LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL ANALISIS HUKUM SENGKETA TANAH AKIBAT PERTUKARAN TANAH DI WILAYAH KOTA KOTAMOBAGU (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 391 K/PDT/2012)
Oleh MULIAWATI SUROTENOJO 271411035
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
NIRWAN JUNUS.SH.,MH NIP 196906022000032001
ISMAIL TOMU SH, MH NIP 197706172009121003
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Hukum
SUWITNO .Y. IMRAN SH.,MH NIP 198306222009121004
1
ANALISIS HUKUM SENGKETA TANAH AKIBAT PERTUKARAN TANAH DI WILAYAH KOTA KOTAMOBAGU (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 391 K/PDT/2012)
Muliawati Surotenojo Pembimbing I: Nirwan Junus Pembimbing II: Ismail Tomu
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan mengetahui bagaimana analisis hukum sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu (Studi kasus putusan Mahkamah Agung nomor: 391 K/PDT/2012) dan bagaimana pandangan hukum terhadap sengketa tanah akibat pertukaran tanah. Metode yang digunakan oleh peneliti adalah bersifat normatif dan yang menjadi objek penelitian adalah putusan Mahkamah Agung nomor: 391 K/PDT/2012, putusan Pengadilan Negeri Kotamobagu nomor: 75/PDT.G/2010/PN/KTG dan putusan Pengadilan Tinggi Manado nomor: 91/PDT/2011/PT.MDO. Hasil dari penelitian ini untuk dapat mengetahui asas-asas hukum serta sinkronisasi dan sistematika hukum yang seharusnya diterapkan dalam putusan sehingga tidak menimbulkan keraguan dari hasil putusan kepada yang bersengketa, hal ini dapat dilihat juga melalui bagaimana pandangan hukum terhadap sengketa tanah akibat pertukaran tanah tersebut. Dimana dalam putusan Pengadilan Negeri Kotamobagu dan Pengadilan Tinggi Manado terdapat kekeliruan dalam menganalisis bukti-bukti serta saksisaksi dari para pihak yang bersengketa. Kemudian dalam upaya hukum tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dimana putusan tersebut memperbaiki hasil dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Kotamobagu dan Pengadilan Tinggi Manado. Kata kunci: asas hukum, sistematika hukum, sengketa tanah
1
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam pembangunan, maka di dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa akibat adanya pengakuan dari suatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan terhadap tuntutan hak atas tanah, konflik tersebut biasanya mengenai ganti rugi tanah yang akan digunakan untuk pembangunan, sengketa pemilikan tanah yang masih banyak masalah-masalah yang kompleks. Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir diantaranya kasus lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur sejak tanggal 29 Mei 2006 seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 69 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 26 Ayat (1) yang berbunyi “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan PP”2 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 Ayat (1) yang berbunyi “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang1 2
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
2
undangan yang berlaku”3 dimana dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa penukaran juga termasuk dalam memindahkan hak milik, tetapi pada sengketa tanah yang menjadi objek penelitian, peneliti melihat bahwa das sein (harapan) tidak sesuai dengan das sollen (kenyataan). Ada beberapa permasalahan tanah, diantaranya sengketa tanah dengan objek tanah yang telah dibeli dengan latar belakang tanah hasil pertukaran tanah. Salah satu contoh yang dapat dituliskan adalah perkara pertukaran tanah di Kelurahan Kotobangon, Kota Kotamobagu. Dengan kronologisnya adalah adanya perjanjian pertukaran tanah antara pemilik tanah yang terletak di jalan Jhoni Suhodo dan pemilik tanah yang terletak di jalan Katamso. Perjanjian pertukaran tanah tersebut dibuktikan dengan surat pertukaran tertanggal 25 September 1962 tanpa tambahan uang. Setahun kemudian (1963), tanah yang oleh salah satu pemilik yang terletak di jalan Jhoni Suhodo diperjualbelikan. Jual beli yang telah dilakukan menyegerakan pembuatan sertifikat hak milik atas nama pembeli. Ketidaktahuan keluarga dari pemilik tanah sebelumnya yang menjual tanah pada akhirnya menimbulkan gugatan terhadap keluarga pemilik tanah yang telah membeli tanah tersebut. Gugatan tersebut berproses di Pengadilan Negeri Kotamobagu dan diterima oleh Pengadilan Negeri dengan perkara putusan Nomor:75/PDT.G/2010/PN.KTG. Tergugat akhirnya banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara dan akhirnya ditolak dengan perkara putusan Nomor:91/PDT/2011/PT.MDO. Tergugat memilih jalan kasasi di Mahkamah Agung RI dengan menghasilkan perkara putusan Nomor:391 K/PDT/2012. Berdasarkan uraian di atas penulis dapat merumuskan rumusan masalah yakni (1) Bagaimana analisis hukum sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu (Studi kasus putusan Mahkamah Agung Nomor: 391 K/PDT/2012) DAN (2) Bagaimana pandangan hukum terhadap sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu (Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 391 K/PDT/2012).
3
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
3
A. Metode Penulisan Penelitian mengenai penyelesaian sengketa tanah ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan
perundang-undangan
(Statute
Approach).
Peneliti
mengambil lokasi penelitian di daerah Kota Kotamobagu tepatnya di Sulawesi Utara dikarenakan lokasi terjadinya sengketa tanah berada disana. Suber data berasalah dari Primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahanbahan hukum, baik hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet. B. Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Kotamobagu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow kesejahteraan
yang bertujuan untuk memajukan daerah, membangun rakyat,
memudahkan
pelayanan,
dan
memobilisasi
pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2KM selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan Controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915. 4
Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional. Pada tahun 2007 wilayah Kecamatan Kotamobagu dan sekitarnya sebanyak 33 wilayah Desa/Kelurahan (beberapa wilayah Desa diambil dari Kecamatan Lolayan, Kecamatan Bilalang dan Kecamatan Modayag) dimekarkan dari wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow dan menjadi wilayah otonom Kota Kotamobagu dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007, tanggal 2 Januari 2007, tentang pembentukan Kota Kotamobagu, tahun 2014, luas wilayah Kota Kotamobagu adalah seluas 184, 33 Km2, dengan jumlah masyarakat 108.794 Jiwa dalam hitungan tingkat kepadatan 0,59 jiwa/km2. a. Profil Kota Kotamobagu Nama Resmi Ibukota Provinsi
Batas Wilayah
Luas Wilayah Jumlah Penduduk Wilayah Administrasi
: Kota Kotamobagu : Kotamobagu : Sulawesi Utara Utara: Kecamatan Bilalang Kab. Bolaang Mongondow Selatan: Kecamatan Lolayan Kab. Bolaang Mongondow : Barat: Kecamatan Passi Barat Kab. Bolaang Mongondow Timur: Kecamatan Modayag Kab. Bolaang Mongondow Timur : 68,06 Km² : 119.806 Jiwa : Kecamatan: 4, Kelurahan: 18, Desa: 12
2. Analisis Hukum Sengketa Tanah Akibat Pertukaran Tanah di Wilayah Kota Kotamobagu (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor:391 K/PDT/2012) 5
Dalam putusan Pengadilan Negeri Kotamobagu dengan Nomor: 75/PDT.G/2010/PN/KTG dan putusan Pengadilan Tinggi Manado dengan Nomor: 91/PDT/2011/PT.MDO, terdapat beberapa kekeliruan Hakim dalam memutuskan. Pihak tergugat selaku pihak yang disebut sebagai pihak yang kalah dalam peradilan tingkat pertama mengajukan banding ke peradilan tinggi dengan maksud mendapatkan putusan yang seadil-adilnya. Namun dikarenakan putusan yang dihasilkan dari tingkat banding tersebut masih merasa tidak adil dimana pihak tergugat meragukan hakim yang tidak mempertimbangkan alat-alat bukti serta saksi-saksi yang diajukan oleh pihak tergugat, maka pihak tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menghasilkan putusan Nomor:391 K/PDT/2012 dalam hal ini pihak pemohon kasasi yang sebelumnya merupakan pihak tergugat dinyatakan menang dan menolak gugatan penggugat. Peneliti telah membaca ketiga putusan tersebut dan mendapatkan beberapa kekeliruan yang diputuskan oleh hakim ditingkat peradilan pertama dan hakim ditingkat peradilan tinggi. a. Hakim tidak mempertimbangkan bukti surat pertukaran tanah yang disengketakan. Dimana bukti surat tersebut menyatakan bahwa ibu dari para penggugat dengan pihak kedua pertukaran telah melakukan pertukaran secara sah disaksikan oleh adik dan ayah dari para penggugat (suami dari yang melakukan pertukaran) dan diketahui oleh kepala desa serta dibubuhi cap dan materai. Dengan ini hakim telah mengabaikan salah satu hal yang membatasi akan alat-alat bukti, dimana pada Pasal 1866 KUHPerdata menyatakan bahwa alat pembuktian meliputi bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.4 Selain itu, hakim juga tidak mempertimbangkan surat pertukaran tersebut dilihat dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria atau yang sering disebut dengan UUPA tepatnya pada Pasal 26 Ayat (1) yang berbunyi Jual-Beli, penukaran, 4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan
lain
yang
dimaksudkan
untuk
memindahkan hak milik serta pengawasan serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.5 Dimana dikatakan dalam pasal tersebut bahwa pemindahan hak milik salah satunya dapat dilakukan dengan pertukaran. Disamping itu, tidak ada alat bukti dari pihak termohon kasasi (penggugat) yang dapat membantah alat bukti surat pertukaran yang diberikan oleh pihak pemohon kasasi (tergugat). Dapat dilihat bahwa hakim tingkat peradilan pertama hanya menilai bukti dari pihak penggugat dan tidak mempertimbangkan bukti yang diberikan oleh tergugat. b. Bukti yang diberikan oleh pihak penggugat atau pihak termohon kasasi (P-7) yaitu fotocopy surat jual beli tertanggal 24 Juli 1935 dinyatakan dalam keberatan pihak Pemohon Kasasi bahwa surat jual beli tersebut terlihat sangat modern, luas tanah yang tertera yaitu ± 961M2, jika dibandingkan dengan bukti surat yang diberikan oleh pihak Pemohon Kasasi (tergugat) (TT-3.1) yang hanya menyebutkan batas-batas tanah saja. Dalam lingkup bukti P7 dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dalam penjelasan Pasal 2 untuk tanah-tanah diseluruh Indonesia belum ada pencantuman atau penyebutan sistem kesatuan tanah dengan hektare ataupun meter, tetapi masih disebutkan untuk ukuran luas tanah adalah BAU. c. Hakim banding mengenyampingkan dan tidak bisa menentukan tentang mana stempel atau cap yang sah (seorang saksi (Mustak Al Hasni) telah membenarkan keabsahan dari penstempelan atau cap) dengan alasan bukan hal dalam putusan keperdataan.6 Dimana hakim banding menyatakan “.....akan tetapi Majelis hakim harus 5 6
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Put. No. 391 K/Pdt/2012, hal.24
7
mengenyampingkan bukti-bukti ini karena untuk pembuktian materiil dalam persoalan stempel atau cap bukanlah hal yang harus dipertimbangkan dalam putusan perkara keperdataan ....dan seterusnya”7. Melihat pernyataan tersebut, hakim banding telah lalai dan mengabaikan salah satu asas hukum pembuktian, yaitu asas audi et alteram partem dimana asas ini mewajibkan hakim untuk mendengarkan kedua belah pihak dengan memberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan dalilnya sebelum menjatuhkan putusan.8 d. Ketidaksinambungannya jawaban atau keterangan dari para saksi dari penggugat. Saksi (2) Nurdin M. Yusuf menerangkan sepengetahuannya ketika itu saksi berumur 10 tahun bahwa yang tinggal di objek sengketa hanyalah Hamida Sugeha, saksi mengetahui Isak Mokodompit tinggal di objek sengketa pada tahun 1954 setelah menikah dengan Ibeng Korompot, pada tahun 1958 yang tinggal di objek sengketa adalah Hamida Sugeha dan Memeg Kulo, Hamida Sugeha masih kembali ke objek sengketa dan terakhir menurut saksi bahwa belum ada rumah di tanah atau objek sengketa di
tahun 1961 karena pergolakan PERMESTA.
Keterangan saksi ini bertentangan dengan saksi (1), menurut saksi (2) ditahun 1954 Isak Mokodompit tinggal diobjek sengketa, sementara di tahun 1953 saksi kembali ke Kotobangon melihat hanya Hamida Sugeha yang tinggal di objek sengketa dengan Memeg Kulo, bagaimana mungkin saksi (1) tidak melihat adanya Isak Mokodompit di tahun 1954, karena antara tahun 1948 sampai dengan 1959 saksi (1) tahu persis ada dua rumah di objek sengketa. Selain itu saksi (1) juga menerangkan tahun 1959 tanah objek sengketa kosong, sementara menurut saksi (2) di tahun 1961 belum ada rumah di objek sengketa, artinya di objek sengketa belum 7
Ibid, hal.24-25 M.Natsir.Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal.16 8
8
pernah ada atau tidak ada rumah yang berdiri ataupun ditempati. Menurut saksi (3) Muhamad Kaawoan bahwa saat itu saksi berusia 5 tahun telah menerangkan dengan jelas bahwa yang tinggal di objek sengketa adalah Samsi Kulo anak dari Memeg Kulo dan Hamida Sugeha. Keterangan saksi ini patut diragukan dikarenakan umur saksi saat itu baru berkisar 5 tahun dan sudah mengetahui dengan jelas kejadian saat itu. Keterangan tersebut sangat bertentangan dengan keterangan yang diberikan saksi (1) dan saksi (2). Saksi (5) Samer Djaman saat itu saksi berumur 17 tahun menerangkan bahwa Isak Mokodompit tinggal di Kotobangon pada tahun 1954 dan Hamida Sugeha pernah menjaga rumah dan tinggal sekitar tahun 1960, kemudian di objek sengketa yang tinggal adalah Isak Mokodompit dan Hamida Sugeha pada tahun 1959, Syamsudin Surotenojo menempati objek sengketa diatas tanah bekas rumah Hamida Sugeha dan Hamida Sugeha tidak kembali ke objek sengketa.9 Menurut saksi (6) Mustak Al Hasni menerangkan bahwa saat itu ia berusia 5 setengah tahun, pada tahun 1966 Hamida Sugeha meninggal dunia dan Memeg Kulo masih kembali ke objek sengketa, kemudian setelah 40 hari Hamida Sugeha meninggal, Memeg Kulo kembali ke desa Biga. Ia juga menyatakan bahwa anak-anak Lour Korompot tinggal di objek sengketa sejak tahun 1947, tahun 1950 tidak orang lain ditempat tersebut selain Hamida Sugeha, Isak Mokodompit tinggal di objek sengketa sekitar tahun 1952 karena kawin dengan Ibeng Korompot anak dari Lour Korompot dan saksi melihat tahun 1953 Isak Mokodompit tinggal di objek sengketa. Kemudian tahun 19571958 Syamsudin Surotenojo tinggal di tempat tersebut karena kawin dengan anak dari Lour Korompot. Ibeng Korompot dan Hamida Sugeha tinggal di objek sengketa pada tahun 1961 sampai dengan 1962 dan setelah PERMESTA, Hamida Sugeha masih 9
Put. No. 391 K/Pdt/2012, hal.40-41
9
kembali ke objek sengketa, di tahun 1960 sampai dengan 1965 juga masih kembali ke objek sengketa. Saat Hamida Sugeha meninggal, Memeg Kulo tinggal di desa Biga, Kalsum Sugeha tinggal di tempat Tata Korompot, dan pada tahun 1943 Lour Korompot membawa anak-anaknya untuk tinggal bersama Hamida dan Kalsum Sugeha di objek sengketa. Keterangan saksi (6) ini bertentangan dengan saksi (1), (2), dan (3) karena menurut saksi (6) ini di tahun 1952 Isak Mokodompit sudah tinggal di objek sengketa, sementara menurut saksi (1) di tahun 1953 disaat saksi (1) ini kembali hanya melihat Hamida Sugeha, begitupun dengan saksi (2), sedangkan saksi (3) menerangkan di objek sengketa adalah Samsi Kulo. Saksi (6) juga menerangkan sejak tahun 1943 Lour Korompot sudah ada di objek sengketa sementara saksi (1) menerangkan di tahun 1953 hanyalah Hamida Sugeha. Dengan adanya pertentangan antara keterangan para saksi dari penggugat (Termohon Kasasi) ini, hakim banding tidak konsisten dalam memutuskan. Sehingga hal ini tidak sesuai dengan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memberikan putusan (Groot dalam Retnowulan Sutantio 1990: 120-125) yaitu dimana pertimbangan hukum yang dikemukakan hakim tidak boleh bertentangan satu sama lain.10 Dalam hal ini hakim tingkat peradilan tinggi (hakim banding) hanya mengambil alih seluruh pertimbangan hakim tingkat pertama dalam memutuskan dan mengadili banding tanpa menilai dan menghubungkan fakta-fakta dan alat-alat bukti yang ada. Dimana seharusnya hakim tingkat peradilan banding merupakan hakim yang berperan dalam pemeriksaan ulang perkara yang telah diputus oleh hakim peradilan tingkat pertama yang
10
Fence.M.Wantu dkk, Cara Belajar Cepat Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia, Yogyakarta, 2010, hal.27
10
sesuai
dengan
asas
hukum
pemeriksaan atas dua tingkat.
peradilan perdata
yaitu asas
11
3. Pandangan Hukum Terhadap Sengketa Tanah Akibat Pertukaran Tanah di Wilayah Kota Kotamobagu (Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 391 K/PDT/2012) Peneliti telah melihat hasil putusan dari ketiga tingkat peradilan sesuai dengan studi kasus putusan yang menjadi objek penelitian. Menurut pandangan hukum terhadap sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu ini yaitu banyak kekeliruan dalam penerapan hukum dalam hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat Pengadilan Negeri dan hakim tingkat Pengadilan Tinggi. Dimana hakim kurang teliti dalam menganalisis kasus yang dimohonkan. Hakim juga tidak mempertimbangkan bukti saksi dari penggugat yang dimana jawaban dari saksi tersebut lebih mendukung kepada pihak tergugat, selain itu bukti yang diberikan oleh pihak tergugat yang berupa surat pertukaran tanah tidak dipertimbangkan juga oleh hakim, baik hakim tingkat peradilan pertama dan hakim tingkat peradilan tinggi sebagai hasil dari banding oleh tergugat, dimana jika dilihat dalam UUPA Pasal 26 Ayat 1 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatakan bahwa pertukaran juga merupakan salah satu peralihan hak milik atas tanah. Dalam hal ini, hakim telah lalai dalam memutuskan sehingga putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat peradilan pertama dan hakim tingkat peradilan tinggi dapat dibatalkan karena hukum. Dari segi hukum, hakim telah mengenyampingkan hal yang seharusnya dipertimbangkan dan bersikap adil sesuai dengan asas hukum peradilan perdata12 yaitu putusan harus disertai dengan alasan diantaranya termasuk asas objektivitas dimana putusan harus sesuai dengan perkembangan masyarakat, ini mengandung arti bahwa dalam putusan yang dijatuhkan tidak memihak kepada salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat, bersikap jujur atau
11
Ibid, hal.29 Fence.M.Wantu dkk, Cara Belajar Cepat Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia, Yogyakarta, 2010, hal.28 12
11
adil dan tidak bersikap diskriminatif tetapi menempatkan para pihak yang berperkara setara di depan hukum. Dari pandangan hukum juga dapat dilihat bahwa sengketa tanah akibat pertukaran tanah ini merupakan sengketa tanah dengan latar belakang tanah yang telah dipertukarkan sehingga hukum yang seharusnya diterapkan dalam putusan hakim tingkat peradilan pertama dan hakim tingkat peradilan tinggi yaitu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 yang menyatakan bahwa penukaran juga merupakan pemindahan hak milik. Dalam hal ini, putusan yang dihasilkan dari Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi yang menyatakan bahwa surat pertukaran tersebut adalah tidak sah dapat dikatakan tidak berlandas atau cacat hukum. C. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Analisis hukum sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu yaitu ada beberapa kekeliruan yang terdapat dalam putusan hakim peradilan tingkat pertama dan hakim peradilan tingkat banding. Diantaranya yang pertama, hakim tidak mempertimbangkan bukti surat pertukaran tanah yang disengketakan, dalam hal ini hakim telah mengabaikan Pasal 1866 KUHPerdata yang berbunyi “Alat pembuktian meliputi: bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; sumpah”, dalam hal ini bukti surat tersebut merupakan bukti tertulis yang juga merupakan alat bukti berupa akta autentik. Selain itu dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tepatnya pada Pasal 26 Ayat (1) yang berbunyi “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”, dalam pasal ini jelas dikatakan bahwa penukaran juga termasuk dalam pemindahan hak milik. Yang kedua, bukti fotocopy surat jual beli tanah tertanggal 24 Juli 1935 yang terlihat modern, surat tersebut mencantumkan luas tanah ± 961M2. Jika dilihat dari Undang-
12
Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dalam penjelasan umum Pasal 2 bahwa tanah diseluruh Indonesia belum ada pencantuman atau penyebutan sistem kesatuan tanah dengan hektar ataupun meter, melainkan masih menggunakan istilah BAU. Selain itu, bukti fotocopy surat jual beli tersebut tidak dibubuhi cap/stempel serta tidak ada ada saksi yang melihat ataupun mengetahui jual beli tanah tersebut. Yang ketiga, hakim banding hanya mengenyampingkan tentang stempel atau cap mana yang sah dengan alasan bahwa itu bukan hal dalam putusan keperdataan, dalam pernyataan hakim banding tersebut maka ia telah mengabaikan salah satu asas pembuktian yaitu asas audi et alteram partem yang berarti asas ini mewajibkan hakim untuk mendengarkan kedua belah pihak dengan memberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan dalilnya masingmasing sebelum menjatuhkan putusan. Dalam hal ini pembuktian dari stempel/cap yang sah digunakan agar dapat mengetahui surat manakah yang diketahui keabsahannya. Keempat yaitu ketidaksinambungannya keterangan dari para saksi yang diajukan penggugat. Keterangan saksi 1 tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan saksi 2. Saksi 6 tidak sesuai dengan saksi 1, saksi 2 dan saksi 3. Kemudian keterangan dari saksi 5 sesuai atau dapat menguatkan bukti yang diberikan tergugat. Ini merupakan kekeliruan hakim dalam menerapkan kaidah hukum. Pandangan hukum terhadap sengketa tanah akibat pertukaran tanah di wilayah Kota Kotamobagu ini yaitu adanya kekeliruan dalam penerapan hukum dalam hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan hakim di tingkat Pengadilan Tinggi. Dimana diantaranya yaitu penerapan hukum dalam putusan yang menyatakan bahwa surat pertukaran yang diajukan oleh pihak tergugat sebagai alat bukti adalah tidak sah. Dari pandangan hukum, seharusnya putusan tersebut menerapkan aturan UndangUndang Pokok Agraria Pasal 26 Ayat 1 sebagai bahan pertimbangan hakim selaku penegak keadilan dalam peradilan. 2. Saran
13
a. Haruslah hakim tingkat peradilan pertama selaku hakim pertama yang menyarankan solusi awal berupa mediasi ini lebih teliti dalam melihat bukti-bukti yang diajukan dan tidak memihak. Selain itu, hakim juga harus lebih teliti dalam memperhatikan jawaban atau keterangan dari para saksi. Hakim tingkat peradilan pertama seharusnya merupakan penengah pertama dan terakhir dalam beracara apabila semua pembuktian dapat diperiksa dengan baik. Disamping itu, hakim seharusnya tidak mengenyampingkan pembuktian dari sah atau tidaknya stempel/cap yang digunakan dalam alat-alat bukti surat. b. Haruslah putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat peradilan pertama dan hakim tingkat peradilan tinggi lebih akurat yang mengandung kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak yang bersengketa, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Asnawi, M.Natsir, Hukum Pembuktian Perkara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2013 Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013 Hariri, M.Wawan, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2011 Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah Edisi 2008, Jakarta, Djambatan, 2008 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2010 Muhjad, Hadin dan Nuswardani, Nunuk, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Yogyakarta, Genta Publishing, 2012
14
Purbacaraka, Purnadi dan Halim, A. Ridwan, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985 Santoso, Urip, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta, Kencana, 2012 Syarief, Elza, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta, PT. Gramedia, 2012 Wantu, Fence.M dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Reviva Cendekia, 2010 Zumrokhatun, Siti dan Syahrizal, Darda, Undang-Undang Agraria & Aplikasinya, Jakarta, Dunia Cerdas, 2014
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958
JURNAL Sumarto, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan Prinsip Win Win Solution Oleh Badan Pertanahan Nasional RI, 2012 Hidayat, A.Rozi, Jurnal Kajian Hukum Tukar Menukar Dalam Pengelolaan Tanah Pecatu (Studi Di Kabupaten Lombok Timur), 2014
SUMBER WEBSITE http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/71/name/sulawesi-utara/detail/7174/kota-kotamobagu http://ferdinand-mokodompit.blogspot.com/2014/12/sejarah-singkatkotamobagu-dari.html
15
16