BAB II KAJIAN TEORI TENTANG TINDAK PIDANA, KORUPSI DAN HADIS NABI
A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsurnya 1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, kata tindak pidana berasal Belanda dikenal
dari istilah yang dalam hukum pidana
dengan nama strafbaar feit, atau ada yang
menggunakan kata delic, yang dalam bahasa latin disebut delictum.19 Adapun secara umum pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.20 Kalau dikaji secara kharfiah, istilah strafbaar feit memiliki tiga unsur, antara lain : straf, baar dan Feit. Straf artinya pidana dan hukum, baar artinya dapat atau boleh dan feit artinya tindak, peristiwa, delik, pelanggaran dan perbuatan.21 Dari definisi secara kharfiah ini 19
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta : 1994), Cet. II, Hlm.
86 20
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif Sebagai dasar Dakwaan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 28 21
Istilah Tindak Pidana digunakan dalam banyak Peraturan Perundang-undangan seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Tindak Pidana Suap, Undang-Undang No 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi (yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 31 tahun 1999 serta diperbaharui menjadi UndangUndang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Istilah Peristiwa Pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti Mr. Tresna dalam buku “Azas-Azas Hukum Pidana” dan Andi Zaenal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Adapun delik juga digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit, dan para pakar menyamakan antara delik dengan peristiwa pidana, seperti yang dikemukakan oleh E Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana I”. Sementara itu, istilah Pelanggaran Pidana sebagian pakar menganggap sebagai terjemahan dari Strafbaar Feit. Hal ini sebagaimana yang dikutif oleh Nurul Irfan dalam bukunya “Korupsi dalam Hukum Pidana Islam” halaman 24-25.
14
15
muncullah masalah dalam menerjemahkan istilat Strafbaar Feit ke dalam bahasa Indonesia. Moeljatno22 dan Ruslan Saleh lebih suka memakai
istilah
perbuatan
pidana
menerjemahkan Strafbaar Feit itu.
23
meskipun
tidak
untuk
Sementara menurut hemat
penulis bahwa pengertian hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam dengan hukuman pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan perbuatan manusia yang mampu bertanggung jawab. Adapun perlakuan tertentu yang sifatnya tidak mengenakkan atau menimbulkan penderitaan, yang diberikan kepada pihak pelaku perilaku menyimpang disebut dengan hukuman. Hukuman
semestinya
diberikan
sebanding
dengan
kualitas
penyimpangan yang dilakukan. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Kalau kita lihat dari beberapa literatur, unsur-unsur tindak pidana terdiri dari unsur obyektif atau unsur lahir dan unsur subyektif atau unsur batin. Sebagaimana dikatakan oleh Satochid Kartanegara bahwa unsur-unsur delic terdiri dari dua segi, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Yang dimaksud unsur obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu yang berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan, suatu akibat tertentu dan yang berupa keadaan yang kesemuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.24 Adapun unsur subyektif adalah unsur yang terdapat 22
Moeljatno dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, halaman 1 menerangkan bahwa : Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan sebagai berikut :1). Menentukan perbuatanperbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disetai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 23
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta : 1994), Cet. II, Hlm.
86 24
Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp : Balai Lektur Mahasiswa, t.th), halaman 73
16
pada diri perbuatan, unsur-unsur subyektif ini berupa hal dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan dan kesalahan seseorang . Bentuk pertanggungjawaban pidana inilah yang disebut unsur subyektif.25 Seseorang dapat dikatakan bertanggungjawab terhadap perbuatan yang ia lakukan apabila orang tersebut memiliki tiga syarat, yaitu keadaan jiwa seseorang tersebut dapat mengerti akan nilai dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.26 Kemudian orang tersebut mempunyai kebebesan dan kehendak dalam memilih perbuatan yang akan dilakukan. Orang tersebut juga harus sadar bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah perbuatan yang dilarang, baik dilihat dari segi hukum,
unsur
ketatasusilaan.
kemasyarakatan
ataupun
dilihat
dari
segi
27
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur subyektif tindak pidana adalah unsur yang terdapat pada diri pelaku atau pembuatan kejahatan. Unsur subyektif ini dapat berupa hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang terhadap perbuatan yang telah ia lakukan dan dapat juga berupa kesalahan seseorang serta dapat berupa pula kesengajaan, kelalaian, kealpaan dan ketidaksengajaan. Hal ini yang dalam hukum pidana Islam disebut pembunuhan disengaja, seperti disengaja dan tidak disengaja.
25
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta : 1994), Cet. II, Hlm.
90 26
Dalam tradisi hukum Islam, persyaratan ini biasanya ada pada persyaratan menjalankan ibadah dalam Islam, seperti orang tersebut harus sudah baligh, dewasa, merdeka dan berakal sehat serta tidak adanya paksaan oleh pihak lain dalam melakukan pekerjaan . dengan keadaan kondisi psikologis seperti ini, kemungkinan seseorang akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan dimungkinkan orang tersebut mengerti akan nilai dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya 27
M. Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (Jakarta : Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. 1, hlm.36
17
Selain unsur subyektif, dalam tindak pidana juga terdapat unsur obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar manusia. Unsur obyektif ini bisa berupa suatu tindakan, suatu akibat tertentu dan dapat berupa keadaan, yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Sebagaimana
disyaratkan
bahwa
dalam
hal
pemidanaan terdapat dua hal a. Actus reus (delictum) – perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanaan obyektif b. Mens
rea
– pertanggungjawaban kriminal
sebagai
syarat
pemidanaan subyektif.28 Dari seluruh pemaparan di atas, memang tidak adanya satu pemahaman yang utuh tentang unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sejalan dengan perbedaan pendapat di antara para tokoh di kalangan ahli hukum pidana, namun demikian menurut hemat kami dalam hal unsur obyektif ada suatu kesepahaman yang intinya adalah tiga hal, yaitu: 1) Kelakuan atau perbuatan, 2). Unsur akibat dan 3). Unsur melawan hukum. Dari ketiga unsur inilah yang akhirnya suatu perbuatan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
B. Pengertian Korupsi, Sebab-Sebab dan Unsur-Unsurnya 1. Pengertian Korupsi Kalau kita lihat dari segi bahasa, istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin, yakni corupptio atau corruptus yang dipindah ke dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corupt,29 yang
28
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta : PT Rieneka Cipta, 1994), Cet. Ke-2, hlm 90. Lihat pula Suharto, Hukum Pidana Materil, Unsur-unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, hlm.36 29
Kata ini mempunyai kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok
18
mempunyai arti korup, merusak, jahat, dan buruk30. Dan dalam bahasa Perancis menjadi Corruption dan dalam bahasa Belanda diubah menjadi corruptie (korruptie). Karena begitu lama bangsa kita dijajah oleh bangsa Belanda, masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan istilah korupsi dan asumsi inilah yang lebih kuat menyatakan bahwa kata korupsi dalam bahasa Indonesia merupakan turunan dari kata corruptie yang berasal dari bahasa Belanda.
31
Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti : busuk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).32 Kartini Kartono, seorang ahli Patologi Sosial, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.33 30
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007), cet. ke-29. Hlm. 149. Lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2015), Edisi Ketiga, hlm. 596 31
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Nasional dan Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), cet. Ke-2, hlm 4. Namun demikian menurut UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 butir 3 dimuat pengertian Korupsi sebagai berikut : Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan paraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana. Sementara Hasan Su’aidi mengartikan Korupsi sebagaimana mengutip ketentuan undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi (pasal 2 ayat 1) adalah setiap orang yang secara sengaja melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Lihat Islam dan Perubahan Sosial, Respon Terhadap Isu-issu Korupsi, Kemiskinan dan Lingkungan Hidup, hlm 62. Adapun Achmad Muchsin mensyaratkan bahwa suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindank pidana korupsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1). Perbuatan tersebut dilakukan secara melawan hukum, 2). Perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain, 3). Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Lihat buku yang sama halaman 51. Sementara Jeremy Pope membuat definisi yang cukup simpel dan mudah dipahami bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan/kepercayaan untuk kepentingan pribadi, lihat fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhamadiyah, halaman 12. Lebih lanjut, Azyumardy Azra mengutif pendapat Syeid Husein Alatas :”corruption is abuse of trust in the interest of private gain”. (Penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi). Lihat buku yang sama halaman yang sama. Tampaknya, definisi Husein Alatas dan Jeremy Pope inilah yang lebih sederhana sehingga mudah diterapkan. 32
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet. Ke -5, hlm 527
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
19
Dalam bahasa Arab korupsi juga disebut risywah yang berarti penyuapan. Korupsi dinilai sebagai sebuah tindakan merusak dan berkhianat juga disebut fasad (ifsad) - yang diartikan mengambil harta secara dholim - dan ghulul.34 Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan
(al’adalah),
akuntabilitas
(al-amanah)
dan
tanggung
jawab.35Oleh karena itu, sebuah pertanyaan tentang bagaimana Islam memandang tindak perbuatan penguasaan terhadap hak milik orang lain secara umum dan pembahasan korupsi secara khusus perlu dikaji, terutama yang terkait dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi perspektif hadis Nabi. 2. Sebab-sebab Korupsi Kalau kita lihat secara umum, beberapa sebab terjadinya korupsi di Indonesia mula-mula karena kondisi sosial ekonomi di Indonesia masih rawan dan memprihatinkan, sehingga orang melakukan korupsi dengan motif sekedar mempertahankan dan menyelamatkan hidupnya. Akan tetapi lama kelamaan, motif ini mengalami pergeseran dan perubahan
menjadi
motif
ingin
memperoleh
kekayaan
dan
kemewahan hidup. Di samping sebab di atas juga karena birokrasi di Indonesia yang masih amburadul dan sangat berpotensi untuk menjadikan orang melakukan tindak pidana korupsi mengingat pengawasannya yang sangat lemah. Dalam buku Fikih Antikorupsi Persepektif Ulama Muhamadiyah dijelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya korupsi secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu : Internal dan 33
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1981). Hlm. 80 Sebagaimana disebutkan dalam Fikih Antikorupsi, Perspektif Ulama Muhammadiyah. Halaman 11 34
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Yogyakarta : Ponpes Krapyak Al-Munawir, 1984), hlm.537 35
Maghfur Ahmad, dkk, Islam dan Perubaan Sosial, Respon Terhadap Isu-isu Korupsi, Kemiskinan dan Lingkungan Hidup, (Pekalongan : STAIN PRESS, 2011), Cet. 1, hlm. 63
20
eksternal.36 Faktor internal adalah faktor yang ada pada diri seseorang pemegang amanah yang mendorong melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Faktor internal ini sangat beragam, misalnya sifat rakus terhadap harta kekayaan, sifat iri kepada orang lain, atau terbentur dengan kebutuhan mendesak yang memicu seseorang melakukan korupsi. Sedang faktor eksternalnya adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang sehingga dapat memberi kesempatan kepada pemegang amanah untuk melaukan korupsi.37 Faktor eksternal ini juga senantiasa berkembang, misalnya lemahnya pengawasan, lemahnya 36
Fikih Antikorupsi, Perspektif Ulama Muhamadiyah, (Jakarta : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah, 2006), cet pertama, hlm. 13. 37
Lihat juga Abu Fida’ Abdur Rafi’ dalam Kata Pengantar bukunya, yang menyatakan bahwa penyebab korupsi di Indonesia ada 8 poin, antara lain : 1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru. Sebagai negara berkembang semestinya prioritas pembangunannya di bidang pendidikan. Tetapi sampai saat ini, mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan pada bidang ekonomi, padahal setiap negara yang baru merdeka sangat terbatas dalam hal SDM, uang, management dan teknologi, konsekwensinya semua didatangkan dari luar. 2. Konpensasi PNS yang Rendah. Negara yang baru merdeka tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pegawainya, tetapi karena sektor ekonomi yang ditekankan, maka secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme. Hal ini dibuktikan bahwa sekitar 90 % PNS melakukan KKN,seperti pungli, Mark Up demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga. 3. Pejabat yang Serakah. Pola hidup konsumerisme yang disebabkan oleh system pembangunan di atas mendorong para pejabat untuk menjadi kaya secara instan (mendadak), lahirlah sifat serakah di mana para pejabat menghalalkan segala cara dan menyalahgunakan wewenang. Bahkan juga melakukan koalisi dengan para pengusaha. 4. Law Enforcement Tidak berjalan. Karena pejabat serakah, KKN ada di mana-mana, maka boleh dibilang penegakan Hukum tidak bisa berjalan dengan baik, karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebijakan plesetan seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) atau Keuangan yang Maha Kuasa. 5. Hukuman Yang Ringan terhadap koruptor. Dari mulai Law Enforcement tidak berjalan di mana-mana, akhirnya aparat penegak hukum bisa dibayar, mulai dari Polisi, jaksa, hakim dan pengacara, maka hukumannya yang diterapkan kepada para koruptor juga relatif sangat ringan, dan pada akhirnya tidak ada efek jera bagi para koruptor. 6. Pengawasan yang Tidak EfektiF. Internal Control pada masing-masing instansi tidak berjalan dengan baik. Meskipun dibentuk semacam Irjen dan Bawasda, namun tidak bisa berjalan dengan efektif karena mereka juga telah melakukan KKN dengan orang yang mau diperiksanya.7. Tidak ada Keteladanan Pemimpin. Di Indonesia hampir tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan tauladan, contoh hidup sederhana dari masing-masing pemimpin tidak ada, antara omongan dengan perbuatanya sangat jauh dari yang diharapkan, sehingga penataan ekonomi tadak pernah terpikir dan Negara hampir diambang kehancuran. 8. Budaya Masyarakat Yang Kondusif KKN. Masyarakat Indonesia cenderung Paternalistic, contohnya mereka selalu melakukan KKN dalam setiap kehidupan seharinya seperti membuat KTP, SIM, BPKB, mendaftar sekolah, menjadi PNS, semua ini dilakukan karena meniru para pemimpinan yang telah KKN lebih awal. Dan yang lebih parah, kebiasaan seperti ini dianggap tidak salah. Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta : Republika ; 2004) cet. Pertama, hlm. xii-xv.
21
hukum, penegak hukum yang dapat disuap, hukuman yang sangat ringan dan tidak adanya ketauladanan dari para pemimpin. Secara agak rinci Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah menerangkan bahwa terjadinya korupsi di Indonesia disebabkan oleh tiga hal, antara lain : Pertama, corruption by greed (Keserakahan). Kalau kita lihat secara seksama, korupsi ini sebenarnya terjadi pada orang yang tidak butuh, tidak terdesak secara ekonomi, bahkan mungkin sudah kaya. Namun karena sifat rakus dan keserakahan sehingga keinginannya tidak bisa terbendung untuk melakukan perbuatan korupsi. Mental serakah dan rakus inilah yang pernah diingatkan oleh Rosulullah SAW : bahwa kalau saja anak Adam telah memiliki dua lembah emas, maka iapun berkeinginan untuk mendapatkan tiga lembah emas lagi. Kasus korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di kalangan pejabat tinggi dan pengusaha. Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi yang dilakukan karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan (basic need). Misalnya korupsi yang dilakukan seseoarang yang gajinya rendah, seperti pegawai/karyawan yang rendahan,para prajurit, sementara kebutuhan dasar keluarganya tidak bisa tercukupi. Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, seperti peluang ingin cepat kaya dan naik jabatan dengan cara pintas. Hal ini biasanya terjadi karena lemanya organisasi, rendahnya pengawasan dan keroposnya penegakkan hukum, yang diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera. Dalam kenyataan sehari-hari, seringkali korupsi justru diberi kesempatan dan diberi peluang, bahkan malah dilindungi, sehingga menggoda para pejabat dan para pemegang amanah untuk berbuat korup. Anehnya ketiga sebab di atas kadang juga menyatu, dengan kata lain seorang koruptor disamping mentalnya serakah, dipicu oleh kebutuhan dasar ekonomi yang tinggi,
22
juga ditunjang adanya peluang atau kesempatan yang aman untuk korupsi. Dapat dipastikan kalau ketiga unsur ini menyatu, maka akan berdampak lebih hebat.38 Beberapa faktor lainnya adalah berupa penegakkan hukum, langkanya lingkungan yang anti korup, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi upeti, konsekwensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu serta gagalnya pendidikan agama dan etika.39 Dari uraian penyebab terjadinya kasus korupsi di atas, maka menurut hemat penulis dapat disimpulkan bahwa penyebab korupsi dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal sangat berkaitan dengan sipelaku yang diserahi amanah dan jabatan yang diembannya. Faktor eksternal sangat berkaitan dengan sistem pemerintahan, kepemimpinan dan pengawasan yang tidak seimbang, 38
Fikih Antikorupsi, Perspektif Ulama Muhamadiyah, (Jakarta : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah, 2006), cet pertama, hlm. 15 39
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2014), cet. Ke-2. Hlm. 37.Lihat pula buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhamadiyah, halaman 15, yang mengatakan bahwa secara khusus penyebab terjadinya korupsi antara lain : Pertama, rendahnya pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena penekanan pendidikan agama hanya pada aspek kognitif dan melupakan aspek afektif dan psikomotorik. Atau tambahnya ilmu seseorang tidak dibarengi dengan pengamalan yang sesuai ajaran Islam, yang akhirnya mengarah pada sikap individualistis, serakah, konsumtif dan materialistik. Kedua, struktur pemerintah atau organisasi (baik profit maupun nonprofit) yang cenderung tertutup tidak transparan bahkan cenderung otoriter. Dengan demikian kecenderungan terjadinya penyelewengan sangat tinggi dan muncullah praktek korupsi dan suap-menyuap di mana-mana. Ketiga, kurang berfungsinya lembaga perwakilan rakyat (DPR, DPD dan DPRD) sebagai kekuatan penyeimbang bagi eksekutif (Presiden, Gubernur, Wali Kota, Bupati dan lain-lain), karena biasanya mereka mendapatkan jabatan tersebut dengan cara yang tidak syah, seperti money politic dan suapmenyuap, sehingga pada akhirnya kekuasaan hanya dijadikan alat untuk menghalalkan segala cara, termasuk dalam meraup kekayaan, Keempat, Tidak berfungsinya lembaga pengawasan dan penegak hukum, serta sanksi hukum yang tidak menjerat bagi pelaku korupsi. Sehingga para koruptor kadang-kadang menggunakan rumus matematika, bahwa keuntungan korupsi lebih besar daripada resiko hukuman, Kelima, minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan sehari-hari, sangat sulit untuk mencari pemimpin yang sederhana, hemat, kona’ah, wara’, dan lain sebagainya. Keteladanan bagi seorang pemimpin sangat penting sebab masyarakat cenderung akan menirunya. Karena ada ungkapan yang mengatakan : “satu teladan yang baik, akan lebih baik dari seribu petuah bijak”. Keenam. Rendahnya upah pegawai/karyawan yang berakibat rendahnya tingkat kesejahteraan. Karena faktor yang satu ini sangat nyata, bahwa rendahnya kesejahteraan masyarakat akan sangat mudah memicu untuk melakukan korupsi karena terdesak kebutuhan ekonomi.
23
sehingga bisa membuat peluang bagi siapa saja untuk melakukan tindak pidana korupsi. 3. Unsur-unsur Korupsi Mengenai unsur-unsur korupsi secara jelas diterangkan dalam rumusan pasal 2 sampai dengan pasal 13 Undang-undang No 31 tahun 1999 bab 2 tentang Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi . 40Kalau kita mencermati rumusan pasal 2 ayat (1), maka kita akan menemukan unsur-unsur korupsi berupa memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dan memperkaya korporasi, dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.41 Sementara pada pasal 2 ayat (2) negara bisa menjatuhkan hukum mati bagi para koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.42 Kemudian pada pasal 3 undang-undang yang sama dijelaskan tentang unsur korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.43 Kemudian unsur-unsur korupsi yang terkandung dalam pasal 5 Undang-undang No 31 Tahun 1999 meliputi unsur obyektif yaitu 40
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 26 41
Ibid .
42
Adapun bunyi pasal 2 secara lengkapnya adalah : (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Hadi Setia Tunggal, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Beserta Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: Harvarindo, 2005), hl. 37-38 43
R. Wiyono. Hlm. 37
24
perbuatannya dengan memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dan / atau penyeleggara negara. Sedangkan unsur subyektif yaitu dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyeleggara negara tersebut berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
dalam
jabatannya
sehingga
bertentangan
dengan
kewajibannya.44 Sementara yang dimaksud pejabat negara menurut pasal 1 butir 1 UU No 28/1999 adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang berfungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.45 Selanjutnya unsur-unsur korupsi dalam pasal 6 ayat (1) yang pada awalnya berasal dari pasal 210 ayat (1) angka 1 KUHP meliputi unsurunsur obyektif; yaitu perbuatannya dengan memberi dan menjanjikan sesuatu kepada hakim. Sedangkan unsur subyektif yang dimaksud pada pasal ini adalah untuk memperoleh putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili. Sedangkan yang dimaksud
dengan memberi dan menjanjikan sesuatu dalam pasal 6 ayat (1) huruf a, bisa dilihat pada pembahasan pasal 5 ayat (1). Sementara pengertian hakim dengan mengacu pada pasal 1 angka 8 KUHP adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.46 Sedangkan rumusan pasal 6 ayat (2), dikhususkan bagi hakim atau advookat yang menerima suap, juga terdapat unsur-unsur korupsi yang meliputi perbuatannya, yaitu hakim dan advokat, adapun yang dimaksud perbuatannya adalah menerima (sesuatu atau pemberi) dan menerima sesuau janji, yang dimaksud
44
45
46
Ibid. Hlm. 46 Ibid. Hlm. 48-49 . R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, hlm. 53-54
25
dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, konteks di sini secara khusus menyangkut suap yang diterima hakim atau advokat.47 Kemudian unsur korupsi pada pasal 7 ayat (1) huruf a, unsur-unsur korupsi terdiri dari beberapa macam, yaitu Pertama, Pemborong maksudnya ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang48 yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Kedua, setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan49 perbuatan curang sebagaimana di maksud pada huruf a. Ketiga, setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang50 keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Keempat, setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. 47
Untuk mewujudkan suap dalam rumusan ini, diperlukan janji itu benar-benar telah disetujui, jika tidak ada keadaan-keadaan yang menandakan hakim itu menyetujuinya, maka suap menurut ayat 2 pasal 6 ini belum terjadi secara sempurna. Namun untuk penyuap, tindak pidana telah terjadi secara sempurna. Lihat M. Nurul Irfan dalam buku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah, halaman 53 48
Adapun yang dimaksud perbuatan curang menurut R. Wiyono dalam buku Pembahasan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi halaman 61 adalah perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. 49
Adapun unsur perbuatan membiarkan atau memberikan kesempatan atau peluang, adalah membiarkan atau memberikan kesempatan atau peluang pada waktu orang lain melakukan tindak pidana, yaitu pada waktu pemborong , ahli bangunan atau penjual bahan bangunan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a.lihat M Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, halaman 55 50
Maksud menyerahkan barang di sini adalah barang-barang untuk pertahanan dan keamanan negara serta ketertiban masyarakat. Perbuatan curang seharusnya dilakukan pada saat penyerahan barang keperluan militer, bukan pada waktu lain dan waktu itu harus juga dibuktikan. Arti menyerahan adalah mengalihkan kekuasaan atas barang keperluan TNI dan/atau POLRI oleh sebab apapun. Lihat buku yang sama, halaman yang sama.
26
Kemudian kalau kita lihat rumusan pasal 7 ayat (2), terdapat unsurunsur korupsi berupa orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Nasional Republik Indonesia, membiarkan perbuatan curang yang dilakukan, perbuatan yang dilakukan oleh penjual bangunan tersebut dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.51 Sementara itu, unsur-unsur korupsi yang terdapat pada pasal 8, apabila kita cermati terdapat unsur-unsur yang meliputi unsur obyektif, yaitu unsur pembuatnya yang terdiri dari pegawai negeri52 dan orang selain pegawai negeri
53
sementara
menerus.
atau
terus
yang ditugaskan menjalankan jabatan Unsur
perbuatannya
berupa
menggelapkan, membiarkan orang lain mengambil, membiarkan orang lain menggelapkan dan membantu dalam melakukan perbuatan itu. Unsur obyeknya adalah uang dan surat berharga yang disimpan karena jabatannya. Sedangkan unsur subyektifnya adalah dengan disengaja. 54
51
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm. 59-60. 52
Maksud dari pegawai negeri menurut Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah meliputi : 1. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam undangundang kepegawaian. 2. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah. 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat, R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 21 53
Adapun yang dimaksud dengan “orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu” adalah orang bukan pegawai negeri, tetapi orang tersebut ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu. sedangkan maksud dari “jabatan” sesuai pasal ini adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste warkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara/ kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 68. 54
Adapun jika diuraikan, sebenarnya pasal 8 yang semula adalah pasal 415 KUHP terdiri dari 3 ketentuan, yaitu : Pertama, pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan
27
Kemudian dalam rumusan pasal 955, terdapat beberapa unsur korupsi di antaranya meliputi : unsur-unsur obyektif yaitu unsur pembuatnya yang terdiri pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu. Unsur perbuatannya adalah memalsu dengan obyeknya berupa buku-buku dan daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Adapun unsur subyektifnya adalah dengan sengaja. Dalam rumusan pasal 10 terdapat huruf a, b dan c.56 Memang terdapat unsur korupsi yaitu : unsur-unsur obyektif yaitu pembuatnya yang terdiri dari pegawai negeri dan selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu. Sedangkan unsur perbuatannya yaitu menggelapkan, menghancurkan, merusakkan dan membuat tidak dapat dipakai. Sementara unsur obyeknya adalah barang, akta, surat dan daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan, karena jabatan. Kedua, pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu membiarkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, diambil atau digelapkan orang lain. Ketiga, pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu membantu orang lain mengambil atau menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, hlm 67 55
Menurut rumusan pasal 9 di atas, obyek korupsi ada dua, yaitu buku-buku dan daftardaftar yang dibuat khusus untuk digunakan bagi pemeriksaan administrasi. Buku-buku atau daftar-daftar yang dibuat isinya dapat bermacam-macam, misalnya memuat daftar barang-barang , alat-alat inventarisasi kantor , pengeluaran atau belanja pemalsuan uang, kendaraan dinas dan lainlain. Ibid. Hlm. 75 56
Bunyi pasal aslinya yaitu :huruf a, menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,yang dikuasai karena jabatannya, Huruf b, membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut. huruf c, membantu orang lain mengilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut. Ibid. Halaman 79
28
pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatan. Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja.57 Pada pasal 11 terdapat unsur-unsur korupsi yang meliputi unsurunsur obyektif yaitu pelakunya yang terdiri dari pegawai negeri atau penyelenggara negara. Perbuatannya yang berupa menerima hadiah dan menerima janji. Unsur-unsur subyektifnya adalah diketahuinya dan patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena sebab kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan yang diamanatkan kepadanya. Jadi adanya pemberian hadiah karena adanya jabatan seseorang. 58 Pembahasan pasal 11 tersebut, tidak dilakukan dengan mengikuti tiap-tiap unsur dari masing-masing ketentuan di atas, tetapi dilakukan dengan mengikuti rumusan pasal 11 yaitu : pegawai negeri, penyelenggara negara, menerima hadiah atau janji, diketahui atau patut diduga, karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.59 Kemudian untuk rumusan pasal 12 terdapat beberapa unsur korupsi, yaitu pegawai negeri dan penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji baik diketahui atau baru patut diduga. Hal ini untuk menggerakkan agar pegawai negeri atau penyelenggara 57
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2014), cet. Ke-2. Hlm. 63. 58
Jika diuraikan, sebenarnya Pasal 11 yang semula pasal 418 KUHP terdiri dari 2 (dua) ketentuan, yaitu : I. Pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. II. Pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. R. Wiyono, hal. 85 59
Ibid. Yang dimaksud dengan “jabatan” dalam pasal 11 adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum) atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara. Adapun yang dimaksud dengan “lingkungan pekerjaan tetap” adalah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyakbanyaknya dapat dinyatakan dengan cepat – teliti.
29
negara itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dan melanggar jabatannya. Jika diteliti lebih mendalam, ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat pada pasal 12 huruf a, maka akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut : Pegawai negeri, Penyelenggara negara, menerima hadiah atau janji, diketahui atau patut diduga dan untuk menggerakkan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan jabatannya.60 Unsur terakhir yang bisa kita jumpai dalam rumusan pasal 13 adalah yang menyangkut perbuatan seseorang dalam memberi hadiah atau janji, adapun obyek dari korupsi tersebut adalah berupa hadiah dan janji, kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. 61 Menurut M. Nurul Irfan unsur yang disebutkan terakhir, yaitu “ oleh pemberi hadiah atau janji” dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut “ merupakan unsur yang paling efektif yang dapat menjaring pemberi suap, supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, tidak terbukti. 62 Setelah kita cermati dan menyelami beberapa rumusan tentang unsur-unsur korupsi pada beberapa pasal undang-undang No 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta penjelasan dan beberapa komentar para tokoh, dapat kita simpulkan bahwa ternyata bentuk dan unsur korupsi sangat luas dan 60
R. Wiyono, hlm. 91
61
R. Wiyono, hlm. 116
62
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2014), cet. Ke-2. Hlm. 79
30
beragam sesuai dengan rumusan pasal demi pasal, mulai pasal 2 sampai pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fenomena yang semacam ini membuktikan kepada kita semua, bahwa pemerintah melalui tim pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi sudah sangat serius dan bersungguh-sungguh untuk memberantas korupsi dari bumi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman maksimal baru berupa hukuman seumur hidup dalam Undang-undang No 3 tahun 1971, sementara pada Undang-undang No 31 tahun 1999, pasal 2 ayat 2 sudah muncul hukuman mati yang dapat diberikan kepada terdakwa korupsi seandainya tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu dan dapat menyengsarakan rakyat.
C. Metode Penetapan Hukum Hadis Nabi Sebelum penulis menjelaskan bagaimana cara penetapan hukum yang bersumber dari hadis Nabi (sebagai sumber hukum kedua), terlebih dahulu akan penulis paparkan sekilas tentang pengertian, bentuk-bentuk dan kedudukan serta fungsi hadis Nabi. 1. Pengertian Kata hadis berasal dari bahasa Arab, yakni al-hadis, jamaknya alahaadists, al-hidsan dan al-hudsan. Kalau dilihat dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru), lawan dari al-qodim (yang lama) dan al-khabar (kabar atau berita).63 Adapun menurut istilah, hadis diartikan dengan segala sesuatu yang
63
. Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 1 , lihat juga Muhammad Ghufran dan Rahmawati, Ulumul Hadis, Praktis dan Mudah, (Yogyakarta : Teras, 2013), cetakan pertama, hlm. 1. Sementara Umi Sumbulah dalam bukunya Kajian Kritis Ilmu hadis, halaman 5, membedakan definisi Hadis menurut para ahli hadis (mudadditsun), para ulama ushul fiqh (ushuliyyun) dan para ulama fiqih (fuqaha). Perbedaan dalam memberikan definisi tersebut disebabkan karena adanya perbedaan disiplin keilmuan, fokus perhatian serta perpektif yang digunakan dalam memandang diri Rosulullah SAW dalam posisinya sebagai sumber hadis itu sendiri.
31
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik yang berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan, ketetapan) ataupun sifat.64 Ada juga ulama yang menyamakan hadis dengan sunnah, yang kemudian mendefinisikan bahwa hadis menurut pengertian para ahli hadis adalah segala riwayat yang berasal dari Rosululllah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, baik sesudahnya.
sebelum 65
beliau diangkat
menjadi
Rasul
maupun
Sementara definisi hadis menurut ulama Ushul Fiqh
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain AlQur’an berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau, yang dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah.66 Dari sejumlah definisi hadis terutama menurut para ahli hadis tidak seorang ulama pun yang yang mengajukan definisi hadis sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saja, namun selalu mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi.
64
. Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ibid. Lihat juga Sohari Sahrani bahwa Hadis menurut istilah ahli hadis dan ahli ushul dibedakan dalam memberi pengertian tentang hadis. Di kalangan ulama ahli hadis sendiri terdapat beberapa definisi yang agak berbeda, yaitu bahwa hadis adalah اقوال اننبي صهي هللا عهيه وسهم وافعانه واحونهyaitu segala perbuatan Nabi SAW, perbuatan dan hal ikhwalnya. Yang dimaksud “hal ihwal” ialah segala perbuatan tentang Nabi SAW, seperti yang berhubungan dengan Himmah (cita-cita), karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaankebiasaannya. Ulama hadis yang lain memberikan definisi : كم ما اثرعن اننبي من قول اوفعم اوتقريراوصفة Artinya : segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat-sifatnya. Sementara ada pula ulama yang mendefinisikan hadis dengan kalimat : ما اضيف انى اننبي صهى هللا عهيه وسهم قوال اوتقريرا اوصفةArtinya: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW , baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifatnya. Sohari Sahroni, Ulumul Hadis, halaman 2-3 65
. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang : UIN Maliki Press, 2010), cet. Pertama, hlm. 6 66
. Ibid. Hlm. 7 . Lihat pula Satria Effendi M, Zein, yang mengatakan bahwa menurut Istilah Ushul Fiqh, Sunah Rasulullah seperti dikemukakan Muhammad Ajjas Al-Katib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) atau pengakuan (sunnah taqririyah). Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2014), cetakan ke-5. Hlm. 112
32
2. Bentuk-bentuk Hadis Kalau kita lihat definisi hadis di atas, maka bentuk-bentuk hadis dapat kita bagi menjadi qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan)67. Pembahasan bentuk-bentuk hadis di sini dikhususkan untuk hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasul SAW, sehingga bentuk perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in tidak masuk dalam pembahasan ini. a. Hadis Qauli Nawir Yuslem mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hadis qauli adalah seluruh hadis yang diucapkan Rasulullah SAW
untuk
berbagai
tujuan
dan
dalam
berbagai
kesempatan.68Dalam definisi lain, hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwaperistiwa dan kisah-kisah baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak. Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah hubungan antara hadis dengan wahyu, mengingat beliau juga menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat. Apakah ucapan Rasul juga bisa dipandang sebagai wahyu? Jika dapat bagaimana dengan AlQur’an yang juga merupakan wahyu Ilahi, meskipun tentu berbeda dengan Al-Qur’an69 Pada hakekatnya semua hadis yang berupa ucapan-ucapan dipandang sebagai wahyu, sebagaimana dalam AlQur’an surat an-Najm :3-4 sebagai berikut : 67
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 13, lihat pula Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadis Praktis dan Mudah, halaman 101103, lihat pula Umi Sumbulah, kajian Kritis Ilmu Hadis, halaman 11-15. 68
69
Ibid.
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang : UIN Maliki Press, 2010), cet. Pertama, hlm. 11
33
Artinya :. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). b. Hadis Fi’li Yang dimaksud dengan hadis fi’li ialah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW dengan kata lain hadis tersebut sebagai perbuatan Nabi yang menjadi panutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi umat Islam untuk mengikutinya. Sebagaimana sudah disinggung di atas, perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada masa hidupnya dipandang sebagai hadis. Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah apakah semua perbuatan Rasulullah SAW ada kemestian bagi umat untuk mengikutinya atau tidak? Pertanyaan ini timbul karena Muhammad di samping sebagai Rasulullah yang diberi otoritas untuk menyampaikan risalah Islam dan menjelaskan nash syari’ah, beliau juga manusia biasa yang memiliki tabiat kemanusiaan dan adat sendiri.70 Untuk perbuatan Rasulullah SAW yang berdasarkan tabiat manusia dan perbuatan atas dasar adat kebiasaan, maka tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mengikutinya, namun tidak ada pula larangan atasnya. c. Hadis Taqrir Sementara yang dimaksud dengan hadis taqriri ialah hadis yang berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang atau 70
Dalam hal ini para ahli usul membagi perbuatan Rasulullah menjadi tiga macam. Pertama, perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad SAW berdasarkan tabiat, seperti duduk, berdiri dan berjalan. Kedua, perbuatan yang dilakukan atas dasar tradisi (adat), seperti pada cara dan keadaan makan, minum dan tidur. Ketiga, perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah, namun dengan maksud yang tidak jelas,apakah perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bernilai ibadah, atau perbuatan itu semata-mata lahir karena faktor tradi dan adat kebiasaan. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang : UIN Maliki Press, 2010), cet. Pertama, hlm. 14.
34
dilakukan oleh
para sahabatnya, Nabi SAW membiarkan dan
mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan , apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqrir, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.71Taqrir oleh al-Qodir juga disebut dengan istilah iqrar berarti diamnya Rasulullah dari membantah sesuatu perkataan atau perbuatan yang disampaikan atau dilakukan di hadapan beliau, atau perbuatan yang terjadi di hadapan atau ketika beliau mengetahuinya.72 Para ulama ahli hadis meyakini bahwa perbuatan dan perkataan yang di “amini” oleh Rasulullah hukumnya sama dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. 3. Kedudukan dan Fungsi Hadis Dalam menyikapi masalah kedudukan hadis, Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW adalah merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah al-Qur’an.73 Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa hadis merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an. Oleh karena itu kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan serta penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW, karena mentaati Rasulullah adalah wajib, sebagaimana kita menaati apa yang disampaikan oleh alQur’an.74 Sementara pembahasan hadis dalam posisinya sebagai sumber hukum Islam, berarti mengharuskan kita meletakkan hadis dalam 71
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 16.
72
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang : UIN Maliki Press, 2010), cet. Pertama, hlm. 15 73
74
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 33 Ibid
35
konteks pembahasan ushul fiqh. Karena sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bagi ulama ushul, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. Dengan demikian para ulama ushul memposisikan Rasulullah SAW dalam konteks hadis sebagai musyarri’.75 Setelah kita melihat cara berfikir di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa produk hadis kita tempatkan sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Karena siapapun tidak ada yang bisa memahami Al-Qur’an tanpa memahami dan menguasai hadis. Begitu juga menggunakan hadis tanpa melihat informasi yang ada dalam al-Qur’an, akan kehilangan arah karena al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama yang di dalamnya ada garis-garis besar syari’at Islam. Dengan demikian antara Al-Qur’an dan hadis memiliki hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisah-pisahkan.76 Penempatan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an itu didasarkan pada beberapa dalil Al-Qur’an yang antara lain : a). Q.S An-Nisa : 59
75
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang : UIN Maliki Press, 2010), cet. Pertama, hlm. 21 76
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 33
36
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 59) b). Q.S An-Nisa : 80
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S. An-Nisa : 80) c). Q.S Ali Imran : 31
Artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. Ali Imran :31) d). Q.S. Al-Hasyr : 7
37
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Q.S. Al-Hasyr : 7) Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah SAW, yang tidak lain adalah mengikuti sunahnya. Beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan Sunah Rasulullah sebagai sumber hukum.77 Selain beberapa ayat al-Qur’an di atas, kedudukan hadis sebagai sumber hukum yang kedua juga bisa dilihat dari hadis-hadis Nabi SAW itu sendiri. Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi SAW, diberi otoritas penuh untuk menyebarkan kepada umat Islam segala informasi yang bisa diambil dari alQur’an dan hadis. Al-hasil rasul juga tidak cukup hanya memerintahkan berpegang teguh pada sunahnya saja, tetapi juga mencela orang yang meninggalkannya karena bertumpu pada apa yang ada dalam Al-Qur’an saja.78 Penetapan hadis sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an juga atas kesepakatan bersama umat Islam untuk mengamalkan hadis. Bahkan hal ini mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan
Allah.
Kaum
muslimin
menerima
hadis
sebagaimana mereka menerima al-Qur’an, karena berdasarkan kesaksian dari Allah, hadis juga merupakan sumber syari’at. Secara umum fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah untuk menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat yang masih bersifat global, kemudian membuat aturan 77
Satria Effendi M, Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2014), cetakan ke-5. Hlm. 117. 78
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) cet. Pertama, hlm. 36, lihat pula Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013), cetakan I, hlm. 152
38
tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya
di
dalam
al-Qur’an
dan
menetapkan hukum baru yang belum disinggung dalam alQur’an.79 4. Penetapan (Istinbat)80 Hukum Hadis Nabi a. Pengertian Hukum Secara bahasa, hukum berarti memutuskan (al-qadha) dan mencegah (al-man’u). Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain.81Sedangkan menurut istilah terminologi hukum dipahami dari dua pengertian, menurut Ushuliyyin (Ulama Ushul) dan menurut Fukaha (Ulama Fikih). Menurut ulama ushul, hukum diartikan sebagai :
خطاب هللا انمتعهق بافعال انمكهفين باالقتضاء او انتحيير اوانوضع Artinya : “ Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan maupun penghalang.82
79
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), cet IV, halaman 121-124, lihat pula Dedi Supriyadi, Ushul Fiqh Perbandingan, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), cet. I. Hlm. 156-158, lihat pula Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqih Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), cet. I. Hlm. 164-165. Lihat pula Zen Amirudin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2009) cet. I, hlm. 86-87. Lihat pula Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yoqyakarta : Teras, 2013) cet. I, hlm. 67-69. Lihat pula Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) cet I, hlm. 157-161. 80
Kata istinbat berati upaya menarik hukum baik dari al-Qur’an maupun hadis dengan jalan ijtihad, lihat Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), cet IV, halaman 177 81
82
Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 24
Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, ( Bairut : Dar al_fikr al_ma’asyir, 1986), cet. Pertama, hlm. 37-38, sebagaimana dikutip Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 24, lihat pula Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Cet. Pertama, hlm. 99, lihat pula Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 36. Lihat pula terjemahan Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1999), cet. Keempat. Hlm. 119
39
b. Pembagian Hukum Secara garis besar, para ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Pengertian hukum taklifi menurut ulama ushul fiqh yaitu ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah (anjuran untuk melakukan), larangan (anjuran untuk tidak melakukan), atau dalam bentuk memberi kebebasan ( memilih untuk berbuat atau tidak berbuat).83 Sedangkan yang dimaksud dengan hukum Wad’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi.84 Seperti dikemukakan di atas, istilah hukum pada kajian ushul fiqh pada asalnya adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum yang berhubungan dengan hukum taklifi dibagi menjadi lima bentuk, antara lain: 1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan, seperti ayat yang memerinyahkan untuk melakukan shalat. 2. Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan. 3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
83
Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 41 lihat pula Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Cet. Pertama, hlm. 100, lihat pula Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 25 84
Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 41 lihat pula Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Cet. Pertama, hlm. 100, lihat pula Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 25
40
4. Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan. 5. Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberikan pilihan seseorang
untuk
melakukan
atau
meninggalkan
suatu
perbuatan.85 Kemudian kaitannya dengan judul skripsi ini, dari kelima pembagian hukum di atas, penulis akan membahas tentang tahrim (larangan), yaitu larangan-larangan yang terdapat pada hadis Nabi, khususnya yang menyangkut masalah larangan ghulul, risywah dan khianat. Adapun pengertian haram ialah susuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa dan orang yang meninggalkan karena taat kepada Allah, akan diberi pahala.86 Para ulama usul fiqh, antara lain Abdul Karim Zaedan membagi haram kepada dua macam, antara lain :87 a). Al-muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari zdatnya. Seperti larangan berzina, larangan menikahi
85
Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 42 lihat pula Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Cet. Pertama, hlm. 101-103, lihat pula Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 26-28 86
Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 53, lihat pula Suwarji Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 33 87
Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 55, lihat pula Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 23-34, lihat pula Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Cet. Pertama, hlm. 108-109, Lihat pula terjemahan Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1999), cet. Keempat. Hlm. 135-136. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara kharam lizdatihi dengan kharam li ghoirihi dari segi akibatnya, yaitu sama-sama kharam, lihat Syahrul Anwar, halaman yang sama.
41
wanita-wanita mahram, larangan memakan bangkai dan lain sebagainya. b). Al-muharram li Ghoirihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara esensinya tidak mengandung kemudharatan, namun dalam keadaan tertentu sesuatu itu dilarang karena adanya pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial, misalkan melakukan transaksi jual beli pada saat azdan jumat, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, puasa pada tanggal 1 syawwal dan lain-lain. Jadi yang dimaksud dengan larangan dalam skripsi ini adalah dalil nash baik yang diambil dari al-Qur’an maupun hadis
(khususnya
hadis)
mengerjakan suatu perkara.
yang 88
berisi
larangan
untuk
Kemudian kalau dilihat dari
syighat-syighat nahi menurut Muhammad Khudhari Beik, Nahi (larangan)
terbagi
ke
dalam
tujuh
bentuk,
Pertama,
menggunakan kata Nahi (larangan). Kedua, menggunakan fi’il mudharri’ yang dimasuki la Nahi. Ketiga, menggunakan kata haram. Keempat, meniadakan kehalalan. Kelima, mensifati perbuatan sebagai perbuatan yang buruk. Keenam, menjadikan suatu perbuatan sebagai sebab memperoleh dosa,. Ketujuh, menyatakan ancaman siksa.89 Meskipun hadis-hadis tentang ghulul, risywah dan khianat tidak secara jelas menunjukkan kekharaman/larangan tentang sesuatu, namun karena dampak kemudharatannya sangat luar biasa, maka hal itu juga masuk kategori kharam sebagaimana pendapat jumhur ulama.
88
89
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, ( Yogyakarta : Teras, 2009), cetakan pertama. Hlm. 124.
Suwarji, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet. Pertama, hlm. 197-198. Lihat pula Satria Effendi M, Zein, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2015) , cet. Pertama, hlm. 187-190