RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usa negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain: menguji Undang1
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian UndangUndang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya UU 20/2001 karena Pemohon menganggap UU a quo tidak selaras dengan cita-cita dan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga UU a quo secara khusus merugikan Pemohon yaitu hilangnya hak dan harapan 2
Pemohon akan terwujudnya cita-cita berdirinya NKRI yang makmur dan sejahtera. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 20/2001: Penjelasan Pasal 2 ayat (2): “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap danadana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Alinea Ke-4 Pembukaan UUD 1945: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia,
kebijaksanaan
dalam
dan
Kerakyatan
yang
dipimpin
Permusyawaratan/Perwakilan,
oleh
serta
hikmat dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
3
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Menurut Pemohon, adanya perubahan frasa dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 20/2001 telah menyebabkan hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan keadilan sosial. 2. Bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 20/2001 hanya memberlakukan hukuman mati terhadap korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya. 3. Bahwa hal tersebut berbeda dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dalam
penjelasan
tersebut
sangat
dimungkinkan
untuk
memberlakukan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, mengingat negara saat ini dalam keadaan bahaya yang sangat mengancam perikehidupan berbangsa dan bernegara. 4. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Perppu 23/1959), Penjelasan Umum angka 1 berbunyi: “Jika suatu negara terancam oleh bahaya atau kehidupannya berada dalam bahaya, maka perhatiannya harus dipusatkan pada kedudukannya sendiri, karena bagaimanapun juga negara tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila negara itu sendiri roboh kelak.” 5. Bahwa menurut Pemohon, sehubungan dengan Penjelasan Umum angka 1 Perppu 23/1959 maka adakalanya terpaksa diadakan perubahan dalam susunan, pembagian dan sifat kekuasaan negara serta dalam kedudukan negara terhadap penduduk, agar dapat bertindak terhadap bahaya yang dihadapinya dengan kekuasaan-kekuasaan yang istimewa. 6. Bahwa menurut Pemohon, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 20//2001 tidak sesuai dan selaras dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 alinea ke-4 dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
4
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2. Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya” bertentangan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4; 3. Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 4. Menyatakan bahwa Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2) sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku”, berlaku kembali dan memiliki kekuatan hukum mengikat; 5. Menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat korupsi. Dengan dasar itu, Mahkamah Konstitusi mengambil tindakan diluar dari kaidah hukum yang berlaku (dengan menjadi positive legislator) demi menyelamatkan negara.
5
6. Menyatakan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat; 7. Menyatakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati dalam jumlah nominal yang disepakati oleh Mahkamah Konstitusi; 8. Menyatakan bahwa seluruh tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum putusan ini dibuat, diampuni dengan syarat: mengembalikan sisa uang yang telah dikorupsinya. Kemudian, bagi pelaku tindak pidana korupsi yang sudah dijatuhi hukuman, akan dibebaskan; 9. Memberitahukan putusan Mahkamah Konstitusi kepada DPR, DPRD, Presiden, dan Mahkamah Agung; 10. Memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. VIII. CATATAN Pemohon menyebutkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 UU 20/2001 pada petitum, namun Pemohon tidak menyebutkan dan tidak menguraikan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 UU 20/2001 pada alasan-alasan permohonan.
6