Kita Tidak Butuh Sekolah ! Kita Butuh Guru Oleh Leistar Adiguna*) Tema besar dengan huruf besar PENDIDIKAN. Suatu saat, Emha Ainun Najib membahas soal pendidikan saat maiyahan di Kasihan Bantul. Maiyahan adalah acara diskusi diiringi dzikir doa bersama. Acara ini dibawakan oleh Emha dan Kiai Kanjeng-nya. Saya mengikuti diskusi itu sepanjang malam hingga pagi. Kemudian besok malam-nya, saya melihat acara pertunjukan panggung rakyat di Malioboro bertajuk : Jogja Istimewa ? Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, dan Tanpa Gusuran. Tema yang sama dengan apa yang dibahas ketika maiyahan. Ketika kita membicarakan tema pendidikan ini, sepertinya hanya akan membawa kita kepada suatu kesia-siaan waktu saja. Masalahnya, pendidikan kalau didiskusikan dalam konteks forum-forum non-formal dan bukan dalam konteks guru dengan guru, bakal percuma. Anda boleh beropini pendidikan untuk anak itu seharusnya mengedepankan minat dan bakat anak sehingga potensi anak tidak akan terabaikan. Tidak seperti pendidikan di negara ini sekarang. Atau opini lain. Seharusnya pendidikan itu gratis. Tidak boleh ada campur tangan kaum pemodal atau kapitalis dalam pendidikan. Kalau ada, hasilnya adalah komersialisasi pendidikan. Ujungujungnya uang. Opini atau kritik-kritik semacam itu hanya bakal mentok di ujung gang buntu. Masalahnya, mau diapa-apakan juga, pendidikan, selama hanya berkutat soal lulus sekolah ini atau dapat nilai sebesar ini, bakal percuma. Sebab, pendidikan pada akhirnya hanya soal ukuran. Ukuran apa ? Ukuran gengsi. Dari dulu, debat soal penting tidaknya pendidikan selalu berkecamuk dalam diskusi bertemakan pendidikan. Bayangkan ada percakapan seperti ini. Bob Sadino: “Mau kaya? berhentilah sekolah atau berhentilah kuliah sekarang juga, and start action, karena ilmu di lapangan lebih penting daripada ilmu di sekolahan atau kuliahan.” Mario Teguh: “Berhati-hatilah dengan orang yang membanggakan keberhasilannya walaupun dia berpendidikan rendah. Itu tidak boleh dijadikan dalil. Pendidikan itu penting. Buktinya, dengan pendidikan yang sedikit saja, dia bisa berhasil, apalagi jika dia terdidik dengan lebih baik. Bukankah kita dianjurkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina? Dengan ilmu, segala sesuatu bisa mencapai kualitas tertingginya.” Ketika pendidikan diukur dari kesuksesan pelakunya, maka hasilnya adalah perdebatan yang tak ada habis-habisnya antara pentingkah pendidikan untuk meraih keberhasilan. Saya rasa perdebatan semacam itu tidak akan pernah habis. Karena banyak orang bias sukses bahkan tanpa pernah masuk SMP. Bersekolah bukanlah jaminan meraih kesuksesan seseorang. Apalagi kalau melihat pengangguran zaman sekarang yang rata-rata sudah S1. Bukan lalu berarti pendidikan formal lantas menjadi tidak penting. Karena hakekat dasarnya manusia itu butuh pengetahuan. Beranjak dari pengetahuan, manusia lalu mendapatkan pendidikan yang membuatnya menjadi manusia seutuhnya.
Ketika kita masih menjadi anak ingusan kita tidak akan pernah memahami seberapa kita membutuhkan pelajaran tentang 4 sehat 5 sempurna, misalnya. Tapi tentu ketika kita sudah mencapai taraf dewasa tiba-tiba kita memahami makanan itu harus memenuhi semua kebutuhan tubuh kita terhadap gizi. J.J Rosseau pun mengartikan pendidikan sebagai pembekalan yang kita dapatkan ketika anak-anak dan kita tidak membutuhkannya. Kita membutuhkannya kelak dewasa nanti. Untuk menjadi, apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, manusia dan anggota masyarakat yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Betapa mulianya pendidikan itu. Namun masalahnya, sukses yang dipandang orang sekarang itu kesuksesan secara materi dan status sosial. Menjadi tukang sapu jalanan itu pekerjaan yang tidak “benefit”. Mana ada sarjana yang mau jadi tukang sapu jalanan. Apa kata dunia, kan ? Dan mungkin karena itulah Emha akhirnya berhipotesa saat maiyahan. “Pendidikan itu penghancuran manusia”. Pernyataan yang ekstrim. Tapi dengan asumsi pendidikan yang dimaksud Emha itu pendidikan yang seperti sekarang ini kita rasakan, saya rasa ada benarnya juga. Toh, sebenarnya, tanpa ada pendidikan pun manusia juga bisa hidup. Bahkan saya pikir jauh lebih baik daripada ada pendidikan. Pendidikan model sekolah, ijasah, nilai, atau kelulusan pada akhirnya hanya bakal bikin manusia pusing dan menambah beban. Lihat. Pada akhirnya pengetahuan yang didapatkan seorang anak dalam sekolah, bisa saja ia dapatkan dari tong sampah. Atau dari nyanyian seorang pengamen. Pengetahuan bisa didapat dari mana saja, jika orang itu berpikir. Lalu buat apa ada sekolah ? Sosialisasi Sekolah itu sebenarnya tidak seberapa jauh penting dibandingkan dengan bermain. Bermain saya rasa jauh lebih efektif dibandingkan dengan sekolah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utamanya pendidikan, yang dalam hal ini diwakili institusi sekolah, kan juga membuat manusia menjadi manusia. Lah, kalau melihat itu sekarang, tidaklah penting kurikulum pelajaran-pelajaran di sekolah. Yang penting adalah bagaimana seorang anak bisa berinteraksi dengan anak lain. Dengan baik. Dan sekolah adalah percetakan paling potensial untuk itu. Pada kelanjutannya, sekolah menjadi penempa kesosialan seorang anak. Ia bisa menjadi makhluk sosial jika ada sekolah. Itu inti sekolah yang jarang kita sadari. Kita hanya berkutat pada soal-soal seperti pelajaran, uang SPP, ranking ataupun PR. Itu penting juga sebenarnya dalam sekolah. Tapi kalau unsur interaksi sesama anak dihilangkan, percuma kita sekolah. Memang kedengaran agak radikal. Namun untuk mencapai hasil yang baik dalam tiga domain pendidikan, kognitif, afektif, dan psiko-motorik, apa sekolah sudah mampu ? Justru tanpa adanya interaksi sosial antar anak, sekolah belum mampu untuk mencapai apa yang disusun Benjamin Bloom dalam tiga domain tersebut. Malahan, untuk mencapai hasil yang sudah maksimal, anakanak lebih baik disuruh bermain saja daripada duduk di kelas mendengarkan guru mengoceh. Manusia pada dasarnya makhluk sosial. Intinya mereka butuh interaksi dengan sesama supaya bisa hidup. Dan pendidikan seharusnya bisa menjadi faktor yang membantu manusia
menjadi manusia yang seharusnya. Nah, sekarang masalahnya pendidikan akademis yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah sudah tidak bisa lagi kita sebut pendidikan. Bayangkan saja, pendidikan zaman sekarang mahal sekali. Dan itu yang mendorong orang-orang SeBumi* pada malam minggu lalu berteriak, gratiskan pendidikan. Untuk rakyat ! Hidup rakyat ! Di Indonesia, zaman sekarang, semua urusan bisa lancar kalau ada duitnya. Nah, kalau anda tidak punya cukup uang untuk melancarkan urusan anda yang banyak di Negara ini, saya beri anda dua solusi. Anda harus pasrah. Itu pertama. Kedua, sebaiknya jadi TKI di Malaysia. Disiksa majikan itu resiko. Yang penting duit lancar. Dan itulah yang diangkat pada panggung rakyat ke-27 yang diadakan oleh SeBumi. Mereka benar-benar marah pada kaum kapitalis yang merusak semua lini kehidupan Indonesia. Tidak ada lagi kebersahajaan di negara ini. Semua harus dengan duit. Makanya orang miskin yang jadi korban. Sudah bodoh, tidak boleh sakit lagi. Sebab, sekolah mahal. Mereka tidak bisa lagi sekolah. Dan rumah sakit pun mahal. Jadi, mereka tidak boleh sakit. Lebih baik langsung mati saja. Jadi, apa separah itu pendidikan di negara ini. Mendengar diskusi orang-orang saat maiyahan lalu acara panggung rakyat di Malioboro, kelihatannya memang parah. Dan apa yang saya rasakan di sekolah juga menguatkan kesan itu. Kemudian pada akhirnya kita akan sampai hulunya. Sebuah tanda tanya besar. Mengapa ? Penyebab parahnya pendidikan di negera ini, sebenarnya gara-gara orang Indonesianya juga. Mungkin mereka sudah terlanjur enak dengan sistem kapital yang berasaskan modal atau duit. Kalau dipikir lebih dalam, mana ada orang yang mau rugi. Toh, pada dasarnya, kita selain sebagai makhluk sosial, kita itu juga makhluk kapital. Itu fitrah. Dan saat kita condong kepada kefitrahan kapital kita, nafsu lah yang bicara. Dan nafsu kalau sudah ngomong, tidak akan ada habisnya. Karena hati sudah mati saat itu. Kalau hati sudah mati, ya, mati saja semuanya. Jiwa Guru Dulu, waktu di mondok di Gontor, saya mendapat doktrin seperti ini dalam bahasa Arab. “Ath-thoriqatu ahammu minal maddah. Wal mudarris ahammu minat thoriqah. Wa ma ahammu minal mudarris. Ruhul mudarris ahammu min mudarris binafsihi.” Lebih kurang maknanya seperti ini. “Metode itu lebih penting daripada materi. Tapi guru lebih penting daripada metodenya. Lalu apa yang lebih penting dari seorang guru ? Jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.” Kalau dimasukkan dalam konteks pendidikan di Indonesia sekarang ini, kita lebih mementingkan materi pelajaran di atas metode mengajar. Dan metode, dalam hal ini kurikulum, lebih penting daripada gurunya. Lah, lalu mau dibuang ke mana jiwa guru sekarang oleh pendidikan kita. Materi malah yang paling dipentingkan. Itu gara-gara kita mendewakan sistem. Kita lupa bahwa sistem bisa berhasil jika ada orang-orang yang sesuai dengan sistem. Sekarang
dengan sistem pendidikan kita yang sedemikian rupa, adakah orang-orang yang sesuai dengan sistem tersebut ? Melihat pendidikan zaman kini, kita musti jujur. Baru sedikit orang yang sesuai dengan sistem itu. Pertanyaan selanjutnya, apa kita musti ganti sistem sekarang ? Percuma. Kita mau berganti jadi sistem apa pun, dan berapa kali pun ganti sistem, kalau tidak ada orang yang tepat, semuanya tidak bakal jalan. Unsur paling penting dalam pendidikan, mau dibolak-balik bagaimana pun, tetaplah guru. Guru itu yang paling penting. Tapi lebih penting lagi itu jiwa seorang guru. Kalau kita mementingkan ini, sistem bagaimana pun bakal lancar-lancar saja. Jiwa guru. Itu yang hilang selama ini. Makanya pendidikan semakin mahal. Makanya pendidikan seolah jalan di tempat. Jiwa guru itu sejatinya jiwa pengabdian. Kalau sudah niat mengabdi, yang dipikirkan bukan masalah duit atau materi lagi. Yang dicari itu ketentraman atau ketenangan jiwa. Sama seperti para abdi dalem keraton Yogyakarta yang mengabdi pada Sri Sultan. Gajinya saja tidak seberapa. Memang rasanya tak adil jika kita menyalahkan para guru. Mereka, biar bagaimana pun, sudah berjasa mencetak banyak orang-orang besar. Itu yang berhasil. Saya rasa yang bingung sendiri juga banyak. Yang malah memikirkan gaji, kesejahteraan, atau gengsi juga banyak. Yang seperti inilah yang kehilangan jiwa guru. Ini yang perlu dibenahi. Kuncinya adalah jiwa seorang guru dalam masalah pendidikan. Bukan masalah sistem yang kapitalis-lah atau metode kurikulum-lah. Percuma kita semalaman berdebat atau berdiskusi ngalor ngidul soal pendidikan yang benar kalau kita cuma berkutat soal hal yang sangat besar. Sistem. Tidak. Tidak ada yang salah dalam sistem. Orang dalam sistem-lah yang mustinya dibenahi. Dan sebelum membenahi orang dalam sistem, sebaiknya kita benahi dulu jiwa kita masing- masing. *SeBumi (Serikat Budaya Masyarakat Indonesia) adalah sebuah komunitas yang konsen di bidang seni dan budaya. Tiap dua minggu sekali di 0 km, Malioboro mereka mengadakan panggung rakyat dengan satu tema. Dalam panggung rakyat, siapa yang ingin menampilkan sesuatu, dipersilahkan naik panggung begitu saja. Tulisan ini dimuat di Koran Harian Kabar Banten dalam rubrik Opini *) Alumni KMI Gontor Ponorogo, mahasiswa Prodi Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Yogyakarta