LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN DAN PELINDUNGAN HUKUM DI BIDANG MEREK 2016
• • • •
Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H. Sulasi Rongiyati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Puteri Hikmawati, SH., MH.
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI JAKARTA
EXCECUTIVE SUMMARY
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perkembangan kegiatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia dalam beberapa tahun ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi yang secara tidak langsung telah menyebabkan aktivitas di sektor perdagangan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kecenderungan peningkatan arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Merek dagang, atau yang lebih dikenal sebagai “merek”, merupakan salah satu karya intelektual manusia sangat erat hubungannya dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan. Dalam dunia perdagangan, merek berperan penting untuk kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Merek (dengan “brand image”-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting. Selain itu juga merek merupakan jaminan kualitas suatu produk atau jasa.1 Terlebih lagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan ilmu pengetahuan tradisional, tradisi, dan budaya, serta iklim tropis telah menghasilkan berbagai macam produk yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Oleh karenanya merek sebagai salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia, sudah semestinya dilindungi dan dimanfaatkan secara optimal. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan tersebut, maka menjadi hal yang sangat dipahami apabila kemudian muncul tuntutan kebutuhan pengaturan yang lebih memadai dalam rangka terciptanya kepastian dan pelindungan hukum yang kuat. Pengaturan mengenai merek pada dasarnya telah diatur di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Akan tetapi dalam praktiknya, keberadaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut masih 1
Tim Lindsey, dkk. Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2006, Hal. 131-132.
menemui kendala dalam penerapannya, belum sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, dan belum sesuai dengan konvensi-konvensi di bidang merek, baik yang sudah diratifikasi maupun konvensi yang akan diratifikasi. Tidak dipungkiri bahwa ratifikasi beberapa konvensi internasional di bidang merek merupakan bentuk kesadaran Indonesia untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia dan kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada umumnya, karena penerapan sistem HKI, khususnya merek tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata melainkan juga kepentingan ekonomi nasional. Meluasnya globalisasi di bidang perdagangan barang dan jasa juga menuntut pelindungan merek bagi produk nasional di negara tujuan ekspor. Mekanisme pendaftaran merek internasional menjadi salah satu sistem yang dapat dimanfaatkan guna melindungi merek-merek nasional di dunia internasional, di mana salah satunya adalah Protokol Madrid. Protokol Madrid menjadi sarana yang sangat membantu para pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan
merek mereka di luar negeri dengan
mudah dan biaya yang terjangkau. Berdasarkan sistem ini, pendaftaran merek di beberapa negara yang juga merupakan anggota Protokol Madrid dapat dilakukan secara sekaligus hanya dengan mengajukan satu permohonan merek, sehingga biaya yang dikeluarkan akan menjadi lebih murah dan efeisien.2 Wacana Indonesia mengaksesi Protokol Madrid sudah menjadi pembahasan inter Kementeriaan,3 hal ini dikarenakan Indonesia harus segera mengaksesi konvensi tersebut. Terlebih lagi di tingkat ASEAN, negara-negara anggota telah mencapai kesepakatan untuk mengaksesi Protokol Madrid guna mendukung Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang tertuang dalam cetak biru MEA 2014 – 2015 bahwa Protokol Madrid akan mulai diberlakukan di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia di tahun 2015. Dengan adanya keharusan Indonesia melakukan aksesi Protokol Madrid, maka akan berdampak langsung terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
2
3
Tarsisius Didik Taryadi, Ratifikasi Madrid Protokol dan Masalah di Seputarnya (Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks), Jurnal Hukum Bisnis Vol. 28 No. 2 Tahun 2009, Hal. 12-13. Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus RUU Merek dengan Ferry Adamhar Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Senin tanggal 14 September 2015.
Merek itu sendiri, sementara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belumlah mengatur mengenai pendaftaran merek secara internasional. Selain hal tersebut, nyatanya masih terdapat beberapa kendala atau hambatan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagai contoh kurangnya kemudahan pelayanan kepada masyarakat pemohon pendaftaran merek. Dalam hal ini mengenai lamanya proses pendaftaran merek. Lamanya proses pendaftaran merek dikarenakan adanya penumpukan dokumen permohonan pendaftaran merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (selanjutnya disebut dengan DJKI). Kendala pendaftaran merek juga dialami oleh UMKM. Suatu produk yang sudah mempunyai merek dan merek tersebut dijaga dan dikembangkan dengan baik maka branding (pemberian merek) tersebut akan mampu mendongkrak penjualan produk tersebut. Oleh karenanya pendaftaran merek menjadi hal penting bagi para pelaku usaha, termasuk UMKM. Namun, dalam tataran implementasi masih sedikit UMKM yang mendaftarkan merek dagangnya karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh UMKM, seperti karakteristik UMKM yang bermodalkan minim, pengetahuan dan pendidikan khususnya di bidang merek rendah, dan
keterbatasan mengakses kantor pendaftaran merek. Kendala
lainnya adalah mahalnya biaya pendaftaran, rumitnya prosedur pendaftaran, birokrasi yang buruk sehingga memunculkan korupsi, masih tersentralistiknya kontor pendaftaran merek.4 Kurangnya pelindungan hukum juga terlihat dalam pengaturan mengenai indikasi geografis. Materi mengenai indikasi geografis sebenarnya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, namun undang-undang tersebut belumlah sepenuhnya mengatur secara jelas mengenai indikasi geografis. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pengaturan indikasi geografis hanya terdiri dari beberapa pasal saja.5 Bahkan ketentuan mengenai indikasi geografis dianggap bertentangan dengan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Selain itu, kurangnya pelindungan optimal terhadap Sistem Konstitutif dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Bagi UMKM, “Jurnal Ilmu Hukum :Syiar Hukum”, Vol. XIII No.2 Tahun 2011, http://hukum.unisba.ac.id/syiarhukum/index.php/jurnal/item/124-sistem-konstitutif-dalam-uu-no-15-tahun-2001-tentangmerek-bagi-umkm, diakses tanggal 14 Februari 2016. 5 Pasal 56 s.d. Pasal 60 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 4
indikasi geografis terlihat pada rumit dan kompleksnya proses pendaftaran indikasi geografis tersebut. Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi terkait indikasi geografis, namun belum sepenuhnya juga dipahami oleh masyarakat luas. Tidak semua masyarakat di daerah mengetahui bahwa hasil daerahnya, produk-produk kerajinan dan hasil pertanian dapat menjadi bagian dari pelindungan indikasi geografis. Kekurangpahaman masyarakat akan pentingnya pendaftaran indikasi geografis, justru dapat membuka celah besar untuk tindak pidana pembajakan dan pemalsuan produk barang dan jasa di Indonesia. Sebagai contoh, kasus kopi Gayo Aceh yang pernah diklaim oleh perusahaan Belanda European Coffee Bv. Melalui Holland Coffee pada tahun 1999 dengan mendaftarkan nama “Gayo” sebagai merek dagang kopi mereka di Belanda (Gayo Mountain Coffee).6 Dengan memakai nama “Gayo” tersebut, maka secara otomatis tidak ada perusahaan lain yang boleh menjual kopi dengan nama “Gayo” di Belanda termasuk perusahaan asal Indonesia yang memang merupakan asal dari kopi torabika Gayo. Atas dasar tersebut, maka permasalahan hukum dalam penelitian ini menitikberatkan mengenai penegakan dan pelindungan hukum di bidang merek. Permasalahan penelitian tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Pertama, apa yang menjadi urgensi aksesi Protokol Madrid terhadap ketentuan merek di Indonesia; Kedua, bagaimana penegakan dan pelindungan hukum terhadap hak merek kolektif ; Ketiga, bagaimana penegakan dan pelindungan hukum indikasi geografis di Indonesia; dan Keempat, bagaimana penegakan dan pelindungan norma hukum serta ketentuan sanksi terhadap pelanggaran merek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji: urgensi aksesi Protokol Madrid bagi Indonesia, penegakan dan pelindungan hukum bagi pemegang merek kolektif, penegakan dan pelindungan hukum bagi pemegang hak indikasi geografis serta penegakan dan pelindungan norma hukum serta ketentuan sanksi terhadap pelanggaran merek. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkuat khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang 6
Indikasi Geografis: Pelindung Kekayaan Indonesia, https://imamhariyanto.com/indikasi-geografis-pelindung-kekayaan-indonesia/, diakses Kamis 4 Februari 2016.
hukum ekonomi. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang sedang dalam melakukan pembahasan RUU tentang merek, sebagaimana yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2016. B. Metode Penelitian Penelitian tentang penegakan dan pelindungan hukum di bidang merek merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yang dimaksudkan adalah penelitian terhadap sistematika hukum.7 Sedangkan penelitian yuridis empiris yang dimaksudkan adalah penelitian terhadap efektivitas hukum, yaitu penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.8 Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, maka penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, dalam hal ini melakukan penelitian dengan pedoman wawancara (interview guide). Penelitian ini memerlukan data sekunder dan data primer. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat, seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan merek dan indikasi geografis. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku, laporan penelitian, dan literatur lain mengenai merek dan indikasi geografis. Penelitian ini juga dilengkapi dengan data primer melakukan observasi, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) dengan instansi-instansi terkait seperti: Pemerintah Daerah, Kantor Wilayah Kementeriaan Hukum dan HAM, Akademisi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM, Pembina UMKM, Aparat Penegak Hukum meliputi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta UMKM lokal. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh (tanggal 11-17 April 2016) dan Provinsi Bali (tanggal 16-22 Mei 2016) dengan pertimbangan pemilihan lokasi tersebut sebagai berikut:
7 8
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009, hal. 24. Ibid, hal.31.
1) Provinsi Aceh, dipilih karena perkembangan UMKM di daerah tersebut telah mencapai peningkatan hingga 8405 unit atau sekitar 3,4% dari jumlah populasi penduduk kota di Banda Aceh.9 Pertumbuhan UMKM yang sangat signifikan ini jelas sangat membutuhkan adanya upaya pelindungan hukum yang memadai terhadap produk-produk tersebut, khususnya dalam hal pendaftaran merek. Selain itu, Provinsi Aceh dipilih dikarenakan Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang pernah mengalami sengketa terkait studi kasus sengketa merek Kopi Arabika Gayo yang pernah diklaim oleh perusahaan Belanda European Coffee Bv. Melalui Holland Coffee pada tahun 1999 dengan mendaftarkan nama “Gayo” sebagai merek dagang kopi mereka di Belanda (Gayo Mountain Coffee). Dengan adanya merek dagang tersebut, maka secara tidak langsung masyarakat Gayo Aceh telah kehilangan hak atas penggunaan nama mereka. Meskipun pada akhirnya kasus tersebut telah dimenangkan oleh Indonesia setelah melalui perjuangan panjang, di mana pada tahun 2010 akhirnya Kopi Arabika Gayo berhasil meraih sertifikat IG (ID G 000000005) yang diajukan oleh Masyarakat Pelindungan Kopi Gayo (MPKG). 2) Provinsi Bali, dipilih karena Bali merupakan salah satu daerah dengan industri pariwisata terbesar di Indonesia. Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada industri pariwisata. Selain pariwisata, ekonomi kreatif juga menjadi andalan pendapatan Bali. Tidak jarang berbagai macam merek barang buatan Provinsi Bali telah diakui di mancanegara, sebut saja seperti merek sepatu Ni Luh asal Bali yang sudah terkenal hingga ke New York, Paris, dan Italia. Kemudian juga merek baju Djoger, merek makanan pai susu “asli enak”, dan sebagainya. Maraknya potensi kreatif yang dimiliki oleh masyarakat Provinsi Bali, secara tidak langsung telah melahirkan UMKM-UMKM yang kreatif di Provinsi Bali. Selain itu Provinsi Bali juga telah memiliki beberapa sertifikat Indikasi Geografis, di antaranya Kopi Arabika Kintamani Bali (tahun 2008) yang telah diekspor hingga ke mancanegara. Kemudian Mete Kubu Bali (tahun 2014) dan Garam Amed Bali (tahun
9
Data Dishubkominfo Pemerintah Kota Banda Aceh, Pertumbuhan UMKM dan Koperasi di Banda Aceh Sangat Signifikan,http://perhubungan.bandaacehkota.go.id/v3/pertumbuhan-umkm-dan-koperasi-di-banda-aceh-sangat-signifikan/, diakses Kamis 11 Februari 2016.
2015). Sementara untuk kasus pelanggaran merek, Provinsi Bali merupakan salah satu daerah dengan jumlah kasus tindak pidana merek sebanyak 11 kasus.10 C. Hasil Penelitian 1. Aksesi Protokol Madrid Terhadap Ketentuan Merek Di Indonesia Sebagai negara yang terlibat dalam perdagangan dunia, Indonesia mulai mempertimbangkan untuk melakukan aksesi terhadap Protokol Madrid. Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WIPO (World Intellectual Property Organization) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundangan di bidang HKI dengan beberapa konvensi internasional terkait pelindungan merek seperti, Konvensi Paris, Nice Agreement dan lain-lain. Komitmen Indonesia di bidang HKI khususnya terhadap berbagai perjanjian internasional dalam skala bilateral maupun regional dilakukan dalam rangka mendukung program Pemerintah dalam membangun merek global atas produk lokal Indonesia, khususnya dalam mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah agar mampu bersaing di pasar global, diperlukan sistem pendaftaran merek secara internasional yang efektif dan efisien. Komitmen Indonesia untuk mengaksesi Protokol Madrid didasarkan pada: Asean Framework Agreement on Intellectual Property Cooperation (Bangkok, 15 Desember 1995) yang kemudian menghasilkan Rencana Aksi HKI ASEAN 2004-2010 (Vientiane), dan Rencana Aksi HKI ASEAN 2011-2015. Kedua Rencana Aksi tersebut menyepakati beberapa hal, di antaranya untuk mengaksesi Protokol Madrid. Melalui kesepakatan yang telah dilakukan Indonesia dengan Japan Economic Partnership Agreement yang ditandatangani pada tanggal 20 Agustus 2007 menyepakati bahwa kedua belah pihak sepakat untuk melakukan langkah-langkah bagi aksesi beberapa traktat/perjanjian internasional di bidang HKI, di antaranya untuk mengaksesi Protokol Madrid. Selain itu, kesepakatan ASEAN dengan Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) yang ditandatangani pada 27 Februari 2009 di Thailand dan berlaku sejak 1 Januari 2010 juga telah menetapkan komitmen dan kewajiban kedua belah pihak dalam berbagai bidang perdagangan, termasuk untuk mengaksesi Protokol Madrid. 10
Data pelanggaran merek yang ditangani Kepolisian Daerah Provinsi Bali, Hasil Kunjungan Kerja Pansus RUU Merek DPR RI, tanggal 1618 September 2015.
Berdasarkan hasil penelitian di daerah, keikutsertaan Indonesia dalam melakukan aksesi Protokol Madrid perlu diimbangi dengan adaya revisi UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dikarenakan undang-undang tersebut belum mengatur mengenai pendaftaran merek internasional. Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek perlu mengantisipasi pengaturan pendaftaran merek secara internasional, dengan harapan dengan meningkatnya pendaftaran merek dari luar negeri maka secara tidak langsung akan berdampak pula pada meningkatnya pemasukan negara dan makin tingginya reputasi negara dalam pergaulan internasional sesuai dengan tujuan Protokol Madrid. 2. Penegakan Dan Pelindungan Hukum Terhadap UKM Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek memiliki pengertian yaitu tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
11
Dari pengertian tersebut
maka Undang-Undang mengenal dua jenis merek, yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan jasa-jasa sejenis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek juga dikenal merek kolektif. Namun, pada prinsipnya merek kolektif bukanlah jenis merek, melainkan kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada para pemohon merek untuk memiliki hak atas merek secara bersama-sama dengan biaya pendaftaran ditanggung bersama, melalui merek kolektif. Dalam praktiknya, data di lapangan menujukan minimnya pengajuan pendaftaran merek kolektif. Berdasarkan hasil penelitian, hal ini berkaitan dengan karakteristik masyarakat Indonesia termasuk UKM yang enggan memiliki merek dagang secara bersama-sama. Setiap hak kekayaan 11
Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
intelektual wajib didaftarkan, karenanya pendaftaran yang memenuhi persyaratan perundang-undangan merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang dengan sertifikat pendaftaran sehingga memperoleh pelindungan hukum. Begitu juga halnya dengan hak merek. Berdasarkan sistem konstitutif yang dianut dalam hukum merek Indonesia, hak merek UKM hanya bisa diakui dan dilindungi oleh undang-undang jika hak merek tersebut didaftarkan.12 Hal ini mengandung makna merek-merek UKM yang tidak didaftarkan tidak diakui dan dilindungi oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sehingga kemungkinan untuk ditiru, dijiplak oleh pengusaha lain sangat besar. Dampak lebih lanjut UKM yang tidak mendaftarkan mereknya tidak memperoleh keuntungan ekonomis dari merek produknya secara maksimal. Perlu sosialisasi secara menyeluruh yang tidak hanya ditujukan kepada Kantor Wilayah Hukum dan HAM, namun juga beberapa instansi terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM baik di tingkat provinsi maupun kab/kota serta peran Pemda. Peningkatan kesadaran bagi pelaku UKM melalui sosialisasi hak kekayaan intelektual serta pembinaan yang terkoordinasi antar instansi terkait menjadi sangat penting. Demikian juga penyederhanaan proses pendaftaran merek yang dalam praktiknya masih memakan waktu relatif lama. Perlu juga didukung fasilitas-fasilitas untuk UKM, baik berupa keringanan biaya pendaftaran, pembinaan dan pelatihan maupun pendampingan dalam melakukan pendaftaran merek. 3. Penegakan Dan Pelindungan Hukum Atas Indikasi Geografis Di Indonesia Tidak dipungkiri bahwa indikasi geografis merupakan salah satu bagian dari HKI yang dirasakan penting untuk mendapatkan pelindungan hukum. Sama halnya seperti hak cipta dan paten, sebagai bagian dari HKI indikasi geografis juga memiliki potensi nilai ekonomi. HKI dianggap sebagai suatu alat bagi pengembangan ekonomi. Pentingnya pelindungan terhadap HKI, dianggap sebagai suatu kebutuhan yang dapat mendorong pergerakan perekonomian suatu negara seiring dengan berkembangnya perdagangan internasional dalam era global dan persaingan usaha tidak sehat. Pelindungan HKI dianggap memiliki nilai ekonomi karena pada dasarnya bagi pengagas 12
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007,hal.159.
karya intelektual akan memperoleh nilai insentif sesuai dengan jerih payah yang dikeluarkannya.13 Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.14 Pelindungan indikasi geografis sebagai bagian dari HKI tidak terlepas dari pertimbangan adanya nilai ekonomis yang melekat adanya suatu “property”. Hal ini dikarenakan penggunaan label atau tanda indikasi geografis menggambarkan adanya kualitas terhadap produk atau barang yang dihasilkan oleh suatu daerah atau wilayah tertentu. Inilah yang secara tidak langsung akan menambah nilai ekonomis pada produk atau barang yang dihasilkan oleh daerah atau wilayah tersebut. Pentingnya pelindungan hak ekonomi atas indikasi geografis pada dasarnya telah diatur di dalam konstitusi negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), menyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.15 Penekanan kata “negara” diartikan bahwa negara haruslah bertanggungjawab untuk memberikan pelindungan terhadap hasil produk-produk berindikasi geografis mengingat indikasi geografis juga merupakan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara. Sayangnya, dari data yang diperoleh dari DJKI16, total baru terdapat sekitar 38 barang yang sudah terdaftar sebagai indikasi geografis baik dari dalam negeri dan luar negeri di Indonesia (tahun 2008-2015). Ini berarti memang menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat Indonesia akan pentingnya pelindungan indikasi geografis melalui pendaftaran belum begitu signifikan. Hak ekonomi baru akan tercapai apabila masing-masing daerah “peka” untuk lebih giat melindungi potensi indikasi geografis daerahnya melalui pendaftaran. Pasal 56 ayat (7) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah menyatakan secara tegas bahwa indikasi geografis yang terdaftar akan mendapatkan pelindungan Djulaeka, Konsep Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, hal. 137. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. 15 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16 Ahmad M. Ramli, Data Indikasi Geografis di Indonesia, Makalah disampaikan pada Kunjungan Lapangan Panitia Khusus RUU Merek DPR RI, Jakarta, 17 November 2015. 13 14
hukum selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya pelindungan atas indikasi geografis itu masih ada.17 Ketentuan pasal ini menujukkan bahwa indikasi geografis baru akan mendapatkan pelindungan apabila sudah didaftarkan. Inilah yang menjadi catatan penting bahwa pendaftaran indikasi geografis mutlak diperlukan supaya daerah nantinya juga ikut merasakan peningkatan nilai tambah hak ekonomi. Sayangnya belum semua daerah menyadari potensi ekonomi tersebut. Menurut hasil penelitian18, baik di Provinsi Aceh maupun Provinsi Bali, rendahnya angka pendaftaran indikasi geografis disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan indikasi geografis. Stakeholders dalam hal ini Pemerintah daerah (Pemda) beserta instansi terkait dan juga DJKI juga dirasa kurang giat dalam melakukan sosialisasi terkait indikasi geografis. Bahkan belum semua Pemda memahami apa itu indikasi geografis.19 Pemda dirasakan kurang giat dalam melakukan inventarisasi data potensi indikasi geografis yang dimiliki daerah setempat. Dari 34 Provinsi di Indonesia, tercatat baru Pemerintah Kabupaten Sumedang yang berinisiatif untuk mendaftarkan produk unggulan daerahnya, yakni tembakau hitam Sumedang yang telah didaftarkan pada tanggal 25 April 2011 (ID G 000000007) dan tembakau mole Sumedang yang juga didaftarkan pada tanggal 25 April 2011 (ID G 000000008).20 Sementara bagi Provinsi Aceh dan Provinsi Bali sendiri, belum terlihat adanya upaya atau peran dari Pemda untuk aktif melakukan pendaftaran produk berindikasi geografis di daerahnya. Pendaftaran produk berindikasi geografis hanya dilakukan oleh asosiasi masyarakat setempat, seperti pada Kopi Arabika Gayo yang telah didaftarkan oleh Masyarakat Pelindungan Kopi Gayo (MPKG), Minyak Nilam Aceh yang telah didaftarkan oleh Forum Masyarakat Pelindungan Nilam Aceh (FMPNA), Kopi Arabika Kintamani Bali yang telah didaftarkan oleh Masyarakat Pelindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Kintamani Bali.
Pasal 56 ayat (7) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hasil wawancara penelitian kelompok “Penegakan dan Pelindungan Hukum di Bidang Merek”,Wayan (Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana), Provinsi Bali tanggal 18 Mei 2016. 19 Hasil wawancara penelitian kelompok “Penegakan dan Pelindungan Hukum di Bidang Merek”, Muhamad Raudi (Kepala Biro Perekonomian), Provinsi Aceh, tanggal 12 April 2016. 20 Buku Saku Indikasi Geografis Indonesia. 17 18
Kurang pekanya pihak Pemda dan juga instansi terkait sungguh disayangkan. Padahal jika dicermati, pelindungan indikasi geografis secara tidak langsung justru akan membawa pengaruh pula terhadap daerah khususnya terkait peningkatan hak ekonomi (nilai tambah bagi daerah). Hal ini dikarenakan potensi barang atau produk daerah yang memiliki karakteristik unik untuk melindungi indikasi geografis merupakan suatu kekayaan yang memiliki nilai tambah ataupun manfaat secara ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan keuntungan bagi masyarakat daerah setempat.21 Dari hasil penelitian, disarankan perlu upaya atau peran strategis dari Pemda untuk ikut menjaga serta melindungi produk berindikasi geografis. Pemetaan atau inventarisasi data yang dilakukan oleh Pemda, secara tidak langsung juga akan meningkatkan kualitas dan aksesbilitas pelayanan HKI. Pemetaan atau inventarisasi data ini berfokus pada pendaftaran, pelindungan dan penegakan hukum, karena kondisi tiap-tiap daerah tidaklah sama. Kepekaan dari masyarakat dan stakeholders untuk berupaya dan berpartisipasi melakukan inventarisasi atau pemetaan terhadap produk unggulan daerah yang berbasis indikasi geografis akan membantu Pemda dalam mengangkat dan memperkenalkan nama daerah kepada komunitas negara lain, selain untuk meningkatkan penghasilan dari masyarakat daerah. Indikasi geografis sebagai bagian dari HKI telah memberikan banyak pengaruh pada kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi khususnya dalam memberikan perhatian ekstra terhadap kemungkinan penyalahgunaan dari pihak lain yang tidak berhak. Kepentingan pemerintah dalam pelindungan indikasi geografis merupakan bagian internal sebagai otoritas publik, sehingga pengaturan dan kebutuhan terhadap pelindungan indikasi geografis harus benar-benar terwujud. 4. Penegakan Dan Pelindungan Norma Hukum serta Ketentuan Sanksi Pelanggaran Merek Dalam dunia perdagangan, merek berperan penting untuk kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan jaminan kualitas produk atau jasa, sehingga terhadapnya perlu pelindungan hukum terhadap objek, berkaitan 21
Winda Risma Yessiningrum, “Pelindungan Hukum Indikasi Goegrafis Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual”, Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan IUS, hal. 43.
dengan hak-hak perseorangan atau badan hukum. Dalam bidang hukum, khususnya penegakan hukum di bidang merek, dinilai masih belum memenuhi harapan banyak pihak. Terdapat beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, antara lain:
Pertama,
penentuan tindak pidana merek sebagai delik aduan. Di dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek telah ditentukan, bahwa tindak pidana dari Pasal 90 - Pasal 94 adalah delik pidana aduan. Padahal secara teori dalam delik pidana aduan itu unsur yang lebih besar adalah unsur pelanggaran bukan kejahatan. Jika tindak pidana merek ini delik aduan berarti aparat penegak hukum baru dapat memproses perkara setelah ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, khususnya pemegang merek terdaftar. Inilah yang dirasakan menjadi kendala, sementara berdasarkan hasil penelitian di lapangan,22 pemalsuan merek merupakan perbuatan melawan hukum, yang sangat merugikan masyarakat. Dikarenakan banyak merugikan masyarakat, maka sebaiknya dikembalikan menjadi delik biasa. Terlebih lagi terdapat kepentingan negara untuk ikut turut campur dalam mengawasi, mengontrol, dan memproses apabila terjadi tindak pidana di bidang merek..23 Dengan adanya delik aduan, dikhawatirkan dapat menyebabkan pelaku tindak pidana di bidang merek lolos dari pertanggungjawaban pidana, yang pada akhirnya tidak dipidana. Kedua, terkait korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang merek. Meski korporasi dapat dijatuhi pidana bila melakukan tindak pidana merek, tetapi juga perlu diatur sanksi pidana untuk korporasi, selain pengaturan sanksi kepada pengurus atau pemilik korporasi tersebut. Sesuai dengan karakteristik yang melekat pada korporasi, maka sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada korporasi adalah sanksi pidana pokok yang berupa pidana denda dan juga perlu diatur ancaman pidana tambahan yang berupa pengumuman putusan hakin dan pencabutan izin usaha. Untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik merek terdaftar yang sudah dirugikan, perlu secara tegas mencantumkan kapan masing-masing pertanggungjawaban perdata dan pidana dapat diberlakukan. Agar pemilik merek terdaftar dapat segera mendapatkan ganti kerugian. Untuk itu, perlu dibuka kemungkinan diterapkannya ketentuan Pasal 98 KUHAP yaitu Hasil wawancara penelitian kelompok “Penegakan dan Pelindungan Hukum di Bidang Merek”, Wawancara dengan Penyidik Polda Aceh, Provinsi Aceh, tanggal 12 April 2016. 23 Ibid. 22
tentang Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian. Dengan demikian pemilik merek terdaftar yang dirugikan tidak terlalu lama menunggu mendapatkan ganti kerugian yaitu pada saat terdakwa dijatuhi pidana atas kesalahannya melakukan tindak pidana di bidang merek, hakim juga menjatuhkan putusan tentang gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh pemilik merek terdaftar. Ketiga, terkait sanksi pidana. Pelanggaran dan pemalsuan merek masih marak terjadi. Oleh karena itu, agar pelanggar jera melakukan pelanggaran dan pemalsuan, maka sanksi pidana denda dan hukuman terhadap pelanggaran merek harus diperberat dengan mengacu pada prinsip-prinsip fundamental modern dikemukakan Gabriel Hallevy.24 Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius dikarenakan sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek terbukti tidak membuat pelaku pelanggaran jera melakukan pelanggaran pemalsuan merek, terutama yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, seperti pelanggaran merek di bidang obat-obatan, oli atau pelumas, suku cadang, kosmetik, garmen, dan lain-lain sangat merugikan pelaku usaha dan masyarakat, sehingga ketentuan mengenai sanksi pidana, baik hukuman denda maupun hukuman badan yang dapat diberlakukan terhadap pelanggar yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, harus diperberat dengan menggunakan prinsip fundamental seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Hallevy . D. Penutup Penegakan dan pelindungan hukum atas merek menjadi hal yang sangat penting, mengingat dalam dunia perdagangan, merek berperan penting untuk kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Meskipun merupakan jaminan kualitas suatu produk atau jasa namun sayangnya di lapangan masih terdapat banyak hal-hal yang menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Untuk itu perlu melakukan pembaharuan hukum terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
24
Eddy Damian, “Urgensi Pelindungan Merek Berdasarkan Undang-Undang Merek Baru di Indonesia”, disampaikan pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus RUU Merek, 8 September 2015.
Pembaharuan hukum yang dimaksud adalah melakukan revisi/penggantian Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dikarenakan adanya materi yang patut untuk dicermati oleh pemangku kepentingan: Pertama, dalam mengantisipasi aksesi Protokol Madrid maka Indonesia perlu segera merevisi/mengganti UndangUndang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dikarenakan di dalam materi UndangUndang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek belum mengatur mengenai pendaftaran merek secara internasional. Pengaturan pendaftaran merek secara internasional dinilai menjadi “jembatan” bagi produk lokal yang ingin mendaftarkan mereknya ke negara yang tergabung dalam Protokol Madrid. Sistem Protokol Madrid diharapkan dapat meningkatkan pemasukan negara dan makin tingginya reputasi negara dalam pergaulan internasional sesuai dengan tujuan Protokol Madrid. Kedua, dalam rangka melindungi indikasi geografis maka perlu segera merevisi/mengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pelindungan terhadap indikasi geografis dinilai masih rendah. Hal ini dipicu dengan belum adanya sosialisasi secara menyeluruh terkait indikasi geografis. Rendahnya tingkat pendaftaran indikasi geografis secara tidak langsung dinilai akan membuka ruang/celah timbulnya tindak pidana.
Ketiga, dalam rangka mengoptimalkan
penegakan dan pelindungan norma hukum serta sanksi, maka perlu untuk mengembalikan delik biasa ke dalam revisi/penggantian Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Delik aduan yang selama ini dilakukan aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat menyebabkan pelaku tindak pidana di bidang merek lolos dari pertanggungjawaban pidana, yang pada akhirnya tidak dipidana. Terakhir, perlu adanya sosialisasi secara menyeluruh yang tidak hanya ditujukan kepada instansi terkait namun juga masyarakat (dalam hal ini pelaku UKM). Peningkatan kesadaran bagi pelaku UKM melalui sosialisasi hak kekayaan intelektual serta pembinaan yang terkoordinasi antar instansi terkait menjadi hal yang sangat penting. Perlu juga dukungan fasilitas-fasilitas bagi pelaku UKM, baik berupa keringanan biaya pendaftaran, pembinaan dan pelatihan maupun pendampingan dalam melakukan pendaftaran merek.