Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konperensi Hukum LaUi Ke-Il/
89
KONSEPSI HUKUM NEGARA NUSANTARA PADA KONPERENSI HUKUM LAUT KE-uf Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
1. Pendahuluan Pada kesepalan lain kami telah memberikan ceramah mengenal Wawasan Nusantara dengan judul "Dari Konsepsi ke Wawasan Nusantara" yang menguraikan sejarah lahirnya konsepsi Nusantara, perkembangannya hingga menjadi Wilayah Negara Nusantara di mana tanah dan air merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kemudian berkembang lagi menjadi Wawasan Kesatuan Bangsa dan Negara yang terkenal dengan nama Wawasan Nusantara. Dilihat dari sudut hukum, uraian tadi pada haketnya merupakan uraian tindakan-tindakan sepihak Indonesia untuk mewujudkan suatu konsepsi at au buah pel1likiran dalal1l bidang Hukul1l Laut l1lenjadi suatu kenyataan. Oi dalam rangka tinjauan tadi baik Oeklarasi 13 Oesel11ber 1957. l1laupun Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia del11ikian pula Pengul1lul11an Pel1lerintah tanggal 17 Pebruari 1969, sel1luanya l1lerupakan tindakan sepihak (unilateral) daripada Indonesia. Perundingan-perundingan bilateral yang kemudian menghasilkan perjanjian-perjanjian bilateral, baik yang berupa perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen l1laupun Perjanjian Garis Batas Laut Territorial bahkan garis batas darat (antara Indonesia dan Papua Nugini) merupakan tahap penyelesaian tindak lanjut dengan negara tetangga daripada tindakan-tindakan unilateral terse but di alas. Uraian yang akan kami berikan pad a kesempatan ini lebih ditujukan kepada usaha Indonesia untuk memperjuangkan penerimaan konsepsi kepulauan (archipelago) dan Negara Kepulauan (Archipelagic State) dalam Hukum Laut secara universil , sehingga konsepsi kepulauan
• TulisJn ini diambil dari huku KOllsepsi Hukum Negara Nusantara pad a Konperensi Hukum LaO( ke-Ill. karangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Jdayu Press, lakana 1977. hal. 7-26.
Nomor 1 Tahun XXXIJJ
90
Hllklllll dall Pemballgllllall
yang . telah ada dalam tulisan-tulisan akademis mengenai Hukum Laut sejak tahun 20-an abad ini dapat dijadikan bag ian daripada ketentuanketentuan hukum positip tentang Hukum Laut Publik Internasional. Tegasnya uraian ini akan menceritakan usaha Indonesia dan negara-negara lain untuk memperjuangkan adanya suatu perangkat ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur status hukum kepulauan dalam suatu konvensi mengenai hukum laut internasional yang kini sedang diusahakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2_ Persia pan Konperensi Hukum Laut Ke-III : Pekerjaan UN Seabed Committee. Konperensi Hukum Laut Ke-Ill yang hingga kini masih berlangsung setelah dibuka dalam bulan Juni tahun 1974, di Caracas, Venezuela, diadakan berdasarkan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2750 C (XXV) tertanggal 17 Oesember 1970. Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah diberikan kepada The Committee of the peaceful uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the limits of national jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama singkatannya UN Seabed Committee yang lahir sebagai hasil daripada inisiatip Malta di tahun 1967. Oi samping resolusi 2750 C (XXV) memperbesar Committee dengan menambah 44 anggota baru. di antaranya Indonesia. UN Seabed Committee ya ng telah dipe rbesar ini sekaligus ditetapkan menjadi Panitia Pers iapan (Preparatory Comminee) bagi suaru Konperensi Hukum LaUl yang akan diadakan di tahun 1973 atau waktu ya ng lainnya akan d itentukan. Konferensi ini ditugaskan untuk membahas: (I) pengaturan hukum (regime) yang akan mengatur "the area and the resources of the seabed and ocea n floor and the subsoil thereof beyond the limits of national jurisdiction, ..... "; (2) Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (High Seas); (3) Landas Kontinen (Continental Shelf); (4) Territorial Sea(termasuk masalah lebar laut territorial dan masalah selat internasional); (5) perikanan dan perlindungan kekayaan l1ayati di laut lepas; (6) perlindungan kelestarian lingkunga n laut (termasuk pencegahan pencemaran) dan (7) penelitian ilmiah . Apabila kita lihat tugas yang diberikan kepada konperensi di atas akan nampak bahwa konperensi ditugaskan untuk meninj au kembali Hukum Laut yang berlaku sebagaimana di arur dalam konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut, ditambah dengan masalah-
ialluari - Marer 2003
Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konperellsi Hukum Laut Ke-l/l
91
masalah baru yaitu : masalah Pengaturan Hukum Internasional Seabed Area dan Kekayaan yang terkandung di dalamnya, masalah Perlindungan Lingkungan Laut dan masalah Penelitian di Laut. Oi dalam sidang pertama UN Seabed Committee setelah diterima resolusi nomor 2750 C (XXV) di atas yakni pada sidang yang diadakan mulai bulan maret di Jenewa tahun 1971 dibentuk tiga Sub Committee untuk menangani masalah-masalah yang dipercayakan kepada UN Seabed Committee yang kini telah diubah menjadi Panitia Persiapan Konperensi Hukum Laut itu. Masing-masing Sub Committee dan masalah yang ditanganinya adalah sebagai berikut (I) Sub Committee I menangani masalah : Penetapan Internasional Seabed Area dan Pengaturan Pengolahan Kekayaan Alam yang terdapat di dalamnya ; (2) Sub Kommittee II menangani semua masalah Hukum Laut yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 seperti Laut Wilayah dan Landas Kontinen termasuk segala persoalan (sub item atau issues) serta perkembangan yang dialami dalam tahun-tahun akhir ini ; (3) Sub Committee III menangani masalah Perlindungan Lingkungan Laut dan Penelitian di laut. Sesuai dengan bunyi resolusi , Pimpinan Pleno, Sub Committee maupun Biro disusun sedemikian rupa sehingga semua kawasan dunia maupun aliran kebudayaan dan pemikiran politik terwakili di dalamnya. Oelegasi Indonesia yang telah mengikuti sidang-sidang UN Seabed Committee sejak tahun 1970 sebagai peninjau memusatkan perhatiannya pad a masalah pengembangan lebih lanjut daripada gagasan "Common Heritage of Mankind" dan masalah-masalah laut wilayah dan selat. Yang pertama karena hal itu menjadi perhatian umum daripada semua pesena konperensi sebagai pencerminan aspirasi negara-negara berkembang. Soal kepulauan yang akan dibicarakan dalam rangka Laut Wilayah dan soal Lalu Limas melalui Selat merupakan dua hal yang langsung mengenai kepentingan negara kita. Outahesar Umaryadi mengambil prakarsa untuk mengadakan penemuan negara anggota ASEAN yang mengambil pesena Konperensi di mana dibicarakan kepentingan antara negara anggota ASEAN bahwa mereka sedapat mungkin akan saling menyokong pendirian masingmasing, dan dalam hal itu tidak mungkin dilakukan paling sedikit tidak akan melakukan penyerangan secara terbuka terhadap posisi Negara ASEAN lainnya. Khususnya dengan Filipina mulai dijalin hubungan kerjasama yang erat karena Filipina seperti juga Indonesia merupakan suatu negara yang memperjuangkan konsepsi Kepulauan.
Nomor I Tahllll XXXl][
HukllIll dOli Pelllballgullall
92
Di Dalam sidang ll1USlll1 panas tahun 1971 wakil Fiji mengucapkan suatu pidato yang isinya ll1enyatakan bahwa Fiji akan menerapkan azas-azas kepulauan (archipelago principles) dalall1 pengaturan Hukum Laut negaranya. Contoh Fiji ini kemudian diikuti oleh Mauritius sehingga mel~elang akhir tahun 1972 terdapar empat negara pendukung konsepsi kepulauan di antara negara Panitia Persiapan. yakni Fiji. Indonesia , Filipina dan Mauritius. Sebagai hasil pembicaraan antara empar negara pendukung azas kepulauan (Archipelago principles) ini dalam sidang musim semi (Marer-Mei) di New York diajukan pokokpokok mengenai kepulauan oleh ke empat negara yang rermuat dalam dokumen A I AC.138/SC. IIIL. 15. Dokumen yang diajukan keempat negara pendukung azas kepulauan mengandung batasan (definition) daripada negara kepulauan. sitar daripada hak negara kepulauan aras perairan pulau-pulau uan hak lintas damai bagi pelayaran internasional melalui kepulauan. Teks lengkap daripada azas-azas kepulauan berbunyi sebagai berikut : ~.
Princi pies
,,~
I. An arefujJelagic State, lVilose cOlI/ponem islands and or/ler nawral jeawres foml an instrinsic geographical, econolllic and political entitv and historically have or l/lay liave been regarded as Sllefl , and draw straiglit baselines connecting the ollterll/ost poillls o{ the ollterll/ost islands and {hying reef~' of the arc/nlJelago jiOl/l 'rin ch the e.rlent of the territorial sea o{ the archi/Jelagic Stare is or flw r be defermined.
2.
The \Varers lVithin the baselines, regardless 1If' their depth or distallce ./i'01ll the COllSt, llie seabed alld tile subsoil tilereof: alld Ihe Sllpeljacelll air 'pace, as well as all tileir resources, belong to, ([lid are subjeCl lo the sovereigllfy ofllie archipelagic state.
3.
Illllocem passage of foreign vessels tlirough Ihe lI'([{ers of' the archipelagic State shall be allowed ill accordance with ils lIariollal legislarion, having regard to the existing rules of' illlemariollal law. Such passage be thorough sea lanes as may be designated for that pwpose by the archipelagic State ".
Mengingat pentingnya . peristiwa diajukannya pokok-pokok atau azas-azas tentang negara kepulauan oleh Fiji, Indonesia, Filipina dan Mauritius ini, kami akan jelaskan lebih lanjut ketiga pokok yang tercantulJ1 di dalam usul yang diajukan dalam dokumen di atas.
lanuari - Maret 2003
KOllsepsi Hllkllm Negara Nllsan/ara pada KOllperellsi Hllkllm Lalli Ke-Il/
93
Pokok pertama mengandung definisi daripada negara kepulauan seeara hukum. Dari definisi yang diajukan oleh empat negara pendukung negara kepulauan. jelas nampak bahwa walaupun pengertian negara kepulauan didasarkan atas pengertian geografi, pada hakekatnya pengertian hukum negara kepulauan adalah satu pengertian politik. Aclanya suatu pengertian yang jelas yang tertuang dalam batasan yang tegas mengenai !legara kepl/lauan merupakan suatu kemajuan penting dalam perkembangan konsepsi kepulauan dalam hukum laut internasional, karena justru di sinilah terletak kesulitan menerima konsepsi kepulauan sebagai konsepsi yang diterima seeara universil dalam hukum sejak gagasan kepulauan ini muneul di kalangan ahli hukum internasional di tahun 20-an . Usaha-usaha umuk memasukkan resim kepulauan selama diadakan Konperensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konperensi Hukum Laut tahun 1958 telah gagal dalam tarap persiapan, justru karena tidak ada kesepakatan mengenai pengertian apa sebenarnya suatu kepulauan atau "archipelago" itu. Pokok nomor dua dalam pernyataan azas-azas menegaskan bahwa negara kepulauan berdalilar aras perairan yang rerdapar di da/alll garis pangkal films yang ditarik amara pu/au-pulau terluar. Kedaulatan ini tidak saja meliputi perairan tetapi meneakup juga dasar lalll (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) serta ruang udara di atas perairan kepulauan itu. Pokok ke tiga menegaskan bahwa lintas damai daripada kapal asing melalui perairan kepulauan akan diperkenankan sesuai dengan perundang-undangan nasiona1 yang akan memperhatikan ketentuanketentuan hukum internasional. Apabila perlu, lintas damai demikian akan dilakukan mela lui alur-alur Iintas (sealanes) yang diadakan untuk keperluan itu oleh negara kepulauan. Azas-azas mengenaI pengaturan hukum negara kepulauan sebagaimana tercermin dalam tiga pokok yang diajukan oleh pendukung negara kepubuan di atas mencerminkan azas-azas tentang pengaturan hukum (regime) tentang perairan negara kepulauan sebagaimana dipraklekkan oleh Indonesia dan Filipina. Namun demikian perumusan ketiga pokok ini yakni di dalam definisi yang kini mencakup "drying reef" yaitu karang yang muneul pada waktu pasang surut. Ketentuan mengenai drying reef ini dimasukkan ke dalam definisi archipelago sebagai akomodasi terhadap Fiji mengingal kenyataan geomorfologi kepulauan Fiji yang mengenal banyak karang-karang demikian.
Nomor I Tahl/Il XXXI/l
94
Hllkfl/JI dan PemballgunQIl
Dalam sidang UN Seabed tahun berikutnya dalam musim gugur tahun 1973 keempat negara pendukung azas negara kepulauan mengajukan suatu usul yang lebih terpenci mengenai pengaturan hukum negara kepulauan berbentuk rancangan pasal-pasal (draft articles) ini secara [erperinci menjabarkan ke tiga pokok atau azas negara kepulauan yang tercamum dalam usul pertama. Dalam rancangan pasal-pasal yang terdiri dari 5 pasal ini, ketemuan-ketentuan yang paling terperinci terdapat dalam pasal 5 yang memuat pengaturan hukum (regime) daripada perairan negara kepulauan. Pasal yang dibagi dalam 10 ayat ini mengatur persoalan-persoalan sebagai berikut : ( I) hak negara kepulauan untuk menetapkan alLir-alur pelayaran bagi lalu lintas kapal asing (ayat 1 sampai 3): (2) penetapan pola pengaturan lalu limas kapal (traffic separation scheme) dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya (ayat 4): (3) wewenang negara kepulauan umuk menetapkan peraturan-peraturan untuk mengatur lalu limas kapal asing llleialui perairan negara kepulauan dengan tujuan lllencegah gangguan terhadap keamanan negara pamai atau kerugian terhadap kepemingan negara pantai dan perairannya dan pellleliharaan perdamaian serta ketertiban di perairan negara kepulauan (ayat 5): (4) ayat-ayat berikutnya mengatur kewajiban kapal asing untuk memaati peraturan yang dibuat oleh negara kepulauan tennasuk kapal perang. wewenang negara kepulauan untuk melarang sell1entara limas damai kapal asing ll1elalui perairannya dalall1 hal-hal tertentu, kewajiban negara kepulauan umuk secara tegas memutuskan baras-batas daripada alur-alur pelayaran dan ll1engulllumkannya. Perlu dijelaskan di sini bahwa pada tarap persiapan konperensi ini tidak terdapat suatu rancangan pasal-pasal dari Panitia Persiapan sendir; yang diperlukan oleh peserta konperensi sebagai dasar perbincangan (bases of discussion). Dengan demikian maka setiap negara peserta yang jumlah seluruhnya meliputi kurang lebih 140 negara ilu masing-masing mengajukan pend irian dan usul-usul menurut kehendaknya senlUa dilampung oleh Sekretariat daripada masing-maslllg Committee. Dibanding dengan persiapan konperensi Hukum Laut Jenewa yang diadakan di tahun 1958, cara bekerja ini jelas berbeda sekali. Dalam Konperensi Hukum Laut Jenewa persiapan konperensi dilakukan oleh Panitia Hukum Internasional (International Law Commission) yang mempersiapkan rancangan pasal-pasal berupa naskah konvensi (draft convention) yang digunakan oleh konperensi sebagai dasar perbincangan. setelah terlebih dahulu diserahkan kepada pemerintah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapatkan komentar. Berdasarkan komentar
Jamlllr; - Maret 2003
KOllsepsi HukulIl Negara NlISalllara pada KOllperellsi Huklllll Lalli Ke-II/
95
daripada negara pemerintah-pemerintah ini diadakan suatu pembahasan di dalam Committee VI (hukum) sidang umum PBB dalam tahun 1957 sebellim akhirnya naskah rancangan pasal-pasal yang dibuat oleh Panitia Hukum Illlernasiona l ini disahkan sebagai naskah konvensi (draft convention) yang akan digunakan sebagai dasar perbincangan oleh konpensi Hukum Laut yang dimulai pad a tahun 1958. Seperti dikatakan di atas konvensi Hukum LaUl ke-lII tidak dipersiapkan secara demikian. H ingga saal sidangnya yang terakhir yailu sidang musim gugur tahun 1973 di New York yang kami seblltkan tadi, UN Seabed Committee yang bertindak sebagai Panitia Persiapan Konperensi tidak berhasil menyusun suatu naskah konvensi (draft convention) yang ada hanyalah kumpulan daripada berbagai macam usul daripada peserta-peserta yang isinya sangal berlain-Iainan. Dibandingkan dengan konvensi Hukum LaUl Jenewa. peserta sidang UN Seabed Committee jauh lebih banyak. sekitar 140 orang yang tiap tahlln bertambah. Di antara negara peserta terdapat perbedaan yang besar sekali. tidak saja dalam sistim politik pemerintah dan falsafah negaranya tetapi juga dalam tingkat kemajuannya. Selama sidang-sidang UN Seabed Committee terjadilah pengelompokan-pengelompokan negaranegara peserta yang didasarkan atas kelompok bangsa-bangsa di dunia menurut kawasan atau bagian dunia, kebudayaan dan sistim hukumnya. Ada pengclompokan yang didasarkan atas ideology seperti misalnya kelompok negara Sosialis. Kelompok yang terbesar adalah kelolllpok negara-negara berkembang yang menggunakan nama Group 77 yang
herasal daripada Konvensi Unctad, walallpun di dalam kenyataannya anggOla kelolllpok ini telal1 lebih dari 77 negara. Yang menjadikan persoalannya sangat kompleks adalah bahwa di dalam suatu kelolllpok besar terdapat lagi ke lompok, misalnya kelompok Afrika. kelompok negara Islam, kelompok Arab, kelompok Asia dan kelompok Lat in Amerika. Kelolllpok-kelompok ini bersatu di dalam kelompok negaranegara berkembang. Namun dalam banyak hal ada sub kelompokkelompok ini berbeda-beda kepentingannya. Ada pula kelompok yang didasarkan atas kepentingan bersama seperti misalnya kelompok negara yang tidak berpantai (landlocked) yang kemudian diperluas menjadi kelompok negara tak berpanlai dan negara-negara yang letak geographinya tidak menguntungkan (geographically disadvantaged). Kelompok ini merupakan kelompok campuran daripada negara yang berkembang dan negara maju. negara Afrika, Asia, Eropa. Latin Amerika, antara negara yang tidak berpantai dan yang berpantai. Kepentingan bersama kadang-
NOli/or I Tahun XXXIII
96
Hllkwll dall PembangllllQIl
kadang mengatasi pertentangan ideologi ke perbedaan sistim politik. Misalnya di dalam hal selat dan kebebasall laut lepas pada umumnya Amerika Serita dan Uni Sovyet meli,punyai pendirian yang serupa. Dalam sidang-sidang ini juga ternyata bahwa stereorip-stereotip lama seperti identifikasi negara berkembang dengan negara maritime lemah dan negara maju dengan maritime kuat tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Paling tidak dalam bidang perikanan beberapa negara berkembang misalnya dapat digolongkan dalam negara-negara yang mempunyai kepentingan perikanan jarak jauh, berkat perkembangan daripada armada perikanan yang menangkap ikan j auh daripada negara asal. Dibandingkan dengan keadaan yang saya lukiskan diatas dimana pengelompokan menurut sistim politik dan ideology bertabrakan dan sa ling potong memotong dengan kepenringan-kepentingan regional dan kepentingan-kepenringan lain, maka pengelompokan negara-negara selama diadakannya Konprensi Hukum Laut di Jenewa di tahun 1958 masih sang at sederhana. Oi dalam keadaan ini satu-satunya usaha yang dapat dilakukan untuk menyatukan pendapat-pendapat sehingga dapat diperoleh gamba ran pala-pola pemikiran yang jelas adalah dilakukannya konsultasi antara pelbagai keloll1pok itu baik antara mereka sendiri maupun antara kelompok. Karena banyaknya kepentingan yang berlainan saling ll1emotong itu , satu negara sering menjadi anggota dari beberapa kelompok. Konsu ltasi antara kelompok diadakannya melalui apa yang dinamakan "co ntact groups", yaitu kelompok-kelompok yang terdi ri c1aripada eksponen-eksponen daripada kelompok-keloll1pok yang berlainan . Ketika sidang musim gugur tahun 1973 selesai belum lagi berhasil disusun suatu naskah konvensi mengenai Hukum Laut. bahkan belum ada gambaran yang umUll1 tentang pendirian daripada negara-negara pese rta arau keloll1pok-kelompok yang terdapat di dalam persidangan. Walaupun demikian dalam rapatnya terakhir sidang telah mengambil keputusan untuk melangsungkan konperensi Hukull1 Laut mulai tahun 1974, jadi terlambat satu tahun daripada jadwal ya ng ditentukan di dalam resolusi 2750 C (XXV). Keputusan ini diambil karena Pimpinan sidang UN Seabed Committee tidak melihat dapat disatukannya pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam sidang-sidang UN Seabed Committee di dalam waktu de kat walaupun sudah banyak terjadi kemajuan dalam arti bahwa waklu keinginan-keinginan atau pendirian-pendirian sudah diajukan dalam bentuk yang lebih konkrit, seperti misalnya yang berupa rancangan pasal-pasal yang diajukan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan bersama antara lain kelompok negara
imlllari - Marel 2003
KOIlJepJi HlIKlIlIl Negara NUJaIlIara pada KOllperenJi HlIklllll Lolli Ke-IJI
97
kepulauan. Diharapkan agar dengan dibukanya konperensi secara resmi sibp negara-negara peserta akan berubah karena keinginan atau rasa desakan umuk menyelesaikan masalah (sense of urgency) dengan demikian diharapkan akan lebih tinggi. Diputuskan pula agar supaya pembukaan konperensi itu dibagi dalam dua sidang, satu sidang yaitu sidang penama yang sangat sing kat membicarakan prosedur dan acara, sedangkan sidang yang sebenarnya yang diputuskan umuk diadakan di Caracas diadakan beberapa bulan sesudah itu.
3_ Sidang Konpensi Hukum Laut ke-Ill yang Pertama di New York Sesuai dengan keputusan Panitia Persiapan Konperensi dalam sidangnya terakhir tersebut di atas. sidang ke-I Hukum LaU! ke-III diadakan di New York ctalam bulan Desember tal1unl973 untuk membeicarakan acara konperensi dan tata-tertib konperensi. Karena acara konperensi tidak merupakan kesulitan. sebagian besar daripada sidallg digunakan umuk membicarakan tata-tertib yang akan digunakan dalam Konperensi Hukum LaU! ke-/ll. Hasil sidang pertama konperensi Hukum Laut ke-III di New York mengenai tata-tenib ini sangat menarik. Setelah perdebatall yang cukup lama konperensi mellgabil beberapa keputusan. yang terpeming adalah dua keputusan mengenai tata-tertib yaitu : (I) menerima baik tara-renib konperensi Hukum Laut yang didasarkan atas tata-tenib konperensikonperensi PBB sesuai dengan kebiasaan yang terdapat dalam konperensikonperensi PBB. Tata-tenib ini menunjukkan ketemuan-keremuan yang sudah lazim dikenal , misalnya pengorganisasian sidang-sidang konperensi dalam sidang pleno dan sidang Komite; cara pemunguran suara yaitu mayoritas 2/3 umuk keputusan-keputusan sidang pleno. Tata-tenib juga memuat ketentuan-ketemuan yang lazim mengenai cara mengajukan amandemen dan usul-usul (proposal). Yang menarik perhatian adalah keputusan kedua yang diambil sidang New York ini yaitu bahwa tata-tertib yang telah diterima itu tidak akan digunakan kecuali dalam hal yang mendesak. Sedangkan umuk konperensi yang akan diadakan di Caracas diputuskan untuk menggunakan pengambilan keputusan suara dengan suara bulat. Kepurusan kedua ini , yang pada hakekatnya mengesampingkan peraturan tara-rertib yang telah direrima dalam keputusan pertama, dinamakan Gentleman Agreement.
Nomor 1 Tahull XXXIII
98
Hllklllll dall Pelllballgllllall
Ada beberapa pertimbangan yang ll1endorong peserta konperensi mengambil kepulusan lentang Gentlemen Agreeme11l ini. Yang lerpenting kiranya adalah bahwa semua peserta sidang New Yark bersama-sama mengetahui bahwa pada tarap perkembangan konperensi pad a waktu itu dianggap mustahil untuk menggunakan tata-tertib yang biasa. mengingat bahwa perbedaan-perbedaan antara negara peserta masih terlalu jauh dan bahwa belum ada gambaran yang jelas tentang apa sebenarnya yang diinginkan ll1asing-masing persta. Sebagai penjelasan dapat barangkali diterangkan di sini bahwa sebagian daripada kesulitan disebabkan karena selalu bertambahnya pesena dengan negara-negara yang baru mencapai kemerdekaannya, pembicaraan sering mentah kembali karena pendatang bam sering mulai mel11bicarakan hal-hal yang sebelul11nya sudah dibicarakan dan telah l11encapai titik kell1atangan yang cukup jauh. Dalal11 sidang konperensi Hukull1 Laut ke-rII di Caracas. Venezuela. yang diadakan dari tanggal 20 juni hingga 1974. Indonesia bersama-sama dengan pendukung negara kepulauan lainnya secara resmi mengajukan suatu rancangan pasal-pasal tentang negara kepulauan. Usul bersall1a keempat negara pendukung negara kepulauan tentang negara kepulauan ini u11luk sebagian besar didasarkan atas usul-usul yang terlebih dahulu pernah diajukan oleh keempat negara pendukung negara kepulauan ini dalam sidang-sidang persiapan konperensi di Jenewa dan New York yang telah kami uraikan di atas. Sebagai anggota kelompok negara kepu lauan Ketua Delegasi R! ll1engucapkan suatu pidato di dalam perdebatan umul11 yang selain l11engel11ukakan pokok-pokok pend irian Indonesia tentang masalah hukull1 laut yang diperbincangkan dalam konperensi, untuk sebagian besar menguraikan alas an. sebab dan tujuan diajukannya rancangan pasal-pasal tentang negara kepulauan olell kelompok pendukung negara kepulauan (fillar lalllpiran). Pidato Ketua Delegasi R! ini menguraikan pokokpokok daripada pengaturan hukum negara kepulauan yang pada dasarnya didasarkan alas pokok-pokok tentang konsepsi negara kepulauan sebagaimana ditungkan dalam Deklarasi 13 Desember 1957 dan Undangundang No. 4/Prp . TallUn 1960 dengan ll1engingat pula keburuhankebutuhan khusus daripada negara pendukung negara kepulauan lainnya. Kejadian penting yang berta!ian dengan perkell1bangan konsepsi hukull1 kepulauan dalall1 hukum laut adalah diajukannya usul tentang kepulauan oleh India yang disokong antara lain Canada. Berlainan dengan konsepsi lIegara kepl/lallan yang diajukan oleh Fiji. Indonesia , Mauritius
Ja/luari - Maret 20()3
Konsepsi HllkulIl Negara NlIsalllara pada KOllperellsi HlIkllll/ Lalli Ke-III
99
dan Filipina_ usul India ini mengenai kepulauan daripada suatu negara atau (archipelago of state). Konsepsi ini menghendaki diterapkannya azasazas negara kepulauan bagi kepulauan yang dimiliki oleh suatu negara yang wilayahnya sebagian besar merupakan bag ian dari kontinen. Selain India yang memiliki kepulauan Andaman dan Nicobar, perdirian ini dianut juga oleh Canada yang memiliki kepulauan di daerah Kutub Utara yang berdekatan dengan pantainya dan Equador yang memiliki kepulauan Galapagos di muka pantainya di Amerika Selatan. Walaupun sepintas lalu banyak persamaannya antara kedua konsepsi kepu lauan ini. namun dalam suatu hal terdapat perbedaan. Konsepsi negara kepulauan yang diajukan oleh Fiji. Indonesia , Mauritius dan Filipina adalah konsepsi pengaturan hukum temang negara yang secara keseluruhan merupakan kepulauan tanpa ada bagian-bagian wilayah lain di luarnya yang tidak merupakan pulau . Sebaliknya konsepsi yang diajukan India ini tidak demikian karena di dalam konsepsi ini kepulauan merupakan bag ian dari wilayah dari suam negara yang sebagian besar merupakan bag ian dari benua. Tanpa menolak secara mutlak konsepsi kepulauan yang diajukan oleh India ini kelompok negara kepulauan menegaskan bahwa persoalan ini ' l11erupakan persoalan yang lain dan tersendiri yang memerlukan pengaturan yang harus dibedakan daripada pengaturan hukum negara kepulauan. Pendirian ini dial11bil karena dikonstantir bahwa sebagian besar peserta konperensi yang dapat menyokong konsepsi negara kepulauan tidak menyetujui diterapkannya konsepsi ini kepada kepulauan yang merupakan bagian daripada suatu negara. Negara-negara yang mengajukan keberatan demikian yang sebagian besar terdiri dari negara-negara berkembang antara lain di benua Afrika adalah bahwa apabila penerapan azas negara kepulauan ini diluaskan pada kepulauan daripada suatu negara maka hal itu dapat mengakibatkan penerapan konsepsi ini dalam keadaan yang lain seperti misalnya kepulauan Hawaii yang merupakan bag ian daripada Amerika Serikat. Perkembagan lain selama ~idang Caracas ini adalah mulai munculnya sam negara Iagi yang ingin menerapkan konsepsi negara kepulauan yakni Bahama yang terletak di kawasan Caribia. Perkembangan lain lagi adalah adanya keinginan dari beberapa daerah di Samudera Pasifik, baik yang sudah merdeka maupun yang sedang dalam proses mencapai kemerdekaannya ul1tuk juga menerapkan konsepsi negara kepulauan pad a kelompok pulau-pulau di Samudera Pasifik.
NOli/or J Tahul1 XXXIII
100
Huklllll dall PelllballglllulIl
Perkembangan-perkembangan ini menggambarkan kesulitan yang terkandung dalam mencari pembatasan yang memuaskan atas konsepsi negara kepulauan ." Sebabnya adalah karena apabila perkembangan ini dibiarkan meluas maka konsepsi negara kepulauan yang sudah jelas dapat diterapkan pada negara-negara kelompok negara kepulauan akan menjadi kabur, hal mana tentu akan mengurangi kemungkinan diterimanya konsepsi negara kepulauan sebagian daripada Hukum Laut masa kini. Pada pihak lain kita harus berhati-hati di dalam mengadakan pembedaan antara satu konsepsi negara kepulauan dengan konsepsi negara kepulauan lainnya karena penolakan yang dirasakan terlalu keras akan menyebabkan juga berkurangnya dukungan dari sebagian besar peserta konperensi tidak saja dari negara-negara penganut konsepsi kepulauan yang berlainan itu tetapi juga dari kawan-kawannya. Perkembangan yang muncul di Caracas mengenai konsepsi kepulauan ini mengakibatkan bahwa delegasi Indonesia dan anggota kelompok negara kepulauan lainnya terpaksa mengadakan kegiatan konsultasi dan lobbying dengan negara-negara yang mempunyai konsepsi kepulauan yang hampir sama itu , agar supaya keutuhan konsepsi negara kepulauan yang dimiliki oleh kelompok negara kepulauan tetap terpelihara. Saat yang menentukan tiba ketika kelompok negara pantai (coastal state) yang lIlerupakan suatu keloll1pok yang cukup besar dan berpengaruh di dalall1 konperensi ll1ell1utuskan untuk ll1engajukan suatu rancangan pasal-pasal ll1engenai beberapa ll1asalah antara lain yang terpenting adalah menge nai zone e konomi 200 mil , landas kontinen dan lain-lain. Sebagai anggota kel ompok negara pantai . Indonesia harus memutuskan untuk turut se rta menjadi co-sponsor pada usul rancangan ini atau tetap berdiri di luar kelompok pengusul usul rancangan negara-negara pantai ini . Putusan yang perlu diambil tidak terlalu mudah a kan tetapi akhirnya delegasi Indonesia memutuskan untuk turO[ serta sebagai co-sponsor. mengingat bagaimanapun juga dukungan dari negara-negara yang menjadi anggota berbagai macam kelompok . baik kelompok ke pentingan maupun kelompok regional sangat penting artinya bagi perjuangan konsepsi negara nusantara selanjutnya. Risikonya adalah bahwa perkawinan antara konsepsi negara kepulauan dan konsepsi kepulauan suatu negara dapat mengakibatkan tilllbuinya tentangan dari negara-negara yang lllenentang konsepsi kepulauan suatu negara. Perkembangan kellludian di dalam sidang Caracas menunjukkan bahwa masalah ini tidak salllpai merupakan masalah yang terlalu berat. karena sidang sebagaimana diperhitungkan konperensi tidak berhasil
iarlllari - Marel 2003
KO/lSepsi Hukum Negara Nusamara pada Konperensi Hukum Lalli Ke-IJI
101
mencapai persetujuan dalam menyusun suatu konvensi tentang Hukum Laut. Yang terjadi pada sidang Caracas adalah bahwa pelbagai usul yang telah dihimpun itu dan bentuknya sudah cukup jelas, dapat dirumuskan oleh pimpinan Konperensi menjadi apa yang dinamakan "Main trends of the Law of the Sea" di mana kecenderungan-kecenderungan yang paling penting sebagaimana tercermin dalam usul-usul dan pendirian-pendirian yang diajukan dimasukkan di dalam laporan konperensi. Adalah sangat menggembirakan bahwa pokok-pokok tentang negara kepulauan termuat dalam laporan mengenai "Main trends" ini bersama-sama dengan konsepsi kepulauan daripada suatu negara. Dengan demikian maka tahap pertama daripada dimuatnya pokok-pokok tentang negara kepulauan telah tercapai karena bagaimanapun juga laporan tentang " Main trends" ini tidak akan dapat diabaikan di dalam perkembangan konperensi Hukum Laut di dalam sidang-sidang yang berikutnya. Di dalam sidang yang berikut daripada Konperensi Hukum LaUl ke-lll yakni dalam sidangnya yang ke-3 yang diadakan di Jenewa pad a tahun 1975. dilakukan konsultasi yang intensip antara kelompokkelolllpok. Pos isi yang telah tercermin di dalam laporan dalam bentuk .. Main trends ,. dijadikan dasar untuk mencapai bentuk yang lebih regas lagi berupa rancangan pasal-pasal dalam suatu naskah konvensi. Hingga pada saat-saat terakhir sidang Jenewa, Konperensi tidak berhasil untuk menyusun suatu naskah rancangan pasal-pasal berupa suatu naskah konvensi (draft convention) sehingga akhirnya Pimpinan Konperensi turun tangan dan Illengoper persoalannya dengan menginstruksikan Ketua dari masing-masi ng Komite untuk merumuskan naskah rancangan pasal-pasal dalam batas waktu beberapa hari. Tugas ini dapat diselesaikan oleh masing-masing Ketua Komite dan sidang ke-3 Konperensi Hukum Laut yang ke-llI di Jenewa diakhiri dengan terjelmanya apa yang dinamakan " Informal Single Negotiating Text" sebagai hasil laporan daripada Pimpinan Konperensi. Karena cara bekerja Pimpinan menimbulkan banyak reaksi antara peserta, Pimpinan Konperensi Illenegaskan bahwa "Informal Single Negotiating Text " (ISNT) ini sekali-kali tidak bersifat mengikat dan tidak menggambarkan atau mempengaruhi posisi (terakJlir) daripada negara-negara peserta melainkan hanya berfungsi sebagai dasar daripada perbincangan selanjutnya . . Dalam mengadakan penilaian terhadap "Informal Single Negotiating Text" yang disusun oleh Pimpinan Konperensi. bagi .Delegasi Indonesia dan negara pendukung konsepsi negara kepulauan lainnya yang penting ada lah bahwa dengan dimuatnya beberapa pasal tentang negara
Nomor J Tahun XXXIII
102
Hllkum dan Pemballgunall
kepu lauan dan kepulauan daripada suat u negara dalam " Informal Single Negotiating Text" bagaimanapun juga konsepsi negara kepulauan telah mendapatkan tempat yang cukup memuaskan dalam rancangan pasal-pasal, walaupun dikatakan bahwa rancangan pasal-pasal ini tidak mempunya i sifat resmi. Yang penting kini adalah bagaimanakah agar supaya di dalam pembahasan naskah rancangan pasal-pasal pada sidang yang berikut ketemuan-ketentuan mengenai negara kepulauan' ini jangan sampai c1ikeluarkan dari teks. Adanya naskah rancangan pasal-pasal be rupa "Informal Single Negotiating Text " di atas merupakan suatu kemajuan di dalam cara bekerja konperensi. karena bagaimanapun juga kini peserta konperensi memiliki satu naskah yang bisa c1ipakai dasar perbincangan . Mengenai sikap para peserta konperensi terhadap konsepsi negara nusamara hingga sa at diadakannya sidang ke-3 di Jenewa di tahu n 1975 dapat dikatakan bahwa gambarannya cukup memuaskan . Tidak aclanya peserta ya ng menentang konsepsi negara kepulauan merupakan suatu hal yang cukup menggembirakan dan dapal dia rti ka n bahwa konsepsi ini pad a umu mnya dapal dilerima oleh peserta konperensi. Seperti juga pada Konperensi Hukum Lam Jenewa, kesulilan di dalam usaha agar konsepsi negara kepulauan ini diterima secara umum (universiI) sebagai sualu konsepsi Hukum Lam adalah bahwa negaranegara yang benar-benar mempunyai perhalian lerhadap persoa lan ini le rbalas jumlahnya. Lain halnya clengan konsepsi jalur ekonomi 200 mil misalnya yang langsung menyangkul kepenlingan berpuluh-puluh negara pamai (coaslal slale). ridak dapal diharapkan bahwa para peserta yang darang menghadiri konperensi dengan leru rama memikirkan dan memperjuangkan kepenringan-kepenringannya sendiri , unluk menaruh perhalian rerlalu banyak terhadap konsepsi negara kepulauan. Yang peming umuk diusahakan oleh negara pendukung negara kepulauan adalah umuk mencegah limbulnya remangan yang akrip rerhadap konsepsi negara kepulauan ini. Umuk keperluan oleh delegasi-delegasi negara pendukung d iadakan usaha-usaha unruk menjelaskan konsepsi negara kepulauan ini pada seriap kesemparan baik di dalam maupun di luar sidang. Hal ini dilakukan secara inrensip sejak Indonesia menghadiri sidang-sidang UN Seabed Comminee yang seperti diketahui sejak rahun 1971 berubah menjadi Panitia Persiapan Konperensi Hukum Laut. Usaha-usaha ini bahkan juga dilakukan di luar forum konperensi seperti misalnya sidang-sidang Asian African Legal Consultarive Committee dan oleh setiap negara pendukung negara kepulauan dalam
lanuari - Marer ZOO3
KOllsepsi HukulIl Negara Nusan/ara pada KOllperellsi Huklllll Law Ke-/II
103
pertellluan-perrellluan regional yang didakan, seperti Illisalnya yang dilakukan oleh Mauritius di dalalll sidang OAU (Organisasi Negara-negara Afrika). Dalam hubungan usaha Illelllperoleh dukungan negara-negara lain ini perlu disebut usaha Kepala Negara yang dalalll setiap keselllpatan pertellluan dengan kepala-kepala negara atau kepala pelllerintah negara lain, selalu mengemukakan soal Wawasan Nusantara sebagai salah satu persoalan yang penting bagi Indonesia. Selain usaha-usaha yang dilakukan melalui pertellluan-pertellluan baik secara resmi oleh pejabat-pejabat diplomatic. usaha-usaha menyebarluaskan dan menanalllkan pergertian terhadap konsepsi nusantara ini juga dilakukan dalam forum-forum pertemuan akademis. sepert i misalnya di dalam pertemuan tahunan yang diadakan oleh Law of the Sea Institute. daripada Univers itas Rhode Island. di Kingston (USA). Kontrak akademis del11ikian dan forum akademis delllikian mell1punyal niJai yang melebihi apa yang orang duga. karena pertemuanpertemuan de1l1ikian dihadiri oleh bukan saja ahli-ahli terke1l1uka dalam bidang huku1l1 laut. tetapi oleh penasehat-penasehat dan pejabat-pejabat eselon tertinggi daripada pelllerintah-pemerintah yang turut serta dalam Konperensi Hukum Laut ke-IlI. Di kalangan akademis, konsepsi negara kepulauan menemukan seorang pendukung yang sang at kuat dan berpengaruh dalalll diri Prof. Daniel O'Cornell. Gurubesar Hukum Internasional Universitas Cambridge yang Illenaruh perhatian yang besar terhadap konsepsi negara kepulauan sejak tahun 1969. ketika masih 1l1enjadi gurubesar pad a University of Adelaide. Setelah di1l1uatnya pasal-pasal mengenai negara kepulauan di dalam rancangan pasal-pasal ISNT. pendirian negara-negara peserta 1l1engenai persoalan-persoalan hukum laut menjadi lebih jelas dan 1l1engalami proses kristalisasi. Dengan demikian tibalah waktunya bagi Delegasi Indonesia dan Pemerintah Indonesia pada u1l1umnya untuk mempelajari pendirian dan sikap Pelllerimah-pelllerimah lain terhadap prinsip negara kepulauan ini secara selektip dan menghadapinya dengan perhatian yang khusus. Di dalam penilaian sikap negara peserta konperensi ini. kita dapat Illembaginya dalam dua golongan besar yakni : Golongan pertama. yang merupakan golongan terbesar, adalah negara yang tidak mempunyai perhatian terhadap konsepsi negara kepulauan atau yang perhatiannya tidak terlalu besar karena tidak langsung menyangkut kepentingan mereka. Golongan kedua yang jumlahnya lebih kecil adalah
NOli/or I Tahlill XXXIll
104
Hukul1l dall PemballgwlGll
negara yang kepentingannya lang sung tertekan oleh konsepsi negara kepulauan ini. Tahap atau tingkat kristalisasi sikap negara peserta konperensi terhadap konsepsi dan azas-azas negara kepulauan ini dalall1 bentuk rancangan pasal-pasal ll1erupakan tahap yang sulit, karena bentuk akhir daripada pasal-pasal yang ll1engatur negara kepulauan di dalall1 konvensi itu ll1enentukan apakah negara-negara yang kepentingannya langsung terkena oleh konsepsi negara kepulauan ini dapat ll1enerill1a ketentuanketentuan konkrit itu atau tidak. Sehingga pada saat itu pend irian negaranegara dell1ikian baik yang ll1enyetujui atau ll1enolak baru diberikan di dalall1 bentuk pernyatan-pernyatan yang lebih bersifat pernyatan politis. Di atas telah kami katakan bahwa hingga saat terumuskannya naskah rancangan pasal-pasal berupa [SNT, tidak ada negara peserta tidak secara terang-terangan ll1enolak konsepsi negara kepulauan, terll1asuk negara ll1arintill1 besar antara lain All1erika Serikat yang pad a waktu Deklarasi 13 Desember 1957 ll1enentang dengan keras konsepsi negara kepulauan. Hal ini belum dapat diartikan bahwa sikap dell1ikian berarti sikap menyetujui atau mendukung konsepsi negara kepulauan. Di dalall1 tahap kristalisasi inilah harus diadakan penilaian terhadap sikap yang sebenarnya daripada negara peserta atas azas negara kepulauan. Negara-negara yang langsung berkepentingan dengan prinsip negara kepulauan dapat kita bagi dalall1 beberapa golongan sebagai berikut : (I)
Negara-negara tetangga yakni anggota-anggota ASEAN dan negara tetangga lainnya termasuk Australia.
(2)
Negara yang mempunyai kepentingan perikanan dan komunikasi (kabel telekomunikasi di dasar laut) . Jepang terll1asuk golongan ini karena telah melakukan perikanan di perairan Indonesia sejak sebelull1 perang. Negara Maritim. Negara-negara ini berkepentingan agar lalu lintas maritime tidak mengalami gangguan. Dalam golongan ini dapat dimasukkan negara yang memiliki armada niaga yang kebanyakan terdiri dari negara maju, misalnya negara-negara di Eropa Barat. Dalam kelompok ini negara Skandinavia mempunyai kedudukan kllUSUS karena sejak konperensi Hukum Laut Jenewa , negara-negara ini dipelopori oleh Norwegia selalu memperlihatkan sikap yang penuh pengertian terhadap konsepsi negara kepulauan.
(3)
(4)
Negara Maritim besar yang mempunyai kepentingan strategi militer. Termasuk golongan ini negara Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Jaflllari - Marer 2003
KOllsepsi Huku11l Negara Nusalllara pada KOllperensi Hukll11l Laul Ke-II/
'05
Oi antara kelompok-kelompok ini perhatian pertama dan khusus diberikan kepada negara tetangga, karena bagaimanapun juga kita tidak dapat mengharapkan pengertian dan dukungan dari negara peserta lainnya terutama yang bersikap ragu-ragu terhadap prinsip negara kepulauan, apabila negara tetangga terdekat Indonesia tidak secara tegas mendukungnya. Oalam usaha meng-konkrit-kan dukungan negara terdekat ini terutama negara anggota ASEAN, telah dilakukan perundinganperundingan yang sang at intensip untuk menyelesaikan segala masalah antara mereka dan kita secara yang memuaskan kedua belah pihak, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dan pokok-pokok konsepsi negara kepulauan. terutama kedaulatan kita atas perairan nusantara. Segala masalah dengan negara tetangga ini dapat diselesaikan. ya ng terakhir dengan Malaysia dengan ditanda-tanganinya Memorandum of Understanding tertanggal 26 Juli 1976 di Jakarta. Dengan dicapainya dukungan positip dan tegas dari sebagian besar negara kepulauan. tinggal kini menyelesaikan persoalan dengan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mengingat bahwa persoalan yang harus diselesaikan menyangkut hal-hal yang langsung bertalian kepentingan strategi militer negara raksasa ini dalam rangka konsepsi strategi global mereka, maka penyelesaian masalah ini cukup sulit dan peka, tetapi kami percaya bahwa dengan keuletan dan pend irian yang teguh disertai dengan realisme kesulitankesulitan ini pun dapat diatasi. Naskah Revised Single Negotiating Text yang dihasilkan oleh sidang ke-4 Konperensi Hukum Laut ke-III yang diadakan di New York dalam 111usim gugur tahun 1976 mengandung naskah rancangan pasalpasal tentang negara kepulauan yang lebih matang dan dapat mangatasi kesulitan-kesulitan yang sebelunmya masih terdapat dengan negara tetangga sehingga usaha memperjuangkan penerimaan konsepsi negara kepulauan secara hukum dalam suatu konvensi yang berlaku universil telah maju selangkah. Demikianlah uraian tentang perjuangan konsepsi negara kepulauan pada Konperensi-konperensi Hukum Laut Ke-III yang merupakan usaha pelengkap daripada usaha lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah yang telah disinggung pada permulaan ceramah ini yakni lIsaha penerapan konsepsi negara kepulauan yang telah -d.ilaksanakan melalui perundinganperundingan nasional dan perundingan-perundingan bilateral.
Nomor J Tahun XXXllI