Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Kata Pengantar
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang (LSPPU) adalah publikasi bersama antara Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran dan Departemen Pengelolaan Uang, Bank Indonesia. LSPPU ini merupakan laporan tahunan yang mencakup informasi perkembangan kinerja dan kebijakan dibidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang yang ditempuh Bank Indonesia selama tahun 2012 dalam mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat melalui penyediaan alat pembayaran baik tunai maupun non-tunai. Laporan ini terdiri dari dua bagian yaitu Bagian 1 Sistem Pembayaran dan Bagian 2 Pengelolaan Uang. Bagian 1 menginformasikan perkembangan penyelenggaraan dan kinerja sistem pembayaran, kebijakan sistem pembayaran, pengawasan sistem pembayaran, dan arah pengembangan sistem pembayaran. Sedangkan Bagian 2 Pengelolaan Uang memaparkan perkembangan indikator pengelolaan uang, kebijakan pengelolaan uang, kegiatan dan informasi pendukung dalam tugas pengelolaan uang, penilaian kinerja dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dibidang pengelolaan uang, serta arah dan kebijakan pengelolaan uang kedepan. Kinerja dan daya tahan ekonomi yang kuat selama tahun 2012, yang tercermin pada kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan yang kondusif, tidak terlepas dari peran strategis sistem pembayaran dan pengelolaan uang dalam mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat maupun dunia usaha. Dalam kegiatan perekonomian, peran strategis sistem pembayaran dilakukan untuk menjamin kelancaran transaksi pembayaran non-tunai yang dilakukan masyarakat dan dunia usaha, serta untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Sedangkan peran strategis pengelolaan uang tercermin melalui terpenuhinya kebutuhan uang kartal masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar. Kelancaran transaksi pembayaran non-tunai dan terpenuhinya kebutuhan uang kartal masyarakat tersebut dicapai melalui serangkaian kebijakan Bank Indonesia dibidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang dengan memperhatikan berbagai aspek a.l. efisiensi dan kepentingan masyarakat. Diseminasi LSPPU ini dilakukan dalam bentuk cetak dan compact disc serta dapat di akses melalui website Bank Indonesia (www.bi.go.id). Laporan dalam bentuk cetak selama ini hanya distribusikan untuk keperluan intern di Bank Indonesia. Sebagaimana edisi tahun sebelumnya, diseminasi LSPPU 2012 dilakukan secara luas kepada berbagai kalangan seperti pemerintah,akademisi, lembaga penelitian independen, analis dan pakar. Akhirnya kami berharap diseminasi LSPPU ini dapat memberikan informasi yang komprehensif atas perkembangan kinerja sistem pembayaran dan pengelolaan uang selama 2012, serta kebijakan yang dijalankan Bank Indonesia dalam menjaga kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat melalui tersedianya alat pembayaran tunai dan non-tunai.
Jakarta, April 2013 BANK INDONESIA Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran Departemen Pengelolaan Uang
ii
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Isi Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
Daftar Tabel
vi
Daftar Grafik
vi
Daftar Bagan
viii
Ringkasan Eksekutif
ix
Bagian 1 Sistem Pembayaran
1
BAB 1
Sekilas Sistem Pembayaran
3
1.1
Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
4
1.2
Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
6
BAB 2
Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
10
2.1
Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
10
2.2
Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia
15
2.3
Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia
18
BAB 3
Kebijakan Sistem Pembayaran
22
3.1
Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II
22
3.2
Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
22
3.3
Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka Persiapan MEA
23
3.4
Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
24
3.5
Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem Pembayaran Ritel
26
3.6
Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi Interkoneksi Industri Uang Elektronik
27
3.7
Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet
28
3.8
Penguatan Aspek Hukum dalam Sistem Pembayaran
29
3.9
Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN
34
3.10
Peningkatan Efisiensi Dalam Layanan Kepada Kemenkeu
35
Boks 3.1
Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa Timur
37
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
iii
BAB 4. Pengawasan Sistem Pembayaran
40
4.1
Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
40
4.2
Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia
42
BAB 5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
48
5.1
Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II
48
5.2
Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
49
5.3
Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan
50
5.4
Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik
51
5.5
Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN Dalam Rangka MEA 2015
51
5.6
Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA)
54
Artikel 1. Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum Tergarap
59
Artikel 2. Mobile Financial Services dalam rangka Mendukung Financial Inclusion
61
Bagian 2 Pengelolaan Uang
63
BAB 6. Sekilas Pengelolaan Uang
64
6.1.
Isu Strategis dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
64
6.2.
Arah Kebijakan ke Depan
65
BAB 7. Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
67
7.1.
Uang Kartal yang Diedarkan (UYD)
68
7.2.
Perkembangan Aliran Uang Kartal melalui Bank Indonesia
71
7.3.
Perkembangan Posisi Kas Bank Indonesia
74
7.4
Perkembangan Pemusnahan Uang Rupiah
75
7.5.
Perkembangan Temuan Uang Rupiah Palsu
77
BAB 8. Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
79
8.1
Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas
80
8.2
Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya
95
8.3
Pengembangan Layanan Kas Prima
97
8.4
Koordinasi dalam rangka Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
iv
109
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
BOKS 8.1. 3D Generasi Dua (Didapat, Disayang dan Disimpan)
90
BOKS 8.2. Rintisan Edukasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan – Pilot Project Edukasi Kebanksentralan di Kabupaten
Sukabumi dan di Provinsi Jawa Barat
92
BOKS 8.3. Bye-Laws Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB)
99
BOKS 8.4. Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC)
112
BAB 9. Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
115
9.1
Kegiatan Museum Artha Suaka Bank Indonesia
115
9.2
Uang Rupiah yang Sudah Dicabut dan Ditarik dari Peredaran
116
9.3
Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas (BISILK)
117
BAB 10. Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah 119 10.1
Survei Kepuasan Terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar
119
10.2
Survei Kepuasan Perbankan atas Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia
120
BAB 11. Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
123
v
Daftar Tabel Tabel 1.1
Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran 2012
4
Tabel 2.1 Perkembangan Jenis Transaksi melalui Sistem BI RTGS
11
Tabel 2.2 Jumlah Nasabah yang Tercantum dalam DHN dan Perbandingan antara Jumlah Warkat Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong terhadap Total Warkat Penyerahan Bank
13
Tabel 2.3
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia
19
Tabel 7.1 Rata-rata UYD dan Posisi UYD
68
Tabel 7.2. Pangsa UYD di Bank dan Masyarakat
70
Tabel 7.3 Jumlah NetfFow Uang Kartal Berdasarkan Wilayah (Triliun Rp)
74
Tabel 7.4 Pangsa Jumlah Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Wilayah
76
Tabel 7.5 Pangsa Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Denominasi
76
Tabel 7.6 Rasio Pemusnahan Uang Rupiah terhadap Inflow Berdasarkan Denominasi
76
Tabel 9.1 Uang yang di Cabut dan Ditarik dari Peredaran
116
Tabel 10. Atribut Penilaian Survei Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia Tahun 2012
121
Daftar Grafik Grafik 2.1 Perkembangan Transaksi Melalui Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
10
Grafik 2.2 Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS
10
Grafik 2.3 Pangsa Nilai Transaksi Sistem BI-RTGS
11
Grafik 2.4 Pangsa Volume Transaksi Sistem BI-RTGS
11
Grafik 2.5 Perkembangan Transaksi melalui BI-SSSS
12
Grafik 2.6 Perkembangan Transaksi melalui SKNBI
12
Grafik 2.7 Volume Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012
12
Grafik 2.8 Nilai Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2011
12
Grafik 2.9 Perkembangan Infrastruktur Pembayaran Ritel (ATM dan EDC)
15
Grafik 2.10 Perkembangan Jumlah Kartu Kredit Beredar
15
vi
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Grafik 2.11 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu Kredit
15
Grafik 2.12 Perkembangan Jumlah Kartu ATM dan ATM/Debet Beredar
16
Grafik 2.13 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan ATM/debet
16
Grafik 2.14 Perkembangan Jumlah Uang Elektronik
17
Grafik 2.15 Perkembangan Komposisi Jumlah Uang Elektronik
17
Grafik 2.16 Perkembangan Transaksi Menggunakan Uang Elektronik
17
Grafik 2.17 Pangsa Volume Transaksi KUPU
18
Grafik 2.18 Pangsa Nilai Transaksi KUPU
18
Grafik 4.1 Throughput Guideline
41
Grafik 4.2 Turn Over Ratio
41
Grafik 4.3 Proporsi Volume Queue Transaction
42
Grafik 4.4 Proporsi Nominal Queue Transaction
42
Grafik 4.5 Perkembangan Jumlah Kasus Fraud Kartu Kredit
43
Grafik 4.6 Perkembangan Nominal Fraud Kartu Kredit
43
Grafik 7.1 Pertumbuhan UYD, PDB dan Inflasi
68
Grafik 7.2 Pertumbuhan UYD, Konsumsi RT, Rasio UYD terhadap Konsumsi RT
68
Grafik 7.3 Perkembangan Posisi UYD
69
Grafik 7.4 Perkembangan Rata-rata UYD Bulanan
69
Grafik 7.5
70
Perkembangan Pangsa UYD di Perbankan
Grafik 7.6 Pangsa UYD Berdasarkan Nominal
70
Grafik 7.7 Pangsa UYD Berdasarkan Bilyet/Keping
71
Grafik 7.8 Perkembangan Jumlah Outflow
72
Grafik 7.9 Pangsa Outflow Berdasarkan Pecahan
72
Grafik 7.10 Pangsa Outflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
72
Grafik 7.11 Perkembangan Jumlah Inflow
72
Grafik 7.12 Perkembangan Inflow Berdasarkan Pecahan
73
Grafik 7.13 Perkembangan Inflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
73
Grafik 7.14 Perkembangan Jumlah Inflow, Outflow, dan NetFlow
73
Grafik 7.15 Perkembangan Jumlah NetFlow
74
Grafik 7.16 Pangsa Posisi Kas Bank Indonesia Berdasarkan Pecahan
75
Grafik 7.17 Perkembangan Jumlah Bilyet Uang Kertas yang Dimusnahkan
76
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
vii
Daftar Bagan Bagan 3.1 Bagan implementasi Blueprint dalam rangka MEA
23
Bagan 3.2 Grand Design Pengembangan SKNBI
25
Bagan 5.1 Roadmap Pengembangan SKNBI
50
Bagan 5.2 Keterkaitan Undang-Undang lain dengan dengan Sistem Pembayaran
55
viii
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Ringkasan Eksekutif
Kondisi Perekonomian Tahun 2012 Di tengah perkembangan ekonomi dunia yang melemah dan diliputi ketidakpastian, ekonomi Indonesia tetap menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Pada tahun 2012, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 6,23%, dengan inflasi terkendali pada tingkat yang rendah sebesar 4,30%. Kinerja ekonomi tersebut terutama ditopang oleh menguatnya permintaan domestik di tengah pelemahan kinerja ekspor. Kinerja ekonomi yang menggembirakan selama tahun 2012 ini melengkapi periode panjang pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan rata-rata di atas enam persen dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Selain itu, kinerja positif tersebut pada saat yang sama juga menunjukkan daya tahan ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global. Daya tahan tersebut tercermin pada kemampuan ekonomi Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup tinggi, sementara ekonomi dunia masih menghadapi kinerja yang melemah. Permasalahan perekonomian AS yang belum sepenuhnya pulih, penurunan kinerja ekonomi negara-negara di kawasan Eropa, serta dampak permasalahan tersebut terhadap emerging market, telah menjadi penyebab perekonomian global tumbuh melambat. Daya tahan ekonomi Indonesia yang kuat ini tidak terlepas dari dukungan kondisi ekonomi makro yang stabil dan sistem keuangan yang kondusif. Terjaganya sistem keuangan yang kondusif antara lain tidak terlepas dari peran sistem pembayaran yang mendukung kelancaran, efisiensi, dan keamanan transaksi perekonomian. Sementara itu, melalui kebijakan pengelolaan uang rupiah, kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan uang kartal layak edar dalam jumlah yang cukup, baik nominal maupun pecahan, dapat dipenuhi.
Kinerja dan Kebijakan Sistem Pembayaran Terselenggaranya sistem pembayaran sebagai infrastruktur sistem keuangan merupakan faktor penting untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan moneter. Selain itu, sistem pembayaran juga berperan penting untuk memperlancar aktivitas perekonomian masyarakat dan dunia usaha. Selama tahun 2012, keandalan sistem pembayaran sebagai infrastruktur sistem keuangan tetap terpelihara dengan baik. Hal tersebut tercermin dari terselenggaranya sistem pembayaran yang aman dan lancar. Keandalan sistem pembayaran tersebut ditunjukkan dengan terpenuhinya tingkat ketersediaan (availability) sistem pembayaran sesuai service level yang telah ditetapkan. Bank Indonesia secara konsisten terus berupaya meningkatkan kinerja sistem pembayaran sebagai urat nadi perekonomian Indonesia. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang baik, yaitu dengan semakin meningkatnya peran
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
ix
sistem pembayaran dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat. Sesuai data transaksi keuangan melalui sistem pembayaran, selama tahun 2012 nilai transaksi mencapai Rp104,83 ribu triliun atau meningkat 46,52% dari nilai transaksi tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp71,55 ribu triliun. Sementara itu volume transaksi mencapai 3,27 miliar transaksi atau meningkat sebesar 24,42% dari volume transaksi tahun 2011 yang mencapai 2,63 miliar transaksi. Di sisi kebijakan sistem pembayaran, kebijakan Bank Indonesia selalu mengedepankan empat aspek utama, yaitu keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen. Terselenggaranya sistem pembayaran yang aman dan efisien merupakan faktor penting untuk memperlancar transaksi pembayaran. Selanjutnya, perluasan akses dalam sistem pembayaran dapat mendorong terwujudnya program keuangan inklusif bagi lapisan masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan perbankan. Selain itu, perlindungan konsumen merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran untuk menempatkan posisi konsumen pengguna jasa sistem pembayaran setara dengan penyelenggara sistem pembayaran. Terkait dengan rekening Pemerintah, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan layanan pengelolaan rekening Pemerintah untuk mendukung dan mempermudah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran ditempuh melalui penguatan infrastruktur dan terus mengupayakan interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran yang telah ada dalam upaya untuk menjamin keamanan dan efisiensi penyelenggaraan sistem pembayaran. Berbagai kebijakan Bank Indonesia terkait penguatan infrastruktur meliputi pengembangan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) Generasi II, interkoneksi sistem pembayaran ritel melalui pengembangan Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway-NPG), dan interkoneksi penyelenggaraan uang elektronik, serta implementasi standar nasional kartu ATM/Debet berbasis chip secara bertahap. Dalam rangka perluasan akses sistem pembayaran, Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Jatim mengimplementasikan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) antar BPR. Selanjutnya, Bank Indonesia senantiasa memperkuat aspek hukum dalam penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia dalam rangka menjamin perlindungan konsumen pengguna jasa sistem pembayaran, melalui penyusunan dan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pembayaran.
Kinerja dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Di tengah pesatnya perkembangan inovasi instrumen pembayaran non tunai, uang kartal masih tetap memegang peranan penting dalam mendukung kelancaran transaksi pembayaran di masyarakat. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya transaksi pembayaran tunai masyarakat yang salah satunya tercermin dari pertumbuhan jumlah uang kartal yang diedarkan (UYD). Selama tahun 2012, jumlah rata-rata harian UYD mencapai Rp370,61 triliun atau meningkat 15,68% dibanding tahun sebelumnya. Demikian pula dengan rasio UYD terhadap konsumsi masyarakat khususnya rumah tangga yang juga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 33,64%. Di sisi kebijakan, kebijakan pengelolaan uang rupiah diarahkan pada misinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketersediaan uang rupiah layak edar dalam jumlah nominal cukup dan pecahan yang sesuai. Kebijakan tersebut diambil dengan memperhatikan perkembangan kondisi ekonomi makro maupun isu-isu strategis yang berkembang dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah. Kebijakan pengelolaan uang Bank Indonesia pada tahun 2012 juga mengacu isu strategis terkait dengan implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mulai diberlakukan pada tanggal 28 Juni 2011. Pada
x
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
perkembangannya, implementasi UU Mata Uang membawa dampak luas bagi Bank Indonesia, terutama dengan semakin besarnya keterlibatan instansi lain di luar Bank Indonesia dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah. Menyikapi berbagai perkembangan tersebut, kebijakan pengelolaan uang rupiah Bank Indonesia pada tahun 2012 dilakukan dengan mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i) Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya; dan iii) Layanan Kas Prima. Adapun penjabaran dari berbagai kebijakan pengelolaan uang tersebut juga diarahkan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pengolahan uang rupiah oleh Bank Indonesia. Pilar kebijakan satu yaitu tersedianya uang rupiah yang berkualitas diterjemahkan ke dalam suatu rangkaian strategi kegiatan pengelolaan uang rupiah. Strategi tersebut diantaranya meliputi penetapan Estimasi Kebutuhan Uang Rupiah (EKU) dan Rencana Cetak Uang Rupiah (RCU) serta pengadaan bahan baku dan jasa pencetakan uang Rupiah. Selain itu, ketersediaan uang rupiah yang berkualitas di masyarakat juga diwujudkan melalui strategi peningkatan pemantauan kualitas uang dan kegiatan pengolahan uang rupiah yang dilakukan oleh Perbankan dan perusahaan Cash in Transit (CIT); terus meningkatkan upaya penanggulangan peredaran uang rupiah palsu disamping secara berkesinambungan melakukan peningkatan kualitas uang rupiah melalui penyempurnaan desain uang. Sementara itu, untuk mewujudkan Pilar Kebijakan dua, berbagai strategi telah ditempuh oleh Bank Indonesia guna memujudkan distribusi dan pengolahan uang rupiah yang aman dan terpercaya. Strategi tersebut diantaranya meliputi pelaksanaan distribusi uang rupiah secara efektif dan efisien sesuai dengan EKU yang telah ditetapkan; pemantauan terhadap kegiatan pengolahan uang dan layanan nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan perusahaan Cash in Transit (CIT) serta melakukan pemantauan terhadap optimalisasi kinerja sarana pengolahan uang rupiah yang dimiliki Bank Indonesia. Adapun untuk mewujudkan Pilar Kebijakan tiga yaitu Layanan Kas Prima, Bank Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan keterlibatan pihak-pihak eksternal terkait dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah yang dilakukannya. Hal ini dilakukan melalui strategi penyempurnaan sistem dan prosedur layanan kas; optimalisasi kerjasama penukaran uang rupiah pecahan kecil dengan perbankan dan pihak lainnya maupun melalui pengembangan strategi layanan kas pada periode Hari Raya Keagamaan. Kebijakan layanan kas prima juga diwujudkan melalui strategi optimalisasi Layanan Kas Luar Kantor Bank Indonesia yang meliputi layanan kas keliling dan kas titipan serta layanan kas di wilayah terpencil dan terdepan NKRI. Ke depan, kebutuhan uang rupiah diperkirakan meningkat seiring dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi. Dengan kondisi tersebut dan mempertimbangkan perkembangan lingkungan srategis ke depan, kebijakan pengelolaan uang rupiah akan tetap mengacu pada tiga pilar kebijakan yang telah dijalankan sebelumnya. Implementasi ketiga pilar kebijakan tersebut akan memfokuskan pada penguatan manajemen pengelolaan uang kartal, peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi uang, penguatan implementasi UU Mata Uang dan penguatan fungsi layanan kas.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
xi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xii
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
BAGIAN 1
SISTEM PEMBAYARAN
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
1
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran memiliki peran strategis dalam mendukung aktivitas perekonomian masayrakat dan dunia usaha. Selain itu sistem pembayaran juga berperan penting dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan peran strategis tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk terus memastikan bahwa perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada dalam koridor ketentuan yang berlaku dan kebijakan yang ditetapkan. Hal ini tentu saja demi menjamin kelancaran dan keamanan jalannyakegiatan sistem pembayaran yang perkembangan transaksinyaterusmeningkat secara signifikan dari tahun ketahun. Selama 2012, terjadi peningkatan aktivitas transaksi sistem pembayaran dibandingkan dengan tahun sebelumnya.Meningkatnya aktivitas sistem pembayaran tersebut karenaperekonomian Indonesia yang berkinerjabaik, tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi yaitu mencapai 6,23% dengan pencapaian inflasi pada level yang rendah yaitu 4,30%. Kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran selama 2012 difokuskan pada empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen.
2
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Bab 1
Sekilas Sistem Pembayaran
Perekonomian Indonesia pada 2012 menunjukkan pertumbuhan yang relatif tinggi dengan laju inflasi yang tetap terkendali pada tingkat yang rendah sebesar 4,30%. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23% menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang masih mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di tengah perlambatan ekonomi global. Terjaganya pertumbuhan ekonomi pada 2012 ditopang oleh kinerja permintaan domestik. Di satu sisi, kuatnya permintaan domestik mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya kinerja ekspor akibat melemahnya perekonomian global dan penurunan harga komoditas. Namun, di sisi lain, kuatnya permintaan domestik juga berimplikasi pada kuatnya pertumbuhan impor. Dari sisi penawaran, sektor yang berorientasi ekspor tumbuh rendah, tetapi kondisi sebaliknya berlangsung pada sektor-sektor yang berorientasi domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga tersebut, tidak terlepas dari peran strategis sistem pembayaran dalam mendukung aktivitas perekonomian. Peran strategis sistem pembayaran dalam aktivitas perekonomian terutama untuk menjamin terlaksananya berbagai transaksi pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat dan dunia usaha. Perkembangan inovasi dalam sistem pembayaran merupakan konsekuensi logis dari semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan keberadaan instrumen dan mekanisme pembayaran yang praktis, efisien, aman, dan nyaman untuk mendukung aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Selain itu sistem pembayaran juga berperan penting dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan peran strategis tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk terus memastikan bahwa perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada dalam koridor ketentuan yang berlaku dan kebijakan yang ditetapkan. Hal ini tentu saja demi menjamin kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran. Berbagai kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran ditempuh Bank Indonesia dengan tetap terfokus pada empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses dalam sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan perlindungan konsumen. Peningkatan keamanan dalam sistem pembayaran bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan berbagai alternatif instrumen pembayaran yang dapat digunakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Sementara itu peningkatan efisiensi melalui upaya interkoneksi sistem pembayaran menjadi sangat penting agar industri sistem pembayaran dapat melakukan sharing investasi pengembangan infrastruktur untuk menciptakan efisiensi secara nasional baik bagi industri sistem pembayaran maupun bagi masyarakat pengguna karena tidak harus memiliki banyak instrumen pembayaran dalam melakukan berbagai transaksi pembayaran.
3
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Tabel 1.1 Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran 2012
������������������ ���� ������������������� �������������������� ������������������� �������������������� ����������������� ���� ��������� ������� ����� ��� �� ����������������������� ������ ���������������������� ����������� �������� ������� ��������������������������
���� ��������� ��������� �������� ��������� �������� �������� �������� �������� �������� �������� ������ �������� ���� ������ �������� �������� ������ ���� ���������
���� ��������� ��������� �������� ��������� �������� �������� �������� ��������� �������� �������� ������ �������� ���� ������ �������� �������� ������ ���� ����������
���
�����������������������
����
����
���
������ ������ ������ ������ ����� ������� ������� ������ ������ ����� ������ ����� ������ ������ ������ ������ ������ ������� ������
���� ������������������� �������������������� ������������������� �������������������� ����������������� ���� ��������� ������� ����� ��� �� ����������������������� ������ ���������������������� ����������� �������� ������� ��������������������������
��������� ����� ������ ��������� ����� ������ ����� �������� ��������� ��������� �������� ��������� ������ ��������� ������������ ������������ ���������� ��������� ������������
��������� ����� ������ ��������� ����� ����� ����� �������� ������� ��������� �������� ��������� ������ ��������� ������������ ������������ ���������� ���������� ������������
����� ����� ����� ����� ������ ������� ������� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ������ ������ ������ ����� ������� ������
�������������������������
Dari sisi perluasan akses dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia senantiasa mendorong industri sistem pembayaran untuk memperluas cakupan layanan sistem pembayaran sehingga dapat lebih luas dan merata ke seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya di kota-kota besar. Selain itu, perluasan akses dalam sistem pembayaran dapat mendorong terwujudnya program keuangan inklusif bagi lapisan masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan perbankan. Selanjutnya, perlindungan konsumen merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran untuk menempatkan posisi konsumen pengguna jasa sistem pembayaran setara dengan penyelenggara sistem pembayaran. Hal ini menjadi penting agar masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa sistem pembayaran dapat semakin terlindungi dan tidak lagi berada pada posisi lemah yang diakibatkan dari kekurangpahaman masyarakat atas manfaat dan risiko dari suatu instrumen dan/atau mekanisme pembayaran yang digunakan. Keempat faktor utama dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran menjadi sangat relevan untuk terus diupayakan mengingat perkembangan transaksi keuangan yang melalui sistem pembayaran yang semakin tinggi setiap tahunnya (Tabel 1.1).
4
�������������������������
1.1 Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran Dengan mengedepankan empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen, kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran yang ditempuh Bank Indonesia selama 2012 dilakukan melalui persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan NPG, interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik, persiapan implementasi standar nasional kartu ATM dan ATM/Debet berbasis chip, perluasan akses BPR dalam sistem pembayaran, serta penyempurnaan ketentuan untuk lebih meningkatkan penerapan aspek perlindungan konsumen pengguna jasa sistem pembayaran. Kebijakan penguatan infrastruktur untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan Bank Indonesia dengan melakukan persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Pengembangan ini dilakukan untuk mengimbangi tren peningkatan jumlah transaksi BI-RTGS dan BI-SSSS dari waktu ke waktu yang sejalan dengan perkembangan ekonomi. Selain itu, pengembangan ini juga dilakukan sebagai persiapan untuk mengantisipasi konektivitas Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan infrastruktur sistem keuangan lainnya baik domestik
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
maupun internasional. Selain itu, dengan pengembangan ini diharapkan akan tercapai peningkatan kemampuan mitigasi risiko dalam penyelenggaraan sistem pembayaran sehingga dapat berjalan secara aman dan efisien. Efisiensi dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II nantinya, tidak hanya dari sisi penggunaan likuiditas tetapi juga dari sisi infrastuktur sistem yang digunakan. Selain itu, kebijakan untuk peningkatan keamanan juga dilakukan melalui persiapan implementasi standar nasional kartu ATM/Debet menggunakan teknologi chip dan Personal Identification Number (PIN) paling kurang 6 (enam) digit. Penggunaan standar nasional kartu ATM dan ATM/Debet dengan menggunakan teknologi chip ditargetkan dapat diterapkan secara menyeluruh pada akhir 2015. Teknologi chip dinilai mampu mengurangi kejahatan (fraud) yang dilakukan melalui infrastruktur sistem kartu ATM dan ATM/Debet, yang antara lain dilakukan dengan metode skimming. Kebijakan ini tentunya juga ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna kartu ATM dan ATM/Debet. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran ritel, Bank Indonesia terus mendorong interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran ritel melalui pengembangan NPG. Terwujudnya NPG akan membantu pemantauan risiko penyelenggaraan sistem pembayaran dan akan membentuk database sistem pembayaran ritel secara nasional yang dapat mendukung pengambilan keputusan bagi otoritas yang berwenang. Kebijakan interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan kegiatan pembayaran dan transfer dana. Dengan interkoneksi sistem pembayaran, masyarakat tidak harus memiliki banyak APMK dan uang elektronik, karena hanya dengan satu kartu atau satu uang elektronik, masyarakat dapat melakukan kegiatan pembayaran dan transfer dana melalui berbagai alternatif infrastruktur sistem pembayaran yang ada. Dari sisi industri sistem pembayaran, interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran akan meningkatkan efisiensi nasional
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
terkait biaya investasi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Pada tahap awal pengembangan NPG, Bank Indonesia memfasilitasi interkoneksi ATM dua bank, yaitu Bank Mandiri dan BCA. Dengan terkoneksinya infrastruktur ATM kedua bank tersebut, maka semakin memperluas jaringan layanan sistem pembayaran. Kondisi ini mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi secara lebih cepat dan efisien. Pada gilirannya sinergi kedua bank tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri sistem pembayaran secara nasional dalam menghadapi era persaingan global. Upaya lain yang dilakukan Bank Indonesia untuk peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran ritel adalah melalui kebijakan pengembangan interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik. Selama periode laporan, Bank Indonesia telah berkoordinasi dengan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Dari koordinasi tersebut disepakati agar pengembangan interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik menjadi program nasional. Salah satu sektor yang akan memperoleh manfaat dari interkoneksi tersebut adalah sektor transportasi yang secara massal digunakan oleh masyarakat. Selanjutnya untuk meningkatkan perluasan akses dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia turut aktif dalam pengembangan sistem transfer kredit elektronik (STKE). Akses BPR dalam sistem pembayaran semakin luas karena BPR di wilayah Jawa Timur, baik untuk kepentingan BPR sendiri maupun nasabahnya, telah dapat memanfaatkan layanan sistem pembayaran yang cepat dan aman dengan biaya relatif murah melalui STKE. STKE dikembangkan oleh Bank Jatim sebagai bank pengayom BPR (APEX BPR) di wilayah Jawa Timur bekerjasama dengan Bank Indonesia. STKE merupakan suatu sistem yang digunakan dalam penyelenggaraan transfer dana antar anggota APEX BPR dan/atau dengan bank umum melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Selanjutnya, upaya Bank Indonesia terkait aspek perlindungan konsumen dilakukan antara lain melalui
5
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
penyempurnaan ketentuan yang lebih memperhatikan aspek perlindungan konsumen, yaitu penyempurnaan ketentuan APMK yang dilakukan Bank Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/2/ PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan atas PBI No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (PBI APMK) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.14/17/ DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal Perubahan SEBI No.11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam PBI dan SEBI tersebut antara lain meliputi pengaturan batas maksimum suku bunga kartu kredit, pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit (batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan jumlah maksimum penerbit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit), penerapan prinsip kehati-hatian dan transparansi (penyeragaman pola perhitungan bunga kartu kredit serta pengenaan biaya dan denda, pengaturan kerjasama dengan pihak lain, khususnya yang terkait dengan penagihan utang kartu kredit). Terkait kebijakan pembatasan kepemilikan kartu kredit, Bank Indonesia juga telah menerbitkan SEBI No.14/27/ DASP tanggal 25 September 2012 perihal Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai aturan pelaksana Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 yang pada intinya mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit khususnya bagi mereka yang berpendapatan antara Rp3 juta – Rp10 juta tiap bulan. Sementara itu, terkait pembatasan suku bunga kartu kredit, Bank Indonesia menerbitkan SEBI No.14/34/ DASP tanggal 27 November 2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut, batas maksimum suku bunga kartu kredit ditetapkan sebesar 2,95% per bulan. Selain ketentuan terkait APMK, pada periode laporan Bank Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.14/3/PBI/2012 tanggal 29 Maret 2012 tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
6
Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT).
1.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran Melanjutkan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran 2012, ke depan Bank Indonesia senantiasa mendorong industri untuk melakukan penataan dan penguatan infrastruktur sistem pembayaran dalam upaya meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam sistem pembayaran. Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan uang elektronik. Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada Prinsipal luar negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik. Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa datang.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Pengembangan SKNBI akan mencakup penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment). Selanjutnya, arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah dengan kegiatan edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar. Sedangkan untuk jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik. Dari sisi penguatan aspek hukum dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia akan menginisiasi penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA). Alasan utama mengapa perlunya UU SPPA ini adalah karena
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
laju perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat. Pesatnya perkembangan sistem pembayaran dapat menjadi sumber informasi (kondisi likuiditas dan infrastruktur sistem keuangan) yang menjadi subyek pemantauan secara microprudential guna memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potential shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam pengambilan langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan. Selanjutnya informasi secara komprehensif mengenai perkembangan sistem pembayaran, kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran yang ditempuh selama 2012, serta arah kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran ke depan akan diulas secara mendalam pada bab-bab selanjutnya.
7
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
8
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
Saat ini system pembayaran di Indonesia diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan pihak di luar Bank Indonesia atau industri system pembayaran. Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI merupakan system pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, sementara APMK, uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU) atau transfer dana diselenggarakan oleh industri system pembayaran, baik berupa bank maupun lembaga selain bank. Perkembangan transaksi keuangan yang melalui system pembayaran selama tahun 2012 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai transaksi melalui system pembayaran selama tahun 2012 mencapai Rp104,84 ribu triliun atau meningkat 46,52% dari nilai transaksi dari tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp71,55 ribu triliun. Sementara itu, dari sisi volume transaksi terjadi peningkatan sebesar 24,42% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Volume transaksi sepanjang tahun 2012 mencapai 3,27 miliar transaksi.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
9
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
Bab 2
Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran 2.1 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
atau meningkat sebesar 7,15% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 115,34 juta transaksi.
Selama periode laporan perkembangan transaksi keuangan melalui sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, baik Sistem BI-RTGS maupun SKNBI mengalami peningkatan nilai dan volume transaksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.1).
Perkembangan Transaksi melalui Sistem BI-RTGS
Aktivitas transfer keuangan elektronik yang diproses oleh Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI mencapai nilai Rp101,57 ribu triliun atau meningkat sebesar 47,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai nilai Rp68,89 ribu triliun. Sementara itu dari sisi volume transaksi, mencapai 123,59 juta transaksi
����������������������
Aktivitas transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS pada tahun 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.2). Nilai transaksi yang penyelesaiannya dilakukan melalui Sistem BI-RTGS pada 2012 mencapai Rp99,40 ribu triliun atau naik sebesar 48,53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp66,92 ribu triliun dengan volume tercatat sebanyak 17,50 juta transaksi atau naik sebesar 8,24% dibandingkan dengan 2011. Dengan demikian, rata-rata harian transaksi yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS pada 2012 mencapai nilai Rp404,05 triliun
������������������
�����������������������
������
��
������
������
��
������
��
�����
� �����
����������������������� ����� ����� ����� �����
�����
�����
�����
���
� �
����� �
��������������� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
����
� �
����
Grafik 2.1 Perkembangan Transaksi Melalui Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
10
���
�����
�����
���
����� �
��������������� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
����
��� �
����
Grafik 2.2 Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
dengan volume sebesar 71,13 ribu transaksi. Dengan nilai yang tinggi ini, Sistem BI-RTGS dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS), yaitu sistem yang memproses transaksi bernilai besar dengan potensi risiko sistemik1. Transaksi transfer elektronik yang diproses melalui Sistem BI-RTGS meliputi transaksi masyarakat, pasar uang antar bank (PUAB), valuta asing, pasar modal, pengelolaan moneter, dan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah. Peningkatan nilai transaksi melalui BI-RTGS terutama disebabkan oleh meningkatnya transaksi pengelolaan moneter yang memiliki pangsa 60,86% dari total nilai transaksi BI-RTGS (Grafik 2.3). Nilai transaksi pengelolaan moneter pada 2012 mengalami peningkatan sebesar 96,53% (Tabel 2.1) dibandingkan dengan tahun 2011. Peningkatan nilai tersebut mengindikasikan meningkatnya kegiatan pengelolaan moneter yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. Sementara itu, peningkatan volume transaksi melalui BIRTGS disebabkan oleh meningkatnya transaksi pasar modal yang memiliki pangsa 0,40% dari total volume transaksi
�����
���������������
�����������������������
����
����
��������
�����
�����
������
������
������
��������������������������
�����
�����
�������
��������������������
�����
�����
�����
�������������������� �������������������
����� ������
����� ������
������ ������
��������� �����
����� ������
������ ������
������ ������
���� �������������������
������
�����������������������
����
���� �������������������
�������
����
�������� �������
������
������
����������
����������
�����
�������
������
�������
�������������������������� ��������������������
������
������
������
��������������������
�������
�������
�����
�������������������
������
������
�����
���������
���������
�����
����������
����������
�����
��������� �����
BI-RTGS (Grafik 2.4). Volume transaksi pasar modal pada 2012 mengalami peningkatan sebesar 13,94% (Tabel 2.1). Peningkatan volume transaksi pasar modal tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini transfer dana melalui Sistem BI-RTGS masih menjadi pilihan selain transfer melalui SKNBI dan APMK. Dari perspektif efisiensi sistem pembayaran, Sistem BI-RTGS mendukung percepatan penyelesaian transaksi dan efisiensi dari sisi waktu.
����
������ ������ ����� ����� ����� ������
Tabel 2.1 Perkembangan Jenis Transaksi melalui Sistem BI RTGS
������� ���������������
�����
�������������������� ��������������������
����
�������������������
�������
�������
������������������������� ������
������
�������������������� �������������������� ������������������� �������
Grafik 2.3 Pangsa Nilai Transaksi Sistem BI-RTGS
1 Risiko sistemik adalah risiko yang disebabkan oleh satu peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berdampak pada terjadinya ketidakmampuan seluruh peserta dalam sistem untuk memenuhi kewajibannya .
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
�����
�����
�����
�����
Grafik 2.4 Pangsa Volume Transaksi Sistem BI-RTGS
11
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
����������������������
�����������������������
�����
��
�����
��
�����
��
�����
��
�����
��
�����
�
�����
�
�����
����������������������� ������
��� �
� � �
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
����
����
rata-rata harian transaksi surat berharga melalui BI-SSSS pada periode laporan mencapai nilai Rp132,12 triliun dengan volume sebesar 558 transaksi. Sampai dengan akhir periode laporan, peserta BI-SSSS terdiri dari 137 bank , 14 non bank dan 16 sub registry. Perkembangan Transaksi melalui SKNBI Aktivitas transaksi melalui SKNBI pada 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.6). Nilai transaksi melalui SKNBI pada 2012 mencapai Rp2.170,19 triliun atau naik sebesar 10,13%
Grafik 2.5 Perkembangan Transaksi melalui BI-SSSS
Aktivitas Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) Sehubungan dengan kegiatan penatausahaan surat berharga pada BI-SSSS, pada periode laporan, telah ditatausahakan transaksi surat berharga dengan nilai mencapai Rp32,50 ribu triliun atau meningkat sebesar 81,99% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp17,86 ribu triliun. Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai 137,16 ribu atau meningkat sebesar 12,27% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 122,17 ribu (Grafik 2.5). Dengan demikian
����������������������
��� ���������� ������������������ ���
Grafik 2.7 Volume Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012
����������������������� ��
���
��
���
�
���
���
����������
� ��� � ��
�
����������������������� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
����
������������������
� �
����
Grafik 2.6 Perkembangan Transaksi melalui SKNBI
12
���
Grafik 2.8 Nilai Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
dengan volume transaksi tercatat sebanyak 106,10 juta transaksi atau naik sebesar 6,98% dibandingkan dengan 2011. Dengan demikian rata-rata harian transaksi yang dilakukan melalui SKNBI pada 2012 mencapai nilai Rp8,82 triliun dengan volume sebesar 431,29 ribu transaksi. Sampai dengan akhir periode laporan, jumlah peserta SKNBI sebanyak 140 peserta bank dan 1 peserta Bank Indonesia.
dan/atau BG kosong mengalami kenaikan dari 1,07% pada 2011 menjadi 1,23% pada 2012. Selama dua tahun terakhir, penarikan BG kosong baik sisi volume maupun nilai lebih besar dibanding penarikan Cek kosong. Pada periode laporan, dari sisi volume, porsi penarikan BG kosong sebesar 76%, sedangkan dari sisi nilai sebesar 67%. Sementara itu, porsi penarikan Cek kosong dari sisi volume sebesar 24% dan dari sisi nilai sebesar 33%.
Pengelolaan Daftar Hitam Nasional (DHN) Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap instrumen pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro (BG), Bank Indonesia perlu menjaga kredibilitas Cek dan/ atau BG tersebut sangat penting bagi kelancaran sistem pembayaran. Dalam praktek, pembayaran menggunakan Cek dan/ atau BG masih memiliki permasalahan risiko gagal bayar karena saldo tidak cukup atau rekening giro telah ditutup yang dikenal dengan istilah Cek dan/atau BG kosong. Dalam rangka pencegahan penarikan Cek dan/atau BG kosong tersebut, bank secara self assessment melakukan penetapan identitas penarik Cek/BG kosong dalam DHN berdasarkan kriteria yang diatur dalam PBI No. 8/29/ PBI/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dan SE BI No. 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
Kinerja Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Untuk mengetahui kinerja Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI, Bank Indonesia menggunakan ukuran ketersediaan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI bagi pesertanya. Ukuran ketersediaan sistem tersebut menunjukkan tingkat keandalan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI yang diselenggarakan Bank Indonesia. Pada periode laporan, tingkat ketersediaan sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI mencapai tingkat yang sesuai dengan service level yang telah ditetapkan. Untuk mendukung kinerja penyelenggaraan sistem pembayaran Bank Indonesia, maka salah satu upaya Bank Indonesia adalah dengan melakukan migrasi jaringan dari yang semula berbasis System Network Architecture (SNA) menjadi berbasis Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP). Latar belakang migrasi tersebut dengan pertimbangan : - Jaringan SNA merupakan teknologi lama yang sudah jarang digunakan. - Ketersediaan perangkat pendukung sudah terbatas sehingga jika terjadi kerusakan pada perangkat
Persentase perbandingan jumlah warkat Cek dan/atau BG kosong terhadap total warkat penyerahan bank pada periode laporan mengalami kenaikan dari 1,15% pada 2011 menjadi 1,26% pada 2012. Demikian pula persentase perbandingan jumlah nominal penarikan Cek
Tabel 2.2 Jumlah Nasabah yang Tercantum dalam DHN dan Perbandingan antara Jumlah Warkat Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong terhadap Total Warkat Penyerahan Bank
�����
�������������� �������������� ���������
�����������������������
��������������������������
������
���������������
������
���������������
��������������������������������������� ������������������������������������ ������
�����
����
������
����������
����������������
�������
�������������
�����
�����
����
������
����������
����������������
�������
�������������
�����
�����
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
13
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
pendukung, maka sulit untuk mencari perangkat pengganti karena sudah tidak tersedia di pasaran. - Kapasitas jaringan yang terbatas karena tidak dapat di-upgrade. Upaya Menjaga Keamanan dan Keandalan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan SKNBI melalui Business Continuity Plan, Kegiatan User Group dan Forum Kepesertaan, dan Member Certification
Kegiatan User Group dan Forum Kepesertaan Kegiatan user group dan forum kepesertaan, dilakukan untuk menjembatani komunikasi antara penyelenggara dan seluruh peserta terutama dalam rangka diseminasi informasi terkini dan penyelesaian permasalahan penyelenggaraan sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI.
Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI, Bank Indonesia senantiasa berupaya menjamin kelancaran sistem secara keseluruhan yang andal baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi darurat.
Selama 2012, kegiatan user group peserta sistem BIRTGS, BI-SSSS, dan SKNBI dilakukan di Jakarta dalam dua tahap. Tahap pertama pada Juni 2012, dilaksanakan dalam rangka sharing informasi mengenai pelaksanaan member certification yang dihadiri oleh petugas audit internal peserta sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI. Tahap kedua pada Oktober 2012, dilaksanakan dalam rangka diseminasi informasi mengenai rencana pengembangan SKNBI dan implementasi sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi 2.
Selama periode laporan, untuk menjamin keandalan sistem back-up telah dilakukan uji coba environment sebanyak tiga kali. Selain itu, dilakukan juga operasional secara live sebanyak satu kali dengan menggunakan infrastruktur teknologi informasi di lokasi Disaster Recovery Centre (DRC) Bank Indonesia.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan Bank Indonesia sebagai central registry kepada sub registry, telah dilaksanakan pertemuan sub registry pada Oktober 2012, dimana dalam forum pertemuan tersebut dilakukan diseminasi informasi terkini terkait dengan penyelenggaraan BI-SSSS.
Sementara itu, untuk memastikan kesiapan infrastruktur back-up siap digunakan, setiap bulan dilakukan juga pengecekan infrastruktur Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI di lokasi DRC dan Backup Front Office.
Sementara itu, dalam rangka evaluasi penyelenggaraan kliring lokal dan diseminasi perubahan kebijakan pemberian bantuan keuangan kepada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) Selain BI, pada Juli 2012 telah dilaksanakan pertemuan tahunan dengan seluruh penyelenggara kliring lokal yang diselenggarakan di Jakarta.
Business Continuity Plan
Untuk memberikan alternatif sarana back-up kepada Peserta sistem BI-RTGS dan BI-SSSS, Bank Indonesia menyediakan fasilitas guest bank. Selama tahun 2012 terdapat 32 Peserta yang menggunakan fasilitas guest bank tersebut dengan rincian tiga peserta karena gangguan pada internal sistem sisanya sebanyak 29 peserta karena gangguan koneksi jaringan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Selanjutnya, guna meningkatkan kompetensi peserta dalam pemanfaatan fasilitas guest bank, Bank Indonesia secara rutin memberikan pelatihan guest bank. Selama periode laporan, telah dilakukan pelatihan kepada 13 peserta sistem BI-RTGS dan BI-SSSS.
14
Member Certification (MC) Member certification dilakukan dengan tujuan mengevaluasi kepatuhan peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan penyelenggara, perjanjian pengunaan sistem antara penyelenggara dan peserta, dan/atau kesepakatan antar Peserta dalam bye laws, serta mengidentifikasi risiko peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Dalam pelaksanaannya,
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
kegiatan member certification dilakukan dengan metode asesmen atas laporan yang disampaikan oleh peserta dan on site visit. Berdasarkan pelaksanaan member certification yang dilakukan selama 2012, secara umum operasional BIRTGS dan SKNBI peserta sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang masih perlu mendapat perhatian dan harus ditingkatkan seperti penyediaan infrastruktur back-up system, dan prosedur contingency plan.
2.2 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia Saat ini penyelenggaraan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak di luar Bank Indonesia meliputi penyelenggaraan APMK (kartu kredit, kartu ATM dan kartu ATM/Debet), uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer dana. Selama 2012, terjadi peningkatan transaksi keuangan melalui sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak di luar Bank Indonesia, baik itu melalui kartu kredit, kartu ATM dan kartu ATM/Debet, uang elektronik maupun KUPU. Selain itu, dari sisi infrastruktur pembayaran ritel mengalami perkembangan dari tahun ke tahun (Grafik 2.9).
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit Jumlah kartu kredit yang beredar pada akhir 2012 mencapai 14,82 juta kartu atau meningkat sebesar 0,21% dari periode sebelumnya yang mencapai 14,79 juta kartu. Meningkatnya jumlah kartu tersebut turut pula mendorong peningkatan penggunaannya (Grafik 2.10). Selama 2012 nilai transaksi menggunakan kartu kredit mencapai Rp201,84 triliun, meningkat sebesar 5,84% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp182,60 triliun. Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai 221,58 juta transaksi, meningkat sebesar 10,54% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 209,35 juta transaksi. Dengan demikian rata-rata harian transaksi menggunakan kartu
�� �� �� �� �� �� �� ��
���������������������������
��
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�� �� ��
�
�
�
�
�
�
�
�
�� �� ��
����
Grafik 2.10 Perkembangan Jumlah Kartu Kredit Beredar ������������������
�������
�
����
�����������������������
�� ��������� ���������
������� �������
������
�� ��
�������
��
�������
��
�������
��
������
������
�������
�
�������
�
�������
�
���������������
������
�
������
�
������
� ����
����
����
����
����
����
����
����
Grafik 2.9 Perkembangan Infrastruktur Pembayaran Ritel (ATM dan EDC)
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
�����
� �
�
�
�
�
�
�
����
�
� �� �� �� �
�
�
�
�
�
�
�
� �� �� ��
����
Grafik 2.11 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu Kredit
15
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
kredit pada periode laporan mencapai nilai Rp551,48 miliar dengan volume sebesar 605,41 ribu transaksi. Sampai dengan periode laporan, jumlah penerbit dan prinsipal kartu kredit di Indonesia masing-masing berjumlah 20 penerbit dan 5 prinsipal.
������������������
�����������������������
���
�������
���
�������
���
�������
��� ������� ���
Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan Kartu ATM/Debet Pada akhir periode laporan, total kartu ATM dan ATM/ Debet yang beredar mencapai 77,75 juta kartu. Jumlah tersebut meningkat sebesar 21,15% dibandingkan dengan akhir periode laporan sebelumnya yang mencapai 63,39 juta kartu. Dari jumlah tersebut sebanyak 73,22 juta kartu (94,17%) merupakan kartu ATM/Debet, yang selain berfungsi untuk melakukan transaksi di terminal ATM, juga dapat berfungsi sebagai kartu debet untuk digunakan dalam transaksi belanja di pedagang (merchant). Dengan peningkatan jumlah kartu ATM dan ATM/Debet beredar tersebut, mendorong peningkatan aktivitas transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet (Grafik 2.12). Pada periode laporan, nilai transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet mencapai Rp3,07 ribu triliun atau meningkat sebesar 23,74% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp2,48 ribu triliun. Sementara itu, volume transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet mencapai 2,82 miliar transaksi atau
�������
��� ��������������� ������
�� �
�
�
�
�
�
�
�
�
� �� �� �� �
����
�
�
�
�
�
�
�
� �� �� ��
������ �
����
Grafik 2.13 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan ATM/debet
meningkat sebesar 24,83% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 2,26 miliar transaksi. Dengan demikian rata-rata harian transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet pada periode laporan mencapai nilai Rp8,37 triliun dengan volume sebesar 7,72 juta transaksi. Sampai dengan akhir periode laporan terdapat 102 bank yang bertindak sebagai penerbit kartu ATM dan ATM/ Debet yang terdiri atas 59 bank umum, 8 bank syariah, 26 Bank Pembangunan Daerah dan 9 Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu juga terdapat enam lembaga selain bank sebagai prinsipal. Aktivitas Uang Elektronik
������ �� �� �� �� �� �� �� �� ��
��������������������������������
Sampai akhir periode laporan, terdapat 13 penerbit uang elektronik yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia baik yang berbasis chip maupun media berbasis server. Adapun jumlah uang elektronik yang beredar baik yang berbasis chip maupun berbasis server mencapai sekitar 21,87 juta, meningkat sebesar 52,94% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 14,30 juta.
� �
�
�
�
�
�
�
����
�
�
�� �� ��
�
�
�
�
�
�
�
����
�
�
�� �� ��
Grafik 2.12 Perkembangan Jumlah Kartu ATM dan ATM/Debet Beredar
16
Komposisi penggunaan uang elektronik yang berbasis chip dan server based mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Jika pada awal hadirnya uang elektronik, penggunaan uang elektronik berbasis chip based Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
�����������������
����
�����������������������
���
������
������
���
������
������
���
�����
�����
���
�����
���
�����
������
����� �����
����������� ���������������������
�����
����������� �����������������������
� ����
����
����
����
����
Grafik 2.14 Perkembangan Jumlah Uang Elektronik
�
�
�
�
�
�
�
�
����
�
� �� �� �� �
�
�
�
�
�
�
�
� �� �� ��
����� �
����
Grafik 2.16 Perkembangan Transaksi Menggunakan Uang Elektronik
menempati pangsa terbesar yaitu 72%, maka sampai dengan akhir 2012 penggunaan uang elektronik berbasis server based menempati pangsa terbesar yaitu 57%. Aktivitas transaksi menggunakan uang elektronik pada 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik 2.14). Nilai transaksi menggunakan uang elektronik pada 2012 mencapai Rp1,97 triliun atau naik sebesar 101,02% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp981,30 miliar. Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai 100,62 juta transaksi atau naik sebesar 145,06% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai
41,06 juta transaksi. Dengan demikian rata-rata harian transaksi yang dilakukan dengan menggunakan uang elektronik pada 2012 mencapai nilai Rp5,39 miliar dengan volume sebesar 274,93 ribu transaksi. Pada periode laporan, penggunaan uang elektronik mengalami pertumbuhan dibandingkan periode sebelumnya baik dari sisi jumlah instrumen yang diterbitkan maupun volume dan nilai transaksi. Jumlah instrumen uang elektronik mengalami pertumbuhan 53%, sementara volume dan nominal transaksi tumbuh masingmasing sebesar 153% dan 116%. Perkembangan Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) atau Transfer Dana Selain Bank
��� ���
����������
���
������������ ���
��� ���
��������������� ������
��
���
���
��� ���
���
���
���
��� ���
��� ��� ��� �� ����
����
����
����
����
Grafik 2.15 Perkembangan Komposisi Jumlah Uang Elektronik
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Mekanisme pengiriman uang melalui penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) selain bank telah berjalan sejak lama terutama untuk mengakomodasikan kegiatan pengiriman uang oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pada umumnya pengguna jasa penyelenggara KUPU ini adalah tenaga kerja yang bergerak di sektor informal yang kurang mengenal perbankan. Sampai dengan akhir periode laporan, terdapat 119 penyelenggara KUPU yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dari jumlah tersebut, 76 merupakan penyelenggara badan usaha berbadan hukum, 15
17
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
�����
������
�������������������������� ������
������
�������������������������� ������
������������������������
������������������������ ������������������
������������������ �����
Grafik 2.17 Pangsa Volume Transaksi KUPU
badan usaha tidak berbadan hukum (Commanditaire Vennootschap dan Usaha Dagang) dan 16 perorangan. Pelaporan transaksi pengiriman uang oleh penyelenggara KUPU selain bank pada periode laporan dari sisi nilai mencapai Rp18,43 triliun dengan volume sebesar 3,61 juta transaksi. Aktivitas terbesar transaksi pengiriman uang dari sisi nilai transaksi pada periode laporan, adalah pengiriman uang dari luar negeri dengan porsi nilai 53,07% dan volume 84,97%. Pengiriman uang domestik (antar wilayah di Indonesia) dengan porsi nilai 36,99% dan volume 13,13%. Sedangkan sisanya pengiriman uang dari Indonesia ke luar negeri dengan porsi nilai 9,94% dan volume 1,90%.
18
Grafik 2.18 Pangsa Nilai Transaksi KUPU
2.3 Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia Seiring dengan semakin strategisnya peran sistem pembayaran dalam perekonomian di Indonesia, maka penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia juga semakin beragam. Adapun penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia adalah sebagaimana dalam Tabel Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia (Tabel 2.3).
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
Tabel 2.3 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia ������
��������������
�������������
�������
�������������������������������� ���������������������������
� ��������������� � ���������������������������������������� � �������������������������������������������� �������������������������������������� ������������������������������������������ ������������������������������������������ ��������������������������������������������� ����������� � �������������������������������������������� ���������������������������������������� ������������������������������������������ ��������������������������� � ������������������������������������������ �������������
� ��������������
� ������������������������������������� �������������������������������������� �����
�������������������������������������� �������
� �������������������������������������������� ������������������������� � �������������������������������������������� �������������� � ������������������������ � ���������������������������������������� �������������
� ��������������
� ������������������������������������ ������������������
����������������������������������� ���������������������������
� ���������� �������� ������� ��������� ��� �������������������������������������������� ���������� � ��������� ������ ��������� ����� ��������� �������� �������� ���������� ������� ���
� ��������������
� ��������������������������������� ����������������������������������� ����������������� � ��������������������������������������� ������������������������������������
��������������������������������� ��������������������������
� ������������������������������������������ �������������������������������������������� �������������� � ��������� ����� ���������� �������� �� ���� ��������� ����� �������� ������� �������� �������������
� �������������������������� ����������������
� ������������������������������������
���������������������������������� ��������������������
� ��������������������������������������� ����������������������������������������������� ��������������������������������������������� � �������������������������������������������� ���������������������������
� ������������������������� ����������������� ������������������������ ���
����������������������������������������
���������������������������� ����������
� ������������������������������������������ ���
� ����������������������� ������������������������ � �������������������� ������� � �����������������������
� ���������������
�����������������������������������
������������������������������������������� ������������������������������������ ��������������������������
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
� ��������������� � ���������������
������������������ ��������������������� ��������
19
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
������ ���������������������������� ���������������
��������������
�������������
�������
� ������������������������������������������ ���
� ������������������������ �������� � �������������������������
� �������������������������������������� ������������������� � �������������������������������������� ������������� � ��������������
� ������������������ �����������������������������������������
� ��������������������������������������������� �������������������������������������� ���������
������������������������������ ���������������
� ��������������������������� ������ � ����������������������� ��������������������� �������� � ���������������������� ������
� �������������������������������������� ������������������� � ������������������������������������� �������������������
� ������������������������ ��������� � ����������������������������� � ������������������
� ���������������
��������������������������������������
������������������������������������������� ������ ������ ������ ��������������� ����� ��������������������������
������������������ ������������������������������
�������������������������������
� ���������������������������������������� ������������
� � � � �
���������������
�� ����������������������������������������� ����������������������������������������� ���������
� �������������������������
������������������������������ ��������
� �������������������������������������������� ��������������������������������
� � � �
����������������������� ����������������������������� ��������������
� ������������������������������������������ ������������������������������������������� ������������������������������������ ���������������������������������������� ����������
� �������������
������������������ ������������������������ ��� ���������������� ������������������
� ��������������� � ��������������
� � � � �
��������������� �������������������������������������� �������������� ������ ������
� ������������ � ���������������������������� � ������������
������������������������� ���������� ��������� ����������������������� ��������������������� �������������������� � ����������� � ����������
� ����������
� ������������������������ ��������
20
� ��������������
� ������������������������������������� ���������������������������������� ������������������������������� � ����������������������������������� ���������������������������������� ��������� � �������������������������������������������� ����������������������������������� ����������
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Kebijakan Bank Indonesia di bidang system pembayaran selama 2012 difokuskan pada empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen. Kebijakan peningkatan keamanan dan efisiensi antara lain ditempuh melalui persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan interkoneksi system pembayaran ritel melalui pengembangan NPG dan interkoneksi penyelenggaraan uang elektronik, serta implementasi standar nasional kartu ATM/Debet berbasis chipse cara bertahap. Dalam rangka perluasan akses system pembayaran, Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Jatim mengimplementasikan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) antar BPR.Selanjutnya, Bank Indonesia senantiasa memperkuat aspek hokum dalam penyelenggaraan system pembayaran di Indonesia dalam rangka menjamin perlindungan konsumen pengguna jasa system pembayaran, melalui penyusunan dan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai system pembayaran.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
21
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Bab 3
Kebijakan Sistem Pembayaran
3.1 Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II Menindaklanjuti pengembangan pada 2011 yang berfokus pada penyusunan design and functional specification dengan melibatkan pihak eksternal, maka pada tahun 2012 kegiatan utama berfokus pada pengembangan aplikasi dan penyiapan infrastruktur serta pelaksanaan uji coba terhadap Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Dalam proses pengembangan aplikasi, pihak pengembang melakukan proses pengembangan aplikasi yang disesuaikan dengan user requirements dari Bank Indonesia. Aplikasi yang dikembangkan meliputi aplikasi Sistem BI-RTGS (RTS/X), aplikasi BI-SSSS (DEPO/X), aplikasi Bank Indonesia Electronic Trading Platform (TRADE/X) serta aplikasi Bank Indonesia Historical And Real Time Information System (BI HARTIS). Terkait kegiatan penyiapan infrastruktur, tahapan ini dilakukan baik di sisi Bank Indonesia sebagai pihak yang akan mengoperasikan keempat aplikasi di atas (operator) maupun di sisi peserta sebagai pengguna sistem tersebut. Setelah tahap pengembangan aplikasi selesai, dilakukan serangkaian kegiatan uji coba baik yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia maupun uji coba yang melibatkan working group yang beranggotakan bank dan non bank peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Pada saat yang bersamaan, telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada seluruh peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS untuk memaparkan progres pengembangan dan menyampaikan persiapan yang harus dilakukan oleh seluruh peserta. Terkait penyiapan ketentuan, Bank Indonesia mengacu pada international standard dan best practice dalam
22
penyelenggaraan sistem pembayaran, antara lain Principles for Financial Market Infrastructures (PFMIs).
3.2 Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pengembangan STKE BPR merupakan upaya Bank Indonesia dan PT. Bank Jatim untuk memperluas layanan sistem pembayaran melalui BPR sehingga dapat lebih menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat yang belum dapat dilayani oleh bank umum. Sementara itu, jaringan BPR yang tersebar luas di berbagai daerah hingga ke pelosok pedesaan saat ini masih sangat terbatas dalam memberikan layanan sistem pembayaran. Kondisi tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan sistem pembayaran dalam memenuhi kebutuhan untuk bertransaksi. Selain itu, masih terdapat mekanisme kegiatan transfer dana yang kurang efisien oleh BPR dimana BPR harus membuka rekening giro di beberapa bank umum dan membuat virtual account untuk nasabahnya. Untuk mengakomodir kebutuhan transaksi pembayaran nasabah BPR sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap layanan sistem pembayaran, pada 2012 Bank Indonesia mengembangkan STKE BPR. Pengembangan STKE BPR dilakukan dengan konsep two tier system dimana transfer antar BPR tidak dilakukan secara langsung (one tier system), namun dilakukan melalui bank umum. Sebagai tahap awal, Bank Indonesia mengembangkan pilot project STKE BPR bersama PT. Bank Jatim selaku bank umum yang akan menyelenggarakan STKE BPR di
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
wilayah Jawa Timur. Pengembangan pilot project STKE BPR wilayah Jawa Timur telah berhasil diimplementasikan dan diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution pada 29 November 2012 di Surabaya (lihat Boks 3.1: Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa Timur). Pengembangan STKE BPR untuk wilayah lain akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan BPR maupun bank pengayom di wilayah tersebut.
dan pengembangan sistem pembayaran nasional yang tertuang dalam blueprint sistem pembayaran nasional 2011.
3.3 Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka Persiapan MEA
Implementasi dari blueprint tersebut dijabarkan ke dalam program kerja Bank Indonesia yang terbagi dalam program jangka pendek (2012-2013), jangka menengah (2014-2015) dan jangka panjang (2016-2017). Walaupun terbagi ke dalam beberapa milestone namun seluruh program kerja yang akan dilaksanakan tetap mengarah pada terwujudnya sistem pembayaran yang cepat, aman, efisien, andal, dan mengutamakan perlindungan kepada nasabah, serta meningkatkan national competitive advantage.
Berdasarkan hasil pemetaan terhadap kondisi sistem pembayaran dan setelmen di Indonesia saat ini, tren sistem pembayaran, analisis isu-isu strategis dari sisi kebijakan, kerangka hukum, kelembagaan, instrumen, dan infrastruktur/mekanisme, telah disusun arah kebijakan
Secara umum, fokus program kerja jangka pendek 2012 adalah meningkatkan keamanan, keandalan dan efisiensi infrastruktur penyelenggaraan sistem pembayaran, memperkuat legal framework penyelenggaraan sistem pembayaran, mempersiapkan pemenuhan terhadap
�������������������������� � ��������������������������������������� � �������������������������������� �����������������������������������
��������������������������� � ����������������������������������������������������� � ����������������������������������������������������������
������������������������� � �������������������������������������������������������������������������� � �������������������������������������������� � ���������������������������������������������������������������������� Implementasi Blueprint Sistem �� ����������������������� � �������������������������������������������
Pembayaran Nasional Dalam Rangka Persiapan MEA
3.3 Bagan 3.1 Bagan implementasi Blueprint dalam rangka MEA
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
23
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
International Standard and Best Practices, memperkuat pengawasan sistem pembayaran dan memperluas penggunaan instrumen pembayaran non-tunai (less cash society). Terkait dengan fokus pertama, yaitu meningkatkan keamanan, keandalan dan efisiensi infrastruktur penyelenggaraan sistem pembayaran, program kerja yang dilaksanakan selama 2012 meliputi pengembangan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan NPG, pengembangan SKNBI, pengembangan sistem pembayaran dalam rangka meningkatkan akses terhadap penggunaan jasa sistem pembayaran (financial inclusion), penguatan business continuity management (BCM), penyempurnaan sistem informasi sistem pembayaran, serta peningkatan peran Bank Indonesia dalam forum internasional. Fokus selanjutnya, yaitu peningkatan keamanan penyelenggaraan sistem pembayaran, dijabarkan ke dalam program kerja implementasi penggunaan chip pada kartu ATM dan ATM/Debet, serta penyempurnaan framework pengawasan sistem pembayaran. Adapun penjabaran dari fokus perluasan penggunaan instrumen pembayaran non-tunai adalah program kerja untuk melakukan edukasi preferensi masyarakat untuk penggunaan sistem pembayaran non-tunai dan melakukan fasilitasi perluasan jenis dan jangkauan sistem pembayaran non-tunai. Selain program kerja jangka pendek di atas, Bank Indonesia juga sudah melakukan inisiatif untuk menjawab isu strategis yang muncul dalam sistem pembayaran nasional, seperti yang terkait dengan kerangka hukum dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dan setelmen melalui penyusunan ketentuan terkait perlindungan nasabah pengguna jasa sistem pembayaran dan penyusunan undang-undang sistem pembayaran. Selain itu Bank Indonesia juga mendorong peningkatan peran pelaku sistem pembayaran domestik dalam sistem pembayaran ritel dalam rangka menjawab isu terkait kelembagaan.
24
3.4 Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Hasil evaluasi SKNBI pada 2011 menunjukkan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap SKNBI baik dari aspek bisnis maupun teknis. Dalam jangka pendek, beberapa penyempurnaan yang telah dilakukan pada 2012 antara lain: 1) Efisiensi proses warkat debet, 2) Peningkatan bantuan kepada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) selain Bank Indonesia untuk mengoptimalkan peran PKL selain BI, 3) Implementasi kliring online pada beberapa wilayah kliring yang sebelumnya dilakukan secara offline, dan 4) Pembukaan akses SKNBI kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) melalui bank pengayom (Apex Bank). Dalam jangka panjang, perlu dilakukan pengembangan terhadap SKNBI secara menyeluruh agar dapat mengakomodir perkembangan serta kebutuhan masyarakat akan layanan transfer dana yang lebih efisien. Saat ini, layanan SKNBI masih terbatas pada transaksi yang bersifat konvensional yaitu transaksi Cek dan Bilyet Giro (BG) serta transfer individual. SKNBI belum dapat mengakomodir transaksi pembayaran yang bersifat rutin (billing payment) dan transaksi pembayaran yang bersifat jamak (bulk payment). Layanan SKNBI juga masih terbatas pada bank umum sebagai penyelenggara transfer dana (PTD), sementara PTD selain bank sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Transfer Dana belum memiliki akses terhadap SKNBI. Untuk kliring debet, masih terjadi ketidakefisienan penyediaan likuiditas oleh bank peserta kliring. Hal itu karena perhitungan mekanisme Failure to Settle (FtS) melalui penyediaan prefund dilakukan secara gross sehingga penyediaan dana menjadi lebih besar dari yang dibutuhkan (setelah dilakukan netting). Di sisi teknis, SKNBI yang telah beroperasi sejak 2005 semakin mendekati batas kapasitasnya dalam memproses transaksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2013, sebagian infrastruktur SKNBI sudah mencapai umur teknis dan berada pada periode end of support dari prinsipal. Sementara itu, aplikasi SKNBI yang bersifat satu
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
����
��������� ������
��������������������������������������
�������� ����������� ������ �����������
�������������� ����������������� ����������������������������
������ �������� ������ ��������� ���������
��������� ������
����������������������������
���� ���������� ����������� �����
�������������������������������������� ����������������������������
������������������� ���������������� ��������������� �������������������
����� ����������
���
����������
�������������������� ���������� ������
���������������������������� ���������������������������� ���������������� ������
������
Bagan 3.2 Bagan Grand Design Pengembangan SKNBI
kesatuan (tidak modular) menyebabkan penyempurnaan pada satu fitur akan berpengaruh pada fitur lain sehingga tidak fleksibel. Untuk kliring debet, penyelenggaraan yang masih tersebar di banyak wilayah (desentralisasi) menyebabkan biaya pemeliharaan menjadi tidak efisien. Untuk mengatasi kendala dan menyempurnakan kelemahan pada SKNBI, pada 2012 Bank Indonesia mulai melakukan pengembangan SKNBI. Sebagai tahap awal, Bank Indonesia menyusun konsep pengembangan SKNBI yang mengacu pada hasil evaluasi SKNBI. Bank Indonesia juga melakukan survei kepada bank-bank peserta SKNBI untuk menjaring kebutuhan dan masukan terkait rencana pengembangan SKNBI. Konsep pengembangan SKNBI juga dibahas bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai perwakilan industri. Berdasarkan hasil survei dan pembahasan dengan industri, dapat disimpulkan bahwa secara umum industri mendukung langkah Bank Indonesia untuk mengembangkan SKNBI.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Berdasarkan hasil evaluasi SKNBI saat ini dan masukan dari industri, pada 2012 Bank Indonesia telah menyusun desain pengembangan SKNBI. Pokok-pokok perbedaan antara SKNBI saat ini dengan SKNBI ke depan dapat dilihat pada matriks berikut:
�����
��������
��������������������
�������
�������������� ���������� ����������
� ������������������������������������ � ���������������������������������������� ���������������� � ��������������������������
�������
���������
���������������������������������������� ������������������������������������ ����������������
���������������
��������������� ����� ������������� ��������� �������������� ����� ��������������
��������������������������������������� ������
25
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Sebagai tahap awal pengembangan SKNBI, fokus utama kegiatan selama 2012 adalah penyusunan dan pembahasan grand design SKNBI. Penyusunan grand design, mengikutsertakan peserta SKNBI, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai perwakilan industri, dan otoritas terkait lainnya seperti Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) dalam rangka mendapatkan informasi mengenai kebutuhan bisnis dan arah kebijakan DJPU yang perlu diakomodir dalam SKNBI ke depan. Pengembangan SKNBI akan dimulai 2013, dengan mengacu pada grand design sebagaimana Bagan Grand Design Pengembangan SKNBI.
3.5 Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem Pembayaran Ritel Interkoneksi sistem pembayaran ritel menjadi cita-cita bersama Bank Indonesia dan para pengguna layanan jasa sistem pembayaran di Indonesia. Inisiatif untuk mewujudkan interkoneksi diperkenalkan melalui NPG. Bank Indonesia dan pelaku industri sistem pembayaran nasional telah memiliki kesepahaman bahwa terdapat kebutuhan masyarakat untuk menggunakan jasa sistem pembayaran ritel secara lebih efisien. Untuk mewujudkan efisiensi tersebut, perlu diupayakan untuk mengembangkan suatu sistem yang dapat menghubungkan antar penyelenggara sistem pembayaran. Sementara itu, kondisi saat ini penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel masih mengembangkan sistem masing-masing dan belum saling terhubung satu sama lain. Dalam rangka mewujudkan interkoneksi secara nasional diawali dengan upaya mendorong dua bank yang selama ini mendominasi transaksi pembayaran ritel yaitu Bank Mandiri dan BCA. Sejak pertengahan Januari 2012, nasabah pemegang kartu ATM Bank Mandiri dapat menggunakan kartunya di ATM BCA atau sebaliknya untuk fitur informasi saldo, tarik tunai dan transfer. Kerja sama ini sangat mendukung upaya perluasan akses layanan ATM di kedua bank tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tren peningkatan transaksi antar kedua bank
26
tersebut melalui ATM yaitu meningkat sebesar 174,27% dari awal mulai diimplementasikannya sampai dengan Desember 2012. Manfaat interkoneksi dua bank tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh positif kepada industri penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel, khususnya dalam membangun kesadaran dan kebutuhan adanya interkoneksi layanan. Hal tersebut dapat mendorong terwujudnya NPG yang tidak hanya mengkoneksikan penyelenggaraan ATM, namun dapat mengkoneksikan penyelenggaraan sistem pembayaran lainnya seperti kartu kredit, kartu debet, dan uang elektronik. Manfaat lain yang diperoleh dari interkoneksi adalah optimalisasi pemanfaatan infrastruktur yang disediakan industri perbankan. Dengan saling interkoneksi, bank tidak perlu lagi menyediakan infrastruktur berupa mesin ATM dan EDC di suatu tempat yang sama. Selain itu, penyelenggara sistem pembayaran dapat menempatkan infrastruktur secara lebih merata sehingga dapat meningkatkan penggunaan instrumen pembayaran nontunai oleh masyarakat dapat lebih luas. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia mengharapkan peran industri untuk mendistribusikan infrastruktur yang dimiliki sampai ke lokasi yang terpencil. Melalui NPG diharapkan arus informasi transfer dana dapat lebih terpantau, sehingga Bank Indonesia akan mudah mengontrol pergerakan dana baik domestik maupun antarnegara. Selain itu, NPG juga dapat digunakan untuk memantau kondisi likuiditas industri sistem pembayaran, sehingga melalui NPG tersebut bank sentral dapat melakukan pendeteksian dini dalam rangka mendukung stabilitas industri sistem pembayaran nasional. Selama periode laporan, terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pengembangan NPG yaitu menyusun kajian aspek hukum mengenai lembaga yang berwenang menyelenggarakan NPG. Dari hasil kajian, diperoleh kesimpulan bahwa secara ketentuan Bank Indonesia dapat bertindak sebagai penyelenggara NPG karena kegiatan NPG merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan kliring dan penyelesaian akhir.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Di samping itu, telah dilakukan kajian kebijakan NPG yang antara lain meliputi aspek keanggotaan, cakupan penyelenggaraan, mekanisme kliring dan setelmen. Selanjutnya guna memperoleh masukan dari industri terkait dengan pengembangan NPG, Bank Indonesia melakukan diskusi dengan industri yang diwakili oleh ASPI serta beberapa bank terkait.
3.6 Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi Interkoneksi Industri Uang Elektronik Salah satu karakteristik penggunaan uang elektronik adalah digunakan untuk transaksi dengan nilai kecil dan bersifat massive. Sektor transportasi merupakan sektor yang sesuai dengan karakteristik tersebut, sehingga sebagai tahap awal upaya mewujudkan interoperabilitas2 uang elektronik difokuskan pada sektor transportasi. Hal ini karena potensi pembayaran sektor transportasi seperti di TransJakarta, Kereta Api, Taxi, Perparkiran dan Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai Rp23,4 triliun/tahun. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan penggunaan uang elektronik di sektor ini, diharapkan dapat membiasakan masyarakat untuk menggunakan uang elektronik di sektor lain. Namun demikian, kondisi saat ini, penggunaan uang elektronik di Indonesia khusus untuk sektor transportasi masih terbatas dan belum optimal. Hal ini disebabkan masyarakat belum dapat merasakan kenyamanan dalam menggunakan uang elektronik. Saat ini diperlukan uang elektronik dari berbagai penerbit untuk melakukan berbagai transaksi khususnya di sektor transportasi, misalnya ketika akan bertransaksi membayar tol dan membayar parkir, diperlukan uang elektronik yang berbeda. Selain itu, kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan uang elektronik. Untuk mengatasi kondisi tersebut, Bank Indonesia memfasilitasi interkoneksi industri uang elektronik untuk 2 Interoperabilitas adalah kemampuan untuk bertukar informasi / bertukar layanan antar perangkat/sistem/ platform yang berbeda (sumber: IEEE Glossary)
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
mewujudkan interoperabilitas dalam penyelenggaraan uang elektronik dengan tahap awal di sektor transportasi. Sebagai tahap awal mewujudkan interoperabilitas tersebut, pada periode laporan Bank Indonesia telah memfasilitasi penggunaan uang elektronik di kereta api khususnya kereta komuter Jabodetabek. Hal tersebut sejalan dengan program Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang salah satunya yaitu mengatasi kemacetan di Jakarta. Sesuai hasil koordinasi dengan UKP4, salah satu langkah kolaboratif dalam jangka pendek (temporary solution) atas penggunaan uang elektronik di sektor transportasi publik adalah dengan menggunakan uang elektronik di kereta listrik (KRL), jalan tol dan TransJakarta. Fasilitasi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Fasilitasi Interkoneksi pada PT. KAI Grup Sebagai tindak lanjut pelaksanaan kesepakatan dengan Kementerian BUMN dan Bank Himbara, Bank Indonesia melakukan pembahasan dengan PT. KAI Grup termasuk anak perusahaannya yaitu PT. Kereta Api Commuter Jabodetabek (KCJ) dan PT. Railink Indonesia. Pada prinsipnya PT. KAI Grup sepakat untuk menerapkan e-ticketing di lingkungan PT. KAI melalui interkoneksi uang elektronik dari beberapa penerbit agar dapat meningkatkan layanan kepada penumpang yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terkait pengembangan e-ticketing, PT. KCJ dan bank telah melakukan uji coba untuk mengintegrasikan jaringan dan sistem dari penerbit. Selanjutnya, PT. KJC juga melakukan penataan sarana dan prasarana di lingkungan stasiun dan melakukan edukasi kepada seluruh penumpang terkait rencana implementasi e-ticketing. Tahap awal PT. KJC akan menempatkan 250 reader di 35 stasiun yang telah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk implementasi e-ticketing. Selain itu, dalam rangka mempersiapkan pembayaran tiket menggunakan uang elektronik pada kereta api bandara dari Kuala Namo menuju Medan, PT. Railink
27
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
telah menyiapkan infrastruktur e-payment agar dapat dimanfaatkan oleh bank-bank penerbit uang elektronik. 2. Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik pada TransJakarta Berkaca dari keberhasilan implementasi interkoneksi uang elektronik di TransJogja dan Prameks, Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan adopsi mekanisme interkoneksi uang elektronik (e-ticketing) pada TransJakarta di Jakarta. Pada akhir 2012 Pemprov DKI Jakarta menetapkan lima bank untuk mengimplementasikan e-ticketing TransJakarta yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA dan DKI. Dalam interkoneksi tersebut, Bank berperan dalam penyiapan infrastruktur e-ticketing TransJakarta, dan secara bersama-sama melakukan edukasi e-ticketing kepada masyarakat. Adapun kegiatan sampai dengan akhir 2012 adalah melakukan review pengembangan dan optimalisasi sistem, serta penyiapan sarana dan prasarana persiapan peresmian implementasi e-ticketing di Koridor 1 TransJakarta (Blok M – Kota) pada pertengahan Januari 2013. 3. Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik berbasis server Dalam rangka lebih meningkatkan penggunaan uang elektronik berbasis server, selama periode laporan, pada tahap awal telah dilakukan pertemuan antara Bank Indonesia dengan tiga penerbit uang elektronik berbasis server yaitu Indosat, Telkomsel dan XL. Dari hasil pertemuan, ketiga penerbit uang elektronik berbasis server tersebut sepakat untuk turut mendukung program Bank Indonesia guna mewujudkan interkoneksi di industri ini. Sesuai target interkoneksi akan dapat diselesaikan pada pertengahan tahun 2013. Selain kegiatan fasilitasi, untuk mewujudkan interkoneksi, Bank Indonesia juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Negara BUMN, tiga Bank BUMN, dan beberapa perusahaan BUMN. Untuk mewujudkan interkoneksi uang elektronik di sektor transportasi
28
dibutuhkan dukungan dan sinergi penyedia jasa transportasi BUMN di Indonesia mengingat potensinya yang sangat besar. Dari hasil koordinasi dengan Kementerian Negara BUMN diperoleh komitmen untuk membentuk prinsipal uang elektronik dan menghilangkan perjanjian kerjasama yang eksklusif di sektor transportasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan uang elektronik.
3.7 Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet Untuk meningkatkan keamanan pada penyelenggaraan kartu ATM dan ATM/Debet, Bank Indonesia menginisiasi penyusunan standar kartu ATM dan ATM/Debet berbasis chip mengingat teknologi chip merupakan teknologi paling aman saat ini. Dalam rangka mendukung implementasi standar dimaksud, Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/22/DASP tanggal 18 Oktober 2011 perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada Kartu ATM dan ATM/Debet yang diterbitkan di Indonesia. Hal tersebut memberikan konsekuensi pada dimulainya tahapan implementasi pada 2012. Sejumlah tahapan persiapan implementasi terus dilakukan selama 2012, yaitu pembentukan Certification Body (CB) dan pelaksanaan proses sertifikasi vendor kartu dan mesin, yaitu: 1. Pembentukan dan operasionalisasi Certification Body (CB) Pada Juli 2012, CB telah terbentuk dengan nama PT. Citra Bakti Indonesia (CBI) dan dimiliki oleh Forum Prinsipal. Fungsi dari CB adalah melakukan sertifikasi terhadap produk kartu dan mesin dari berbagai vendor untuk memastikan kesesuaian dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan dilakukan functional dan security test. 2. Pendistribusian Spesifikasi Teknis National Standard for Indonesia Chip Card Specification (NSICCS) Proses pendistribusian spesifikasi teknis NSICCS berlangsung sejak akhir 2011. Hampir seluruh penerbit telah memperoleh spesifikasi teknis terutama penerbit yang telah menjadi anggota prinsipal. Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
3.8 Penguatan Aspek Hukum dalam Sistem Pembayaran Penerbitan ketentuan Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran selama 2012 Sesuai amanat yang diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Tugas pengaturan ini dilaksanakan dengan menerbitkan berbagai ketentuan Bank Indonesia, baik dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia. Selama tahun 2012, Bank Indonesia menerbitkan tiga Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan tujuh Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Penyempurnaan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) Sepanjang tahun 2012 Bank Indonesia menerbitkan empat ketentuan terkait penyelenggaraan kegiatan APMK, yaitu: 1) PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK; ��
���������
�������
2) SE BI Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal Perubahan atas SE BI Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan APMK; 3) SE BI Nomor 14/27/DASP tanggal 25 September 2012 perihal Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit; dan 4) SE BI Nomor 14/34/DASP tanggal 27 November 2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit. Penerbitan empat ketentuan ini dimaksudkan untuk memperkuat dan menyempurnakan pengaturan APMK yang telah diterbitkan selama ini. Materi pengaturan yang disempurnakan kali ini sebagian besar terkait dengan penyelenggaraan kegiatan kartu kredit. Meskipun demikian, dua jenis APMK lainnya, yaitu kartu ATM dan kartu ATM/Debet, juga terdapat beberapa penyesuaian ketentuan. Sejalan dengan pengaturan APMK selama ini, aspek pengaturan APMK tetap terdiri dari tiga besaran, yaitu aspek pengaturan sistem pembayaran (payment system aspect), aspek kehati-hatian (prudential aspect), dan aspek perlindungan konsumen (consumer protection aspect).
�������
��������
��������
��
����������
���������������� ������������������������������������������������������������������������������ ���������������������������������������������������������������
��
��������������
���������������� �������������
��
����������
���������������� ��������������������������������������
��
����������
����������������� ����������������������������������������������
��
����������
���������������
�������������������������������������������������������������������������������� ������������������������������������������������������������������������������������ ������������������������������������������
����������
��
����������
������������
�������������������������������������������������������������������������������� ����������������������������������������������������������������������������������������� ���������������������������
����������
��
����������
�����������
����������������������������������������������������������������������������������� �������������������������������������������������
����������
��
����������
�������������
��������������������������������������������������������������������
��
�������������
�������������
����������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������
���
�������������
���������������
������������������������������������������������������������������������������������ ��������������������������������������������������
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
�������������
����������
���������������
29
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Selama 2012 penyempurnaan ketentuan APMK lebih dititikberatkan pada peningkatan aspek perlindungan konsumen. Penyampaian Informasi Terkait dengan pengaturan di bidang informasi, Bank Indonesia memperluas cakupan pengaturan mengenai penyampaian informasi yang wajib dilakukan oleh penyelenggara kepada pemegang kartu. Pengaturan sebelumnya yang telah memuat kewajiban penyampaian informasi mengenai prosedur penggunaan kartu, hak dan kewajiban pemegang kartu, mekanisme penyampaian keluhan, risiko penggunaan kartu, biaya yang dikenakan, dan lain sebagainya diperluas lagi dengan adanya kewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai mekanisme penutupan kartu, rekapitulasi transaksi tahunan, informasi kurs untuk transaksi di luar negeri dan kualitas kredit bagi pemegang kartu kredit. Tata cara penyampaian informasi ini pun dirinci, termasuk dimuatnya pengaturan mengenai tata cara dan waktu penyampaian rincian tagihan untuk pemegang kartu kredit. Dengan bertambahnya cakupan informasi yang harus disampaikan ini diharapkan pemegang kartu menjadi lebih waspada dan bijak dalam menggunakan kartunya. Penyeragaman Pola Penghitungan Tagihan Kartu Kredit Salah satu keluhan yang sering ditemui di masyarakat terkait penyelenggaraan kegiatan kartu kredit adalah tidak seragamnya pola penghitungan tagihan kartu kredit. Hal ini dimungkinkan terjadi karena selama ini pola penghitungan tagihan ini diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing penerbit. Oleh karena itu, dalam penyempurnaan ketentuan APMK tersebut telah dilakukan penyeragaman pola penghitungan tagihan dalam menentukan komponen, penghitungan jangka waktu ataupun besaran komponen tagihan tersebut di antara para penerbit. Langkah pertama penyeragaman yang dilakukan adalah dengan menentukan bahwa penghitungan bunga dimulai
30
sejak tanggal posting transaksi, bukan pada tanggal transaksi dilakukan. Apakah yang dimaksud dengan tanggal posting? Tanggal posting adalah tanggal pada waktu penerbit kartu kredit benar-benar melakukan pembayaran atau penalangan dana kepada acquirer atas transaksi yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Langkah selanjutnya adalah dengan membatasi pengenaan bunga hanya terhadap sisa (outstanding) tagihan kartu kredit yang belum dibayar, yang bersumber dari transaksi pembelanjaan atau tarik tunai saja. Dengan penegasan bahwa biaya, denda dan bunga terutang dilarang untuk dikenakan bunga lagi, maka pola penghitungan tagihan “bunga berbunga” tidak dapat dilakukan lagi. Etika Penagihan Kartu Kredit Ketentuan lama APMK telah mengatur mengenai pola penagihan, termasuk tata cara dalam hal penagihan akan dilakukan dengan memanfaatkan jasa pihak ketiga. Namun demikian masukan yang disampaikan kepada Bank Indonesia menunjukkan bahwa praktek pelaksanaan penagihan ini masih perlu disempurnakan lagi, dan ditingkatkan kualitas pelaksanaannya untuk melindungi dan memberikan kenyamanan bagi pemegang, serta memberikan hasil yang lebih efektif bagi penerbit. Secara umum ketentuan APMK baru menambahkan dan menegaskan beberapa unsur baru yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan penagihan. Misalnya, terdapat penegasan bahwa pihak yang melakukan penagihan harus sudah memperoleh pelatihan yang memadai, dan memahami etika penagihan yang berlaku. Terkait pelaksanaan penagihan sendiri, ketentuan APMK mengatur antara lain bahwa penagihan hanya dapat dilakukan di alamat penagihan dan dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan 20.00 waktu setempat. Penagihan tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan, menggunakan tekanan, serta dilakukan kepada pihak lain yang bukan merupakan pemegang kartu yang bersangkutan.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Khusus untuk penagihan yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, terdapat beberapa tambahan pengaturan lainnya. Pertama, penagihan oleh pihak ketiga ini hanya dapat dilakukan bila kolektibilitas kredit sudah masuk kategori “macet”. Kedua, kerjasama ini wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai alih daya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terakhir, penerbit kartu kredit wajib menjamin bahwa kualitas penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sama dengan jika penagihan dilakukan oleh penerbit sendiri. Transaction Alert Untuk meningkatkan keamanan bagi pemegang kartu kredit, maka dalam ketentuan APMK baru terdapat kewajiban bagi penerbit untuk menyampaikan transaction alert setelah terdapat transaksi yang memenuhi kondisi tertentu. Transaction alert ini disampaikan melalui short message service (sms) atau sarana lainnya yang dipilih oleh pemegang kartu. Selama prinsip transaction alert berisikan notifikasi bahwa telah terjadi transaksi dengan menggunakan kartu kredit pemegang, dan menginformasikan kepada pemegang nomor telepon yang dapat dihubungi bila pemegang tidak merasa melakukan transaksi tersebut. Terkait penyampaian transaction alert, terdapat beberapa kondisi, diantaranya adalah saat terdapat transaksi di merchant yang masuk kategori berisiko tinggi, terdapat transaksi yang tidak sesuai dengan profil pemegang, terdapat transaksi berkali-kali dengan nilai sama, atau saat kartu kredit digunakan untuk pertama kalinya. Persyaratan Kepemilikan Kartu Kredit Dari sisi kepemilikan kartu kredit, Bank Indonesia mengatur kembali mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh individu untuk dapat menjadi pemegang kartu kredit. Persyaratan ini dimulai dengan persyaratan bersifat dasar berupa syarat minimum usia 21 tahun bagi pemegang kartu utama, dan 17 tahun bagi pemegang kartu tambahan. Syarat usia ini diharapkan dapat menyaring agar pemegang kartu kredit adalah individu-
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
yang telah dewasa, dan matang dalam memahami risiko penggunaan kartu kredit. Syarat dasar berikutnya adalah minimum pendapatan sebesar tiga juta rupiah per bulan. Syarat ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pemegang kartu kredit merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk membayar dan mengelola fasilitas kredit yang diberikan melalui kartu kredit. Dalam hal ini pendapatan harus dibuktikan dengan dokumen resmi berupa slip gaji bagi calon pemegang kartu kredit yang bekerja pada perusahaan atau lembaga, atau bukti setoran pajak bagi yang memiliki usaha sendiri. Kedua syarat ini disebut syarat dasar perolehan kartu kredit sehingga calon pemegang yang tidak memenuhi kedua syarat diatas pada prinsipnya tidak diperbolehkan untuk memegang kartu kredit. Setelah pengaturan persyaratan dasar di atas, untuk memperkuat aspek kehati-hatian dalam pemberian kredit, maka terdapat pengaturan persyaratan mengenai plafon kredit dan jumlah penerbit yang dapat memberikan kartu kredit. Persyaratan ini hanya berlaku bagi pemegang kartu kredit yang memiliki pendapatan antara tiga juta rupiah sampai dengan sepuluh juta rupiah. Bagi pihak yang masuk dalam kategori tersebut, maka batas maksimal plafon kredit yang dapat diberikan oleh seluruh penerbit kartu kredit adalah sebesar tiga kali pendapatan bulanannya. Batas maksimal plafon ini berlaku secara industri; artinya total plafon seluruh kartu kredit yang dimiliki oleh pemegang kartu akan dijumlahkan, dan jumlah tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan. Pembatasan selanjutnya adalah mengenai jumlah penerbit, yaitu untuk pemegang kartu yang masuk kategori diatas akan dibatasi hanya dapat menerima kartu kredit dari dua penerbit yang berbeda. Perlu dipertegas bahwa yang dibatasi disini bukanlah jumlah kartu kredit melainkan jumlah penerbitnya. Untuk melaksanakan dua pembatasan di atas, seluruh penerbit kartu kredit di Indonesia diwajibkan untuk saling bertukar informasi mengenai jumlah plafon kredit dan informasi individu yang telah diberikan kartu kredit oleh penerbit dimaksud. Pembatasan ini berlaku sejak 1 Januari 2013, sehingga sejak tanggal tersebut individu
31
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
dengan penghasilan tiga sampai dengan sepuluh juta rupiah hanya dapat menerima kartu kredit dari penerbit dengan total plafon tidak melebihi tiga kali pendapatan per bulannya. Untuk pemegang kartu yang telah memperoleh kartu kredit sebelum 1 Januari 2013, penerbit diberikan waktu sampai dengan 1 Januari 2015 untuk menyesuaikan kepemilikan kartu kredit dengan persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan APMK ini. Secara garis besar, mekanisme penyesuaian dilakukan pertama di level industri, yakni penerbit diwajibkan untuk saling bekerjasama dalam melakukan penyesuaian kepemilikan kartu kredit yang pemegang kartunya memiliki pendapatan antara tiga sampai dengan sepuluh juta rupiah tersebut. Apabila upaya untuk melakukan penyesuaian kepemilikan kartu kredit yang dilakukan oleh para penerbit tidak berhasil, maka upaya penyelesaiannya dapat diajukan kepada Bank Indonesia. Mekanisme pelaksanaan penyesuaian kepemilikan kartu kredit ini diatur secara rinci dalam SE BI Nomor 14/27/DASP tanggal 25 September 2012 perihal Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit. Penetapan Suku Bunga Maksimum Kartu Kredit Salah satu pengaturan baru lainnya yang diatur dalam ketentuan baru APMK adalah mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan batas maksimum suku bunga kartu kredit. Selama ini batas maksimum suku bunga kartu kredit ditetapkan oleh penerbit kartu kredit dengan mempertimbangkan risiko dan biaya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kegiatan kartu kreditnya. Besarannya bisa berbeda antar bank, dan bahkan bisa berbeda antar jenis kartu kredit yang diterbitkan oleh penerbit yang sama. Melalui SE BI Nomor 14/34/DASP tanggal 27 Nopember 2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit, Bank Indonesia telah menetapkan bahwa batas maksimum suku bunga kartu kredit yang dapat ditetapkan oleh penerbit adalah sebesar 2,95% (dua koma sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh lima koma empat puluh persen) per tahun. Nilai ini ditetapkan
32
dengan mempertimbangkan indikator perekonomian yang ada, struktur biaya dalam kegiatan kartu kredit serta praktek suku bunga yang dikenakan oleh penerbit selama ini. Penerbitan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank Sebagai tindak lanjut dari telah diberlakukannya UndangUndang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 tahun 2010), Bank Indonesia menerbitkan dua ketentuan terkait pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) Selain Bank, yaitu: 1) PBI Nomor 14/3/PBI/2012; dan 2) SE BI Nomor 14/38/DASP tanggal 28 Desember 2012. Penerbitan kedua ketentuan tersebut didasarkan pada amanat dalam UU No. 8 tahun 2010 kepada Bank Indonesia, selaku Lembaga Pengawas dan Pengatur, untuk menerbitkan ketentuan prinsip mengenali pengguna jasa bagi penyelenggara kegiatan APMK, Uang Elektronik dan kegiatan usaha pengiriman uang. Cakupan prinsip mengenali pengguna jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UU No. 8 tahun 2010 bahwa prinsip mengenali pengguna jasa sekurangnya memuat identifikasi, verifikasi dan pemantauan transaksi pengguna jasa. Cakupan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa kemudian dikembangkan dalam bentuk program APU PPT bagi PJSP Selain Bank yang komprehensif. Struktur program APU PPT ini terdiri atas beberapa besaran materi pengaturan, yang antara lain terdiri atas materi terkait tanggung jawab direksi dan komisaris, kebijakan dan prosedur, pengendalian internal, dan sumber daya manusia. Dilihat dari ruang lingkupnya sendiri, program APU PPT ini wajib diterapkan oleh PJSP Selain Bank yang merupakan penerbit dan acquirer APMK, uang elektronik dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang atau penyelenggara transfer dana.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Dilihat dari porsinya, penekanan program APU PPT terdapat pada materi kebijakan dan prosedur, yang lebih lanjut dipecah menjadi mekanisme pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD), penatausahaan dokumen, penetapan profil dan pengkinian informasi pengguna jasa, penolakan dan penghentian hubungan usaha, kebijakan dan prosedur transfer dana, dan pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). CDD adalah kegiatan identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan penyelenggara untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil pengguna jasa, sedangkan EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan penyelenggara pada saat berhubungan dengan pengguna jasa yang tergolong berisiko tinggi termasuk politically exposed person terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dalam rangka pelaksanaan CDD dan EDD, PJSP Selain Bank harus meminta dokumen-dokumen terkait identitas pengguna jasa dan transaksi yang dilakukannya, dan memastikan apakah transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa yang disusun oleh Penyelenggara. Dalam hal terdapat transaksi yang tidak sesuai dengan profil pengguna jasa, maka penyelenggara memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi tersebut kepada PPATK. Untuk memberikan kesempatan kepada PJSP Selain Bank untuk mempelajari, memahami dan kemudian menerapkan program APU PPT ini Bank Indonesia memberikan masa transisi sehingga ketentuan-ketentuan APU PPT bagi PJSP Selain Bank ini baru akan berlaku pada 8 Juni 2013. Setelah tanggal tersebut, Bank Indonesia akan mulai melakukan pengawasan kepada PJSP Selain Bank untuk memastikan kesiapan dan kepatuhan PJSP Selain Bank dalam menerapkan program APU PPT ini. Penerbitan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Transfer Dana Pada 23 Maret 2011 diundangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana). Materi yang diatur dalam UU Transfer Dana telah relatif
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
lengkap. Namun demikian masih terdapat beberapa aspek pengaturan yang dipandang perlu untuk diatur lebih lanjut dalam PBI. Untuk melaksanakan amanat dalam UU Transfer Dana tersebut, pada 26 Desember 2012 Bank Indonesia telah menerbitkan PBI Nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana (PBI Transfer Dana). Dengan mempertimbangkan bahwa pengaturan dalam UU Transfer Dana sendiri telah relatif lengkap, maka ketentuan yang dimuat dalam PBI Transfer Dana lebih bersifat melengkapi materi pengaturan yang ada dalam UU Transfer Dana. Adapun materi dalam PBI Transfer Dana meliputi materi terkait perizinan penyelenggara transfer dana, pelaksanaan transfer dana, pelaksanaan transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai, jasa bunga dan kompensasi, biaya transfer dana, pemantauan dan sanksi administratif. Dalam materi terkait perizinan, Bank Indonesia menegaskan kembali bahwa pihak selain bank yang dapat menjadi penyelenggara transfer dana harus merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia. Untuk dapat menjadi penyelenggara badan usaha berbadan hukum Indonesia tersebut harus mengajukan permohonan ke Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen yang ditetapkan. Bank Indonesia juga mengatur mengenai Tempat Penguangan Tunai (TPT). TPT ini merupakan pihak yang bekerjasama dengan penyelenggara transfer dana untuk melakukan penguangan dana hasil transfer yang telah dialokasikan dalam rekening untuk kepentingan penerima (beneficiary). Dalam hal ini TPT bukan merupakan penyelenggara sehingga TPT tidak perlu memperoleh izin dari Bank Indonesia. Namun dalam pelaksanaan kerja sama ini tentunya penyelenggara wajib melaporkannya kepada Bank Indonesia, dengan memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Terkait kerjasama dengan pihak di luar negeri, Bank Indonesia mengatur bahwa pelaksanaan kerjasama tersebut hanya dapat dilakukan dengan penyelenggara di luar negeri yang telah memperoleh izin dari otoritas setempat untuk melakukan kegiatan transfer dana. Kerja sama ini juga harus didasarkan pada suatu perjanjian
33
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
tertulis, yang antara lain harus memuat penerapan asas resiprositas, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme penetapan kurs, biaya dan penyelesaian akhir, serta mekanisme penyelesaian masalah. Pengaturan mengenai pelaksanaan transfer dana yang dimuat dalam PBI Transfer Dana lebih banyak terkait dengan tata cara dan mekanisme pelaksanaan transfer dana dalam kondisi atau sistuasi tertentu, misalnya dalam hal terjadi keadaan darurat, terjadi kekeliruan, serta pengembalian dana. Pengaturan mengenai transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai menitikberatkan pada situasi dimana pihak pengirim asal (originator) dan penerima (beneficiary) dalam suatu transfer dana melakukannya dengan menggunakan uang tunai. Dalam hal ini PBI Transfer Dana mengatur mengenai mekanisme yang harus dilakukan oleh penyelenggara penerima akhir dalam menyampaikan pemberitahuan kepada penerima mengenai dana yang menjadi haknya, dan mekanisme yang harus dilakukan apabila dana tersebut tidak diambil oleh penerima maupun pengirim asal dalam hal dana dikembalikan. Dalam hal pengirim asal juga tidak mengambil kembali dana tunainya yang semulaakan ditransfer, maka penyelenggara pengirim asal dapat menyerahkan dana tersebut kepada Balai Harta Peninggalan untuk mengurus dana tersebut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan kewenangan untuk melakukan pemantauan atas penyelenggaraan kegiatan transfer dana, dalam PBI ini dijelaskan metode pelaksanaan pemantauan oleh Bank Indonesia, yaitu dengan cara pengamatan (monitoring), penilaian (assessment) dan upaya mendorong perubahan (inducing change). Upaya pemantauan ini ditujukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan transfer dana dilakukan dengan baik, masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab sesuai porsinya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan yang berlaku, dalam hal segala upaya untuk memperbaiki penyelenggaraan
34
transfer dana tersebut tidak berhasil, maka sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium Bank Indonesia berwenang untuk mengenakan sanksi administratif kepada penyelenggara, berupa teguran tertulis, denda, penghentian kegiatan atau pencabutan izin. Mengingat masih terdapat beberapa hal yang masih belum cukup diatur dalam PBI Transfer Dana, maka Bank Indonesia akan menerbitkan pula aturan pelaksanaan PBI dimaksud dalam bentuk SE BI. Diharapkan SE BI ini dapat diterbitkan pada triwulan II di tahun 2013.
3.9 Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN Dalam rangka pengembangan sistem pembayaran dan setelmen di ASEAN, ASEAN Working Committee on Payment and Settlement Systems (WC PSS) telah menyusun rekomendasi yang terbagi dalam milestone dan tahapan sebagai berikut: - Rekomendasi jangka pendek (2012-2013), memuat mengenai standardisasi. - Rekomendasi jangka menengah (2014-2015), memuat mengenai pengembangan infrastruktur dan prasarana sistem pembayaran dan setelmen. - Rekomendasi jangka panjang (setelah 2015), memuat mengenai pengkajian kemungkinan pengembangan linkages antara berbagai sistem pembayaran di kawasan ASEAN. Sesuai milestone rekomendasi di atas, fokus tahun 2012 adalah pada penerapan standar dalam sistem pembayaran dan setelmen, baik sistem pembayaran nilai ritel maupun nilai besar. Dalam jangka pendek, salah satu bentuk proses menuju standardisasi di sisi sistem pembayaran nilai besar adalah pada penggunaan message format berbasis SWIFT pada sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II mengingat message format berbasis SWIFT merupakan best practice yang digunakan oleh institusi keuangan di berbagai negara. Dengan penggunaan message format berstandar
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
internasional tersebut diharapkan akan mempermudah interkoneksi infrastruktur baik di perbankan nasional maupun dengan sistem pembayaran dan setelmen di negara lain. Penggunaan message format berbasis SWIFT dalam BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II di atas sejalan dengan rekomendasi WC-PSS yang lain, yaitu yang terkait dengan adanya penyelenggaraan straight through processing (STP) untuk setelmen surat berharga, baik di tingkat domestik maupun lintas batas negara. Dari sisi sistem pembayaran ritel, upaya yang telah dilakukan dalam rangka menuju standardisasi adalah dengan penerapan standar untuk kartu ATM dan ATM/ Debet, yang meliputi standar penggunaan Chip dan standar digit PIN. Tujuan standardisasi tersebut, di samping untuk perlindungan nasabah dari risiko fraud adalah juga untuk memudahkan dalam mewujudkan interoperability yang lebih luas di masa yang akan datang, baik di level domestik maupun internasional serta efisiensi dan memudahkan dalam pengembangan fungsi-fungsi lainnya di masa yang akan datang. Selain rekomendasi terkait standardisasi di atas, rekomendasi jangka pendek lainnya adalah terkait dengan kebijakan untuk mendorong penggunaan jasa remitansi formal serta peningkatan transparansi biaya remitansi untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen. Upaya yang telah dilakukan terkait rekomendasi untuk mendorong penggunaan jasa remitansi formal, antara lain dengan mendorong penyedia jasa remitansi non formal untuk menjadi berizin (formal), mendorong penyedia jasa keuangan non bank formal untuk dapat menjangkau daerah pedesaan dan masyarakat yang belum menggunakan jasa perbankan, serta melalui edukasi dan sosialisasi kepada pengguna jasa remitansi (TKI) untuk menggunakan jasa remitansi formal. Sementara upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan transparansi biaya remitansi adalah dengan ketentuan yang mewajibkan pihak penyelenggara jasa remitansi untuk transparan dalam hal biaya.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
3.10 Peningkatan Efisiensi Dalam Layanan Kepada Kemenkeu Dalam rangka upaya peningkatan kualitas dan efisiensi pelayanan kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), telah dilakukan pengembangan Sistem Bank Indonesia Government electronic Banking (Sistem BIG-eB), dan penerapan standar layanan sesuai dengan Standar Manajemen Mutu (SMM), yaitu ISO 9001:2008. Selama 2012, Pengembangan Sistem BIG-eB dan penerapan SMM dalam layanan kepada Pemerintah sebagai berikut: 1. Penyempurnaan Sistem BIG-eB dalam rangka efisiensi layanan kepada Kemenkeu Penyempurnaan Sistem BIG-eB dilakukan dalam rangka memfasilitasi kebutuhan Pemerintah (Kemenkeu) dan persiapan interkoneksi Sistem BIGeB dengan Sistem Perbendaharaan Aparatur Negara (SPAN) sejalan dengan perkembangan kebutuhan Kemenkeu. Untuk mengakomodir kebutuhan Kemenkeu telah dilakukan pengembangan fitur-fitur yaitu: a. Perubahan tampilan fitur yaitu penambahan fungsi Monitoring transaksi Interface pada menu inquiry. b. Penambahan Laporan Kurs Neraca dan Kurs Transaksi pada menu Laporan. Sedangkan untuk persiapan interkoneksi sistem BIGeB telah dilakukan pengembangan fungsi upload dan tahapan pengembangan yang meliputi: 1) User Acceptance Test (UAT) bersama Kemenkeu terkait perubahan fitur pada September 2012. 2) Unit Test bersama Kemenkeu untuk implementasi Interkoneksi SPAN pada Oktober – Desember 2012. 2. Standar Manajemen Mutu (ISO 9001: 2008) Sertifikasi Standar Manajemen Mutu ISO 9001:2008 yang dimulai sejak Mei 2010 merupakan salah satu wujud upaya peningkatan kualitas layanan kepada stakeholders. Adapun ruang lingkup layanan
35
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
yang telah memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008 meliputi layanan penatausahaan rekening dan penyelesaian transaksi untuk Pemerintah serta layanan penatausahaan rekening giro untuk rekening bank dalam valuta asing. Pencapaian sasaran mutu yang telah ditetapkan adalah cerminan dari peningkatan kualitas layanan yang diberikan dan tentunya diharapkan akan dapat memberikan nilai tambah bagi Pemerintah sebagai salah satu stakeholders utama. Secara periodik, dilakukan evaluasi, review dan/ atau penyesuaian terhadap sasaran mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan perubahan bisnis yang ada, baik
Selama 2012, telah dilakukan dua kali surveillance audit oleh auditor eksternal untuk menilai keefektifan implementasi ISO 9001:2008, yaitu pada April dan November 2012. Berdasarkan hasil kedua surveillance audit tersebut, pihak auditor menyatakan bahwa layanan yang diberikan masih sesuai dengan ruang lingkup SMM sehingga sertifikasi ISO9001:2008 masih dapat dipertahankan.
di Kemenkeu maupun Bank Indonesia.
36
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Boks 3.1
Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa Timur
Nasabah BPR di Jawa Timur saat ini dapat melakukan transfer dana antar BPR maupun antara BPR dengan bank umum secara mudah dan cepat. Hal tersebut dimungkinkan sejak dikembangkannya sistem transfer dana bagi BPR yang dikenal dengan nama STKE BPR yang merupakan kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Jatim. Sistem yang diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution pada 29 November 2012 di Surabaya tersebut merupakan terobosan baru dalam penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia. Sistem ini menghubungkan antara BPR dengan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) melalui bank pengayom (apex bank). Oleh karena itu, melalui sistem ini BPR akan memiliki akses transfer dana secara nasional kepada seluruh bank peserta kliring. Pengembangan STKE BPR dilandasi oleh kebutuhan transfer dana bagi nasabah BPR yang kian meningkat. Tidak hanya transfer dana antar nasabah BPR melainkan juga transfer dana antara nasabah BPR dengan bank umum. Sebelum sistem ini ada, transfer dana antar BPR dilakukan melalui bank umum sehingga BPR harus memiliki rekening di beberapa bank umum. Hal itu dilakukan karena BPR tidak memiliki akses secara langsung terhadap layanan sistem transfer dana. Akibatnya, layanan transfer dana bagi nasabah BPR menjadi terbatas. Dengan adanya STKE BPR maka BPR cukup memiliki satu rekening di bank pengayom BPR. Melalui bank pengayom tersebut transfer dana BPR akan diteruskan kepada BPR lain sesama anggota bank pengayom. Selain itu, bank pengayom juga akan meneruskan transfer dana antara BPR dengan bank umum melalui SKNBI. Dengan mekanisme ini, nasabah BPR bisa melakukan transfer dana ke seluruh bank peserta kliring seperti halnya nasabah bank umum. STKE BPR rencananya akan dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia secara bertahap. Untuk tahap awal, pilot project STKE BPR dikembangkan Bank Indonesia bersama dengan Bank Jatim yang bertindak sebagai bank pengayom untuk BPR di wilayah Jawa Timur. Pemilihan Jawa Timur sebagai wilayah pilot project didasari oleh eksistensi Bank Jatim sebagai bank pengayom yang dinilai berhasil.Dari 330 BPR yang ada, sebanyak 274 BPR atau 83%-nya telah menjadi anggota bank pengayom BPR. Hingga saat ini tercatat 109 BPR anggota bank pengayom telah bergabung dalam layanan STKE BPR. Manfaat utama STKE BPR adalah terbukanya akses layanan sistem pembayaran bagi BPR. Dengan adanya STKE ini, praktis tidak ada lagi hambatan bagi BPR dalam melakukan transfer dana, baik kepada sesama BPR maupun kepada bank umum. Kegiatan transfer dana pun menjadi semakin mudah dan efisien bagi nasabah BPR. Hal ini tentu akan meningkatkan kualitas layanan transfer dana BPR kepada nasabahnya yang kini bisa dikatakan sudah “sejajar” dengan bank umum. Selain itu, STKE BPR juga akan meningkatkan fee based income BPR dari layanan transfer dana. Pada akhirnya, seluruh manfaat tersebut akan meningkatkan loyalitas nasabah dan memperkuat daya saing BPR sebagai ujung tombak layanan perbankan, khususnya kepada masyarakat kecil serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Manfaat lain yang dapat diperoleh dari pengembangan STKE BPR adalah memperluas akses layanan keuangan kepada masyarakat (financial inclusion), terutama terkait dengan transfer dana. Hal itu karena STKE BPR akan memudahkan akses masyarakat yang belum menjadi nasabah bank (unbanked people) untuk melakukan transfer dana. Selain melalui bank umum, kini masyarakat juga dapat melakukan transfer dana melalui BPR terdekat. Dengan demikian, layanan transfer dana yang mudah dan efisien akan dapat dinikmati secara lebih merata, baik bagi masyarakat perkotaan maupun masyarakat di pelosok pedesaan yang belum terjangkau oleh layanan bank umum.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
37
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
38
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia sebagai otoritas system pembayaran berwenang untuk melakukan pengawasan, selain melakukan pengaturan dan perizinan dalam penyelenggaraan system pembayaran. Obyek pengawasan sistem pembayaran meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS) dan non-SIPS. Sistem yang dikategorikan sebagai SIPS adalah Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Adapun sistem pembayaran yang non-SIPS meliputi SKNBI, APMK, uang elektronik, dan KUPU atau transfer dana. Ruang lingkup sistem pembayaran menitik beratkan pada aspek keamanan, keandalan, efisiensi, dan perlindungan konsumen.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
39
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Bab 4
Pengawasan Sistem Pembayaran
Sebagaimana diamanatkan UU Bank Indonesia dan UU Transfer Dana, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran berwenang untuk melakukan pengawasan, pemantauan, atau pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran, selain kewenangan di bidang pengaturan dan perizinan serta penyelenggaraan sistem pembayaran. Obyek pengawasan sistem pembayaran meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment Systems (SIPS) maupun yang non-SIPS. Sistem pembayaran yang dikategorikan sebagai SIPS merupakan sistem pembayaran yang apabila terjadi gangguan pada sistem tersebut dapat menimbulkan gangguan secara sistemik yang berdampak kepada sistem keuangan secara luas yaitu Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Adapun sistem pembayaran yang non-SIPS meliputi SKNBI, APMK, Uang Elektronik dan KUPU. Ruang lingkup pengawasan Sistem Pembayaran menitikberatkan pada aspek keamanan, dan efisiensi di dalam penyelenggaraannya serta memastikan dipatuhinya ketentuan Bank Indonesia seperti ketentuan perlindungan konsumen, manajemen risiko serta Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). Seluruh penyelenggara sistem pembayaran yang berizin dari Bank Indonesia, menjadi obyek pengawasan Bank Indonesia.
4.1 Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan, dari sisi operasional, terjaganya ketersediaan Sistem BIRTGS, BI-SSSS, dan PVP selama tahun 2012 tidak terlepas dari keandalan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS serta Business Continuity Plan (BCP) untuk menyediakan infrastruktur back up system yang dapat menggantikan setiap saat bila terjadi gangguan pada sistem utama. Terkait dengan kesinambungan dan kesiapan back up system tersebut, dari hasil pengawasan selama periode laporan telah dilakukan uji coba secara berkala terhadap back up system, serta pengkinian sistem jaringan komunikasi data yang semula System Network Architecture (SNA) menjadi Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCPIP). Beralihnya sistem jaringan komunikasi data tersebut sejalan dengan tren pertumbuhan jumlah transaksi yang sangat tinggi, sehingga diperlukan teknologi yang mampu menampung kapasitas yang lebih besar, mengingat teknologi SNA hanya mempunyai kapasitas 64kb dan saat ini sudah tidak supported dan obsolete. Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan PvP Selama periode laporan, keandalan Sistem BI-RTGS terjaga dengan baik terlihat dari ketersediaan atau tingkat
40
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
availability Sistem BI-RTGS yang memenuhi service level yang telah ditetapkan. Hal serupa juga dialami oleh sistem PvP yang merupakan sarana untuk bertransaksi USD/IDR melalui PvP Link. Selama periode laporan, sistem PvP berjalan dengan aman dan lancar yang ditandai dengan tingkat ketersediaan sistem yang memenuhi service level yang telah ditetapkan. Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-SSSS Selama periode laporan, sebagaimana sistem BI-RTGS, sistem BI-SSSS secara operasional berjalan dengan baik. Selama periode laporan, keandalan Sistem BI-SSSS terjaga dengan baik terlihat dari ketersediaan atau tingkat availability Sistem BI-SSSS yang memenuhi service level yang telah ditetapkan. Selama 2012, pengelolaan likuiditas oleh peserta pada sistem BI-RTGS juga berjalan dengan baik dan lancar ditandai dengan: a. Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) hanya terjadi satu kali pada Juni 2012.
b. Terpenuhinya target throughput guideline 3 penyelesaian transaksi masih berada dalam pola jangka waktu acuan yang ditetapkan, dan ratarata mayoritas transaksi diselesaikan pada awal hari. Kelompok bank campuran mempunyai pola yang sedikit berbeda, namun hal ini tidak sampai mengganggu kelancaran sistem pembayaran secara keseluruhan. Sedangkan untuk kelompok non bank, kurang mengikuti graduated payment schedule. Hal ini dikarenakan nature of business kelompok non bank yang penyelesaian transaksinya mengandalkan incoming transaction. Grafik berikut menunjukkan pola distribusi penyelesaian transaksi per kelompok bank selama periode laporan. c. Turn over ratio 4, selama periode laporan saldo rekening bank yang disediakan pada awal hari, masih longgar. Turn over ratio per kelompok bank selama periode laporan ditunjukkan pada grafik 4.2. d. Queue transaction 5 selama periode laporan, rata-rata secara volume maupun nominal transaksi per bulan sangat kecil (tidak lebih dari 0,05% dari total transaksi). Seluruh transaksi tersebut dapat diselesaikan pada
� ���
��������
���
���
���
��������������������
��� ���
��������������������
���
���
���
���
���
��������������������
���
���
���
��������������������
�
���
���
���
����������
���
���
���
���
�������������
��� ���
� ���
���
���
� ��
���
�������������������
���
��������������������
�
���
���
���
���������������
��� ���
��������
���
���
����������������
���
����
����������������
Sumber data : EDW diolah dari Januari – Desember 2012
Grafik 4.1 Throughput Guideline
3 Throughput guideline adalah suatu target dimana Peserta diharapkan telah menyelesaikan persentase tertentu dari total pembayaran selama 1 hari dengan mengacu pada graduated payment schedule < 10.30 WIB ; 10.30 s/d 14.30 WIB ; 14.30 s/d 16.30 diharapkan 30% : 30% : 40%
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
����������
���� ��������
���� ����������
���
����������� ��������
������������ �������
�����������������������������������������������������
Sumber data : EDW diolah dari Januari – Desember 2012
Grafik 4.2 Turn Over Ratio
4 Turn over ratio = merupakan perbandingan antara outgoing transaction yang diselesaikan melalui saldo rekening bank yang disediakan pada awal hari 5 Queue transaction atau transaksi yang mengalami antrian di sistem karena bank tidak mempunyai kecukupan dana untuk melakukan setelmen pada saat transaksi dikirimkan.
41
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
��
��
�� ��
��� ���
����������
�������������
��������������������
���
��������������������
��������
Grafik 4.3 Proporsi Volume Queue Transaction
�� ��
���
��
���
���
����������
�������������
��������������������
���
��������������������
��������
�����������������������������������������������������
Grafik 4.4 Proporsi Nominal Queue Transaction
akhir hari sehingga tidak terjadi risiko setelmen. Proporsi Queue transaction selama periode laporan di tunjukkan pada grafik 4.3 dan 4.4. Pengawasan Terhadap Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Secara umum, operasional penyelenggaraan SKNBI selama 2012 berjalan baik dan lancar yang ditunjukkan dengan tidak adanya system down. Meski secara harian terdapat beberapa kasus perpanjangan waktu yang diakibatkan permasalahan teknis, namun hal tersebut tidak mengganggu penyelenggaraan SKNBI secara keseluruhan. Total perpanjangan waktu operasional SKNBI sepanjang
42
2012 adalah 1,04% dari total waktu operasional normal. Sama halnya dengan Sistem BI-RTGS, untuk menjaga kelancaran operasional SKNBI, Bank Indonesia juga memiliki prosedur contingency yang didukung dengan infrastruktur back up yang andal. Likuiditas peserta SKNBI sepanjang 2012 secara umum juga dapat terjaga dilihat dari beberapa indikator antara lain, pemenuhan kewajiban penyediaan prefund, penggunaan prefund, top up prefund dan transaksi yang tidak dapat diperhitungkan. Sepanjang 2012, tidak ada bank yang mengalami ketidakmampuan memenuhi penyediaan prefund di awal hari sebagai syarat untuk dapat mengikuti kliring harian. Total prefund kliring debet dan kliring kredit yang disediakan peserta dari Januari sampai dengan Desember 2012 mencapai Rp4.434 triliun dengan total nilai transaksi sampai dengan Desember 2012 sebesar Rp2.170 triliun. Dengan demikian rata-rata penggunaan prefund sepanjang tahun 2012 adalah 48,71% dengan penggunaan terendah 44% yang terjadi pada Februari 2012 dan tertinggi 52,54% yang terjadi pada November 2012. Hal ini menunjukkan bahwa prefund yang tersedia masih jauh lebih besar dari kewajiban yang harus dipenuhi peserta. Namun demikian, secara individu, masih terdapat transaksi dari beberapa peserta yang tidak diperhitungkan karena peserta tidak melakukan top up prefund. Meskipun secara umum tidak mengganggu proses kliring secara keseluruhan, namun hal tersebut juga menjadi perhatian dalam aspek perlindungan kepada para pemegang Cek/Bilyet Giro karena mengakibatkan tertundanya pembayaran melalui proses kliring.
4.2 Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia Pengawasan terhadap Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) Kartu Kredit Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh penerbit kartu kredit sepanjang periode 2012, jumlah kasus fraud
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
terkait penggunaan kartu kredit mencapai 11.263 kasus atau 0,006% dari total transaksi kartu kredit sepanjang 2012. Sementara nominal kerugian akibat fraud yang dilaporkan (aktual maupun potensial) mencapai Rp 34,18 miliar atau 0,017 % dari total nominal transaksi kartu kredit yang terjadi selama 2012. Jumlah kasus dan nominal fraud ini mengalami peningkatan dibanding periode tahun sebelumnya masing-masing sebesar 43,76% dan 2,45%. Adapun gambaran perkembangan jumlah kasus fraud dan nominal kerugian kartu kredit (aktual maupun potensial) sejak 2009 sampai dengan 2012 sebagaimana grafik berikut:
�����������
Sebelum Bank Indonesia mewajibkan penggunaan chip untuk kartu kredit, modus kartu palsu selalu menduduki peringkat pertama dalam kejahatan kartu kredit. Seiring dengan penurunan kasus pemalsuan kartu sejak diimplementasikannya chip, terjadi shifting kepada modus lain yang lebih konvensional yaitu CNP, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. CNP pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kartu kredit oleh pihak yang tidak berwenang untuk bertransaksi melalui internet (e-commerce).
��������������� ����
���������
����
�����������������
����
�������������������
����
�������������� ��� �������������������� ������������������� ����������� �
�����
�����
����� ������������
Grafik 4.5 Perkembangan Jumlah Kasus Fraud Kartu Kredit
����������������������������������� ����������� ���������
����
�����������������
����
�������������������
����
����
�������������� ��� �������������������� ������������������� ����������� ����
��������
���������
���������
���������
��������� ��������
Grafik 4.6 Perkembangan Nominal Fraud Kartu Kredit
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Pada tahun-tahun sebelumnya jumlah kasus dan nominal fraud kartu kredit mengalami penurunan yang cukup signifikan terutama sejak diwajibkannya penggunaan chip untuk kartu kredit per 1 Januari 2010. Namun pada tahun 2012, terutama mulai paruh semester II-2012 hingga akhir tahun, terdapat peningkatan kasus fraud terutama yang menggunakan modus card not present (CNP). Pada tahun 2012, fraud yang dilaporkan dengan modus CNP menduduki peringkat pertama baik dari jumlah kasus yang mencapai 5.637 kasus maupun nominal kerugian (aktual dan potensial) yang mencapai Rp11,34 miliar.
Dalam kaitan dengan pencegahan fraud CNP, Bank Indonesia telah menghimbau kepada para penerbit untuk menerapkan aturan one time password untuk setiap transaksi yang dilakukan secara on line. Sementara itu dalam pengaturan transaksi kartu kredit telah diwajibkan agar penerbit memberikan alert kepada pemegang kartu untuk transaksi-transaksi yang bersifat menyimpang dari kebiasaan dan kewajiban menggunakan PIN sebagai pengganti tandatangan mulai 1 Januari 2015. Selain itu, selama periode 2012, Bank Indonesia juga telah melakukan pemeriksaan terhadap empat penerbit dan dua acquirer kartu kredit. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditekankan pentingnya mematuhi ketentuan di bidang perlindungan kepada para pemegang kartu, seperti etika penagihan, kualitas pemberian kartu kredit serta cara pengenaan bunga dan denda. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran ketentuan yang serius. Atas hasil pemeriksaan tersebut, sejumlah penerbit dan acquirer
43
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
telah berkomitmen untuk melakukan sejumlah perbaikan dengan tenggat waktu tertentu yang telah disepakati.
diselesaikan dengan baik oleh industri, sehingga batas waktu yang telah ditetapkan dapat dipenuhi oleh seluruh penerbit.
Kartu ATM dan ATM/Debet
Selain itu, selama periode 2012, Bank Indonesia juga telah melakukan pemeriksaan terhadap dua penerbit kartu ATM dan kartu ATM/Debet. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran yang serius. Atas hasil pemeriksaan tersebut, penerbit telah berkomitmen untuk melakukan perbaikan dengan tenggat waktu tertentu yang telah disepakati.
Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan, fraud terkait penggunaan kartu ATM dan kartu ATM/ Debet yang dilaporkan oleh penerbit mengalami penurunan baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun nilai kerugian (aktual dan potensial). Selama periode laporan jumlah kasus dan nilai kerugian akibat fraud yang dilaporkan adalah 11.468 kasus dan Rp1,4 miliar. Bila dibandingkan dengan periode sebelumnya nilai kerugian akibat fraud mengalami penurunan sebesar Rp961 juta sedangkan dari sisi jumlah kasus mengalami penurunan sebanyak 4.321 kasus. Bila dilihat lebih mendalam, jumlah kasus yang dilaporkan paling sering terjadi adalah kartu ATM dan kartu ATM/Debet hilang atau dicuri yang mencapai 10.498 kasus. Sedangkan nilai kerugian terbesar selama periode laporan berasal dari fraud kartu palsu yaitu sebesar Rp1,1 miliar. Untuk menekan angka fraud pada penyelenggaraan kartu ATM dan kartu ATM/Debet ini khususnya yang dilakukan melalui modus pemalsuan kartu, Bank Indonesia telah mewajibkan penerbit kartu ATM dan ATM/Debet untuk mengimplementasikan teknologi chip dan penggunaan PIN minimal 6 (enam) digit untuk kartu ATM/Debet yang diterbitkan di Indonesia. Batas waktu implementasi chip dan PIN 6 (enam) digit ini adalah 31 Desember 2015. Dengan kata lain, pada 1 Januari 2016, seluruh kartu ATM dan kartu ATM/Debet sudah harus menggunakan teknologi chip dan PIN minimal 6 (enam) digit, demikian pula seluruh perangkat yang digunakan untuk memproses transaksi kartu ATM dan kartu ATM/Debet tersebut harus dapat memproses chip (chip enable). Saat ini Bank Indonesia terus memonitor perkembangan implementasi chip oleh seluruh penyelenggara kartu ATM dan kartu ATM/Debet melalui laporan triwulanan yang disampaikan oleh penyelenggara untuk memastikan tahapan yang telah dicapai dan kendala yang dihadapi dalam proses implementasi. Sejauh ini masih terdapat beberapa kendala teknis, namun diharapkan dapat
44
Pengawasan terhadap Uang Elektronik Pengawasan terhadap penyelenggaraan uang elektronik, dilakukan secara tidak langsung melalui monitoring data dan informasi serta pengawasan secara langsung melalui pemeriksaan (on site visit). Selama periode laporan, Bank Indonesia tidak menerima adanya laporan terkait fraud di dalam penyelenggaraan uang elektronik. Sementara itu, pengawasan secara langsung telah dilakukan kepada dua penerbit uang elektronik (bank dan penyelenggara selain bank) melalui on site visit untuk memastikan kepatuhan penyelenggara uang elektronik terhadap ketentuan yang berlaku. Dari hasil pemeriksaan tersebut, tidak ditemukan pelanggaran yang serius oleh penerbit, namun demikian terdapat beberapa temuan yang harus diperbaiki antara lain terkait perlindungan konsumen (khususnya aspek transparansi terkait biaya) dan juga aspek pengelolaan risiko. Atas hasil pemeriksaan tersebut, penerbit telah berkomitmen untuk melakukan perbaikan. Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) atau Transfer Dana Selain Bank Selama periode laporan, telah dilakukan pengawasan secara tidak langsung kepada seluruh penyelenggara KUPU di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, dan tiga diantaranya telah dilakukan pula pengawasan secara langsung. Pengawasan secara langsung kepada
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
penyelenggara KUPU melalui on site visit, selain dilakukan untuk memastikan kepatuhan penyelenggara KUPU terhadap ketentuan yang berlaku, juga ditujukan untuk memastikan pemenuhan komitmen atas hasil audit PPATK. Selanjutnya berdasarkan hasil pengawasan, pada periode laporan telah dilakukan pencabutan izin terhadap satu penyelenggara KUPU karena tidak mematuhi ketentuan Bank Indonesia dan pengenaan sanksi administratif berupa penyampaian surat teguran tertulis kepada dua penyelenggara KUPU karena tidak menyampaikan laporan berkala kepada Bank Indonesia. Di samping itu pada periode laporan terdapat satu penyelenggara KUPU yang dicabut izin penyelenggaraannya berdasarkan permintaan sendiri.
Selanjutnya, sehubungan dengan pemberlakuan UU Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana pada 23 Maret 2011, selama periode laporan Bank Indonesia telah melakukan pembinaan kepada penyelenggara KUPU yang belum berbadan hukum Indonesia, dengan mengirimkan surat pembinaan sebanyak dua kali dalam rangka mengingatkan yang bersangkutan untuk segera meningkatkan status usahanya menjadi badan hukum Indonesia. Dalam hal penyelenggara KUPU tersebut sampai dengan 23 Maret 2013, masih belum meningkatkan status badan usahanya menjadi badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud oleh UU TD maka izin KUPU yang telah diberikan oleh BI akan dinyatakan tidak berlaku.
Terkait dengan tugas Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengatur dan Pengawas terkait kepatuhan penyelenggara KUPU dalam menerapkan program APU dan PPT sebagaimana amanat UU Nomor 8 tahun 2010 selama periode tahun 2012, kewenangan tersebut masih berada di PPATK dengan masa transisi dari PPATK kepada Bank Indonesia selama dua tahun (2011-2013). PPATK telah melakukan audit kepatuhan terhadap 28 penyelenggara KUPU (21 penyelenggara di wilayah KPBI dan tujuh penyelenggara di wilayah KPwBI) dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penyelenggara KUPU dalam menerapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan UU TPPU. Terhadap hal tersebut, Bank Indonesia telah memberikan surat pembinaan kepada penyelenggara untuk melakukan tindak lanjut hasil audit PPATK.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
45
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
46
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
Arah kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran kedepan akan tetap difokuskan pada peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen. Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan uang elektronik, serta penguatan aspek hukum melalui penyusunan RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA). Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan kartu ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada Prinsipal luar negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik. Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masadatang. Sementaraitu, pengembangan SKNBI akanmencakup penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment). Selanjutnya, arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah. Untuk jangka pendek dilakukan melalui kegiatan edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar, sedangkan untuk jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik. Penguatan aspek hukum dilakukan melalui penyusunan RUU SPPA mengingat lajunya perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat sebagai dampak dari adanya perkembangan teknologi informasi yang sangat maju yang mendorong munculnya berbagai inovasi produk dan layanan sistem pembayaran.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
47
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
Bab 5
Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
5.1 Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II Kebijakan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) pada Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS Generasi II Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), termasuk berdasarkan prinsip Syariah (FLIS), merupakan fasilitas dari BI sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS guna mendukung kelancaran penyelesaian (smoothness of settlement) dari seluruh transaksi pembayaran melalui sistem pembayaran antar-bank (bersifat systemically important) atau infrastruktur pasar keuangan yang diselenggarakan oleh BI tersebut. Di dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS saat ini dan sebagaimana diatur dalam PBI No.10/29/PBI/2008, PBI No.11/ 30 /PBI/2009, SEBI No12/29/DASP, dan SEBI No. 12/4/DASP, FLI/FLIS diberikan kepada Bank Peserta BIRTGS dengan mekanisme repurchase agreement (Repo) atas surat berharga yang yang dimiliki oleh Bank Peserta BI-RTGS yang membutuhkan/mengajukan FLI/FLIS, dan FLI/FLIS tersebut harus dikembalikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan FLI/FLIS. Merujuk kepada ketentuan yang berlaku, dalam hal Bank Peserta BI-RTGS tidak dapat mengembalikan/ menyelesaikan nilai FLI/FLIS sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI/FLIS yang tidak dapat dikembalikan tersebut akan diberlakukan (dikonversi) sebagai transaksi Repo dengan BI dengan jangka waktu satu hari (i.e. transaksi Repo overnight (O/N) dengan BI atau transaksi Lending Facility).
48
Berdasarkan laporan Bank Dunia (Payment Systems Worldwide: A Snapshot 2010, Outcomes of the Global Payment Systems Survey 2008) mengenai penyelenggaraan Large-Value Payment Systems (LVPS) RTGS Systems): • Dari 88 negara yang menyelenggarakan LVPS, 75 LVPS menyediakan FLI dengan mekanisme Repo; • 75 LVPS yang menyediakan FLI Repo, mengenakan penggunaan FLI dengan Repo interest rate; • Untuk FLI yang tidak dapat dikembalikan pada akhir hari (end-of day), dari 75 LVPS yang menyediakan FLI Repo: • 17 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market rates; • 55 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at penalty rates (termasuk Australia, HongKong, Jepang, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura); dan • 3 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market and penalty rates. Kebijakan terkait mekanisme FLI pada Sistem BIRTGS Generasi II Telah diputuskan (berdasarkan hasil rapat Steering Committee 26 Februari 2013) bahwa FLI pada Generasi II akan mengadopsi the standard DEPO/X functionality (guna menghindari Change Request serta untuk mengimplementasikan mekanisme yang lebih sesuai dengan common practices dari ILF di dalam penyelenggaraan LVPS pada umumnya), yang meliputi:
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
• FLI akan langsung mengkredit di RTS/X pada rekening Bank Peserta BI-RTGS yang mengajukan FLI; • FLI dapat di-redeem berdasarkan instruksi manual dari Bank Peserta BI-RTGS yang mengajukan FLI atau secara otomatis sesuai dengan parameter yang ditetapkan sebelumnya; • Interest rate atas penggunaan FLI dihitung dengan menggunakan ILF interest rate calculation yang sudah ada di DEPO/X, berdasarkan cash value dari setiap initial granted ILF; • FLI yang tidak bisa dikembalikan sampai dengan EOD, DEPO/X akan mengkonversi menjadi O/N Repo. Sehubungan dengan implementasi mekanisme di atas, maka perlu penyesuaian ketentuan/ pengaturan mekanisme FLI pada Sistem BI RTGS Generasi II. Selanjutnya, mengingat transaksi yang ada saat ini adalah transaksi Lending Facility (transaksi penyediaan dana dari BI kepada Bank), sehingga konversi dari FLI menjadi O/N Repo (i.e. transaksi Repo dengan BI dengan jangka waktu satu hari) dimaksud dapat diterima pula sebagai transaksi Lending Facility (yang merupakan salah satu bentuk Operasi Moneter BI). Di samping itu, salah satu persyaratan FLI adalah surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI dan/atau SBN, di mana surat berharga yang dapat ditransaksikan melalui Lending Facility adalah SBI dan SBN. Oleh sebab itu, dengan mengkonversi instrumen moneter SBI dan SBN tersebut (yang digunakan sebelumnya untuk FLI) ke domain kegiatan pengendalian moneter, hal tersebut tentunya akan lebih mendukung efektivitas kegiatan Operasi Moneter BI. Mekanisme ‘mengkonversikan’ menjadi Lending Facility dari Standing Facilities (Operasi Moneter ‘Koridor Suku Bunga’ tersebut) juga diaplikasikan pada banyak LVPS. Selain itu, diperkirakan kebutuhan akan FLI menjadi berkurang dan akan benar-benar menjadi last resort di dalam penyelenggaraan LVPS IDR di Indonesia karena BI-RTGS Generasi II akan menerapkan mekanismemekanisme liquidity saving yang dapat menekan liquidity need.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
5.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Tahapan Implementasi Grand Design SKNBI Pengembangan SKNBI akan dimulai pada 2013 mencakup penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment) meliputi : ��
�������������
����������
��������������� �
��������������������
������������������������������������������� �������������������������������������� ���������������������������������������� ����������������������������������������������� ����������������������������������������� ��������������������������������������� ������������������������������������������ ���������������������������������
�
��������������
����������������������������������������� ���������������������������������������������������� ��������������������������������������������� ��������������������������������������� ������������������������������������������
�������������� �
�����������������
�������������������������������������� ������������������������������������������� ������������������������������������ ������������������������������������������ �������������������������������������������� ��������������������
�
��������������
����������������������������������������� ���������������������������������������������� ������������������������������������������� ����������������������������������������������� ������������������������������������������� ����������������������������������������������� ��������������������������������������������� ������������������������������������ ��������������������������������������
�
����������������
����������������������������������������� �����������������������������������������
Selain itu, dalam SKNBI yang akan dikembangkan juga modul informasi yang dapat diakses oleh peserta dan penyelenggara untuk mendapatkan informasi/data terkait penyelenggaraan SKNBI baik yang bersifat real time maupun hitoris. Adapun tahapan implementasi SKNBI adalah sebagai berikut :
49
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
����������
��������������������� ������������������� ����������������������
��������
�������������������� ������������������� ����������������� ����������
������������
���������������������
������������������������������� � �������������������������� � ���������������������������� � ���������������������������
����������
����������������
������������������������������ � �������������������������� � ��������������������� � ���������������������������� � ��������������������������� � ���������������������������
��������������������������������������������������
Bagan 5.1 Roadmap Pengembangan SKNBI
a. b. c. d.
Penyusunan User Requirement SKNBI Pengembangan Aplikasi Implementasi SKNBI Tahap I Implementasi SKNBI Tahap II
Sementara itu, pengembangan electronic debit akan dilakukan apabila kajian mengenai instrumen dan mekanisme penyelenggaraan electronic debit selesai.
5.3 Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan ke dalam tiga tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan
50
oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada prinsipal luar negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik. Tahapan terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
ini akan mendukung konvergensi layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa datang. Dengan tahapan pengembangan NPG tersebut diharapkan penggunaan instrumen non-tunai dapat lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung Less Cash Society (LCS).
5.4 Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik Arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah dengan kegiatan edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar. Sedangkan untuk jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik. Kegiatan edukasi akan difokuskan pada upaya untuk memperkenalkan uang elektronik kepada masyarakat dan memberikan pengalaman bertransaksi menggunakan uang elektronik. Fasilitasi industri dan perluasan pasar dilakukan dengan mendorong penyelenggara uang elektronik untuk saling bekerjasama dan mengkoneksikan jaringannya dengan penerbit lainnya, agar pemegang uang elektronik dari satu penerbit dapat menggunakan uang elektroniknya tersebut pada jaringan yang dimiliki penerbit lain. Dengan mempertimbangkan besarnya potensi sektor transportasi, maka arah kebijakan pengembangan uang elektronik ke depan akan tetap diarahkan pada sektor tersebut. Sementara untuk jangka menengah dan panjang perluasan pasar akan dilakukan kepada sektor-sektor lain seperti misalnya industri ritel. Tahapan jangka panjang pengembangan uang elektronik adalah mendorong tersedianya standar uang elektronik yang dapat digunakan oleh seluruh penerbit uang elektronik di Indonesia yang penyusunannya dilakukan oleh pelaku industri uang elektronik. Standar tersebut dapat disusun dari pengembangan standar kartu ATM/ Debet berbasis chip ataupun pengembangan standar yang baru.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
5.5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN Dalam Rangka MEA 2015 Sistem pembayaran dan penyelesaian akhir merupakan tulang punggung dari sebuah perekonomian modern. Sebuah sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang efisien, aman, dan andal akan memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu negara untuk berkompetisi di pasar global. Disamping itu, peningkatan aktivitas perekonomian antara negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memerlukan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir (setelmen) yang efisien untuk mendukung transaksi bisnis mereka. Bahkan dalam periode integrasi ekonomi regional, sistem pembayaran dan penyelesaian akhir memiliki peran yang strategis mengingat mereka merupakan infrastruktur keuangan yang memfasilitasi arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan modal. Menjelang MEA 2015, arah pengembangan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir nasional perlu dipersiapkan dengan terencana dan terukur. Selain itu, negara anggota MEA juga dituntut untuk menyusun arah pengembangan dan harmonisasi sistem pembayaran dan setelmen agar dapat mengakomodasi transaksi lintas batas negara (cross-border) dan integrasi keuangan regional. Adapun fokus pengembangan dan harmonisasi dimaksud adalah: cross-border trade settlement, cross-border money remittance, cross-border retail payments, cross-border capital market settlement dan standardization. Cross-Border Trade Settlement Keterbukaan ekonomi di lingkup ASEAN akan berdampak signifikan bagi persaingan dunia usaha, termasuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Di satu sisi, implementasi MEA akan memberikan potensi pengembangan UMKM yang lebih besar mengingat semakin terbukanya akses UMKM terhadap sumbersumber keuangan yang tidak hanya terbatas pada pembiayaan dalam negeri, tetapi juga pasar keuangan internasional. Meskipun demikian, di sisi lain UMKM
51
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
di negara ASEAN menghadapi tantangan yang cukup berat karena semakin ketatnya persaingan antar negara. Oleh sebab itu, agar mereka dapat bertahan dari persaingan yang ketat, diperlukan dukungan sistem pembayaran dan setelmen yang aman, andal, dan efisien. Cross-Border Trade Settlement ditujukan untuk mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam mendukung aliran barang dalam aktivitas perdagangan di antara negara ASEAN. Salah satu kendala cross-border trade settlement adalah efisiensi. Tidak adanya direct conversion rate antar mata uang di kawasan mengakibatkan setelmen pembayaran dalam mata uang lokal harus dikonversi melalui USD, sehingga menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku transaksi. Berdasarkan hasil survei terhadap seluruh bank sentral di ASEAN, mekanisme korespondensi yang saat ini digunakan pada cross-border trade settlement cukup memadai dan penggunaan standar internasional dalam dokumen transaksi perdagangan telah banyak dilakukan. Namun demikian, peluang peningkatan efisiensi setelmen perdagangan dapat dilakukan antara lain dengan mengurangi spread dan charges oleh bank melalui transparansi biaya. Terkait dengan cross-border trade settlement, negara anggota ASEAN telah menyepakati hal-hal sebagai berikut: 1. Prinsip-prinsip yang terkait dengan keterbukaan dan transparansi produk bank terdiri atas: • Disclosure harus menyorot informasi yang penting bagi pelanggan; • Disclosure harus jelas dan konsisten; • Perangkat komunikasi harus dibentuk sehingga memudahkan pelanggan untuk mengakses informasi; Prinsip-prinsip tersebut sebagai pedoman best practices untuk memastikan pelanggan memiliki akses ke informasi penting dengan cara yang mudah sebelum mereka melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. 2. Bank menghadapi tantangan dalam mengungkapkan isu-isu sebagai berikut: • Biaya total yang harus dibayar oleh pengirim; sebaiknya diinformasikan dalam bentuk persentase
52
dari total biaya, dan bukannya angka secara absolut; • Biaya yang dibebankan kepada penerima manfaat (beneficiaries) dan waktu maksimum untuk dana diterima oleh beneficiaries; • Nilai valuta sebelum pembayaran dilakukan mengingat adanya volatilitas intraday yang signifikan. 3. Definisi dari Usaha Kecil dan Menengah (Small and Medium Entreprises). Setiap anggota MEA memiliki definisi yang berbeda untuk Small and Medium Enterprises (SME), yang sesuai dengan kondisi ekonominya, sehingga sulit untuk membuat definisi SME yang seragam di ASEAN. Oleh sebab itu task force cross border trade settlement perlu menyusun prinsip umum mengenai SME dan setiap negara dapat menggunakannya sebagai pedoman. Cross-Border Money Remittances Cross-Border Money Remittances bertujuan untuk mendukung aliran tenaga kerja yang bebas terutama untuk memfasilitasi aliran dana ke negara asal dari hasil kerja para tenaga kerja ASEAN. Mengingat dalam proses pengiriman dimaksud mata uang yang diterima oleh penerima adalah mata uang negara penerima, maka proses pengiriman (remittance) uang tidak dimasukan dalam integrasi keuangan (financial integration). Task force cross-border money remittances telah menyusun pedoman dasar untuk pengembangan money remittances yang terdiri atas 3 (tiga) bagian: a. Program administrasi pra-keberangkatan terdiri dari: ketentuan akreditasi lembaga/kelompok penyedia jasa, biaya program, dan program pelatihan untuk kelompok yang melakukan program orientasi, dan lainlain; b. Isi dari program orientasi pra-keberangkatan terdiri dari: profil negara, hukum dasar negara tuan rumah, isu mengenai negara tuan rumah, pendidikan dasar mengenai kesehatan, keuangan pribadi, saluran remitansi yang formal, keanggotaan dan manfaat ikut serta dalam organisasi buruh migran, serta kedutaan di tempat negara tujuan;
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
c. Mekanisme umpan balik, yang terdiri atas: pasca evaluasi dan forum online untuk para pekerja migran. Cross-Border Retail Payment System Cross-Border Retail Payment System bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam mendukung aliran barang, jasa, tenaga kerja terdidik, dan investasi yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh task force cross-border retail payment system diketahui bahwa tujuan dari pengembangan sistem pembayaran ritel di setiap negara pada dasarnya sama yaitu: (i) mendorong terciptanya sistem pembayaran ritel yang aman, efisien, andal, dan cepat, (ii) mendorong penggunaan instrumen pembayaran non-tunai, (iii) mendorong terciptanya kebijakan internasional yang bersifat resiprokal untuk area sistem pembayaran tertentu, (iv) mendorong industri untuk menggunakan standar internasional, (v) mendorong penggunaan sarana pembayaran formal yang aman dan andal, dan (vi) memfasilitasi pihak non bank untuk ikut serta dalam penyediaan jasa sistem pembayaran yang efisien dan aman. Selanjutnya, terkait dengan pengembangan jaringan sistem pembayaran regional, task force cross-border retail payment system telah berkoordinasi dengan Asian Payment Network (APN) untuk menyusun format standard dan proses bisnis untuk transfer kredit, yang terdiri atas 3(tiga) tahap: value proposition development, market research and value proposition validation, dan mengembangkan blueprint. Berdasarkan value proposition development yang disusun oleh APN, terdapat beberapa hal yang membutuhkan dukungan bank sentral: a. APN meminta bank sentral untuk melaksanakan joint event untuk memperkenalkan APN logo kepada publik untuk meningkatkan awareness dari industri perbankan; b. Adanya harmonisasi peraturan diantara negara-negara ASEAN sehingga memungkinkan atau mendukung pengembangan koneksi dan pengaturan APN.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Cross-Border Capital Market Settlement Cross-Border Capital Market Settlement bertujuan untuk pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam mendukung transaksi pasa modal di antara negara ASEAN. mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam mendukung aliran barang, jasa, tenaga kerja terdidik, dan investasi yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. Mengingat praktek setelmen pasar modal sangat variatif sehingga menghambat proses setelmen antarnegara, maka terdapat beberapa hal yang dapat mendukung pengembangan cross-border capital market settlement di ASEAN antara lain: ketentuan perundang-undangan yang mendukung pengembangan pasar; kebijakan yang transparan dan dapat diprediksi; kesesuaian praktik dengan standar internasional; dan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan standar internasional. Terkait dengan pengembangan infrastruktur, task force cross-border capital market settlement telah bekerja sama dengan ASEAN Exchange Groupings (AEG) untuk mengembangkan 3 (tiga) model CCP/CSD Linkages. Namun demikian, masih terdapat perbedaan perspektif dari setiap negara terkait dengan risiko yang ditimbulkan oleh CCP/CSD. Cross-Border Standardization Cross-Border Standardization bertujuan untuk harmonisasi dalam pengembangan sistem pembayaran ASEAN agar lebih mudah melakukan interkoneksi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh task force standardization diketahui antara lain: (i) bank sentral memegang peran penting dalam pengembangan standar sistem pembayaran, terutama pada instrumen cek, (ii) bank sentral memegang peranan penting dalam usaha harmonisasi standar di bidang sistem pembayaran, (iii) keterlibatan negara ASEAN dalam komite standar internasional masih relatif terbatas, (iv) beberapa negara ASEAN menunjukkan keinginan untuk melakukan technical assistance dalam standardisasi di bidang sistem pembayaran, dan (v) standar yang paling umum diterapkan di ASEAN adalah SWIFT, IBAN, BIC dan EMV. Disamping itu, terkait dengan survei mengenai credit
53
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
transfer, yang tujuan utamanya adalah melakukan penilaian atas praktek-praktek pasar dan kemungkinan modalitas dalam menyediakan layanan transfer kredit oleh bank-bank di ASEAN, ditemukan bahwa bank-bank di ASEAN cukup memahami manfaat pengembangan skema cross-border credit transfer di ASEAN.
5.6 Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA) Pengertian Sistem Pembayaran Sasaran dari fungsi mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran oleh bank sentral adalah terciptanya sistem pembayaran yang aman dan efisien. Pengertian Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, Sistem Pembayaran yang aman dan efisien sangat mendukung keberhasilan suatu negara dalam menjaga dan meningkatkan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan stabilitas moneter. Hal tersebut dikarenakan terjadinya gangguan pada Sistem Pembayaran dapat menyebabkan kegagalan kewajiban pembayaran dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap likuiditas perekonomian, SSK, dan perbankan. Sistem pembayaran merupakan salah satu komponen utama dalam mendukung aktifitas perekonomian di suatu negara dan oleh karena itu sistem pembayaran harus senantiasa dijaga agar dapat berjalan secara aman dan efisien. Keamanan dalam kegiatan sistem pembayaran dapat dilihat dari berbagai indikator antara lain sebagai berikut: 1. Tersedianya lembaga, mekanisme, alat pembayaran, dan infrastruktur dalam kegiatan sistem pembayaran yang andal dan aman dari segala bentuk fraud; 2. Tersedianya aturan hukum yang memberikan pengaturan yang jelas dan fair untuk seluruh pihak dalam penyelenggaraan sistem pembayaran; 3. Tersedianya sistem yang andal dalam pemrosesan transaksi sistem pembayaran yang antara lain
54
dibuktikan dengan tingkat availability sistem yang maksimal, serta kepastian penyelesaian transaksi. 4. Tersedianya back-up system yang menjamin kelangsungan kegiatan sistem pembayaran yang aman. Sedangkan sistem pembayaran yang efisien ditunjukkan melalui berbagai indikator antara lain: 1. Tersedianya infrastruktur sistem pembayaran yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan dapat dimanfaatkan secara bersama oleh penyedia sistem; 2. Tersedianya layanan sistem pembayaran yang cepat, mudah diakses dan murah untuk seluruh lapisan masyarakat; 3. Mekanisme penyelesaian pembayaran yang praktis dan cepat. Pada prinsipnya, kelima komponen utama dalam sistem pembayaran yaitu aturan, lembaga, mekanisme, alat pembayaran, dan infrastruktur yang merupakan satu kesatuan utuh dalam sistem harus selalu dikembangkan dalam menjawab tantangan perkembangan teknologi yang mendasari perkembangan sistem pembayaran dan kebutuhan masyarakat terhadap sistem pembayaran yang semakin aman dan efisien. Pengertian sistem pembayaran dapat saja berbeda antara negara satu dengan negara lainnya sesuai dengan pengaturan hukum dari negara tersebut, namun demikian secara best practices komponen sistem pembayaran meliputi 5 (lima) aspek tersebut meskipun dalam perumusannya dapat saja disebutkan hanya dalam beberapa aspek besarnya saja. Peran Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran di Indonesia sangat menentukan keberhasilan peranan sistem pembayaran dalam mendukung aktifitas perekonomian suatu negara dan sekaligus sebagai bagian penting dalam pelaksanaan transmisi kebijakan moneter. Selaku otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia akan melakukan pengaturan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir di dalam suatu Undang-Undang tersendiri. Saat ini pengaturan tersebut masih tersebar di berbagai aturan yang mengatur mengenai kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang berpotensi terjadinya berbagai inkonsistensi pengaturan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
����������������������������� �������������������������������
���������������������� ����������������� ��������������� ����������������� �������������
�������������������� ��������������� ������������ ����������
�� ��������� � ��������� �������
�������
������� ���������
������ ����������
�� ����������
�� �������� ����
���������������������� ��� ������������� ������������������������ ���������������
���������������������� ������������������������ ���������������������
�� ����������� ��������
������
���������� ���������� ��������������� �������������� ����
������������������������������ ���������������������������� ����������������������������������� �����������
������
������� ���� �� ��������� �����
�� ������������ ��������
�����
������������������ ����������������������� ������������������������ �����������������������
��������������������������� ��������������� ��������������������������������� �������������������
���������������������������������� ��������������������������������������
Bagan 5.2 Keterkaitan Undang-Undang lain dengan dengan Sistem Pembayaran
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang dapat menimbulkan permasalahan. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, komponen kerangka hukum dalam sistem pembayaran dan penyelesaian akhir menjelaskan dasar hukum dalam menjamin adanya aspek legalitas dalam pelaksanaan sistem pembayaran, yang dituangkan dalam undang-undang dan peraturan terkait lainnya, termasuk aturan untuk dan antar berbagai pihak seperti antar bank, antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan bank sentral. Melalui kerangka hukum ini Bank Indonesia menuangkan kebijakan di bidang sistem pembayaran dan penyelesaian akhir.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Pengaturan Sistem Pembayaran Keberadaan UU SPPA diperlukan agar terdapat kepastian dan kejelasan dalam kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir. Hal tersebut menjadi dasar hukum bagi otoritas dalam bekerjasama dengan otoritas lain baik dalam maupun luar negeri memerlukan dukungan dalam bentuk pengaturan UU yang dapat memberikan arah yang jelas dalam memajukan kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir antar negara sehingga sistem pembayaran dan penyelesaian akhir dalam negeri mampu bersaing dengan sistem pembayaran negara lain. Selaras dengan tujuan dari sistem pembayaran yaitu memiliki dasar hukum yang kuat dan komprehensif mengenai
55
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir di Indonesia, penyusunan RUU SPPA akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada nasabah dalam kegiatan sistem pembayaran. Dalam rangka pengaturan terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan erat dengan sistem pembayaran, sehingga dalam perumusan RUU SPPA harmonisasi ketentuan menjadi sangat penting agar tidak terjadi pengaturan yang saling bertentangan atau tumpang tindih di kemudian hari. Alasan utama diperlukannya UU SPPA ini adalah karena laju perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat. Pesatnya perkembangan sistem pembayaran dapat menjadi sumber informasi terkait kondisi likuiditas dan infrastruktur sistem keuangan yang menjadi subyek pemantauan secara microprudential guna memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potential shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam pengambilan langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan pada sektor keuangan. Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang perlunya penyusunan RUU SPPA yaitu: Landasan sosiologis antara lain: 1. perkembangan teknologi Sistem Pembayaran; 2. penyesuaian aturan dan hukum dari otoritas untuk mengimbangi perkembangan teknologi Sistem Pembayaran; 3. beberapa kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir belum disertai aturan hukum yang mengaturnya; 4. kepastian perlindungan pengguna jasa dan memastikan Penyelenggara memenuhi kewajiban terhadap pengguna jasa. Adapun landasan secara yuridis meliputi: 1. belum ada dasar hukum pengaturan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang komprehensif; 2. adanya ketidakjelasan dalam pengaturan, pengembangan dan koordinasi antar otoritas terkait; dan
56
3. beberapa pengaturan terkait sistem pembayaran dan penyelesaian akhir masih dilakukan secara parsial. Materi RUU SPPA Ruang lingkup berlakunya UU SPPA akan mencakup penyelenggaraan kegiatan pemindahan dana, kegiatan alat pembayaran non-tunai dan seluruh sarana pemrosesnya, kegiatan kliring dan penyelesaian akhir sistem pembayaran yang dilakukan di wilayah RI, dan kegiatan sistem pembayaran lain yang ditetapkan Bank Indonesia. RUU SPPA ini tidak dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan kegiatan transfer dana, kliring, dan penyelesaian akhir yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, kegiatan penyediaan sistem yang hanya digunakan untuk menfasilitasi instruksi pembayaran, dan kegiatan penyediaan sistem yang hanya digunakan untuk kepentingan pembayaran internal (in house payment). Prinsip-Prinsip Dalam Sistem Pembayaran Di dalam sistem pembayaran dikenal beberapa prinsip umum, yaitu: - Finality of Payment/Finality of Settlement yaitu dana yang sudah diterima tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan. - Pengecualian Prinsip Zero Hour Rules 6 yaitu pengaturan bahwa transaksi sistem pembayaran atau transfer dana tetap harus dilaksanakan atau diselesaikan sekalipun dalam kondisi kepailitan. - Delivery Versus Payment (DVP) yaitu pengaturan bahwa dalam hal transaksi menggunakan prinsip DVP maka pihak yang telah menerima pembayaran wajib untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak yang telah melakukan pembayaran. Masih sejalan dengan tujuan dan prinsip umum dalam penyelenggaraan kegiatan sistem pembayaran, untuk mewujudkan sistem pembayaran yang aman dan efisien 6 Prinsip Zero Hour Rules adalah prinsip dalam hukum kepailitan yang menetapkan bahwa semua transaksi yang dilakukan oleh pihak yang dinyatakan pailit dari pukul 00.00 pada tanggal dikeluarkannya penetapan pailit sampai dengan saat dikeluarkannya penetapan pailit dianggap batal dan tidak berlaku.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
serta memastikan diterapkannya aspek perlindungan kepada pengguna jasa. Dalam konsep RUU SPPA telah ditetapkan 5 (lima) komponen sistem pembayaran yang meliputi: a. Aturan, merupakan kebijakan tertulis dalam bentuk aturan dan kebijakan tidak tertulis; b. Lembaga, merupakan cerminan kelembagaan dari seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun pihak selain Bank Indonesia. Pengertian pihak selain Bank Indonesia dapat berupa bank, lembaga selain bank, maupun asosiasi sistem pembayaran; c. Mekanisme, merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti kegiatan dalam suatu sistem transfer, kliring dan penyelesaian akhir; d. Alat Pembayaran, merupakan setiap instrumen yang digunakan untuk memindahkan dana. Dalam hal ini alat pembayaran yang dimaksud adalah alat pembayaran non-tunai baik yang paper based seperti Cek dan Bilyet Giro maupun instrumen pembayaran elektronik seperti APMK dan uang elektronik; dan e. Infrastruktur, merupakan setiap sarana dan prasarana yang digunakan untuk memproses pemindahan dana seperti EDC, mesin ATM, internet, mobile phone dan delivery channel lainnya. Dalam pengertian infrastruktur ini termasuk pula berbagai sistem dalam rangka pemindahan dana seperti BI-RTGS dan SKNBI.
Kegiatan pengembangan sistem pembayaran meliputi: - Kegiatan Penelitian dan Pengembangan; - Kegiatan Pengaturan; - Kegiatan Pemberian Perizinan; - Kegiatan Penyelenggaraan; - Kegiatan Pengawasan; dan - Kegiatan Katalisasi dan Fasilitasi.
Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yang digunakan untuk membentuk sistem dalam rangka pemindahan dana yang aman dan efisien sebagai upaya dalam mendukung stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter.
Perlindungan Pengguna Jasa Sistem Pembayaran
Pengembangan sistem pembayaran merupakan rangkaian tugas dan/atau kegiatan dalam rangka memelihara dan meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang aman dan efisien mutlak diperlukan dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
nasabah, peningkatan transparansi informasi produk sistem pembayaran, edukasi kepada pengguna jasa sistem pembayaran, dan membentuk satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi mediasi. Dengan dibangunnya fungsi perlindungan pengguna jasa sistem pembayaran yang lebih komprehensif diharapkan dapat
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Prinsip kesetaraan akses dalam sistem pembayaran merupakan dasar dari pengaturan penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran dan penyelesaian akhir. Setiap pihak yang akan menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran harus dipastikan telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Terkait dengan hal ini, otoritas mewajibkan penyelenggara tersebut harus untuk menyelesaikan transaksi yang dilakukannya, memitigasi risiko yang mungkin timbul, menggunakan sistem yang aman, dan menerapkan aspek perlindungan kepada pengguna jasa. Sebagai muara dari seluruh transaksi pembayaran, dalam UU SPPA akan diatur mengenai mekanisme penyelesaian atas transaksi pembayaran, baik yang dilakukan secara netting maupun individual. UU SPPA ini juga akan memperkuat pengaturan mengenai finality of payments. Dalam konsep finality of payments diatur bahwa sistem transfer bersifat tidak dapat dibatalkan dan final.
Fungsi perlindungan pengguna jasa sistem pembayaran bertujuan untuk memberdayakan seluruh pengguna jasa sistem pembayaran antara lain melalui pengaturan yang komprehensif dalam bentuk peraturan Bank Indonesia, penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan
57
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
mempercepat terciptanya less cash society dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran di Indonesia. Hal-hal lain yang akan diatur dalam UU SPPA antara lain pembentukan National Payment System Council (NPSC) dan Self Regulatory Organization (SRO). Hal lain yang perlu dimuat dasar hukum pengaturannya dalam UU SPPA adalah pengenaan biaya terkait dengan fungsi pengawasan oleh otoritas. Dalam Key Element for a National Payment System Act yang digunakan sebagai pedoman dalam pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran secara international best practice dijelaskan bahwa otoritas berwenang untuk mengenakan biaya dalam rangka pengawasan dan pengaturan serta dalam rangka penyediaan layanan jasa sistem pembayaran dan penyelesaian akhir terkait dengan penyediaan layanan operasional dan infrastruktur.
58
Ketentuan Pidana Pengaturan ketentuan pidana dalam RUU SPPA dimaksudkan antara lain untuk menjaga agar penyelenggara sistem pembayaran tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan menutup celah terjadinya kejahatan dalam kegiatan sistem pembayaran. Dengan pengaturan yang komprehensif yang meliputi berbagai aspek kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir, maka undang-undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya kepada industri sistem pembayaran dan penyelesaian akhir.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
Artikel 1:
Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum Tergarap
Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum Tergarap Uang elektronik pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 2007, namun sampai saat ini penggunaannya masih belum signifikan dibanding instrumen non-tunai lainnya walaupun disadari memiliki potensi yang cukup besar, khususnya di sektor ritel dan transportasi. Kondisi tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi penerbit maupun masyarakat pengguna uang elektronik. Untuk mengetahui potensi penggunaan uang elektronik maka dilakukan penelitian potensi uang elektronik di Jakarta yang dapat dijadikan referensi dalam perumusan strategi pengembangan uang elektronik di masa yang akan datang. Potensi Uang elektronik Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011, kebutuhan sehari-hari (makanan dan minuman) menempati pangsa 51% serta transportasi menempati pangsa 8% dari keseluruhan proporsi pengeluaran rumah tangga dari makanan sampai bukan makanan. Di sisi nilai kebutuhan sehari-hari di pasar ritel modern mencapai Rp17 triliun. Uang elektronik yang pada dasarnya ditujukan untuk transaksi ritel memiliki potensi untuk digunakan dalam bertransaksi untuk kebutuhan sehari-hari termasuk makanan, minuman dan transportasi. Berdasarkan hasil kajian mengenai potensi uang elektronik di Jakarta pada 2012, diperoleh proyeksi bahwa potensi penggunaan uang elektronik untuk kebutuhan sehari-hari secara total adalah sebesar Rp24 triliun per tahun yang terdiri atas Rp23,4 triliun di sektor transportasi (TransJakarta, KRL, taksi, jalan tol, BBM dan parkir) dan Rp600 miliar pada sektor makanan/minuman.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Jika melihat hal tersebut maka peran uang elektronik dalam sistem pembayaran diarahkan dalam rangka mengurangi penggunaan uang tunai dengan denominasi ≤ Rp50.000, hal tersebut diharapkan dapat menekan laju penggunaan uang pecahan kecil sehingga Bank Indonesia dapat mengefisienkan biaya pengadaan/pencetakan uang. Kendala Pengembangan Uang Elektronik 1. Bisnis Model Ekosistem uang elektronik di Indonesia saat ini terlihat masih kurang produktif. Indikasi ini muncul dari relatif terbatasnya sumber pendapatan bagi penerbit. Salah satu keuntungan utama yang didapatkan oleh penerbit adalah dari sisi non financial seperti brand exposure dan customer retention, hal tersebut akan mengakibatkan industri uang elektronik susah berkembang. Dalam ekosistem uang elektronik sekarang merchant memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibanding penerbit. Hal tersebut dikarenakan selain harus membangun seluruh infrastruktur, penerbit harus membayar fee kepada merchant untuk setiap transaksi. Bisnis model tersebut menyebabkan penerbit menanggung beban investasi yang tinggi tanpa mendapatkan keuntungan finansial. Disisi lain floating fund yang dikelola oleh penerbit tidak diperbolehkan untuk digunakan dalam investasi. Adapun konsep ideal Bisnis model uang elektronik adalah penerbit mendapatkan keuntungan fee per transaksi dari merchant dan penempatan floating fund.
59
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
2. Konsumen Komposisi perilaku pembayaran oleh konsumen menunjukkan bahwa sebagian besar masih bertransaksi secara tunai. Tiga alasan utama masyarakat belum menggunakan uang elektronik adalah belum mengetahui atau belum mendengar tentang uang elektronik, belum membutuhkan atau tertarik serta belum mengetahui cara penggunaannya. Untuk itu diperlukan strategi sosialisasi, edukasi dan komunikasi kepada masyarakat untuk membuat mereka lebih “aware” terhadap keberadaan uang elektronik. 3. Kurang optimalnya industri Telekomunikasi sebagai MFS (mobile financial services) Penyebab kurang berkembangnya industri telekomunikasi dalam sistem pembayaran adalah (1) adanya kekhawatiran dan kepercayaan kalangan perbankan terhadap kemampuan industri telekomunikasi dalam pengelolaan di sektor finansial; (2) dualisme peran industri telekomunikasi sebagai kompetitor dan rekan penyedia jaringan, dan (3) kebijakan Bank Indonesia yang belum mengakomodir kebutuhan industri telekomunikasi. Di sisi lain industri telekomunikasi memiliki kemampuan untuk menjangkau masyarakat dengan social economic terbawah yang mayoritas merupakan unbanked people. Dengan sebaran infrastruktur yang mencapai 90% wilayah di Indonesia serta kepemilikan jumlah mobile phone yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat maka industri telekomunikasi berpotensi besar dalam sistem pembayaran di Indonesia. 4. Tidak adanya Killer Sector dalam industri uang elektronik Belum ada “killer sector” yang dapat memaksa konsumen untuk mengubah kebiasaan dalam penggunaan uang elektronik. Sementara itu, beberapa Negara lain menggunakan sektor transportasi sebagai “killer sector” yang memaksa masyarakat untuk menggunakan uang elektronik.
60
5. Regulasi Dari sisi ketentuan terdapat dua hal yang perlu disesuaikan guna mendukung perkembangan uang elektronik yaitu (1) peruntukan dana float sehingga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi bank, dan (2) kemudahan dalam penggunaan agen sebagai tempat cash in dan cash out. 6. Interkoneksi Belum saling terkoneksinya antara satu penerbit dengan penerbit yang lain membuat konsumen harus membawa banyak instrumen untuk melakukan berbagai kegiatan transaksi. Di sisi lain hal tersebut merupakan duplikasi investasi oleh penyelenggara uang elektronik. Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil penelitian tersebut beberapa strategi yang harus dilakukan adalah: a. Merubah ekosistem uang elektronik menjadi lebih produktif; b. Mendorong industri telekomunikasi untuk lebih berperan dalam pengembangan sebagai MFS; c. Mengeluarkan regulasi yang mendukung perkembangan uang elektronik; d. Bekerjasama dengan pihak terkait dalam rangka meningkatkan penggunaan uang elektronik; dan e. Melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
Artikel 2:
Mobile Financial Services dalam rangka Mendukung Financial Inclusion Dalam tahun 2012, Bank Indonesia melakukan penyusunan kajian Model Mobile Financial Services (MFS) yang sesuai untuk diterapkan dalam rangka program Financial Inclusion (FI) untuk meningkatkan akses bagi masyarakat yang kurang terjangkau layanan keuangan. Akses terhadap layanan keuangan menjadi isu penting beberapa tahun belakangan ini. Adapun tujuan FI adalah untuk memberdayakan ekonomi dari kelompok masyarakat tersebut. Salah satu faktor krusial penyebab rendahnya akses masyarakat kepada layanan keuangan di Indonesia adalah kondisi geografis yang berbentuk kepulauan dan tersebar. Kondisi tersebut dan ditambah dengan terbatasnya infrastruktur transportasi merupakan kendala yang dihadapi bank dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah terpencil maupun daerah pedesaan. Selain itu, skala ekonomis operasional bank juga menjadi penyebab bank enggan memperluas layanannya di daerah tersebut. Salah satu best practice yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendukung program FI di beberapa negara adalah penggunaan teknologi telepon genggam dan agen sebagai sarana yang dapat menjangkau masyarakat hingga daerah terpencil, dimana bank maupun institusi keuangan lainnya belum dapat menjangkaunya. Penggunaan telepon genggam yang sudah sangat luas di seluruh lapisan masyarakat merupakan faktor yang mendukung digunakannya telepon genggam untuk menjangkau masyarakat dalam program FI. Demikian pula keberadaan agen yang banyak dan luas hingga ke daerah terpencil juga membantu masyarakat untuk dengan mudah mengakses berbagai layanan keuangan.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Salah satu best practice model yang dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menyukseskan program FI di beberapa negara adalah melalui Branchless Banking. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia sedang mengkaji kemungkinan penerapan model Branchless Banking. Branchless Banking yaitu penyediaan layanan perbankan tanpa adanya kehadiran fisik dari kantor bank. Kemajuan teknologi serta keterbatasan dari bank untuk membuka kantor cabang di berbagai daerah terpencil merupakan latar belakang munculnya konsep Branchless Banking. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat menciptakan banyak alternatif delivery channel yang dapat digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap sistem perbankan. Dengan konsep Branchless Banking, masyarakat tidak perlu lagi bergantung pada “Bank” secara fisik, melainkan dapat memanfaatkan alternatif delivery channel dengan kapabilitas konsep baru ini antara lain EDC, mobile wallet, dan mobile banking. Jika dilihat secara lebih luas, FI tidak hanya dilakukan melalui branchless banking saja yang pada umumnya bank sebagai pelaku utama di samping adanya pelaku lain seperti perusahaan telekomunikasi sebagaimana yang terjadi di Kenya. Salah satu keunggulan kompetitif dari perusahaan telekomunikasi adalah mempunyai database nasabah sangat besar dan coverage yang luas, sehingga hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung suksesnya pelaksanaan FI, melalui produk e-money server-based yang diterbitkan oleh perusahaan telekomunikasi. Berdasarkan model yang diterapkan di berbagai negara, seperti Kenya, Afrika Selatan, dan Filipina, terdapat 3 model layanan yang menggunakan teknologi telepon
61
Bab 5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
genggam dan agen yang dikenal sebagai mobile financial services (MFS), yaitu Bank-led Model, Mobile Network Operator (MNO)-led Model, dan Hybrid Model. Adapun masing-masing karakteristik dari model tersebut adalah: - Bank-led Model, yaitu Mobile chanel hanya merupakan saluran akses untuk banking services - Non Bank Model (MNO-led), yaitu Service didistribusi dan dikelola oleh operator dengan lisensi dan merek milik sendiri - Hybrid Model (Joint Venture) yaitu Bank dan operator memanfaatkan keunggulan masing- masing pihak Masing-masing model tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Di negara-negara berkembang seperti Kenya dan Filipina, konsep MNOled berhasil diterapkan. Untuk negara yang relatif lebih maju, seperti Afrika Selatan berhasil dengan model Bank-led. Pada dasarnya baik bank dan MNO mempunyai peranan yang sedikit berbeda jika digunakan dalam pengembangan FI, yaitu:
����������
���������������� ��������������
��������������
����������������������������
����������������� ������������������������ ���������������������
����������������������
���������������������� ���������������
������������������������������������������ ������
Bentuk kerjasama yang paling optimal adalah dengan melakukan sinergi dimana bank dan perusahaan telekomunikasi sama-sama menyediakan layanan yang dapat saling terintegrasi. Bentuk-bentuk sinergi yang dapat dilakukan antara lain: ��������������������������������������������� ��������������������������������� ���������������������������������������� ������������������� ��������������������������������� ����������������������������������� �������������������� ����������������������������������������� ����������� �������������������������������������������������� ���������������� ������������������������������������������������������
Dalam upaya pencapaian tersebut, perlu diselesaikan beberapa isu yang ada, antara lain sinergi antara bank dan perusahaan telekomunikasi termasuk business model yang tepat, edukasi kepada masyarakat, eksklusivitas antara bank maupun perusahaan telekomunikasi, pengaturan yang mendukung, serta koordinasi antar otoritas seperti BI, OJK, Kemenkominfo, dan lainnya.
�������������������
Masing-masing institusi tersebut mempunyai peran dan keunggulan masing-masing yang jika disinergikan akan memberikan manfaat yang lebih optimal. Berdasarkan pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan keberadaan jaringan bank yang terbatas dibandingkan dengan jaringan perusahaan telekomunikasi, model yang dianggap paling sesuai adalah Hybrid Model. Model ini merupakan sinergi antara bank dan perusahaan telekomunikasi.
62
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
BAGIAN 2
PENGELOLAAN Uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
63
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
Bab 6
Sekilas Pengelolaan Uang
Menjamin ketersediaan uang Rupiah layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memenuhi amanat Undang-Undang Mata Uang
Dalam delapan tahun terakhir, Indonesia merupakan salah satu negara yang mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dan paling stabil di dunia. Daya tahan perekonomian Indonesia yang didukung oleh lingkungan makro dan sistem keuangan yang terjaga kondusif dan stabil mendorong perekonomian tumbuh dengan rata-rata di atas enam persen per tahun. Adapun pada tahun 2012, tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh kenaikan kontribusi permintaan domestik yang terjadi di tengah pelemahan kinerja eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan stabil tersebut perlu dukungan ketersediaan uang kartal agar tetap terjaga kelancaran aktivitas transaksi pembayaran tunai masyarakat. Perkembangan tersebut direspon oleh Bank Indonesia dengan senantiasa menjaga ketersediaan uang rupiah layak edar baik secara nominal maupun jenis pecahan di seluruh wilayah NKRI. Ketersediaan uang rupiah layak edar tersebut tercermin oleh jumlah dan laju pertumbuhan uang kartal yang diedarkan (UYD) maupun aliran uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat (outflow) dan aliran uang kartal yang masuk melalui Bank Indonesia. Jumlah rata-rata harian UYD pada tahun 2012 mencapai Rp370,61 triliun, tumbuh 15,68% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp320,37 triliun. Peningkatan UYD
64
tersebut terutama digunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Meningkatnya UYD tersebut dikonfirmasi pula dengan adanya tambahan kebutuhan uang kartal masyarakat sepanjang tahun 2012 sebesar Rp63,29 triliun, atau meningkat 16,80% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp54,19 triliun. Pasca penerapan kebijakan penyetoran dan penarikan uang oleh bank umum di Bank Indonesia pada bulan April 2011, pertumbuhan outflow dan inflow pada tahun 2012 masih cenderung tinggi meskipun masih lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2011. Pertumbuhan outflow pada tahun 2012 mencapai 23,6% sementara inflow naik 24,8%. Merespon kenaikan jumlah outflow tersebut, Bank Indonesia menerapkan kebijakan penguatan strategi distribusi uang untuk memenuhi ketersediaan uang kartal layak edar secara merata hingga ke wilayah terpencil dan terdepan NKRI. Sementara itu, guna menjaga kualitas uang yang beredar di masyarakat dalam kondisi layak edar, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar yang masuk kembali dari perbankan dan masyarakat ke Bank Indonesia. Jumlah uang rupiah kertas tidak layak edar yang dimusnahkan Bank Indonesia selama tahun 2012 mencapai 3,82 miliar lembar dalam berbagai pecahan.
6.1. Isu Strategis dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012 Kinerja positif perekonomian Indonesia pada tahun 2012 berlangsung ditengah melambatnya kondisi ekonomi global. Pencapaian ini memerlukan ketersediaan alat
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
pembayaran dalam mendukung kelancaran aktivitas perekonomian domestik. Dari sisi alat pembayaran tunai, peningkatan aktivitas ekonomi domestik khususnya konsumsi rumah tangga mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat. Sesuai dengan tugasnya untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran, kebutuhan uang kartal yang meningkat tentunya harus didukung dengan ketersediaan uang kartal dari Bank Indonesia sebagai satusatunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah. Mewujudkan hal tersebut, kebijakan Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 diarahkan untuk memenuhi misinya di bidang pengelolaan uang yakni memenuhi kebutuhan uang rupiah masyarakat dalam jumlah yang cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar. Kebijakan tersebut ditempuh dengan memperhatikan perkembangan beberapa indikator ekonomi makro baik nasional maupun masing-masing daerah yang berimplikasi langsung terhadap kebutuhan uang kartal masyarakat maupun isu-isu strategis yang berkembang dalam aktivitas pengelolaan uang yang dilakukan Bank Indonesia. Sementara itu, perkembangan berbagai isu strategis dalam aktivitas pengelolaan uang menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia yang harus disikapi dengan respon kebijakan yang tepat. Masih kentalnya budaya masyarakat untuk memegang fisik uang dan melakukan transaksi pembayaran secara tunai, belum memadainya ketersediaan uang kartal layak edar di seluruh wilayah NKRI, serta perlunya peningkatan kualitas dan penyempurnaan unsur pengaman pada uang rupiah untuk melindungi uang rupiah dari upaya pemalsuan serta agar mudah dikenali ciri keasliannya, merupakan isu-isu strategis yang harus disikapi oleh Bank Indonesia. Disamping itu, upaya untuk meningkatkan keterlibatan pihak lain di luar bank sentral dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah turutpula menjadi isu yang mendapatkan perhatian khusus dan mendasari pengambilan kebijakan Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang. Demikian pula dengan diberlakukannya UU Mata Uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
pada tanggal 28 Juni 2011 menjadi faktor penting yang mendasari pengambilan kebijakan Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang sepanjang tahun 2012. Diberlakukannya UU Mata Uang yang mengamanatkan agar Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah dalam berbagai hal, berimplikasi luas pada kegiatan pengelolaan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang meliputi kegiatan perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang rupiah.Penambahan fungsi baru pada kegiatan perencanaan, pencetakan dan pemusnahan uang rupiah menuntut adanya penyesuaian mekanisme dan alur kerja yang mengakomodir koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah. Disamping itu, penambahan fungsi baru tersebut juga mengharuskan Bank Indonesia untuk melakukan penguatan fungsi yang telah ada dalam hal penanggulangan uang rupiah palsu bersama dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Memperhatikan perkembangan ekonomi makro, berbagai isu startegis dan implementasi UU Mata Uang, kebijakan pengelolaan uang rupiah selama tahun 2012 dilakukan dengan mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i) Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya; dan iii) Layanan Kas Prima. Berbagai kebijakan yang ditempuh selama tahun 2012 selain dimaksudkan untuk memenuhi misi Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang, juga berkontribusi meningkatkan efisiensi manajemen kas perbankan maupun efisiensi kegiatan cash processing di Bank Indonesia.
6.2. Arah Kebijakan ke Depan Ekonomi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi mencapai kisaran 6,3%-6,8%. Hal ini sejalan dengan peningkatan kinerja ekonomi global yang diperkirakan mengalami peningkatan secara gradual. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 ini masih disumbang oleh permintaan domestik. Selain itu, persiapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan legislatif pada tahun 2014 juga akan mendorong kebutuhan
65
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
uang kartal tumbuh ke arah yang lebih tinggi. Perkiraan pertumbuhan kebutuhan uang yang cukup tinggi ini menjadi pijakan bagi penetapan arah kebijakan dan rencana pengembangan di bidang pengelolaan uang pada tahun 2013. Disamping pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, peta strategi dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan juga dipengaruhi oleh berbagai lingkungan strategis Bank Indonesia. Amandemen UU Bank Indonesia, pengesahan UU lainnya seperti UU Mata Uang dan RUU terkait, maupun isu-isu strategis yang berkembang di dunia internasional, nasional, regional serta internal
Menghadapi perkembangan ini, kebijakan pengelolaan uang ke depan diarahkan untuk memperkuat manajemen persediaan dan fungsi layanan uang kartal, disamping meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan distribusi uang yang telah dijalankan selama ini. Kebijakan-kebijakan tersebut diambil dengan tetap memperhatikan amanat UU Mata Uang maupun perkembangan lainnya.
Bank Indonesia, menjadi lingkungan strategis yang turut mempengaruhi kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2013.
66
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Bab 7
Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi pada tahun 2012 (6,23%) dan laju inflasi yang terkendali pada tingkat yang rendah (4,3%) terutama ditopang oleh naiknya permintaan domestik. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi serta berbagai kebijakan pengelolaan uang rupiah yang ditempuh Bank Indonesia, beberapa indikator utama pengelolaan uang rupiah yaitu uang kartal yang diedarkan (UYD) dan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia juga mengalami peningkatan.
Kinerja perekonomian domestik yang meningkat pada tahun 2012 perlu mendapat dukungan ketersediaan uang kartal sebagai salah satu alat pembayaran di masyarakat. Peran penting uang kartal tersebut tercermin dari peningkatan beberapa indikator utama pengelolaan uang yaitu uang kartal yang diedarkan (UYD) dan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi, jumlah UYD terus mengalami peningkatan. Rata-rata harian UYD naik dari Rp320,37 triliun pada tahun sebelumnya menjadi Rp370,61 triliun pada tahun 2012 atau meningkat 15,68%. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan uang kartal sebagai alat pembayaran tunai di masyarakat. Peningkatan ini dikonfirmasi pula dengan tambahan kebutuhan uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
kartal (net outflow) sepanjang tahun 2012 sebesar Rp63,29 triliun atau meningkat 16,80% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp54,19 triliun. Sejalan dengan perkembangan UYD, rasio UYD terhadap konsumsi masyarakat khususnya rumah tangga juga mengalami peningkatan. Rasio UYD terhadap konsumsi masyarakat pada tahun 2012 mencapai 33,64%, naik dibanding tahun sebelumnya dengan rasio sebesar 31,97%. Kenaikan rasio ini mengindikasikan bahwa ditengah beragamnya pilihan alat pembayaran yang tersedia di masyarakat, uang kartal masih tetap menjadi salah satu pilihan utama masyarakat, khususnya rumah tangga, dalam membiayai aktivitas konsumsinya. Disisi lain, perkembangan pangsa UYD di perbankan selama tahun 2012 masih melanjutkan tren penurunan pada tahun sebelumnya. Pangsa UYD di perbankan tercatat sebesar 15,50%, turun dari tahun 2011 dengan pangsa sebesar 15,76%. Tren penurunan pangsa UYD di perbankan ini didorong oleh penerapan penyempurnaan ketentuan penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank umum di Bank Indonesia yang mulai diberlakukan pada bulan April 2011. Sebelum penerapan penyempurnaan ketentuan tersebut, pangsa UYD di perbankan berada di kisaran 16,00%. Kecenderungan penurunan pangsa UYD di perbankan memperlihatkan semakin efisiennya cash management di perbankan serta makin optimalnya transaksi uang kartal antar bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan.
67
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Sementara itu, pasca penerapan penyempurnaan ketentuan penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank umum di Bank Indonesia, laju pertumbuhan jumlah aliran uang kartal yang keluar (outflow) dan masuk (inflow) melalui Bank Indonesia pada tahun 2012 turun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah outflow dan inflow masing-masing tumbuh sebesar 23,57% dan 24,82%, menurun dibandingkan pertumbuhan tahun 2011 sebesar 40,55% dan 39,06%. Penurunan tersebut merupakan dampak penyempurnaan ketentuan sehingga penggunaan uang kartal lebih optimal yang pada gilirannya dapat meningkatkan efisiensi baik bagi perbankan maupun Bank Indonesia.
7.1. Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi, jumlahuang kartal yang diedarkan (UYD) terus meningkat (Grafik 7.1). Posisi dan rata-rata UYD pada tahun 2012 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Posisi UYD pada akhir tahun 2012 mencapai sebesar Rp439,72 triliun atau meningkat 17,90% dibandingkan posisi pada akhir periode sebelumnya sebesar Rp 372,97 triliun. Secara rata-rata harian, jumlah UYD sepanjang tahun 2012 mencapai Rp370,61 triliun, naik 15,68% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun meningkat cukup tinggi,
���������
Tabel 7.1 Rata-rata UYD dan Posisi UYD Periode
318,58
372,97
439,72
17,08%
17,90%
Posisi UYD Akhir Th. (Triliun)
273,96
320,37
370,61
Pertumbuhan (yoy)
12,10%
16,94%
15,68%
pertumbuhan rata-rata UYD tersebut masih lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 16,94% (Tabel 7.1). Namun demikian, laju pertumbuhan rata-rata UYD pada tahun 2012 tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2012, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 10,58% atau lebih rendah dibanding pertumbuhan rata-rata UYD sebesar 15,68%. Dengan perkembangan tersebut, rasio UYD terhadap konsumsi rumah tangga meningkat dari sebesar 31,97% pada tahun 2011 menjadi sebesar 33,64%. Perkembangan rasio UYD serta laju pertumbuhan UYD yang cukup tinggi selama tahun 2012 mengindikasikan peranan penting uang kartal sebagai alat pembayaran di masyarakat (Grafik 7.2). Ditengah pertumbuhan UYD yang cukup tinggi selama tahun 2012, dinamika perkembangan UYD tidak dapat dilepaskan dari pola musimannya. Sebagaimana tahun-
�������
�
��
�
��
�
��
��
�
��
�
�
��
�
��
�
�
�
�
���
�������
�� �� ��
� � � �
�
��
��� ����
��
�
��
��� ����
��
�
��
��� ����
Grafik 7.1 Pertumbuhan UYD, PDB dan Inflasi
68
��
2012
14,17%
��
���
2011
Pertumbuhan (yoy)
�
��
2010
UYD Rata-rata (Triliun)
������������������
��
�������������������������� ���������������������������� ������������������
���
���
��� ����
���
���
���
��� ����
���
���
���
��� ����
���
Grafik 7.2 Pertumbuhan UYD, Konsumsi RT, Rasio UYD terhadap Konsumsi RT
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
����������
����������� ���
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���� ���
����
���
����
���� � ���
�� ���
�� ���
�� ���
�� ���
�� ���
�� ���
�� ���
�� ���
� ���
� ���
� ���
� ���
�� ���
Grafik 7.3 Perkembangan Posisi UYD
tahun sebelumnya, pola musiman tersebut ditandai dengan kenaikan jumlah UYD secara signifikan pada periode Hari Raya Keagamaan yaitu Ramadhan dan Idul Fitri, Natal dan akhir tahun maupun Hari Raya Imlek; serta periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru. Pada tahun 2012, pengaruh pola musiman terhadap jumlah UYD tercermin dari posisi UYD pada pekan terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri maupun posisi UYD pada akhir bulan Desember 2012 bersamaan dengan Natal dan akhir tahun, yang masing-masing tercatat sebesar Rp442,59 triliun dan Rp439,72 triliun. Posisi UYD pada pekan terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri tersebut (tanggal 16 Agustus 2012) merupakan posisi UYD tertinggi sepanjang tahun 2012. Sedangkan posisi UYD terendah terjadi pada tanggal 24 Maret 2012 sebesar Rp329,03 triliun (Grafik 7.3). Pengaruh pola musiman tersebut juga tercermin dari tingginya rata-rata UYD selama bulan Agustus dan Desember 2012 atau selama periode Ramadhan dan Idul Fitri serta periode Natal dan akhir tahun.Rata-rata UYD bulananpada periode tersebut masing-masing mencapai sebesar Rp420,85 triliun dan Rp411,15 triliun (Grafik 7.4). Pola musiman juga mempengaruhi perkembangan pangsa UYD di perbankan. Antisipasi perbankan terhadap peningkatan kebutuhan uang kartal nasabahnya selama
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
���
���
���
���
���
���
���
���� ���
���
���� ���
���
���
���
Grafik 7.4 Perkembangan Rata-rata UYD Bulanan
periode Ramadhan dan Idul Fitri, maupun selama periode Natal dan akhir tahun 2012 berdampak pada meningkatnya pangsa UYD perbankan pada periode tersebut. Pangsa UYD perbankan pada bulan Agustus dan September 2012 atau selama periode Ramadhan dan Idul Fitri masing-masing tercatat sebesar 17,98% dan 16,19%. Sementara pangsa UYD di perbankan pada bulan Desember 2012 bersamaan dengan Natal dan akhir tahun 2012 mencapai 15,71%, lebih tinggi dibanding pangsa bulan Oktober dan November 2012 yang mencapai 14,65% dan 15,34%. Sepanjang tahun 2012, rata-rata pangsa UYD di perbankan mencapai 15,50%, sedikit lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan pangsa sebesar 15,76%. Tren penurunan pangsa UYD di perbankan ini masih merupakan kelanjutan dari tren penurunan tahun sebelumnya, sebagai dampak dari penerapan penyempurnaan ketentuan penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh bank umum di Bank Indonesia yang mulai diberlakukan pada bulan April 2011. Pasca penerapan ketentuan tersebut, pangsa rata-rata UYD di perbankan turun ke kisaran 15,00%. Sementara sebelumnya,rata-rata pangsa UYD perbankan berada di atas kisaran 16,00% (Grafik 7.5).
69
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
�
� ��
���
��
��
��
����� �����
����� �����
������
������
������
������
����� ����� ������
��
�� �� ��
����
����
���� �
�� ���
���
���
���
���
���
���
���
���
���
���
���
���� �����������
Grafik 7.5 Perkembangan Pangsa UYD di Perbankan
Secara nominal, rata-rata UYD di perbankan dan masyarakat mengalami peningkatan sejalan dengan kenaikan jumlah UYD secara keseluruhan. Rata-rata UYD di perbankan dan masyarakat selama tahun 2012 masingmasing tercatat sebesar Rp57,46 triliun dan Rp313,15 triliun, meningkat dari UYD pada tahun sebelumnya yakni di perbankan sebesar Rp50,51 triliun dan di masyarakat sebesar Rp269,87 triliun.
Tabel 7.2. Pangsa UYD di Bank dan Masyarakat Periode Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des Tahunan
2010 Masy Bank
2011 Masy Bank
2012 Masy Bank
81,40% 83,14% 83,30% 83,90% 84,52% 84,83% 83,98% 83,58% 80,09% 83,00% 84,43% 84,18% 83,37%
81,94% 83,08% 84,50% 84,93% 85,23% 85,50% 84,88% 83,92% 81,55% 85,04% 85,16% 84,94% 84,24%
83,75% 84,96% 85,20% 85,27% 85,06% 85,48% 84,39% 82,02% 83,81% 85,35% 84,66% 84,29% 84,50%
18,60% 16,86% 16,70% 16,10% 15,48% 15,17% 16,02% 16,42% 19,91% 17,00% 15,57% 15,82% 16,63%
18,75% 16,92% 15,50% 15,07% 14,77% 14,50% 15,12% 16,08% 18,45% 14,96% 14,84% 15,06% 15,76%
���� ������
���� ������
�������
Grafik 7.6 Pangsa UYD Berdasarkan Nominal
Penurunan pangsa UYD di perbankan yang terjadi selama tahun 2012 diikuti dengan peningkatan pangsa UYD di masyarakat. Pangsa UYD di masyarakat mengalami peningkatan dari sebesar 84,24% pada tahun 2011 menjadi sebesar 84,50% (Tabel 7.2).
70
������
��
��
16,25% 15,04% 14,80% 14,73% 14,94% 14,52% 15,61% 17,98% 16,19% 14,65% 15,34% 15,71% 15,50%
Berdasarkan nilai nominal, komposisi UYD per pecahan didominasi oleh uang rupiah pecahan besar (UPB) atau pecahan Rp20.000 ke atas. Sementara berdasarkan jumlah bilyet/keping, sebagian besar UYD merupakan uang rupiah pecahan kecil (UPK) atau pecahan Rp10.000 ke bawah. Pangsa UPB pada tahun 2012 mencapai 93,19% dari total UYD dengan komposisi pangsa pecahan Rp100.000, Rp50.000, dan Rp20.000 masing-masing sebesar 60,65%; 30,11%; dan 2,43% (Grafik 7.6). Peningkatan UYD dan pangsa UYD yang didominasi oleh UPB ini sejalan dengan meningkatnya nilai transaksi kartu ATM dan kartu ATM/Debet yang pada tahun 2012 tumbuh sebesar 23,32%, yakni dari Rp2,48 ribu triliun pada tahun 2011 menjadi Rp3,05 ribu triliun pada tahun 2012. Penggunaan kartu ATM dan kartu ATM/Debet masih didominasi untuk transaksi tarik tunai, dibandingkan untuk transaksi pembelanjaan dan transfer. Sementara itu, berdasarkan jumlah lembar/keping, pangsa UPB pada tahun 2012 mencapai 21,35% dari jumlah lembar/keping UYD. Pangsa lembar/keping pecahan Rp100.000, Rp50.000 dan Rp20.000 masing-masing tercatatsebesar 9,74%, 9,67% dan 1,95% (Grafik 7.7). Disisi lain, perkembangan komposisi UYD per pecahan selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
mecapai Rp366,26 triliun, naik 24,82% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp293,42 triliun.
� ���
��
��
������
������
����� ������
����� �����
�����
�����
������
��
��
�
����� ����� ����� ���� �����������
���� ������
���� ������
�������
Grafik 7.7 Pangsa UYD Berdasarkan Bilyet/Keping
kecenderungan peningkatan pangsa UYD pecahan Rp100.000 secara nominal. Peningkatan ini diikuti dengan penurunan pangsa pecahan Rp50.000, sedangkan pangsa pecahan lainnya relatif tidak berubah. Hal ini mengindikasikan semakin tingginya kebutuhan masyarakat dan perbankan terhadap uang rupiah pecahan terbesar dalam aktivitas transaksinya. Secara keseluruhan, pangsa uang rupiah kertas (UK) dan uang rupiah logam (UL) yang diedarkan pada tahun 2012 relatif tidak mengalami perubahan. Pangsa UK pada akhir tahun 2012 mencapai 99,00% dari total UYD, tidak berubah dari pangsa tahun sebelumnya.
7.2. Perkembangan Aliran Uang Kartal melalui Bank Indonesia Sejalan dengan peningkatan jumlah UYD, aliran uang kartal melalui Bank Indonesia, baik aliran uang kartal yang keluar ke perbankan dan masyarakat (outflow), maupun aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow) juga mengalami peningkatan. Kenaikan tersebut diikuti dengan pola fluktuasi yang relatif sama dengan pola tahun sebelumnya yang juga mencerminkan pola musimannya. Pada tahun 2012, jumlah outflow meningkat 23,57% dari tahun sebelumnya, yakni dari Rp347,62 triliun menjadi Rp429,55 triliun. Sementara jumlah inflow
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Meskipun naik cukup tinggi, pertumbuhan jumlah aliran uang kartal melalui Bank Indonesia selama tahun 2012 masih lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, outflow dan inflow masingmasing tumbuh sebesar 40,55% dan 39,06%, atau tercatat sebagai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan Bank Indonesia untuk terus mendorong perbankan melakukan optimalisasi Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) dalam memenuhi kebutuhan likuiditas mereka. Berdasarkan penggunaannya, sebagian besar uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia ditujukan untuk memenuhi penarikan perbankan. Pangsa penarikan bank selama tahun 2012 mencapai 95,2% dari total outflow, sedikit lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 94,9%. Sementara itu, uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia juga digunakan untuk memenuhi kegiatan layanan kas lainnya seperti pembayaran non-bank, penukaran uang, kas keliling, dan kas titipan. Di tengah peningkatan jumlah outflow dan inflow, pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat selama tahun 2012 tidak mengalami hambatan yang berarti. Melalui berbagai kebijakan yang dijalankan, Bank Indonesia dapat memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat termasuk pada saat terjadinya peningkatan kebutuhan uang kartal secara signifikan seperti pada periode Hari Raya Keagamaan dan akhir tahun. Sepanjang tahun 2012, jumlah outflow menunjukkan pola yang meningkat setiap triwulannya.Pada tahun 2012, jumlah outflow tertinggi terjadi pada triwulan IV dan III dengan jumlah masing-masing sebesar Rp133,57 triliun dan Rp125,05 triliun. Secara musiman, tingginya jumlah outflow uang kartal pada periode tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan kebutuhan uang kartal masyarakat untuk keperluan transaksi pada periode Ramadhan dan Idul Fitri yang terjadi pada akhir bulan Agustus, serta untuk kebutuhan Natal dan akhir tahun (Grafik 7.8).
71
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
����
����������� ���
��� ���
������
������
������
�����
�����
�����
���
���
�����
�����
�����
��
������
������
������
������
������
������
�� ���
������
������
������
����
����
����
�� ����
����
����
��
� �����
�����
�����
������
Grafik 7.8 Perkembangan Jumlah Outflow
����� �����
����� �����
������
������
����� �����
���
����������
��������
�������
�����������
����
Grafik 7.10 Pangsa Outflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
Berdasarkan pecahan, pangsa outflow UPB sedikit meningkat dari 95,02% pada tahun 2011 menjadi sebesar 95,51%. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pangsa nominal pecahan Rp100.000 terus mengalami peningkatan, sedangkan pecahan lainnya menunjukkan kecenderungan menurun. Pangsa pecahan Rp100.000 pada tahun 2012 mencapai 57,80% dari total outflow, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 51,08% (Grafik 7.9). Hal ini mengindikasikan tingginya kebutuhan akan ketersediaan uang rupiah pecahan terbesar dalam aktivitas transaksi masyarakat.
����
��������
������
Berdasarkan sebaran wilayah, pangsa outflow terbesar pada tahun 2012 terjadi di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) yang meliputi Jakarta dan BODETABEK sebesar 31,77%. Kemudian diikuti oleh wilayah kerja Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPw DN) Bank Indonesia yang berada di Pulau Jawa (Jawa Non-KP) dengan pangsa sebesar 25,93% dari total outflow (Grafik 7.10). Dinamika perkembangan jumlah inflow pada tahun 2012 tetap memperlihatkan pola yang sama dengan pola dua tahun sebelumnya, dimana jumlah inflow turun pada
����������� ���
���
��� �� ���
���
������
������
������
��
�� ����
�� ���� ������
���� �����
���� �����
������
Grafik 7.9 Pangsa Outflow Berdasarkan Pecahan
72
�
�����
�����
���� �����
���� �����
Grafik 7.11 Perkembangan Jumlah Inflow
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
triwulan II, meningkat pada triwulan III dan kembali turun pada triwulan IV. Jumlah inflow tertinggi selama tahun 2012 terjadi pada triwulan III sebesar Rp115,58 triliun yang dipengaruhi oleh pola musiman yaitu arus balik uang kartal pasca Ramadhan dan Idul Fitri. Kelebihan likuiditas perbankan pasca arus balik uang kartal dari masyarakat ini mengakibatkan meningkatnya jumlah setoran uang kartal dari perbankan ke Bank Indonesia dan mendorong kenaikan jumlah inflow ke titik tertinggi sepanjang tahun 2012 (Grafik 7.11).
����
���
���
���
����� �����
����� �����
����� �����
������
������
������
�����
�����
�����
������
������
������
������
������
������
���
�� ����
Tidak jauh berbeda dengan kondisi outflow, sebagian besar inflow selama tahun 2012 merupakan UPB dengan pangsa sebesar 95,59% dari total inflow, meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan pangsa sebesar 94,77%. Sejalan dengan pola perkembangan outflow, pangsa inflow pecahan Rp100.000 terus mengalami peningkatan sedangkan pecahan lainnya menunjukkan kecenderungan menurun. Pangsa pecahan Rp100.000 mencapai 52,04% dari total inflow tahun 2012, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 47,25%. Adapun pangsa pecahan Rp50.000, Rp20.000 dan Rp10.000 ke bawah turun dari tahun sebelumnya dengan pangsa masing-masing sebesar 41,25%, 2,30% dan 4,41% (Grafik 7.12). Berdasarkan sebaran wilayah, pangsa inflow terbesar pada tahun 2012 terjadi di wilayah kerja KPw DN Bank
����
����� �����
����� �����
����� �����
����
����
��������
����������
��������
�������
�����������
����
Grafik 7.13 Perkembangan Inflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
Indonesia di Pulau Jawa serta di wilayah kerja KPBI yang meliputi Jakarta dan BODETABEK. Sebaran inflow di kedua wilayah tersebut mencapai 43,82% dan 20,93% dari total inflow (Grafik 7.13). Perkembangan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 ditandai dengan jumlah outflow yang lebih tinggi dibandingkan dengan inflow. Hal ini menyebabkan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia mengalami net outflow sebesar Rp63,29 triliun atau meningkat 16,80% dibanding tahun 2011 dengan net outflow uang kartal sebesar Rp54,19 triliun (Grafik 7.14).
��� ������
�������
�������
���
��� ������
������
������
���
���
��� ���
���
������
������
������
��� �
�� ���� ������
���� �����
���� �����
����
����
����
������
Grafik 7.12 Perkembangan Inflow Berdasarkan Pecahan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
����
Grafik 7.14 Perkembangan Jumlah Inflow, Outflow, dan NetFlow
73
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Kondisi net outflow ini mencerminkan kebutuhan uang kartal yang meningkat sepanjang tahun 2012 seiring dengan tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat. Secara triwulanan, pada tahun 2012, posisi net outflow terjadi pada triwulan II sampai dengan triwulan IV. Net outflow tertinggi terjadi pada triwulan IV yang mencapai Rp54,95 triliun. Hal ini disebabkan pertumbuhan jumlah outflow sebesar 6,81% diikuti dengan penurunan jumlah inflow secara signifikan sebesar 31,97%. Kondisi ini berlangsung seiring dengan periode Natal dan akhir tahun 2012 (Grafik 7.15). Sementara itu, pola sebaran netflow uang kartal secara regional relatif tidak mengalami perubahan dibanding tahun sebelumnya. Pola net outflow uang kartal yang terjadi secara nasional diikuti oleh pola net outflow regional yang cenderung sama dengan tahun 2011. Pada tahun 2012, pola net outflow masih terjadi di wilayah kerja KPBI yang meliputi Jakarta dan BODETABEK serta wilayah kerja KPw DN Bank Indonesia di luar Pulau Jawa. Sebaliknya, pola net inflow terjadi di wilayah kerja KPw DN yang ada di Pulau Jawa dengan kecenderungan jumlah net inflow yang meningkat dari Rp40,41 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp49,12 triliun (Tabel 7.3). Fenomena pola netflow yang terjadi sepanjang tahun 2012 mencerminkan masih tingginya preferensi
����������� ��
��
�
����
���� ����
����
����
���� �����
�����
�����
Grafik 7.15 Perkembangan Jumlah NetFlow
74
�����
Tabel 7.3 Jumlah NetfFow Uang Kartal Berdasarkan Wilayah (Triliun Rp) Wilayah
2010
2011
2012
Jabodetabek
(17,12)
(38,65)
(59,80)
Jawa Non KP
34,04
40,41
49,12
Bali + Nustra
(4,29)
(6,10)
(4,81)
Sumatera
(24,56)
(22,19)
(19,32)
Kalimantan
(14,56)
(16,26)
(15,87)
Sulampua
(9,83)
(11,39)
(12,61)
Total
(36,31)
(54,19)
(63,29)
masyarakat di luar wilayah Jawa dan JABODETABEK untuk menarik uang kartal, yang kemudian mengalir masuk ke berbagai wilayah di Pulau Jawa. Pola netflow tersebut juga mengindikasikan masih berpusatnya sumber daya ekonomi di wilayah Jawa meskipun sentra-sentra ekonomi daerah di luar pulau Jawa mulai berkembang.
7.3. Perkembangan Posisi Kas Bank Indonesia Ditengah kebutuhan uang kartal yang meningkat, posisi kas Bank Indonesia pada tahun 2012 tetap terjaga pada posisi yang aman. Hal ini diwujudkan melalui berbagai kebijakan yang diterapkan secara berkesinambungan oleh Bank Indonesia. Salah satu kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan untuk mengedarkan kembali uang rupiah layak edar (ULE) yang berasal dari setoran perbankan melalui mekanisme dropshot baik dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Penerapan mekanisme dropshot tersebut terutama dimaksudkan untuk menciptakan kondisi uang rupiah yang berkualitas dan layak edar serta merata di seluruh wilayah NKRI. Kebijakan lain yang ditempuh adalah penerapan kebijakan sortasi uang rupiah kertas dan logam serta dibangunnya kerjasama intensif dengan Perum Peruri untuk meningkatkan pasokan hasil cetak sempurna (HCS) uang rupiah. Penerapan kebijakan tersebut telah membantu Bank Indonesia menjaga posisi kas selama tahun 2012 dalam level yang aman. Berdasarkan nilai nominalnya, sebesar 89,88% dari posisi kas Bank Indonesia merupakan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
����
���
������
������
������
�����
������ ������ ������
���
������
ditarik dari peredaran dilakukan melalui proses peleburan. Adapun penetapan UTLE dilakukan melalui setting mesin sortasi uang dengan menetapkan soil level (tingkat kelusuhan) tertentu ataupun secara manual melalui penetapan standarisasi visual uang rupiah layak edar.
������ ��� ������
���
������
������ �� ���� ����������
���� ������
���� ������
�������
Grafik 7.16 Pangsa Posisi Kas Bank Indonesia Berdasarkan Pecahan
UPB (Grafik 7.16). Adapun rasio posisi kas Bank Indonesia mencapai ± dua bulan rata-rata outflow.
7.4 Perkembangan Pemusnahan Uang Rupiah Mengemban misi untuk memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat melalui ketersediaan uang rupiah yang berkualitas baik dan dalam kondisi yang layak edar, Bank Indonesia terus meningkatkan upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas uang rupiah yang beredar di masyarakat. Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk menjaga kualitas uang rupiah dilakukan melalui kegiatan pemusnahan uang rupiah tidak layak edar (UTLE) yang masuk kembali ke Bank Indonesia dari peredaran di masyarakat, maupun uang rupiah yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran. Kegiatan pemusnahan dilakukan secara rutin baik di KPBI maupun di KPw DN Bank Indonesia. Pelaksanaan pemusnahan uang rupiah kertas tidak layak edar dan uang rupiah kertas yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dilakukan dengan menggunakan Mesin Racik Uang Kertas (MRUK) atau secara otomasi dengan menggunakan Mesin Sortasi Uang Kertas (MSUK). Sedangkan pemusnahan uang rupiah logam tidak layak edar dan uang rupiah logam yang telah dicabut dan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Memenuhi amanat UU Mata Uang, Bank Indonesia berkewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai uang rupiah yang dimusnahkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Informasi yang disampaikan meliputi jenis pecahan, jumlah lembar/keping dan nilai nominal uang rupiah yang dimusnahkanselama periode satu tahun. Selanjutnya, informasi mengenai pemusnahan uang rupiah tersebut akan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI). Selama periode 1 Januari s.d 31 Desember 2012, Bank Indonesia telah melakukan pemusnahan sebanyak 3,82 miliar lembar uang rupiah kertas tidak layak edar. Jumlah ini setara dengan nilai nominal sebesar Rp47,57 triliun. Sementara itu, dalam tahun 2012 tidak terdapat kegiatan peleburan untuk memusnahkan uang rupiah logam. Hal ini mengingat kualitas uang rupiah logam yang masuk kembali ke Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 secara umum masih dalam kondisi yang layak edar sehingga selain dapat diedarkan kembali ke masyarakat, dan jumlah uang logam apkir belum memadai untuk dilebur. Jumlah lembar uang rupiah kertas yang dimusnahkan selama tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 34,52% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 5,83 miliar lembar. Secara triwulanan, jumlah lembar uang rupiah kertas yang dimusnahkan cenderung tinggi pada triwulan I dan triwulan IV. Hal ini seiring dengan tingginya arus balik uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia pasca berakhirnya Natal dan akhir tahun 2011 maupun pasca Hari Raya Idul Fitri 2012 (Grafik 7.17). Rasio pemusnahan uang rupiah mencapai sebesar 12,99% dari jumlah aliran uang rupiah kertas yang masuk ke Bank Indonesia sepanjang tahun 2012. Rasio tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 55,14%.
75
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Tabel 7.5 Pangsa Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Denominasi
������������� �����
Pecahan �����
100,000 50,000 20,000 10,000 <=5000
�����
����� ����
����
����
�����
�����
�����
�� �����
Berdasarkan nominalnya, sebagian besar uang rupiah kertas yang dimusnahkan merupakan UPB Rp50.000 dan
Tabel 7.4 Pangsa Jumlah Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Wilayah
76
2010
2011
2012
2010
2011
2012
36.55% 51.55% 5.05% 3.27% 4.07% 100,0%
39,55% 47,65% 4,49% 3,99% 4,33% 100,0%
27,41% 35,21% 9,46% 12,47% 15,45% 100,0%
10,61% 29,65% 7,33% 9,51% 42,91% 100,0%
12,30% 29,65% 6,98% 12,42% 38,64% 100,0%
3,42% 8,77% 5,89% 15,54% 66,38% 100,0%
nominal pemusnahan tahun 2012.
Berdasarkan wilayah kerjanya, pemusnahan uang rupiah tidak layak edar (UTLE) terbesar dilakukan oleh KPw DN di wilayah Jawa (Non-KPBI), Sumatera dan KPBI. Sepanjang tahun 2012, KPw DN di wilayah Jawa telah melaksanakan pemusnahan 1,64 miliar lembar UTLE dalam berbagai pecahan senilai Rp22,12 triliun atau merupakan 46,50% dari total nominal pemusnahan tahun 2012. Sementara itu, KPw DN di wilayah Sumatera dan KPBI masing-masing melakukan pemusnahan 797,12 juta lembar dan 782,60 juta lembar UTLE senilai Rp11,05 triliun (23,23%) dan Rp5,90 triliun (12,41%). Tingginya jumlah pemusnahan di wilayah tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk selalu menjaga kualitas uang rupiah yang beredar di masyarakat terutama di wilayah-wilayah dengan nilai inflow yang tinggi (Tabel 7.4).
Kantor Pusat BI Jawa Non Kantor Pusat Bali + Nustra Sumatera Kalimantan Sulampua
Berdasarkan Jumlah Lembar
Rp100.000. Nilai nominal pemusnahan masing-masing UPB tersebut mencapai Rp16,75 triliun dan Rp13,04 triliun atau merupakan 35.21% dan 27,41% dari total
Grafik 7.17 Perkembangan Jumlah Bilyet Uang Kertas yang Dimusnahkan
Berdasarkan Nominal
2010
2011
2012
23,83% 47,44% 2,67% 17,41% 3,42% 5,23% 100,00%
19,80% 46,35% 4,06% 19,78% 3,45% 6,56% 100,00%
12,41% 46,50% 5,77% 23,23% 4,97% 7,13% 100,00%
Sementara itu, selama tahun 2012, tercatat sebanyak 2,53 miliar lembar UPK Rp5.000 ke bawah dan 593,07 juta lembar pecahan Rp10.000 yang dimusnahkan. Jumlah ini merupakan 66,38% dan 15,54% dari total lembar uang rupiah kertas tidak layak edar yang dimusnahkan (Tabel 7.5). Di sisi lain, rasio pemusnahan uang rupiah kertas terhadap jumlah inflow uang rupiah kertas terus mengalami penurunan. Kondisi ini berlangsung ditengah kecenderungan peningkatan jumlah inflow ke Bank Indonesia. Setelah turun dari 65,19% pada tahun 2010 menjadi 55,16% pada tahun 2011, rasio pemusnahan terhadap inflow uang rupiah kertas tahun 2012 tercatat sebesar 12,99%. UPK memiliki rasio pemusnahan yang lebih tinggi dibanding dengan UPB. Rasio pemusnahan UPK kertas pecahan Rp5.000 ke bawah dan pecahan Rp10.000 masing-masing tercatat sebesar 87,97%, dan 76,85% Tabel 7.6 Rasio Pemusnahan Uang Rupiah terhadap Inflow Berdasarkan Denominasi Pecahan
2010
2011
2012
100,000
55.58%
46.15%
6.84%
50,000
69.05%
58.74%
11.08%
20,000
92.11%
88.65%
53.51%
10,000
89.03%
90.94%
76.85%
< 5,000
89,61%
86.06%
87.97%
Jumlah
65.19%
55.16%
12.99%
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
dari jumlah inflow uang kertas pecahan tersebut selama tahun 2012. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian besar uang rupiah kertas pecahan Rp5.000 ke bawah dan pecahan Rp10.000 yang masuk kembali ke Bank Indonesia berada dalam kondisi tidak layak edar, yang menunjukkan tingginya perputaran uang rupiah pecahan kecil di masyarakat (Tabel 7.6).
Berdasarkan komposisi per pecahan, temuan uang rupiah palsu didominasi oleh uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 (57,40%) dan Rp50.000 (37,26%). Adapun berdasarkan wilayah temuannya, temuan uang rupiah palsu terbanyak selama tahun 2012 dilaporkan oleh perbankan dan Kepolisian di wilayah DKI Jakarta & Banten, dan wilayah Jawa Barat, masing-masing sebesar 25,69% dan 24,00% dari total temuan uang rupiah palsu.
7.5. Perkembangan Temuan Uang Rupiah Palsu Perkembangan temuan uang rupiah palsu yang dilaporkan oleh perbankan dan Kepolisian RI selama tahun 2012 tercatat lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari penurunan rasio temuan uang rupiah palsu dari sebanyak 10 lembar pada tahun 2011 menjadi sebanyak 8 lembar temuan uang rupiah palsu per satu juta lembar uang rupiah kertas yang diedarkan. Selama tahun 2012, jumlah temuan uang rupiah palsu dari perbankan dan Kepolisian RI lebih rendah 21,42% dibanding tahun sebelumnya.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
77
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Halaman ini sengaja dikosongkan
78
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Bab 8
Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Dalam upaya menjaga ketersediaan uang kartal sebagai alat pembayaran tunai di masyarakat, kebijakan Bank Indonesia di sepanjang tahun 2012 diarahkan untuk memenuhi misinya di bidang pengelolaan uang yaitu memenuhi kebutuhan uang rupiah dalam jumlah yang cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar. Kebijakan tersebut ditempuh dengan mencermati perkembangan beberapa indikator ekonomi makro yang berimplikasi langsung terhadap kebutuhan uang kartal masyarakat dan isu-isu strategis yang berkembang dalam aktivitas pengelolaan uang rupiah.
Dari sisi makroekonomi, kinerja ekonomi yang baik selama tahun 2012 berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan ketersediaan alat pembayaran, termasuk alat pembayaran tunai untuk mendukung kelancaran peningkatan aktivitas ekonomi domestik masyarakat. Sementara itu, perkembangan berbagai isu strategis dalam aktivitas pengelolaan uang rupiah menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia yang memerlukan respon kebijakan yang tepat. Masih kentalnya budaya masyarakat untuk memegang fisik uang dan melakukan transaksi pembayarannya secara tunai maupun belum meratanya ketersediaan uang rupiah layak edar di seluruh wilayah NKRI merupakan beberapa isu strategis dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah yang berkembang di tahun 2012. Disamping itu, isu mengenai
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
upaya untuk meningkatkan peran pihak-pihak di luar bank sentral dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah juga menjadi isu strategis yang mendasari pengambilan berbagai kebijakan di bidang pengelolaan uang rupiah pada tahun 2012. Demikian pula dengan diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang pada tanggal 28 Juni 2011 juga menjadi faktor penting yang mendasari pengambilan kebijakan Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang sepanjang tahun 2012. Diberlakukannya UU Mata Uang tersebut berimplikasi luas pada kegiatan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia, baik kegiatan perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan maupun kegiatan pemusnahan uang rupiah. Penambahan fungsi baru pada kegiatan perencanaan, pencetakan dan pemusnahan uang rupiah menuntut adanya penyesuaian mekanisme dan alur kerja yang mengakomodir koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU Mata Uang. Disamping itu, berlakunya UU Mata Uang juga berdampak pada penguatan fungsi Bank Indonesia dalam penanggulangan peredaran uang rupiah palsu bersama dengan BOTASUPAL1.
1 Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL) adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden dan mempunyai fungsi sebagai koordinator pemberantasan uang rupiah palsu. Fungsi koordinator pemberantasan uang rupiah palsu adalah memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan uang rupiah palsu yang dilakukan oleh lembaga/instansi terkait sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing lembaga/instansi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
79
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Memperhatikan perkembangan ekonomi makro, berbagai isu startegis dan implementasi UU Mata Uang, kebijakan pengelolaan uang rupiah tahun 2012 dijalankan dengan mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i) Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya; dan iii) Layanan Kas Prima. Berbagai kebijakan yang diambil selama tahun 2012 tersebut selain dimaksudkan untuk memenuhi misi Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang, juga berkontribusi meningkatkan efisiensi manajemen kas perbankan maupun cash processing di Bank Indonesia.
8.1 Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas Kebutuhan uang kartal masyarakat yang meningkat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang berkualitas, memadai dalam jumlah nominal maupun jenis pecahan serta tersedia secara merata di seluruh wilayah NKRI. Bank Indonesia selalu berkomitmen untuk menjamin ketersediaan uang rupiah berkualitas yang dipercaya dan diterima oleh masyarakat melalui penerapan dan penguatan berbagai strategi kebijakan di bidang pengelolaan uang rupiah. Selama tahun 2012, strategi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia untuk menjamin tersedianya uang rupiah yang berkualitas meliputi: 1. Melakukan Perencanaan Kebutuhan Uang dan Perencanaan Pencetakan Uang Rupiah tahun 2012 yang dikoordinasikan dengan Pemerintah; 2. Melakukan Pengadaan Bahan Baku dan Pencetakan Uang Rupiah tahun 2012; 3. Memperkuat Manajemen Pengadaan Uang Rupiah tahun 2013 melalui Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013; 4. Melakukan Pemantauan Kualitas Uang Rupiah dan Pemantauan Pengolahan Uang Rupiah Layak Edar (ULE) yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan Cash in Transit (CIT); 5. Meningkatkan Upaya Penanggulangan Peredaran Uang Rupiah Palsu.
80
Melakukan Perencanaan Kebutuhan Uang serta Perencanaan Pencetakan Uang Rupiah Tahun 2012 yang Dikoordinasikan dengan Pemerintah Terus tumbuhnya jumlah UYD mengindikasikan kebutuhan uang kartal yang masih cukup tinggi dalam aktivitas transaksi ekonomi masyarakat. Memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal ini sekaligus untuk mengganti uang rupiah tidak layak edar yang ada di masyarakat serta mempertimbangkan kecukupan persediaan kas Bank Indonesia, setiap tahun Bank Indonesia melakukan penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang(EKU). EKU merupakan proyeksi perhitungan tambahan kebutuhan uang rupiah pada periode tertentu yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan besarnya jumlah pengadaan bahan baku uang dan jumlah uang rupiah yang akan dicetak. Disamping itu, EKU juga menjadi pedoman operasional dalam melaksanakan pengiriman uang rupiah ke seluruh Kantor Perwakilan Dalam Bank Indonesia Negeri (KPw DN). Berlakunya UU Mata Uang mengamanatkan Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan penarikan uang rupiah. Sementara untuk pelaksanaan kegiatan pengelolaan uang rupiah lainnya yaitu perencanaan dan pencetakan serta pemusnahan uang rupiah, dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah. Pelaksanaan koordinasi tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Nota Kesepahaman tentang Pelaksanaan Koordinasi dalam Rangka Perencanaan dan Pencetakan, serta Pemusnahan Uang Rupiah yang ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI selaku wakil dari Pemerintah pada tanggal 27 Juni 2012. Perencanaan kebutuhan uang rupiah tahun 2012 yang dikoordinasikan dengan Pemerintah Untuk menjamin ketersediaan uang rupiah layak edar dalam jumlah yang cukup di masyarakat serta memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk proses pengadaan bahan baku dan pencetakan uang rupiah, penetapan EKU 2012 telah dilaksanakan pada triwulan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
III 2011. Sesuai dengan EKU ini, estimasi kebutuhan uang rupiah ditetapkan sebesar Rp134,17 triliun untuk tahun 2012. Sebagai bentuk koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UU Mata Uang, informasi mengenai rencana kebutuhan uang (EKU) 2012 tersebut telah disampaikan kepada Kemenkeu RI selaku wakil Pemerintah. Perencanaan pencetakan uang rupiah tahun 2012 yang dikoordinasikan dengan Pemerintah Sebagai tindak lanjut penyusunan EKU 2012, Bank Indonesia menetapkan rencana pengadaan bahan baku uang dan rencana cetak uang rupiah (RCU) tahun 2012. Sebelum ditetapkan, Bank Indonesia telah menyampaikan informasi RCU 2012 tersebut kepada Pemerintah. Informasi yang disampaikan kepada Pemerintah antara lain mengenai rencana macam dan harga uang rupiah, proyeksi jumlah uang rupiah yang akan dicetak, serta jumlah uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. Penyampaian informasi ini merupakan perwujudan dari koordinasi yang diamanatkan oleh UU Mata Uang yang salah satunya dilakukan dalam bentuk pemberitahuan dan tukar menukar informasi. Review kebutuhan uang rupiah tahun 2012 Dinamika kegiatan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia selama tahun 2012 tidak terlepas dari pola musiman kebutuhan uang kartal ataupun kebijakan fiskal dari sisi Pemerintah. Peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat menjelang periode Ramadhan dan Idul Fitri, Natal dan akhir tahun, Imlek maupun liburan sekolah dan tahun ajaran baru merupakan pola musiman yang turut mempengaruhi dinamika kegiatan pengelolaan uang rupiah. Sementara dari sisi fiskal, rencana Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada awal April 2012 yang diikuti dengan rencana pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada masyarakat kecil, turut pula mempengaruhi dinamika pengelolaan uang rupiah. Dinamikaini dipengaruhi oleh kebijakan Bank Indonesia untuk merespon kenaikan permintaan uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
kartal yang cukup tinggi di masyarakat sebagai dampak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengakomodasi perkembangan ini dan dalam rangka menjamin ketersediaan uang kartal untuk menjaga kelancaran transaksi ekonomi masyarakat, pada bulan Februari 2012 Bank Indonesia melakukan kegiatan review kebutuhan uang rupiah atau review EKU tahun 2012. Pada kegiatan ini, Bank Indonesia secara khusus melakukan penghitungan ulang kebutuhan uang kartal untuk periode triwulan I 2012. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan kesiapan Bank Indonesia dalam menjamin pemenuhan peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat pra dan pasca penerapan kenaikan harga BBM bersubsidi. Melakukan Pengadaan Bahan Baku dan Pencetakan Uang Rupiah Tahun 2012 Di tengah terus tumbuhnya penggunaan uang kartal di masyarakat, Bank Indonesia terus berupaya mewujudkan komitmen untuk menyediakan uang rupiah berkualitas yang dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Komitmen ini salah satunya diwujudkan melalui kegiatan pencetakan uang rupiah baik uang kertas maupun uang logam. Kegiatan pencetakan uang rupiah ini dilakukan berdasarkan suatu rencana cetak tahunan yang mencakup jumlah dan jenis pecahan uang serta jadwal penerimaan hasil cetak dari Perum Peruri 2. Tambahan pasokan uang rupiah yang diperoleh melalui kegiatan pencetakan tersebut akan memperkuat kemampuan Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat yang terus meningkat. Pengadaan pencetakan uang rupiah tahun 2012 Bank Indonesia menyadari bahwa keberhasilan upaya pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat sangat bergantung pada manajemen pengadaan uang rupiah yang dilakukan selama ini. Menyikapi itu, pada tahun
2 Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU Mata Uang, pencetakan uang rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana pencetakan uang rupiah. Adapun yang dimaksud dengan badan usaha milik negara adalah badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pencetakan uang rupiah yaitu Perum Peruri.
81
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
2012 Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan terhadap strategi manajemen pengadaan uang rupiah yang telah ada sebelumnya. Penguatan strategi tersebut tercermin dari upaya Bank Indonesia yang secara intensif mengembangkan kerjasama pencetakan uang rupiah dengan Perum Peruri maupun dengan Kementerian BUMN yang membawahi Perum Peruri guna meningkatkan efisiensi pengadaan uang rupiah.
berkualitas di masyarakat baik dalam jumlah nominal maupun jenis pecahan. Pada akhir tahun 2012 telah selesai pula kesepakatan HCU untuk pesanan cetak tahun 2013. Hal ini juga merupakan refleksi keberhasilan kebijakan penguatan strategi manajemen pengadaan uang rupiah yang dilakukan sepanjang tahun 2012.
Sejalan dengan upaya tersebut, pada triwulan I 2012, Bank Indonesia dan Perum Peruri berhasil menyelesaikan negosiasi pengadaan pencetakan uang rupiah dan menyepakati Harga Cetak Uang Rupiah (HCU) 2012.
Untuk memenuhi kebutuhan pencetakan uang rupiah tahun 2012, Bank Indonesia menetapkan rencana pengadaan bahan baku uang rupiah. Pengadaan bahan baku ini meliputi pengadaan kertas uang dan pengadaan logam uang.
Kesepakatan HCU 2012 tersebut menjadi landasan bagi penempatan pesanan cetak uang rupiah tahun 2012. Adapun jumlah pesanan cetak uang rupiah berdasarkan RCU 2012 adalah sebesar 4,75 miliar lembar/keping, yang terdiri dari 3,88 miliar lembar uang rupiah kertas dan 872,66 juta keping uang rupiah logam dalam berbagai pecahan. Permintaan uang kartal yang meningkat selama tahun 2012 disikapi dengan upaya untuk meningkatkan persediaan uang kartal Bank Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia terus mendorong Perum Peruri untuk meningkatkan kapasitas cetaknya. Upaya ini berhasil meningkatkan pasokan cetak uang rupiah yang sampai dengan akhir tahun 2012 mencatatkan realisasi penerimaan cetak sebanyak 4,87 miliar lembar/keping. Dari jumlah realisasi ini, terdapat sebanyak 3,96 miliar lembar uang rupiah kertas dan uang rupiah logam sebanyak 872,66 juta keping. Adapun realisasi pencetakan uang rupiah tersebut mencapai 101,87% dari Rencana Cetak Uang (RCU) 2012. Berdasarkan denominasi, uang rupiah kertas yang paling banyak dicetak selama tahun 2012 adalah pecahan Rp50.000 dan Rp100.000, dengan pangsa sebesar 23,15% dan 15,36% dari realisasi cetak. Sementara itu, pecahan Rp500 mendominasi pencetakan uang rupiah logam dengan pangsa sebesar 29,52%. Pencapaian realisasi pencetakan uang rupiah ini merupakan perwujudan komitmen Bank Indonesia untuk senantiasa menjaga ketersediaan uang rupiah yang
82
Pengadaan bahan baku uang rupiah tahun 2012
Berdasarkan rencana tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan pengadaan bahan baku uang rupiah. Adapun jumlah pengadaan bahan baku uang rupiah yang ditetapkan untuk tahun 2012 sebanyak 7,36 miliar lembar/keping yang terdiri dari 6,78 miliar lembar kertas uang dan 584,33 juta keping logam uang dalam berbagai pecahan. Sampai dengan akhir tahun 2012, realisasi penerimaan kertas uang dan logam uang tahun 2012 masing-masing tercatat sebesar 100,00% dari jumlah pengadaan yang ditetapkan. Dengan demikian, seluruh pesanan bahan uang telah diterima oleh Bank Indonesia sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Sementara itu, diberlakukannya UU Mata Uang turut pula mempengaruhi mekanisme dan alur kerja kegiatan pengadaan bahan baku uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia. Ketentuan Pasal 9 UU Mata Uang mengatur bahwa bahan baku uang rupiah yang digunakan mengutamakan produk dalam negeri dengan tetap menjaga mutu, keamanan dan harga yang bersaing. Ketentuan untuk mengutamakan penggunaan bahan baku dalam negeri tersebut diakomodir pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/7/PBI/2012 dan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia (PDG) Nomor 14/13/ PDG/2012 tanggal 27 Juni 2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah. PBI ini mengatur bahwa dalam hal mutu bahan uang telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, keamanan proses dan prosedur yang diterapkan oleh calon penyedia bahan baku uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
rupiah telah sesuai dengan standar internasional dan/atau persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka: a. dalam hal harga negosiasi terakhir yang diajukan oleh 2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku uang rupiah adalah sama, maka pengutamaan produk dalam negeri dilakukan berdasarkan besaran komponen dalam negeri pada bahan baku uang rupiah yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri yang tertinggi; dan/atau b. dalam hal terdapat calon penyedia bahan baku uang rupiah dalam negeri yang menawarkan produk dengan nilai tingkat komponen dalam negeri sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, maka ditentukan harga evaluasi akhir berdasarkan harga negosiasi terakhir dengan memperhitungkan preferensi harga paling tinggi 15% (lima belas persen). Adapun penentuan pemenang penyedia bahan bakuuang rupiah dilakukan berdasarkan harga evaluasi akhir. Dalam hal terdapat 2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku uang rupiah dengan harga evaluasi akhir yang sama, maka pemenang ditentukan berdasarkan nilai tingkat komponen dalam negeri yang tertinggi. Adapun penentuan nilai tingkat komponen dalam negeri dilakukan dengan mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh Kementerian yang membidangi urusan perindustrian. Memperkuat Manajemen Pengadaan Uang Rupiah Tahun 2013 melalui Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013 Kebijakan penguatan strategi manajemen pengadaan uang rupiah yang ditempuh Bank Indonesia untuk mewujudkan ketersediaan uang rupiah yang berkualitas juga tercermin dalam penyusunan EKU dan RCU. Hal ini salah satunya terlihat dalam penyusunan EKU dan RCU 2013 yang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui koordinasi dengan Pemerintah sesuai dengan amanat UU Mata Uang. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2013 Mengawali rangkaian proses manajemen pengadaan uang rupiah, pada bulan Mei 2012 Bank Indonesia menetapkan Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
perkiraan kebutuhan uang rupiah tahun 2013 atau Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2013. Penyusunan EKU dilakukan untuk menghitung tambahan kebutuhan uang kartal masyarakat pada periode tertentu, termasuk tambahan kebutuhan uang kartal untuk mengganti uang rupiah tidak layak edar yang telah dimusnahkan oleh Bank Indonesia. Selain itu, penyusunan EKU juga dilakukan untuk menghitung tambahan kebutuhan uang kartal yang diperlukan untuk menjaga kecukupan persediaan uang kartal yang dimiliki Bank Indonesia. EKU 2013 menghitung tambahan uang rupiah yang dibutuhkan oleh seluruh satuan kerja kas di KPBI dan seluruh KPw DN Bank Indonesia selama tahun 2013. Tambahan uang rupiah ini meliputi jumlah dan komposisi pecahan uang rupiah yang dibutuhkan oleh masingmasing satuan kerja kas. Selanjutnya, EKU ini akan menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan strategis berupa penetapan rencana pengadaan bahan baku dan RCU tahun 2013. Penyusunan EKU 2013 dilakukan melalui forum Workshop Perencanaan, Pengadaan dan Distribusi Uang 2013 yang diikuti oleh seluruh satuan kerja kas baik di KPBI maupun KPw DN Bank Indonesia. Kegiatan workshop ini diikuti pula oleh stakeholders terkait yaitu Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dan Perum Peruri selaku perusahaan pencetakan uang negara. Kehadiran Kemenkeu RI pada workshop tersebut selaras dengan amanat UU Mata Uang yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah sebagai wujud koordinasi dalam pelaksanaan perencanaan uang rupiah. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap proyeksi outflow dan inflow uang kartal, pemusnahan uang rupiah tidak layak edar (UTLE) serta mempertimbangkan kecukupan persediaan uang kartal yang dimiliki, Bank Indonesia menetapkan EKU 2013 sebesar Rp193,53 triliun. EKU tersebut menjadi dasar bagi pemenuhan kebutuhan seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia serta menjadi pedoman bagi pelaksanaan kegiatan distribusi uang rupiah dari KPBI ke ke satuan kerja kas di KPw DN Bank Indonesia pada tahun 2013.
83
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Penyusunan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013 Proyeksi kebutuhan uang kartal yang diperoleh dari penyusunan EKU 2013 menjadi dasar pijakan Bank Indonesia dalam menghitung kebutuhan bahan baku dan kebutuhan cetak uang rupiah atau RCU 2013. Penyusunan RCU dilakukan dengan memperhatikan berbagai variabel makro ekonomi, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi maupun jumlah uang rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran. Berlakunya UU Mata Uang mengamanatkan adanya koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah pada kegiatan pengelolaan uang rupiah yang menyangkut rencana tentang macam dan harga uang rupiah, proyeksi jumlah uang rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah uang rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran. Koordinasi tersebut diwujudkan Bank Indonesia dalam bentuk penyampaian informasi perhitungan sementara RCU2013 secara tertulis kepada Kemenkeu RI pada tanggal 5 September 2012. Sebagai kelanjutan dari proses manajemen pengadaan uang, pada tanggal 28 Desember 2012, Bank Indonesia dan Perum Peruri telah menyelesaikan seluruh tahapan kegiatan proses pengadaan pencetakan uang rupiah dan menyepakati HCU 2013 yang akan digunakan sebagai dasar bagi pencetakan uang rupiah. Berdasarkan kesepakatan tersebut, selama tahun 2013 Bank Indonesia akan menempatkan pesanan cetak uang rupiah yang terdiri dari 5,33 miliar lembar uang rupiah kertas dan 1,68 miliar keping uang rupiah logam dalam berbagai pecahan. Sementara itu, untuk keperluan pencetakan uang rupiah tahun 2013, Bank Indonesia melaksanakan proses pengadaan bahan baku uang rupiah berupa logam uang dan kertas uang. Seluruh rangkaian proses pengadaan logam uang untuk pecahan Rp1.000, Rp500, Rp200 dan Rp100 serta pengadaan kertas uang pecahan Rp100.000, Rp50.000, Rp10.000 dan Rp5.000 telah dirampungkan pada akhir tahun 2012. Sedangkan proses pengadaan kertas uang pecahan Rp20.000 dan Rp2.000 akan diselesaikan pada awal tahun 2013.
84
Sebagai bagian dari kebijakan penguatan strategi pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia secara intensif melakukan kerjasama dengan Perum Peruri dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kementerian BUMN) yang membawahi Perum Peruri.Kerjasama ini dimaksudkan untuk menyelaraskan rencana pencetakan uang rupiah dengan kapasitas cetak Perum Peruri, termasuk rencana investasi mesin pencetakan uang yang akan dilakukan Perum Peruri untuk meningkatkan kemampuan cetaknya. Melakukan Pemantauan Kualitas Uang Rupiah dan Pemantauan Pengolahan Uang Rupiah Layak Edar (ULE) yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan Cash in Transit (CIT) Dalam memenuhi kebutuhan uang kartal, Bank Indonesia senantiasa mengedepankan upaya-upaya untuk menjaga kualitas uang rupiah yang beredar di masyarakat dalam kondisi yang layak edar. Selama tahun 2012, upaya menjaga kualitas uang rupiah tersebut antara lain dilakukan melalui pelaksanaan survei kualitas uang rupiah dan pemantauan terhadap kegiatan pengolahan uang rupiah yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan Cash in Transit (CIT). Pemantauan kualitas uang kartal yang beredar melalui survei kualitas uang rupiah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau diperkirakan mencapai 17.508 terbentang di wilayah seluas 1.919.440 km² yang sebagian besar pulaunya dipisahkan oleh lautan. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar masyarakat. Ditengah tantangan kondisi geografis tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk mengembangkan strategi pengelolaan uang rupiah yang mampu menjamin ketersediaan uang kartal secara lebih merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap mengedepankan kualitas uang yang layak edar.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Untuk itu, berbagai upaya memperkuat strategi pengelolaan uang rupiah melalui penguatan layanan kas terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Penguatan strategi layanan kas tersebut tercermin pada pengembangan layanan Kas Titipan dan Kas Keliling dalam pemenuhan kebutuhan uang layak edar masyarakat di seluruh wilayah NKRI, disamping secara rutin melakukan pengiriman uang rupiah ke KPw DN Bank Indonesia untuk menjaga kecukupan persediaan uang rupiah di seluruh satuan kerja kasnya. Sampai dengan akhir tahun 2012, layanan kas yang dilakukan Bank Indonesia secara umum digolongkan menjadi layanan kas dalam kantor dan layanan kas luar kantor. Layanan kas dalam kantor merupakan kegiatan penerimaan setoran dan penarikan uang rupiah untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan. Layanan ini dilakukan di seluruh satuan kerja kas yang ada di KPBI dan di 39 KPw DN Bank Indonesia. Sedangkan layanan kas luar kantor yang dilakukan pada tahun 2012 meliputi layanan kas titipan bagi masyarakat di 19 lokasi blankspot areas serta layanan kas keliling yang dilakukan oleh seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia di wilayah kerjanya masing-masing. Untuk memperoleh gambaran tentang keberhasilan penguatan strategi layanan kas luar kantor, terutama layanan kas titipan dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat, pada tahun 2012 Bank Indonesia melaksanakan pemantauan kualitas uang melalui survei kualitas uang rupiah. Survei ini membandingkan pemenuhan kebutuhan uang dan kualitas uang rupiah yang beredar di wilayah lokasi layanan kas titipan dengan wilayah lainnya yang belum terlayani oleh kas titipan.Selain itu, untuk memperkaya hasil survei dan memperoleh informasi awal tentang pemenuhan kebutuhan dan kualitas uang rupiah, survei juga dilakukan di beberapa wilayah yang merupakan daerah terpencil dan terdepan NKRI. Survei dilaksanakan di 8 wilayah yang terdiri atas 3 wilayah yang dilayani oleh kas titipan dan 3 wilayah yang tidak dilayani oleh kas titipan, serta 2 wilayah yang merupakan daerah terpencil dan terdepan NKRI sebagai pembanding.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Hasil survei menunjukkan beberapa informasi sebagai berikut : a. Dari seluruh jenis pecahan uang rupiah kertas yang beredar di masyarakat saat ini, pecahan Rp10.000 dan Rp5.000 merupakan pecahan yang paling dibutuhkan untuk transaksi pembayaran masyarakat. Disisi lain tercatat sebanyak 21,9% responden yang menyatakan kebutuhannya terhadap uang rupiah logam pecahan Rp500 dan sebanyak 15,1%, responden memerlukan uang logam pecahan Rp1.000. Hasil survei juga menunjukkan rendahnya penggunaan uang logam pecahan Rp200 ke bawah dalam aktivitas transaksi masyarakat. b. Keberadaan layanan kas titipan mempengaruhi perbedaan kebutuhan uang kartal di wilayah layanan kas titipan dengan wilayah di luar kas titipan, namun jumlahnya tidak signifikan. Untuk uang rupiah kertas, kedua wilayah menunjukkan kebutuhan yang sama akan uang rupiah pecahan kecil khususnya pecahan Rp10.000 dan Rp5.000. Sementara untuk uang rupiah pecahan besar atau uang pecahan Rp20.000 ke atas, responden di wilayah layanan kas titipan menunjukkan kebutuhan akan ketersediaan uang rupiah pecahan besar dalam denominasi yang lebih tinggi dibanding wilayah di luar layanan kas titipan. Uang pecahan Rp50.000 merupakan pecahan yang paling dibutuhkan masyarakat di wilayah kas titipan, sementara pecahan tertinggi yang paling banyak digunakan masyarakat di luar wilayah kas titipan adalah pecahan Rp20.000. Adapun untuk uang rupiah logam, transaksi masyarakat di wilayah kas titipan paling banyak menggunakan pecahan Rp1.000, sementara sebagian besar responden di wilayah di luar kas titipan lebih membutuhkan uang rupiah logam dalam denominasi yang lebih rendah yaitu Rp500. Kebutuhan akan ketersediaan uang rupiah pecahan Rp1.000 masih cukup tinggi di kedua wilayah survei, namun demikian terdapat preferensi yang lebih tinggi terhadap uang rupiah kertas pecahan Rp1.000 dibandingkan uang rupiah logam dengan denominasi yang sama. Hal ini tercermin dari jumlah penarikan (outflow) uang rupiah kertas pecahan Rp1.000 yang
85
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
sampai dengan pertengahan tahun 2012 tercatat lebih tinggi dibanding logam. c. Berdasarkan kemudahan untuk memperoleh uang pecahan tertentu, masyarakat di wilayah kas titipan dan di luar wilayah kas titipan sama-sama merasakan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan uang rupiah pecahan Rp100.000 sampai dengan uang rupiah logam pecahan Rp500. Kesulitan pemenuhan kebutuhan uang rupiah mulai dirasakan pada pemenuhan kebutuhan uang rupiah kertas pecahan Rp1.000. Sementara itu, kemudahan untuk memperoleh uang rupiah kertas pecahan Rp20.000 sampai dengan Rp2.000 lebih dirasakan oleh responden di wilayah kas titipan, sedangkan uang rupiah kertas pecahan Rp100.000, Rp50.000 dan Rp1.000 lebih mudah dijumpai di wilayah di luar kas titipan. Seluruh responden di wilayah layanan kas titipan, merasa kesulitan memenuhi kebutuhan uang rupiah logam pecahan Rp200, sementara seluruh responden baik di wilayah kas titipan maupun di luar wilayah kas titipan merasa kesulitan memenuhi kebutuhan uang rupiah logam pecahan Rp50. d. Dilihat dari sumber perolehan uang, sebagian besar uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 dan Rp50.000 diperoleh dari Anjungan Tunai Mandiri (ATM), masing-masing sebesar 49,1% dan 51,2%. Adapun untuk pecahan Rp20.000 ke bawah, sebagian besar responden atau lebih dari 85% responden memperolehnya dari hasil transaksi. Survei menunjukkan bahwa uang rupiah pecahan besar Rp100.000 dan Rp50.000 lebih banyak diperoleh masyarakat dari ATM dibandingkan sumber perolehan uang lainnya seperti teller bank ataupun transaksi masyarakat sehari-hari. Disisi lain, survei memperlihatkan adanya ketergantungan masyarakat di luar wilayah kas titipan yang lebih besar terhadap teller bank dan transaksi lainnya sebagai sumber perolehan uang dibanding masyarakat di wilayah kas titipan. e. Berdasarkan kualitasnya, uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 dan Rp50.000 yang kebanyakan diperoleh melalui ATM memiliki kualitas yang sangat baik
86
dibanding kualitas pecahan lainnya yang diperoleh melalui transaksi. Hal ini terlihat dari kualitas sebagian besar uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 dan Rp50.000 yang diperoleh dari ATM yang kualitasnya Kondisi berada pada level 12 dan 14 (kondisi layak edar) atau dengan angka indeks di atas 5 (dari maksimum 6). Sementara itu, pecahan Rp20.000 yang diperoleh dari transaksi, kualitasnya cukup layak yaitu pada level 8 dan 10, dengan angka indeks 3,2 (dari maksimum 5). Angka indeks uang rupiah kertas pecahan Rp2.000 s.d Rp10.000 berada di atas 2 atau pada kualitas level 7–8. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas uang rupiah semakin lusuh pada pecahan dengan denominasi yang lebih rendah. Khusus untuk pecahan Rp1.000, sebagian besar responden menyatakan dapat menerima dengan kualitas indeks 1,5 (lusuh). Kualitas uang rupiah di wilayah layanan kas titipan yang diperoleh melalui ATM dan teller bank relatif lebih baik dibandingkan kualitas uang rupiah di luar wilayah layanan kas titipan. Namun demikian, kualitas uang rupiah yang diperoleh responden di luar wilayah layanan kas titipan melalui transaksi tunai lainnya, relatif lebih baik dibandingkan uang yang diperoleh responden di wilayah layanan kas titipan. f. Berdasarkan ekspektasi masyarakat, kualitas uang rupiah kertas yang beredar untuk pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 lebih tinggi dari ekspektasi responden. Adapun kualitas pecahan Rp20.000 dan Rp10.000 sedikit lebih rendah dari ekspektasi masyarakat, sementara uang rupiah kertas pecahan Rp5.000 ke bawah kualitasnya lebih rendah dari ekspektasi masyarakat. Secara umum, kualitas uang rupiah pecahan besar di daerah yang tidak terlayani kas titipan lebih baik dibandingkan dengan wilayah kas titipan. Sebaliknya, uang rupiah pecahan kecil yang beredar di wilayah layanan kas titipan memiliki kualitas yang lebih baik dibanding wilayah di luar kas titipan. Memperhatikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan survei tersebut, Bank Indonesia menyimpulkan bahwa secara umum penerapan strategi layanan kas titipan di wilayah yang tidak dapat dijangkau secara langsung oleh layanan kas Bank Indonesia cukup efektif dalam
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat khususnya uang rupiah pecahan kecil. Hal ini terlihat dari kualitas uang rupiah di daerah layanan kas titipan yang lebih baik dibanding wilayah di luar kas titipan. Pemantauan pengolahan uang rupiah layak edar (ULE) yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan CIT Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia untuk memenuhi ketersediaan uang kartal berkualitas dimasyarakat adalah melalui penguatan fungsi pemantauan terhadap kegiatan cash processing yang dilakukan oleh perbankan maupun perusahaan Cash in Transit (CIT). Pemantauan dilakukan untuk memastikan kesesuaian kualitas uang rupiah yang diedarkan oleh perbankan maupun kualitas uang hasil olahan CIT terhadap standar kualitas uang rupiah layak edar (ULE) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Adapun penentuan kesesuaian standar kualitas ULE mengacu pada “Buku Panduan Ciri-ciri Keaslian dan Standar Kualitas Uang Rupiah” yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2010. Melanjutkan kegiatan pemantauan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2012 Bank Indonesia kembali melakukan pemantauan terhadap kegiatan cash processing yang dilaksanakan oleh 3 bank umum dan 2 CIT di wilayah kerja KPwDN Bank Indonesia Cirebon. Pemantauan dilakukan terhadap metodologi pengolahan uang, standar kualitas serta kualitas uang rupiah hasil sortasi yang dilakukan perbankan maupun CIT. Disamping itu, Bank Indonesia juga melakukan pemantauan terhadap kondisi area kas di masing-masing bank dan CIT. Dari hasil pemantauan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. sebagian besar bank masih melakukan pengolahan dan sortasi uang secara manual, sedangkan pengolahan dan sortasi uang yang dilakukan oleh CIT telah menggunakan mesin. b. kualitas uang rupiah hasil sortasi yang dilakukan perbankan cukup baik dan telah sesuai dengan standar
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
kualitas uang rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebagain besar bank tidak membedakan standar kualitas uang rupiah untuk kebutuhan ATM, teller, TUKAB maupun kualitas uang rupiah yang akan disetorkan ke Bank Indonesia, dimana seluruhnya menggunakan standar fit. c. ketiga bank sudah melengkapi lokasi pengolahan atau sortasi uangnya dengan sarana security system berupa kamera pengawas (CCTV) dan/atau tenaga pengawas. Disisi lain, belum semua CIT melengkapi lokasi pengolahan uangnya dengan sarana tersebut. Meningkatkan Upaya Penanggulangan Peredaran Uang Rupiah Palsu Berbagai tantangan dihadapi Bank Indonesia dalam upaya untuk memenuhi ketersediaan uang kartal yang berkualitas di masyarakat. Diantara tantangan itu salah satunya adalah adanya risiko peredaran uang rupiah palsu yang berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat dalam menggunakan uang rupiah. Menyikapi hal ini, selama tahun 2012 Bank Indonesia mengambil langkah kebijakan untuk memperkuat strategi penanggulangan peredaran uang rupiah palsu yang dilakukan baik secara preventif maupun represif. Upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dilakukan dengan meningkatkan kualitas uang rupiah, melaksanakan kegiatan Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah serta menyebarluaskan informasi keaslian uang rupiah melalui Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di berbagai media massa. Selain itu, upaya preventif juga ditempuh melalui jalur pendidikan yaitu dengan memasukkan materi ciri-ciri keaslian uang rupiah dalam kurikulum pendidikan di berbagai jenjang pendidikan sekolah. Sementara itu, upaya represif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dilakukan oleh Bank Indonesia dengan terus mengintensifkan koordinasi pemberantasan uang rupiah palsu dengan institusi penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Mengacu pada UU Mata Uang, selain menjadi bagian dari Badan Koordinasi
87
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Pemberantasan Uang Rupiah Palsu (BOTASUPAL), upaya represif juga ditempuh Bank Indonesia melalui perannya sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus tindak pidana uang rupiah palsu. Disamping itu, Bank Indonesia juga membantu Kepolisian dalam melakukan uji laboratorium terhadap barang bukti uang rupiah palsu serta mengakomodir pelaksanaan pemusnahan barang bukti uang rupiah palsu yang merupakan kewenangan penuh dari aparat penegak hukum sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2011.
Indonesia terus memperluas jangkauan Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah ke masyarakat. Pada tahun 2012, KPBI menandatangani Nota Kesepahaman pelaksanaan diseminasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah dengan Asosiasi Perusahaan Jasa Angkut Uang Tunai dan Barang Berharga Indonesia (APJATIN) dan Nota Kesepahaman dengan Perhimpunan Pengusaha Hiburan dan Rekreasi Umum (PPHRU). Sebagai tindak lanjut dari penandatangan MoU ini, KPBI telah melaksanakan sebanyak 6 kali kegiatan Training of the Trainers (ToT) dan 11 kali kegiatan
Melalui seluruh rangkaian upaya penanggulangan peredaran uang rupiah palsu yang dilakukan Bank
Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah.
Indonesia baik secara preventif maupun represif, masyarakat diharapkan memiliki keyakinan yang tinggi pada uang rupiah. Keyakinan ini tumbuh karena uang rupiah yang beredar di masyarakat memiliki kualitas yang dapat diterima,nilai ekonomi yang terpercaya, dan aman dari pemalsuan serta mudah dikenali ciri-ciri keasliannya. Iklan Layanan Masyarakat mengenai Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah dan Cara Memperlakukan Uang Upaya untuk memperluas jangkauan penyebaran informasi ciri-ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi yang saat ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah di Indonesia. Setelah sukses memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dengan tagline “Dilihat, Diraba dan Diterawang” yang populer dengan isitilah “3D”, Bank Indonesia mulai mengkampanyekan edukasi mengenai cara memperlakukan uang rupiah dengan baik dan benar. Publikasi dilakukan melalui ILM yang mengusung tagline “Didapat, Disayang dan Disimpan “ atau “3D Generasi Dua”. Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah sehingga mudah dibedakan dengan uang rupiah palsu, Bank
88
Selain di KPBI, kegiatan ToT dan sosialisasi ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank Indonesia di wilayah kerjanya masing-masing. Salah satunya dilakukan oleh KPw DN Bank Indonesia Wilayah III (Bali dan Nusa Tenggara). Bekerjasama dengan PT. ASDP Indonesia Ferry Cabang Padangbai, Bank Indonesia menyelenggarakan Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah dan Cara Memperlakukan Uang Rupiah. Selain diikuti oleh para pegawai PT. ASDP, kegiatan ini juga diikuti oleh stakeholders PT. ASDP Indonesia Ferry dan instansi lainnya yang ada di sekitar wilayah pelabuhan, seperti Kepolisian KP3 laut Padangbai. Memasyarakatkan ciri keaslian uang rupiah sekaligus memamerkan produk-produk unggulan binaan Bank Indonesia, dilakukan oleh KPw DN Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama 3 (tiga) hari, Bank Indonesia melakukan sosialisasi ciri keaslian uang rupiah kepada UMKM, koperasi maupun masyarakat umum yang berkunjung ke Pameran Gebyar UMKM, Koperasi, PKBL dan Produk Unggulan Daerah. Lain lagi dengan KPw DN Bank Indonesia Wilayah I (Sulawesi, Maluku dan Papua). Melalui kegiatan Festival Sayang Rupiah “Rupiahku, Kebanggaanku, Ada Masalah?”, Bank Indonesia melaksanakan sosialisasi ciri keaslian uang rupiah dan cara memperlakukan uang rupiah kepada siswa-siswi setingkat Sekolah Menengah Pertama di Makassar. Selain sosialiasi, pada festival ini juga diadakan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
pertunjukan bakat dan permainan pengetahuan mengenai kebanksentralan, disamping mengkampanyekan gerakan menabung kepada para pelajar. Selain kegiatan ToT dan sosialisasi, penyebaran informasi ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan melalui kegiatan pagelaran kesenian tradisonal. Melalui lakon tokoh dalam
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
kesenian tradisional seperti wayang dan opera lokal, Bank Indonesia menyebarluaskan informasi ciri keaslian uang rupiah dan cara memperlakukan uang rupiah ke seluruh lapisan masyarakat. Metode sosialisasi ini juga dilakukan sebagai bentuk partisipasi aktif Bank Indonesia dalam melestarikan kebudayaan nasional Indonesia.
89
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
3D Generasi Dua (Didapat, Disayang dan Disimpan)
Boks 8.1
Selama ini telah dikenal di khalayak umum bahwa Iklan Layanan Masyarakat (ILM) 3D atau “Dilihat, Diraba dan Diterawang” dipublikasikan sebagai bentuk tanggung jawab Bank Indonesia dalam memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah.Ini merupakan salah satu upaya preventif yang dilakukan Bank Indonesia dalam menanggulangi pemalsuan uang rupiah. Seiring dengan itu, dalam setiap kegiatan publikasi ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan, Bank Indonesia juga mempublikasikan mengenai cara memperlakukan uang rupiah secara baik dan benar yang dikenal dengan “Didapat, Disayang dan Disimpan” atau “3D Generasi Dua”. “Didapat, Disayang dan Disimpan” mengajak masyarakat untuk membiasakan diri dengan budaya menghargai uang sebagai hasil dari kerja keras yang telah dilakukan. Budaya menghargai uang ini dilakukan dengan menghindari dari segala cara memperlakukan uang yang mengarah atau dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik uang, antara lain mencoret, meremas, melipat, mengotori dan membasahi. Selanjutnya, uang disimpan secara benar pada tempatnya, antara lain dengan tidak melipat uang ketika disimpan dan menyediakan tempat penyimpanan yang dapat memuat lembaran uang. Budaya menghargai uang rupiah ini menjadi penting selain karena kedudukannya sebagai salah satu simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, uang rupiah juga berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, uang memiliki usia edar tertentu yang dapat diperpanjang usianya apabila masyarakat menghargai dan memperlakukan uang rupiah dengan baik. Publikasi 3D Generasi Dua “Didapat, Disayang dan Disimpan” bertujuan agar uang rupiah yang diedarkan oleh Bank Indonesia dapat lebih lama beredar dan berputar di masyarakat dengan kondisi yang layak edar. Kondisi fisik uang rupiah yang layak edar diantaranya memiliki tanda-tanda pengaman dalam kondisi yang baik dan terjaga termasuk didalamnya warna dan jenis unsur pengaman uang.Oleh karena itu uang rupiah yang diperlakukan dengan baik dan benar akan mudah dikenali ciri keasliannya sehingga pemegang uang rupiah tersebut akan terhindar dari upaya pemalsuan uang. Evaluasi terhadap 3D Generasi Dua Evaluasi dan survei secara cepat telah dilakukan oleh lembaga konsultan yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk mengukur efektivitas program komunikasi keaslian uang rupiah termasuk melakukan konsep tes terhadap 3D Generasi Dua (Didapat, Disayang dan Disimpan). Survei dilakukan terhadap responden yang terdiri dari masyarakat umum, kasir, merchant, guru dan pelajar dengan wilayah survei meliputi Jabodetabek, Lampung, Sukabumi dan Makassar.
90
Area Survei
Kelompok Respondent
Jabodetabek
Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Lampung
Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Sukabumi
Masyarakat umum, Pelajar, Guru
Makassar
Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Hasil survei menunjukkan bahwa secara umum istilah 3D Generasi Dua ini dianggap membingungkan Kebingungan ini diakibatkan karena mayoritas responden mempersepsikan uang sebagai alat transaksi, sehingga uang seharusnya untuk digunakan bukan untuk disayang dan disimpan. Selain itu, tagline 3D Generasi Dua “Didapat, Disayang, Disayang” ini dirasakan kurang sesuai dengan message yang ingin disampaikan. Hal lain yang turut mengemuka pada survei ini adalah bahwa penggunaan tagline 3D sudah identik di masyarakat sebagai carauntuk mengidentifikasi ciri-ciri keaslian uang rupiah, sehingga ketika digunakan juga sebagai tagline cara memperlakukan uang, istilah 3D ini dianggap tidak kreatif.
Persepsi
%
Kata-kata disayang dan disimpan membingungkan, uang untuk digunakan bukan untuk disimpan
55%
Kata-kata kurang mengena
12%
Kurang enak didengar
7%
Tidak kreatif, 3D sudah identik dengan cara mengidentifikasi keaslian uang
6%
Informasi terlalu berlebihan, orang sudah tahu cara memperlakukan uang
6%
Kata-katanya susah dimengerti
5%
Namun demikian, meskipun dianggap membingungkan dan kata-katanya kurang mengena, responden menyatakan cukup setuju terhadap pesan yang ingin disampaikan mengenai cara memperlakukan uang dengan baik dan benar yang dikemas dengan tagline 3D. Dengan pertimbangan agar uang yang ada di masyarakat dapat beredar dan berputar lebih lama, maka pesan yang terkandung dalam 3D “Didapat, Disayang, Disimpan” mengenai cara memperlakukan uang memiliki makna yang sangat penting. Agar penyampaiannya dapat lebih efektif mengena kepada masyarakat, kedepan Bank Indonesia akan mengembangkan strategi komunikasi yang lebih efektif dan mengena ke masyarakat.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
91
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Rintisan Sosialisasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan Memenuhi amanat pasal 29 ayat (2) UU Mata Uang, Bank Indonesia berkewajiban untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah ini disampaikan melalui berbagai metode dan media publikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode publikasi yang dipandang cukup efektif untuk menyampaikan pesan mengenai keaslian uang rupiah ini salah satunya adalah melalui jalur pendidikan.
Boks 8.2
Untuk itu, pada tahun 2012, Bank Indonesia mengembangkan kerjasama dengan Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi untuk memasukkan materi edukasi keaslian uang rupiah dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat termasuk Madrasah Aliyah. Sementara di Provinsi Jawa Barat, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat mengembangkan silabus materi ajar Kebanksentralan, termasuk di dalamnya materi keaslian uang rupiah, bagi pelajar di seluruh tingkatan madrasah.
Rintisan Edukasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan – Pilot Project Edukasi Kebanksentralan di Kabupaten Sukabumi dan di Provinsi Jawa Barat
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia diamanatkan untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Ciri-ciri keaslian uang rupiah perlu diketahui secara luas di masyarakat sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terhindar dari kejahatan pemalsuanuang rupiah. Sebagai bagian dari upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu, Bank Indonesia terus mengembangkan kegiatan sosialisasi keaslian uang rupiah yang diantaranya ditempuh melalui jalur pendidikan yaitu melalui kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan materi edukasi mengenai ciri keaslian uang rupiah dalam kurikulum sekolah. Disamping itu, penyebaran informasi ciri-ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan melalui kegiatan training of trainers (ToT) kepada masyarakat pemegang uang tunai (cash handlers), perbankan dan aparat penegak hukum. Sosialisasi keaslian uang rupiah juga ditempuh melalui pengisian gap pengetahuan masyarakat dalam bentuk kesenian tradisional yang sekaligus bertujuan untuk melestarikan kebudayaan bangsa. Selama tahun 2012, Bank Indonesiaterus mengembangkan strategi sosialisasi keaslian uang rupiah yang salah satunya ditempuh dengan strategi rintisan edukasi keaslian uang rupiah melalui jalur pendidikan. Sosialisasi melalui jalur pendidikan dipandang mempunyai keunggulan tersendiri, salah satunya yakni manfaat sosialisasi dirasakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Pada usia dini masyarakat telah diajak untuk mengenali ciriciri keaslian uang rupiah sehingga terbentuk perilaku dan kesadaran untuk mencintai uang rupiah sebagai simbol kedaulatan Negara. Rintisan sosialisasi keaslian uang rupiah pada tahun 2012 diwujudkan dalam dua pilot poject, yakni Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat termasuk Madrasah Aliyah di Kabupaten Sukabumi dan Pilot Project Edukasi Madrasah di Provinsi Jawa Barat.
92
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat di Kabupaten Sukabumi Sebagai bentuk pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UU Mata Uang, Bank Indonesia berkewajiban untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Berbagai metode, media atau saluran digunakan untuk melakukan publikasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu metode publikasi yang dipandang efektif untuk menyampaikan pesan mengenai tanda keaslian uang rupiah adalah melalui jalur pendidikan. Langkah ini ditempuh oleh Bank Indonesia dengan memasukkan materi Kebanksentralan, yang mana salah satu materinya adalah mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah, ke dalam kurikulum mata pelajaran Sekolah Menengah Atas atau Sederajat. Materi Kebanksentralan ini dimasukkan dalam mata pelajaran Ekonomi pada kurikulum Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, sedangkan di Sekolah Menengah Kejuruan materi ini disisipkan dalam mata pelajaran Kewirausahaan. Wilayah yang dipilih sebagai pilot project kegiatan ini adalah Kabupaten Sukabumi dengan mempertimbangkan kasus pemalsuan uang rupiah yang cukup menonjol di Sukabumi serta lokasinya yang cukup dekat dengan Kantor Pusat Bank Indonesia. Pilot Project Edukasi Kebanksentralan ini diawali dengan upaya menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sukabumi untuk memasukkan materi dimaksud ke dalam silabus mata pelajaran ekonomi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta mata pelajaran kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan untuk tahun ajaran 2011-2012. Tujuan kerja sama tersebut adalah agar materi Bank Indonesia dan Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah menjadi salah satu materi pelajaran yang wajib diajarkan kepada pelajar SMA, MA dan SMK di wilayah Kabupaten Sukabumi secara berkelanjutan. Melalui kerjasama ini, sejak tahun 2011, materi Kebanksentralan termasuk materi ciri-ciri keaslian uang rupiah telah diajarkan di 174 SMA, MA dan SMK di Kabupaten Sukabumi. Selain memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah, dimasukkannya materi mengenai keaslian uang rupiah dalam silabus mata pelajaran untuk SMA dan Sederajat juga memberikan manfaat lain seperti : a. Peserta didik lebih mengenal dan memahami tujuan, peran dantugas Bank Indonesia maupun perbedaan Bank Indonesia selaku bank sentral Republik Indonesia dengan bank umum. b. Selain di sekolah, para guru dapat menjadi narasumber mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah dalam kegiatankegiatan kemasyarakatan di wilayahnya. Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat di Provinsi Jawa Barat Berkaca pada pelaksanaan pilot project edukasi di Kabupaten Sukabumi, Bank Indonesia kembali melakukan perluasan pelaksanaan pilot project edukasi untuk memberikan materi edukasi Kebanksentralan di Provinsi Jawa Barat. Materi Kebanksentralan yang diberikan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada tahun 2012, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia telah memulai penyusunan kurikulum Kebanksentralan untuk Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Ibtidaiah. Direncanakan pada tahun ajaran baru tahun 2013, siswa-siswa pada ketiga tingkatan madrasah tersebut telah dapat menerima materi pelajaran Kebanksentralan. Ruang lingkup kerjasama antara Bank Indonesia dan Kemenag RI meliputi penyusunan model silabus, modul pengajaran, bahan ajar kepada pengajar, implementasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Adapun cakupan materi Kebanksentralan yang dimaksudkan untuk memperkaya program tersebut diantaranya adalah program Ayo ke Bank dan materi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah untuk mata pelajaran IPS di jenjang Madrasah Ibtidaiah dan Madrasah Tsanawiah.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
93
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Banyak pengalaman menarik yang diperoleh Bank Indonesia pada saat menyusun materi bahan ajar Kebanksentralan ini. Pengalaman ini tentunya memperkaya khasanah nilai-nilai dan pengetahuan mengenai Kebanksentralan yang akan diberikan kepada peserta didik. Ungkapan waktu adalah uang, seringkali kita dengar. Benarkah waktu adalah uang? Tidak selamanya waktu adalah uang, karena waktu juga dipergunakan untuk menjalin persahabatan dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan yang sungguh menyentuh ini adalah salah satu ekspresi guru Madrasah Tsanawiyah yang menjadi anggota Tim Penulisan bahan ajar materi Kebanksentralan. Makna mendalam yang terkandung dalam ungkapan ini dituangkan kembali sebagai nilai-nilai luhur yang akan memperkaya penulisan materi ajar Kebanksentralan. Sampai dengan akhir tahun 2012, seluruh modul silabus untuk Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Ibtidaiah telah berhasil diselesaikan. Diharapkan pada tahun ajaran baru 2013 program edukasi Kebanksentralan ini sudah menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di tiga tingkatan madrasah tersebut. Disamping itu, program edukasi Kebanksentralan ini juga diharapkan sudah diterapkan sebagai bahan ajar pada tingkat nasional. Dengan demikian, program pilot project edukasi Kebanksentralan ini menjadi jangkar penting bagi peningkatan kualitas pendidikan khususnya dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Ekonomi. Dengan bekal pengetahuan yang baik mengenai mampu menjadi motor dalam gerakan perlindungan konsumen terhadap kejahatan pemalsuan uang rupiah.
Upaya Represif Penanggulangan Peredaran Uang Rupiah Palsu sebagai Amanat UU Mata Uang Mata uang merupakan salah satu lambang kedaulatan suatu negara. Segala bentuk kejahatan terhadap mata uang termasuk pemalsuan uang merupakan tindakan yang merendahkan kehormatan negara dan menjadi ancaman serius bagi kedaulatan suatu negara. Adanya sanksi pidana yang tegas bagi para pelaku kejahatan pemalsuan uang merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menanggulangi meluasnya peredaran uang rupiah palsu di masyarakat. Menyadari hal ini, Bank Indonesia terus mengembangkan upaya-upaya represif untuk menanggulangi peredaran uang rupiah palsu di masyarakat. Upaya ini salah satunya ditempuh melalui koordinasi dan kerjasama penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dengan aparat penegak hukum sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam penanganan tindak pidana uang palsu. Koordinasi dan kerjasama ini salah satunya diwujudkan melalui peranan Bank Indonesia sebagai saksi ahli dalam peradilan kasus temuan uang rupiah palsu. Peranan ini
94
sejalan dengan amanat Pasal 29 UU Mata Uang yang mewajibkan Bank Indonesia untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat, serta memberikan klarifikasi tentang uang rupiah yang diragukan keasliannya. Selain itu, untuk mendukung penanganan kasus tindak pidana uang rupiah palsu yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Bank Indonesia memberikan bantuan pemeriksaan laboratorium terhadap barang bukti uang rupiah palsu. Hasil pemeriksaan laboratoris ini digunakan oleh pihak Kepolisian dalam proses pelimpahan kasus tindak pidana uang rupiah palsu ke Kejaksaan dan melengkapi berkas perkara pada saat persidangan. Disisi lain, untuk memenuhi amanat Pasal 28 ayat (3) UU Mata Uang, Bank Indonesia secara aktif mengambil bagian dalam pembentukan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Selain Bank Indonesia, badan koordinasi ini terdiri dari unsur Badan Intelijen Negara (BIN), POLRI, Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan, yang diketuai oleh Kepala BIN. Adapun ketentuan mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
tersebut diatur dalam Perpres Nomor 123 Tahun 2012 yang mulai berlaku tanggal 7 Desember 2012.
8.2 Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya Memenuhi misinya di bidang pengelolaan uang untuk menyediakan kebutuhan uang kartal masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, pecahan yang sesuai, layak edar dan tepat waktu, Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan strategi distribusi uang serta memperkuat strategi pengolahan uang yang telah dilakukan selama ini. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan ketersediaan uang kartal layak edar sebagai alat pembayaran dalam kegiatan transaksi masyarakat secara lebih merata di seluruh wilayah NKRI. Selama tahun 2012, kebijakan penguatan strategi distribusi dan pengolahan uang yang aman dan terpercaya dalam rangka memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat diwujudkan melalui : 1. Melaksanakan Distribusi Uang Secara Efektif dan Efisien; 2. Melakukan Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan perusahaan CIT serta Menyempurnakan Cash Processing di Bank Indonesia; 3. Melakukan Pemantauan Optimalisasi Kinerja Sarana Pengolahan Uang. Melaksanakan Distribusi Uang Rupiah secara Efektif dan Efisien Kegiatan distribusi uang dilakukan Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kas seluruh satuan kerja kas di 39 KPw DN dan satuan kerja kas di KPBI. Selain itu, distribusi uang juga dilakukan sebagai bagian dari strategi kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga persediaan uang masingmasing satuan kerja kas pada level yang aman. Seiring dengan meningkatnya penggunaan uang kartal dalam transaksi masyarakat, kegiatan distribusi uang yang dilakukan Bank Indonesia pun semakin meningkat.Hal ini tercermin dari peningkatan frekuensi maupun intensitas
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
kegiatan distribusi uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia selama tahun 2012. Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia memperkuat Rencana Distribusi Uang (RDU) yang merupakan pedoman operasional bagi pelaksanaan pengiriman uang ke satuan kerja kas. Penyusunan RDU tersebut mengacu pada Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) yang telah ditetapkan dan memuat jadwal pelaksanaan pengiriman serta jumlah uang yang akan dikirim untuk memenuhi kebutuhan satuan kerja kas. Selama tahun 2012, kegiatan distribusi uang dilakukan dari KPBI ke 11 Kantor Depot Kas (KDK) dan 5 satuan kerja kas lain yang ada di KPw DN dan KPBI. Adapun penentuan KDK dilakukan dengan mempertimbangkan jalur distribusi dan ketersediaan moda transportasi di masing-masing wilayah. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi serta kelancaran kegiatan distribusi uang, Bank Indonesia menempuh strategi penguatan kerjasama dengan operator penyedia jasa angkutan baik darat, laut dan udara. Disamping itu, upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi uang juga ditempuh melalui optimalisasi penggunaan armada transportasi milik Bank Indonesia dalam melaksanakan kegiatan pengiriman uang ke satuan-satuan kerja kas. Melalui berbagai strategi tersebut, selama tahun 2012 Bank Indonesia telah merealisasikan pengiriman uang ke 11 KDK dan 5 satuan kerja kas dengan total pengiriman sebesar Rp141,22 triliun. Kegiatan distribusi ini dilakukan sendiri dengan menggunakan armada milik Bank Indonesia ataupun dengan menggunakan sarana transportasi darat, laut maupun udara. Melakukan Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan CIT, serta Menyempurnakan Cash Processing di Bank Indonesia Kebutuhan akan ketersediaan uang layak edar yang terus meningkat pada tahun 2012 berimplikasi pada
95
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
meningkatnya kebutuhan akan kegiatan pengolahan uang yang aman dan terpercaya. Merespon hal tersebut, Bank Indonesia secara berkesinambungan memantau kegiatan pengolahan uang rupiah dan layanan kepada nasabah yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan cash in transit (CIT), disamping melakukan penyempurnaan proses pengolahan uang di Bank Indonesia. Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan CIT Untuk meningkatkan kemampuan perbankan dan CIT dalam memenuhi standar pengolahan uang yang ditetapkan, Bank Indonesia secara rutin melakukan pemantauan terhadap kegiatan pengolahan uang dan layanan nasabah yang dilakukan baik oleh perbankan maupun CIT. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pemantauan ini adalah untuk meningkatkan jumlah pasokan uang kartal layak edar di masyarakat yang berasal dari hasil olahan perbankan dan CIT. Penyempurnaan Kegiatan Cash Processing di Bank Indonesia Selain meningkatkan pasokan uang kartal layak edar melalui kegiatan pemantauan pengolahan uang yang dilakukan oleh perbankan dan CIT, upaya peningkatan pasokan uang kartal layak edar juga dilakukan melalui penyempurnaan kegiatan pengolahan uang Bank Indonesia. Penyempurnaan kegiatan cash processing ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pengolahan uang yang dilakukan Bank Indonesia sehingga pasokan uang kartal yang dimilki Bank Indonesia dapat dengan segera memenuhi kebutuhan masyarakat. Melalui kebijakan tersebut, kegiatan pengolahan uang selama tahun 2012 dapat berjalan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin pada keberhasilan pemenuhan kebutuhan uang layak edar masyarakat yang semakin meningkat. Kebijakan ini juga berhasil mendorong terciptanya tingkat efisiensi yang lebih tinggi dalam kegiatan pengolahan uang rupiah yang dilakukan perbankan, CiT maupun Bank Indonesia.
96
Melakukan Pemantauan Optimalisasi Kinerja Sarana Pengolahan Uang Keberadaan sarana pengolahan uang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat. Penggunaan sarana pengolahan uang secara optimal akan memperlancar proses handling uang yang diterima Bank Indonesia dari setoran perbankan dan penukaran masyarakat. Hasil pengolahan berupa uang layak edar dapat segera dibayarkan kembali ke perbankanataupun ditukarkan kembali ke masyarakat untuk digunakan dalam transaksi pembayaran. Untuk mengoptimalkan kegiatan pengolahan uang, Bank Indonesia terus memperkuat kinerja sarana pengolahan uang yang ada di KPw DN dan KPBI. Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan pemantauan sarana pengolahan uang baik secara langsung (on-site) maupun secara tidak langsung melalui laporan yang diterima dari satuan kerja kas Bank Indonesia (off-site). Dalam rangka memperoleh gambaran mengenai kinerja dan kegiatan pengolahan uang yang dilakukan oleh seluruh satuan kerja kas, selama tahun 2012 Bank Indonesia melakukan pemantauan on-site ke masing-masing satuan kerja kas. Pemantauan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui profil perkasan tiap-tiap satuan kerja kas yang meliputi : a. Jenis dan jumlah peralatan kas yang terdiri MesinSortasi Uang Kertas (MSUK), Mesin Racik Uang Kertas (MRUK), Mesin Hitung dan Pembungkus Uang Logam (MHPUL), Mesin Hitung Uang Kertas (MHUK), Mesin Hitung Uang Logam (MHUL) dan Mesin Pengikat Uang Kertas (MPgUK). b. Kinerja MRUK dan MSUK dalam melakukan pengolahan uang tidak layak edar c. Kapasitas dan kondisi ruangan khasanah uang dan area kas termasuk loket layanan kas d. Jumlah Sumber Daya Kasir e. Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan uang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Hasil pemantauan memperlihatkan bahwa berbagai strategi kebijakan yang ditempuh selama tahun 2012 berhasil meningkatkan kinerja pengolahan uang yang dilakukan satuan kerja kas. Hal ini tercermin dari peningkatan utilitas dan produktivitas MSUK dan MRUK dalam kegiatan pengolahan uang. Utilitas atau rata-rata penggunaan MSUK dalam melakukan pengolahan uang meningkat 20,57% dibandingkan tahun sebelumnya. Disamping itu, produktivitas atau rata-rata jumlah uang kertas yang dapat diolah dengan MSUK menunjukkan peningkatan sebesar 31,54% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, rata-rata kinerja satuan kerja kas dalam menggunakan MSUK pada kegiatan pengolahan uangnya meningkat 25,93% dari rata-rata kinerja tahun sebelumnya.
8.3 Pengembangan Layanan Kas Prima Kegiatan layanan kas yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi skema layanan kas kepada bank umum dan masyarakat yang dilakukan di seluruh unit kerja kas Bank Indonesia dan layanan kas yang dilakukan di luar kantor Bank Indonesia. Layanan kas yang dilakukan di seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia terdiri dari layanan penyetoran dan penarikan perbankan, serta layanan penukaran uang kartal layak edar kepada masyarakat. Sementara layanan kas luar kantor Bank Indonesia dilakukan dalam bentuk layanan kas keliling dan kas titipan. Dihadapkan pada peningkatan penggunaan kebutuhan uang kartal dalam kegiatan transaksi masyarakat, Bank Indonesia terus mengembangkan alternatif bentuk layanan kas selain menempuh kebijakan penguatan strategi layanan kas yang telah ada saat ini. Penguatan strategi layanan kas tersebut dilakukan baik terhadap kegiatan layanan penyetoran, penarikan dan penukaran uang yang dilakukan di seluruh satuan kerja kas, maupun terhadap layanan kas luar kantor yaitu layanan kas keliling dan kas titipan.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Pengembangan layanan kas Bank Indonesia selama tahun 2012 diarahkan pada kebijakan untuk memperbesar porsi keterlibatan perbankan dan instansi terkait lainnya dalam kegiatan layanan kas yang dilakukan Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketersediaan uang kartal yang merata di seluruh wilayah Indonesia serta menjaga uang rupiah yang beredar dalam kondisi layak edar. Strategi kebijakan yang dilakukan pada tahun 2012 dalam rangka pengembangan layanan kas dengan melibatkan perbankan dan instansi terkait tersebut meliputi: 1. Menyempurnakan sistem dan prosedur layanan kas; 2. Mengoptimalkan kerjasama penukaran uang rupiah pecahan kecil dengan perbankan dan pihak lainnya; 3. Mengembangkan strategi layanan kas pada periode Hari Raya Keagamaan; 4. Mengoptimalkan Layanan Kas Luar Kantor Bank Indonesia yang meliputi layanan kas keliling dan kas titipan serta layanan kas di wilayah terpencil dan terdepan NKRI. Menyempurnakan Sistem dan Prosedur Layanan Kas Dalam rangka meningkatkan pemenuhan kebutuhan uang rupiah layak edar, Bank Indonesia terus mendorong komitmen dan keterlibatan perbankan untuk menyediakan uang rupiah layak edar bagi masyarakat. Upaya ini ditempuh melalui kerjasama pengelolaan uang kartal yang efektif, baik antar sesama bank melalui optimalisasi Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) ataupun dengan perantaraan Bank Indonesia melalui mekanisme dropshot. Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) Sejalan dengan perkembangan kegiatan penarikan dan penyetoran uang rupiah oleh bank umum dari dan ke Bank Indonesia, penyempurnaan sistem dan prosedur layanan kas di Bank Indonesia mutlak untuk dilakukan. Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengolahan uang
97
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
di Bank Indonesia serta mengoptimalkan manajemen kas perbankan. Pasca pemberlakuan Ketentuan Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia pada bulan April 2011 (Surat Edaran BI Nomor 13/9/DPU), selama tahun 2012 Bank Indonesia terus mendorong perbankan untuk melakukan optimalisasi TUKAB dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Mekanisme Dropshot Bersamaan dengan upaya optimalisasi TUKAB dalam memenuhi kebutuhan uang rupiah perbankan, Bank Indonesia memberlakukan penerapan kebijakan dropshot yang merupakan mekanisme transaksi uang rupiah antar bank dengan perantaraan Bank Indonesia. Keberhasilan mekanisme dropshot dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan kas Bank Indonesia mendorong pengembangan mekanisme dropshot yang sebelumnya hanya dilakukan dalam satu wilayah kerja Bank Indonesia menjadi dropshot antar wilayah kerja Bank Indonesia. Melalui mekanisme dropshot antar wilayah ini, pembayaran ULE hasil setoran bank dapat dilakukan kepada bank yang sama atau kepada bank berbeda dalam wilayah kerja KPw DN Bank Indonesia yang berbeda.
98
Selama tahun 2012, mekanisme dropshot antar wilayah telah dilakukan di Sumatera dan Aceh; Jawa Timur; Sumatera Barat; Kalimantan Selatan dan Tengah; serta dropshot antar wilayah Bandung dan Jakarta. Melalui kebijakan baru ini, resirkulasi uang layak edar dapat ditingkatkan mengingat uang layak edar hasil dari setoran perbankan dapat dibayarkan kembali oleh Bank Indonesia kepada bank yang sama atau bank berbeda di wilayah lain, tidak terbatas dalam satu wilayah kerja KPw DN Bank Indonesia. Penerapan kebijakan optimalisasi TUKAB dan dropshot antar wilayah berhasil memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat pada tahun 2012. Disamping itu, mekanisme ini juga membantu meningkatkan efisiensi dan efektifas manajemen kas perbankan serta meringankan beban pengolahan uang di Bank Indonesia. Keberhasilan penerapan mekanisme dropshot antar wilayah pada tahun 2012 mendorong Bank Indonesia untuk mengembangkan pemberlakuan mekanisme dropshot di tingkat nasional yang akan mulai diterapkan pada tahun 2013.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Boks 8.3
Bye-Laws Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB)
Untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan dan masyarakat, modal kerja yang digunakan oleh Bank Indonesia bersumber dari penerimaan hasil cetak dari Perum Peruri dan setoran uang layak edar dari perbankan. Adapun permintaan uang kartal perbankan ini dipenuhi oleh Bank Indonesia melalui 2 mekanisme : 1. Modal kerja yang berasal dari setoran perbankan yang masih ada dalam kemasan yang utuh dan tersegel dibayarkan langsung untuk memenuhi permintaan bank tanpa terlebih dahulu diolah atau dihitung ulang secara rinci oleh Bank Indonesia. Mekanisme ini dikenal dengan istilah dropshot. 2. Modal kerja yang berasal dari setoran perbankan diolah atau disortasi terlebih dahulu oleh Bank Indonesia menggunakan Mesin Sortasi Uang Kertas (MSUK) ataupun diolah secara manual. Kegiatan sortasi dilakukan selain untuk menghitung kebenaran jumlah setoran bank, juga dilakukan untuk memisahkan uang yang diterima dari setoran bank berdasarkan klasifikasinya yaitu uang layak edar, uang tidak layak edar ataupun uang rusak serta kemungkinan terdapatnya uang rupiah palsu dalam setoran bank. Hasil olahan berupa uang layak edar kemudian dibayarkan kembali untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan. Pemenuhan kebutuhan uang kartal perbankan melalui mekanisme tersebut berdampak pada tingginya beban pengolahan uang atau cash handling di Bank Indonesia. Beban ini diantaranya berupa beban personil dan investasi serta beban pemeliharaan peralatan kas yang tinggi. Kedepan, bebanyang ditimbulkan dari kegiatan pengelolaan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia termasuk beban pengolahan uang akan semakin tinggi dan kompleks. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian dan masih lekatnya budaya masyarakat untuk menggunakan uang tunai dalam transaksi ekonomi (cash driven).Perkembangan perekonomian tersebut telah menyebabkan peningkatan posisi jumlah uangrupiah yang diedarkan (UYD) yang pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp279,03 triliun, pada tahun 2012 meningkat tajam menjadi sebesar Rp439,72 triliun. Merespon perkembangan ini, upaya untuk meningkatkan efisiensi baik pada kegiatan cash handling Bank Indonesia maupun cash management perbankan senantiasa dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketentuan setoran dan bayaran bank yang berlaku saat ini telah mampu mengakomodasi terciptanya idle money perbankan yangrelatif rendah. Kondisi ini dimungkinkan karena bank dapat langsung menyetorkan kelebihan likuiditasnya ke Bank Indonesia ataupun memenuhi kekurangan likuiditasnya dengan melakukan penarikan uang kartal ke Bank Indonesia. Disamping itu, kelebihan ataupun kekurangan likuiditas perbankan dapat diserap atau dipenuhi melalui mekanisme transaksi uang kartal antar bank (TUKAB), sehingga kondisi idle money perbankan yang tinggi dapat diminimalisir. Kondisi idle money yang tinggi di perbankan tentunya menyebabkan cost of fund perbankan membengkak, mengingat idle money tersebut tidak dapat dioptimalkan dalam pasar uang, pembelian Surat Bank Indonesia (SBI), kredit atau piranti-piranti investasi lainnya. Di sisi lain, idle money yang berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) tersebut memerlukan biaya bunga yang tidak kecil. Kebijakan lain yang ditempuh Bank Indonesia untuk menciptakan efisiensi cash handling di Bank Indonesia dan efisiensi cash management di perbankan adalah melalui mekanisme dropshot dalam satu wilayah kantor Bank Indonesia. Uang Layak Edar (ULE) yang berasal dari setoran bank yang belum dilakukan penghitungan ulang secara rinci tersebut kemudian dikirimkan untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan di wilayah yang
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
99
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
berada dalam wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang sama. Saat ini, mekanisme dropshot tengah dilakukan uji coba pengembangan cakupannya sehingga dapat berlaku pula antar wilayah kantor Bank Indonesia atau disebut dengan mekanisme dropshot antar wilayah. Terobosan kebijakan ini tidak terlepas dari kenyataan terdapatnya wilayah Kantor Bank Indonesia yang memiliki karakter “Net-Inflow” atau jumlah aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia lebih tinggi dari uang kartal yang keluar dan sebaliknya yang berkarakter “Net-Outflow”. Pengiriman uang (dropshot) dari Kantor Bank Indonesia yang berkarakter Net-Inflow dapat langsung dilakukan kepada Kantor Bank Indonesia terdekat yang membutuhkan likuiditas atau berada dalam kondisi Net-Outflow tanpa melalui Kantor Koordinator ataupun Kantor Pusat Bank Indonesia. Selain itu, kebijakan dropshot dan perluasan cakupan antar wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan uang layak edar hasil setoran bank digunakan sebagai bayaran untuk memenuhi kebutuhan uang kartal bank lain. Melalui mekanisme ini, uang yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada bank tidak selalu dipenuhi dengan uang rupiah hasil cetak sempurna (HCS) atau fresh money. Selama ini perbankan telah memiliki building trust diantara bank-bank di wilayahnya masing-masing, dengan melakukan TUKAB dan/atau menerima dropshot dari Kantor Bank Indonesia setempat berdasarkan Bye-Laws TUKAB di masing-masing wilayah.Oleh karena itu, pelaksanaan mekanisme dropshot antar wilayah kerja Bank Indonesia memerlukan pula building trust dan perangkat aturan main diantara bank-bank antar wilayah berupa Bye-Laws TUKAB Nasional. Bye-Laws TUKAB sendiri merupakan kesepakatan tertulis antar bank yang mengatur pelaksanaan kegiatan transaksi uang kartal antar bank. Adapun tujuan Bye-Laws TUKAB adalah sebagai pedoman dalam memperlancar pelaksanaan kegiatan transaksi uang kartal sehingga terdapat keseragaman praktek-praktek perbankan. Semua bank wajib tunduk pada Bye-Laws ini pada saat melakukan TUKAB atau terjadinya pembayaran ULE oleh kantor Bank Indonesia yang berasal dari setoran bank lain di kantor Bank Indonesia yang ada di wilayah lain (dropshot). Ruang lingkup kegiatan yang diatur dalam Bye-Laws antara lain adalah : 1. Mekanisme pelaksanaan TUKAB dan dropshot 2. Mekanisme penyelesaian jika terjadi selisih jumlah uang yang di-TUKAB-kan atau di-dropshot-kan. Selisih dapat terjadi karena kurang, lebih atau diragukan keasliannya. Saat ini, sedang berlangsung uji coba dropshot antar wilayah di Kantor Bank Indonesia yang meliputi 6 (enam) kesatuan wilayah, yaitu Sumatera Utara dan Aceh, Sumatera Barat dan Riau, Jakarta dan Bandung, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan wilayah Jawa Tengah. Adapun penetapan wilayah dropshot antar wilayah ini dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yaitu : 1. Penetapan wilayah dropshot antar wilayah memenuhi kriteria terdapatnya Kantor Bank Indonesia yang berkarakter net-inflow untuk dapat memenuhi kebutuhan Kantor Bank Indonesia lain yang wilayahnya mengalami kondisi net-outflow. 2. Kedekatan geografis antar Kantor Bank Indonesia serta adanya dukungan infrastruktur dan ketersediaan alat dan jalur transportasi yang memadai. Secara umum, pelaksanaan uji coba pelaksanaan mekanisme dropshot antar wilayah dapat berlangsung tanpa kendala yang berarti. Keberhasilan ini mendorong rencana diberlakukannya mekanisme dropshot secara nasional pada semester II tahun 2013. Sehubungan dengan rencana pemberlakuan mekanisme dropshot nasional ini, terdapat beberapa hal yang menjadi concern Bank Indonesia. Hal yang menjadi perhatian dalam pemberlakuan mekanisme dropshot nasional terutama menyangkut standar operasi dan prosedur pelaksanaan dropshot, yang antara lain menyangkut :
100
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
1. Pengaturan setoran ULE bank yang dapat dikirimkan ke Kantor Bank Indonesia di wilayah lain untuk didropshotkan adalah setoran bank yang belum melampaui jangka waktu tertentu atau belum terlalu lama. 2. Setoran ULE bank yang dikirimkan adalah setoran ULE dalam kemasan yang utuh, tidak rusak, tersegel dan masih terdapat label bank penyetor. 3. Adanya koordinasi antara Kantor Bank Indonesia sebagai pengirim dengan Kantor Bank Indonesia penerima serta Kantor Koordinator Wilayah sebelum pengiriman setoran ULE bank di-dropshot-kan. Kantor Koordinator atau Kantor Pusat Bank Indonesia dapat bertindak mewakili kantornya ataupun sebagai pengendali dropshot antar Kantor Bank Indonesia yang ada di wilayah kerjanya. 4. Dropshot setoran ULE bank antar wilayah diprioritaskan sebagai bayaran kepada bank yang sama, untuk mempermudah penyelesaian dalam hal terdapat selisih jumlah uang yang di-dropshot-kan. 5. Adanya aturan main bagi bank penyetor dan bank penerima uang dropshot dari BI yang berlaku secara nasional. Secara prinsip aturan main TUKAB atau Bye Laws yang berlaku saat ini di satu wilayah Kantor Bank Indonesia dan wilayah antar Kantor Bank Indonesia adalah sama. Namun demikian, jika diberlakukan secara nasional maka akan ada penyesuaian-penyesuaian akibat jumah bank yang besar dan beragam serta wilayahnya yang tersebar luas di seluruh Indonesia. ��������������������������������������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������� �������������������������������� ����������� ��� �����������
�������������������������������� ������������ ����������
�������������������� �����������������������
�������������������� �����������������������������
������ �����������
������
������ ������������
��������
������������ ������������
��� ������������
������������ ������������ �����������
������������ ������� ����� ������������
��������
�������
�������
������������ �����������
��
��
�����
��
����������� �������������
����� ��������
������������ �����������
�����
��
������������
������������ �����������
����������
������������ �����
������� ������
������� �����
��������
������������� ���
�������
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
101
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Mengoptimalisasikan Kerjasama Penukaran Uang Rupiah Pecahan Kecil dengan Perbankan dan Pihak Lainnya Meningkatnya penggunaan uang kartal khususnya uang pecahan kecil dalam transaksi ekonomi masyarakat disikapi Bank Indonesia dengan mengoptimalkan kerjasama penukaran uang pecahan kecil yang telah berjalan sebelumnya. Selain memudahkan masyarakat memperoleh uang pecahan kecil, kerjasama ini juga dilakukan sebagai bagian dari kebijakan clean money policy untuk memenuhi ketersediaan uang rupiah dalam kondisi layak edar di masyarakat. Strategi kerjasama layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil dengan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun perusahaan Cash In Transit (CIT) tersebut merupakan kelanjutan dari strategi layanan penukaran uang yang telah dirintis sejak tahun 2009 oleh KPBI. Pada tahun 2012, kerjasama layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil tersebut diikuti oleh 13 bank umum, 12 BPR dan 5 perusahaan CIT di wilayah kerja KPBI yang meliputi wilayah JABODETABEK. Selama tahun 2012, realisasi kerjasama layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil ke masyarakat mencapai Rp774,62 miliar. Dari jumlah penukaran tersebut, sebanyak Rp644,2 miliar (83,17%) merupakan hasil penukaran di bank umum, Rp116,51 miliar (15,04%) dari penukaran di perusahaan CIT dan Rp13,89 miliar (1,79%) berasal dari penukaran di BPR. Sementara itu, pada akhir tahun 2012 telah dilakukan evaluasi terhadap efektivitas kerjasama layanan kas penukaran uang rupiah pecahan kecil yang dilakukan bersama dengan seluruh peserta kerjasama layanan. Disimpulkan bahwa layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil tersebut cukup efektif dan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Respon yang sama juga disampaikan oleh peserta kerjasama, beberapa peserta bahkan mengajukan penambahan plafon penukaran untuk dapat melayani masyarakat secara lebih optimal. Berlakunya UU Mata Uang sejak tanggal 28 Juni 2011 memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan kerjasama penukaran uang pecahan kecil antara Bank
102
Indonesia dengan perbankan dan instansi terkait lainnya. Ketentuan pasal 22 ayat (4) UU Mata Uang mengatur bahwa kegiatan penukaran uang rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Mengacu pada amanat tersebut, Bank Indonesia memperbaharui perjanjian kerjasama penukaran uang rupiah pecahan kecil yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012. Disamping itu, untuk lebih mengoptimalkan layanan kas dalam memenuhi kebutuhan uang rupiah pecahan kecil, Bank Indonesia menunjuk 1 mitra baru yaitu PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) sebagai mitra kerja layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil untuk periode 5 tahun kedepan. Mengembangkan Strategi Layanan Kas pada Periode Hari Raya Keagamaan Sesuai dengan pola musiman, kebutuhan uang kartal masyarakat cenderung tinggi selama periode keagamaan yakni Ramadhan dan Idul Fitri, serta Natal dan akhir tahun; ataupun pada masa libur sekolah dan tahun ajaran baru. Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan strategi layanan kas pada periode Ramadhan dan Idul Fitri serta periode Natal dan akhir tahun 2012. Strategi Layanan Kas pada periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012 Sebagaimana tahun sebelumnya, untuk memenuhi kebutuhan uang rupiah masyarakat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri, Bank Indonesia menempuh 2 strategi utama. Strategi tersebut yaitu strategi pemenuhan kebutuhan uang kartal selama Ramadhan 2012 dan antisipasi arus balik uang kartal pasca Idul Fitri 2012. Strategi pemenuhan kebutuhan uang kartal selama Ramadhan dan Idul Fitri 2012 1. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang Kartal selama Ramadhan dan Idul Fitri 2012 Pada bulan Mei 2012, Bank Indonesia melakukan penyusunan proyeksi kebutuhan uang kartal masyarakat
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012. Hal ini merupakan langkah antisipasi terhadap peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat selama periode dimaksud. Proyeksi yang dihasilkan merupakan hasil penajaman terhadap estimasi kebutuhan uang pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 yang sebelumnya telah ditetapkan dalam Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2012. Hasil penajaman tersebut kemudian dikomunikasikan ke seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia sebagai Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) Ramadhan dan Idul Fitri 2012. Dengan mempertimbangkan realisasi outflow tahun sebelumnya, Bank Indonesia menetapkan EKU Ramadhan dan Idul Fitri 2012 sebesar Rp89,4 triliun. Proyeksi yang dibuat meliputi jumlah penarikan dan penukaran baik dalam nominal maupun jenis pecahan secara nasional. Sementara itu, realisasi outflow selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012 (23 Juli s/d 16 Agustus 2012) tercatat sebesar Rp85,7 triliun atau mencapai 95,8% dari angka proyeksi. Realisasi outflow tersebut meningkat 6,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 2. Strategi Distribusi Uang Menghadapi peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat terutama kebutuhan akan ketersediaan uang pecahan kecil layak edar menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 2012, Bank Indonesia menempuh strategi kebijakan untuk meningkatkan persediaan uang di seluruh satuan kerja kas baik di KPw DN maupun di KPBI. Hal ini dilakukan dengan menambah frekuensi dan kuantitas pengiriman uang menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 2012. Sesuai dengan action plan EKU Ramadhan dan Idul Fitri 2012, pengaturan/penjadwalan pengiriman kebutuhan uang bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 dari KPBI ke seluruh satuan kerja kas sebagian besar telah diselesaikan pada akhir bulan Juni 2012. Jadwal pengiriman uang tersebut lebih awal dari jadwal distribusi uang yang ditetapkan sebelumnya. Melalui strategi tersebut, uang kartal telah tersedia di perbankan dan siap dialirkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Sementara itu, untuk memastikan kelancaran arus distribusi uang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selama Ramadhan dan Idul Fitri 2012, Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan kerjasama dan koordinasi baik antar KPw DN Bank Indonesia maupun dengan penyedia jasa transportasi. Melalui kerjasama intensif dengan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) selaku operator penyedia jasa transportasi darat dan laut, Bank Indonesia mampu memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat tanpa adanya hambatan transportasi yang berarti. 3. Strategi Peningkatan Layanan Kas Untuk memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012, Bank Indonesia juga terus melakukan peningkatan layanan kas kepada masyarakat baik melalui layanan kas penarikan, penyetoran dan penukaran uang rupiah pada loket-loket layanan kas di seluruh Satuan Kerja Kas, maupun melalui layanan kas luar kantor seperti kas keliling dan kas titipan. Bank Indonesia bersama dengan 9 (sembilan) bank umum nasional yaitu BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank Jabar Banten, Bank DKI, BTN, CIMB Niaga dan Bank Permata, menyelenggarakan layanan bersama penukaran uang rupiah pecahan kecil secara gratis kepada masyarakat yang dipusatkan di Taman IRTI Monas. Selama berlangsungnya kegiatan tersebut yaitu tanggal 23 Juli s.d 16 Agustus 2012, total penukaran masyarakat di outlet penukaran Bank Indonesia mencapai Rp8,92 miliar, sedangkan total penukaran di outlet penukaran ke-9 bank umum lainnya mencapai Rp51,0 miliar. Pada kegiatan penukaran bersama di Taman IRTI Monas ini, masyarakat tidak hanya dapat menukarkan uangnya ke pecahan kecil, namun juga dapat menukarkan uangnya ke uang elektronik (e-money) seperti Kartu Flazz, Mandiri Pre-paid (e-toll, Indomaret Card, Gazz Card), Brizzi dan BNI Pre-paid, secara cuma-cuma. Disamping itu, masyarakat juga dapat melakukan penukaran uang rupiah pecahan kecil maupun uang elektronik tersebut dengan menggunakan kartu ATM/Debet. Hal ini dimaksudkan
103
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
untuk mendorong penggunaan uang elektronik (e-money) dan menciptakan transaksi yang lebih aman dan efisien menuju terciptanya less cash society. Upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012 juga dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank Indonesia. Berbagai terobosan baru ditempuh untuk dapat meningkatkan layanan kas secara langsung kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Salah satunya dilakukan oleh KPw Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat & Banten) yang melayani penukaran uang masyarakat di loket kas dan membuka fasilitas layanan drive thru penukaran uang rupiah. Layanan ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dalam menukar uang rupiah selama periode Ramadhan. Fasilitas ini disediakan dengan menggunakan outlet layanan kas berupa mobil kas keliling yang diletakkan di halaman parkir Kantor Bank Indonesia dari tanggal 27 Juli sampai dengan 16 Agustus 2012. Sampai dengan 5 hari menjelang berakhirnya fasilitas ini, tercatat 9.641 kendaraan yang telah dilayani dengan jumlah penukaran harian tertinggi mencapai Rp2,1 miliar. Strategi layanan kas pasca Idul Fitri 2012 Sebagaimana pola musiman, pasca berakhirnya periode Ramadhan dan Idul Fitri ditandai dengan adanya arus balik (inflow) yang cukup tinggi. Tingginya arus balik tersebut disebabkan oleh kondisi likuiditas perbankan yang secara umum mengalami excess liquidity. Jumlah arus balik dari tanggal 24 Agustus s/d 20 September 2012 atau 1 bulan sejak berakhirnya Idul Fitri 2012 tercatat sebesar Rp68,6 triliun atau mencapai 80,1% dari jumlah outflow selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012 (Rp85,7 triliun). Jumlah arus balik didominasi oleh uang rupiah pecahan besar yang mencapai Rp66,7 triliun (97,1%), dan uang rupiah pecahan kecil sebesar Rp1,9 triliun (2,9%). Strategi Layanan Kas pada periode Natal dan Akhir Tahun 2012 Sebagaimana siklus tahunan, periode Natal dan akhir tahun umumnya diikuti dengan peningkatan aktivitas
104
transaksi ekonomi masyarakat yang berimbas pada peningkatan kebutuhan uang kartal selama periode tersebut. Memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal tersebut, Bank Indonesia menempuh beberapa strategi kebijakan diantaranya : 1. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) Natal dan Akhir Tahun 2012 Bank Indonesia menyusun Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) Natal dan akhir tahun 2012 yang merupakan proyeksi kebutuhan uang kartal selama periode tersebut. Penyusunan EKU dilakukan pada awal triwulan IV 2012 melalui koordinasi dengan satuan kerja kas di Kantor Pusat dan seluruh KPw DN Bank Indonesia, maupun secara eksternal dengan stakeholders. Dengan mempertimbangkan realisasi outflow tahun sebelumnya, kebutuhan uang rupiah masyarakat selama periode Natal dan akhir tahun 2012 diestimasikan mencapai Rp66,8 triliun. Estimasi tersebut meningkat 17,9% dari tahun sebelumnya dengan angka proyeksi sebesar Rp56,7 triliun. Peningkatan estimasi outflow tersebut selain karena aktivitas transaksi tunai yang cenderung naik setiap tahunnya, juga disebabkan libur Natal dan akhir tahun 2012 lebih panjang dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi penarikan uang rupiah oleh perbankan dan masyarakat (outflow) selama periode Natal dan akhir tahun 2012 tercatat sebesar Rp67,7 triliun atau mencapai 101,3% dari estimasi. Realisasi outflow tersebut meningkat 19,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya dengan realisasi penarikan sebesar Rp56,7 triliun. 2. Strategi Distribusi Uang Meskipun terjadi kenaikan outflow yang cukup signifikan, pemenuhan kebutuhan uang rupiah layak edar di seluruh wilayah Indonesia selama periode Natal dan akhir tahun 2012 dapat dipenuhi dengan lancar dan tepat waktu. Keberhasilan ini tidak terlepas dari koordinasi intensif yang dilakukan dengan seluruh Satuan Kerja Kas di KPw
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
DN dan KPBI, maupun kerjasama dengan pihak penyedia jasa angkutan (PT.KAI dan PT.PELNI) untuk mendukung kelancaran distribusi uang rupiah ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kerjasama dan koordinasi dengan perbankan dan mitra kerja strategis Bank Indonesia seperti operator jalan tol, busway dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam hal penyediaan dan distribusi uang rupiah layak edar turut pula mendukung keberhasilan pemenuhan kebutuhan uang kartal selama periode Natal dan akhir tahun 2012. 3. Peningkatan kapasitas cetak Perum Peruri Untuk meningkatkan pasokan uang layak edar dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat selama periode Natal dan akhir tahun 2012, salah satu strategi yang ditempuh Bank Indonesia adalah terus membangun komunikasi dan kerjasama secara intensif dengan Perum Peruri untuk meningkatkan kapasitas cetak uang rupiah. Melalui kebijakan tersebut, Bank Indonesia merealisasikan penerimaan cetak sebesar 101,13% dari rencana cetak triwulan IV 2012. 4. Optimalisasi kebijakan Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) dan Dropshot Antar Wilayah Strategi lain yang memberikan kontribusi cukup besar bagi keberhasilan layanan kas selama periode Natal dan akhir tahun 2012 adalah optimalisasi kebijakan TUKAB dan kebijakan dropshot antar wilayah yang mulai diterapkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2012. Selama periode Natal dan akhir tahun 2012, total transaksi TUKAB di wilayah kerja KPBI mencapai Rp55,0 triliun. Mengoptimalkan Layanan Kas Luar Kantor Bank Indonesia yang meliputi Layanan Kas Keliling dan Kas Titipan serta Layanan Kas Keliling di Wilayah Terpencil dan Terdepan NKRI. Keberhasilan Bank Indonesia untuk memenuhi ketersediaan uang layak edar secara merata dan berkualitas tidak hanya dipengaruhi oleh keberhasilan penguatan strategi layanan kas yang dilakukan di Kantor Bank Indonesia semata. Ditengah berbagai tantangan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
yang dihadapi, strategi layanan kas luar kantor yang dilakukan Bank Indonesia selama tahun 2012 yaitu layanan kas keliling dan kas titipan mampu membawa angin segar bagiupaya pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat di berbagai wilayah NKRI. Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat di daerahdaerah yang selama ini belum terjangkau oleh layanan kas Bank Indonesia (blank spot areas) ataupun masyarakat di wilayah terpencil dan terdepan NKRI yang mengalami kesulitan untuk memperoleh uang kartal dalam kondisi layak edar. Kondisi infrastruktur daerah yang kurang memadai maupun keterbatasan jalur distribusi dan moda transportasi menjadi hambatan utama bagi kelancaran kegiatan pengedaran uang rupiah di daerahdaerah tersebut. Penguatan strategi layanan kas luar kantor inidilakukan melalui optimalisasi kerjasama Bank Indonesia dengan perbankan dan pihak terkait lainnya dalam bentuk perluasan kerjasama penukaran uang rupiah pecahan kecil bagi masyarakat. Layanan Kas Keliling Layanan kas keliling yang dilakukan Bank Indonesia bertujuan untuk menjangkau penyediaan uang rupiah layak edar khususnya uang rupiah pecahan kecil di luar kota kedudukan Kantor Bank Indonesia baik di wilayah KPw DN maupun di wilayah kerja KPBI. Strategi layanan kas keliling di wilayah KPBI diarahkan ke lokasi yang memiliki tingkat kebutuhan dan perputaran uang cukup tinggi seperti pasar tradisional dan pusat perbelanjaan. Sedangkan di KPwDN, layanan kas keliling diarahkan ke luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang belum dapat dipenuhi oleh perbankan setempat. Selama tahun 2012, KPBI telah melaksanakan sebanyak 525 kali kegiatan layanan kas keliling di wilayah JABODETABEK dan wilayah lainnya seperti Serang, Karawang, Sukabumi, Labuan, Rangkasbitung, Pandeglang dan Cilegon. Melalui layanan kas keliling ini tercatat jumlah transaksi penukaran uang masyarakat sebesar Rp242,1 miliar. Selain itu, Bank Indonesia bekerja sama dengan PT. Jakarta International Expo (JI Expo) menyelenggarakan
105
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
layanan penukaran uang kecil tanpa biaya (free of charge) kepada para pengunjung dan peserta pameran pada event tahunan Jakarta Fair 2012 yang berlangsung pada tanggal 14 Juni – 14 Juli 2012. Layanan kas berlangsung setiap hari selama berlangsungnya event dengan menyiapkan Rp500550 juta per hari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penguatan strategi layanan kas keliling juga dilakukan oleh KPw DN Bank Indonesia sebagai upaya untuk memenuhi ketersediaan uang layak edar di wilayah yang kebutuhan uangnya belum dapat dipenuhi oleh perbankan setempat. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh KPw DN Pematang Siantar pada tahun 2012 adalah melakukan kegiatan layanan kas keliling penukaran uang kepada masyarakat dan layanan kas keliling wholesale kepada perbankan di Kisaran dan Tanjung Balai. Disamping membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar melalui layanan penukaran uang pecahan kecil, kehadiran layanan kas keliling wholesale ini sangat membantu perbankan setempat untuk menukarkan uang rupiah tidak layak edar yang menjadi idle money di perbankan. Selama tahun 2012, transaksi penukaran uang rupiah layak edar masyarakat melalui layanan kas keliling yang dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank Indonesia mencapai Rp1,36 triliun atau 0,32% dari total aliran uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat (outflow). Adapun jumlah nominal penukaran uang rupiah terbesar melalui kegiatan kas keliling ini terdapat di KPBI, KPw Bank Indonesia Wilayah II (Kalimantan) dan KPw Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat dan Banten), masing-masing sebesar 18,84%, 18,35% dan 14,70% dari total outflow layanan kas keliling.
setempat. Upaya ini dilakukan dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan perbankan setempat untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan uang kartal masyarakat di wilayah blank spot areas baik secara jumlah maupun kualitas. Penguatan strategi layanan kas titipan yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2012 tercermin dari penambahan jumlah lokasi kas titipan di berbagai blank spot area di wilayah Indonesia. Dari 15 lokasi kas titipan sampai dengan akhir tahun 2011, sepanjang tahun 2012 Bank Indonesia kembali melakukan pembukaan 4 lokasi kas titipan baru. Bekerjasama dengan PT. BPD Kalteng sebagai bank pengelola kas titipan, Bank Indonesia membuka kas titipan baru di daerah Muara Teweh (Kalimantan Tengah), sementara di Luwuk (Sulawesi Tengah), kas titipan dibuka melalui kerjasama dengan PT. BRI Sulteng selaku bank pengelola. Selain itu, untuk mendukung kelancaran transaksi ekonomi masyarakat dengan berkembangnya sentra-sentra ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Bank Indonesia membuka 2 lokasi kas titipan baru di Waingapu dan Atambua, Nusa Tenggara Timur, masing-masing melalui kerjasama dengan PT. BRI NTT dan PT. BPD NTT selaku bank pengelola. Dengan adanya pembukaan lokasi kas titipan baru tersebut, sampai dengan akhir tahun 2012 Bank Indonesia telah memiliki 19 lokasi kas titipan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain 4 lokasi kas titipan baru yang dibuka selama tahun 2012, lokasi kas titipan lainnya terdapat wilayah Biak, Merauke, Sorong, Timika, Maumere, Gorontalo, Tahuna, Sampit, Lubuk Linggau, Pangkal Pinang, Toli-toli, Rantau Prapat, Gunung Sitoli, Palopo dan Mamuju.
Layanan Kas Titipan
Layanan Kas Keliling di Wilayah Terpencil dan Terdepan NKRI
Sepanjang tahun 2012 Bank Indonesia terus melakukan perluasan layanan kas titipan khususnya di daerah blank spot areasyang memiliki aktivitas ekonomi yang cukup tinggi. Alternatif layanan kas ini dipandang sebagai alternatif yang lebih efisien dibanding layanan kas keliling sementara belum terdapat pembukaan KPw DN Bank Indonesia untuk melayani kebutuhan masyarakat
Bank Indonesia terus mengembangkan kegiatan layanan kas keliling penukaran uang rupiah layak edar di wilayahwilayah terpencil dan terdepan NKRI yang merupakan kelanjutan dari program kerja tahun sebelumnya. Selain untuk menjamin penyediaan uang rupiah layak edar dan meningkatkan layanan kas Bank Indonesia, kebijakan
106
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
ini juga ditempuh sebagai bagian dari upaya menjaga kedaulatan negara melalui eksistensi uang rupiah di daerah terpencil dan terdepan NKRI. Pelaksanaan layanan kas keliling ini dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia maupun melalui kerjasama dengan instansi terkait lainnya seperti Kepolisian Air (POLAIR) dan TNI Angkatan Laut (TNI AL). Kerjasama dengan POLAIR diwujudkan pada pelaksanaan kegiatan kas keliling penukaran uang rupiah layak edar di di wilayah Kepulauan Seribu. Dengan menggunakan armada speed boat dan pengamanan dari POLAIR, layanan kas keliling Bank Indonesia berhasil menjangkau masyarakat di 5 lokasi yaitu Pulau Tidung, Pulau Pramuka, Pulau Untung Jawa, Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan kas ini ke depan, pada 22 Februari 2012 Bank Indonesia dan TNI AL sepakat untuk meningkatkan kerjasama yang telah dijalankan sejak tahun 2011 ke dalam suatu Piagam Kesepakatan Bersama (PKB) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS). Keduanya akan menjadi pijakan bagi pelaksanaan kerjasama distribusi dan pengamanan layanan kas serta program kegiatan sosial Bank Indonesia di daerah terpencil dan terdepan NKRI. Melalui kerjasama dengan TNI AL, layanan kas keliling Bank Indonesia telah berhasil menjangkau dan melayani masyarakat di berbagai wilayah terpencil dan terdepan NKRI. Wilayah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), Kepulauan Sangihe–Talaud (Sulawesi Utara) dan Kepulauan Anambas–Natuna (Kepulauan Riau) merupakan daerahdaerah terpencil ataupun terdepan NKRI yang pada tahun 2012 telah terlayani oleh layanan kas keliling ini. Menjadi kebanggaan tersediri bagi Bank Indonesia bahwa pelaksanaan kegiatan layanan kas keliling penukaran uang rupiah layak edar ke berbagai daerah terpencil dan terdepan NKRI mendapatkan apresiasi dan respon yang positif dari berbagai kalangan masyarakat maupun Pemerintah Daerah setempat. Apresiasi positif tersebut terlihat dari antusiasme masyarakat pada pelaksanaan kegiatan kas keliling di 5 daerah terpencil di Kepulauan Maluku yaitu Pulau Geser, Pulau Tual, Pulau Larat,
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Pulau Kisar dan Pulau Wetar yang dilakukan dengan menggunakan armada KRI Untung Surapati milik TNI AL. Masyarakat dan perbankan setempat secara antusias melakukan penukaran uang rupiah yang sudah lusuh dan tidak layak edar di tempat penukaran yang dibuka Bank Indonesia. Disamping itu, masyarakat juga secara aktif mengikuti sosialisasi ciri keaslian uang rupiah yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan kas keliling. Apresiasi positif tersebut terlihat pula pada banyaknya masyarakat yang mengunjungi acara “open ship” KRI Untung Surapati selama berlabuh di pelabuhan umum setempat. Pada acara tersebut, masyarakat dapat naik ke atas kapal perang untuk mendapatkan informasi terkait fungsi dan tugas TNI AL. Melalui acara “open ship’ ini diharapkan masyarakat di wilayah terpencil dan terdepan NKRI dapat memiliki pemahaman yang menyeluruh terkait fungsi dan tugas Bank Indonesia dan TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI. Hal ini sesuai dengan komitmen dari kedua lembaga untuk menegakkan lambang negara dan menjaga kedaulatan NKRI melalui peningkatan eksistensi Rupiah dan fungsi hankam matra laut di daerah terpencil dan terdepan NKRI. Layanan kas keliling ke daerah terpencil dan terdepan NKRI selama tahun 2012 juga dilaksanakan oleh seluruh KPw DN Bank Indonesia, salah satunya oleh KPw DN Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah kerja KPwDN Provinsi Kalimantan Barat diantaranya meliputi batas wilayah negara yang membentang sepanjang 966 KM, dimana terdapat 15 kecamatan dan 747 desa yang wilayahnya berbatasan secara langsung dengan distrik-distrik di negara tetangga Malaysia. Secara umum, sebagian besar daerah yang ada di wilayah perbatasan tersebut dikategorikan sebagai daerah tertinggal, salah satunya adalah Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Disisi lain, kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia yaitu Sarawak sudah sangat memadai dan lebih mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang ada di perbatasan.
107
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Kurangnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di perbatasan serta terbukanya peluang ekonomi di negara tetangga mendorong orientasi transaksi masyarakat dilakukan dalam mata uang negara tetangga. Selain itu, kemudahan akses untuk memperoleh uang ringgit dan sulitnya memperoleh uang rupiah, menjadikan uang ringgit lebih dominan beredar di sebagian besar wilayah perbatasan dibandingkan dengan uang rupiah. Merespon hal tersebut, KPw DN Provinsi Kalimantan Barat menurunkan tim kas keliling untuk memberikan layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil serta penarikan uang rupiah lusuh kepada masyarakat di Kecamatan Paloh, yang selama ini tidak tersentuh oleh layanan perbankan. Layanan kas keliling ini dilakukan bersamaan dengan pembukaan Kantor Cabang Pembantu BPD Kalimantan Barat yang merupakan bank pertama yang dimiliki oleh Kecamatan Paloh sejak jaman kemerdekaan. Kegiatan layanan kas keliling di wilayah terpencil dan terdepan NKRI juga dilakukan oleh KPw DN Provinsi Maluku di daerah Namrole, Kabupaten Buru Selatan, yang merupakan daerah baru hasil pemekaran, yang hanya dapat dijangkau setelah menempuh perjalanan selama 6 jam dengan menggunakan kapal feri dari Kota Ambon. Kondisi infrastruktur yang belum memadai menjadi salah satu penyebab kondisi uang rupiah yang beredar di daerah Namrole sebagian besar dalam kondisi lusuh. Selama 3 hari, layanan kas keliling KPw DN Provinsi Maluku melayani penukaran uang rupiah pecahan kecil maupun uang rupiah lusuh dan rusak yang ada di masyarakat dan dunia usaha, sertamaupun layanan kas keliling secara wholesale kepada perbankan. Demikian pula yang dilakukan oleh KPw DN Provinsi Bengkulu melalui kegiatan sinergi bertajuk “BI-LANAL Peduli Enggano”, tim gabungan KPw DN Provinsi Bengkulu dan Pangkalan TNI AL (LANAL) Bengkulu menggelar layanan kas keliling bagi masyarakat di Pulau Enggano. Pulau ini merupakan pulau terluar di wilayah Indonesia bagian barat yang berjarak sekitar 180 mil dari Pulau Sumatera. Di tengah perkembangan aktivitas ekonomi masyarakat dan potensi daerah yang dimiliki, transaki barter masih lazim dijumpai di Pulau Enggano. Selain
108
minimnya ketersediaan infrastruktur, keterbatasan jalur dan moda transportasi untuk menjangkau Pulau Enggano menyebabkan masyarakat setempat masih mengandalkan barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketiadaan perbankan di pulau ini juga mengakibatkan kondisi uang rupiah yang beredar di masyarakat sebagian besar dalam kondisi yang lusuh. Selain kegiatan layanan kas keliling yang melayani penukaran uang pecahan kecil maupun uang rupiah yang sudah tidak layak edar dan rusak, Bank Indonesia juga melaksanakan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah ke masyarakat. Disamping itu, Bank Indonesia dan LANAL Bengkulu juga menggelar kegiatan sosial berupa pembagian sembako dan layanan kesehatan gratis serta melaksanakan penghijauan di pesisir pantai MalakoniEnggano. Dari ujung barat Indonesia, kegiatan layanan kas keliling ke daerah terpencil yang terdapat di Bumi Serambi Mekah juga dilakukan oleh KPw DN Bank Indonesia Provinsi Aceh. Di tengah ancaman gempa, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan kas keliling penukaran uang layak edar di Kabupaten Simule, salah satu daerah terpencil di wilayah Aceh Selatan. Layanan kas keliling ini membuka akses penukaran uang layak edar kepada masyarakat dan memenuhi kelangkaan pecahan uang tertentu. Selain itu, layanan kas keliling juga dilakukan secara wholesale untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan setempat. Ekspedisi Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Nusantara 2012 Komitmen Bank Indonesia untuk meningkatkan eksistensi uang rupiah di daerah-daerah terdepan NKRI diwujudkan pula melalui keikutsertaan Bank Indonesia dalam pelaksanaan Ekspedisi Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Nusantara 2012. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat bersama dengan TNI AL dan Kementerian/lembaga terkait, BUMN serta kalangan swasta. Ekspedisi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terdepan NKRI sekaligus
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
untuk mendukung perhelatan Sail Morotai 2012 yang merupakan salah satu agenda kegiatan tahunan Pemerintah. Bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 28 Agustus 2012, Bank Indonesia dan TNI AL mengarungi 7 pulau terpencil dan terdepan NKRI dengan menggunakan KRI Banda Aceh. Selama 1 bulan, Bank Indonesia melakukan kegiatan layanan kas keliling penukaran uang rupiah layak edar kepada masyarakat terutama layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil kepada masyarakat di Pulau Maumere, Lembata, Buru, Morotai, Marampit, Marore dan Pulau Balabalakang. Total penukaran uang pecahan kecil layak edar selama pelaksanaan Ekspedisi Bhakesra Nusantara 2012 mencapai Rp17,37 miliar yang terdiri dari uang rupiah kertas dan logam. Kondisi fisik uang yang diterima dari masyarakat umumnya sudah sangat lusuh. Dalam Ekspedisi Bhakesra ini, Bank Indonesia secara simultan juga melakukan kegiatan Sosialisasi ciriciriKeaslian Uang Rupiah sekaligus melaksanakan Survei Ketersediaan dan Penggunaan Uang Rupiah di Wilayah Terpencil/Terdepan NKRI. Disamping itu, Bank Indonesia juga memberikan bantuan sosial berupa 7 (tujuh) genset diesel yang diperuntukkan bagi masyarakat dan Pos TNI AL yang ada di masing-masing pulau sebagai bagian dari Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) tahun 2012.
8.4 Koordinasi dalam rangka Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang lahir dari keinginan untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan melakukan perubahan pengaturan mata uang yang terpisah dengan pengaturan tentang Bank Indonesia. Hal ini mengingat kedudukan uang sebagai salah satu simbol negara serta perannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender). Disamping itu, UU Mata Uang lahir dari keinginan kuat untuk menjadikan mata uang rupiah sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Diberlakukannya UU Mata Uang pada tanggal 28 Juni 2011, mengharuskan Bank Indonesia untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang pengelolaan uang. Penyesuaian ini dilakukan sebagai pemenuhan amanat untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah dalam kegiatan perencanaan, pencetakan dan pemusnahan uang rupiah. UU Mata Uang juga mengamanatkan penunjukan BUMN yakni Perum Peruri sebagai satu-satunya pelaksana pencetakan uang rupiah. Lebih lanjut, UU Mata Uang mengamanatkan koordinasi dalam upaya pemberantasan uang rupiah palsu melalui suatu badan yang disebut sebagai Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Sementara itu, memenuhi amanat pasal 42 UU Mata Uang, Bank Indonesia akan melakukan penerbitan uang rupiah baru yang akan ditandatangani bersama oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Uang rupiah baru tersebut akan diperkenalkan ke masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 17 Agustus 2014. Melakukan Koordinasi dengan Pemerintah dalam Menetapkan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU) Berdasarkan UU Mata Uang, kegiatan pengelolaan uangrupiah terdiri dari kegiatan perencanaan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang rupiah. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan penarikan uang rupiah. Adapun pelaksanaan kegiatan perencanaan dan pencetakan, serta pemusnahan uang rupiah dilakukan Bank Indonesia melalui koordinasi dengan Pemerintah dengan berpedoman pada Nota Kesepahaman tentang Pelaksanaan Koordinasi dalam rangka Perencanaan dan Pencetakan, serta Pemusnahan Uang Rupiah, yang telah ditandatangani oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan selaku wakil Pemerintah pada tanggal 27 Juni 2012.
109
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Sesuai dengan amanat UU Mata Uang tersebut, penyusunan EKU maupun RCU 2013 yang dilakukan Bank Indonesia telah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Kementerian Keuangan sebagai wakil Pemerintah. Wujud dari koordinasi tersebut berupa pemberitahuan dan tukarmenukar informasi mengenai rencana, macam dan harga uang rupiah, proyeksi jumlah uang rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah uang rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran.
Dampak positif pelaksanaan alignment ini dirasakan pada seluruh tahapan proses pencetakan uang rupiah. Proses perencanaan pencetakan uang rupiah, negosiasi hingga pelaksanaan cetak uang rupiah di Perum Peruri untuk memenuhi RCU 2012 dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti. Dampak alignment ini juga dirasakan pada proses pengadaan pencetakan uang rupiah tahun 2013 yang berhasil diselesaikan dan disepakati bersama oleh Bank Indonesia dan Perum Peruri pada akhir tahun 2012.
Penyusunan EKU 2013 telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada triwulan II 2012 melalui penyelenggaraan Workshop Perencanaan, Pengadaan dan Distribusi Uang Rupiah Tahun 2013. Kehadiran wakil dari Kementerian Keuangan RI pada penyusunan EKU 2013 ini, merupakan bentuk nyata koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah dalam hal perencanaan uang rupiah. Disamping itu, Bank Indonesia juga telah menyampaikan perhitungan sementara RCU 2013 kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk ditanggapi oleh Pemerintah.
Melakukan Koordinasi dengan Pemerintah dalam Pembentukan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang RupiahPalsu
Melakukan Penyelarasan Pencetakan Uang Rupiah dengan Perum Peruri dan Pemerintah Keberhasilan Bank Indonesia untuk mewujudkan misinya dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat sangat dipengaruhi oleh kontinuitas pasokan uang rupiah. Dengan berlakunya UU Mata Uang, tugas pencetakan uang rupiahyang diemban oleh Bank Indonesia dipenuhi dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait, yaitu Perum Peruri sebagai perusahaan pencetakan uang rupiah. Menyikapi hubungan monopolistik antara Bank Indonesia dan Perum Peruri dalam tugas pencetakan uang rupiah tersebut, selama tahun 2012 Bank Indonesia menempuh upaya penyelarasan (alignment) dengan Perum Peruri dan Kementerian Negara BUMN yang membawahi Perum Peruri. Alignment dilakukan untuk lebih saling memahami kepentingan masing-masing pihak sehingga terdapat kesepahaman yang sama dalam pelaksanaan tugas pencetakan uang rupiah.
110
Upaya pemberantasan pemalsuan Rupiah yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia telah melalui tahapan sejarah dan perkembangan yang cukup panjang. Pemberantasan kejahatan terhadap mata uang ini sangat penting dilakukan karena kejahatan tersebut ditengarai dapat mengganggu stabilitas moneter dan perekonomian negara, sehingga pembentukan suatu badan pada tingkat negara sangat diperlukan. Melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 1971, dibentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) pada tanggal 22 Maret 1971. Dalam perkembangannya, berlakunya UU Mata Uang pada tanggal 20 Juni 2011 mengamanatkan pembentukan Badan Koordinasi Pemalsuan Rupiah Palsu, yang juga disingkat dengan nama BOTASUPAL. Landasan hukum ini diperkuat dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 123 Tahun 2012 tanggal 7 Desember 2012 tentang Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu. Sesuai dengan ketentuan ini, BOTASUPAL memiliki fungsi sebagai koordinator pemberantasan uang rupiah palsu, dengan memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan uang rupiah palsu yang dilakukan oleh lembaga dan instansi terkait sesuai kewenangannya masing-masing. Unsur-unsur BOTASUPAL terdiri dari Badan Intelijen Negara (BIN), Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Adapun Ketua BOTASUPAL dijabat oleh Kepala BIN.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Tugas BOTASUPAL (bentuk yang baru) sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 123 Tahun 2012 tanggal 7 Desember 2012 diantaranya melakukan koordinasi di bidang penyusunan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, analisis dan evaluasi kebijakan pemberantasan uang rupiah palsu. Dalam pelaksanaannya, koordinasi antar unsur BOTASUPAL dilakukan minimum dua kali dalam satu tahun. Adapun pelaksanaan tugas dari tiap unsur-unsur BOTASUPAL disesuaikan dengan kewenangan masingmasing lembaga berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sepanjang tahun 2012, kegiatan koordinasi dalam rangka pemberantasan uang rupiah palsu dengan unsur-unsur BOTASUPAL lainnya diwujudkan dengan menyelenggarakan Semiloka dan Diskusi Panel dengan tema “Arah dan Strategi Kebijakan Pemberantasan Pemalsuan Uang rupiah setelah berlakunya UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang”. Sementara upaya Bank Indonesia dalam penanggulangan peredaran uang rupiah palsu salah satunya melalui implementasi pusat data uang rupiah palsu, Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Semiloka dan Diskusi Panel “Arah dan Strategi Kebijakan Pemberantasan Pemalsuan Uang Rupiah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang” Pelaksanaan koordinasi dengan unsur-unsur BOTASUPAL dan pihak terkait lainnya sepanjang tahun 2012 dilakukan juga melalui penyelenggaraan kegiatan seminar. Pada bulan Oktober 2012, Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan Semiloka dan Diskusi Panel dengan tema “Arah dan Strategi Kebijakan Pemberantasan Pemalsuan Uang Rupiah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang”. Acara Semiloka diselenggarakan di 2 (dua) tempat, yaitu di Bandung bertempat di KPw DN Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat & Banten) dan di Surabaya bertempat di KPw DN Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur). Mayoritas peserta seminar adalah aparat penegak hukum dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Disamping itu, seminar dihadiri pula oleh perwakilan dari TNI,
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Perbankan, Akademisi, Perbarindo (Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia, PVA (Pedagang Valuta Asing) dan media massa. Penyelenggaraan Semiloka dan Diskusi Panel dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai tindak pidana pemalsuan uang rupiah yang terjadi saat ini. Selain itu, peserta semiloka juga dibekali dengan pengetahuan mengenai upaya-upaya penanggulangan yang telah dilakukan serta arah dan strategi ke depan dalam memberantas pemalsuan uang rupiah sesuai dengan ketentuan UU Mata Uang. Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BICAC) Tindak pidana uang rupiah palsu saat ini ditengarai telah berkembang menjadi kejahatan antar wilayah, dan bahkan di beberapa kasus telah berkembang menjadi kejahatan trans-nasional. Menghadapi perkembangan tersebut, BOTASUPAL secara terus-menerus mengembangkan upaya-upaya guna memberantas kejahatan terhadap mata uang ini. Salah satu tugas penting yang diemban BOTASUPAL adalah pertukaran data dan informasi mengenai pemberantasan Rupiah palsu. Merespon hal tersebut, Bank Indonesia sebagai salah satu unsur BOTASUPAL mengembangkan pusat database dan laboratorium uang rupiah palsu yaitu Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Database BI-CAC merupakan pusat informasi yang memuat data tentang Rupiah palsu yang ditemukan oleh perbankan di seluruh Indonesia, laporan masyarakat serta kasus-kasus tindak pidana yang berhasil diungkap aparat penegak hukum yang diteruskan ke Bank Indonesia. Melalui BI-CAC, Bank Indonesia mendorong penyelidikan tindak pidana uang rupiah palsu yang selama ini masih terpisah di setiap wilayah menjadi pengungkapan tindak pidana antar wilayah. Dengan demikian, akan terdapat keseragaman dalam penindakan maupun proses peradilan terhadap para pelaku tindak pidana uang rupiah palsu di seluruh wilayah hukum Indonesia. Kedepan, Bank Indonesia akan terus memperkuat database ini sehingga dapat diakses oleh aparat penegak hukum untuk
111
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
digunakan dalam upaya pemberantasan uang rupiah palsu. Selain digunakan untuk membantu pemberantasan uang rupiah palsu, data dari BI-CAC juga membantu pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu. Dari data tersebut, Bank Indonesia memperoleh informasi dan masukan berharga yang akan digunakan dalam rangka meningkatkan fitur-fitur pengaman (security features) uang rupiah. Selama tahun 2012, Bank Indonesia terus melakukan pengembangan sistem BI-CAC. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memperkuat database mengenai Rupiah palsu untuk mendukung upaya pemberantasan uang Rupiah palsu. Mempertimbangkan semakin pentingnya peran Kantor Perwakilan Bank Indonesia dalam pemberantasan Rupiah palsu, BI-CAC mulai
Boks 8.4
diimplementasikan di seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Implementasi ini dibarengi dengan pelaksanaan pelatihan kepada seluruh perwakilan pegawai dari seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang dilakukan secara bertahap mulai bulan November 2012 sampai dengan tahap terakhir di Januari 2013. Kepada pegawai-pegawai tersebut dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan keaslian uang Rupiah maupun pemalsuan uang Rupiah. Dalam pelatihan ini, BI juga bekerjasama dengan POLRI untuk turut memberikan pembekalan dalam hal upayaupaya represif yang dilakukan dalam pemberantasan Rupiah palsu. Selain itu, kepada Kantor Perwakilan BI juga diberikan peralatan berupa mikroskop digital guna membantu pegawai dalam menganalisis Rupiah palsu yang ditemukan dalam kegiatan pengelolaan Rupiah, sehingga data dan informasi yang akan dimasukkan ke dalam BI-CAC menjadi lebih akurat.
Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC)
Saat ini, strategi penanggulangan peredaran uang rupiah palsu di masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia melalui 2 (dua) bentuk pendekatan, yaitu pendekatan preventif atau tindakan pencegahan dan pendekatan represif melalui penegakan hukum. Kedua pendekatan ini dilakukan secara simultan sehingga upaya penanggulangan peredaran uang rupiah palsu di masyarakat menjadi semakin optimal. Upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu diterjemahkan oleh Bank Indonesia kedalam upaya-upaya sebagai berikut: 1. Meningkatkan kualitas fitur pengaman yang ada pada uang rupiah sehinggauang rupiah tidak mudah untuk dipalsukan. Fitur pengaman pada uang memiliki fungsi yang sangat penting terutama untuk memudahkan pengguna untuk membedakan uang rupiah asli dengan uang rupiah tidak asli, yang pada saat bersamaan mencegah upaya pemalsuan terhadap uang. 2. Mengembangkan strategi komunikasi massa yang efektif untuk menyebarluaskan informasi mengenai ciriciri keaslian uang rupiah secara massive ke masyarakat termasuk mengedukasi masyarakat tentang cara memperlakukan uang dengan baik. Komunikasi dan diseminasi ini dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung ke masyarakat. Komunikasi secara langsung dilakukan melalui tatap muka dengan masyarat pada kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia ataupun melalui kegiatan training of the trainers (ToT) kepada para pihak (stakesholders) termasuk kepada para aparat penegak hukum. Adapun komunikasi tidak langsung salah satunya dilakukan dengan memasang Iklan Layanan Masyarakat (ILM) baik di media elektronik maupun media cetak.
112
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Sementara itu, pendekatan represif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dilakukan Bank Indonesia melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan yang memiliki kewenangan penuh dalam menangani tindak pidana uang palsu. Koordinasi juga dilakukan oleh Bank Indonesia dengan unsur-unsur terkait lain yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Selain Bank Indonesia, unsur BOTASUPAL lainnya adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kemeterian Keuangan Rebuplik Indonesia. Sebagai anggota, Bank Indonesia berperan sebagai nara sumber yang berwenang menetapkan ciri keaslian uang rupiah. Kewenangan ini sesuai dengan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU Mata Uang. Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah merintis pendirian sebuah Pusat Data dan Analisis Uang Palsu yang lebih dikenal sebagai BI-CAC (Bank Indonesia – Counterfeit Analysis Center). BI-CAC merupakan sistem aplikasi yang digunakan untuk mencatat, mengklasifikasi dan menganalisa uang rupiah palsu yang dilaporkan oleh perbankan dan masyarakat maupun uang rupiah palsu dari hasil pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu yang dilaporkan oleh pihak Kepolisian dari waktu ke waktu. Implementasi BI-CAC di seluruh Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia telah dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012. Harapan ke depan dengan terintegrasinya data uang palsu secara nasional akan membantu pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu oleh aparat penegak hukum. Data yang dihasilkan oleh BI-CAC diantaranya adalah data jumlah lembar dan denominasi uang rupiah yang dipalsukan, wilayah/daerah temuan uang rupiah palsu, klasifikasi uang yang dipalsukan, kualitas pemalsuan serta pelaku tindak pidana pemalsuan uang rupiah. Adapun mekanisme pengolahan data uang rupiah palsu dapat dilihat pada Diagram 1 dan mekanisme administrasi uang rupiah palsu dapat dilihat pada Diagram-2.
��������
����������� ����������
�����
������� ����
���������
���
������������� ������������ �����������
����
��������� �����������
��������������� ������
�������
����������� ������� ������
��������� ������
���������������
������������
���� ������
�����������
�������
�������� ���������
���� ����������� �������� ��������� ���� �� ��������� ������������ �� ���������� ������������� ��������
����������� �����������
������
Diagram-1. Pengolahan Data Uang Rupiah Palsu pada BI-CAC
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
113
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
�������� ����������
���������
����
������������
�����������������������
��������� ���������� �������������� �������������
���������
���
���������������������
�����
����������
�����������
��������� ���������� ������������
�����
����������
���������� �������������� �������������
������
�����
Diagram-2. Gambaran Umum Administrasi UPAL pada Sistem BI-CAC
114
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
Bab 9
Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
9.1 Kegiatan Museum Artha Suaka Bank Indonesia Selain Museum Bank Indonesia yang ada di Kota Tua, Jakarta, sebagian koleksi mata uang dan benda-benda bersejarah yang dimiliki Bank Indonesia juga disimpan di Museum Artha Suaka. Museum yang dapat dijumpai di lokasi perkantoran Bank Indonesia ini menyimpan dan mengelola koleksi mata uang yang berasal dari jaman kerajaan di Indonesia sampai dengan mata uang yang masih beredar di masyarakat saat ini maupun koleksi alat-alat pembayaran yang pernah beredar di Indonesia. Selain koleksi mata uang, dapat dijumpai pula koleksi benda-benda bersejarah yang dimiliki oleh Bank Indonesia seperti batu prasasti, plat cetak uang, patung dari jaman kerajaan, ataupun patung muka yang berasal dari jaman penjajahan Belanda. Keberadaan Museum Artha Suaka merupakan perwujudan dari salah satu tugas Bank Indonesia khususnya di bidang pengelolaan uang rupiah. Selain itu, museum ini juga merupakan bentuk nyata pengabdian dan kontribusi Bank Indonesia kepada masyarakat melalui upaya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa. Hal ini diwujudkan melalui edukasi nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa yang terkandung dalam koleksi mata uang yang tersimpan di Museum Artha Suaka. Untuk memperkenalkan koleksi uang Bank Indonesia yang disimpan di Museum Artha Suaka, Bank Indonesia secara
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
rutin melaksanakan kegiatan Pameran Koleksi Uang di berbagai wilayah di Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi ajang edukasi kepada masyarakat mengenai nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam koleksi mata uang yang dipamerkan. Selain itu, kegiatan pameran koleksi Museum Artha Suaka ini dilakukan dalam rangka memperkaya dunia numismatika di Indonesia. Sepanjang tahun 2012, Bank Indonesia telah melaksanakan sebanyak 6 kali kegiatan Pameran Koleksi Uang di berbagai wilayah Indonesia. Selain untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, kegiatan pameran koleksi uang ini juga dilakukan sebagai bentuk partisipasi Bank Indonesia pada penyelenggaraan berbagai event di tingkat nasional ataupun daerah, yaitu : 1. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Surabaya, Jawa Timur. Pameran koleksi uang dilaksanakan untuk mendukung acara peresmian Gedung Heritage Eks De Javasche Bank sebagai salah satu cagar budaya bangsa. Kegiatan pameran dilangsungkan di KPw DN Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur) dari tanggal 26 s.d. 28 Januari 2012. 2. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Yogyakarta. Pameran Koleksi Uang menjadi bagian dari rangkaian peresmian Gedung Heritage Eks De Javasche Bank sebagai salah satu budaya bangsa. Selama 3 hari dari tanggal 17 s.d. 19 Februari 2012, masyarakat dapat menikmati koleksi uang Bank Indonesia yang
115
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
3.
4.
5.
6.
dipamerkan di KPw DN Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Yogyakarta. Pameran koleksi uang dilakukan untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri dan penyelenggaraan Inter Central Bank Games (ICBG) 2012 yang berlangsung dari tanggal 16 Agustus s.d. 1 Oktober 2012. Pameran ini merupakan kali kedua kegiatan pameran koleksi uang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2012. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Palembang, Sumatera Selatan. Pameran koleksi uang dilakukan untuk memeriahkan event “Sriwijaya International Expo 2012” yang berlangsung dari tanggal 15 s.d. 20 Mei 2012. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Solo, Jawa Tengah. Pameran koleksi uang dilakukan untuk mendukung penyelenggaraan acara Financial Inclusion Expo yang dilangsungkan pada tanggal 14 s.d. 18 Juli 2012. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Medan, Sumatera Utara. Pameran koleksi uang yang dilangsungkan selama 3 hari dari tanggal 19 s.d. 21 Desember 2012 ini diselenggarakan dalam rangka memberikan edukasi kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya mengenai uang yang pernah beredar di Indonesia.
9.2 Uang Rupiah yang Sudah Dicabut dan Ditarik dari Peredaran UU Mata Uang yang mulai berlaku sejak tanggal 28 Juni 2011 memberikan mandat bagi Bank Indonesia untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran serta melakukan pemusnahan terhadap uang rupiah yang tidak layak edar. Dalam melakukan pencabutan dan penarikan suatu pecahan uang rupiah dari peredaran, Bank Indonesia mempertimbangkan beberapa hal diantaranya tingkat penggunaan suatu pecahan pada transaksi pembayaran masyarakat ataupun kebutuhan untuk melakukan penyederhanaan komposisi dan emisi pecahan uang rupiah yang ada saat ini. Disamping itu, tingginya tingkat pemalsuan terhadap suatu pecahan juga mendasari kebijakan Bank Indonesia untuk mencabut dan menarik
116
pecahan uang rupiah tersebut dari peredaran. Nilai intrinsik uang yang meliputi harga bahan baku dan biaya pencetakan suatu pecahan yang sudah melebihi nilai nominalnya turut pula menjadi faktor penentu dicabut dan ditariknya suatu pecahan uang rupiah dari peredaran. Setelah dinyatakan dicabut dan ditarik dari peredaran oleh Bank Indonesia, selama 10 tahun berikutnya masyarakat masih memiliki hak untuk melakukan penukaran. Pada kurun waktu 5 tahun pertama setelah dinyatakan dicabut dan ditarik dari peredaran, masyarakat dapat melakukan penukaran di kantor bank umum terdekat maupun di Tabel 9.1 Uang yang di Cabut dan Ditarik dari Peredaran
��� ��������������������� ����������� � ������������������������ � ����������������������� � ����������������� � ����������������� � ��������������� � ��������������� � ������������������ � ����������������� � ����������������� �� ��������������� �� ��������������� �� ������������������ �� ����������������� �� ����������������� �� ��������������� �� ������������������������ �� ������������������������ �� ������������������������ �� ������������������������ �� ��������������� �� ��������������� �� ����������������� �� ����������������� �� ������������������ �� ������������������ �� ������������������ �� ������������������� ���������� �� ������������� �� �������������� �� �������������� �� �������������� �� ������������� �� ������������� �� �������������� �� �������������� �� ��������������� �� ��������������� �� ������������� �� �������������� �� �������������� �� ������������� ����������������
������� ����������
����������� �������������������� ����������� ����
��
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
�����������
�����������
�����������
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
Kantor Bank Indonesia yang ada di wilayahnya. Setelah itu untuk masa 5 tahun berikutnya, masyarakat hanya dapat melakukan penukaran di Bank Indonesia. Pelaksanaan pencabutan dan penarikan uang rupiah ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ditempatkan dalam Lembar Negara Republik Indonesia (LNRI). Pemberlakuan batas waktu bagi masyarakat untuk menuntut hak penukaran atas uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran mengandung potensi untuk menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat. Menyadari hal ini, pencabutan dan penarikan suatu pecahan dari peredaran selalu dibarengi dengan upaya penyebarluasan informasi ke masyarakat. Komunikasi mengenai pencabutan dan penarikan pecahan uang rupiah tersebut dilakukan Bank Indonesia melalui publikasi di berbagai media massa maupun melalui penempatan leaflet dan poster di berbagai lokasi seperti kantor bank, tempat-tempat umum maupun di lokasi Kantor Bank Indonesia. Disamping itu, masyarakat juga dapat mengetahui informasi mengenai pencabutan dan penarikan uang rupiah tersebut melalui publikasi di website Bank Indonesia. Sampai dengan akhir tahun 2012, tercatat sebanyak 35 jenis pecahan uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran. Dari 35 jenis pecahan tersebut, terdapat 5 jenis pecahan yang masih dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan bank umum, sedangkan 30 jenis pecahan lainnya hanya dapat ditukarkan oleh masyarakat di Bank Indonesia.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
9.3 Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas (BISILK) Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas (BISILK) merupakan pengembangan aplikasi untuk mengakomodasi kegiatan layanan kas Bank Indonesia yaitu layanan Setoran dan Bayaran Bank serta transaksi uang kartal antar bank (TUKAB). Selama ini, kegiatan penyetoran dan penarikan bank yang antara lain mencakup pengiriman informasi likuiditas bank, transaksi uang kartal antar bank (TUKAB) dan rencana penyetoran/ penarikan bank masih dilakukan secara manual. Dengan adanya otomasi proses kegiatan penyetoran dan penarikan bank yang dikembangkan lewat aplikasi BISILK ini, kegiatan penyetoran dan penarikan uang yang dilakukan perbankan menjadi lebih efektif dan optimal. Selain itu, otomasi ini juga akan mempercepat waktu pemrosesan dan pengolahan data/informasi sehingga informasi yang dihasilkan bersifat real time. Pengembangan BISILK sendiri bertujuan untuk menyediakan fasilitas serta memberikan kenyamanan dan keamanan kepada bank dalam hal penyampaian laporan ke Bank Indonesia disamping menjadi media transaksi uang kartal untuk memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan. Dari sisi Bank Indonesia, pengembangan aplikasi BISILK ini merupakan wujud peningkatan kualitas layanan Bank Indonesia. Selain itu, BISILK juga menjadi fasilitas yang lebih lebih realtimedalam melaksanakan fungsi monitoring terhadap kegiatan TUKAB dan kegiatan lainnya pada proses setoran bayaran bank.
117
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang
Halaman ini sengaja dikosongkan
118
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Bab 10
Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Bank Indonesia menyadari bahwa kredibilitas jangka panjang hanya dapat terwujud jika prinsip-prinsip good governance dan akuntabilitas terus ditegakkan seiring dengan komitmen untuk terus meningkatkan kapabilitas diri. Untuk itu, Bank Indonesia secara konsisten berkomitmen untuk terus memperbaiki kinerjanya demi mencapai tujuan menjadi lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Sebagai perwujudan dari akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia secara berkala melaksanakan survei persepsi kinerja dengan target responden yang berbeda pada tiap periodenya. Survei ini dilakukan untuk mengukur pencapaian sasaran-sasaran strategis yang telah ditetapkan dalam hal pengelolaan uang rupiah. Adapun pencapaian sasaran strategis diperoleh melalui pengukuran tingkat kepuasan stakeholders terhadap kinerja pengelolaan uang selama periode tertentu. Pada tahun 2012, Bank Indonesia melaksanakan 2 kali survei persepsi untuk mengukur kinerjanya dalam hal pengelolaan uang rupiah. Survei yang dilakukan terdiri dari Survei Kepuasan Perbankan terhadap Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) yang dilaksanakan pada tiap akhir semester dan Survei Kepuasan terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar (ULE) yang merupakan agenda kegiatan rutin tahunan.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
10.1 Survei Kepuasan Terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar Untuk memberikan gambaran mengenai seberapa jauh program kerja dan kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia telah memberikan kepuasan kepada masyarakat dalam hal ketersediaan uang rupiah layak edar, setiap tahunnya Bank Indonesia melaksanakan Survei Kepuasan terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar (ULE). Melalui survei ini pula Bank Indonesia dapat mengukur respon masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan setiap pecahan uang rupiah yang diedarkan, serta keberhasilan program sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah yang dilakukan dalam rangka memberikan informasi dan penjelasan kepada masyarakat luas terhadap kenyamanan dan keamanan dalam memegang dan mengenali ciri-ciri keaslian uang rupiah. Mengacu pada hasil survei tahun sebelumnya, Bank Indonesia terus melakukan penyelarasan terhadap program kerja dan kebijakan pengelolaan uang rupiah yang akan dijalankan selamatahun 2012. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepuasan stakeholders melalui peningkatan kualitas dan ketersediaan uang rupiah layak edar secara merata di wilayah NKRI yang disertai dengan peningkatan kualitas dan perluasan jangkauan layanan kas Bank Indonesia.
119
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Keberhasilan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang selama tahun 2012 tercermin dari terlampauinya target hasil survei yang ditetapkan. Pada skala penilaian 1-6, responden survei memberikan rataratakepuasan sebesar 4,50 terhadap seluruh aspek yang diukur, lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar 4. Untuk menjamin akuntabilitas dan integritas hasil survei, pelaksanaan Survei Kepuasan terhadap Ketersediaan Uang Layak Edar (ULE) dilakukan oleh konsultan independen yang ditunjuk. Pada tahun 2012, survei dilaksanakan terhadap terhadap 305 responden yang mencakup 6 kelompok stakeholders yaitu perbankan yang terdiri dari Bank Umum, Bank Syariah dan BPR Konvensional; dunia usaha serta masyarakat umum. Secara keseluruhan, para responden menyatakan cukup puas dengan ketersediaan Uang Layak Edar, hal ini terutama disampaikan oleh responden dari kategori Bank Umum dengan tingkat kepuasan sebesar 4,82, diikuti oleh BPR Konvensional dan Bank Syariah dengan tingkat kepuasan 4,73 dan 4,58. Aspek yang dinilai dalam survei mencakup 8 atribut kepuasan, diantaranya pemenuhan uang berdasarkan pecahan, kualitas uang dan kemudahan dalam mengenali keaslian uang. Responden memberikan penilaian tertinggi terhadap atribut kemudahan mengenali keaslian uang dengan menggunakan alat deteksi uang palsu dengan tingkat nilai kepuasan sebesar 4,74. Kemudahan mengenali keaslian uang dengan melihat desain dan gambar serta meraba tekstur dan menerawang uang juga memperoleh nilai kepuasan yang tinggi dari responden, dengan nilai keyakinan sebesar 4,65. Atribut lain yang juga memperoleh nilai keyakinan yang tinggi dari responden adalah terpenuhinya kebutuhan uang dalam jumlah dan jenis pecahan dengan tingkat kepuasan 4,61. Adapun dari hasil survei, terlihat bahwa tingkat keyakinan responden terhadap penurunan jumlah uang palsu yang beredar masih rendah, dengan tingkat kepuasan hanya sebesar 4,29 atau merupakan atribut dengan penilaian terendah pada survei. Atribut lain yang dikritisi oleh responden adalah belum memadainya informasi atau pengumuman atas uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dimana tingkat kepuasan responden hanya sebesar 4,35.
120
10.2 Survei Kepuasan Perbankan atas Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia Kepuasan perbankan sebagai salah satu stakeholders utama Bank Indonesia terhadap pemenuhan kuantitas dan kualitas uang kartal yang diberikan menjadi salah satu tolak ukur kinerja dan keberhasilan pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Hal ini mendorong Bank Indonesia untuk terus mengembangkan kualitas layanan kas kepada perbankan sesuai dengan standar layanan kas prima yang berlaku. Untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kepuasan perbankan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) terhadap kinerja layanan kas yang diberikan, Bank Indonesia secara semesteran melakukan pengukuran kepuasan perbankan melalui Survei Kepuasan Perbankan terhadap Layanan Kas di KPBI. Aspek yang diukur dalam survei meliputi 4 aspek layanan yaitu keakurasian (selisih kurang/lebih) dalam penghitungan penerimaan setoran dan pembayaran kepada bank; kesesuaian dalam pemenuhan kebutuhan uang perbankan; kualitas hasil cetak uang yang dibayarkan kepada bank, serta atribut layanan kas yang meliputi kecepatan, keamanan dan layanan dari petugas kas Bank Indonesia selama berinteraksi dengan perbankan. Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan pada tahun 2012, secara umum perbankan menyatakan kepuasannya terhadap layanan kas Bank Indonesia. Kepuasan perbankan tersebut tercermin dari penilaian yang diberikan responden terhadap seluruh aspek yang diukur dengan rata-rata kepuasan sebesar 5,0 (skala 1-6). Hasil survei menunjukkan tingginya tingkat kepuasan perbankan terhadap aspek layanan kas yang meliputi atribut kecepatan dan keamanan layanan serta keramahan, kerapihan dan ketelitian petugas Bank Indonesia. Responden memberikan penilaian sebesar 5,1 yang merupakan pencapaian tertinggi dari seluruh aspek yang diukur dalam survei. Keamanan pada saat melakukan penarikan ataupun setoran ke Bank Indonesia dinilai sebagai atribut layanan kas terbaik dengan tingkat kepuasan responden sebesar 5,26.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Tabel 10. Atribut Penilaian Survei Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia Tahun 2012 Indeks Kepuasan Aspek-aspek yang dinilai
Sangat Puas (%)
Puas (%)
Keakurasian (selisih kurang/lebih) eks peredaran
22
57
21
Keakurasian (selisih kurang/lebih) HCS
38
47
15
Kesesuaian dalam pemenuhan Pecahan Kecil (Rp10.000, ke bawah)
25
37
38
Kesesuaian dalam pemenuhan Pecahan Besar (Rp20.000 ke atas)
26
46
28
Kesesuaian dalam pemenuhan nominal
32
45
23
Kualitas hasil cetak
29
40
31
Kecepatan Waktu Layanan Kas
31
38
31
Keamanan selama melakukan transaksi di komplek kantor BI
40
49
11
Survei juga mengindikasikan perlunya perbaikan aspek kesesuaian dalam pemenuhan kebutuhan bank, dimana aspek ini memperoleh penilaian terendah dengan tingkat kepuasan responden sebesar 4,9. Responden menyoroti belum optimalnya pemenuhan kebutuhan bank berdasarkan jenis pecahan yang diminta, terutama uang pecahan kecil. Hal ini tercermin dari penilaian responden terhadap atribut kesesuaian pemenuhan kebutuhan uang berdasarkan jenis pecahannya dengan tingkat kepuasan sebesar 4,88.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Cukup Puas, Kurang Puas, Tidak Puas, Sangat Tidak Puas (%)
Sementara itu, responden menyatakan kepuasannya terhadap aspek keakurasian (selisih kurang/lebih) dalam penghitungan penerimaan setoran dan pembayaran kepada bank serta aspek kualitas hasil cetak uang. Kedua aspek tersebut memperoleh tingkat kepuasan sebesar 5,0. Namun demikian, pada aspek keakurasian, responden mengharapkan adanya peningkatan keakurasian pada penghitungan uang terutama penghitungan uang yang dikategorikan sebagai uang eks peredaran atau uang yang berasal dari setoran masyarakat.
121
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Halaman ini sengaja dikosongkan
122
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 11 Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
Bab 11
Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
Perekonomian Indonesia ke depan diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi sejalan dengan kinerja perekonomian dunia yang diperkirakan mengalami peningkatan secara gradual. Di tengah berbagai tantangan baik global maupun domestik yang bersumber dari ketidakpastian pemulihan ekonomi maupun harga komoditas yang dapat mempengaruhi ekspor Indonesia, pertumbuhan perekonomian domestik tahun 2013 diperkirakan mencapai kisaran 6,3%-6,8%. Pertumbuhan tersebut masih disumbang oleh permintaan domestik disamping persiapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Legislatif yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut menjadi pijakan bagi penetapan arah kebijakan dan rencana pengembangan di bidang pengelolaan uang pada tahun 2013. Disamping pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, berbagai lingkungan strategis Bank Indonesia seperti amandemen UU Bank Indonesia, pengesahan UU lainnya seperti UU Mata Uang serta RUU terkait dan isu-isu strategis yang berkembang di dunia internasional, nasional, regional serta internal Bank Indonesia turut pula mempengaruhi peta strategi dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan. Menghadapi perkembangan tersebut, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat, kebijakan pengelolaan uang ke depan diarahkan untuk memperkuat manajemen persediaan dan fungsi layanan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
uang kartal, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi uang yang telah dijalankan selama ini, dengan tetap memperhatikan amanat UU Mata Uang dan perkembangan lainnya. Penerbitan uang rupiah baru pada tahun 2014 turut menjadi konsideran utama bagi kebijakan pengelolaan uang di tahun 2013.
Memperkuat Manajemen Persediaan Uang Kartal Tren peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat diperkirakan masih akan terus berlanjut. Untuk itu, kebijakan pengelolaan uang pada tahun 2013 diarahkan untuk memperkuat manajemen persediaan uang kartal Bank Indonesia. Penguatan ini salah satunya ditempuh dengan menjaga level kas minimum secara nasional pada posisi yang aman sesuai dengan perhitungan EKU 2013. Untuk itu, Bank Indonesia akan melakukan alignment antara rencana kerja dan anggaran Perum Peruri dengan kebutuhan pencetakan uang Bank Indonesia dalam jangka panjang. Selain itu, Bank Indonesia juga akan terus meningkatkan akurasi perencanaan kebutuhan uang baik dalam jumlah maupun pecahan sehingga kebutuhan uang kartal masyarakat dapat terpenuhi baik dalam jumlah nominal maupun pecahan. Sementara itu, untuk memperkuat persediaan uang rupiah logam, Bank Indonesia akan mengimplementasikan
123
Bab 11 Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
kebijakan resirkulasi uang rupiah logam. Untuk itu, pada tahun 2013, Bank Indonesia akan melakukan kajian yang dapat memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan kebijakan resirkulasi uang logam tersebut.
Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Uang Rupiah
terintegrasi. Keberadaan SPU ini diharapkan mampu menjawab kendala distribusi uang yang selama ini dihadapi oleh Bank Indonesia, khususnya di KPBI.
Implementasi Undang-Undang Mata Uang
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketersediaan uang rupiah berkualitas secara merata di seluruh wilayah NKRI, pada tahun 2013 Bank Indonesia akan melanjutkan upaya perluasan layanan kas titipan di wilayah-wilayah yang belum terlayani secara optimal oleh Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPw DN) Bank Indonesia setempat. Kebijakan ini akan ditempuh dengan memperbesar dan memperluas keterlibatan perbankan setempat dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat di wilayah blank spot areas.
Memenuhi ketentuan Pasal 42 UU Mata Uang, Bank Indonesia akan melakukan penerbitan uang rupiah baru yang akan diperkenalkan ke masyarakat pada tanggal 17 Agustus 2014. Pada tahun 2013, Bank Indonesia akan memulai komunikasi dengan Pemerintah sebagai tahapan awal implementasi penerbitan uang rupiah baru. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia juga akan melakukan koordinasi dengan Pemerintah mengenai desain uang rupiah baru maupun dalam rangka penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Gambar Pahlawan yang akan digunakan sebagai desain utama.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia akan terus meningkatkan efektivitas kegiatan distribusi uang rupiah ke seluruh satuan kerja kasnya. Hal ini diwujudkan melalui upaya untuk meningkatkan efektivitas moda transportasi yang digunakan dalam rangka distribusi uang. Untuk itu, pada tahun 2013, Bank Indonesia akan mengembangkan strategi koordinasi dan kerjasama dengan operator penyedia jasa angkutan baik darat, laut maupun udara.
Disisi lain, untuk mendukung kelancaran tahapan implementasi penerbitan uang rupiah baru tersebut, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2013 diarahkan untuk mendukung terlaksananya pembentukan Komite Nasional. Bank Indonesia bersama dengan Kemenkeu dan Kemenkumham juga akan mengambil langkah-langkah untuk mendukung proses legislasi penerbitan uang rupiah baru ini.
Bank Indonesia juga akan mempersiapkan mekanisme serta memulai implementasi pengawasan kegiatan pengolahan uang yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan Cash in Transit (CIT). Pengawasan juga akan dilakukan terhadap kegiatan cash processing yang dilakukan oleh pengelola kas titipan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin kesesuaian kualitas uang hasil olahan dengan standar kualitas uang layak edar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan pada gilirannya mempercepat proses distribusi uang ke masyarakat. Kedepan, Bank Indonesia akan mempersiapkan pengembangan Sentra Pengolahan Uang (SPU) yang
124
Memperkuat Fungsi Layanan Uang Kartal Melanjutkan kebijakan sebelumnya, kebijakan layanan kas Bank Indonesia pada tahun 2013 diarahkan pada penguatan fungsi layanan uang kartal. Penguatan ini dilakukan melalui pembentukan fungsi pengelolaan uang di daerah-daerah terpencil dan terdepan NKRI yang saat ini sudah menjadi salah satu lokasi kas titipan Bank Indonesia. Selain itu, fungsi pengelolaan uang juga akan dibentuk di ibukota provinsi baru dimana belum terdapat KPw DN Bank Indonesia.
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
Daftar Singkatan
ACDM ACH ACMF AKKI APMK APU dan PPT ASPI AUSTRAC BAPEPAM-LK BBM BCM BCP BFO BG BHP BI HARTIS BIC BI-CAC BI-ETP BIG-eB BI-RTGS BISAK BISILK BISOSA BI-SSSS BOTASUPAL BPR BSN BUMN CB C-Best C-BEST CBI CCP CDD CFI CIT CIV CLS
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
ASEAN Central Banks Deputy Governors Meeting Automated Clearing House ASEAN Capital Market Forum Asosiasi Kartu Kredit Indonesia Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia Australian Transaction Reports and Analysis Centre Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Bahan Bakar Minyak Business Continuity Management Business Continuity Plan Backup Front Office Bilyet Giro Balai Harta Peninggalan Bank Indonesia Historical And Real Time Information System Bank Identifier Code Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center Bank Indonesia Electronic Trading Platform Bank Indonesia Government Electronic Banking Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement Bank Indonesia Sentralisasi Administrasi Kas Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas Bank Indonesia Sentralisasi Otomasi Sistem Akunting Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu Bank Perkreditan Rakyat Badan Standar Nasional Badan Usaha Milik Negara Certification Body Central Depository and Book Entry Settlement System Central Book Entry System Citra bakti Indonesia Central Counterparty Customer Due Diligence Classification of Financial Instruments Cash In Transit Cash in Vault Continous Link Settlement
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
125
Daftar Singkatan
CNP COB CPSIPS CPSS CSDs DHN DJPU DRC DvP EDD EKU EMV ERP FDI FGD FI FLI FLIS FMIs FtS FX HCS IOSCO ISIN ISO KBI KCJ KDK Kemenkeu Kemenkominfo Kemenkumham KM KPBI KPEI KPw DN KSEI KTA KUPU LCS LVPS MC MEA MFS MNO MRT
126
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Card Not Present Currency Outside Bank Core Principles for Systemically Important Payment System Committee on Payment and Settlement System Central Securities Depositories Daftar Hitam Nasional Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Disaster Recovery Center Delivery-versus-Payment Enhanced Due Diligence Estimasi Kebutuhan Uang Europay MasterCard Visa Electronic Road Pricing Foreign Direct Investment Forum Group Discussion Financial Inclusion Fasilitas LIkuiditas Intrahari Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah Financial Market Infrastructures Failure to Settle Foreign Exchange Hasil Cetak Sempurna International Organization of Securities Commissions International Securities Identification Numbering International Standard Organization Kantor Bank Indonesia Kereta Api Commuter Jabodetabek Kantor Depot Kas Kementerian Keuangan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Key Management Kantor Pusat Bank Indonesia Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia Kantor Perwakilan Dalam Negeri Kustodian Sentral Efek Indonesia Kredit Tanpa Agunan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang Less Cash Society Large Value Payment System Member Certification Masyarakat Ekonomi ASEAN Mobile Financial Services Mobile Network Operator Mass Rapid Transportation
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
MRUK MSUK NDA NKRI NPG NSICCS O/N OJK OTC PBI Pemprov PFMIs PIN PJSP PKL PKN PoC PP TPPU PPATK PPUPK PTD PUAB PvP RBC RCCPs RCU RDU RKU RSSSs SBN SE BI SIPS SKNBI SMM SMS SNA SP SPAN SPN SPPA SSSs STKE SUN SWIFT TC
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Mesin Racik Uang Kertas Mesin Sortasi Uang Kertas Non Disclosure Agreement Negara Kesatuan Republik Indonesia National Payment Gateway National Staandard for Indonesia Chip Card Specification Overnight Otoritas Jasa Keuangan Over The Counter Peraturan Bank Indonesia Pemerintah Provinsi Principles for Financial Market Infrastructures Personal Identification Number Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Penyelenggara Kliring Lokal Pengelolaan Kas Negara Proof-of-Concept Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Perusahaan Penukaran Uang Pecahan Kecil Penyelenggara Transfer Dana Pasar Uang Antar Bank Payment versus Payment Regional Bank Champion Recommendations for Central Counterparties Rencana Cetak Uang Rencana Distribusi Uang Rencana Kebutuhan Uang Recommendations for Securities Settlement Systems Surat Berharga Negara Surat Edaran Bank Indonesia Systemically Important Payment System Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Standar Manajemen Mutu Short Message Service System Network Architecture Sistem Pembayaran Sistem Perbendaharaan Aparatur Negara Sistem Pembayaran Nasional Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir Securities Settlement Systems Sistem Transfer Kredit Elektronik Surat Utang Negara Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication Transaction Code
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
127
Daftar Singkatan
TCP/IP TE Telco TIK ToT TPPU TPT TRs TSA TUKAB UAT UK UKP-4 UL ULE UMKM UPB UPK UTLE UU UYD WC PSS WG
128
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Transmission Control Protocol/Internet Protocol Tahun Emisi Telecommunication Company Teknologi Informasi dan Komunikasi Training for Trainers Tindak Pidana Pencucian Uang Tempat Penguangan Tunai Trade Repositories Treasury Single Account Transaksi Uang Kartal Antar Bank User Acceptance Test Uang Kertas Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Uang Logam Uang Layak Edar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Uang Pecahan Besar Uang Pecahan Kecil Uang Tidak Layak Edar Undang Undang Uang kartal Yang Diedarkan Working Committee on Payment and Settlement Systems Working Group
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
TIM PENYUSUN
KOMITE PENGARAH Boedi Armanto; Lambok Antonius Siahaan
PENANGGUNG JAWAB & EDITOR Rosmaya Hadi; Eko Yulianto
KOORDINATOR PENYUSUN Sudarmaji; Wijayanti Yuwono; Rini Darini; Tony Noor Tjahjono; Sri Darmadi Sudibyo
TIM PENULIS Ade Yulianti Rahayu; Trifaldi Yudistira; Pramudya Wicaksana; Kiptiah Riyanti; Vitri Vidia R.I; Yulia Rosdiati; Gunawan Purbowo; Asral Mashuri; Aswin Kosotali; Hendra Nazaldi; Tri Adi Riyanto; Devy Iko Puspitosari; Rifki Muhamad; Leni Novita Aritonang; Abdul Haris; Beny Okta Tutuarima; Sithowati Sandrarini; Yudistira D Nugroho; Hugo Budi Hartoko; Firdaus P. Simatupang; Mahmudin; Witri Rahayu; Anna Setiawati
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
129