SANKSI HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Muhammad Al Fikri NIM : 109043100001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDIPERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M
ABSTRAK Muhammad Al Fikri. NIM 109043100001. Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Penyalahguna Narkoba Dalam Pandangan Hukum Islam. Skripsi Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. ix + 78 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukuman mati yang terdapat dalam Fatwa MUI No. 53 Tahun 2014, MUI berpendapat bahwa kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara Indonesia selain terorisme dan korupsi. Ketiganya merupakan kejahatan luarbiasa yang harus dihadapi secara sangat serius dan dengan tindakan hukum yang luar biasa juga. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal. Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang memberikan fatwa hukum Islam telah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya negara menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku penyalahguna narkoba yang kejahatannya sudah berulang kali, dengan tujuan agar memberikan efek jera bagi para pelaku prnyalahguna Narkoba. Penulis juga ingin mengetahui bagaimana metode Istinbath hukum dan keabsahan fatwa yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkn Hukuman Mati bagi penyalahguna narkoba, Mengingat hukuman mati itu sendiri masih menjadi pro dan kontra di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode studi dekomentasi naskah (studi pustaka). Adapun sifat pada penelitian ini adalah deskriptif, dan analisis data dilakukan secara deduktif dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil satu kesimpulan agar lebih jelas isi data yang digunakan dalam pembahasan bersamaan dengan pengumpulan data. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyarankan kepada pemerintah agar memberikan hukuman seberat-beratnya bagi Bandar, pengedar , produsen dan penyalahguna narkoba bahkan sampai kepada hukuman mati guna memberikan efek jera bagi para pelaku penyalahguna narkoba. Majelis Ulama Indonesiapun mendukung pemerintah Indonesia agar mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba. MUI juga berpendapat bahwa generasi Indonesia saat ini harus diselamatkan dari bahaya narkoba yang bisa merusak moral bangsa, Sehingga mereka sangat mendukung kebijakan pemerintah dalam menghukum mati bagi para penyalahguna narkoba. Kata kunci
: Hukuman Mati, Penyalahguna Narkoba dan Hukum Islam.
Pembimbing 1: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag Pembimbing 2: Dedy Nursamsi, SH, M.Hum Daftar Pustaka: Tahun 1984 s/d Tahun 2013
v
الرحيم ّ بسم اهلل الرمحن Kata Pengantar .إن احلمد هلل حنمده ونستعينو ونستغفره ونعوذ باهلل من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده اهلل فالمضل لو ومن يضلل فال ىادي لو . أما بعد. وأشهد أن حممدا عبده ورسولو.أشهد أن ال إلو إال اهلل وحده ال شريك لو
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya serta kepada seluruh ummatnya yang mudah-mudahan mendapatkan syafaat pada hari kiamat nanti, amin. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada program studi perbandingan mazhab dan hukum. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dari itu penyusun haturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ayahanda Bapak H.Habuddin dan Ibunda tercinta Hj.Hafsoh yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayangnya dan yang paling terpenting adalah doa dari mereka sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta 3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M,Si ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan pemikirannya layaknya orang tua kami. 4. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan pembimbing akademik
5. Bapak Dr. H. Muhammad taufiki, M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi, SH, M.Hum dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu dan kesempatan serta nasehat kepada kami 6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali ilmu kepada penulis selama perkuliahan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini 7. Seluruh guru-guruku yang ada di pondok pesantren Al- Awwabin Depok 8. Seluruh teman-teman seperjuangan jurusan perbandingan mazhab fikih, yang selalu memberikan kebahagiaan dalam canda dan tawa ketika di kelas. 9. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berupaya semaksimal mungkin agar dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan dan kehilafan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini dikarenakan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu Sumbang saran dan kritik juga saya butuhkan demi perbaikan pada skripsi saya. Terakhir saya berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan menjadi amal ysng sholeh sehinga skripsi ini dapat bermanfaat untuk ummat. Akhirnya saya ucapkan banyak terimakasih.
Jakarta, 04 Mei 2016
Penulis
Daftar Isi LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………………....
iv
ABSTRAK …………………………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….....
vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… ix
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………..................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………….
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………
13
D. Metode Penelitian ……………………………………………………. 13
BAB II
E. Review Pustaka ………………………………………………………
15
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………..
16
HUKUMAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF FIKIH JINAYAH……………...................................................................
18
A. Pengertian Pidana Hudud Perspektif Fiqih Jinayah ………………….
18
B. Tindak Pidana Kisas Dan Diyat ……………………………………..
19
C. Narkotika Dikiaskan Dengan Khamer………………………………... 20
BAB III
D. Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir Dalam Fikih Jinayah.....................
23
E. Tujuan Hukuman Ta’zir………………………………………………
28
FATWA
MAJELIS
ULAMA
INDONESIA
(MUI)
DALAM
MENETAPKAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA NARKOBA..............................................................................................
36
A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI …………….........................
36
1. Berdirinya MUI...............................................................................
36
2. Hubngan Dengan Pihak Eksternal..................................................
38
B. Sumber Dan Dalil Hukum Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 53 Tahun 2014 Dalam Menetapkan Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba……………………........................................
ix
40
1. Al-Qur’an.......................................................................................
40
2. Sunnah Rosulullah.........................................................................
42
C. Metode Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.53 Tahun2014…………………………..................................................... 44 1. Qaidah Fiqhiyyah............................................................................
44
2. Pendapat Para Ulama Atau Fuqoha...............................................
46
D. Tentang Keputusan MUI No.53 Tahun 2014 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba Komisi Fatwa Majelis Ulama (MUI) ...
51
BAB IV ANALISA PENULIS TERHADAP FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG SANKSI HUKUMAN MATI BAGI PENYALAHGUNA NARKOBA.............................................................
55
A. Analisa Penulis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 55 Tentang Sanksi Hukuman Mati Bagi Penyalahguna Narkoba ......... B. Keabsahan Hasil Istinbath Hukum Fatwa MUI Dalam Menetapkan
BAB V
Fatwa………………………………………………………………...
79
PENUTUP ………………………………………………………………
81
A. Kesimpulan…………………………………………………………..
81
B. Saran ………………………………………………………………...
83
ix
1
BAB 1 SANKSI HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obatan terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan narkotika dan obat-obatan terlarang, misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotik dan tempat pelacuran. Mencermati perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba akhir-akhir ini, telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan, sehingga menjadi persoalan kenegaraan yang mendesak. Karena penyalahgunaan narkoba bukan hanya orang dewasa, mahasiswa tetapi juga pelajar SMU sampai pelajar setingkat SD. Dikatakan, remaja merupakan golongan yang rentan terhadap penyalahgunaan narkoba karena selain memiliki sifat dinamis, energik, selalu ingin tahu. Mereka juga mudah tergoda dan putus asa sehingga mudah jatuh pada masalah penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba tahun anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. Jadi, ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10-59 tahun masih atau pernah
2
pakai narkoba pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015 Dampak penanganan permasalahan narkoba di Indonesia khususnya dalam “Program Indonesia Bebas Narkoba 2015” menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil menahan laju penyalahgunaan narkoba di bawah 2,8% di akhir tahun 2015 yaitu 2,2% (hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI tahun 2015) Khusus capaian Indonesia dalam penanganan permasalahan Narkoba di tahun pertama (2015) RPJMN 2015-2019 telah menunjukkan keberhasilan menahan laju penyalahgunaan narkoba di bawah 0,05% yaitu 0,02% (2,18%/2014 –2,20%/2015).1 Meskipun menunjukkan keberhasilan dalam menahan laju penyalahgunaan narkoba, Indonesia masih tetap harus waspada untuk melakukan P4GN yang signifikan secara komprehensif dan sinergi. Apabila hal ini tidak dilakukan maka laju penyalahgunaan narkoba akanlebih dari target yang telah ditetapkan dalam RPJMN. Sebagaimana telah diuraikan bahwa sudah banyak upaya pemerintah untuk memberantas penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, namun kasus-kasus tersangkut narkotika dan obat-obatan terlarang terus saja bermunculan. Jawabannya sangat sederhana yaitu bahwa unsur penggerak utama dari pelaku kejahatan di bidang narkotika dan obat-obatan terlarang adalah masalah keuntungan ekonomis.
1
http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/20160311/laporan_kinerja_bnn_2015-2016
3
Bisnis narkotika dan obat-obatan terlarang tumbuh menjadi salah satu bisnis yang paling favorit di dunia, sehingga tidak mengherankan apabila penjualan narkotika dan obat-obatan terlarang selalu meningkat setiap tahunnya yang berbanding hampir sama dengan pencucian uang dari bisnis narkotika dan obatobatan terlarang. Narkotika di dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2
Perdebatan tentang pidana mati di
Indonesia mengemuka menjadi diskursus sosial, terutama di bidang ilmu hukum, dengan adanya pengujian konstitusionalitas pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika3 serta pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati.4 Perkara pengujian ketentuan hukuman mati dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 diajukan oleh Edith Yunita 22
Istilah narkotika berasal dari bahasa yunani narkotikos, yang berarti"menggigil".Ditemukan pertama kali berasal dari subtansi-subtansi yang dapat membantu orang untuk tidur. Di amerika 2Istilah narkotika berasal dari bahasa yunani narkotikos, yang berarti "menggigil".Ditemukan pertama kali berasal dari subtansi-subtansi yang dapat membantu orang untuk tidur. Di amerika 3
Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007 4
Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.Putusan ini diucapkan dalam siding terbuka untuk umum pada 15 Oktober 2008.
4
Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan selaku para Pemohon I (Nomor Perkara: 2/PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush selaku Pemohon II (Nomor Perkara: 3/PUU-V/2007) kedua perkara tersebut oleh Mahkamah Konstitusi digabungkan dan disidangkan secara bersama-sama dengan Nomor Perkara: 2-3/PUU-V/20075 Kiranya perlu dikritisi bersama bahwa dalam hukuman mati bagi seorang Bandar6 tersebut sudahkah mempertimbangkan aspek-aspek lain yang juga tidak kalah penting sebagai penyeimbang dalam sebuah putusan hakim selain alasan yang telah dipaparkan di atas? Benarkah putusan tersebut telah sesuai dengan porsi kesalahan seorang bandar dan pengedar narkotika? Mengingat pidana mati itu sendiri masih terjadi pro dan kontra di Indonesia. Walaupun gerakan penghapusan pidana rnati sangat gencar dilakukan, masih banyak negara-negara yang rnengakui dan menerapkan pidana mati. Sejak tahun 1767 terdapat gerakan penghapusan hukuman mati. Sejak muncul gerakan abolisionis, banyak negara yang mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati. Di Inggris, misalnya, antara tahun 1823 sampai 1837 sebanyak 100 di antara 222 tindak pidana yang diancam hukuman mati dihapuskan. 5
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: KOMP AS, 2009), h. 1 6
Penggunaan istilah bandar di sini dengan merujuk pada Kamus Ilmiah popular memiliki makna berikut ini: 1. Kota pelabuhan, 2. Lapangan udara, 3. Kepala petjudian dan 4. Got, saluran limbah atau selokan.Dalam konteks penelitian ini, kata bandar merujuk pada makna ketiga, yakni kepala petjudian.Atau dalam korelasinya dengan narkotika, bandar narkotika adalah kepala bisnis narkotika. Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), hlm. 59
5
Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Asasi Manusia. Di Amerika misalnya di negara bagian Pensylvania, secara resmi menghapus hukumanMati pada tahun 1834. Pensylvania adalah Negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati, demikian pula secara berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati. Namun pada tahun 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di Amerika Serikat. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui Antiterorism and Effective Death penalty Act yang ditandatangani Clinton. Begitu juga dengan di Benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak Sekitar tahun 1950 hingga 1980 meski secara defacto tidak pernah ada pencabutan hapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati. Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.7 Dengan demikian, perdebatan tentang pidana mati walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di rnasa yang akan datang. Dalam konteks Indonesia, perdebatan pidana mati memiliki makna tersendiri
7
www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/article/
6
mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. Perubahan hukum di Indonesia mempengaruhi negara-negara berpenduduk lainnya. Jika saja Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa pidana mati bertentangan
dengan konstitusi, yang berarti penghapusan pidana mati, hal itu akan menjadi momentum penting (turning point) bagi penghapusan pidana mati di negara-negara berpenduduk muslim lainnya yang pada umumnya masih menetapkan pi dana mati. Di Indonesia, pemerintah sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan Undang-Undang yang baru yakni Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalarn undang-undang ini pemerintah memberi batasan berat narkotika yang dapat dipidana hukuman mati (khusus bagi bandar narkotika) yaitu pada pasal 113 ayat (2), yaitu: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan1 sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (batang) pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditambah 1/3 ( sepertiga ).8 Undang-undang ini adalah sebagai penyempurna dari undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1997 dan Undang-undang No.9 Tahun 1976.Hukuman mati dipertahankan di dalam peraturan yang tercantum dalarn UU No. 35 Tahun 2009, karena memang pemerintah melihat dari situasi dan kondisi
8
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasai113 ayat (2)
7
sekarang bahwa bandar narkotika yang hanya dihukum seumur hidup, di dalam realitanya mereka tidak jera dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan kepada mereka. Bahkan pada tanggal 5 Januari 2011 Badan Narkotika Nasional (BNN), berhasil meringkus otak jaringan narkotika intemasionaldi lembaga pemasyarakatan Pani Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah.9 Ini mengindentifikasikan bahwa bandar narkoba pada saat ini, sudah memiliki jaringan yang begitu luas, tidak mengenal tempat sekalipun mereka berada di lembaga pemasyarakatan. Indonesia sepertinya tak pemah sepi dari peredaran narkoba, khususnya di kota-kota besar, 1 Juni 2006 misalnya, Polwiltabes Surabaya menggulung bandar narkoba sekaligus menemukan sebuah rumah yang diduga digunakan sebagai pabrik sabu-sabu (SS) di Jalan Nginden Intan Timur. Penemuan ini mestinya membuka kesadaran kita, karena jaringan narkoba tak ada matinya. Itu berarti, Indonesia rawan narkoba, baik dari segi produsen maupun konsumen.Ada lingkaran-lingkaran yang terbentuk dan menjadi pola kegiatan peredaran narkoba. Ada yang tertangkap, ada pula yang belum. Masalahnya, bagaimana efek jera yang telah diberikan kepada mereka yang tertangkap?10 Pertanyaannya kemudian adalah apakah seorang menyalahgunakan narkotika harus dihukum mati? Dalam hukum Islam, terutama hukum fiqh menurut fatwa
9
SINAR BNN edisi 1/2011
10
M. Amir P. Ali dan Imran Duse, Narkoba Ancaman Generasi Muda, (Samarinda : DPD KNPI Kalimantan Timur, 2007), h. 15-18
8
Yusuf al-Qaradhawi (merupakan ulama kontemporer Mesir yang tidak terpaku dari salah
satu
mazhab)
bahwa
narkotika
dikategorikan
dengan
khamr
dan
sejenisnya.Hukum haram bagi khamr sendiri tidak ada pertentangan di kalangan ulama. Yusuf al-Qaradhawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) Harus memerangi narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa pada hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan.Mereka layak mendapatkan hukuman qisas. Kalau Hukuman berat dijatuhkan kepada pengedarnya, apalagi kepada bandar narkotika yang memproduksinya. Sedangkan hukum positif memutuskan bahwa orang yang menyalahgunakan narkotika dihukum mati karena telah mengedarkan obat-obatan terlarang yang dapat merusak generasi bangsa, yang bahayanya bisa menyebabkan kematian dan pengerusakan terhadap mental generasi penerus bangsa. Serta hukuman selain hukuman mati sekarang sudah tidak banyak memberikan efek jera kepada para para penyalahguna narkotika, bahkan peredaran narkotika ada yang dilakukan dibalik jeruji besi (penjara). Dalam kitab Hadyul Islam Fatawi Mu 'asirah yang ditulis oleh Yusuf alQaradhawi tidak ditemukan pengertian secara tekstual tentang bandar narkotika. Namun apabila membuka referensi kitab-kitab fiqh ada benang merah untuk
9
menghubungkan antara syurb al-khamr dengan tindak pidana narkotika baik itu sebagai Bandar, pengedar ataupun penyalahgunaannya. Sekilas memang tindak pidana syurb al-khamr itu hanya mengandung arti minuman keras, tetapi apabila dipahami secara luas tindak pidana narkotika dalam fiqhi Islam memiliki arti yang sangat luas. Hal ini bisa dipahami dalam suatu hadis yang berbunyi:
يزب ِْه ُع َم َر ْب ِه َ َ ق،يل َ ً ُم َح َّم ُد ب ُْه إِ ْس َما ِع، َ َح َّدثَنَا َعلِي بْه ُم َح َّمد ِ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز،ٌ َح َّدثَنَا ًَ ِكيع:ال َّ ع َْه ْب ِدالرَّحْ َمه ب ِْه َع ْب ِد،يز :ُ يَقٌُل، أَبِي طُ ْع َمتَ َمٌْ الىُ ْْ أَ َّن ىُ َما َس ِم َعاا ْبهَ ُع َم َر،ّللا ْالغَافِقِ ِّي ِ َع ْب ِد ْال َع ِز َّ صلَّى َّ ال َرسٌُ ُل ًَ ت ْال َخ ْم َرةُ بِ َع ْينِيَا َ – ِّللا َ َق ِ َ لُ ِعن:ت ْالخَ ْم َرةُ َعلَى َع ْش َر ِة ًُجٌُْ ه ِ َ لُ ِعن::- َْ َّ ّللاُ َعلَيْو ًَ َسل َص ِرىَا ًَ َحا ِملِيَا ًَ ْال َمحْ ُمٌْ لَ ِت اِلَ ْي ِو ًَ آ ِك ِل ِ َاص ِرىَا ًَ ُم ْعت ِ اربِيَا ًَ َساقِيَيَا ًَ بَائِ ِعيَا ًَ ُم ْبتَا ِعيَا ًَ ع ِ َش 11 ثَ َمنِيَا Artinya: Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Muhammad, Muhammad bin Isma‟il, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki‟, telah menceritakan kepada kami „Abdul „Aziz bin „Umar bin „abdul „Aziz, dari „abdurrahman bin „Abdullah Al-Ghfiqy, dan Abi Tu‟mah bawsanya keduanya mendengar Ibnu „Umar, berkata: Tealah berkata Rosulllah SAW: “Telah dilaknat khamr atas sepuluh hal : 1. khamr itu sendiri, 2. peminumnya, 3. yang menuangkannya, 4. penjualnya, 5. pembelinya, 6. yang memerasnya, 7. pemilik (produsennya), 8. yang membawanya, 9. yang minta diantarinya, 10. yang memakan harganya”
"' Kalau dipahami tindak pidana narkotika dalam Islam berdasar hadis di atas sangat luas, termasuk di dalamnya bandar dan pengedarnya. Berdasarkan hadis di atas apabila kita menghubungkan dengan fatwa Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa orang yang meminum khamr itu hukumnya haram apalagi yang mengedarkannya.Jadi hadis di atas bisa sebagai pelengkap daripada fatwa Yusuf alQaradhawi mengenai bandar narkotika.
11
HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah – dalam Nailul Authar juz 5, h. 174
10
Oleh karenanya MUI sebagai lembaga Islam di Indonesia berpendapat bahwa kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara kita, merupakan kejahatan luar biasa yang harus dihadapi secara sangat serius dan dengan tindakan hukum yang luar biasa juga sebagai pengimbang dalam memenuhi tujuan hukum itu sendiri. Kejahatan-Kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal12. Karena Islam memiliki prinsip yaitu larangan memasukkan sesuatu benda atau bahan yang merugikan kesehatan jasmani, akal dan jiwa dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, sehubungan dengan semakin maraknya penyalahgunaan Narkoba
tersebut, Komisi Fatws MUI-pun mengeluarakan fatwa terkait sanksi
hukuman bagi penyalahgunaan Narkoba demi memberikan efek jera dan menciptakan masyarakat yang sehat jasmani maupun rohani dan aman dari obat-obatan yang maha dahsyat efek bahayanya tersebut, hal ini yang tertuang dalam rapat pleno Komisi Fatwa MUI No.53 Tahun 2014 Pada tanggal 30 Desember Tahun 2014, MUI memutuskan bahwa: “Negara boleh menjatuhkan hukuman ta‟zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, Bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang demi menegakkan kemaslahatan umum, Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, Bandar, pengedar,
12
Maruf Amin, Pernyataan MUI Vonis mati kejahatan Narkoba. Kamis, 18 Oktober 2012.Terakhir Diperbaharui, 30 Desember 2014.Oleh PROF.DR.H.Hasanuddin.AF,MA.
11
dan penyalahgunanarkoba, dan Penegak hukum yang terlibat dalam peroduksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukum”13. Untuk hukuman mati ini, MUI merekomendasikan diberikan kepada produsen, pengedar, bandar serta pengguna yang sudah berulang kali melakukan kejahatan narkoba. Sebagaiman yang dikatakan oleh wakil ketua MUI Ma’ruf Amin, Pengedar, produsen, bandar dan pengguna yang tingkat kejahatan narkobanya sudah sangat parah dan dilakukan secara berulang sehingga pantas di hukum mati, tetapi buat pengguna yang baru sebaiknya rehabilitasi agar menjadi solusi. Begitulah isi fatwa dari Komisi Fatawa MUI terkait sanksi hukuman mati kepada para produsen, Bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba. Dan fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata butuh perbaikan dan penyempurnaan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian diatas, penyusun melihat perlunya kajian spesifik yang membahas permasalahan sanksi bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba dalam pandangan hukum Islam terutama masalah hukuman matinya, Permasalahan penyalahgunaan narkotika ini menurut penyusun sangat menarik dibahas, karena meskipun telah terdapat aturan hukum dan sanksi yang jelas, namun pada kenyataannya penyalahgunaan narkotika ini masih tetap marak bahkan semakin 13
Pernyataan MUI Vonis mati kejahatan Narkoba.Kamis, 18 Oktober 2012 yang telah Diperbaharui, 30 Desember 2014. Oleh PROF.DR.H.Hasanuddin.AF,MA.(Ketua) Dan DR.HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA (Sekretaris)
12
cenderung meningkat khususnya dikalangan para remaja. Adapun untuk membatasi permasalahan penelitian ini, penyusun lebih menekankan pada masalah sanksi hukuman mati bagi penyalahguna narkoba dalam pandangan hukum islam. Maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang “HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA PENYALAHGUNA NARKOBA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM”. Pembatasan dan perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Agar pembahasan di dalam skripsi ini tidak melebar luas dan lebih terfokus dan sistematik, maka penulis membatasi ruang lingkup masalah hukuman mati bagi pelaku pidana Narkoba ini dibatasi hanya dilihat dari sudut pandang fatwa MUI No.53 Tahun 2014 saja, apakah fatwa hukuman mati tersebut sudah tepat untuk diberikan kepada pelaku pidana narkoba karena mengingat dampak bahayanya yang sangat besar bagi masyarakat dari pengaruh obat-obatan terlarang tersebut. 2. Perumusan masalah. Dilihat dari latar belakang masalah pada judul skripsi ini sangatlah luas, maka perlu kiranya skripsi ini dirumuskan agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka dalam penulisan skripsi ini penulis ingin merumuskan masalah yang akan dibahas dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah ketentuan sanksihukuman mati bagi penyalahgunaan narkoba dalam pandangan Fatwa MUI.
13
2. Bagaimanakah keabsahanmetode istinbath fatwa MUI mengenai hukuman mati bagi pelaku penyalahgunaan narkoba? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setelah memperhatikan judul dari pembahasan ini, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanasanksi hukuman mati bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba dalam pandangan Fatwa MUI. 2. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan metode Istinbath Fatwa MUI mengenai hukukman mati bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba. Adapun manfaat yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagi berikut: 1. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan sumbangan intelektual bagi kelengkapan data teoritis dalam upaya mengkaji pemahaman tentang teori hukum Islam Tentang tindak pidana narkotika sebagai salah satu acuan penerapan putusan hukumanmati tersebut guna mencapai tujuan hukum yang berorientasi padakeadilan, ketentraman dan kedamaian. 2. Hasil peenelitian inipun diharapkan agar dapat bermanfaat bagi mereka yang akan menggali penelitian dengan masalah yang sama sehingga menambah khazanah pengetahuan islam dan bernilai akademik. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Dikatakan penelitian pustaka karena pengambilan data dari penelitian ini berdasarkan
14
dokumentasi berupa mengumpul, membaca, mengkaji buku-buku, kitab-kitab dankepustakaan lain yang ada hubungannya dengan proses pembuatan skripsi ini. 2. Sifat Penelitian Penelitian
ini
bersifat
deskriptif.14
Dikatakan
deskriptif
karena
menggambarkan dan menjelaskan tentang ketentuan hukuman mati yang ada dalam fatwa MUI No 53 Tahun 2014 tentang sanksi hukuman bagi Produsen, pengedar bandar dan penyalahgunaan narkoba. 3. Sumber Data Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu; sumber data primer (primary sources) dan sekunder (secondary sources): a. Sumber Data Primer 1) Al-Qur’an, Al-hadits, Fatwa MUI No. 53 tahun 2014 yang terkodifikasi dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, buku-buku hukum pidana Islam, kitab fiqhdan ushul fiqh. b.Sumber Data Sekunder -Artikel, jurnal, internet, ensiklopedia dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian yang berkaitan dengan hukuman mati pada tindak pidana narkotika dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam. 4. Tehnik Pengumpulan Data
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 42-43
15
Di dalam proses mengumpulkan data ini, penulis menggunakan metode studi dokumentasi naskah (studi pustaka) dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunakan beberapa literatur yang mendukung penelitian,yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku , kitab-kitab, surat kabar, majalah, catatan atau sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang akan di bahas. 5. Analisis Data Analisis data merupakan tahap rumusan terhadap seluruh data yang sudah diidentifikasi
dan terorganisir guna mendapatkan sebuah ksimpulan
yang
benar.Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode deduktif. Analisis deduktif merupakan sebuah langkah analisa data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil satu kesimpulan agar lebih jelas isi data yang digunakan dalam pembahasan. 6. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan normatif-yuridis,15karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan Hukuman mati dalam perspektif fatwa MUI. E. Review Pustaka
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 42-43
16
Dari beberapa skripsi dan literature buku yang ada diperpustakaan syariah dan perpustakaan umum, penulis akan mengambilnya untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai skripsi yang akan penulis buat ini. Pada pembahasan sebelumya dari pelacakan karya ilmiah mahasiswa (skripsi) difakultas syariah dan perpustakaan utama terdapat skripsi yang berjudul “ Penyalahgunaan Narkoba Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif yang ditulis oleh Yanuar Mujawwad, menjelaskan tentang gambaran umum narkoba, narkoba menurut hukum Islam dan hukum positif dan upaya penanggulangan penyalah gunaan narkoba. Namun menurut penulis pembahasan ini msih sangatlah umum dan belum membahas secara spesifik bagaimana sanksi mutlak bagi penyalahguna narkoba. Adapun judul yang ditulis oleh Robiatu Adawiyah yang berjudul “ Sanksi Penyalahgunaan psikotoprika oleh Anak-anak (tinjauan UU No.5 Tahun 1997 dan hukum Islam. Yang menguraikan tentang pengertian umum penyalahgunaan psikotropika dan hak-hak anak, penjelasan umum tentang penyalahgunaan psikotropika dan sanksi penyalahgunan psikotropika oleh anak-anak. Dari berbagai karya tulis diatas, penulis melihat masih adanya kekurangan yakni belum adanya mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Fakultas Syariah Dan
Hukum yang membahas masalah sanksi pidana Hukuman mati bagi penyalahgunaan narkoba, sehingga dapat menjadi bahan penelitian dalam skripsi ini. F. Sistematika Penulisan Masalah-masalah yang kan dibahas dalam skripsi ini, penulis membaginya ke dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut:
17
Bab I: Bab ini merupakan pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penlitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: Bab II :Gambaran Umum tentang Tindak Pidana Bagi Penyalahgunaan Narkoba, dengan sub Bab Pengertian Pidana Hudud Prespektif Fiqih Jinayah, , Khamr Sebagai Kiasan Narkotika, Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir dalam Fiqih Jinayah, Macam-macam Hukuman Ta’zir, Tujuan Hukuman Ta’zir, Macam-macam Jarimah Ta’zir. BAB III :Pandangan fatwa MUI terhadap hukuman mati bagi penyalahguna narkoba, dengan sub bab Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI, SumberDanDalil HukumIstinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 53 Tahun 2014 Dalam Menetapkan Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba, Metode Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No:53 Tahun 2014, Tentang keputusan MUI NO. 53 Tahun 2014 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba. BAB IV: ANALISISPENULIS dengan sub bab, Analisa Penulis Terhadap Fatwa Majelis
Ulam
Indonenesia
(MUI)
Tentang
Hukuman
Mati
Bagi
PenyalahgunaNarkoba,Keabsahan Hasil Istinbat Hukum Fatwa MUI Dalam Menetapkan Hukum. BAB V: PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan saran.
18
BAB II HUKUMAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF FIKIH JINAYAH A. Pengertian Pidana Hudud Prespektif Fiqih Jinayah Pidana Hudud adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT. Maksud hukuman yang telah ditentukan ditentukan adalah bahwa hukuman hadtidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi). Maksud hak
Allah
ialah
bahwa
hukuman
tersebut
tidak
bisa
dihapuskan
oleh
perseorangan(individu) atau masyarakat. Hukuman dianggap sebagai hak Allah SWT manakala hukuman ini dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk mencegah manusia dari kerusakan dan memelihara keamanan masyarakat. Setiap tindak pidana yang kerusakannya berhubungan dengan masyarakat, manfaat dari penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat. Adapun pernyataan bahwa hukuman tersebut merupakan hak Allah adalah penegasan atas kerusakan dan bahaya.Karena itu,hukuman ini tidak dapat digugurkan atau dibatalkan oleh siapa pun, baik invidu maupun masyarakat.1 Macam-macam tindak pidana hudud ada 7 macam yaitu:
1
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,(Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h.
100
19
1. Zina 2. Qazaf (menuduh orang berbuat zina) 3. Meminum minuman keras 4. Mencuri 5. Hirabah (merampok atau mengganggu keamanan) 6. Murtad 7. Memberontak B. Tindak Pidana Kisas Dan Diat Tindak pidana kisas dan diat adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman kisas dan diat2. Keduanya merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal. Maksud hak individu disini adalah sang korban boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendakinya. Tindak pidana kisasdan diatini ada 5 (lima) macam: 1. Pembunuhan yang disengaja (al-qatlul „amd) 2. Pembunuhan yang menyerupai disengaja(al-qatl syibhul‟amd) 3. Pembunuhan tersalah (al-qatlul khata‟) 4. Penganiayaan yang disengaja(al-jinayah „ala maa dunanafsi khata‟) 2
Diyat adalah denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang sengaja/ merusak anggota badan seseorang dan dimaafkan. diyat merupakan denda berupa materi.
20
Penganiayaan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak sampai menghilangkan jiwa sang korban, seperti pemukulan dan pelukaan. Para fukaha terkadang mengistilahkan tindak pidana kisasdan diatdengan jinayah. Tetapi sebagian yang lain mengistilahkan dengan jirah dan juga yang mengistilahkannya dengan addima. C. Narkotika Dikiaskan Dengan Khamer Secara etimologi, khamr berasal dari kata “khamar” (ر ََ )خَ َمyang bermakna satara
ََ ) َست, artinya menutupi. Sedang khammara ( )خَ َّم ََرberarti memberi ragi. Adapun al(َر khamr diartikan arak, segala yang memabukkan. Imam Malik, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad seperti dikutip H.A. Djazuli, berpendapat bahwa yang dimaksud khamr adalah minuman yang memabukkan, baik disebut khamr atau dengan nama lain. Adapun Abu Hanifah membedakan antara khamr dan mabuk. Khamr diharamkan meminumnya, baik sedikit maupun banyak, dan keharamannya terletak pada dzatnya. Minuman lain yang bukan khamr tetapi memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman itu sendiri (dzatnya), tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi, menurut Abu Hanifah, minum minuman memabukkan selain khamr, sebelum minum terakhir tidak diharamkan.3 Syariat Islam mengharamkan khamr sejak empat belas abad yang lalu dan hal ini berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap akal manusia yang merupakan anugerah Allah yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan mulai orang non muslim menyadari akan manfaat diharamkannya khamr setelah terbukti bahwa khamr membawa madharat bagi bangsa.4
3
Rahmat Haklim, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2000), h. 95 Djazuli, Fiqih jinayah (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2000), h. 95
4
21
Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr diungkapkan oleh Allah dalam Alquran secara bertahap tentang status hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut: Al-Baqoroh ayat 219:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr dan judi. Katakanlah : “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya…” QS. Al Baqoroh (2) : 219 An-Nisa ayat 43: َ ََ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sholat , sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”. QS. An Nisaa’ (4) : 43 Al- Maidah ayat 90:
َ
22
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Sesung-guhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbu-atan syaithon! Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al Maa’idah (5) : 90 Dari tegasnya larangan khamr dalam ayat tersebut bahwa sesuatu yang menimbulkan mabuk, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa mengkonsumsi khamr itu hukumnya haram. Adapun alasan hukum larangan dan keharaman khamr tersebut dijelaskan sendiri oleh Allah dalam ayat diatas tersebut yaitu: Tindakan yang buruk dan kecil serta termasuk salah satu perbuatan-perbuatan yang dilakukan syetan.5 Adapun dampak negatif dan bahwa dari Khamr itu dijelaskan oleh secara langsung dengan surat al- Maidah ayat 91:
َ
Artinya: Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dalam negatif dari khamr tersebut dalam ayat diatas adalah sebagai berikut:
5
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1994), h. 87
23
1.
Dampak sosial dalam bentuk keharaman, kekerasan perkelahian dan permusuhan dikalangan umat.
2.
Dampak terhadap agama dalam bentuk menghalangi umat Islam dalam menjalankan tugas-tugas agamanya. Oleh karena itu, tidak ada penjelasan yang pasti dalam bentuk nash al- Quran tentang narkotika. Jumhur ulama menetapkan haramnya minum-minuman yang memabukan, baik memang sampai yang meminum menjadi mabuk atau tidak: baik yang diminum itu banyak atau sedikit ulama Hanafiyah mengatakannya bahwa khamr itu adalah nama bagi jenis minuman memabukkan yang terbuat dan diproses dari perasan anggur. Adapun didalam Nash belum ada yang menerangkan tentang hukuman
narkotika maka hukuman yang pantas bagi tindak pidana penyalahguna narkotika adalah jarimah ta‟zir.6 D. Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir dalam Fiqih Jinayah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan dalam UU RI No 35 tahun 2009 tentang narkotika dimana salah satu dari narkotika golongan I adalah metamfetamina atau sabu-sabu.7 Narkotika memang memiliki dua sisi yang sangat antagonis. 6
Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2002), h. 142
7
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 90
24
Pertama, narkotika dapat memberi manfaat besar bagi kepentingan hidup dengan beberapa ketentuan. Kedua, narkotika dapat membahayakan pemakaiannya karena efek negatif yang distruktif. Dalam kaitan ini pemerintah republik Indonesia telah membuat garis-garis kebijaksanaan yang termuat dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat perangsang yang sejenisnya oleh kaum remaja erat kaitannya dengan beberapa halyang menyangkut sebab.Motivasi dan akibat yang ingin dicapai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan atau pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial.8 Secara subjektif individual, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja sebagai salah satu akselerasi upaya individual atau subjek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang hakekatnya menjadikebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu,
8
Oemar seno, Hukum-hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 124.
25
terutama bagi anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan. Secara obyektif penyalahgunaan narkotika merupakan fisual dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat.9Hukuman ta‟zir menurut bahasa adalah ta’dib atau memberi pelajaran.Ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah adalah sebagai berikut :
ََََلح َدوَد َ َعَلَىَالَذَنَىَبَََلَمَتَشَ ََرعَََفَيهََاَا ََ َََاَلََتعَ َزيَرَتََادَية Artinya :“Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) “yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.10 Hukumanَ ta‟zirَ adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟,َ melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaanya. 11َ Syara‟tidak menyebutkan macam-macamnya hukuman untuk jarimahَuntuk tiap-tiap jarimahَ ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari seringanringannya sampai kepada seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan hukuman ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga.
9
Sudarsono, kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 67-68
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 19 11
Ibid, h. 19
26
Jadi hukuman ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu.12 Juga jarimah ta‟zir tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada jarimah-jarimah hudud dan qishas, diyat sudah ditentukan, memang jarimah ta‟zir tidak mungkin ditentukan jumlahnya. Sedangkan jarimah ta‟zir diserahkan kepada hakim untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nas-nas (ketentuan-ketentuan) syara‟ dengan prinsip-prinsip yang umum.13 Mengenai hukuman ta‟zir diatas ini, maka di dikelompokkan ke dalam tiga bagian: 1. Hukuman Ta‟zir atas Perbuatan Maksiat Bahwa hukuman ta‟zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah (hak masyarakat) maupun hak adami (hak individu). Pengertian maksiat adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dilarang oleh syara‟ dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syara‟ dan meninggalkan perbuatan perbutan yang diwajibkan (diperintahkan) olehnya.14 Perbuatan-perbuatan maksiat dibagi kedalam tiga bagian : 12
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), h. 8
13 14
Ibid, h. 9 Ibid, h. 41
27
a.
Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman had, tetapi kadang-kadang ditambah dengan human kifarat,seperti, pembunuhan, pencurian, minuman keras, dan sebgainya. Untuk jarimah tersebut, selain dikenakan hukuman had, dapat juga dikenakan hukuman ta‟zir. Pada dasarnya jarimahjarimahtersebut cukup dikenakan hukuman had, tetapi dalam kondisi tertentu apabila dikenakan kemaslahatan umum. Maka tidak ada halangannya ditambah dengan hukuman ta‟zir.
b.
Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman kifarat, tetapi tidak dikenakan hukuman had. Menyetubuhi istri pada siang hari bulan Ramadhan. Pada dasarnya kifaratitu merupakan hukaman karena wujudnya merupakan melakukan kesalahan yang dilarang oleh syara‟ dan pemberian hukumanya pembebasan hamba sahaya, atau puasa atau memberi makanan kepada orang miskin.
c.
Perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, maka akan dikenakan hukuman ta‟zir.
2. Hukuman Ta‟zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syariat Islam hukuman ta‟zir hanya dikenakan terhadap perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang keras zat perbuatannya itu sendiri. 3. Hukuman Ta‟zir atas Perbuatan-Perbuatan Pelangggaran (Mukallafah)
28
Pelanggaran mukalafah melakukan perbuatan makruh dan meninggalkan perbuatan mandub, menjatuhkan hukuman ta‟zir atas perbuatan mukalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang akan dikenakan hukuman ta‟zir. Para ahli fiqih dalam menentukan batas maksimal sanksi hukuman ta‟zir yaitu:15 a. Hukuman ta‟zir itu diterapkan dengan pertimbangan kemaslahatan dan dengan memperhatikan kondisi fisik terhukum. b. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi hukumana had. c. Hukuman ta‟zir bisa diberikan maksimalnya tidak boleh melebihi 10 kali cambukan. F. Tujuan Hukuman Ta’zir Tujuan hukuman dari penerapan dari hukuman narkotika golongan 1 dalam fiqih jinayah adalah sebagai berikut:16 1. Pencegahan Menahan orang yang berbuat jarimah agar tidak mengulangi perbuatan jarimah, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah. Disamping mencegah pelaku agar tidak ikut melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. 15
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h. 190 16
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2004) h. 137
29
2. Perbaikan dalam pendidikan Mendidik pelaku jarimah agar menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahanya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan dari suatu pelaku kesadaran bahwa menjauhi jarimah karena akan takut hukuman. Disamping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman agar bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas atas hak dan kewajibanya. Dari tujuan hukuman pelaku tindak pidana atau jarimah diatas ini, bertujuan untuk mengusahakan kebaikan serta pengajaran bagi pelaku tindak pidana atau jarimah.Dengan tujuan ini, pelaku jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jahat. Pada dasarnya pelaku tindak pidana merasakan sebagai pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak disenanginya, namun pada tahap berikutnya timbul kesadaran bahwa perbuatan tersebut memang harus dikerjakan atau harus dia tinggalkan bukan karena ancaman hukuman.17 Sanksi hukuman yang ditegaskan dalam al-Qur‟an bukan dimaksudkan dengan pengertian harfiyahnya, melainkan bertujuan untuk membuat orang jera.Maka, untuk merendam kejahatan dengan upaya penegakan hukum dan pemerataan kesejahteraan umat.Dalam adanya sanksi ini orang akan bisa jera
17
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, h. 63
30
melakukan tindak pidana atau jinayah terhadap pelanggarang yang ditentukan oleh syara‟.18 Melakukan tindak pidana dapat mengtahui tanggung jawab hukum atau tindak pidana dalam syariah. Tindak pidana yang dilakukan adalah tanggung jawab pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabat yang lain tidak dapat mengambil alih hukuman karena kejahatan yang dilakukannya.19 Tujuan hukum pidana Islam juga memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan pidana Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab empat dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana Islam dan dua diantaranya dengan ketentuan hukum perdata Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa sematamata dipelihara ketentuan hukum pidana Islam.20. Selain itu, tujuan hukuman pada umumnya menegakkan keadilan sehingga terujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat.masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan.
18
Hasan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 457. 19
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 296 20
H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 103
31
Namun bila tujuan hukuman itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW, baik yang termuat di dalam al-Qur‟an maupun yang terdapat di dalam al-Hadits, yaitu untuk kebahagian hidup manusia didunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah demi terciptanyakemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu dan masyarakat. Sedangkan dalam penerapannya, hukuman mempunyai beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut: a. Untuk memelihara masyarakat. Dalam hukum yang pertama ini menjelaskan bahwa pentingnya bagi pelaku tindak pidana (jarimah) sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat dari perbuatan kejahatan.21 Dengan demikian hukuman itu pada hakikatnya adalah hukuman untuk menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku tindak pidana (jarimah), agar masyarakat terhindar dari penyakit tersebut.Untuk kita harus menegakkan kemaslahatannya. Oleh karena itu, hukum mengorbankan kesenangan perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak itu dibolehkan. Dalam hukum positif disebut prevensi umum maksudnya ditunjukkan kepada khalayak yang banyak (semua
21
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, h. 64
32
orang), agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan tujuan utamanya agar pelaku jera dan takut. b. Sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusus bagi pelaku. Jika seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Dengan balasan tersebut, pemberi hukuman dapat terjadi dua hal sebagai berikut: 1. Pelaku diharapkan menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga tidak akan mengulangi perbuatan yang sama dimasa akan datang. 2. Orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga akan dikenakan kepada peniru. Jadi harapan yang kedua ini adalah upaya memblokade kejahatan sehingga kejahatan tersebut cukup hanya dilakukan oleh seorang saja dan tidak diikuti oleh yang lainnya. c. Upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdziib) Hukuman kepada pelaku pada dasarnya juga upaya mendidiknya agar menjadi orang yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah menggunakan hak orang lain, baik materil maupun moral dan merupakan pelanggaran atas hak orang lain. Disamping itu, mengingatkan pelaku tentang kewajiban yang seharusnya dikerjakan. Dari segi ini, pemberian hukuman tersebut adalah sebagai upaya mendidik pelaku tindak pidana (jarimah) mengatahui akan kewajiban dan hak orang lain. Seperti halnya sebelumnya, upaya pendidikan dan pengajaran ini juga berlaku bagi orang lain, yaitu mengajarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya.
33
c.
Hukuman sebagai balasan atas perbuatan Pelaku tindak pidana (jarimah) akan mendapatkan balasan atas perbuatanya yang
dilakukan. Menjadi suatu kepantasan setiap perbuatan lain yang sebadan, baik dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dan dibalas dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil. Dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al- Zalzalah ayat (7-8) sebagai berikut: َ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” Di jelaskan dalam Al-Qur‟an surat ( Asy-Asyura ayat 40)
Artinya: “ Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,......” Kalau tujuan penjatuhan hukuman di atas tidak dapat tercapai, upaya trakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat. Penjahat tertentu yang sudah
34
sangat sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam berpendirian sama, yaitu dengan cara ta‟dib (pendidikan) tidak menjerakan sipelaku tindak pidana (jarimah) dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta‟zir bisa diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak terbatas.22 Dari tujuan hukuman yang sudah dijelaskan di atas ini, tujuan pokok adalah menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai orang lain sehingga apa yang diperbuatnya dikemudian hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lainnya perbuatan karena semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum. Bila demikian keadaanya, maka hukuman dapat berbeda-beda sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terutama ta‟zir, menurut perubahan yang ia lakukan, sebab diantara pembuat-pembuat ada yang cukup diberikan peringatan, dan juga ada yang dijilid. Selain itu hukuman juga mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak selalu untuk memberikan perhatian terhadap pelaku. Bahkan memberi pelajaran agar pelaku tindak pidana berbuat baik, ini adalah tujaun paling utama, sehingga penjahuan manusia terhadap tindak pidana (jarimah) bukan takut karena hukuman,
22
Rahmat hakim,Hukum Pidana Islam , h. 66
35
melainkan kesadaran diri dan ketidaksukaan terhadap kejahatan, dan serta menjauhkan diri dari kelakuan jelek, agar mendapatkan Ridha Allah. Ta‟zir telah disyariatkan bagi setiap pelanggaran syara‟ yang tidak menetapkan ukuran sanksinya.Sedangkan pelanggaran yang telah ditentukan sanksinya oleh syara‟, maka pelanggarannya dijatuhi sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara‟ semua yang belum ditetapkan oleh syara‟,maka diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis hukumannya.23 Sanksi ta‟zir sesuai dengan tingkatan kejahatannya. Kejahatan yang besar pasti dikenakan sanksi yang berat. Bagitu pula dengan kejahatan yang kecil, akan dikenai sanksi yang dapat mencegah orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Kejahatan yang kecil tidak boleh dikenakan sanksi melampui batas, agar tidak termasuk mendzalimi orang yang melakukan kejahatan.24
23
Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002),
h. 240 24
Ibid, 242
36
BAB III FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) DALAM MENETAPKANTENTANG HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA NARKOBA A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi Ulama, zu‟ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
1. Berdirinya MUI
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‟ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math‟laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan
adalah
sebuah
kesepakatan
untuk
membentuk
wadah
tempat
37
bermusyawarahnya para ulama.zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
38
meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Lima Peran MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
Sebagai pemberi fatwa (mufti)
Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri‟ayat wa khadim al ummah)
Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
Sebagai penegak amar ma‟ruf nahi munkar
2. Hubungan dengan Pihak Eksternal
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian — dalam arti tidak tergantung dan
39
terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi
supra-struktur
yang
membawahi
organisasi-organisasi
kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masingmasing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.Sikap
40
Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).1
B. Sumber Dan Dalil Hukum Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 53 Tahun 2014 Dalam Menetapkan Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba 1. al-Qur’an Al-Qur‟an dalam kajian Ūshul fiqih merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan sutu hukum. Al-Qur‟an menurut bahasa berarti ”bacaan” dan menurut istilah Ūshul fiqih al-Qur‟an bararti “kalam Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.” Firman Allah yang yang menjadi sumber hukum pada istinbath fatwa MUI, sebagaimana berikut: alBaqoroh:195
Artinya: dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
1
http://mui.or.id/sekilas-mui Di akses 17 November 2015
41
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panahadalah Termasuk perbuatan syaitan.Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah:90)
Artinya:"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lainatau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnyadan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itusungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
42
mereka dibunuh ataudisalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balikatau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al-Maidah: 32-33)
Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya]. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. (QS.Al-Ahzab: 57)
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS.Al-A‟raf:56) 2. Sunnah Rasulullah Menurut istilah terdapat tiga termenologi yang memberikan tekanan yang berbeda menurut satu sama lain. Menurut istilah fuqoha sunnah adalah suatu amalan yang diterima dari Nabi yang bukan wajib. Menurut istilah Muhadditsin Sunnah adalah segala sesuatu yang diterima Nabi baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penetapan dan sifat-sifat Nabi, baik yang kaitannya dengan penjelasan hukum maupun tidak.
43
Sedangkan menurut istilah ushuliyyah adalah segala sesuatu yang diterima nabi selain Al quran baik berupa ucapan, perbuatan maupun penetapan.Dalam hal ini Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al Quran.2 Beberapa Hadits Nabi yang dijadikan sandaran hukum pada penetapan sanksi dan pelarangan mengkosumsi zat yang memabukkan dan/atau merusak, antara lain:
دذثُا يسهى دذثُاْشاو دذثُا قرادج عٍ اَس قال جهذ انُثي صهٗ للا عهيّ ٔسهى في انخًز تانجزيذ 3
)ٔانُعا ٔجهذ اتٕ تكز ارتعيٍ (اخزجّ انثخارٖ في كراب انذذٔد تاب انضزب تانجزيذ ٔانُعال
Artinya: Anas, dia berkata: Nabi saw mencambuk dalam perkara khamar dengan pelapah kurma dan dengan sandal. Abu bakar mencambuk dalam perkara khamar sebanyak 40 kali. (HR. Bukhari dan Muslim)
: دذ ثُا تٍ جزيخ: كلًْا عٍ رٔح تٍ عثادج،دذثُا إسذاق تٍ إتزاْيى ٔ أتٕ تكزتٍ إسذاق "كم: أٌ رسٕل للا صهٗ للا عهيّ ٔ سهى قال، عٍ اتٍ عًز،أخثزَي يٕسٗ ا تٍ عقثح عٍ َافع 4
" ٔ كم يسكز دزاو،يسكز خًز
Artinya: telah menyampaikan kepada kami ishaq bin Ibrahim , dan Abu Bakar bin Ishaq, keduanya menyampaikan, dari rauh bin Ubadah, telah menyampaikan kepada kami Juraih: telah mengabarkan kepada aku musa bin „Uqbah dari Nafi‟, Dari Ibnu „Umar Seseungguhnya Rosulullah SAW berkata: “ seegala yang memabukkan itu Khamer, dan setiap yang memabukkan itu haram” (H.R. Muslim)
2
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras, 2012) h. 62
3
Muhammad fuad abdul baqi, Al-lu‟lu wal marjan, (jakarta:pustaka as-sunnah, 2008) h. 138
4
Muslim bin Al Hajj al-Qusyairy an-Naisaburi,Shohih Muslim, No:5211, (Almahira, Jakarta:2013) h. 285
44
عٍ يذًذ تٍ ا، عٍ َدأد اتٍ تكزتٍ أ تي انفزاخ، دذثُا إسًاعيم يعُي اتٍ جعفز:دذ ثُا قريثح ّ" يا اسكز كثيزِ فقهيه: قال رسٕل للا صهٗ للا عهّ ٔ سهى: عٍ جاتز تٍ عثذ للا قال،نًكُذر 5 دزاو Artinya:telahmenyampaikan kepada kami qutaibah: Telah menyampaikan kEepada kami Isma‟il ya‟ni bin Ja‟far, dari Daud bin Abau bakar bin Abi Al furot, dari Muhammad bin Al- Mukandar dari Jabir bin „Abdullah berkata: Telah berkata Rosulullah SAW: “ sesuatu yang jika banyak itu memabukkan, maka sedikitnya adalah haram“.(HR. Abu Daud)6
َٓٗ رسٕل للا صهٗ للا عهيّ ٔسهى عٍ كم: سًعد او سهًح ذقٕل:عٍ شٓزاتٍ دٕشة قال 7
يسكز ٔيفرز
Artinya:Dari Sahr bin Hausyab berkata: Aku telah mendengar Dari Ummu Salamah, ia berkata,“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari segala yangmemabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)”(HR. Abu Daud )
ٔ أ،ٍ جهذ رسٕ ل للا صهٗ للا عهيّ ٔسهى في انخًز أرتعي:عٍ عهي في قصح ٔانذ تٍ عقثح 8 ) ٔ عًز ثًا َيٍ ٔكم سُح ٔ ْذا أ دة إني (رٔاِ يسهى،ٍتٕ تكزأرتعي Artinya:Dari‟Ali dalam kisah Walid Bin „Uqbah bahwa Rosulullah SAW telah mencambuk bagi peminum khamr/pecandu Narkoba 40 kali, Abû Bakar mencambuk 40 kali, dan „Umar mencambuk 80 kali, kesemuannya itusunnah daninilah yang lebih saya senangi (yaitu 80 kali)”. (HR. Muslim). C. Metode Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No:53 Tahun 2014 1. Qaidah Fiqhiyyah 9
درءانًفاسذ يقذو عهٗ جهة انًصانخ
5
Abu Daud Sulaiman bin Sulaiman bin al- Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, SunanAbu Dawud, (Almahira, Jakarta:2013) h. 776 7
Abu Daud Sulaiman bin Sulaiman bin al- Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, SunanAbu Dawud, (Almahira, Jakarta:2013) h. 777 8
Musim Al-Hajjaj, Shohih Muslim, bab haddul Khomri, hadits ke-268, (bayrut: Darul ihya Atturots Al ‟Araby, 2010), h. 1331
45
Artinya: “Menolak kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan.” Senada dengan kaedah tersebut, jika seseorang menggunakan narkoba atau obatobatan terlarang untuk kepentingan pengobatan,penelitian dsb, namun jika dikosumsinya atau penggunaanya itu dengan berlebihan dan dapat menimbulkan mudharat (bahaya) bagi banyak orang, maka yng demikian itu harus ditinggalkan demi kemaslahatan bersama. 10
أنضزريزال
Artinya:” Dharar (bahaya) itu harus dihilangkan”11. Kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Mengingat penggunaan narkoba dan sejenisnya dapat merugikan diri sandiri bahkan orang lain maka dari itu mengonsumsinya itu sangat dilarang oleh agama karena berdasrkan kaedah tersebut. 12
يرذًم انضزر انخاص نذفع انضزرانعاو
Artinya: “Bahaya yang bersifat khusus itu harus ditanggung untuk mengiliminir bahaya yang bersifat umum”
9
Zainuddin Ibn Ibrahim ibn Nujaim, Al-Ashbah wa Al-Nazhaa‟ir (Damascus: Dar al-Qalam, 1991), h. 235 10
Muhammad shidqi ibnu ahmad, Al-wajizfi idlah qawa‟id al-fiqhiyyah al-kulliyyah(Arrisalah al‟ilmiyah : 1996), h.41 11
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi, Qawaid Fiqhiyyah. (Jakarta: Amzah, 2009) h. 17 „Ali ahmad an-nadwi, alqowa‟id Alfiqhiyah, Cet ke 3, ( Darrul Qolam : 1994), h.322
12
46
Contoh penerapannya :Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong.Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus.Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya umum.Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak bahaya umum.
2. Pendapat Para Ulama Atau Fuqoha Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat.Narkoba baru muncul di Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah.namun demikian tak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya. Sebagian ulama mengharamkan narkoba karena diqiyaskan dengan haramnya khamr, karena ada kesamaan illat (alasan hukum) yaitu sama-sama memabukkan (muskir). Namun menurut kami, yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan, haramnya narkoba bukan karena diqiyaskan dengan khamr, melainkan karena dua alasan;Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islamywa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177. oleh krena itu Mengingat ketidakseimbangan antara manfaat yang ditimbulkan oleh narkoba pada satu sisi dan besarnya bahaya yang ditimbulkan pada sisi yang lain, maka hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa penyalahgunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Narkoba dengan berbagai jenis, bentuk dan nama yang telah diidentifikasi pengaruhnya
47
terhadap akal pikiran dan fisik, maka sanksi hukumannya dikategorikan ke dalam khamr, yang secara tegas dan keras dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sementara yang berkaitan dengan ringan beratnya hukuman bagi pemakai khamr tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin „Ammar, Telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Ishak, Telah menceritakan kepada kami Saîd bin Abî „Arubah bin Bahdalah dari Zakwan Abî Shâlih dari Mu‟awiyah bin Abî Sufyân bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila mereka meminum khamr, maka hendaklah kamu dera/jilid, kemudian jika minum lagi maka deralah ia, kemudian jika minum lagi deralah ia, kemudian minum lagi maka bunuhlah.” (H.R. Ibn Mâjah)13 Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa „Umar bin Khattab meminta pendapat tentang khamr yang dikonsumsi manusia. „Ali bin Abi Thalib berkata: “Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum yang memabukan. Jika ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah bicara tidak karuan maka ia berbohong”.Kemudian „Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80 kali cambuk Menyikapi hadis di atas, para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum khamr dikenakan had berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak.14Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut.Dari kalangan mazhab Mâlikiyah dan Hanâfiyah berpendapat bahwa peminum khamr dikenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syâfi‟iyah menyatakan bahwa peminum khamr diberikan sanksi cambuk 40 13
14
Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, (Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H./1995 M.), h. 6
Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, II, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995), h.364
48
kali.Sedangkan dari Mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk.Imam Syâfi‟î menyatakan bahwa Had bagi peminum khamra dalah 40 kali cambuk, hal ini didasarkan kepada tindakan „Ali bin Abî Thâlib yang mencambuk Walîd bin „Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abû Bakar al-Shiddiq menjabat khalifah. Sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah SAW:.
ٕ ٔ أ ت،ٍ جهذ رسٕ ل للا صهٗ للا عهيّ ٔسهى في انخًز أرتعي:عٍ عهي في قصح ٔانذ تٍ عقثح 15
) ٔ عًز ثًا َيٍ ٔكم سُح ٔ ْذا أ دة إني (رٔاِ يسهى،ٍتكزأرتعي
Artinya: Dari‟Ali dalam kisah Walid Bin „Uqbah bahwa Rosulullah SAW telah mencambuk bagi peminum khamr/pecandu Narkoba 40 kali, Abû Bakar mencambuk 40 kali, dan „Umar mencambuk 80 kali, kesemuannya itusunnah daninilah yang lebih saya senangi (yaitu 80 kali)”. (HR. Muslim). Sementara itu Abû Hanîfah, Mâlik dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamr 80 kali cambuk. Hal ini didasarkan pada tindakan „Umar bin Khattab, di mana menurut mereka sudah menjadi ijma‟ pada masa khalifah „Umar bin Khattab karena tidak seorangpun dari sahabat mengingkarinya. Dalam hal atsar „Umar ini, yaitu yang menetapkan 80 kali cambuk sebagai had bagi peminum khamr.
15
Musim Al-Hajjaj, Shohih Muslim, bab haddul Khomri, hadits ke-268, (bayrut: Darul ihya Atturots Al ‟Araby, 2010), h. 1331
49
Imam Syâfi‟î, menanggapi bahwa sanksi 80 kali cambuk itu merupakan had, tetapi hanya sebagai ta‟zîr karena hukuman had bagi peminum khamr sebanyak 40 kali cambuk seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Perbedaaan hukuman ta‟zîr dengan hukuman had, menurut Imam alMawârdi16 yaitu memberikan sanksi ta‟zîr kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam hukuman had tidak ada perbedaan. Dalam hukuman had tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta‟zîr ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman Had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman ta‟zîr terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu. Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan penyalahgunaan narkoba, seperti diketahui mempunyai akibat dan dampak yang lebih luas dan bahkan lebih berbahaya dari khamr itu sendiri. Apalagi jika over dosis akan mengakibatkan kematian bagi pemakainya. Selain itu pula akan menimbulkan tindakan-tindakan pidana yang destruktif, seperti pencurian, perkosaan, pembunuhan dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan hukum di atas, baik had maupun ta‟zîr, penyalahgunaan narkoba dengan segala pertimbangan yang diakibatkannya cukup kompleks. Sehingga menurut analisis penulis melalui analisa qiyas dengan khamr, maka penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan gabungan sanksi hukuman yaitu hukuman 16
al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, h. 237-238.
50
had dan ta‟zîr. Mengenai penggabungan antara had dan ta‟zîr ini, para ulama pada umum-nya membolehkan selama memungkinkan. Misalnya dalam mazhab Mâlikî dan Syâfi‟î menggabungkan hukuman bagi peminum khamr/pemakai narkoba yaitu dengan me-nambahkan 40 kali cambukan.17 Sementara Syekh Wahbah Az- Zuhaili dalam Al-fiqh Al- IslamyWa Adillatuhu beliau Berkata: Orang yang kejaahtannya dimuka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan dibunuh maka ia harus dibunuh; mislanya orng yang memecah belah jamaah kaum muslimin dan orangyang mengajak kebid‟ahan dalam agama, Nabi memerintahkan agar membunuh orang yang sengaja berdusta atas namanya. Nabi ditanya oleh Dailam al-Himyari dalam riwayat Ahmad dalam Musnadnya tentang orang yang tidak mau berhenti minum khamr pada kali keempat (minum keempat kali seteklah diingatkan); beliau bersabda: “jika mereka tidak mau meninggalkan (tidak mau berhenti mium), maka bunuhlah”. Kesimpulannya: Boleh menjatuhkkan hukuman mati sebagai siyasah (politik hukum) kepada orang yang selalu melakukan kejahatan (tindak pidana), peminum khamar, pelaku kejahatan (berupa gangguan terhdap) keamanan Negara, dan sebagainya18 Menurut Yusuf Qardhawi, seluruh pemerintahan (negara) memerangi narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu negara yang memperbolehkan khamr dan minuman keras lainnya sekalipun, tetap memberikan hukuman berat kepada siapa saja yang terlibat narkotika.Bahkan sebagian negara menjatuhkan hukuman mati kepada pedagang dan pengedarnya.Hukuman ini memang tepat dan benar, karena pada hakikatnya, para pengedar itu membunuh bangsa-bangsa demi
17
H. A. Djazuli, Fiqh Jinâyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h.162.
18
h. 55
Wahbah al- Zuhaili, Al-fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, juz 7 (Damsyiq: Dar al- Fikr, 2004),
51
mengeruk kekayaan.Oleh karena itu, mereka lebih layak mendapatkan hukuman qishas dibandingkan orang yang membunuh seorang atau dua orang manusia.19 3. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Hukuman Bagi Produsen, Bnadar, Pengedar, Dan Penyalahguna Narkoba pada Tnggal 9-12 Sya;ban 1433 H/29 Juni-2 Juli 2012 M. 4. Keputusan Munas VII MUI Tahun 2005 tentang Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Tertentu. 5. Fatwa MUI tahun 1976 tentang Penyalahgunaan Narkotika, dan fatwa MUI Tahun 1996 tentang penyalahgunaan ectasy dav Zat-Zat jenis Lainnya D. Tentang keputusan MUI NO. 53 Tahun 2014 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah: MENIMBANG
:A. Bahwa penyalahgunaan jenis-jenis narkotika dan berbagai zat adiktif yang menimbulkan ketergantungan serta merusak tubuh seperti saraf, otak dan hati, mempunyai dampak serius pada kerusan moral dan sosial mayarakat, khususya generasi muda, sehungga mengancam masa depan bangsa da Negara. b. bahwa saat ini indobesia telah enjadi pasar tujuan peredaran narkoba, dan bahkan menjadi produsennya
19
h. 792
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawii Muaa‟shirah, juz 2,(Beirut:Darul Ma‟rifah,1988),
52
sehinnga semakin banyak korban berjatuhan sebagai pencandu narkotika tanpa batasan usia c. bahwa untuk melidungi bansa dan Negara, terurtama generasi muda, perlu dilakukan berbagai upaya bersama untuk menanggulangi penyalahgunaan jenis-jenis narkotika dn berbagai zat adiktif lainya secara komperhensif d. bahwa oleh karea itu, Majerlis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukuman bagi Produsen, Bnadar, Pengedar, Dan Pengguna Narkoba untuk dijadikan pedoman. Dalam Keputusan Fatwa ini Dimaksud adalah: Menetapkan dan Memutuskan: Pertama
: Ketentuan Umum: 1. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk
dankadarnya telah ditetapkan oleh nash. 2. Ta‟zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan
kadarnya diserahkan kepada Uil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman) Kedua
: Ketentuan Hukum 1. Memproduksi, mengedarkan dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakn tinda pidana yang harus dikenai had dan/atau ta‟zir.
53
2. Produsen, bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dashsyat dibanding dengan khamr (minuman keras) 3. Negara boleh menjatuhkan hukuman Ta‟zir sampai dengan hukuman
mati
kepada
perodusen,
bandar,
pengedar
danpenyalahguna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum. 4. Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar dan penyalahgua narkoba. 5. Penegak hukum yang terlibat dalam produksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukum. Ketiga
: Rekomendasi (Taushiyah) 1. Meminta kepada pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pemberantsan
terhadap
peredaran
gelap
narkoba
untuk
me;lindungi kemaslahatan umum serta melakukan rehabilitasi terhadap korban narkoba. 2. Meminta kepada pemerintah agar program rehabilitasi korban narkoba harus diintegrasikan dengan pertaubatan dari tindakan haram yang dilakukan.
54
3. Meminta kepada Presiden RI sebagai kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk membuat kepeloporan dalam perang terhadap kejahatan narkoba, mengeluarkan intruksi yang lebih keras dan intensif terhadap penaggulangan poenyalahgunaan narkotika serta memberikabn hukuman yang keras dan tegas untuk kepentinga efek kerja. 4. Meminta masyarakat agar terlibat aktf dalam melakuakan pencegahan dan pemberantsan peredaran narkoba dikalangan masyarakat 5. Menghimbau kepada para ulama, tokoh agama, da‟I dana muballigh,
pendidik,
Miuballigh
dan
klepada
pendidik
pendidikan/penerangan
Alaim
untuk
terhadap
lebih
Ulama,
Guru-guru,
giat
memberikan
masyarakat
mengenai
penyalahgunaan narkotika sertabersama-sama seluruh elemen masyarakat berusaha menyatakan “Perang Melawan Narkotika”.
55
BAB IV ANALISA TERHADAP FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANGSANKSI HUKUMAN MATI BAGI PENYALAHGUNA NARKOBA A. Analisa Terhadap Fatwa Majelis Ulam Indonenesia (MUI) Tentang Hukuman Mati Bagi Penyalahguna Narkoba Untuk menganalisa hasil istinbath hukum fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan hukumnya, yakni hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar Dan Penyalahguna Narkoba yang sanksi hukumannya itu sampai kepada hukuman mati, Maksud dari penetapan sanksi hukuman Bagi penyalahgunaan Narkoba yaitu MUI sudah merapatkan hasil ketentuan sanksi hukuman tersebut, yang dimana ketetapan Fatwa tersebut hasil pembaharuan dari fatwa MUI Nomor 10/MUNASVII/MUI/14/2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu, Maka daripada itu diperlukannya uraian-uraian yang berdasarkan pada Bab II dan Bab III yang telah mengemukakan hal-hal yang menjadikan landasan ditentukannya subyek hukum. Sebelum membahas lebih lanjut tentang analisa penulis terhadap hasil istinbath Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan hukuman bagi produsen, bandar, pngedar dan penyalahguna narkoba. perlu diketahui bahwa efek dari pengaruh obat-obatan terlarang
tersebut
sungguh sangat berbahaya jika dikonsumsi dengan berlebihan. Karena Narkoba itu memiliki illat (kesamaan hukum) dengan khamr yang bisa menimbulkan rasa mabuk dan membuat akal tidak terkontrol dan juga dapat mencelakakan diri sendiri dan
56
orang lain, bahkan yang lebih bahanya lagi dapat menyebabkan kematian apabila mengonsumsinya dengan sangat berlebihan. Adapun penggunaan Narkotika sebenarnya tidak ada masalah jika itu memang untuk kepentingan pengobatan dan penelitian, namun itu semua harus berada dalam pengawasan dokter atau seseoarng yang ahli dalam bidangnya. Namun karena pada saat ini indonesia telah menjadi pasar tujuan peredaran narkoba, dan bahkan menjadi produsennya sehingga semakin banyak korban berjatuhan sebagai pencandu narkotika tanpa batasan usia, maka hukum penggunaan Narkoba itu haram jika untuk kepentingan pribadi, karena efek dari penggunan narkoba itu sangatlah berbahaya. Maka dari penjelasan diatas itu, akhirnya MUI pusat mengistinbatkan hukuman bagi produsen, pengedar, Bandar dan penyalahgunaan narkoba bagi orang yang salah dalam menggunakan obat-obatan tersebut, yang mana keputusan tersebut tertera dalam Fatwa NO.53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen,. Bandar, Pengedar dan Penyalahguna Narkoba,
yang dimana
rapat
tersebut
telah
diselenggarakan oleh Komisi Fatwa MUI pada tanggal 30 Desember 2014, MUI menyatakan; Memproduksi, mengedarkan dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai had dan/atau ta‟zir bahkan juga sampai kepada hukuman mati jika penyalahgunaanya tersebut dilakukannya dengan berulang kali dan kadarnya juga melebihi ketentuan. Dengan menggunakan Dasar Hukum al-Qur‟an, Dan Hadits, metode
yang
dipakainya
Kemudian
menggunakan metode istinbath yang berupa qaidah
fiqihiyah dan pendapat para fuqaha (Ulama terdahulu), akhirnya pada tanggal 30
57
Desember 2014 dengan penuh pertimbangan MUI mengeluarkan Fatwa tentang keharaman bagi Penyalahguna narkoba, karena dalam al-Qur‟an, al Hadits, dan kaedah fiqhiyyah sudah sangat jelas diterangkan agar kita menjauhkan diri dari segala sesuatu yang memabukkan yang dapat mentup akal dan membawa kita dalm kebinasaan yang dapat menyebabkan kerugian bagi diri sendiri bahkan orang lain. Karena fatwa
MUI
merupakan suatu bentuk pedoman hukum bagi
pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya, Sehingga MUI perlu mengistinbatkan kembali hukuman bagi produsen, pengedar, Bandar dan Penyalahguna narkoba, berikut metode atau landasan hukum yang diambil oleh MUI: Firman Allah Ta‟ala antara lain: Surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi:
Artinya:Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
Artinya: Danjanganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalahMaha Penyayang kepadamu” (QS.An Nisa‟: 29) Dua ayat di atas menunjukkan akan haramnya merusak diri sendiri atau membinasakan diri sendiri. Yang namanya narkoba sudah pasti merusak badan dan
58
akal seseorang. Sehingga dari ayat inilah kita dapat menyatakan bahwa narkoba itu haram jika di konsumsi. Dalam menetapkan sebuah hukum tentang larangan mengonsumsi Narkoba, MUI pun mengutip dari beberapa hadits, diantaranya yaitu:
َٓى سسٕل هللا صهى هللا عهيّ ٔسهى عٍ كم: سًعث او سهًة جقٕل:عٍ شٓشابٍ حٕشب قال 1
يسكش ٔيفحش
Artinya: Dari Syahr Bin Hausyab, ia berkata: Aku mendengar Ummu Salamah, ia berkata,“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari segala yangmemabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud). Jika khamr itu haram, maka demikian pula dengan mufattir atau narkoba. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan diharamkan berdasarkan kesepakatan paraulama.Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan”. Seperti halnya pendapat Yusuf Al Qardawi Ganja, heroin, sertabentuk lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotik) adalahtermasuk benda-benda yang diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.Yakni yangmengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat membedakan antar sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu.
1
Abu Daud Sulaiman, sunan abi dawud, juz 3, Hadits ke 298, (Bayrut:maktabah al„ashriyah, 2010), h. 329
59
Benda-Benda ini akan mempengaruhi akal dalam menghukumi atau menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan dan ketidaktentuan.2 Para ulama sepakat haramnya mengkonsumsi narkoba ketika bukandalam keadaan daruratsudah jelaslah bahwa narkoba sebagai alat perusak yang dapat dikategorikan sebagai barang haram.Mengkonsumsi narkoba merupakan sebuah kemaksiatan dan menjual narkoba berarti tolong-menolong dalam kemaksiatan. Narkoba juga secara nyata membuat para penggunanya kehilangan kesadaran dan memberikan mudharat yang lebih banyak di banding manfaatnya.Sifat ini menyerupai sifat khamr (segala sesuatu yang memabukkan) yang telah diharamkan dalam Islam. Pengedar narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Karenanya hukuman bagi mereka yang membuat kerusakan di muka bumi adalah salah satu dari empat hukuman sesuai kebijakan pemerintah Islam. Sebagaimana firman Allah Ta‟ala:
2
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawii Muaa‟shirah, juz 2, (Beirut:Darul Ma‟rifah, 1988),
h. 796
60
Artinya: “Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka [1] dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, [4] atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. AlMaidah: 33) Ayat di atas menunjukkan bahwa yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi salah satu hukumannya adalah dibunuh. Memproduksi dan mengedarkan narkoba serta menyelendupkannya di suatu negara akan membuat kerusakan yang sangat besar kepada generasi bangsa tersebut. Dan perbuatan seperti itu merupakan salah satu bentuk memerangi ajaran Allah dan RasulNya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan ayat di atas.
Dalil tentang ancaman pidana mati khamr juga terdapat dalam hadist Nabi,bahwa peminum khamr jika dia melakukannya berulang kali maka peminumnya harus dibunuh.
"إرا ششبٕا انخًش: قال- صهى هللا عهيّ ٔسهى- عٍ يعأية بٍ أبي سفياٌ ٌ سسٕل هللا 3
ثى إرا ششبٕا فاقحهْٕى، ثى إرا ششبٕا فاجهذْٔى، ثى إرا ششبٕا فاجهذْٔى،فاجهذْٔى
Artinya: Nabi Saw bersabda: Dari Mu'awiyah in Abi Sufyan ia berkata:Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa yang minum khamr maka deralah ia, lalu jika ia mengulangi maka deralah, lalu jiak ia masih mengulangnya maka deralah, lalu jika mengulanginya kembali maka bunuhlah dia”.
3
Abu Abdullah muhammad, Sunan ibnu majah, juz 3, hadits ke 2573 (Darr Arrislah Al‟alamiyah, 2009), h. 604
61
Hadist di atas menunjukkan bahwa peminum khamr yang tidak jera boleh dibunuh, apalagi produsen dan pengedar Narkoba yang dimana itu merupakan kejahatan luar biasa yang akan berdampak pada hancurnya generasi muda bahkan juga sebuah Negara.
Menurut analisis penulis hadits ini berlaku bagi pelaku pengguna narkoba yang sudah berkali-kali mengkonsumsinya dan sudah diberikan sanksi hukuman namun sama sekali tidak menimbulkan efek jera dalam dirinya, maka dri itu pemerintah berhak untuk menjatuhkan hukuman mati untuknya, sebagai pelajaran bagi masyarakat yang lain agar mereka berfikir-fikir kembali jika ingin mengonsusmi narkoba.
Dalam Hadits lain:
ٕ ٔ أ ب،ٍ جهذ سسٕ ل هللا صهى هللا عهيّ ٔسهى في انخًش أسبعي:عٍ عهي في قصة ٔانذ بٍ عقبة ) (سٔاِ يسهى4 ٔ عًش ثًا َيٍ ٔكم سُة ٔ ْزا أ حب إني،ٍبكشأسبعي Artinya: Dari‟Ali dalam kisah Walid Bin „Uqbah bahwa Rosulullah SAW telah mencambuk bagi peminum khamr/pecandu Narkoba 40 kali, Abû Bakar mencambuk 40 kali, dan „Umar mencambuk 80 kali, kesemuannya itusunnah dan inilah yang lebih saya senangi (yaitu 80 kali)”. (HR. Muslim). Menyikapi hadis di atas, sebagaimana yang sudah penulis paparkan dalam bab III para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum khamr dikenakan had berupa 4
Musim Al-Hajjaj, Shohih Muslim, bab haddul Khomri, hadits ke-268, (Darul ihya Atturots Al ‟Arab, bayrut:2010), h. 1331
62
hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut. Dari kalangan mazhab Mâlikiyah dan Hanâfiyah berpendapat bahwa peminum khamr dikenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syâfi‟iyah menyatakan bahwa peminum khamr diberikan sanksi cambuk 40 kali.Sedangkan dari Mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk.Imam Syâfi‟î menyatakan bahwa Had
bagi
peminum khamra dalah 40 kali cambuk, hal ini didasarkan kepada tindakan „Ali bin Abî Thâlib yang mencambuk Walîd bin „Uqbah dengan 40 kali cambuk
عٍ يحًذ بٍ ا، عٍ َدأد ابٍ بكشبٍ أ بي انفشات، حذثُا إسًاعيم يعُي ابٍ جعفش:حذ ثُا قحيبة ّ" يا اسكش كثيشِ فقهيه: قال سسٕل هللا صهى هللا عهّ ٔ سهى: عٍ جابش بٍ عبذ هللا قال،نًكُذس 5
حشاو
Artinya: Telah menyampaikan kepada kami qutaibah: Telah menyampaikan kepada kami Isma‟il ya‟ni bin Ja‟far, dari Daud bin Abau bakar bin Abi Al furot, dari Muhammad bin Al- Mukandar dari Jabir bin „Abdullah berkata: Telah berkata Rosulullah SAW: “ sesuatu yang jika banyak itu memabukkan, maka sedikitnya adalah haram“. (HR. Abu Daud) Akan tetapi melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba hukuman yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati.Demikian juga hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah Islam adalah hukuman mati, tentang 5
Abu Daud Sulaiman bin Sulaiman bin al- Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Almahira, Jakarta:2013) h. 776
63
hukuman
bagi
bandar,
pengonsumsi
dan
pengedar
narkotika,
ulama
menggolongkannya masuk dalam kaidah ta'zir.Ta'zir bagi pengedar narkoba menurut pendapat ulama-ulama NU boleh dijatuhi hukuman mati.Alasannya, pemasok narkotika menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang bisa menghancurkan sebuah bangsa atau Negara, Hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah Islam bagi tindak pidana narkotika adalah ta‟zir. Disebut ta‟zir yaitu hukuman yang tidak ditetapkan oleh syariat dan atau di atur secara umum dalam syariat akan tetapi tidak memenuhi syarat (unsur subhat), sehingga tidak termasuk dalamJarimah hudud dan qisash diyat.Melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba,maka hukuman yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati. Adapun pelaksanaan hukuman ta‟zir terhadap tindak pidana narkotika menurut Drs. Makrus Munajat, M.Hum dalam bukunya “Hukum Pidana Islam di Indonesia” adalah mutlak menjadi hak dan wewenang kepala negara (imam). Bila dilaksanakan orang lain yang tidak mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat dikenai sanksi. Alasannya setiap sanksi atau hukuman itu diadakan bertujuan untuk melindungi masyarakat atau rakyat.Oleh karena penguasa Negara itu wakil rakyat, maka hanya dia yang berwenang melaksanakan hukuman ta‟zir ini6. Hukuman mati dalam pidana yang menggunakan ta‟zir ulama mempunyai beberapa pendapat.Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan 6
Makrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta:Teras,2009), h. 124
64
hukuman mati sebagai ta‟zir dalam jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Bagi pengguna narkoba yang kejahatnnya itu berulang-ulang yang sama sekali hukuman tersebut tidak memberikan efek jera bagi si pelaku, maka ia termasuk dalam kategori pendapat ulama hanfiyah yaitu boleh dikenakan sanksi hukuman mati. Malikiyah membolehkan hukuman mati sebagai ta‟zir untuk jarimah-jarimahta‟zir tertentu, yaitu melakukan kerusakan di muka bumi.Sebagian ulama syafi‟iyah membolehkan hukuman mati dengan ta‟zir dalam kasus menyimpang dari ajaran al Qur‟an dan hadis.7
Kebanyakan fuqaha mazhab Hanafiyah memperbolehkan hukuman Mati terhadap khamr sebagai dan menyebutnya pembunuhan dikarenakan motif politik.Beberapa ulama‟ mazhab Hanabilah terutama Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim serta beberapa muridnya juga mendukung pendapat tadi.Pendapat tersebut juga didukung oleh beberapa ulama‟ Malikiyah.8
Adapun pendapat ulama mazhab tentang hukuman narkoba adalah Dari ulama Malikiyah, Ibnu Farhun berkata,“Adapun narkoba (ganja), makahendaklah yang mengkonsumsinya dikenai hukuman sesuai dengan keputusan hakim karena narkoba jelas menutupi akal”. „Alisy salah seorangulama Malikiyah berkata, “hukuman itu hanya berlaku pada orang yang mengkonsumsi minuman yang memabukkan.Namun 7
Ibid hal 198
8
Abdul Aziz Amir, At Ta‟zir fi Al Syari‟ah Islamiyah,(Saudi Arabiya:Dar Al Fikr,1976), h.
223
65
jika masih sedikit tidak sampai merusak akal, maka orang yang mengkonsumsinya pantas diberi hukuman.Namun narkoba itu sendiri suci, beda halnya dengan minuman yang memabukkan”. Dari ulama Syafi’iyah, Ar Romli berkata, “Selain dari minuman yang memabukkan yang juga diharamkan yaitu benda padat seperti obat bius (albanj), opium, dan beberapa jenis za‟faron dan jawroh, juga ganja (hasyisy),maka tidak ada hukuman had (yang memiliki ketentuan dalamsyari‟at) walau benda tersebut dicairkan. Karena benda ini tidak membuat mabuk (seperti pada minuman keras)”. Begitu pula Abu Robi‟ Sulaiman bin Muhammad bin „Umaryang terkenal dengan Al Bajiromi-berkata, “Orang yang mengkonsumsi obat bius dan ganja tidak dikenai hukuman had berbedahalnya dengan peminum miras. Karena dampak mabuk pada narkoba tidakseperti miras.Dan tidak mengapa jika dikonsumsi sedikit.Pecandu narkoba akan dikenai ta‟zir (hukuman yang tidak ada ketentuan pastinya dalam syari‟at).”
Sedangkan ulama Hambali yang berbeda dengan jumhur dalammasalah ini.Mereka berpendapat bahwa narkoba itu najis, tidak boleh dikonsumsi walau sedikit, dan pecandunya dikenai hukumansepertiketentuan pada peminum miras.9
9
Pendapat Ulama Mazhab, oleh Muhammad Kosim, Kasus Narkoba,(Padang: Makalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol), h. 10
66
Dalam fiqh kontemporer, Yusuf Al Qardawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) harus memerangi narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya.Dengan dalil bahwa hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan.Mereka layak mendapatkan hukuman qisash.10 Dalam bukunya yang berjudul “Fatwa-Fatwa Kontemporer” AlQardawi ditanya; “Al-Quran dan Hadis menyebutkan Pengharaman khamr,tetapi tidak menyebutkan keharaman bermacam-macam benda padat yang memabukkan, seperti ganja dan heroin.Maka bagaimanakah hukum syara' terhadap penggunaan benda-bendatersebut, sementara sebagian kaum muslim tetap mempergunakannya dengan alasan bahwa agama tidak mengharamkannya?”
Yusuf Al Qardawi menjawab : “Ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotika) adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara'tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama. ”Alasan yang menunjukkan keharamannya menurut Yusuf al Qardawi adalah adalah sebagai berikut: 1. Ia termasuk kategori khamr menurut batasan yang dikemukakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. "Khamr ialah segala sesuatu yang menutup
10
h. 797
Yusuf Qardhawi, hadyul Islam Fatawi Mua‟shirah, juz 2, (Beirut:Darul Ma‟rifah, 1988),
67
akal."Yakni yang mengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat membedakan antar sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu. Bendabenda ini akan mempengaruhi akal dalam menghukumi atau menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan dan ketidak tentuan, yang jauh dipandang dekat dan yang dekat dipandang jauh. Karena itu sering kali terjadi kecelakaan lalu lintas sebagai akibat dari pengaruh benda-benda memabukkan itu. 2. Barang-barang tersebut, seandainya tidak termasuk dalam kategori khamr atau "memabukkan," maka ia tetap haram dari segi "melemahkan" (mufattir). Almufattir ialah sesuatu yang menjadikan tubuh loyo tidak bertenaga. Larangan ini adalah untuk mengharamkan, karena itulah hukum asal bagi suatu larangan, selain itu juga disebabkan dirangkaikannya antara yang memabukkan yang sudah disepakati haramnya dengan mufattir 3. Bahwa benda-benda tersebut seandainya tidak termasuk dalam kategori memabukkan dan melemahkan, maka ia termasuk dalam jenis khabaits (sesuatu yang buruk) dan membahayakan, sedangkan diantara ketetapan syara 'bahwa lslam mengharamkanmemakan sesuatu yang buruk dan membahayakan. 4. Dalil lainnya mengenai persoalan itu ialah bahwa seluruh Pemerintahan (negara) memerangi narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu negara yang memperbolehkan khamr dan minuman keras lainnya sekalipun,tetap memberikan hukuman berat kepada siapa saja yang terlibat narkotik. Bahkan sebagian negara menjatuhkan hukuman mati kepada pedagang dan pengedarnya. Hukuman ini
68
memang tepat dan benar, karena pada hakikatnya para pengedar itu membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Oleh karena itu, merekalebih layak mendapatkan hukuman qishash dibandingkan orang yang membunuh seorang atau dua orang manusia.11 Berdasarkan uraian di atas, tentang pidana narkotika oleh Yusuf Al Qardawi, maka mengenai hukumanan yang tepat adalah hukuman mati.Yusuf Al Qardawi menetapkan hukuman mati bagi pidana narkotika dengan alasan bahwa orang tersebut menghalalkan narkotika, melakukan berulang-ulang, karena narkotika dapat membunuh bangsa-bangsa. Dalam Islam hukuman mati pidana narkotika hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan Islam, dimana konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.Itupun harus melalui mekanisme peradilan, bukan semata-mata bersandar pada fatwa seorang ulama.Hukuman mati pun hanya berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat, seperti konteks yang melatar belakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang diancam hukuman mati.Hukum Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana yang membawa
11
Yusuf Qardhawi, hadyul Islam Fatawi Mua‟shirah, juz 2, (Beirut:Darul Ma‟rifah, 1988), h.
815
69
konsekuensi jatuhnya hukuman mati.Dalam kondisi-kondisi demikian, putusan untuk menjatuhkanhukuman mati dapat dipertimbangkan kembali.12
Kalau kita pelajari ajaran Islam secara lebih mendalam, akan kita dapati ketentuan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan tertentu yang memang berdampak kepada kerusakan pada kehidupan manusia, seperti membunuh dengan sengaja, berzina untuk yang sudah menikah dan lain-lainnya.
Oleh krena itu menurut analisa penulis dapat disimpulkan bahwa hukuman untuk para pengedar dan pengguna narkoba, para ulama membedakan antara keduanya, yang rinciannya sebagai berikut :
Pertama: Hukuman bagi pengguna narkoba
Orang yang mengkomsumsi narkoba disamakan dengan para peminum khamr, hukumannya adalah ta‟zir, yaitu hukuman yang belum ditetapkan syariat batasannya dan diserahkan kepada pemerintah setempat dengan mengacu kepada maslahat. Ta‟zir ini bisa berupa penjara, cambuk, sampai hukuman mati, tergantung kepada kasus yang menimpanya dan dampak kerusakan yang ditimbulkannya.
Kedua: Hukuman bagi produsen dan pengedar narkoba
12
Hasibullah Satrawi, Fikih Hukuman Mati ,Koran Tempo,11 April 2006
70
Para ulama menyatakan bahwa hukuman para produsen dan pengedar narkoba yang menyebabkan kerusakan besar bagi agama bangsa dan negara khususnya generasi muda yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan bangsa adalah hukuman mati.
Maka dari itu Dalam konteks fiqh Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan perhatian besar terhadap beberapa vonis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana perkara narkoba yang mengubah hukuman mati menjadi vonis hukuman penjara waktu tertentu, baik menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman penjara 15 tahun atau 12 tahun. Perhatian besar tersebut merupakan salah satu bentuk kewajiban, tugasdan tanggung jawab MUI untuk melindungi umatIslamdan bangsa darikejahatan luarbiasanarkoba. MUI berpendapat bahwa kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara kita selain terorisme dan korupsi.Ketiganya merupakan kejahatan luarbiasayang harusdihadapi secara sangat serius dan dengan tindakan hukum yang luarbiasajuga. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal. Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang memberikan fatwa hokum Islamtelah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya negara menjatuhkan hukuman mati melalui fatwa Nomor 10/MUNASVII/MUI/14/2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu, Didalam fatwa yang dikeluarkan pada 29 Juli 2005 tersebut, MUI secara tegas menyatakan: Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan memberlakukannya dalam
71
jarimah (tindak pidana)hudud,qishash dan ta‟zir. Negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu. Dalam qaidah-qaidah ushul fiqihnya dijelaskan juga bahwa suatu hukum bisa berubah dikarenakan adanya perubahan zaman dan tempat Artinya: “Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”13 Oleh karena itu MUI menetapkan kembali satu hukum baru melalui istinbath Fatwanya yang tertera dalam Fatwa No.53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar dan Penyalahguna Narkoba yang ditetapkan pada tanggal 30 Desember 2014 Di Jakarta, dalam fatwa terbarunya tersebut MUI secara tegasmenyatakan: Memproduksi, mengedarkan dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai had dan/atau ta‟zir. Produsen, bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dashsyat dibanding dengan khamr (minuman keras) Negara boleh menjatuhkan hukuman Ta‟zir sampai dengan hukuman mati kepada perodusen, bandar, pengedar danp enyalahguna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum. Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar dan penyalahgua narkoba. Secara tidak langsung, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengatakan bahwa sanksi bagi pelaku tindak pidana narkoba adalah ta’zir. Yang menjadi pertimbangan fatwa ini adalah bahwa untuk mencegah terjadinya tindak 13
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia :1998), h. 303
72
pidana narkoba yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda yang sangat mengganggu pikiran, keamanan dan suksesnya pembangunan perlu adanya usaha dan tindakan-tindakan berikut: 1. Menjatuhkan hukuman berat/keras terhadap penjual/pengedar/penyelundup bahan-bahan narkoba sampai dengan hukuman mati. 2. Menjatuhkan hukuman berat terhadap petugas-petugas keamanan
dan
petugas-petugas pemerintah sipil dan militer yang memudahkan, meloloskan, membiarkan apalagi melindungisumber/penjual/pengecer/pengedar
gelap
narkoba agar tidak disalahgunakan. 3. Menjatuhkan hukuman berat terhadap petugas-petugas keamanan petugas-petugas
pemerintahSipil
dan
militer
yang
dan
memudahkan,
melindungisumber/penjual/pengecer/pengedar gelap narkoba agar tidak disalahgunakan. 4. Mengeluarkan peraturan-peraturan yang lebih keras dan sanksi-sanksi yang lebih berat terhadap mereka yang mempunyai legalitas untuk penjualan narkoba agar tidak disalahgunakan. 5. Mengadakan
usaha-usaha
preventif
dengan membuat
undang-undang
mengenai penggunaan dan penyalahgunaan narkoba.14 Dalam hukum Positif, yaitu UU No. 35/2009 tentang Narkotika & UU No. 5/1997 tentang Psikotropika telah dijelaskan bahwa narkotika dan psikotropika
14
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.130-131
73
hanya bisa diproduksi dan disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan. Tujuannya adalah
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dibawah pengawasan para ahli dan dokter yang berkompeten dan berwenang pada bidang tersebut. Di luar itu semua, dinyatakan
sebagai
barang terlarang karena dapat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan anti narkoba
tersebut
diatas,
dengan
cara
memproduksi, mengedarkan, dan menggunakan narkoba secara ilegal, tanpa hak dan melawan hukum dapat dikenakan sanksi pidana mati, penjara, dan denda dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dalam hukum Islam, narkoba dipandang sebagai suatu benda yang memabukkan, membius, melemahkan dan merusak akal serta anggota tubuh manusia lainnya. Sehingga tergolong kepada khamr dan haram status hukumnya dikonsumsi oleh manusia. MUI menyayangkan apabila terhadap terpidana perkara narkoba diberikan grasi, karena merusak komitmen dan perjuangan bangsa kita dalam memberantas kejahatan narkoba.MUI mengkhawatirkan jika hukuman mati tersebut tidak diterapkan akan mendorong peningkatan peredaran narkoba ditanah air yang akan menambah jumlah korban dan kerusakan bangsa yang makin parah. Qaidah Fiqihnya adalah:
74
15
انضشسيزال
Artinya:” Dharar (bahaya) itu harus dihilangkan16
MUI mendukung pemerintah indonesia agar mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba, oleh karenanya MUI telah mengeluarkna fatwa terkait masalah hukuman mati tersebut, karena narkoba memiliki dampak buruk yang sangat luar biasa bagi manusia. Bahkan dampaknya lebih dahsyat jika dibandingkan dengan minuman keras.Terbukti dari data BNN, setiap harinya 50 orang generasi muda merenggang nyawa akibat narkoba.Jika dikalikan dalam pertahun mencapai 18.000 orang meninggal dunia pertahunnya. “Negara boleh menjatuhkan hukuman ta‟zir sampai hukuman mati, sesuai dengan kadar narkobanya dan kalau tindakan tersebut dilakukan berulang kali.
Qaidah fiqihnya adalah: 17
د سءانًفاسذ يقذو عهى جهب انًصانح
Artinya: “Menolak kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan.”
MUI menghimbau pemerintah harus konsisten dan tegas terhadap terpidana mati. MUI juga meminta tidak ada pengampunan ataupun pengurangan hukuman bagi 15
Muhammad shidqi ibnu ahmad, Al-wajiz fi idlah qawa‟id al-fiqhiyyah al-kulliyyah, (beyrut:Arrisalah al‟ilmiyah, 1996), h.41 16
17
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi.. Qawaid Fiqhiyyah, h. 17
Zainuddin Ibn Ibrahim ibn Nujaim, Al-Ashbah wa Al-Nazhaa‟ir (Damascus: Dar al-Qalam, 1991), h. 235
75
terpidana mati kasus narkoba.Oleh karena itu, MUI mengapresiasikan kebijakan Presiden Joko Widodo yang menolak grasi para terpidana mati, terutama kasus narkoba.Meskipun terjadi ancaman atau protes dari negara Australia dan Brasil, bahkan Sekjen PBB Ban Ki-Moon yang mendesak Jokowi menghentikan hukuman mati terpidana narkoba.
berdasarkan hukuman syariat, boleh hukuman mati, dengan catatan pemerintah tidak boleh memberikan keringanan atau pengampunan kepada bandar atau pengedar narkoba. “Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak memberikan grasi kepada terpidana narkoba sesuai dengan fatwa MUI. Tidak boleh pemerintah memberikan pengampunan.Bahayanya sudah besar merusak generasi muda.
Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan cara yang ekstra keras dan tegas juga agar peredarannya bisa ditekan, salah satunya dengan memberikan hukuman mati kata mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal (Purn) Gories Mere saat hadir dalam diskusi dengan tema "Hukuman Mati dan Narkoba", Rabu (22/4) di Jakarta.
Menurut Gories, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 ataupun hukum internasional lainnya. Apalagi, hukuman mati memiliki sejumlah tujuan, antara lain menjaga konsistensi dan tidak diskriminatif, mencegah main hakim sendiri, mencegah jatuhnya korban, dan mencegah timbulnya kejahatan lain akibat narkoba.
76
.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, pemberian
hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi para pengedar narkotika. "Masih ada hukuman mati saja peredaran narkoba masih merajalela, apalagi jika tidak diterapkan. Hukuman mati untuk menyelamatkan peradaban modern," kata Mahfud.
Namun demikian, menurut Mahfud, kelak hukuman mati ini diharapkan tidak lagi menjadi hukuman pokok, tetapi hukuman khusus.
Inspektur Jenderal (Purn) Benny J Mamoto dari Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) Bidang Strategi dan Teknik Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba mengemukakan, hukuman mati bukanlah satu-satunya cara mencegah peredaran narkoba. Harus ada langkah komprehensif lain untuk menekan peredaran narkoba.18
Bagaimana dengan sosiologis masyarakat Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan hukuman mati. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati, khususnya terpidana kasus Narkotika. Karena tidak ada gerakan masyarakat yang menolak terhadap eksekusi mati tahap II tersebut, kecuali hanya sebagian kecil dari elemen masyarakat yang menolak hukuman mati.
18
Manusia
http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Hukuman-Mati-Tidak-Melanggar-Hak-Asasi-
77
Selain itu dari factor kesejarahan, hukuman mati telah eksis atau diterapkan di bumi Nusantara sejak sebelum kemerdekaan Indonesia untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan sosial dan keseimbangan masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Soepomo (baca: pidana mati dalam Negara pancasila). Sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dunia internasional bahwa kejahatan Narkotika masuk kedalam kategori white color crime (kejahatan kerah putih) sehingga penjatuhan pidana mati terhadap kejahatan tersebut sangat wajar, karena Narkoba dan sejenisnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat dan dapat mengancam keseimbangan masyarakat.19
Dalam hukum Positif, yaitu UU No. 35/2009 tentang Narkotika & UU No. 5/1997 tentang Psikotropika. Sanksi bagi produsen dan pengedar narkoba adalah pidana mati, penjara, dan denda dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Sedangkan sanksi bagi penyalahguna narkoba adalah penjara. Pada dasarnya, sanksi bagi pembuat dan pengedar narkoba yang sifatnya menjerakan tidak ditemukan dalam nash Alqur’an dan hadis. Dengan kata lain, belum diatur oleh Syara’. Yang ada hanyalah sanksi bagi peminum khamr/ penyalahguna narkoba yaitu had 80 kali dera. Namun, bukan berarti mereka lepas sama
sekali
dari
hukuman
dunia. Melainkan dikenakansanksi ta’zir yang
diserahkankepada Ulil Amri (pemerintah/penguasa) untuk menetapkannya. Adapun
19
http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia
78
hukumannya bisa saja berupa pidana mati, penjara, denda dan sanksi dera tergantung kepad mafsadat yang ditimbulkan oleh pelakunya. Jadi, penulis melihat bahwa sanksi pidana dalam hukum Positif dan hukum Islam terhadap produsen dan pengedar narkoba memiliki prinsip hukum yang sama, yaitu adanya ancaman hukuman mati. Penulis juga sependapat dengan ulama kontemporer Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa pengedar narkoba harus dihukum mati, agar para pelaku lainnya jera dan berfikir dua kali untuk melakukan kejahatan serupa. Menurut penulis, hukuman mati memang tepat bagi produsen dan pengedar narkoba. Karena
tanpa mereka, mustahil
terjadi
penyalahgunaan narkoba yang merusak dan menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa. Maka dari itu, hal ini pun senada dengan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyarankan kepada pemerintah agar memberikan hukuman seberatberatnya bagi Bandar, pngedar , produsen dan penyalahguna narkoba bahkan sampai kepada hukuman mati guna memberikan efek jera bagi para pelaku penyalahguna narkoba. Majelis Ulama Indonesia-pun mendukung pemerintah Indonesia agar mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba. MUI juga berpendapat bahwa generasi Indonesia saat ini harus diselamatkan dari bahaya narkoba yang bisa merusak moral bangsa. Sehingga mereka sangat mendukung kebijakan pemerintah dalam menghukum mati bandar narkoba. Qaedah fiqihnya adalah:
79
20
يححًم انضشس انخاص نذفع انضشسانعاو
Artinya: “Bahaya yang bersifat khusus itu ditanggung untuk mengiliminir bahaya yang bersifat umum” A. Keabsahan Hasil Istinbath Hukum Fatwa MUI Dalam Menetapkan Hukum Istinbat hukum yang dilakukan MUI sebagai cara dalam menetapkan hukum, dengan cara beristinbath maka akan ada satu hukum baru sebagai penjelas dari nash yang danni, (dalil yang menunjukkan makna, akan tetapi mengandung hal-hal untuk mentakwilkan dan penyimpangan dari arti sesungguhnya atau dengan arti lain), dan berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat secara jelas dalam al-Qur‟an maupun sunnah. Namun pada hakikatnya istinbat yang dilakukan MUI bukanlah penetap dan pembuat hukum karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa yang berhak menetapkan hukum syara‟ hanyalah Allah SWT, dan tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum yang dapat dicapai oleh MUI melalui istinbatnya itu adalah hukum Allah dalam fatwa MUI. Istinbat hukum yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkan hukum yang pengambilan hukumnya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma‟.Sedangkan metode yang dipakai oleh MUI dalam beristinbat dengan secara tidak langsung, maksudnya yaitu berkiblat pada pendapat terdahulu (pendapat para fuqaha„) dan menggunakan qaidah-qaidah fiqhiyah. Yang sesuai dengan metode istinbat yang ada dalam hukum Islam (yang terletak dalam usul fiqih). Dengan beristinbat hukum yang
20
„Ali ahmad an-nadwi, alqowa‟id Alfiqhiyah, ( Darrul Qolam : 1994), h.322
80
dilakukan MUI akan membawa dan akan memelihara kemaslahatan umat, karena dengan beristinbat maka akan mendapatkan satu hukum baru yang dibutuhkan oleh umat yang dalam kebimbangan dan kesulitan dalam menentukan hukum yang bertentangan dengan satu kondisi ataupun zaman. Dalam menetapkan suatu hukum istinbat anggota MUI (komisi) yang hadir jumlahnya
sampai dianggap cukup
memadai oleh pimpinan rapat, dan dalam hal-hal tertentu rapat dapat menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas.
81
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan analisis dari Fatwa MUI NO 53 Tahun 2014 bagaimana sanksi hukuman matibagi produsen, Bandar, Pengedar dan Penyalahguna Narkoba, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyarankan kepada pemerintah agar memberikan hukuman seberat-beratnya bagi Bandar, pngedar , produsen dan penyalahguna narkoba bahkan sampai kepada hukuman mati guna memberikan efek jera bagi para pelaku penyalahguna narkoba. MUI menyatakan; Memproduksi, mengedarkan dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai had dan/atau ta’zir bahkan juga sampai kepada hukuman mati jika penyalahgunaanya tersebut dilakukannya dengan berulang kali dan kadarnya juga melebihi ketentuan. 2. Terkait keabsahan fatwa MUI No.53 Tahuin 2014 MUI pada hakikatnya istinbat yang dilakukan MUI bukanlah penetap dan pembuat hokum, karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT, dan tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum yang dapat dicapai oleh MUI melalui istinbatnya itu adalah hukum Allah dalam fatwa MUI. 3. Di dalam Alqur’an memang tidak ada nash yang menjelaskan keharaman narkoba, akan tetapi ulama sepakat bahwa sesuatu yang dapat memabukkan
82
seseorang maka hukumnya haram. Islam juga sangat mendukung dengan diberlakukannya hukuman mati terhadap pengedar narkoba, karena dari pengedar inilah narkoba mudah didapatkan sehingga dapat merusak moral dan generasi penerus bangsa dan hal ini pun senada dengan Fatwa MUI No 53 Tahun 2014. Namun sebelum MUI mengeluarkan fatwa tersebut, Yusuf Al- Qardhowi telah lebih dahulu memihak kepada menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang kejahatnnya tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh dan kepada orang berusaha memproduksi dan mengedarkan Narkoba. 4. Perbedaan antara hudud dengan ta‟zir yaitu jarimah hudud adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan oleh syara‟. Sedangkan jarimah ta‟zir adalah jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara‟dan diserahkan kepada pemerintah (ulil amri) untuk menetapkannya. Adapun hukuman ta‟zir menurut para fuqaha muhaqqiq (ahli membuat keputusan) bisa saja berupa hukuman mati, tergantung kepada mafsadat yang ditimbulkan pelakunya 5. Untuk Bandar narkoba adalah hukumanya dibunuh, karena perbuatanya menjadi bandar pengedar narkoba, menyebarkan obat terlarang ke dalam negara menyababkan kerusakan yang besar tidak hanya bagi bandarnya namun juga menjadi sebab masalah yang serius bagi seluruh umat. Termasuk bandar narkoba adalah orang yang mendatangakan obat terlarang ini dari luar. kemudian didistribusikan ke penjual langsung.
83
6. Orang yang mengedarkan narkoba, baik dengan membuat sendiri atau impor dari luar, baik dengan jual beli, atau diberikan dengan cuma-cuma atau bentuk penyebaran lainya, maka untuk pelanggaran yang dilakukan pertama, dia dihukum ta’zir yang keras, baik dipenjara, dihukum cambuk atau disita hartanya atau diberikan semua hukuman tersebut sesuai keputusan mahkamah. Kemudian jika dia mengedarkan lagi, dia diberi hukuman yang bisa menghindarkan masyarakat dari kejahatanya meskipun harus dengan hukuman mati. Karena perbuatanya ini, dia termasuk orang yang merusak di muka bumi dan potensi berbuat maksiat telah melekat dalam dirinya. Begitupun bagi orang yang menyalahgunakan Narkoba yaitu sebagai pengkonsumsian harus di rehabilitasi secepat mungkin agar keadaan jiwa dan akalnya kembali normal agar dapat kembali hidup dengan normal.
B. SARAN
Kami menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu yang melekat dalam diri kami. Oleh karena itu saran dan kritikan akan skripsi dari pembaca sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga kita senantiasa terhindar dari bahaya narkoba, mari kita isi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat yang dapat meningkatkan kualitas diri kita. Seperti berolahraga, aktif di kegiatan majelis ta’lim, belajar, dan lain sebgainya.
84
Harapan kami agar di negara kita terutama masyarakat umum menyadari akan bahaya memakai atau mengkonsumsi Narkotika. Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih teman bergaul, sebab jika kita salah pilih teman lebih-lebih yang sudah kita tahu telah menjadi pecandu hendaknya kita berfikir lebih dulu untuk bersahabat dengan mereka.
Akhirnya skripsi ini telah selesai dan semoga skripsi yang sedemikian singkat ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik itu bagi kalangan Mahasiswa, Pelajar Umum sehingga bisa mengerti tentang bahaya narkoba yang bisa mengerogoti moral kita.
Daftarpustaka Al-Qur’a Dan Terjemahannya Mulya Lubis, Todung dan Lay, Alexander, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: KOMP AS, 2009), Undang-undangNomor 35 Tahun 2009 tentangNarkotika, Pasai113 ayat (2) SINAR BNN edisi 1/2011 P. Ali Imran, M. Amir dan Duse, Narkoba Ancaman Generasi Muda, (Samarinda : DPD KNPI Kalimantan Timur, 2007) Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kitab Al-Asru li Al-khamr, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III: 322. Maruf Amin, Pernyataan MUI Vonis mati kejahatan Narkoba. Kamis, 18 Oktober 2012. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) Abdul Qadir Audah , Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,(Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007) Musim Al-Hajjaj, Shohih Muslim, (Darul ihya Atturots Al ’Araby Bayrut:2010) Djazuli, Fiqih jinayah (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2000)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV. Diponogoro, 2006) Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1994) Rahamat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2002) Ali ahmad an-nadwi, alqowa’id Alfiqhiyah,( Darrul Qolam : 1994) Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: SinarGrafika, 2011) Oemar Seno, Hukum-hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984) Sudarsono, kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) Ahmad Wardi Muslich. Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) al-Jauziyah, Ibn Qayyim Hukum Acara Peradilan Islam, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Hasan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) A.Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Ali, H. Zainuddin Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, (Jakarta: Darul Falah, 2004) Djazuli, H.A, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Al-Maliki, Abdurrahaman Sistem Sanksi Dalam Islam,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002) Suwarjin, UshulFiqh (Yogyakarta: Teras 2012) ibnu ahmad, Muhammad shidqi, Al-wajiz, (Arrisalah al’ilmiyah : 1996) Muslim bin Al Hajj al-Qusyairy An-Naisiburi, Shohih Muslim, No: 5211, 67:2001 (Almahira, Jakarta: 2013) Abu Daud Bin Sulaiman bin al- Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Almahira, Jakarta:2013) Muhammad Washi. Prof. Dr. Nashr Farid 2009. QawaidFiqhiyyah. Jakarta: Amzah. 2009 Ibnu majah, Sunan Ibnu Mâjah, (Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H./1995 M.) Al-Tirmidzî, Jâmi’ al-Shahîh, III, (Bayrut: Dâr al-Fikr t.t) Wahbah Al- Zuhaili, Al-fiqh Al islamy Wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al- Fikr, 2004) Yusuf Qardawi, Hidyatul Islam Fatawi Mua‟shirah, diterjemahkan oleh As‟ad Yasin dengan judul, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Abu Daud bin Sulaiman bin al- Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Almahira, Jakarta:2013) Makrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009) Amir, Abdul Aziz, At Ta’zir fi Al Syari’ah Islamiyah, (Saudi Arabiya:Dar Al Fikr,1976) Muhammad Kosim, Kasus Narkoba,(Padang: Makalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol) Yusuf Al Qardawi, oleh Choirul Shalim, Hukuman Matibagi Bandar Narkotika (Perspektif Hukum Positif dan Fatwa Yusuf Al-Qardawi), (Yogyakarta : Skripsi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2013) Hasibullah Satrawi, Fikih Hukuman Mati ,Koran Tempo,11 April 2006 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2008) http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/20160311/laporan_kinerja_bnn_20152016 www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/article/ http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia
http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Hukuman-Mati-Tidak-Melanggar-HakAsasi-Manusia