1 Laut Nusantara Butuh Pemetaan Negeri kita kaya, kaya raya saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimajinasilah. Gali!, Bekerja!, Gali!, Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia. —Soekarno, Presiden Pertama RI-
1
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Prospek Sumber Daya Mineral dan Energi Kelautan Penyelidikan dan pemetaan geologi kelautan pada dekade terakhir ini makin ditingkatkan. Penyelidikan dan pemetaan tersebut terutama bertujuan untuk mencari sumber daya mineral dan energi bernilai strategis dan ekonomis. Hal ini dilakukan mulai dari kawasan pantai sampai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Sebab, sumber daya mineral dan energi di darat makin langka dan terbatas cadangannya. Prospek sumber daya mineral dan energi di laut dalam Indonesia, sampai saat ini masih didominasi oleh minyak dan gas bumi. Potensi migas di Indonesia lebih dari 70% terdapat di cekungan-cekungan Tersier lepas pantai. Lebih dari separuh cekungan-cekungan Tersier tersebut, terletak di laut dalam (deep sea). Sampai tahun 2006, telah terindikasi 67 cekungan migas di seluruh Indonesia. Angka ini muncul setelah Puslitbang Geologi Kelautan memisahkan Cekungan Gorontalo menjadi dua cekungan yang berbeda. Total potensi minyak bumi yang telah terukur mencapai 86,9 miliar barrel. Namun, baru sekitar sepersepuluhnya yang terbukti. Total cadangan gas bumi terukur mencapai 384,7 triliun kaki kubik (TCF). Sementara yang terbukti, baru mencapai seperempatnya. Potensi kelautan lain yang tidak kalah besarnya adalah sumber daya mineral dasar laut. Jenis mineral dasar laut yang telah diidentifikasi terdiri dari: (1) timah berupa endapan letakan (placer deposit); (2) fosforit berupa fosfat kalium; (3) kerak dan nodul oksida yang berindikasi mangan; (4) kobalt; (5) pasir besi; (6) lumpur logam besi; (7) kromit yang berasosiasi dengan batuan ultrabasa-ofiolit; (8) mineral zirkon dan monasit; serta (9) karbonat dan agregat bahan konstruksi. Selain itu, ditemukan pula potensi indikasi mineral hydrothermal, antara lain di perairan Sulawesi Utara, Teluk Tomini, Selat Sunda dan perairan Wetar (gunung api bawah laut Komba, Abang Komba, dan Ibu Komba). Terkait indikasi ini, PPPGL bersama BPPT, LIPI dan Berlin University, Jerman telah melaksanakan Ekspedisi Bandamin II. Dalam ekspedisi tersebut, telah dilakukan analisis kandungan logam dari batuan hidrotermal yang diambil dari dasar laut. Hasilnya, batuan hidrotermal di area tersebut menunjukkan konsentrasi logam emas yang bernilai ekonomis, yaitu mencapai antara 2,76-
2
Laut Nusantara Butuh Pemetaan
5,12 ppm. Sebagai perbandingan, kandungan emas pada batuan di kawasan tambang PT Freeport Indonesia di Grasberg, Papua Barat, rata-rata hanya mencapai 1,21 ppm. Sedangkan kandungan emas di tambang PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau hanya mencapai kadar 0,5 ppm. Potensi lain yang belum sepenuhnya dikenal dan dimanfaatkan adalah sumber energi berupa gas hidrat laut dalam. Gas hidrat laut dalam ini diindikasikan oleh adanya lapisan BSR (Bottom Simulating Reflector) pada penampang seismik. Lapisan ini diduga merupakan akumulasi gas hidrat yang umum ditemukan pada cekungan-cekungan busur muka seperti di Cekungan Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Cekungan Lombok, Cekungan Sawu, dan Cekungan Minahasa. Gas hidrat merupakan hasil proses kristalisasi gas metana (CH4) yang terperangkap dalam kondisi beku (kristal) pada batuan penutup yang bersifat plastis. Kadang-kadang gas ini berasosiasi dengan aktivitas gunung lumpur (mud volcano). Gas hidrat juga dikenal sebagai energi abad 21. Sayangnya, walaupun saat ini telah ditemukan beberapa indikasi potensi sumber gas hidrat, namun cadangan tersebut masih belum dapat dieksploitasi secara ekonomis sebagai bahan bakar alternatif.
Kebijakan Kementerian ESDM dan Misi PPPGL Salah satu kebijakan Kementerian ESDM dalam upaya menemukan sumber-sumber migas baru dan mineral di dasar laut, adalah meningkatkan kemampuan survei, eksplorasi dan penerapan teknologi kelautan pada institusi penelitian dalam negeri. Peningkatan ini tidak lain adalah upaya melepaskan ketergantungan survei oleh pihak asing. Dengan memberdayakan institusi dalam negeri, maka diharapkan kegiatan-kegiatan survei pendahuluan geologi kelautan dapat diambil alih. Sehingga, “cost recovery” kontraktor asing yang selama ini menjadi beban pemerintah, dapat dihemat dan dialihkan menjadi penerimaan negara yang cukup signifikan. Istilah “cost recovery” (pengembalian/pemulihan biaya) dalam industri migas adalah konsekuensi dari sistem kontraktor bagi hasil migas. Para kontraktor ini dikenal sebagai Kontraktor Production Sharing (KPS), yang sekarang diistilahkan sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Mereka akan mendapatkan pengembalian total (100%) biaya eksplorasi dari pemerintah
3
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
RI, berkenaan dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan selama mencari (eksplorasi) sumber-sumber migas. “Cost recovery” juga mencakup biaya sur vei umum atau survei pendahuluan. Pada tahun 2006, “cost recovery” yang harus dibayar oleh pemerintah men capai lebih dari Rp. 50 triliun per tahun. Hasil temuan pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada tahun 2005, menyatakan bahwa Rp. 14,20 triliun dari “cost recovery” yang telah dibayarkan pemerintah sebenarnya dapat dihemat. Misi Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan), Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian ESDM, dalam upaya percepatan penemuan sumber-sumber baru migas dan mineral di laut, adalah sebagai berikut: 1. Turut melaksanakan eksplorasi pendahuluan atau survei umum pada daerah-daerah prospek sumber-sumber minyak baru di lepas pantai, untuk meningkatkan “lifting” agar mencapai kuota produksi minyak nasional. 2. Eksplorasi potensi sumber-sumber “gas biogenik” atau gas metana di perairan dangkal, sebagai sumber energi alternatif bagi masyarakat ka wasan pantai yang terpencil, serta antisipasi kelangkaan energi migas pada masa depan. 3. Melaksanakan pemetaan geologi kelautan di seluruh perairan Indonesia. Hingga tahun 2006, pemetaan ini baru mencapai 18,1%. Pada tahun 2008, wilayah terpetakan meningkat menjadi 20,1%. Sampai tahun 2011, setelah menggunakan KP Geomarin III, luas wilayah laut yang telah ter petakan meningkat mencapai 24,4%. 4. Mendukung program nasional untuk mengajukan hak-hak kedaulatan di wilayah laut Landas Kontinen di luar 200 mil. Pengajuan ini dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPPT, Bakosurtanal dan Dishidros-AL. Bentuknya adalah penyiapan do kumen resmi yang telah diajukan kepada Commission of the Limit of the Continental Shelf (CLCS), Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 5. Nasionalisasi survei-survei rekayasa kelautan yang selama ini selalu dilaksanakan oleh kontraktor/konsultan asing. Survei-survei rekayasa
4
Laut Nusantara Butuh Pemetaan
tersebut mencakup studi kelayakan pemasangan kabel telekomunikasi, kabel listrik tegangan tinggi, pipa migas, dan eksplorasi pendahuluan cekungan migas lepas pantai. 6. Melaksanakan eksplorasi mineral hidrotermal (emas dan tembaga) di dasar laut sebagai kelanjutan Ekspedisi Bandamin II, yang bermitra de ngan institusi-institusi penelitian asing.
Puslitbang Geologi Kelautan diharapkan dapat berperan aktif menunjang program pembangunan nasional sektor ESDM, sekaligus berfungsi sebagai lembaga operasional pendukung. Untuk itu, telah ditempuh pemberdayaan kelembagaan sebagai berikut: 1. Merintis pembangunan Kapal Survei Magex (Marine Geological Exploration) yang telah dimulai sejak tahun 1993 (tercantum dalam Buku Biru Bappenas 1993-1997). Kapal survei ini diperkirakan bernilai Rp. 140 miliar, dan diproduksi oleh galangan kapal dalam negeri. Harga ini relatif lebih murah jika dibandingkan dengan kapal sejenis buatan Eropa (Belanda, Jerman, Norwegia) dengan perkiraan harga Rp. 200 miliar (sekelas dengan Kapal Survei Baruna Jaya VIII milik LIPI).
Kapal Peneliti Magex ini kemudian, oleh Menteri ESDM Dr. Ir. Poernomo Yusgiantoro, diberi nama resmi sebagai KP Geomarin III. Nama ini dipilih dari tiga alternatif nama yaitu: (1) KP Djuanda sebagai pelopor Deklarasi Djuanda 1957; (2) KP Amonit, nama sejenis fosil siput purba yang dikenal sebagai “fosil indeks” dalam menentukan umur batuan, umumnya logo amonit ini digunakan sebagai lambang ilmu geologi; dan (3) meneruskan nama Geomarin sebagai kapal peneliti generasi ketiga PPPGL yaitu Geomarin III.
Kapal ini dibangun di galangan kapal PT PAL Surabaya berdasarkan kon trak terbuka senilai Rp. 98 miliar. Kontrak tersebut dianggarkan dalam APBN dengan cara penggangaran multiyears, selama dua tahun anggaran. Konsultan pengawas selama pembangunan kapal ini dilakukan oleh PT Rekapolah.
2. Melaksanakan pengadaan peralatan survei standar industri perminyakan, yaitu seismik multi-channel, seabeam, SeaNav software, serta peralatan
5
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
pendukung seperti Remotely Operated Vechicle (ROV) yang merupakan satu-satunya peralatan inspeksi bawah laut yang dimiliki oleh Indonesia saat itu.
Program pendidikan formal dan peningkatan sumber daya manusia jangka panjang, diantaranya adalah proyeksi capaian PPPGL yang menargetkan akan memiliki 10 Doktor (S-3), dan 30 Mater (S-2) pada tahun 2014. Program ini juga mencakup kursus keterampilan bagi perwira kapal serta ABK (awak kapal) secara berjenjang di Akademi Pelayaran Semarang. Seperti diketahui bahwa Eksplorasi sumber daya energi dan mineral di bawah laut memerlukan dana yang relatif tidak sedikit. Berdasarkan kompilasi data beberapa survei eksplorasi yang telah dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2006, dapat dikemukakan beberapa pagu biaya rata-rata kegiatan sebagai berikut: 1. Survei seismik multi-channel untuk reservoir minyak dan gas bumi berkisar US$ 12,5 juta per lokasi. 2. Feasibility Study pemasangan pipa atau kabel laut berkisar Rp. 1,5 miliar – Rp. 30,0 miliar per route. 3. Pemetaan lembar sistematik (100 km x 150 km) berkisar Rp. 10 miliar per lembar. 4. Survei Landas Kontinen, mineral hidrotermal, dsb. berkisar Rp. 800 juta per kegiatan. 5. Penyewaan kapal survei seismik standar industri berkisar US$ 20.000,00 per hari, sementara sewa peralatan seismik multi-channel sekitar US$ 15.000,00 per hari, belum termasuk remunerasi pakar dan teknisi yang berlisensi.
Sebagai perbandingan, jika pemetaan geologi kelautan bersistem dengan cakupan 4 lembar peta (4 x 100 km x 150 km) ini dilaksanakan oleh pihak asing, dengan kapal penelitian dan personel asing, maka diperlukan biaya sekitar Rp. 10 miliar per lembar. Namun, jika dikerjakan oleh kapal survei ber bendera Indonesia dengan standar capaian yang sama, maka biaya survei
6
Laut Nusantara Butuh Pemetaan
hanya mencapai sekitar Rp 2,2 miliar per lembar.
"Biaya Survei dengan kapal survei sendiri hanya 1/5 dari survei dengan personel dan kapal asing"
Dengan demikian, pemetaan geologi bawah laut Indonesia secara mandiri menjadi sangat mendesak, baik demi mempercepat penemuan sumbersumber baru mineral dan sumber energi, maupun menghemat anggaran negara.
Laut lebih menjanjikan dari pada darat. Sayang teknologinya belum kita punyai, mengingat kedalaman laut dalam yang mencapai 1.000-6.000 m. Dengan adanya pemetaan kita tahu potensi kita, dan dari sana kita seharusnya bisa mulai berpikir bagaimana memanfaatkan dan mengelola potensi ter sebut demi kemakmuran bangsa.
Sekelumit tentang Pemetaan Geologi Kelautan Pemetaan geologi di laut sebenarnya hampir sama dengan pemetaan di darat. Peta yang dihasilkan sama saja. Bedanya, di darat kita bisa langsung menemukan dan mengamati mana batuan beku, batuan pasir, lumpur, dsb. Sedangkan di laut, kita tidak mungkin melihat langsung kenampakankenampakan geologis tersebut. Di laut, yang kita lihat adalah image (citra). Ciri-ciri bentuk lumpur seperti apa pada citra tersebut, batuan beku seperti apa, gunung api dan terumbu koral seperti apa. Citra tersebut diperoleh dari rekaman peralatan metode geofisika. Contohnya adalah metode seismik. Dengan metode ini, kita bisa memetakan kondisi dari dasar laut ke bawah dengan sangat jelas. Misalnya di sana ada batuan pasir, akan muncul pada citra ciri-ciri batuan pasir. Kubah garam, ditandai bentukan seperti jamur. Kemunculan batuan intrusi, akan terlihat tubuh yang berbeda dengan batuan di sekitarnya. Ada cekungan yang kemudian terisi sedimen, akan terlihat lapisan pertama, kedua dst. Metode seismik yang memetakan dari dasar laut ke bawah, biasanya digolongkan sebagai bentuk profiling (penampang—peny.).
7
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Ada juga metode selain profiling, yaitu side scan, misalnya dengan sonar. Jika profiling menghasilkan gambaran dari atas ke bawah, maka side scan meng hasilkan gambaran dasar laut ke samping (horisontal). Jika di bawah laut ter dapat gunung api, akan terlihat dengan metode ini. Dari metode ini, kita juga bisa mengukur luas, tinggi, bentuk, dan orientasi obyek gunung api tersebut. Ada pula metode sea beam yang menghasilkan citra morfologi di dasar laut. Metode ini mirip pemetaan batimetri dengan lintasan yang sangat rapat. Jadi ibaratnya, dalam metode sea beam, lintasan-lintasan batimetri yang sangat rapat itu kemudian di-scan hingga langsung terlihat bentuk morfologi dasar lautnya. Bahkan bukan hanya morfologi, reruntuhan kapal tenggelam, jalur pipa migas, dan kabel lautpun akan terlihat sangat jelas dengan metode ini. Dua atau tiga jenis metode pemetaan ini kemudian digabungkan hasilnya untuk kemudian diinterpretasikan secara terpadu. Outcome-nya kemudian adalah penafsiran image, bahwa dengan mudah dapat memisahkan jenis singkapan batuan beku, endapan pasir, atau lempungan, atau ada sedimen mengandung gas (gas charged sediment) yang dicirikan lapisan berbentuk chaotic karena gas tidak mampu memantulkan gelombang seismik dengan sempurna. Berdasarkan penafsiran peta permukaan dasar laut dan penampang bawah permukaan itulah kami membuat peta. Peta yang dihasilkan bermacammacam. Ada peta sebaran sedimen. Ada peta isopach yaitu ketebalan masingmasing lapisan seismik. Penampang seismik umumnya memperlihatkan bermacam-macam lapisan. Lapisan yang paling muda dan paling atas biasanya disebut holocen, yang bentuknya spesifik tipis dan halus. Di bawahnya ada lapisan Kuarter yang lebih tua, di bawahnya lagi ada lapisan Tersier, dan seterusnya. Batas antara lapisan Kuarter dan Tersier itulah yang biasanya menandai batas lapisan geologi sebagai lapisan kunci (key bed), seperti adanya truncation (ketidakselarasan akibat terpotongnya puncak lapisan). Dalam keadaan normal, semua lapisan tadi mestinya terletak sejajar. Namun dalam keadaan tertentu biasanya ada lapisan yang memotong lapisan lain. Lapisan yang
8
Laut Nusantara Butuh Pemetaan
memotong ini umurnya pasti lebih muda daripada lapisan yang terpotong. Aturan-aturan ini memiliki konsep tersendiri dalam ilmu geologi. Berbekal aneka peta tersebut, kita melakukan pemetaan secara profiling ke bawah dasar samudera hingga menemukan potensi-potensi sumber daya seperti cekungan. Bisa jadi kita menemukan antiklin yaitu suatu bentuk cebakan yang berpotensi sebagai reservoir minyak bumi. Cebakan tersebut bisa jadi dapat dikategorikan lagi sebagai Play atau Lead hidrokarbon yang merupakan indikator kehadiran migas. Akan tetapi, pemetaan yang kami lakukan adalah terbatas sebagai studi pendahuluan, belum sampai kepada kategorisasi detail seperti itu. Kami hanya sampai menampilkan bentuk-bentuk reservoir atau cebakan yang kemungkinan dapat mengandung sumber daya tertentu. Setelah studi pendahuluan yang kami lakukan, bisa saja ada tindak lanjut dari ahli geologi dan geofisika lain untuk mengkaji bentuk-bentuk tersebut. Metode yang mereka gunakan tentu bukan hanya seismik. Akan ada korelasi data pemboran, logging, pengambilan dan analisis sampel, dsb. Berdasarkan survei-survei lanjutan tersebut akan dapat diketahui apakah memang bentukbentuk tersebut adalah Play hidrokarbon atau bukan. Dengan metode pemboran pada puncak Play, para ahli geologi dan geofisika tersebut bisa menghitung cadangan. Dengan demikian, akan diperoleh Prospect atau Lead sebagai cadangan terukur. Umumnya, porositas batuan reservoir berkisar sekitar 2-15%, maka volume cadangan migas di dalamnya pun maksimal hanya 15%. Dalam hal memperkirakan besarnya cadangan dalam reservoar ini, ada kala nya terlalu dini menafsirkan cadangan tanpa dukungan data lainnya. Mungkin kita pernah membaca berita bahwa di cekungan Simeulue, perairan barat Aceh, ditemukan giant reservoir dengan cadangan minyak bumi sebesar 250 miliar barrel. Kemungkinan yang dimaksud adalah volum keseluruhan batuan reservoirnya, inipun masih spekulatif karena belum tentu mengandung hidrokarbon. Sebagai pembanding, Arab Saudi saja sebagai negara produsen terbesar minyak bumi di dunia, hanya memiliki cadangan sebesar 220 miliar barrel. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian ESDM selama ini, jumlah cadangan migas yang ditemukan dari seluruh cekungan di Indonesia baru
9
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
mencapai 9 miliar barrel. Dari 9 miliar barrel tersebut, baru sekitar 10%-nya yang telah diambil. Survei Geomarin III hanya sampai pada pemetaan basin (cekungan), seperti Cekungan Gorontalo, Cekungan Pati, Cekungan Mahakam dan Cekungan Tomini. Kami tidak bergerak pada pembuktian kandungan hidrokarbonnya, karena terbatas hanya pada prospek indikatifnya saja. Salah satu hasil pemetaan PPPGL di Cekungan Gorontalo pada tahun 2006, telah menambah jumlah cekungan migas yang dipublikasikan oleh IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) yaitu menjadi 67 cekungan. Hal ini berdasarkan kajian kami bahwa Cekungan Gorontalo ternyata terdiri dari dua cekungan yang berbeda pembentukannya, sehingga merupakan dua cekungan yang terpisah. Saat ini jumlah cekungan berpotensi migas telah dipublikasikan oleh BP Migas mencapai 86 cekungan. Pemetaan menggunakan kapal Geomarin paling tidak menghasilkan lima peta utama. Yang pertama peta geologinya sendiri yang menggambarkan sebaran batuan dasar laut yaitu jenis batuan seperti pasiran, lumpuran, batuan beku, dsb. Yang kedua adalah peta struktur yang menggambarkan struktur geologi seperti patahan, lipatan, terban, horst dan graben. Peta lainnya adalah peta batimetri, peta isopach seismik, dan peta anomali magnet. Selain itu, kami juga membuat peta sebaran mikrofauna, peta sebaran mineral logam, peta sebaran mineral langka, dan peta parameter geoteknik lainnya. Jadi hasilnya total ada sembilan peta tematik. Tapi umumnya lima peta tematik utama yang wajib dilampirkan pada laporan hasil pemetaan. Dari gambaran produktifitas peta-peta ini, kita bisa melihat bawah PPPGL mulai berkiprah menjadi institusi pengelola data dasar. Pada waktu saya memasuki usia pensiun (purnabakti) sudah tersimpan lebih dari 6.000 sampel. Semuanya disimpan dan diawetkan dalam cold storage khusus bersuhu 6-7°C untuk menjaga kelembaban agar sampel tidak rusak tetapi juga tidak membeku (air mulai membeku pada suhu 4°C). Di kantor PPGL Cirebon kami memiliki tiga cold storage sejenis kamar pendingin berukuran besar. Pada saat bekerja memilah-milah sampel di dalamnya, kita harus menggunakan mantel khusus agar tidak menggigil kedinginan.
10
Laut Nusantara Butuh Pemetaan
Sebagai gambaran, untuk satu lembar peta biasanya paling sedikit membutuhkan data dari 30 sampel. Jadi untuk membuat 12 peta, dianalisa paling sedikit 360 sampel dalam setahun. Sampel yang diambil menggunakan gravity corer ini dipotong-potong menjadi potongan satu meteran. Separuh sampel meteran ini langsung dianalisa, sedangkan sisanya disimpan. Sampelsampel ini juga dipisahkan dan disusun berdasarkan nama lembar peta atau Tim Survei, lokasi pengambilan, kedalaman, dan didaftarkan menurut katalog pada sistem data base. Dengan demikian, jika kita ingin meneliti kembali sampel-sampel tersebut akan mudah ditemukan pada rak-rak penyimpanannya. Kami juga memiliki alat underwater gravitimeter U26/964 untuk mengukur percepatan gaya berat. Alat itu diperoleh pada tahun 1984. Waktu itu tidak ada di antara kami yang paham cara mengoperasikannya. Kami baru menggunakan alat gravimeter itu pada tahun 1992, setelah kami memberanikan diri untuk mengutak-atik sendiri. Untuk pertama kalinya alat ini digunakan di perairan utara gunung Muria berkaitan dengan penelitian rencana tapak proyek PLTN. Salah satu yang unik pada alat underwater gravitimeter buatan pabrikan La Coste-Romberg ini, adalah jumlahnya yang hanya dibuat sebanyak 10 buah untuk seluruh dunia. Hebatnya, salah satunya dimiliki PPGL. Sayangnya, saat ini, alat gravitimeter ini sudah tidak dapat dioperasikan lagi karena tidak ada lagi spare part-nya di pasaran. Padahal, peralatan ini merupakan alat yang handal dalam studi batuan dasar (basement rock) cekungan lepas pantai. Apalagi jika diintegrasikan dengan data anomali magnet dan seismik, maka kita dapat memodelkan bentuk cekungan lengkap dengan urutan-urutan lapisan batuan pengisinya.
Menuju Negara Pantai yang Berdaulat Penuh Dari 65 negara kelautan, baru 12 negara yang lolos mengklaim wilayah landas kontinen di luar 200 mil, yaitu India, New Zealand, Australia, Prancis, Kanada, Rusia, Jepang, dst. Indonesia merupakan negara ke-12. Walaupun demikian, kita masih termasuk negara pantai, dan belum termasuk negara maritim, karena belum memiliki industri konstruksi dan jasa maritim yang dapat diandalkan. Sebagai negara pantai kita sudah memenuhi kriteria
11
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
yang disyaratkan oleh konvensi hukum laut internasional (UNCLOS 1982). Batas-batas laut teritorial, zona tambahan (contigous zone), dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan landas kontinen sudah ditetapkan dan dicantumkan pada peraturan perundangan. Namun, batas landas kontinen di luar 200 mil harus disubmisikan ke CLCS (Commission for Limit of the Continental Shelf) PBB untuk mendapat pengakuan dunia. Komisi PBB ini hanya bersidang setiap 30 tahun sekali. Bayangkan jika kita belum mensubmisikan klaim sebelum tahun 2012 lalu. Maka, kita baru punya kesempatan lagi pada tahun 2042, atau setelah hampir seratus tahun kita merdeka, Cukup ironis!. Alhamdulillah, Indonesia telah memperolah pengakuan perluasan wilayah laut di landas kontinen di luar 200 mil laut. Dokumen yang diajukan pemerintah Indonesia di barat laut Sumatera telah secara resmi diserahkan kepada Sekretaris jenderal PBB melalui CLCS pada tanggal 16 Juni 2008. Submisi ini tercatat sebagai Dokumen Submission CLCS/62. Sedangkan rekomendasinya telah diadopsi pada tanggal 28 Maret 2011. Cita-cita saya sebenarnya bukan hanya melakukan klaim landas kontinen saja, melainkan sampai ke wilayah ISBA (International Sea Bed Authority). Kita harus punya wilayah hak berdaulat di luar landas kontinen sebagai citacita ke depan (outward looking). Saat ini baru ada 8 negara yang memiliki hak tersebut. Di sekitar wilayah Indonesia, ISBA atau “the Area” ini terletak di Samudera Hindia, selatan India. Negara Asia yang telah mengklaim hak berdaulat di wilayah ini adalah: India, Korea, Jepang, dan China. Indonesia seharusnya juga berani mengklaim wilayah tersebut. Caranya mudah, Bentuk tim terpadu, Kirim kapal Geomarin III ke sana, lakukan survei pemetaan selama sebulan, dan kirim hasilnya ke PBB sebagai submisi resmi. Hal ini bukan hanya sekedar mengklaim wilayah hak hak berdaulat, tetapi juga akan mengangkat martabat bangsa sebagai negara pantai yang disegani. India misalnya, sudah dianggap lengkap sebagai negara pantai oleh PBB karena telah memilki zona maritim yang komplit sesuai UNCLOS 1982.
12