LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL
ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA TINDAK PIDANA CYBERCRIME DI KOTA GORONTALO
Oleh Juliani Katili NIM: 271410005
Telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Fenty Puluhulawa, SH., M.Hum NIP. 196804091993032001
Lisnawaty Badu, SH., MH NIP. 196905292005012001
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Hukum
SUWITNO .Y. IMRAN SH.,MH NIP 198306222009121004
1
ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA TINDAK PIDANA CYBERCRIME DI KOTA GORONTALO
Juliani Katili Pembimbing I: Fenty U. Puluhulawa Pembimbing II: Lisnawaty Badu
ABSTRAK Penulisan skripsi ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalisis cybercrime di Kota Gorontalo ditinjau dari analisis kriminologis dan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana cara penanganan tindak pidana cybercrime di Kota Gorontalo. Sifat penelitian yang dilakukan adalah empiris.Sumber data yang diambil yaitu data primer dan data sekunder. Metode analisis data yang diambil adalah secara kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu bahwa meningkatnya kasus cybercrime di Kota Gorontalo disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Undang-undang ITE,
Sosial Media yang digunakan sebagai sarana menumpahkan kekesalan dengan mempermalukan orang dan pelaku cenderung melakukan tindakan cybercrime karena merupakan jenis kejahatan yang sulit ditelusuri. Tindak pidana cybercrime sangat sulit ditangani oleh penyidik dalam proses pembuktian karena belum ada teknologi yang canggih sebagai alat untuk mempermudah pencarian pelaku, tidak adanya saksi ahli dibidang teknologi informasi, dan sulitnya mendapatkan data dan kerjasama dengan instansi lain karena adanya peraturan atau kebijakan yang membutuhkan proses administrasi yang rumit.
Kata Kunci: Kriminologi dan Cybercrime
2
A. Pendahuluan Keunggulan
komputer
berupa
kecepatan
dan
ketelitiannya
dalam
menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta
memperkecil
kemungkinan
melakukan
kesalahan,
mengakibatkan
masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.1 Dalam masyarakat modern yang meng-global seperti saat ini, kejahatan dapat dilakukan di mana saja, baik dalam ruang nyata maupun ruang maya (cyberspace). Hal ini terjadi karena era globalisasi membuka beberapa peluang terjadinya kejahatan, sehingga diperlukan penanggulangan secara bersama-sama melalui kerjasama antar pihak yang berkepentingan. Menurut Madison Ngafeeson Globalization opens many opportunities for crime, and crime is rapidly becoming global, outspacing international cooperation to fight it.2 Saat ini kejahatan di dunia mayantara (cybercrime) makin banyak jumlahnya, makin canggih modus-nya, makin bervariasi karakteristik pelakunya, dan makin serius akibatnya. Secara kriminologis, setiap kejahatan merupakan fenomena masyarakat (social phenomenon). Eskalasi kerugian cybercrime bersifat global dan aktivitas pelakunya lintas-negara, maka cybercrime dianggap sebagai fenomena global3. Cybercrime adalah setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan, dan komputer sebagai sasaran kejahatan. Kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk 1
Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 23-24. Widodo karakteristik, motivasi, dan strategi penanganannya dalam perspektif kriminologi, Aswaja Presindo, Yogyakarta hal 4. 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 & Peraturan Pemerintah RI Tahun 2012. Hal 30 2
3
kejahatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik melawan hukum secara materiel maupun melawan hukum secara formel.4 Maraknya kasus cybercrime seperti penipuan online, pencemaran nama baik melalui sosial media dan lain sebagainya terjadi pula di Kota Gorontalo. Dari data kasus di Polres Gorontalo Kota, tahun 2012 hingga 2014 kasus cybercrime meningkat. Pada tahun 2012 terdapat 3 kasus penipuan lewat belanja online, 2 kasus penghinaan melalui twitter. Tahun 2013 kasus penipuan lewat belanja online meningkat menjadi 8 kasus dan pencemaran nama baik menjadi 3 kasus. Di tahun 2014 kasus penipuan belanja online dari bulan Januari hingga Juni menjadi 6 kasus dan terdapat 3 kasus perbuatan tidak menyenangkan melalui sosial media.5 Berdasarkan data yang penulis ambil, kasus yang banyak terjadi adalah kasus penipuan online shop. Online shop sangat menarik bagi masyarakat Gorontalo karena lebih praktis tidak perlu untuk keluar rumah hanya duduk manis melihat gambar atau foto yang tertera dan memilih yang kita sukai selanjutnya memesan dan langsung mengirim uang via transfer dan hanya perlu menunggu hingga barang sampai. Banyak masyarakat yang berpikir bahwa barang tersebut akan sampai melalui jasa pengiriman barang. Namun, pada kenyataannya tidak jarang masyarakat yang tertipu dengan penjualan melalui internet. Barang yang seharusnya dikirim oleh penjual online tidak dikirim. Kejadian ini sangat merugikan masyarakat bahkan,
ada yang rugi hingga puluhan juta. Kasus
penipuan online ini telah melanggar pasal 28 (ayat 1) undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ketentuan pidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Dari data yang penulis dapat, kasus penipuan online shop ini lebih banyak tentang barang-barang elektronik, seperti penjualan hp, kamera dan barang4
Widodo, 2013 Memerangi Cybercrime: karakteristik, motivasi, dan strategi penanganannya dalam perspektif kriminologi, Aswaja Presindo, Yogyakarta hal 4. 5 Data kasus cyber crime yang ditangani polres Gorontalo kota tahun 2012-2014.
4
barang elektronik lainnya daripada barang seperti baju, tas dan sepatu. Hal ini karena pembelian barang elektronik dengan harga dibawah lebih menggiurkan sehingga banyak masyarakat tertarik dan membelinya tanpa tahu bahwa itu hanyalah modus pelaku agar banyak masyarakat yang berminat membelinya. Maraknya kasus cybercrime ini, sangat meresahkan masyarakat khususnya dikota Gorontalo. Teknologi informasi yang seharusnya memberikan kontribusi kesejahteraan masyarakat, kemajuan dan peradaban yang lebih baik, telah menjadi salah satu wadah efektif untuk melanggar hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dirumuskan rumusan masalah yakni (1) Bagaimana cybercrime di Kota Gorontalo ditinjau dari analisis kriminologis dan (2) Hambatan apa yang ditemui pihak penyidik dalam menangani tindak pidana cybercrime. B. Metode Penulisan Jenis penelitian yang dipakai penulis adalah Empiris. Data yang dikumpulkan pada peulisan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan beberapa tehnik pengolahan data yaitu studi pustaka (Library Research), studi lapangan (Field Research), dan wawancara. Metode analisis data yang diambil secara kualitatif. C. Hasil dan Pembahasan 1. Profil Singkat Polres Gorontalo Kota. Polisi Resort atau disingkat dengan POLRES adalah lembaga instansi Negara yang bernaung di Gorontalo Kota yang berperan aktif dalam administrasi
pemerintahan,
pembangunan
dan
pemasyarakatan
yang
khususnya melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat yang di percaya dan selalu dekat dengan masyarakat, sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di Gorontalo Kota. Kantor Polres Gorontalo terdiri atas beberapa bagian, satuan fungsi dan seksi yaitu : Bag Ops, Bag Ren, Bag
5
Sumda, Sat Intelkam, Sat Reskrim, Sat Sabhara, Sat Lantas, Sat Binmas, Sat Tahti dan bagian lain seperti Sium , Sikeur, Sipropam, Sitipol, serta 7 Polsek sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas sehari-hari. 2. Analisis Kriminologis Terjadinya Tindak Pidana Cybercrime Seperti kita ketahui bersama bahwa kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan.
Saat ini facebook, twitter, blackberry
mesengger merupakan media yang banyak digunakan untuk menumpahkan kekesalan terhadap orang lain. Berdasarkan wawancara bersama salah seorang tersangka pelaku tindak pidana cybercrime dikota Gorontalo mengatakan bahwa tindakannya dipicu oleh rasa kesal dan sakit hati yang mendalam karena tindaakan korban yang kurang menyenangkan sehingga, tersangka menuliskan kata-kata yang mencemarkan nama baik korban disosial media. Dalam kriminologi telah dijelaskan oleh beberapa ahli salah satunya schrag bahwa karena adanya reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat6. Berdasarkan pernyataan schrag, dapat diketahui bahwa tindak pidana cybercrime dikota Gorontalo dipicu oleh kebencian dari tersangka sebagaimana yang dijelaskan oleh Feriyanto Ishak selaku salah satu penyidik anggota unit Tipiter Polres Gorontalo Kota mengemukakan bahwa yang memicu terjadinya tindak pidana cybercrime karena ingin balas dendam dan adanya rasa kebencian yang dalam terhadap korban7.
6
Yesmil Anwar Adang “Kriminologi” Hal 110 Feriyanto Ishak. Anggota unit Tipiter Polres Gorontalo Kota “wawancara” tanggal 21 juli 2014 di kantor Kepolisian Gorontalo Kota. 7
6
Dari apa yang dikemukakan oleh Feriyanto ishak, seharusnya masyarakat dapat lebih menahan diri agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan norma sosial. Dalam kriminologi ada yang disebut teori kontrol sosial yang salah satu pakarnya adalah Reiss mengemukakan bahwa ada 2 jenis kontrol yaitu: 1. Personal control yaitu kemampuan seseorang menahan diri untuk tidak mencapai tujuannya dengan cara yang melanggar norma; 2. Social control yaitu kemampuan masyarakat atau kelompok sosial untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan perundang-undangan. Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap pelaku kejahatan cybercrime melalui sosial media, semuanya mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui tentang adanya larangan bahkan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik. Feryanto Ishak mengemukakan bahwa “dari semua hasil penyelidikan yang dilakukan penyidik sejak tahun 2012 hingga 2014, semua pelaku cybercrime belum mengetahui adanya undang-undang yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sosial media. Hal ini dikarenakan belum adanya sosialisasi dari pemerintah terkait undang-undang tersebut khususnya masyarakat Gorontalo”8 Selain ketidaktahuan adanya undang-undang tersebut, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana yaitu ingin melampiaskan amarah. Dari hasil wawancara dengan pelaku yang berinisial ‘N’ mengemukakan bahwa: “saya hanya ingin melampiaskan amarah saja tapi tidak ada maksud apaapa cuma suka curhat lewat facebook supaya taman-taman di facebook mo kase saran”9
8
Feriyanto Ishak. Kanit Tipiter Polres Gorontalo Kota “wawancara” tanggal 21 juli 2014 di kantor Kepolisian Gorontalo Kota. 9 ‘N’. pelaku cybercrime di kota Gorontalo “wawancara” tanggal 24 agustus 2014.
7
Berdasarkan apa yang dikemukakan pelaku berinisial ‘N’, sosial media merupakan tempat untuk menuangkan semua isi hati baik itu isi curhatan negatif maupun positif dan tidak punya maksud atau tujuan tertentu. Namun kejahatan cybercrime mempunyai penyebab yang tidak selalu sama. Hal ini penulis kemukakan karena berdasarkan wawancara dengan pelaku lain yang berinisial ‘I’ bahwa: “saya melakukan tindakan itu karena saya ingin membuat malu korban dan supaya dia (korban) merasa tahu diri kalo dia bersalah dan harus minta maaf sama saya dan supaya orang lain tahu seperti apa sifat dia (korban) yang sebenarnya karena menurut saya facebook itu tempat buat menyadarkan orang secara tidak langsung kalo orang lain marah terhadapnya supaya dia (korban) sadar diri dan tidak membuat orang lain sakit hati”10 Dari hasil wawancara tersebut pelaku tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan pencemaran nama baik sehingga melanggar hukum sesuai dengan pasal 310 KUHP tentang Penghinaan “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” Dalam hal ini, karena pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sosial media, maka penjatuhan hukuman tidak berdasar pada KUHP melainkan undangundang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan pasal 27 ayat 3 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau okumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Dengan ketentuan pidana pada pasal 45
10
‘I’. pelaku cybercrime di kota Gorontalo “wawancara” tanggal 26 Agustus 2014
8
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku melakukan tindak pidana cybercrime tidaklah selalu sama tergantung dari pribadi masing-masing. Meskipun semua pelaku tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang bahkan ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Penulis berpendapat bahwa cybercrime merupakan pidana yang sangat serius ditinjau dari ketentuan pidana yang sangat berbeda jauh dengan ketentuan pidana dalam KUHP. Meskipun kasus yang dilakukan tetap sama yakni pencemaran nama baik tetapi, terdapat perbedaan yang signifikan antara pencemaran nama baik secara langsung dengan melalui sosial media. Kanit Tipiter Feriyanto Ishak mengemukakan bahwa : “kasus cybercrime merupakan kasus yang unik dan baru sehingga perlu tindakan yang tegas dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku cybercrime agar ada efek jera sehingga kasus cybercrime tidak merajalela mengingat kasus ini masih baru”11 2. Cybercrime melalui penipuan belanja online Teknologi merupakan kebutuhan yang paling penting sekarang ini. Hal ini dikarenakan segala sesuatu pasti berkaitan dengan teknologi. Setiap informasi, baik itu informasi kerja, jasa dan perdagangan hampir semua memakai teknologi. Sekarang ini, masyarakat sangat bergantung dengan teknologi bahkan dari anak kecil hingga dewasa. Jika seseorang atau suatu kelompok masyarakat tidak mengetahui atau kurang paham dengan teknologi maka akan dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan jaman dan akan tersingkir.
11
Feriyanto Ishak. Kanit Tipiter Polres Gorontalo Kota “wawancara” tanggal 21 juli 2014 di kantor Kepolisian Gorontalo Kota
9
Teknologi informasi telah merubah perilaku masyarakat secara global. Tak bisa dipungkiri bahwa teknologi selain bermanfaat untuk masyarakat, teknologi juga menjadi arena efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Di jaman yang serba teknologi ini, masyarakat ingin melakukan sesuatu secara praktis salah satunya yaitu belanja online. Yaitu hanya dengan melihat gambar di internet kemudian mentransfer via atm dan menunggu datangnya kurir mengantar barang yang telah dipesan. Dalam hal ini, tidak sedikit masyarakat yang terkena penipuan dengan modus jual beli online. Pelaku tidak mengirimkan barang yang sudah dipesan bahkan dari hasil wawancara dengan korban penipuan belanja online modus pelaku penipuan dilakukan dengan cara mengatakan bahwa pengiriman masih tertunda hingga minggu depan setelah itu, pelaku memutus hubungan kontak dengan korban. Hal ini merupakan tindak melawan hukum sesuai dengan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28 yaitu Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik Dengan ketentuan pidana sesuai pasal 45: Setiap orang yang memenuhi unsusr sebagaimana dimaksud dalam pasal 28ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku penipuan belanja online yang berinisial ‘R’ mengungkapkan bahwa: “saya melakukan penipuan karena terhimpit masalah ekonomi keluarga dan kejahatan penipuan online juga termasuk aman dilakukan karena saya juga telah menyelidiki kalau di Gorontalo kasus kejahatan penipuan belanja online sangat susah diselidiki dan bukan hanya itu saja tetapi sikap korban yang tidak melapor pada polisi tentang kejahatan yang saya lakukan merupakan faktor pendukung saya melakukan ini”12 12
‘R’. pelaku cybercrime di kota Gorontalo “wawancara” tanggal 30 Agustus 2014
10
Berdasarkan hasil wawancara tersebut penulis berpendapat bahwa pelaku memanfaatkan kelemahan polisi yang masih susah menyingkap kasus cybercrime untuk melakukan kejahatannya dan motivasi pelaku bukan hanya karena terhimpit masalah ekonomi tetapi, sikap korban yang tidak langsung melaporkan hal tersebut ke polisi membuat pelaku semakin merasa kejahatan penipuan belanja online sangat menguntungkan. Terkait dengan hal tersebut, Kanit Tipiter Rusdyanto R. Bay mengemukakan: “kami sebagai penyidik tidak dapat berbuat apa-apa jika tidak ada aduan dari korban karena kami selaku penyidik sesuai dengan peraturan tidak diperbolehkan mencari-cari kasus kecuali ada laporan dari masyarakat itu sendiri”13 4.3 Hambatan yang Ditemui Penyidik dalam Menangani Kasus Cybercrime `
Berdasarkan undang-undang diatas,dapat disimpulkan bahwa penyidik
merupakan pejabat polisi yang berwenang dalam mencari dan mengumpulkan bukti tentang suatu tindak pidana guna menemukan tersangka. Namun, dalam hal ini, penyidik tidak semata-mata mencari sendiri pada masyarakat melainkan adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam setiap penanganan kasus pasti ada hambatan-hambatan yang ditemui. Begitupun dalam menangani kasus cybercrime. Dari hasil wawancara dengan penyidik, ada beberapa hambatan yang ditemui dalam penyelesaian kasus cybercrime. Bahkan dari hasil penelitian, hingga kini tidak ada kasus cybercrime yang sampai pada tahap penyelesaian. Semuanya masih dalam proses sidik. Untuk lebih jelasnya penulis mendeskripsikannya dalam bentuk tabel.
13
Rusdiyanto R Bay. Kanit Tipiter Polres Gorontalo Kota “wawancara” tanggal 21 juli 2014 di kantor Kepolisian Gorontalo Kota
11
Tabel Data Kasus Cybercrime di kota Gorontalo NO
TAHUN
1
2012
JENIS PERKARA -
2
2013
-
3
2014
-
-
-
Penipuan Lewat Belanja Online Penghinaan Melalui Twitter Penipuan Lewat Belanja Onlne Pencemaran Nama Baik Melalui Facebook Kesusilaan Melalui Facebook Penipuan Lewat Belanja Online Perbuatan Tidak Menyenangkan Melalui Facebook Pelaku Mengirim Pesan Melalui Facebook Dengan Kata-kata Tidak Layak Dan Mengancam Menyebarkan Foto Tidak Senonoh Melalui BBM
DILAPORKA N 3 2
SELESAI
KET.
0 0
Dalam Proses Sidik Dalam Proses Sidik
8 3 1
0 0 0
11 2
0 0
1
0
1
0
Dalam Proses Sidik Dalam Proses Sidik Tahap 1 Dalam Proses Sidik Dalam Proses Sidik
Dalam Proses Sidik
Dalam Proses Sidik
-
Sumber Data: Polres Gorontalo Kota 21 Juli 2014 Berdasarkan data diatas, jelaslah bahwa penyidik sangat sulit untuk menangani kasus cybercrime. Karena dari tahun 2012 hingga 2014 hanya satu kasus yang sampai pada tahap 1. Dari hasil identifikasi dengan penyidik penulis memperoleh beberapa faktor penghambat yang membuat penyidik sulit menangani kasus cybercrime. 1. Sumber Daya Manusia Kasus cybercrime merupakan kasus baru yang menggunakan teknologi modern sehingga, untuk menangani kasus ini haruslah orang yang ahli dibidang teknologi. Untuk mendapatkan penyidik yang ahli dalam teknologi, polres kota Gorontalo harus memiliki sumber daya manusia yang tinggi, akan tetapi kenyataannya sumber daya manusia di polres kota Gorontalo belum bisa dikatakan cukup tinggi. Sehingga, hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
12
adanya hambaan dalam menangani kasus cybercrime. Menurut penyidik Kanit Tipiter (tindak pidana tertentu) Feryanto Ishak sumber daya manusia yang masih kurang membuat penyidik semakin kesulitan dalam menangani kasus cybercrime yang notabene berhubungan langsung dengan teknologi yang canggih. 2. Teknologi yang Tidak Memadai Cybercrime merupakan kasus yang memakai komputer, hp, tv dan perangkat lainnya sebagai akses untuk melancarkan aksi. Segala upaya yang dilakukan pelaku tindak pidana cybercrime tentu saja menggunakan teknologi yang canggih. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat bagi penyidik untuk menelusuri pelaku kejahatan cybercrime karena, tidak adanya alat-alat teknologi yang membantu penyidik dalam penyidikan lebih lanjut. Menurut Feryanto Ishak sebagai penyidik Kanit Tipiter mengemukakan bahwa keterbatasan teknologi membuat polres kota Gorontalo hingga saat ini masih belum bisa ke tahap penyelesaian dalam menyidik kasus cybercrime. Bahkan dari tahun 2012 hingga 2014 penanganan kasus cybercrime hanya sampai tahap satu. Itupun hanya satu kasus saja dan kasus yang lain belum ada kejelasan lebih lanjut akibat terbatasnya teknologi yang ada di polres kota Gorontalo. 3. Prosedur yang Terlalu Lama Proses
penanganan
kasus
cybercrime
sangatlah
rumit
sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama karena, data yang diterima oleh penyidik harus dianalisis dan dikaji oleh ahli teknologi. Hal ini sangat bertentangan dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Pada dasarnya kata asas cepat dapat dimaknai sebagai menunjuk proses peradilan yang cepat dan proses penyelesaian yang tidak berlarut-larut.14 Dengan prosedur yang terlalu lama membuat penyidik di Polres Gorontalo Kota dari tahun 2012 hingga 2014 belum sampai pada tahap penyelesaian. 14
Fence M. Wantu “Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek” 2011 Yogyakarta Reviva Cendana, Hal 12
13
D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Kasus cybercrime dikota Gorontalo sudah tersebar luas bahkan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini disebabkan masyarakat yang belum mengetahui adanya Undang-undang ITE selain itu kasus cybercrime terjadi karena pelaku menyadari bahwa di kota Gorontalo masih sulit untuk menyelidiki pelaku-pelaku cybercrime. Terdapat beberapa Faktor yang menghambat penyidik dalam menangani kasus cybercrime yaitu kurangnya sumber daya manusia, teknologi yang belum memadai dan kurangnya kerjasama pihak kepolisian dengan instansi yang terkait. 2.
Saran a. Diharapkan kepada pihak kepolisian untuk mengadakan sosialisasi mengenai Undang-undang ITE dimasyarakat kota Gorontalo. Agar masyarakat dapat memahami dan mengetahui sehingga kasus cybercrime dapat diminimalisir. b. Diharapkan agar pemerintah dapat mengadakan alat tekhnologi yang canggih sehingga pihak penyidik dapat dengan mudah menyelesaikan perkara kasus cybercrime dikota Gorontalo. c. Diharapkan agar pemerintah dapat bekerjasama dengan instansi-instanmsi terkait agar mempermudah proses penyelidikan pada kasus cybercrime dikota Gorontalo.
14
DAFTAR PUSTAKA
Agus Rahardjo, 2002.Cybercrime:Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung Andi Hamzah, 2006. KUHP&KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta Fence M Wantu, 2011. Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek, Reviva Cendana, Yogyakarta Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sosio Kriminologi Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung
Sutan Rajasa,2002.Kamus Ilmiah Populer, Karya Utama, Surabaya Suteki, 2013.Hukum dan Alih Teknologi sebuah pergulatan sosiologis, Thafa Media, Semarang Suheimi, 1990.Kejahatan Komputer, Andi Offset, Yogyakarta Widodo, 2013 Memerangi Cybercrime: karakteristik, motivasi, dan strategi penanganannya dalam perspektif kriminologi, Aswaja Pressindo, Yogyakarta Widodo, 2013.Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrime Law:telaah teoritik dan bedah kasus, Aswaja Pressindo, Yogyakarta http://tinjauan- yuridis-pembuktian-Cyber Crime- dalam- perspektif-hukum-positifIndonesia. (diakses tgl 03 mey pukul 22.04) http://thesis-cybercrime-di-indonesia. (diakses tgl 03 mey pukul 14.43) http://teori-kriminologi-indonesia. (diakses tgl 21 juni pukul 13.56) http://asas-asas-pidana-di-indonesia. (diakses tgl 21 juni pukul 12.35)
15
16