LAPORAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL EKONOMI PERIKANAN TUNA DAN STRATEGI PENETRASI PASAR EKSPOR DAN DOMESTIK Tim Peneliti Risna Yusuf Lindawati Freshty Yulia Arthatiani Sastrawidjaja Tajerin Andrian Ramadhan Hertria Maharani Putri Muhibbudin
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2014
LEMBAR PENGESAHAN Lembaga Penelitian
:
Judul Kegiatan
:
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna Dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor Dan Domestik
Status
:
Lanjutan
Pagu Anggaran (Rp)
:
Rp 230.400.000,(Dua Ratus Tiga Puluh Juta Empat Ratus Ribu Rupiah)
Tahun Anggaran
:
2014
Sumber Anggaran
:
APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2014
Penanggung Jawab
:
Risna Yusuf, MSi NIP. 197309252005022 001
Mengetahui, Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Jakarta, Desember 2014 Penanggung Jawab Kegiatan
Tukul Rameyo Adi NIP. 19730925 200502 2 001
Risna Yusuf, M.Si NIP. 19730925 200502 2 001
ii
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1.
JUDUL RPTP
2.
SUMBER DAN ANGGARAN STATUS PENELITIAN
3. 4.
5.
: Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Domestik dan Ekspor TAHUN : APBN 2014 : Baru
√ Lanjutan *)
PROGRAM a. Komoditas
: Penelitian dan Pengembangan KP : Perikanan
b. Bidang/Masalah Menurut RPJM -Menurut Kebijakan KKP -Menurut 7 fokus Litbang
:
c. Penelitian Pengembangan IKU KKP yang direspon Pertumbuhan PDB Produksi KP Nilai Tukar Tingkat konsumsi Nilai Ekspor Kasus penolakan Ekspo JUDUL KEGIATAN
: Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Ketahanan Pangan Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Pemasaran produk Perikanan Mendukung Industrialisasi Kelautan dan perikanan
Jumlah kawasan konservasi Jumlah pulau kecil IUU Fishing
: Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor
6.
PERKIRAAN REKOMENDASI : Strategi Optimalisasi Penetrasi Pasar Tuna YANG DIHASILKAN dengan Antisipasi Kendala dan Hambatan Perdagangan Tuna di Pasar Ekspor
7.
LOKASI KEGIATAN
:
1. Jawa Timur (Kota Surabaya), 2. Sulawesi Utara(Kota Bitung), 3. DKI Jakarta (Jakarta) 4. Provinsi Maluku (Kota Ambon)
iii
8.
PENELITI YANG TERLIBAT
:
Pendidikan/ Alokasi Tugas No. Nama Jabatan Disiplin Ilmu Waktu (Institusi) Fungsional (OB) S2/ Peneliti Manajemen Penanggung 1 Risna Yusuf, M.Si 6 Muda Pemasaran Jawab S1/ Peneliti Sosial Ekonomi 2 Lindawati, S.Pi Anggota 5 Muda Perikanan S1/ Peneliti Sosial Ekonomi 3 Freshty Yulia Arthatiani, S.Pi Anggota 5 Pertama Perikanan S1/ Peneliti 4 Drs. Sastrawidjaja Ekonomi Anggota 5 Utama S3/Peneliti Pengembangan 5 Dr. Tajerin, MM, ME Anggota 5 Utama Wilayah S2/ Peneliti Ekonomi 6 Andrian Ramadhan, SPi, MT Anggota 5 Muda Perikanan S1/Peneliti 7 Hertria Maharani Putri, S.Sos Ilmu Politik Anggota 5 Pertama 8 Muhibbudin SUPM Perikanan PUMK 4 9. Tujuan Umum
:
Mengetahui aspek sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik. Tujuan Khusus
:
1. Mengidentifikasi kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik 2. Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik 3. Merumuskan strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna. 10. Latar Belakang Industrialisasi Kelautan dan Perikanan merupakan suatu konsep yang diusung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional khususnya pembangunan Kelautan dan Perikanan. Kebijakan ini menitikberatkan sistem produksi dari hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan (Sunoto, 2012). Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas unggulan dalam program industrialisasi. Hal ini dikarenakan tuna merupakan jenis ikan ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor dua untuk komoditas perikanan setelah udang. Pada tahun 2011, komoditas tuna, dalam hal ini Tuna Tongkol dan Cakalang (TTC) menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 498.591.000 atau 14% dari total nilai ekspor iv
perikanan Indonesia.Pada tahun 2009, secara angka potensi produksi komoditas tuna di Indonesia diperkirakan hampir mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS). Jika dilihat dari hasil produksi, pada tahun 2011 produksi TTC dunia sebesar 6,8 juta ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Dari produksi tersebut Indonesia memasok lebih dari 16% produksi TTC dunia. Selanjutnya pada tahun 2013, volume ekspor TTC mencapai sekitar 209.410 ton dengan nilai USD$ 764,8 juta (Dirjen P2HP, 2014). tuna juga diketahui memiliki permintaan konsumen yang cukup tinggi akibat mulai bergesernya selera konsumen dunia dari red meat ke white meat. Dengan potensi yang dimiliki dan peluang pasar yang besar, sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar produksi tuna Indonesia di ekspor ke beberapa negara tujuan seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika. Permintaan tuna di Jepang dan Amerika Serikat dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pasar Jepang lebih memilih tuna fresh karena coocok untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan sashimi yang digemari oleh konsumen Jepang dan dapat langsung dikonsumsi. Sementara itu, konsumen tuna di Amerika Serikat lebih suka makan sandwich sehingga pasar tuna Amerika lebih banyak mengimpor tuna frozen (Lestari, 2012). Selain permintaan dari pasar ekspor, peluang pasar domestik untuk tuna juga masih terbuka lebar. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya restaurant-restaurant seafoodI, hotel yang menyajikan makanan berbahan baku tuna serta semakin banyaknya supermarket yang menjual daging ikan tuna, sehingga pola dan kecenderungan konsumsi ikan dalam negeri perlu juga diperhatikan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita pada tahun 2012 sebesar 33,89 kg/tahun, dimana konsumsi untuk tongkol/tuna/cakalang (TTC) pada tahun 2012 sebesar 3,40 kg/tahun (www.totalmedan.com). Sedangkan pada tahun 2013, tingkat konsumsi ikan secara nasional di dalam negeri sebesar 35,14 kg/kapita/tahun, dimana konsumsi untuk TTC segar sebesar 2,08 kg/kapita/tahun dan TTC yang diolah (diawetkan) sebesar 3,7 kg/kapita/tahun (BPS, 2013). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemerintah diharapkan dapat menyusun kebijakan pemasaran tuna yang dapat meningkatkan nilai ekspor dan nilai konsumsi dalam negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penetrasi pasar merupakan strategi yang tepat dalam pengembangan komoditas Tuna Indonesia,namun di sisi lain aspek sosial ekonomi dari perikanan tuna harus diperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Fiedhiem (2000) bahwa dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan perlu diperhatikan daya dukung dan kemampuan asimilasi wilayah laut, pesisir v
dan daratan dalam hubungan ekologis, ekonomis, dan sosial.Kesinambungan ketersediaan sumber daya ini merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.Nikijuluw (2001) dalam salah satu makalahnya juga menyebutkan bahwa bahwa aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir serta upaya-upaya pemberdayaan mereka merupakan variabel penting dalam mengembangkan pengelolaan sumberdaya perikanan.Hal ini menunjukkan bahwa adanya dukungan aspek-aspek sosial ekonomi terhadap optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Terkait dengan perdagangan komoditas tuna Indonesia maka adanya data dan informasi menyangkut aspek-aspek sosial ekonomi diharapkan dapat menunjang peningkatan produktifitas dan nilai ekspor tuna Indonesia yang berdaya saing tinggi, Informasi terkait aspek sosial dan ekonomi memperkaya kajian dari penelitian yang dilaksanakan dan juga dapat mempertajam rekomendasi kebijakan yang ditawarkan dapat lebih mempertimbangkan dan melibatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam kebijakan perikanan tuna yang dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kondisi dan kinerja perikanan tuna di negara tujuan utama eskpor tuna Indonesia dan di pasar domestik? (2) Bagaimanakah faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik? (3) Bagaimanakah strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna? 11. Perkiraan Keluaran 1. Data dan informasi terkait dengan kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik. 2. Data dan informasi terkait dengan faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasarekspor dan domestik. 3. Alternatif strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna.
12. Metodologi Penelitian - Kerangka Pemikian Kebijakan industrialisasi perikanan merupakan kebijakan nasional sektor kelautan dan perikanan untuk mendorong pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan dan kontribusi sektor tersebut dalam perekonomian nasional. Kebijakan ini diarahkan untuk peningkatan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi
sumberdaya kelautan dan perikanan. vi
Kebijakan ini tentunya tidak terlepas dengan kondisi dan kinerja perikanan Indonesia baik di pasar ekspor maupun pasar domestik. Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas unggulan dalam kebijakan tersebut dengan berbagai alasan yang diantaranya sumberdaya perikanan tuna Indonesia yang melimpah, tuna Indonesia menjadi primadona di pasar utama tujuan ekspor tuna Indonesia (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan pasar domestik. Kondisi dan kinerja komoditas tuna di kedua pasar tersebut dapat dilihat dari pangsa pasar (market share) untuk pasar ekspor dan jumlah konsumsi untuk pasar domestik. Kondisi dan kinerja tuna tentunya dipengaruhi oleh aspek teknis di masing-masing pasar. Untuk pasar ekspor aspek teknis terkait dengan kondisi dan kinerja tuna di pasar ekspor adalah pasar ekspor tuna itu sendiri (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa), Komoditas tuna (kaleng, beku, segar), daerah ekspor, daerah asal, armada penangkapan, jenis alat tangkap dan tenaga kerja. Aspek teknis terkait dengan kondisi dan kinerja tuna di pasar domestik adalah jumlah konsumsi, daerah asal, jenis komoditas (segar dan olahan), teknologi yang digunakan (tradisional dan modern). Masing-masing aspek teknis ini dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi baik yang berasal dari hulu sampai hilir. Dari aspek soail ekonomi tersebut dapat diketahui permasalahan dan isu aktual. Dengan diketahuinya permasalahan dan isu aktual tersebut dapat dipeoleh alternatif strategi pentrasi pasar ekspor dan domestik tuna Indonesia.
vii
Program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan
Nilai Tambah, Produksi, Skala Produksi Kelautan dan Perikanan
Kondisi dan Kinerja Penetrasi Tuna
Aspek Sosial Ekonomi
Ekspor
Analisis forensik: Pasar ekspor Komoditas Daerah Ekspor Daerah Asal Armada Penangkapan JenisAlatTangkap Tenaga Kerja
Jumlah Konsumsi
Domestik
Analisis Forensik Pasar Domestik Konsumen Komoditas Bahan Baku Supplier Jenis Armada
Aspek Sosial Ekonomi
Pangsa Pasar
Alternatif Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik PerikananTuna
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran Teoritis kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik
- Konsepsi dan Batasan Operasional (1) Aspek sosial ekonomi perikanan tuna adalah aspek sosial ekonomi para pihak yang mencakup para pelaku usaha (produsen , konsumen dan stakeholder lainnya) terkait dengan kegiatan usaha dan pemasaran tuna yang mempengaruhi strategi penetrasi pasar tunadi pasar ekspor di negara tujuan utama (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa)dan di pasar domestik. (2) Pasar ekspor adalah negara-negara yang menjadi pengimpor ikan tuna terbesar dari Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (3) Pasar domestik adalah pasar potensial untuk konsumsiikan tuna di wilayah Indonesia. Ikan tuna yang dimaksud di sini adalah ikan tuna yang merupakan jenis ikan pelagis besar. (4) Strategi penetrasi pasar ekspor adalah berdasarkan pendekatan peluang pasar (market share) perikanan tuna Indonesia pada ketiga pasar utama tujuan ekspor (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa).
viii
(5) Strategi penetrasi pasar domestik adalah berdasarkan pendekatan tingkat konsumsi yang dilihat dari jumlah konsumsi ikan tuna per kapita di pasar potensial yang ada di wilayah Indonesia.. - Pendekatan Penelitian ini berfokus pada penggunaan
analisis forensik pemasaran dengan
Bayesian Analisis sebagai pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
peluang strategi peningkatan pangsa pasar ekspor dan domestik
perikanan Tuna. Analisis forensik ekonomi digunakan pada kejadian-kejadian bidang ekonomi, khususnya pemasaran. Forensik ekonomi didefenisikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam hal deteksi dan kuantifikasi bahaya atau masalah yang muncul dalam proses ekonomi sebagai akibat perilaku organisasi yang memungkinkan terjadi litigasi atau proses hukum lainnya (Fisman, and Wei, 2007; Genesove, and Mullin, 2001). Dalam bidang pemasaran, analisis forensik dilakukan misalnya untuk menelesuri proses pemasaran yang terjadi, sejak proes produksi, distribusi, hingga mencapai produk yang dihasilkan digunakan oleh konsumen. Hal ini berarti bahwa suatu kejadian penting dalam pemasaran telah terjadi dan seterusnya bagaimana kejadian tersebut ditelusuri (Nikijuluw, 2011). Sedangkan dalam penelitian ini analisis tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi perikanan tuna dalam arti luas yang dilihat dari sub sistem produksi, pasca panen dan pemasaran. Pendekatan Bayesian menurut Peter E Rossi (2002), menjelaskan bagaimana model hirarkis Bayes ideal untuk diterapkan pada pengambilan keputusan di bidang pemasaran berdasarkan data yang diperoleh.Pendekatan ini fokus pada membuat pernyataan probabilitas mengenai parameter dan jumlah diperkirakan tergantung pada sampel. Sebuah analisis Bayesian menggabungkan sebelumnya dan kemungkinan untuk menghasilkan distribusi posterior untuk semua teramati jumlah yang mencakup parameter dan prediksi. Pandangan tradisional menyebutkan bahwa inferensi Bayesian memberikan manfaat hasil yang tepat sampel, integrasi pengambilan keputusan, 'estimasi', 'percobaan', dan pemilihan model. Teorema Bayes menurut Syamsudin (2011) memungkinkan dua buah sumber informasi tentang parameter dari suatu model statistic digabung menjadi satu.Dengan teorema ini informasi sampel (fungsi likelihood) dan informasi prior (distribusi prior) bisa digabung menjadi informasi posterior.Berdasaran teorema tersebut maka disusunlah Bayesian Model terkait Perikanan Tuna pada Pasar Ekspor dan Domestic dalam kajian ini. Selanjutnya aspek sosial ekonomi dianalisis lebih lanjut dengan mengidentifikasi pengaruh aspek sosial ekonomi pada model Bayesian yang sudah dibentuk baik pada pasar ix
ekspor maupun pasar domestik yang kemudian dengan menggunakan bantuan matriks USG dapat diketahui tingkat permasalahan dan issue aktual yang menjadi prioritas yang dapat menjadi alternate dalam penyusunan strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan Tuna Indonesia.
x
Prior Probability Penetrasi Pasar(peningkatan market share) Tuna berdasarkan Jenis Produk pada setiap negara tujuan)
New Information Pasar Ekspor: 1. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Uni Eropa
Gambar 2.
n=….
Bayes Process 1
Posterior Probability-1
Bayes Process 2
New Information 2 (Daerah Supplier ke
Pelabuhan Asal)
Posterior Probability-2
Bayes Processn
Posterior Probability-n
KESIMPULAN: (Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi Kinerja Penetrasi Pasar (Pangsa Pasar) Ekspor Tuna Indonesia
New Information -n (…..)
Alur Analisis Forensik Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna Dalam Mendukung Kinerja Penetrasi Pasar Ekspor dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Probability Model
xi
-
Skema Model Bayesian Pasar Ekspor Skema model Bayesian berdasarkan pangsa pasar (market share) ekspor tuna Indonesia yang telah disebutkan diatas dapat digambarkan sebagai berikut: Pasar
Pasar Jepang
Komoditas
Fresh
Daerah Ekspor
Daerah Asal
(………)
Tenaga Kerja
Canned
Surabaya
(………) Market share tuna Indonesia di negara tujuan utama
Pasar UE
Frozen
Jakarta
Armada Penangkapan Armada motor tempel
Jenis ALat Tangkap
Pasar USA
(………)
(………)
Armada ≤10GT
Alat Tangkap Longline
(………)
(…….)
Armada 11-30 GT
Alat Tangkap Pancing Tonda
Tenaga Kerja Sertifikasi
Gambar 3.
Bitung
Alat Tangkap Pool n Line/ Huhate
Tenaga Kerja Sertifikasi
Armada 31-100 GT
Alat Tangkap Handline
(……)
(…….)
Armada >100 GT
Alat Tangkap Purse Seine
Non
Skema Model Bayesian Pasar Ekspor
xii
Prior Probability Penetrasi Pasar Domestik TTC berdasarkan tingkat konsumsi
n=….
Bayes Process 1
Posterior Probability-1
Bayes Process 2
Posterior Probability-2
Bayes Processn
Posterior Probability-n
KESIMPULAN: (Peluang Penetrasi Pasar Tuna Domestik Berdasarkan Tingkat Konsumsi TTC)
New Information Pasar Domestikr: 1. Ambon 2. Bitung New Information 2 (Daerah Supplier ke Pasar
New Information -n (…..)
Konsumsi)
Gambar 4.
Analisis Forensik dengan Pendekatan Bayesian Terkait Kinerja Penetrasi Pasar DomestikPerikanan Tuna Indonesia
xiii
-
Skema Model Bayesian Pasar Domestik Skema model Bayesian domestik perikanan Tuna Indonesia berdasarkan jumlah konsumsi digambarkan sebagai berikut: Pasar Domestik
Bitung
Konsumen
Komoditas
Bahan Baku
Rumah Tangga
Restoran
Kaleng
Abon
Bakso
Segar
Suplier
Armada
Ambon
Dendeng
Tetelan
Pengecer
Motor Tempel
Segar
≤10GT
Nugget
Asap
Dada Tuna
Perusahaan
11-30 GT
31-100 GT
>100 GT
Gambar 5. Skema Model Bayesian Pasar Domestik xiv
- Metoda Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif untuk mengidentifikasi aspek sosial ekonomi dan mengkaji kinerja penetrasi pasar (pangsa pasar) ekspor tuna Indonesia di beberapa negara tujuan utama; dan pendekatan Bayesian Analysis untuk analisis peluang dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna Indonesia. Identifikasi faktor sosial ekonomi dilakukan berdasarkan analisis forensik dengan pendekatan Bayesian yang telah terbentuk untuk kemudian dilakukan skoring sehingga dapat diketahui tingkat pengaruh dari setiap aspek sosial ekonomi terkait peluang penetrasi pasar tuna dalam pasar ekspor maupun domestik. - Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun yaitu mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2014. Lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah Jakarta, Sulawesi Utara (Bitung), Jawa Timur (Surabaya), Jawa Barat (Bogor) dan Ambon. Pemilihan lokasi Jakarta, Surabaya dan Bitung sebagai lokasi untuk menganalisis strategi penetrasi pasar ekspor didasarkan pada pertimbangan bahwa pada ketiga lokasi tersebut merupakan daerah terbesar dalam mengekspor Tuna Indonesia ke negara tujuan utama. Sedangkan untuk lokasi pasar domestik dipilih berdasarkan data jumlah konsumsi Tuna Tongkol Cakalang (TTC ) yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. yang dihubungkan dengan perumusan alternatif strategi penetrasi pasar domestik perikanan Tuna. - Data Yang Dikumpulkan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh melalui survey dan observasi lapang dengan menggunakan topik data dan kuesioner terstuktur kepada pelaku usaha perikanan.
Sedangkan data
sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pelabuhan Perikanan, Badan Pusat Statistik (BPS, Badan Pengujian Mutu dan Hasil Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta pusat data dan informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. - Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah desk study dan wawancara dengan responden terkait dengan data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam menjawab tujuan penelitian.
xv
Tabel 1.
No.
Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data pada Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Ekspor, Tahun 2014
Tujuan
1.
Mengidentifikasi kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik
2.
Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik
Data yang Dibutuhkan
Jenis Data
1. Market Share Tuna ke Negara Tujuan - Primer Utama - Sekunder 2. Tren Ekspor Komoditas Tuna Indonesia 3. Jumlah Konsumsi TTC Domestik 4. Karakteristik Negara Tujuan Utama dan negara pesaing tuna Indonesia di pasar utama ekspor 5. Karakteristik pangsa pasar potensial di wilayah Indonesia 6. Data Volume dan Nilai Ekspor ke Negara Tujuan utama berdasarkan jenis komoditas, daerah Asal, Jumlah Armada, Jenis Alat Tangkap dan Tenaga Kerja. 7. Data jumlah Konsumsi TTC berdasarkan daerah asal, jenis produk dan teknologi yang digunakan 1. Peluang penetrasi pasar ekspor tuna ke - Primer negara tujuan utama 2. Peluang penetrasi pasar domestic TTC berdasarkan tingkat konsumsi
Sumber Data -
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis
KKP Dinas KP Disperindag LPPMHP BPS WITS UN Comtrade - Pelaku Usaha
Wawancara menggunakan Analisis forensic topik data dan desk study dengan pendekatan Bayesian
-
Wawancara menggunakan Skoring dan kuesioner Tabulasi Silang yang dianalisis secara deskriptif
KKP Dinas KP Disperindag LPPMHP Pelaku Usaha
xvi
No. 3.
Tujuan
Data yang Dibutuhkan
Jenis Data
Sumber Data
Merumuskan strategi penetrasi Seluruh data yang dibutuhkan dalam Primer dan - KKP pasar ekspor dan domestik menjawab tujuan 1 dan 2 sekunder - Dinas KP perikanan tuna. - Disperindag - LPPMHP - Pelaku Usaha
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis
- Wawancara Matriks USG menggunakan kuesioner yang dianalisis terstuktur dan secara deskriptif brainstorming
xvii
13. Anggaran: MA
Rincian Komposisi Pembiayaan
521211 521213 522141 522115
Belanja Bahan Honor terkait ouput keg. Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Paket Meeting Luar Kota Belanja perjalanan biasa Jumlah
524119 524111
Jumlah (Rp)
Jumlah (%)
29.350.000 5.040.000 16.250.000 11.100.000
12,74 2,19 7,05 4,82
130.160.000 38.500.000 230.400.000
56,49 16,71 100,00
14. Rencana Operasional Kegiatan: No KEGIATAN Persiapan 1 Studi Literatur 2 Konsultasi 3 Penyiapan instrumen pengumpulan data 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Operasional Pra-pengumpulan data/ Uji instrumen Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Pengolahan/ Analisis Data Seminar Hasil Riset Pelaporan
15. Tahapan Kegiatan Penelitian MA 521211 521213 522141 522115 524119 524111
Rincian Komposisi Pembiayaan Belanja Bahan Honor terkait ouput keg. Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Paket Meeting Luar Kota Belanja perjalanan biasa Jumlah
Triwulan I 10.725
3.400
II 7.000 2.500 9.500 1.800
III 8.600 2.540 10. 1.800
13.000
IV 14.800 7.200
Jumlah (000)
6.000
41.125 12.240 21.450 13.000
26.000
39.000
16.710
50.000
63.450
11.025
141.185
45.785
70.800
86.390
65.025
268.000
xviii
16. DAFTAR PUSTAKA KKP.2011. Statistik Kelautan dan Perikanan. Pusat Data dan Informasi, KKP, Jakarta Nikijuluw, V. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 September 2001. Rahadian, Rani hafsari Dewi, Sonny Koeshendrajana. 2012. Produktifitas Produktifitas Sumberdaya Tangkap Komoditas Tuna Indonesia.Seminar Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, BBPSEKP, Jakarta. Rangkuti, Freddy. 2007. Riset Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Rossi, Peter E. 2002. Bayesian in Statistic and Marketing. Fisher College of Business Ohio State University. Ohio. Samsudin, Sadili, 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka Setia, Bandung Syamsudin, M. 2011. Teorema Bayes. Industrial and Financial Mathematics FMIPA ITB &Financial Modeling, Optimization and Simulation (FinanMOS) ITB. Bandung Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
17. PENGESAHAN Jakarta, Februari 2014 Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Indra Sakti, SE, MM. NIP. 19620507 198903 1 001
xix
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan kegiatan ini. Penulisan laporan ini, dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam pelaksanaan “KAJIAN ASPEK SOSIAL EKONOMI PERIKANAN TUNA DAN STRATEGI PENETRASI PASAR EKSPOR DAN DOMESTIK”. .Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, pada penyusunan laporanini, sangatlah sulit bagi kami untuk dapat menyelesaikan penulisan laporan teknis ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang telah membantu kami dalam penulisan ini. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Dan, semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait.
Jakarta, Desember 2014
Tim Peneliti
xx
RINGKASAN Industrialisasi Kelautan dan Perikanan merupakan suatu konsep yang diusung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional khususnya pembangunan Kelautan dan Perikanan. Kebijakan ini menitikberatkan sistem produksi dari hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan (Sunoto, 2012). Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas unggulan dalam program industrialisasi. Hal ini dikarenakan tuna merupakan jenis ikan ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor dua untuk komoditas perikanan setelah udang. Pada tahun 2011, komoditas tuna, dalam hal ini Tuna Tongkol dan Cakalang (TTC) menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 498.591.000 atau 14% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia.Pada tahun 2009, secara angka potensi produksi komoditas tuna di Indonesia diperkirakan hampir mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) (Martosubroto, 2011). Terkait dengan hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui kondisi dan kinerja perikanan tuna di negara tujuan utama eskpor tuna Indonesia dan di pasar domestik; (2) mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna yang terkait dengan strategi penetrasi pasar ekspor dan domestic; dan (3) strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari data sekunder yang meliputi : data kondisi perikanan Tuna Nasional, data volume dan nilai ekspor tuna Indonesia berdasarkan negara tujuan, data Permintaan Tuna Indonesia, posisi Indonesia pada negara tujuan utama, karakteristik konsumen pada negara tujuan utama, posisi dan kebijakan negara pesaing pada negara tujuan utama terkait perikanan Tuna, kebijakan pemerintah pada negara tujuan utama, volume dan Nilai Ekspor Tuna Indonesia berdasarkan jenis Komoditas, data daerah asal ekspor komoditas Tuna Indonesia ke Negara tujuan utama, preferensi konsumen pada komoditas Tuna di negara Tujuan Utama, ketersediaan bahan baku dalam menghasilkan komoditas ekspor Tuna, teknologi yang digunakan dalam memproduksi komoditas ekspor, harga komoditas pada negara tujuan utama. Hambatan tariff dan non tariff pada negara tujuan utamaData yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif untuk mengidentifikasi aspek sosial ekonomi dan mengkaji kinerja penetrasi pasar (pangsa pasar) ekspor tuna Indonesia di beberapa negara tujuan utama; dan pendekatan Bayesian Analysis untuk analisis peluang dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna Indonesia. Identifikasi faktor sosial ekonomi dilakukan berdasarkan analisis forensik dengan pendekatan Bayesian yang telah terbentuk untuk kemudian dilakukan skoring sehingga dapat diketahui tingkat pengaruh dari setiap aspek sosial ekonomi terkait peluang penetrasi pasar Tuna dalam pasar ekspor maupun domestik. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perdagangan tuna di Pasar Jepang didominasi oleh negara-negara asia seperti Taiwan, Korea, Indonesia, Australia dan China, Indonesia di pasar Jepang ini merupakan merupakan negara terbesar ketiga yang mengekspor tuna di Jepang. Disamping negara-negara tersebut ada beberapa negara asia lainnya yang merupakan pesaing berat lainnya Indonesia yaitu Vietnam dan Thailand. Terutama untuk negara Thailand, Indonesia banyak mengirim bahan mentah ikan tuna ke Thailand untuk diolah menjadi ikan tuna kaleng. Kinerja perikanan tuna Indonesia dapat dilihat dari setiap tahunnya Indonesia memasok komoditas tuna berupa tuna segar, tuna beku dan tuna kaleng ke Negara Jepang. Pada tahun 2011, volume ekspor tuna mengalami peningkatan dan pada tahun 2012 volumenya mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan tersebut merupakan akibat dari adanya penurunan volume untuk xxi
masing-masing bentuk komoditas terutama tuna segar dan tuna beku akibat adanya gempa dan tsunami. Selain itu sejak tahun 2004 hingga 2013, terjadi penurunan permintaan impor tuna Jepang yang biasa digunakan untuk shahimi yaitu sebesar 52%. Melemahnya permintaan tuna dari Jepang ini disebabkan karena sebagian besar terjadi peralihan preferensi konsumen generasi muda di Jepang yang beralih pada jenis makanan lain. Selain itu, salmon telah menjadi pesaing kuat komoditas tuna untuk pasar sashimi dan non sashimi. Pasar AmerikaSerikat dimana terdapat beberapa negara pemasok ikan tuna di Amerika Serikat yang menjadi negara pesaing berat Indonesia seperti Philipina, Vietnam, Equador, Thailand. Namun yang menjadi pesaing terberat Indonesia adalah Philipina dimana sejak tahun 2012 berhasil menguasai pangsa pasar sebesar 20% dari total pasokan tuna ke Amerika Serikat. Jika dilihat dari kinerjanya dimana ekspor tuna Indonesia di pasar Amerika Serikat dimana sejak periode 1990-2010, perkembangan Perdagangan Internasional (Ekspor) Tuna Indonesia ke negara Amerika Serikat mengalami trend yang cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,63% per tahun. Namun sejak tiga tahun terakhir ini memang volume ekspor tuna ke Amerikan Serikat cenderung menurun. Pasar Uni Eropa dimana jika dilihat dari pangsa pasarnya, ekspor tuna Indonesia di pasar Uni Eropa berada pada posisi pangsa pasar (market share) yang rendah. Negara yang memiliki pangsa pasar terbesar di negara Uni Eropa adalah Philipina dengan persentase sebesar 1,35% Selanjutnya negara Thailand dengan persentase pangsa pasar nya sebesar 1,88%, dilanjutkan dengan negara China dengan pangsa pasar sebesar 0,36% dan terakhir Indonesia dengan pangsa pasarnya sebesar 0,44%. Tuna Indonesia yang diekspor ke negara-negara yang berada di kawasan Uni Eropa yaitu berupa tuna segar, tuna beku dan tuna dalam kaleng. Dari ketiga komoditas tuna tersebut, ekspor tuna dalam kaleng menempati urutan yang paling besar dibandingkan dengan tuna segar dan beku dengan volume rata-rata sebesar 16.901.351 kg dengan nilai rata-rata Rp. 55.912.364. Pasar domestik dilihat dari tingkat konsumsi ikan tuna. dimana tingkat konsumsi ikan tuna per kapita untuk komoditas tongkol/tuna/cakalang pada tahun 2012 sebesar 3,40 kg/kapita/tahun. Kondisi menurun jika dibandingkan pada tahun 2008 dimana tingkat konsumsi ikan sebesar 28 kg/kapita/tahun, dimana sebesar 13% berasal dari konsumsi TTC (tuna, tongkol dan cakalang). Jika dilihat secara rinci, dimana untuk wilayah Jakarta tingkat konsumsi ikan TTC sebesar 6,8% (dari 17,56 kg/kapita/tahun), untuk wilayah Surabaya (Jawa Timur) tingkat konsumsi ikan TTC sebesar 10% (dari 16,34 kg/kapita/tahun), dan Bitung tingkat konsumsi ikan TTC sebesar 38% (dari 36,44 kg/kapita/tahun). Selain untuk konsumsi, permintaan ikan tuna di pasar domestik juga cenderung meningkat dimana komoditas tuna ini dijadikan sebagai bahan baku industri yang akan dijadikan sebagai tuna olahan. Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat diketahui aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna di negara Jepangadalah preferensi konsumen di Jepang yaitu sebesar 20% dan permintaan tuna di Jepang yang tinggi yaitu sebesar 19%, negara pesaing Indonesia di pasar Jepang sebesar 17% , sisi harga tuna di Jepang juga mempengaruhi sebesar 11%, Hambatan tariff dan hambatan non tariff memiliki pengaruh sebesar 11%. Negara USA aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah preferensi konsumen di USA yaitu sebesar 19% , hambatan tariff dan hambatan non tariff sebesar masing-masing sebesar 18%, harga tuna di USA yang relatif tinggi juga berpengaruh sebesar 17%, Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh untuk komoditastunaadalah ketersediaan bahan baku (27%), preferensi konsumen di pasar ekspor (25%), harga komoditas tuna (19%), kualitas bahan baku (17%) dan tingkat penguasaan teknologi (12%). Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada daerah ekspor adalah sarana prasarana (31%), aksesibilitas (27%), kemudahan perizinan (21%) dan biaya ekspor (21%). Aspek sosial ekonomi yang menjadi penentu utama daerah asal adalah jarak tempuh armada penangkapan ke pelabuhan pendaratan ikan (17%),sarana prasarana (17%), Ketersediaan xxii
buyer (16%), Kemudahan Perizinan (15%), Retribusi (12%) dan Harga tuna di pelabuhan pendaratan ikan (11%). Sedangkan aspek sosial ekonom yang berpengaruh dalam menentukan armada penangkapan adalah ketersediaan modal (22%) dan kemampuaan SDM (22%), selain itu prospek menghasilkan keuntungan (20%), kemudahan perizinan (14%), Daerah Penangkapan (12%) dan Kapasitas Produksi (10%) menjadi aspek yang mempengaruhi pelaku usaha. Untuk jenis alat tangkap, aspek sosial ekonomi yang menjadi penentu utama jenis alat tangkap yang digunakan adalah efektifitas alat tangkap (19%), kapasitas SDM (19%), jenis komoditas yang menjadi sasaran penangkapan (17%) prospek menghasilkan keuntungan (17%), Modal (16%), dan Perizinan (12%). Terakhir aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada tenaga kerja adalah ketrampilan (21%) dan pengalaman (17%), umur (17%) selain itu tingkat upah (13%) , daerah asal tenaga kerja (11%), dan pendidikan (11%). Strategi penetrasi pasar ekspor ke Jepang berdasarkan aspek komoditas adalah dengan peningkatan produksi dan kualitas bahan baku tuna fresh untuk memenuhi permintaan konsumen yang tinggi terhadap komoditas tuna fresh, penanganan kasus IUU untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tuna; aspek daerah eskpor dengan melakukan strategi berupa peningkatan infrastruktur penunjang ekspor, peningkatan kualitas pelayanan terhadap ekspor hasil perikanan terutama di bandara Soekarno Hatta, membentuk “sistem perijinan satu pintu”; pada daerah asal, armada penangkapan dan jenis alat tangkap, tenaga kerja strategi yang dapat dilakukan adalah Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga tepat sasaran, peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan, peningkatan kapasitas produksi melalui pelatihan kemampuan nelayan, sosialisasi secara intensif mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah sukabumi dan bali sebagai supplier utama. Strategi penetrasi pasar ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa berdasarkan aspek komoditas adalah dengan Dukungan terhadap penciptaan iklim investasi bagi industri pengalengan ikan dengan kemudahan perijinan bantuan advokasi terhadap kasus tolakan ekspor, sosialisasi regulasi; aspek daerah eskpor dengan melakukan strategi berupa Peningkatan infrastruktur sarana prasarana pelabuhan laut dan bongkaran cargo serta pembentukan sistem penjadwalan eskpor barang yang mudah diakses oleh eksportir; pada daerah asal, armada penangkapan dan jenis alat tangkap, tenaga kerja strategi yang dapat dilakukan adalah Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga tepat sasaran, peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan, peningkatan kapasitas produksi melalui pelatihan kemampuan nelayan, sosialisasi secara intensif mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah Bitung, Bali sebagai supplier utama, menekan IUU Fishing untuk menjaga stabilitas ketersediaan bahan baku, mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional. Sedangkan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada pasar domestik terkait dengan tingkat konsumsi adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan, jumlah penduduk dan selera makan ikan. Kelima faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jika harga ikan yang di pasaran terjangkau, maka dengan pendapatan yang dimiliki konsumen rumah tangga akan membeli ikan tersebut untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Strategi penetrasi pasar domestik di Kota Ambonadalah menjaga kestabilan harga ikan dan peningkatan terhadap ketersediaan ikan, sehingga masyarakat tidak kekurangan. Jika hal ini terus terpenuhi maka akan meningkatkan tingkat konsumsi ikan di Kota Ambon. Sedangkan untuk strategi penetrasi Bitung adalah meningkatkan kepekaan terhadap dinamika selera (preferensi) konsumen. Hal ini sangat diperlukan, karena preferensi/selera konsumen sangat mempengaruhi tingkat konsumsi ikan di wilayah tersebut.
xxiii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................................................ ii RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN ............................................................................ iii KATA PENGANTAR ..................................................................................................................................xx RINGKASAN.............................................................................................................................................. xxi DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. xxiv DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................... xxvi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................................ xxvii I.
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
1.2.
Tujuan Penelitian ...................................................................................................................... 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 4 2.1.
Deskripsi Ikan Tuna .................................................................................................................. 4
2.2.
Teori Perdagangan Internasional............................................................................................. 6
2.3.
Teori Ekspor .............................................................................................................................. 8
2.4.
Konsep Pemasaran .................................................................................................................. 9
2.5.
Strategi Pemasaran ................................................................................................................ 10
2.6.
Tingkat Konsumsi Ikan ........................................................................................................... 11
2.7.
Kajian Penelitian Terdahulu ................................................................................................... 11
III.
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................ 15 3.1.
Kerangka Pemikian ................................................................................................................. 15
3.2.
Konsepsi dan Batasan Operasional ...................................................................................... 16
3.3.
Pendekatan ............................................................................................................................. 17
3.4.
Metoda Analisa Data ............................................................................................................. xxii
3.5.
Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................................................. xxii
3.6.
Data Yang Dikumpulkan ........................................................................................................ xxii
3.7.
Teknik Pengumpulan Data .................................................................................................... xxii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................................... 24 4.1.
Identifikasi Kondisi dan Kinerja Strategi Penetrasi Pasar Tuna Indonesia dengan Model Pendekatan Bayesian untuk Pasar Ekspor .............................................................. 24
4.1.1.
Pasar Tujuan Utama Ekspor Tuna Indonesia .............................................................. 31
4.1.2.
Komoditas ...................................................................................................................... 43
4.1.3.
Daerah Ekspor ............................................................................................................... 49
4.1.4.
Daerah Asal ................................................................................................................... 53
4.1.5.
Kapal Penangkap Tuna Berdasarkan Ukuran Armada ............................................... 67
4.1.6.
Kapal Penangkap Tuna Berdasarkan Jenis Alat Tangkap.......................................... 69
4.2.
Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna untuk Pasar Ekspor............................................... 72
4.2.1.
Pasar Ekspor.................................................................................................................. 72
4.2.2.
Komoditas Ekspor .......................................................................................................... 77
4.2.3.
Daerah Ekspor ............................................................................................................... 79 xxiv
4.2.4.
Daerah Asal Tuna .......................................................................................................... 80
4.2.5.
Armada Penangkapan ................................................................................................... 82
4.2.6.
Jenis Alat Tangkap Tuna............................................................................................... 83
4.2.7.
Tenaga Kerja.................................................................................................................. 85
4.3.
Strategi Penetrasi Pasar Ekspor Berdasarkan Aspek Sosial ekonomi yang Berpengaruh .......................................................................................................................... 86
4.4.
Identifikasi Kondisi dan Kinerja Pasar Tuna Indonesia dengan Model Pendekatan Bayesian Untuk Pasar Domestik .......................................................................................... 91
4.4.1.
Pasar Domestik .............................................................................................................. 93
4.4.2.
Konsumen ...................................................................................................................... 95
4.4.3.
Komoditas ...................................................................................................................... 95
4.4.4.
Bahan Baku.................................................................................................................... 96
4.5.
Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna untuk Pasar Domestik........................................... 98
4.5.1.
Pasar Domestik .............................................................................................................. 98
4.5.2.
Konsumen .................................................................................................................... 100
4.5.3.
Komoditas .................................................................................................................... 100
4.5.4.
Bahan Baku.................................................................................................................. 100
4.5.5.
Suplier .......................................................................................................................... 100
4.5.6.
Armada Penangkapan ................................................................................................. 100
4.6.
Strategi Penetrasi Pasar Domestik Berdasarkan Aspek Sosial Ekonomi yang Berpengaruh dengan Model Pendekatan Bayesian .......................................................... 101
4.6.1.
Pasar Ambon ............................................................................................................... 101
4.6.2.
Pasar Bitung................................................................................................................. 102
V. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KP ...... 108 5.1.
Kebijakan Nasional ............................................................................................................... 108
5.2.
Kebijakan Pada Tingkat Regional/daerah ........................................................................... 108
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ........................................................................ 109 6.1.
Kesimpulan ............................................................................................................................ 109
6.2.
Rekomendasi Kebijakan ....................................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 113
xxv
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24.
Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data pada Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Ekspor, Tahun 2014........................................................................................................................... xvi Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data pada Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Ekspor, Tahun 2014......................................................................................................................... xxiii Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas Pada Tahun 2010-2012 ....................................................................................................... 33 Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas ke Pasar Jepang Pada Tahun 2010-2013 ............................................................................... 35 Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas Ke Pasar Amerika Serikat Pada Tahun 2010-2013................................................................ 38 Persyaratan Pasar Amerika Serikat Berdasarkan Jenis Produk ....................................... 39 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Tuna ke Uni Eropa Pada Tahun 20102012 ...................................................................................................................................... 41 Tabel Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di DKI Jakarta ....................................................................................................................... 49 Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di Surabaya............................................................................................................................... 51 Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di Bitung .................................................................................................................................... 52 Jenis Alat Tangkap Tuna di PPS Nizam Zachman, Jakarta Tahun 2008-2011 (unit) .... 54 Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2007-2011 (Ton) .......... 54 Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011 ............................. 55 Jumlah Armada Penangkapan di PPN Pelabuhan Ratu Tahun 2009-2011 (unit) ........... 56 Jumlah Alat Tangkap Tuna di PPN Pelabuhan Ratu Tahun 2009-2011 (Unit) ................ 57 Jumlah Armada PenangkapanTuna di Jawa Timur Tahun 2011-2012 ............................ 59 Jenis Alat Tangkap Tuna di Jawa Timur Tahun 2011-2012 (Unit) .................................... 59 Nilai Komoditas Ekspor Tuna Berdasarkan Jenis Komoditas Tahun 2010-2012. ........... 61 Jenis Armada Penangkapan Ikan pada Pada Provinsi Maluku Tahun 2012 ................... 63 Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2010-2012 (Ton) ............ 64 Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 .................... 65 Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 ................................... 65 Strategi Penetrasi untuk Pasar Jepang .............................................................................. 87 Strategi Penetrasi Pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa ................................................. 91
xxvi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik ................................................................. viii Gambar 2. Alur Analisis Forensik Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna Dalam Mendukung Kinerja Penetrasi Pasar Ekspor dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Probability Model .................................................................................................................... xi Gambar 3. Skema Model Bayesian Pasar Ekspor................................................................................. xii Gambar 4. Analisis Forensik dengan Pendekatan Bayesian Terkait Kinerja Penetrasi Pasar DomestikPerikanan Tuna Indonesia ................................................................................... xiii Gambar 5. Skema Model Bayesian Pasar Domestik .............................................................................. xiv Gambar 6. Kerangka Pemikiran Teoritis kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik ................................................................. 16 Gambar 7. Alur Analisis Forensik Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna Dalam Mendukung Kinerja Penetrasi Pasar Ekspor dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Probability Model ................................................................................................................ xviii Gambar 8. Skema Model Bayesian Pasar Ekspor ............................................................................ xix Gambar 9. Analisis Forensik dengan Pendekatan Bayesian Terkait Kinerja Penetrasi Pasar DomestikPerikanan Tuna Indonesia ....................................................................................xx Gambar 10. Skema Model Bayesian Pasar Domestik ............................................................................ xxi Gambar 11. Analisis Bayesian Pasar Ekspor Utama Tuna Indonesia dengan Software Genie 2.0 .... 27 Gambar 12. Sensitifitas Analisis Komoditas Fresh Tuna dengan Software Genie 2.0 ......................... 29 Gambar 13. Sensitifitas Analisis Komoditas Frozen Tuna dengan Software Genie 2.0....................... 30 Gambar 14. Sensitifitas Analisis Komoditas Canned Tuna dengan Software Genie 2.0 ..................... 31 Gambar 15. Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia Pada Tahun 1976-2010 ..................................... 32 Gambar 16. Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia Terhadap Ekspor Tuna Dunia Pada Tahun 2001-2013............................................................................................................................. 32 Gambar 17. Perkembangan Impor Tuna Ke Pasar Jepang Pada Tahun 1976-2011 .......................... 34 Gambar 18. Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Jepang Tahun 2010-2012 (Kg/Tahun) ........ 34 Gambar 19. Trend Perkembangan Ekspor Tuna ke Pasar Jepang Tahun 1990-2012 ........................ 35 Gambar 20. Market share Tuna di Pasar Jepang Tahun 2011 (%) ....................................................... 36 Gambar 21. Perkembangan impor tuna di Amerika Serikat Menurut Penggunaannya........................ 37 Gambar 22. Trend Perkembangan Ekspor Tuna ke Pasar Amerika Serikat Tahun 1990-2012 .......... 38 Gambar 23. Market share Tuna di Pasar Amerika Serikat Tahun 2012 (%) ........................................ 39 Gambar 24. Volume dan Nilai Ekspor Tuna ke Uni Eropa Tahun 2010-2012 ...................................... 41 Gambar 25. Trend Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa, Tahun 19902012 ...................................................................................................................................... 42 Gambar 26. Arus Perdagangan Barang melalui Pelauhan Tanjung Priok ............................................ 50 Gambar 27. Fasilitas Terminal Pelabuhan Tanjung Priok ...................................................................... 51 Gambar 28. Nilai Ekspor Perikanan Bitung ............................................................................................. 60 Gambar 29. Volume Produksi dan Ekspor Perikanan Bitung................................................................. 60 Gambar 30. Data Produksi Perikanan Kota Bitung Tahun 2006-2010 .................................................. 62 Gambar 31. Produksi Perikanan Bitung Berdasar Jenis Ikan Tahun 2011 ........................................... 62 Gambar 32. Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013 .......................................... 64 Gambar 33. Analisis Bayesian Jenis Armada Penangkapan Tuna ≤10 GT dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................................. 68 Gambar 34. Analisis Bayesian Jenis Armada Penangkapan Tuna 31-100 GT dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................................. 69 Gambar 35. Analisis Bayesian Alat Tangkap LonglineBerdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................. 70 Gambar 36. Analisis Bayesian AlatTangkap Huhate Berdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................................. 70 Gambar 37. Analisis Bayesian Alat Tangkap Handline Berdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................. 71 Gambar 38. Analisis Bayesian Alat Tangkap Pancing TondaBerdasarkan Daerah Asal denganSoftware Genie 2.0 .................................................................................................. 71 xxvii
Gambar 39. Analisis Bayesian Alat Tangkap Jaring InsangBerdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0 .............................................................................................................. 72 Gambar 40. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna Indonesia ke Jepang ..................... 73 Gambar 41. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna ke USA ........................................... 74 Gambar 42. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna ke Uni Eropa .................................. 76 Gambar 43. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Komoditas Tuna Ekspor ................................................. 78 Gambar 44. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Daerah Ekspor ................................................................ 79 Gambar 45. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Daerah Asal .................................................................... 81 Gambar 46. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Armada Penangkapan .................................................... 82 Gambar 47. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Jenis Alat Tangkap ......................................................... 84 Gambar 48. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Tenaga Kerja ................................................................... 85 Gambar 49. Strategi Penetrasi Pasar Jepang dengan menggunakan Pendekatan Bayesian ............ 86 Gambar 50. Strategi Penetrasi Pasar Amerika Serikat dengan menggunakan Pendekatan Bayesian ............................................................................................................................... 87 Gambar 51. Strategi Penetrasi Pasar Uni Eropa dengan menggunakan Pendekatan Bayesian ........ 88 Gambar 52. Persentase Aspek Sosial Ekonomi Permintaan Tuna di Pasar DomestikKota Ambon ................................................................................................................................... 98 Gambar 53. Persentase Aspek Sosial Ekonomi Permintaan Tuna di Pasar Domestik Kota Bitung .................................................................................................................................... 99
xxviii
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Industrialisasi Kelautan dan Perikanan merupakan suatu konsep yang diusung oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional khususnya pembangunan Kelautan dan Perikanan. Kebijakan ini menitikberatkan sistem produksi dari hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan (Sunoto, 2012). Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas unggulan dalam program industrialisasi. Hal ini dikarenakan tuna merupakan jenis ikan ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor dua untuk komoditas perikanan setelah udang. Pada tahun 2011, komoditas tuna, dalam hal ini Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT) menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 498.591.000 atau 14% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia.Pada tahun 2009, secara angka potensi produksi komoditas tuna di Indonesia diperkirakan hampir mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS). Jika dilihat dari hasil produksi, pada tahun 2011 produksi TCT dunia sebesar 6,8 juta ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Dari produksi tersebut Indonesia memasok lebih dari 16% produksi TCT dunia. Selanjutnya pada tahun 2013, volume ekspor TCT mencapai sekitar 209.410 ton dengan nilai USD$ 764,8 juta (Dirjen P2HP, 2014). tuna juga diketahui memiliki permintaan konsumen yang cukup tinggi akibat mulai bergesernya selera konsumen dunia dari red meat ke white meat. Dengan potensi yang dimiliki dan peluang pasar yang besar, sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar produksi tuna Indonesia di ekspor ke beberapa negara tujuan seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika. Permintaan tuna di Jepang dan Amerika Serikat dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pasar Jepang lebih memilih tuna fresh karena coocok untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan sashimi yang digemari oleh konsumen Jepang dan dapat langsung dikonsumsi. Sementara itu, konsumen tuna di Amerika Serikat lebih suka makan sandwich sehingga pasar tuna Amerika lebih banyak mengimpor tuna frozen (Lestari, 2012). Selain permintaan dari pasar ekspor, peluang pasar domestik untuk tuna juga masih terbuka lebar. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya restaurant-restaurant seafoodI, hotel yang menyajikan makanan berbahan baku tuna serta semakin banyaknya 1
supermarket yang menjual daging ikan tuna, sehingga pola dan kecenderungan konsumsi ikan dalam negeri perlu juga diperhatikan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita pada tahun 2012 sebesar 33,89 kg/tahun, dimana konsumsi untuk tongkol/tuna/cakalang (TCT) pada tahun 2012 sebesar 3,40 kg/tahun (www.totalmedan.com). Sedangkan pada tahun 2013, tingkat konsumsi ikan secara nasional di dalam negeri sebesar 35,14 kg/kapita/tahun, dimana konsumsi untuk TCT segar sebesar 2,08 kg/kapita/tahun dan TCT yang diolah (diawetkan) sebesar 3,7 kg/kapita/tahun (BPS, 2013). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemerintah diharapkan dapat menyusun kebijakan pemasaran tuna yang dapat meningkatkan nilai ekspor dan nilai konsumsi dalam negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penetrasi pasar merupakan strategi yang tepat dalam pengembangan komoditas Tuna Indonesia,namun di sisi lain aspek sosial ekonomi dari perikanan tuna harus diperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Fiedhiem (2000) bahwa dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan perlu diperhatikan daya dukung dan kemampuan asimilasi wilayah laut, pesisir dan daratan dalam hubungan ekologis, ekonomis, dan sosial.Kesinambungan ketersediaan sumber daya ini merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.Nikijuluw (2001) dalam salah satu makalahnya juga menyebutkan bahwa bahwa aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir serta upaya-upaya pemberdayaan mereka merupakan variabel penting dalam mengembangkan pengelolaan sumberdaya perikanan.Hal ini menunjukkan bahwa adanya dukungan aspek-aspek sosial ekonomi terhadap optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Terkait dengan perdagangan komoditas tuna Indonesia maka adanya data dan informasi menyangkut aspek-aspek sosial ekonomi diharapkan dapat menunjang peningkatan produktifitas dan nilai ekspor tuna Indonesia yang berdaya saing tinggi, Informasi terkait aspek sosial dan ekonomi memperkaya kajian dari penelitian yang dilaksanakan dan juga dapat mempertajam rekomendasi kebijakan yang ditawarkan dapat lebih mempertimbangkan dan melibatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam kebijakan perikanan tuna yang dilaksanakan oleh pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: (4) Bagaimanakah kondisi dan kinerja perikanan tuna di negara tujuan utama eskpor tuna Indonesia dan di pasar domestik? (5) Bagaimanakah faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik? 2
(6) Bagaimanakah strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna? 1.2.
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum Mengetahui aspek sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik. b. Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik. 2. Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik. 3. Merumuskan strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna. 1.3. Keluaran Penelitian 1. Data dan informasi terkait dengan kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik. 2. Data dan informasi terkait dengan faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasarekspor dan domestik. 3. Alternatif strategi penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna.
3
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Ikan Tuna Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa famili Scombridae, terutama genus
Thunnus. Tuna merupakan ikan perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam). Daging yangdimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya
(Mc Afee et al. 2009). Beberapa
spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam (Lennert-cody 2008). Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik kecil berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian besar mempunyai sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Burhanuddin et al. 1984). Menurut taksonomi (sistematika ikan), jenis-jenis ikan tuna termasuk ke dalam Famili Scombridae. Secara global, terdapat 7 spesies ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting, yaitu albacore (Thunnus alalunga), bigeye tuna (Thunnus obesus), atlantic bluefin tuna (Thunnus thynnus), pacific bluefin tuna (Thunnus oreintalis), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), yellowfin tuna (Thunnus albacares), dan skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), kecuali pacific bluefin dan southern bluefin tuna, kelima spesies tuna lainnya hidup dan berkembang di perairan Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia (Dahuri, 2008).Menurut Saanin (1984), ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Scombridae Species:
Thunnus alalunga
Thunnus obesus Thunnus thynnus Thynnus oreintalis Thunnus maccoyii 4
Thunnus albacores
Menurut Collette (1994) ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Albacore (Thunnus alalunga) Ikan tuna jenis ini membentuk busur kuat ke arah belakang dibanding dengan jenis ikan tuna lain. Sirip dada sangat panjang mencapai 30% panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore tersebar di semua perairan tropik dan perairan-perairan bersuhu sedang. Ikan ini bersifat epipelagik, mesopelagik, dan oceanic. Tempat penyebarannya pada kedalaman antara 300 m dan maksimal pada 600 m. Ukuran panjang badan maksimal tuna ini adalah 120 cm dengan berat badan maksimal 60 kg. 2) Bigeye (Thunnus obesus) Bigeye merupakan salah satu jenis ikan tuna dengan ukuran besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis- garis sisi seperti sabuk biru yang membujur di sepanjang badan. Ikan tunajenis bigeye ini memiliki dua sirip punggung (D1) berwarna kuning terang sedangkan sirip punggung dua (D2) berwarna kuning muda. Jari-jari sirip tambahan berwarna kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari perairan tropis ke subtropis yang biasanya berada pada kedalaman hingga 200 meter. Ukuran panjang bigeye dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan berat badan maksimal 200 kg 3) Atlantic Bluefin (Thunnus thynnus) Panjang total atlantic bluefin maksimal hingga 458 cm dengan berat badan maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan oceanodromus. Ikan ini biasanya berada pada lapisan kedalaman antara 0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik, Atlantic Bluefin ditemukan di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuela dan Brazil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan timur Atlantik, termasuk Mediterania dan Laut Hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di Indonesia. Sirip punggung kedua dari Atlantic Bluefin lebih tinggi dari sirip punggung yang pertama. Sirip dada sangat pendek kurang dari 80% panjang kepala, sisi bawah perut berwarna putih 4) Pacific Bluefin (Thunnus oreintalis) Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga 300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodromus, namun pada musim- musim tertentu mendekati ke pesisir pada perairan pasifik utara (Teluk Alaska-selatan California, dan dari Pulau Saklir 5
hingga selatan Laut Filiphina). Ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia. Feeding habit ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan memangsa bermacam schooling kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan organisme sesil. 5) Southern Bluefin (Thunnus maccoyii) Tuna jenis southern bluefin merupakan salah satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek (kurang dari 80% panjang kepala), dan tidak pernah mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna berselang- selang dengan deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan terlihat pada southern bluefin dalam keadaan segar. Southern bluefin menyebar di seluruh bagian selatan dan Samudera Hindia pada suhu 5-10C. Ikan ini bersifat epipelagic dan oceanic di air bersuhu dingin. Ikan ini bertelur dan berlarva pada suhu 20-30C. Ikan dewasa secara musiman beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hingga 50 meter di bawah permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm. 6) Yellowfin (Thunnus albacares) Yellowfin tuna termasuk jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada (pectoral fin) melampaui awal sirip punggung (dorsal) kedua, tetapi tidak melampaui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Ikan jenis yellowfin biasanya membentuk schooling (gerombolan) di bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang yellowfin dapat mencapai lebih dari 200 cm denganrata-rata 150 cm, berat badan maksimal 200 kg. 2.2.
Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar atau
lintas negara, yang mencakup ekspor dan impor. Menurut Gonarsyah (1987) ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain, yaitu (1) Keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, (2) Memperbesar penerimaan bagi kegiatan pembangunan, (3) Adanya perbedaan penawaran permintaan antar negara, (4) Tidak semua negara menyediakan kebutuhan masyarakatnya serta (5) Akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu.
Di
banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP.Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi,globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. 6
Menurut Amir M.S, bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan. Perdagangan internasional mendorong manusia untuk menghasilkan produk-produk terbaik dan sekaligus memungkinkan manusia untuk mengkonsumsi lebih banyak ragam barang dan jasa yang berasal dari seluruh dunia yang tidak dihasilkan di dalam negeri. Selain itu, perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan semua negara melalui spesialisasi dalam produksi barang dan jasa yang memiliki keunggulan komparatif.
Menurut Ball dan McCulloch (2001), perdagangan
internasional timbul karena adanya perbedaan harga relatif di antara negara. Perbedaan ini berasal dari perbedaan dalam biaya produksi yang disebabkan oleh: 1. Perbedaan-perbedaan dalam karunia Tuhan atas faktor produksi 2. Perbedaan-perbedaan dalam tingkat teknologi yang menentukan intesitas faktor yang digunakan. 3. Perbedaan-perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor-faktor produksi. 4. Kurs valuta asing. Pada dasarnya faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara yang bersangkutan. Teori perdagangan internasional mengaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dengan adanya perdagangan tersebut. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan dan pengaruh adanya hambatan-hambatan perdagangan, serta hal-hal yang menyangkut proteksionisme baru (Salvatore, 1997). Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional karena adanya perbedaan endowment. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masingmasing negara. Perbedaan tersebut menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif lebih banyak dan murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 1997). Kegiatan perdagangan internasional atau disebut sebagai kegiatan ekspor dan impor 7
antar negara mengatakan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor barang-barang yang biaya produksi di dalam negerinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang-barang yang biaya produksi di dalam negerinya relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri. Oleh karena itu bagi suatu negara, selisih antara penawaran dan permintaan domestik (excess supply) dapat diartikan sebagai penawaran ekspor. Sementara itu permintaan impor merupakan kelebihan permintaan domestik di negara pengimpor (excess demand). Gambarannya yaitu, suatu negara (misalnya negara A) akan cenderung mengekspor suatu komoditas ke negara lain (negara B) apabila harga domestik komoditas tersebut di negara A sebelum terjadi perdagangan internasional relatif lebih rendah dibandingkan dengan komoditas yang sama di negara B. Terjadinya harga yang relatif murah di negara A disebabkan karena adanya kelebihan penawaran, yaitu produksi domestik melebihi konsumsi domestik, sehingga memungkinkan negara A untuk menjual produksinya ke negara lain (negara B) Di sisi lain, di negara B terjadi kelebihan permintaan, yaitu konsumsi domestic melebihi produksi domestik. Akibatnya harga komoditas tersebut di negara B relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara A. Akibat kelebihan permintaan tersebut, menyebabkan negara B berkeinginan untuk membeli komoditas bersangkutan yang harganya relatif lebih murah (negara A). Jadi, adanya perbedaan kebutuhan antar negara A dan B menyebabkan timbulnya perdagangan internasional antar kedua negara, dalam hal ini akan mengekspor ke negara B. Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan memengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan memengaruhi permintaan dunia.
Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan
memengaruhi harga dunia. 2.3.
Teori Ekspor Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan
kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian akanmenghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing ke negara kitayang dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor barang dan jasa dari luar negeri. Dalam teori, pengertian ekspor adalah kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara tetapi untuk dikonsumsikan di luar batas negara tersebut (Boediono, 1990). Pengertian ekspor menurut UU Kepabeanan adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean, dimana barang yang dimaksud terdiri dari barang dari dalam negeri 8
(daerah pabean), barang dari luar negeri (luar daerah pabean), barang bekas atau baru. Secara umum produk ekspor dan impor dibedakan menjadi dua yaitu barang migas dan barang non migas. Barang migas atau minyak bumi dan gas adalah barang tambang yang berupa minyak bumi dan gas. Barang non migas adalah barang-barang yangukan berupa minyak bumi dan gas,seperti hasil perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan dan hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas. Produk ekspor Indonesia meliputi hasil produk pertanian, hasil hutan, hasil perikanan dengan ekspor terbesar adalah udang dan yang kedua adalah ikan tuna, hasil pertambangan, hasil industri dan begitupun juga jasa. 2.4.
Konsep Pemasaran Pemasaran merupakan fungsi yang memiliki kontak paling besar dengan lingkungan
eksternal, padahal perusahaan hanya memiliki kendali yang terbatas terhadap lingkungan eksternal. Dalam peranan strategisnya, pemasaran mencakup setiap usaha untuk mencapai kesesuaian antara perusahaan dengan lingkungannya dalam rangka mencari pemecahan atas masalah. Dalam pemecahan masalah tersebut, mempertimbangkan dua pertimbangan pokok. Pertama, bisnis apa yang digeluti perusahaaan pada saat ini dan jenis bisnis apa yang dapat dimasuki di masa mendatang. Kedua, bagaimana bisnis yang telah dipilih tersebut dapat dijalankan dengan sukses dalam lingkungan yang kompetitif atas dasar perspektif produk, harga, promosi dan distribusi untuk melayani pasar sasaran. Dalam konteks penyusunan strategi, pemasaran memiliki dua dimensi yaitu dimensi saat ini dan dimensi masa yang akandatang (Tjiptono, 2010). Menurut Kotler (2005), pemasaran adalah suatu proses sosial yang dengan proses individu dari kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Pemasaran juga didefinisikan sebagai fungsi bisnis yang mengidentifikasikan keinginan dan kebutuhan yang belum terpenuhi, mengidentifikasikan dan mengukur besarnya, menentukan pasar sasaran mana yang paling baik dan dapat dilayani, menentukan berbagai produk, jasa dan program yang sesuai untuk melayani pasar-pasar dan meminta setiap orang dalam organisasi untuk berpikir dan melayani pelanggan. Pemasaran dewasa ini sangat diminati oleh banyak perusahaan, menurut Kotler (2001) minat terhadap pemasaran ini dapat tumbuh karena salah satu diantara kelima hal berikut: 1. Merosotnya penjualan Hal ini pada umumnya terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai konsumen, oleh karena itu diperlukan suatu penelitian konsumen agar diketahui produk seperti apa yang diinginkan konsumen. 2. Pertumbuhan yang lamban Perusahaan 9
sering mencapai batas pertumbuhan dalam industri yang digarap dan siap untuk mulai mencari pasaran baru. Oleh karena itu dibutuhkan kecakapan pemasaran untuk dapat mengenali, menilai, dan memilih peluang-peluang baru. 3. Pola pembelian yang berubah Banyak perusahaan yang menghadapi pasar yang semakin lama semakin tidak menentu sebagai akibat keinginan pelanggan yang berubah dengan cepat.
Perusahaan harus
menganut orientasi pemasaran guna menjaga agar hasil produksinya bernilai bagi para pembeli.
4. Persaingan yang semakin meningkat Suatu perusahaan yang tenang dan
mapan dengan mendadak dapat terancam oleh ahli pemasaran yang ulung dan mau tidak mau harus mempelajari pemasaran untuk menghadapi tantangan itu. 5. Pengeluaran untuk penjualan yang terus meningkat Pengeluaran sebuah perusahaan untuk iklan, promosi penjualan, penelitian pemasaran dan pelayanan kepada langganan dapat meningkat tanpa irama dan alasan. 2.5.
Strategi Pemasaran Strategi Pemasaran Bannet (1988) dalam Tjiptono (2010) mengemukakan strategi
pemasaran merupakan pernyataan (baik secara implisit maupun eksplisit) mengenai bagaimana suatu merk atau lini bisnis produk mencapai tujuannya. Sementara Tull dan Kahle (1990) dalam Tjiptono (2010) mendefinisikan strategi pemasaran sebagai alat fundamental
yang
direncanakan
untuk
mencapai
tujuan
perusahaan
dengan
mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki dan program pemasaran yang dgunakan untu melayani pasar saasaran. Menurut Corey dalam Tjiptono (2008) strategi pemasaran terdiri atas lima elemen yang saling berkait. Kelima elemen tersebut yaitu: 1) Pemilihan pasar, yaitu memilih pasar yang akan dilayani. Keputusan ini berdasarkan pada faktor-faktor : a) Persepsi terhadap fungsi produk dan pengelompokan teknologi yang dapat diproteksi dan didominasi b) Keterbatasan sumber daya internal yang mendorong perlunya pemusatan fokus yang lebih sempit c) Pengalaman kumulatif yang didasarkan pada trialand error didalam menanggapi peluang dan tantangan. d) Kemampuasn khusus yang berasal dari akses terhadap ember daya langka atau pasar yang terproteksi Perencanaan produk, meliputi spesifikasi produk, pembentukan lini produk dan desain penawaran individual 3) Penetapan harga, yaitu menetapkan harga yang dapat mencerminan nilai kuantitatif dari produk kepada pelanggan 4) Sistem distribusi, yaitu saluran perdagangan grosis dan eceran yang dilalui prpduk hingga mencapai konsumen akhir 5) Komunikasi pemasaran (promosi) 10
Kotler (2001) mengemukakan strategi pemasaran harus memiliki daya saing, daya saing pemasaran tersebut dapat diidentifikasi melalui penerapan segmentasi pasar, target pasar dan posisi pasar.
1) Segmentasi pasar Karakter pasar yang heterogen akan
menyulitkan perusahaan dalam menentukan segmen pasar yang menjadi target pemasarannya. Berbagai karakter konsumen harus mampu diidentifikasi oleh seorang pemasar dan disesuaikan dengan karakter produk yang akan dipasarkan. Salah dalam menentukan segmentasi pasar maka produk yang ditawarkan akan sulit bersaing dengan produk sejenis dan subsitusi yang menjadi pesaing produk yang dipasarkan. Segmentasi pasar dapat dikelompokan berdasarkan geografis, demografis, psikografis dan perilaku konsumen. 2) Target pasar Segmentasi pasar memberikan informasi mengenai segmen pasar yang berpeluang bagi produk yang akan dipasarkan. Segmen pasar yang memiliki peluang tersebutlah yang menjadi target pemasaran selanjutnya. Dalam menentukan target pasar ada beberapa tahapan yang sebaiknya dilakukan, yaitu mengevaluasi segmen pasar dan menyeleksi segmen pasar. 3) Posisi pasar Posisi suatu produk adalah bagaimana suatu produk didefinisikan oleh konsumen melalui sifat-sifat pentingnya. Suatu produk dapat diposisikan berdasarkan manfaat yang dapat diperoleh ketika mengkonsumsi produk, kegunaan, sifat produk, kelas produk, ditujukan untuk menghadapi pesaing dan kombinasi diantaranya. 2.6. Tingkat Konsumsi Ikan Tingkat konsumsi merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat tinggi atau rendahnya permintaan seseorang terhadap barang atau jasa tertentu, dalam hal ini permintaan untuk mengkonsumsi ikan.
Tingkat konsumsi akan sangat berpengaruh
terhadap pola dan gaya hidup konsumen. Tingkat konsumsi biasanya disesuaikan dengan pendapatan, harga produk dan tingkat kebutuhannya. Menurut Oktari (2008), tingkat konsumsi ikan merupakan banyaknya ikan yang dikonsumsi oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat konsumsi seorang dengan yang lain berbeda, karena adanya perbedaan ini maka cara dan besarnya konsumsi seorang dengan yang lain akan berbeda. Tingkat konsumsi dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur seseorang untuk menilai kekayaan atau kesejahteraan. 2.7.
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan perikanan tuna antara lain dilakukan
oleh Wiji Lestari pada tahun 2012 yang berjudul Analisis dan Strategi Daya Saing Tuna Olahan Indonesia di Pasar Internasional. Tujuan dari penelitian tersebut adalah 1) mengetahui daya saing produk tuna olahan dan segar dibandingkan dengan negara pesaing; 11
2) mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor kekuatan bersaing industri pengolahan ikan tuna; 3) merumuskan alternatif-alternatif strategi pengembangan industri tuna Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk membandingkan daya saing ikan olahan tuna dan tuna segar dengan negara pesaing. Hasil dari penelitian tersebut meunjukkan bahwa Berdasarkan analisis analisis RCA dan Analisis matriks kompetitif maka alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing tuna olahan Indonesia adalah sebagai berikut 1) Meningkatkan mutu tuna olahan Indonesia; 2) Mendorong mengatasi hambatan tarif dan non tarif; 3) Meningkatkan pengembangan market intellegence dan promosi; 4) Meningkatkan Peran Pemerintah dalam pengembangan industri olahan tuna; 5) Meningkatan kapassitas SDM yang mampu dalam penanganan mutu 6) Pemberantasan dan pengawasan illegal fishing . Penelitian selanjutnya yang terkait dengan perikanan tuna salah satunya adalah yang dilakukan oleh Ma’arif (2011) tentang Evaluasi Kegiatan Perikanan Pancing Tonda di Pacitan terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan Tuna. Kegiatan perikanan pancing tonda cukup efektif untuk menangkap ikan tuna, namun hasil tangkapan ikan tuna lebih banyak berukuran kecil. Jenis ikan tuna yang dominan ditangkap adalah yellowfin tuna (Thunnus albacares). Penelitian ditujukan untuk mendeskripsikan kegiatan operasi penangkapan dan penanganan ikan tuna dengan menggunakan pancing tonda di Pacitan, menentukan tujuan pemasaran ikan tuna yang didaratkan di Pacitan serta menentukan komposisi dan kualitas hasil tangkapan ikan tuna dalam kaitannya dengan kelestarian sumberdaya tuna. Hasil tangkapan tuna untuk ekspor tidak dipasarkan di Pacitan, karena belum ada perusahaan untuk ekspor tuna di Pacitan. Salah satu daerah pemasaran produk ekspor tuna terdapat di Pasuruan. Hasil tangkapan tuna dengan bobot lebih dari 10 kg langsung dipasarkan ke Pasuruan, sedangkan tuna dengan bobot kurang dari 10 kg disalurkan melalui pasar lokal. Berdasarkan 150 sampel ikan tuna yang diuji, komposisi hasil tangkapan menunjukkan bahwa 48 ekor atau sekitar 32% ikan tuna sudah layak tangkap, sedangkan 102 ekor atau sekitar 68% ikan tuna tidak layak tangkap. Pengukuran organoleptik ikan tuna yang memenuhi syarat ekspor yaitu berjumlah 41 ekor (27,33%). Winanti (2011) melakukan penelitian berjudul Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Internasional. Penelitian ini menggunakan data sekunder, data time series dari tahun 1990- 2009 bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), situs FAO, situs COMTRADE, IFS, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Buletin Infofish, Bank Indonesia, dan Kementrian Perdagangan. Selain itu data juga dilengkapi dengan laporan hasil penelitian, jurnal yang berkaitan dengan topik kajian. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif mengenai perkembangan volume produksi dan ekspor ikan tuna di 12
Indonesia ke negara tujuan ekspor utama yaitu Jepang, Amerika dan Uni Eropa, untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan ekspor ikan tuna Indonesia. Metode yang kedua adalah analisis permintaan ekspor ikan tuna di Indonesia di pasar internasional, metode yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan Three Least Square untuk menghilangkan autokorelasi dan heterokedastisitas. Program yang digunakan adalah program Eviews dan microsoft excel 2007 untuk mengolah data dengan simultan equation model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor ikan tuna Indonesia di pasar internasional dianalisis dengan melihat karakteristik permintaan ekspor tiga negara pengimpor terbesar yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh adalah harga ikan tuna Indonesia di negara tersebut, harga salmon sebagai ikan substitusi ikan tuna, harga ikan tuna thailand sebagai eksportir selain Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor, GDP negara pengimpor, jumlah penduduk, tarif yang diberlakukan terhadap impor ikan tuna asal Indonesia, dan konsumsi ikan tuna perkapita. Penelitian terkait perikanan tuna juga telah dilaksanakan oleh Tim Peneliti dari Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan pada tahun 2013 yang berjudul Kajian Antisipasi Isu-Isu Perdagangan Internasional untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan. Kajian tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain Kinerja perdagangan internasional (ekspor) udang Indonesia ke dunia selama periode 1990-2011 menunjukkan trend yang meningkat dengan pola kecenderungan yang semakin lama semakin bertambah atau tumbuh secara eksponensial dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,35% per tahun. Perdagangan Internasional (Ekspor) Tuna Indonesia ke dunia selama periode 1990-2011 menunjukkan trend yang meningkat (baik secara linier, kuadratik dan eksponensial) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,35% per tahun. Perdagangan internasional (ekspor) rumput laut Indonesia ke dunia selama periode 1999-2011 menunjukkan trend yang meningkat (baik secara linier, kuadratik dan eksponensial) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 17,98% per tahun. Total nilai ekspor Indonesia dari tahun 2007-2011 mengalami kecenderungan kenaikan rata-rata sebesar 12%. Negara eksportir utama komoditas perikanan Indonesia adalah USA, Jepang dan Uni Eropa.. Adanya perubahan tren from red meat to white meat serta terbukanya pasar potensial diluar tiga pasar utama ekspor komoditas perikanan Indonesia menjadi pengaruh positif bagi perkembangan perdagangan Tuna di Indonesia. Tren yang positif dari komoditas perikanan Indonesia terkendala oleh berbagai hambatan tarif dan non tarif yang menjadi isu penting dalam pengembangan komoditas perikanan Indonesia. 13
Peta posisi dan strategi pemasaran komoditas perikanan, diperoleh dengan menggunakan analisis dengan alat analisis matriks BCG (Boston Consulting Group), Hasil analisis menunjukkan bahwa posisi untuk komoditas ekspor Udang dan Tuna cenderung mengarah pada kuadran satu dalam analisis BCG dimana strategi yang tepat untuk kedua komoditas ekspor ini adalah strategi penetrasi pasar. Implementasi strategi penetrasi pasar internasional produk tuna Indonesia perlu dilakukan berdasarkan hasil penelitian tersebut dilakukan melalui langkah-langkah dengan urutan prioritas : (1) Meningkatkan promosi di pasar potensial; (2)Meningkatkan intensitas diplomasi dengan negara yang mempunyai hubungan historis; (3)Peningkatan kerjasama bilateral untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif di negara yang memiliki hubungan historis; (4) Meningkatkan kepekaan terhadap dinamika preferensi konsumen; dan (5) Diversifikasi produk tuna diarahkan ke pangsa pasar yang masih potensial.
14
III.
3.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikian Kebijakan industrialisasi perikanan merupakan kebijakan nasional sektor kelautan
dan perikanan untuk mendorong pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan dan kontribusi sektor tersebut dalam perekonomian nasional. Kebijakan ini diarahkan untuk peningkatan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi
sumberdaya kelautan dan perikanan.
Kebijakan ini tentunya tidak terlepas dengan kondisi dan kinerja perikanan Indonesia baik di pasar ekspor maupun pasar domestik. Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas unggulan dalam kebijakan tersebut dengan berbagai alasan yang diantaranya sumberdaya perikanan tuna Indonesia yang melimpah, tuna Indonesia menjadi primadona di pasar utama tujuan ekspor tuna Indonesia (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan pasar domestik. Kondisi dan kinerja komoditas tuna di kedua pasar tersebut dapat dilihat dari pangsa pasar (market share) untuk pasar ekspor dan jumlah konsumsi untuk pasar domestik. Kondisi dan kinerja tuna tentunya dipengaruhi oleh aspek teknis di masing-masing pasar. Untuk pasar ekspor aspek teknis terkait dengan kondisi dan kinerja tuna di pasar ekspor adalah pasar ekspor tuna itu sendiri (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa), Komoditas tuna (kaleng, beku, segar), daerah ekspor, daerah asal, armada penangkapan, jenis alat tangkap dan tenaga kerja. Aspek teknis terkait dengan kondisi dan kinerja tuna di pasar domestik adalah jumlah konsumsi, daerah asal, jenis komoditas (segar dan olahan), teknologi yang digunakan (tradisional dan modern). Masing-masing aspek teknis ini dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi baik yang berasal dari hulu sampai hilir. Dari aspek soail ekonomi tersebut dapat diketahui permasalahan dan isu aktual. Dengan diketahuinya permasalahan dan isu aktual tersebut dapat dipeoleh alternatif strategi pentrasi pasar ekspor dan domestik tuna Indonesia.
15
Program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan
Nilai Tambah, Produksi, Skala Produksi Kelautan dan Perikanan
Kondisi dan Kinerja Penetrasi Tuna
Ekspor
Aspek Sosial Ekonomi
Analisis forensik: Pasar ekspor Komoditas Daerah Ekspor Daerah Asal Armada Penangkapan JenisAlatTangkap Tenaga Kerja
Jumlah Konsumsi
Domestik
Analisis Forensik Pasar Domestik Konsumen Komoditas Bahan Baku Supplier Jenis Armada
Aspek Sosial Ekonomi
Pangsa Pasar
Alternatif Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik PerikananTuna
Gambar 6. 3.2.
Kerangka Pemikiran Teoritis kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Pasar Ekspor dan Domestik
Konsepsi dan Batasan Operasional
(1) Aspek sosial ekonomi perikanan tuna adalah aspek sosial ekonomi para pihak yang mencakup para pelaku usaha (produsen, konsumen dan stakeholder lainnya) terkait dengan kegiatan usaha dan pemasaran tuna yang mempengaruhi strategi penetrasi pasar tunadi pasar ekspor di negara tujuan utama (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa)dan di pasar domestik. (2) Pasar ekspor adalah negara-negara yang menjadi pengimpor ikan tuna terbesar dari Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (3) Pasar domestik adalah pasar potensial untuk konsumsiikan tuna di wilayah Indonesia. Ikan tuna yang dimaksud di sini adalah ikan tuna yang merupakan jenis ikan pelagis besar. (4) Strategi penetrasi pasar ekspor adalah berdasarkan pendekatan peluang pasar (market share) perikanan tuna Indonesia pada ketiga pasar utama tujuan ekspor (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa). 16
(5) Strategi penetrasi pasar domestik adalah berdasarkan pendekatan tingkat konsumsi yang dilihat dari jumlah konsumsi ikan TTC per kapita di pasar potensial yang ada di wilayah Indonesia. 3.3.
Pendekatan Penelitian ini berfokus pada penggunaan
analisis forensik pemasaran dengan
Bayesian Analisis sebagai pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
peluang strategi peningkatan pangsa pasar ekspor dan domestik
perikanan Tuna. Analisis forensik ekonomi digunakan pada kejadian-kejadian bidang ekonomi, khususnya pemasaran. Forensik ekonomi didefenisikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam hal deteksi dan kuantifikasi bahaya atau masalah yang muncul dalam proses ekonomi sebagai akibat perilaku organisasi yang memungkinkan terjadi litigasi atau proses hukum lainnya (Fisman, and Wei, 2007; Genesove, and Mullin, 2001). Dalam bidang pemasaran, analisis forensik dilakukan misalnya untuk menelesuri proses pemasaran yang terjadi, sejak proes produksi, distribusi, hingga mencapai produk yang dihasilkan digunakan oleh konsumen. Hal ini berarti bahwa suatu kejadian penting dalam pemasaran telah terjadi dan seterusnya bagaimana kejadian tersebut ditelusuri (Nikijuluw, 2011). Sedangkan dalam penelitian ini analisis tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi perikanan tuna dalam arti luas yang dilihat dari sub sistem produksi, pasca panen dan pemasaran. Pendekatan Bayesian menurut Peter E Rossi (2002), menjelaskan bagaimana model hirarkis Bayes ideal untuk diterapkan pada pengambilan keputusan di bidang pemasaran berdasarkan data yang diperoleh.Pendekatan ini fokus pada membuat pernyataan probabilitas mengenai parameter dan jumlah diperkirakan tergantung pada sampel. Sebuah analisis Bayesian menggabungkan sebelumnya dan kemungkinan untuk menghasilkan distribusi posterior untuk semua teramati jumlah yang mencakup parameter dan prediksi. Pandangan tradisional menyebutkan bahwa inferensi Bayesian memberikan manfaat hasil yang tepat sampel, integrasi pengambilan keputusan, 'estimasi', 'percobaan', dan pemilihan model. Teorema Bayes menurut Syamsudin (2011) memungkinkan dua buah sumber informasi tentang parameter dari suatu model statistic digabung menjadi satu.Dengan teorema ini informasi sampel (fungsi likelihood) dan informasi prior (distribusi prior) bisa digabung menjadi informasi posterior.Berdasaran teorema tersebut maka disusunlah Bayesian model terkait perikanan tuna pada pasar ekspor dan domestik dalam kajian ini.
17
Prior Probability Penetrasi Pasar(peningkatan market share) Tuna berdasarkan Jenis Produk pada setiap negara tujuan)
New Information Pasar Ekspor: 4. Jepang 5. Amerika Serikat 6. Uni Eropa
n=….
Bayes Process 1
Posterior Probability-1
Bayes Process 2
New Information 2 (Daerah Supplier ke
Pelabuhan Asal)
Gambar 7.
Posterior Probability-2
Bayes Processn
Posterior Probability-n
KESIMPULAN: (Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi Kinerja Penetrasi Pasar (Pangsa Pasar) Ekspor Tuna Indonesia
New Information -n (…..)
Alur Analisis Forensik Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna Dalam Mendukung Kinerja Penetrasi Pasar Ekspor dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Probability Model
xviii
-
Skema Model Bayesian Pasar Ekspor Skema model Bayesian berdasarkan pangsa pasar (market share) ekspor tuna Indonesia yang telah disebutkan diatas dapat digambarkan sebagai berikut:
Pasar
Pasar Jepang
Pasar USA
Pasar UE
Fresh
Frozen
Canned
Daerah Ekspor
Jakarta
Surabaya
Daerah Asal
(………)
Armada Penangkapan
Armada tempel
(………) (……… (………) (………) (……. (……) (……. Market ) ) ) share tuna motor Armada 11-30 Armada 31-100 GT Armada >100 GT Indones Armada ≤10GT GT ia di negara Alat Tangkap Alat Tangkap Alat Tangkap Alat Tangkap Alat Tangkap tujuan Pool n Line/ Longline Pancing Tonda Handline Purse Seine utama
Komoditas
Jenis Tangkap
ALat
Tenaga Kerja
Bitung
Huhate
Tenaga Kerja Sertifikasi Gambar 8.
Tenaga Kerja Non Sertifikasi
Skema Model Bayesian Pasar Ekspor
xix
Prior Probability Penetrasi Pasar Domestik TTCberdasarkan tingkat konsumsi
n=….
Bayes Process 1
Posterior Probability-1
Bayes Process 2
Posterior Probability-2
Bayes Processn
Posterior Probability-n
KESIMPULAN: (Peluang Penetrasi Pasar Tuna Domestik Berdasarkan Tingkat Konsumsi TTC)
New Information Pasar Domestikr: 3. Ambon 4. Bitung New Information 2 (Daerah Supplier ke
Pasar Konsumsi)
Gambar 9.
New Information -n (…..)
Analisis Forensik dengan Pendekatan Bayesian Terkait Kinerja Penetrasi Pasar DomestikPerikanan Tuna Indonesia
xx
-
Skema Model Bayesian Pasar Domestik Skema model Bayesian domestik perikanan Tuna Indonesia berdasarkan jumlah konsumsi digambarkan sebagai berikut:
Pasar Domestik
Bitung
Konsumen
Komoditas
Bahan Baku
Rumah Tangga
Restoran
Kaleng
Abon
Bakso
Segar
Dendeng
Segar
Tetelan
Suplier
Armada
Ambon
Pengecer
Motor Tempel
≤10GT
Nugget
Asap
Dada Tuna
Perusahaan
11-30 GT
31-100 GT
>100 GT
Gambar 10. Skema Model Bayesian Pasar Domestik
xxi
3.4.
Metoda Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan
pendekatan deskriptif untuk mengidentifikasi aspek sosial ekonomi dan mengkaji kinerja penetrasi pasar (pangsa pasar) ekspor tuna Indonesia di beberapa negara tujuan utama; dan pendekatan Bayesian Analysis untuk analisis peluang dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik perikanan tuna Indonesia. Identifikasi faktor sosial ekonomi dilakukan berdasarkan analisis forensik dengan pendekatan Bayesian yang telah terbentuk untuk kemudian dilakukan skoring sehingga dapat diketahui tingkat pengaruh dari setiap aspek sosial ekonomi terkait peluang penetrasi pasar tuna dalam pasar ekspor maupun domestik. 3.5.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun yaitu mulai bulan Januari sampai
dengan Desember 2014. Lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah Jakarta, Sulawesi Utara (Bitung), Jawa Timur (Surabaya), Jawa Barat (Bogor) dan Ambon. Pemilihan lokasi Jakarta, Surabaya dan Bitung sebagai lokasi untuk menganalisis strategi penetrasi pasar ekspor didasarkan pada pertimbangan bahwa pada ketiga lokasi tersebut merupakan daerah terbesar dalam mengekspor Tuna Indonesia ke negara tujuan utama. Sedangkan untuk lokasi pasar domestik dipilih berdasarkan data jumlah konsumsi Tuna Tongkol Cakalang (TTC ) yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. yang dihubungkan dengan perumusan alternatif strategi penetrasi pasar domestik perikanan Tuna. 3.6.
Data Yang Dikumpulkan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
primer diperoleh melalui survey dan observasi lapang dengan menggunakan topik data dan kuesioner terstuktur kepada pelaku usaha perikanan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pelabuhan Perikanan, Badan Pusat Statistik (BPS, Badan Pengujian Mutu dan Hasil Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta pusat data dan informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. 3.7.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah desk study dan wawancara
dengan responden terkait dengan data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam menjawab tujuan penelitian.
xxii
Tabel 2.
No. 1.
Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan serta Analisis Data pada Kajian Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna dan Strategi Penetrasi Ekspor, Tahun 2014 Tujuan
Mengidentifikasi kondisi dan kinerja perikanan tuna di pasar ekspor dan domestik
Data yang Dibutuhkan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 2.
3.
Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi perikanan tuna dalam mendukung kinerja penetrasi pasar ekspor dan domestik
1. 2.
Jenis Data
Market Share Tuna ke Negara Tujuan Utama - Primer Tren Ekspor Komoditas Tuna Indonesia - Sekunder Jumlah Konsumsi tuna Domestik Karakteristik Negara Tujuan Utama dan negara pesaing tuna Indonesia di pasar utama ekspor Karakteristik pangsa pasar potensial di wilayah Indonesia Data Volume dan Nilai Ekspor ke Negara Tujuan utama berdasarkan jenis komoditas, daerah Asal, Jumlah Armada, Jenis Alat Tangkap dan Tenaga Kerja. Data jumlah Konsumsi tuna berdasarkan daerah asal, jenis produk dan teknologi yang digunakan Peluang penetrasi pasar ekspor tuna ke - Primer negara tujuan utama Peluang penetrasi pasar domestic tuna berdasarkan tingkat konsumsi
Sumber Data -
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis
KKP Dinas KP Disperindag LPPMHP BPS WITS, UN Comtrade - Pelaku Usaha
Wawancara menggunakan Analisis forensik topik data dan desk study dengan pendekatan Bayesian
-
Wawancara menggunakan Skoring dan kuesioner Tabulasi Silang yang dianalisis secara deskriptif
KKP Dinas KP Disperindag LPPMHP Pelaku Usaha
Merumuskan strategi Seluruh data yang dibutuhkan dalam menjawab Primer dan - KKP penetrasi pasar ekspor dan tujuan 1 dan 2 sekunder - Dinas KP domestik perikanan tuna. - Disperindag - LPPMHP - Pelaku Usaha
- Wawancara menggunakan kuesioner terstuktur dan brainstorming
Deskriptif
xxiii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Kondisi dan Kinerja Strategi Penetrasi Pasar Tuna Indonesia dengan Model Pendekatan Bayesian untuk Pasar Ekspor Pendekatan Bayesian menurut Peter E Rossi (2002), menjelaskan bagaimana model hirarkis Bayes ideal untuk diterapkan pada pengambilan keputusan di bidang pemasaran berdasarkan data yang diperoleh. Pendekatan ini fokus pada membuat pernyataan probabilitas mengenai parameter dan jumlah diperkirakan tergantung pada sampel. Sebuah analisis Bayesian menggabungkan sebelumnya dan kemungkinan untuk menghasilkan distribusi posterior untuk semua teramati jumlah yang mencakup parameter dan prediksi. Pandangan tradisional menyebutkan bahwa inferensi Bayesian memberikan manfaat hasil yang tepat sampel, integrasi pengambilan keputusan, 'estimasi', 'percobaan', dan pemilihan model. Teorema Bayes menurut Syamsudin (2011) memungkinkan dua buah sumber informasi tentang parameter dari suatu model statistic digabung menjadi satu. Dengan teorema ini informasi sampel (fungsi likelihood) dan informasi prior (distribusi prior) bisa digabung menjadi informasi posterior. Penyusunan model Bayesian tersebut diharapkan dapat menggambarkan sebuah model statistic yang berasal dari berbagai informasi dan data faktual pada setiap aspek teknis dalam perikanan Tuna Indonesia yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari hulu hingga hilir perikanan Tuna di Indonesia baik dalam pasar ekspor maupun pasar domestic. Informasi posterior tersebut yang dapat dianalisis lebih lanjut berdasarkan faktor-faktor sosial ekonomi yang dikaji untuk menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan dalam strategi penetrasi pasar tuna Indonesia di berbagai pasar yang dimaksud. Model Bayesian yang disusun berdasarkan analisis dan pengumpulan data lapang pada pasar ekspor Tuna Indonesia terdiri dari 7 hierarki yaitu: 1. Pasar tujuan ekspor utama perikanan Tuna Data statistic menunjukkan bahwa terdapat tiga pasar ekspor utama tuna Indonesia yaitu Jepang, USA dan Uni Eropa 2. Komoditas ekspor tuna pada pasar utama Komoditas tuna ekspor yang dihasilkan oleh Indonesia dibagi menjadi tiga kategori yaitu Fresh, Frozen dan Canned. 3. Daerah Ekspor Daerah Ekspor merupakan daerah utama asal ekspor tuna ke negara tujuan utama, yang dapat diketahui tiga daerah utama adalah Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan
24
Bandara Soekarno Hatta, Surabaya melalui Pelabuhan Tanjung Perak dan Bandara Djuanda, dan Bitung melalui Pelabuhan Bitung dan Bandara Sam Ratulangi 4. Daerah Asal Komoditas Tuna Daerah asal komoditas tuna yang menjadi komoditas ekspor berasal dari enam daerah utama yaitu Jakarta, Sukabumi, Bali, Bitung, Maluku dan Jawa Timur. 5. Jenis Armada Penangkapan Armada penangkapan dibagi berdasarkan kategori ukuran Gross Ton kapal. Hierarki yang kelima dari Bayesian model yang digunakan pada analisis forensik perikanan tuna Indonesia pada pasar ekspor adalah jenis armada penangkapan yang digunakan pada masing-masing daerah asal komoditas yang merupakan posterior probability dari hierarki diatasnya. Armada penangkapan tersebut diklasifikasikan menjadi lima kategori motor temple, armada ≤10G, armada 11-30 GT, armada 31-50 G, armada 51-100 GT dan Armada >100 GT 6. Jenis Alat Tangkap Jenis alat tangkap yang utama dalam produksi tuna adalah alat tangkap handline, purse seine, longline, pancing tonda, poll n line /huhate dan jaring insang. Di perairan Indonesia, yellowfin tuna dan bigeye tuna didapatkan didaerah pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatera (Nurhayati, 1995).Penyebaran ikan-ikan tuna di kawasan barat Indonesia terutama terdapat di perairan Samudra Hindia. Di perairan ini, terjadi percampuran antara perikanan tuna lapis dalam, yang dieksploitasi dengan alat rawai tuna, dengan perikanan tuna permukaan yang dieksploitasi menggunakan alat tangkap pukat cincin, gillnet, tonda dan payang (Sedana, 2004). Karakteristik ikan tuna
yang telah disebutkan diatas
menyebabkan terdapat berbagai alat penangkapan ikan yang digunakan di Indonesia. 7. Tenaga Kerja yang digunakan Berdasarkan informasi pada hierarki jenis armada maka dapat diklasifikasikan lebih lanjut berapa probabilitas tenaga kerja yang digunakan sudah tersertifikasi atau belum dari setiap armada penangkapan ikan yang digunakan dalam perikanan tuna.Data tenaga kerja tersebut diperoleh berdasarkan data yang terdapat di syahbandar pada masingmasing daerah asal komoditas tuna. .
25
-
Skema Model Bayesian Skema model Bayesian berdasarkan analisis aspek teknis ekspor tuna Indonesia yang telah disebutkan diatas dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pasar
Pasar Jepang (53%)
Komoditas
Daerah Ekspor Daerah Asal
Pasar USA (24%)
Fresh
Frozen
Jakarta
Surabaya
Pasar UE (23%)
Canned
Bitung
Jakarta Sukabumi
Jawa Timur
Bali
Maluku
Bitung
Armada Penangkapan Armada tempel Jenis ALat Tangkap
motor
Armada ≤10GT
Alat Tangkap Longline
Armada 11-30 GT
Alat Tangkap Pancing Tonda
Tenaga Kerja Tenaga Sertifikasi
Kerja
Alat Tangkap Pool n Line/ Huhate
Armada 31-100 GT
Alat Tangkap Handline
Tenaga Kerja Non Sertifikasi
Armada >100 GT
Alat Tangkap Purse Seine
26
Gambar tersebut diatas menunjukkan Model Bayesian untuk Ekspor Tuna Indonesia yang didasarkan pada informasi 3 pasar utama tujuan ekspor Indonesia yaitu pasar Jepang, USA dan UE. Kemudian dilanjutkan dengan Hierarki kedua yang didasarkan pada aspek teknis yaitu jenis komoditas yang diekspor pada tiga pasar utama tersebut yang terbagi menjadi fresh, frozen dan canned tuna. Selanjutnya sebagai bentuk forensik analisis dilanjutkan lagi dengan hirarki berikutnya berupa informasi tentang daerah ekspor utama dari ketiga komoditas ekspor tuna yang telah teridentifikasi berasal dari Jakarta, Surabaya dan Bitung. Kemudian hierarki berikutnya adalah daerah asal komoditas tuna yang diekspor, pada tahapan ini dapat diketahui daerah asal produk tuna yang diekspor dari Jakarta, Surabaya, Bitung Keseluruhan dari model Bayesian Ekspor tuna Indonesia yang dihasilkan dari kajian ini akan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan software Genie 2.0 yang akan dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 11 yang diharapkan dapat menghasilkan simulasi model dari aspek teknis yang mempengaruhi dari hulu hingga hilir ekspor tuna Indonesia di pasar utama.
Gambar 11.
Analisis Bayesian Pasar Ekspor Utama Tuna Indonesia dengan Software Genie 2.0
27
Model Bayesian Ekspor Tuna Indonesia yang dihasilkan pada gambar 1 kemudian dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan data factual probabilitas kejadian pada setiap tingkatan sehingga dengan menggunakan alat bantu analisis software Genie 2.0 dapat diketahui Model Bayesian Ekspor Tuna Indonesia berikut nilai probabilitasnya yang kedepanya juga dapat digunakan untuk simulasi kebijakan yang dapat digunakan pada setiap aspek teknis yang dikaji. Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui gambaran singkat dari ekspor tuna Indonesia yang memiliki tiga pasar utama yaitu Pasar Jepang, pasarUSA dan pasar UE. Berdasaran kondisi tersebut diketahui probabilitas pada tiga pasar tersebut dimana pasar tuna Indonesia dominan ke pasar Jepang sebesar 54%, diikuti pasar USA 24% dan pasar UE 23%. Data tersebut diolah berdasarkan data factual nilai ekspor ratarata komoditas tuna yang dikeluarkan oleh Ditjen P2HP, KKP. Hirarki selanjutnya membahas jenis komoditas yang terdapat pada ketiga pasar tersebut, berdasar data sekunder yang diperoleh maka dapat diketahui bahwa komoditas yang dominan diperdagangkan adalah Canned Tuna dengan probabilitas sebesar 54%, yang diikuti Fresh Tuna sebesar 26% dan Frozen Tuna 24%. Analisis Bayesian berkutnya pada tahapan ekspor yang probabilitas tertingginya berasal dari Jakarta yaitu sebesar 49%, diikuti Surabaya 36% dan Bitung 15%. Kemudian analisis dilanjutkan pada tahapan daerah asal komoditas ekspor, yang dimaksud daerah asal adalah daerah tempat pendaratan ikan tuna sebelum diekspor melalui daerah ekspor. Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber maka dapat dihitung probabilitas daerah asal utama untuk tiga daerah ekspor Jakarta, Surabaya dan Bitung berasal dari enam daerah dengan probabilitas Jakarta (14%), Sukabumi (21%), Jawa Timur (4%), Bitung (19%), Maluku (14%) dan Bali (26%). Hirarki berikutnya adalah armada penangkapan. Pada level ini armada penangkapan yang dominan digunakan untuk tuna ekspor ke tiga tujuan utama terdiri dari armada motor tempel (22%), armada ≤10 GT (30%), armada 11-30 GT (12%), armada 31-100 GT (18%) dan armada ≥100 GT (8%). Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk armada penangkapan tuna orientasi pasar ekspor didominasi oleh kapal dengan ukuran kurang dari 10 GT. Pada level jenis alat tangkap tuna yang digunakan maka berdasarkan data statistik dapat diketahui presentase hasil produksi tuna yang dihasilkan oleh masing-masing alat tangkap. Hasil analiis menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan adalah handline (31% ). Purse seine (28%), kemudian diikuti longline (26%). Alat tangkap lainya yang juga menyumbang dalam produksi tuna antara lain adalah pancing tonda (12%), pool n line/ huhate (2%) dan jaring insang (1%). Data diatas menunjukkan bahwa meskipun alat tangkap pancing masih menjadi alat tangkap utama untuk komoditas tuna, hal ini disebabkan jenis alat tangkap ini dianggap dapat menjaga kualitas dari hasil 28
tangkapan tuna yang dihasilkan. Namun kondisi terakhir juga menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine yang merupakan alat tangkap jaring dengan selektifitas yang rendah terhadap jenis ikan juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi produksi tuna Indonesia yaitu sebesar 28%. Hirarki yang dibahas berikutnya adalah tenaga kerja yang melekat pada armada penangkapan. Kondisi tenaga kerja perikanan tuna Indonesia sebagian besar belum tersertifikasi (80%), biasanya hanya juru mudi dan juru mesin yang diwajibkan memiliki sertifikasi tertentu. Selain analisis probabilitas tersebut diatas software genie juga dapat menampilkan sensitifitas analisis pada masing-masing hirarki. Hal ini menentukan seberapa besar tingkat sensitifitas terhadap salah satu peubah baik berpengaruh secara positif maupun negative. Sebagai bagian analisis yang penting maka analisis menggunakan tornado diagram dilakukan pada hierarki komoditas ekspor untuk mengetahui seberapa besar tingkat kepekaan masing-masing jenis komoditas baik kepada pasar ekspor maupun daerah asal ekspor.Hasil analisis dengan software genie 2.0 ditunjukan pada gambar sebagai berikut:
Gambar 12.
Sensitifitas Analisis Komoditas Fresh Tuna dengan Software Genie 2.0
Berdasarkan gambar tersebut diatas dapat diketahui bahwa untuk komoditas fresh memiliki tingkat kepekaan tinggi pada pasar tuna utama Indonesia di Jepang, hal tersebut berkaitan dengan tujuan ekspor utama tuna segar Indonesia ke Jepang. Namun di sisi lain komoditas fresh yuna 29
memiliki kepekaan negative terhadap komoditas tuna canned dan frozen dengan pasar utama Jepang. Tingkat kepekaan negative ditunjukan dengan warna merah pada bagian kanan dari diagram, semakin merah kearah kanan menunjukkan nilai kepekaan yang negative. Sebaliknya jika berwarna hijau maka memiliki tingkat kepekaan yang positif. Komoditas tuna fresh Indonesia secara keseluruhan memiliki range kepekaan/sensitifitas sebesar 0,260113. Sedangkan untuk komoditas frozen tuna digambarkan sebagai berikut:
Gambar 13.
Sensitifitas Analisis Komoditas Frozen Tuna dengan Software Genie 2.0
Berdasarkan gambar tersebut diatas dapat diketahui bahwa untuk komoditas frozen tuna memiliki tingkat kepekaan tinggi namun negative dengan komoditas tuna kaleng pada pasar uni eropa. Hal tersebut kemungkinan disebabkan dengan keterbatasan bahan baku yang dimiliki sehingga peningkatan komoditas frozen yang diekspor akan mengurangi bahan baku tuna kaleng untuk pasar tujuan Uni Eropa. Di sisi lain komoditas frozen memiliki sensitifitas tinggi yang ditunjukkan dengan warna hijau pada pasar jepang, usa dan eropa serta mempengaruhi secara positif pasar tuna utama Indonesia di negara USA. Sedangkan untuk target yang sensitive secara negative pada komoditas frozen tuna ditunjukkan dengan warna merah pada sisi kanan diagram yaitu untuk komoditas canned tuna di pasar Uni Eropa dan USA,komoditas fresh tuna Indonesia tujuan Jepang, komoditas frozen di pasar Uni Eropa dan pasar tuna utama Indonesia ke Uni Eropa 30
dan Jepang. Komoditas tuna frozen Indonesia secara keseluruhan memiliki range kepekaan/sensitifitas sebesar 0,240088.
Sensitivity tornado untuk komoditas canned tuna
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 14.
Sensitifitas Analisis Komoditas Canned Tuna dengan Software Genie 2.0
Berdasarkan gambar tersebut diatas dapat diketahui bahwa untuk komoditas canned tuna memiliki tingkat kepekaan sebesar 0.49799 paling tinggi dibandingkan tingkat sensitifitas komoditas lainya. Data analisisi dengan software genie menunjukkan bahwa untuk komoditas canned tuna memiliki tingkat senstifitas paling tinggi namun secara negatif terhadap pasar tuna utama Indonesia di Jepang. Tingkat kepekaan yang positif dimiliki oleh komoditas canned pada pasar jepang dan USA, pasar tuna utama Indonesia ke Uni Eropa. Namun memiliki sensitifitas negative terhadap komoditas fresh dan frozen tuna di pasar jepang dan frozen tuna di uni eropa 4.1.1. Pasar Tujuan Utama Ekspor Tuna Indonesia Pada pasar global, tuna merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingginya permintaan atas komoditas ini menyebabkan komoditas tuna menjadi salah satu primadona dalam komoditas perikanan dengan harga jual yang cukup tinggi. Secara statistik, permintaan impor 31
ikan tuna dunia adalah sebesar 1.101.646 ton pertahun, dan dari jumlah tersebut Indonesia baru dapat mensuplai 7,52% dari kebutuhan dunia tersebut. Apabila dilihat dari volume produksi, jenis tuna yang paling mendominasi adalah skipjack tuna atau yang lebih dikenal sebagai ikan cakalang di Indonesia (50%). Jenis tuna lainnya yang cukup besar dipasaran adalah tuna sirip kuning (yellow fin tuna) (31.7%) dan albakor (10.8%) (Miyake et al., 2010).Pasar tujuan ekspor bagi negara-negara penghasil tuna di dunia cukup tersebar namun terdapat tiga negara utama yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ketiga pasar negara tersebut juga telah menjadi daerah tujuan ekspor bagi Indonesia . 250000 200000 150000 100000 50000 0 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Gambar 15.
Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia Pada Tahun 1976-2010 Sumber : FISHSTAT DATA
Berdasarkan data fishstat FAO diketahui bahwa ekspor tuna indoensia mengalami trend peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Hal ini semakin menunjukkan bahwa produksi dalam negeri mengalami peningkatan dan semakin diterima pada tataran global. Ekspor tuna Indonesia menyumbang sekitar 4,3% terhadap total ekspor tuna dunia (Gambar 16). 20000000 15000000 10000000 5000000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
Indonesia
Gambar 16.
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Dunia
Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia Terhadap Ekspor Tuna Dunia PadaTahun 2001-2013 Sumber : Comtrade
32
Ekspor ikan tuna dibedakan berdasarkan negara tujuan ekspor, baik dalam bentuk segar (fresh), beku (frozen) dan kaleng (canned). Pengiriman dalam bentuk tersebut menyesuaikan dengan permintaan masing-masing negara tujuan. Untuk komoditas tuna segar, pada tahun 2012 Indonesia mengekspor sebesar 10.247.858 kg dengan nilai US$ 71.021.675. Sedangkan untuk tuna beku, volume ekspornya jauh lebih besar yaitu 95.480.689 kg dengan nilai US$ 228.869.939. Sedangkan volume ekspor untuk tuna kaleng sebesar 72.184.761 kg dengan nilai US$ 351.534.881 (seperti pada Tabel 3).Dari tabel tersebut juga telihat bahwa volume ekspor tuna segar pada tahun 2010-2012 mengalami penurunan sebesar 37%, sedangkan untuk komoditas tuna beku dan tuna kaleng mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012 masing-masing sebesar 49% dan 28%. Tabel 3. Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas Pada Tahun 2010-2012 Jenis Komoditas
2010 Tuna Segar 17.948.974 Tuna Beku 49.733.516 Tuna Kaleng 54.767.251 Sumber: Dirjen P2HP, KKP (2013)
Volume (kg/tahun) 2011 13.378.579 58.452.825 68.989.252
2012 10.247.858 95.480.689 72.184.761
% /tahun -37% 49% 28%
4.1.1.1. Pasar Jepang Jepang merupakan negara terbesar kedua pengimpor ikan dari Indonesia setelah Amerika Serikat dengan komoditas utama berupa udangdan tuna. Permintaan ikan tuna di Jepang cukup tinggi baik untuk shasimi maupun produk tuna kaleng. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat Jepang yang gemar mengkonsumsi produk hasil laut. Konsumsi masyarakat Jepang untuk produk perikanan mencapai 60 kg/tahun/kapita dengan konsumsi jenis tuna antara 2,8kg/tahun/kapita sampai dengan 3,5 kg/tahun/kapita. Jenis tuna yang banyak beredar di pasar Jepang di antaranya adalah tuna sirip kuning (yellow fin tuna), tuna sirip biru (blue fin tuna), tuna mata besar (big eye) dan albakor (albacore). Pasar tuna di Jepang mayoritas adalah untuk sashimi. Berdasarkan catatan statistik diketahui bahwa Jepang mengimpor sekitar 400.000 ton tuna untuk sashimi dari kebutuhan sebesar 600.000 ton setiap tahunnya (Miyake et al., 2010). Selain untuk kebutuhan sashimi, Jepang juga mengimpor bahan baku untuk keperluan industri tuna kaleng. Tuna kaleng Jepang menyasar pasar tuna kaleng yang ada di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun perkembangan tuna kaleng menunjukkan tren yang negatif. Hal ini disebabkan meingkatkan kebutuhan dalam negeri sementara pasokan tuna semakin berkurang di seluruh dunia. Pada Gambar 17disajikan perkembangan impor tuna ke Jepang dari tahun 1976-2010.
33
400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000
1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
Gambar 17.
Perkembangan Impor Tuna Ke Pasar Jepang Pada Tahun 1976-2011 Sumber : FISHSTAT, 2014
Apabila dilihat dari volume produksinya, ekspor tuna ke Jepang pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 12%, sedangkan pada tahun 2012 volumenya mengalami penurunan sebesar 14%. Penurunan tersebut diduga akibat dari adanya penurunan volume untuk masing-masing bentuk komoditas terutama tuna segar dan tuna beku akibat adanya gempa dan tsunami. Berikut merupakan gambaran volume produksi ekspor tuna ke Negara Jepang pada tahun 2010-2012. 46,000,000 44,604,138
45,000,000 44,000,000 43,000,000 42,000,000 41,000,000 40,000,000
39,743,327 38,526,057
39,000,000 38,000,000 37,000,000 36,000,000 35,000,000
2010
Gambar 18.
2011
2012
Volume Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Jepang Tahun 2010-2012 (Kg/Tahun) Sumber: Dirjen P2HP, KKP (2013)
34
Pada Tabel 4 disajikan perkembangan volume ekspor tuna Indonesia ke pasar Jepang berdasarkan jenis komoditas. Untuk komoditas tuna segar dan kaleng mengalami penurunan masingmasing sebesar 33% dan 0,2%, sedangkan untuk tuna beku mengalami peningkatan sebesar 40%. Tabel 4.
Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas ke Pasar Jepang Pada Tahun 2010-2013
Jenis Komoditas Tuna Segar Tuna Beku Tuna Kaleng Sumber: Dirjen P2HP, KKP (2013)
2010 13.606.673 16.675.644 9.461.010
Volume (kg/tahun) 2011 10.188.933 24.821.291 9.593.914
2012 8.579.067 20.657.550 9.289.440
% /tahun -33% 40% -0,2%
Jika dilihat dari perkembangan kinerja perdagangan internasional (ekspor) tuna Indonesia ke negara Jepang selama periode 1990-2012 mengalami trendyang cenderung menurun (baik secara linier, kuadratik dan eksponensial) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,38% per tahun. Dari tahun 1990 hingga tahun 1994, komoditas tuna Indonesia mengalami peningkatan permintaan oleh negara Jepang. Setelah tahun 1994, permintaan tuna mengalami turbulensi cenderung mengarah ke penurunan hingga tahun 1999. Khususnya dari tahun 1997, volume permintaan komoditas tuna menurun akibatnya adanya krisis ekonomi yang melanda melemahnya nilai rupiah menyebabkan biaya produksi pengolahan ikan tuna meningkat, apabila produsen/eksportir tidak menambah modal, maka dilakukan pengurangan output ikan tuna. Ini bisa mengakibatkan volume ekspor ikan tuna pun menurun. Sejak tahun 2000 hingga 2011, permintaan tuna Indonesia oleh negara pengimpor Jepang cenderung naik(Gambar 19). 60000 50000 40000
y = 0.097x4 + 11x3 - 450.1x2 + 3679.x + 36896 R² = 0.704
30000 T_Eks-Jpn
20000 10000 0
Gambar 19.
Trend Perkembangan Ekspor Tuna ke Pasar Jepang Tahun 1990-2012 Sumber: KKP, 2013 35
Secara keseluruhan selama 1990-2012, kecenderungan perdagangan internasional (ekspor) tuna Indonesia ke Jepang yang cenderung menurun tersebut perlu mendapat perhatian khusus dan dicarikan strategi untuk mengatasinya secara segera.
Hal ini harus perioritas karena Jepang
merupakan importir besar tuna Indonesia di dunia.Dari tahun 2004 hingga 2013, Jepang telah melihat 52% penurunan permintaan impor tuna yang biasa digunakan untuk sashimi. Permintaan melemahnya ini karena sebagian besar dikarenakan adanya preferensi konsumen generasi muda Jepang yang beralih pada jenis makanan lain. Selain itu, salmon telah menjadi pesaing kuat komoditas tuna untuk pasar sashimi dan non sashimi. (http://www.globefish.org/tuna-june-2014.html). Apabila dilihat dari market sharenya, hingga tahun 2011 Indonesia masih menjadi pemasok terbesar ketiga untuk produk tuna ke Jepang. Sebenarnya jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya masih ada pesaing-pesaing berat lainnya seperti Vietnam dan Thailand yang mulai bangkit. Terlebih lagi Indonesia banyak mengirim bahan mentah tuna ke Thailand untuk diolah menjadi kaleng. Pemerintah Indonesia harus cepat mengambil sikap dengan adanya perkembangan ekspor pada negara Asia lainnya, seperti terlihat pada Gambar 20.
20%
taiwan korea
40%
indonesia 14%
australia china
9% 8%
Gambar 20.
lainnya
9%
Market share Tuna di Pasar Jepang Tahun 2011 (%) Sumber: http://www3.jma.or.jp
Produk hasil laut yang masuk ke pasar Jepang harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Setidaknya terdapat 7 aturan yang terkait dengan ekspor hasil laut ke Jepang yaitu : 1. Aturan standar dan pelabelan yang tepat untuk produk-produk pertanian dan kehutanan 2. Aturan mengenai sanitasi makanan (food sanitation act) 3. Aturan tentang uji ketepatan pengukuran 4. Aturan promosi perlindungan kesehatan konsumen 5. Aturan tentang promosi pemanfaatan sumberdaya yang efektif 36
6. Aturan terkait pemberantasan pemberlakuan premi yang tidak dapat dijustifikasi dan representasiyang menyesatkan 7. Aturan yang terkait dengan asset intelektual Ekspor tuna Indonesia ke Jepang termasuk cukup besar diantara negara-negara produsen lainya. Total ekspor tuna Indonesia ke Jepang pada tahun 2009 mencapai 3418 ton. Terkait dengan impor tuna, pemerintah Jepang secara perlahan menurunkan hambatan tariff sesuai dengan kesepakatan GAAT dan WTO. Tarif yang dikenakan untuk tuna segar dan beku berkisar antara 5-10% tergantung dengan kesepakatan yang terjadi. Untuk tuna kaleng tarif yang dikenakan sebelum tahun 2010 berkisar antara 15-20% dan kemudian mulai turun terus sampai dibawah 10%. Terkait dengan kasus penolakan, ekspor Indonesia pernah ditolak masuk ke Negara Jepang, yaitu pada tahun 2000 sebanyak 181 kasus penolakan, tahun 2004 sebanyak 246 kasus dan 2005 sebanyak 29 kasus. 4.1.1.2.
Pasar Amerika Serikat Permintaan pasar tuna di Amerika Serikat di dominasi oleh tuna kaleng. Menurut Miyake et al.
(2010) persentase jumlah tuna kaleng adalah 65% dari total 423 ribu ton di tahun 2008. Meskipun demikian terjadi kecenderungan penurunan jumlah permintaan tuna kaleng sementara permintaan untuk kebutuhan lainnya meningkat. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, Amerika serikat melakukan impor tuna dari berbagai negara sebesar 288 ribu ton ditahun yang sama atau sekitar 68%. Bila dilihat dari kecenderungan impor tuna, diketahui pula bahwa jenis tuna kaleng mengalami tren penurunan sedangkan impor tuna untuk kebutuhan non kaleng terus mengalami peningkatan yang signifikan. 350
300 250 200 150 100
50 0
Canning
Gambar 21.
Other
Total
Perkembangan impor tuna di Amerika Serikat Menurut Penggunaannya
37
Bentuk tuna yang diinginkan oleh Amerika Serikat yang paling dominan dalam bentuk kaleng karena dinilai praktis untuk dikonsumsi. Sedangkan jenis lainnya seperti beku dan segar juga diimpor sebagai pengganti steak daging sapi. Berikut adalah gambaran volume ekspor tuna Indonesia ke Negara Amerika Serikat dalam bentuk segar, beku dan kaleng. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa untuk komoditas tuna baik segar beku dan kaleng pada tahun 2010-2012 perkembangan ekspornya mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar 53%, 68% dan 33%. Tabel 5.
Perkembangan Volume Ekspor Tuna Indonesia Berdasarkan Jenis Komoditas Ke Pasar Amerika Serikat Pada Tahun 2010-2013
Jenis Komoditas Tuna Segar Tuna Beku Tuna Kaleng Sumber: Dirjen P2HP, KKP (2013)
2010 1.124.966 16.675.644 15.476.070
Volume (kg/tahun) 2011 791.758 3.325.337 10.945.345
2012 416.283 4.099.879 10.028.339
% /tahun -53% -68% -33%
Jika dilihat hanya dari tiga tahun terakhir, memang volume ekspor tuna ke Amerika Serikat cenderung menurun. Namun jika dilihat dari periode 1990-2010, perkembangan perdagangan internasional (ekspor) tuna Indonesia ke negara Amerika Serikat mengalami trend yang cenderung meningkat (baik secara linier, kuadratik dan eksponensial) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,63% per tahun. Kecenderungan peningkatan tersebut relatif rendah selama horizon waktu sejak 2002 hingga 2004 dan mengalami kecenderungan penurunan hingga tahun 2012. 30000 25000
20000 15000
y = -0.010x6 + 0.974x5 - 33.57x4 + 549.2x3 - 4246.x2 + 13457x + 3409. R² = 0.400 T_Eks-US
10000 5000 0
Gambar 22.
Trend Perkembangan Ekspor Tuna ke Pasar Amerika Serikat Tahun 1990-2012 Sumber: KKP, 2013
Terkait dengan negara- negara pemasok tuna ke Negara Amerika Serikat, terdapat beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, Equador, Thailand dan beberapa negara lainnya. Namun, pesaing 38
terberat Indonesia adalah Filipina. Negara Filipina pada tahun 2012 berhasil menguasai pangsa pasar sebesar 20% dari total pasokan tuna ke Amerika Serikat. Pada Gambar 23 disajikanmarket share tuna di pasar Amerika Serikat pada tahun 2012.
20% Filipina 38%
Indonesia Vietnam 19%
Equador Thailand Lainnya
5%
6%
Gambar 23.
12%
Market share Tuna di Pasar Amerika Serikat Tahun 2012 (%) Sumber: Globefish, 2013
Produk hasil laut yang masuk ke pasar Amerika Serikat harus mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan. Persyaratan tersebut antara lain catch documentation, re-export certificate(untuk produk reekspor), biweekly report,statistical documentation, certificate of origin, dolphin safe labeling, HACCP certificate, health certificate, dan extra guarantee lainnya (seperti BRC and/orIFS certification). Persyaratan yang ditetapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk tuna dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6.
Persyaratan Pasar Amerika Serikat Berdasarkan Jenis Produk
Jenis Produk Tuna
Persyaratan Pasar
Fresh
Importir/eksportir produk tuna dan juga termasukuntuk highly migratory Species (HMS) yang memasarkan produknya ke pasar`` Amerika Serikat harus memiliki ITP (International Trade Permit) yang valid selama satu tahun dan ditinjau setiap tahun. Setiap jenis tuna memiliki persyaratan dokumen yang spesifik, antara lain: o Atlantic Bluefin Tuna(Thunnus thynnus) harus memiliki: catch documentation, re-export certificate(untuk produk re-ekspor), international contact, dan biweekly report. o Pasific Bluefin Tuna (Thunnus orientalis)harus memiliki: catch documentation, re-export certificate(untuk produk re-ekspor)dan biweekly report. o Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii)harus memiliki:catch documentation, re-export certificate (untuk produk re-ekspor) dan biweekly report . o Atlantic Bigeye Tuna (frozen)harus memiliki: statistical documentation, reexport certificate dan biweekly report. o Pacific Bigeye Tuna (Thunnus obesus)frozenharus memiliki: statistical 39
documentation, re-export certificate dan biweekly report. HACCP Certificate harus sesuai dengan 123.12 special requirements for imported
Frozen/ Canned Tuna
Sumber
products. Importer verification Health certificate Setiap perusahaan yang mengekspor produk tuna beku dan tuna kaleng harus mengisi NOAA Form 370 Fisheries Certificate of Origin dan disampaikan kepada U.S. Customs and Border Protection (CBP). Form ini tidak disyaratkan kepada fresh tuna. Sejak 13 Juli 2013 telah berlaku efekti Dolphin Safe labeling regulations. Setiap perusahaan harus mengisi Harmonized tariff Schedule for selected tuna and tuna products HACCP Certificate sesuai dengan 123.12 special requirements for imported products Importer verification Health certificate Sertifikat pendukung lainnya sebagai extra guarantee bisa seperti BRC and/or IFS certification dll : http://www.wpi.kkp.go.id/index.php/82-info-aktual/114-pasar-tuna-global-saat-ini-world-tuna-tradeconference-21-23-mei-2014-bangkok-thailand
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anders and Westra, (2011), bahwa Indonesia bersama dengan Vietnam merupakan negara yang cukup sering bermasalah dengan produk yang dikirimkan sehingga harus tertahan dan sebagian lagi harus dikembalikan. Jumlah produk perikanan Indonesia selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 yang sempat tertahan mencapai angka 10,66% dan sebanyak 12,83% terpaksa dikembalikan. Sedangkan pada tahun 2011 masih terdapat 89 kasus penolakan terhadap ekspor tuna Indonesia. Besarnya jumlah tolakan ekspor ini disebabkan oleh ditemukannya salmonela yang melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Kontaminasi produk di atas kapal menjadi sebab utama yang menyebabkan hal tersebut (23%). Selain permasalahan salmonela, penyebab yang lebih besar dari ditahan atau di kembalikannya produk perikanan yang masuk ke Amerika adalah penyalahgunaan dokumen barang yang dikirimkan (> 50%). 4.1.1.3.
Pasar Uni Eropa Uni Eropa merupakan salah satu wilayah tujuan ekspor bagi negara-negara produsen tuna di
dunia. Jumlah tuna yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan pasar eropa diperkirakan mencapai 40 ribu ton sampai dengan 50 ribu ton per tahun dengan nilai total melebihi 200 juta Euro (Oceanic Developpement, Poseidon and Megapesca, 2005). Berdasarkan hasil studi yang dilakukan di Perancis diketahui bahwa konsumsi ikan tuna untuk kebutuhan rumah tangga adalah sebesar 71.434 ton pertahun berbanding dengan 4.343 ton per tahun untuk kebutuhan perusahaan atau industri. Hal ini menunjukkan bahwa tuna yang di ekspor ke uni eropa sebagian besar ditujukan untuk konsumsi langsung. Hanya sebagian kecil tuna yang tercatat masuk untuk keperluan perusahaan atau industri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miyake et al.( 2010), kebutuhan konsumsi tuna di Uni Eropa
40
untuk konsumsi rumah tangga baik untuk bentuk fresh, frozen dan canned masing-masing sebesar 5,4%; 0,8% dan 93,8%. Sedangkan konsumsi tuna untuk perusahaan baik dalam bentuk fresh dan frozen masing-masing sebesar 67,4% dan 32,6% Menurut data yang diperoleh dari direktorat P2HP (2013), tuna Indonesia yang diekspor ke negara-negara yang berada di kawasan Uni Eropa berupa tuna segar, tuna beku dan tuna dalam kaleng. Dari ketiga komoditas tuna tersebut, ekspor tuna dalam kaleng menempati urutan yang paling besar dibandingkan dengan tuna segar dan beku dengan volume rata-rata sebesar 16.901.351 kg dengan nilai rata-rata Rp. 55.912.364 (terlihat pada Tabel 7 dan Gambar 24). Tabel 7.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Tuna ke Uni Eropa Pada Tahun 2010-2012 Volume (kg/tahun)
Jenis Komoditas Tuna Segar Tuna Beku Tuna Kaleng
2012
Nilai (Rp/Tahun)
%/ Tahun
2010
2011
2012
%/ Tahun
2010
2011
479.427
707.711
56.215
0,02
1.997.877
2.992.293
183.438
0,03
709.114 10.304.898
6.093.055 21.562.027
5.467.411 18.837.129
7,54 1,03
1.820.930 25.159.595
18.442.498 59.776.023
16.967.295 82.801.474
9,09 1,57
Sumber : P2HP, KKP (2013)
Volume Ekspor
15,000,000
Tuna Segar
10,000,000
Tuna Beku
Gambar 24.
2012
2011
2010
-
Tuna Beku Tuna Kaleng
2010
Tuna Kaleng
5,000,000
Tuna Segar
2012
20,000,000
90,000,000 80,000,000 70,000,000 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 2011
25,000,000
Nilai Ekspor
Volume dan Nilai Ekspor Tuna ke Uni Eropa Tahun 2010-2012
Pada tabel dan gambar di atas terlihat bahwa untuk volume dan tuna segar pada tahun 20102012 terjadi peningkatan meskipun tidak terlalu besar yaitu sekitar 0,02% dan 0,03%. Untuk tuna beku terjadi peningkatan yang cukup besar selama tahun 2010-2012 yaitu masing-masing sebesar 7,54% dan 9,09%. Sedangkan untuk tuna kaleng terjadi peningkatan ekspor pada tahun 2010-2012 sebesar 1,03% dan 1,57%. Komoditas tuna kaleng menyumbang ekspor lebih besar ke Uni Eropa dibandingkan dengan tuna segar dan beku. 41
Perkembangan ekspor tuna Indonesia ke negara-negara di kawasan Uni Eropa selama periode 1990-2012 mengalami trend yang meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,12% per tahun, meski fluktuatif (baik secara linier, kuadratik dan eksponensial) untuk tiga horizon waktu yang berbeda. Horizon waktu pertama (1990-1996) menunjukkan kondisi landai dan cenderung konstan; horizon waktu kedua (1997-2006) menunjukkan kondisi yang cenderung meningkat tajam; dan pada horizon waktu ketiga (2007-2012) menunjukkan kondisi yang cenderung meningkat. Rata-rata volume produksi ekspor tuna ke pasar Uni Eropa dari tahun 1990-2012 sebesar 7.874 ton. Dari Gambar 25 terlihat bahwa perkembangan paling besar pada tahun 2011 yaitu sebesar 16.931 ton, diikuti oleh tahun 2012, 2009 dan 2005 masing-masing sebesar 14.401 ton, 11.602 ton dan 11.193 ton. Trend Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar UE 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Gambar 25.
y = 2.399x3 - 61.04x2 + 615.4x + 4017. R² = 0.779 T_Eks-EU
Trend Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia ke Pasar Uni Eropa, Tahun 19902012
Jika dilihat dari pangsa pasar (market share), ekspor tuna Indonesia di pasar Uni Eropa berada pada posisi pangsa pasar yang rendah dan pertumbuhan yang rendah pula. Untuk ekspor tuna yang memiliki pangsa pasar terbesar di negara Uni Eropa adalah Philipina dengan persentase sebesar 1,35% dan pertumbuhan sebesar 10,74%. Selanjutnya negara Thailand dengan persentase pangsa pasar nya sebesar 1,88% dan pertumbuhan sebesar 3,90%, dilanjutkan dengan ekspor tuna China dengan pangsa pasar sebesar 0,36% dan pertumbuhan 3,23% dan terakhir Indonesia dengan pangsa pasarnya sebesar 0,44% dan pertumbuhannya sebesar 1.30% (Koeshendrajana et. al., 2013). Ketentuan yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk tuna yang akan diimpor mengacu pada beberapa kebijakan dan kesepakatan global. Salah satu kebijakan yang menjadi dasar pijakan adalah European Union IUU regulation yang mewajibkan setiap produk tuna yang masuk memberi informasi secara jelas tentang asal ikan ditangkap dan nama kapal yang menangkap. Tanpa keterangan tersebut Uni Eropa akan menolak setiap produk yang masuk dan aturan tersebut efektif semenjak Januari 2010. Kebijakan lain yang juga penting adalah terkait keamanan produk,dimana Uni Eropa 42
sangat ketat terhadap hal ini. Penggunaan karbon monoksida tegas dilarang dan begitupula hydro protein pada industri tuna kaleng. Penggunaan karbon monoksida pada daging tuna dinilai dapat menurunkan kualitas dan kesegaran daging tuna yang mendorong terciptanya situasi peningkatan histamin pada daging ikan (Josupeit, 2010). Kasus penolakan ekspor tuna di pasar Uni Eropa pada tahun 2010 sebanyak 14 kasus, tahun 2011 7 kasusdan tahun 2013 5 kasus. Penyebab utama dari penolakan tersebut dikarenakan produk tuna dari Indonesia terindikasi obat-obatan seperti antibiotik nitrofuran maupun chloraphenicol diatas ambang batas yang diperbolehkan, kandungan mikrobiologi yang tinggi, histamin,logam berat serta organoleptik. Selain kebijakan yang bersifat non tariff, terdapat pula kebijakan tariff untuk pasar Uni Eropa. Secara umum tariff yang diberlakukan untuk produk tuna adalah 18% untuk tuna utuh beku dan 24% untuk tuna dalam bentuk tuna loin dan tuna kaleng. Untuk negara-negara berkembang termasuk Indoensia tarif yang diberlakukan adalah 20,5%. 4.1.2. Komoditas 4.1.2.1.
Tuna Fresh Di jepang permintaan akan tuna sashimi sangat tinggi khususnya untuk konsumsi restoran,
supermarket dan katering. Didorong oleh festival musim semi tahunan pada bulan April dan Mei, ada permintaan yang kuat untuk tuna sashimi di restoran, supermarket dan perdagangan katering. Sejak itu permintaan terus melambat, dengan harga tuna sashimi yang menunjukkan tren menurun. Permintaan tuna sashimi segar dingin melemah di pasar Jepang. Umumnya permintaan untuk tuna sashimi meningkatkan dari awal musim gugur tapi untuk tahun 2014 penjualan masih turun sebagai akibat dari pengaruh cuaca. Baru-baru ini salah satu department store besar di Jepang mulai mempromosikan penjualan MEL Japan (Marine Eco-label Jepang) bersertifikat cakalang lokal melalui outlet-nya. Pada pertengahan kedua 2013, hasil tangkapan musiman untuk jenis makarel mulai muncul di pasar; jenis ikan ini merupakan pesaing tuna segar pada musim musim gugur. Berbeda dengan tuna sashimi, permintaan ritel untuk tuna bigeye tetap tinggi dimana ikan yang ditangkap berasal dari wilayah penangkapan Pasifik Barat karena kualitas ikan di wilayah ini baik dibandingkan dengan kualitas ikan yang berasal dari wilayah penangkapan di Samudera Hindia. Walaupun harga ikan yang berasal dari Samudera Hindia ini rendah akan tetapi preferensi masyarakat di Jepang lebih memilih ikan dengan kualitas ikan yang lebih baik. Jika dilihat dari permintaan tuna secara keseluruhan, permintaan konsumen meningkat pada bulan Juni sebagai akibat dari musim pertengahan tahun. Setelah bulan Juni, pasar memasuki masa konsumsi yang rendah. Selama kuartal pertama 2014, impor tuna Jepang memiliki pertumbuhan negatif dengan tren yang menurun secara keseluruhan. Penurunan ini disebabkan karena turunnya konsumsi 43
tuna sashimi. Salah satu faktor dalam penurunan ini adalah biaya impor yang lebih tinggi terkait dengan lemahnya yen. Nilai tukar yen / dolar tetap menjadi kendala utama untuk pemasaran seafood. Pengaruh lemahnya yen dan kenaikan harga makanan laut yang diimpor, impor makanan laut di Jepang secara keseluruhan menurun sebesar 6,4% dalam jumlah pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 4,4%. Salah satu penggerak utama di balik penurunan ini adalah rendahnya impor dari tuna segar dan tuna beku. Pada tahun 2013 total impor tuna baik tuna segar maupun tuna beku (termasuk pinggang), adalah 8.62% (225 873 ton). Meskipun impor pinggang beku melakukan peningkatan sedikit, pasokan seluruh tuna berada di level terendah selama sepuluh tahun. Selain sirip biru, impor semua jenis tuna segar / dingin berada pada level rendah pada tahun 2013, yang menyebabkan penurunan sebesar 11% dari total impor tuna segar / dingin tahun 2013 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa mulai dari tahun 2004 sampai 2013, impor tuna segar di Jepang cenderung menurun yaitu sebesar 52%. Hal ini terlihat dari rendahnya/lemahnya permintaan untuk pasar sashimi. Rendahnya permintaan disebabkan oleh sebagian besar perubahan preferensi konsumen di Jepang selain itu salmon juga telah muncul menjadi pesaing kuat baik di pasar sashimi dan pasar non-sashimi.Sashimi terus bersaing dengan salmon yang merupakan produk serbaguna yang memiliki harga yang lebih kompetitif. Berbeda halnya dengan pasar Jepang, tuna segar dI Amerika Serikat selama kuartal pertama 2014, terlihat permintaan untuk tuna non-kaleng di pasar AS tetap stabil, dengan total impor hampir mencapai 10 000 ton (segar dan beku) ini didukung oleh permintaan yang stabil. Selama kuartal pertama, impor tuna sirip biru segar yang berasal dari Meksiko hampir dua kali lipat dari 54 ton tahun lalu menjadi 106 ton tahun ini. Akan tetapi impor tuna bigeye segar sedikit menurun, hal ini disebabkan karena hasil tangkapan yang berkurang di daerah penangkapan ikan besar. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, impor tuna segar ke Amerika Serikat selama kuartal pertama adalah 8% lebih tinggi yaitu sebesar 5.300 ton. Impor ikan tuna sirip biru beku yang berasal dari Jepang ke pasar AS meningkat dari 4 ton pada kuartal pertama tahun 2013 menjadi 171 ton dalam tiga bulan pertama tahun 2014 karena adanya permintaan yang kuat dari restoran sushi yang ada di Amerika Serikat. Pada tahun 2013, permintaan tuna segar di pasar Amerika Serikattetap stabil meskipun impor tuna segar secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 14,8% pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012. Preferensi konsumen untuk tuna segar merah daging, yaitu tuna yellowfin dan tuna bigeye, tetap tinggi. Meskipun impor tuna yellowfin meningkat hanya sedikit, namun impor tuna bigeye meningkat sebesar 33,3% pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012. Begitu pula halnya dengan impor tuna sirip biru yang meningkat sebesar 20%. Secara keseluruhan, dengan hampir 22 000 ton tuna segar yang diimpor pada 2013, impor ikan tuna segar ke pasar Amerika Serikat mendekati volume yang diimpor oleh pasar dunia terbesar sashimi, ke Jepang, sebesar 27.191 ton tuna segar pada 44
tahun 2013. Hal ini membuat pasar AS khusunya untuk tuna non kaleng (segar) menjadi pasar impor kedua terbesar setelah Jepang. Menariknya, sebagian besar tuna daging merah yang diimpor ke Amerika Serikat masuk dalam segmen pasar `tuna steak’. Impor AS berupa tuna loin beku mengalami penurunan sebesar 9% (18.384 ton) pada tahun 2013, karena berkurangnya hasil tangkapan di Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Persediaan meningkat hanya dari Indonesia dan Viet Nam. Permintaan konsumen tetap stabil, dengan harga rata-rata impor bervariasi antara USD 10.40 (Sri Lanka) USD 12,50 (Filipina) per kg. Impor dari Jepang terdiri dari ikan tuna sirip biru beku dengan ratarata harga impor lebih dari USD 28 per kg. Di pasar pengalengan, ikan tuna beku yang dimasak untuk tujuan pengalengan yaitu sebesar 5,3% lebih tinggi pada tahun 2013 dibandingkan dibandingkan dengan 2012. Pada semester pertama tahun 2014 ada penurunan impor tuna segar di pasar Amerika Serikat meskipun nilai impornya meningkat dari USD 107 juta menjadi USD 110 juta, hal ini terkait dengan peningkatan impor tuna sirip biru Pasifik. Total impor tuna non-kaleng selama ini adalah 122 810 ton dengan nilai Rp 250 juta dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yaitu sekitar 143.075.ton dan USD 232 juta dimana hampir 80%nya adalah tuna pinggang beku dan tuna steak. Permintaan tuna sashimi segar dingin tetap stabil di Amerika Serikat, yang kini merupakan pasar terbesar kedua untuk produk tuna non-kalengan. 4.1.2.3.
Tuna Frozen Di Jepang impor tuna beku pada tahun 2013 terlihat menurun keseluruhan (-11,5%)
dibandingkan dengan tahun 2012. Meskipun pasokan meningkat dari Republik Korea, China dan Viet Nam, dan mengurangi ekspor dari Fiji dan Indonesia namun menyebabkan tren negatif untuk imporsecara keseluruhan. Untuk tuna sirip biru pinggang beku, impor pada tahun 2013 meningkat lebih dari 3.000 ton dibandingkan dengan 2012, ini menunjukkan preferensi konsumen di pasar Jepang untuk pinggang beku lebih baik dibandingkan dengan tuna segar/dingin. Impor tuna loin beku ke Jepang selama Januari-September 2013 menurun sebesar 3% (-557 ton) dibandingkan dengan waktu yang sama pada tahun lalu. Ini disebabkan karena berkurangnya ekspor dari Fiji, Indonesia, dan Perancis. Impor meningkat dari dua pemasok yaitu Republik Korea dan China, serta dari Viet Nam, ekspor tuna loin dari India terutama tuna yellowfinjuga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2012. Pada akhir Desember 2013, harga ikan tuna bigeye beku di pasar Jepang sebesar 850 yen per kilogram, lebih tinggi 150 yen per kg (+ 21%) dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Dengan meningkatnya biaya impor menyebabkan turunnya permintaan untuk tuna sashimi di Jepang. Tren ini telah mengakibatkan penurunan sebesar 9% total impor semua tuna segar dan beku, termasuk pinggang dan fillet. Bahkan, selama Januari-September 2013 total impor adalah 45
159 825 ton dibandingkan dengan periode waktu yang sama pada tahun 2012 yaitu sebesar 175 428 ton. Khusus pertengahan Januari, permintaan tuna segar melemah namun permintaan tuna beku lebih baik dibandingkan ikan segar .Permintaan ini berasal dari supermarket yang menjual berbagai paket sashimi untuk konsumsi rumah tangga. Selain itu biaya rumah tangga untuk konsumsi tuna juga meningkat di Jepang menyusul kenaikan rata-rata harga tuna, terutama untuk tuna bigeye. Berbeda halnya dengan pasar Jepang, lebih dari 27.300 ton tuna segar dan beku dan pinggang tuna (termasuk pinggang dimasak untuk pengalengan) diimpor ke pasar AS selama bulan Januari sampai September 2013. Di antara volume tersebut, 16 600 ton dalam bentuk segar/dingin. Popularitas tuna beku pinggang untuk segmen pasar non-kaleng dengan pangsa pasar sebesar 80% (8 535 ton) Selama tiga kuartal pertama tahun 2013, impor tuna beku (non kaleng) di pasar Amerika serikat sebesar 10.735 ton. Pada bulan Januari-September 2013, Amerika Serikat juga mengimpor 35.546 ton pinggang tuna yang dimasak untuk pengolahan kaleng tuna, angka ini meningkat lebih sedikit dibanding waktu yang sama pada tahun 2012 sebesar 30.783. 4.1.2.4.
Tuna Canned Pada tahun 2013, pasar Amerika Serikat untuk tuna kaleng tetap stagnan. NOAA melaporkan
bahwa tahun 2012 konsumsi per kapita tuna kaleng di pasar Amerika Serikat sebesar 2,4 lbs, turun dari £ 2,6 pada tahun 2011. Optimisme tentang kebangkitan pasar berkurang karena permintaan melemah, namun, selama enam bulan pertama tahun 2013, impor dari kaleng dan kantong tuna tumbuh sebesar 12,2%, tetapi pertumbuhan melambat pada kuartal ketiga. Akibatnya, untuk sembilan bulan pertama tahun 2013, jumlah impor tuna kaleng di Amerika Serikat hanya tumbuh sebesar 0,5%. Permintaan untuk produk bernilai tinggi memiliki dampak positif pada impor tuna saku, yang mencatat pertumbuhan positif sebesar 6,4% dibandingkan bulan Januari-September tahun 2013. Impor tuna kaleng menurun sebesar 1,2%. Sementara itu, ada upaya untuk meninjau "Buy American" aturan USDA pada tuna. Aturan tersebut mengharuskan USDA hanya membeli tuna kaleng yang seluruhnya diproses dan dikemas dalam fasilitas AS. USDA setiap tahunnya membeli sekitar USD 20 juta tuna kaleng dan tuna saku. Tuna kaleng di pasar Amerika Serikat terus menjadi stagnan meskipun optimisme awal bahwa pasar akan hidup kembali karena meningkatnya kepercayaan konsumen dan penurunan harga. Permintaan untuk tuna kaleng tradisional dalam air garam tetap datar sementara permintaan untuk tuna saku meningkat karena pengenalan berbagai produk baru Kecenderungan ini tercermin dalam total impor AS dari tuna kaleng pada tahun 2013, impor tuna kaleng menurun sebesar 3,6%, impor tuna dalam kantong meningkat 6,6% jika dibandingkan dengan tahun 2012. Ekuador mengambil keuntungan dari situasi permintaan pada tahun 2013 dengan memasok 17,6% lebih tuna dalam kantong ke pasar 46
AS. Namun demikian, Thailand mempertahankan posisinya sebagai nomor satu pemasok baik tuna kaleng dan kantong. Untuk mendorong pertumbuhan, diluncurkan produk inovatif untuk memperluas lini produk mereka dan menembus segmen pasar baru. Misalnya, menargetkan demografis konsumen yang lebih muda, produk berkualitas premium yang menekankan pada makanan sehat dan sederhana dengan bahan-bahan minimal. Di pasar Amerika Serikat, tuna kaleng terus menurun sebagai akibat dari melemahnya permintaan rumah tangga. Menurut data yang disajikan selama Infofish TUNA 2014 asupan tuna kaleng dan kantong tuna di rumah tangga di pasar Amerika Serikat menurun. Selama 52 minggu berakhir, konsumsi nya dilaporkan sebesar 65,9% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010 yaitu sebesar 68,1%. Permintaan menurun tercermin dalam impor yang menurun. Selama kuartal pertama 2014, impor dari kaleng dan kantong tuna mencapai 50 800 ton senilai Rp 226.700.000, turun 11,4% dalam jumlah dan 16,4% nilai dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh tajam penurunan impor daging populer cahaya 'tuna dalam air garam' yang turun sebesar 23,2%. Tuna daging cahaya dianggap sebagai barang pokok di antara rata-rata konsumen AS, dari setiap 10 kaleng tuna dikonsumsi di Amerika Serikat, 6 kaleng daging cahaya. Baik pasar Amerika Serikat maupun pasar Uni Eropa, permintaan tuna kaleng di kedua pasar ini terus membaik, hal ini terlihat dari penjualan pada kuartal kedua tahun 2013. Kepercayaan konsumen AS telah sedikit meningkat sebagai akibat dari indikasi ekonomi yang positif. Untuk menghidupkan kembali permintaan tuna kaleng, dilakukan promosi produk-produk tuna kaleng serta memperkenalkan premium dan kenyamanan produk baru. Sebagai indikasi pemulihan permintaan domestik, impor tuna kaleng ke Amerika Serikat terus menunjukkan pertumbuhan yang kuat tahun ini. Selama enam bulan pertama tahun 2013 impor kaleng (dan kantong) tuna tumbuh sebesar 12,2% dalam volume dan 17,8% dalam nilai dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Pertumbuhan yang signifikan tercatat untuk impor daging tuna cahaya populer dalam air garam (+ 21,1%) dan juga tuna saku (+ 7,8%). Thailand tetap menjadi pemasok terbesar dan telah mengirimkan hampir 54 000 ton atau naik sebesar 26,7% sepanjang tahun ini, Hampir 83% dari total tuna kaleng yang impor ke Amerika Serikat berasal dari negara-negara ASEAN dan pengiriman dari kelompok negara-negara ini meningkat sekitar 12% tahun ini. Secara umum pemasok merasa lebih optimis di pasar Amerika Serikat, COS mengharapkan terjadi pertumbuhan pendapatan sebesar 8% dan pertumbuhan volume 2% pada tahun 2014 ini. Secara khusus pasar Uni Eropa terlihat pertumbuhan pasar yang positif tahun lalu menghilang pada tahun 2014, ditunjukkan dalam pertumbuhan impor negatif selama kuartal pertama dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2013. Secara keseluruhan impor tuna kaleng sederhana meningkat 0,41% (120 800 ton) dari sebelumnya 120 300 ton tahun lalu di periode yang sama. Impor 47
menurun dari Ekuador (-22,4%), Seychelles (-4,78%), Papua Nugini (-10,76%) dan Pantai Gading (57%). Impor meningkat dari Asia Tenggara, yaitu Thailand (+ 29%), Filipina (+ 47%) dan Indonesia (+ 14,8%). Di pasar Uni Eropa itu sendiri, impor tuna kaleng lebih rendah di Inggris, Perancis, dan Jerman, tetapi meningkat di Italia, di mana pasar sebagian besar didominasi oleh Spanyol. Pasar tuna kaleng Eropa meningkat pada tahun 2013 sebagai akibat dari meningkatnya permintaan. Selain itu, pengepakan dalam mempromosikan produk-produk baru, nyaman dan berkelanjutan. Komitmen yang kuat dari pengecer besar dan pengepakan mengakibatkan peningkatan permintaan. Permintaan tuna kaleng di pasar Uni Eropa utama tumbuh positif pada tahun 2013. Volume impor tuna kaleng ke Inggris, Perancis dan Jerman meningkat sebesar 9%, 9,8% dan 8,6% masingmasing pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan utama termasuk impor Perancis dari Seychelles (+ 13%), impor Jerman dari Ekuador (+ 53%) dan impor Inggris dari Thailand (53,8%). Di Italia, meskipun impor tuna kalengan lebih rendah pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012, lebih pre-cooked pinggang tuna dikirim ke negara itu, terutama dari Ekuador (+ 15,2%). Untuk kuartal pertama 2014, pasar Eropa untuk tuna kaleng tetap lambat tanpa penawaran besar dilaporkan sebagai pembeli terus mencari diskon yang lebih besar. Pada akhir Maret 2014, cakalang kaleng dalam air garam dikutip di sekitar USD 41-42 per karton (48x185g). Banyak pembeli Eropa masih menunggu tawaran yang lebih baik, mengharapkan harga tuna kaleng turun bersamaan dengan harga cakalang menurun. Secara umum, pergerakan pasar lambat pada awal 2014 namun diperkirakan akan meningkat dari Februari dan seterusnya pada saat importir, khususnya dari Jerman dan Perancis, mulai membeli. Di seluruh Eropa tahun lalu, pasar mencatat pertumbuhan positif tercermin dari meningkatnya impor. Selama sepuluh bulan pertama tahun 2013, impor tuna kaleng ke Uni Eropa dari negara-negara luar (negara-negara ketiga) Uni Eropa meningkat sebesar 11% dalam volume (sebesar 328.190 ton) dan hampir 27% dalam nilai (sekitar USD 1910000000) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012. Tiga besar pemasok terbesar ke Uni Eropa adalah Ekuador, Thailand dan Mauritius, dimana ketiga negara tersebut secara signifikan meningkatkan ekspor mereka masing-masing sebesar 15,6%, 34,8% dan 6,9%. Ekuador mengambil alih Filipina sebagai nomor satu eksportir di pasar Jerman yang memasok 66% lebih selama bulan Januari-September 2013 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2012. Ekuador berhasil memperpanjang Generalized Sistem nya Preferences (GSP) kesepakatan dengan Uni Eropa dan terus untuk menikmati tarif 0% untuk tuna kaleng yang sampai dengan 31 Desember 2014. Thailand juga dalam proses negosiasi untuk menutup perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa yang memungkinkan tuna kaleng untuk mendapatkan tarif preferensial. Namun demikian, Thailand berhasil mengirimkan lebih banyak produk ke Uni Eropaterutama ke Jerman (+ 63,6%), Inggris (+ 69%) dan Perancis (+ 14%). 48
4.1.3. Daerah Ekspor 4.1.3.1. Jakarta Hasil analisis Bayesian menunjukkan bahwa daerah ekspor Jakarta menempati presentase terbesar dari ekspor tuna ke negara tujuan utama dengan presentase 49% dari total ekspor tuna Indonesia. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata nilai ekspor tuna Indonesia yang dikeluarkan oleh Ditjen P2HP. Ekspor tuna dari Jakarta dilakukan melalui dua jalur yakni jalur laut dan jalur udara, Jalur laut dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan jalur udara melalui Bandara Soekarno Hatta.. Detail ekspor tuna yang dilakukan melalui daerah ekspor DKI Jakarta dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 8. Tabel Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di DKI Jakarta No 1 2
Asal Tanjung Priok Soekarno Hatta
Fresh 8,527,959 19,850,171
Frozen 87,393,115 514,125
Canned 53,394,925 1,877
TOTAL RATA-RATA NILAI EKSPOR TAHUN 2010-2012 (US$)
Total 149,315,999 20,366,172
% 88% 12%
169,682,171
Sumber: Ditjen P2HP, KKP (2013) Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa untuk tuna ekspor berasal dari daerah DKI Jakarta dominan dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Priok dengan presentase mencapai 88% dan sebagian besar merupakan komoditas tuna frozen. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan tersibuk dan terbesar di Indonesia. Masih terkonsentrasinya pengiriman ekspor produk perikanan melalui Tanjung Priok, Jakarta menyebabkan tingginya biaya transportasi darat dari daerah sentra produksi ke Jakarta. Selain itu hal tersebut dapat mengakibatkan penumpukan truk pengangkut dan memperpanjang antrian bongkar muat serta pemeriksaan ekspor produk perikanan tuna melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha, ketersediaan sarana prasarana yang memadai di Pelabuhan ini menjadi pertimbangan utama bagi eksportir dalam menentukan daerah asal ekspor. Sarana prasarana yang dimaksud termasuk dalam fasilitas pelabuhan, berdasarkan data yang diakses dari http://www.priokport.co.id/index.php?mod=fasilitas&smod=pokok luas kolam pelabuhan tanjung priok mencapai 422 Ha, dengan panjang penahan gelombang mencapai 8850 m dan panjang alur 14 m. Arus perdagangan melalui pelabuhan ini digambarkan sebagai berikut:
49
Gambar 26.
Arus Perdagangan Barang melalui Pelauhan Tanjung Priok
Sumber: http://www.priokport.co.id/index.php?mod=statistik&smod=arus_brng1 Selain dari jalur laut melalui Pelabuhan Tanjung Priok ekspor tuna dilakukan melalui jalur udara yakni melalui Bandara Soekarno Hatta yang didominasi oleh produk tuna segar. Pelaku usaha lebih memilih untuk melakukan ekspor dari DKI Jakarta disebabkan pertimbangan efisiensi karena ketersediaan fasilitas yang menunjang. Hasil wawancara dengan eksportir tuna asal Bitung,Sulawesi Utara menyatakan bahwa perusahaan yang mereka kelola mencatatkan ekspornya dari DKI Jakarta karena menyangkut kelengkapan administrasi yang diperlukan, sehingga perdagangan dari Bitung ke DKI Jakarta hanya terhitung sebagai perdagangan antar pulau. Hal ini disebabkan terkaitnya ekspor dengan dokumen PEB, jika diurus melalui Bitung menurut pelaku usaha menuntut waktu yang sering tidak sesuai dengan jadwal pengiriman, sehingga eksportir mengambil keputusan untuk melakukan pencatatan ekspor dari DKI Jakarta untuk menghilangkan resiko ketidaksesuaian data pada dokumen ekspor dengan pengiriman barang. Kegiatan ekspor ke negara tujuan masih terpusat di DKI Jakarta, sehingga dari manapun asalnya produk kemungkinan besar masih dilakukan transit melalui DKI Jakarta sebelum didistribusikan ke negara importir. 4.1.3.2. Surabaya Daerah ekspor Surabaya menempati presentase terbesar kedua untuk asal ekspor tuna ke negara tujuan utama dengan presentase 36% dari total ekspor tuna Indonesia. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata nilai ekspor tuna Indonesia yang dikeluarkan oleh Ditjen P2HP. Ekspor tuna dari Jakarta dilakukan melalui dua jalur yakni jalur laut dan jalur udara, Jalur laut dilakukan melalui Pelabuhan
50
Tanjung Perak dan jalur udara melalui Bandara Djuanda.Detail ekspor tuna yang dilakukan melalui daerah ekspor DKI Jakarta dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 9. Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di Surabaya No 1 2
Asal Tanjung Perak Bandara Djuanda
Fresh 940,881 10,704
Frozen 33,862,724 498
Canned 143,216,351 779
Total 178,019,956 11,982
TOTAL RATA-RATA NILAI EKSPOR TAHUN 2010-2012 (US$)
% 99.99% 0.01%
178.031.938
Sumber: Ditjen P2HP, KKP (2013) Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa untuk tuna ekspor berasal dari daerah Surabaya hampir semuanya dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Perak dengan Komoditas utama Canned Tuna. Hal tersebut kemungkinan disebabkan berbagai perusahaan pengalengan yang berpusat di Indonesia bagian timur melakukan ekspor melalui Pelabuhan Tanjung Perak dengan pertimbangan aksesibilitas dan efisiensi biaya ekspor dibandingkan dengan melakukan ekspor melalui DKI Jakarta. Pelabuhan Tanjung Perak terdapat di Kota Surabaya dengan fasilitas berupa ketersediaan terminal peti kemas. Tanjung Perak merupakan pelabuhan tersibuk kedua di Indonesia setelah Tanjung Priok dan juga sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. Fasilitas terminal yang dimiliki oleh pelabuhan ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 27.
Fasilitas Terminal Pelabuhan Tanjung Priok
Sumber:http://www.perakport.co.id/main/index2 51
4.1.3.3. Bitung Komoditas tuna di Kota Bitung menduduki peringkat pertama dari sisi nilai ekspor perikanan Kota Bitung. Komoditas tuna utama yang diekspor berupa fresh, frozen dan canned. Berdasarkan data dari Direktorat Pemasaran Luar Negeri maka dapat diketahui nilbahwa komoditas utama yang diekspor dari Pelabuhan Bitung adalah Canned tuna atau tuna Kaleng. Hal ini juga diperkuat dengan data jumlah perusahaan pengolahan ikan di Bitung yang mencapai 45 perusahaan berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012. Ekspor melalui Kota Bitung melalui dua jalur yakni jalur laut lewat Pelabuhan Umum Bitung dan melalui jalur udara melalui Bandara Sam Ratulangi yang ditunjukan pada tabel berikut: Tabel 10. Rata-Rata Nilai Ekspor Tuna berdasarkan Jenis Komoditas dan Asal Ekspor di Bitung No Asal Fresh Frozen 1 Bitung 2,091,509 13,383,263 2 Bandara Sam Ratulangi 757,582 20,504 TOTAL RATA-RATA NILAI EKSPOR TAHUN 2010-2012 (US$)
Canned 51,597,031
Total 67,071,803 778,086 67.849.889
% 99% 1%
Sumber: Ditjen P2HP, KKP (2013) Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa Kota Bitung memiliki Pelabuhan Bitung sebagai Pelabuhan Ekspor dengan hampir 99% total ekspor dari Bitung dikirim melalui Pelabuhan ini. Sisanya dikirim melalui Bandara Sam Ratulangi di Menado, terutama untuk produk Fresh Tuna. Namun berdasarkan wawancara dengan eksportir masih terkendala dengan terbatasanya rute ekspor langsung dari Pelabuhan Bitung, sehingga menyebabkan waktu pengiriman dan antrian ekspor menjadi lebih panjang. Hasil wawancara dengan pelaku usaha menyebutkan bahwa permintaan ekspor ke Uni Eropa biasanya dipenuhi oleh eksportir tuna di Kota Bitung melalui pengiriman dengan jalur laut, yaitu melalui kapal. Sebagai bahan informasi kapal ekspor dari Pelabuhan Umum Bitung ke Uni Eropa hanya terdapat dua kali jadwal pengiriman dalam sebulan dengan rute Bitung-Jakarta-Eropa. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha karena terkait dengan lama antrian kapal dan kemungkinan delay pengiriman yang harus disikapi dengan penyiapan dokumen pendukung jika terdapat keterlambatan pengiriman. Menurut data Bea dan Cukai Bitung, jumlah barang yang masuk dan keluar di terminal Bitung 2008 adalah 3,97 juta ton. Lalu meningkat menjadi 4,51 juta ton pada 2009, 4,61 juta ton pada 2010, 4,29 juta ton pada 2011, dan 4,31 juta ton pada 2012.Sementara itu jumlah arus peti kemas pada 2008 adalah 107.450 Twenty-foot Equivalent Units (TEUs). Kemudian pada 2009 naik jadi 148.750 TEUs, 166.240 TEUs pada 2010, 82.530 TEUs pada 2011, dan 94.750 TEUs pada 2012. Jumlah kunjungan kapal pada 2008 sebanyak 6.300 unit. Kemudian 2009 adalah 5.300 unit, 2010 sebanyak
4.600
unit,
2011
sebanyak
3.100
unit,
dan
2012
sebanyak
3.700
unit. 52
Pelabuhan Bitung mempunyai fasilitas tambatan terdiri dari tiga dermaga sepanjang 1.785 meter yang dapat didarati tiga kapal, lapangan penumpukan 42.767 meter persegi yang dapat menampung peti kemas hingga 400.000 TEUs, gudang 13.392 meter persegi, terminal penumpang 2.554 meter persegi, lapangan parkir 2.394 meter persegi, bengkel kapal 1.045 meter persegi, listrik 1.055 KVA, air bersih PDAM, dan bunker BBM Pertamina 150 ton/jam. Frekuensi ekspor melalui pelabuhan Bitung diharapkan dapat meningkat dengan dibukanya perizinan untuk ekspor barang konsumsi serta perbaikan kondisi jalan antara Bitung Manado yang saat ini sedang dilakukan pembangunan jalan tol menguhubungkan kota tersebut.
4.1.4. Daerah Asal 4.1.4.1. Jakarta Jakarta merupakan salah satu kota yang merupakan daerah asal komoditas tuna. Berdasarkan data yang dihimpun oleh kesyahbandaran perikanan TMT 1 januari 2011 sampai dengan 31 desember 2011, tercatat bahwa kapal yang memanfaatkan PPSNZ jakarta sebanyak 1309 kapal dengan frekuensi kunjungan kapal sebanyak 3890 kali, yang terdiri dari berbagai jenis kapal penangkap dan pengangkut.Frekuensi kunjungan kapal dari 1.390 unit sebanyak 3.890 kali atau rata-rata 324 kali perbulan. Jika dibandingkan dengan tahun 2010 kunjungan kapal dari 1,259 sebanyak 3.478 kali atau rata-rata 289 kali perbulan, meningkat 0,038 atau 4 % dibanding tahun lalu. Frekuensi kapal masuk pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 11,85 % dari tahun 2010 yang didominasi kapal berukuran 51-100 GT dengan persentase 30,49%. Persentase kapal yang masuk PPSNZJ tahun 2011 yang mengoperasikan pukat cincin sebesar 25,84%, rawai tuna (22,29%), bouke ami (28,59%), kapal pengangkut (14,76%), jaring insang hanyut (6,86%), pancing cumi (0,64%), lainnya (0,41%), handline (0,31%) dan bubu (0,31%). Adapun frekuensi kapal keluar pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 12,83% dari tahun 2010 didominasi kapal berukuran 51-100 GT dan 101-200 GT dengan persentase yang sama sebesar 30,13 %. Jumlah kapal yang melakukan kegiatan bongkar ikan tahun 2011 sebesar 3496 unit atau sebesar 17,18% dari tahun 2010. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna yang digunakan oleh nelayan yang ada di Provinsi Jakarta adalah rawai tuna, pukat cincin dan handline. Alat tangkap yang paling dominan digunakan adalah rawai tuna/longline (Tabel 11)
53
Tabel 11. Jenis Alat Tangkap Tuna di PPS Nizam Zachman, Jakarta Tahun 2008-2011 (unit) Jenis Alat Tangkap 2008 2009 2010 2011 Rawai tuna/longline
478
468
453
442
Pukat cincin/purse seine
172
194
218
265
12
11
683
718
Handline TOTAL
650
662
Sumber : PPS Nizam Zachman, 2012 Jumlah ikan yang didaratkan melalui kapal pada tahun 2011 sebesar 107.241,76 ton dengan persentasi 26,79% dari jenis ikan cakalang dan 23,40% dari jenis ikan tuna (albakora, tuna sirip kuning, tuna sirip biru dan tuna besar). Produksi ikan dari laut pada tahun 2011 mengalami kenaikan dari tahun 2010 yaitu terbesar 15,3%. Kenaikan tersebut disebabkan pengambian data di lapangan semakin baik melalui log book penangkapan dan pengecekan data secara langsung dilapangan oleh petugas pencatat data (Tabel 12) Tabel 12. Asal Ikan Jalur Darat Jalur Laut Total
Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2007-2011 (Ton) 2007
2008
2009
2010
2011
77.182,3
67.495,2
89.102
95.804,7
79.615,6
(82,5)
(79,9)
(66,8)
(51,4)
(42,6)
16.328,8
16.933,1
44.300,6
90.583,5
107.241,8
(17,5)
(20,1)
(33,2)
(48,6)
(57,4)
93.511,0
84.428,3
133.402,6
186.388,3
186.857,4
Sumber : Statistik PPS Nizam Zachman, 2012 Keterangan: angka dalam kurung adalah persentase Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sumber TTC dari jalur darat lebih banyak dibandingkan melalui armada penangkapan yang membongkar ikan di PPS Nizam Zachman. Pada tahun 2007 persentasenya mencapai 82,5% dan pada tahun 2011 mencapai 42,6%.Angka ini menunjukkan sumber tuna yang terdapat pada PPS Nizam Zachman adalah dari berbagai pelabuhan perikanan terutama PPN Pelabuhan Ratu, PPS Bungus, PPS Cilacap dan beberapa pelabuhan yang terdapat di Lampung dan Bengkulu. Perkembangan tuna yang didaratkan oleh armada penangkapan ikan pada tahun 2007 dapat dikatakan relatif kecil 17,5%, dan pada tahun 2011 telah meningkat menjadi 57%. Peningkatan ini diperkirakan karena semakin meningkatnya frekuensi bongkar ikan di PPS Nizam Zachman. Selama periode 2007–2011, laju pertumbuhan tuna yang masuk melalui jalur darat rata-rata 9% per tahun. Dan ikan yang bersumber dari armada penangkapan ikan adalah 9,6% per tahun. Laju pertumbuhan ini menunjukkan bahwa PPS Nizam Zachman merupakan pelabuhan perikanan yang 54
sangat tergantung dari pelabuhan perikanan lain. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas pelayanan di PPS Nizam Zachman sangat diperlukan untuk menarik berbagai pihak agar mengirimkan ikan ke pelabuhan perikanan ini. Tabel 13 menunjukkan jenis-jenis tuna yang dibongkar dan yang dikirimkan melalui jalur darat di PPS Nizam Zachman. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa ikan cakalang, tongkol, tuna mata besar dan yellow fin lebih banyak didaratkan oleh armada penangkapan ikan. Sekitar 18% tuna mata besar, 38,2% tongkol, masuk dari pelabuhan lain melalui jalur darat. Perlu dicatat di PPS Nizam Zachman 98% tuna sirip biru berasal dari pelabuhan lain yang dimasukkan melalui jalur darat. Sumber tuna sirip biru ini adalah dari PPN Pelabuhan Ratu, PPS Cilacap dan PPN Prigi. Tabel 13.
Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011
Jenis Ikan Armada Tangkap Cakalang 28.719,8 Tongkol 6.740,2 Tuna Mata Besar 10.374.9 Tuna Sirip Biru 78,6 Yellow Fin 11.152,6 Total 107.241,8 Sumber : Statistik PPS Nizam Zachman, 2012
Jalur Darat 65.09,7 4.166.2 0 3.835.1 0 79.615.6
Jumlah 35,229.46 10,906.39 10,374.86 3,913.74 11,152.57 186,857.35
- Infrastruktur yang menunjang Dilihat dari lokasinya, posisi PPS nizam zachman jakarta sangat strategis karena berada di ibukota negara Republik Indonesia. PPS Nizam zachman jakarta juga dekat dengan pangkalan pendaratan ikan (PPI) lainnya yang berada diwilayah dijakarta utara. Beberpa PPI tersebut adalah PPI muara angke dan PPI muara kamal disebelah barat, sementara di sebelah timur terdapat PPI kalibaru dan PPI pasar ikan dan pelabuhan tanjung priok berjarak 12 km. Aksebilitas transportasi dari dan ke kota jakarta utara relatif baik. Moda transportasi yang ada meliputi transportasi darat (mobil), transportasi laut dan transportasi udara. Stasiun terdekat dengan kota jakarta adalah stasiun kota., sedangkan lapangan udara terdekat adalah lapangan udara soekarnohatta (sekitar 25 km) dan halim perdana kusuma (sekitar 35 km). Fasilitas yang ada di PPN untuk menunjang kegiatan perikanan dibagi menjadi fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Fasilitas pokok seperti tersedianya penahan gelombang, dermaga, kolam dan alur pelabuhan. Sedangkan fasilitas fungsional seperti TPI, PPI, pabrik es. 4.1.4.2. Sukabumi Produksi ikan yang didaratkan di Sukabumi dilakukan melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu berasal dari hasil tangkapan kapal-kapal ikan domisili (Pelabuhan Ratu) dan 55
kapal-kapal ikan pendatang yang diantaranya berasal dari Cilacap, Jakarta dan Binuangeun. Daerah penangkapan ikan bagi nelayan yang menggunaan fishing base port-nya Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu antara lain perairan Telu Pelabuhan Ratu, Cisolok, Ujung Genteng, perairan sebelah selatan Pulau Jawa dan sebelah barat Pulau Sumatera. Secara spesifik jenis ikan yang didaratkan di PPN Pelabuhan Ratu didominasi oleh jenis ikan cakalang, tongkol, tuna, layur, peperek dan tembang. produksi ikan dominan yang didaratkan di PPN Pelabuhan Ratu tersebut sejak tahun 1993 hingga tahun 2011 selalu mengalami fluktuasi.Produksi ikan cakalang pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 147,19% hal ini tidak diikuti dengan naiknya produksi ikan cakalang, nilai produksinya turut sebesar 189,91%. Harga rata-rata ikan Cakalang selama periode tahun 2011 senilai Rp. 7.347,-/Kg. Sedangkan produksi jenis ikan Tongkol mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 168% kenaikan ini akibat aktivitas alat tangkap pancing tonda dan payang yang terus meningkat. Ikan tongkol yang tertangkap oleh alat tangkap pancing tonda dan jaring payang ini merupakan salah satu target penangkapan oleh nelayan di Pelabuhan Ratu. Produksi jenis ikan tuna dan tembang mengalami fluktuasi. Kecenderungan produksi dan nilai produksi jenis ikan tuna mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 26,62% dibandingkan tahun 2010 demikian pula nilai produksinya mengalami penurunan sebesar 26,90%. Harga rata-rata ikan Tuna selama periode tahun 2011 senilai Rp. 26.663,-/kg. Jenis armada penangkapan ikan yang menggunakan base fishing port-nya PPNpelabuahnratu adalah jenis kapal motor dengan ukuran kapal < 10 GT s/d > 30 GT dengan berbagai macam alat tangkap seperti gill net, payang, jaring rampus, bagan, purse seine, pancing ulur, pancing tonda, tuna longline, pancing rawai lainnya. Realisasi operasional jumlah kapal/perahu motor tempel dan kapal motor lainnya yang beroperasional disajikan pada Tabel 14. Tabel 14.
Jumlah Armada Penangkapan di PPN Pelabuhan Ratu Tahun 2009-2011 (unit)
Jenis Armada
2009 Motor Tempel 364 <10 GT 124 11-20 GT 5 21-30 GT 45 >30GT 115 Sumber : PPN Pelabuhan Ratu, 2012
Tahun 2010 346 315 8 77 91
2011 461 456 3 63 88
56
Berdasarkan data yang diperoleh dari PPN Pelabuhan Ratu, untuk alat tangkap tuna yang beroperasi adalah pancing, purse seine, rawai tuna dan long line. Alat tangkap yang paling dominan adalah pancing dan long line, seperti terlihat pada Tabel 15. Tabel 15.
Jumlah Alat Tangkap Tuna di PPN Pelabuhan Ratu Tahun 2009-2011 (Unit)
Jenis Alat Tangkap Pancing Purse Seine Rawai Long Line Sumber : PPN Pelabuhan Ratu, 2012
2009 235 8 7 33
Tahun 2010 241 4 2 47
2011 255 5 6 46
- Infrastruktur yang mendukung Fasilitas pelabuhan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan yang seperti fasilitas pokok. Fasilitas pokok yang dimiliki oleh PPN Pelabuhanratu adalah areal daratan pelabuhan, dermaga, jetty, pemecah gelombang, kolam pelabuhan, alur pelayaran, pencegah benturan kapal, tempat tambat, jembatan dan jalan. a. Penyaluran Logistik Kapal Kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan terlebih dahulu harus melengkapi kebutuhan logistiknya berupa es balok, air bersih, solar disamping kebutuhan logistik lainnya serta konsumsi. b. Penyaluran Air Bersih Penyaluran kebutuhan air bersih berasal dari air PDAM yang dialirkan ke kapal perikanan melalui jaringan pipa dan slang plastik dengan ukuran penjualan dalam bentuk “Blong” (drum plastik) yang berkapasitas 250 liter dan 120 liter atau dalam bentuk jerigen plastik (30 liter) untuk kapal-kapal yang ada di kolam 1 (satu). Sedangkan untuk kapal-kapal yang ada di kolam 2 (dua) pengisiannya menggunakan jaringan pipa yang langsung sampai kedalam kapal dengan ukuran penjualan dalam bentuk kubikasi. Kemampuan dalam mensuplai air bersih di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu masih cukup besar dengan tersedianya mobil tangki untuk mengangkut air bersih yang berkapasitas 400 M3. Disamping itu telah terpasang instalasi baru khusus untuk kegiatan masyarakat perikanan baik untuk nelayan maupun pihak investor untuk meningkatkan pelayanan kebutuhan air bersih kepada masyarakat perikanan.
57
c. Penyaluran BBM (Bahan Bakar Minyak) Kebutuhan logistik BBM solar di PPN Pelabuhan Ratu menunjukan trend naik. Volume logistik BBM tertinggi terjadi pada tahun 2011 karena daerah penangkapan ikan (Fishing Ground) kapal long line (KM > 30 GT) yang semakin jauh dan perubahan mesin kapal yang digunakan oleh nelayan. Volume logistik BBM terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu hanya sebanyak 1.045.000 liter karena aktivitas kapal masih didominasi kapal motor tempel. Pemakaian solar kapal-kapal perikanan pada tahun 2011 sebanyak 15.792.470 liter dengan rata-rata pemakaian per bulan sebesar 1.316.039 liter dimana pemakaian solar ini banyaknya dilakukan oleh kapal-kapal diatas 10 GT yang mengisi logistik BBMnya antara lain solar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu dan semakin jauhnya daerah penangkapan ikan (Fishing Ground). Dimana kegiatan penangkapan ikan 50-70% merupakan biaya operasional yang sebagian besar untuk keperluan pembelian BBM solar.Penyaluran BBM solar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu disediakan oleh pihakswasta yaitu SPBB dan SPBN sedangkan SPDN dikelola oleh pihak KUD Mina. Sementara itu, kebutuhan BBM lainnya berupa minyak tanah. Jumlah pemakaian minyak tanah di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu selalu mengalami fluktuasi seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikan harga minyak tanah, selain itu aktivitas penangkapan ikan yang menggunakan kapal tempel dan bagan yang sandar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu dan musim penangkapan ikan serta jumlah kapal perikanan, kecenderungan penurunan pemakaian minyak tanah sebesar -28,83% pada tahun 2011. d. Penyaluran Es Kebutuhan perbekalan es balok di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu selama ini masih disuplai oleh perusahaan swasta yaitu pabrik es Sari Petejo dan pabrik es Tirta Jaya. Jumlah pemakaian es oleh kapal/perahu perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu untuk operasional penangkapan ikan disajikan pada tabel 13. Jumlah pemakaian es sampai tahun 2011 mengalami fluktuasi tergantung jauh dekatnya fishing ground, disamping itu kesadaran nelayan akan pentingnya mempertahankan mutu ikan semakin tinggi sehingga secara umum penggunaan es di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu cenderung turun sebesar -22,72%. Total penggunaan es oleh nelayan untuk operasional penangkapan ikan pada tahun 2011 adalah sebesar 8.126.350 Kg atau rata-rata per bulan sebesar 677.196 Kg.
58
4.1.4.3. Jawa Timur Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Provinsi Jawa Timur diketahui bahwa daerah produksi tuna terbesar adalah Kabupaten Malang melalui Sendang Biru (34%) , Kabupaten Pacitan (34%), Kabupaten Jember (21%) dan Kabupaten Tulungagung (11%). Keempat daerah tersebut merupakan daerah asal bahan baku tuna sebelum diekspor ke berbagai negara tujuan utama. Dibawah ini dijelaskan kondisi jumlah armada penangkapan ikan tuna di Jawa Timur berdasarkan jenis armadanya sperti terlihat pada Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16.
Jumlah Armada PenangkapanTuna di Jawa Timur Tahun 2011-2012
Tahun Jenis Armada 2011 2012 Motor Tempel 27195 <10 GT 18375 11-30 GT 6589 31-50 GT 772 51-100 GT 0 >100 GT 0 Total 52931 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, 2014
28888 15974 6028 398 0 0 51288
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa secara keseluruhan jumlah armada penangkapan tuna yang digunakan terbesar di Jawa Timur rata-rata sebanyak 51.000 kapal penangkap ikan tuna yang didominasi oleh armada motor tempel, armada <10 GT dan 11-30 GT. Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa di Jawa Timur jumlah alat tangkap tuna dijelaskan sebagai berikut. Tabel 17.
Jenis Alat Tangkap Tuna di Jawa Timur Tahun 2011-2012 (Unit) Jenis Alat Tangkap
Tahun
2011 Rawai Tuna/Longline 1828,445 Handline 1212,086 pole and line 695,775 Pukat Cincin/Purse Seine 24806,02 pancing tonda 11134,48 Total 39676,81 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, 2014
2012 137,173 12167,52 0 13887,37 7267,401 33459,47
Pada lokasi Jawa Timur jumlah alat tangkap yang digunakan sebanyak 39.676 unit pada tahun 2011 menjadi 33.459 unit pada tahun 2012 dengan alat tangkap terbanyak yang digunakan adalah pukat cincin/purse seine, pancing tonda, hand line dan rawai tuna.
59
4.1.4.4. Bitung Lokasi penelitian Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dipilih karena komoditas tuna sebagai komoditas utama ekspor banyak diproduksi di lokasi ini. Wilayah Pengelolaan Perikanan untuk Bitung berada pada WPP 715 dan WPP 716. Jika dibandingkan prakiraan potensi perikanan laut Sulawesi Utara baik di perairan 12 mil maupun ZEEI sebesar 322.800 ton/tahun dengan rata-rata produksi perikanan Bitung tahun 2007 hingga 2010 sebesar ± 140.5000 ton/tahun, maka tingkat pemanfaatan potensi tersebut untuk Bitung sebesar 43,53 %. PDRB Perikanan Kota Bitung pada Tahun 2009 mencapai 581.629 dengan nilai ekspor perikanan yang terus meningkat setiap tahunya. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa nilai ekspor perikanan Kota Bitung memiliki kenaikan rata-rata sebesar 34,3% dari tahun 2007 hingga 2012. Penurunan nilai ekspor perikanan hanya terjadi pada tahun 2010 dimana pada tahun tersebut memang terjadi fenomena alam dengan cuaca ekstrim yang menyebabkan turunya hasil tangkapan ikan bernilai ekonomis tinggi. Selebihnya nilai ekspor terus mengalami peningkatan seperti digambarkan sebagai berikut 250,000,000.00
US$
200,000,000.00 150,000,000.00 100,000,000.00 50,000,000.00 2007
Ton
Gambar 28.
2008
2009
2010
2012
Nilai Ekspor Perikanan Bitung
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 -
produksi ekspor
2009
Gambar 29.
2011
2010
2011
2012
Volume Produksi dan Ekspor Perikanan Bitung 60
Berdasarkan Gambar 28 dan 29 diketahui bahwa dilihat dari nilai ekspor perikanan kota Bitung memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kemudian dari sisi volume produksi perikanan Kota Bitung juga memiliki korelasi yang positif dengan volume ekspor yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis data produksi dan ekspor pada tahun 2009-2012 dapat diketahui nilai Rsquare sebesar 0,73 artinya sebesar 73% volume produksi perikanan berpengaruh kuat dengan volume ekspor yang dihasilkan oleh Kota Bitung. Komoditas tuna di Kota Bitung menduduki peringkat pertama dari sisi nilai ekspor perikanan Kota Bitung. Komoditas tuna utama yang diekspor berupa fresh, frozen dan canned. Berdasarkan data dari Direktorat Pemasaran Luar Negeri maka dapat diketahui nilai ekspor tuna dari Pelabuhan Bitung selama tiga tahun terakhir berdasarkan jenis komoditasnya adalah sebagai berikut: Tabel 18. Tahun
Nilai Komoditas Ekspor Tuna Berdasarkan Jenis Komoditas Tahun 2010-2012. Jenis Komoditas (US $) Fresh
Frozen
Canned
2010
2,077,083
9,127,173
72,912,535
2011
1,893,846
13,577,188
57,989,610
2,303,599 17,445,428 Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, P2HP, KKP (2013)
23,888,947
2012
Pendaratan ikan di PPS Bitung berasal dari tangkapan kapal-kapal nelayan lokal dan nelayan kapal purse seine, hand line, long line, serta kapal penggumpul dan pengangkut. Dari hasil ikan yang di daratkan di PPS Bitung di pasarkan ke wilayah Bitung dan sekitarnya, SurabayaJakarta (pasar domestik) dan jumlah ikan yang di Ekspor ke luar negeri harus memiliki sertifikat mutu yang didapat melalui Balai Pengujian dan Sertifikasi Hasil Perikanan (BPSHP) Propinsi Sulawesi Utara, ikan yang di Ekspor ke Negara-negara yaitu: Jepang, Taiwan, Amerika, China, Philipina, Vietnam, Austria, Inggris, Italia, Kairo, Jerman, Belanda, Denmark, Irlandia, Korea, Yaman, Afrika Selatan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung tentang produksi perikanan tangkap di Kota Bitung dijelaskan dalam gambar berikut:
61
104951.2 105000 99494 97810
100000 95000
93863.7 91058.5
90000 85000 80000 2006
Gambar 30.
2007
2008
2009
2010
Data Produksi Perikanan Kota Bitung Tahun 2006-2010 Sumber: DKP Kota Bitung (2010)
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung menunjukkan bahwa volume produksi perikanan di Kota Bitung pada tahun 2010 sebesar 99.494 ton yang didominasi oleh ikan bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan data dari PPS Bitung menyebutkan bahwa volume ikan yang didaratkan didermaga PPS Bitung priode Januari s/d Desember 2011 sebanyak 15.932,95 ton dengan nilai sebesar Rp 219.921.052.727,- Produksi tersebut didominasi oleh ikan cakalang, layang biru, tuna, tongkol dan ikan selar. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan bernilai ekonomis cukup tinggi yang menjadi indikator bahwa wilayah perairan Bitung memiliki kekayaan sumberdaya perikanan.
50,000.00 40,000.00 30,000.00 20,000.00 10,000.00 0.00 Cakalang
Gambar 31.
Madidihang
Tuna Mata Besar
Tongkol
Produksi Perikanan Bitung Berdasar Jenis Ikan Tahun 2011 Sumber: DKP Kota Bitung (2010)
62
4.1.4.5. Maluku . Provinsi Maluku yang dikenal sebagai provinsi kepulauan memiliki luas 712.479,69 km yang
terdiri dari luas laut 658.294,69 km (92,4%) dan luas daratan 54.`85 km (7,6%). Hasil Kajian BRKP dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceonologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 menunjukkan provinsi Maluku mempunyai potensi sumberdaya perikanan sebesar 1.640.160 ton/tahun yang terdiri dari ikan pelagis, demersal dan biota laut lainya. Rumah tangga perikanan (RTP) pada tahun 2012 tercatat sebanyak 69.900 buah atau meningkat sebesar 1% dari tahun sebelumnya. Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku pada tahun 2012 adalah sebesar 55.795 buah yang dikategorikan berdasarkan besar usaha menjadi jenis perahu tanpa motor, motor tempel dan perahu dengan kisaran tonage 5 hingga 1000 GT. Berdasarkan klasifikasi tersebut jumlah armada penangkapan ikan di Provinsi Maluku terbagi sebagai berikut: Tabel 19.
Jenis Armada Penangkapan Ikan pada Pada Provinsi Maluku Tahun 2012
No
Kabupaten/Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Ambon Maluku Tengah Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Buru Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Kepulauan Aru Buru Selatan Tual Maluku Barat Daya
Perahu Tanpa Motor 1524 10466 2237 5764 2711 4114 9290 770 686 1779 1286
Motor Tempel
≤10 GT
11-30 GT
0 380 92 81 33 126 160 2981 10 52
38 151 9
530 3726 933 341 381 908 184 2344 124 419 162
31-100 GT
≥100 GT
5 787 9
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku (2012 ) Sejalan dengan meningkatnya armada penangkapan ikan berpengaruh pada alat penangkapan ikan yang mengalami peningkatan. Jenis alat penangkapan yang paling dominan digunakan pada provinsi Maluku adalah pancing tonda sebanyal 10.461 unit. 4.1.4.6. Bali Provinsi Bali merupakan salah satu daerah penghasil tuna yang cukup besar, selain dari potensi perikanan tangkap yang dimiliki, tuna dari Bali juga berasal dari daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang dibawa oleh kapal-kapal besar untuk diolah atau diekspor ke negara tujuan melalu Provinsi Bali. Secara umum potensi perikanan tangkap laut provinsi Bali sebesar 147.278,75 ton per tahun. Jika dilihat pada tahun 2009 sampai dengan 2013, rata-rata pertumbuhan produksi perikanan tangkap sebesar 1,6%. Pada tahun 2009 jumlah produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 102.572,50 ton (Rp. 838 juta), tahun 2010 jumlah produksi sebesar Rp. 105.566,2 ton (Rp. 1 miliar), tahun 2011 jumlah produksi 63
sebesar Rp. 101.371,6 ton (Rp. 1,4 miliar), tahun 2012 jumlah produksi sebesar 81.734,7 ton (Rp 1,2 miliar) dan tahun 2013 jumlah produksi sebesar 103.591,9 ton (Rp. 1,7 miliar).
Gambar 32.
Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (2014)
Jika dilihat volume produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis komoditasnya yaitu Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT), terlihat bahwa volume produksi pada tahun 2010-2013 mengalami peningkatan sebesar 34%) seperti terlihat pada Tabel 20. Tabel 20.
Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2010-2012 (Ton)
Tahun (ton) 2010 2011 1 Tongkol Krai 730,4 580,6 2 Tongkol Komo 3 Cakalang 3.235,8 4.569,3 4 Albakora 2.786,0 2.887,1 5 Manddihang/Yellowfin Tuna 6.483,3 3.366,3 6 Tuna sirip biru selatan/Southern Bluefin Tuna 1.418,9 1.334,8 7 Tuna Mata Besar/Big eye tuna 3.670,2 2.560,8 8 Tongkol abu-abu/Longtail tuna 252,7 913,2 Total 18.577,3 16.212,1 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 No.
Jenis Ikan
2012 14.227,0 5.771,5 4.916,0 3.566,2 824,0 1.908,7 254,1 31.467,5
Jenis armada penangkapan tuna yang ada di Provinsi Bali mengalami penurunan sebesar 8% yaitu pada tahun 2010-2011, sedangkan pada tahun 2011-2012 tidak mengalami perubahan. Pada tahun 2010 total jumlah armada penangkapan ikan sebesar 893 unit sedangkan pada tahun 2010 dan 2012 masing-masing sebesar 813 unit, seperti yang terlihat pada Tabel 21.
64
Tabel 21. No
Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 Jenis Armada
2010 179 9 178 172 176 179 893
Tahun (unit) 2011 179 9 178 87 176 184 813
Motor Tempel <10 GT 11-30 GT 31-50 GT 51-100 GT >100 GT Total Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 1 2 3 4 5 6
2012 179 9 178 87 176 184 813
Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa pada tahun 2010-2012 jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 26%. Pada Tabel 22 terlihat bahwa penurunan signifikan terjadi pada penggunaan alat tangkap pancing ulur (handline) dan pancing tonda. Tabel 22.
Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012
Tahun (unit) 2010 2011 1 Rawai tuna/Longline 545 530 2 Pancing ulur/Handline 3177 907 3 Huhate/Pole and line 4 Pukat cincin/Purse Seine 19 5 Pancing tonda 1189 158 Total 4.911,0 1.614,0 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 No
Jenis Alat Tangkap
2012 706 990 20 118 1.834,0
- Infrastruktur yang Menunjang di Lokasi (Bandara,Pelabuhan) Infrastruktur yang menunjang dalam kegiatan ekspor perikanan khususnya tuna ke negara tujuan ekspor di Bali adalah Pelabuhan Benoa dan Bandar Udara Ngurah Rai. a. Pelabuhan Benoa Pelabuhan Benoa terletak d bagian selatan Pulau Bali atau berada di Teluk Benoa, Denpasar Selatan. Pelabuhan ini berdiri sejak tahun 1924 pada masa kolonial Belanda. Pelabuhan Benoa memiliki 5 zona yaitu zona terminal, zona perikanan, zona perkantoran bisnis maritim, zona pariwisata/marina dan fasilitas umum. Lokasi zona perikanan memiliki area dermaga kapal sebagai pusat/pangkalan pendaratan kapal tuna longline, pabrik pengolahan ikan dan lokasi beberapa perusahaan jasa cold storage.
65
Zona perikanan terletak pada sisi barat Pelabuhan Benoa dan memiliki lahan seluas 162.988 m2 yang disewa oleh perusahaan-perusahaan penangkapan ikan. Selain untuk menurunkan hasil tangkapan ikan, pada zona ini juga terdapat pengolahan ikan tuna segar untuk dieskpor melalui Bandar Udara Ngurah Rai. Infrastruktur pelabuhan Benoa terdiri dari alur pelayaran, dermaga dan kolam pelabuhan. Untuk kondisi alur penyaluran keluar masuk pelabuhan Benoa yang berkelok-kelok dengan panjang 3.600 m dan lebar kurang lebih 150 m serta kedalaman 9 m LWS mampu melayani kapal dengan ukuran panjang sampai 200 m atau draft kapal maksimum 8 m. Sedangkan infrastruktur dermaga dan kolam pelabuhan untuk melakukan pelayanan jasa tambat dan labuh terbagi menjadi tiga, yaitu (1) dermaga dan kolam sebelah timur (pelayanan tambat dan berlabuh kapal penumpang, kapal wisata dan kapal peti kemas), (2) dermaga dan kolam sebelah Selatan (melayani bongkar muat peti kemas, pertamina/tanker dan ikan untuk ekspor), (3) dermaga dan kolam sebelah barat (melayani bongkar muat kapal ikan dengan panjang 30 m, yang menampung 15 unit kapal tambat dan 75 unit kapal labuh susun sirip). Kegiatan perikanan tuna di Pelabuhan Benoa mulai dirintis sejak 1972 oleh perusahaan BUMN perikanan yaitu PT. Perikanan Samudera Besar (PSB) dengan armada sebanyak 18 kapal tuna longline. Kapal-kapal milik PT. PSB pada awalnya tidak hanya melakukan operasi penangkapan ikan tuna di wilayah perairan Samudera Hindia, tetapi juga di daerah Indonesia Bagian Timur mencakup Laot Timur dan Laut Arafura dan Utara-Timur seperti Laut Flores, Laut Banda. b. Bandar Udara Ngurah Rai Bandar Udara Ngurah Rai yang diapit oleh Selat Badung disebelah timur dan Samudera Indonesia di sebelah barat berjarak sekitar 13 km dari Denpasar, merupakan satu-satunya Bandar Udara di Pulau Bali. Bandar Udara ini beroperasi 24 jam per hari untuk melayani jalur-jalur penerbangan domestik dan internasional yang dilaksanakan oleh 25 perusahaan penerbangan manca negara (http://bandara.info/bandara/profil-bandara/profil-bandara-internasional-ngurah-rai-bali.htm). Bandar udara Ngurah Rai merupakan salah satu akses pintu keluar bagi kegiatan ekspor impor khusunya ekspor komoditas perikanan. Ekspor melalui bandar udara Ngurah Rai melalui jasa kargo yang ada di bandara tersebut. Sehingga waktu tempuh untuk ekspor ke negara tujuan, khususnya hasil perikanan lebih cepat. Fasilitas utama bandara internasioanl Ngurah Rai Bali adalah sebagai berikut :
66
- Landasan Pacu Berukuran 45 M x 3.000 M dengan konstruksi perkerasan beton dan aspal, PCN 83/F/C/X/T, dapat digunakan pesawat kelas B 747-400 untuk menempuh jarak setara Denpasar - Tokyo tanpa pembatasan beban. - Pelataran Parkir Pesawat Kapasitas pelataran parkir pesawat adalah 7 posisi pesawat kelas B 747-400,6 posisi pesawat kelas A 320, dan 25 posisi untuk kelas B 737, (dalam waktu bersamaan). - Depot Pengisian Bahan Bakar Pesawat Udara (DPPU). Tersedia fasilitas DPPU dengan kapasitas simpan 6.540 kiloliter yang dioperasikan oleh Pertamina untuk pelayanan pengisian BBM bagi pesawat udara, baik dengan menggunakan hidran maupun kendaraan tanki, jenis bahan bakar avtur dan avigas. - Runway Fasilitas runway yang ada di Bandara Juanda dibuat pada tahun 1987 yang terbuat dari aspal beton. Runway berdimensi 3000 x 45, dengan luas 135.000 m2 dan memiliki kapasitas PCN.83 FDXT serta dalam kondisi yang baik. - Gedung Terminal Cargo a) Luas cargo domestik yaitu 5.712,00 m2 dengan kapasitas 60 ribu ton/tahun. b) Luas cargo internasional yaitu 2.450,00 m2 dengna kapasitas 60 ribu ton/tahun. c) Luas empu domestik yaitu 2.818,15 m2. d) Luas empu internasioanl 2.109,50 m2. e) Dan luas total terminal cargo yaitu 10.979,65 m2. 4.1.5. Kapal Penangkap Tuna Berdasarkan Ukuran Armada 4.1.5.1. Motor tempel Motor tempel merupakan armada penangkapan yang tidak memiliki mesin langsung didalam perahu, biasanya kapal dengan GT rendah dan jangkauan tangkapan kurang luas pada nelayan tradisional skala kecil yang masih menggunakan perahu motor tempel. Hasil Bayesian analisis menyebutkan bahwa dalam melakukan usaha penangkapan tuna daerah yang masih menggunakan armada motor tempel adalah Sukabumi (41%), Maluku (26%) dan Bali (21%) Hal ini diperkuat dengan data statistik PPN Pelabuhan Ratu tahun 2012 yang menyebutkan bahwa terdapat 478 perahu motor tempel dari 903 kapal penangkap ikan yang beroperasi di Pelabuhan Ratu. Sedangkan untuk provinsi Maluku perahu motor tempel banyak digunakan karena faktor jarak tempuh dari perairan Maluku ke fishing ground tuna yang relatif dekat sehingga masih banyak digunakan perahu motor tempel dalam menjalankan usahanya. 67
4.1.5.2. Armada ≤10 GT Armada skala ≤10 GT banyak digunakan oleh usaha penangkapan tuna di Kota Bitung (34%), Sukabumi (29%), Bali (18%), Bali (16%) dan Jawa Timur (4%). Selengkapnya digambarkan sebagai berikut:
Gambar 33.
Analisis Bayesian Jenis Armada Penangkapan Tuna ≤10 GT dengan Software Genie 2.0
4.1.5.3. Armada 11-30 GT Armada 11-30 GT pengurusan perizinannya masih diserahkan pada Pemerintah Provinsi melalui Gubernur. Pada usaha penangkapan tuna daerah yang dominan melakukan usaha penangkapan tuna dengan armada ini adalah daerah asal Bali (43%), Bitung (26%), Maluku (16%) dan Sukabumi (12%). Penggunaan kapal skala ini biasanya disesuaikan dengan ketersediaan modal untuk melakukan usaha penangkapan. 4.1.5.4. Armada 31-100 GT Armada skala 31-100 GT perizinannya sudah mulai ditingkat Pemerintah Pusat, Armada skala ini membutuhkan modal yang besar dalam menjalankan usahanya, biasanya disesuaikan dengan alat tangkap. Kondisi produksi ikan tuna yang dihasilkan oleh armada pada skala ini dijelaskan sebagai berikut:
68
Gambar 34.
Analisis Bayesian Jenis Armada Penangkapan Tuna 31-100 GT dengan Software Genie 2.0
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa untuk armada skala tersebut kebanyakan beroperasi didaerah Jakarta, Bali dan Bitung. Untuk daerah Jakarta data yang berhasil dikumpulan menunjukkan jenis alat tangkap utama yang digunakan oleh armada ini adalah purse seine dan longline. 4.1.5.5. Armada ≥100 GT Armada penangkapan diatas 100 GT banyak ditemukan di daerah Bali (64%), Jakarta (21%) dan Bitung (11%). Armada ini memiliki kapasitas produksi yang besar dengan kebutuhan modal yang juga besar. Untuk daerah Jakarta dan Bali umumnya armada ini menggunakan alat tangkap tuna longline sebagai jenis alat tangkap utama dalam melakukan usaha penangkapan tuna. Daya jelajah yang tinggi dan kapasitas palka yang besar membuat armada jenis ini biasanya memiliki lebih dari satu tempat untuk berlabuh dan juga memiliki trip yang lebih lama dibandingkan armada lainya. 4.1.6. Kapal Penangkap Tuna Berdasarkan Jenis Alat Tangkap 4.1.6.1.
Longline Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa alat
tangkap longline berdasarkan daerah asalnya yang paling dominan di lokasi Bali yaitu sebesar 60%, Jakarta sebesar 18%, Sukabumi sebesar 12%, Bitung sebesar 9% dan Maluku sebesar 1%, seperti yang terlihat pada Gambar 35.
69
Gambar 35.
4.1.6.2.
Analisis Bayesian Alat Tangkap LonglineBerdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0
Huhate Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa alat
tangkap longline berdasarkan daerah asalnya yang paling dominan di lokasi Maluku yaitu sebesar 100%, seperti yang terlihat pada Gambar 36.
Gambar 36.
4.1.6.3.
Analisis Bayesian AlatTangkap Huhate Berdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0
Handline Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa alat
tangkap handline berdasarkan daerah asalnya yang paling dominan di lokasi Sukabumiyaitu sebesar 56%, Bitung sebesar 27%, Bali sebesar 8%, Jawa Timur sebesar 6% dan Maluku sebesar 3% seperti yang terlihat pada Gambar 37.
70
Gambar 37.
4.1.6.4.
Analisis Bayesian Alat Tangkap Handline Berdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0
Pancing Tonda Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa alat
tangkap pancing tonda berdasarkan daerah asalnya yang paling dominan di lokasi Malukuyaitu sebesar 68%, Bali sebesar 21%, Jawa Timur sebesar 11%seperti yang terlihat pada Gambar 38.
Gambar 38.
4.1.6.5.
Analisis Bayesian Alat Tangkap Pancing TondaBerdasarkan Daerah Asal denganSoftware Genie 2.0
Jaring Insang
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa alat tangkap jarring insang berdasarkan daerah asalnya yang paling dominan di lokasi Maluku yaitu sebesar 100% seperti yang terlihat pada Gambar 39.
71
Gambar 39.
4.2.
Analisis Bayesian Alat Tangkap Jaring InsangBerdasarkan Daerah Asal dengan Software Genie 2.0
Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna untuk Pasar Ekspor Model Bayesian yang telah terbentuk pada pasar ekspor komoditas tuna Indonesia perlu
dianalisis lebih lanjut dengan melihat aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi masing-masing variable dalam hierarki dari model Bayesian yang terbentuk. Aspek-aspek sosial ekonomi tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut dan dilakukan proses scoring untuk menentukan seberapa penting pengaruh masing-masing aspek sosial ekonomi yang diperbandingkan menurut lokasi penelitian yang diambil dalam hal ini daerah ekspor tuna terbesar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya dan Bitung. Hasil analisis ini akan menggambarkan aspek-aspek sosial ekonomi yang berperan penting dalam penentuan keputusan terutama oleh pelaku usaha dan juga kita dapat memperbandingkan kondisi pada masingmasing lokasi. Aspek tersebut ditentukan berdasarkan expert judgement dan hasil wawancara dengan berbagai stakeholders terkait perikanan tuna Indonesia yang kemudian diuraikan sebagai berikut:
4.2.1. Pasar Ekspor Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diketahui pasar utama komoditas tuna Indonesia adalah melalui pasar Jepang, USA, dan UE. Analisis lebih lanjut dengan menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan pasar ekspor yang terbagi sesuai karakteristik pasar utama komoditas tuna Indonesia yang dijelaskan lebih lanjut dalam sub bagian sesuai dalam gambar 3 sebagai berikut:
72
4.2.1.1 Pasar Jepang Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diketahui pasar utama komoditas tuna Indonesia adalah melalui pasar Jepang, USA, dan UE. Analisis lebih maka diperoleh aspek ekonomi yang mempengaruhi penentuan pasar ekspor di negara Jepang sesuai dalam Gambar 40:
Negara Pesaing Indonesia di Pasar Jepang 17%
Preferensi konsumen 20%
Hambatan non tarif 11% Hambatan tarif 11%
Permintaan tuna di Jepang 19%
Hubungan historis dengan Harga tuna di negara jepang jepang 11% 11%
Gambar 40.
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna Indonesia ke Jepang
Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat diketahui aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah preferensi konsumen di Jepang yaitu sebesar 20% dan permintaan tuna di Jepang yang tinggi yaitu sebesar 19%. Konsumen Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tinggi, disamping itu mereka lebih menyukai ikan tuna dalam bentuk segar, biasanya ikan tuna dalam bentuk segar langsung diekspor melalui jalur udara. Biasaya tuna segar diekspor dalam bentuk whole fresh tuna. Secara nasional untuk pasar Jepang lebih banyak dieskpor produk Fresh tuna dari Indonesia sedangkan untuk pasar USA dan Uni Eropa lebih banyak mengekspor Canned tuna dari Indonesia. Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh lainya adalah negara pesaing Indonesia di pasar Jepang sebesar 17% , hal ini terkait dengan negara pesaing utama Indonesia yaitu Vietnam dan Thailand. Kemudian dari sisi harga tuna di Jepang juga mempengaruhi sebesar 11%. Berdasarkan perkembangan harga di kedua pasar USA dan Jepang, harga komoditas tuna Indonesia rata-rata hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga pesaingnya. Menurut Rahadian dkk (2012) harga komoditas tuna Indonesia di pasar Jepang pada tahun 2011 hanya menempati posisi keempat, di bawah Vietnam, Thailand dan –cukup mengejutkan – Malaysia. Rendahnya harga tersebut dapat dilihat seperti dua sisi mata pisau. Di satu sisi menjadi faktor penunjang bagi tingginya daya saing dan tingginya volume
73
ekspor ke Jepang, akan tetapi di sisi lain juga menjadi indikator rendahnya penghargaan konsumen di Jepang atas komoditas Tuna Indonesia. Hambatan tariff dan hambatan non tariff memiliki pengaruh sebesar 11%. Selain itu hubungan historis Indonesia dengan Jepang juga menyebabkan telah terbentuknya berbagai kesepakatan bilateral yang memudahkan perdagangan antar kedua negara. Jepang relatif tidak memiliki persyaratan yang rumit mengenai standar tuna yang diekspor dari Indonesia dan tidak adanya hambatan tariff yang dikenakan. Kasus penolakan ekspor tuna Indonesia di Jepang juga tidak ditemui sehingga menjadi indikasi di Pasar Jepang tidak terdapat hambatan non tariff yang siginifikan terhadap ekspor tuna dari Indonesia. 4.2.1.2. Pasar USA Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diketahui aspek ekonomi yang mempengaruhi penentuan pasar ekspor di negara USA sesuai dalam gambar 3 sebagai berikut:
Harga tuna di pasar Amerika Serikat 17%
Daya Beli 17%
Preferensi konsumen 19%
Negara pesaing tuna Indonesia di pasar Amerika Serikat 11%
Hambatan tariff 18%
Hambatan non tariff 18%
Gambar 41. Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna ke USA Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa untuk negara tujuan USA aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah preferensi konsumen di USA yaitu sebesar 19% , permintaan tuna di USA memang relatif tinggi terutama untuk produk Frozen Tuna baik dalam bentuk tuna saku,loin maupun tuna cube dan steak. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai daerah penghasil ikan kaleng, produk Canned tuna dari Indonesia juga memiliki pasar utama negara USA. Hasil wawancara menunjukkan bahwa untuk pasar USA biasanya lebih menyukai ikan
74
kaleng dengan lebih banyak brain (garam) dan tanpa minyak, hal ini menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha yang ingin memasarkan produknya ke USA. Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh lainya adalah hambatan tariff dan hambatan non tariff sebesar masing-masing sebesar 18%. Standar dari FDA yang cukup ketat dalam penentuan produk makanan yang diekspor ke USA menyebabkan hambatan non tariff. Hal ini sesuai dengan penelitian Rinto (2011) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2010 tercatat 146 kasus penolakan ekspor produk perikanan Indonesia ke USA dimana sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan oleh adanya bakteri pathogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy, 6% disebabkan oleh adanya residu kimia, dan 4 % disebabkan oleh misbranding. Hasil wawancara dengan eksportir tuna di Ambon, terdapat perusahaan yang mengalami kasus tolakan ekspor ke pasar USA sehingga mengalihkan produk ekspornya ke pasar Thailand, hal tersebut dikarenakan hambatan non tariff bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah terkena kasus tolakan ekspor yang tidak diperbolehkan lagi mengakses pasar USA. Harga tuna di USA yang relatif tinggi juga berpengaruh sebesar 17%, hal ini cukup menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Meskipun hambatan non tariff yang diberlakukan cukup rumit namun dengan harga tuna yang relatif lebih tinggi maka menjadi faktor penarik bagi pengusaha. Negara pesaing utama Indonesia di USA adalah produk ikan kaleng yang berasal dari Thailand dan Vietnam namun berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha dapat diketahui bahwa dari sisi kualitas produk tuna Indonesia mampu bersaing dan bahkan dianggap lebih baik dari sisi citarasa dan kualitasnya dibandingkan tuna dari negara lainya. Oleh karena itu berdasarkan hasil analisis maka diketahui bahwa aspek sosial ekonomi yang paling berperan dalam penentuan ekspor tuna ke Amerika Serikat adalah preferensi konsumen di Amerika Serikat meskipun hambatan tariff dan non tariff juga menjadi pertimbangan penting.
75
4.2.1.3.
Pasar Uni Eropa Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diketahui aspek ekonomi
yang mempengaruhi penentuan pasar ekspor di negara USA sesuai dalam Gambar 42 sebagai berikut:
Hambatan non Tarif 22%
Permintaan ekspor dari negara Uni Eropa 18%
Harga ikan tuna negara pesaing 12%
Gambar 42.
Hambatan tariff 18%
Hubungan historis dengan negara Uni Eropa 12% Negara pesaing Indonesia di Pasar Uni Eropa 18%
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Pasar Ekspor Tuna ke Uni Eropa
Gambar 42 menunjukkan bahwa untuk pasar Uni Eropa aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah Hambatan non tariff yaitu biasanya berupa kebijakan Pemerintah Uni Eropa terkait dengan produk Tuna Indonesia yaitu sebesar 22%. Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamananp angan Uni Eropa yaitu ECNo.178/2002, h a l t e r s e b u t juga dikatakan oleh Painthe (2008) dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF). Hal ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan resiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari bahan pangan atau pakan. Hambatan tarif menjadi pertimbangan tersendiri, berdasarkan data P2HP,KKP tahun 200102012 yang telah diolah dapat diketahui bahwa untuk negara di Uni Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor dari Indonesia adalah ke negara Jerman sebesar 32% dari total ekspor tuna dari Indonesia ke Uni Eropa, kemudian Spanyol 21%, United Kingdom 20%, dan sisanya adalah berbagai negara lainya. Hasil wawancara menunjukkan eksportir berkeberatan dengan pemberlakuan tariff yang diberlakukan kepada produk tuna ekspor Indonesia terutama di negara Belanda yakni sebesar 12,5%. Hal ini sekaligus menjadi indikator bahwa hubungan historis Belanda terhadap Indonesia tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia ke negara yang dimaksud. 76
Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh lainya adalah permintaan ekspor dan negara pesaing Indonesia di pasar Uni Eropa masing-masing sebesar 18%. Uni Eropa yang terdiri dari banyak negara menjadi pangsa pasar yang strategis bagi produk tuna Indonesia, hal ini juga diimbangi dengan harga tuna yang relatif cukup tinggi pada pasar yang dimaksud. Kualitas produk Indonesia menurut data dari eksportir juga dapat bersaing dengan produk dari negara Filipina, Thailand dan China yang menjadi negara pesaing di Uni Eropa. Permintaan ekspor ke Uni Eropa biasanya dipenuhi oleh eksportir tuna di Indonesia melalui pengiriman dengan jalur laut, yaitu melalui kapal. Sebagai bahan informasi kapal ekspor dari Pelabuhan Indonesia yang aktifitasnya masih terpusat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya menyebabkan lalu lintas komoditas tuna menjadi cukup padat dengan antrian yang relatif panjang hingga membutuhkan waktu sebulan sampai ke pasar tujuan. Sedangkan untuk pelabuhan didekat lokasi produksi seperti pelabuhan Umum Bitung ke Uni Eropa hanya terdapat dua kali jadwal pengiriman dalam sebulan dengan rute Bitung-Jakarta-Eropa. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha karena terkait dengan lama antrian kapal dan kemungkinan delay pengiriman yang harus disikapi dengan penyiapan dokumen pendukung jika terdapat keterlambatan pengiriman. 4.2.2. Komoditas Ekspor Hasil analisis dari model Bayesian Ekspor Tuna yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diketahui komoditas ekspor tuna Indonesia yang diekspor melalui pasar Jepang, USA, dan UE diklasifikasikan menjadi tiga yaitu Fresh, Frozen dan Canned. Analisis lebih lanjut dengan menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan komoditas ekspor tuna sesuai dalam gambar 4 sebagai berikut:
77
Kualitas bahan baku 17%
Ketersediaan bahan baku 27% Tingkat penguasaan teknologi 12%
Gambar 43.
Preferensi Konsumen 25%
Harga komoditas tuna 19%
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Komoditas Tuna Ekspor
Gambar diatas menunjukkan bahwa dalam penentuan komoditas tuna yang diekspor aspek sosial ekonomi yang berpengaruh adalah ketersediaan bahan baku (27%), preferensi konsumen di pasar ekspor (25%), harga komoditas tuna (19%), kualitas bahan baku (17%) dan tingkat penguasaan teknologi (12%). Ketersediaan bahan baku menjadi faktor yang paling berpengaruh , produksi Ikan tuna Indonesia sangat tergantung pada musim, daerah penangkapan, ketrampilan nelayan, sarana dan prasarana yang dimiliki untuk dapat memaksimalkan usaha. Kontinuitas bahan baku tuna menjadi isu yang paling penting yang dihadapi oleh pelaku usaha dibidang ini, hingga pada musimmusim tertentu beberapa perusahaan tuna tidak dapat berproduksi karena kelangkaan bahan baku. Preferensi konsumen di pasar tujuan ekspor juga menjadi aspek yang berpengaruh, seperti di pasar Jepang yang lebih menyukai tuna segar, sedangkan pasar USA dan Un i Eropa lebih menyukai tuna kaleng. Hal ini juga berkaitan dengan harga komoditas tuna di negara tujuan yang menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Informasi dari pelaku usaha untuk tuna dalam bentuk saku memiliki kisaran harga lebih tinggi sekitar US$ 14/kg, sedangkan untuk tuna loin, steak dan cube kisaran harganya sekitar US$ 7/kg Selain hal tersebut kualitas bahan baku juga menjadi pertimbangan dalam menentukan komoditas tuna yang diproduksi. Sebagai contoh berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha di Ambon, untuk komoditas tuna frozen bentuk saku hanya bisa diproduksi oleh tuna dengan kualitas bahan baku grade A. Tingkat penguasaan teknologi memiliki pengaruh yang relatif lebih rendah dibandingkan aspek sosial ekonomi lainya. Karena berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha tidak ditemukan kendala dari sisi teknologi untuk 78
memproduksi komoditas tuna . Bahkan di daerah Ambon, nelayan handline skala kecil melakukan proses filet diatas kapal yang mereka gunakan sehingga tuna yang mereka tangkap sudah dalam bentuk loin sebelum dijual ke perusahaan maupun konsumen lainya. 4.2.3. Daerah Ekspor Daerah ekspor merupakan hirarki berikutnya dari analisis forensik pemasaran menggunakan model Bayesian, yang dimaksud dengan daerah ekspor merupakan daerah yang menjadi tempat melakukan pengiriman ekspor dari komoditas tuna Indonesia. Hasil analisis menunjukkan terdapat tiga daerah ekspor utama yaitu Jakarta, Surabaya dan Bitung. Analisis lebih lanjut dengan menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan daerah ekspor tuna sesuai dalam gambar sebagai berikut:
Aksesibilitas 27%
Sarana dan prasarana 31% Gambar 44.
Biaya ekspor 21%
Kemudahan perizinan 21%
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Daerah Ekspor
Penentuan daerah ekspor komoditas tuna Indonesia dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh adalah sarana prasarana (31%), aksesibilitas (27%), kemudahan perizinan (21%) dan biaya ekspor (21%). Sarana prasarana menjadi aspek yang dianggap paling penting, hal ini berkaitan dengan jumlah antrian kapal bagi daerah ekspor melalu jalur laut dan antrian pesawat bagi ekspor melalui jalur udara. Selain itu yang termasuk dalam aspek sarana prasarana diantaranya adalah cold storage, sistem packing, dan kargo yang tersedia yang memudahkan eksportir dalam pengiriman barang . Karena itu aspek ini dirasa paling penting bagi eksportir, hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk ekspor tuna kaleng dominan dilakukan melalui Jakarta dan Surabaya, meskipun bukan daerah asal komoditas tuna namun ekspor tuna kaleng dominan dilakukan dari 79
daerah ini karena dianggap sarana-prasarana paling mencukupi dibandingkan dengan daerah lainya. Selain itu juga yang menjadi pertimbangan adalah aksesibilitas yang berkaitan dengan jarak tempuh, kondisi jalan dan infrastruktur. Sebagai contoh pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menjadi daerah ekspor utama untuk tuna kaleng, karena pelabuhan ini relatif mudah diakses bagi daerah produksi tuna Indonesia yang sebagian besar dihasilkan dari Indonesia Bagian Timur seperti Bitung dan Ambon. Kemudahan perizinan dan biaya ekspor menjadi aspek yang juga mempengaruhi pemilihan daerah ekspor. Dokumen ekspor yang membutuhkan berbagai persyaratan yang relatif rumit untuk dipenuhi karena menyangkut berbagai instansi menyebabkan mekanisme perizinan menjadi pertimbangan pelaku usaha. Daerah ekspor yang dilengkapi kemudahan perizinan dengan adanya kantor atau perwakilan dari berbagai instansi yang diperlukan dalam menangani ekspor menjadi pertimbangan tersendiri bagi pelaku usaha. Dalam mengurus ekspor tuna setidaknya eksportir harus berhubungan dengan kepabeanan (bead an cukai), perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), badan karantina dan pengujian mutu, dinas kelautan dan perikanan, dinas perindustrian dan perdagangan, perusahaan pelayaran atau perusahaan penerbangan, dan perusahaan atau terminal peti kemas dan kargo. Oleh karena itu ketersediaan berbagai lembaga tersebut menjadi pertimbangan eksportir. Selain itu biaya ekspor juga menjadi pertimbangan, eksportir akan memilih daerah ekspor yang memiliki biaya yang paling efisien yang meliputi biaya pengiriman, perizinan , bongkar muat dan berbagai biaya lainya yang terkait dengan ekspor barang. 4.2.4. Daerah Asal Tuna Daerah asal tuna merupakan hirarki berikutnya yang dibahas dalam analisis forensic pemasaran. Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa daerah ekspor utama tuna Indonesia berasal dari Jakarta, Surabaya dam Btung namun berdasarkan data dan analisis yang telah dilakukan a dapat diketahui komoditas tuna yang diekspor dari tiga daerah tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia
diantaranya adalah
Jakarta, Jawa Timur, Bitung, Ambon dan Sukabumi dengan
probabilitas yang dijelaskan pada Model Bayesian yang telah disebutkan sebelumnya. Analisis lebih lanjut dengan menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan daerah asal komodtas tuna sesuai dalam gambar 45 sebagai berikut:
80
Ketersediaan Buyer 16%
Pelayanan Pelabuhan 12%
Harga Tuna di Pelabuhan Pendaratan Ikan 11%
Retribusi 12%
Gambar 45.
Kemudahan Perizinan 15%
Jarak Tempuh Armada dari Wilayah Penangkapan ke Pelabuhan Pendaratan Ikan 17%
Sarana dan Prasarana 17%
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Daerah Asal
Berdasarkan gambar yang ditunjukan diatas maka dapat diketahui bahwa aspek sosial ekonomi yang menjadi penentu utama daerah asal adalah jarak tempuh armada penangkapan ke pelabuhan pendaratan ikan (17%),sarana prasarana (17%), Ketersediaan buyer (16%), Kemudahan Perizinan (15%), Retribusi (12%) dan Harga tuna di pelabuhan pendaratan ikan (11%). Jarak tempuh menjadi aspek sosial ekonomi yang penting, hal ini berkaitan dengan kebutuhan BBM dalam menjalankan kegiatan penangkapan ikan. Biaya BBM yang paling besar sebagai input usaha menyebabkan jarak tempuh menjadi hal yang paling dipertimbangkan. Selain itu keterssediaan sarana dan prasarana juga menjadi pertimbangan penting panjang dermaga untuk tambat labuh, cold storage, ketersediaan spbn, pabrik es menjadi pertimbangan utama. Ketersediaan buyer yang biasanya merupakan unit pengolahan ikan (UPI), eksportir maupun perusahaan pengolahan menjadi pertimbangan sosial ekonomi dalam mementukan daerah pendaratan ikan tuna. Selain hal tersebut kemudahan perizinan juga diperhatikan oleh pelaku usaha penangkapan.Perizinan yang dimaksud termasuk dengan ketersediaan berbagai instansi yang diperlukan dalam mengurus perizinan, sebagai contoh sebagian kapal penangkap tuna merupakan armada diatas 30GT dimana pengurusan izinya dibutuhkan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di Jakarta sehingga menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Pelayanan pelabuhan yang sudah menjadi satu pintu pelayanan seperti yang sudah terdapat di pelabuhan Muara Baru Jakarta dianggap memudahkan bagi pelaku usaha mengingat berbagai persyaratan dokumen ekspor juga 81
membutuhkan dokumen dari pelaku usaha penangkapan. Harga tuna di daerah pendaratan ikan menjadi aspek yang relatif tidak begitu berpengarh dibandingkan aspek lainya hal terebut disebabkan harga tuna di seluruh Indonesia memiliki kisaran yang tidak jauh berbeda sehinga pelaku usaha penangkapan lebih mementingkan aspek sosial ekonomi lainya dalam menentukan daerah pendaratan ikan tuna. 4.2.5. Armada Penangkapan Armada Penangkapan tuna di Indoenesia terdiri dari berbagai macam spesifikasi yang telah diuraikan dalam model Bayesian sebelumnya. Penentuan armada penangkapan tuna yang digunakan oleh pelaku usaha dan dikembangkan oleh stakeholders pada daerah asal komoditas tuna yang diekspor dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial ekonomi . Armada penangkapan tuna Indonesia diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 5 kategori yaitu armada motor tempel, armada ≤10 GT, armada 1130 GT, armada 31-100 GT dan armada ≥100GT Analisis lebih lanjut dengan menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan daerah armada penangkapan yang digunakan sesuai dalam gambar 46 sebagai berikut:
Kapasitas produksi 10%
Daerah Penangkapan 12%
Ketersediaan Modal 22%
Kemudahan Perizinan 14%
Kemampuan SDM 22% Prospek Menghasilkan Keuntungan 20%
Gambar 46.
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Armada Penangkapan
Gambar diatas menunjukkan aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam menentukan armada penangkapan adalah ketersediaan modal (22%) dan kemampuaan SDM (22%), selain itu prospek menghasilkan keuntungan (20%), kemudahan perizinan (14%), Daerah Penangkapan (12%) dan Kapasitas Produksi (10%) menjadi aspek yang mempengaruhi pelaku usaha. Ketersediaan modal menjadi pertimbangan utama, hal tersebut disebabkan semakin besar ukuran armada penangkapan juga menentukan modal yang dibutuhkan dalam melakukan usaha yang 82
termasuk modal pembelian armada, modal perbekalan dan modal operasional usaha. Selain itu kemampuan sumberdaya manusia dalam melakukan penangkapan usaha juga menjadi pertimbangan utama, karena semakin besar ukuran armada penangkapan juga dibutuhkan keahlian tersendiri bagi nelayan yang menjadi awak kapal. Selain itu yang menjadi pertimbangan adalah prospek menghasilkan keuntungan, seperti kondisi di Bitung ukuran armada penangkapan tidak mempengaruhi signifikan terhadap hasil yang diperoleh, oleh karena itu nelayan tuna disana lebih memilih menggunakan armada penangkapan dengan ukuran kurang dari 10 GT, hal tersebut disebagkan jangkauan terhadap daerah penangkapan yang masih dapat ditempuh dengan amada skala tersebut sehingga biaya operasional dapat lebih ditekan dan tingkat keuntungan yang dihasilkan lebih prospektif. Selain hal tersebut yang menjadi pertimbangan adalah kemudahan perizinan, peraturan pemerintah melalui Permen Kelautan dan Perikanan nomor 5 tahun 2008 tentang usaha perikanan tangkap mengatur kewenangan dalam penerbitan perizinan, dimana kapal dengan ukuran diatas 30 GT wajib mengurus izin melalui Menteri Kelautan dan Perikanan, sedangkan kapal ukuran 10-30 GT penerbitan perizinannya melalui Gubernur, Bupati dan Walikota hanya memiliki kewenangan menerbitkan izin untuk armada penangkapan ukuran 5-10 GT. Peraturan tersebut menyebabkan pertimbangan bagi pelaku usaha dalam menentuka armada penangkapan yang akan digunakan karena menyangkut pengurusan adminisitrasi perizinan kapal. 4.2.6. Jenis Alat Tangkap Tuna Hirarki berikutnya yang ditelusurin menggunakan Model Bayesian yang didasarkan pada informasi armada penangkapan yang digunakan adalah jenis alat tangkap tuna. Hasil analisis menunjukkan terdapat lima klasifikasi alat tangkap yang sering digunakan dalam armada penangkapan ikan tuna di Indonesia diantaranya adalah handline (31%), purse seine (28%), longline (26%), pancing tonda (12%), pool n line/ huhate (2%) dan jaring insang (1%).
Analisis lebih lanjut dengan
menggunakan expert judgment maka diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan jenis alat tangkap yang digunakan sesuai dalam gambar 47 sebagai berikut:
83
Prospek Menghasilkan Keuntungan 17%
Perizinan 12%
Modal 16% Kapasitas SDM 19% Jenis komoditas yang menjadi sasaran penangkapan 17%
Gambar 47.
Efektifitas Alat Tangkap 19%
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Jenis Alat Tangkap
Berdasarkan gambar yang ditunjukan diatas maka dapat diketahui bahwa aspek sosial ekonomi yang menjadi penentu utama jenis alat tangkap yang digunakan adalahefektifitas alat tangkap (19%), kapasitas SDM (19%), jenis komoditas yang menjadi sasaran penangkapan (17%) prospek menghasilkan keuntungan (17%), Modal (16%), dan Perizinan (12%). Efektifitas alat tangkap dan kapasitas SDM dalam menggunakan alat tangkap menjadi pertimbangan utama, hasil penelitian menunjukkan bahwa handline menjadi alat tangkap utama bagi komoditas tuna karena dianggap lebih efektif terutama bagi nelayan didaerah timur Indonesia yang membutuhkan kapasitas SDM yang memenuhi dalam mengoperasikan alat tangkap jenis ini. Purse seine sebagai alat tangkap jaring yang memiliki seletifitas rendah terhadap komoditas yang menjadi sasaran penangkapan juga dianggap memiliki efektifitas yang tinggi sehingga banyak menyumbang produksi terhadap komoditas tuna terutama bagi wilayah pendartan ikan di Jakarta dan Sukabumi. Komoditas tuna yang menjadi sasaran penangkapan biasanya kualitasnya akan lebih baik jika ditangkap menggunakan alat tangkap jenis pancing, sehingga handline dan longline banyak digunakan nelayan dalam menangkap komoditas ini. Sedangkan dari sisi modal juga mempengaruhi penentuan alat tangkap yang ingin digunakan karena disesuaikan dengan ukuran kapal dan modal operasional usaha yang dimiliki. Perizinan juga menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha, hal ini dikaitkan dengan adanya mekanisme perizinan yang diperlukan sebelum menggunakan alat tangkap jenis tertentu. Selain hal itu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia juga mengatur berbagai ketentuan yang diperbolehkan bagi alat penangkapan ikan yang digunakan oleh usaha perikanan. 84
4.2.7. Tenaga Kerja Model Bayesian ekspor tuna Indonesia pada hirarki armada penangkapan juga selain diuraikan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan juga diuraikan lebih lanjut berdasarkan tenaga kerja yang digunakan dalam perikanan tuna yang dimaksud. Penentuan tenaga kerja dianalisis menggunakan expert judgment sehingga diperoleh aspek-aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penentuan tenaga kerja yang digunakan pada armada penangkapan yang dijelaskan lebih lanjut sesuai dalam gambar 48 sebagai berikut: Daerah Asal Tenaga Kerja 11%
Umur 17%
Ketrampilan 21%
Sertifikasi 10% Pendidikan 11%
Tingkat Upah 13% Pengalaman 17% Gambar 48.
Aspek Sosial Ekonomi Penentu Tenaga Kerja
Gambar diatas menunjukkan aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam menentukan tenaga kerja adalah ketrampilan (21%) dan pengalaman (17%), umur (17%) selain itu tingkat upah (13%) , daerah asal tenaga kerja (11%), dan pendidikan (11%). Ketrampilan menjadi aspek sosial ekonomi yang paling utama menentukan tenaga kerja yang digunakan, karena dalam usaha ini ketrampilan merupakan hal paling dibutuhkan baik dalam proses penangkapan tuna maupun proses pengolahan ikan tuna sebelum dipasarkan. Ketrampilan berhubungan erat dengan pengalaman kerja, dari hasil wawancara yang dilakukan kebanyakan nelayan tuna merupakan nelayan berpengalaman lebih dari 10 tahun, terutama untuk nelayan handline dengan keterbatasan fasilitas penangkapan yang dimiliki menyebabkan mereka mengandalkan ketrampilan dan pengalaman dalam menjalankan usahanya. Umur menjadi pertimbangan berikutnya, untuk armada skala besar yang merekrut tenaga kerja umumnya lebih menyukai tenaga kerja dibawah usia 40 tahun karena dianggap memiliki ketahanan lebih baik karena kegiatan penangkapan menuntut fisik yang prima bagi pekerja yang termasuk didalamnya. Tingkat upah juga menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha, sedangkan daera asal tenaga kerja biasanya dihubungkan dengan etos kerja yang melekat pada tenaga kerja dari 85
daerah tertentu yang menyangkut daya tahan mereka untuk dapat berlayar ditengah laut, Selain itu tingkat pendidikan dan sertifikasi memiliki pengaruh yang relatif lebih rendah dibandingkan aspek lainya, hal ini disebabkan pekerja pada sektor ini tidak dituntut memiliki tingkat pendidikan tertentu,sertifikasi tenaga kerja hanya dibutuhkan untuk nahkoda dan juru mesin kapal untuk memenuhi standar internasional sehingga pekerja lainya tidak dipengaruhi oleh sertifikasi yang dimiliki. 4.3.
Strategi Penetrasi Pasar Ekspor Berdasarkan Aspek Sosial ekonomi yang Berpengaruh Strategi penetrasi pasar ekspor di ketiga pasar ekspor tujuan utama komoditas tuna Indonesia
dapat lebih efektif apabila memperhatikan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada setiap hirarki aspek teknis yang ada. Untuk itu akan dijelaskan secara rinci aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada aspek sosial ekonomi tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 49.
Strategi Penetrasi Pasar Jepang dengan menggunakan Pendekatan Bayesian
Untuk meningkatkan market share komoditas tuna Indonesia di pasar utama Jepang fresh yang diekspor melalui Jakarta dan asal bahan bakunya (produksi) berasal dari nelayan Sukabumi yang menggunakan jenis armada 31-100 GT dengan alat tangkap handline dan kapal yang digunakan mempekerjakan tenaga yang non sertifikasi. Strategi penetrasi pasar Jepang yang disusun berdasarkan hasil pendekatan Bayesian dan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh adalah sebagai berikut: 86
Tabel 23.
Strategi Penetrasi untuk Pasar Jepang
No 1
Aspek Teknis Komoditas
Strategi Peningkatan produksi dan kualitas bahan baku tuna fresh untuk memenuhi permintaan konsumen yang tinggi terhadap komoditas tuna fresh, penanganan kasus IUU untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tuna
2
Daerah ekspor
Peningkatan infrastruktur penunjang ekspor, peningkatan kualitas pelayanan terhadap ekspor hasil perikanan terutama di bandara Soekarno Hatta, membentuk “sistem perijinan satu pintu”
3
Daerah
asal,
armada Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga
penangkapan dan jenis alat tepat sasaran, peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan, tangkap, tenaga kerja
Peningkatan
kapasitas
produksi
melalui
pelatihan
kemampuan nelayan, sosialisasi secara intensif mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah sukabumi dan bali sebagai supplier utama. Sumber: Diolah (2014) Pasar Amerika Serikat pendekatan Bayesian menghasilkan hasil analisis yang dijelaskan dalam Gambar 50 sebagai berikut:
Gambar 50.
Strategi Penetrasi Pasar Amerika Serikat dengan menggunakan Pendekatan Bayesian 87
Untuk pasar Amerika Serikat, apabila ingin meningkatkan market share komoditas tuna Indonesia di pasar utama Amerika Serikat seharusnya ekspornya menggunakan komoditas tuna canned yang berasal dari daerah ekspor Surabaya dengan nelayan yang menggunakan armada 10 GT dengan alat tangkap handline. Tenaga kerja yang dilakukan sebagian besar menggunakan tenaga kerja non sertifikasi.
Gambar 51.
Strategi Penetrasi Pasar Uni Eropa dengan menggunakan Pendekatan Bayesian
Untuk pasar Uni Eropa, apabila ingin meningkatkan market share komoditas tuna Indonesia di pasar utama Uni Eropa seharusnya ekspornya menggunakan komoditas tuna canned yang berasal dari daerah ekspor Bali dengan nelayan yang menggunakan armada 10 GT dengan alat tangkap handline. Tenaga kerja yang dilakukan sebagian besar menggunakan tenaga kerja non sertifikasi. Berdasarkan pendekatan bayesian diperoleh bahwa pasar utama, yaitu pasar Jepang, pasar Amerika Serikat dan pasar Uni Eropa merupakan pasar ekspor tujuan utama komoditas tuna Indonesia. Hal ini tentunya beralasan karena pemilihan negara-negara ini tidak terlepas dari kondisi aspek sosial ekonomi yang ada pada ketiga pasar tersebut yaitu pasar Jepang, pasar Amerika Serikat dan pasar Uni Eropa. Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna di ketiga pasar tersebut adalah preferensi konsumen, permintaan tuna di Jepang yang tinggi, negara pesaing Indonesia di pasar Jepang. Kemudian dari sisi harga tuna di Jepang juga mempengaruhi pemilihan Jepang sebagai salah satu negara tujuan ekspor tuna Indonesia. Hambatan tariff dan hambatan non tariff juga memiliki pengaruh terhadap ekspor tuna Indonesia. Dari semua aspek 88
sosial ekonomi yang mempengaruhi pasar Jepang, preferensi konsumen merupakan aspek sosial ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan Jepang sebagai salah satu negara tujuan ekspor tuna Indonesia yaitu sebesar 20% dan dilanjutkan dengan permintaan tuna di Jepang juga tinggi yaitu sebesar 19%. Hal ini karena memang konsumen Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tinggi, disamping itu mereka lebih menyukai ikan tuna dalam bentuk segar, biasanya ikan tuna dalam bentuk segar langsung diekspor melalui jalur udara. Biasaya tuna segar diekspor dalam bentuk whole fresh tuna. Selanjutnya adalah komoditas, dimana komoditas tuna yang diekspor ke Jepang sebagian besar adalah komoditas tuna fresh dengan presentase terbesar 45%, tuna canned sebesar 32% dan tuna frozen sebesar 23%.. Jenis komofitas tuna fresh ini sangat dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi yaitu ketersediaan bahan baku sebesar 27%, preferensi konsumen 25%. Seperti diketahui bahwa ketersediaan bahan baku ini tergantung dari produksi Ikan tuna Indonesia, dimana produksi ikan tuna Indonesia sangat tergantung pada musim, daerah penangkapan, ketrampilan nelayan, sarana dan prasarana yang dimiliki untuk dapat memaksimalkan usaha. Kontinuitas bahan baku tuna menjadi isu yang paling penting yang dihadapi oleh pelaku usaha dibidang ini, hingga pada musim-musim tertentu beberapa perusahaan tuna tidak dapat berproduksi karena kelangkaan bahan baku. Daerah eskpor yang menjadi daerah pintu keluar ekspor tuna Indonesia ke pasar Jepang adalah jakarta 62%. Hal ini sangat dipengaruhi terbesar oleh aspek sarana prasarana (31%), dimana sarana prasarana menjadi aspek yang dianggap paling penting karena berkaitan dengan jumlah antrian kapal bagi daerah ekspor melalu jalur laut dan antrian pesawat bagi ekspor melalui jalur udara. Selain itu sarana prasarana lainnya seperti cold storage, sistem packing, dan kargo. Oleh karena itu aspek ini dirasa paling penting bagi eksportir. Daerah asal dimana produksi ikan tuna itu lebih besar dibandingkan dengan daerah asal lainnya yang ada di Indonesia. Selanjutnya aspek sosial ekonomi yang sangat berpengaruh dalam penentuan daerah asal adalah sarana dan prasarana dan jarak tempuh armada dari wilayah penangkapan dengan pendaratan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tempuh menjadi sangat penting karena berkaitan dengan kebutuhan BBM dalam menjalankan kegiatan penangkapan ikan. Biaya BBM yang paling besar sebagai input usaha menyebabkan jarak tempuh menjadi hal yang paling dipertimbangkan. Selain itu keterssediaan sarana dan prasarana juga menjadi pertimbangan penting panjang dermaga untuk tambat labuh, cold storage, ketersediaan spbn, pabrik es menjadi pertimbangan utama. Ketersediaan buyer yang biasanya merupakan unit pengolahan ikan (UPI), eksportir maupun perusahaan pengolahan menjadi pertimbangan sosial ekonomi dalam mementukan daerah pendaratan ikan tuna.
89
Armada Penangkapan tuna di Indoenesia terdiri dari berbagai macam spesifikasi digunakan oleh pelaku usaha dan dikembangkan oleh stakeholders pada daerah asal komoditas tuna yang diekspor dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial ekonomi . Armada penangkapan tuna Indonesia diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 5 kategori yaitu armada motor tempel, armada ≤10 GT, armada 1130 GT, armada 31-100 GT dan armada ≥100GT. Aspek sosial ekonomi yang terkait dengan armada penangkapan dan sangat berpengaruh terhadap armada penangkapan adalah ketersediaan modal dan kemampuan SDM dimana ketersediaan modal menjadipertimbanganutama, semakinbesarukuran armada penangkapanjugamenentukan modal yang dibutuhkandalammelakukanusaha yang termasuk modal pembelian armada, modal perbekalandan modal operasionalusaha. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah jenis alat tangkap tuna dimana terdapat lima klasifikasi alat tangkap yang sering digunakan dalam armada penangkapan ikan tuna di Indonesia diantaranya adalah handline (31%), purse seine (28%), longline (26%), pancing tonda (12%), pool n line/ huhate (2%) dan jaring insang (1%). Penggunaan alat tangkap ikan tuna ini sangat dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi yaitu efektifitas alat tangkap(19%). Efektifitas alat tangkap dan kapasitas SDM dalam menggunakan alat tangkap menjadi pertimbangan utama dimana alat tangkap handline menjadi alat tangkap utama bagi komoditas tuna karena dianggap lebih efektif terutama bagi nelayan di daerah timur Indonesia yang membutuhkan kapasitas SDM yang memenuhi dalam mengoperasikan alat tangkap jenis ini. Purse seine sebagai alat tangkap jaring yang memiliki seletifitas rendah terhadap komoditas yang menjadi sasaran penangkapan juga dianggap memiliki efektifitas yang tinggi sehingga banyak menyumbang produksi terhadap komoditas tuna terutama bagi wilayah pendartan ikan di Jakarta dan Sukabumi. Tenaga Kerjayang digunakan dalam perikanan tunamenunjukkan aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh yaitu ketrampilan (21%) dan pengalaman (17%) Ketrampilan yang menjadi aspek sosial ekonomi yang paling utama menentukan tenaga kerja yang digunakan, karena ketrampilan merupakan hal paling dibutuhkan baik dalam proses penangkapan tuna maupun proses pengolahan ikan tuna sebelum dipasarkan. Ketrampilan berhubungan erat dengan pengalaman kerja. Berdasarkan aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi setiap aspek teknis dalam pemasaran komoditas tuna, maka diperoleh strategi penetrasi pasar tuna berdasarkan negara tujuan (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa) seprti dijelaskan pada tabel di bawah ini.
90
Tabel 24. No 1
Strategi Penetrasi Pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa Aspek Teknis
Strategi
Komoditas
Dukungan terhadap penciptaan iklim investasi bagi industri pengalengan ikan dengan kemudahan perijinan bantuan advokasi terhadap kasus tolakan ekspor, sosialisasi regulasi
2
Daerah ekspor
Peningkatan infrastruktur sarana prasarana pelabuhan laut dan bongkaran cargo serta pembentukan sistem penjadwalan eskpor barang yang mudah diakses oleh eksportir
3
Daerah
asal,
armada Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga
penangkapan dan jenis alat tepat tangkap, tenaga kerja
sasaran,
peningkatan
fasilitas
pelayanan
pelabuhan, Peningkatan kapasitas produksi melalui pelatihan kemampuan
nelayan,
sosialisasi
secara
intensif
mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah Bitung, Bali sebagai supplier utama, menekan
IUU
Fishing
untuk
menjaga
stabilitas
ketersediaan bahan baku, mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional . Sumber: Data Primer (2014) 4.4.
Identifikasi Kondisi dan Kinerja Pasar Tuna Indonesia dengan Model Pendekatan Bayesian Untuk Pasar Domestik Untuk mengidentifikasi kondisi dan kinerja pasar tuna di pasar domestik dilakukan dengan menggunakan
pendekatan Bayesian. Pendekatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dari hulu hingga hilir pada pasar domestik perikanan tuna.
Pada pasar domestik penyusunan model Bayesian berdasarkan analisis dan
pengumpulan data lapang yang terdiri dari 5 (lima) hierarki yaitu konsumen, komoditas, bahan baku, suplier dan jenis armada. Untuk hierarki pertama yaitu konsumen dibedakan menjadi restoran dan rumah tangga. Pada hierarki kedua yaitu komoditas dibedakan berdasarkan jenis ikan tuna segar dan olahan (kaleng, abin, bakso, dendeng, nuget dan asap). Pada hierarki ketiga yaitu bahan baku dibedakan menjadi bentuk segar, tetelan dan dada tuna. Pada hierarki keempat yaitu suplier debedakan menjadi pengecer dan perusahaan, sedangkan pada hierarki kelima yaitu jenis armada dibedakan menjadi armada motor tempel, armada ukuran 10 GT, armada ukuran 11-30 GT, armada ukuran 31-100 GT dan armada > 100 GT.
Hasil analisis Bayesian dengan
menggunakn software Genie 2.0 untuk pasar domestik dapat dilihat pada Gambar berikut. 91
Analisis Bayesian Pasar Domestik Tuna dengan Software Genie 2.0 Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa pasar domestik konsumsi tuna adalah kota Ambon dan Bitung, dengan probabilitas masing-masing sebesar 60% dan 40%. Kota Ambon memiliki probabilitas lebih besar karena tingkat konsumsi masyarakat ambon terhadap komoditas tuna cukup besar, hal ini juga didukung oleh kondisi sumberdaya yang dimiliki sehingga masyarakat dapat dengan mudah untuk mendapatkan komoditas tersebut. Pada hierarki berikutnya telihat bahwa konsumen yang paling dominan adalah rumah tangga dengan probabilitas sebesar 98% dan restoran sebesar 2%. Hal ini dikarenakan rumah tangga memiliki akses yang mudah dalam mendapatkan komoditas tersebut. Pada hierarki selanjutnya diketahui bahwa komoditas yang paling banyak di konsumsi oleh rumah tangga adalah dalam bentuk segar dengan probabilitas sebesar 51%, sedangkan komoditas olahan yang paling besar probobilitasnya adalah asap sebesar 35%. Untuk komoditas olahan lain probabilitasnya sangat kecil yaitu kaleng (8%), abon (2%), bakso (2%), dendeng (1%) dan nuget (1%). Komoditas olahan tersebut, pemasarannya lebih banyak untk di luar Kota Ambon seperti Makasar, Surabaya dan lain sebagainya. Pada hierarki berikutnya untuk bahan baku probabilitas yang paling besar adalah dalam bentuk segar (89%), tetelan (6%) dan dada tuna (5%). Bahan baku tersebut diperolah dari suplier dengan probabilitas paling besar dari pengecer (53%) dan perusahaan (47%). Bahan baku tersebut diperoleh dari pengecer dalam hal ini nelayan yang menggunakan jenis armada yang paling tinggi dengan probabilitas 42% yaitu armada 10 GT. Untuk armada 31-100 GT (23%), armada 11-30 GT (19%), armada motor tempel (12%) dan armada > 100 GT (5%).
92
4.4.1. Pasar Domestik 4.4.1.1.
Ambon Ambon merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Maluku yang memiliki potensi
sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar, dengan komoditas unggulan adalah ikan tuna. Sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar masyarakat Ambon senang mengkonsumsi ikan tersebut karena ketersediaan ikan tersebut sangat melimpah. Berdasarkan hasil olahan dengan menggunakan pendekatan Bayesian diperoleh informasi bahwa untuk pasar domestik Ambon konsumennya didominasi oleh rumah tangga yaitu sebesar 100%. Dimana tingkat konsumsi pada konsumen rumah tangga sangat dipengaruhi oleh selera makan ikan dan ketersediaan ikan tuna.
Selera makan ikan sangat mempengaruhi rumah tangga dalam
mengkonsumsi ikan, apakah ikan yang dibeli dalam bentuk segar maupun olahan (asap, bakso, abon, nugget, dendeng, dan kaleng).
Ketersediaan ikan juga akan mempengaruhi konsumsi
rumah tangga, karena jika ikan yang tersedia banyak makan harganya akan terjangkau oleh rumah tangga tersebut. Konsumsi ikan tuna yang dilakukan oleh rumah tangga didominasi dalam bentuk segar yaitu sebesar 50%. Sedangkan untuk konsumsi dalam bentuk ikan olahan asap sebesar 36%, kaleng 8%, abon dan bakso masing-masing sebesar 2% serta nuget dan bakso masing-masing sebesar 1%. Bahan baku dalam pasar domestik dibagi menjadi tiga yaitu segar, tetalan dan dada tuna, dimana bahan baku segar memiliki persentase yang terbesar yaitu 89%, tetelan 5% dan dada tuna 5%. Bahan baku ikan segar tersebut diperoleh oleh rumah tangga dari suplier yaitu pengecer dan perusahaan, dimana pembelian dari pengecer yang paling mendominasi dengan persentase sebesar 53%, sedangkan dari perusahaan sebesar 47%. Suplier memperoleh bahan baku segar tersebut lebih banyak dari nelayan yang menggunakan armada 10 GT dengan persentase sebesar 42%, armada 31-100 GT 23%, armada 11-30 GT sebesar 19% dan armada 100 GT sebesar 5%. Biasanya masyarakat membeli ikan dari pengecer dalam bentuk segar seperti ikan tongkol dan cakalang. Untuk ikan tuna dari hasil tangkapan nelayan biasanya dijual ke perusahaan untuk diolah atau langsung diekspor ke luar negeri. Ikan tuna yang dikonsumsi oleh rumah tangga biasanya berukuran kecil (baby tuna) atau dalam bentuk tetelan (biasanya untuk dijadikan bakso, abon atau nuget). Sebagai salah satu kota yang ada di Provinsi Maluku tidak mengherankan jika Ambon merupakan salah satu kota yang memberikan sumbangan cukup besar untuk angka konsumsi ikan di Provinsi Maluku. Angka konsumsi ikan secara nasional pada tahun 2012 sebesar 38,89 kg/kapita/tahun, Sedangkan angka konsumsi ikan di Provinsi Maluku pada tahun 2012 lebih tinggi 93
dibandingkan angka konsumsi ikan nasional yang mencapai 49,55 kg/kapita/tahun.
Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi ikan di Provinsi Maluku (termasuk Kota Ambon) sudah cukup baik seiring dengan semakin meningkatnya produksi perikanan (khususnya perikanan tangkap) (Ditjen P2HP, 2013).` 4.4.1.2.
Bitung Bitung merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara. Kota Bitung
memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, khususnya perikanan tangkap. Seperti halnya dengan Kota Ambon komoditas tuna juga merupakan komoditas unggulan di Kota Bitung. Kota Bitung merupakan sentra produksi perikanan tuna di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan persentase jumlah kapal handline mencapai 60%. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar rumah tangga banyak mengkonsumsi ikan tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa konsumen tuna di Bitung didominasi oleh rumah tangga dengan persentase sebesar 95% dan restoran dengan persentase sebesar 5%. Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh ketersediaan ikan tuna dan selera makan ikan. Konsumsi rumah tangga untuk tuna yang paling mendominasi dalam bentuk segar dengan persentase sebesar 53%, untuk ikan olahan seperti ikan asap dengan persentase sebesar 34%, kaleng (8%), abon dan bakso (masing-masing 1%) serta dendeng dan nuget (masing-masing 1%). Konsumsi rumah tangga untuk tuna dalam bentuk segar diperoleh dari suplier yaitu pengecer dan perusahaan, dimana pengecer memiliki persentase yang lebih besar yaitu sebesar 53% dan perusahaan dengan persentase sebesar 47%. Dalam memperoleh bahan baku (ikan segar) tersebut, suplier mendapatkannya dari nelayan yang menggunakan armada 10 GT dengan persentase sebesar 42%, armada 31-100 GT (23%) dan armada 11-30 GT (19%). Sehingga sebagai salah satu kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara tidak mengherankan jika Bitung merupakan kota yang memberikan sumbangan cukup besar untuk angka konsumsi ikan di Provinsi Sulawesi Utara. Angka konsumsi ikan secara nasional pada tahun 2012 sebesar 38,89 kg/kapita/tahun, Sedangkan angka konsumsi ikan di Provinsi Maluku pada tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan angka konsumsi ikan nasional yang mencapai 43,87 kg/kapita/tahun.
Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi ikan di Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Kota Bitung) sudah cukup baik seiring denga semakin meningkatnya produksi perikanan (khususnya perikanan tangkap) (Ditjen P2HP, 2013).
94
4.4.2. Konsumen Pada hierarki kedua dari model Bayesian untuk pasar domestik adalah terdapat dua jenis konsumen baik di Kota Bitung maupun Kota Ambon yaitu restoran dan rumah tangga. 4.4.2.1. Restoran Pada pasar Ambon persentase untuk restoran 0% sedangkan untuk pasar Bitung persentase untuk konsumen restoran sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa serapan konsumsi tuna dari konsumen yang berasal dari restoran masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan konsumen rumah tangga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, restoran-restoran di lokasi Ambon dan Bitung lebih banyak menyajikan jenis ikan kerapu, bawal, baronang, kakap, kuwe dan lain sebagainya. 4.4.2.2. Rumah Tangga Konsumen rumah tangga baik di pasar domestik Ambon dan Bitung sangat mendominasi untuk konsumsi tuna yaitu masing-masing dengan persentase sebesar 100% dan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa akses konsumen rumah tangga untuk mengkonsumsi ikan tuna sangat mudah karena dekat dengan daerah produksi. Biasanya konsumen rumah tangga lebih banyak mengkonsumsi jenis ikan tongkol, cakalang dan tuna yang berukuran kecil karena harganya lebih terjangkau.
4.4.3. Komoditas 4.4.3.1. Kaleng Komoditas kaleng baik di pasar Ambon maupun Bitung menunjukkan persentase yang sama yaitu sebesar 8%. Ikan kaleng yang biasanya dikonsumsi oleh rumah tangga dikedua pasar tersebut lebih banyak untuk jenis ikan cakalang dibandingkan ikan tuna. Biasanya ikan kaleng ini lebih banyak digunakan sebagai campuran untuk pembuatan nasi goreng. 4.4.3.2. Abon Komoditas untuk ikan olahan dalam bentuk abon baik di pasar Ambon maupun Bitung memiliki persentase yang sama terhadap tingkat konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 2%. Pembuatan abon ini biasanya lebih banyak menggunakan ikan jenis tongkol dan cakalang. Sedangkan untuk pembuatan abon dari ikan tuna biasanya bahan bakunya berasal dari perusahaan yang merupakan sisa dari pemotongan untuk pasar ekspor yang biasa disebut “tetelan”. Kualitas ikan tuna yang disebut “tetelan” ini sama dengan tuna yang di ekspor keluar negeri.
95
4.4.3.3.
Bakso Komoditas untuk ikan olahan dalam bentuk bakso baik di pasar Ambon dan Bitung memiliki
persentase yang sama terhadap tingkat konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 2%. Pembuatan bakso ikan ini lebih banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari ikan jenis tongkol dan cakalang. 4.4.3.4.
Dendeng Komoditas untuk ikan olahan dalam bentuk dendeng baik di pasar Ambon dan Bitung
memiliki persentase yang sama terhadap tingkat konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 1%. Persentase ini sangat rendah dibandingkan dengan jenis komoditas olahan lain yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembuatan dendeng ikan ini lebih banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari ikan jenis tongkol dan cakalang. 4.4.3.5.
Segar Untuk komoditas ikan segar yang dikonsumsi oleh rumah tangga baik di pasar Ambon
maupun Bitung memiliki persentase yang cukup besar dibandingkan dengan komoditas lain yang ada di hierarki kedua dalam model Bayesian pasar domestik, yaitu 50% untuk pasar Ambon dan 53% untuk pasar Bitung. Berdasarkan hasil di lapangan, konsumen dalam hal ini rumah tangga lebih senang mengkonsumsi ikan dalam bentuk segar karena rasanya lebih enak. Selain karena rasanya, ikan segar memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan olahan. 4.4.3.6.
Asap Komoditas untuk ikan olahan dalam bentuk ikan asap baik di pasar Ambon dan Bitung
terhadap tingkat konsumsi rumah tangga memiliki persentase sebesar 36% (pasar Ambon) dan 34% (pasar Bitung). 4.4.4. Bahan Baku 4.4.4.1.
Segar Bahan baku ikan yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga baik di Pasar Ambon
maupun Bitung didominasi oleh ikan segar yang memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 89%. Konsumsi ikan tuna dalam bentuk segar diperoleh rumah tangga dari pengecer. Dimana pengecer lebih banyak membeli dari nelayan yang menggunakan armada 10 GT.
96
4.4.4.2.
Tetelan
Bahan baku ikan dalam bentuk tetelan yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga baik di Pasar Ambon maupun Bitung memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 6%. Bahan baku tetelan ini diperoleh rumah tangga dari perusahaan yang merupakan sisa dari pemotongan untuk pasar ekspor. 4.4.4.3.
Dada Tuna Bahan baku ikan dalam bentuk dada tuna yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga
baik di Pasar Ambon maupun Bitung memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 5%. Konsumsi ikan tuna dalam bentuk dada tuna diperoleh rumah tangga dari suplier.
Dimana suplier
memperoleh bahan bakunya dari nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan armada 10 GT.
97
4.5.
Aspek Sosial Ekonomi Perikanan Tuna untuk Pasar Domestik
4.5.1. Pasar Domestik 4.5.1.1.
Ambon Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi permintaan tuna di pasar domestik Ambon
adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan masyarakat di kota Ambon. Aspek yang paling berpengaruh terhadap permintaan tuna di pasar Ambon adalah jumlah pendapatan yaitu sebesar 29%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi jumlah pendapatan maka akan semakin mudah rumah tangga untuk memenuhi tingkat konsumsi terhadap ikan (dalam hal ini ikan tuna, tongkol, cakalang). Sedangkan selera makan ikan dan ketersediaan ikan memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 25%. Selera makan ikan juga memiliki pengaruh terhadap tingkat konsumsi ikan, karena Kota Ambon merupakan kota yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar sehingga tidak mengherankan apabila selera masyarakat terhadap tingkat konsumsi ikan sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan permintaan terhadap ikan segar sangat tinggi. Selain itu juga ketersediaan ikan di Kota Ambon selalu mencukupi kebutuhan masyarakat kota tersebut. Selain memenuhi kebutuhan dalam kota, pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan di kota Ambon juga sampai keluar kota dan pulau.
Persentase aspek sosial ekonomi yang mempegaruhi
permintaan tuna (dalam hal ini tuna) seperti terlihat pada Gambar 52. Selera makan ikan 25%
Ketersediaan ikan 25%
Gambar 52.
Pendapatan 28%
Harga ikan 23%
Persentase Aspek Sosial Ekonomi Permintaan Tuna di Pasar DomestikKota Ambon
98
4.5.1.2.
Bitung Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi permintaan tuna di pasar domestik Bitung adalah
jumlah penduduk, pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan masyarakat di kota Ambon. Aspek yang paling berpengaruh terhadap permintaan tuna di pasar Bitung adalah jumlah pendapatan yaitu sebesar 21%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi jumlah pendapatan maka akan semakin mudah rumah tangga untuk memenuhi tingkat konsumsi terhadap ikan (dalam hal ini ikan tuna, tongkol, cakalang). Sedangkan selera makan ikan dan ketersediaan ikan memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 21%. Selera makan ikan juga memiliki pengaruh terhadap tingkat konsumsi ikan, karena Kota Bitung merupakan kota yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar sehingga tidak mengherankan apabila selera masyarakat terhadap tingkat konsumsi ikan sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan permintaan terhadap ikan segar sangat tinggi. Selain itu juga ketersediaan ikan di Kota Bitung selalu mencukupi kebutuhan masyarakat kota tersebut. Selain memenuhi kebutuhan dalam kota, pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan di kota Bitung juga sampai keluar kota dan pulau. Faktor yang juga sangat berpengaruh adalah jumlah penduduk dan harga ikan, karena dengan semakin terjangkaunya harga ikan oleh masyarakat, makan tingkat konsumsi terhadap ikan juga akan meningkat. Persentase aspek sosial ekonomi yang mempegaruhi permintaan tuna (dalam hal ini TCT) seperti terlihat pada Gambar 53.
Jumlah Penduduk 18%
Pendapatan 22%
Selera makan ikan 21%
Harga ikan 18% Ketersediaan ikan 21%
Gambar 53.
Persentase Aspek Sosial Ekonomi Permintaan Tuna di Pasar Domestik Kota Bitung
99
4.5.2. Konsumen Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat konsumen adalah jenis produk dan harga ikan. Persentase untuk harga ikan sebesar 52% dan jenis produk sebesar 48%. Harga ikan yang terjangkau oleh masyarakat akan menyebabkan permintaan terhadap konsumsi ikan meningkat. Selain itu pemilihan jenis produk juga perlu diperhatikan, hal ini untuk mengetahui konsumen mana yang akan dibidik apakah rumah tangga atau perusahaan. Jika rumah tangga perlu juga memperhatikan untuk rumah tangga kelas atas, menengah atau bawah. 4.5.3. Komoditas Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terhadap komoditas ikan adalah harga, modal, akses pasar dan teknologi produksi. Faktor yang paling berpengaruh dari keempat faktor tersebut adalah harga dengan persentase sebesar 32%. Hal ini menunjukan bahwa jika harga terhadap suatu komoditas masih terjangkau oleh masyarakat, otomatis permintaan terhadap komoditas tersebut akan meningkat. Peningkatan terhadap komoditas juga perlu diperhatikan, misalnya untuk komoditas olahan (ikan asap, abon, nuget, kaleng dan dendeng). 4.5.4. Bahan Baku Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap bahan baku adalah harga, ketersediaan ikan dan jarak tempuh dengan masing-masing persentase sebesar 37%, 33% dan 30%. Faktor harga sangat menetukan jenis bahan baku yang digunakan apakah bentuk segar, tetelan atau bentuk lainnya. Sedangkan ketersediaan ikan juga akan menentukan kontinuitas bahan baku yang akan digunakan baik oleh perusahaan, restoran maupun rumah tangga. Selain itu, jarak tempuh juga menentukan kualitas bahan baku yang digunakan. Untuk kegiatan perikanan semakin dekat jarak tempuh antara tempat produksi dan pemasaran makan kualitasnya akan semakin baik. 4.5.5. Suplier Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap suplier adalah akses pasar dan ketersediaan bahan baku, dimana persentase untuk masing-masing faktor tersebut sebesar 33% dan 37%. Ketersediaan bahan baku dan akses pasar akan menetukan keberlangsungan usaha dari suplier (dalam hal ini penngecer dan perusahaan). Akses pasar yang masih terbuka lebar dapat dimanfaatkan oleh suplier untuk meingkatkan nilai produksi penjualannya. 4.5.6. Armada Penangkapan Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap armada penangkapan adalah keterseidaan modal, kemampuan sumberdaya dalam memanfaatkan armada tersebut, jangkauan daerah penangkapan dan kapasitas produksi. Modal memiliki persentase yang paling besar yaitu 32%, hal ini dikarenakan jika modal tidak tersedia maka akan menghambat dalam kegiatan penangkapan.
100
Kemampuan sumberdaya dan jangkauan daerah penangkapan memiliki persentase sebesar 29%. Hal ini dikarenakan semakin besar ukuran kapal penangkapan akan membutuhkan sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengendalikan armada tersebut. 4.6.
Strategi Penetrasi Pasar Domestik Berdasarkan Aspek Sosial Ekonomi yang Berpengaruh dengan Model Pendekatan Bayesian
4.6.1. Pasar Ambon Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa untuk meningkatkan pangsa pasar di pasar domestik Ambon adalah konsumennya dari rumah tangga dengan komoditas dan bahan baku dalam bentuk segar yang berasal dari suplier yaitu pengecer, dimana pengecer memperoleh dari nelayan yang menggunakan armada penangkapan 10 GT seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar..Strategi Penetrasi Pasar Ambon dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Jika dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi, maka faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pasar domestik adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jumlah pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya pengeluaran untuk pembelian ikan.
Ikan akan dibeli oleh rumah tangga apabila harganya terjangkau dan
ketersediaannya selalu kontinu.
Selera makan ikan sangat mempengaruhi rumah tangga dalam
mengkonsumsi ikan, apakah ikan yang dibeli dalam bentuk segar maupun olahan (asap, bakso, abon, nugget, dendeng, dan kaleng). Sehingga strategi penetrasi pasar domestik yang perlu diperhatikan di Kota Ambon adalah bagaimana menjaga agar harga ikan stabil dan peningkatan terhadap ketersediaan
101
ikan, sehingga masyarakat tidak kekurangan. Jika hal ini terus terpenuhi maka akan meningkatkan tingkat konsumsi ikan di Kota Ambon. 4.6.2. Pasar Bitung Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa untuk meningkatkan pangsa pasar di pasar domestik Bitung konsumennya dari rumah tangga dengan komoditas dan bahan baku dalam bentuk segar. Konsumen rumah tangga mendapatkan komoditas dan bahan baku tersebut dari pengecer, dimana pengecer membeli dari nelayan yang menggunakan armada penangkapan 10 GT seperti pada gambar berikut.
Gambar..Strategi Penetrasi Pasar Ambon dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Jika dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi, maka faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pasar domestik adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan, jumlah penduduk dan selera makan ikan. Kelima faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jika harga ikan yang di pasaran terjangkau, maka dengan pendapatan yang dimiliki konsumen rumah tangga akan membeli ikan tersebut untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Selera makan ikan sangat mempengaruhi rumah tangga dalam mengkonsumsi ikan, apakah ikan yang dikonsumsi tersebut dalam bentuk segar maupun olahan.
Oleh karena itu, strategi penetrasi pasar yang perlu diperhatikan pada pasar Bitung adalah
bagaimana meningkatkan kepekaan terhadap dinamika selera (preferensi) konsumen. Hal ini sangat diperlukan, karena preferensi/selera konsumen sangat mempengaruhi tingkat konsumsi ikan di wilayah tersebut.
102
Tabel . Strategi Penetrasi Pasar Ambon dan Domestik No.
Aspek Teknis
Strategi Sosialisasi secara intensif dan kontinu terkait kampanya makan ikan melalui program safari gemarikan dan bazar produk
1.
Pasar Domestik
perikanan serta lomba masak menggunakan bahan dasar ikan. Kampanye dan bazar merupakan sarana yang efektif untuk memperluas serapan pasar domestik untuk mempromosikan produk-produk perikanan. Meningkatkan kepekaan terhadap dinamika selera (preferensi)
2.
Konsumen
konsumen sehingga tingkat konsumsi konsumen terhadap tuna semakin meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan. Peningkatan terhadap kualitas bahan baku dan komoditas yang
3.
Komoditas, bahan baku, suplier, jenis armada
digunakan melalui pelatihan terkait handling ikan di atas kapal, serta sosialisasi terkait penggunaan alat tangkap agar sumberdaya
tuna
tetap
terjaga
ketersediaan
dan
kelestariannya. Sumber : Data Primer (2014)
103
Tabel.. Sintesa Kondisi dan Strategi Penetrasi Pasar Domestik dengan Menggunakan Pendekatan Bayesian Berdasarkan Aspek Teknis dan Aspek Sosial Ekonomi Hierarki
Aspek Teknis
Ambon
Pasar
Bitung
Pasar domestik konsumsi tuna adalah kota Ambon dan Bitung, dengan probabilitas masing-masing sebesar 60% dan 40%. Kota Ambon memiliki probabilitas lebih besar karena tingkat konsumsi masyarakat ambon terhadap komoditas tuna cukup besar, hal ini juga didukung oleh kondisi sumberdaya yang dimiliki sehingga masyarakat dapat dengan mudah untuk mendapatkan komoditas tersebut.
Aspek Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi permintaan tuna di pasar domestik Ambon adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan masyarakat di kota Ambon. Aspek yang paling berpengaruh terhadap permintaan tuna di pasar Ambon adalah jumlah pendapatan yaitu sebesar 29%. Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi permintaan tuna di pasar domestik Bitung adalah jumlah penduduk, pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan masyarakat di kota Ambon. Aspek yang paling berpengaruh terhadap permintaan tuna di pasar Bitung adalah jumlah pendapatan yaitu sebesar 21%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi jumlah pendapatan maka akan semakin mudah rumah tangga untuk memenuhi tingkat konsumsi terhadap ikan (dalam hal ini ikan tuna, tongkol, cakalang). Sedangkan selera makan ikan dan ketersediaan ikan memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 21%.
Strategi
Sosialisasi secara intensif dan kontinu terkait kampanya makan ikan melalui program safari gemarikan dan bazar produk perikanan serta lomba masak menggunakan bahan dasar ikan. Kampanye dan bazar merupakan sarana yang efektif untuk memperluas serapan pasar domestik untuk mempromosikan produk-produk perikanan.
104
Hierarki
Restoran Konsumen Rumah Tangga
Segar Komoditas
Asap
Bahan Baku
Segar
Aspek Teknis
Aspek Sosial Ekonomi
Strategi
bahwa konsumen yang paling dominan adalah rumah tangga dengan probabilitas sebesar 98% dan restoran sebesar 2%. Hal ini dikarenakan rumah tangga memiliki akses yang mudah dalam mendapatkan komoditas tersebut.
Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat konsumen adalah jenis produk dan harga ikan. Persentase untuk harga ikan sebesar 52% dan jenis produk sebesar 48%. Harga ikan yang terjangkau oleh masyarakat akan menyebabkan permintaan terhadap konsumsi ikan meningkat.
Meningkatkan kepekaan terhadap dinamika selera (preferensi) konsumen sehingga tingkat konsumsi konsumen terhadap tuna semakin meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan.
komoditas yang paling banyak di konsumsi oleh rumah tangga adalah dalam bentuk segar dengan probabilitas sebesar 51%, sedangkan komoditas olahan yang paling besar probobilitasnya adalah asap sebesar 35%. Untuk komoditas olahan lain probabilitasnya sangat kecil yaitu kaleng (8%), abon (2%), bakso (2%), dendeng (1%) dan nuget (1%). Komoditas olahan tersebut, pemasarannya lebih banyak untk di luar Kota Ambon seperti Makasar, Surabaya dan lain sebagainya.
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terhadap komoditas ikan adalah harga, modal, akses pasar dan teknologi produksi. Faktor yang paling berpengaruh dari keempat faktor tersebut adalah harga dengan persentase sebesar 32%. Hal ini menunjukan bahwa jika harga terhadap suatu komoditas masih terjangkau oleh masyarakat, otomatis permintaan terhadap komoditas tersebut akan meningkat.
Bahan baku probabilitas yang paling besar adalah dalam bentuk segar (89%), tetelan (6%) dan dada tuna (5%).
Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap bahan baku adalah harga, ketersediaan ikan dan jarak tempuh dengan masing-masing persentase
Peningkatan terhadap kualitas bahan baku dan komoditas yang digunakan melalui pelatihan terkait handling ikan di atas kapal, serta sosialisasi terkait penggunaan alat tangkap agar sumberdaya tuna tetap terjaga ketersediaan dan kelestariannya.
105
Hierarki
Aspek Teknis
Tetelan
Dada Tuna
Pengecer
Suplier Perusahaan
Jenis Armada
Motor Tempel
Bahan baku tersebut diperolah dari suplier dengan probabilitas paling besar dari pengecer (53%) dan perusahaan (47%).
Bahan baku tersebut diperoleh dari pengecer dalam hal ini nelayan yang
Aspek Sosial Ekonomi
Strategi
sebesar 37%, 33% dan 30%. Faktor harga sangat menetukan jenis bahan baku yang digunakan apakah bentuk segar, tetelan atau bentuk lainnya. Sedangkan ketersediaan ikan juga akan menentukan kontinuitas bahan baku yang akan digunakan baik oleh perusahaan, restoran maupun rumah tangga. Selain itu, jarak tempuh juga menentukan kualitas bahan baku yang digunakan. Untuk kegiatan perikanan semakin dekat jarak tempuh antara tempat produksi dan pemasaran makan kualitasnya akan semakin baik. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap suplier adalah akses pasar dan ketersediaan bahan baku, dimana persentase untuk masing-masing faktor tersebut sebesar 33% dan 37%. Ketersediaan bahan baku dan akses pasar akan menetukan keberlangsungan usaha dari suplier (dalam hal ini penngecer dan perusahaan). Akses pasar yang masih terbuka lebar dapat dimanfaatkan oleh suplier untuk meingkatkan nilai produksi penjualannya. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap armada penangkapan adalah
106
Hierarki Armada 10 GT Armada 11-30 GT Armada 31-100 GT
Armada > 100 GT
Aspek Teknis
Aspek Sosial Ekonomi
menggunakan jenis armada yang paling tinggi dengan probabilitas 42% yaitu armada 10 GT. Untuk armada 31-100 GT (23%), armada 11-30 GT (19%), armada motor tempel (12%) dan armada > 100 GT (5%).
keterseidaan modal, kemampuan sumberdaya dalam memanfaatkan armada tersebut, jangkauan daerah penangkapan dan kapasitas produksi. Modal memiliki persentase yang paling besar yaitu 32%, hal ini dikarenakan jika modal tidak tersedia maka akan menghambat dalam kegiatan penangkapan. Kemampuan sumberdaya dan jangkauan daerah penangkapan memiliki persentase sebesar 29%. Hal ini dikarenakan semakin besar ukuran kapal penangkapan akan membutuhkan sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengendalikan armada tersebut.
Strategi
Sumber : Data Primer (2014)
107
V. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KP 5.1.
Kebijakan Nasional Industrialisasi Kelautan dan Perikanan merupakan suatu konsep yang diusung oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional khususnya pembangunan Kelautan dan Perikanan. Kebijakan ini menitikberatkan sistem produksi dari hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan dengan mendorong peningkatan kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Peningkatan kontribusi sektor kelautan dan perikanan tersebut secara langsung menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ekspor perikanan Indonesia, peningkatan tingkat konsumsi ikan dalam negeri dan berkurangnya jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan. Dukungan penelitian ini terhadap kebijakan industrialisasi dengan melakukan penelusuran pada aspek teknis dan mengetahui dengan jelas aspek sosial ekonomi yang mempengaruh iaspek teknis tersebut maka kinerja komoditas tuna Indonesia dapat ditingkatkan baik di pasar ekpor maupun pasar domestik. 5.2.
Kebijakan Pada Tingkat Regional/daerah Dukungan daerah terhadap kebijakan industrialisasi sangat penting melalui berbagai program
peningkatan kapasitas dan kualitas produksi perikanan tangkap khususnya melalui program pelatihan kepada nelayan terkait dengan penanganan ikan di atas kapal, peningkatan pelayanan terpadu , perbaikan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan. Dengan program-program tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan hasil produksi perikanan tangkap khususnya tuna sehingga memberikan kontribusi peningkatan indikator kinerja sektor Kelautan dan Perikanan.
108
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
6.1.
Kesimpulan Hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian menunjukkan bahwa pasar tuna
Indonesia dominan ke pasar Jepang sebesar 54%, diikuti pasar USA 24% dan pasar UE 23%.Dari sisi komoditas yang dominan diperdagangkan adalah Canned Tuna(54%,) yang diikuti Fresh Tuna(26%) dan (24%). Daerah ekspor utama tuna Indonesia berasal dari Jakarta yaitu sebesar 49%, diikuti Surabaya 36% dan Bitung 15%. . Daerah asal utama untuk tiga daerah ekspor Jakarta, Surabaya dan Bitung berasal dari enam daerah dengan probabilitas Jakarta (14%), Sukabumi (21%), Jawa Timur (4%), Bitung (19%), Maluku (14%) dan Bali (26%).Armada penangkapan yang dominan adalah armada motor tempel (22%), armada ≤10 GT (30%), armada 11-30 GT (12%), armada 31-100 GT (18%) dan armada ≥100 GT (8%). Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk armada penangkapan tuna orientasi pasar ekspor didominasi oleh kapal dengan ukuran kurang dari 10 GT. Alat tangkap yang dominan adalah handline (31% ). Purse seine (28%), kemudian diikuti longline (26%). Kondisi tenaga kerja perikanan tuna Indonesia sebagian besar belum tersertifikasi (80%), biasanya hanya juru mudi dan juru mesin yang diwajibkan memiliki sertifikasi tertentu. Pada pasar Jepang aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah preferensi konsumen di Jepang yaitu sebesar 20% dan permintaan tuna di Jepang yang tinggi yaitu sebesar 19%. Konsumen Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tinggi, disamping itu mereka lebih menyukai ikan tuna dalam bentuk segar, untuk pasar USA dan Uni Eropa lebih banyak mengekspor Canned tuna dari Indonesia.Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh lainya adalah negara pesaing Indonesia di pasar Jepang sebesar 17% , hal ini terkait dengan negara pesaing utama Indonesia yaitu Vietnam dan Thailand. Kemudian dari sisi harga tuna di Jepang juga mempengaruhi sebesar 11%. Hambatan tariff dan hambatan non tariff memiliki pengaruh sebesar 11%. Ekspor tuna dengan negara tujuan USA aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh adalah preferensi konsumen di USA yaitu sebesar 19%. Hambatan tariff dan hambatan non tariff sebesar masing-masing sebesar 18%. Standar dari FDA yang cukup ketat dalam penentuan produk makanan yang diekspor ke USA menyebabkan hambatan non tariff. Harga tuna di USA yang relatif tinggi juga berpengaruh sebesar 17%, hal ini cukup menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Meskipun hambatan non tariff yang diberlakukan cukup rumit namun dengan harga tuna yang relatif lebih tinggi maka menjadi faktor penarik bagi pengusaha. Negara pesaing utama Indonesia di USA adalah produk ikan kaleng yang berasal dari Thailand dan Vietnam namun berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha
109
dapat diketahui bahwa dari sisi kualitas produk tuna Indonesia mampu bersaing dan bahkan dianggap lebih baik dari sisi citarasa dan kualitasnya dibandingkan tuna dari negara lainya. Pada pasar Uni Eropa aspek sosial ekonomi yang paling berpengaruh dalam penentuan ekspor tuna adalah Hambatan non tariff yaitu biasanya berupa kebijakan Pemerintah Uni Eropa terkait dengan produk Tuna Indonesia yaitu sebesar 22%.Hambatan tarif menjadi pertimbangan tersendiri bagi eksportir dengan tujuan Uni Eropa. Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh lainya adalah permintaan ekspor dan negara pesaing Indonesia di pasar Uni Eropa masing-masing sebesar 18%. Uni Eropa yang terdiri dari banyak negara menjadi pangsa pasar yang strategis bagi produk tuna Indonesia, hal ini juga diimbangi dengan harga tuna yang relatif cukup tinggi pada pasar yang dimaksud. Strategi penetrasi pasar ekspor di ketiga pasar ekspor tujuan utama komoditas tuna Indonesia dapat lebih efektif apabila memperhatikan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada setiap hirarki aspek teknis yang ada. Sehingga strategi yang dapat diterapkan adalah peningkatan produksi dan kualitas bahan baku tuna fresh untuk memenuhi permintaan konsumen yang tinggi terhadap komoditas tuna fresh, penanganan kasus IUU untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tuna. Peningkatan infrastruktur penunjang ekspor, peningkatan kualitas pelayanan terhadap ekspor hasil perikanan terutama di bandara Soekarno Hatta, membentuk “sistem perijinan satu pintu”. Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga tepat sasaran, peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan, Peningkatan kapasitas produksi melalui pelatihan kemampuan nelayan, sosialisasi secara intensif mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah sukabumi dan bali sebagai supplier utama. Karakteristik pemasaran yang mirip antara Negara USA dan Uni Eropa menyebabkan strategi penetrasi pasar yang diterapkan untuk kedua pasar ini adalah dengan berfokus pada komoditas tuna kaleng sesuai preferensi konsumen. Setelah dihubungkan dengan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh maka strategi yang dijalankan adalah dukungan terhadap penciptaan iklim investasi bagi industri pengalengan ikan dengan kemudahan perijinan bantuan advokasi terhadap kasus tolakan ekspor, sosialisasi regulasi, Peningkatan infrastruktur sarana prasarana pelabuhan laut dan bongkaran cargo serta pembentukan sistem penjadwalan eskpor barang yang mudah diakses oleh eksportir. Pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi sehingga tepat sasaran, peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan, Peningkatan kapasitas produksi dapat dilakukan melalui pelatihan kemampuan nelayan, sosialisasi secara intensif mengenai penanganan ikan di atas kapal khususnya untuk daerah Bitung, Bali sebagai supplier utama, menekan IUU Fishing untuk menjaga stabilitas ketersediaan bahan baku, mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional Kondisi dan kinerja tuna domestik dianalisis berdasarkan pasar tuna utama yakni daerah Bitung dan Ambon. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Bayesian diketahui bahwa 110
untuk pasar domestik Ambon didominasi oleh konsumen rumah tangga (100%) dan dalam bentuk segar (50%) dan olahan asap (36%). Konsumen rumah tangga mendapatkan bahan baku ikan segar dari pengecer (53%), dimana pengecer lebih banyak membeli dari nelayan yang menggunakan armada penangkapan 10 GT (42%).Sedangkan untuk pasar domestik Bitung konsumennya lebih didominasi dari rumah tangga (95%), sedangkan konsumen dari restoran sangat kecil (5%). Konsumen rumah tangga ini lebih banyak mengkonsumsi komoditas tuna dalam bentuk segar (53%) dan olahan asap (34%). Bahan baku ikan olahan asap lebih banyak dari ikan segar seperti ikan cakalang. Konsumen rumah tangga mendapatkan bahan baku ikan segar dari pengecer (53%), dimana pengecer lebih banyak membeli dari nelayan yang menggunakan armada penangkapan 10 GT (42%). .Aspek sosial ekonomi yang berpengaruh pada pasar tuna domestik untuk Kota Ambon adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan dan selera makan ikan. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jumlah pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya pengeluaran untuk pembelian ikan. Ikan akan dibeli oleh rumah tangga apabila harganya terjangkau dan ketersedianannya selalu kontinu. Selera makan ikan sangat mempengaruhi rumah tangga dalam mengkonsumsi ikan, apakah ikan yang dibeli dalam bentuk segar maupun olahan (asap, bakso, abon, nugget, dendeng, dan kaleng). Pada pasar domestik Bitung aspek sosial ekonomi, maka faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pasar domestik adalah pendapatan, harga ikan, ketersediaan ikan, jumlah penduduk dan selera makan ikan. Kelima faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jika harga ikan yang di pasaran terjangkau, maka dengan pendapatan yang dimiliki konsumen rumah tangga akan membeli ikan tersebut untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Strategi penetrasi pasar domestik yang perlu diperhatikan di Kota Ambon dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi yang berpengaruh adalah bagaimana menjaga agar harga ikan stabil dan peningkatan terhadap ketersediaan ikan, sehingga masyarakat tidak kekurangan. Jika hal ini terus terpenuhi maka akan meningkatkan tingkat konsumsi ikan di Kota Ambon. Sedangkan untuk strategi penetrasi Bitung adalah bagaimana meningkatkan kepekaan terhadap dinamika selera (preferensi) konsumen. Hal ini sangat diperlukan, karena preferensi/selera konsumen sangat mempengaruhi tingkat konsumsi ikan di wilayah tersebut. 6.2.
Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah strategi penetrasi pasar tuna
untuk ekspor yang spesifik berdasarkan pasar tujuan. Secara umum kendala yang dihadapi adalah ketersediaan bahan baku dan hambatan non tariff dan tariff. Oleh karena itu strategi penetrasi ekspor 111
tuna Indonesia diarahkan ke penanggulangan kasus IUU Fishing yang melibatkan Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, TNI AL dan Polair. Selain itu juga meningkatkan ketersediaan bahan baku tuna dan juga peningkatan kemampuan handling tuna hasil tangkapan yang mempengaruhi kualitas tuna yang dihasilkan bekerjasama dengan Ditjen P2HP dan BKIPM. Selain itu juga diperlukan iklim investasi yang mendukung juga menjadi hal yang penting dalam meningkatkan kinerja ekspor tuna Indonesia. Iklim investasi ini bisa ditunjang dengan mekanisme perizinan satu pintu dan juga kemudahan-kemudahan bagi eksportir dalam mengurus dokumen ekspor, hal ini melibatkan stakeholders kepabeanan, bea cukai, BKIPM, kementrian perdagangan, kementrian koordinator perekonomian BKPM dan Pemerintah Daerah terkait Untuk pasar tuna domestik, penetrasi pasar tuna dapat dilakukan dengan mendistribusikan hasil sampingan ikan tuna olahan orientasi ekspor seperti dada tuna dan tetelan tuna untuk digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan yang bernilai jual tinggi dan kaya gizi yang melibatkan Direktorat Pemasaran Dalam Negeri dan Direktorat Pengolahan Hasil, Ditjen P2HP serta Kementerian Perhubungan terkait dengan perbaikan infrastruktur penunjang transportasi antar pulau untuk distribusi ikan tuna ke seluruh Indonesia.
112
DAFTAR PUSTAKA Anders SM and S Westra. 2011. A Review of FDA Imports Refusals - US Seafood Trade 2000-2010. Selected Paper prepared for presentation at the Agricultural & Applied Economics Association’s 2011 AAEA & NAREA Joint Annual Meeting, Pittsburgh, Pennsylvania, July 24-26, 2011. Koehendrajana, S., R. Yusuf, Tajerin, F.Y. Arthatiani, H.M. Putri, B.I. Vita dan Muhibuddin. 2013. Laporan Teknis Kajian Antisipasi Isu-Isu Perdagangan Internasional untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan. BBPSEKP. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Tidak Dipublikasikan. Boediono.1990. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE, Yogyakarta Collette B. 1994. FAO Species Catalogue Vol.2 Scombrids Of The World. Rome: Food and Agriculture Organizationof The United Nations. Dahuri R. 2008. Restrukturisasi Manajemen Perikanan Tuna. Jakarta: Samudra Komunikasi Utama. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. 2013. Statistik Perikanan Tangkap 2013. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Ditjen P2HP. 2013. Analisis dan Data Pokok Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Tahun 2012. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. FISHSTAT. 2014. FAO_FI_GLOBALS_2014.0.0.fws. Food and Agriculture Organization Gonarsah, Isang. 1987. Landasan Peragangan Internasional. Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. http://perikananindonesia.com/alat-tangkap-pancing-tonda/#ixzz36HBdmcXT. Diakses tanggal 2 Juli 2014. http://www.totalmedan.com/agribisnis/716-indonesia-pengekspor-ikan-tuna-terbesar-di-dunia.html. diakses pada tanggal 2 Juli 2014. http://www.wpi.kkp.go.id/index.php/82-info-aktual/114-pasar-tuna-global-saat-ini-world-tuna-tradeconference-21-23-mei-2014-bangkok-thailand. diakses pada tanggal 10 September 2014. (http://bandara.info/bandara/profil-bandara/profil-bandara-internasional-ngurah-rai-bali.htm). pada tanggal 14 Desember 2014.
diakses
Josupeit H. 2010. World Tuna TradeChallenges and Opportunities (presentation). Seychelle Tuna Conference 4-6 February 2010. Seychelle KKP.2011. Statistik Kelautan dan Perikanan. Pusat Data dan Informasi, KKP, Jakarta Kotler P, Amstrong. 2005. Prinsip-Prinsip Pemasaran. jilid 1. Jakarta : Erlangga. 113
Kotler P, Amstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. jilid 1. Jakarta : Erlangga Lestari, Wiji. 2011. Analisis Dan Strategi Peningkatan Daya Saing Tuna Olahan Indonesia Di Pasar Internasional. Magister Profesional/ Program Studi Industri Kecil Menengah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Ma’arif, Roisul. 2011. Evaluasi Kegiatan Perikanan Pancing Tonda di Pacitan terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan Tuna. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Miyake, M, P Guillotreau, C-H Sun, and G. Ishimura. 2010.Recent developments in the tuna industry: stocks, fisheries, management, processing, trade and markets. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 543. Rome, FAO. 2010. 125p. Mukhtar, A.Pi, M.Si. 2008. KlasifikasiAlatPenangkapanIkan. http://mukhtarapi.blogspot.com/2008/09/klasifikasi-alat-penangkapan-ikan.html. diaksestanggal 2 Juli 2014. Nikijuluw, V. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 September 2001. Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Rahadian, Rani hafsari Dewi, Sonny Koeshendrajana. 2012. Produktifitas Produktifitas Sumberdaya Tangkap Komoditas Tuna Indonesia.Seminar Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, BBPSEKP, Jakarta. Rangkuti, Freddy. 2007. Riset Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Rossi, Peter E. 2002. Bayesian in Statistic and Marketing. Fisher College of Business Ohio State University. Ohio. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: PD Grafika Unit II. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional Jilid 1. Terjemahan Haris Munandar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Samsudin, Sadili, 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka Setia, Bandung Syamsudin, M. 2011. Teorema Bayes. Industrial and Financial Mathematics FMIPA ITB &Financial Modeling, Optimization and Simulation (FinanMOS) ITB. Bandung . Tjiptono, F. 2010. Strategi Pemasaran. Yogyakarta : ANDI Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
114
Winanti, Apsari.2011. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia Di Pasar Internasional. Magister Sains Program Studi Ilmu Ekonomi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
115