perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh GINANJAR WAHYUDI NIM. E1107155
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh GINANJAR WAHYUDI NIM. E1107155
Disetujui isetujui untuk dipertahankan di dihadapan hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 08 April 2011
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.
Sabar Slamet, S.H., M.H.
NIP. 19600525 600525 1987021002
NIP. 19560727 1986011001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh GINANJAR WAHYUDI NIM. E1107155
Telah h diterima dan dipertahankan di dihadapan hadapan Dewan Penguji Penulisan H ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
:
Hari
: Rabu
Tanggal
: 20 April 2011 DEWAN PENGUJI
1. Ismunarno, S.H., M.Hum. Ketua
( ................................. )
2. Sabar Slamet, S.H., M.H. Sekretaris
( .................................. )
3. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Anggota
( ................................. )
Mengetahui Dekan,
(Mohammad Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. M.Hum.) NIP. 196109301986011001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama
: GINANJAR WAHYUDI
NIM
: E1107155
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul : ”KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, 02 Mei 2011 Yang membuat pernyataan
GINANJAR WAHYUDI NIM. E1107155
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Ginanjar Wahyudi, 2011, KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum yang berjudul Kajian Tentang Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana serta mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara dokumentasi bahan hukum sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, artikel maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindak pidana penyuapan diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b dan c, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengertian tentang penyuapan, jenis-jenis penyuapan, dan ketentuan mengenai unsur tindak pidana penyuapan merupakan ruang lingkup dari tindak pidana penyuapan. Kemudian sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi meliputi sistem pemidanaan dan sistem pembaharuan hukum pidana. Sistem pemidanaan terdiri dari segi fungsional dan segi substantif. Sistem pemidanaan segi fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari segi substantif diartikan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Sistem pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum, bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana. Implikasi teoritis penelitian ini adalah perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai tindak pidana penyuapan dalam berbagai aspek untuk efektifitas implementasi ketentuan tindak pidana penyuapan, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
userpidana korupsi Kata-kata kunci : penyuapan, hukumcommit pidana, to tindak
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Ginanjar Wahyudi, 2011, A STUDY ON BRIBERY AS ONE OF CORRUPTION CRIME. Law Faculty of UNS. This research is entitled A Study on bribery as one of corruption crime aims to find out scope and regulation of bribery as one of corruption crime forms in Penal Law as well as to find out the penal law system in the law enforcement of corruption crime. This study belongs to a normative law research using secondary law material sources including primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data employed in this research was documenting the secondary law material constituting the legislation, book, journal, article or other document that was then categorized into their own category properly. In this research, the writer employed library study technique to collect and to organize the law material needed. Considering the result of research conducted by the writer, it can be found that bribery is one of corruption crime as governed in the legislation. The bribery crime is governed in the Articles 5 clause (1) letters a and b, 5 clause (2), 6 clause (1) letters a and b, 6 clause (2), 11, 12 letters a, b, and c, 13 of Act Number 20 of 2001 about the Amendment of Act Number 31 of 1999 about Corruption Crime Eradication. The definition of bribery, type of bribery, and provision concerning the bribery crime element are the scope of bribery crime. Then the penal law system in the law enforcement of bribery crime as one of corruption crime forms includes condemnation system and penal law reformation system. Condemnation system consists of functional and substantive aspects. Functional aspect of condemnation system is aimed at the functioning of condemnation system as a whole system (legislation) as criminal concretization and how the penal law is enforced or operated concretely so that someone is sentenced with criminal sanction (punishment). Meanwhile, the substantive aspect is defined as condemnation system as a whole system of material criminal law norm for the condemnation and punishment implementation. The reformation of penal law system is essentially included in penal policy constituting a part closely related to law enforcement policy, criminal policy, and social policy. This aspect can be meant that criminal law reformation is a part of reforming the law substance, how the policy of eradicating crime is in the attempt of protecting society as social defense and social welfare as well as penal law enforcement. The theoretical implication of this research is there should be a comprehensive conception of bribery crime in various aspects for the effectiveness of bribery crime provision implementation, while the practical implication is that this research can be used as the discourse that can give definition about bribery crime as one of corruption crime forms.
Keywords: bribery, penal law, corruption crime. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila mereka sendiri tidak merubahnya” (QS. AR-Ro’ad :11)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah dan kerjakanlah ibadah tetapi tidak boleh melupakan ilmu” (David J. Schwartz)
“Kamu maju bukan dengan memperbaiki apa yang sudah terjadi melainkan menggapai ke arah apa yang belum terjadi” (Kahlil Gibran)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa” (Hamka) commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima kasih kepada: 1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya; 2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri tauladan yang baik bagi umatnya; 3. Ayahanda Sukidi dan Ibunda Saniyem yang telah memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini; 4. Adikku Bagus Wulandono yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada Penulis; 5. Kekasihku Febriana Sanjaya atas segala cinta, kasih sayang, doa, dukungan, motivasi, dan pengorbanan yang senatiasa dibaerikan untukku; 6. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. 7. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007; 8. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini; 9. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” dapat penulis selesaikan dengan lancar. Penyusunan penulisan hukum skripsi ini mempunyai tujuan yang utama untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisanya, namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembacanya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil, sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1.
Allah SWT., atas segala rahmat dan karunianya;
2.
Nabi Muhammad SAW., semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga akhir jaman;
3.
Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;
4.
Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
5.
Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
6. Bapak Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., commitpenulisan to user hukum ini yang telah bersedia selaku pembimbing skripsi dalam
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis. 7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan pen penulis; 8. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan kesempatan-kesempatan kesempatan yang telah diberikan; 9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) F Fakultas Hukum UNS; 10. Semua keluargaku terutama bapak dan ibuku, Bapak Sukidi dan Ibu Saniyem yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk sege segera ra lulus; lulus 11. Semua teman-temanku nku yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini memberikan pemikir pemikiran an dalam skripsi ini, membantu dan memberikan semangat untuk segera lulus lulus; 12. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Univ Universitas ersitas Sebelas Maret Surakarta khususnya angkatan 2007 terima kasih semangat yang telah diberikan; 13. Pihak-pihak pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatas keterbatasan an dan kemampuan penulis. Oleh karena itu dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini. Demikian, mudah--mudahan mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta masyarakat umum. Surakarta, 02 Mei 2011
Ginanjar Wahyudi
commit to user
x
NIM. E1107155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRACT .....................................................................................................
vii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
ix
KATA PENGANTAR .....................................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
8
E. Metode Penelitian ....................................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ........................................................................
13
1. Kajian Tentang Hukum Pidana ..........................................
13
a. Pengertian Hukum Pidana ............................................
13
b. Pembagian Hukum Pidana ...........................................
14
c. Asas-Asas Hukum Pidana ............................................
14
2. Kajian Tentang Tindak Pidana / Delik ...............................
15
a. Pengertian Tindak Pidana / Delik ................................
15
b. Macam-Macam Tindak Pidana / Delik ........................
18
c. Tempat dancommit Waktu to Terjadinya Tindak Pidana ........... user
18
xi
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi ............................
19
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ...............................
19
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ...........................
21
c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi........................
23
Kajian Tentang Penyuapan................................................
24
a. Pengertian Penyuapan ..................................................
24
b. Jenis-Jenis Penyuapan ..................................................
25
Kajian tentang Gratifikasi ................................................
26
a. Pengertian Gratifikasi .................................................
26
b. Subyek Gratifikasi .......................................................
30
c. Obyek Gratifikasi ........................................................
31
B. Kerangka Pemikiran .................................................................
33
4.
5.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi .......................................
35
B. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ........................................................................
57
BAB IV PENUTUP A. Simpulan...................................................................................
68
B. Saran .........................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional. Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh negara di dunia. Korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Korupsi merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi dunia, menghambat
karena korupsi mengancam kehidupan manusia,
pembangunan
kesejahteraan,
menambah
kemiskinan
menyengsarakan rakyat. Perbuatan korupsi juga dapat merusak
dan sektor
pembangunan ekonomi bangsa serta citra pelaku bisnis Indonesia dalam skala global yang semakin kompetitif dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika korupsi tidak berhasil ditanggulangi, diberantas atau diatasi dalam jangka pendek, maka Indonesia akan sulit untuk keluar dari krisis karena para pelaku bisnis tersebut tidak dapat melakukan good business atau bisnis yang baik Berdasarkan survei Political Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia. “Posisi Indonesia lebih buruk dari India, Vietnam, Filipina dan Thailand. Sebelumnya hasil survei Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin Jerman pada Tahun 2009, Indonesia menduduki ranking 111 dari 180 negara” (Chandra Sridjaja Pradjonggo, 2010: 7). Transparency International merupakan sebuah lembaga yang bertujuan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor pemerintahan dan salah satu aktivitasnya adalah mendorong pemberantasan korupsi. Di samping itu, penelitian lain menunjukkan bahwa korupsi memiliki commit to user
1 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sejarah panjang dan telah membudaya di Indonesia. Seperti dikatakan Farid Haryanto bahwa: Corruption has a long history in Indonesia, China, India, South Korea, Thailand, and other countries in Asia. Given such prevalence and persistence, one may be tempted to think that corruption is indeed something deeply ingrained in the culture of those countries, and that corruption has blossomed plainly because it does not run against, if not accepted by, the dominant culture of those countries. It is said that Confucianism, Javanese culture, and maybe some other belief systems as well, gave justification to the existence of a centralized, benevolent monarchy as a legitimate form of moral goverment. But it is also said that “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. These seem to propose that corruption is indeed already embedded in the mindset of Asians, and that corruption is a part of a way of life, and not simply a fact of life (Farid Haryanto, 2005:39). (Korupsi memiliki sejarah panjang di Indonesia, Cina, India, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lain di Asia. Suatu prevalensi tersebut dan ketekunan, salah satu mungkin dilakukan untuk berpikir bahwa korupsi sesungguhnya sesuatu yang besar, yang tertanam dalam budaya banyak negara, dan korupsi yang telah berkembang dengan jelas karena tidak dijalankan, jika tidak diterima dari budaya yang dominan di banyak negara. Dikatakan bahwa Konfusianisme, budaya Jawa, dan mungkin beberapa sistem keyakinan lain juga, memberikan pembenaran terhadap keberadaannya dipusatkan, kekuasaan pusat seperti legitimasi dari moral pemerintah. Tetapi juga mengatakan bahwa "kekuatan korup, dan kekuasaan korup yang mutlak". Ini sepertinya menyatakan bahwa korupsi memang sudah tertanam dalam pola pikir orang Asia, dan korupsi yang merupakan bagian dari cara hidup, dan bukan hanya kenyataan hidup). Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai pengertian korupsi itu sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi commitpenyelenggaraan to user suatu sistem dan menyatu dengan pemerintahan negara.
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Hal yang sama juga disampaikan oleh Arsil dalam jurnal hukum yang berjudul Teknik Perangkap untuk Para Koruptor mengemukakan bahwa “Tingginya angka korupsi di Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, tetapi terdapat hampir di seluruh lapisan institusi negara ini” (Arsil, 2005: 121). Tingkatan korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang mencapai angka trilyunan rupiah. Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja, misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif. Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum tindak pidana suap ini kurang terangkat ke permukaan. Hal ini dikarenakan jarang digunakan oleh penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di masyarakat. Salah satu tindak pidana dalam tindak pidana korupsi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak pidana Penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang commit to useryang diberikan atau diterima yang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften)
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada unsur-unsur yang esensial dari delik suap yaitu menerima hadiah atau janji, berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diawali sejak Tahun 1957 dengan dikeluarkannya peraturan penguasa militer tentang Pemberantasan Korupsi. Pada Tahun 1958 dijadikan peraturan penguasa perang pusat yang dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam skala nasional. Peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dengan didasari pemikiran bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang memperluas rumusan tindak pidana korupsi, mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan pengadilan. Setelah era reformasi, dibuatlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diharapkan dapat lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Kemudian Undang-Undang ini diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk dijadikan sarana pemberantasan korupsi. Dalam kenyataannya dengan berbagai perangkat perundang-undangan tersebut tidak tampak hasil yang dicapai, meskipun sekarang sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002. commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, IGM Nurdjana mengemukakan bahwa “fenomena buruknya penyelenggaraan sistem hukum pidana yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi putusan peradilan dan hasil penanganan korupsi yang dianggap mandul” (IGM Nurdjana, 2010: 11). Hampir setiap informasi media cetak, elektronik, digital internet memuat tentang korupsi yang memberikan gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi yang jika dikaji lebih mendalam. Maka terdapat kompleksitas dan problematik dalam sistem hukum pidana yang dianut di Indonesia dan berdampak pada sistem peradilan pidana. Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, IGM Nurdjana berpendapat bahwa: Penegakan hukum senatiasa dihadapkan pada problematika sistem hukum pidana khususnya pengaturan berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang memuat unsur-unsur korupsi yang berimplikasi pada kekuatan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan judicial review atau uji materiil perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (IGM Nurdjana, 2010:7). Penulis beranggapan berbeda dengan pendapat IGM Nurdjana, bahwa dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan perundangundangan belum tentu berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi dapat terwujud. Hal ini tidak benar, karena penyebab utama bukanlah pada perangkat hukumnya melainkan pada para penegak hukumnya. Gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara banyak ikut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Tidak dapat dipungkiri lagi dan sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum dirusak oleh adanya budaya suap yang memang sulit dibuktikan secara hukum. Ukuran keberhasilan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, seharusnya tidak semata-mata diletakkan pada keberhasilan mengadili atau memasukkan sebanyak mungkin koruptor ke penjara, melainkan seharusnya dipandang dari sistem hukumcommit secarato user komprehensif yaitu sejauh mana
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembangunan sistem yang tidak korup. Karena tanpa perubahan sistemik maka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi hanya memproduksi koruptorkoruptor baru. Hal senada juga disampaikan oleh IGM Nurdjana bahwa “terbangunnya sistem yang transparan dan demokratis akan berdampak besar pada upaya membatasi peluang para koruptor yang memegang kekuasaan untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaannya di kemudian hari” (IGM Nurdjana, 2010:117). Dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi juga diperlukan kesadaran hukum masyarakat, dimana kesadaran hukum tersebut merupakan tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran hukum dapat menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukum yang juga dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum masyarakat tentang hukum itu sendiri. Menurut penulis bahwa para pejabat atau penyelenggara negara merupakan bagian dari masyarakat, sehingga kesadaran hukum dari para pejabat atau penyelenggara negara sangat diperlukan untuk mengurangi tingginya angka korupsi di Indonesia. Dengan
berbagai
ketentuan-ketentuan
mengenai
penyuapan
yang
merupakan tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji secara khusus dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam memahami permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam hukum pidana untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya. Masalah lain yang juga menarik untuk diteliti adalah masalah bagaimana penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan tersebut, karena hanya dengan penegakan hukum yang tepatlah yang akan menciptakan rasa keadilan masyarakat. Dengan masalah-masalah yang telah disebutkan diatas maka penulis menaruh minat yang besar untuk meneliti tentang penyuapan dengan segala aspeknya yang dituangkan dalam suatu bentuk penulisan hukum dengan judul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi?
2.
Bagaimanakah sistem hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan tentang penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b.
Untuk mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
2.
Tujuan Subyektif a.
Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.
Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek yang sangat berarti bagi penulis serta memberi manfaat bagi masyarakat. commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1.
Manfaat Teoritis a.
Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana khususnya.
c.
Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2.
Manfaat Praktis a.
Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dan sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk kedalam instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat di tegakkan.
c.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga dan masyarakat serta terutama bagi aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan segala bentuk kejahatan yang terjadi dalam lingkup yang sangat penting.
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Berbicara mengenai metode penelitian, M. Iqbal Hasan mengemukakan pendapat bahwa “metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, memiliki langkah-langkah sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat memahami sasaran penlitian melalui prosedur dan teknik penelitian” (M. Iqbal Hasan, 2002: 20). Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki menambahkan bahwa “Penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum juga tidak dikenal istilah data” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif, disebut juga penelitian doktrinal. “Pada penelitian hukum doktrinal, sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas” (Amiruddin, 2008: 118).
2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini didasarkan pada ilmu hukum. Penulis mengutip pendapat dari Peter Mahmud Marzuki bahwa “ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22). Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum. commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Berbicara mengenai hal ini, Johnny Ibrahim berpendapat bahwa “suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian” (Johnny Ibrahim, 2006: 302).
4.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian Jenis bahan hukum yang digunakan penulis adalah bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis dan juga tidak dikenal istilah data. Sehingga penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari: a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat, dan yurisprudensi.
b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah studi kepustakaan atau dokumen. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan klarifikasi dan analisis menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara commit to user komprehensif. Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepustakaan, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. 6.
Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum menurut Patton dalam bukunya Lexy J. Moleong adalah “proses pengorganisasikan dan mengurutkan bahan hukum ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar” (Lexy J. Moleong, 2009: 280). Pengolahan dan analisis data bahan hukum dasarnya tergantung pada jenis datanya. Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber bahan hukum penelitiannya. Adapun tahap-tahap dari analisis yuridis normatif menurut pendapat Amiruddin adalah sebagai berikut: a. b. c. d.
Merumuskan asas-asas hukum, baik dari bahan hukum sosial maupun dari bahan hukum positif tertulis; Merumuskan pengertian-pengertian hukum; Pembentukan standar-standar hukum; dan Perumusan kaidah-kaidah hukum (Amiruddin, 2008: 166).
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut: commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
digilib.uns.ac.id
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah,
perumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis menguraikan Kajian Tentang Hukum Pidana, Kajian Tentang Tindak Pidana, Kajian Tentang Korupsi, Kajian Tentang Penyuapan, dan Kajian Tentang Gratifikasi.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan yaitu: 1.
Ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
2.
Sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
BAB IV
: PENUTUP Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori 1.
Kajian Tentang Hukum Pidana a.
Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Moeljatno dalam bukunya asas-asas hukum pidana mengemukakan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002: 01). Hukum pidana mempunyai obyek kajian yaitu aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara, sebagai ilmu pengetahuan hukum pidana. Tujuannya untuk menyelediki pengertian obyektif dari hukum pidana positif. Pidana dapat diartikan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Beratnya pidana atau sanksi di dalam hukum pidana, maka ada yang menyebutkan bahwa hukum pidana seperti “pedang bermata dua”. Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya melindungi orang-orang dari perampasan hak asasinya, justru dalam penjatuhan pidana, hukum pidana merampas hak asasi tersebut dari mereka yang melakukan tindak pidana. commit to user
13 13
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Pembagian Hukum Pidana Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi berbagai klasifikasi sebagai berikut: 1) Hukum pidana materiil, yaitu aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana. 2) Hukum pidana formil, yaitu mengatur bagaimana negara dengan perantara
alat-alat
perlengkapannya
melaksanakan
haknya
mengenakan pidana. 3) Hukum pidana obyektif (ius poenale), yaitu hukum pidana yang memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman. 4) Hukum pidana subyektif (ius punindi), yaitu hak negara menghukum seseorang berdasarkan hukum obyektif. 5) Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang memuat aturanaturan yang berlaku bagi setiap orang. 6) Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang memuat aturan yang berlaku bagi golongan orang-orang tertentu atau berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu. 7) Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang tersusun dalam suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas. 8) Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, yaitu hukum pidana yang berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundangundangan. Misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c.
Asas-Asas Hukum Pidana Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut: 1) Asas Legalitas Istilah bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”. Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya. Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 2) Asas Lex Temporis Delicti Artinya bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. 3) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen straft zonder schuld) Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat dipidana jika ada unsur kesalahan. 4) Asas Teritorial Artinya perundang-undangan
pidana
Indonesia berlaku
bagi
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia. 5) Asas Nasional Aktif Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar Indonesia. 6) Asas Nasional Pasif Artinya perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia dan orang asing yang menyerang kepentingan hukum Indonesia. 7) Asas Universal Artinya
perundang-undangan
pidana
Indonesia
memberikan
perlindungan kepada kepentingan dunia internasional baik di wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.
2.
Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik a.
Pengertian Tindak Pidana atau Delik Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang commit to user kejaksaan dan kehakiman, tanpa dalam hal ini diwakili oleh kepolisian,
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera bertindak melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu (Winarno Budyatmojo, 2009:83). Tindak pidana (strafbaarfeit) merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau Misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Para ahli hukum memberikan pengertian mengenai tindak pidana (strafbaarfeit) dan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) D. Simons mengemukakan Strafbaarfeit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah: a) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan). b) Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld). c) Melawan hukum (onrechtmatige). d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand). e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). Simons menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur obyektif adalah: (a) Perbuatan orang. (b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. (c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah: (a) Orang yang mampu bertanggung jawab. (b) Adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2) W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. Bahwa menurut teori, commit to user strafbaar feit adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang yang dapt dipidana tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan. 3) Moeljatno mengemukakan dalam pidatonya memberi arti kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: a) Perbuatan (manusia). b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil). c) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat dalam pasal 1 KUHP. Sedangkan adanya syarat materiil karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan masyarakat. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka. Disamping itu, orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:41-43). Delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. Perlu diperhatikan adanya asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam perundangundangan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dipidana, apabila mempunyai kesalahan. Untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, selain orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada commit to user perbuatan pidana tanpa kesalahan (Geen straft zonder schuld). Seseorang 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dipertanggungjawabkan. Perlu diperhatikan adanya golongan orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya anak yang belum dewasa, orang gila. Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya perbuatan pidana atau delik adalah: 1) Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. 2) Perbuatan tersebut sudah dirumuskan di dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum. 3) Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya kemampuan untuk bertanggungjawab. 4) Harus ada ancaman hukumannya. b.
Macam–macam Tindak Pidana atau Delik 1) Delik formil, adalah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal undangundang yang bersangkutan. 2) Delik materiil, adalah perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. 3) Delik dolus, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja. 4) Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa. 5) Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain artinya suatu tindak pidana yang hanya dapatdituntut jika ada laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang dirugikan. 6) Delik politik, adalah perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung.
c.
Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat kejadian dilakukannya suatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini to user disebabkan karena padacommit dasarnya pidana merupakan suatu tindakan
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya, sering kali manusia telah menggunakan alat yang dapat menimbulkan suatu akibat pada waktu dan tempat yang berbeda dimana manusia tersebut telah menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan tempos delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan. Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh lamintang mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku
telah
melakukan
perbuatannya secara materiil”
(Lamintang, 1997:229). Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu adalah : 1) Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya. 2) Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja. 3) Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul. 4) Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.
3.
Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi a.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah yang berjudul Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengemukakan bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal commit user turun ke banyak bahasa Eropa corrumpere. Dari bahasa latin toitulah
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Andi Hamzah, 2007:5). Definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut: Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya (Firman Wijaya, 2008:9)
Pengertian korupsi yang sangat sederhana tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar perbuatan korupsi. Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa: Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut normanorma pemerintahdapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela (IGM Nurdjana, 2010:16). Secara sosiologis, menurut Syeh Husein Alatas, ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan (brybery), pemerasan dan nepotisme. Lebih lanjut syeh Husein Alatas dalam monografnya yang berjudul “The Sociology of corruption: the nature, function, couses, and prevention of corruption” menyatakan bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang commit to user pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Firman Wijaya bahwa “Pemerasan yaitu permintaan pemberianpemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga dipandang sebagai korupsi” (Firman Wijaya, 2008:8). Dalam definisi korupsi, IGM Nurdjana mengemukakan terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu: 1) Menyalahgunakan kekuasaan; 2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik sektor publik maupun sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya) (IGM Nurdjana, 2010: 15). Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan serta faktor ekonomi politik. Dengan demikian, korupsi memiliki arti yang sangat luas menurut Evi Hartanti adalah sebagai berikut: 1) Korupsi yaitu penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan orang lain; 2) Korupsi merupakan busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Evi Hartanti, 2007:09). b.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 mendefinisikan korupsi sebagai berikut: commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2) Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 3) Dengan cara melawan hukum; 4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik inti (Bestanddeel delict). Delik penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; commit to user 3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 5) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c.
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi Menurut Gerald E. Caiden (1998) sebagaimana dikutip oleh Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya Penangulangannya dalam http://rudyct.com/ memaparkan secara rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah: 1) Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan; 2) Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri; 3) Menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana; 4) Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya dan memeras; 5) Penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta komisi; 6) Menjual
tanpa
izin
jabatan
pemerintah,
barang
milik
pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah; 7) Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang; 8) Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan; 9) Menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada tempatnya, dan; 10) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
4.
digilib.uns.ac.id
Kajian Tentang Penyuapan a.
Pengertian Penyuapan Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undangundang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: 1) Menerima hadiah atau janji; 2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; 3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif) dan yang menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut. Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping (suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi commit to user telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya percobaan (pogging) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan (concursus idealis). b.
Jenis Penyuapan Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut: 1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum to user mengetahui tujuan commit yang terselubung yang diinginkannya, yang
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat
sesuatu
dalam
jabatan
yang
bertentangan
dengan
kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid). 2) Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara) sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.
5.
Kajian Tentang Gratifikasi a.
Pengertian Gratifikasi Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat to user dalam Pasal 12 B UU No.commit 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
dan
penjelasannya
mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian
suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dantosebagainya. commit user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian
suap
aktif,
maksudnya
tidak
bisa
mempersalahkan
dan
mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini. 3) Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang
diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12 B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c. Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan si pemberi. Secara hukum dan etika moral seorang penyelenggara negara seharusnya
tidak
menerima
gratifikasi
apapun
dari
rakyatnya.
Kesulitannya, untuk pembuktian sebuah kasus penyuapanterbentur kenyataan bahwapemisah antara suap dan gratifikasi hanyalah tipis sekali.
Artinya harus ada ketentuan yang jelas mengenai perbedaan
antara suap, suap yang berkedok gratifiksi atau gratifiksi yang berujung makruh untuk diterima. Suap adalah apabila penerima disyaratkan melakukan tindakan hukum yang tidak benar atau disyaratkan mencegah tindakan hukum yang benar. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang bersifat mutlak, tidak mengandung syarat apapun. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai titik
persamaan
diberikan
kepada
pemegang
kekuasaan.
Sisi
perbedaannya, melihat kepada tujuan dari si pemberi. Bila tujuan tersebut, masih umum sekedar menarik simpati atau terindikasi karena faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan yang ingin dicapai tertentu dan dalam persoalan khusus, maka ini yang commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebut dengan penyuapan. Meskipun keduanya diharamkan, tentunya tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima melaporkan ke KPK. Hal ini diatur didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: 1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima. 2) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 12 C ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai berikut : 1) Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja kepada KPK,
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima; 2) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi; commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Formulir sebagaimana dimaksud dalam angka (2), sekurangkurangnya memuat : a) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; b) Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara; c) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; d) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan e) Nilai gratifikasi yang diterima. Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas); 3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; 4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
b.
Subyek Gratifikasi Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah: 1) Pegawai Negeri Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi: a) Pegawai
negeri
sebagaimana
undang-undang
tentang
kepegawaian; b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab UndangUndang Hukum Pidana; c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau commit to user daerah;
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
Negara atau
masyarakat. 2) Penyelenggara Negara Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: a) pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c) Menteri; d) Gubernur; e) Hakim; f)
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
c.
Obyek Gratifikasi Dilihat dari penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka disebutkan objek gratifikasi adalah: pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas commit userditerima di dalam maupun di luar lainnya. Gratifikasi tersebut baiktoyang
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu:
a) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. b) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan, Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku. c) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. d) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan. f)
Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal.
g) Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran. h) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan. i)
Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.
j)
Pengurusan ijin yang dipersulit.
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Kerangka Pemikiran Mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat dalam suatu bagan seperti berikut:
TINDAK PIDANA
KORUPSI
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
PENYUAPAN
PENEGAKAN HUKUM
TUJUAN HUKUM = KEADILAN Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penjelasan: Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak pidana berisikan tentang kejahatan (perbuatan jahat) dan pelanggaran. Pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu jenis tindak pidana dalam tindak pidana korupsi dalah penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Peningkatan terjadinya korupsi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan adanya penanganan korupsi commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tebang pilih, khususnya tindak pidana penyuapan. Bilamana aparat penegak hukum serius dalam menangani kasus-kasus secara profesional, maka tujuan daripada hukum yaitu keadilan dapat terwujud di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum ini, penulis mencoba melakukan kajian dan pembahasan mengenai tindak pidana penyuapan berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis. 1.
Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi seluruh bbangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi, kehidupan masyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa. Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, corruption dalam bahasa Inggris dan corruptie dalam bahasa Belanda. Pengertian korupsi menurut Robert Klitgaard bahwa: Korupsi bisa diartikan sebagai suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moral menurut pandangan masyarakat umum (Robert Klitgaard, 2005:31). Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa “Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan” (Sudarto, 1996:115). Artinya korupsi selalu dipautkan dengan adanya suatu tindak pidana commit yang berkaitan to user dengan keuangan negara atau
3535
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya diri sendiri, orang lain atau kelompok. Berbicara mengenai pengertian korupsi, Suyatno juga mengemukakan pendapatnya bahwa “Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan” (Suyatno, 2005: 16). Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara definitif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penulis beranggapan bahwa korupsi telah menjadi masalah dunia, bukan hanya masalah di negara-negara berkembang saja.oleh karena itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang perlu untuk mengadopsi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya pada tanggal 10 Januari 2005, konvensi tersebut ditandatangani oleh 116 negara dan 15 negara telah meratifikasi. Salah satunya ialah Indonesia yang telah meratifikasi konvensi tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption. Di dalam konvensi tersebut, UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara untuk memberantas korupsi melalui kodifikasi. Dalam Compendium of International Legal Instruments on Corruption, ditegaskan bahwa UNCAC menawarkan seperangkat pendekatan yang komprehensif untuk menghadapi korupsi. Konvensi tersebut dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu: a. b. c. d. a. b. c. d.
Prevention policies such as reforming the public service and introducing transparency and good governance; The criminalization of corrupt conduct; International cooperation, and; Asset recovery (Surowidjojo, 2005:68). Pencegahan kebijakan seperti reformasi pelayanan publik dan memperkenalkan transparansi dan tata pemerintahan yang baik; Kriminalisasi perilaku korup; Kerjasama internasional, dan; Pemulihan aset. commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perbincangan tentang korupsi di Indonesia seperti tiada habisnya, meskipun ada penguatan upaya pemberantasannya, tetapi belum mewujudkan crime rate korupsi ke arah penurunan. Jeremy Pope mempunyai pandangan bahwa: Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung jawab sistem integrasi publik (Jeremy Pope, 2003:2). Hal yang sama juga diuraikan oleh Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Nim sebagaimana dikutip Kimberly Ann Wlliot yang mengemukakan
bahwa
“Meningkatnya
aktivitas
korupsi
baik
yang
sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum” (Kimberly Ann Elliot, 1999:11). Meningkatnya
tindak
pidana
korupsi
yang
tidak
terkendali
kemungkinan besar akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, sekarang tindak pidana korupsi tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan undangundang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut. Seseorang yang terlibat dalam perbuatan korupsi atau suap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap. commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suap (bribery) bermula dari kata briberie (Perancis) yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (gelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna alms (sedekah), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup). Suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana biasa. Dalam teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama dengan tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan atau pencurian. Perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural Wrongs menganggap bahwa kejahatankejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah. Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contuhnya ialah berbagai peraturan tata tertib di berbagai bidang kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern. Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Para pelaku, baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya, telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan dan kesopanan). Tindak pidana penyuapan atau dalam istilah Belanda oomkoping atau to usersudah dikenal sejak lama, delik ini dalam istilah Inggris bribery,commit di Indonesia
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
awalnya termuat dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan hingga kini delik penyuapan termasuk delik khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang bahkan lebih rinci dalam menguraikan unsur-unsur delik. Hingga kini, delik ini tidak mampu diatasi secara maksimal dan bahkan menjadi-jadi, terbukti karena delik suap justru melibatkan aparat penegak hukum yang terkait langsung dengan upaya pemberantasan korupsi. Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut dioper dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten). Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dioper ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri dan Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan pasif (passieve omkooping atau passive bribery) yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasehat hukum di pengadilan serta Pasal 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang hakim dan penasehat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang diatur dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian juga dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles). Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suapmenyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat. Hal ini diperkuat oleh Muladi dengan artikelnya yang berjudul Hakikat Suap daan Korupsi dalam http://www.unisosdem.org> yang mengemukakan bahwa Kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogen yaitu dapat menjadi sumber kejahatan lain dan viktimogen yaitu secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan. Delik penyuapan sungguh mengerikan jika dikalkulasikan dampaknya secara simultan. Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan hukum, seorang tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar pemeriksaan atas kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang menguntungkan jikapun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam ini membuat para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan untuk mengulangi perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan terjerat hukum. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap rintangan kecil yang bisa diatasi dengan suap. Tindak pidana suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya pogging (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya kondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suapi itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah to user berhubungan dengan jabatancommit dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan (concursus idealis). Delik dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut berlaku Asas Pembalikan Beban Pembuktian yang diadopsi dari Reversal Burden of Proof atau omkering van het Bewijslast pada sistem Anglo Saxon khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) yang berkaitan dengan penyuapan (bribery) yang artinya asas ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut, hanya dapat diterapkan secara terbatas terhadap delik yang berkenaan delik gratifikasi yang berkaitan dengan penyuapan. Asas ini menurut Andi Hamzah, merupakan suatu penyimpangan dari asas umum hukum pidana yaitu Presumption of Innocence, yang hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases), yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi khususnya terhadap delik pemberian yang berkaitan dengan suap. Gratifikasi ini ditujukan kepada pegawai negeri dalam arti luas dan penyelenggara negara yang telah melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian dianggap suap sampai dibuktikan bukan suap oleh penerima suap. Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap commit to user dua pengertian, yaitu: dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki
41
perpustakaan.uns.ac.id
a.
digilib.uns.ac.id
Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar seseorang
berlawanan
dengan
kewenangan/kewajibannya
yang
menyangkut kepentingan umum. b.
Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si penerima
melawan
kewenangan/kewajibannya
yang
menyangkut
kepentingan umum. Menurut Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Deden Setiawan Hartomo dalam
http://id-id.facebook.com yang mengatakan bahwa suap
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan apapun untuk mensukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya atau menyingkirkan musuhnya. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah tindakan yang mengakibatkan sakit atau kerugian di pihak lain. Suap,
pemberiannya
dilakukan
secara
sembunyi,
dibangun
berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan dilaksanakan. Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu: a.
Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan dan pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
b.
Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi menginginkan sesuatu.
c.
Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si pemberi uang. commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sebagai berikut: a.
Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya,
yang
didorong
oleh
kepentingan
pribadi,
agar
penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid). b.
Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang. Sebagai contoh apabila hal ini dikaitkan dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini, berarti
pegawai
negeri/penyelenggara
negara
dimaksud
akan
menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan Bentuk-bentuk tindak pidana adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana
dengan
sistem
pemidanaan
tertentu
pula.
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membedakan antara jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi meskipun dirumuskan dalam Undang-Undang, namun tidak dapat disebut sebagai perilaku yang koruptif. Jenis tindak pidana korupsi diatur didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Khusus mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap maupun penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, tindak pidana korupsi jenis suap tersebut terdapat 5 (lima) jenis. Disamping lima macam suap yang berasal dari KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan satu jenis suap yang berasal dari UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 ke dalam Pasal 13, yang disebut suap aktif. Dibentuk satu suap lagi yaitu suap pasif yang disebut suap menerima gratifikasi ke dalam Pasal 12 B. Undang-Undang Pemberantasan
Tindak
Pidan
Korupsi
tidak
memberi nama jenis tindak pidana secara spesifik karena hanya menbedakan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dalam kepustakaan muncul penggolongan dengan commit to user penamaan yang berbeda-beda, setidaknya pembedaan pada klasifikasi secara
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih spesifik. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak memasukkan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 sebagai jenis tersendiri. Maksudnya jenis tindak pidana korupsi hanya diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengenai Pasal 14 akan diuraikan kemudian yang menjelaskan bahwa ketentuan pasal tersebut juga jenis tindak pidana tersendiri. Mengenai yang diatur dalam Pasal 15 memang bukan suatu tindak pidana tersendiri. Hal tersebut disebabkan percobaan, pembantuan, atau pernufakatan dianggap melakukan tindak pidana korupsi itu sendiri seperti diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Dengan demikian orang yang mencoba melakukan, membantu melakukan, atau melakukan permufakatan tindak pidana korupsi, pada dasarnya merupakan pelaku tindak pidana korupsi. Demikian halnya yang diatur dalam Pasal 16 yaitu orang yang diluar wilayah negara Republik Indonesia memberikan bantuan, kesempatan. Sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi, meskipun Undang-Undang tidak menyebut secara eksplisit sebagai tindak pidana korupsi, namun diancam dengan sanksi pidana yang sama dengan apabila melakukan korupsi itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut semakin menandai sifat kekhususan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum seperti diatur dalam Pasal 53 KUHP mengenai percobaan, Pasal 56 KUHP mengenai membantu melakukan, Pasal 88 KUHP mengenai permufakatan jahat. Penyimpangan yang dimaksud terutama menyangkut besarnya pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Komisi Pemberantasan Korupsi membedakan tindak pidana korupsi ke dalam 30 jenis tindak pidana yang dikelompokkan sebagai berikut: a.
Kerugian keuangan negara, meliputi Pasal 2 dan Pasal 3.
b.
Suap-menyuap, meliputi Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasalcommit 6 ayat to (2),user Pasal 12 huruf c dan huruf d.
45
perpustakaan.uns.ac.id
c.
digilib.uns.ac.id
Penggelapan dalam jabatan, meliputi Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c.
d.
Pemerasan, meliputi Pasal 12 huruf e, g, dan f.
e.
Perbuatan curang, meliputi Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h.
f.
Benturan kepentingan dalam pengadaan, meliputi Pasal 12 huruf i.
g.
Gratifikasi, meliputi Pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Pembedaan pengelompokkan tersebut hanya sekedar pembedaan
penamaan saja, penggolongannya pun sama sekali tidak bersifat substantif. Jenis tindak pidana korupsi mengenai suap-menyuap seperti diatas dapat diuraikan masing-masing sebagai berikut:
a.
Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Tindak pidana suap aktif ini terdiri atas 2 (dua) bentuk seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b yang berasal dari Pasal 209 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999, dimana rumusannya sebagai berikut: a.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun) dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negarakarena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Rumusan Pasal 5 tersebut tidak lagi sama atau berbeda dengan commit toHukum user Pidana, dimana Pasal 209 unsur Pasal 209 Kitab Undang-Undang
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk menggerakkan (bewegen) yakni mendorong atau mempengaruhi batin orang lain in casu pegawai negeri tidak dimuat. Akan tetapi, dalam Pasal 5 maksud (bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai negeri), tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuatatau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Unsur-unsur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) Kepada pegawai negeri; 4) Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Memberi sesuatu; 3) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; 4) Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pengertian pegawai negeri hanya bersifat definitif yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang didefinisikan sebagai berikut: 1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; 2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana; 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang commit to user menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat. Sedangan pengertian penyelenggara negara dikemukakan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan penyelnggara
negara
adalah
penyelenggara
negara
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penyelenggara negara meliputi: 1) Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; 2) Pejabat negara pada lembaga tinggi negara; 3) Menteri; 4) Gubernur; 5) Hakim; 6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap Kepada Hakim atau Advokat Tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b yang berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 1 dan 2 yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) angka 1 huruf c UU No. 3 Tahun 1971. Rumusan pasalnya sebagai berikut: a.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya commit to useruntuk diadili; atau
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Tindak pidana suap pada hakim dan advokat dirumuskan sama dengan Pasal 5, namun Pasal 6 ini merupakan korupsi suap khusus. Dengan adanya ketentuan khusus maka korupsi suap artinya sama dengan dengan Pasal 5 walaupun hakim merupakan pegawai negeri, tetapi Pasal 5 tidak berlaku bagi hakim. Sebab ada ketentuan khusus bagi hakim yakni Pasal 6 dan pasal yang ketentuan khusus lah yang berlaku.hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis artinya hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum dan diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. Rumusan Pasal 6 terdapat 3 (tiga) bentuk tindak pidana suap yakni 2 (dua) bentuk dirumuskan pada ayat (1) huruf a (suap khusus pada hakim) dan huruf b (suap khusus pada advokat) dan bentuk ketiga dirumuskan pada ayat (2) yakni hakim dan advokat yang menerima suap. Unsur-unsur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) Kepada hakim; 4) Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sedangkan unsur dari Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu: 1) Setiap orang; 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) Kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan;
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Unsur Pasal 6 ayat (1) huruf a berbeda dengan unsur Pasal 6 ayat (1) huruf b. Perbedaan tersebut terletak pada unsur adresat dan unsur subyektifnya. Tjandra Sridjaja Pradjonggo berpendapat bahwa “Unsur adresat yang dimaksud yaitu hakim di satu pihak, dan advokat dipihak lain. Sedangkan unsur subyektifnya yaitu unsur maksud dilakukannya perbuatan materiil” (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:122). Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a yaitu dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sedangkan Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu dengan maksud mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
b. Tindak Pidana Korupsi Memberi Hadiah atau Janji Kepada Pegawai Negeri Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 yang berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf d UU No. 3 Tahun 1971 yang rumusan pasalnya sebagai berikut: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Unsur-unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 13 yaitu: 1) Setiap orang; 2) Memberi hadiah atau janji; 3) Kepada pegawai negeri; commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Adami Chazawi mengemukakan pendapat bahwa Ada perbedaan dan persamaan antara Pasal 13 dengan Pasal 5 adalah sebagai berikut: Persamaannya ialah: 1) Subyek hukumnya setiap orang (orang amaupun korporasi); 2) Penerima suap yakni pegawai negeri; 3) Obyeknya ialah janji atau hadiah; 4) Perbuatannya yaitu memberi dan menjanjikan. Sedangkan perbedaannya ialah: 1) Obyeknya yaitu dalam Pasal 5 disebutkan sesuatu selain janji, namun Pasal 13 adalah hadiah atau janji; 2) Subyek hukum yang menerima hadiah pada Pasal 5 yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan Pasal 13 hanya pegawai negeri; 3) Suap Pasal 5 terdapat unsur kesalahan berupa maksud pembuat dengan melakukan perbuatan memberi dan menjanjikan yang ditujukan supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibanjabatannya. Sedangkan Pasal 13 tidak mengandung unsur kesalahan, tetapi ada unsur pembuat yaitu menganggap bahwa pemberian hadiah itu melekat pada jabatan si pegawai negeri tersebut (Adami Chazawi, 2005:278). c.
Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Menerima Suap oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut: Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimakasud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b. Terjadinya tindak pidana korupsi suap jenis ini bergantung pada terjadinya tindak pidana korupsi suap pada ayat (1) huruf a dan huruf b. Selesainya suap pada ayat (2) khusus perbuatan menerima pemberiab suatu benda bergantung pada selesainya perbuatan menerima pemberian atau menerima janji. Demikian juga perbuatan menerima janji dapat dianggap telah selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaankeadaan sebagai pertanda atau indikator bahwa mengenai apa isi yang dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut. Jenis tindak pidana penyuapan pasif atau pegawai negeri yang menerima suap juga diatur dalam Pasal 12 huruf a dan b yang berasal dari Pasal 419 angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999. Rumusan Pasal 12 huruf a dan b adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahala diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 12 huruf a dan b adalah sebagai berikut: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima hadiah atau janji; commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Perbedaan antara yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a yaitu dalam hal Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a dipergunakan istilah “menerima pemberian atau janji” dan “berbuat atau tidak berbuat”. Sedangkan dalam hal Pasal 12 huruf a dipakai istilah “menerima hadiah atau janji” dan “melakukan atau tidak melakukan”. Di dalam Pasal 12 huruf a terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan yaitu “diketahui atau patut diduga”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a tidak terdapat unsur tersebut. Meskipun demikian bukan berarti dalam Pasal 5 ayat (2) tidak terkait dengan kesengajaan atau kealpaan, bahkan pada prinsipnya perbuatan materiilnya tidak berbeda. Sedangkan unsur yg terdapat dalam Pasal 12 huruf b sebagai berikut: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima hadiah; 3) Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 4) Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Apabila dianggap juga terdapat perbedaan antara yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf b yaitu terletak pada perbuatan materiilnya. Yaitu dalam Pasal 12 huruf b disebutkan “menerima hadiah” sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b mengandung commit to user “menerima pemberian atau janji”. Di samping itu, Pasal 12 huruf b
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan, sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b tidak terdapat unsur tersebut. Disamping jenis tindak pidana korupsi penyuapan pasif seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan b, dalam hal subyek tindak pidananya pegawai negeri atau penyelenggara negara diatur pula jenis lain dalam Pasal 11 yang dirumuskan sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Apabila diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima hadiah atau janji; 3) Diketahuinya; 4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Menurut Adami Chazawi, perbedaan antara Pasal 12 huruf a dengan Pasal 11 terletak pada hal-hal sebagai berikut: Sikap batin pembuat korupsi suap pasal 11 berupa sikap batin kesengajaan (apa yang diketahui) dan kealpaan (patut diduga diketahui) yang diarahkan pada unsur “pemberian hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya”. Sedangkan pasal 12 huruf a sikap batin pengetahuan dan patut diduga pegawai negeri – penerima suap diarahkan pada unsur “hadiah atau janji diberikan padanya untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya”. commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terjadinya korupsi menerima suap pasal 11 tidaka ada hubungannya dengan terjadinya korupsi memberi suap pasal 5 ayat (1) huruf a, tetapi terjadinya korupsi menerima suap pasal 12 huruf a, setelah terjadi korupsi pemberian suap pasal 5 ayat (1) huruf a (Adami Chazawi, 2006:242-243). d. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Suap yang Diterima oleh Hakim atau Advokat Korupsi suap hakim atau advokat menerima suap sebagaimana dimaksud adalah korupsi yang ada hubungan langsung dengan masalah penegakan hukum di lingkungan peradilan. Sesuai dengan subyek hukum suap yaitu hakim dan advokat, meskipun berhubungan dengan proses penegakan hukum namun diatur dalam rumusan yang berbeda. Karena selain berbeda subyek hukumnya, juga berbeda unsur kesalahannya sesuai bidang dan tugas masing-masing subyek. Rumusan korupsi hakim dan advokat menerima suap terkandung dalam Pasal 12 huruf c dan d, dimana pasal tersebut berasal dari Pasal 420 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999. Bunyi Pasal 12 huruf c dan d adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf c adalah sebagai berikut: 1) Hakim; 2) Menerima hadiah atau janji; 3) Diketahui atau petut diduga bahwa bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Korupsi hakim menerima suap dalam Pasal 12 huruf c sebagai suap pasif, hakim dapat melanggar larangan menerima suap apabila telah terjadi tindak pidana korupsi menyuap hakim yang dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. artinya bahwa korupsi hakim menerima suap Pasal 12 huruf c ini berpasangan dengan korupsi menyuap hakim Pasal 6 ayat (1) huruf a. Pembentuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi membentuk tindak pidana suap tersendiri bagi orang yang berkualitas sebagai hakim, karena begitu penting dan strategisnya kedudukan hakim dalam rangka proses penegakan hukum sangat berpengaruh. Bukan hanya terhadap kepastian hukum dan keadilan masyarakat, melainkan terhadap ketertiban dan keamanan serta kedamaian bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung. Oleh karena itu, dibentuklah pasal tersendiri meskipun sesungguhnya sudah ada rumusan Pasal 11 mengenai korupsi pegawai negeri menerima suap dan Pasal 5 ayat (1) mengenai korupsi suap kepada pegawai negeri. Sedangkan unsur dari Pasal 12 huruf d sebagai berikut: 1) Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan; 2) Menerima hadiah atau janji; 3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Berdasarkan penjelasan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pengertian advokat adalah orang yang berprofesi to user maupu diluar pengadilan yang memberikan jasa hukumcommit baik didalam
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Seperti yang diketahui bahwa advokat telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
B. Sistem Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Setelah melakukan kajian dan pembahasan mengenai ruang lingkup dan pengaturan tindak pidana penyuapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan, maka penulis melakukan kajian dan pembahasan mengenai sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Kajian tentang sistem hukum pidana dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam berbagai literatur yang ada masih sangat sedikit, bahkan jarang ditemui, sehingga penulis merasa sangat tertarik untuk mengkaji upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terutama dari sudut pandang sistem hukum pidana. Meskipun dalam berbagai penelitian telah banyak menganalisa mengenai sistem peradilan pidana, teori hukum dan sebagainya, akan tetapi kajian tersebut hanya membahas bagian dari unsur dalam sistem hukum pidana dan tidak melihat sistem hukum pidana itu secara komprehensif dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Kajian dan pembahasan mengenai penyuapan sebagai salah satu tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, terlebih dahulu mengerti bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga. Secara konseptual maka teori negara hukum menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (recht zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk commit to user dalam suatu negara hukum selain menggunakan hak asasinya. Substansi elementer
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini juga berubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum. Berbicara mengenai sistem hukum pidana. IGM Nurdjana mengemukakan pandangannya bahwa: Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan yang lain yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, sistem hukum merupakan kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum yang saling berkaitan atau mempengaruhi satu dengan yang lain guna mencapai tujuan. Oleh karena itu, sistem hukum pidana yaitu kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum pidana yang saling melengkapi dan mempengaruhi untuk mencapai tujuan hukum pidana (IGM Nurdjana, 2000:92). Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma. Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan kemudian membentuk struktur (structure). Hal senada juga disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo yang berpendapat bahwa “Sistem hukum adalah sistem terbuka yaitu memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya dan setiap unsur yang tidak merupakan bagian dari sistem memiliki pengaruh terhadap unsur-unsur didalam sebuah sistem” (Sudikno Mertokusumo, 1996:102). Pandangan Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh IGM Nurdjana menyebutkan bahwa sebuah sistem hukum dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu sebagai berikut: 1.
2.
Struktur Hukum, yaitu institusi atau lembaga hukum , sistem manajemen, dan mekanisme serta sarana prasarana dari sistem penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana); Substansi Hukum, yaitu aturan-aturan substantif dan aturan tentang bagaimana pranata hukum harus berperilaku yang meliputi: hukum pidana materiil (KUHPcommit dan UU diluar KUHP), hukum pidana formil to user (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana; 58
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Budaya Hukum, yaitu sebagai unsur dari sikap dan nilai sosial, bagian dari kultur hukum yang mencakup kebiasaan, pendapat, cara bertindak dan berpikir (IGM Nurdjana, 2000:94).
Perbuatan korupsi dalam praktik sistem hukum dalam negara hukum saat ini dan konsistensi penegakan hukum merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks. Kompleksitas ini dapat melekat pada persepsi dan paradigma kelompok-kelompok pelaku elite (kakap), menengah dan bawah, serta kelompok super elite (big fish atau ikan paus) yang sulit terjaring, bahkan berakibat kerugian negara luar biasa. korupsi sering kali hanya dihubungkan dengan lemahnya penegakan hukum padahal jika lebih dikaji ternyata didalam sistem hukum pidana khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai problem hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang disebut sebagai mafia peradilan untuk menerapkan sistem selektivitas penegakan hukum yang akhirnya menimbulkan rasa ketidak adilan bagi masyarakat kecil yang terjerat hukum. Perkembangan korupsi seakan-akan sudah berurat akar, bahkan sudah membudaya da telah menjadi bagian dari way of life hampir di segi kehidupan sosial. Setiap langkah masyarakat selalu dibayang-bayangi dengan isu masalah korupsi yang semakin merajalela. Tidak mengherankan jika berbagai putusan hakim terhadap perkara-perkara korupsimenimbulkan kontroversi. Faktanya terjadi hasil vonis peradilan oleh hakim yang sering memutus ringan dan juga membebaskan para koruptor, bahkan malah diberikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Bila dilihat kembali dari sepanjang sejarah peradilan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia, belum pernah ada koruptor yang divonis pidana mati oleh hakim, padahal Undang-Undang memberikan peluang atau isyarat untuk itu. Hal ini mencerminkan lemahnya, kurang seriusnyaaparat penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi. Proses penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menjadi fenomena di Indonesia, dinilai oleh banyak kalangan bahwa inkonsistensi penegakan hukum dalam taraf law in action sesuai dengan commit legal to userspirit yang menjadi latar belakang
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
law in book ini berimplikasi pada akseptasi dan kultur hukum masyarakat. Hal semacam ini juga diuraikan oleh IGM Nurdjana dengan mengemukakan pandangannya bahwa “Penegakan hukum seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi terutama birokrat yang kolusif dengan koruptor yang lebih memperhitungkan profit dengan pertimbangan cost and benefit sehingga bukan tidak mungkin budaya suap merupakan salah satu modus kejahatan korupsi dari para koruptor” (IGM Nurdjana, 2000:273). Kontroversi antar produk politik hukum dengan realita praktik pemberantasan korupsi di Indonesia telah digambarkan pada implikasi dari momentum pola penegakan hukum terhadap korupsi menimbulkan fenomena kecenderungan dalam masyarakat di Indonesia bahwa karena korupsi sudah membudaya dan kelihatannya sulit diberantas. Maka banyak orang yang psimis, putus asa, tidak peduli lagi atau masa bodoh. Bahkan yang paling berbahaya adalah menganggap bahwa korupsi adalah hal yang lumrah, yang harus diterima sebagai realita atau suatu hal yang memang menjadi kebutuhan atau keharusan. Kondisi penerapan hukum tentang korupsi di Indonesia, menjadi fenomena buruknya penyelenggaraan sistem hukum yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi antara produk suatu sistem hukum pidana melalui peradilan pidana dari tindakan hasil penanganan korupsi. Hampir setiap media informasi cetak, elektro, maupun digital internet memuat tentang korupsi yang memberikan gambaran
kelemahan
praktik
penegakan
hukum
pidana
dalam
proses
pemberantasan korupsi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa sebagaimana penanggulangan kejahatan lainnya. Korupsi merupakan kejahatan yang luar bias, tentu membutuhkan penanganan yang luar biasa pula. Hal senada juga diungkapkan oleh IGM Nurdjana yang mengemukakan beberapa langkah strategis dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi antara lain sebagai berikut: 1.
Memberdayakan integritas moral para penegak hukum dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak commit to user pidana korupsi yaitu dengan memberdayakan sistem kesejahteraan. 60
perpustakaan.uns.ac.id
2.
3.
4.
5.
6.
7.
digilib.uns.ac.id
Sosialisasi pemahaman korupsi kepada para birokrat baik lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat. Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas, tetapi tetap menjunjung Hak Asasi Mnusia yaitu dengan reward and punish yang lebih keras lagi bagi pelaku korupsi yang melibatkan birokrat. Membentuk jaringan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan kekuatan dari institusi yang berwenang menangani korupsi sampai tingkat bawah. Para penegak hukum menerapkan tugas, pokok dan fungsi dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara proporsional dan profesional sesuai instrumen hukum yang berlaku. Mempublikasikan setiap hasil penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi melalui media informasi publik baik media cetak maupun elektronik, sehingga kelemahan dan kendala, akuntabilitas serta efektivitas dalam penegakan hukum dapat dikontrol dan diawasi oleh publik. Membangun kultur atau budaya hukum masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral dalam penegakan hukum (IGM Nurdjana. 2000:390).
Memberantas tindak pidana korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan proses berlanjut yang harus dilaksanakan secara konsisten. Korupsi ibaratnya penyakit kanker tidak akan pernah dapat diberantas sampai habis. Dalam hal ini pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri, melainkan harus mengajak komponen masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam pemberantasan korupsi dilakukan upaya pencegahan (preventif) yang merupakan strategi dasar yang bersifat pencegahan terhadap kondisi yang menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. R Dyatmiko Soemodiharjo mengemukakan langkah-langkah preventif adalah sebagai berikut: 1. Bahwa tindakan-tindakan pengungkapan kasus-kasus korupsi dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan perlu diimbangi dengan tindakan dan upaya preventif agar dapat dicegah timbulnya korupsi. 2. Upaya pencegahan difokuskan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi yaitu keserakahan (greeds), kesempatan (opportunities), dan kebutuhan (needs). 3. Mengendalikan cara hidup agar tidak berlebihan dengan menerapkan pola hidup yang bersahaja sesuai kemampuan dan penghasilan serta menjauhkan diri dari keserakahan. commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Perlu dilaksanakan pemberian penghasilan yang cukup kepada pegawai negeri dan aparat penegak hukum guna meminimalisasi melakukan korupsi. 5. Mempersempit kesempatan untuk dapat melakukan korupsi dengan meningkatkan sistem pengawasan internal yang lebih baik maupun mengefektifkan pengawasan masyarakat (R. Dyatmiko Soemodihardjo, 2008:XI). Berdasarkan kajian mengenai sistem hukum secara luas yang telah diuraikan, maka penulis mencoba melakukan pembahasan tentang sistem hukum pidana dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pengertian sistem hukum pidana meliputi 2 (dua) aspek krusial yaitu mengenai sistem pemidanaan dan pembaharuan hukum pidana. Secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu, sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang mempunyai dimensi sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial. Analisis dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief yang berpendapat bahwa: sistem pemidanaan ini dibagi menjadi dua yaitu dari sudut fungsional terdiri dari substansi hukum pidana materiil, hukum pidana formal, dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana dan sudut substantif. Oleh karena itu, maka ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special rules (Arief Barda Nawawi. 2007:262). commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal yang sama juga diuraikan oleh IGM Nurdjana mengemukakan bahwa pengertian sistem hukum pidana dapat dilihat dari sistem penegakan hukum pidana atau sistem pemidanaan sebagai berikut: 1. Dari sudut fungsional, sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai: a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana; b. Keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga pelaku mendapat sanksi pidana. 2. Dari sudut norma substantif, sistem hukum pidana atau pemidanaan dapat diartikan: a. Keseluruhan sistem aturan hukum pidana materiil untuk pemidanaan; b. Keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana (IGM Nurdjana, 2000:128). Sistem hukum pidana selain mempunyai dimensi sistem pemidanaan bersifat fungsional dan substansional, juga dengan pembaharuan hukum pidana. Upaya pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat diartikan bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan atau policy oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada atau value oriented approach. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan salah satu unsur dari sistem hukum pidana. Oleh karena itu, tipologi dari sistem hukum pidana suatu negara merupakan corak yang menggambarkan sistem hukum pidana yang dianut bagi negara tersebut. Sehingga sistem hukum pidana tersebut memberikan pengaruh pada sistem peradilan pidana yang dijalankan di negara tersebut. Pengaruh yang paling kuat dari sistem hukum terhadap hukum yang berlaku atau hukum positif, khususnya sistem hukum pidana terdapat peraturan to user perundang-undangan peninggalancommit Hindia-Belanda yaitu teori hukum civil law
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
system. Sistem hukum pidana ini bersifat terbuka sehingga menjadi kendala utama dalam proses penegakan hukum pidana, termasuk upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu, problematika aktualisasi sistem hukum juga dipengaruhi oleh lemahnya harmonisasi dan sinkronisasi dalam politik hukum pusat dan daerah, sehingga terdapat kekosongan instrumen hukum yang tidak menyentuh tindak pidana korupsi. Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata mengalami berbagai kelemahan dan kendala dipandang dari sistem hukum pidana secara komprehensif. Hal-hal semacam itu juga dikemukakan oleh IGM Nurdjana mengenai kendala-kendala dalam penanggulangan korupsi di Indonesia yang meliputi: 1. Lemahnya penerapan hukum sebagai implikasi dari rendahnya moralitas penegak hukum yang tidak kkonsisten dengan kaidah Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi kelemahannya adalah suplemen isi Pasal 33 UUD 1945 menjadi kendala utama lemahnya penerapan hukum dengan adanya diskresi pemberian monopoli oleh pemerintah atau penguasa yang menimbulkan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga dalam penerapan hukumnya dan peegakan hukum tindak pidana korupsi sulit menyentuh masalah korupsi. 2. Kontroversi putusan peradilan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Hasil dari praktek penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, justru melawan rasa keadilan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya gerakan mafia hukum dalam bentuk makelar kasus (markus) atau jual beli perkara yang dapat menjadi kenyataan hukum dan mempengaruhi moral penegak hukum dalam memberantas korupsi yang menimbulkan kontroversi. 3. Tingginya kebocoran uang negara dari kekayaan negara. Arah dari proses penegaka hukum terhadap tindak pidana korupsi adalah menyelematkan kekayaan negara. Kebocoran kauangan negara tetap tinggi karena perkembangan korupsi sudah bertambah meluas, hingga sektor perpajakan dan hasil sumber daya alam. 4. Kompleksitas permasalahan korupsi. Hal ini menjadi kendala karena proses penegakan hukum tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perilaku korupsi itu cenderung ditutup-tutupi oleh komunitas yang ada di lingkungan tempat kejadian/instansi tertentu. 5. Kurangnya intensitas pengawasan fungsional. Lemahnya pengawasan fungsional dapat diketahui dari data hasil pengawasan lembaga inspektorat commit toatau useritjen yang ada di departemen dan
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
badan pengawasan daerah belum ada melaporkan korupsi di lingkungan instansinya (IGM Nurdjana, 2000:118-121). Proses penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat satu kondisi bahwa semua sistem bekerja didalam ruang yang berbeda, namun dalam satu pekerjaan utama. Hal ini dipengaruhi oleh aspek struktur, substansi hukum dan budaya hukum. Oleh karena itu, kelemahan sistem hukum pidana memberikan implikasi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bergerak secara sistemik, yaitu: 1.
Substansi Hukum Hal ini menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif, pola, serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam substansi hukum diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi meliputi hukum formil
dan hukum materiil yang
mengakomodir semua bentuk tindak pidana yang potensial delik korupsi dalam suatu sistem hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Hal ini dilakukan guna penerapan hukum yang efektif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum pidana yang masih dominan warisan kolonial atau reformasi terhadap sistem hukum pidana khususnya dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana korupsi. Yaitu dengan sistem hukum Indonesia sesuai Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 (Ground Norm) melalui kebijakan politik hukum pada Rancangan KUHP dan KUHAP baru yang lebih aspiratif dan anti korupsi. 2.
Struktur Hukum Hal ini dilakukan dengan reformasi birokrasi yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan sehingga dapat meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Birokrasi struktur peradilan menimbulkan mafia hukum atau mafia peradilan yang telah menjadi polemik dalam agenda pemberantasan korupsi. Maka dari itu, commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbaikan birokrasi lembaga hukum sangat mempengaruhi terhadap proses penegakan hukum tindak pidan korupsi. Dalam praktik sistem hukum pemberantasan korupsi di Indonesia memiliki berbagai faktor kesulitan yang tinggi untuk diselesaikan secara tuntas. Berbagai tekad baru ditandai niat baik para pejabat di lingkungan lembaga pemerintahan negara yang dalam pernyataannya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menindak korupsi secara tegas. Semua kemampuan bangsa mencanangkan good governance and clean government sebagai jalan keluar dari krisis yang bebas dari korupsi. 3.
Budaya Hukum Hal ini merupakan aspek atau faktor yang melihat bagaimana masyarakat akan selalu taat, sadar dan berpartisipasi atas pentingnya hukum sebagai suatu pengaturan umum. Persoalan hukum adalah budaya hukum yang berkaitan erat dengan etoka dan moral masyarakat serta para penegak hukum dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Rendahnya budaya hukum inilah yang menjadi masalah dalam pembangunan hukum di Indonesia, sehingga dapat mengganggu substansi dan
struktur hukum secara
keseluruhan. Tegaknya budaya hukum dari suatu sistem peradilan pidana, seharusnya merupakan sistem yang saling berhubungan dan saling mendukung dengan visi dan misi yang sama dan fokus terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi sampai tuntas. Sebagai perubahan siklus budaya hukum untuk melawan korupsi yaitu sebagai berikut: a.
Preventif. Penegakan hukum dengan budaya preventif tidak hanya bersangkut paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau belum ada persangkaan telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi juga mencegah segala kemungkinan terjadinya pencegahan dan tidak memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi. commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Represif Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana korupsi, termasuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan tuntutan pidana. Di samping pembinaan jalinan korelasi, masih dituntut adanya koordinasi dan deferensiasi fungsional yaitu melakukan pengawasan yang efektif. Hal ini merupakan budaya hukum dalam menegakkan produk politik hukum yang harus dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan proses sistem hukum pidana melalui sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan.
c.
Tindakan Kuratif Siklus budaya dalam penegakan hukum dijelaskan bahwa tindakan represif juga bersifat preventif yang merupakan kegiatan penegakan hukum yang berhubungan dari sistem peradilan pidana, sedangkan masih terdapat tindakan preventif yang seluas-luasnya yaitu pengurusan tersangka tertentu atau terpidana lanjutan yang disebut tindakan kuratif dalam upaya penanggulangan kejahatan secara utuh.
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, selanjutnya Penulis mengambil simpulan sebagai berikut: 1.
Ruang lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan a.
Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur didalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Istilah suap berasal dari bahasa Belanda yaitu oomkoping atau dalam istilah bahasa Inggris yaitu bribery yang mempunyai arti sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: 1) Menerima hadiah atau janji; 2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; 3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sebagai berikut: 1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. 2) Penyuap pasif, yaitu pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang.
b. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan Tindak pidana penyuapan diatur dalam Pasal-Pasal Undangcommit user diubah dengan Undang-Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999toyang
68 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 20 Tahun 2001. Tindak pidana korupsi termasuk juga tindak pidana suap diatur didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Khusus mengenai
tindak
pidana
korupsi
jenis
suap-menyuap
maupun
penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyuapan yang Merupakan Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi Pengertian sistem hukum pidana yaitu sistem pemidanaan dan sistem pembaharuan hukum pidana. Secara singkat maka sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu, sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang mempunyai dimensi sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial. Dari sudut fungsional terdiri dari sub sistem hukum pidana materiil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Oleh karena itu, ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Analisis dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai commit pidana to user materiel untuk pemidanaan dan keseluruhan sistem norma hukum
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special rules. Sistem pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat diartikan bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan atau policy oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada atau value oriented approach.
B. SARAN Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang telah Penulis uraikan, maka Penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan dan pertimbangan yang bermanfaat. Saran yang hendak Penulis sampaikan yaitu: 1.
Bahwa Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan hukum, seorang tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar pemeriksaan atas kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang menguntungkan jika pun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam ini membuat para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan untuk mengulangi perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan terjerat hukum. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap rintangan kecil yang bisa diatasi dengan suap. Maka seyogyanya kepada petinggi lembaga/institusi hukum untuk meningkatkan pengawasan internal secara intensif terhadap kinerja aparat penegak hukum serta pembinaan moral hukum dalam rangka commit to user penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
70
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan reformulasi terhadap peraturan perundang-undangan untuk menghindari benturan interpretasi dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
3.
Bahwa diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum pidana yang masih dominan warisan dari kolonial Belanda atau reformasi menjadi sistem hukum yang ideal berlandaskan sistem hukum di Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
commit to user
71