Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Nurmaliawaty Abstract : An effort in order to solve the criminal with penal code is one of law reinforcements. The law reinforcement meant has policy which consists of three phases. Such policy contains three power/authority i.e legislative/formulative power to establish or formulata acts to be punished; judicative/apiplicative to implement penal code; and executive/ administrative power to carry penal code. In reinforcing penal code, peticulary in misusing drugs and dangerous medicine final some abstacles, etheir from law settings or law settings or law reinforcings. Kata Kunci : Penegakan, Hukum Pidana, Narkoba Salah satu persoalan saat ini yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak adalah penanggulangan penyalahgunaan Narkoba (Narkotika dan Obat-obat Berbahaya). Persoalan Narkoba menjadi persoalan Nasional bahkan Internasional karena akibat dan dampak yang ditimbulkan telah meluas ke selunih negara. Secara Nasional perdagangan Narkoba telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan masyarakat atas sampai masyarakat bawah. Tidak hanya di perkotaan bahkan ke desa-desa paling pelosokpun telah dirambah jaringan Narkoba. Bukan hanya menyebar untuk kalangan dewasa tetapi juga bagi kalangan pendidikan, mulai tingkat mahasiswa, SMU dan SD. Menyadari bahwa ancaman bahaya yang ditimbulkan akibat dari penyalahgunaan Narboka yang semakin meresahkan masyarakat, maka perlu dilakukan upaya penanggulangan dengan menggunakan kebijakan kriminal. Salah satu kebijakan kriminal (criminal policy) adalah dengan menggunakan sarana Hukum Pidana (penal). Terhadap penyalahgunaan Narkoba kebijakan Hukum Pidana ini tertuang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undangundang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Kebijakan penal yang tertuang dalam kedua Undangundang itu antara lain diidentifikasikan secara umum misahiya, dalam kebijakan kriminalisasi menentukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana, menentukan subjek tindak pidana, dan kebijakan sanksi pidana dan pemidanaan. Kebijakan kriminal oleh Sudarto dikemukakan dalam tiga arti, yaitu Pertama, dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi tehadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, kedua, dalam arti luas, ialah keseharuhan fimgsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cam kerja dari pengadilan dan polisi, dan ketiga, dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-baan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norms sentral dari masyarakat (Arief. 1996). Dari pandangan juridis kedua Undang-undang tersebut di atas memiliki beberapa kelemahan misalnya tidak menyebutkan berapa jumlah Narkobanya ini berpengaruh pada vonis hakim, pemilik satu kilo dengan satu ons bisa sama hukumannya Kemudian ancaman hukuman perkara Narkoba tidak ditentukan ancaman maksimum tetapi ditentukan ancaman minimumnya. Karena tanpa adanya ancaman minimumnya hukuman satu haripun sudah dianggap sebagai hukuman. Khusus terhadap korban Narkoba yang dihukum rehabilitasi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang hingga saat ini hampir tidak
77
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
ada hakim yang tidak berani memutus seperti itu. Kelemahan lain, pada saat vonis mati dijatuhkan untuk pengedar narkoba namun vonis itu tidak bisa dilaksanakan karena masih ada upaya hukum banding dan kasasi. Khusus untuk kasus-kasus Narkoba apalagi terhadap pelakunya semestinya tidak perlu ada upaya hukum banding dan kasasi, walaupun upaya hukum ini merupakan hak terdakwa yang diatur oleh Undang-undang. Hal ini sangat penting untuk mempercepat pemberantasan Narkoba yang pengaruhnya dapat membahayakan generasi bangsa dan negara ini. Maka oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui bagaimana penegakan Hukum Pidana bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba dan apakah penegakan Hukum Pidana sudah efektif dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, dan garis kebijakan atau pendekatan bagaimana yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan Hukum Pidana. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Narkoba. Berkaitan dengan kebijakan kriminal, "kebijakan" dalam Bahasa Inggris disebut “policy” atau dalam Bahasa Belanda disebut “politiek”, maka istilah "kebijakan hukum pidana" disebut juga dengan "politik hukum pidana". Dalam pengertian lain dikenal juga dengan `penal policy", "criminal law policy" atau "strafrechtpolitiek". Menurut Sudarto, politik hukum adalah sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situast pada suatu scat dan kebijakan dan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selanjutnya dikatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai basil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Disamping itu juga usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Menurut A. Mulder, strafechtpolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana dan cars bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanakan pidana harus dilaksanakan (Arief. 1996). Kebijakan kriminalisasi dari Undang-undang Narkoba tidak terlepas dari tujuan dibuatnya Undang-undang tersebut, terutama tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika. Bila dilihat penggunaan kebijakan penal ini melalui sistem peradilan kebijakan pidana yang dinimuskan adalah sebagai berikut : pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, kedua, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana, dan ketiga, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan (Reksodiputro. 1994). Dalam menggunakan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ada 2 masalah pokok, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana antara lain,
78
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 79 : menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman), dalam Pasal 80 : memproduksi, mengolah, mengekstasi, mengkonvensi, merakit, atau menyediakan narkotika, dalam Pasal 81 membawa, mengirim, mengangkut, mentransito, narkotika tanpa hak dan melawan hukum, dalam Pasal 82 : mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum, dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 : percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana, dalam Pasal 84 : tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, dalam Pasal 86 : orang tua/wali pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak lapor, dalam Pasal 88 : pecandu sudah cukup umur atau keluarganya (orang tua/wali) yang sengaja tidak lapor, dalam Pasal 87: menggunakan anak belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika, dalam Pasal 89 : pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan Pasal 42, yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan narkotika dan mempublikasikan narkotika di luar media cetak ilmiah kedokteran/farmasi, dalam Pasal 92 menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan, dalam Pasal 93 : nakhoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25, antara lain tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada Kepala Kantor Pabean setempat, dalam Pasal 94 : penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71, antara lain tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan, tidak memberitahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan, dalam Pasal 95 : saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan, dan dalam Pasal 97 : melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana antara lain, dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 63 : perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang, dalam Pasal 64 : perbuatan menghalangi upaya pengobatan/perawatan penderita dan menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin, dalam Pasal 65 perbuatan tidak melapor adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika secara tidak sah, dalam Pasal 66 : mengungkapkan identitas pelapor dalam perkara psikotropika, dalam Pasal 69 : percobaan/perbantuan, dalam Pasal 71 : permufakatan jahat melakukan tindak pidana psikotropika, dan dalam Pasal 72 : menggunakan anak belum 18 (delapan betas) tahun dalam melakukan tindak pidana psikotropika. Kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya dapat berupa pidana pokok, yaitu : pidana mati, pidana penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, pidana kurungan dan denda. Sedangkan pidana tambahan yaitu pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu dan tindakan pengusiran bagi warga negara asing. Beberapa hal kebijakan pidana tentang sanksi dalam kedua Undang-undang tersebut adalah, sanksi pidana pada umumnya diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda), untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda), dan adanya pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi,
79
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
menggunakan anak belum cukup umur, dan dilakukan dengan pengulangan (recidive). Masalah ancaman minimal khusus baik dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 hanya terdapat dalam delik-delik/pasal tertentu saja. Kebijakan mencantumkan ancaman pidana minimal khusus merupakan penyimpangan dari sistem KUHP. Dalam merumuskan ancaman pidana, KUHP menganut sistem maksimal. Oleh karena itu, aturan/sistem pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada sistem maksimal, tidak ada aturan/sistem pemidanaan untuk menerapkan sistem minimal khusus. Penerapan Hukum Pidana dalam Praktik. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Hal ini diperluas oleh pendapat dari Herbert L. Paker dalam bukunya "The Limits of The Criminal Sanction", yang intinya mengatakan : Pertama, sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekrang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana, kedna, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya, dan ketika, sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin utama, dan suatu ketika merupakan pengancam utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat, hemat dan secara manusia. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (Muladi. 1992). Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Bahkan hampir semua produk perundang-undangan hampir selalu dicantumkan subbab tentang ketentuan pidana. Hukum pidana hampir selalu digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang. Fenomena legislatif dikaji dari sudut kebijakan hukum pidana khusus dilihat dari batas-batas kemampuan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan telah banyak diungkapkan oleh para sarjana antara lain, Schultz mengatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau fungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat. Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangat sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari "general deterence" karena mekanisme pencegahan itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Disamping itu, sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian si pelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan jumlah lamanya pidana. Karl 0. Christiansen mengatakan khususnya mengenai pengaruh dari pidana penjara, kita mengetahui pengaruhnya terhadap si pelanggar, tetapi pengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan (general prevention) merupakan suatu wilayah yang tidak diketahui /unknown territory (Arief. 1998). Dari uraian diatas dapat diidentifikasi sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan antara lain pertama sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana, kedua, hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial
80
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks, ketiga, penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya berupa penanggulangan suatu gejala-gejala, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif, keempat, sanksi pidana merupakan ultimwn remedium yang mengandung sifat kontradiktif dan mumgandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif, kelima, keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif, dan keenam, bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. Penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu, kekuasaan legislatif/formulatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan, kekuasaan judikatif/aplikatif dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana. Sehubungan ketiga hal tersebut diatas, bahwa penjatuhan pidana tidak hanya dilihat dalam arti sempit/formal yang berarti kewenangan menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim), tapi harus dilihat juga dalam arti luas/material, yang merupakan suatu mats rantai proses tindakan hukum dari pejmerupakan kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana, cars pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Untuk hal ini hakim bergerak antara minimum pidana yang umum yang berlaku untuk semua delik, maksimum pidana yang khusus untuk setiap delik. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana "menurut seleranya sendiri" tanpa ukuran tertentu. KUHPidana tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, yaitu suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana, misalnya mengenai pengurangan pidana dan pemberatan pidana. Dalam konsep KUHP yang baru, pedoman pemidanaan telah diatur dalam satu pasal yang menyatakan dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan kesalahan pembuat, motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan Narkoba diambil beberapa kasus yang terdapat pada Pengadilan Negeri Langkat berkaitan dengan Pasal yang didakwakan dari Undangundang Nomor 22 Tahun 1997. Terhadap pelanggaran Pasal 78 (1) b divonis penjara 11 tahun, denda 5 juta rupiah (subsider kurungan 5 bulan), dan barang bukti 10 kg ganja. Terhadap pelanggaran pasal yang sama divonis penjara 6 tahun, denda 500 ribu rupiah (subsider kurungan 3 bulan) barang bukti 6 kg ganja. Terhadap pelanggaran Pasal 81 (1) a divonis penjara 10 tahun, denda 5 juta rupiah (subsider kurungan 6 bulan), barang bukti 15 kg ganja. Dan kasus yang sama divonis penjara 4 tahun, denda 500 ribu rupiah (subsider kurungan 2 bulan), barang bukti 3 kg ganja. Terhadap pelanggaran Pasal 85 (1) divonis I tahun 6 bulan penjara, denda 500 ribu rupiah (subsider kurangan 3 bulan), barang bukti I linting daun ganja. Dalam kasus yang sama divonis 8 bulan penjara, tanpa denda, barang bukti 0,5 kg ganja. Kasus diatas dapat diketahui bahwa di Pengadilan Negeri Stabat banyak terdapat penyalahgunaan Narkoba, khususnya pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997. Pasal-pasal yang selalu menjadi dakwaan terhadap para pelaku antara lain
81
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Pasal 81 (1) a : membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito yang diancam pidananya 15 tahun dan denda 750 juta rupiah, Pasal 82 (1) a : mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual-membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar (ganja) yang ancaman hukumnya pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah, Pasal 78 (1) b : memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai (ganja) bukan tanaman, ancaman pidananya pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda 500 juta rupiah dan Pasal 85 (1)menggunakan Narkotika Golongan I, II, III bagi diri sendiri masingmasing 4 tahun, 2 tahun dan I tahun. Pasal lain yang menjadi dakwaan jaksa pada kasus-kasus penyalahgunaan Narkoba adalah Pasal 83 : percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana (ganja) sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79, 80, 81 dan 82, ancaman pidana yang sama sesuai dengan pasal-pasal tersebut, dan Pasal 84 : menggunakan narkotika (ganja) terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 750 juta rupiah. Putusan-putusan yang dijatuhkan hakim atas kasus-kasus penyalahgunaan narkotika tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu : pertama, hakim memutus perkara tersebut berdasarkan dakwaan jaksa, pada umumnya putusan tersebut di bawah/dikurangi dari dakwaandakwaan yang sebenarnya, kedua, dalam kasus-kasus tersebut, baik dakwaan jaksa, maupun dalam pemberian pidana kepada pelaku masih jauh dari ancaman hukuman sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal dakwaan, terutama terhadap pidana denda. Dengan perumusan komulasi yang paling banyak antara pidana penjara dan denda yang cukup besar (ratusan juta dan miliaran rupiah), hal ini dikhawatirkan tidak efektif dan dapat menimbulkan masalah, karena ada ketentuan bahwa apabila denda tidak dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan yang paling tinggi 6 - 8 bulan, ketiga, terjadi apa yang dinamakan disparitas pidana yaitu penerapan pidana oleh hakim yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama. Seperti kasus diatas, terhadap pelanggaran pasal yang sama terdapat perbedaan putusan yang berbeda, bahkan perbedaan itu sangat jauh. Bila disparitas pidana ini sering terjadi, hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, lebih-lebih di terpidana terhadap hakim dan hukum yang berlaku. Ini juga akan berpengaruh terhadap tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Bila disparitas ini terus berlangsumg, dikhawatirkan akan timbulnya demoralisasi dan sikap-rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi hukuman yang lebih berat dari yang lain di dalam kasus yang sama. Bila pada awalnya tujuan pemberian pidana adalah untuk mencegah orang tidak melakukan pelanggaran/kejahatan, maka tujuan seperti ini mungkin tidak akan tercapai, dan keempat, disamping itu tethadap putusan hakim yang sangat ringan dari ancaman yang semestinya, hal ini juga menjadi masalah. Orang tidak akan takut lagi melakukan penyalahgunaan Narkoba, karena pidana yang dijatuhkan terlalu ringan. Hal ini tentu menjadi pemikiran yang serius bagi semua kalangan masyarakat. Suatu hal lagi yang menjadi perhatian kita semua, bahwa tahap ketiga dari perwujudan kebijakan pidana ini yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi, kenyataan sampai saat ini, kepada terpidana yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Tangerang, belum ada satupun dari mereka yang berakhir dengan eksekusi. Semua terdakwa yang dinyatakan bersalah mengajukan permohonan banding, kasasi dan PK (Peninjauan Kembali). Upaya-upaya hukum ini mereka lakukan dengan harapan hukuman bisa diringankan. Berkaitan dengan penjatuhan pidana yang pada hakekatnya
82
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana yang melalui beberapa tahap/proses, sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral, maka bila hukum pidana hendak digunakan harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. Upaya yang rasional untuk menanggulangi penyalahgunaan Narkoba tidak hanya dengan .menggunakan sarana penal, tetapi juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha non penal ini meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, dengan tujuan memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap penyalahgunaan Narkoba. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan harus diintensiflcan serta diefektifkan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu, sehingga dapat menekan atau mengurangi faktor-faktor potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan penyalahgunaan narkoba. KESIMPULAN Upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan secara penal tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pelaksanaan/penegakan hukum pidana dalam kedua Undangundang tersebut masih ditemukan kendala-kendala baik dari perangkat hukumnya maupun penegak hukumnya. Eksistensi kedua Undangundang tersebut dalam praktek kurang diefektitkan, hal ini dapat dilihat dari putusanputusan hakim terhadap kasus-kasus penyalahgunaan Narkoba. Kebijakan penal yang baik ialah mengintegralkan kebijakan penal dan non penal dengan mengintegrasikan dan mengharmonisasikan internal kegiatan preventif yang non penal untuk tercapainya kesejahteraan sosial dan perlindungan masyarakat. Saran Dalam usaha penanggulangan petyalahgunaan narkoba, perlu mengefekti&an fungsionalisasi Undang-Undang No.5 Tahun 1997 dan Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dengan jalan memperbaharui kebijakan kriminal secara keseluruhan pada tiap-tiap tahapan dengan keterpaduan antara kebijakan pidana dan kebijakan sosial. Hendaknya semua masyarakat wajib ikut serta dan berperan aktif dalam proses penegakan hukum sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan kepada para penegak hukum tetap komitmen ikut bersama-sama bertindak dan berprilaku sebagai abdi masyarakat, abdi negara yang baik, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan/menegakkan hukum. DAFTAR PUSTAKA Arief,
Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
dan
Kebijakan
……………, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidww. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. ……………, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.
83
Zona Hukum
Vol. 10, No. 2, 2016
Bandung. Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju. Bandung. ……………, 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. ……………, 2001. Refornnasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mangy Maju. Bandung. Hamzah, Andi. 1997. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hermawan, Andi. 1999. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Koeswadji, Hermin Hadiati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Muladi, Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebyakan Pidana, Alumni. Bandung. Reksodiputro, Mardjono, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan. Buku Ketiga. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. UI. Jakarta. Saleh, Ruslan. 1992. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.
84