasarkan fenomena sosial di atas, KKI Warsi melakukan berbagai kegiatan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat berkaitan dengan peraturan desa. Kegiatan peningkatan kapasitas masyarat yang dilakukan dalam rangka mendorong aturan lokal di sekitar harapan rainforest berdasarkan adat dan kearifan lokal yang telah mereka miliki. Kegiatan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
ini dilakukan antara lain, dalam berbentuk konsultasi publik dan memfasilitasi pembuatan aturan lokal yang aspiratif, partisipatif dan berkeadilan. Di beberapa desa dampingan juga mendorong pembuatan peraturan desa. Konsultasi publik merupakan rangkaian penting dalam rangkaian kegiatan tersebut. Konsultasi public berfungsi untuk menjaring aspirasi seluruh warga masyarakat. Rangkaian proses ini belum selesai pada tahapan ini saja, selanjutnya kegiatan musyawarah mengenai kebutuhan peraturan desa yang direkomendasikan kepada tim perumus. Namun tidak serta merta semua rancangan tersebut akan dibuat rancangannya, melainkan dibahas terlebih dahulu mana yang akan dijadikan prioritas, manakah yang bakal dilanjutkan menjadi rancangan peraturan desa atau tidak. Pada fase ini tim perumus (pemerintah desa dan BPD yang difasilitasi KKI Warsi) melakukan pengkajian terhadap arti pentingnya usulan tersebut dibuat rancangan, peluang pembuatan, dasar hukum, serta kemungkinan ada bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Selain dua hal di atas pada sesi ini juga dilakukan pembahasan bahasa yang digunakan dalam rancangan peraturan desa. Pembahasan bahasa ini bertujuan agar peraturan yang akan lahir benar-benar dipahami oleh masyarakat dan tidak terjadinya multi tafsir dalam pelaksanaan nantinya. Jika ada bahasa/kata yang dianggap kurang dipahami oleh masyarakat dan dianggap akan menyebabkan multi tafsir, ada dua solusi yang dilakukan : pertama, mencari padanan bahasa yang sudah yang mudah dipahami oleh masyarakat atau sudah sering digunakan masyarakat. Kedua, membuat definisi kata tersebut yang dituangkan dalam ketentuan umum. Hasil tanggapan dan masukkan ini kemudian dipergunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan rumusan sebelumnya, apabila tim perumus merasa rancangan rumusan sudah lengkap, maka kemudian diserahkan kepada pemerintah desa dan BPD untuk dibahas lebih lanjut dan mendapatkan legalitas sebagai tahapan akhirnya. Sampai sekarang sudah ada beberapa peraturan desa yang sudah mendapat legalitas dan berlaku di desa masing-masing sekitar kawasan Harapan Rain Forest. Desa yang telah mengesahkan peraturan desa antara lain Desa Lubuk Napal, Desa Guruh Baru, Desa Sungai Butang, Desa Pagar Desa, dan Desa Butang Baru. Sementara Komunitas SAD Batin IX sudah mendekati tahap legalisasi. (Desriandi/Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
fokus
HARAPAN RAINFOREST
Harapan Rainforest, Harapan Bathin IX
jau, Tanjung Lebar, Segandi, dan Nebang Para. Namun sayangnya program ini sedikit berbeda dengan transmigrasi umum. Kepada mereka tidak diberikan lahan untuk diolah menjadi sumber penghidupan mereka layaknya peserta transmigrasi umum yang biasanya mendapat lahan 0.5 ha untuk pekarangan dan 2 ha lahan pungut.
Bicara tentang komunitas adat terpencil di Propinsi Jambi tidak bisa lepas dari keberadaan komunitas Orang Rimba dan komunitas Bathin IX yang oleh pemerintah dinamakan Suku Anak Dalam (SAD). Komunitas yang dulu survive dengan sumber daya alam, sekarang mengalami kemarginalan akibat sempit dan berkurangnya aksesbilitas mereka terhadap sumber daya alam.
Kondisi ini memicu komunitas Bathin IX untuk cendrung meninggalkan rumah-rumah pemberian pemerintah. Sebagian mereka memilih untuk kembali ke lokasi ladang mereka, atau yang mereka sebut dengan mandah yaitu meninggalkan pemukiman dan sementara waktu tinggal di dalam hutan untuk mengumpulkan hasil hutan.
K
omunitas Bathin IX hingga kini boleh disebut masih marginal dibandingkan dengan masyarakat melayu dan transmigrasi. Komunitas Bathin IX yang oleh pemerintah dinamakan Suku Anak Dalam (SAD), merupakan masyarakat asli Jambi yang dalam legendanya merupakan keturunan raja Jambi yang mengambil posisi hidup di sembilan anak sungai di bagian selatan Sungai Tembesi dan timur Batanghari yang kini secara administrasi berada di Kabupaten Sarolangun, Batanghari dan Muara Jambi. Kesehariannya komunitas ini sangat bergantung pada hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pada perkebunan karet dengan sistem kebun campur (agroforest). Selain itu mereka juga masih menggantungkan hidupnya terhadap hasil berburu dan meramu hasil hutan, seperti madu, damar, jernang, getah balam, getah jelutung, rotan, labi–labi, ular, kancil, landak, rusa, dan kijang dan lainnya. Dahulu selain untuk konsumsi sendiri, hasil berburu dan meramu akan mereka tukarkan dengan sistem barter. Namun seiring dikenalnya uang dalam proses transaksi, maka mulailah mereka menjual hasil buruan dan meramu kepada masyarakat luar dan bahkan sampai di daerah Jambi dan Muarabulian. Perobahan Pola mata pencarian komunitas Bathin IX Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam telah menyebabkan kehidupan komunitas Bathin IX semakin sempit. Lahan yang dulu mereka kelola, telah di patok-patok menjadi berbagai penggunaan seperti HPH, perkebunan sawit skala besar, transmigrasi hingga HTI. Sebut saja, PT Asialog, PT Perkebunan Nusantara VI, PT BDU yang kemudian menjadi PT Asiatik Persada dan lain sebagainya. Akibatnya komunitas Bathin IX semakin sulit mempertahankan hidup mereka. Walau juga tak bisa dipungkiri, pemerintah juga membuat kebijakan untuk mereka seperti memberi mereka pemukiman. Pada tahun 1974 melalui program pemukiman kembali masyarakat terasing (PKMT), untuk komunitas ini dibangunkan perumahan di Desa Bungku dan Nyogan. Pada tahun 1990, kembali komunitas ini diberi pemukiman melalui program transmigrasi sosial yang ditempatkan di Desa Sungai Dayo, Tenggalung, Pangkalan Ran-
Secercah Harapan dari Hutan Harapan Di tengah gempuran kerusakan sumber daya hutan, beruntung masih ada kawasan hutan yang masih bisa bisa mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 159 tahun 2004 tentang program Restorasi Ekosistem, memberikan secercah harapan untuk komunitas Bathin IX yang hidup dari sumber daya hutan. Restorasi ekosistem yang merupakan program pemulihan kondisi hutan, diharapkan akan menjadikan sumber daya hutan menjadi lebih baik dan mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya. Program pemulihan hutan pertama ada di Indonesia ini, merupakan pengelolaan kawasan hutan produksi tanpa adanya aktifitas pengambilan kayu. Restorasi Ekosistem sesuai dengan Kepmenhut tersebut adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Dari SK Menteri Kehutanan nomor 83 tahun 2005, ditunjuk kawasan blok hutan Sungai Meranti - Sungai Kapas di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan seluas ± 101.355 Ha sebagai kawasan yang akan di Restorasi Ekosistem. Hutan yang akan dipulihkan ini menjadi harapan bagi banyak pihak untuk mendapatkan manfaat nyata dari sumber daya hutan yang terpelihara, sehingga kawasan inipun dinamakan hutan harapan yang kemudian populer dengan harapan rain forest. Masyarakat Bathin IX atau yang disebut pemerintah SAD hingga kini masih hidup dari sumber daya alam yang ada disekitar mereka. (foto kanan atas) Pemukiman Komunitas Bathin IX di pinggiran Kawasan Restorasi Ekosistem. Foto: Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
ekosistem. Maka untuk itu mulai digali tentang potensi dan keunggulan sejarah masa lalu mereka dan coba merangkainya dengan harapan masa depan. Apalagi keberadaan meraka yang berada didalam kawasan hutan yang sangat mereka khuatirkan tentang status dan keberadaannya. Dengan semua itu mulai dibangun kembali nilai-nilai kebersamaan mereka melalui pertemuan dan diskusi-diskusi tentang harapan dan keinginan sehingga akhirnya muncul kemandirian bagi mereka. Banyak tanggapan negatif tentang itu karena tidak jelas dan kongkrit hasilnya, namun tidak semua dititik komunitas demikin ada juga yang menyambut positif hal ini. Salah satu yang melakukan hal itu dan mulai muncul kebersamaan yaitu di Simpang Macan.
Untuk mengujudkan mimpi itu tentu perlu kerja sama dan dukungan semua pihak termasuk masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dan mempunyai hubungan dengan kawasan ini. Mulai dari komunitas Bathin IX, masyarakat melayu sampai pada masyarakat transmigrasi. Harapan Komunitas terhadap hutan harapan Harapan Rainforest dengan sistem Restorasi Ekosistem yang ditawarkan, tampaknya membuat keresahan dan kekhawatiran bagi komunitas Bathin IX yang berada dan memanfaatkan kawasan ini tentang status dan keberadaan mereka. Mereka juga tidak mengerti dan memahami apa dan bagaiman sistem Restorasi Ekosistem itu. Dalam pemahaman mereka kawasan ini adalah wilayah konservasi yang tidak bisa diganggu dan dimanfaatkan. Hal itu diperparah dengan papan pengumuman tentang kawasan yang memuat larangan dengan ancaman-ancamannya yang membuta mereka menjadi yakin akan hal itu. Maka langkah pertama yang dilakukan adalah memahami dan menemu kenali keberadaan komunitas tersebut sambil memberikan pengertian tentang apa itu Restorasi Ekosistem dalam versi bahasa dan pemahaman mereka. Dalam proses itu banyak kecurigaan yang muncul mulai dari kurang simpati sampai antipati. Hal itu muncul karena pengalaman masa lalu mereka yang sering ditipu dan dimanfaatkan oleh orang lain yang ujung-ujungnya penggusuran oleh perusahaan ataupun memanfaatkan mereka untuk mendapatkan kepentingan sepihak. Disamping itu juga dengan kebiasaan mereka yang menginginkan sesuatu yang kongkrit bukan yang lain. Dari proses tersebut terlihat bagaimana membangun kepercayaan dengan komunitas sangat sulit dan mempunyai kecerigaan sana sini. Dengan sifat kepribadian komunitas yang kadang ambigu dan kadang sulit dipahami. Apalagi mentalitas mereka yang menginginkan sesuatu dengan mudah tanpa adanya proses terlebih dahulu. Butuh waktu untuk mendapatkan kepercayaan dari komunitas. Identitas yang mulai pudar dan ketidakberdayaan mereka menjadi titik lemah dari komunitas yang berada di dalam kawasan restorasi
Terkait dengan keberadaan mereka di dalam kawasan harapan rain forest mereka membuat ikatan sosial sesama mereka yang akan memunculkan kekuatan antara sesama. mereka mulai melakukan pertemuan dan mebuat kesepakatan-kesepakatn yang saling menunjang dan menjaga mereka antara satu dengan yang lainnya. Dalam proses ini dipastikannya wilayah, masyarakat dan aturan bagi mereka. Mereka menentukan wilayah yang mereka miliki dan harapan mereka terhadap pengelolaan kawasan harapan rain forest disamping kearifan mereka tersendiri. Dalam hal wilayah selain adanya kebun, mereka juga mempunayi keinginan jangka panjang untuk anak cucu mereka. Mereka tidak mau generasi mereka sama dengan mereka, maka untuk itu mereka mempersiapakan cadangan lahan berdasarkan kebiasaan mereka yang berumo tiap tahunnya sampai adanya sumber penghidupan yang tetap dan berkelanjutan. Untuk itu mereka mengcalam wilayah berdasarkan kebun terjauh dan adanya jaminan untuk anak cucu nantinya. Pada dasarnya masyarakat komunitas juga melakukan kegiatan restorasi ekosistem, yaitu berupa pengayaan kawasan hutan walaupun bentuknya adalah perkebunan yang di olah secara agroforestry. Selain melalui pertemuan dan diskusi maka untuk kejelasan wilayah mereka dibuatlah peta. Dalam pembuatan peta dilakukan secara partisipatif dan yang menjadi pelaku utama dalam hal ini adalah komunitas itu sendiri. Hal itu dimulai dengan pembuatan sketsa wilayah dan dilanjutkan tentang pengenalan peta dan pelatihan global positioning system. Dan untuk turun ke lapanganpun komunitas secara bersama melakukan pengukuran terhadap wilayah yang mereka akui. Tidak hanya perlu adanya wilayah, tapi juga dikuatkan tentang aturan mereka terhadap pengelolaan wilayah mereka. Dengan adanya pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan maka perlu dibuat aturan main bagi mereka dengan sanksi sosial yang mereka sepakati sendiri dengan harapan muncul kontrol dan saling menjaga antara sesama. Salah satu poin yang menjadi kontrol dan saling penjagaan bagi mereka adalah tidak diperkenankannya menerima keberadaan masyarakat luar dan terjadi jual beli lahan terhadap pendatang. Karena hal tersebut salah satunya yang mengakibatkan kemarginalan mereka. (Dinaldi/Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
fokus
HARAPAN RAINFOREST membuat peta yang lengkap dan akurat mengenai sejarah desanya, tata guna lahan, analisis kecenderungan, kalender musim, tata guna lahan, permasalahan kesehatan, dan harapan mereka untuk di masa yang akan datang. Untuk itu, sekaligus Menyikapi revisi penyusunan tata ruang Kabupaten Sarolangun ditahun 2009, Pemerintah Kabupaten Sarolangun (Bappeda) bekerjasama dengan KKI WARSI pada pertengahan Maret 2009, telah mulai menampung ide dan pikiran dari berbagai pihak di Kabupaten Sarolangun dalam Lokakarya “ Meramu Ide dan Pikiran berbagai pihak dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan di Kabupaten Sarolangun ”. Menindaklanjuti Hasil Lokakarya tersebut, Pemerintah Kabupaten Sarolangun dalam hal ini Bappeda akan bekerjasama dengan KKI Warsi dalam Membangun 10 Desa Model Pemetaan Partisipatif dalam Rangka Penataan Tata Ruang Mikro yang Partisipatif, Adil dan Berkelanjutan di Kabupaten Sarolangun.
Pemetaan partisipatif di Kabupaten Sarolangun. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Membangun 10 Desa Model Pemetaan Partisipatif “Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, hanya saja kemana arah perubahan itu adalah pilihan, perubahan kearah yang lebih baik atau sebaliknya.” (Farid Zulfikar, koordinator program EU Restorasi)
P
eta merupakan gambaran suatu wilayah yang di dalamnya memuat berbagai informasi tentang wilayah tersebut. Sejak zaman Belanda, di Indonesia telah ada lembaga yang membuat peta, saat ini lembaga nasional yang melakukan pemetaan di wilayah Indonesia adalah Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal). Ada juga lembaga-lembaga lain yang berwenang membuat peta di antaranya Badan Pertanahan Negara, Departemen Kehutanan, Departemen PU, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Direktorat Topografi Angkatan Darat, dan juga lembaga swasta yang membuat peta untuk kepentingan mereka sendiri.
Pemetaan partisipatif adalah satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan secara partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi maupun permasalahannya. Ini sangat berbeda dengan pendekatan ‘top-down’ yang sering dipakai oleh lembaga-lembaga yang mengumpulkan informasi untuk kelancaran program mereka. Dalam program begitu, lembaga menentukan apa akan dikerjakan dalam suatu wilayah. Masyarakat diikutkan tanpa diberikan pilihan apapun. Secara partisipatif, justru masyarakat memanfaatkan informasi dan hasil analisa sendiri untuk mengembangkan rencana kerja mereka agar lebih maju dan mandiri. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayahnya lebih memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai wilayahnya sendiri, ini menjadi dasar mengapa masyarakat setempat harus melakukan dan dilibatkan dalam pemetaan wilayahnya. Jadi, hanya masyarakat yang bisa
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Farid Zulfikar selaku koordinator project KKI Warsi, menyebutkan, terwujudnya tata ruang yang menjamin fungsi dan manfaat ekosistem sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan di Kabupaten Sarolangun,adalah tujuan akhir yang diharapkan dapat tercapai dengan pelaksanaan kegiatan ini. “Beberapa indikator yang dapat dijadikan output dari kegiatan ini meliputi terpetakannya penataan ruang mikro yang dilakukan secara partisipatif di 10 desa model yang berakhir pada dapat diketahui potensi dan peluang ruang wilayah dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan baik secara mikro maupun makro di Kabupaten Sarolangun”,ujarnya menjelaskan poin akhir yang diharapkan dari kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga menggiring untuk terbangunnya penguatan masyarakat desa dalam rangka mengelola potensi ruang wilayahnya secara lestari dan berkelanjutan dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sehingga,terpublikasinya upaya kegiatan penataan ruang mikro, baik di tingkat lokal, regional maupun Nasional. Adapun, kelompok sasaran yang akan terlibat dalam program ini adalah masyarakat di 10 Desa Model Sarolangun dibagi menjadi tiga wilayah pengembangan, yaitu wilayah pengembangan atas, tengah dan bawah. Wilayah pengembangan atas (hulu), satu desa di Kecamatan Limun. Wilayah pengembangan tengah, satu desa di Kecamatan Pelawan, wilayah pengambangan bawah (hilir), empat desa di Kecamatan Mandiangin dan empat desa di Kecamatan Pauh. Pendekatan melalui metode partisipatif ini diharapkan dapat diterima dan mampu dipraktekkan sendiri oleh komunitas masyarakat, terjadinya transformasi pengetahuan dalam penggunaan teknikteknik partisipatif kepada masyarakat, dan akan menjadi kebutuhan yang paling mendasar apabila ingin memastikan keterlibatan masyarakat secara partisipatif dalam merencanakan setiap program pembangunan desa. Dari kegiatan ini diharapkan pula dapat menghasilkan suatu inisiasi rencana tindak lajut dari komunitas masyarakat sendiri untuk mendiskusikan tentang bagaimana peta-peta yang mereka buat tersebut dimanfaatkan.
Pemetaan partisipatif adalah satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses lahirnya kebijakan atas pengelolaan hutan merupakan salah satu penyebab mengapa kebijakan yang ada cenderung mengesampingkan hakhak masyarakat terhadap hutan. Oleh karena itu masyarakat lokal yang tinggal disekitar areal konsesi HPH/HTI, Transmigrasi, kawasan lindung dan perkebunan besar mengalami persoalan-persoalan mendasar seperti : (1). tersingkirnya hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan yang telah menjadi bagian kehidupannya secara turun temurun, (2). tidak adanya perhatian serius dari penentu kebijakan dalam memahami, menemukan dan mencari solusi yang adil terhadap masalah pengelolaan sumberdaya hutan, (3). adanya tindakan pemerintah dan swasta yang memang tidak perduli terhadap keberadaan masyarakat lokal dan hak-hak adatnya, sehingga berbagai cara dilakukan untuk menaklukkan masyarakat lokal, (4). lemahnya kedudukan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan dan masih kurangnya pengetahuan mereka tentang posisi mereka dalam rangka kebijakan dan peraturan perudangan nasional, (5). lemahnya pengorganisasian didalam komunitas masyarakat adat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak bijaksana dalam pengelolaan sumber daya alam. Hak masyarakat adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumber daya alam diwilayahnya lazim dikenal sebagai hak ulayat. Hak ulayat memberikan kewenangan untuk mengatur dan merencanakan penggunaan sumberdaya, menetapkan hubungan-hubungan hukum anggotanya dengan sumberdaya serta mengurus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya oleh orang luar. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh masyarakat dan pemetaan kawasan adat mempunyai dasar hukum yang jelas dalam sistem hukum indonesia. “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat ( Pasal 33 ayat 1 UUD 1945)”. Jelas bahwa konsep penguasaan negara atas SDA harus me “nomor satu” kan kemakmuran rakyat. Hal ini dijabarkan lebih rinci pada pasal 2 ayat 4 dan pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria dan pasal 5 UU No. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan. Instruksi Mendagri No. 46 tahun 1994 tentang Pemasyarakatan Pola Tata Desa dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/KPTS-H/1995, semakin memberi peluang yang besar terhadap kegiatan pemetaan tanah adat oleh masyarakat adat setempat.(Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
28
GIS SPOT
Deforestasi di Bukit Duabelas
K
awasan Bukit Duabelas yang terletak di jantung propinsi Jambi merupakan salah satu hutan dataran rendah yang keberadaannya tengah terancam akibat laju deforestasi (kehilangan hutan) yang tidak terkendali. Kepentingan ekonomi merupakan ancaman terbesar yang tengah menggerogoti luasan wilayah Bukit Duabelas. Akibat tekanan deforestasi yang begitu tinggi, sehingga mengurangi kualitas dan luasan hutan alam yang ada di dalamnya dengan begitu cepat. Padahal, di dalam kawasan ini tinggal lebih dari seribu jiwa Orang Rimba atau yang biasa disebut Suku Anak Dalam. Seiring dengan hilangnya hutan alam sebagai sumber penghidupan, Orang Rimba terus me-ngalami marginalisasi secara sosial, budaya maupun ekonomi. Terdesak dan terpinggirkan oleh kepentingan kapitalis semata. Deforestasi hutan alam di kawasan Bukit Duabelas di mulai awal tahun 1980-an, saat dilaksanakannya proyek-proyek transmigrasi oleh pemerintah. Letaknya di kecamatan Air Hitam, disebelah selatan dan Kuamang Kuning, disebelah Barat dan Utara Bukit Duabelas. Sayangnya, kondisi ini diperburuk dengan diberikannya beberapa hak konsesi kepada beberapa perusahaan, yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan, yang memperburuk kualitas hutan dan memberikan akses (jalan) ke dalam hutan. Hak Penguasaan Hutan (HPH) ini diberikan kepada PT. Alas Kesuma (1970-an), setelah izinnya habis kemudian diberikan kepada PT. Intan Petra Darma (1990-an). Setelah PT Intan Petra Darma juga habis izinnya kawasan tersebut rencananya akan diberkan kepada PT INHUTANI V tetapi Menteri Kehutanan memutuskan untuk menjadikan areal tersebut sebagai Taman Nasional pada tahun 2000. Setelah program transmigrasi, deforestasi dilanjutkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar, seperti PT. Sari Aditya Loka disebelah (1991 dan 1992) selatan dan barat, PT. Jambi Agro Wijaya (1991) disebelah selatan, PT. Eramitra Agro Lestari (1991) disebe-
GIS SPOT
lah timur, dan PT. Sawit Desa Makmur (1989) disebelah utara. Disebelah timur juga terdapat HTI PT. Wana Perintis yang sudah melakukan pembukaan hutan dan penanaman sengon disebagian arealnya.
Laju Deforestasi Kawasan Bukit Duabelas
Kebutuhan akan lahan oleh masyarakat baik melayu maupun pendatang, menjadikan perambahan terhadap hutan masih sangat intensif. Umumnya masyarakat menanam karet dan sawit dari hasil pembukaan hutan di kawasan ini. Selain itu ilegal logging juga marak karena didukung akses jalan dan penegakan hukum yang lemah, hal ini menyebabkan kualitas hutan menurun dengan cepat. Penulis mencoba melakukan analisis mengenai laju deforestasi ini dengan menggunakan pemetaan penginderaan jauh atau yang lebih dikenal dengan remote sensing. Cara yang dilakukan sangatlah sederhana, yaitu mengklasifikasi atau memisahkan antara vegetasi yang bertajuk rapat dengan yang bertajuk jarang (hutan dan non hutan). Pemisahan dilakukan secara manual onscreen dengan mendeleniasi batas antara hutan dan non hutan yang sangat mudah dibedakan walaupun dengan mata telanjang (Lihat Gambar).
Perubahan Tutupan Hutan Bukit Duabelas No
Tahun
1
1989
130,308.00
2
1993
95,637.00
3
1998
86,768.00
4
2000
80,678.00
5
2002
76,914.00
6
2007
64,465.00
7
2008
60,483.00
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Luas Hutan (Ha)
Data yang dianalisa adalah citra satelit landsat TM 5 dari tahun 1989 sampai 2008. Dipilih yang mempunyai tutupan awan kurang dari 5%. Band yang digunakan adalah band 5, 4, dan 2 mempertimbangkan karakteristik dari band-band tersebut yang dapat menampakkan kekontrasan antara air, vegetasi, dan lahan terbuka. Dari analisa tersebut diperoleh bahwa, laju deforestasi paling tinggi yaitu antara tahun 1989 sampai 1993 yaitu terjadi kehilangan hutan 34.671 Ha, atau 8.668 Ha/ tahun. Selanjutnya deforestasi mendekati konstan dari tahun 1993 sampai 2008 yaitu, sekitar 2.344 Ha/tahun (Lihat Tabel). Apabila laju deforestasi ini terus bertahan tanpa ada pencegahan atau action dari pemerintah, maka diprediksi tahun 2034 hutan di Bukit Duabelas tinggal kenangan alias tidak tersisa sama sekali (Lihat Grafik). Hilangya hutan di tengah-tengah provinsi Jambi ini tentunya akan
berdampak terhadap hilangnya habitat flora dan fauna langka, perubahan iklim mikro, meningkatkan intensitas dan frekuensi banjir, hilangnya mata air dan sumber air, dan tentunya hilangnya sumber pencaharian bagi orang Rimba. Dampak lain yang mungkin timbul adalah preseden buruk dan citra yang tidak baik bagi Pemerintah Provinsi Jambi. Namun sebaliknya, jika laju deforestasi ini dapat dicegah atau dikurangi ( ), maka bukan hanya dampak negatif akan dapat dikurangi. Bahkan pemerintah akan mendapatkan intensif melalui perdagangan karbon (REDD). Insentif akan dibayarkan bila kita dapat menunjukkan kinerja bahwa telah terjadi pencegahan/pengurangan deforestasi dibandingkan dengan reference period (perhitungan dasar kecenderungan deforestasi berdasarkan periode rujukan awal) dan tentunya dalam kurun waktu yang disepakati. (Askarinta Adi)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
29
30
DARI HULU KE HILIR
Menikmati Pesona Alam Taman Nasional Bukit Duabelas Menantang Alam di Hutan Perawan
M
enelusuri jalan setapak penuh semak dan duri selama tujuh jam ke Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi merupakan penjelajahan yang melelahkan bagi 45 orang peserta lintas alam Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Namun hasrat menggebu untuk menikmati pesona yang telah lama menggelayut di hati para peserta napak tilas membuat penjelajahan hutan perawan tersebut tidak terasa melelahkan. Kendati terkadang tenggorokan diserang rasa haus, perut dihantam rasa lapar dan wajah memerah terbakar panas matahari, para peserta napak tilas tetap semangat menelusuri jalan berliku di tengah hutan. Lintas alam SMK Pertanian dan SMP Satu Atap Desa Bukit Suban, Merangin yang dilaksanakan, Minggu (28/3) tersebut digagas guru SMK Pertanian Merangin, Anas Muhammad. Sang guru tertarik menjelajah TNBD karena selama 10 tahun berada di Desa Bukit Suban, Dia sudah banyak mengetahui informasi tentang keberadaan TNBD dan Orang Rimba yang bermukim di dalamnya.
Cukup Tepat Luna (14), seorang peserta napat tilas kepada penulis mengakui, keinginan mereka untuk masuk ke rimba, mengenal alam TNBD cukup tepat dengan program pendidikan lingkungan hidup yang mereka pelajari selama ini. Pendidikan lingkungan alam itu juga dinilai perlu bagi anak-anak Orang Rimba dan anak-anak desa sekitar TNBD agar mereka mengetahui peran lingkungan alam terhadap kelangsungan hidup mereka Menurut Luna, tantangan medan yang mereka alami menelusuri hutan TNBD sangat berat. Mereka harus melintasi jalan poros ke Kedundung Muda yang penuh semak dan duri. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan melalui jalur kiri sebelum Logpon Meranti dan keluar di Jerambah Punti Kayu. Perjalanan masih berat dengan mendaki Bukit Penonton dengan menyusuri pematang ke arah Kedundung Muda. Kelelahan menembus hutan itu bisa agak terobati ketika sampai di Sungai Gemuruh. Perasaan penat dan sengatan panas matahari menjadi segar seketika ketika membasuh muka dengan air sungai yang jernih dan dingin. Rasa lelah menempuh perjalanan panjang pun agak terobati di setiap peristirahatan karena bisa bercanda ria bersama para peserta lintas alam. Percakapan dengan nafas terengah selama perjalanan juga membuat para peserta bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan jenuh. Romlah (15), peserta lintas alam dari SMK Pertanian Desa Bukit Suban, mengatakan, kehidupan di tengah hutan TNBD atau dunia rimba benar-benar asing bagi mereka. Karena itulah mereka mengalami banyak kesu-
Para siswa-siswi peserta lintas alam juga sudah lama ada hasrat untuk menikmati pesona alam TNBD. Bak gayung bersambut, ide Pak Guru Anas dan siswa-siswi melakukan napak tilas pun langsung disepakati. Lintas alam tersebut semakin menantang mereka, karena dalam lintas alam tersebut ikut juga anak-anak Orang Rimba. Sebelum berangkat memasuki hutan, para peserta napak tilas dipersiapkan dengan matang, termasuk perlengkapan dan informasi mengenai keadaan hutan. Peserta napak tilas dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok didampingi seorang fasilitator dari Warsi. Setiap kelompok diberi tugas untuk mencatat dan melaporkan hasil perjalanan napak tilas ke TNBD. Laporan mereka akan dijadikan bahan diskusi di akhir kegiatan.
DARI HULU KE HILIR
Peserta Lintas Alam mendapatkan penjelasan dari staf KKI Warsi yang juga pemandu dalam kegiatan ini. Foto: Doni/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
litan menelusuri jalan setapak di tengah hutan. Namun bagi anak-anak Orang Rimba yang mengikuti lintas alam itu, penjelajahan di tengah hutan TNBD bagaikan suatu permainan. Mereka berjalan dengan lincah di tengah hutan karena sudah terbiasa mengikuti orang tua berburu. “Wah, gila benar. Berat sekali menempuh perjalanan di tengah hutan ini. Kalau tidak hati-hati bisa bahaya. Onak dan duri beserta jurang selalu mengancam. Tapi saya salut sama teman-teman Orang Rimba. Mereka bagaikan kancil menelusuri jalan di hutan ini. Ini perjalanan menantang sekaligus menarik yang bisa menjadi bekal pengetahuan dan bahan cerita buat keluarga nanti,”katanya. Perjalanan menjelajah TNBD memang suatu petualangan yang melelahkan, tetapi juga mengasyikkan. Penjelajahan tersebut juga memberikan manfaat bagi para peserta untukmengetahui seluk-beluk kehidupan Orang Rimba dan kondisi dan manfaat hutan bagi kehidupan mereka. Bekal pengetahuan itu sangat penting bagi peserta napak tilas agar mereka semakin peduli dan mencintai lingkungan hidup. (Abdul Rahman)
Peserta Lintas alam menelusuri jalan setapak di dalam kawasan TNBD untuk melihat panorama alam sekaligus mempelajari kehidupan Orang Rimba. Foto: Abdul Rahman/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
31
32
DARI HULU KE HILIR
DARI HULU KE HILIR Provinsi Jambi ini, sangat kaya akan sumber ikan, namun kini hilang entah kemana. Tak hanya itu, sungai ini tidak lagi mampu menopang kehidupan masyarakat sekitar sebagai sarana mandi dan mencuci sebagaimana dulu menjadi tradisi di wilayah aliran sungai. Kegiatan penyelamatan dan pelestaraian, manjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan, sehingga sungai bisa kembali dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya. Masyarakat dari enam desa disepanjang aliran Sungai Buntang pun mulai menyadari kekeliruan dalam pengelolaan sungai. Mereka berinisiatif dan bersepakat untuk melakukan gerakan massal sebagai upaya untuk penyelamatan sungai tersebut.
Masyarakat Desa Guruh Baru sepakat melindungi Sungai Butang yang mengalir di wilayah mereka. Foto: Desriandi/Dok KKI Warsi.
Enam Desa Sepakat Lindungi Sungai Dari Danau, sampai muaro Kau bagai nago dari selatan Bentukmu indah, arusmu tenang Kau susuri Kota Jambi Separuh zaman telah kau lewati Prasasti kerajaan Melayu Sampai kini Sampai kini Kau tetap akan abadi Batanghari…oh Batanghari Sungai yang terpanjang di Pulau Sumatera Batanghari…oh Batanghari Kau Kebanggaan dari negeri Jambi
L
iukan aliran Sungai Butang-- anak sungai Batang Tembesi-- yang membelah Desa Guruh Baru dan Desa HTI Sungai Butang Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun, menjadi sumber kehidupan masyarakat disekitarnya. Meski tidak seindah yang dibayangkan pada lirik lagu Batanghari diatas , sungai tersebut memiliki peranan penting bagi masyarakat sekitarnya. Sungai yang indah, dengan air yang bersih dan berbagai macam jenis ikan hidup didalamnya, kini hanya tinggal sebuah cerita masa lalu. Kegiatan penyelamatan dan pelestarian kini mulai disadari dan dirasakan penting untuk dilakukan. Sungai Butang kini airnya berwarna kuning kecokelatan, sebagai pertanda rusaknya wilayah hulu dan banyaknya aktifitas penambangan emas yang menggunakan mesin keruk disepanjang aliran sungai. Ditambah lagi aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan racun menyebabkan ekosistem sungai terancam punah. Sangat sulit menemukan ikan untuk dikonsumsi masyarakat sekitar. Padahal dulunya sungai ini yang mengalir ke Sungai Batang Tembesi, salah satu anak sungai Batanghari yang merupakan sungai utama di
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Diawali dengan Lahirnya Peraturan Desa Guruh Baru Nomor 06 tahun 2009 yang berisi tentang pemanfaatan dan pelestarian sungai-sungai yang mengalir di wilayah admistrasi desa tersebut. Peranan sungai yang sangat penting, bagi masyarakat Desa Guruh Baru menjadi alasan kuat masyarakat untuk fokus pada upaya pelestaraian dan pemanfaatan dengan sebaik- baiknya. Kesadaran masyarakat Guruh Baru ini, nampaknya juga mulai singgah di hati masyarakat desa sekitarnya. Terdapat lima desa sekitar yaitu Desa Petiduran Baru, Desa Butang Baru, Desa HTI Sungai Butang, Desa Jati Baru, Desa Meranti Baru, mendukung upaya penyelamatan sungai Butang. Merekan menyatakan ikrar untuk ikut bersama menjaga kelestarian sungai yang tertuang dalam nota kesepahaman. Dalam nota yang ditandatangani masing-masing kepala desa dan ketua Badan Permusyawaratan Desa ini, masyarakat menyatakan bersepakat untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai yang berada di wilayah admistrasi desa mereka. “Kami menyadari pentingnya menjaga aliran sungai ini, untuk kehidupan kami dan anak cucu nanti,”kata Ketua Ketua Badan Permusyawaratan Desa Petiduran Baru, Sukiman sesaat usai penandatanganan nota kesepahaman beberapa waktu lalu. Terkait dengan itu, Kapala Bidang Pengendalian dan Pengawasan Sumber Daya Perairan Dinas Perikanan dan Pertanian Kabupaten Sarolangun, Dedi Agrawan menyebutkan tidak menutup kemungkinan bentuk kesungguhan masyarakat enam desa ini akan dapat ditanggapi pemerintah melalui kegiatan-kegiatan pendukung demi kepentingan bersama. Dalam acara temu kampong dan penyerahan lima ribu benih ikan air tawar di Desa Guruh Baru, Dedi berharap apa yang dilakukan masyarakat Desa Guruh baru dapat menjadi sebuah pemicu untuk desa lainnya dalam pelestarian sungai menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Kesepakatan bersama dalam upaya pelindungan dan pemanfaatan sungai ini juga disambut baik Camat Mandiangin, Amirullah. Pihaknya sangat bangga dengan upaya yang dilakukan masyarakatnya, yang pertama kali ada di Sarolangun dan juga mungkin pertama di Provinsi Jambi. Untuk itu Amirullah berjanji akan memberikan dukungan nyata, dengan memfasilitasi kebutuhan masyarakat dalam pembudidayaan ikan air tawar, terutama terkait dengan pangan ikan. “Untuk ke depannya, kita akan mengupayakan pemberian pangan ikan yang menjadi kendala masyarakat dalam melakukan budi daya ikan air tawar. Mudah-mudahan kesungguhan masyarakat Desa Guruh Baru yang juga didukung Warsi dapat membawa pada peningkatan kesejahtaraan masyarakat,”katanya. Dukungan dari para pihak, tentu menjadi sebuah motivator yang tidak dapat dikesampingkan dalam upaya penyelamatan sungai di kawasan ini. Farid Zulfikar, selaku koordinator projek KKI Warsi yang turut serta mendorong dan mendukung masyarakat dalam upaya penyelamatan kawasan sungai, menyebutkan dengan adanya kesepakatan bersama tersebut diharapkan akan membawa pada peningkatan perekonomian masyarakat, “Kita berharap peraturan desa dan kesepakatan bersama ini dapat berjalan dengan baik, dan didukung oleh semua pihak terutama pemerintah. Semoga hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, tegasnya. Untuk menindaklanjuti nota kesepahaman bersama perlindungai DAS Sungai Butang ini, dibentuk Kelompok Masyarakat Peduli Daerah Aliran Sungai (Popmapedas). Terpilih Rusmini kepala desa Guruh baru sebagai ketua dengan anggota berjumlah 20 dari berbagai elemen masyarakat di enam desa sekitar aliran Sungai Butang. Kerja dan tindakan nyata dalam pengawasan untuk pelestarian sungai menjadi sebuah tuntutan yang harus dikerjakan popmapedas di masa datang. (Elvza Diana)
Sungai Butang menjadi andalan masyarakat untuk aktifitas MCK mereka. Foto: Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
33
34
WAWANCARA
“Solusi Baru Penanggulangan Kemiskinan”
K
emiskinan masih menjadi masalah utama di negeri ini. Menurut data BPS terdapat 34,96 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin, sebagian besar penduduk miskin ini hidup di dalam dan sekitar hutan. Kemiskinan dapat diartikan seperti tidak ada atau kekuarangan makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan untuk dapat dipandang sama dengan manusia lainnya. Perspektif mengenai kemiskinan sendiri bersifat subjektif. Situasi kemiskinan di suatu masyarakat , belum tentu sama dengan masyarakat di tempat lainnya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah indikator umum yang dapat dipakai pada masing-masing tempat. Dibutuhkan, partisipasi masyarakat secara bersama-sama menemukan masalah kemiskinan itu, dan menemukan juga solusi yang tepat. Untuk membahas hal itu, dibawah ini kutipan wawancara KKI Warsi dengan Gill Sepherd dari Overseas Development Institute, peneliti yang juga aktif di beberapa lembaga internasional yang konsen terhadap penanggulangan kemiskinan. Gill kami wawancarai mengenai analisis kemiskinan partisipatif, guna mencari rekomendasi tepat dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang terjadi.
Bisakah Anda Jelaskan bagaimana konsep analisis kemiskinan partispatif ? Analisis kemiskinan partisipatif ini adalah alat bantu yang dapat digunakan dalam melihat masalah-masalah yang ada di suatu masyarakat dan memandang tingkat kesejahteraan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya dengan kajian yang berbeda. Kita membagi masyarakat tersebut dalam empat kelompok, berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kesejahteraan. Selain upaya pencarian solusi, analisa ini juga berguna dalam melihat bagaimana pola ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Apa kelebihan solusi ini ? Pola analisa kemiskinan partisipatif yang dipakai ini lebih cepat dalam menemukan solusi yang diinginkan. Selain itu, dengan responden yang cukup banyak dan jumlah waktu yang sedikit, ini sangat efektif sekali.
SUARA RIMBA
Tingkat efektif dan efisiensi dalam waktu, tenaga dan pikiran lebih bisa direalisasikan jika kita menggunakan metode ini tanpa mengurangi keakuratan data yang ingin dianalisa. Kendala apa yang dapat ditemui jika kita menggunakan metode ini? Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti dihadapi, kecuali perbedaan indikator yang sedikit mengalami pengembangan dari satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan budaya dan pola hidup masyarakat juga mempengaruhi dalam menentukan tingkat kesejahteraan pada masing-masing daerah. Seperti yang terjadi dalam analisis kemiskinan partisipatif yang baru-baru ini dilakukan di tiga desa di sekitar kawasan Harapan Rain Forest, yaitu Desa Mandiangin sebagai desa transmigrasi, Desa Lubuk Napal sebagai desa asli dan komunitas Bathin IX yang merupakan komuniatas di sekitar kawasan. Dari ketiga bentuk masyarakat ini didapat perbedaan dalam menentukan karakteristik dalam penentuan tingkat kesejahteraan. Jika di desa transmigrasi bentuk rumah dan peralatan elektronik yang dimiliki dapat menjadi sebuah indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan, sementara di Lubuk Napal, luas lahan yang dimiliki menjadi tolok ukurnya. Sementara itu, untuk komunitas lebih diandalkan jabatan yang dimilikinya. Dimana saja pendekatan analisis kemiskinan partisipatif ini sudah Anda dan tim lakukan? Sampai sejauh ini ada 20 negara yang sudah saya lakukan dengan menggunakan metode ini diantaranya Afrika, China, Thailand dan khususnya di Jambi, ini merupakan penggunaan metode kedua sesudah Papua. Selain dari penentuan tingkat kesejahteraan indikator apa sajakah yang dibutuhkan? Selain membagi menjadi empat kategori masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan dan jenis kelaminnya.Kita juga perlu mengetahui, pola perubahan dan kecenderungan yang terjadi Seberapa efektif metode ini guna mendorong kebijakan pemerintah dan Harapan Rain Forest? Menjaring solusi dengan metode analisis kemiskinan partisipatif memang merupakan tujuan akhir yang kita harapkan. Begitu juga adanya gambaran umum tentang pola penghidupan dengan masyarakat yang berada di sekitar kawasan Harapan Rain Forest. Dengan ada rekomendasi terhadap beberapa masalah yang dihadapinya, saya pikir cukup efektif dalam menemukan jalan tengah dalam menyelesaikan masalah . (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Bagi masyarakat, Sialang merupakan pohon yang sakral. Foto Surana/Dok KKI Warsi
Pesona Sejuta Madu, Dibalik Petuah Sialang
Suara nyanyian, atau bahkan lebih menyerupai mantera–mantera terlantun indah memecah dalam kesunyian malam. Di tengah hutan nyanyian itu semakin menambah kesan mistis pada upacara pengambilan madu, yang dilakukan masyarakat Pagar Desa Kecamatan Bayunglincir Kabupaten Musi Banyuasin. Meski berada di tengah kawasan hutan tanaman industri milik Sinar Mas Forestry, masyarakat Pagar Desa yang merupakan keturunan Marga Bayat meyakini pohon sialang merupakan pohon kehidupan.
B
agi penduduk desa, sialang (Ampelocissus thyrsiflorae) merupakan pohon yang pantang untuk ditebang. Soalnya, pada pohon berdaun kecil dengan tinggi mencapai 50 meter serta berdiameter hingga 2 meter ini, lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarangnya, yang kemudian penghasilkan madu. Dengan menjaga kelestariannya, sialang menjadi pohon bertuah yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya. Di desa ini pohon sialang dimiliki oleh masingmasing keluarga besar dalam susunan adat yang berlaku di masyarakat. Kepemilikan ini terjadi jika individu pertama penemu dan pemilik sialang hanya mewaris-
kan pohon madu sialangnya kepada anggota keluarganya sendiri secara turun-temurun. Jika dia memiliki banyak pohon sialang biasanya dia membagi satu atau lebih pohon tersebut ke anggota keluarganya yang lain, namun jika dia hanya memiliki satu pohon sialang, maka dia membagi dahan dan cabang pohon yang ada sarang madunya secara merata kepada anggota keluarga lainnya. Ritual pengambilan madu sendiri biasanya dilaksanakan sebanyak dua kali dalam kurun waktu satu tahun. Proses pengambilan yang sering dikenal dengan istilah panen ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya, jumlah bunga-bunga pohon lain yang berme-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
35
SUARA RIMBA
36
karan di sekitar sialang, merupakan faktor penting madu dapat dipanen atau tidak. Seperti yang diungkapkan, Sani (47) pria kelahiran Marga Bayat yang sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya menjalani profesi sebagai “piawang”. Piawang merupakan sebutan bagi pemimpin rombongan pada ritual pemanenan madu. Kelebihan yang dimiliki oleh piawang ini lebih kepada bakat alami, lebih cenderung bersifat turun–menurun dari generasi ke generasi berikutnya. Sebelum pemanenan ditambahkan ayah tiga orang anak ini, piawang melakukan ritual pembacaan mantera sambil mengelilingi pohon sialang. Kemudian dilanjutkan dengan piawang menepuk-nepuk banir pohon sialang dan memukul pantak di banir pohon dengan menggunakan alat pemukul yang biasanya disebut jerambang. Kegiatan ini berfungsi, untuk memastikan kondisi pantak cukup kuat atau tidak dinaiki. Setelah ritual tersebut, piawang akan mendapatkan isyarat dari penunggu pohon sialang dan ratu lebah madu yang berada di puncak pohon, apakah pada saat itu madu sudah bisa untuk dipanen atau belum. Jika isyarat yang diterima oleh piawang berbunyi madu belum bisa untuk dipanen, tapi masih tetap dilanggar juga, biasanya akan berakibat malapetaka atau bencana kecelakaan bagi piawang dan warga lainnya yang ikut . Setelah semuanya siap, piawang akan mulai menaiki pohon sialang dan mulai mengusir lebah-lebah dari sarangnya dengan menggunakan asap dari tunam sambil juga membaca manteramantera. Piawang akan mulai memotong sarang madu satu persatu mulai dari jerambang hingga ke ujung ranting pohon yang berisi sarang madu, kemudian memasukkannya ke dalam wadah temangkur dan menurunkanya ke bawah dengan menggunakan tali bobotan. Warga lain yang berada di bawah akan menyambut wadah temangkur, kemudian sarang lebah madu tersebut langsung diperas secara tradisional untuk diambil madunya. Madu yang sudah diperas dimasukkan ke dalam wadah dan setelah semua tahapan pemanenan selesai langsung dibawa ke desa. Setelah pemanenan bisanya piawang juga membaca mantera-man-
SUARA RIMBA
tera tanda ucapan terima kasih kepada penunggu pohon sialang dan ratu lebah. Pembagian hasil panen madu sialang yang dipanen biasanya habis dibagi tiga, yaitu untuk pemilik pohon sialang satu bagian; untuk piawang satu bagian; dan satu bagian lainnya untuk warga yang ikut membantu proses pemanenan dimana pembagiannya akan dibagi rata untuk semua wargayang ikut. Proses pemanenan ini biasanya diikuti oleh seluruh laki-laki dewasa yang ada di desa tersebut, minimal tiga orang di luar pemilik dan piawang. Rata-rata setiap satu pohon sialang menghasilkan madu antara 20 hingga 100 liter. Pasca panen Madu yang baru dipanen tidak mendapatkan perlakuan khusus. Belum ada teknologi tepat guna yang digunakan di Pagar Desa untuk menjaga dan meningkatkan kualitas madu sialang. Bisanya madu langsung dimasukkan ke dalam botol-botol secara konvensional untuk kemudian langsung dijual. Rata-rata harga madu di Pagar Desa berkisar antar Rp 20.000,hingga Rp. 25.000,- per liter madu. Tidak ada pemasaran yang pasti, masyarakat biasanya membawa dan menawarkan langsung madu-madu mereka kepada para pembeli secara konvensional baik yang berada di desa-desa tetangga, pasar Kecamatan Bayung Lencir maupun kepada para karyawan perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar desa mereka. Disamping ketidakpastian pasar (penampung tetap), kondisi ini juga diperparah dengan warna madu yang coklat kehitamhitaman sehingga membuat pembeli menjadi kurang tertarik. Tampaknya terkait dengan kendala itu, pemerintah daerah Musi Banyu asin melalui Dinas Kehutanan Sekayu memberikan bantuan sebuah peralatan ekstraktor madu. Peralatan itu, diberikan untuk mendapatkan hasil madu yang baik dan berkualitas. Sementara itu, permasalahan pemasaran hingga saat ini pihak pemda masih mencarikan solusi dengan membentuk sistem penjualan kolektif.(Elviza Diana/ Surana)
Sialang di Pagar Desa. Foto: Surana/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
37
Manau Selamatkan Orang Rimba di Sungai Terap
O
Untuk memanen manau, terlebih dahulu dilakukan survey untuk mencari lokasi manau yang layak untuk di panen. Manau yang ditemukan layak panen, akan diberi tanda oleh kelompok yang menemukannya. Tanda-tanda ini dapat berupa gegelangon yaitu tali yang di ikatkan pada manau, tukak tanggo yaitu menetak bagian manau dan rerambo yaitu membersihkan sekitar manau.
rang Rimba sangat terkenal tangguh dalam mempertahankan hidup mereka di tengah hutan. Mereka bisa tetap hidup eksis kendati tantangan hidup yang mereka alami berat. Berburu, meramu dan mengambil hasil hutan, adalah cara-cara Orang Rimba untuk mempertahankan hidup mereka. Rotan manau (Calamus manan Miq), yang oleh Orang Rimba disebut manau merupakan salah satu hasil hutan yang mendukung kehidupan mereka. Ketika musim bermanau tiba, Orang Rimba akan melibatkan semua anggota kelompoknya dalam kegiatan ini. Saat ini salah satu kelompok yang kini tengah bermanau adalah Kelompok Tumenggung Marituha yang kini berdiam di perkebunan sawit PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL), sekitar 5 km dari Sungai Terap, Taman Nasional Bukit Duabelas yang sebelumnya merupakan tempat hidup mereka. Namun karena ada tabu kematian mereka harus berpindah tempat sementara perkebunan sawit yang disebut dengan tradisi belangun. Untuk bermanau Orang Rimba terlebih dahulu mencari lokasi manau yang sudah layak untuk di panen. Tumbuhan ini hidup menjalar diantara pepohonan lebat ini di hutan yang masih terpelihara dengan baik. Beberapa tempat habitat manau yang biasa dikelola Orang Rimba dapat ditemui di kawasan Sako Belido, Sako Lado Hilir, Sako Duo Talang (Anak Sako Lado), Sako Tebat (Anak Sungai Terab), Bangkai Anjing, Pelabuhon, Durion Sarut Dan Muno Todung. Sebelum memulai aktifitas bermanau, Orang Rimba akan membentuk kelompok-kelompok kerja yang anggotanya diatur berdasarkan hubungan kekerabatan. Kelompok ini sifatnya tidak terikat dan fleksibel bahkan bisa memilih anggota untuk setiap kelompok kerja. Seorang semendo akan ikut mertuanya untuk mencari manau.
Biasanya, Orang Rimba akan bermalam disekitar lokasi manau yang akan mereka penen, sebelumnya tentu mereka berburu terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan hidup selama bermanau. Aktifitas bermanau diawali dengan nuntung poncak yaitu memotong ujung manau dengan cara memanjat pohon. Setelah ujung manau di potong barulah dilakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan kayu sepanjang tiga depa tangan yang oleh Orang Rimba satu depa diperkirakan satu meter. Sebatang manau dapat menghasilkan empat sampai 10 tuntung, dimana satu tuntung sama sekitar tiga meter. Manau yang telah dituntung (potong) dan kemudian dibersihkan dengan cara membuang duri-durinya. Manau-manau ini dikumpulkan dan diikat beberapa batang, untuk memudahkan memobilisasinya ke luar hutan. Biasanya memanen sampai dengan mengikat manau akan menghabiskan waktu hingga seminggu. Mobilisasi manau ke luar hutan, biasanya membutuhkan waktu seminggu lebih, tergantung dari medan yang dilalui. Manau akan di angkut ke tempat yang telah disepa-kati dengan toke yang sebelumnya sudah dihubungi dan bersedia menampung manau Orang Rimba. Manaumanau ini dikelompokkan berdasarkan ukurannya, yaitu ukuran besar (L), yang biasanya sebesar lengan orang dewasa, ukuran sedang (M) atau sebesar baterai senter, ukuran kecil (S) lebih kecil dari baterai senter dan ukuran sangat kecil (SS) sebesar ibu jari, dan afkir yaitu merupakan manau yang rusak atau terlalu muda ketika di panen. (Jusia Hari Abdi).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
AKTUAL
38
AKTUAL
Hutan Terpelihara, Remaja Menjaga
Perambahan hutan di zona penyanggah sering menimbulkan konflik. Foto Dok KKI Warsi
Penyelamatan Zona Penyangga Untuk Mendukung Pelestarian Hutan Penting Menemukan Solusi Konflik Pengelolaan Kawasan Hutan
T
idak bisa dipungkiri sumber daya hutan semakin menipis seiring dengan terjadinya alih fungsi hutan untuk berbagai penggunaan seperti HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit hingga transmigrasi. Akibatnya kawasan kelola masyarakat semakin sempit. Kondisi ini mau tidak mau mendorong masyarakat untuk mengakses sumber daya hutan yang masih tersisa, baik yang berstatus hutan produksi bahkan lindung. Jika hal ini dibiarkan terus menerus tentu akan menyebabkan semakin rusaknya kawasan hutan tersisa. Untuk itu dibutuhkanlah kebijakan dan kerjasama semua pihak dengan memberikan solusi nyata bagi kehidupan masyarakat dan juga pelestarian kawasan. Terlindungi atau tidaknya kawasan hutan dari berbagai ancaman akan sangat ditentukan oleh keberadaan zona penyangga kawasan. Seperti di Kabupaten Batanghari yang memiliki kawasan konservasi berupa Taman Nasional dan juga hutan produksi yang dikelola melalui skema Restorasi Ekosistem tentu memerlukan langkahlangkah kongkrit untuk mengamankan kawasan tersebut. Untuk itulah kemudian perlu adanya dikelola secara lebih menyeluruh dan konprehensif dengan memerhatikan kepentingan masyarakat dan juga pelestarian lingkungan. Di Batanghari di beberapa desa yang menjadi penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas tengah diusulkan supaya bisa dikelola masyarakat dengan skema Hu-
tan Desa. “Dengan skema ini harapannya masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan dan sisi konservasi kawasan tersebut tetap dapat dipertahankan sebagai kawasan hutan,”kata Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat. Menurutnya pengelolaan kawasan penyangga akan sangat menentukan. “Jika pengelolaan penyangga baik, maka kawasan ini juga akan baik, untuk itulah perlu diberikan win-win solution yang saling menguntungkan baik bagi masyarakat maupun untuk pelestarian lingkungan dalam satu skema yang tepat,”katanya. Dikatakan, banyak masyarakat yang bermukim dan hidup di sekitar maupun di dalam kawasan hutan. Ketergantungan terhadap sumberdaya hutan inilah yang kadang mendorong masyarakat untuk hidup dan mengeksploitasi kawasan hutan negara. Zona penyangga merupakan kawasan yang paling sering dibuka dan dikuasai, bahkan dibeberapa tempat ada yang sudah masuk ke dalam kawasan hutan. “Kita menyadari bahwa keberadaan masyarakat di sekitar maupun di dalam kawasan hutan tersebut, merupakan sumber konflik yang terus berlangsung hingga kini,”sebutnya. Untuk itu lanjut Rakhmat sangat diperlukan berbagai upaya pemahaman dan penyadaran atau bahkan upaya untuk mencari solusi dari persoalan tersebut melalui skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat, terutama dalam pada daerah yang merupakan penyangga bagi kawasan lindung, taman nasional dan restorasi ekosistem.(Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Namaku Pohon Saat Matahari tersenyum kembali Memberikan sejuta kehangatan kepadaku Memberikan energi untuk hidupku Hijau muda warna daunku Tegar berdiri hijau dan bercabang Tumbuh subur di dalam hutan Tubuhku sempurna dan berakal tunggal Akar dan daunku dijadikan obat-obatan Banyak burung-burung hinggap di dahanku Tetapi Jika penebang terus dilakukan Maka Matilah aku dan Menangislah Bumiku
(Puisi karya Adrianto SMA Triguna Mandiangin Sarolangun)
Peningkatkan kreatifitas siswa melalui mading diharapkan meningkatkan pengetahuan tentang hutan dan pelestariannya. Dengan mengangkat tema hutan dan remaja, dapat membuat generasi muda khusunya para pelajar untuk lebih peka terhadap keberadaan hutan yang ada di sekitar mereka. Meningkatkan kecintaan mereka terhadap hutan melalui pola pendekatan dan peningkatan pengetahuan remaja itu sendiri dengan upaya pelestarian hutan, merupakan solusi yang ditawarkan. Meskipun tinggal dekat dengan kawasan hutan, bahkan ada beberapa orang yang tidak mengetahui manfaat hutan maupun keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Hal ini cukup membuat miris dengan dituntutnya remaja, sebagai nakhoda semesta ini, adalah sasaran tepat untuk meneruskan kelestarian alam yang terdapat di bumi ini. Dengan ide cemerlang, serta terus menggali ide-ide global dan idiom-idiom lokal, remaja diyakini mampu membawa tongkat estafet misi terwujudnya keasrian alam. Mading di beberapa sekolah bukanlah hal baru. Ada beberapa sekolah yang sudah mengaktifkan pembuatan mading dengan pola bergilir setiap kelasnya. Kendala mayoritas yang dihadapi masing-masing sekolah memang terkait dengan keberlanjutan dari majalah dinding itu.
R
iuh gelak tawa siswa berseragam putih biru dan putih abu-abu terdengar menyemarakkan pelatihan pembuatan majalah dinding yang dilakukan di salah satu sekolah di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun. Pertanyaan demi pertanyaan menyelingi sepanjang pemberian materi. Pelatihan ini, merupakan rangkaian awal dari acara lomba majalan dinding (mading) antar sekolah menengah yang diselenggarakan oleh KKI Warsi di Kecamatan Mandiangin. Perlombaan ini, dilatar belakangi dengan hasil survey analisa komunikasi partisipatif yang diadakan beberapa bulan yang lalu. Hasil survey tersebut menunjukkan, pemilihan majalah sebagai media komunikasi yang tepat dengan persentase tertinggi di Kecamatan Mandiangin sebesar 96,6% dari empat desa yang dipilih. Untuk menindaklanjuti hasil survey tersebut, KKI Warsi akan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kecamatan Mandiangin, mengadakan sosialisasi pembuatan majalah dinding di tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas. Selain sosialisasi, akan diadakan kegiatan Lomba Kreasi Majalah Dinding dengan tema “Hutan Dan Remaja”. Lomba Kreasi Mading ini juga diadakan dalam rangka memperingati Hari Bumi, pada tanggal 22 April.
Majalah dinding karya siswa MTs Nurul Huda Sarolangun. Foto: Syamri/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
39
AKTUAL
40
AKTUAL
Menurut keterangan beberapa guru pembimbing dan siswa yang hadir dalam pelatihan tersebut, majalah dinding di sekolah mereka biasanya hadir pada momentum tertentu saja. “Madingnya bersifat musiman, mba’ dan itu juga belum ada struktur organisasi yang jelas secara sekolah. Biasanya madingnya dikelola per kelas. Biasanya sekolah akan membuat mading jika ada perlombaan saja atau perayaan tertentu,” cerita Ketua Osis SMPN 16 Sarolangun, Sri Astuti.
Sedangkan untuk Kategori tingkat Sekolah Menengah Atas, SMA Tri Guna berhasil meraih juara I. Prestasi ini tidaklah diraih begitu saja, sebab seperti yang dipaparkan Adrianto selaku ketua tim madding SMA Tri Guna, mereka menyiapkan waktu khusus guna pengerjaan majalah dinding tersebut. Kemampuan merangkai berbagai macam tulisan, tata letak, karikatur, dan hal lain yang berkaitan dengan lingkungan, mampu diaplikasikan oleh SMA Tri Guna dengan baik.
Media dalam tulisan ini berarti sarana yang dipakai oleh warga sekolah dalam mengkomunikasikan segala yang ada di sekolah. Media yang dimaksud ini juga mampu mengembangkan potensi siswa dalam pembelajaran literasi, yaitu membaca dan menulis. Untuk itulah, sebagai sekolah yang berusaha menyiapkan generasi penerus, sudah selayaknya membuat media sekolah.
“Untuk perlombaan kali ini dengan tema hutan dan remaja, kami mencoba menggambarkan suasana hutan yang sebenarnya. Hutan, yang ada dalam benak saya adalah sebuah tempat yang rindang dengan pepohonan, dengan aliran sungai yang membelah bukit dan akhirnya merangas berubah menjadi hutan yang gundul dengan maraknya penebangan liar yang dilakukan dan pada akhirnya menimbulkan bencana.Apa yang kami pikirkan ini, coba dituangkan dalam bentuk tulisan dan beberapa karikatur “ ujar remaja berusia belasan tahun ini selaku ketua tim mading SMA Tri Guna. (Elviza Diana)
Diikuti 26 Sekolah Lomba Kreasi Majalah Dinding yang puncaknya digelar, pada tanggal 18 dan 19 Maret 2010 lalu, MTS Nurul Huda meraih juara I untuk Kategori tingkat Sekolah Menengah Pertama sederajat. Sekolah ini mengalahkan 15 sekolah lainnya di Kecamatan Mandiangin, antara lain SMPN 29 Sarolangun, MTS Raudhatul Tholibin, SMPN 22 Sarolangun, SMPN 33 Sarolangun, SMPN 23 Sarolangun, SMPN 16 Sarolangun, SMPN 9 Sarolangun, dan 8 sekolah lainnnya Prestasi yang diraih MTS Nurul Huda tidak mudah, sebab dewan juri, yang terdiri dari Sukamareni, Askarinta, dan Heriyadi Ashari, memilih kesesuaian tema, tata tulisan, kreativitas gagasan, dan tingkat keterampilan visual atau teknik.
Besudut, anak rimba pertama yang menamatkan sekolah formal. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Sekolah Formal untuk Anak Rimba Besudut Tamat SMP, Tiga Anak Rimba Berjuang Tamat SD
Para siswa-siswi SMA dan SMP yang mengikuti lomba majalah dinding dengan tema Remaja dan Lingkungan yang diselenggarakan KKI Warsi. Foto-Foto: Syamri/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
B
esudut boleh berbangga, betapa tidak, dia menjadi anak rimba yang pertama menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Anak rimba dari Kelompok Tumenggung Ngukir ini, yang disekolahnya diberi nama Herman Jalil itu, bersekolah di SMP Negeri 14 Tebo yang terletak di SP B Bangun Serenten Muara Tabir Kabupaten Tebo Jambi, sekitar 3 jam perjalanan kendaraan roda empat dari Kota Muara Tebo
ibukota Kabupaten Tebo. Besudut yang mengikuti program SMP Terbuka itu yang diselenggarakan sekolah itu sejak tahun ajaran 2009 dan duduk di kelas 3. Ia mengikuti UN bersama 138 orang rekannya yang terdiri dari 115 siswa regular dan 23 orang dari SMP Terbuka. Besudut lulus dengan mengantongi nilai 25,15, dengan nilai Bahasa Indonesia 6.80, Bahasa Inggris 5,60, Matematika 6,50 dan IPA 6,25. Ia cukup beruntung karena dari sekolah itu, juga terdapat 3 siswa yang tidak lulus ujian, yaitu satu dari kelas regular dan dua dari kelas terbuka. Untuk meraih ini semua tentu bukan perkara gampang bagi Besudut. Sebagai anak rimba yang tinggal di Bernai Makekal Tengah Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi, ia harus menempuh jarak 10 km untuk mencapai sekolahnya. Kadang ia menggunakan sepeda motor, kadang berjalan kaki. Sekolah formal adalah cita-cita anak pertama dari tiga bersaudara ini sejak lama. Besudut mulai mengenal
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
41
42
AKTUAL
AKTUAL
W
Menghitung Orang Rimba
Anak Rimba yang mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional di SD Air Panas Sarolangun. Besudut melihat pengumumam kelulusan di SMP 14 Tebo. Foto: Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
pendidikan sejak ia ikut sekolah alternatif yang di gagas KKI Warsi di kawasan Makekal Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi pada tahun 1999. Kala itu, Besudut bersama anak rimba lainnya, mengikuti pendidikan memperkenalkan baca tulis hitung pada kelompok Orang Rimba dari Kelompok Bepak Bepiun di bawah kepemimpinan Tumenggung Ngukir. Besudut sempat melewati jalan panjang untuk bisa menamatkan SMP, sempat diangkat anak oleh orang desa dan keluarnya dari Makekal serta bersekolah di SD Negeri Rantau Panjang. Mengecap pendidikan menengah pertama di Bangko, namun kerinduan pada keluarga menyebabkan dia kembali ke dalam rimba dan meninggalkan sekolahnya. Namun awal 2009 lalu, Besudut bertemu kembali dengan fasilitator pendidikan KKI Warsi yang mengajar alternatif untuk anak rimba di Makekal Tengah. Iapun mengutarakan niatnya untuk melanjutkan sekolah, namun dengan syarat dia bisa tetap tinggal bersama keluarganya. Untuk itulah kemudian KKI Warsi menjembatani Besudut untuk mendaftar di SMP 14 Tebo. Dengan program SMP terbuka, Besudut tidak sekolah setiap hari, namun hanya sekali dalam seminggu. Sistemnya, jika minggu ini ia datang hari Senin, maka minggu berikutnya ia datang pada hari Selasa, minggu berikutnya lagi hari Rabu, demikian seterusnya. Sehari menjelang sekolah Besudut akan keluar dari rimba. Ia kemudian menginap di pasar SP A Desa Jernih atau sekitar 20 menit dari sekolahnya. Bila beruntung bertemu dengan orang yang dikenalnya, biasanya Besudut akan ditawari tumpangan tidur di rumah penduduk, kedai atau kenalan lainnya. Jika tidak ada yang menawari, Besudut akan tidur di los pasar SP A. Keesokan harinya, ia akan membersihkan diri di fasilitas
umum yang ada di pasar itu dan berganti pakaian dengan seragam sekolah. Mata pelajaran yang digemari Besudut adalah Bahasa Indonesia dan yang kurang digemari adalah IPA. Namun untuk dalam menghadapi UN kemarin, ia belajar intensif. Buku paket dan bimbingan dari guru-gurunya sangat membantu Besudut dalam menghadapi ujiannya. Usai SMP, Besudut masih ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Rencananya masuk ke SMA 19 Tebo yang berada di Desa Pintas, sekitar 20 menit berkendara dari SMP-nya sekarang. Memang untuk keluar masuk rimba menjadi lebih jauh lagi. Untuk itulah dia berharap ada pihak yang benar-benar membantunya hingga menamatkan pendidikan SMA. Harapannya, ia bisa meraih cita-cita untuk menjadi pegawai atau guru yang berguna bagi Orang Rimba lainnya
Dengan Global Positioning System (GPS) di tangan, lebih memudahkan staf Warsi yang tergabung dalam tim sensus Orang Rimba dan Bathin IX di Jambi, untuk menemukan kelompok-kelompok komunitas yang masih hidup nomaden di hutanhutan dalam Provinsi Jambi. Tak jarang petugas sensus ini harus ikut bermalam di hutan untuk mensukseskan sensus penduduk yang di helat secara serentak di Indonesia.
arsi merupakan lembaga yang di gandeng Badan Pusat Statistik untuk mendata komunitas yang masih hidup berpindah atau yang dalam istilah BPS di sebut berada di luar blok sensus. Secara umum BPS melakukan sensus di dalam blok-blok sensus yang berada dalam wilayah administrasi desa atau kelurahan tertentu. Karena Orang Rimba dan Bathin IX yang oleh pemerintah disebut Suku Anak Dalam yang sebagian besar masih menyebar dan tidak tergantung pada wilayah administratif tertentu maka untuk mendata mereka dibutuhkan keahlian dan teknik khusus. GPS dan modal keakraban dengan kelompok-kelompok SAD ini, lebih mudah tim untuk melacak langsung keberadaan mereka. Walau tak jarang untuk melakukan tugas ini, tim yang dibentuk Warsi harus menempuh medan berat nan berdebu bahkan harus menginap di hutan untuk menemukan setiap kelompok yang akan di sensus.
Staf Warsi melakukan sensus terhadap Orang Rimba . Foto: Hadi Sulistio/Dok KKI Warsi
Menamatkan SD Pendidikan formal juga mulai menyentuh anak-anak rimba lainnya. Terdapat tiga anak rimba Begendang, Kemetan dan Bedingin dari kelompok Tumenggung Ngrip di Kedundung Muda Taman Nasional Bukit Duabelas, juga berjuang untuk menamatkan pendidikan dari SD Air Panas Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Meski sekolah di program SD terbuka dengan tatap muka dengan guru hanya sekali seminggu, anak-anak ini tetap bersemangat mengikuti ujian akhir sekolah yang berada di pinggir TNBD. Meski beberapa pelajaran masih belum mereka pahami, anak-anak yang berusia sekitar 14-15 tahun ini berharap bisa melanjutkan ke sekolah menengah. Mereka berharap, pendidikan yang sudah menjadi kebu tuhan itu, juga dapat mereka kecap sebagai bekal untuk menghadapi persaingan hidup kelak. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
43
44
AKTUAL
AKTUAL
45
Akhir dari Perjalanan Panjang Tata Batas TNBD Sensus Orang Rimba di wilayah Singkut Sarolangun. Foto: Erinaldi/Dok KKI Warsi.
“Dalam melakukan sensus ini, kita membagi areal kerja ke dalam 7 region yaitu yaitu Region 1 mencakup wilayah Singkut-Sarolangun, Region 2 SarolangunPemenang, Region 3 Bangko-Sungai Senamat hingga ke Penyanggah Taman Nasional Kerinci Seblat, Region 4 Bungo-batas Sumbar, Region 5 selatan Taman Nasional Bukut Tigapuluh, Region 6 Taman Nasional Duabelas dan Region 7 Bathin IX di wilayah Kabupaten Batanghari dan Muara Jambi,”kata Asisten Koordinator Projek KKI Warsi, Kurniawan . Secara umum, pendataan SAD ini berlangsung sukses, sebagian besar sudah selesai di data. Namun demikian juga terdapat satu kelompok yang menolak untuk di sensus. Seperti yang ditemui di kelompok Pengundang Leman di wilayah Trans A 3 Lantak Seribu Kecamatan Pemenang Kabupaten Merangin. “Kalo nak mendata kami, kami ndak mau lagi, mohon maap bae yo, kami lah kecewa, banyak yang datang tapi janji-janji bae, nasib kami macam inilah,” ujar salah satu anggota kelompok Pengundang Leman menolak kehadiran tim sensus. Penolakan ini, sebenarnya cukup beralasan, karena Pengundang Laman, selama ini cukup sering di datangi orang luar dan diberikan janji macam-macam. Kejadian biasanya muncul menjelang adanya perhelatan yang membutuhkan dukungan suara seperti pada pemilihan umum. Namun tim sensus Warsi tidak patah arang dengan penolakan ini, dengan melakukan pendekatan yang lebih intensif ke kelompok dan pihak-pihak lainnya, data kelompok Pengundang Laman tetap di dapatkan. Anak angkat Pengundang Laman, Muhamad Widori, termasuk yang cukup membantu dalam sensus penduduk di kelompok ini. “Dengan kegiatan ini, semoga pemerintah memiliki data kongkrit terkait dengan keberadaan komunitas asli Jambi, tentu dengan ini juga diharapkan adanya programprogram pembangunan yang diarahkan ke kelompok ini dan tepat sasaran,”kata Kurniawan. (Sukmareni)
Perjalanan panjang advokasi hutan dataran rendah Sumatera di jantung Provinsi Jambi menunjukkan titik terang. Kawasan Bukit Dua Belas yang ditetapkan menteri kehutanan menjadi kawasan Taman Nasional pada 2000 lalu, baru pada tahun 2010 ini dapat dicapai kesepakatan temu gelang untuk tata batas definitif dan dapat melanjutkan ke tahap berikutnya untuk pengukuhan Taman Nasional Bukit Duabelas.
B
erlarut-larutnya tata batas TNBD ini, disebabkan tertundanya penandatanganan Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan di Kabupaten Batanghari. Sebelumnya panitia tata batas di Kabupaten Tebo dan Sarolangun telah selesai melakukan kerjanya pada 2002 lalu. Sementara di Batanghari, tarik ulur sempat terjadi karena di beberapa titik batas sementara terdapat beberapa kebun masyarakat. Bukan hal mudah untuk mencapai kata sepakat, keberadaan kebun masyarakat di dalam TN ini dapat dikeluarkan. Masyarakat desa melalui organisasinya Persatuan Desa Penyangga (PDP), telah memperjuangkan hal ini sejak 2005 lalu. Masyarakat khususnya peladang yang memiliki kebun di dalam TN, berusaha melakukan pendekatan ke pihak balai untuk mendapatkan dukungan. Namun karena balai tn juga tidak memiliki kewenangan persoalan ini dilimpahkan ke BPKH (Balai Pemetaan Kawasan Hutan) UPT Dephut yang berkedudukan di Bangka Belitung selaku pihak yang berwenang untuk melakukan penatabatasan kawasan. Sementara untuk persoalan mengurangi luas atau menambah kawasan kewenangannya ada pada mentri. Hal ini menyebabkan masyarakat khususnya peladang harus menempuh jalan panjang untuk mendapatkan kesepakatan. Dengan didampingi KKI Warsi masyarakat peladang berusaha mewujudkan tercapainya kata sepakat dengan langsung menyurati menteri kehutanan, untuk mendapatkan kejelasan.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Tidak mudah meyakinkan para pihak dan mendorong adanya keberpihakkan pada masyarakat. Jalan panjang dan berliku ini, akhirnya disepakati de-ngan dikeluarkannya kebun masyarakat dari dalam taman pada akhir 2009. Panitia Tata Batas pun akhirnya dapat menandatangani berita acara tata batas definitif TNBD di Kabupaten Batanghari. Dengan adanya tata batas definitif yang disepakati semua pihak , menjadi landasan hukum dalam pengelolaan kawasan hutan dataran rendah Sumatera yang masih tersisa di Provinsi Jambi. Kesepakatan temu gelang tata batas ini, dilakukan secara partisipatif, sehingga masyarakat dapat menerima keberadaan dan mengakui taman nasional sekaligus Orang Rimba yang ada di dalamnya. Disisi lain dengan penetapan ini, pemerintah melalui Balai Taman Nasional dapat mengelola kawasan ini secara lebih aman, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat di dalam dan di luar taman nasional. Harapannya tentu kawasan ini, diharapkan dapat memberikan fungsinya sebagai kawasan hutan yang akan mendukung kehdiupan masyarakat di dalam dan luar kawasn. Bagi masyarakat di desa penyangga kawasan ini sangat penting untuk pengatur tata air, menghindari konflik antara masyarakat desa dengan Orang Rimba, dan memberikan jaminan pertanian yang lebih aman bagi masyarakat desa khususnya dari gangguan hama dan penyakit. Karena hutan merupakan agen hayati untuk mencegah hama dan penyakit tamanam secara alami. Sementara bagi Orang Rimba dengan adanya batas yang lebih jelas ini, juga akan memberikan jaminan untuk keberlangsungan hidup mereka, yang sangat bergantung dengan hutan. Kalau hutan habis, akan menyebabkan terjadinya marginalisasi kehidupan Orang Rimba di kawasan ini. (Ade Candra) Batas definitive TNBD akan memberikan jaminan perlindungan dan pengelolaan kawasan yang lebih pasti. Foto: Ade Candra/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
46
SELINGAN
SELINGAN Alasan ini dapat dibenarkan ketika berkaca pada kondisi lingkungan kepulauan Bangka yang dipenuhi dengan lubang-lubang menganggah disertai dengan timbunan pasir putih yang dikelilingi oleh semak belukar. Setelah dieksploitasi lebih dari 2 abad, kondisi lingkungan di Bangka mengalami kerusakan yang cukup parah, selain meninggalkan pula konflik kepentingan dalam mengeksploitasinya. Pada era kemerdekaan ini, konflik dipicu oleh peraturan pemerintah yang melarang rakyat melakukan penambangan timah, dan memberikan hak tersebut kepada dua perusahaan besar yaitu PT Timah dan PT Koba Tin berupa hak pengelolaan timah di Pulau Bangka oleh pemerintah pusat melalui Kuasa Penambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK).
Carut Marut Aturan Pengelolaan Timah Pengelolaan pertambangan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan. Sedangkan di dalam aturan berinvestasi pemerintah mengeluarkan berbagai kemudahan yang di dukung oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penaman Modal Asing. Di Undang-Undang ini disebutkan bahwa modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk memenuhi amanat Undang-Undang ini maka diberikan berbagai fasilitas bagi para penanam modal ini dan juga berbagai kemudahan dalam berinvestasi, seperti keringanan pajak dan lain sebagainya.
Tambang timah rakyat di Bangka, perlu kebijakan khusus untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Foto Amilda Sani.
Timah dan Nasib Ekologi Kepulauan Bangka Belitung Keberadaan timah di Indonesia tidak akan terlepas dari keberadaan Pulau Bangka. Sejarah panjang keberadaan sumber daya alam ini selalu diikuti dengan konflik berkepanjangan di antara rakyat dan penguasa, dan memicu konflik horizontal dan vertikal di masyarakat Bangka.
K
oran kompas (3,4 Oktober 2006) menulis bagaimana konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat dalam melakukan eksploitasi timah. Konflik ini mendorong 500 penambang timah berdemontrasi dan mengamuk di kantor gubernur Bangka. Aksi ini dikarenakan penutupan tambang timah rakyat dan industri peleburan timah secara paksa yang disertai dengan penangkapan para pengusaha timah oleh kepolisian. Alasan penutupan ini adalah untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat penambangan inkonvensional dan menghindari kerugian Negara akibat ekspor timah yang berlebihan.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Undang-Undang No.11/1967 mensyaratkan setiap perusahaan pertambangan di Indonesia harus memiliki hak Kuasa Penambangan (KP) atau Kontrak Karya (KK) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan. Berdasarkan KP dan KK, perusahaan pertambangan akan mendapat hak melakukan penambangan dalam jangka waktu berkisar antara 20 hingga 50 tahun. Hak ini memberikan kuasa kepada pengusaha untuk menguasai atas barang tambang yang ada di areal kuasa penambangannya dan diwajibkan untuk membayar iuran tetap dan iuran produksi pertambangan. Perundangan tersebut secara langsung mereduksi hak dan peran rakyat dalam pengelolaan sumber daya pertambangan, melalui pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Hak bangsa terhadap hasil tambang untuk kemakmuran bangsa secara prakteknya direduksi menjadi milik pemegang KP dan KK. Peraturan ini meniadakan hak rakyat dalam mengelolah sumber daya alam khususnya pertambangan. Kisruh tata kelola pertambangan ini sangat terasa pada masyarakat Bangka. Timah sebagai sumber daya alam yang berlimpah ini sejak dahulu tidak dapat disentuh oleh masyarakat Bangka. Di sisi lain PT Timah dan PT Koba Tin yang memiliki KP dan KK, mengelola dan menguasai lahan masyarakat secara de jure. Masyarakat tidak dibenarkan untuk melakukan aktivitas apapun di
areal tersebut tanpa seizin perusahaan. Aturan ini bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat yang secara de facto telah mendiami wilayah itu sejak dari masa nenek moyang mereka. KP dan KK yang dimiliki perusahaan ini memunculkan konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat setempat. Berdasarkan peraturan ini, maka kegiatan penambangan timah menjadi suatu yang diharamkan bagi masyarakat Bangka, selama lebih dari 2 abad, mereka hanya menyaksikan kekayaan bumi mereka dikelola oleh perusahaan Negara. Perubahan mendasar dalam pengelolaan tambang timah di Bangka mulai terjadi pasca krisis moneter yaitu dengan berubahnya status penambangan timah yang tidak lagi menjadi bahan galian strategis untuk menjamin perekonomian negara seperti termuat dalam UU No. 11/1967. Perubahan status terhadap bahan galian timah tersebut didasarkan pada SK Menperindag Nomor 146/MPP/Kep/4/1999. Implikasi langsung dari perubahan status ini adalah penambangan timah tidak lagi menjadi usaha penambangan yang dimonopoli oleh Negara melalui BUMN yang dibentuk atau ditunjuk oleh Negara. Timah menjadi bahan tambang bebas untuk dikelola dan diekspor oleh siapa pun. Selain SK Menteri tersebut, euphoria otonomi daerah juga memberikan kontribusi penting dalam perubahan model penambangan timah di Bangka. Undang-undang 32 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alamnya, yang mana pada awalnya hak pengelolaan ini dikuasai oleh pemerintah pusat. Kisruh penambangan timah mulai terjadi ketika dikeluarkannya SK Menperindag Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 tersebut dimana timah bukan lagi sebagai bahan galian strategis. Tafsir yang muncul kemudian adalah timah merupakan barang bebas yang perdagangannya tidak diawasi dan dilarang. Tafsir ini juga dipicu oleh keluarnya SK Bupati Bangka No. 540.K/271/Tamben/2001 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk Pengolahan dan Penjualan (ekspor). SK Bupati ini dikeluarkan karena SK Menperindag No. 294/MPP/ Kep/10/2001 tidak memuat aturan tentang tata niaga komoditas timah. SK Bupati ini menjadi legalitas masyarakat bahwa pengelolaan dan ekspor timah dapat dilakukan oleh siapa saja. Akibatnya, perusahaan-perusahaan penambangan lokal (tambang inkonvensional/ TI) dan industri peleburan timah (smelter) tumbuh subur. Timah dari hasil TI ini dapat dijual ke smelter mana saja, sehingga penjualan timah bukan lagi suatu yang sulit seperti masa lalu. Aturan ini ditafsirkan sebagai peluang bagi rakyat untuk mulai berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan timah. Pertambangan timah yang dikelola oleh rakyat secara mandiri. Timah digali hampir di semua wilayah Pulau Bangka, bagi mereka yang memiliki modal kecil membuka tambang timah lama yang berada di sekitar
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
47
SELINGAN
48
desa mereka. Menurut warga setempat menambang dibekas tambang lama tidak butuh modal besar. “Tidak mahal kalau mau buka TI, modal hanya untuk beli mesin sedot dan peralatan lain, habisnya sekitar 12 juta, kami ini usaha kecil, yang kerja keluarga, anak menantu. Jadi tidak banyak biaya yang keluar. Lokasi yang dibuka di tanah sendiri atau membuka bekas tambang lama,”kata Usman warga setempat yang menggeluti usaha TI. Bagi yang memiliki modal besar seperti mantan staf PT Timah membuka tambang dengan skala lebih besar layaknya Tambang Karya yang diusakan oleh perusahaan. Hasil tambang ini dijual langsung ke smeltersmelter yang terdapat di pulau Bangka. Terdapat 25 smelter di Pulau Bangka yang menampung biji timah dari TI ataupun TK.
Kebijakan Mengurangi Kerusakan Lingkungan Penambangan timah dalam jangka panjang di Pulau Bangka, tentu bukan tanpa konsekwensi nyata pada lingkungan. Kerusakan lingkungan akibat penambangan timah ini tampak nyata ketika kita mulai menginjakkan kaki di pulau ini. Gundukan tanah berwarna putih atau kolong-kolong sangat mudah ditemukan di Kota Pangkal Pinang. Kegiatan penambangan yang dilakukan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi dan mutu ekologi wilayah tersebut dan berakibat jangka panjang bagi kehidupan masyarakat setempat. Kondisi yang kasat mata dapat terlihat adalah banyaknya kolongkolong atau lubang tambang (pit) yang ditinggalkan begitu saja dan akhirnya menjadi danau-danau dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Danau-danau yang berasal kolong-kolong bekas penambangan ini memiliki kualitas air yang buruk. Air yang terdapat dalam kolong tersebut mengandung berbagai logam berat yang tersisa dari aktivitas penambangan. Air yang bersifat asam ini berpotensi merembes ke dalam system air tanah sehingga mencemari air tanah yang ada di wilayah tersebut. Sistem air tanah dan permukaan yang telah terkontaminasi oleh logam berat akan sangat sulit untuk ditangani.
SELINGAN
arsen. Logam berat ini apabila terkonsumsi oleh manusia dalam jangka panjang akan terakumulasi dalam jaringan tubuh dan akan berdampak membahayakan dalam jangka waktu lama. Aktivitas penambangan di Pualu Bangka dan Belitung juga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Bappedalda babel 2007 lalu merilis kerusakan hutan di Babel mencapai 400.000 hektar atau mencapai 60% dari kawasan hutan Babel. Kerusakan ini didominasi oleh kehadiran kolong-kolong tambang yang mencapai 877 lokasi, tidak dikelola setelah penambangan. Contoh dari kerusakan ini terjadi di muara sungai Kurau, kawasan hutan lindung Pelawan, serta DAS Perimping. Hutan mangrove yang mengelilingi daerah tersebut mengalami kerusakan yang parah akibat penambangan timah yang dilakukan secara illegal Contoh nyata dari kerusakan ekologi ini tampak di desa Kota Kapur dan tetangganya desa Penagan. Sungaisungai di daerah ini dalam kondisi berwarna keruh dan tingkat endapan lumpur yang tebal. Lumpur ini merupakan sisa dari tailing Pencemaran ini hal yang paling mudah ditemukan di daerah yang aktivitas penambangannya sangat tinggi. Pada penambangan illegal, kondisi kerusakan ekologi sekitarnya lebih parah lagi karena limbah dari proses penambangan tersebut tidak mengalami proses pengolahan sebelum dialirkan ke sungai. Masalah kerusakan sumber daya air ini menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di masyarakat tersebut, selain itu endapan lumpur yang tebal berdampak pada habitat hutan mangrove yang berada di sekitar desa ini, sehingga produksi udang dan kepiting yang dihasilkan dan menjadi mata pencaharian nelayan menjadi berkurang. Carut marutnya aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung ini harus dibayar mahal oleh kerusakan ekologi pulau yang telah dikenal dalam sejarah panjang pertambangan di Indonesia ini. Bangka seolah terkoyang oleh kepopulerannya sendiri yaitu tima. Nasib ekologi Kepulauan Bangka Belitung semoga tidak sekelam timah yang dikeruk dari perut buminya. (Amilda Sani)
Selain keberadaan kolong-kolong, sisa dari proses penambangan atau tailing juga menjadi masalah lingkungan. Tailing yang dihasilkan sangat besar, lebih dari 90% dari timah yang diolah akan menjadi tailing. Tailing ini mengandung kadar logam berat yang tinggi, karena mengandung tembaga, timah hitam, merkuri, seng, dan Kawasan pertambangan yang merusak lingkungan. Foto: Amilda Sani
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Anak-anak Pulau Bangka lebih memilih untuk ikut menambang timah ketimbang bangku sekolah. Foto: Amilda Sani
Dunia Anak-anak Kota Kapur, Antara Lokasi Tambang Timah dan Sekolah Dengan bermodalkan ember dan dulang sederhana aktivitas ngelimbeng ini dilakukan anakanak dan perempuan Kota Kapur Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka. Kegiatan yang lazim ditemukan di pulau yang kaya timah ini, nampaknya menjadi andalan baru bagi kehidupan mereka. Ngelimbeng merupakan istilah yang mengacu pada kegiatan mengais-ngais sisa timah yang terbawa air dan tidak terangkat oleh para penambang resmi.
A
nak-anak itu tambak ceria dengan aktifitas mereka. Sambil tertawa dan bersenda gurau, mereka berendam dalam kubangan air berlumpur, tangan-tangan mereka cekatan menimba pasir ke dalam ember. Lobang-lobang menganga tampat mereka ngleimbeng telah menjadi areal permainan baru, apalagi di lobang-lobang ini mereka tetap bisa berkumpul dengan anggota keluarga lain yang juga terlibat dalam
aktifitas ini. Bapak bertugas menyedot pasir dari lubanglubang tambang yang mengangga, atau ibu sambil menggendong adik mereka, mengeruk sisa-sisa pasir yang terbawa air keluar dari kotak penyaring timah, begitu pula dengan saudara perempuan mereka. Suasana areal penambangan timah ini seperti arena pasar di kota. Penjual es, mpekmpek, dan bakso pun dapat ditemukan di areal ini.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
49
50
SELINGAN
MATAHATI
Ritual Memandiko Budak
Seorang ibu yang ngelimeng sambil menggendong anaknya yang berumur dua tahun menceritakan alasan mengapa membawa anak-anaknya ke lokasi tambang itu. “Dari pada ditinggal di rumah sendiri, kito kerjo waswas juga, lebih baik dibawa ke sini, dio bisa maen dengan kakaknya,” katanya.
Selamatkan Bayi, Agar Terhindar Dari Berbagai Penyakit.
E
Ketika matahari mulai redup sinarnya, secara berkelompok, keluarga-keluarga ini kembali ke rumah mereka masing-masing. Sehari telah berlalu, pulang dengan membawa timah yang telah berhasil mereka peroleh hari ini.
mbun pagi masih menetes di dedaunan. Burungburung berkicau merdu. Silih berganti bergegas meninggalkan sarang, mengepakkan sayap, terbang dan hinggap dari ranting ke ranting sembari berharap menemukan sarapan pagi di pohon-pohon yang dihinggapi.
Aktifitas yang digeluti oleh warga Kota Kapur ini, menyebabkan denyut kehidupan di siang hari seolah mati. Menyusuri desa ini disiang hari hanya akan mendapatkan kesenyapan, tak akan ditemukan gerombolan anak-anak yang bermain di sekitar rumah mereka, hanya deru mesin kompresor dari kejauhan yang menjadi pertanda desa ini.
Keriangan pagi itu Selasa (18/5), bertambah ketika di kejauhan terdengar senandung rimba dari mulut mungil anak-anak rimba sepanjang jalan yang mereka lalui. Pagi itu, suasana rimba memang berbeda dari sebelumnya. Orang Rimba sungai Bernai, Makekal Tengah, Taman Nasional Bukit Duabelas tengah bersiap untuk menyelenggarakan ritual memandiko budak. Sejenis acara turun mandi dikalangan masyarakat melayu, namun lebih kental nuansa mistis. Besar kecil, tua muda berbondong-bondong menuju sungai Talang Kayu Bulan untuk menghadiri ritual yang melibatkan pemanggilan dewa-dewa kepercayaan Orang Rimba.
Namun begitu malam tiba, kehidupan baru berdenyut. Warung-warung kopi dipenuhi lelaki yang mengobrol sesame mereka. Pemuda desa ramai lalu lalang di jalan desa. Gadis-gadis desa berkumpul sambil bersendahgurau dengan tangan tak lepas dari handpone kemudian sibuk mencari sinyalnya. Walaupun belum dilayani PLN dan sinyal handpone yang kadang ada kadang hilang, namun desa ini selalu terang benderang. Maryani (13), datang dan bergabung dengan menampilkan senyum cerah ikut berkumpul sambil nonton sinetron cinta fitri yang ditayangkan stasiun televise swasta. “Lah ku jual punyaku, 1,5 kg, dapatlah duit 75 ribu, untuk nonton organ tunggal di Penagan besok,” ujar Maryati pada teman-temannya, tentang penjualan biji timah yang berhasil didulangnya. Ekspresi gembira ini juga disambut dengan cerita teman-teman ABG-nya yang lain. Kegembiraan Maryani juga dirasakan oleh anak-anak seumurnya yang melakukan kegiatan mendulang timah. Hampir semua anak di desa ini terlibat dalam penambangan timah. Ada yang melakukannya usai sekolah, atau malah ada yang berhenti sekolah karena ikut mendulang timah. Nirwana, seorang guru Agama Islam di desa ini, menyebutkan, dengan harga timah yang sedang turun dari segi pendidikan justru menguntungkan. “Jika harga timah turun banyak anak-anak yang mau datang ke sekolah, sewaktu harga timah mencapai Rp 95.000/kg, murid yang datang ke sekolah tidak lebih dari separuhnya. Mereka lebih senang ke TI,” ujar Nirwana.
Kegiatan menambang yang dilakukan masyarakat. Foto: Amilda Sani/Dok KKI Warsi
Berbeda dengan cerita Laskar Pelangi-nya Andre Hirata yang menggambarkan keceriaan anak-anak pulau Belitong menuju sekolah mereka. Keceriaan anak-anak Kota Kapur malah mereka temukan di areal penambangan timah. Timah seperti memberikan denyut kehidupan di desa ini setelah harga lada dan karet jatuh di pasaran. Orang tua merasa terbantu ketika anak-anak mereka telah mampu membiaya kehidupan mereka sendiri dari hasil ngelimeng. “Coba ibu lihat, semua rumah punya sepeda motor terbaru, semua rumah punya genset sendiri, itu semua hasil dari kerja di TI,” ujar kepala Desa Kota Kapur, yang membandingkan kehidupan warganya sebelum adanya kegiatan TI dilegalkan. Sampai kapan timah akan menpang kehidupan, dan sampai kapan pendidikan akan terbengkalai. Tentu ini menjadi PR bersama para pihak yang peduli dengan masyarakat Bangka dan masa depannya. (Amilda Sani)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
Menurut Penghulu Makekal Tengah Temenggung Ngukir, ritual ini dilakukan untuk memohon pertolongan dewa untuk keselamatan di anak hingga besar nantinya. “Mandiko budak ebun yoya maksudnye supayo budak yoya dijego padonye bahelo, biak piado diganggu setan dan penyakit-penyakit. Iyoya samo juga maksudnye untuk nyelamotkan budak (memandikan bayi ini supaya bayi dilindungi dewa, dijauhi gangguan setan dan penyakit. Sama juga artinya dengan syukuran bayi),”sebut Tumenggung.
Kali ini bayi bernama Smokel Bunga yang menjadi pusat ritual ditengah belantara itu. Anak ketiga pasangan Begantung (29) dan Begurou (24) yang telah berumur satu setengah bulan, untuk pertama kalinya akan merasakan dinginnya air sungai. Ritual ini dilakukan saat matahari baru muncul di ufuk timur. Pelaksanaan ritual ini, sebelumnya telah dibahas di dalam anggota kelompok. Mereka memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan ritual ini. Biasanya pada awal bulan atau pada waktu bulan baru muncul di malam harinya.
Pada ritual memandiko budak, bayi Orang Rimba dipasangi kalung, cincin dan anting. Foto Lander RJ/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
51
MATAHATI
52
MATAHATI
Mimpi “Sarjana-Sarjana Universitas” Simpang Macan Anak Rimba di TNBD. Setiap kelahiran bayi selamat dilakukan ritual memandiko budak ketika bayi berumur 1-1,5 bulan. Foto Lander RJ/ Dok KKI Warsi.
Tumenggung menjelaskan, bayi yang akan dimandikan biasanya berumur satu sampai dua bulan tergantung kapan bayi tersebut lahir. Jika lahir akhir bulan ini, dia akan dimandikan pada awal bulan kedua dari bulan ini. Jika dia lahir pada awal bulan ini dia akan dimandikan diawal bulan depan. Bagi Orang Rimba, ritual ini sangat skral, sehingga tidak dapat disaksikan oleh orang di luar komunitas mereka. “Acara nioma, acara memanggil para dewo, jedi pitahu di koli urang meru, karno dewo iyoi piado detong, kalo sumpamo ado urang meru (Ritual ini merupakan ritual memanggil para dewa, jadi tidak bisa disaksikan oleh orang luar, karena dewa tidak akan datang bila ada orang luar),” kata Pemuka Adat Bernai Bepak Bepiun. Sebelum acara ini diselenggarakan. Terlebih dahulu ditentukan tempat yang cocok untuk melakukan acara ini. Kemudian dilanjutkan dengan membangun pondok dan jamban untuk tempat memandikan budak. Pekerjaan ini dilakukan bersama-sama oleh Orang Rimba sehari sebelumnya acara. Sekeliling tempat dibangunnya pondok diterbas sampai bersih sekitar sepuluh meter sampai 15 meter . Menurut penuturan Bepak Bepiun setelah dibuat pondok dan areal sekelilingnya bersih, tempat acara akan dilangsungkan ini dipagari dengan kain. Kain tersebut disampirkan pada rotan yang dipasang mengeliling pondok sampai ke sungai tempat jamban. Bagi Orang Rimba yang datang pada acara ini, mereka juga harus mengenakan kain baru.Menurut kepercayaan Orang Rimba, kalau memanggil dewa-dewa harus menggunakan kain baru, jika menggunakan kain yang pernah bersentuhan dengan dunia orang luar komunitas mereka, diyakini dewa tidak akan datang. Un-
tuk dukun yang bertugas sebagai pemanggil dan perantara Orang Rimba dengan para dewa, ia akan memakai kain yang disarungkan terikat sebatas pinggang, kepala diikat dengan tangkuluk, serta dibahu disampirkan kain hingga menutup dada.
Jika tokoh Lintang dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata banyak mendapat apresiasi publik sehubungan dengan keinginan kuatnya untuk sekolah, maka tak kalah dengan apa yang diusahakan oleh anak-anak dari komunitas Bathin IX—yang sering juga disebut Suku Anak Dalam--yang ada di dalam kawasan restorasi ekosistem, tepatnya di wilayah Simpang Macan Bagian Dalam, Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Jambi.
L
angkah-langkah kecil tanpa alas kaki belasan anak-anak komunitas Bathin IX lebih riang dari biasanya. Pagi itu mereka ikut ke lokasi tempat orang tua mereka bergotong royong dalam rangka membangun sekolah untuk mereka. Mereka seolah tak mau ketinggalan, ikut berpatisipasi, membantu mengangkut kayu dari hutan untuk tiang-tiang bangunan sekolah sederhana mereka. Itulah sekelumit gambaran kegiatan gotong royong yang dilakukan komunitas Bathin IX untuk mendapatkan pendidikan setelah 70 tahun Indonesia Merdeka.
Setelah semua hadir, dukun memimpin acara berdedekiron. “Berdidikiron nio memantau dewo, budak nang ndok dimandiko yoya, dibuwoi neneknyo, dibewo beputor hanggo sungoi sodae dimandiko (berdedekoron ini untuk memanggil dewa, bayi yang mau dimandikan ini digendong oleh neneknya dan dibawa keliling sampai ke pinggir sungai yang sudah dibuat untuk pemandian, baru kemudian bayinya mandikan),”lanjut Bapak Bepiun yang juga kakek dari bayi ini. Ketika bayi dimandikan, orang-orang yang lain tetap berdidikiron dan menari-nari mengelilingi pondok. Suara tangisan bayi yang terkena air sungai menyatu dengan suara dedekiron memohon pertolongan dewa supaya bayi yang dimandikan selamat dan terhindar dari berbagai penyakit. Setelah selesai dimandikan dibawa kembali ke dalam pondok, kemudian bayi tersebut didandani, dipasangkan gelang-gelang, cincin, dan kalung-kalung. Menurut Temiyang, Orang Rimba Bernai lainnya. acara ini berlangsung sekitar dua jam, setelah ritual selesai biasanya dilanjutkan dengan acara makan-makan yang ditanggung oleh orang tua bayi yang dimandikan. Namun acara makan-makan ini sangat tergantung pada kemampuan orangnya, ada yang dilanjutkan dengan makan-makan namun ada juga yang tidak ada jamuan makan. Ritual ini terkadang dilakukan hampir setiap bulan, tergantung pada berapa banyaknya bayi yang lahir dengan selamat.(Nopri Hidayat)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
: Anak-anak komunitas Bathin IX tengah belajar. Foto Dinaldi /Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
53
54
MATAHATI Simpang Macan, merupakan salah satu titik sebaran komunitas Bathin IX yang berada di dalam kawasan restorasi ekosistem. Seperti anak-anak dari komunitas adat lainnya, anak-anak dari komunitas Bathin IX juga kurang mendapatkan akses akan layanan maupun sarana prasarana pendidikan yang layak untuk masa depan mereka. Walau mereka juga sudah mulai menyadari bahwa pendidikan sangat penting untuk kehidupan mereka. Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan pikiran untuk mendirikan sekolah sederhana secara swadaya di komunitas ini.
dampingan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan restorasi ekosistem--dengan pola pendidikan alternatif, sejak beberapa bulan silam. Kegiatan belajar mengajar ini biasanya dilakukan di rumah-rumah pondok warga. Dari fasilitasi Warsi, muncul inisiatif untuk membangun sebuah bangunan sekolah sederhana agar para anakanak dapat bersekolah dan belajar dengan cukup layak dan nyaman. Selain tempat kegiatan belajar mengajar, bangunan ini juga akan dijadikan sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah dari komunitas yang ada di Simpang Macan.
Gotong Royong yang dilakukan pada Minggu awal Mei 2010 lalu merupakan rangkaian kegiatan komunitas untuk mewujudkan mimpi anak-anaknya. Minggu sebelumnya masyarakat telah membersihkan dan mendatarkan areal tempat bangunan sekolah sederhana ini akan didirikan. Rumput-rumput dan tanaman yang telah menjadi belukar disiangi, begitu juga dengan gundukangundukan tanah kembali didatarkan dengan peralatan seadanya, seperti parang dan cangkul. Minggu kedua adalah mencari kayu untuk tiang dan membuat kerangka rumah. Kayu yang diambil beberapa diantaranya adalah dari jenis akasia bekas tanaman masa HPH Asialog dahulunya. Kayu untuk tiang mempunyai diameter sekitar 15 cm, sedangkan untuk tiang-tiang kecil lainnya berukuran 5 – 10 cm.
Dengan adanya sekolah ini, diharapkan menjadi pendidikan anak-anak Bathin IX dapat disetarakan dengan pendidikan formal (Sekolah Dasar). Sehingga anakanak yang belajar disini dapat mengikuti ujian setingkat SD yang ada di Desa Bungku. Dengan begitu impian anak-anak untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya (SMP) dapat terlaksana.
Minggu berikutnya direncanakan untuk membuat dinding, lantai dan atap. Rencananya lantai akan dibuat dari semen yang merupakan bantuan dari manajemen harapan rainforest selaku pengelola kawasan restorasi ekosistem. Untuk dinding, setengah bagian ke bawah akan menggunakan papan sedangkan bagian setengah ke atas akan dibuat dari kawat, sehingga udara dapat masuk dan menjadikan suasana belajar menjadi nyaman.
Sedikit berkhayal atau bermimpi mungkin, kelak dengan apa yang telah dilakukan oleh komunitas Simpang Macan saat ini dapat melahirkan “sarjana-sarjana universitas simpang macan” yang handal yang akan berbakti bagi masyarakatnya yang akan mengangkat harkat dan martabat komunitasnya. Semoga tekad dan semangat anak-anak dari komunitas Bathin IX di Simpang Macan akan seperti apa yang diceritakan tokoh Arai dalam novel Laskar Pelangi “Bermimpilah dan Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi mu” senada dengan lirik yang dinyanyikan oleh group band NIDJI “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia”. (Wewen Effendi)
Untuk atap, akan dibuat dari daun lipai, sejenis daun rumbia yang biasa di jalin untuk dijadikan atap, dibagian bawahnya akan dilapisi terpal sehingga tidak bocor dikala hujan. Kebutuhan daun lipai untuk atap ini kurang lebih berkisar 120 lembaran daun lipai. Daun yang banyak dijumpai di dalam hutan ini, akan dikumpulkan oleh kaum laki-laki, selanjutnya tugas kaum perempuan untuk merajutnya menjadi atap. Setiap perempuan ditargetkan untuk merajut daun lipai sebanyak 20 – 30 daun lipai per orangnya. Sebelumnya, untuk pendidikan anak-anak di komunitas ini, telah diberikan oleh pengelola harapan rainforest dan KKI Warsi--mitra kerja harapan rainforest untuk pen-
Komunitas Bathin IX tengah bergotong royong mendirikan sekolah sederhana untuk anakanak mereka. Foto Dinaldi/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
55
Sang Kemare
P
ertengahan April lalu, Warsi menyelenggarakan hajatan besar. Musyawarah besar anggota perkumpulan di helat untuk menentukan nahkoda baru lembaga ini. Dengan dihadiri anggota dari berbagai penjuru nusantara dan beragam profesi, Mubes ini menghasilkan struktur kepengurusan baru dan memilih manajemen baru. Terpilih sebagai pengurus Nurcholis (anggota Komnas HAM), Dudi Rufendi (WWF Indonesia) Khusnul Zaini (Yayasan Telapak), Sukri Saad (Penggiat lingkungan dan petani), Bening Sugianto (Penggiat Energy Terbarukan) , Adam Aziz (FLEGT) dan Edi Harvia Surma (Gita Buana). Mubes yang berlangsung penuh nuansa kekeluargaan namun tidak menghilangkan sikap kritis terhadap berbagai persoalan lingkungan. Pengurus yang terpilih memberikan amanat kepada Rakhmat Hidayat untuk menjalankan manajemen Warsi untuk tiga tahun ke depan.
Ketika Bengawan Solo masih meluap merendam pemukiman dan sawah masyarakat di sekitarnya, agak ke timur, ratusan hektar sawah di Nusa Tenggara Barat mengalami puso akibat kekeringan. Fenomena alam pertanda pemanasan global telah mengancam kehidupan masyarakat. Perhelatan pemilihan kepala daerah di helat di Jambi, empat kandidat bersaing ketat, mengumbar janji untuk menarik simpati masyarakat. Namun tak satupun yang memberikan janji untuk perbaikan kondisi lingkungan yang rusak Mau seperti apa Jambi di masa depan?
DARI KITA / Perubahan Dari Global ke Lokal
P
erubahan seperti yang telah disebutkan oleh Miller Jr itu manusia akan menjadi masyarakat industri. Perubahan yang terjadi ini tentunya mempunyai tingkat yang berbeda di masing-masing belahan dunia, ada banyak hal yang mempengaruhi perubahan itu terjadi, Sarjono Sukanto mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mendorong perubahan sosial yaitu: sikap menghargai hasil karya orang lain,keinginan untuk maju,sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap perubahan, sistem pelapisan yang terbuka, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap, bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, sikap mudah menerima hal baru. Jadi hal-hal yang berbeda di setiap kebudayaan dapat mempengaruhi apakah sebuah perubahan itu bisa terjadi atau tidak. Hal itulah, yang dipaparkan lelaki yang memiliki nama lengkap Djoko Sutrisno terkait dengan kegiatan fasilitasinya dengan komunitas SAD di Sungai Petai, Desa Spintun Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun. Dijelaskannya, konsep ini yang terjadi dengan komunitas dampingannya. ”Mereka sama dengan lainnya menginginkan perubahan itu terjadi. Meski banyak kendala
yang dihadapi, ini lebih kepada kesiapan mental dan sikap mereka sendiri,” sebut alumni Antropologi, Universitas Andalas ini. Menurutnya, perubahan harus dipandang dalam paradigma ekosentrisme,bahwa perubahan harus memenuhi syarat kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia yang hidup dalam sistem yang sama dengan lingkungan, sejalan dengan visi KKI Warsi, “Konservasi Bersama Masyarakat”. “Dalam melakukan sebuah perubahan harus berpijak kepada kondisi apa yang dialami oleh masyarkat yang akan berubah, tidaklah bijaksana jika kita memulai perubahan dari hal-hal yang paling belakang, yang tidak dilakukan lagi oleh masyarkat, atau melakukannya seperti apa yang kita pikirkan sebagai agen dari perubahan tersebut, suatu langkah yang hanya akan membuat situasi yang semakin tidak dipahami oleh masyarakat,” imbuh lelaki kelahiran Padang Panjang ini. (Elviza)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2010