POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal”Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 3 No. 4, Agustus 2014, h. 18-30) Abdul Rokhim1 Abstrak Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan, yakni; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Orientasi kebijakan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan adalah pemberian sanksi pidana diharapkan akan dapat menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggarnya. Kata Kunci: Politik Hukum Pidana; Penegakan Hukum; Kehutanan 1. Pendahuluan Istilah “politik” dalam bahasa Belanda “politiek” dan bahasa Inggris “policy” artinya siasat atau kebijakan. Hans Kelsen membagi konsep politik menjadi dua, yaitu (1) politik sebagai etik artinya memilih dan menentukan tujuan kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan, (2) politik sebagai teknik, artinya memilih dan menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut. Kemudian, pengertian “hukum” adalah seperangkat ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat.2 Politik dan hukum itu merupakan pasangan. Hukum pasti didasari oleh politik, karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi. Sebaliknya, politik baru mempunyai wujud bilamana sudah dirumuskan dalam bentuk hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, bilamana politik itu adalah lambang kekuasaan (macht) dan rumusan norma-norma itu dilambangkan dengan hukum (recht), maka hubungan antara keduanya itu adalah seperti yang dilukiskan dalam ungkapan “politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan bentuk pada politik” (machtbildende wirkung des recht, das rechtbildende wirkung des macht).3 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara politik dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dua bagian yang saling berkaitan dan saling mendukung. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan 1
Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Malang. 2 Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, h. 28. 3 Ibid.
1
baru dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik hukum membahas perubahan hukum yang berlaku untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat. Pendapat tersebut menggambarkan bahwa politik hukum merupakan suatu upaya penyesuaian aturan hukum terhadap perkembangan kehidupan masyarakat melalui perubahan-perubahan terhadap hukum. Aturan hukum yang ada tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga membutuhkan suatu aturan hukum baru yang sesuai, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan-perubahan terhadap hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), politik hukum bertugas meneliti perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan baru dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum dari ius constitutum (hukum positif) menuju ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Politik hukum tidaklah berhenti setelah dikeluarkannya undang-undang, tetapi justru di sinilah mulai timbul persoalan, baik yang sudah diperkirakan sejak semula atau masalah-masalah lain yang timbul dengan tidak diduga-duga. Tiap undang-undang memberikan jangka waktu yang lama untuk dapat memberikan kesimpulan seberapa jauh tujuan politik hukum undang-undang tersebut telah dicapai. Jika hasilnya sulit untuk dicapai, apakah perlu diadakan perubahan atau penyesuaian seperlunya. Kemudian dengan pertimbangan bahwa apalah artinya terbentuknya suatu undang-undang tanpa adanya aplikasi dan review. Dengan adanya aplikasi dan review tujuan dari pembuatan undang-undang itu akan dapat dicapai, karena politik hukum adalah suatu proses pencapaian tujuan masyarakat melalui undang-undang. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam politik hukum terdapat unsur-unsur, yaitu: (1) ada aturan hukum yang berlaku (ius constitutum); (2) ada perkembangan masyarakat yang tidak dapat diakomodir oleh ketentuan hukum yang ada; dan (3) ada hukum yang diharapkan atau yang dicita-citakan (ius constituendum), yaitu perubahan hukum yang diperlakukan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat tersebut. Persoalannya adalah penggunaan sarana hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, khususnya kebijakan kriminalisasi atau politik hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap praktik penebangan kayu secara liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan tanpa izin (illegal mining) yang dilakukan di kawasan hutan? 2. Konsep Politik Hukum Pidana Politik hukum pidana atau yang juga lazim disebut dengan istilah “kebijakan hukum pidana” (penal policy; criminal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
2
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.4 Penal Policy, menurut Marc Ancel, merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping komponen lain seperti criminology dan criminal law. Selanjutnya, Marc Ancel mengatakan: Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.5 Berdasarkan pendapat tersebut di atas, Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pada hakikatnya masalah politik atau kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dokmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya serta pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.6 Selanjutnya, menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7 Bertolak dari pendapat ini, politik hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, berarti “mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”.8 Dengan demikian, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Selanjutnya, menurut A. Mulder, pengertian politik hukum pidana (strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan: pertama, seberapa jauh ketentuanketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; kedua, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan ketiga, bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.9 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan 4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1996, h. 23 5 Ibid., h. 23-24 6 Ibid., h. 24 7 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 20 8 Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 27-28 9 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, h. 150
3
kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).10 Persoalan hukum yang tidak kalah pentingnya dalam membicarakan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana adalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada korporasi. Sebagai contoh, adanya kelemahan dalam kebijakan legislasi terhadap sanksi pidana korporasi, yaitu tidak adanya ketentuan khusus mengenai sanksi pidana bagi korporasi untuk delik yang hanya diancamkan dengan pidana penjara, dan tidak adanya aturan tentang pidana pengganti apabila denda tidak dibayar oleh korporasi. Kelemahan-kelemahan tersebut dalam rangka pembaharuan hukum pidana harus diperbaharui. Karena berbicara tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna, sesuai dengan keadaan pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.11 3. Beberapa Pendekatan dalam Penggunaan Hukum Pidana Mengenai masalah arah kebijakan pembangunan di bidang hukum, dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, antara lain ditegaskan bahwa: (1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum; (2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi; (3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia. Ada dua masalah sentral (central issues) dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), yakni masalah: (1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.12 Analisis terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk 10
Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 29 Dwidja Priyatno, op. cit., h. 153 12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, h. 11
160
4
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Berdasarkan pendekatan kebijakan tersebut, Sudarto berpendapat bahwa dalam rangka menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah “kriminalisasi” harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:13 a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yang mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan spiritual) atas warga masyarakat; c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle); d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasioanl pada tanggal 28-30 Agustus 1980 di Semarang, dalam laporannya poin 2.2 dikatakan: “Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka penyelenggaraan masyarakat”. Untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindakan kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:14 1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban? 2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai? 3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya? 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat? Mengingat sulitnya menentukan sesuatu perbuatan sebagai delik (tindak pidana) atau bukan delik sebagai akibat perubahan sosial dan pandangan yang berbeda-beda di 13 14
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 44 Dwidja Priyatno, op. cit., h. 155-156
5
antara golongan atau suku bangsa Indonesia, maka untuk menyatakan kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan perlu diidentifikasi dan dinventarisasi bentuk-bentuk perbuatan yang dianggap delik atau bukan delik. Dalam hal ini perlu diperhatikan kecenderungan mengkriminalisasikan dan mendekriminalisasikan suatu perbuatan sebagai akibat kemajuan teknologi dan perubahan sosial.15 Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk:16 1. The proportionality of the means used in relationship to the outcome obtained (keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai); 2. The cost analysis of the outcome in relationship to the objectives sought (analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari); 3. The appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the allocation of resources of human power (penilaian terhadap tujuan-tujuan yang dicari dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumbersumber tenaga manusia); 4. The social impact of criminalization and decriminalization in term of its secondary effects (pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh sekunder). Proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem hukum pidana mengakibatkan timbulnya: (1) krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over-criminalization); dan (2) krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law). Krisis pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatanperbuatan yang dikriminalisasikan, dan krisis kedua mengenai pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.17 Pendekatan kebijakan seperti yang dikemukakan di atas merupakan pendekatan yang rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan metode-metode rasional. Menurut G.P. Hoefnagels, suatu politik kriminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Di samping itu, konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.18 Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena dalam melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal 15
Ibid. M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis, USA, 1978, h. 82 17 Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 36-37 18 Dwidja Priyatno, op. cit., h. 158 16
6
dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti untuk memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benarbenar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi, diperlukan pula pendekatan yang fungsional, dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional. Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk perlindungan masyarakat (social defence). Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, sebagaimana dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai berikut: Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat (social defence), maka tugas selanjutnya adalah mengembangkan serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderiataan bagi individu. Dalam tugas yang demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebabsebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.19 Mengacu pada pernyataan J. Andenaes tersebut di atas, jelaslah bahwa pendekatan kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomi. Dengan pendekatan ekonomi di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri. Sehubungan dengan itu, Ted Honderich berpendapat bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical detterents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:20 a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah; b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach). Antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Kebijakan kriminal tidak dapat sama sekali dilepaskan dari masalah nilai, karena seperti dikatakan oleh Christiansen: “the conception of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any society”.21 Terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan 19
Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 38 Ibid., h. 39 21 Ibid., h. 41-42 20
7
membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini mengingat pada hakikatnya kejahatan itu merupakan masalah pelanggaran terhadap kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan pergaulan hidup bermasyarakat. 4. Kebijakan Kriminalisasi dalam Penegakan Hukum di Bidang Kehutanan Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.22 Pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari “hukuman” yang menurut Sudarto ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.23 Hukum merupakan sarana perlindungan, agar kelestarian kemampuan yang dimiliki oleh hutan dapat tetap terjaga maka hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan. Menurut Sudikno Mertokusumo, pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara setiap hari yang tidak disadarinya dan juga oleh aparat negara, seperti misalnya polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas. Di samping itu, pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum (law enforcement).24 Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam menegakkan hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian hukum (rechtsicherkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi pencari keadilan (yustisiabel) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Penegakan hukum harus dilaksanakan, “meskipun dunia ini akan runtuh” (fiat justitia et pareat mundus). Sebaliknya, masyarakat mengharapkan manfaat dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Demikian juga keadilan adalah hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yang harus dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. 25 Ada tiga aliran atau teori dalam ilmu pengetahuan pidana yang memberikan dasar bagi penjatuhan pidana oleh penguasa atau wewenang penguasa untuk menjatuhkan pidana, yaitu:26 22
149.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.
23
Ibid., h. 2. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, h. 36. 25 Sudikno Mertokusumo (1999), Op. Cit., h. 145-146. 26 Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, h. 7-12; Lihat juga Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 10-24. 24
8
a. Teori absolut atau “vergeldings theorie” yang mempunyai ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar pemidanaan adalah sifat “pembalasan” (vergelding atau vergeltung). Di antara penganut teori ini adalah Immanuel Kant yang memandang pidana sebagai “kategorische imperatief” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, dan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Menurut Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ini adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.27 Aliran ini berpendapat bahwa pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah terjadi suatu kejahatan yang telah menggoncangkan masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang menimbulkan penderitaan anggota masyarakat lainnya, sehingga untuk mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu terdiri dari pidana (nestapa) terhadap pelakunya. b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorie). Menurut teori ini, pidana dijatuhkan bukan “karena orang membuat kejahatan” (quia peccatum est), melainkan “supaya orang jangan melakukan kejahatan” (ne peccetur). Salah seorang penganut teori ini adalah Seneca yang terkenal dengan ucapannya “nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur”, atau “no reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong-doing” (tidak seorang normal-pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat). Johanes Andenaes menyebut teori ini sebagai teori pelindung masyarakat.28 Aliran ini menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, yaitu:29 1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de maatschappelijke orde); 2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad onstane maatschappelijke nadeel); 3) Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader); 4) Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5) Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoming van de misdaad). c. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:30 1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakannya.
27
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 11. Ibid., h. 16. 29 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 12. 30 Ibid., h. 11-12. 28
9
2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan. Dalam konteks tindak pidana kehutanan, urgensi perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan, termasuk kejahatan penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di kawasan hutan tanpa izin (illegal mining), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan masyarakat secara nasional. Nampaknya teori gabungan sebagaimana tersebut di atas relevan sebagai dasar pelaksanaan pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan, mengingat pertimbangan-pertimbangan kelemahan dari kedua teori lainnya. Orientasi kebijakan pidana dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana ditegaskan dalam paragrap 18 Penjelasan Umumnya adalah bahwa pemberian sanksi pidana dan administrasi yang berat diharapkan akan dapat menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Hal ini berarti bahwa Undang-undang Kehutanan pada dasarnya menganut tujuan pemidanaan berdasarkan teori relatif, yaitu: a) algemene atau generale preventie, yaitu pencegahan yang ditujukan secara umum kepada masyarakat, sehingga dengan demikian sifat pencegahannya bersifat umum; dan b) bijzondere atau speciale preventie yaitu pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri (pencegahan khusus)”.31 Menurut pandangan ini, tujuan pemidanaan adalah untuk menakut-nakuti orang banyak dan si penjahat sendiri dengan memberikan sanksi yang berat, sehingga dengan penerapan sanksi yang berat itu baik pelaku maupun orang lain akan jera melakukan perbuatan yang dimaksud. Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan ini tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia, menurut Silalahi, mencakup penaatan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.32 Selanjutnya, menurut Jaro Mayda, sanksi pidana dalam proteksi lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium (sebagai senjata terakhir), akhir dari suatu mata rantai dengan maksud untuk menghapuskan akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup.33 Artinya, bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi lainnya, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata.
31
Ibid., h. 9. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, h. 215. 33 Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, h. 109. 32
10
Fungsi sanksi pidana dalam hukum lingkungan termasuk kehutanan, menurut Rangkuti telah berubah dari ultimatum remedium menjadi instrumen penegakan hukum yang bersifat premium remedium.34 Lebih lanjut dikatakan bahwa ketentuan tentang sanksi pidana dalam undang-undang lingkungan hidup tentang tugas pemerintah menggariskan kebijakan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Artinya, ada keseimbangan antara pemanfaatan maupun perlindungan terhadap hutan yang terintegrasi dalam satu konsep pembangunan. Dengan demikian, perusak hutan perlu diberi penyuluhan, bimbingan serta insentif dan disinsentif, sehingga benar-benar menyadari kewajibannya dan bagi yang sengaja dan alpa mentaati ketentuan itu, dikenakan sanksi sebagai tindak lanjut. Terkait dengan perkembangan hukum pidana lingkungan, yang menurut Koeswadji telah ditandai dengan lahirnya aliran modern pada abad ke-19 yang hakikatnya mendasarkan ajarannya pada:35 (1) Tujuan utama hukum pidana adalah perjuangan melawan kejahatan, karena kejahatan dianggap sebagai gejala masyarakat; (2) Ilmu pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus memperhitungkan hasil studi yang diadakan oleh antropologi, sosiologi dan ekonomi; (3) Hukum pidana hanya merupakan salah satu penyelesaian yang ditentukan oleh negara dalam memerangi kejahatan. Pidana bukan merupakan satusatunya sarana untuk memberantasnya, oleh karena itu pidana harus dijatuhkan dalam kombinasinya dengan peraturan-peraturan kemasyarakatan sosial lainnya (maatregel, treatment), terutama yang bersifat preventif.” Selanjutnya, menurut Koesnadi Hardjasumantri, penyidikan serta pelaksanaan sanksi administrasi atau sanksi pidana merupakan bagian akhir (sluitstuk) dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan pelaksanaan peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan. Hal ini sesuai dengan teori relatif tentang tujuan pemidanaan yaitu ada upaya perbaikan bagi pelaku, dan yang terutama adalah bagaimana mengembalikan kerusakan hutan ke dalam kondisi semula.36 Mengacu pada pendapat tersebut di atas maka dapatlah diketahui pentingnya kedudukan hukum pidana dalam fungsinya sebagai “penegak” atau “penguat” sanksi di antara beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan dalam konteks perlindungan terhadap hutan. Penegakan hukum pidana sebagai ultimatum remedium adalah upaya untuk menjaga kelestarian fungsi hutan. Pengoptimalan penggunaan pidana dalam bidang lingkungan
34
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, h. 323-324. 35 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, h. 85. 36 Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 376.
11
hidup pada umumnya dan kehutanan khususnya sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana. Mengingat penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan, termasuk bidang kehutanan, bersifat istimewa, dalam arti sifat hukum kehutanan yang sangat istimewa karena menyangkut aspek perlindungan hutan untuk pendayagunaan sumber daya alam menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development), untuk pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup, adanya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan, sehingga perusakan hutan yang berarti perusakan terhadap lingkungan dapat berakibat pada terganggunya daya dukung lingkungan yang memerlukan beban atau biaya sosial yang tinggi untuk pemulihannya. Oleh karena itu, sanksi pidana sangat diperlukan sebagai “senjata terakhir” (ultimum remedium) dalam penegakan hukum kehutanan. Implikasi dari perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, seperti halnya praktik penebangan liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan di kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin (illegal mining), bukan hanya penegakan hukum dalam upaya preventif saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan tetapi upaya represif dalam bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. Ketentuan pidana kehutanan sebagai lex specialis (hukum kekhususan) atau pengecualian dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 maupun peraturan perundang-undangan lain sebagai lex generali (ketentuan umum) seperti Kitab Undang-undang Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun ketentuan hukum pidana lainnya yang terkait tidak dapat mengakomodasi perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, sehingga diperlukan politik hukum pidana untuk memenuhi kebutuhan perkembangan kejahatan tersebut. Peraturan pidana yang dibuat pada suatu masa tentu dimaksudkan agar sesuai dengan kebutuhan akan penegakannya pada masa itu, akan tetapi ketika kejahatan itu sendiri telah berkembang, maka peraturan pidana itu tidak lagi sesuai dengan kebutuhan penegakannya seiring dengan perkembangan masa dan perkembangan kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi pada masa sekarang. Ketika praktik-praktik penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di kawasan hutan tanpa izin (illegal mining) berkembang sedemikian rupa, sementara peraturan pidana yang dapat diterapkan untuk kejahatan itu tidak lagi dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak efektif lagi, maka di sinilah dibutuhkan suatu politik hukum pidana agar kejahatan illegal logging dan illegal mining dapat ditanggulangi dengan peraturan pidana yang telah diubah atau disesuaikan dengan kebutuhan dalam rangka penegakan hukum pidana tersebut. Kejahatan sebagai “a human and social problem” menurut Ancel, tidak begitu saja mudah dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam suatu perumusan suatu peraturan undangundang.37 Ini tidak berarti bahwa hakim pidana tidak memutus berdasar undang-undang dan harus menolak pidana. Digunakannya hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum di 37
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 155.
12
Indonesia tidak lagi dipersoalkan. Yang menjadi masalah adalah garis-garis kebijakan atau pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana itu? Dalam hubungan ini, Muladi dan Arief mengatakan: Tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya “kebahagiaan warga masyarakat/penduduk” (happiness of the citizens); “kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equality).38 Kejahatan penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan liar (illegal mining) di kawasan hutan yang semakin berkembang dan semakin rumit untuk diberantas saat ini dapat juga dikaji dari aspek aturan pidana yang ada terutama dalam pasal 50 dan 75 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai lex specialis dari kejahatan di bidang kehutanan. Pemerintah sampai saat ini bahkan dinilai tidak mampu untuk memberantas tindak pidana di bidang kehutanan tersebut. Pemerintah sejauh ini hanya melontarkan gagasan untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) maupun perdagangan kayu liar (illegal trading), tetapi tidak mempunyai konsep apalagi strategi konkrit untuk memberantas penebangan liar.39 Terlepas dari aspek moralitas dalam sistem penegakan hukum maka perlu dikaji peraturan perundang-undangan, khususnya aspek pidana terhadap kejahatan illegal logging dan illegal mining di kawasan hutan. Terkait dengan hal tersebut maka dipandang perlu adanya suatu perubahan-perubahan terhadap konsep pidana dalam rangka memenuhi atau mengakomodasi perkembangan unsur-unsur kejahatan illegal logging dan illegal mining sesuai dengan kebutuhan dalam rangka penanggulangan kejahatan tersebut. 5. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan, baik illegal logging maupun illegal mining, tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini mengingat hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Sanksi pidana dalam perlindungan lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium (senjata pamungkas), artinya bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi lainnya seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata. Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka penyelesaian terhadap suatu kasus yang diduga melanggar ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, misalnya kasus izin pertambangan batubara di kawasan kehutanan, terlebih dahulu harus diselesaikan secara administratif dengan cara mengajukan gugatan terhadap keabsahan terhadap izin tersebut di pengadilan tata usaha negara. Dengan perkataan lain, seorang atau badan hukum perdata yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan izin tidak bisa begitu saja dipidanakan oleh penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dengan dalih izinnya melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa terlebih dahulu 38 39
Ibid., h. 158. Kompas, 31-1-2004.
13
mengajukan gugatan pembatalan kepada pengadilan tata usaha negara. Penegakan hukum yang dilakukan dengan cara melanggar hukum termasuk dalam kategori melakukan tindakan sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang (kekuasaan). 6. Rekomendasi Mengingat izin merupakan keputusan dari organ atau pejabat tata usaha negara yang (semestinya) dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka keabsahan dari sebuah izin antara lain ditentukan oleh kewenangan dari organ atau pejabat yang menerbitkannya. Apabila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan terkait izin tersebut atau instansi penegak hukum yang mendalihkan bahwa izin tersebut melanggar peraturan perundang-undangan, maka hendaknya mereka mengajukan keberatan terlebih dahulu kepada organ atau pejabat yang menerbitkannya atau mengajukan gugatan pembatalan terhadap keabsahan izin tersebut kepada pengadilan tata usaha negara. Khusus bagi penegak hukum, hendaknya tidak melakukan upaya kriminalisasi terhadap seseorang atau badan hukum yang melakukan aktivitas usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, sebelum ada pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang berdasarkan keberatan pihak ketiga yang merasa dirugikan atau sebelum ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa izin tersebut tidak sah atau batal karena melanggar Undang-undang Kehutanan misalnya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1996 Cherif Bassiouni, M., Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis, USA, 1978 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993 ---------, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995 Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2000 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981 ---------, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996 Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005 Kompas, 31-1-2004.
15
16
17