BAB IV MEREKONSTRUKSI BENTUK HUKUMAN DALAM HADIS NABI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. Unsur Ghulul, Risywah dan Khianat Dalam Rumusan Pasal UU No 31 Tahun 1999 Sebelum kami membahas lebih jauh, akan kami paparkan terlebih dahulu perbandingan unsur-unsur korupsi sesuai pasal 2 sampai dengan pasal 13 UU No 31 Tahun 1999.137 Penulis juga kemukakan adanya tiga kasus korupsi (jarimah) pada zaman Nabi yang berhubungan dengan kasus korupsi pada zaman sekarang. Ketiga kasus yang pernah terjadi pada zaman Nabi antara lain : Ghulul (penggelapan), Risywah (Gratifikasi) dan Khianat. Penggunaan konsep tindak pidana korupsi menurut kasus yang pernah terjadi pada zaman Nabi SAW dalam unsur-unsur korupsi pada rumusan pasal 2 – 13 UU No 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :138
No
Jenis Kasus
Intensitas Penyebutan
Pasal UU No 31 th 1999
1
Ghulul
2x
8 dan 10 a
2
Risywah
12 x
5(1) a, b. 5(2), 6 (1) a b. 6 (2), 11, 12 a b c d dan 13
3
Khianat
21 x
3,7 (1) b c d , 8, 9, 10 a b c, 11 dan 12 (1) dan (3) dan 12 huruf e
137
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 26-116 138
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2014), cet. Pertama, Hlm. 144
77
78
1. Unsur Ghulul Kalau kita melihat sejarah tentang pertama kali munculnya kasus ghulul, bermula dari tuduhan sebagian sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menggelapkan harta rampasan perang pada saat perang Uhud sebagaimana yang menjadi sebab turunnya Surah Ali‟Imran ayat 161.139 Atas dasar ayat ini dan beberapa hadis dari Rasulullah SAW, maka pada awalnya ghulul didefinisikan sebagai tindakan menggelapkan sebagian harta rampasan perang dan hartaharta negara dalam bentuk lain, sepeti harta zakat. Tindak pidana ghulul yang terjadi pada zaman Nabi nilainya sangat sepele, karena barang yang digelapkan hanya berupa mantel, tali sepatu dan manikmanik seharga dua dirham. Sedangkan pada kasus zakat sebagaimana yang pernah menimpa pada Abu Lutbiyah yang menerima hadiah saat bertugas, nilainya tidak disebutkan. Hanya saja kasus ini dikategorikan sebagai ghulul. Sementara dalam UU No 31 Tahun 1999 pasal 8 dan 10 huruf a disebutkan beberapa unsur korupsi, bunyi pasalnya adalah : a. Pasal 8, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiyah) dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuhratus lima puluh juta rupiah). Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang dutugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan segaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam perbuatan tersebut. b. Pasal 10 huruf (a), Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang
139
Abu al-Hasan Ali al-Wahidi, Azbabun Nuzul al-Qur‟an, ( Riyad : Dar al-Qiblah li alStaqafah Al-Islamiyah, 1984), Cet. Kedua, halaman 121. Disamping itu juga banyak hadis yang menerangkan tentang kasus ghulul, seperti Abu Lutbiyyah yang mengaku mendapat hadiah pada saat bertugas di Bani Sulaim, Kasus seorang budak bernama Mid‟am yang menggelapkan mantel dan kasus penggelapan seutas tali sepatu atau manik-manik orang Yahudi dari harta rampasan perang.
79
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.140 Unsur seorang pegawai negeri atau seseorang bukan pegawai negeri yang melakukan penggelapan terhadap harta negara yang sedang ada dalam kekuasaannya, dalam fiqh Jinayah dianggap sama dengan ghulul, karena unsur utama pada tindak pidana ghulul adalah “ٗ ِراعٟد سٗ ـٚ ءٟ( ”اخذ اٌطmengambil sesuatu dan menyembunyikan di
dalam hartanya)141. Yang dimaksud kata “sesuatu” dalam konteks yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW adalah tertuju pada harta rampasan perang, sebagaimana asal definisi ghulul itu sendiri, yaitu “ُٕ اٌّؽٟا ٔح ـ١ ”اٌذyang artinya penghkhianatan pada harta rampasan
perang.142 Seorang pegawai negeri dan bukan pegawai negeri sebagaimana yang tercantum dalam pasal 8 dan 10 huruf a dianggap sebagai subyek atau pelaku penggelapan harta negara. Jadi pelakunya bisa saja seseorang yang dengan sengaja menggelapkan atau membantu atau sekedar membiarkan orang lain melakukan penggelapan harta negara. Kesimpulannya, secara tegas bisa kami sampaikan bahwa dalam rumusan pasal 8 dan 10 huruf a terdapat unsur ghulul, hal ini berdampak pada sanksi pidana penjara dan denda yang disebutkan dalam rumusan kedua pasal di atas dalam perspektif fikih jinayah dan masuk dalam kategori jarimah takzir.143 Sebab pada zaman Rasulullah SAW para pelaku tindak pidana ghulul hanya diberi sanksi berupa
140
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 67 dan 79 141
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 81. Pendapat ini mengutip Rawas Qala‟arji dan Hamid Sadiq Qunaibi. 142
Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo : Dar Dywan al-Tirast, tth), hlm. 117 143
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 148
80
moral, yaitu sikap beliau yang tidak berkenan menyalatkan jenazah Mid‟am, salah satu pelaku ghulul, bahkan beliau menegaskan bahwa pelakunya akan dibakar di neraka.144 Rasulullah SAW juga memberikan hukuman kepada seorang yang bernama Ibnu AlLutbiyah, seorang pejabat yang bertugas memungut pajak di distrik kawasan Bani Sulaim. Dia pernah mengaku di hadapan Rasulullah SAW bahwa dalam tugasnya dia mendapatkan hadiah. Menghadapi Ibnu Lutbiyah yang seperti ini, Rasulullah SAW langsung mengadakan “jumpa pers” dan menjelaskan kepada khalayak umum tentang perbuatan ghulul yang dilakukan oleh Ibn Lutbiyah. Dan inilah sikap Rasulullah SAW yang diumumkan kepada publik ketika ada petugas yang tidak benar karena menerima hadiah ketika melaksanakan tugas.145 144
Khalid Ahmad Al-Siharanfuri, Bazdlu al-Majhud Fi Halli Abi Dawud, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), jilid 11, halaman 284-286. Nilai permata atau intan dalam hadis yang nilai tidak mencapai 2 dirham ini dikontekstualisasikan oleh Syamsul Anwar dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol.4, No. 1, Januari-Juni 2005, hl, 112, sebagaimana dikutip M Nurul Irfan dalam buku Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 82 , yaitu bahwa mata uang Dirham di zaman Rasulullah SAW nilainya sama dengan sepersepuluh dinar, satu dinar adalah 4,25 gram emas murni kala itu. Jadi kalau dua dirham nilainya sama dengan 2 x 0.425 gram emas = 0,85 gram. Apabila nilai tersebut dirupiahkan dengan asumsi harga emas per gramnya adalah Rp. 100.000,00 (tahun 2005), maka korupsi atau penggelapan dalam perang Khaibar tersebut hanya sekitar Rp.85.000,00, jika harga emas pada tahun 2007 per gramnya mencapai Rp 150.000, 00, maka 0,85 x Rp. 150.000,00 = Rp.127,500,00, bila diasumsikan dengan harga emas di tahun 2015 yang mencapai Rp. 450.000,000, maka korupsi pada saat itu hanya 0,85 x Rp 450.000,00 sama dengan Rp. 382.500,00 saja. Sebuah nilai yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan nilai kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlit dan kasus Bank Century yang nilainya mencapai ratusan milyar rupiah. 145
Kasus ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut : “Dari Abi hamid As-Sa‟di, dia berkata, : Bahwa Rasulullah SAW mengangkat seorang laki-laki dari suku al-Azd bernama Ibnu Al-Lutbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia datang (menghadap Rasulullah SAW, untuk melaporkan hasil pungutan zakat) beliau memeriksanya. Ia berkata :”ini zakat untukmu (Rasulullah/negara), dan yang ini adalah (hadiah yang telah diberikan untukku)”, lalu Rasulullah SAW bersabda : “Jika engkau memang benar, apakah jika engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu hadiah itu akan datang dengan sendirinya kepadamu?”. Kemudian Rasulullah SAW berpidato mengucapkaan tahmid dan memuji Allah seraya bersabda : “Selanjutnya saya mengangkat seseorang di antara kamu untuk melakukan suatu tugas yang merupakan bagian dari apa yang telah Allah bebankan kepadaku, lalu orang tersebut datang dan berkata : ini hartamu (Rasulullah SAW / Negara) dan ini harta yang diberikan kepadaku. Jika itu memang benar, apakah jika ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, hadiah itu juga akan datang kepadanya? Demi Allah, begitu seseorang mengambil hadiah tanpa haq, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu) lalu saya akan mengenali seseorang dari kamu ketika menemui Allah, ia memikul
81
2. Unsur Risywah Dalam beberapa literatur hadis, sanksi hukuman bagi pelaku risywah hanya sebatas ancaman Allah SWT, seperti mengutuk pemberi, penerima, dan perantara pelaku tindak pidana risywah, sedangkan masalah sanksi dunia yang sifatnya konkrit tidak pernah penulis temui pada praktek hukuman yang dilakukan pada zaman Nabi SAW.146 Sementara itu , unsur risywah dalam rumusan beberapa pasal undang-undang korupsi didapati sangat besar jumlahnya, bahkan melebihi unsur ghulul. Unsur risywah dipakai sebanyak 12 kali, yang terdapat pada pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 5 ayat (2), pasal 6 (1) huruf a dan b, pasal 6 (2), pasal 11, pasal 12 huruf a,b,c, d dan pasal 13 Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001.147 Unsur-unsur risywah yang kita temui pada 12 pasal di atas dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999, jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 kalau kita cermati dari segi perbuatannya, paling tidak meliputi : a. Memberi atau menjanjikan sesuatu b. Menerima pemberian atau janji
di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi melenguh atau kambing mengembik”. (HR Bukhari dan Muslim), lihat an-Nawawi, Syarh Sahih Muslim. Hlm. 1832-1833 146
Adapun hadis-hadis tersebut antara lain :
َّ َسٍَ َّحَ ع َْٓ َع ْث ِذِٟز ْت ِٓ َعثْذ اٌشَّدْ َّ ِٓ ع َْٓ أَت َّٚللاِ ْت ِٓ َع ّْ ٍش ٍ ِر ْئِٟ ٌع َد َّذشََٕا اتُْٓ أَت١ ِوَٚ تُْٓ ُِ َذ َّّ ٍذ َد َّذشََٕاُّٟ ٍَِد َّذشََٕا َع ِ اس ِ ة ع َْٓ خَاٌِ ِٗ ْاٌ َذ َّ ُ َسٍَّ َُ ٌَ ْعَٕحَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َّ ٍَّٝص َّ ُيُٛ لَا َي َسس:لَا َي ٟ ْاٌ ُّشْ ذَ ِطَٚ ٟ اٌشَّا ِضٍََّٝللاِ َع َ َِّللا ْ تَاَْ لَايَٛ ُصسْ َعحَ ع َْٓ شِٟب ع َْٓ أَت ٍ ١ْ ٌَ َْٓ ش ع ِ ْاٌخَطَّاِٟس ع َْٓ أَت ٍ َّا١ اتَْٓ َعَِٟٕ ْع٠ تَ ْى ٍشُٛ ُد تُْٓ عَا ِِ ٍش َد َّذشََٕا َأتَٛ َد َّذشََٕا ْاْلَ ْس َّ ٍَّٝص َّ ُيٌَُٛعََٓ َسس َُ َُٕٙ١ْ َ تَٟ ّْ ِط٠ ٞ اٌَّ ِزَِٟٕ ْع٠ ص َ ِاٌشَّائَٚ َٟ ْاٌ ُّشْ ذَ ِطَٚ َٟ َسٍَّ َُ اٌشَّا ِضَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َ َِّللا Lihat al-Syaukani, Nail al-Authar, (Bairut : Dar al-Fikr, tth), jilid 9, halaman 172 147
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 67 dan 118. Lihat pula Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Beserta Penjelasannya, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2016), cet. Petama, hlm. 48,49,53 dan 54. Lihat pula klasifikasi unsusr pidana Risywah oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya , Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2014), cet. Pertama, Hlm. 149
82
c. Menerima hadiah atau janji148 Namun demikian apabila dilihat dari sudut subyek dan obyek dalam tindak pidana risywah, maka obyeknya bisa mengena pada setiap orang, pegawai negeri / pejabat negara / penyelenggara negara, hakim, jaksa dan pengacara. Orang-orang di atas semuanya bisa terlibat dalam melanggar ketentuan pasal tentang risywah. Kalau kita lihat dalam terminologi fiqih jinayah, risywah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan dengan syarat pertolongan atau minta tolong.149sementara itu dalam rumusan sebuah pasal tentang risywah disebutkan dengan kalimat “memberi atau menjanjikan sesuatu”, hal ini menunjukkan bahwa semangat melakukan tindak pidana risywah dapat dipastikan berasal dari pihak yang akan memberi atau menjanjikan sesuatu tersebut dengan tanpa menutup kemungkinan bahwa antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima sesuatu, menerima janji atau menerima sesuatu tersebut telah melakukan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. Dalam fiqh jinayah, di antara definisi risywah adalah segala sesuatu yang dijadikan sarana oleh seseorang untuk menggapai keinginannya, baik karena kecintaanya kepada harta, kedudukan atau karena pejilatan.150Hal ini berbanding lurus dengan rumusan pasal tentang risywah yang menyebutkan dengan kalimat “menerima hadiah 148
Adapun yang dimaksud dengan “Hadiah” menurut putusan Hoge Raad tanggal 25 April 1916 adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, sesuatu itu bisa berupa benda berwujud, seperti mobil, televisi dan tiket pesawat terbang, atau bisa berupa benda tidak berwujud hak dan fasilitas. Adapun yang dimaksud dengan “janji” tawaran tentang sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si pemberi tawaran dan dua kasus di atas tidak mesti dilakukan oleh Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara, namun bisa siapa saja. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 85-86. Lihat pula Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Beserta Penjelasannya, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2016), cet. Petama, hlm. 53 149
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 152 150
Lihat M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 152 “ ِذإ٘حِٚذاسج اٚ لضاء دجا ذٗ ِذا تا ج ِٓ ِاي اٌٟا صً تٗ اال ٔساْ اٛر٠ “ِا yang telah mengambil dari al-Thariqi, jarimah al-risywah fi al-syar‟iyyah al-Islamiyah, hlm 50
83
atau janji”, yang berarti bahwa semangat melakukan tindak pidana risywah bisa dipastikan berasal dari pihak yang akan menerima pemberian, hadiah atau janji walaupun ada kemungkinan bahwa antara pihak yang akan menerima dan yang akan memberi telah melakukan kesepakatan-kesepakatan lebih awal. Kemudian kalau kita melihat rumusan pasal 11, terdapat kalimat “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”151. Maka kalau kita kaitkan dengan kasus yang terjadi pada zaman Nabi, sangat cocok dengan kasus Ibnu Lutbiyyah yang mengaku telah mendapat hadiah pada saat bertugas memungut zakat di distrik Bani Sulaim, yang saat itu ditegur oleh Rasulullah SAW dengan sangat tegas 152. Teguran di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah bertindak sangat tegas terhadap berbagai bentuk upaya penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh para pejabat negara pada saat itu. Ibnu Lutbiyyah seharusnya menyadari bahwa sebetulnya ia menerima hadiah karena jabatan yang melekat padanya, walaupun kemudian ia mengembalikan uang tersebut karena diekspos oleh Rasulullah SAW di depan orang banyak.
3. Unsur Khianat Kalau kita cermati lebih dalam, hampir seluruh rumusan pasal UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 mengandung unsur khianat. Sehingga setiap orang baik pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri, baik pejabat tinggi mapun bikan pejabat tinggi, 151
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 85 152
"ره اْ وٕد صادلا٠ه ٘ذ١ ذاءذٟ اِه درٚه ا١د ات١ تٟال جٍسد ـٙ( "ـJika kami memang benar, lalu apakah jika kamu duduk di rumah ayahmu atau ibumu hadiah itu akan datang juga kepadamu? Yang diambil dari al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, halaman 1832-1833
84
bahkan termasuk rekanan-rekanan di berbagai kantor baik negeri maupun swasta, bila melawan hukum dan dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi, pada saat itu ia berarti telah melakukan tindak pidana khianat. Pasal-pasal tentang korupsi yang mengandung unsur khianat berjumlah sekitar 21 pasal. Namun demikian, seorang koruptor yang telah melanggar pasal manapun di antara banyak pasal, maka pada hakekatnya dia telah berkhianat. Sebab ia telah melanggar sumpah jabatan, baik sumpah jabatan sebagai PNS atau sebagai pejabat negara.153 Sembilan belas pasal yang mengandung unsur khianat sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal Undang-undang No 31 tahun 1999 adalah pasal 3, pasal 7 ayat (1) huruf b,c dan d, pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, b dan c, pasal 11, pasal 12 huruf a,b,c, dan d kemudian huruf e, f, g dan h, dan pasal 12 huruf i. Karena begitu banyaknya pasal, maka kami akan sederhanakan dengan mengambil sempel tujuh pasal yang disebutkan pertama. 154 Dari ketujuh sampel pasal yang mengandung unsur khianat, maka dapat kita temukan bahwa dalam setiap rumusan pasalnya jelas nampak tersirat sebuah sikap khianat bagi pelaku tindak pidana korupsi, lebih-lebih apabila hal ini dilakukan oleh pegawai negera yang berjabatan tinggi. Adapun di antara definisi khianat menurut fiqh jinayah adalah suatu sikap
menyalahi atau menetang kebenaran
dengan cara membatalkan janji secara sembunyi-sembunyi atau sepihak.155 153
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 154 154
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 37-90 155
“ " االِأحٟ٘ أح١ض اٌخ١ٔفٚ اٌسشٟذ ـٙ ”ِخاٌفح اٌذك تٕمض اٌعLihat Al-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat al-Fazzi al-Qur‟an, (Bairut : Dar al-Fiqr, tth), hlm. 62. Sehingga pada saat pegawai negeri dilantik menjadi PNS, pasti telah berjanji pada sebuah ikrar, bahkan dilakukan dengan sangat khusu‟ agar dalam menjalankan tugas negara bisa bersikap amanat dan tidak melakukan tindak pidana korupsi.
85
Pada
rumusan
pasal
3,
disebutkan
tentang
tindakan
menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya,156pada rumusan pasal 7 ayat (1) huruf a disebutkan pemborong melakukan perbuatan curang,157pada rumusan pasal 8-12 huruf a disebutkan seorang PNS atau bukan PNS yang melakukan perbuatan menggelapkan, memalsu, menghancurkan, memasukkan, menerima hadiah atau janji.158 Kesimpulannya semua perbuatan yang dirinci pada pasal 2-13 Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001, selalu mengandung unsur khianat. Dari pemaparan di atas dapat penulis sampaikan bahwa siapapun orang yang melakukan tindak pidana korupsi, dengan melakukan jenis kejahatan apapun (baik ghulul, risywah atau khianat) dan dengan melihat pasal apapun, maka pelakunya disebut pengkhianat, artinya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap sesuatu yang dipercayakan.159 Adapun sanksi hukum yang patut dijatuhkan bagi
pelaku
tindak pidana korupsi yang melanggar pasal-pasal di atas adalah 156
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Lihat R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm. 38 157
Yang dimaksud dengan “perbuatan curang” pada pasal 7 ayat (1) huruf a adalah perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Lihat R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm. 61 158
Yang dimaksud dengan “menerima hadiah atau janji” pada pasal 12 atau sebagaimana pembahasan pada pasal 11, yaitu : Pertama, Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Kedua, Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya. Lihat R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm. 85 dan 94 159
“ ”هوالدي خان ما جعل عليه امناlihat M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 157
86
berupa hukuman takzir, hal ini tidak bisa dikategorikan tindak pidana hudud karena menyamakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencurian atau perampokan sama saja dengan melakukan qiyas/analogi terhadap hudud yang sudah secara tegas telah diatur dalam al-Qur‟an atau hadis, padahal dalam hudud tidak dikenal istilah qiyas.160
B. Poin-poin yang dapat diambil dari hadis-hadis tentang korupsi 1. Ghulul, risywah dan khianat adalah perbuatan haram a. Ghulul Dari pengertian ghulul secara bahasa, ada perbedaan antara Ibnu Manzhur di satu sisi dengan Ahmad Warson Munawir dan Tim Penyusun al-Mu‟jam al-Wasit di sisi yang lain.
161
Ibnu
Manzhur secara berani menyatakan bahwa secara bahasa ghulul berarti sangat kehausan, sedangkan Munawir dan tim penyusun alMu‟jam al-Wasit langsung mengambil pengertian secara istilah, yaitu berkhianat terhadap harta rampasan perang. Adapun pengertian ghulul secara istilah adalah mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya.162Sementara dalam konteks kekinian ghulul bisa diartikan menggelapkan uang negara atau menyembunyikannya sebagian untuk dimiliki sebelum menyampaikannya
ke
tempat
pembagian,
walaupun
yang
160
Bahkan dikenal dengan kaidah “ خ٠ضع إٌص اٌصشِٛ ٟاد ـٙ “ ال ِساغ ٌال جرtidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal yang memang telah ditetapkan dalam nash yang jelas. Lihat Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos, 2000), cet ke-2, Jilid 2, hlm. 290 161
Adapun anggota tim Penyusun al- Mu‟jam al-Wasit terdiri dari empat orang pakar ahli Bahasa, yaitu Ibrahim Anis, Abdul Hakim Muntasir, Attiyah as-Sawalihi dan Muhammad Kholifullah Ahmad, mereka diawasi oleh dua orang ahli, yaitu Hasan Ali Atiyah dan Muhammad Syauqi Amin 162
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 81. Pendapat ini mengutip Rawas Qala‟arji dan hamid Sadiq Qunaibi yang tertulis dalam bahasa Arab “ ٗ ِراعٟد سٗ ـٚ ءٟ “ اخذ اٌط.
87
diambilnya itu sesuatu yang remeh bahkan walapun itu hanya seutas benang dan jarum . Sementara menurut Hasan Su‟adi dengan mengutip pendapat Ibn al-Atsir, ghulul sering diartikan dengan berkhianat mengenai harta rampasan perang atau mencuri harta tersebut, sehingga orang yang berkhianat secara sembunyisembunyi mengenai sesuatu bisa dikatakan ghulul.163 Sementara itu kalau dirinci dalam pandangan hadis, di sini akan diperjelas definisi ghulul dalam beberapa bentuk : 1). Komisi, tindakan seseorang yang telah mengambil sesuatu /penghasilan di luar gajinya yang telah ditetapkan. Sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda :
ِْٓ ز ت ٍ ٌِ طَاُٛ ُذ ت ُْٓ أَ ْخ َض ََ أَت٠ْ َد َّذشََٕا َص ِ اس ِ عَاُٛة َد َّذشََٕا أَت ِ َٛ ٌص ٍُ ع َْٓ َع ْث ِذ ْا ِّٟ ِٗ ع َْٓ إٌَّ ِث١ِ َذجَ ع َْٓ أَت٠ْ َّللا ْت ِٓ ت َُش ِ َّ ٍٓ ْاٌ ُّ َعٍِّ ُِ ع َْٓ َع ْث ِذ١ْ ٍذ ع َْٓ ُد َس١َس ِع َّ ٍَّٝص َع َّ ًٍ ـَ َش َص ْلَٕاُٖ ِس ْصلًا ـَ َّاٍَٝ َسٍَّ َُ لَا َي َِ ْٓ ا ْسرَ ْع َّ ٍَْٕاُٖ َعَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َ ٌيٍُٛ ُؼَٛ َُٙه ـ َ ٌِأَ َخ َز تَ ْع َذ َر Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Zaid Bin Akhzam Abu Thalib, telah menceritakan kepada kami „Asim dari Abdul Warist bin Sa‟id dari Khusen al-Mu‟allim dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Rasulullah SAW : Siapa saja yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam suatu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi” ( HR. Abu Daud). 2). Hadiah, Orang yang mendapat hadiah karena jabatan yang melekat pada dirinya, sebagaimana sabda Nabi SAW :
163
Hasan Su‟aidi dalam Maghfur Ahmad dkk, Islam dan Perubahan Sosial, Respon Terhadap Isu-isu Korupsi, Kemiskinan dan lingkungan Hidup, ( Pekalongan : STAIN PRESS, 2002), cet. Pertama, hlm. 66. Selanjutnya beliau mengatakan, adapun maksud dari ghulul yang sesuai dengan Istilah korupsi adalah tindakan penggelapan yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri sendiri.
88
ُ َد َّذشََٕا إِ ْس َذا ِٓ ْتٝ١َ ْذ٠َ َْٓ ش ع ٍ َّا١ ًُ ت ُْٓ َع١ َد َّذشََٕا إِ ْس َّا ِعٝ َس١ق ت ُْٓ ِع َّ َيُٛ أَ َّْ َسسٞ ُّ ِْٓ جَ تَٚ ْ ٍذ ع َْٓ عُش١َس ِع ِّ ٍذ اٌسَّا ِع ِذ١ْ َّ ُدٟ ِْش ع َْٓ أَ ِت١َاٌضت َِّللا َّ ٍَّٝص ٌيٍَُٛا ْاٌ ُع َّّا ِي ُؼ٠ َسٍَّ َُ لَا َي َ٘ذَاَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َ Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Ishak Bin Isa Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ayyas dari Yahya bin Sa‟id dari Urwah bin Zubair dari Abi Khumaid Al-Sa‟idi, Bahwasanya Rasulullah bersabda : hadiah yang diterima para pejabat adalah penggelapan (ghulul)”, (HR. Ahmad). Pengertian ghulul pada awalnya hanya terbatas tentang tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan berkhianat terhadap harta rampasan perang. Namun demikian istilah ini kemudian berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mall, harta milik bersama kaum muslimin, harta bersama dalam sebuah corporasi bisnis, harta negara, harta zakat, harta pengeloloan pendidikan dal lain-lain b. Risywah Pengertian
risywah
secara
istilah
adalah
tindakan
memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain.164Sementara itu Hasan Su‟aidi mengatakan bahwa risywah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada
seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu
164
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, (Jakarta : Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) , 2006), cet. I, hlm. 60. Sementara itu Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, sebagaimana dikutif Abu Fida‟ Abdur Rafi‟ mengatakan bahwa yang dimaksud risywah adalah memberikan harta kepada seseorang sebagai konpensasi pelaksanaan tugas atau kewajiban yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip, Abu Fida‟ Abdur Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), halaman 4. Masih dalam buku yang sama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memberikan definisi risywah sebagai imbalan yang diambil oleh seseorang atas perbuatannya yang mengaburkan kebenaran dan mengedepankan kebathilan dan konpensasi yang dinikmati seseorang atas usaha untuk menyampaikan hak orang lain kepada yang berkompeten. (Abu Fida‟ Abdur Rafi‟, halaman 4)
89
perkara
untuk
kemauannya.
(kepentingan)nya
atau
agar
ia
mengikuti
165
Ada beberapa dalil yang menyatakan tentang keharaman risywah,166 antara lain :
ِٗ ٌِة ع َْٓ َخا ٍ ِر ْئٟ ٌع َد َّذشََٕا ات ُْٓ أَ ِت١ ِوَٚ ت ُْٓ ُِ َذ َّّ ٍذ َد َّذشََٕاُّٟ ٍِ َد َّذشََٕا َعَّ َسٍَ َّحَ ع َْٓ َع ْث ِذِٟز ْت ِٓ َع ْث ِذ اٌشَّدْ َّ ِٓ ع َْٓ أَت : لَا َيَّٚللاِ ْت ِٓ َع ّْ ٍش ِ اس ِ ْاٌ َذ َّ ُ َسٍَّ َُ ٌَ ْعَٕحَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َّ ٍَّٝص َّ ُيُٛلَا َي َسس ٟ اٌشَّا ِضٍََّٝللاِ َع َ َِّللا ٟ ْاٌ ُّشْ ذَ ِطَٚ Artinya : “ Telah menceritakan kepada Ali Bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Waki‟, telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Dinbin dari pamannya al-Kharis bin Abdurrahman dari Abi Salmah dari Abdullah Bin Umarberkata :Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat orang yang melakukan suap dan menerima suap.”(HR. Ibnu Majah)
س ٍ ١ْ ٌَ َْٓ ش ع ٍ َّا١ ا ْتَٓ َعَِٟٕ ْع٠ تَ ْى ٍشُٛ ُد ت ُْٓ عَا ِِ ٍش َد َّذشََٕا أَتَٛ َد َّذشََٕا ْاْلَ ْس ُيٌَُٛ َعَٓ َسس: اي َ َْ تَاَْ لَٛ ُصسْ َعحَ ع َْٓ شٟب ع َْٓ أَ ِت ِ ْاٌ َخطَّاِٟع َْٓ أَت َّ ٍَّٝص َّ ٞ اٌَّ ِزَِٟٕ ْع٠ ص َ ِاٌشَّائَٚ َٟ ْاٌ ُّشْ ذَ ِطَٚ َٟ َسٍَّ َُ اٌشَّا ِضَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َع َ َِّللا ُ َّإَٙ١ْ َ تَٟ ّْ ِط٠ Artinya : Telah menceritakan kepada kami al-Aswad Bin Amir, Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ya‟ni Ibn Ayyas dari Laist dari Abi al-Khattab dari Abi Zar‟ah dari Stauban berkata : Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan perantara, (yaitu orang yang menghubungkan keduanya)”. (HR. Ahmad)
165
. Maghfur Ahmad dkk, Islam dan Perubahan Sosial, Respon Terhadap Isu-isu Korupsi, Kemiskinan dan lingkungan Hidup, ( Pekalongan : STAIN PRESS, 2002), cet. Pertama, hlm. 66. 166 Abu Fida‟ Abdur Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), halaman 7-10
90
Wal hasil menurut hemat penulis, risywah adalah suatu pemberian dari seseorang yang punya niat jahat kepada orang lain agar segala urusanya bisa berjalan dengan mulus meskipun harus mengambil atau merugikan hak orang lain. c. Khianat Kata khianat berasal dari kata kerja atau fi‟il “ْ ٛخ٠ -ْ“ خا yang mengandung bentuk isim fa‟il atau pelaku “ٓ“ خا ئ. Yang bisa diartikan dengan seseorang yang berkhianat terhadap sesuatu yang dipercayakan kepadanya atau dalam bahasa Arab “ ٗ١ٍخاْ ِا جعً ع " ٕا١ِا.167 Sementara itu, al-Raghib al-Asfahani menyamakan kata khianat dengan kata nifaq, karena kedua kata ini mempunyai konotasi yang tidak baik. Hanya saja kata al-khianat banyak digunakan dalam kaitannya dengan janji dan amanat. Sedangkan kata al-Nifaq justru lebih banyak digunakan dalam kaitannya dengan utang. Kedua kata ini juga saling bercampur/samar. Khianat adalah sebuah sikap yang menyalahi atau menentang kebenaran dengan cara membatalkan janji dengan cara sembunyisembunyi/sepihak. 168
167
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif , 1997), cet. Ke-4. Hlm. 377. Namun demikian Al-Syaukani dalam Nail Al-Authar memberi penjelasan bahwa kata “ٓ “ خا ئadalah “ شإٌصخ ٌٍّاٌهٙظ٠ٚ ح١اء خذ اٌّاي خف٠ ِٓ “, yang berarti orang yang mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan menampakkan perilaku baiknya terhadap pemilik harta tersebut. Dalam hal ini Khianat bersifat sangat khusus, sebab beliau menghubungkan khianat dengan persoalan penggelapan harta atau tindakan curang terhadap harta. 168
Al-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat al-Fazzi al-Qur‟an, (Bairut : Dar al-Fiqr, tth), hlm. 62 . Sedangkan Syamsul Haq al-Azim dalam Aun al-Ma‟bud, mengatakan bahwa kata “ٓ“ خا ئ, adalah seseorang yang diberi kepercayaan untuk mengurus sesuatu barang dengan perjanjian sewa dan titipan, tetapi sesuatu itu diambil dan Kha‟in mengaku jika barang itu hilang dan menginginkan agar barang titipan itu menjadi miliknya. Lihat Syamsul Haq al-Azim dalam Aun al-Ma‟bud,, jilid 7, hlm 464. Lebih lanjut Wahbah al-Zuhaili dalam mendefinisikan khianat sebagai segala sesuatu tindakan yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah
91
2. Sanksi-sanksi yang diberikan oleh Nabi berupa sanksi dunia dan akherat. Hukuman bagi pelaku ghulul hanyalah berupa sanksi moral saja, karena ghulul termasuk dalam kategori jarimah ta‟zir, bukan jarimah hudud.169 Meskipun dalam ayat al-Qur‟an tidak dijelaskan secara rinci, namun dalam beberapa hadis Rasulullah SAW secara tegas menyebutkan teknis dan jumlah sanksi bagi pelaku ghulul. Di antara sanksi moral pelaku ghulul berupa risiko akan dipermalukan dihadapan Allah nanti pada hari kiamat, sesuai penjelasan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam bab Perbuatan Penggelapan. Bentuk sanksi moral lain adalah hadis tentang jenazah pelaku ghulul yang tidak dishalatkan Rasulullah SAW karena korupsi senilai kurang dari dua Dirham170 Berdasarkan gambaran kasus ghulul di atas, dapat diketahui bahwa pada saat itu beberapa kasus ghulul semacam ini belum dianggap sebagai kategori tindak pidana yang harus mendapat sanksi tegas sebagaimana pada kasus-kasus pidana lainnya. Alasanya
dipersyaratkan di dalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan. Al-Zuhaili, al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu, jilid 8, halaman 5876. 169
Maksud dari Jarimah Hudud adalah bentuk pelanggaran pidana yang hukumannya sudah ditentukan baik dalam al-qur‟an maupun hadis, sementara maksud dari jarimah ta‟zir adalah sebuah pelanggaran tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan secara langsung baik dalam al-qur‟an maupun hadis, akan tetapi besar-kecilnya hukuman dikembalikan kepada keputusan hakim di Pengadilan. 170
Nilai permata atau intan dalam hadis yang nilai tidak mencapai 2 dirham ini dikontekstualisasikan oleh Syamsul Anwar dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol.4, No. 1, Januari-Juni 2005, hl, 112, sebagaimana dikutip M Nurul Irfan dalam buku Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Hamzah, 2011) Cet. Pertama, hlm. 82 , yaitu bahwa mata uang Dirham di zaman Rasulullah SAW nilainya sama dengan sepersepuluh dinar, satu dinar adalah 4,25 gram emas murni kala itu. Jadi kalau dua dirham nilainya sama dengan 2 x 0.425 gram emas = 0,85 gram. Apabila nilai tersebut dirupiahkan dengan asumsi harga emas per gramnya adalah Rp. 100.000,00 (tahun 2005), maka korupsi atau penggelapan dalam perang Khaibar tersebut hanya sekitar Rp.85.000,00, jika harga emas pada tahun 2007 per gramnya mencapai Rp 150.000, 00, maka 0,85 x Rp. 150.000,00 = Rp.127,500,00, bila diasumsikan dengan harga emas di tahun 2015 yang mencapai Rp. 450.000,000, maka korupsi pada saat itu hanya 0,85 x Rp 450.000,00 sama dengan Rp. 382.500,00 saja. Sebuah nilai yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan nilai kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlit dan kasus Bank Century yang nilainya mencapai Ratusan Milyar Rupiah.
92
sangat logis, karena jumlah kerugian akibat tindakan korupsi pada saat itu masih sangat kecil dan tidak bernilai. Namun demikian, sanksi apapun tetap diterapkan meskipun hanya sekedar ancaman siksa api neraka dan sikap Rasulullah SAW yang enggan ikut menyalatkan jenazah Mid‟am, gara-gara menggelapkan permata yang nilainya kurang dari dua dirham. Ibnu Hajar al-Astqalani juga secara tegas menyatakan tindakan ghulul, baik sedikit maupun banyak, besar ataupun kecil tetap merupakan perbuatan maksiat, yang pelakunya pantas untuk diancam dengan hukuman neraka.171 Kalau dilihat dari sumber barang yang dikorupsi, kedua kasus di atas menunjukan hanya sebatas kasus yang berhubungan dengan barang-barang rampasan perang. Namun demikian pada kasus-kasus yang lain, ghulul tidak hanya terbatas pada harta rampasan perang, melainkan juga pada sumber-sumber pendapatan lain, seperti zakat misalnya. Atas dasar hadis-hadis di atas, cakupan ghulul menjadi meluas tidak hanya masalah harta rampasan perang saja, tetapi bisa juga berkisar masalah : Penggelapan kas negara, penggelapan zakat dan hadiah untuk para pejabat.172 Kemudian setelah kita lihat beberapa kasus ghulul di atas, Rasulullah SAW tidak menganggap ghulul sebagai suatu tindak kejahatan/kriminal yang pelakunya akan mendapat sanksi hukum sebagaimana pada kasus kejahatan hudud maupun qishas, mengingat jumlah yang digelapkan relatif kecil. Akan tetapi dalam menangani beberapa kasus ghulul, beliau lebih banyak memberikan sanksi yang
171
172
Ibnu Hajar al-Astqalani, Fath al-Bari, jilid 6, hlm 528
Abu Fida‟ Abdur Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Pennyucian Jiwa), (Jakarta : Republika, 2005), cet. Pertama, hlm. 30, Demikian juga pendapat Syamsul Anwar bahwa cakupan ghulul bisa diperluas tidak terbatas pada harta rampasan perang, tapi juga menyangkut harta zakat dan jizyah dan semua kekayaan publik yang diambil oleh seorang pejabat secara tidak syah, yaitu tanpa berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hermenia, hal 121.
93
berhubungan dengan pembinaan moral pelakunya dengan cara memberikan
kesadaran
agar
menghindari
segala
bentuk
penyelewengan, juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa hukuman akhirat itu pasti ada, berupa siksa neraka yang akan diberikan kepada pelaku kejahatan, termasuk ghulul. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan, seandainya jumlah yang digelapkan nilainya mencapai jutaan, atau milyaran atau bahkan triliyunan, maka penulis sangat yakin sanksi hukum yang keras/berat pasti akan beliau terapkan, tidak sekedar sanksi moral bahwa pelaku ghulul tidak akan dishalati pada saat meninggal atau tidak cukup hanya dengan diancam siksa neraka di akherat, tetapi juga sanksi di dunia. 173 Kemudian pada kasus risywah, para ulama telah sepakat bahwa risywah yang dinyatakan haram adalah risywah yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, artinya gambaran risywah yang dilarang adalah sogokan yang berdampak pada suatu urusan yang mengalahkan pihak yang semestinya menang dan memenangkan pihak yang semestinya kalah.174
173
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), cet. Ke-2. Hlm 89 174
Sedangkan suap yang dinyatakan halal adalah suap yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pihak yang memberikan suap atau untuk menolak kemudharatan, kezdaliman dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak yang memberi suap tersebut. Istilah ini oleh Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12 b disebut dengan istilah Gratifikasi. Lihat M Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), cet. Ke-2. Hlm. 100-101 . Lihat pula Fikih Anti Korupsi, halaman 60. Yang menyatakan ada beberapa ulama yang memperkenankan suap kepada hakim, jika bermaksud untuk mendapatkan haknya. Meskipun anggapan itu dibantah oleh al-Syaukani dengan menyebutnya sebagai kebobrokan moral yang sangat luar biasa. Dengan demikian, suap/risywah walapun dimaksudkan untuk tujuan yang tidak merugikan orang lain tetap dilarang sebagaimana haramnya hadiah bagi para pejabat. Karena walaupun transaksi ini tidak merugikan orang lain atau publik, tetapi dapat mengakibatkan hacurnya tata nilai dan sistem hukum.
94
Kemudian mengenai sanksi hukum bagi pelaku risywah, tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum dengan pelaku ghulul, yaitu dengan hukuman ta‟zir. Sebab keduanya, baik ghulul maupun risywah bukan termasuk jarimah qishas dan hudud. Akan tetapi sanksi pidana risywah masuk dalam sanksi-sanksi ta‟zir yang kompetensinya ada di tangan hakim. Kemudian mengenai besar kecilnya atau berat ringannya hukuman pelaku risywah disesuaikan dengan jenis pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan di mana kejahatan itu terjadi dan juga dilihat motivasi apa sehingga dia melakukan tindak pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip untuk menjaga stabilitas hidup bermasyarakat. Namun demikian kaitannya dengan kasus yang terjadi di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini sudah jauh lebih baik dan ideal bila dibandingkan dengan konsep yang masih merupakan doktrin hukum yang ada di dalam kitab-kitab
fikih.
Berbagai
peraturan
perundang-undangan
merupakan langkah konkret dari konsep ta‟zir bagi pelaku risywah yang ditawarkan oleh aturan hukum positip sebagai tanggapan dari beberapa kasus risywah yang terjadi pada zaman Nabi. Kemudian kalau dilihat dari jenis hukuman bagi pelaku khianat, hukumannya tidak disebutkan seperti dalil-dalil dalam kasus jarimah ghulul dan risywah. Pada dalil tindak kejahatan khianat sanksi hukumnya tidak disebutkan secara ekplisit dan jelas. Sehingga jenis jarimah ini lebih-lebih masuk dalam kategori jarimah ta‟zir yang hukumannya diserahkan pada otoritas hakim, bukan termasuk pada kompetensi ranah hudud dan qishash. Adapun contoh yang pernah terjadi pada sejarah Islam adalah adanya seseorang yang tidak setuju dengan keputusan Umar Bin Khatab yang berpandangan bahwa seorang penghianat pantas dihukum mati oleh Rasulullah SAW yang saat itu sebagai kepala
95
negara di Madinah. Seorang pengkhianat itu bernama Hatib bin Abi Balta‟ah, ia mencoba membocorkan rahasia kaum muslimin yang berencana melakukan fathu Makkah bersama Rasulullah SAW. Perilaku Hatib bin Abi Balta‟ah ini dinilai sebagai penghianat terhadap konstitusi negaranya (negara Islam). Dia hampir saja mendapat hukuman yang sangat berat, hanya saja beliau Rasulullah SAW mempunyai kebijakan lain, yaitu karena Hatib bin Abi Balta‟ah pernah ikut dalam perang Badar. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari gambaran hadis di atas, antara lain : Pertama, Mukjizat Rasulullah SAW yang bisa mengetahui secara pasti seorang kurir wanita yang membawa surat rahasia milik Hatib Bin Balta‟ah. Kedua, keterlibatan dan keikutsertaan Hatib Bin Balta‟ah dalam perang badar dan kejujurannya menjadi sesuatu yang sangat berharga dan menjadi pertimbangan Rasulullah SAW dalam memberikan hukuman, dari yang berat menjadi ringan atau bahkan tidak dihukum sama sekali. Ketiga, menurut Umar Bin Khattab bahwa hukuman bagi pengkhianat adalah hukuman mati, karena ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat, ketaatan Umar Bin Khattab terhadap kebijakan yang diambil Rasulullah SAW dalam kasus Hatib Bin Balta‟ah yang dinilai telah mengkhianati Allah, rasulNya dan seluruh kaum muslimin.175 Jadi, sebenarnya hukuman yang tepat diterapkan bagi orang yang telah berkhianat kepada Allah, Rasulullah SAW dan seluruh kaum muslimin adalah berupa hukuman ta‟zir yang menurut pendapat Umar Bin Khattab saat itu adalah hukuman mati. Meskipun dalam kasus Hatib Bin Balta‟ah hal ini tidak diterapkan karena dalam hal hukum selalu ada pertimbangan-pertimbangan. Dan dalam kasus di atas adalah karena Hatib bersikap jujur dan tulus, juga 175
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2011). Cet, pertama, halaman. 114
96
karena jasa dia sebagai seorang sahabat yang ikut andil besar dalam perang badar, sehingga hukuman yang diberikan hanya berupa ta‟zir yang lebih ringan dari hukuman mati.176 Contoh kasus lain yang senada dengan kasus pengkhianatan Hatib Bin Balta‟ah adalah kasus pengkhianatan yang dilakukan oleh Abi Lubabah Bin Abdul Munzir al-Anshari. Kasus ini diyakini oleh sebagian ulama ahli sejarah dan para pakar tafsir sebagai sebab turunya surat al-Anfal ayat 27. Ayat di atas turun berkaitan dengan diketahuinya sikap dan perbuatan Abu Lubabah yang telah membocorkan keputusan tegas yang akan diterapkan oleh Sa‟ad Bin Muazd terhadap sekelompok Kaum Yahudi Bani Quraizdah yang mampu bertahan selama 21 hari, hal ini betul-betul disesali oleh Abu Lubabah, dia merasa sangat menyesal karena telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. 177
176
Hanya saja menurut hasan Su‟aidi : perlu digarisbawahi bahwa hukuman takzir meskipun pada awalnya bertujuan memberi pelajaran (lil al-Ta‟dib), bentuk-bentuknya tidak harus selalu berupa hukuman ringan. Akan tetapi banyak ulama fikih yang membolehkan pidana takzir dalam bentuk hukuman mati, jika kepentingan umum menghendaki demikian. Sehingga dengan memperhatikan kepentingan umum yang terancam dengan sangat serius oleh kejahatan korupsi saat ini, maka dijatuhkannya hukuman takzir yang paling keras (hukuman mati) atas koruptor kelas kakap dapat dibenarkan oleh Islam. ( ًتح اٌمرٛش عم٠)ادا الرضد اٌّصٍذح اٌعا ِح ذمش. Maghfur Ahmad dkk, Islam dan Perubahan Sosial, Respon Terhadap Isu-isu Korupsi, Kemiskinan dan lingkungan Hidup, ( Pekalongan : STAIN PRESS, 2002), cet. Pertama, hlm. 70. 177
M Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hal. 114-116, adapun kisah lengkapnya sebagaimana dituturkan Nurul Irfan adalah sebagai berikut : bermula saat Rasulullah SAW bersama para kaum muslimin sedang mengepung para pembakang Yahudi Bani Quraizdah selama dua puluh satu malam. Mereka akhirnya memohon kepada Rasulullah SAW agar bisa berdamai seperti yang Rasulullah SAW lakukan terhadap kelompok Yahudi sebelumnya, yaitu Bani Nadhir. Tujuannya agar diberi kesempatan untuk eksodus menuju Azri‟at dan Ariha di kawasan Syam. Tetapi usulan mereka sama sekali tidak ditanggapi oleh Rasulullah SAW, kecuali mereka menyetujui agar masalah ini ditetapkan secara hukum oleh Sa‟ad Bin Muazd yang mempunyai hubungan baik dengan orang-orang Yahudi. Mereka juga menolak tawaran rasul ini, dan mereka malah balik usul agar masalah ini diselesaikan oleh Abu Lubabah (dengan harapan bisa memihak kepada mereka, karena harta keluarga dan anak-anaknya dalam posisi sebagai harta rampasan perang pada pihak mereka). Maka Rasulullah SAW mengirim Abu Lubabah. Pada saat itu mereka bertanya kepadanya, bagaimana menurut pendapat anda wahai Abu Lubabah, apakah kami perlu turun dari tempat pertahanan kami untuk meminta Sa‟ad Bin Muazd menetapkan keputusan hukum? Pada saat itu Abu Lubabah justru memberi isyarat dengan tangannya ditempelkan lurus pada bagian kerongkongannya sebagai tanda bahwa keputusan yang diambil Sa‟ad pasti akan sangat merugikan mereka karena mereka pasti akan disembelih dan dibantai habis, oleh karena itu (menurut Abu Lubabah) mereka tidak perlu melakukan itu. Abu Lubabah berkata : sungguh.. Demi Allah, kedua telapak kaki saya akan terus berada di tempat keduanya sehingga saya sadar betul bahwa saya ternyata telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.
97
Aksi
yang
dilakukan
oleh
Abu
Lubabah
dalam
hal
penyesalannya telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya yang digambarkan dengan mengikatkan diri pada tiang Masjid Nabawi dan mogok makan, menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Abu Lubabah kepada dirinya sendiri merupakan kompetensi hukuman ta‟zir, bukan hudud atau qishash, meskipun perilakunya tanpa rekomendasi langsung dari Rasulullah SAW.178 Dengan
demikian,
setelah
dikemukakannya
kasus
pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang sahabat Rasulullah SAW, yaitu Hatib Bin Abi Balta‟ah dan Abu Lubabah, yang masingmasing berkhianat dengan surat rahasianya dan isyarat mengangkat tangan, semakin terang benderang membuka mata kita bahwa sanksi hukum pengkhianatan adalah berupa hukuman ta‟zir, yaitu sebuah hukuman yang besar kecilnya ditentukan oleh penguasa setempat. Kemudian kalau kita lihat beberapa hukuman pada masingmasing kasus di atas, poin yang paling tepat untuk bisa diterapkan dalam konteks kasus yang terjadi saat ini adalah kasus khianat, yang mustinya harus dihukum mati. Hanya saja dalam masalah hukum selalu ada pertimbangan-pertimbangan yang dikaitkan dengan faktafakta hukum, sehingga Nabi pada saat itu hanya memberi hukuman Maka turunlah surat al-Anfal ayat 27 seperti di atas. Kemudian setelah turunnya ayat ini, dia mengikatkan badannya pada salah satu tiang dari beberapa tiang Masjid Nabawi. Abu Lubabah berkata :”Demi Allah..saya akan lakukan mogok makan dan minum sampai saya mati atau sampai Allah menerima taubat saya”. Dalam aksi mogok makan dan minum itu Abu Lubabah mampu bertahan hingga satu minggu dan pada hari ketujuh itulah dia tersungkur pingsan yang kemudian (ada informasi) bahwa Allah menerima taubatnya. Pada saat itu ada yang memberi tahu bahwa taubatnya telah diterima Allah. Akan tetapi ia malah menjawab :” Demi Allah saya tidak akan melepas ikatan yang ada di badan ini hingga Rasulullah SAW yang melepaskannya”. Hingga kemudian Rasulullah SAW menghampirinya dan melepaskan ikatan yang ada pada badanya dengan tangan Rasulullah SAW sendiri. Kemudia Abu Lubabah berkata lagi : “ Sungguh taubat saya baru akan sempurna kalau saya berpindah dari kampung halaman saya, karena saya telah melakukan dosa di situ dan saya juga akan segera menyedekahkan seluruh harta saya”. Hingga Rasulullah SAW bersabda :”Kalau kamu mau bersedekah cukup sepertiganya saja”. 178
Meskipun hal ini dilakukan atas inisiatif Abu Lubabah sendiri, dan penulis yakin hal ini tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam surat al-Baqarah : 195, yang mengatakan :” Dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Penulis sangat yakin antara mogok makan yang dilakukan Abu Lubabah tidak bertentangan ayat ini , karena Rasulullah sendiri tidak melarang tindakan yang dilakukan oleh Abu Lubabah.
98
lebih ringan. Disamping itu, bahwa terjadinya kasus ghulul dan risywah juga segambaran/bentuk pengkhianatan yang dipercayakan kepadanya.
C. Hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana korupsi 1. Hukuman Mati Dalam Hukum Islam Kalau kita melihat surat al-Baqarah : 179 :
Artinya :” dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (QS. AlBaqarah :179) Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang keberadaanya diakui dan eksis dalam al-Qur‟an, dan merupakan hukuman maksimal yang memiliki dasar hukum cukup kuat. Namun demikian hukuman ini boleh diterapkan kalau pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana secara syah dan meyakinkan.179 Dalam pembahasan hukum Islam, hukum pidana lebih dikenal dengan sebutan al-ahkam al-jinaiyyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur (baik ucapan, perbuatan ataupun sifat) orang-orang mukallaf yang berhubungan dengan berbagai tindak kejahatan (jarimah)180, yang disertai jenis-jenis hukuman yang patut diberikan.181
179
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 117 180
Menurut etimologi, kata “jarimah” sinonim dengan kata “ Jinayah” yang berarti larangan dan pencegahan. Sedangkan menurut terminologi adalah larangan Allah SWT yang diberi sanksi olehnya dengan hukuman had, qishash/diyat dan ta‟zir. Abdul Qodir Audah, al-Tasyri‟ alJinaiy al-Islamy, ( Mesir : Maktabah Dar al-„Urubah, 1963), jus I, cet. I, hlm. 66-67 181
Wahbah al-Zuhaily, al-fiqh al-Islami Wa „Adillatuhu, (Damsyk : Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke 8, hlm 33
99
Penerapan hukuman mati dalam Islam bisa dilihat dari berbagai sudut, di antaranya adalah : Pertama, Tinjauan Pemidanaan. Secara umum diterapkannya hukuman dalam Islam adalah untuk mewujudkan dan memelihara kemashlahatan manusia, yang hal tersebut terangkum dalam lima sasaran pokok yang oleh al-Syatibi disebut dengan al-Maqasid al-Syariat al-Khams atau dalam Ushul fiqh juga disebut aldharuriyat al-khams, kelima sasaran pokok yang dimaksud adalah agama (hifzh al-din), akal (hifzh al-„aql), jiwa (hifzh al-nafs), kehormatan dan keturunan (hifzh al-nasl) dan harta (hifzh al-mal).
182
Wal-hasil setiap
tindakan apa saja yang dapat mengancam ketenangan masyarakat , lebihlebih yang dapat mengancam lima hal pokok (al-dharuruyat al-khamsh), maka bisa dianggap sebagai tindakan kejahatan yang sangat dilarang oleh agama. Selanjutnya untuk lebih mengetahui hakikat hukum pidana Islam dalam tradisi pemikiran hukum Islam, kita bisa memahami lebih khusus tentang konsep-konsep yang terkandung dalam kata kunci, seperti qishash, diyat, had, ta‟zir dan hukumah. Sebab istilah yang kami sebutkan tadi sangat erat hubungannya dengan berbagai persoalan mendasar yang menyangkut sistematika sanksi hukum Islam, terutama yang bersifat pidana. a. Konsep Qishashh183 dan Diyat 182
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqaat, ( Bairut : Darul Ma‟rifah, 1997), jilid 1-2, hal. 324, namun demikian menurut pandangan Abdul Qadir „Audah, tujuan hukum pidana Islam dapat digolongkan ke dalam tiga macam : Pertama, menjamin keamanan terhadap kebutuhankebutuhan hidup sebagai tujuan pertama dan yang paling utama (dharury), Kedua, menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang brsifat skender (hajjiyat), Ketiga, membuat kebaikankebaikan bagi kehidupan masyarakat agar segala urusan sosial mereka menjadi lebih baik (tahsiniyat). Lihat Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 119120. 183
Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si
100
Kalau dilihat dari sudut pandang sejarah, hukum qishash dan diyat bukanlah tradisi Islam yang asli, yang ada dalam al-qur‟an. Masyarakat Arab saat itu sudah banyak yang mempratekkan hukuman qishash dan diyat jauh sebelum al-qur‟an itu sendiri diturunkan. Dalam prakteknya pada zaman Arab Jahiliyah, hukuman qishash lebih mengarah kepada hukuman “balas dendam”, sehingga terkesan tidak manusiawi dan memformalkan budaya kekerasan, kebencian dan penindasan. Hal ini sangat dimaklumi mengingat bentuk hukuman ini merupakan warisan dari Nabi Musa yang diterapkan sesuai dengan watak dari umatnya yang sangat keras.184 Lain halnya dengan al-Qur‟an yang di dalamnya mengandung ajaran kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan, namun dalam posisi tertentu juga terdapat unsur ancaman. Di dalam al-Qur‟an sangat jelas disebutkan tentang hukum-hukum yang dijadikan sebagai ajaran hidup yang harus dilakukan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Juga tentang ajaran yang sangat tinggi mengenai kedamaian hidup, kemanusiaan dan pesan-pesan universal. Intinya al-Quran sebagai kitab Khulashot dari ajaran-ajaran Nabi sebelumnya, merupakan kitab yang mengakomodir secara selektif bukan sekedar kolektif.185
pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Sedangkan Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. 184
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 123. Sangat beda dengan ajaran injil yang dibawa Nabi Isa yang didominasi dengan tema umum ajaran kasih sayang dan perdamaian hidup yang bersifat lembut. 185
Namun dalam perjalanan waktu, tradisi paktek hukan qishas yang awalnya sebagai bentuk hukuman pidana yang berusaha menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, menjadi alat legitimasi balas dendam. Sementara diyat yang pada awalnya diposisikan sebagai ajaran pema‟af dan kasih sayang yang berusaha melindungi kepentingan kurban, berubah total menjadi alat yang melindungi golongan para elit (atas) dan dijadikan alat untuk menindas kaum bawah secara semena-mena. Yesmil Anwar Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, (Jakarta : Grafindo, 2008), hlm 318, sebagaimana dikutip oleh Abdul Jalil Salam, dalam buku Polemik Hukuman Mati di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 124.
101
Al-Qur‟an yang hadir dengan bentuk penyempurnaan dan penyederhanaan,
berusaha
mengembalikan
kepada
posisi
yang
seharusnya, yaitu bahwa ajaran qishash dan diyat patut diterapkan seperti semula sesuai dengan hakekat manusia. seperti halnya dalam alQur‟an surat Al-baqarah 178-179.
186
Sedangkan masalah diyat
sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 92.187
186
Adapun ayat tentang qishas adalah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.. dan dalam qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS.Al-Baqarah : 178-179) 187
Ayat tentang diyat
Artinya :”dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An-Nisa : 92).
102
Sebagaimana telah kami sampaikan di atas, bahwa hukuman pidana qishash adalah berawal dari tradisi orang Yahudi, al-Qur‟an hanya melanjutkan tradisi tersebut dengan penyempurnaan dan penyederhanaan sehingga menjadi lebih ringan dan terbatas. Begitu juga dengan diyat dikembalikan kepada hakikat semula, yaitu sebagai bentuk perlindungan kepada korban kejahatan, juga sebagai bentuk pidana pengganti karena dilaksanakannya ajaran pema‟af.188 b. Konsep Hudud Salah satu bentuk kejahatan yang dianggap cukup serius dalam hukum Pidana Islam yaitu hudud. Dikatakan demikian karena kejahatan yang satu ini menyangkut kepada kepentingan masyarakat. Tetapi tidak berarti bahwa kejahatan had tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, terutama yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagai hak Allah. Pidana had bisa diartikan sebagai kejahatan yang diancam hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.189
188
Dalam sejarah, selain yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi SAW yang bersifat mendiskripsikan kisah-kisah mengenai penerapan hukum qishas dan rajam, juga terdapat banyak sekali hadis yang bersifat mengatur dan membatasi pelaksanaan hukuman qishas dan rajam, seperti larangan qishas terhadap pelaku sebelum luka sikorban sembuh. Hal ini semata-mata untuk mengetahui berat ringannya atau efek yang diakibatkan dari luka yang diderita sikorban, dengan diketahuinya berat ringannya luka yang diderita sikorban, maka diharapkan hukuman qishas setimpal dengan apa yang diperbuat oleh pelaku, dan yang jelas hukumannya tidak boleh lebih berat dari yang diperbuatnya. Begitu juga dalam pelaksanaan hukum rajam, juga dilakukan pembatasan dan pengaturan, seperti halnya wanita hamil tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan dan menyusui anaknya terlebih dahulu. Jika diperhatikan, konsep qishas dan diyat lebih menekankan pada peranan korban dalam pelaksanaan hukumannya, sebagai perlindungan terhadap hak korban dalam setiap delik kejahatan. Selain itu pada konsep qishas dan diyat, juga terdapat unsur-unsur hukum perdata dan pidana sekaligus. Dijatuhkannya hukuman pidana qishas dan diyat, selain karena pertimbangan yang bersifat pidana, juga untuk melindungi hak-hak korban terutama sekali hak-hak yang bersifat kebendaan. Lihat Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 125-126 189
Pengertian “hukuman yang ditentukan”, berarti kuantitas maupun kualitasnya, ditentukan oleh Allah tanpa mengenal tingkatan. Adapun pengertian “had” secara terminologi berarti dinding atau sesuatu yang ada di antara dua benda atau hal. Istilah ini kemudian digunakan dalam ilmu hukum untuk menyebut pengertian “hukuman”, secara jelas di dalam al-Qur‟an dan alSunah. Sedangkan bentuk-bentuk kejahatan yang diancam dengan “had” disebut jarimatul hudud. Lihat Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 127-128.
103
Berbeda dengan hukuman qishas dan diyat, pidana had merupakan tradisi baru dan murni yang baru dikenalkan oleh al-Qur‟an. Sebagai produk asli al-Qur‟an, hukuman had dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut dalam masyarakat dengan cara melindungi kebaikan dan memberikan alasan kepada penjahat dengan perspektif membela orang yang tertindas dan ter”dholimi”. Sehingga setelah dijatuhkannya hukuman had, maka akan terlihat batasan yang tegas antara kejahatan dengan kebaikan, terutama bagi pergaulan yang ada di masyarakat.190 Kemudian dalam perkembangannya, pelaksanaan pidana had tidak digantungkan secara mutlak kepada korban. Karena, bentuk kejahatan yang diancam dengan pidana ini, tidaklah dikategorikan sebagai kejahatan yang menyangkut hak manusia, seperti dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan. Terkadang hukuman had dilihat dalam
190
Menurut Abdul Jalil Salam, dapat dikatakan bahwa pidana had berbeda dengan sifat pidana qishas dan diyat. Artinya dalam konsepsi mengenai had, yang dilihat bukanlah masa lalu (for back looking) dari penjahat atau peristiwa kejahatannya, sebagaimana yang sudah berlaku pada gagasan pengimbalan dalam qishas, tetapi yang dilihat justru keadaan di masa yang akan datang (for ward looking). Secara lebih rinci perbedaan-perbedaan mendasar antara konsep pidana had dengan pidana qishas dan diyat, dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Pertama, pidana had mempunyai tujuan untuk mencegah, bukan membalas sebagaimana hukuman qishas. Kedua, tidak seperti qishas yang mempunyai orientasi ke belakang, pidana had berorientasi ke depan dengan tidak mempersoalkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku delik. Ketiga, pidana had diancamkan kepada bentuk-bentuk delik yang melanggar hak-hak manusia yang dilindungi oleh Allah SWT secara kolektif, seperti kekayaan, kehormatan, keamanan dan sebagainya. Sedang pidana qishas dan had diancamkan kepada bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak manusia yang dilindungi oleh Allah secara individual, seperti pencurian, perampokan, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Keempat, Pidana had bisa dikatakan murni bersifat publik (pidana), sedangkan qishas dan diyat mengandung unsur-unsur perdata disamping pidana. Kelima, sebelum menjatuhkan hukuman dalam kasus pidana qishas dan diyat, seorang hakim berusaha mendamaikan hubungan kedua belah pihak, yaitu antara pelaku dan korban, atau keluarga korban dengan menganjurkan untuk memberi maaf sesuai dengan ajaran al-Qur‟an. Sedangkan dalam kasus kejahatan yang diancam dengan pidana had, tugas hakim dalam dalam menjatuhkan pidana tidak tergantung pada kebaikan hati baik si korban atau keluarga korban. Keenam, dalam pidana qishas, peranan korban sangat dominan, dalam menentukan bentuk hukuman pidana yang akan dijatuhkan, sedangkan dalam had, korban tidak dapat mempengaruhi pilihan mengenahi bentuk pidana, maupun berat ringannya hukuman. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm 128-129.
104
bentuk yang sangat terbatas sebagai hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, seperti hukum potong tangan dan semacamnya.191 Wal hasil, penerapan bentuk-bentuk pidana di atas harus dipahami bahwa al-Qur‟an selalu berusaha untuk menyederhanakan dan meringankan bercampurnya
beban
terpidana
dengan
tujuan
mengantisipasi
kebenaran dan kebatilan dalam masyarakat, juga
melindungi masyarakat dari kemungkinan perbuatan jahat dan dosa. c. Pidana Ta‟zir dan Hukumah Kalau kita lihat secara mendalam, hukuman ta‟zir banyak macamnya, dari mulai hukuman yang paling berat hingga yang paling ringan, seperti hukuman mati, hukuman dera, hukuman kurungan, hukuman pengasingan, hukuman salib, hukuman pengucilan, hukuman denda dan hukuman lisan (baik ancaman, teguran dan peringatan).192 Dalam pelaksanaannya, hukuman ta‟zir diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya dalam proses persidangan di pengadilan. Kompetensi hakim dalam memberi hukuman ta‟zir biasanya berkisar pada kasus kejahatan yang belum dicontohkan pada zaman Nabi SAW, 191
Khusus mengenai hukuman pidana had, al-Qur‟an secara tegas telah menerangkannya dalam 7 kategori, yaitu 1). Pidana salib untuk delik mukharibah atau qot‟u al-thariq (QS. 5:33), 2). Pidana mati (QS. 5 :33). 3). Pidana Potong tangan dan kaki secara bertimbal balik (QS. 5 : 33). 4). Pidana buang / pengasingan (QS. 5 : 33). 5). Pidana seumur hidup (QS. 4 : 15). 6). Pidana potong tangan, yaitu untuk delik pencurian (QS. 5:38). 7). Pidana cambuk atau dera, yaitu untuk delik perzinaan atau tuduhan palsu (QS. 24 : 2 dan 4). Lihat Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh „ala Mazdahib al-Arba‟ah, (Mesir : Maktabah Al-Tijariyah al-Kubra, 1392), jus 7, hlm 7. Selain dari ketujuh bentuk pidana di atas, hukuman Islam juga menerangkan tentang hukum pidana rajam sebagai bagian dari pidana had untuk jarimah zina yang di dasarkan pada hadis Nabi SAW. Lihat Ibnu Rusydi al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid Wa al-Nihayah al-Muqtasyid, (Kairo: Dar al-Fikr, tth), jus II, hlm. 296-341. Ketujuh bentuk sanksi pidana sebagaimana disebutkan di atas, inilah yang pada hakekatnya dapat dikatakan bentuk hukuman asli /orisinil dari hukum pidana Islam yang murni bersifat publik, sedangkan bentu-bentuk had lainnya yang diberlakukan atas dasar hadis-hadis Nabi SAW pada dasarnya hanyalah memperjelas, memperberat atau meringankan pelaksanaan pidana yang sudah diterangkan dalam al-Qur‟an seperti pidana rajam yang berasal dari tradisi sebelum Islam. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, jilid II, halaman 302393. Lihat pula Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Mesir : Maktabah alTijariyah al-Kubra, 1392), jus VII, hlm. 7. 192
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 131
105
sehingga Hakim boleh mengambil inisiatif untuk mengatasinya dengan pidana yang berbeda dengan ketentuan had ataupun qishash dan diyat. Biasanya seorang hakim menerapkan bentuk pidana ta‟zir sesuai dengan kompetensinya, antara lain : Pertama, bentuk kejahatan yang dilanggar merupakan bentuk kejahatan yang berbeda dari apa yang sudah ditentukan di dalam al-Qur‟an maupun hadis. Kedua, bentuk pidananya berupa bentuk-bentuk tindakan yang sama sekali berbeda dengan bentuk-bentuk yang sudah dicontohkan dalam al-Qur‟an dan hadis. Ketiga, bentuk pidana ta‟zir merupakan tambahan yang bersifat lebih memberatkan daripada pidana hudud yang memang sudah diputuskan. Keempat, bentuk pidana ta‟zir bisa menjadi hukuman pidana pokok, dalam hal yang sama bisa juga sebagai pidana tambahan dalam pengertian yang sebenarnya.193 Perbedaan antara ta‟zir dengan hudud dalam kerangka hukum Islam bisa digambarkan sebagai berikut : Pertama, Pidana atas hukuman hudud diberlakukan sama kepada setiap pelakunya, sedangkan ta‟zir bisa diberlakukan berbeda sesuai dengan kondisi pelaku dan letak geografisnya. Kedua, dalam pidana hudud seorang pelaku tidak dapat diampuni jika perkaranya sudah diputuskan oleh hakim, sementara dalam pidana ta‟zir, pelakunya bisa saja diampuni. Ketiga, Dalam pidana ta‟zir, pelaku yang mendapatkan hukuman mati bisa memperoleh jaminan, sebagaimana peristiwa di mana Umar Bin
193
Jimly Asshiddieqy, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, ( Bandung : Angkasa ,1996), cet. Kedua, hlm. 148. Namun demikian, hukuman ta‟zir sebagaimana diungkap Abdeel Haleem dan Kate Daniels, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Pidana hudud atau qishash yang subhat atau tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan sebagainya. (2) tindak pidana yang ditentukan dalam al-Qur‟an dan hadis, tetapi tidak ditentukan sanksi hukumannya, seperti saksi palsu, tidak melasanakan amanah dan sebagainya. (3) tindak pidana yang ditentukan oleh penguasa untuk kemaslahatan umum. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 132.
106
Khattab pernah memberikan diyat atas meninggalnya janin yang dikandung oleh perempuan yang dihukum mati.194 Hal yang berbeda dengan pidana ta‟zir, hukumah hanyalah variasi dari bentuk pidana diyat, yang menurut para fuqaha berkaitan dengan delik atas jiwa atau delik atas badan. Istilah ini dipakai sebagai sarana yang merujuk pada pengertian pengganti diyat, dalam delik pembunuhan tidak disengaja, sebagai ganti rugi sebagai pertimbangan atau ijtihad hakim mengenahi kadar ganti rugi yang harus ditetapkan, karena belum ada ketentuan yang mengaturnya.195 Dalam pidana ta‟zir, hukuman mati bisa saja diberlakukan jika hukuman dianggap mampu atau menjadi satu-satunya cara memberikan kemaslahatan kepada masyarakat.196 Hukuman mati dalam ta‟zir tidak diatur baik di dalam al-Qur‟an maupun hadis, namun kewenangannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim atau penguasa, sehingga kadar
194
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, jilid II, halaman 498. Pidana ta‟zir merupakan bentuk pengembangan lebih lanjut dari sebuah gagasan tentang hukum pidana yang ada dalam al-Qur‟an dan hadis, khususnya terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang tidak diatur di dalam kedua sumber hukum tersebut. Hal ini sangat dimungkinkan karena ketentuan-ketentuan pidana yang secara tegas di atur dalam al-Qur‟an dan hadis sangat terbatas pada zaman Nabi SAW dan hanya menggambarkan pada pengaturan pidana terhadap kondisi masyarakat yang belum memiliki kompleksitas permasalahan seperti saat ini , sementara itu kebutuhan masyarakat semakin hari semakin kompleks dan perkembangannya sangat pesat. Sehingga adanya rumusan-rumusan baru tentang hukum pidana yang diancamkan menjadi sangat penting. Hal ini menunjukkan kenyataan bahwa pemikiran mengenahi hukum pidana Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis memiliki kesempatan untuk dikembangkan dan dijabarkan secara lebih leluasa, karena pidana ta‟zir merupakan produk ijtihad dari para hakim, para ahli hukum dan para penguasa untuk menentukan berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan terhadap kasus-kasus yang bersifat temporal dan lokal. 195
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 133. Pada dasarnya hukumah itu semakna dengan had, akan tetapi penamaan hukumah karena kekuatan hukumnya diperoleh berdasarkan keputusan hakim. 196
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, jilid II, halaman 499, biasanya dalam hukum Islam, untuk hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, sepeti terorisme, narkoba dan korupsi termasuk kategori hukuman ta‟zir yang masuk dalam kelompok “al-qatlu al-siyasi” yaitu sebuah hukuman yang tidak diatur dalam al-Qur‟an dan hadis, namun sepenuhnya diserahkan kepada penguasa dan negara, baik yang menyangkut pelaksanaanya maupun teknis eksekusinya. Dan menurut hemat penulis, hukuman mati sah-sah saja diberlakukan di suatu negara jika dipandang sebagai sesuatu yang efektif untuk menjaga ketertiban dan demi kemaslahatan masyarakat.
107
hukumannya pun tidak bisa dibatasi. Misalnya hukuman mati yang diberikan kepada mata-mata, pengedar narkoba dan koruptor. 197 Dari pembahasan di atas, ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam memahami hukum pidana Islam dalam konteks masyarakat sekarang ini dan ke depan. Kalau dilihat secara umum, hukum pidana Islam mengandung dua aspek tujuan. Pertama, aspek syariat berupa nash atau wahyu baik yang ada dalam al-Qur‟an mapun hadis, yang kebenarannya dijamin mutlat (absolute). Kedua, aspek fikih berupa syariat yang banyak diintervensi oleh akal atau pemikiran manusia yang kebenarannya sangat terbatas (bersifat nisbi/relatif). Sementara itu, untuk menyikapi kebenaran hukum pidana Islam yang bersifat relatif/terbatas (fiqih), adalah seberapa jauh kebenaran hukum tersebut membawa manfaat bagi kehidupan manusia secara umum dan seberapa jauh pula suatu ketentuan hukum berdampak negatif (madharat) bagi kehidupan masyarakat. Dalam tataran teknisnya, prinsip maslahat dan madharat selalu terkait dengan pertanyaan-pertanyaan 5W+1H, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana.198
197
Masyarakat seharusnya tidak hanya menerima bahwa korupsi itu salah secara moral, membahayakan secara sosial dan merugikan secara ekonomi, tetapi mereka juga harus menyadari akan ada konsekwensi rasa bersalah secara individu bahwa mereka sebenarnya terlibat di dalamnya. Pengambilan tindakan pemberlakuan hukum-hukum secara efektif mendorong pendidikan dalam masyarakat bahwa korupsi merupakan sebuah aktifitas kriminal yang memiliki konsekwensi serius kepada siapa saja yang melakukannya. Pengenaan sanksi hukum pidana merupakan pendukung dan pemberlakuan terhadap pesan pemerintah bahwa korupsi tidak akan ditoleransi dan pemerintah bersungguh-sungguh dalam rangka memberantas korupsi. Ian Mcwalter, SC, Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, ( Surabaya : PT Media Grafika, 2008), Cet. Pertama, Hlm. 101-102. 198
Lebih dari itu, menyangkut pendapat ulama terkait dengan persoalan hukum pidana Islam berbagai literatur yang ada juga menyangkut khasanah intelektual Islam yang cukup bernilai tinggi. Umat Islam bisa menerapkannya sejauh pendapat para ulama masih sebatas dengan kondisi dan situasi masyarakatnya di manapun berada. Akan tetapi jika ternyata pendapat para ulama itu kurang atau bahkan kurang sesuai dengan situasi dan dan kondisinya, tentu harus diupayakan mencari dan menetapkan alternatif ketentuan lain yang sekiranya dapat dipandang kemaslahatannya. Dengan demikian, pendekatan hukum berdasarkan situasi dan kondisi di mana masyarakat itu berada menjadi pertimbangan yang sangat penting. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 134-134.
108
Konsep
hukum
pidana
Islam
mengandung
dasar-dasar
perubahan yang inhern sifatnya. Artinya di dalam sistem hukum pidana Islam terdapat pranata hukum yang memungkinkan menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan menurut ruang dan waktu. Hal ini dimungkinkan karena di dalam konsepsi hukum pidana Islam terdapat konsep ta‟zir yang bersifat sangat luas untuk pengembangan dan perluasan. Kemungkinan dilakukannya perubahan atau penyesuaian memiliki kaitan erat dengan konsep ijtihad. Dengan konsep ijtihad, maka membuka peluang untuk tajdid (mereformasi) terhadap berbagai ketentuan hukum.199 Dalam hukum pidana Islam, secara implisit ada tekanan tujuan pemidanaan seperti telah diungkapkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dan surat an-Nur ayat 2.200 Ayat tersebut menggambarkan adanya
199
Dasar hukum mengenai ketentuan ini, terlihat jelas pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muaz bin jabbal mengenahi mekanisme penentuan hukum. Dalam hadis ini Rasulullah SAW merasa puas dengan jawaban Muazd Bin Jabbal mengenai pertanyaan yang diajukan kepada Muazd, menyusul telah diangkatnya beliau sebagai qodhi di Yaman. “bagaimana engkau akan memutuskan sesuatu jika dihadapkan kepadamu suatu perkara, : Muaz menjawab : saya akan memutuskan suatu perkara itu sesuai dengan kirab Allah, dan apabila saya tidak menjumpai ketentuan itu dalam kitab Allah, saya akan memutuskannya sesuai dengan sunnah Rasul , dan apabila tidak ada di dalam sunah Rosul, maka saya akan melakukan ijtihad dengan kemampuanku (pikiranku). Lihat Abdul Wahab Khalaf, Mahadir al-Tasyri‟ al-Islami fi ma la nash fih, (terj), (Bandung : Risalah, 1984), hlm. 2. Sebagaimana dikutif oleh Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 135. Sehingga sangat dimungkinakan adanya dinamika dalam penafsira hukum Islam, terutama dalam menyikapi keadaan sosial mayarakat. Dengan sikap seperti ini, hukum Islam akan bisa terus eksis dalam masyarakat kontemporer, seperti yang terjadi saat ini. 200
Surat al-Maidah :
Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Adapun surat an-Nur ayat 2 : Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
109
hukuman terhadap sebuah kejahatan dan ketika membalas harus diumumkan atau di lakukan di muka umum. Teori pemidanaan dalam hukum Islam tidak jauh berbeda dengan teori pemidanaan secara umum, yaitu gabungan antara teori pembalasan, teori pencegahan serta hakikat dari suatu aturan tertentu dalam hukum pidana Islam.201 Kedua, Hukuman Mati Sebagai Kategori Hukuman Maksimal Hukuman mati adalah salah satu bentuk hukuman yang eksistensinya diakui dalam hukum Islam. Artinya, hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal dan memiliki dasar hukum yang sangat kuat.
202
hukuman mati bisa diterapkan jika pelaku memenuhi
unsur-unsur jarimah secara sah dan meyakinkan. Di antara unsusrnya adalah : a). Pelaku seorang mukallaf, baligh dam berakal, b). Karena adanya unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana, c). Korbannya adalah manusia yang darahnya dilindungi secara hukum, d). Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bisa membahayakan orang banyak atau bisa menyebabkan kematian korban. e). Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hambal menambahkan antara pelaku dan korban sama-sama beragama Islam, sementara Imam Abu
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 201
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 134-135. Sebagaimana mengutip Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia : Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas, (Jakarta : Renaisance dan Reformasi, 2005) hlm. 8, secara jangka pendek, tujuan penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana adalah melimpahkan rasa derita pada pelaku jarimah agar tidak mengulangi kejahatannya dan mencegah orang lain dari kecenderungan melakukan tindak kejahatan yang sama. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah memelihara kemaslahatan masyarakat dan kedamaian umat. 202
Lihat surat al-Baqarah : 179
Artinya : “ dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah :179)
110
Hanifah
melihat
kemanusiaan.
kesetaraan
pada
aspek
kesetaraan
(hak)
203
Kaitannya dengan persoalan hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terkesan dan terlihat berat atau bahkan keras dan sadis. Beratnya hukuman yang diancamkan bagi beberapa kejahatan seperti perzinaan, akan mudah dimengerti apabila kita pahami betapa ajaran Islam sangat menjaga nilai-nilai dan standar moral. Pengertian dan pemahaman seperti ini sangat susah dan tidak mudah muncul dari masyarakat modern, di mana perilaku korup tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan moral masyarakat. 2. Hukuman Mati Dalam Ta‟zir Pada dasarnya, hukuman mati sebagai qishash dan hudud telah diakui dan disepakati oleh fukaha. Kesepakatan yang disampaikan oleh para fukaha berdasarkan teks-teks keagamaan yang secara jelas disebutkan baik dalam al-Qur‟an maupun hadis. Namun demikian tentang hukuman mati sebagai ta‟zir, kesepakatan fukaha tidak sebulat
203
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa „Adillatuhu, (Bairut : Dar al-Fikr, 1989), jus VI, hlm 269. Dalam pandangan Islam, hukuman mati relevan dilakukan karena dapat memeberikan efek jera terhadap kejahatan luar biasa yang merugikan kepentingan orang banyak. Bahkan menurut Amidhan, (ketua Majelis Ulama Indonesia), dalam hukum Islam, hukuman mati diperbolehkan selama pemerintah secara tegas memperbolehkan hukuman mati dalam sebuah peraturan atau perundang-undangan. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan seseorang dijatuhi hukuman mati, kecuali apabila ia melakukan perbuatan pembunuhan secara sengaja dan tanpa adanya alasan. Artinya hukuman mati hanya diperuntukan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja. Namun, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan tersebut juga tidak mutlak dijatuhkan mengingat adanya ketentuan lain yang dapat menggugurkan hukuman mati tersebut, yaitu dengan adanya pemberian ma‟af dari pihak ahli waris terbunuh dan pembayaran diyat (denda) kepada keluarga korban. lihat misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 178 : “hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang diampukan daripadanya sesuatu oleh saudaranya hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaknya (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memaafkan dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu merupakann keringanan dari Tuhanmu dan rahmat”. Meski demikian, menurutnya, masalah hukuman mati dalam Islam tidak terlalu kaku. Dan hukuman Islam terdapat lembaga pema‟af yang berfungsi menggantikan hukuman mati, yaitu berupa denda (diyat) yang diberikan oleh pelaku kepada keluarga korban pembunuhan yang telah diatur oleh syara‟. Hanya saja, lembaga pemaaf tersebut tidak berlaku mutlak untuk setiap kejahatan besar, terutama dalam kasus pembunuhan sadis yang terencana dan terorisme. “Hukuman dalam syariat Islam”, Republika, Tanggal 4 Agustus 2008. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati Di Indonesia, Perspektif Islam, HAM dan Demokratisasi Hukum, (Jakarta : Balitbang Kemenag RI, 2010), cet. Pertama, hlm. 138
111
kesepakatan mereka dalam hal hukuman mati sebagai qishash dan hudud. Mereka ada yang membolehkan dan ada yang sebaliknya, karena berpendapat bahwa hukuman ta‟zir tidak
boleh melebihi
hukuman hudud.204 Dalam masalah boleh dan tidaknya hukuman ta‟zir melampaui atau melebihi hudud ini, Amin Suma mengambil pendapat ulama yang didasarkan atas hadis riwayat al-Baihaqi sebagai berikut :
ٟسٍُ ِٓ تٍػ دذا ـٚ ٗ١ٍ َّللا عٍٝ صٟ لاي إٌث: عٓ اٌضذا ن لاي ) ٝمٙ١اٖ اٌثٚٓ ( س٠ ِٓ اٌّعرذٛٙشدذ ـ١ؼ Artinya : “ Dari al-Duhhak berkata : Nabi SAW bersabda : Siapa yang melampaui hukuman bukan pada hukuman / had, maka dia termasuk orang-orang yang melampaui batas”. (HR al-Baihaqi). Dalam
205
memahami hadis di atas, para ulama fikih berbeda
pendapat mengenai eksistensi hukuman mati sebagai ta‟zir. Bagi yang menganggap ta‟zir boleh melebihi hudud, hukuman mati bisa diterapkan, namun demikian bagi ulama yang menolak ta‟zir melebihi hudud, hukuman mati haruslah ditolak pula. Menurut hemat penulis, hadis yang berbunyi : ٓ٠اٌّعرذ
ِٓ ٛٙشدذ ـ١ ؼٟ( ِٓ تٍػ دذا ـSiapa
yang melampaui hukuman bukan pada hukuman / had, maka dia
204
Muhamad Amin Suma pada saat menyampaikan pengarahan dan masukan pada saat ujian promosi doktor atas nama M Nurul Irfan, yang di laksanakan pada tanggal 7 Juli 2008 di Aula Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana disampaikan kepada penulis pada tanggal 22 Desember 2014 di kediamannya. 205
Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, jilid 8, hlm. 327. Bunyi hadis secara lengkap adalah:
َّ ًٍ َد َّذشََٕا َع ْث ُذ١ْ َ تُْٓ ْاٌفَضْ ًِ ْت ِٓ ُِ َذ َّّ ِذ ْت ِٓ ُعمُّٝ ٍِ َٔصْ ِش تُْٓ لَرَا َدجَ لَاالَ َد َّذشََٕا َعُٛأَتَٚ إِ ِْالَ ًءُّٝ ِّ ٍَ َع ْث ِذ اٌشَّدْ َّ ِٓ اٌ ُّسَُٛد َّذشََٕا أَت ِٓ َّللاِ تُْٓ ُِ َذ َّّ ِذ ْت َ َ َح َد َّذشَٕا ُِ َذ َّّ ُذ١َّاَْ َد َّذشََٕا اتُْٓ َٔا ِج١ ُِ َذ َّّ ِذ تُْٓ َدُُٛٗ أَ ْخثَ َشَٔا أَت١ِ ْاٌفَمُّٝ َِٔاَٙز اْلَصْ ث ِ اس ِ أَدْ َّ ُذ تُْٓ ُِ َذ َّّ ِذ ْت ِٓ ْاٌ َذ: تَ ْى ٍشُٛ أَ ْخثَ َشَٔا أَتَٚ َحَ ح١َٔا ِج ْ ش َو َزا لَا َي لَا َي١ َ تُْٓ ُد ٍ ِذ ْت ِٓ َع ْث ِذ اٌشَّدْ َّ ِٓ َع ِٓ إٌُّ ْع َّا ِْ ْت ِٓ تَ ِط١ٌَِٛ ٌ َد َّذشََٕا ِِ ْس َع ٌش ع َْٓ خَاٌِ ِٗ اُّٝ ِِ ْاٌ ُّمَ َّذٍّٝ ٍِ َد َّذشََٕا ُع َّ ُش تُْٓ َعُّٝ ٍٓ اْلَصْ ثَ ِذ١ْ ص َّ ُيَُٛسس ظُ َ٘ َزاُٛ ْاٌ َّذْ فَٚ . َٓ٠ َِِٓ ْاٌ ُّ ْعرَ ِذَٛ َُٙ ِْش َد ٍّذ ـ١ َؼِٝ َِ ْٓ تٍََ َػ َد ًّذا ـ: ِّٝ َِٔاََٙ ِح اْلَصْ ث٠اَٚ ِسِٝـَٚ .ب َ ض َش َ ْٓ َِ :- ٍُسٚ ٗ١ٍ َّللا عٍٝ ص- َِّللا َّ َع ْث ُذ: ُِ ْاٌمَا ِسُُّٛ أَ ْخثَ َشَٔا أَتٜ ْاٌفَ ْرخِ ْاٌ ُع َّ ِشُٛؿُ أَت٠س ُِشْ َس ًٌ أَ ْخثَ َشَٔا اٌ َّط ِش٠ ُ ظُ َ٘ َزا ْاٌ َذ ِذُٛ ْاٌ َّذْ فَٚ َج ْعفَ ٍشُٛ َد َّذشََٕا أَتُّٝ َّللاِ تُْٓ ُِ َذ َّّ ٍذ اٌ َّسمَ ِط ْ َ َّ ٌ ِذ َع ِٓ ا١ٌَِٛ ٌ َد َد َّذشََٕا ِِ ْس َع ٌش َع ِٓ اُٚ دَاُٛب َد َّذشََٕا أت ُّٝ ِن لَا َي لَا َي إٌَّث ٍ ْ تُْٓ َدشُّٝ ٍِب َد َّذشََٕا َع ٍ ْ ْت ِٓ َدشِّٝ ٍِ ْت ِٓ ُع َّ َش ْت ِٓ َعَٝ١ َْذ٠ ُُِْٓ َذ َّّ ُذ ت ِ ضذَّا . َٓ٠ َِِٓ ْاٌ ُّ ْعرَ ِذَٛ َُٙ ِْش َد ٍّذ ـ١ َؼِٝ َِ ْٓ تٍََ َػ َد ًّذا ـ:- ٍُسٚ ٗ١ٍ َّللا عٍٝ ص-
112
termasuk orang-orang yang melampaui batas). Bukan berarti bahwa hukuman ta‟zir harus selalu lebih ringan dari hukuman hudud. Sebab kalau dilihat dari segi definisi, ta‟zir adalah sebuah jenis hukuman yang tidak secara tegas dan langsung dijelaskan dalam al-Qur‟an dan hadis, namun penerapan hukumannya menjadi kewenangan dan kebijakan hakim ataupun penguasa setempat. Oleh karena itu bisa saja hukuman ta‟zir lebih ringan dari hudud, bisa juga sama dengan hudud atau bisa jadi hukumannya lebih berat daripada hudud. Menurut hemat penulis, bahwa pesan moral dari hadis di atas lebih pada pemberlakuan hukuman ta‟zir secara proporsional dan profesional. Seorang hakim tidak boleh sembarangan dalam menetapkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana, melainkan sanksi yang ditetapkan harus disesuaikan dengan delik atau jarimah/kejaatan yang dilanggar oleh sang pelaku pidana tersebut, artinya jangan sampai melampaui batas. Di antara pendapat penulis yang demikian, karena didasarkan pada sebuah ungkapan yang dinyatakan oleh al-Syaukani dalam Fath al-Qadir sebagai berikut :
ٕٗٔضجشال٠ ٗٔعٍُ ا٠ مذستمذسِا١شاٖ االِاَ ـ٠ ِاٍٝخٕا اْ ادٔاٖ ع٠ دوشِطاٚ ٖصؽشٚ َ لذسعظُ اٌجشٍٝسؿ أٗ عٛ٠ ٝعٓ اتٚ خرٍؿ تاخرالؾ إٌاط٠ Artinya : “ Guru-guru kami menyebutkan bahwa sanksi ta‟zir yang paling ringan, disesuaikan dengan penafsiran hukum imam/hakim. Hakimlah yang akan mengukur dengan pengetahuannya, agar pelaku bisa jera, sebab antara satu orang dengan orang yang lain tentu berlainan (kondisi bathinya, antara bisa jera atau tidak). Dari Abu Yusuf disebutkan bahwa hukuman ta‟zir ditetapkan berdasarkan besar kecilnya kejahatan yang dilakukannya”.206
206
Muhammad Ibn „Ali Bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut : Dar alFikr, Tth ), Jilid 7, hlm 205.
113
Oleh karena seorang hakim harus berhati-hati dalam menetapkan sanksi pidana, maka dalam doktrin hukum pidana, seorang hakim tidak boleh menggunakan analogi atau perumpamaan dalam menetapkan sanksi pidana terlebih lagi dalam masalah hudud. Hudud bersifat fixed, strick dan rigid, pasif, tegas dan apa adanya. Artinya tidak boleh menyamaratakan bahwa semua kasus itu sama.207 Menurut hukum pidana Islam, hukuman mati sebagai ta‟zir memang diperbolehkan, walaupun dalam masalah ini Abdul Qadir Audah tampaknya sangat berat hati untuk mengatakan bahwa ta‟zir boleh dalam bentuk hukuman mati. Dalam hal ini secara tegas beliau mengatakan :
ًش اٌمر٠ اٌرعضٟص ـٛج٠ ِٓ شُ ـالٚ ٍىحِٙ ش٠تح اٌرعضْٛ عمٛ اْ ال ذىٕٝثؽ١ـ ْا اسرصٕاء ِٓ ٘ذٖ اٌماعذج اٌعاِح اٚاء اجاصٙٓ ِٓ اٌفم٠ش١ال لطع ٌىٓ اٌىصٚ ًتح اٌمرٛش عم٠شا ادا لرضد اٌّصٍذح اٌعاِح ذمش٠عالة تاٌمرً ذعض٠ Artinya : “Seyogyanya sanksi ta‟zir bukan sanksi yang bersifat mematikan, maka dari itu ta‟zir tidak boleh dalam hukuman mati atau pemotongan anggota tubuh pelaku. Akan tetapi mayoritas fukaha membolehkan sebagai pengecualian dari prinsip umum ini. untuk menetapkan hukuman mati sebagai ta‟zir, seandainya akan membawa kemaslahatan umum.208 Namun demikian tingkat jarimah/kejahatan mana yang pantas diberi hukuman dengan hukuman mati, para ulama berbeda pendapat, 207
Tindak pidana korupsi tidak bisa dianalogikan dengan pencurian, apalagi diqiaskan dengan perampokan, hingga akhirnya koruptor harus dituntut dengan hukuman potong tangan atau dituntut dengan hukuman mati sebagai hudud. Seorang koruptor bisa saja dituntut dan dijatuhi hukuman pidana mati, tapi bukan sebagai hudud, melainkan sebagai ta‟zir. Pidana mati bagi koruptor sebagaimana ta‟zir ini tidak bertentangan dengan prinsip di atas, dengan catatan tetap memperhatikan arti “kata keadaan tertentu” sebagaimana disebutkan dalam penjelasan resmi UU No 31 Tahun 1999 sebagai salah satu bentuk konkret hukum ta‟zir yang telah disepakati berlaku di Indonesia. Lihat M. Nurul Irfan, Pidana Mati Bagi Koruptor Menurut Hukum Pidana Islam, Istishlah, Jurnal Hukum Islam, Vol V No. 2, Juli-Desember 2010, (Medan : Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2010), hlm. 24. 208
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ al-Jina‟i Fi al-Islami, (Bairut : Al-Muassasah alRisalah, 1992), cet ke-11, jilid I, hlm. 687
114
baik ulama kalangan Hanafiyah, kalangan Syafi‟iyah, kalangan Malikiyah maupun kalangan Hanabilah, untuk lebih jelasnya kami sebutkan secara garis besarnya, sebagai berikut : a. Menurut ulama kalangan Hanafiah Menurut kelompok ini, hukuman mati sebagai ta‟zir bisa diberlakukan sebagai siyasah (political will/ pertimbangan politik negara), bagi pelaku kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya sangat keji dan dilakukan secara berulang-ulang serta dengan pertimbangan kemaslahatan bagi masyarakat umum, seperti terhadap pelaku pembunuhan dengan benda keras, pelecehan kepada nabi Muhammad SAW ulang.
Demikian
juga
209
orang
dan dilakukan secara berulangyang
melakukan
pencurian,
perampokan dan perbuatan sihir, yang mereka melakukannya secara berulang-ulang.210 b. Menurut ulama kalangan Syafi‟iyah Sementara itu, menurut kelompok ini, hukuman mati sebagai ta‟zir bisa diberlakukan terhadap orang/kelompok yang mengajak pihak lain untuk melakukan bid‟ah dan penyimpanganpenyimpangan agama yang nyata-nyata bertentangan dengan alQur‟an dan hadis. Namun di sebagian kalangan Syafi‟iyah juga ada yang berpendapat bahwa pelaku sodomi juga harus ada yang diganjar hukuman mati sebagai ta‟zir, tanpa harus membedakan apakah pelakunya pernah melakukan pernikahan secara syah
209
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar „ala ad Durnil Muhtar, Syarh Tanwir al-Ahbar, (alQahirah : al-Maktabah al-Maimuniyah, 1337 H), jilid 4, hlm. 62-64. Sebagaimana dikutip oleh M. Nurul Irfan, Pidana Mati Bagi Koruptor Menurut Hukum Pidana Islam, Istishlah, Jurnal Hukum Islam, Vol V No. 2, Juli-Desember 2010, (Medan : Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2010), hlm. 26 210
M. Nurul Irfan, Pidana Mati Bagi Koruptor Menurut Hukum Pidana Islam, Istishlah, Jurnal Hukum Islam, Vol V No. 2, Juli-Desember 2010, (Medan : Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2010), hlm. 26
115
ataupun belum.211walaupun ini pendapat minoritas dari kalangan Syafi‟iyah. c. Menurut ulama kalangan Malikiyah Menurut golongan Malikiyah, hukuman mati sebagai ta‟zir diperbolehkan seperti hukuman mati yang dijatuhkan bagi matamata perang yang beragama Islam dan jelas-jelas berpihak kepada musuh. Namun demikian, tentang boleh dan tidaknya seorang matamata perang yang merugikan negara Islam ini dihukum mati, Syaikh Shalih Ustaimin sebagaimana dikutif M Nurul Irfan menyampaikan tiga pendapat. Pertama, dihukum mati, kedua tidak dihukum mati dan ketiga abstain/tawaqquf, tidak memberi komentar. Namun demikian pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama, sebagaimana kasus Hatib Bin Abi Balta‟ah.212 Jika bukan karena ia termasuk peserta dalam perang badar, pasti ia sudah dihukum mati sesuai usulan Umar Bin Khattab. d. Menurut ulama kalangan Hanabilah Menurut kelompok ini bahwa seorang mata-mata perang yang beragama Islam yang membocorkan rahasia kepada musuh dan bisa membahayakan kaum muslimin, maka orang tersebut dapat dijatuhi hukuman mati sebagai ta‟zir. Pendapat ini sejalan dengan pendapat sebagian mereka yang mengatakan bahwa para pelaku bid‟ah yang menodai dan menyimpang dari ajaran Islam juga harus dihukum mati. Demikian pula setiap orang yang selalu berbuat kerusakan yang merugikan banyak pihak dan tidak dapat
211
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ al-Jina‟i Fi al-Islami, (Bairut : Al-Muassasah alRisalah, 1992), cet ke-11, jilid II, hlm. 688 212
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2011). Cet, pertama, halaman. 114
116
diberantas kecuali dengan hukuman mati, maka orang semacam itu patut diganjar dengan hukuman mati sebagai ta‟zir.213 Dari berbagai pendapat para ulama mazdhab sebagaimana disebutkan di atas, maka
bisa diketahui bahwa hukuman mati
sebagai ta‟zir bisa diterapkan terhadap beberapa jenis kejahatan tertentu, seperti kasus sodomi, orang Islam yang menjadi matamata perang dan merugikan kaum muslimin, pelaku bid‟ah yang mengajak masyarakat untuk menodai agama Islam, orang muslim yang berulang-ulang menghina dan menodai Nabi Muhammad dan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang melakukan tindakan merusak dan merugikan banyak pihak atau kepentingan masyarakat
213
Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah hadis riwayat Muslim sebagai berikut
: ادذٚ ً سجٍٝع ع١ّاِشوُ جٚ ُ ِٓ اذاو: سٍُ لايٚ ٗ١ٍ َّللا عٍٝي َّللا صٛ سّعد سس: َّللا عٕٗ لايٝ سضٝعٓ عشـجح االضجع )ٍُاٖ ِسٖٚ (سٍٛفشق جّاعرىُ ـالر٠ ٚطك تح عصاوُ ا٠ ْذ ا٠ش٠ Artinya : “ Dari arfajah al-Asyja‟i ra berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mendatangi kalian, padahal keadaan kalian berada pada suatu kepemimpinan seorang yang syah, orang tersebut datang dengan makusd memecah persatuan kalian atau bermaksud memisahkan kalian, maka bunuhlah orang tersebut”. (HR. Muslim). Lihat Muhyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murry an-Nawawi, al-Minhaj fi shahih Muslim, (Riyad : Bait al-Afkar al-Dauliyahm tth), hlm. 1852, sebagaimana dikutip oleh M. Nurul Irfan, Pidana Mati Bagi Koruptor Menurut Hukum Pidana Islam, Istishlah, Jurnal Hukum Islam, Vol V No. 2, Juli-Desember 2010, (Medan : Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2010), hlm. 28-29. Hadis lain yang senada dengan hadis di atas adalah : ٕ٘اخ ـّٓ اسادٚ ْ ٕ٘اخٛ أٗ سرى: يٛم٠ ٍُسٚ ٗ١ٍ َّللا عٍٝي َّللا صٛ سّعد سس: سّعد عشـجح لاي: اد اتٓ عاللح لاي٠عٓ ص )ٍُاٖ ِسٖٚ (سٛع ـاضشت١ّ جٟ٘ٚ فشق اِش ٘ذٖ االِح٠ ْا Artinya :” Dari Ziyad bin „Alaqah berkata : saya mendengar Arfajah berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : akan terjadi fitnah dan bid‟ah, maka barang siapa bermaksud memecah persatuan umat ini, maka pukulah orang tersebut dengan pedang”. (HR. Muslim). Maksud dari pukulah orang tersebut dengan pedang, adalah perintah untuk menghukum mati orang yang keluar (membangkang) penguasa atau bermaksud untuk memecah belah persatuan kaum muslimin dan semacamnya. Hadis di atas juga memerintahkan untuk mencegah segala bentuk tindakan seperti ini. kalau pihak yang dilarang tidak mau berhenti, maka dia harus dihukum mati, kalau kejahatannya tidak dapat dicegah kecuali dengan hukuman mati, maka darahnya pun tidak lagi terpelihara.
117
3. Penerapan Hukuman Mati Sebagai Ta‟zir Untuk
Pelaku Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia Dalam beberapa tahun belakangan ini, praktik hukuman mati menjadi diskusi yang hangat di kalangan akademisi hukum, terutama terkait perkembangan kejahatan yang semakin maju dan berdampak bagi masyarakat banyak seperti kejahatan illegal loging, kejahatan narkoba dan kejahatan korupsi. Maka tidaklah mengherankan jika masih banyak terpidana mati di Indonesia yang masih menunggu eksekusi pidananya. Hal ini karena indonesia merupakan negara yang mengadopsi paham abolisionist de facto dalam pelaksanaan hukuman pidana matinya. 214 Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia juga bukan hanya sebatas wacana, melainkan secara tegas telah berani dinyatakan dalam sebuah rumusan pasal UU korupsi. Dalam pasa 2 ayat (2), UUNo 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 telah disebutkan sebuah rumusan pasal sebagai berikut : (2) dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Menurut penjelasan terbaru undang-undang ini, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-
214
Pengertian faham abolisionist de facto yang dianut oleh Indonesia ialah mengandung beberapa pengertian yaitu hukuman pidana mati dilaksanakan berdasarkan ketentuan suatu perundang-undangan dan tidak dilaksanakannya hukuman pidana mati kepada seorang penjahat dikarenakan suatu kebiasaan. Artinya bahwa penerapan suatu sanksi hukuman pidana di Indonesia diberlakukan dan dikukuhkan dalam ancaman sanksi dalam peraturan perundang-undangan. Lihat Ahmad Fauzi dalam Sejarah Hukuman Pidana Mati dan Eksistensinya dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Istishlah, Jurnal Hukum Islam, Vol V No. 2, Juli-Desember 2010, (Medan : Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2010), hlm. 35
118
dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas dan penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi.215 Dengan demikian, pada dasarnya mewacanakan kembali pidana mati bagi para koruptor pada dasarnya tidaklah berlebihan, karena jauh-jauh hari pasal (2) Undang-undang Korupsi telah mewacanakan. Oleh karena itu yang terpenting sekarang adalah bagaimana pidana mati
bisa
tersosialisasi
dan
terealisasi
dengan
baik
untuk
menyelamatkan negeri ini yang sudah terlanjur penuh dengan virus ganas korupsi. Skripsi ini disamping sebagai karya tulis, juga mewacanakan kembali apa yang pernah disampaikan oleh Presiden SBY melalui Andi Malarangeng 7 tahun yang lalu.216 Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah sangat patut dan layak untuk dijatuhi hukuman mati. Apalagi bila dikaitkan dengan beberapa hadis Nabi yang sangat tegas dan keras manakala ada shahabat yang melakukan praktek korupsi, seperti ghulul, risywah dan khianat. Oleh karena itu kepada para pihak yang bertugas dan berwenang untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dan tidak perlu ragu untuk memberlakukan pasal 2 ayat (2) undang-undang 215
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), cet. Pertama, hlm. 34 216
Harian Kompas Selasa tanggal 22 Juli 2008 memuat berita utama berjudul “Pembersihan di Birokrasi” dengan anak judul “Presiden Tidak Tutup Kemungkinan Koruptor di hukum Mati”. Presiden Susilo Bambang Yudoyono, melalui juru bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengemukakan makin banyaknya korupsi yang terungkap, membuktikan makin gencarnya upaya pemerintah dan KPK memberantas korupsi. Sehingga untuk menimbulkannya efek jera, dipertimbangkan untuk memperkuat undang-undang korupsi, dan ikuti wacana hukuman mati buat koruptor. Presiden pada posisi mengikuti UU yang ada, memperbaikinya dan memperkuatnya. Pada prinsipnya, salah kecil hukuman kecil, salah sedang hukuman sedang dan salah besar hukuman pun besar. Lihat kompas, selasa 22 Juli 2008, halaman 1 dan 15.
119
tersebut, sehingga target pemberantasan korupsi bisa sukses, berjalan dengan baik dan memuaskan. Secara khusus penulis sampaikan bahwa sebetulnya para jaksa penuntut umum tidak perlu ragu dan khawatir lagi dalam memberlakukan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga kepada para hakim di semua tingkat pengadilan agar tetap yakin dalam mengetok palu untuk menghukum para koruptor yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana bunyi rumusan pasal 2 ayat (2) tersebut dengan hukuman mati. Hal ini agar selalu diupayakan, sehingga rumusan pasal undang-undang tidak hanya menjadi jargon simbolis yang tidak bermakna sama sekali, dan juga agar target pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini bisa terwujud dan terealisasi sebagaimana yang diharapkan dan diidam-idamkan oleh banyak pihak. Hal mendasar yang menjadikan para penegak hukum di Indonesia ragu bahkan terkadang takut untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor sebagaimana amanat pasal 2 ayat (2) Undang-undang No 31 Tahun 1999, menurut hemat penulis di samping karena alasan/faktor politis, merasa pelaku berjasa pada negara, ewuh pakewuh, serba salah dan takut dianggap melanggar HAM, juga karena bunyi rumusan pasal 2 ayat (2) itu sendiri yang terkesan kurang tegas. Dalam pasal tersebut hanya dicantumkan katakata “dapat” bukan dengan kata “harus”, sehingga pasal 2 ayat (2) ini bersifat ngambang, fakultatif, artinya meskipun praktek tindak pidana korupsi nyata-nyata dilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman mati dapat pula untuk tidak dijatuhkan.217 Dalam memberlakukan pasal ini, karena pidana mati tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan beberapa hadis secara 217
Hal semacam ini jelas akan berbeda jika bunyi rumusannya bukan dengan kata “dapat” , akan tetapi dengan kata harus. Walaupun memang dalam rumusan bahasa Arab juga menggunakan kata “ صٛج١ “ ـyang artinya juga “dapat”
120
tersirat juga telah menjelaskannya dan terdapat ketentuan hukuman mati dengan ta‟zir, tentu saja setelah dilakukan sebuah penelitian dan penyelidikan dengan seksama bahwa tindak pidana korupsi benarbenar dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam undang-undang dan penjelasannya.218 Hal terakhir inilah yang menurut hemat penulis sangat sesuai dengan pendapat ulama kalangan Hanabilah yang mengatakan bahwa hukuman mati boleh dijatuhkan sebagai ta‟zir, kalau seandainya pelaku berulang-ulang telah melakukan tindak pidana korupsi.219Di sini dikatakan bahwa pelaku tindak pidana yang sifatnya merusak dan berulang-ulang dalam melakukannya bisa dijatuhi hukuman mati sebagai ta‟zir. Namun terlepas dari itu semua, karena dampak dari perbuatan koruptor yang luar biasa dan menyengsarakan banyak rakyat dan merugikan keuangan negara, menurut hemat penulis, tindakan korupsi di Indonesia sudah layak dijatuhi hukuman mati. Apalagi kalau kita berkaca terhadap praktek-praktek korupsi yang terjadi pada zaman Nabi, barang yang dikorupsi nilainya sangat kecil, bahkan tidak bernilai sama sekali, Nabi pun sangat tegas dalam menjatuhkan hukumannya. Akhirnya semua dikembalikan kepada penguasa, khususnya kepada para penegak hukum, apakah mereka bersungguh-sungguh dalam memberantas tindak pidana korupsi atau tidak. Kalau ada niat dan memang bersungguh-sungguh, maka akan 218
Apapun tafsir “keadaan darurat” itu nantinya tidaklah menutup fakta bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini sudah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa di antara maksud dari kata “keadaan tertentu”, di samping karena tindak pidana korupsi itu dilakukan pada waktu negara dalam bahaya, ketika terjadi bencana nasional dan pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, juga dimaksudkan sebagai pengulangan tindak pidana. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), cet. Pertama, hlm. 34 219
Ibu Qoyyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukmiyah fi Syiyasah al-Syar‟iyyah, (Bairut : Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), cet pertama, hlm. 107
121
tampaklah jalan menuju ke sana, karena baik agama melalui para ulama dan/atau undang-undang telah mengaturnya.220
220
Islam sebagai agama wahyu, mengemban amanah untuk menjaga kemaslahatan manusia dan sekaligus sebagai rahmat bagi seluruh alam ( rahmatan lil alamin) yang relevan untuk setiap zaman dan tempat ( shalih li kulli zaman wa makan). Dalam rangka mewujudkan hal itu. Islam menetapkan aturan hukum (syari‟ah), dimana aturan ini dibuat dengan tujuan utama untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok atau populer dengan istilah al-maqashid al-syar‟iyyah, yaitu: 1) memelihara agama (hifdz al-din), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-aql), 4) memelihara kehormatan atau keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta (hifdz al-mal). Kelima maqashid syar‟iyyah tersebut, jika terlaksana dengan baik, maka akan tercapailah apa yang disebut dengan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (fii al-dunya hasanah, wa fii al-akhirah hasanah). Sebaliknya, segala tindakan yang bisa mengancam keselamatan salah satu dari kelima hal pokok tersebut, maka Islam menganggapnya sebagai tindak kejahatan (jarimah) yang terlarang, oleh karenanya pelakunya dikenakan hukuman atau sanksi baik yang bersifat duniawi dan/atau ukhrawi. Hukuman ukhrawi berupa siksa neraka yang disesuaikan dengan kejahatannya. Hukuman duniawi adalah hukuman yang diputuskan dan dilaksanakan hukumannya di dunia. Dalam hal ini ada dua kemungkinan, jika secara jelas (sharih) ditegaskan oleh nash, maka disebut qishas, diyat dan had. Jika tidak secara tegas (ghair sharih) disebutkan dalam nash maka disebut ta‟zir, yang mana sanksi hukumannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Pedastaren Tarigan, SH, koruptor musuh negara pantas dihukum mati, Jumat, 4 Nopember 2011 23:28, http://www.pajak.go.id/content/pakar-koruptor-musuh-negara-pantas-dihukum-mati