UNIVERSITAS INDONESIA
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
SKRIPSI
RIANI ATIKA NANDA LUBIS 0706278651
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2011
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
RIANI ATIKA NANDA LUBIS 0706278651
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DEPOK JULI 2011
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini arhlah hasil karya sayasendirio dan semuesumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan bener.
Nama
Riani Atika Nanda Lubis
I\[PM
o7062?8651
TandaTangan
Tanggal
2 Juli 20I l
-tl
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
I
HALAMAN PEI\GESAHAN
Skripsiini diajukanoleh : Nama NPM
Riani Atika Nanda Lubis '0706278651
Program Studi Ilmu Hukum Judul PengembalianAset Hasil Tindak PidanaKorupsi sebagaiSalahSatu Bentuk PenerapanKeadilan Restoratif (RestorativeJustice)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing Dr. EvaAchjani Zulfa, S.H,M.H
,4-/,
Pembimbing TheodoraYuni ShahPutri, S.H, M.H
Penguji
Dr. SurastiniFitriasih, S.H, M.H
Penguji
Akhiar Salmi,S.H,M.H F
Penguji
GandjarLaksmana,S.H, M.H
(
A'?/
n . , . "" ? f i ) ' A I lwuvlYY'
'
"-
)
Ditetapkandi : Depok Tanggal
:2Juli2011
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
tlV
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan berkah dan hidayah-Nya mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dengan selesainya skripsi ini, Penulis berharap bahwa nilai-nilai dari skripsi ini dapat memperkaya khasanah ilmu dan pembangunan hukum di Indonesia. Penulis juga berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi Negara Indonesia dan Agama. Terselesaikannya skripsi ini, tidak terlepas dari doa, bantuan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta, Syahrizal Lubis dan Maharani Nasution yang senantiasa mendukung, mendoakan, dan luar biasa telah mendidik serta membesarkan Penulis. Terimakasih banyak untuk Mama dan Ayah atas segala pengorbanannya, Nothing I can pay for your love and sacrifice, but making you proud. Tidak lupa juga terimakasih untuk abang dan kakak Penulis, Ichsan Halwan Lubis (beserta keluarga, kak Astari dan keponakanku tersayang Arkasatya Fauzan Lubis) dan Ade Amalia Lubis yang selalu mendukung dan membimbing Penulis. 2. Alm. Bapak Dr. Rudy Satrio S.H, M.H selaku Ketua PK 2, yang telah menjadi inspirasi dan idola Penulis untuk menekuni Hukum Pidana, dan dengan luar biasa telah memberikan ilmunya juga memberi dukungan penuh dalam penulisan skripsi ini. Bapak yang dengan sukarela meminta saya menjadi mahasiswa bimbingannya, meskipun dalam keadaan sakit keras. Saya tidak dapat membalas apapun kecuali memanfaatkan ilmu yang saya dapat dari Bapak dan doa yang selalu saya panjatkan demi ketenangan Bapak di akhirat. Saya yakin Allah SWT memberikan tempat terbaik untuk umatnya yang baik pula. 3. Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa S.H, M.H selaku Pembimbing I dan Ibu Theodora Yuni Shah Putri, S.H, M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia, yang telah dengan sabar dan teliti membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak mbak telah benar-benar membimbing saya dan terimakasih banyak atas bantuannya dalam mendapatkan materi dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terkesan selama menjadi v Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
mahasiswa bimbingan mbak-mbak karena benar-benar merasa diperhatikan dan dibimbing. Semoga Mbak Eva dan Mbak Theo selalu diberkahi oleh Allah SWT atas segala yang sedang dikerjakan. 4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar PK 2 yang telah memberikan ilmunya kepada Penulis selama ini yaitu Ibu Koesriani, Bapak Akhiar Salmi, S.H, M.H, Bapak Gandjar Laksmana, S.H, M.H, Bapak dr. Handoko, Sp.F, Bapak Fachri Bey, Dr. Surastini, S.H, M.H, Ibu Nathalina, S.H, M.H, Dr. Topo Santoso, S.H, M.H, Bapak (Alm) Arif Gosita, Dr. Ignatius Sriyanto, S.H, M.H, Ibu Mariam, Bapak Sontan, Juga penulis sampaikan kepada Ibu Eha yang selalu membantu dalam penyampaian pesan kepada dosen-dosen. 5. Ibu Neng Djubaedah, selaku Pembimbing Akademis Penulis yang selama empat tahun menjadi orang tua penulis di kampus. Terima kasih atas bimbingan Ibu selama ini. Akhirnya saya bisa juga struggle di PK 2 dan lulus empat tahun, Bu. 6. Sahabat-sahabat terdekat dan “satu tongkrongan mizan” Penulis di Fakultas Hukum UI, Ardyan Winansyah Pulungan, Bagus Satrio Lestanto, Bayu Aji Saputro, Candra Adiguna Sinaga, Durma Jaya, Fajar Nurrahman Hartanto, Fernandez Libert Sillalahi, Hanifan Ahda Tarmizi, Muhammad Gerry Adlan, Raissa Almira Pradipta, Ramadyani Prabawitri, Randi Ikhlas Sardoni, Rizki Hendarmin, Syarifa Aya Savirra. Terimakasih atas segala dukungan dan doanya, kita pernah susah bersama-sama kawan, semoga esok kita bisa bersama-sama memetik hasilnya. Pokoknya arisan kita harus jalan lagi, dan amigos para siempre!! Juga kepada sahabat-sahabat penulis Anindita Dea, Aderina, Adhiningtyas Sahasrakirana, dan Maria Kresensia. 7. Terimakasih kepada badan-badan otonom dimana Penulis bernanung dan berkarya, yaitu Asia Law Students’ Association (ALSA) Always Be One!! dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Special thanks to Dept. Pengembangan Karier BEM FHUI 2009, Sasa, Rantie, Oji, Dea, Seto, Rantie, Fadhil, Deane, Reza, dkk yang kompak dan setia kawan. 8. Terimakasih kepada Sahabat-sahabat Penulis semenjak duduk di SMAN 28 Jakarta, kepada Putri Avicenna, S.E, Putri Rivani, S.Psi, Nandya Titania, S.Ked, Laras Febriany,S.E, Rezaldi, Renaldy, S.T, Hakim Agung, S.T, Raden Umar, Omar Syarif, S.H, Adhika “Bobop” Paramartha, S.H, Angela, S.E. Terimakasih atas dukungan dan doa nya kawan-kawan, thanks for being a great companion in ups and downs, friends.. vi Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
9. Terimakasih kepada partners on crime, sahabat-sahabat PK 2, Muhammad Audrian, Mutia Harwati, Tantyo Prabowo, Grace Angelia, Fitro Muniro dan Anugerah Rizki, sesama warga binaan Mbak Eva yang tetap solid dan struggle menekuni hukum pidana. Terimakasih atas segala sharing ilmunya, dukungan penuh dan doanya. Walaupun kita hanya bertujuh di angkatan 2007 ini, semoga kita bisa menerapkan dan memanfaatkan hukum pidana nantinya. 10. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang penulis dalam penyusunan skripsi ini, yaitu Anindita Rarasati, Diptanala Dimitri, Arub Charisma, Sheila Ramadhani, Audy “kiting” Miranti, Lulu Latifa, Yulianti, M. Megah, Heri Herdiansyah, Ridha Aditya, Puri Paskatya, Agantaranansa, Bang Ega Windratno, Mbak Namira Ali Umar dan temanteman Fakultas Hukum lainnnya. Go Fight Win Yes! 11. Kepada abang dan mbak senior Fakultas Hukum UI yang selama ini telah membantu dan membimbing Penulis menjalani masa kuliah, juga kepada adik-adik junior Fakultas Hukum UI atas dukungannya. 12. Kepada Bapak Selam Birpen, yang selalu membantu dalam hal surat-menyurat dan perizinan; Pak Kodir, dkk selaku petugas keamanan parkiran belakang yang senantiasa memberi semangat setiap pagi dan doanya selalu; dan Ibu Sri, dkk selaku staf pegawai perpustakaan yang sangat membantu Penulis dalam mengakses literatur; juga kepada Pakde Barel yang setia membantu dalam masalah percetakan. 13. Serta semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari skripsi yang penulis buat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis selalu menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Depok, 2 Juli 2011
Riani Atika Nanda Lubis
vii Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
HALAMAN PER}IYATAAN PERSETUJUANPUBLIKASI TUGAS AKHIR TJNTUKKEPENTINGAN AKAI}EMIS SebagaisivitasakademikUniversitasIndonesia,sayayangbertandatangandi bawahini:
Nama
: Riani Atika NandaLubis
NPM
:0746278651
ProgramStudi : IImu Hukum Fakultas
:Hukum
JenisKarya
: Skripsi
Demi pengembanganilmu pengetahuan,menyetujui untuk memberikankepada UnivesitasIndonesiaHak BebasRoyalti Nonekslusif(Non-exclusiveRoyalty-Free Right)ataskaryailmiah sayayangberjudul: PengembalianAset Hasil Tindak Pidana Korupsi SebagaiSalah Satu Penerapan Keadilan Restoratif (RestorufiveJustice\ DenganHak BebasRoyaltiNonekslusifini UniversitasIndonesiaberhakmenyimparq mengalihmedia/format-kan, mengeloladalam bentuk pangkalan data (dntabase), merawat, dan memublikasikantugas akhir saya selamatetap mencantumkannama sayasebagaipenulis/pencipta dansebagaipemilik Hak Cipta. Demikianpemyataanini sayabuatdengansebenarnya. Dibuatdi :Depok Padatanggal: 2 luli 201I
lx
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
ABSTRAK
Nama : Riani Atika Nanda Lubis Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Skripsi ini membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan konsep keadilan restoratif. Untuk itu, dalam pembahasan skripsi ini akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengembalian aset hasil tindak pidana di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Usaha Indonesia dalam upaya pengembalian aset ini pun tidak hanya dengan instrumen nasional seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumeninstrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Bantuan Hukum Timbal Balik. Pendekatan keadilan restoratif sebagai salah satu tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep ini sejalan dan tujuan dari keadilan restoratif dan pengembalian aset pun sejalan dan harmonis. Indonesia sebagai negara berkembang yang masih pelik dengan masalah penindakan hukum atas tindak pidana korupsi memerlukan gagasan dan pemikiran mengenai upaya pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Korupsi, Pengembalian Aset, Keadilan Restoratif
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
ABSTRACT
Name : Riani Atika Nanda Lubis Study Program: Law Title : Stolen Asset Recovery on Proceeds of Corruption Offense as One of Application of Restorative Justice This thesis discussed about the relation of stolen asset recovery on proceeds of corruption offense with the concept of restorative justice. So that, the discussion chapters of this thesis explained about the premises and legal basis of stolen asset recovery on the proceeds of corruption offense in Indonesia, the United Kingdom and Thailand. Indonesia’s effort in an endeavor to return these stolen assets was not only mandated by national law instruments such as Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 regarding Corruption Eradication, Law Number 15 Year 2002 regarding The Crime of Money Laundering, but also used of international law instruments such as United Nations Convention Against Corruption 2003 which ratified by Law Number 7 Year 2006 and Mutual Legal Assistance on Criminal Matters (MLA). Restorative justice as one of the objectives of punishment is an appropriate intellection to be applied as the underlying principle of stolen asset recovery is reciprocally along with the concept of restorative justice as the intellection of this concept. Indonesia as a developing country which still complicatedly deal with the eradication of corruption offense matters, seriously needs an idea and reasoning on endeavor of restoring state’s loss caused by corruption offense. Keywords : Corruption, Stolen Asset Recovery, Restorative Justice
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................ ix ABSTRAK ................................................................................................................x ABSTRACT...............................................................................................................xi DAFTAR ISI…………………………………….……………………………........ xii BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ........................................................................................1 1. 2 Rumusan Masalah ..................................................................................11 1. 3 Tujuan Penelitian.....................................................................................11 1. 4 Metode Penulisan.....................................................................................12 1. 5 Definisi Operasional................................................................................13 1. 6 Sistematika Penulisan..............................................................................15
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 2. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana........................................ 17 2.1.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi .......................19 2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia....23 2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam UNCAC………………………………………………………….28 2. 2 Tahap Pengembalian Aset ..................................................................36 2. 3 Program Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana di Beberapa Negara.............................................................................49 2.3.1 Britania Raya ...............................................................................49 2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari Hukum Pidana .......................................................................52 2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
secara Perdata.........................................................................53 2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil Tindak Pidana .......................................................................54 2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana ..............55 2.3.1.5 Fungsi ARA ..........................................................................56 2.3.1.6 Aset yang Harus Dikembalikan dan Aset yang Terkait ........57 2.3.2 Thailand.........................................................................................59 2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan...............................63 2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS)........64
BAB 3 TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)........................................................................66 3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif ............................66 3.1.1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif ..............................................66 3.1.2
Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia................................71
3.1.3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional ......................74 3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice)....................................................................................................75
BAB 4 ANALISIS 4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan Keadilan Restoratif ........................85 4.1.1
Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas Kerugian Negara...........................................................................................85
4.1.2
Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi ..................91
4.1.3
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindakan Restoratif .....................................................................94
4. 2 Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dapat Berjalan Efektif ..........................................................98 4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia…….....98 4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset.................................102
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai Alternatif......................................................................................103 4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi…………………………...105 4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset.109
BAB 5 PENUTUP 5. 1 Kesimpulan .........................................................................................111 5. 2 Saran ...................................................................................................113
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya intelektualitas dan majunya peradaban penduduk dunia, masalah yang terjadi di kehidupan manusia pun semakin rumit. Salah satu momok besar dalam kehidupan manusia di dunia adalah masalah kejahatan korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena korban yang diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif karena dengan korupsi, kerugian yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Sebagaimana tertuang dalam konsideran Undang-Undang No. 39 tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas, sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan sebagai
kejahatan
luar
biasa
(extra-ordinary
crime)1,
sehingga
upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara-cara yang luar biasa. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime
karena
pelakunya
1
Korupsi Kejahatan Luar Biasa, http://bataviase.co.id/detailberita-10387828.html. Diunduh pada 21 Juni 2011. Marzuki Ali, Presiden Asia Parliamentary Assembly (APA), dalam sidang APA yang memperingati Hari Antikorupsi Sedunia menyatakan, "Tindak pidana korupsi disebut kejahatan luar Biasa atau Extra-Ordniary Crime karena korupsi terbukti telah menggerogoti sendisendi pembangunan bangsa. Membuat bangsa bukan saja statis, tetapi mengalami suatu kemunduran yang signifikan. Korupsi adalah kejahatan besar yang bersifat kompleks, sistemik, dan pemberantasannya perlu dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan melibatkan semua pihak”.
1
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
2
sebagian besar merupakan orang-orang berintelektual dan memiliki pengaruh dalam kekuasaan.
Banyak kritik dari masyarakat, media dan golongan lain atas kinerja Presiden Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu II terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden RI yang mengelu-elukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai program kerja utamanya dinilai tidak dapat melakukan tugasnya sebagai badan eksekutif dalam penegakan hukum atas korupsi. Pasti ada yang salah dalam pola pikir penegak hukum dan aplikasi hukum itu sendiri di Indonesia. Akan tetapi rakyat Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk merasakan penderitaan akibat maraknya tindak pidana korupsi yang sangat merugikan ini.
Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi masih belum tertutupi dan keresahan masyarakat masih tinggi terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di Indonesia. Pemidanaan merupakan salah satu elemen hukum yang paling penting dalam penegakan hukum pidana. Hukum pidana tanpa mengaitkannya dengan pemidanaan bagaikan macan tanpa gigi. Penjatuhan hukuman pidana oleh pengadilan merupakan suatu upaya yang sah, yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa atau penderitaan terhadap seseorang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial yang dikaitkan dengan, dan selalu mencerminkan, nilai dan struktur masyarakat, sehingga merupakan suatu reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama” atau collective conscience2, meminjam terminologi Emile Durkheim.3 2 http://en.wikipedia.org/wiki/Collective_consciousness , Collective Conscience: “Durkheim argued that in traditional/primitive societies (those based around clan, family or tribal relationships) totemic religion played an important role in uniting members through the creation of a common consciousness (conscience collective in the original French). In societies of this type, the contents of an individual's consciousness are largely shared in common with all other members of their society, creating a mechanical solidarity through mutual likeness” (Durkheim berpendapat bahwa dalam adat / masyarakat primitif (yang berbasis di sekitar klan, keluarga atau hubungan suku) totem agama memainkan peran penting dalam menyatukan anggota melalui penciptaan kesadaran umum (hati nurani kolektif dalam asli Perancis). Dalam masyarakat jenis ini, isi kesadaran individu yang sebagian besar bersama-sama dengan semua anggota lain dari
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
3
Mengingat begitu hebatnya kerugian yang diderita akibat korupsi, hukum pidana sebagai hukum yang bertujuan untuk memberi derita dan nestapa kepada siapapun yang melanggar merupakan cara yang tepat untuk memberantas dan mencegah praktik korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro yang merumuskan dengan sangat singkat yaitu: “Hukum Pidana adalah Peraturan-Hukum mengenai Pidana”. Kemudian beliau mengatakan Kata “Pidana” berarti hal yang di-“pidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.4 Indonesia sebagai negara berkembang sangat rentan akan praktik ekonomi karena menurut Fred W. Riggs, salah satu ciri-ciri dari negara berkembang adalah kentalnya korupsi, kolusi dan nepotisme5.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pelaku korupsi di Indonesia masih didominasi jajaran birokrasi. Berdasarkan laporan pemantauan ICW atas vonis kasus korupsi semester I 2010, terdapat 119 perkara korupsi yang diadili dengan jumlah terdakwa 183 orang. Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch, Donald Fariz, merinci bahwa dari 119 perkara korupsi, 103 perkara dengan 66 terdakwa diadili di Pengadilan Umum, sedangkan 16 kasus dengan 17 terdakwa diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Berdasarkan tingkat vonis
masyarakat mereka, menciptakan solidaritas mekanis melalui rupa bersama). Diunduh pada 25 Februari 2011. 3
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Litigasi dan Pemidanaan di Indonesia, Disampaikan dalam Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana FHUI di Balai Sidang UI, Depok, 2003. 4 E.Y Kanter dan S. R Sianturi, Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002), hal 15. (Dalam Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hal 1-10) 5
Tri Hayati, et. al, Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan Perencanaannya, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, hal. 19. Dalam buku ini dijelaskan Fred W. Riggs yang merupakan pendiri Comparative Study Administration Group setelah melakukan studi banding menyatakan bahwa cirri-ciri negara berkembang salah satunya adalah pengangkatan, pemberhentian pegawai terjadi dengan birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
4
untuk koruptor, hukuman terbanyak berada di kisaran 1-2 tahun, yaitu 38 terdakwa (22,89%).6
Menurut data dari Kepala Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, sepanjang semester I tahun 2010 potensi kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 2,1 triliun.7 Sayang sekali, Untuk periode 2010, Kejaksaaan Agung melalui jajaran Pidana Khusus saja mengklaim telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp 133.637.262.558 (seratus tiga puluh tiga miliar, enam ratus tiga puluh tujuh juta, dua ratus enam puluh dua ribu, lima ratus lima puluh delapan rupiah). Sedangkan uang negara yang diselamatkan pada bidang perdata dan TUN sebesar Rp 1.286.578.588.336 (satu triliun, dua ratus delapan puluh enam miliar, lima ratus tujuh puluh delapan juta, lima ratus delapan puluh delapan ribu, tiga ratus tiga puluh enam rupiah). “Jika ditotal dengan bidang pidana khusus, maka ada sekitar Rp 1,4 triliun,” katanya.8
Tidak hanya itu, korupsi ditempatkan dalam program pertama dalam Program Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode 2 2009-20149. Untuk tingkat internasional, beberapa perkiraan di negara-negara Eropa menyimpulkan bahwa korupsi mengakibatkan penggelembungan total utang pemerintah sebesar 15% 6
Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi, http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813, diunduh pada 1 April 2011. 7
Mahendra Bungalan, Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-Kerugian-NegaraAkibat-Korupsi-Rp-36-Triliun, diunduh pada 24 Februari 2011. Jumlah yang disebutkan telah merosot pada semester II tahun 2010, ICW menemukan potensi kerugian negara mencapai 1,5 triliun. Menurut beliau, lima sektor korupsi yang menyebabkan kerugian negara terbesar dari Pertambangan (1 kasus), Keuangan Daerah sebesar Rp 344 miliar (44 kasus), energi sebesar Rp 240 miliar dan Pertanahan/lahan Rp 143 miliar (18 kasus) 8 Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi Oktober 2009Oktober 2010, http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705, diunduh pada 1 April 2011. 9
Susilo Bambang Yudhoyono, Program Kerja 100 Hari KIB II, http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html. Setelah terpilih lagi menjadi Presiden RI bersama dengan wakilnya Bapak Boediono, Presiden SBY menempatkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi dalam urutan pertama yaitu ” Penataan ulang tata laksana dan hubungan kerja sama antar lembaga penegak hukum termasuk KPK, Kepolisian dan Kejaksaan / Pemberantasan Mafia Hukum”.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
5
atau US$ 200 miliar10. Menurut perkiraan Transparansi Internasional (TI), jumlah dana yang hilang akibat tindak pidana suap dalam pengadaan perbekalan pemerintah sekurang-kurangnya mencapai US$ 400 miliar per tahun di seluruh dunia.11 Melihat perbandingan antara jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dengan jumlah yang dikembalikan melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara, masih banyak sekali selisih dari angka-angka tersebut merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Bahkan, uang yang telah dikembalikan kepada negara hanya dua per tiga dari kerugian negara akibat tindak pidana korupsi semester I tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa kegiatan pengembalian kerugian negara masih belum berjalan secara optimal. Pemerintah dan aparat penegak hukum Indonesia harus disadarkan bahwa inilah saatnya untuk menyelenggarakan dengan serius perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Sikap berani Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara harus konsisten dan realistis.
Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 sebenarnya sudah berani dan “menggigit” mengatur mengenai pemberantasan korupsi dan pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi, bahkan penjatuhan dua pidana pokok sekaligus diperbolehkan12. Dengan keistimewaan dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi berarti pemidanaan diharapkan menjadi hal yang berpengaruh sangat kuat dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Berangkat dari pasal 4 Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengamanatkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara 10
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 3. (Dalam Business Week hal 134-135). 11
Ibid, hal. 76. Data dikutip dari The TI Global Corruption Report 2004
12
Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 UU No 22/2001 jo UU No 31/1999 dalam ancaman pidananya tertulis “dan/atau” antara kedua pidana pokok yang diaturm sehingga terdakwa koruptor dapat di pidana dua pidana pokok sekaligus. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena mengesampingkan asas hukum pidana yang hanya boleh menjatuhkan satu saja dari lima pidana pokok yang diatur dalam pasal 10 KUHP.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
6
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana” perampasan aset hasil korupsi sendiri sebenarnya telah diadopsi oleh Indonesia, tetapi Indonesia lagi-lagi bukan negara yang dengan mudah dapat menyesuaikan suatu perubahan sistem, apalagi yang berhubungan dengan bidang penegakan hukum. Pengaruh kolonial masih sangat kental dalam sistem hukum Indonesia karena walaupun Rancangan KUHP telah disusun sejak tahun 1994 dan direvisi beberapa kali, hingga saat ini, tahun 2011, Rancangan KUHP tersebut belum juga disahkan untuk menggantikan KUHP, warisan Belanda puluhan tahun lalu, yang sampai saat ini masih kita gunakan.
Persoalan asset recovery untuk meminimalkan kerugian negara merupakan merupakan faktor yang tak kalah penting dari upaya pemberantasan korupsi di samping memvonis pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya. Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak awal penganan perkara dengan pembekuan dan penyitaan, juga mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain di mana hasil kejahatan (proceeds of crime) berada. Untuk itu orientasi penegak hukum mengenai pengembalian aset ini perlu dipertajam terutama dalam hubungan kerja sama dengan negara lain baik melalui pertukaran informasi intelijen keuangan yang difasilitasi oleh PPATK, kordinasi dengan Tim Pemburu Koruptor, maupun kerja sama bantuan hukum timbal balik antara pemerintah kita dengan pemerintah negara lain.13
Mengingat tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan sangat mungkin menjadi kejahatan transnasional, maka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah mengadopsi United Nations Convention Against Corruption 200314 pada tanggal 30 September 2003. United Nations Convention Against Corruption dibuka untuk penandatanganan dalam Konferensi Politik Tingkat Tinggi dengan Tujuan Penandatanganan United 13
Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008) hal. 9-10. 14
Dalam UN Press Release, diterbitkan pada saat adopsi UNCAC, 31 Oktober 2003.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
7
Nations Convention Against Corruption di Merida, Meksiko, tanggal 9-11 Desember 2003. United Nation Convention Against Corruption merupakan salah satu hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.15 Pemerintah Indonesia ikut aktif sejak sidang pertama sampai dengan sidang ketujuh (terakhir) yang berakhir pada tanggal 1 Oktober 2003.16 Negara Peserta United Nations Convention Against Corruption 2003 mencapai sebanyak 127 negara, dari jumlah tersebut 99% telah menyatakan kesediaannya untuk menandatangani konvensi tersebut.17 Dasar pertimbangan keikutsetaan Indonesia dalam penandatanganan konvensi tersebut mengenai implikasi hukum peratifikasian konvensi tersebut ke dalam sistem hukum nasional.
Salah satu pembahasan penting yang diatur dalam UNCAC 2003 ini adalah mengenai hal pengembalian aset (Asset Recovery). Ruang gerak koruptor para koruptor untuk bersembunyi dan melarikan hasil kejahatannya ke sejumlah negara kian sempit. Dengan disahkannya Konvensi PBB ini korupsi diakui sebagai kejahatan global dan akan ditangani dengan semangat kebersamaan. Sebenarnya sudah lama korupsi dinobatkan sebagai extra-ordinary crime, bahkan sebelum disahkannya UNCAC 2003. Indonesia termasuk negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut. Pada pasal 3 tentang Scope application, ayat (1) tentang cooperation with law enforcement authorities, ditegaskan bahwa, “Each state party shall take appropriate measure to encourage persons who participate or who have participate in the commission of an offense establish in accordance with this convention to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to provide factual, specific help to competent that may contribute to such depriving offenders of the proceeds of crime and recovering such proceeds.”
15
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 134. 16
Ibid.
17
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
8
Walaupun perangkat hukum internasional yaitu UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, pengembalian aset hasil korupsi belum juga diterapkan. Sehubungan dengan masalah tersebut, Barda Nawawi Arif di dalam suatu seminar pernah menyatakan: “Bahwa tujuan dari kebijakan menerapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu Perlindungan Masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.” (tujuan demikian nampaknya disepaati oleh seluruh anggota UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute) dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya).18 Menurut Matthew H. Flemming19 dalam dunia internasional, tidak ada definisi pengembalian
aset
yang
disepakati
bersama,
Flemming
sendiri
tidak
mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana dan/atau dari sari sarana tindak pidana. United Nations Convention Against Corruption tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan hukuman/penalty seperti didefinisikan dalam Konvensi tentang Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan dari Dewan Eropa Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (CLSCPC) dari Council of Europe20. Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai sebuah hukuman atau tindakan, yang diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai akibat dari pencabutan yang permanen atas kekayaannya21. Pada hakikatnya, pengembalian 18
Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010), hal.49. 19
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103. (Dalam Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic, Taxonomy, Draft for Comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal. 1). 20
Ibid., hal. 215.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
9
aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.
Menurut UNCAC sendiri, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Tahap pelacakan aset 2. Tahap tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan 3. Tahap penyitaan 4. Tahap penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah.22
Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular diantara pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) memang efektif memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan. Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.23 Hal ini diperkuat lagi dengan adanya perkembangan pemikiran masyarakat terhadap hukum pidana di berbagai belahan dunia. Roeslan Saleh menyatakan bahwa Hukum Pidana merupakan kaca yuridis yang paling peka terhadap perubahan budaya, keadaan sosial yang pada umumnya dalam semua keadaan dimana ada manusia.24 Perkembangan pemikiran tentang hak asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Tak 21 Council of Europe, Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime, Strasbourg, 8, XI, 1990. Pasal 1 huruf d . 22
Purwaning M. Yanuar, op. cit, hal 207
23
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia
24
Ibid. Mengutip dari Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal.23.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
10
terkecuali pandangan terhadap pidana dan pemidanaan. Pidana dan pemidanaan yang pada dasarnya memberikan pembenaran atas penjatuhan satu derita kepada seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya sepintas lalu akan bertolak belakang dengan konsep-konsep yang ada dalam hak asasi manusia yang justru memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.25
Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan dalam penegakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah kegiatan ini sejalan dengan salah satu tujuan dari pemidanaan yaitu keadilan restoratif (restorative justice). Menurut Welgrave, teori keadilan retributif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.26 Dalam hal ini, negara sebagai korban dari tindak pidana korupsi dapat menderita kerugian yang besar dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian pemulihan kerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi dengan perampasan aset adalah sejalan dengan teori tujuan pemidanaan yaitu untuk mewujudkan keadilan restoratif. Konsep utama dari perwujudan keadilan restoratif adalah untuk memulihkan keadaan akibat terjadinya tindak pidana seperti sebelum terjadinya tindak pidana, dan apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi maka pengembalian aset merupakan salah satu cara untuk memulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Gagasan untuk meningkatkan efektifitas dari tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang disebutkan diatas hanya merupakan gagasan secara umum. Untuk gagasan mengenai pengembalian aset di Indonesia selanjutnya pun akan dibahas dalam penulisan ini, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab 4 mengenai analisis.
25
Ibid.
26
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90-91 (Seperti dikutip dalam L. Welgrave, “Met het Oog op Herstel: Bakens voor en Constructief Jeugsantierecht”, Leuven, Universitaire Pers Leuven, hal. 34.)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
11
Pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi memang seakan mustahil dapat terganti karena jumlahnya yang sangat besar mulai dari kerugian materiil dan immaterial. Selain itu hambatan lain adalah proses pelacakan dan investigasi aset yang dikorupsi merupakan tantangan terbesar dalam penindakan hukum tindak pidana korupsi. Apabila membahas mengenai hasil memang tidak akan ada habisnya karena pada kejahatan akan selalu ada di dunia selama kehidupan masih ada di dunia, tetapi alangkah baiknya kita nantinya dapat memahami dan memperhitungkan assessment atas tindak pidana korupsi sehingga dapat mengurangi kerugian yang disebabkan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulis merasa sangat perlu adanya penelitian mengenai perampasan aset hasil korupsi yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan restorasi (Restorative Justice) sebagai tujuan pemidanaan.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusah masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upaya perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah perbandingan pengaturan dan pelaksanaan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, Britania Raya, dan Thailand? 2) Apakah bentuk perampasan aset hasil tindak pidana korupsi sejalan dengan program keadilan restoratif yang sedang berkembang saat ini? 3) Hal-hal apa sajakah yang harus disiapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum agar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berjalan? 1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan Penulis dari penulisan laporan penelitian ini adalah menyadarkan Bangsa agar lebih peka bahwa dalam tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian yang sangat besar dan sangat merugikan negara dan bangsa. Penulis juga bertujuan dnegan adanya laporan penelitian ini, bangsa Indonesia menjadi lebih
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
12
kritis bahwa pemidanaan itu bukan hanya ditujukan untuk menghukum seberatberatnya terpidana agar mereka jera, tetapi harus diperhatikan aspek korban dan kerugian dari tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan restoratif sebagai salah satu hasil perkembangan hukum pidana juga harus lebih sering dan vokal disuarakan agar seimbang antara penerapan hukum pidana dengan penerapan hak asasi manusia. Demikianlah tujuan Penulis secara umum dari penulisan laporan hasil penelitian ini.
Tujuan khusus Pembahasan mengenai Perampasan Aset Hasil Tindak Korupsi sebagai Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bertujuan: 1.
Memahami konsep perampasan aset hasil korupsi dan mengetahui pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2.
Memahami konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dalam prakteknya di Britania Raya dan Thailand.
3.
Memahami konsep keadilan restortif dalam tindak pidana korupsi
4.
Menemukan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah yang bagaimana sebagai persiapan agar perampasan aset atas hasil tindak pidana korupsi dapat berjalan.
1.4
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode kepustakaan, yang bersifat comparative method atau metode perbandingan, yang diartikan oleh Hugo F. Reading, ” the comparison of matched societies and institutions for the discovery
of
associations
and
correlations”27
(sebagai
metode
yang
membandingkan sesuai dengan masyarakat dan isntitusi untuk menemukan hubungan dan kaitan) yang dengan penafsiran secara ekstensif, metodologi penelitian in idapat digunakan dalam perbandingan konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di berbagai negara. 27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), hal. 5 (Dalam Hugo F. Reading: 1977)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
13
Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut. a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan perundang-undangan negara lain dan konvensi-konvensi internasional. b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, artikel internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, atau kamus.28
Alat pengumpul data memakai studi dokumen ditambah dengan wawancara dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pendekatan analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan sifat dan bentuk laporan secara deskriptif analitis.
1.5
Definisi Operasional 1. Tindak Pidana Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara29,
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 50 s.d. 51. 29
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20/2001 jo No. 31/1999, Pasal 2, TLN Republik Indonesia No: 3874
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
14
2. Kekayaan adalah setiap jenis aset, baik berbentuk inkorporeal, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan hukum dokumen atau instrumen yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut30 3. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis.31 4. Perampasan merupakan upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing32 5. Non-Conviction Based Recovery merupakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan pidana atas tindak pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu kepada asas non-conviction based yang digunakan dalam pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture), dimana tuduhan secara pidana atau putusan pidana tidak diperlukan dan yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah terhadap bendanya (in rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.33 6. Keadilan Restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif.34
30
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), Pasal 2 huruf (d)
31
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pasal 1 ke-1.
32
Ibid, pasal 1 ke-7.
33
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13. 34
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
15
7. Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antarnegara, dan persetujuan hukum internasional35 8. Pidana Penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup aau untuk sementara waktu.36 9. Pembekuan atau ”penyitaan” adalah berarti pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayaan atau untuk sementara menerima penjagaan atau pengawasan kekayaan berdasarkan suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau lainnya yang memiliki kompetensi kewenangan atas itu37.
1.6 Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini terbagi dalam lima Bab yang dimana secara keseluruhan akan membahas mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Berikut merupakan sistematika penulisan dari laporan penelitian ini:
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan terbagi ke dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang permasalahan mengenai tulisan ini; pokok-pokok permasalahan yang akan dijawab melalui penulisan ini berdasarkan teori-teori, pengertian, dan obyek penelitian yang akan ditinjau; tujuan dari penulisan; metode-metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan; definisi operasional yang akan menjelaskan secara umum beberapa istilah yang akan digunakan dalam penulisan ini; lalu yang terakhir adalah sistematika penulisan yang akan menjelaskan urutan penulisan.
35 Kamus Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ratifikasi, diunduh pada 7 Maret 2011. 36
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal 92. (Hal ini disampaikan menurut Roeslan Saleh). 37
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, pasal 2 huruf (f).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
16
Bab kedua berisi tentang konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan dalam UNCAC. Dalam bab ini juga selain dijelaskan konsep pengembalian aset di Indonesia, Thailand dan Britania Raya pun ikut dibahas sebagai pengayaan materi.
Bab ketiga dalam penulisan ini berisi tentang tinjauan teoritis mengenai konsep keadilan restoratif. Pembahasan mengenai konsep ini dimulai dari pembahasan tujuan pemidanaan yang terbagi atas dua yaitu teori konsekuensialis dan teori nonkonsekuensialis yang dimana konsep keadilan restoratif berakar dari pemikiran tujuan pemidanaan yang berpaham konsekuensialis. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta perdebatan para akademisi dan ahli mengenai aplikasi keadilan restoratif dalam hukum pidana.
Bab keempat merupakan analisis mengenai masalah yang diangkat dalam topik besar penulisan ini, yakni seputar keterkaitan pendekatan restoratif yang sejalan dan dapat menjadi dasar dari tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu dalam bab analisis ini juga akan disebut dan diuraikan mengenai upaya-upaya apasajakah yang dapat dilakukan pemerintah dan penegak hukum dalam optmalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
Bab kelima, bab yang terakhir dalam penulisan ini, adalah mengenai kesimpulan dari rangakaian pembahasan dalam penulisan ini. Disamping itu, dalam bab ini juga dicantumkan saran kepada pemerintah Indonesia dan penegak hukum, serta rakyat Indonesia pada umumnya untuk mendukung upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang bersifat restoratif dimana pemulihan kerugian negara menjadi priotitas utama.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Pengembalian aset yang merupakan topik besar dalam pembahasan laporan penelitian ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ini. Sebagai pembuka, akan dibahas terlebih dahulu mengenai pengembalian aset dalam tindak pidana secara umum. Sesuai ketentuan perundang-undangan, penyitaan dan perampasan benda dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut.38 Tanpa adanya tindak pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat dilakukan. Perlu dibedakan antara ”penyitaan” dengan ”perampasan”.
Penyitaan adalah bagian dari proses penegakan hukum berupaya upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.39 Sementara itu, perampasan adalah pengambilalihan hak milik seseorang yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.40 Konsep hukum (legal concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan 38 Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hal 9. 39 Indonesia Undang-Undang No 8 tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76, TLN Republik Indonesia No. 3209
40
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta: Yhe Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 9.
17
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
18
barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sejalan dengan amanat dari Pasal 39 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk dapat merampas harta yang akan dikembalikan kepada negara, penyidik harus menyita harta yang dicurigai hasil dari tindak pidana terlebih dahulu. Itulah mengapa hakim yang memutus perkara pidana, mengamanatkan bahwa harta yang telah disita sebelumnya dalam tahap penyidikan dirampas menjadi milik negara.41
Pada dasarnya pengembalian aset hasil tindak pidana adalah tidak selalu tertuju pada aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri perampasan aset dilegalisasi oleh Pasal 39 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan,
dapat
dirampas.
Sehingga,
disimpulkan
bahwa
pengembalian aset dengan perampasan dapat diterapkan dalam semua tindak pidana dalam KUHP khususnya kejahatan terhadap benda42.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and decision injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menyebutkan the term is often applied also to 41
Sebagaimana yang disampaikan oleh Chandra M. Hamzah dalam Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011. 42
Yang termasuk dalam kejahatan terhadap benda dalam KUHP terdiri dari bab XXII tentang Pencurian, Bab XXIII Tentang Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV tentang Penggelapan, Bab XXV tentang Perbuatan Curang, Bab XXVI tentang Perbutan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
19
misjudgments by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula, “Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi).” 43 Dalam praktiknya, perampasan barang tertentu dimungkinkan sebagai pengganti kerugian negara atau pidana tambahan disamping perampasan terhadap benda sitaan tersebut, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara.44 Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tindak pidana perikanan dan tindak pidana korupsi.45 Akan tetapi, dalam penulisan ini pengembalian aset hasil tindak pidana korupsilah yang akan dibahas lebih lanjut.
2. 1. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diukur bedasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan 43
Ibid.
44
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi http://www.kompas.co.id ) 45
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
20
mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi46. DR Purwaning M. Yanuar, merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu ”Sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas dan menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana maupun perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban dari hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.”47 Dari rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur penting pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu48: 1. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum 2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur perdata 3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan, dan dikembalikan kepada negara 4. Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan, dan pengembalian di dalam maupun diluar negeri 5. Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum 6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi 46
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hal. 53. 47
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 104. 48
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
21
b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak pidana lainnya c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan tindak pidana korupsi.
Gagasan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak sematamata untuk memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi perampasan aset hasil korupsi juga bertujuan sebagai tindakan preventif atau pencegahan tindak pidana korupsi. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua, dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku korupsi, maka tidak ada lagi peluang untuk menikmati hasil dari tindak pidana itu ditiadakan, setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan.
Dampak preventif dari tindakan pengembalian aset yang ketiga, yakni dengan pengembalian aset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberikan pesan yang kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset hasil tindak pidana sebagaimana doktrin ”crime does not pay”49. Hal-hal ini memperlemah keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan kejahatan.50
49 Doktrin crime does not pay ini berisi pandangan bahwa seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan dari tindakan melanggar hukum umumnya, tindakan kejahatan khususnya. Pandangan ini mengikuti tuntutan bahwa jika hukum itu mempengaruhi tingkah laki orang, maka hukum itu memberikan pesan-pesan yang koheren. 50
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 42.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
22
Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime (tindak pidana yang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci).51 Apabila aset hasil tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan tidak segera disita dan dirampas maka aset tersebut akan mudah sekali untuk dialihkan dengan pencucian uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan dirampas secepatnya, tindak pidana turunan semacam tindak pidana pencucian uang dapat diminimalisasi dan dihindari. Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi52, yang juga dapat disebut dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, merupakan konsep yang sebenarnya bukan merupakan produk baru karena sudah ada dalam perumusan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Menurut Fleming, dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi mengacu pada proses pelaku tindak pidana korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lain.53 51
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi http://www.kompas.co.id ). 52 Ibid., hal 8. Definisi aset termuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntasi Pemeirntahan paragraf 60(a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: ”Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah seagai akibat dari peristiwa masa lal dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam saham yang termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejaran dan budaya”. Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan.atau kekayaan negara yaitu ”semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. 53
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103 (seperti
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
23
2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru di Indonesia. Telah disinggung diatas bahwa secara yuridis istilah korupsi telah muncul pada tahun 1957 pada saat diundangkannya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Setelah itu, lahirlah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM08/1957 tentang Pemilikan Terhadap Harta Benda. Peraturan ini lahir untuk mengefektifkan peraturan sebelumnya. Dengan peraturan ini, Penguasa Militer berwenang untuk mengadakan pemilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya, yang kekayaannya yang diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Dengan demikian, dalam pemilikan harta benda itu memungkinkan adanya penyitaan. Selanjutnya status barang yang disita apabila tidak memiliki syarat-syarat tertentu menjadi milik negara.54
Selanjutnya, dalam Peraturan Militer No. Prt./PM-011/1957 tertanggal 1 Juli 1957, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Penguasa Militer berwenang untuk menyita dan merampas barang-barang (sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1957 tentang penilikan terhadap harta benda). Selanjutnya dalam Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/Perpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindakan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda dalam Pasal 12 ayat (1)55 dan ayat (3)56, Pasal 33 ayat (1)57, Pasal 40 ayat (2)58 dan ayat (3)59 yang dikutip dalam Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behaviour, An Economic, Taxonomy, Draft for comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal 1 ). 54
Evi Hartanti, Tindakan Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.
55
Di dalam ayat ini ditentukan bahwa Penilik Harta Benda dapat menyita harta benda seseorang atau benda apabila ia setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk salah satu rumusan termaksud dalam ayat (2). 56
Ketentuan ini menetapkan bahwaPenilik Harta Benda berhak juga menyita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan tentang harta benda seseorang atau suatu badan.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
24
mengatur mengenai penyitaan harta seseorang yang diduga didapat dari perbuatan yang tidak sah.
Tahun 1957 merupakan tahun yang cukup kritis dalam perjalanan sejarah pengisian kemerdekaan. Tahun ini berada pada periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 yang didalam sejarah politik dan kenegaraan kita merupakan periode waktu yang dinilai rawan bagi kelangsungan cita-cita kemerdekaan.60 Dalam periode tahun 1950-1959 terjadi berbagai peristiwa di berbagai bidang kehidupan yang menempatkan kehidupan negara dan pemerintahan dalam keadaan tidak stabil61. Dalam suasana yang berhubungan dengan keadaan ketatanegaraan yang tidak mantap terjadi suatu gejala sosial yang timbul dalam tubuh aparatur pemerintahan yang sangat menarik perhatian rakyat waktu itu yang kemudian menjadi terkenal yakni korupsi.62 Pada tanggal 17 April 1958 telah disahkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut nomor Prt/Z./I/7. Maksud dan tujuan dari peraturan Penguasa Perang ini adalah agar dengan peraturan Penguasa Perang tersebut di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat diberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang di waktu itu sangat merajalela
57 Ketentuan menetapkan bahwa jika seseorang dalam waktu 6 bulan setelah berlakunya peraturan penguasa perang pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib. Perbuatan korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan peraturan penguasa perang pusat disertai keterangan-keterangan atau bukti-bukti lengkap, maka perbuatan itu tidak dituntut, asal harta benda yang diperolehnya denan/karena perbuatan tersebut diserahkan kepada negara. 58 Ketentuan ini menetapakan bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas. 59
Dalam ayat ini ditentukan bahwa si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang penganti yang jumlahnya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. 60
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal. 47. 61
Ketidakstabilan anatara lain diandai dengan diadakannya tindakan-tindakan seperti dikeluarkannya Keppres RI nomor 40 tahun 1957 tertanggal 14 Maret 1957 tentang Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan Darurat Perang, disusul dengan keputusan-keputusan yang berhubungan. Dan pada gilirannya ditetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945 dan konstituante dibubarkan. 62
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal 48.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
25
sebagai akibat dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak berwibawa lagi.63
Dari perumusan diatas, terlihat bahwa korupsi dalam masa penguasa militer mempunyai tafsiran yang luas, sehingga meliputi pula perbuatan korupsi lainnya serta orang-orang yang secara tidak wajar mendadak menjadi kaya dan tidak mampu membuktikan asal kekayaan tersebut. Peraturan-peraturan penguasa militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa (political will) pada saat itu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun masih terdapat ketidaksempurnaan dalam perumusan peraturan tersebut, tetapi paling tidak Peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang berharga untuk disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-undang tentang pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.64
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pertama disahkan yaitu Nomor 3 tahun 1971, yaitu tepatnya pada tanggal 29 Maret 1971 juga telah mengatur mengenai konsep pengembalian aset hasil korupsi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 yang mengatur bahwa : a. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan; b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan tak berwujud yang termaksud perusahaan siterhukum, di mana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan 63
Ibid., hal 55.
64
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
26
itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini. c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.
Pasal ini merupakan perluasan dari pidana tambahan yang diatur dalam KUHP. Pengaturannya dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari upaya pengembalian kerugian uang negara yang hilang. Banyak yang mengatakan bahwa proses pengusutan dan pemeriksaan atas tindak pidana korupsi sangat berlebihan dan rawan atas pelanggaran hak asasi manusia. Menyangkut hal ini, J. E Sahetapy mengemukakan bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sifatnya eksepsional dan penyimpangan dalam acara pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan dari hukum acara pidana yang berlaku tentu diharapkan dapat menutup semua lubang bagi lolosnya para koruptor di Indonesia.65
Seiring perkembangan kebutuhan hukum dan aspirasi masyarakat, menghendaki penegakan di bidang hukum semakin ditingkatkan sehingga tercapai pemerintahan yang baik dan bersih. Pada masa sekarang, korupsi tidak hanya dianggap sebagai masalah suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah transnasional atau lintas batas teritorial. Disamping itu, korupsi merupakan ”core crime”, yaitu kejahatan yang merupakan tindak pidana pokok yang berkaitan dengan tindak pidana lain.66 Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong disusun dan dikeluarkannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang baru yaitu UndangUndang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan ini berusaha mempertahankan ide hendak menindak orang-orang yang melakukan perbuatan yang tidak merupakan suatu tindak pidana tetapi dianggap 65 Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984) hal, 120 (hal tersebut dikutip dalam J. E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal 48). 66 Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan UndangUndang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Dept. Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000), hal 41.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
27
bertentangan dengan rasa kewajaran, ialah perbuatan tercela. Yang terakhir ini disebut ”perbuatan korupsi lainnya”. Sanksi terhadap perbuatan ini tidak berupa pidana melainkan perampasan harta benda hasil perbuatan tersebut oleh Pengadilan Tinggi.67 Tindakan-tindakan penguasa yang demikian ini hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan darurat.
Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang – Undang No. 3 Tahun 1971. Tidak banyak hal mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berubah setelah berlakunya UU No 31 Tahun 1999, yang akhirnya pun disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi didalam Pasal 2 dan Pasal 3 ialah adanya kerugian keuangan Negara/perekonomian negara. Konseksuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara yang menjerakan (deterrence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.68 Hal ini menandakan bahwa konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi pun telah dikenal sejak tahun 1958 walaupun konsep perampasan aset ini belum merupakan suatu bentuk pidana melainkan masih menggunakan hukum acara perdata.
Menurut kedua Undang-Undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut 67 Dalam peraturan ini muncul kewenangan Pengadilan Tinggi yang dalam memeriksa perkara harta-benda berpedoman kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri (pasal 12). Sebenarnya tindakan terhadap perbuatan tercela adalah benar-benar merupakan tindakan yang luar biasa, yang hanya dapat dibearkan dalam keadaan yang luar biasa pula. 68
Soemarno, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
28
agar dirampas oleh Hakim untuk negara. Selain terhadap barang sitaan, Undangundang Korupsi juga mengatur mengenai pidana tambahan salah satunya pembayaran uang pengganti sebagai bagian dari pengembalian kerugian negara.
2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam UNCAC Upaya Indonesia dalam memerangi tindak pidana korupsi dan mengembalikan kerugian yang diakibatkan olehnya tidak hanya melalui instrumen nasional. Instrumen internasional juga telah Indonesia gunakan dalam rangkaian penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. Salah satu instrumen internasional yang sangat menonjol dan merupakan terobosan dalam masalah pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006. Ratifikasi tersebut secara politis telah menempatkan Indonesia sebaga salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai salah satu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.69 Hal ini pula membuat Indonesia sebagai salah satu harapan untuk dapat dijadikan sebagai contoh bagi negara-negara lain di Asia, khususnya bagi negara yang kurang kooperatif dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, disamping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan tindak pidana secara global.70
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 adalah instrumen global pertama yang dirancang untuk memerangi tindak pidana korupsi dan untuk memberikan pesan yang sangat kuat tentang adanya kesepakatan global dalam memberantas korupsi. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 merupakan kulminasi dan perkembangan alamiah dari sejumlah instrumen 69
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 3. 70
Ibid., hal 6
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
29
instrumen hukum anti korupsi dalam skala lebih kecil.71 Pada UNCAC 2003 pendekatan bersifat restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam BAB V Pasal 51 s.d. Pasal 59 tentang Pengembalian Aset (Asset Recovery) merupakan prinsip mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. Terobosan besar dari UNCAC 2003 mengenai Pengembalian Aset yang meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 UNCAC 2003), sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan (Pasal 55 UNCAC 2003).72
Konvensi yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc. Adopsi atas konvensi ini merupakan babak baru dalam pemberantasan korupsi secara internasional, dan juga merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam pengembangan studi hukum mengenai korupsi dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan transnasional, bukan lagi semata masalah nasional masing-masing negara.73 Pengembalian aset sendiri diatur khusus dalam Bab V konvensi ini, sedangkan prinsip-prinsip yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dicantumkan pada Pasal 31 tentang Freezing, Seizing dan Confiscation. Relevan dengan masalah tersebut ditegaskan tentang pentingnya kriminalisasi pencucian uang seperti tercantum pada pasal 14, karena bagaimanapun dalam rangka pengembalian aset harus melalui upaya penelusuran aset (tracing asset) yang dalam hal ini berarti berbicara mengenai proses aliran dana hasil kejahatan 71
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal 15. (Dalam Catham House, The UN Convention Against Corruption: A Summary of dscussion at the International Law Programme, Discussion Group at Catham House, 27th September 2005). 72 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 30 73
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di Indonesia, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2008). Dalam Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
30
yang juga berarti terjadi pencucian uang. Dengan demikian jelas bahwa konsep kriminalisasi pencucian uang dan Asset Recovery adalah suatu pesan yang sangat penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi.74
Secara internasional, konsep pengembalian aset juga telah dikumandangkan dalam ”The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative” oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank Group (WBG). Konsep StAR Initiative ini merupakan cara untuk mencapai tujuan dari strategi dari WBG yang mengutamakan
pemberian
bantuan
kepada
negara
berkembang
dalam
pengembalian aset curian. Kerangka hukum internasional dari StAR ini telah dituangkan dalam United Natitons Convention Against Corruption, kesepakatan pertama mengenai gerakan antikorupsi secara global, yang mulai berlaku secara sah pada Desember 2005.75 Tahun 2007, International Monetary Fund (IMF)World Bank Spring Meeting, pada pengenalan konsep StAR Initiative, para perwakilan dari negara berkembang dan negara maju memberikan tanggapan dan dukungan yang sangat kuat atas konsep pengembalian aset ini. Kesepakatan yang didapat dari rapat tersebut adalah para peserta rapat setuju bahwa konsep pengembalian aset harus dijadikan salah satu tahap penting dalam penegakan hukum (khususnya dalam tindak pidana korupsi). Memang kerjasama internasional dalam penegakan perampasan aset tindak pidana merupakan kunci sukses dan ajang penyampaian maksud mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam pengertian ini, StAR digambarkan sebagai benang merah dalam upaya penegakan anti-korupsi yang efektif. Dengan mengecam dan memperingati para pejabat negara yang korup bahwa aset yang mereka curi akan dilacak keberadaannya, diambil, disita, dan dikembalikan kepada negara korban, StAR akan menjadi suatu suatu ancaman dan akan membuat jera para koruptor.76
74 Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 4 (Desember 2004), hal, 629-642 75
UNODC, World Bank Group, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunity, and Action Plan, (Washington: 2007), hal. 2. 76
Ibid., hal. 3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
31
Melihat bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu isu global dalam hal penegakan hukum, sangat penting apabila kita membahas mengenai otoritas pemerintah dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, khususnya di Indonesia. Omar Swartz77 mengemukakan teori pengembalian aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individuindividu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini, Donald W. Potter78 menyebut public goods yang dibicarakan Swartz dengan istilah political goods dalam menjelaskan tanggung jawab negara. Menurut Potter, tanggung jawab negara-negara adalah untuk memberikan political goods seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, kesempatan ekonomi, pemerintah yang baik, hukum dan pemerintah, dan keperluan-keperluan infrastruktur dasar (transport dan komunikasi). Negara-negara dianggap gagal ketika tidak ada lagi kemauan atau kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.79
Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini disebut white collar crime80 atau kejahatan kerah putih.81 Tidak 77 Omar Swartz, On Social Justice and Political Struggle, essay, Human Nature Review, Volume 4, 15 Agustus 2004, hal. 152.
78
Potter W. Donald, State Responsibility, Sovereignty, and Failed States, Referred paper presented to the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29 September-1 Oktober 2004, hal. 2. 79
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 30. 80
White collar crime atau dalam bahasa Indonesianya kejahatan kerah putih oleh Hazel Croall dalam bukunya White Collar Crime (hal. 19) dirumuskan sebagai penyalahgunaan wewenang oleh seseorang pegawai yang wewenangnya telah diberikan berdasarkan hukum. Selanjutnya ditambahkan bahwa kejahatan kerah putih adalah seputar penipuan, penggelapan, dan kejahatan lain yang biasa dilakukan pegawai atasan (high status employees).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
32
sedikit tindak pidana korupsi melibatkan pejabat negara, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merumuskan pasal-pasal yang mengkhususkan pegawai negeri sebagai subjek hukum yaitu dalam Pasal 12 huruf (a) sampai dengan huruf (i) UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001. Dalam Pasal 2 Civil Law Convention on Corruption mendefinisikan For the purpose of this Convention, "corruption" means requesting, offering, giving or accepting, directly or indirectly, a bribe or any other undue advantage or prospect thereof, which distorts the proper performance of any duty or behaviour required of the recipient of the bribe, the undue advantage or the prospect thereof. (Korupsi berarti meminta, menawarkan, memberi atau menerima baik langsung atau tidak langsung, suap atau keuntungan yang belum jatuh tempo lainnya atau prospek lainnya, yang mendistorsi kinerja yang tepat dari semua tugas atau tingkah laku yang semestinya dari penerima suap, keuntungan yang tidak semestinya atau prospek daripadanya. )82 Pelakunya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mempunyai jabatan seperti pegawai negeri dan hakim, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja atau setiap orang. Dengan syarat bahwa perbuatan yang dilakukan itu merugikan masyarakat, merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional. Oleh sebab itu, perbuatan semacam korupsi, dirasakan tidak cukup jika hanya diatur dalam KUHP saja. Sehingga korupsi dipandang sebagai tindak pidana khusus karena akibat yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu juga mengakibatkan persaingan yang tidak sehat antara seorang dengan orang lain. Dan bahaya yang paling besarnya adalah kerugian terhadap kerugian negara akibat perbuatan tersebut.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali mengakibatkan bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan 81 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hal 36. 82
Civil Law Convention on Corruption, Pasal 2.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
33
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dimitri Vlasis mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.83 Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer ke dan ditempatkan ke luar negeri84 yang dilakukan melalui pencucian uang85 yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.86
Mengingat korupsi merupakan kejahatan transnasional dan kemudahan para pelaku tindak pidana korupsi untuk menyembunyikan dan melarikan harta hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri, kerjasama internasional dalam pelaksanaan program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Untuk dapat mengakses aset negara yang dilarikan ke luar negeri diperlukan adanya yurisdiksi ekstra teritorial87 oleh pengadilan untuk memperoleh aset tersebut. Pada umumnya, hukum tersebut membolehkan pelaksanaan yurisdiksi ekstra teritorial apabila syarat tertentu telah terpenuhi, misalnya tindakan yang menimbulkan perampasan timbul dalam yurisdiksi 83
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40. 84
Ibid., Hal tersebut disampaikan dalam Dimitri Vlasis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, hal 118. 85
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dan menurut pasal 1 angka 1 huruf (a), aset hasil tindak pidana korupsi merupakan aset yang biasanya digunakan dalam pencucian uang. 86
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40. 87 Yurisdiksi ekstra teritorial adalah kemampuan pengadilan untuk memberlakukan yurisdiksi terhadap individual atau harta benda yang berlokasi di luar batasan geografis yurisdiksi dimana pengadilan tersebut berlokasi.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
34
teritorial pengadilan dan hubungan yang telah terbentuk antara yurisdiksi dan asetnya.88 Ketentuan pengembalian aset UNCAC 2003, khususnya Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 57 menyatakan bahwa negara korban akan dapat memberlakukan yurisdiksi atas aset yang berlokasi di luar yurisdiksi fisik atas dasar putusan akhir di yurisdiksi yang meminta. Kemampuan negara korban untuk memperoleh putusan perampasan terhadap harta benda di yurisdiksi lain, dan untuk yurisdiksi dimana harta benda berlokasi untuk melaksanakan putusan, sangat membantu pelaksanaan ketentuan pengembalian aset wajib yang melibatkan dana yang digelapkan sebagaimana tercakup di Pasal 57 ayat (3) huruf (a). Dengan demikian, untuk rezim pemulihan aset yang efektif, penting bagi lembaga pengadilan dari negara korban untuk memiliki wewenang untuk menjatuhkan putusan yang mempengaruhi hasil tindak pidana yang berlokasi di luar batas negara mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan pengaturan mengenai pemberlakuan yurisdiksi ekstra teritorial oleh pengadilan saja, program pengembalian aset tidak dapat berjalan dengan mulus, karena dalam kenyataan dan implementasinya di lapangan atau dalam kondisi nyata juka suatu negara tempat penyimpanan aset dari pelaku tindak pidana korupsi tidak mau mengembalikan suatu aset hasil tindak pidana, maka tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun bagi negara itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya pengembalian aset sangat bergantung pada kerja sama yang dibangun antara negara peminta (requesting 88
Lihat Undang-Undang Amerika Serikat 28, Bagian 1355 (b) (2) dan Undang-Undang Amerika Serikat 21, Bagian 853 (j) (menetapkan yurisdiksi atas harta benda “tanpa memperhatikan lokasi harta benda”). Lihat pula UU Anti Pencucian Uang 1999 (Tahiland), Bagian 6, yang melebarkan yurisdiksi di luar negeri seperti: “Siapapun yang melakukan pelanggaran tindak pidana pencucian uang, bahkan ketika pelanggaran tersebut dilakukan di luar Kerajaan, akan menerima hukuman di Kerajaan, sebagaimana dinyatakan dalam UU ini, jika: 1. Baik pelanggar merupakan warga negara Thailand atau bertempat tinggal di dalam Kerajaan 2. Peanggar adalah orang asing dan telah melakukan tindak pidana dalam Kerajaan atau bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi tindak pidana tersebut di Kerajaan, atau Pemerintah Kerajaan Thai adalah korban, atau 3. Pelanggar adalah orang asing yang tindak pidananya dianggap sebagai pelanggaran di negara tempat ia melakukan tindak pidana tersebut berdasarkan yurisdiksinya, dan bila individual tersebut muncul di Kerajaan dan tidak diekstradiksi berdasarkan UU ekstradiksi, Bagian 10 dari Undang-Undang Penal juga akan berlaku mutatis mutandis. (Sebagaimana disampaikan dalam Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 98).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
35
state) yang jadi negara korban dengan negara yang diminta (requested state) yang jadi negara penyimpan aset. Kerjasama itu dalam bentuk instrumen hukum, diantaranya Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance.89
Mutual Legal Assistance merupakan suatu alat yang digunakan dan dibutuhkan untuk mengurus
masalah korupsi dalam tingkat internasional. Mutual Legal
Assistance atau yang biasa diistilahkan dengan Mutual Legal Assistance on Criminal Matters (MLA) merupakan alat yang sangat penting dan perlu sekali guna menghimpun para korban dan aset hasil korupsi yang dibawa keluar negeri.90 Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ini dapat dilakukan bagi negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi91. Sampai saat ini, Indonesia baru memiliki empat perjanjian ekstradisi yaitu dengan Malaysia, Filipina, Thailand, dan Australia.92
Dengan adanya bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini dimungkinkan penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang menyerahkan. Prinsip dari MLA ini ialah dengan asas resiprokal (asas timbal balik) yaitu masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku kejahatan transnasional atas dasar permintaan.93 Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dibentuk karena dilatar belakangi adanya kerjasama antar negara dalam masalah pidana, sampai saat ini belum ada landasan hukumnya, meskipun sebelumnya sudah dikenal dengan lembaga ekstradisi. Sesuai dengan Undang 89 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 46. 90
Marita van Thiel, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development Bank, Asset Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific,(Disampaikan pada Proceedings of the 6th Regional Seminar on Making International Anti-Corruption Standards Operational, 2008,) hal. 39. 91
Dalam konteks hubungan antar bangsa, maka ekstradisi dipandang sebagai alat atau sarana sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan lintas anegara atau transnasional. 92
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal. 150. 93
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
36
Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang bertujuan memberikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan juga sebagai pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing.94
Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Lingkup bantuan ini, meliputi permintaan administrasi penyidikan, bantuan tindakan, upaya paksa, pembekuan aset kekayaan, dan bantuan lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini tidak memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, melakukan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan orang, dengan maksud untuk kepentingan ekstradisi atau penyerahan orang, serta pengalihan narapidana atau pengalihan perkara. Sebagai prinsip dalam pemberian bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini, dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, sehingga apabila belum ada suatu perjanjian maka bantuan ini dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas.95
2.2 Tahap Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi bukan merupakan tindakan yang tidak legal, melainkan merupakan tindakan yang sah menurut hukum, berdasarkan hukum dan dilakukan oleh pihak yang berwenang menurut hukum. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terdapat beberapa pihak/intansi yang berperan dalam penyitaan-penyimpanan-perampasan. Para pihak tersebut berperan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran 94
Ibid.
95
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
37
hasil pelelangan ke kas negara. Adapun para pihak yang berwenang adalah sebagai berikut:96 1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan 2) Penuntut Umum adalah pihak yang bertanggungjawab dalam proses pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita terkait perkara. 3) Hakim adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Hakim jug amerupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara dipidana atau tidak dan memutuskan suatu benda yang telah disita sebelumnya dirampas atau tidak. 4) Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, yaitu proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan. 5) Jasa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya ke kas negara.
Dalam Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, Muhammad Yusuf, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan bahwa Dalam proses penyidikan, proses penyitaan dan perampasan aset, pihak yang berwenang untuk melakukannya harus berbeda. Penyidik hanya berwenang melakukan penyidikan dengan mencari bukti-bukti tindak 96
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pisana Tertentu, (Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 17.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
38
pidana yang mendukung unsur-unsur pidana yang disangkakan kepada tersangka. Penyidik tidak perlu ikut melakukan penyitaan, karena penyidik sudah disibukkan dengan tahap penyidikan. Pihak yang berwenang untuk melakukan penyitaan seharusnya adalah tim pelacak aset (asset tracing team), yang dimana tim ini sebaiknya merupakan tim independen semacam Satuan Tugas (Satgas). Masalah kewenangan semacam ini harus dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.97 Pendapat beliau ini senada dengan apa yang diatur dalam Rancangan UndangUndang Perampasan Aset98 Pasal 5 yang menyebutkan bahwa dalam tahap penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, dapat dibentuk satuan tugas gabungan yang anggotanya terdiri dari instansi-instansi terkait.
Mengenai tindak pidana pencucian uang yang sangat dekat dengan tindak pidana korupsi, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamantkan pembentukan badan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga sentral untuk mengoordinasikan pelaksanaan Undang-Undang TPPU. Lembaga yang berdiri tanggal 17 Oktober 2003 ini, berdasarkan Undang-Undang TPPU dan Keppres No. 82 tahun 2003 berwenang melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan dapat melakukan kerja sama dengan pihak terkait ada tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, PPATK telah menjalin kerjasama yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) dengan Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktoral Jenderal Bea dan Cukai, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bapepam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung RI, Departemen Kehutanan dan CIFO (Center for International
Forestry
Research)
yang
merupakan
lembaga
penelitian
97
Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011. 98
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ini merupakan salah satu Program Legislasi Nasional Tahun 2008 sebagai salah satu prioritas RUU yang akan dibahas. Sayangnya sampai akhir tahun 2009 ini RUU tersebut belum masuk prioritas yang dibahas di DPR Periode 20042009, dan hingga saat ini, tahun 2011, pemerintah juga masih terus membahas RUU tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsiberikut instrumen yang digunakan pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukumnya.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
39
internasional di bidang kehutanan. Kerjasama tersebut merupakan informasi, pertukaran pegawai, capacity building, dan hal-hal yang terkit dengan rezim anti pencucian uang di Indonesia99
Mengenai pengenaan perampasan, barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 1)
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebelumnya100
2)
Jika seseorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia
yang
memasukkan,
tertentu,
mengeluarkan,
aturan-aturan dan
mengenai
meneruskan
larangan
pengangkutan
barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu. 101 3)
Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak dibayar.102
4)
Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.103
99
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 70. 100
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 39.
101
Ibid., Pasal 40.
102
Ibid., Pasal 41.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
40
Substansi sistem hukum sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui empat tahap yang terdiri dari: 104 1)
Pelacakan aset untuk melacak aset;
2)
Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan;
3)
Penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap
4)
Yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah.
Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak pidana korupsi dnegan memvonis pelaku dengan hukuman seberat-beratnya. Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai lembaga negara juga harus difasilitasi dengan bantuan intelejen keuangan.105
Tahap pertama dari rangakaian proses perampasan aset hasil tindak pidana korupsi adalah tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John Conyngham, otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut
103 Ibid., Pasal 42. 104
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 206. 105 Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 9.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
41
bermitra dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi.106 Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.107
Tahap kedua investigasi
adalah tahap pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan
dalam melacak
memungkinkan
pelaksanaan
aset-aset yang tahap
diperoleh
pengembalian
secara
aset
tidak
berikutnya,
sah yaitu
pembekuan atau perampasan aset.108 Menurut United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, pembekuan atau perampasan berarti larangan sentara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh dibawah perwalian atau dibawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya.109 Mengingat tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan transnasional atau tidak jarang terjadi melibatkan atau antara negara lain karena aset hasil korupsi disimpan di negara lain, maka kerjasama antar negara dalam proses perampasan aset sangat perlu diperhatikan. Jika aset-aset yang dikorupsi berada di luar yurisdiksi negara korban110, maka pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari negara penerima111.
106 Ibid., (Dalam John Conyngham, Esq, Recovering Director’s Plunder, Testimony of John Conyngham Esq., Global Director of Investigations, Control Risks Group Limited Before the Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Consumer Credit US House Representatives, 9 May 2002, hal. 2) 107
Ibid.
108
Ibid., hal 211.
109
Ibid., ( Sebagaimana tercantum dalam United Nation Convention Against Corruption 2003 Pasal 1 ayat 2 huruf (f)). 110
Negara korban merupakan negara dimana seorang koruptor melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. 111
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 211.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
42
Ada dua kemungkinan cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan dari negara korban dalam yuridiksi hukum negara penerima112. Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan. Salah satu syarat penting untuk melakukan perampasan oleh badan yang berwenang di negara penerima adalah bahwa aset-aset tersebut merupakan objek dari perintah penyitaan. Dengan kata lain, pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut merupakan pengamanan sebelum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat dilakukan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban.113
Tahap ketiga adalah tahap penyitaan aset-aset. Penyitaan merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Biasanya perintah penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana.114 Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan.115 Tahap penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang menetapkan bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang tidak berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana, khususnya. Prinsip ini mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk mempengaruhi tingkah laku orang, hukum itu harus menyampaikan pesan-pesan yang koheren. Pesan-pesan itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi berusaha untuk mencegah bentuk 112
Negara penerima merupakan negara dimana para koruptor di negara korban mengamankan hasil dari tindak pidana korupsinya. 113
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 215. 114
115
Ibid. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Pasal 54 (1)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
43
khusus tingkah laku, tetapi pada sisi yang lain membiarkan seseorang yang melakukan bentuk khusus tingkah laku yang berusaha dicegah tersebut, mendapatkan keuntungan. 116 Dengan demikian tindakan penyitaan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi dibenarkan dengan landasan pemikiran bahwa hukum pidana harus tetap komit untuk tidak memberikan keuntungan kepada pelaku tindak pidana.
Setiap dugaan korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan harus disita terlebih dahulu, hal ini merupakan tindakan pengamanan agar aset hasil korupsi tersebut tidak dibawa pergi atau disembunyikan oleh pelaku. Aset hasil korupsi harus disita terlebih dahulu agar kemudian setelah putusan bersalah oleh Hakim telah berkekuatan hukum tetap, aset hasil tindak pidana korupsi yang disita dapat dikembalikan kepada Negara.117 Tahap penyitaan merupakan tahap yang paling penting dalam rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka sidang pengadilan, karena tanpa adanya barang bukti, perkara sulit diajukan ke hadapan sidang pengadilan. Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H mengemukakan bahwa alangkah baiknya bila penyidik sebelum melakukan penyidikannya, terlebih dahulu melakukan pengamatan yang seksama atas semua kekayaan calon tersangka. Pada saat disidik langsung secepatnya kekayaan disita untuk menghindari pengalihan kekayaan kepada pihak ketiga. Jadi, yang terpenting ialah menyita kekayaan yang ada, bukan hanya menghitung berapa jumlah yang dikorup dan nanti jumlah itu diwajibkan baginya untuk membayar kembali kepada negara.118
Tahap keempat dari rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau 116 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 218. 117 Chandra M. Hamzah. Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.
118
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. 54.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
44
negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian aset-aset, baik negara penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan tindakan lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut. Kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian aset-aset yang dibekukan dan disita, sehingga pada umumnya masalah pembagian aset-aset yang diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban dengan negara penerima.119 Tahap penyitaan sebelum adanya pengembalian aset tindak pidana korupsi adalah sangat penting adanya, karena tanpa adanya penyitaan terlebih dahulu atas aset dugaan hasil korupsi, maka aset tersebut tidak dapat diambil oleh negara sebagai. Hal ini didasarkan pada Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengamanatkan bahwa hanya harta yang telah disita sebelumnya saja yang dapat dirampas oleh negara. Penting untuk diperhatikan bahwa dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya pengembalian aset dari terangka, terdakwa dan terpidana korupsi (dan juga kejahatan lain) terutama jika asetnya berada di luar negeri maka seharusnya putusan pengadilan memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas dan detail tentang benuk kebendaan dan lokasinya serta dalam penguasaan atau pemilikan siapa.
Tugas dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Teori keadilan sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset oleh negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi, yaitu: 120 a) Alasan pencegahan (prohylactic) yaitu untuk mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara 119
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 233. 120 Ibid., hal 101 (Dalam Michael Levi, Tracing and recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hal 17) Michael Levi adalah seorang Professor Kriminologi dari Cardiff University, Wales, UK.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
45
tidak sah atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang; b) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah tersebut; c) Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana; d) Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan isu yang sangat penting dalam penegakan hukum. Hal ini dikarenakan pencurian aset negara di negarabegara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara bersangkutan merupakan masalah serius.121
Secara umum ada dua jenis pengembalian aset hasil tindak pidana yang diterapkan secara internasional untuk memulihkan hasil dan instrumentalitas122 tindak kejahatan: Perampasan Aset NCB (Non-Conviction Based)123 dan perampasan kejahatan.124 Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni perampasan oleh negara atas hasil dan instrumentalitas tindak kejahatan. Keduanya memiliki rasional dua sisi yang sama. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan haram jangan dibiarkan mengambil manfaat dari tindak kejahatannya. Hasilnya harus disita dan digunakan untuk memberi kompensasi kepada korban, baik yang 121
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 2. 122
“Instrumentalitas” merupakan aset yang digunakan untuk memudahkan tindakejahatan, seperti mobil atau kapal yang digunakan untuk mengangkat narkoba. 123
Perampasan NCB merupakan perampasan tanpa pemidanaan sebagai alat pemulihan
aset. 124 Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
46
merupakan negara maupun yang individu. Kedua, kegiatan haram harus dicegah. Meniadakan keuntungan ekonomis dari tindak kejahatan akan mengecilkan niat untuk
melakukan
tindak
kejahatan
di
tingkat
pertama.
Perampasan
instrumentalitas memastikan bahwa aset demikian tidak akan digunakan untuk tujuan kejahatan selanjutnya; serta merupakan suatu pencegahan.125
Dalam pengembalian aset secara NCB, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan pidana atas tindak pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu kepada asas non-conviction based yang digunakan dalam pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture), dimana tuduhan secara pidana atau putusan pidana tidak diperlukan dan yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah terhadap bendanya (in rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.
Disamping itu, jenis lain dari pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berupa perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu tindakan
terhadap
seseorang.
Ini
memerlukan
pengadilan
pidana
dan
penghukumanm dan seringkali merupakan bagian dari proses penghukuman. Beberapa yurisdiksi menerapkan standar bukti yang lebih rendah untuk proses perampasan dibandingkan untuk proses bagian tindak kejahatannya. Meskipun demikian, pada intinya putusan pidana bersalah harus dijatuhkan terlebih dahulu baru aset dapat dikembalikan kepada negara. Sistem perampasan kejahatan dapat berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib membuktikan bahwa aset-aset yang dipermaslahkan merupakan hasil dari atau instrumentalitas (aset yang digunakan untuk memudahkan melakukan tindak kejahatan) tindak kejahatan tersebut.
Berbicara mengenai perampasan kejahatan atau perampasan dalam konsep pidana, secara ekstrim bahkan disebutkan bahwa sistem perampasan kejahatan dapat berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib membuktikan bahwa aset-aset yang dipermasalahkan merupakan hasil dari atau 125
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
47
instrumentalitas tindak pidana tersebut. Sebagai alternatif, dapat juga merupakan rezim yang berdasarkan nilai, yang mengizinkan perampasan senilai manfaat pelaku pelanggaran dari tidak pidana tersebut, tanpa membuktikan hubungan antara tindak kejahatan dan objek harta benda tersebut.126
Bila dikaitkan dengan jenis-jenis perampasan yang disebutkan oleh StAR sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf diatas, konsep perampasan yang akan dipakai dalam tulisan ini adalah jenis perampasan kejahatan atau pengembalian aset secara pidana. Perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu tindakan terhadap seseorang (sebagai contoh, Negara melawan John Smith). Ini memerlukan pengadilan pidana dan penghukuman, dan seringkali merupakan bagian dari proses penghukuman.127 Pada tindak pidana korupsi, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.128
Dalam praktek pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Eropa, Mayoritas negara-negaranya memiliki sistem yang memperbolehkan penyitaan untuk kekayaan tertentu atau barang-barang senilai dengan hasil kejahatan; dengan catatan bahwa untuk penyitaan hasil tindak pidana yang serius memerlukan pemidanaan sebelum penyitaan (meskipun ada pengecualian di beberapa negara); memerlukan standar pembuktian pidana (pengecualian termasuk Irlandia dan Inggris di mana standar perdata yang diterapkan).129 Karena itu, menurut Kaisa 126
Ibid.
127
Ibid.
128
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1). 129
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 225 (Dalam
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
48
Hakkinen130, di Eropa, penyitaan terutama dilaksanakan dalam proses pidana. Dalam hal itu, asas legalitas memberikan limitasi untuk kegunaan penyitaan. Penyitaan hanya dimungkinkan dan hanya apabila dinyatakan dalam hukum. Penyitaan di negara Eropa umumnya mengharuskan adanya hubungan antara tindak pidana dengan kekayaan yang disita. Kaissa Hakkinen mengemukakan tiga tujuan dari penyitaan, yaitu131: 1) Pelaku tindak pidana tidak boleh menikmati keuntungan atas tindak pidana yang dilakukannya. Penyitaan dimaksudkan untuk menyingkirkan keuntungan-keuntungan keuangan dari tindak pidana tersebut 2) Untuk mencegah diinventarisasikannya hasil yang diperoleh tidak sah ke dalam tindak pidana-tindak pidana baru. Maksudnya untuk mencegah hasil yang diperoleh secara tidak sah tersebut ditemukan kembali dalam kegiatan-kegiatan yang tidak sah. Dengan menyita hasil yang diperoleh secara tidak sah tersebut masyarakat yakin bahwa keuntungan-keuntungan yang tidak sah dari kejahatan tidak akan ditemukan kembali dalam kegiatan-kegiatan yang sah. 3) Mencegah sebuah firma mendapatkan keuntungan-keuntungan kompetitif yang tidak berdasarkan hukum. Dengan menyita hasil yang diperoleh secara tidak sah mungkin akan memindahkan keuntungan-keuntungan yang tidak jujur yang telah diperoleh firma tersebut atas pesaingpesaingnya.
Sekarang ini bukan saatnya lagi penegakan hukum yang bersifat offendersoriented, melainkan penegakan hukum juga harus memperhatikan dan memperjuangkan hak korban. Korupsi sebagai tindak pidana yang mengakibatkan Council of Europe 2001: Confiscation of Proceeds from Crime in South-Eastern Europe. Project PACO Proceeds. http://www.coe.int/T/E/Legalaffairs/Legal_cooperation/Combating_economic_crime/programme_ PACO )) 130 Ibid., hal 225. (Dalam Kaisa Hakkinen, Law and Economic Analysis of Confiscating the Proceeds of a Crime, A paper presented in the purpose to analyse economic effects and legal aspects of confiscation of the benefit of a crime, University of Joensuu, Department of Business and Economics, Routsalisenraitti 7 B, FIN-53850 Lappeeranta, Finland) 131
Ibid., hal 228
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
49
kerugian yang sangat besar dan korban yang masif harus memiliki penegakan hukum dan strategi pemberantasan yang ampuh dan dapat mengembalikan kerugian semaksimal mungkin kepada korbannya. Negara sebagai pihak yang paling dirugikan oleh tindak pidana korupsi harus mengupayakan pengembalian aset yang telah dikorupsi, terlebih aset yang dialihkan atau disimpan diluar negeri. Negara harus menggalakan pola pikir profit-oriented terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi, yakni pemberantasan tindak pidana yang berorientasi kepada penyitaan hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dan dikuasai para pelaku tindak pidana. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan, tetapi pada aset hasil tindak pidana. Untuk mencapai tujuan tersebut, alangkah baiknya bila kita membahas mengenai pemahaman konsep pengembalian aset itu sendiri. Karena tindak pidana korupsi dan pengembalian aset tindak pidana korupsi sebagai salah satu pemulihan kerugian negara adalah satu rangkaian yang jangan sampai terpisahkan.
2.3 PROGRAM PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI BEBERAPA NEGARA Dalam pembahasan mengenai program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, ada baiknya bila pembahasan mengenai program perampasan aset di negara lain juga dibahas sebagai pembanding dan pembelajaran. Brtani Raya dan Thailand, dua negara yang akan dibahas dalam tulisan ini mengenai program perampasan asetnya merupakan negara-negara yang telah serius melakukan upaya perampasan aset. Keseriusan mereka telah tergambar dengan telah dimilikinya undang-undang mengenai perampasan aset, juga telah adanya badan khusus pengembalian aset hasil tindak pidana. 2. 3. 1 Britania Raya Pada umumnya, peradilan pidana melibatkan negara dalam menentukan kondisikondisi tertentu yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman kepada seseorang pejabat negara yang melakukan suatu tindak pidana. Kondisi-kondisi yang dimaksud ini meliputi empat karakteristik, yang diantaranya adalah pertama, tindak pidana tersebut merupakan perbuatan-perbuatan pidana yang masih belum dapat dibuktikan atau masih berupa dugaan dan bukan merupakan kejahatan-
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
50
kejahatan pada umumnya. Kedua yaitu pada saat ditemukan adanya bukti-bukti yang ternyata tidak sah, berkenaan dengan standar bukti yang ada dalam persyaratan penting dalam nilai-nilai sebagai prasyarat untuk dapat diterima. Ketiga, adanya hak non-self incrimination132. Keadaan keempat, sebagai puncaknya yaitu mengenakan sanksi publik sebagai tentangan atas pemberian pemulihan pribadi terhadap pelaku.133
Pada saat merumuskan keempat poin tersebut, pemikiran bahwa ”seseorang yang diputus tidak bersalah dapat didakwakan lagi atas tindak pidana yang sama” (yang merupakan penyimpangan asas ne bis in idem) kemungkinan dapat dijadikan poin kelima dari rangkaian pemikiran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dianggap sebagai aksi keberatan atau justifikasi dari ketidaktelitian penyidik dalam menemukan unsur tindak pidana dan penuntut umum dalam membuktikan bahwa seseorang bersalah sehingga ia berhasil lolos dengan diputus bebas.134
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penyitaan secara pidana atau yang disebut dengan ”criminal forfeiture”, maupun pengembalian aset curian secara perdata atau yang dalam istilah di Inggris disebut dengan ”civil confiscation”, merupakan tindakan untuk mematahkan prinsip dasar dari Sistem Peradilan yaitu prinsip perlindungan terhadap hak tersangka. Dalam tahap penyitaan aset hasil tindak pidana, hal pertama yang penting untuk diingat adalah kita dapat melaporkan seseorang yang secara tidak lazim (hasil tindak pidana atau dimiliki secara melawan hukum) memiliki aset yang cukup banyak , meskipun laporan itu hanya berdasarkan dugaan awal dan belum ada bukti mendukung. Tim pelacak aset hasil 132
Luhut M. P Pangaribuan, Non-Self Incrimination, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/07/KL/mbm.19990607.KL95204.id.html, diunduh pada 8 Juli 2011. Prinsip non-self incrimination bermakna bahwa larangan seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu 133
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 21-22. 134
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
51
tindak pidana pun dapat menyita aset yang diduga hasil tindak pidana walaupun belum ada dakwaan tertentu dari penuntut umum. Dalam civil confiscation, negara hanya boleh menyatakan bahwa seseorang mendapatkan harta tersebut adalah hasil dari perbuatan tidak sah atau perbuatan melawan hukum hanya kepada seseorang yang memegang hak milik atas harta tersebut. Sedangkan dalam criminal confiscation, tidak penting siapa pemilik dari aset tersebut, karena ”pelaku pidana” itu sendiri merupakan orang yang melakukan tindak pidana dan hasil dari tindak pidana tersebut adalah tidak sah, sampai ia dapat membuktikan sebaliknya.135
Hal kedua yaitu, keistimewaan dari penegakan hukum dalam pengembalian aset hasil tindak pidana ini adalah semua pihak yang terkait dengan harta tersebut diwajibkan (dan dengan paksaan) untuk memberikan informasi dan keterangan dalam tahap penyidikan atau dalam tahap civil confiscation. Hal ini disebut istimewa, mengingat dalam Sistem Peradilan biasa yaitu larangan secara mutlak untuk hanya dapat bertumpu pada seorang saksi atas kesaksiannya yang secara terpaksa, kecali dalam penuntutan untuk sumpah palsu atau sebagai bukti bantahan dalam peradilan pidana. Ketiga, kebutuhan untuk menunjuk saksi-saksi yang kuat dan meyakinkan untuk membuktikan persangkaan-persangkaan yang telah dilemparkan sebelumnya, sebisa mungin harus dihadirkan. Penggunaan hearsay evidence harus diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak dihadirkan, karena kekuatan pembuktian yang dihasilkan oleh hearsay evidence ini tidak kuat, karena mereka tidak mengalami dan paham secara langsung mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi.
Hal keempat adalah, kebutuhan untuk pembuktian atas pernyataan persangkaan secara baik dan tidak melanggar norma apapun merupakan tugas yang sangat serius dan tidak mudah. Pembuktian ini harus benar-benar dilakukan sehingga pembuktian sampai beyond a reasonable doubt tidak perlu dilakukan. Kelima, tidak ada lagi ukuran yurisdiksi untuk memulai suatu penyitaan secara perdata dan pemilihan proses peradilan pidana mana yang akan digunakan, atau, sebagai 135
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
52
alternatif, dengan memulai proses pengembalian aset setelah proses penuntutan secara pidana tidak berhasil.
2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari Hukum Pidana Setelah mempertimbangkan karakteristik-karakteristik diatas, pengembalian aset telah merepresentasi suatu terobosan dari hukum pidana dan penegakan hukum pidana itu sendiri dengan gigih. Berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan diatas, konsep dari penyitaan aset menggambarkan bahwa sang pemilik aset tidak berhak atas hak milik harta yang didapat dari hasil tindak pidana, sehingga penguasaan atas harta tersebut tidak dalam pemilikan (eigendom) siapapun, melainkan penguasaannya (bezit) berada pada tangan negara melalui badan pengelola sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas harta tersebut. Landasan pemikiran tersebut dikemukakan oleh Jaksa Agung, Lord Goldsmith dalam Komite House of Lords.
Pusat perhatian yang paling utama dalam pengembalian aset hasil tindak pidana secara perdata adalah darimana asal aset yang dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Prinsip ini harus ditekankan untuk mengakses aset yang terikat pada tersangka pelaku kejahatan.
dalam pengembalian aset hasil tindak perdata,
pemegang aset yang telah dinyatakan hasil tindak pidana korupsi, atau lebih tepatnya pelaku tindak pidana, tidak dipertimbangkan melainkan pemegang hak milik atas aset tersebutlah yang secara hukum menjadi subjeknya.
Pertanyaan mengenai dengan cara apakah pengadilan akan melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana, dengan cara perdata ataukah dengan cara pidana adalah dibahas dengan rinci dalam Bab 7, paragraf 7 Proceeds of Crime Act (POCA) 2002. Masalah pengembalian aset yang sedang dipertaruhkan disini adalah tergantung sejauh mana perlindungan dan prosedur dari pengembalian aset itu sendiri yang sebenarnya telah diatur dalam European Convemtion on Human Right (ECHR), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) yang akan mempengaruhi pengaturan prosedur atau aturan umum dari praktek penyitaan secara perdata (civil forfeiture)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
53
maupun penyitaan secara pidana (confiscation), yang keduanya, pada prinsipnya, tidak mempengaruhi atau menjadi patokan dari tuntutan pidana di Pengadilan Negeri, juga di Pengadilan Strasbourg. Dengan demikian, apapun konsekuensi hukum
dari
ketentuan
tersebut
tindakan-tindakan
pendahuluan
tersebut
dikategorikan sebagai tindakan pencegahan utama. Mengenai hal itu, sepertinya POCA 2002 tidak dapat dilakukan begitu saja dengan cara yang umum dalam melakukan tuntutan pidana, walaupun pengecualian dari tiap kasus akan muncul. Yang menjadi perdebatan adalah, bagaimana perlindungan yang akan diberikan kepada tersangka dalam tahap pengembalian aset tersebut, terlepas dari rangkaian tindakan tersebut akan berujung pada tuntutan pidana atau tidak karena bagaimanapun perlindungan terhadap tersangka merupakan hak yang harus diperhatikan.
2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi secara Perdata Walaupun POCA 2002 ini mengatur mengenai hukum pidana di Britania Raya, tetapi hukum perdata pun masih sedikit dibicarakan dalam peraturan ini. Proceed of Crime Act (POCA) 2002 menyentuh ranah hukum perdata dalam hal pengembalian aset hasil tindak pidana dan hal tersebut membuat POCA 2002 menjadi salah satu produk hukum yang paling signifikan dan inovatif sekaligus juga kontroversial karena pada bagian 5 POCA 2002 terdapat hal baru yang diatur tentang civil recovery dari suatu tindak pidana, negara melalui Directors of the Assets Recovery Agency, dapat membawa permasalahan perdata ke pengadilan untuk memperoleh benda yang didapat secara melawan hukum.136 Dalam prakteknya penyelesaian secara perdata sering diterapkan sebagai pengganti, bahkan sebagai tambahan dari suatu proses pidana. Sistem ini diciptakan untuk mendukung tindakan-tindakan pengembalian secara hukum yang juga baru dan didalamnya terdapat 2 (dua) aspek penting yaitu pengamanan proses penuntutan
136
Ibid., hal. 235.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
54
dan penunjukkan seseorang untuk menyelidiki keadaan kasus tersebut dan melaporkan penemuannya kepada pengadilan.137
Negara-negara penganut sistem hukum Common Law telah mengenal mekanisme pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture). Sistem ini tidak lagi memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam hal perampasan aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Perbuatanperbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata telah bercampur dengan tindak pidana, demikian pula sebaliknya tindak pidana sering juga berpengaruh terhadap lingkup hukum perdata.
2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil Tindak Pidana Lembaga pada Umumnya Lembaga yang dibahas dalam bagian ini mewakili lembaga penuntut umum utama yang bertanggungjawab atas penyidikan dan membawa aset hasil tindak pidana untuk pemulihan kerugian akibat tindak pidana. Lembaga lain, seperti Otoritas Jasa Keuangan (Financial Services Authority), juga memiliki peran yang sangat penting dalam rangkaian pengembalian aset tindak pidana ini. Sebuah multilembaga baru, Satuan Tugas (Enforcement Task Force) didirikan pada akhir tahun 2002 yang mengurus kasus-kasus dibawah Criminal Jusice Act (CJA 1988) dan Drug Trafficking Act (DTA) 1994 terus beroperasi dalam kaitannya dengan kasuskasus dibawah rezim mereka. Satuan Tugas
tersebut terdiri dari pengacara-
pengacara dan pekerja sosial dari Crown Prosecution Service’s Central Confiscation Branch (CCB), Enfrorcement Section dan the Asset Forfeiture Unit (AFU) dari HM Custom and Exercise (HMCE), juga oleh penyidik keuangan dari kepolisian, the National Crime Squad dan HMCE. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah Satuan Tugas ini tidak akan berurusan dengan praktek (hukum acara) dari penegakan hukumnya, jadi hanya berurusan dengan penelusuran aset hasil tindak pidana.138 137 Ibid., hal. 236
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
55
2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Bagian 1 dari POCA 2002 mengatur mengenai Asset Recovery Agency (ARA) atau Lembaga Pengembali Aset dari fungsi umum dan kewenangan dari Ketua ARA secara garis besar. Aset Recovery Agency adalah suatu lembaga pemerintah yang independen dan non-departemen. Ketua dari ARA ditunjuk oleh dan bertanggungjawab kepada Sekretaris (Home Secretary). Seorang Wakil Ketua dari ARA bertanggungjawab atas pelaksanaan kekuasaan Ketua ARA dalam pengembalian aset di Irlandia Utara (Northern Ireland) dan ARA telah mulai beroperasi sejak Februari 2003. Lembaga ini berkantor di London dan Belfast.
Tujuan dari ARA adalah tidak lain dari berperang melawan segala tindak pidana yang mengambil aset negara. ARA memiliki empat tujuan strategis yang diantaranya: 1. Membantu mengurangi kejahatan dan jaringan penjahat perusahaan melalui perampasan aset, sehingga dengan tindakan itu dapa mengurangi efek buruk atas tindak kejahatan di masyarakat 2. Untuk mengembalikan jumlah aset sebesar kerugian negara dengan ketentuan yang telah diatur dalam aturan mengenai pengembalian aset, baik langsung ataupun dengan bantuan dari lembaga penegak hukum. 3. Memajukan peran penyidik keuangan, baik didalam ataupun diluar lembaga 4. sebagai alat untuk memerangi dan menindak kejahatan 5. Mempergunakan ARA untuk hal-hal a. Membudayakan proses penempatan aset hasil tindak pidana dan hasil sebagai fokus utama. b. Menetapkan standar yang tinggi untuk profesionalisme dan integritas kerja. c. Mendukung para pekerja baik dalam tim maupun secara individual dalam proses pengelolaan aset hasil tindak pidana. 138 The best identified by Task Force has been utilized to draw up the “National Best Practice Guide to Confiscation Order Enforcement”, published in August 2003 and available on the Home Office website (http://www.homeoffice.gov.uk).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
56
d. Membangun asas kepercayaan dengan pihak terkait lainnya. e. Memperjuangkan aset yang diambil secara tidak sah.
2.3.1.5 Fungsi ARA Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 mengatur mengenai fungsi dari ARA, yaitu:
Bagian 1 mengharuskan Ketua ARA untuk membentuk suatu sistem penyidik keuangan yang terakreditasi, memantau kinerja para pekerjanya, dan mencabut akreditasi tersebut dalam keadaan yang sepatutnya. Sebagai tambahan, Ketua ARA harus memberikan masukan dan panduan kepada Home Secretary saat diperlukan.
Bagian 2 (di Inggris dan Wales) dan Bagian 4 (Irlandia Utara) memberikan kekuasaan pada Ketua untuk melakukan permohonan penyitaan secara pidana, perintah pengendalian atau pengelolaan aset, naik banding, dan melaksanakan permohonan penyitaan.
Bagian 5, bab 2 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk melakukan tindakan perdata untuk mendapatkan aset secara perdata di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. Ada kekuatan tambahan bagi Ketua untuk melakukan tindakan demi memenuhi permohonan sementara
Bagian 6 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk menaikkan taksiran pajak terhadap seseorang atau keuntungan dari perusahaan yang layak untuk dicurigai telah menurunkan pendapatan, keuntungan atau laba dari kejahatan dan kekuasaan tersebut untuk memperluas ke Skotlandia.
Bagian 8 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk mendapatkan penyelidikan atas aset curian dan membuat surat perintah dalam penyelidikan atas penyitaan secara pidana (confiscation) dan penyitaan secara perdata (civil recovery investigations) dan untuk menerbitkan Surat Permohonan (Letter of Request) untuk penyelidikan atas penyitaan.
Bagian 11 memberikan kuasa kepada Ketua untuk membantu yurisdiksi lain dengan pengendalian permintaan pengembalian aset, menerima aset yang disita secara sementara, serta mengembalikan aset dan menyusun gugatan untuk penyelidikan eksternal. Permintaan perampasan aset di
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
57
Dewan, di bawah POCA 2002, pada awal 2004 harus sudah dilakukan untuk memberikan bantuan kepada yurisdiksi lain.
2.3.1.6 Aset yang harus dikembalikan dan aset yang terkait Sebelum munculnya pertanyaan mengenai pengelolaan aset, pengadilan harus dipuaskan oleh fakta bahwa aset yang dipertanyakan selama ini adalah aset inti yang harus dikembalikan ataukah aset yang terkait dengan aset hasil curian.139 Aset yang harus dikembalika, atau yang didalam POCA diistilahkan dengan ”recoverable properties” didefinisikan sangat sederhana, yaitu merupakan ”aset yang didapat dari perbuatan yang tidak sah”140. ’Perbuatan yang tidak sah’ merupakan salah satu perbuatan yang dikategorikan ’tidak sah’ dalam hukum pidana Britania Raya, dimana perbuatan itu dilakukan. Selain itu, apabila perbuatan tersebut dilakukan di negara lain, dan dinyatakan tidak sah baik Britania Raya maupun negara tersebut, maka POCA 2002 lah yang berlaku.141 Definisi ini menimbulkan pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana bila aset yang diperoleh secara ’tidak sah’ ini adalah untuk menentang perbuatan pidana. Selama bertanggung jawab atas Bill in the House of Commons, Bob Ainsworth, Menteri yang bertanggungjawab atas Bill tersebut mengatakan, dalam konteks istilah yang dipakai dalam POCA 2002, poin 6, tentang Pendapatan Ketua ARA,
Bagian 2 mengacu pada hal-hal yang akan dihadapi dalam pengadilan pidana, sehingga terminologi yang akan dipakai adalah seputar sistem peradilan pidana. Sementara itu, Bagian 5 adalah mengatur hal-hal yang akan dihadapi dalam pengadilan perdata, sehingga yang perlu diperhatian adalah penggunaan terminologi juga harus disesuaikan dengan sistem peradilan perdata. Perlu diingat, sebenarnya apakah ini akan menjadi lingkup pidana atau perdata, hal itu bukan hal
139
POCA 2002, s 246(4)-(5)
140
Ibid., s 304(1)
141
Ibid., s 241(2). Ekstra-teritorial dibahas lebih lanjut dalam, paragraf 5.78-80
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
58
yang penting untuk dibahas, melainkan pengembalian aset hasil tindak pidana harus terwujud.142
Banyak sekali pembahasan mengenai masalah pengembalian aset dan pembahasan ini berpotensi untuk melahirkan pendekatan yang membingungkan. Menurut konstruksi hukum pada umumnya, pada saat Parlemen menggunakan istilah yang berbeda didalam suatu peraturan maka itu dianggap hal yang berbeda. Bagian ini akan selanjutnya akan menjelaskan tentang maksud dibalik terminologi yang digunakan dalam POCA 2002 adalah untuk mengaitkan susunan kata dengan yurisdiksi dari perbuatan tersebut dilakukan. Akan tetapi, sudah sangat mantap bahwa karakterisasi dari proses pengembalian aset, baik secara pidana maupun perdata yang tunduk pada pasal 6 dari European Convention on Human Right tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa melihat substansi dari situasi aslinya. Oleh karena itu, bila POCA 2002 menciptakan aturan pidana secara substansif yang dapat diaplikasikan dalam keadaan langsung dan kategorisasi perbuatan kejahatan itu sendiri dalam Konvensi. Akan tetapi pemilihan istilah yang terkesan selektif ini tidak menghalangi pelaksanaan pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) POCA 2002 dalam hal perlindungan hukum.
Dalam pengembalian aset curian secara pidana, bukan merupakan hal yang penting bila tersangka merupakan pemilik sah dari aset tersebut. Hal ini didasarkan pada pemikiran selama harta tersebut dihasilkan dari sebuah tindak pidana, maka tahap pengembalian aset tersebut dapat ditelusuri mulai dari pemilik baru yang notabene secara sah mendapatkan hak milik aset tersebut sampai pemilik awal yaitu pelaku tindak pidana. Aset curian akan dapat ditelusuri selama ada rantai atau kaitan yang jelas atas kepemiikan aset tersebut yang mengarah kembali kepada pelaku predicate crime.143 Namun demikian apabila pemilik baru mendapatkan harta tersebut dengan cara yang sah dan itikad baik serta tanpa pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana, 142
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 150-151 143
Proceeds of Crime Act (POCA) 2002, Pasal 304 (3)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
59
kemungkinan besar barang tersebut tidak dapat diakses atau dieksekusi144. Hal tersebut menegaskan bahwa penelusuran aset hasil tindak pidana pun memiliki limitasi dalam penelusuran dan pengembalian aset, bahkan pengaturan ini berada dalam Bab ’General Exception’ atau pengecualian dalam POCA 2002. Akan tetapi, pada saat aset tidak dapat di eksekusi, itikad baik berupa partisipasi dari si pemilik sah yang baru dari aset hasil tindak pidana merupakan modal utama dalam proses penelusuran aset, selama ia mewakili aset tersebut145. Konsep ini sangat mirip dengan konsep common law dimana pelapor dapat mengklaim harta milik tersangka selama ia dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa harta tersebut didapat dari perbuatan yang tidak sah atau dari kejahatan. Oleh karena itu, kapanpun tersangka telah melepas haknya atas harta curian dan kemudian ia mendapatkan harta lain yang belum tentu ia dapatkan dari kejahatan, maka harta yang disebutkan terakhir ini dapat dieksekusi dan dikembalikan sebagai perwakilan atau simbol dari aset hasil kejahatannya.
146
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengembalian aset dalam konsep ini tidak terlalu mementingkan asas ’follow the money’, tetapi ’follow the transaction.
2.3.2 Thailand Tidak berbeda dengan kondisi di Indonesia, pencucian uang pun merupakan momok besar bagi Pemerintah Thailand selama berpuluh-puluh tahun. Oleh karena kekhawatiran terhadap perkembangan kejahatan terorganisasi lintas negara yang dapat mengancam stabilitas dan kemakmuran dari negara, maka Pemerintah Thailand mengundangkan Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999 (AMLA)147, kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) untuk 144
Ibid., Pasal 308 (1)
145
Ibid., Pasal 308 (10)
146
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 152. (Lihat Goff dan Jones The Law of Restitution (6th edition, 2002) Sweet & Maxwell, para 2-02lff. A detailed consideration of the principles of tracing at common law is outside the scope of this work and the reader is referred to the practitioner texts on the subject. ) 147
Dewan Perwakilan Rakyat meresmikan undang-undang tersebut pada 19 Maret BE 2542. Kemudian menerbitkannya di Lembaran Kerajaan Volume 116, Bagian 29 Gor pada tanggal 21
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
60
melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap pencucian uang. Kantor AntiPencucian Uang (AMLO) merupakan penegak hukum yang independen dan badan yang bertugas sebagai pengatur dibawah pengawasan oleh Kementrian Kehakiman serta bekerja dibawah pengarahan Dewan Anti-Pencucian Uang (AMLB)148,
yang
dipimpin
langsung
oleh
Perdana
Menteri
maupun
149
delegasinya.
Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) bertanggungjawab untuk menginvestigasi kasus-kasus pencucian uang bagi perampasan aset Non-Conviction Based (NCB). Dibawah ketentuan umum AMLA tahun 1999, sembilan predikat pelanggaran pencucian uang yang terkena penegakan adalah yang berhubungan dengan narkotika, perdagangan manusia, pembohongan publik, penggelapan oleh institusi-institusi keuangan, pelanggaran karena jabatan di perkantoran, pemerasan dan pemfitnahan, penghindaran pajak, pelanggaran hukum pemilihan umum, terorisme, dan perjudian ilegal.150 Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) memiliki kekuasaan yang luas yaitu untuk mengidentifikasi, menelusuri, menyelidiki, menahan, dan menyita pendapatan ilegal yang berhubungan dengan pencucian uang. Dengan persetujuan pengadilan, AMLO diberi penguatan untuk melakukan penyadapan elektronis guna mendapatkan bukti bagi pencucian uang. Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) juga bertanggungjawab untuk menyimpan, mengelola, dan menjual harta benda yang dirampas maupun yang disita.
Menurut bagian 48 dan bagian 49 dari AMLA 1999, tanpa perintah dari pengadilan melainkan berdasarkan perintah dari Komite Transaksi AMLO, Maret BE 2542. menjadi efektif pada 19 Agustus BE 2542 (B. E adalah Era Buddha. Kurangi 543 dari B.E akan mendapatkan tahun Setelah Masehi) 148
Bagian 24 dari AMLA 1999 diganti dengan bagian 10 dari AMLA (No. 2) 2008
149
Theodore S. Greenberg et.al, Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based / NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 173. 150
Ibid., Dalam Bagian 3 dari AMLA 1999 dan Hukum Pidana di amandemen pada 5 Agustus 2003, untuk menghukum teroris dengan mengikuti Resolusi PBB 1373 dan mengakui pelanggaran bagi teroris keuangan. Perjudian Ilegal baru-baru ini disahkan oleh Parlemen sehingga menjadi pelanggaran dengan predikat kesembilan dibawah AMLA, sejak 2 Maret 2008.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
61
apabila terdapat sebab yang meyakinkan bahwa suatu aset terhubung dnegan suatu predikat pelangaran atau pencucian uang, maka penyidik dapat merampas sementara aset tersebut untuk periode yang tidak lebih dari 90 hari. Dalam periode tersebut AMLO dapat terus mengumpulkan bukti-bukti perihal tersebut untuk diserahkan kepada jaksa penuntut untuk menginisiasi agenda acara dari suatu perampasan.
Mengenai konsep ”aset” yang dapat disita, Bagian 3 AMLA medefisikan : 1. Uang atau aset yang diperoleh dari tindakan pencucian uang sesuai satu atau lebih predikat pelanggaran atau membantu dan terlibat tindakan tersebut 2. Uang atau harta benda yang diperoleh dari distribusi dengan segala cara uang atau ahrta benda seperti tersebut dalam butir (1) 3. Hasil dari butir (1) atau (2) 4. Uang atau aset yang digunakan untuk melakukan pelanggaran atau memfasilitasi pelaksanaan suatu predicate crime
Ketika suatu aset telah disita oleh AMLO, maka aset tersebut akan menjadi tanggungjawab
Biro
Pengelolaan
Aset,
AMLO
untuk
merawatnya,
memeliharanya hingga aset tersebut menjadi hasil perampasan, dan kemudian untuk menjualnya. Biro Pengelolaan Aset adalah satu dari lima biro dan dua divisi dalam AMLO. Pada Maret 2008, AMLA telah diamandemen untuk antara lain mengembangkan peran AMLO dalam pengelolaan aset, untuk membentuk dana perampasan, untuk menerapkan pengawasan yang ketat bagi aset-aset yang disita , untuk memastikan adanya transparansi dan untuk memastikan bahwa tidak seorangpun yang memiliki otoritas terhadap seluruh aspek pengelolaan aset. Sesuai dengan Peraturan Menteri tentang Struktur Organisasi AMLO, Desember 2007, maka Biro Pengelolaan Aset bertangggungjawab terhadap tugas-tugas berikut:151 1. Untuk menuyusun sistem akuntansi bagi harta benda yang disita atau aset bawaan, untuk menyimpan dan memelihara harta benda yang disita atau 151
Ibid., hal 175.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
62
aset bawaan, untuk meneruskan harta yang disita kepada Menteri Keuangan, untuk mengembalikan harta benda hasil perampasan atau aset bawaan untuk mengembalikan harta benda hasil pemilik harta benda, dan untuk melakukan penilaian aset sesuai AMLA 2. Untuk menyusun sistem pengelolaan aset, untuk menyelesaikan masalah sehbungan dengan pemakaian harta benda yang disita atau aset bawaan oleh penuntut, penyewa harta benda, pengangkatan manajer, dan survei harta benda, untuk keperluan pengelolaan aset sesuai dengan AMLA 3. Untuk menerapkan pekerjaan sesuai undang-undang dan peraturanperaturan yang berhubungan dengan pengelolaan aset, termasuk pelaksanaan dan penegakkan hukum terhadap siapapun juga yang melanggar peraturan pengelolaan aset 4. Untuk melaksanakan pelelangan sesuai dengan AMLA aau sesuai dengan perintah dari Kementrian Keuangan atau Pengadilan 5. Untuk bekerja sebagai sekretaris Komite Pelelangan, Komite Penilaian terhadap Kerusakan atau Depresiasi, dan sebagai Komite Penilaian Harta Benda 6. Untuk bekerjasama dengan atau mendukung kinerja departemen terkait lainnya, atau melaksanakan tugas sesuai perintah.
Suksesnya suatu program pengembalian aset hasil tindak pidana tergantung dari praktek-praktek pengelolaan aset yang baik. Untuk memastikan bahwa aset-aset dipelihara sesuai kondisi pada saat perampasan sehingga aset dengan nilai ekonomi tinggi dapat diselamatkan bagi kepentingan Pemerintah, dimana pada akhir dari kasus diperlukan pertama-tama bahwa aset tersebut berada dibawah pemeliharaan AMLO untuk meminimalkan kerusakan dan depresiasi. Segera setelah disita, aset yang bersangkutan harus dinilai oleh pihak ketiga yang berkualifikasi untuk menilai dan menentukan nilai pasarnya.152
152 Ibid., Dalam Peraturan Menteri No. 10 Bab 2: Penilaian Harta benda; Klausul 16: “Setelah pengambilan atau perampasan suatu harta benda, maka petugas yang kompeten dan yang telah ditunjuk agar segera menilai harta benda tersebut.)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
63
2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan Sebelum para aparat penegak hukum yang ditunjuk sebagai pejabat-pejabat yang kompeten dibawah AMLA mengeksekusi suatu operasi pencarian dan perampasan, maka mereka 1) harus terlebih dahulu memiliki pengertian tentang tujuan dan target dari operasi penegakan hukum; 2) seharusnya sudah hingga batas yang memungkinkan menilai aset yang akan disita; dan 3) seharusnya sudah melakukan persiapan untuk mengelola aset yang mungkin tidak mudah disita atau harus dipindahkan dari lokasi semula. Aset-aset yang tidak memiliki nilai ekonomis tidak akan disita. Hewan liar, hewan berbisa dan hewan besar tidak akan disita kecuali ada kepentingan untuk melakukan demikian, apabila demikian maka ahli-ahli yang kompeten akan membantu dalam perampasan. Selanjutnya, Hukum Perdata melarang perampasan dari peralatan tertentu yang diperlukan ntuk pekerjaan profesional, seperti peralatan untuk penyembuhan secara medis dan peralatan mekanik.153
Pejabat yang menyita aset-aset akan mengantarkan harta benda tersebut, bersamaan dengan dokumen-dokumen yang relevan, seperti Buku Registrasi Kendaraan, Akte Pemilikan Tanah, dan dokumen serupa lainnya, kepada Biro Pengelolaan Aset, yang akan memeriksa dan menghitung seluruh aset hasil perampasan sebelum mengambil alih kendali terhadap aset-aset tersebut. Aset-aset hasil perampasan tersebut akan diklasifikasikan sebagai aset bergerak atau aset yang tidak bergerak. Kartu-kartu atau tanda-tanda akan diberikan pada masingmasing aset tersebut untuk menerangkan rincian yang relevan terhadap harta benda tersebut, sebagai contoh, nama, kategori, kuantitas, ukuran, berat, dan kondisi dari harta benda, serta tanggal perampasan. Kemudian harta benda bersangkutan akan diamankan ditempat-tempat yang sesuai.154
Apabila harta benda yang diamankan berupa uang, maka uang tersebut akan disimpan di institusi keuangan tanpa penundaan sesuai dengan yang disarankan 153
Ibid., hal 176.
154
Ibid., hal 177
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
64
oleh Komite Transaksi. Apabila uang tersebut merupakan uang asing maka uang tersebut akan ditukar ke mata uang Thailand dan disetorkan kepada institusiinstitusi keuangan. Apabila harta benda yang disita berupa batu permata, emas, barang-barang perhiasan, atau logam-logam mulia, maka aset tersebut akn disimpan didalam peti besi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik AMLO. Aset-aset berharga lainnya disimpan dalam gudang dengan penjagaan ketat sepanjang 24 jam. Jika akan menyusahkan AMLO dalam memelihara suatu harta benda, maka AMLO dapat menyewa suatu kontraktor untuk memelihara dan menjaga harta benda tersebut. 155
Apabila aset yang disita ternyata sulit dan tidak pantas untuk disimpan, maka pasal 57 dari AMLA mmeberikan otorisasi Sekretaris Jendral dari AMLO untuk melakukan untuk melakukan hal-hal berikut156:
Mengizinkan pemilik dari aset yang disita untuk tetap memelihara dan menggunakan aset tersebut sementara dengan persyaratan tertentu serta jaminan atau tanggungan.
Mengeluarkan perintah untuk menjual dengan cara lelang dan menyimpan dana yang diperoleh dalam simpanan escrow menunggu penyelesaian dari agenda acara perampasan; atau
Mengeluarkan perintah untuk mengizinkan penegak hukum atau institusi lainnya untuk menggunakan sementara aset serupa itu untuk keperluan resmi.
2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS) Biro Pengelolaan Aset AMLO menggunakan dengan sepenuhnya sistem teknologi informasinya untuk pengelolaan aset. Biro tersebut telah mengembangkan sistem perangat lunak AMCATS yang memungkinkannya untuk bekerja secara transparan dan akuntabel dengan cara mencatat dan melacak seluruh data yang berhubungan dengan perampasan suatu aset. Sistem Pelacakan Aset Gabungan 155
Ibid.
156
Ibid.,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
65
AMLO (AMCATS) mencatat rincian tentang suatu perampasan, nama aset, nilai aset, nama kasus, perintah perampasan, perintah pengadilan, lokasi penyimpanan aset, pendapatan yang dihasilkan oleh aset dan biaya yang dikeluarkan untuk memeliharanya, rincian lelang (nama dari penawar lelang, harga yang disarankan, dan harga penjualan), dan, sepanjang dapat diterapkan, informasi yang berhubungan dengan penempatan aset yang resmi digunakan oleh Pemerintah. Dengan mencatat dan melacak data tersebut, maka AMLO dapat lebih baik melaksanakan fungsi pengelolaan asetnya, yaitu dapat lebih mudah menyusun laporan-laporan,
membuat
statistik-statistik,
mempertanggungjawabkan
inventarisnya, dan membuat ramalan dan pengawasan biaya pengelolaan aset. 157
157
Ibid., hal 178
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 3 TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif 3. 1. 1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif Keadilan restoratif atau yang lazim dibicarakan dengan “restorative justice” merupakan suatu model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun ini. Berbeda dengan sistem yang sekarang ada, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.158 Untuk memahami konsep keadilan restoratif lebih dalam, alangkah baiknya bila kita sedikit membahas mengenai teori tujuan pemidanaan agar pemahaman konsep keadilan restoratif tidak menjadi bias.
Dalam sejarah perkembangan hukum pidana, suatu tindakan atau perbuatan pidana bila dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain. Untuk mengembalikan pada keadaan semula maka diperlukan tindakan pembalasan terhadap orang/pelaku yang menyebabkan kerusakan atau kerugian dalam masyarakat tersebut. Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan kewajiban terhadap seseorang yang dirugikan
158 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok: 2009), hal 1.
66
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
67
atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban terhadap seluruh keluarga dan bahkan kewajiban terhadap masyarakat.159
Hukuman pembalasan ini sepenuhnya ditentukan oleh orang atau pihak yang dirugikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. penguasa pada saat itu pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan yang dilakukan oleh orang yang dirugikan secara sendiri-sendiri. Demi keamanan dan ketertiban di masyarakat maka timbullah kemudian “Stelsel komposisi” (composite stelsel)
yaitu kewajiban bagi pelaku tindak pidana (penjahat,
pembunuh dan sebagainya) untuk melakukan “penebusan kesalahan” dengan memberikan ganti rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. Disamping itu juga diwajibkan membayar denda kepada masyarakat yang dirugikan (dalam hal terjadi pembunuhan) untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat. Semula, jumlah denda ditentukan tergantung pada keinginan pihak yang dirugikan tetapi kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa. Dengan demikian penghukuman sudah mulai dikembangkan kearah sifat hukum publik, yang berdasarkan kepentingan masyarakat dan menjadi kewajiban atau kewenangan penguasa.160
Hukum pidana sejatinya tidak dapat berdiri sendiri dalam mencapai tujuannya, melainkan juga harus didukung oleh pemidanaan yang menyertai. Pemberlakuan pemidanaan bagi pelaku pidana adalah tidak tanpa alasan. Adapun pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan, dan
159
Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III, September 2004, hal 19 s.d 28. 160
Ibid
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
68
c) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Berbagai tujuan pemidanaan dikelompokkan Anthony Duff dan David Garland ke dalam dua golongan besar, yakni konsekuensialis dan non-konsekuensialis. Menurut kelompok non-konsekuensialis, upaya pembenaran untuk penjatuhan pidana sebagai suatu respons yang patut (appropriate response) terhadap kejahatan merupakan hal yang penting. Mereka beranggapan bahwa salah benarnya suatu tindakan harus berdasar pada karakter intrinsiknya, tanpa memperhitungkan
konsekuensinya.161
Pemikiran
mengenai
paham
non-
konsekuensialis ini dianut oleh para retributivis. Mereka percaya bahwa hukuman itu dijatuhkan sebagai akhir dari tindak pidana itu sendiri, sebagai jawaban dari tindak pidana yang dilakukan dan sebagai seruan dari norma masyarakat dan aturan moral.162
Disamping itu bagi kaum konsekuensialis, benar tidaknya sesuatu tergantung semata-mata
pada
konsekuensi
menyeluruh.163
Aliran
konsekuensialis
menekankan bahwa pidana itu dijatuhkan tujuan utamanya adalah untuk mengurangi tindak pidana. Kita dapat mengurangi tindak pidana dengan menahan pelakunya untuk memberi contoh kepada orang lain mengenai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukannya, atau bahkan membina jiwa dan dan keadaan pelaku tindak pidana tersebut untuk meningkatkan nilai dirinya agar ia tidak melakukan tindak pidana lagi (rehabilitasi).164 Pada intinya, jika konsekuensinya 161
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 12. 162 Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252. 163
Ibid., hal 11 (Seperti dikutip dalam Anthony Duff dan David Garland, A Reader on Punishment, terjemahan WD Halls, (New York: The Free Press, 1984), hal 52) 164
Ibid., hal 1215-1252.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
69
baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka tindakan tersebut salah.
Hal yang menjadi pemikiran dari aliran konsekuensialis ini juga bahwa, untuk mencari pembenaran dari penjatuhan pidana maka harus dibutkikan bahwa a) pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya. Aliran konsekuensialis yang dianut oleh kaum Utilitarian ini mengamini bahwa, pencegahan atau preventif merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial) yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikarenakan kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana.165 Hal ini patut dilakukan agar tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar di masa depan. Aliran ini berkarakter instrumentalis dan berorientasi ke depan (forward-looking), dan menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat mengemuka di kalangan penganut utilitarian klasik yang menggarisbawahi the greatest happiness for the greatest number.166 Dalam pemikiran konsekuensialis ini, penaksiran mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana adalah sesuatu yang harus dilakukan. Disamping itu, jenis hukuman apa yang dijatuhkan tersebut pun harus disesuaikan dengan kerugian apa yang diakibatkan oleh tindak pidana ini.
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai paham konsekuensialis ini, sangat penting bagi kita untuk memahami konsep kerugian itu sendiri. Dalam hukum pidana, kerugian merupakan segala kehilangan yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana, sehingga kehilangan itu merupakan kerugian akibat tindak pidana. Pertanyaan akan terus berlanjut dengan siapa sajakah yang dirugikan atas tindak pidana ini? Apakah hanya korban langsung, atau termasuk masyarakat sekitar, 165
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 12. 166
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
70
negara, bahkan perekonomian suatu negara pun dapat diperhitungkan menjadi korban.167 Tindak pidana selalu menghasilkan korban dan kerugian, sedangkan hukuman itu dijatuhkan dengan pertimbangan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana. Suatu sistem peradilan pidana harus menyesuaikan penjatuhan hukuman berupa pengembalian sejumlah kerugian akibat tindak pidana dengan tujuan dari negara untuk mengembalikan kerugian tersebut ke keadaan seperti belum terjadi tindak pidana. Dalam pemikiran konsekuensialis ini, apabila ada pertanyaan mengenai sebesar apa hukuman yang pantas dijatuhkan kepada suatu pelaku tindak pidana, maka harus dijawab dengan sebesar kerugian yang diakibatkannya. Pada intinya, suatu hukuman yang dijatuhkan itu harus layak dan pas untuk jenis tindak pidananya.168
Kembali membicarakan mengenai tujuan pemidanaan, keadilan restoratif yang berada didalam pemikiran konsekuensialis ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pemikiran-pemikiran retributivisme atau rehabilitasi. Sejujurnya, apa yang membuat konsep keadilan restoratif ini mengemuka adalah karena fokusnya pemikiran ini pada kerugian akibat tindak pidana, yang dimana orang-orang yang bukan penganut paham ini dapat yakin akan eksistensi konsep keadilan restoratif ini meyakinkan. Para pemikir retributif contohnya, merupakan kaum yang paling mementingkan kerugian yang diderita oleh para korban dari tindak pidana. Para restitusionis mementingkan besarnya hukuman bagi para pelaku tindak pidana, dan kaum penganut teori deterrence mementingkan besarnya baik kerugian materil dari tindak pidana dan proses pemidanaan. Dan dengan senang hati, pemikiran keadilan restoratif ini mempertimbangkan semua prioritas dalam pemikiran tersebut.169 Dapat pula dikatakan bahwa pemikiran keadilan restoratif ini merupakan metateori yang membawahi teori-teori tujuan pemidanaan. Hal ini disampaikan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H, M. H, dan beliau menambahkan bahwa pemikiran keadilan restoratif juga mengakomodasi tujuan-tujuan 167
Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252. 168
Ibid.
169
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
71
pemidanaan lain seperti rehabilitasi, retributif, maupun preventif. Akan tetapi, kelebihan dari pemikiran keadilan restoratif ini adalah turut sertanya baik korban, pelaku dan masyarakat untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana.
3. 1. 2 Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia Disamping tujuan-tujuan pemidanaan yang sepadan dengan yang dikembangkan di negara Barat, kitab hukum kuno mengenal pula tujuan yang tidak ada dalam pustaka Barat. Sebagai contoh adalah tentang pengembalian keseimbangan dalam masyarakat170 atau pemulihan keadaan. Konsep keseimbangan kosmis dalam masyarakat umumnya lebih berkaitan dengan komunitas yang lebih menekankan communitarian values daripada nilai individu. Dalam rangka memulihkan keseimbangan yang dirusak oleh pelaku kejahatan inilah dikenal antara lain ganti rugi, upacara adat, dan pembayaran uang adat.171 Berbekal hukum adat Indonesia yang sebenarnya telah mengenal konsep keadilan restoratif dalam pengenaan sanksi adat, konsep keadilan restoratif pun seharusnya sudah harus diintegrasikan dalam sistem peradilan di Indonesia.
Di Indonesia, walaupun hukum adat bukan merupakan salah satu sistem hukum positif, tetapi hukum adat merupakan hukum yang sangat berpengaruh pada hukum positif di Indonesia karena rakyat Indonesia pun masih konsisten menganut kebiasan-kebiasaan adatnya masing-masing. Bahkan, pakar hukum adat, Prof. Supomo, telah menuliskan tujuan hukum pidana Indonesia sebagai berikut: ”Agar semua kepentingan negara, masyarakat dan individu warga negara dan atau penduduk Indonesia diayomi dalam keseimbangan yang serasi 170
Ibid., hal 15. (Dalam R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 109-115; Andi ZA Farid, Ibid.; John Ball (1982). 171
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 16. (Seperti dikutip dalam R. Soepomo, Ibid. Hal 114-115. Dalam piagam adat Lampung Siwo Mego, tindak pidana tertentu harus diselesaikan dengan upacara pembersihan pepadun, atau yang bersangkutan dikucilkan masyarakat.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
72
berdasarkan Pancasila, dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia adalah pengayoman semua kepentingan secara berimbang”172 Melihat definisi diatas, tujuan dari hukum pidana Indonesia sebenarnya telah mengarah pada pengayoman kepentingan secara berimbang. Keseimbangan tersebut dapat dicapai dengan cara melibarkan para pihak dalam proses pemecahan masalah atau perkara pidana tadi. Dari pengalaman penyelesaian perkara pidana secara adat, sebenarnya kita dapat melihat peran para pihak terkait dalam menyelesaikan perkara atau pelanggaran yang ada dalam masyarakat. 173
Melihat pada hukum adat yang pernah digunakan dalam menyelesaikan berbagai perkara (pidana) di Indonesia, penyelesaian perkara dengan pendekatan antara pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat terbukti memberikan rasa keadilan di masyarakat.174 Konsep semacam ini merupakan konsep yang sangat tepat dalam pemulihan suatu kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, karena dengan pendekatan antara korban dan pelaku maka disamping pembalasan yang diberkan kepada pelaku, korban pun dapat mengakses keadilan dengan mendapatkan kerugian yang dideritanya dengan, disamping sistem peradilan pidana juga duduk bersama membahas bagaimana cara dan berapa kerugian yang harus dikembalikan.
Apabila membahas keadilan restoratif, baik dalam masyarakat tradisional di Indonesia maupun dalam masyarakat tradisional di Asia, Afrika, Amerika dan Australia, milik individu hampir tak dikenal. Oleh karena itu, penyelenggaraan peradilan pun adalah milik bersama. Kalau seorang anggota komunitas menyerahkan perkaranya kepada Kepala Adat (suku), bukan sekadar untuk kepentingan yang bersangkutan. Kepentingan komunitas adat secara keseluruhan benar-benar dipertaruhkan. Kalau komunitas adat menginginkan kehidupan yang selaras, keseimbangan hubungan antar manusia dengan kekuatan alam dan harta 172
Ibid., (Dalam Supomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, hal. 92)
173
Ibid.
174
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
73
benda harus dipertahankan. Dalam komunitas demikian, tindak pidana bukan pelanggaran terhadap individu, melainkan pelanggaran terhadap keseimbangan tadi. Karena itu setiap terjadi gangguan keseimbangan harus dipulihkan dengan membayar sejumlah uang atau sebagian harta kepada pihak yang dirugikan. Akan tetapi, karena kehidupan masyarakat tradisional masih sederhana, maka pemulihan keseimbangan itu tidaklah terlalu mahal dan bahkan dapat diselesaikan dengan segera. Mengenai hal itu, budaya malu di wilayah nusantara sangat kental, sehingga melalui musyawarah perdamaian atau penghukuman, pelaku delik adat memberikan ”penutup malu” dengan cara meminta maaf.175 Kalau tidak, ia harus dipermalukan agar perkara menjadi selesai. Diungkapkan Andi Zainal Abidin, di Sulawesi Selatan, misalnya, dikenal prosesi re ule bawi. Caranya, seperti seekor babi, kedua tangan dan kakinya diikat pada sebatang bambu, pelaku lalu digotong keliling kampung. Perlakuan demikian adalah memberi malu, karena sepanjang perjalanan ia ditonton orang sekomunitasnya. 176
Disamping pembayaran ganti rugi dan hukuman dipermalukan, dikenal juga pembuangan ke hutan dan hukuman nyawa di bayar nyawa, sebagai sanksi yang lebih berat. Menurut Peter Burns, dalam praktik tradisional
berlandasarkan
hukum adat di Indonesia dikenal adanya tradisi rekonsiliasi pasca terjadinya pembunuhan.177 Adapun menyeimbangkan memulihkan keseimbangan yang terganggum tidak lain merupakan upaya yang bersifat pemulihan (restorative). Dari sini dapat ditarik juga asal usul istilah yang kemudian berkembang menjadi keadilan restoratif.178
175
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009),hal. 40. Dalam RM Surachman, Mozaik Hukum I, 30 Bahasan Terpilih (Jakarta: CV Sumber Ilmu Jaya, 1996), hal 228-229 yang merujuk John Ball, Ter Haar, M.B Hooker, R. Soepomo, dan Muhammad Said Dirdjokusumo. Perihal jenis sanksi delik adat, lihat Pandrecten van het Adatrecht, X) 176 Ibid., (seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia, 1984), hal. 43). 177
Ibid., (Dalam Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999), hal 327-328) 178
Ibid.,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
74
3. 1. 3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional Pada zaman dahulu, hukuman kepada siapapun yang melakukan kejahatan biasanya lebih berat dari apa yang penjahat tersebut lakukan, contohnya pemotongan lidah dan dimasukkan kedalam air mendidih. Sementara itu, setelah zaman peradaban hal tersebut perlahan mulai dihilangkan dengan pertimbangan hak asasi manusia. Akan tetapi pada zaman dimana manusia telah beradab ini, tidak dapat dipungkiri bahwa penghukuman yang begitu kejam dan tidak memperhitungkan hak asasi manusia masih saja dipraktikkan. Penghukuman seperti seakan menjadi dilema, karena di satu sisi penghukuman tersebut legal, tetapi di sisi lain sifat hukuman tersebut merupakan penyiksaan yang melanggar hak asasi manusia. Pertanyaan yang muncul saat ini adalah hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana dan dengan hukuman tersebut si pelaku menjadi jera dan keadaan menjadi kondusif kembali seperti sebelum terjadi tindak pidana.
Keadilan restoratif oleh beberapa negara maju bahkan telah diintegrasikan dalam sistem peradilan pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan penyebaran keadilan restoratif mendapat dukungan dari Perserikatan BangsaBangsa. Dalam Kongres Lima Tahunannya yang ke-5 (Jenewa, 1975), PBB mulai menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif bagi peradilan pidana retributif.179
Satu dekade berikutnya, PBB melangkah lebih jauh lagi dan secara kongkrit melindungi dan menegakkan hak-hak para korban melalui beberapa melalui beberapa instrumen internasional dan ketentuan implementasinya (misalnya 179 Ibid., hal 11. Keadilan restoratif di New Zealand misalnya, yang semula dipraktikkan dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam pengadilan orang dewasa. Maka Selandia Baru pun menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam pengadilan umum (2002) bahkan mencakup kejaharan yang berat. Begitu pula di Belgia, setelah dilembagakan ke dalam KUHAP (2005), keadilan restoratif terwujud dalam “mediation penal”. Yang berkepentingan boleh memohon pengadilan anak-anak maupun pengadilan umum untuk suatu mediasi perkara pidana dari yang teringan hingga yang berat. Adapun di Spanyol korban kini memainkan peran yang penting dan lebih besar dan lebih besar dalam sistem peradilan pidana yang berbau retoratif. Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, lingkupnya kemudian diperluas.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
75
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (General Assembly Resolution 30/40) dan Implementation of Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (ECOSOC Resolution 1987/57). Puncaknya terjadi dalam Kongres PBB Lima Tahunan ke-11 (Bangkok, 2005) dimana secara eksplisit keadilan restoratif untuk pertama kalinya disebut dalam salah satu topiknya :”Meningkatkan Reformasi Peradilan Pidana, termasuk Keadilan Restoratif”. Ini menjadi pertanda bahwa PBB mengakui kedudukan kedailan restoratif bukan lagi berada di pinggiran sistem (in the margin of the system), melainkan sudah seimbang dan peranannya tidak lagi sekadar berhadapan (vis a vis) tetapi sudah komplementer dan bergandengan tangan (in juxtaposition) dengan proses pidana konvensional. Situasi demikian lebih terkondisi lagi di tahun 2007 dengan diterbitkannya Handbook on Restorative Justice Programmes, sebagai Buku Pegangan ini menjadi jaminan bahwa perkembangan keadilan restoratif selama tiga dekade terakhir tidak akan surut atau menjadi hilang ditelan zaman. Buku pegangan tersebut disusun terutama untuk negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, yang merupakan negara-negara berkembang, dimana konsep kedilan restoratif masih relatif muda. Di Thailand misalnya yang pernah menjadi tuan rumah kongres PBB Lima Tahunan ke-11, konsep restorative justice baru saja diadaptasi dengan sebutan justice for social harmony.180
3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Konsep keadilan restoratif sebenarnya tidak hanya digunakan dalam sistem peradilan pidana, tetapi juga digunakan dalam penyelesaian masalah non-hukum. Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sempit dan luas. Definisi-definisi yang sempit mengutamakan makna pertemuan antar pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode sesudahnya. Di sisi lain, difinis-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai keadilan restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan
180
Ibid, hal 13
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
76
keduanya, dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Kanada sebagai berikut: ”Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through inclusive and cooperative process.” (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif).181 Keadilan Restoratif merupakan suatu konsep pembaharuan dalam hukum yang dapat dikatakan mendobrak pemikiran hukum pemidanaan yang selalu mendahulukan pembalasan untuk memberikan penderitaan kepada pelaku tindak pidana. Keadilan restorasi sebagai tujuan pemidanaan merupakan konsep yang mengambil banyak perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa perumus undangundang melihat keadilan restoratif sebagai salah satu jalan yang menjanjikan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam sistem peradilan pidana yang ada dalam suatu negara. 182 Keadilan tidak harus dilihat ”hanya sebatas pembalasan” (”merely as retribution”) dan kecenderungan untuk menyamakan keadilan dengan retribusi harus ditantang, dan konsep keadilan restoratif harus dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif. Unsur penting dalam keadilan restoratif adalah bukan hanya menghukum pelaku tindak pidana tetapi juga mengusahakan untuk memulihkan kerugian dan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana dengan penyembuhan, harmonis, dan rekonsiliasi.183 Mirian Liebmann184 dalam bukunya Restorative Justice: How It Works mendefinisikan keadilan restoratif sebagai berikut:185
181 Ibid., hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3. 182
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate Publishing Limited, 2007), hal 10. 183 Ribert I Rotberg dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth Comissions, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000), hal 69.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
77
“Restorative justice has become the term generally used for an approach to criminal justice (and other justice systems such as a school disciplinary system) that emphasise restoring the victim and the community rather than punishing the offender” (Keadilan restoratif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan hukum pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum sang pelaku tindak pidana.) Dalam bukunya, Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu : a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana secara umum merupakan rangakaian tindakan seperti mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana, dan apa yang mereka inginkan setelah terjadinya tindak pidana tersebut, dan hampir semua dari mereka menginginkan apa yang telah diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegakan hukum adalah para korban mendapatkan informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan para korban, dan mendapatkan barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku. b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang mereka telah 184 Miriam Liebmann telah bekerja dalam bidang pendidikan, art therapy, bidang bantuan dan pemulihan korban, dan menjadi ketua dan penasehat proyek dari Mediation UK selama tujuh tahun. Ia telah menulis dan menjadi editor dari sembilan buku dalam bidang art therapy, mediasi dan penyelesaian sengketa. Belakangan ini ia membagi waktunya sebagai pekerja tidak tetap dalam hal kegiatan mencapai keadilan restorative,, pelatihan mediasi dan konsultasi, art therapy dan menulis 185
Miriam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, (London: Jessica Kingsley Pubishers, 2007), hal 27.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
78
perbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggung jawab atas perbuatan mereka. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa mereka telah selesai dengan hukuman mereka setelah mereka menjalani hukumannya, padahal dalam kenyataannya mereka telah mengakibatkan kerugian materil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal yang patut ditanamkan dalam konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggungjawab atas kerugian akibat perbuatan saya”, itulah pandangan awal dari konsep keadilan restoratif. c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu kesepahaman. Sejatinya, korban dari suatu tindak pidana selalu dikelilingi oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan kejahatan ini? Apa tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? Apakah pelaku akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitupun dengan pelaku tindak pidananya pun dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu diperlukan suatu dialog khusus diluar pengadilan yang dapat menjadi sarana penyelesaian pertanyaan-pertanyaan ini. Terkait dalam hal pengembalian aset tindak pidana korupsi, jumlah dan penyembunyian aset yang dikorupsi dapat dibahas dalam dialog ini. Cara pengembalian aset ini pun dapat dilakukan dalam dialog ini d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat dilakukan untuk bertanggungjawab atas kejahatan adalah dengan memulihkan kerugian yang diderita si korban. e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah salah
dan
sangat
mempertimbangkan
merugikan untuk
tidak
orang
lain
sehingga
ia
akan
melakukan
kejahatan
itu
lagi.
Pengembalian aset tindak pidana kepada negara oleh koruptor akan membuat koruptor tersebut kehilangan banyak harta, dipenjara dan menderita. Keadilan restoratif perlu dukungan dari berbagai aspek untuk mewujudkan cita-citanya, salah satunya dengan dukungan dari sistem
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
79
peradilan pidana dan penegakan hukum dari aparat penegak hukum. Dengan demikian, rasa jera akan tumbuh dari pelaku tindak pidana. Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrianus Meliala adalah sebagai berikut: a) Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya. b) Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif c) Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalah d) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah e) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998 memberikan penjelasan kembali terhadap definisi keadilan restoratif yang dikemukakan oleh Tony F. Marshal diatas. Susan Sharpe mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari keadilan restoratif, yaitu: 1. Restorative justice invites full participation and consensus (keadilan restoratif mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara tidak langsung ikut serta pada dasarnya tidak aman atas kejahatan tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun dimikian tentunya pelaku harus diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional. 2. Restorative Justice seeks to heat what is
broken (keadilan restoratif
berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). Sebuh penyataan penting tentang restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
80
menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan
mengungkapkan perasaan yang
dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan 3. Restorative justice seeks full and direct accountability (keadilan restoratif memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orangorang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi. 4. Restorative justice seeks to recinite what has been devide (keadilan restoratif mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkan. Proses keadilan restoratif berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Perspektif keadilan restoratif adalah julukan “korban” dan “pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
81
Keadilan restoratif juga menyita perhatian para pemuka agama, para pelopor dari konsep ini, yang tertarik dengan konsep keadilan resotratif ini secara kemanusiaan dan moral merupakan jalan yang terbaik untuk menghadapi kejahatan dalam hukum pidana.186 Secara singkat, hal ini diakui oleh sejumlah pemikir konsep keadilan restoratif bahwa keadilan restoratif merupakan alternatif yang radikal187 dalam cara tradisional untuk memahami hukum dan keadilan dalam menangani perilaku jahat.188 Ini merupakan pola berpikir yang baru atau sudut pandang baru dalam menyikapi hukum dan keadilan.189
Salah satu hal yang dianggap berbahaya adalah dasar pemikiran keadilan restoratif hanyalah berdasarkan asumsi yang salah dan belum akurat kebenarannya sehingga dapat berdampak kerusakan yang mendasar. Beberapa tahun belakangan ini, gagasan keadilan restoratif ini banyak mempengaruhi kebijakan hukum pidana, hukum acara dan reformasi legislatif di seluruh dunia dan konsep keadilan restoratif ini sudah menyentuh bidang hukum non-pidana (khususnya dalam kepentingan akademis), memancing sejumlah perhatian diantara para kriminolog dan akademisi dari disiplin-disiplin ilmu terkait, peneliti, praktisi hukum pidana, pembuat undang-undang, dan menyumbang banyak kepada kepustakaan.190
Dengan banyaknya popularitas dan banyak dipakainya konsep keadilan restoratif, tidak sedikit pula kritik yang berdatangan. Sejumlah kritik yang sedikit skeptik telah dilemparkan kepada para pakar hukum yang mengadvokasi keadilan restoratif mengenai beberapa kemungkinan yang membahayakan penegakan 186
Ibid, (Dalam Zehr 1990; Consedine 1999; Hadley 2001, 2006)
187
Makna kata Radikal disini adalah secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip): perubahan yg --; (2) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dl berpikir atau bertindak. http://kamusbahasaindonesia.org/radikal 188 Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate Publishing Limited, 2007) , hal 11. Yang telah dialihbahasakan secara informal oleh penulis dari kalimat. “In short, it is claimed by a number of restorative justice campaigners that restorative justice is a radical alternative to the traditional way of understanding crime and justice and dealing with criminal behaviour” 189
Ibid.
190
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
82
keadilan restoratif yang ideal.191 Banyak juga kritik yang menguji dan mempertanyakan apakah perbedaan yang paling dasar dan tajam antara gagasan retributif dan keadilan restoratif. Memang secara ekstrem dikatakan bahwa walaupun keadilan restoratif yang ideal itu pada hakikatnya tidak ada kecacatan, tetapi konsep ini sangat mungkin megantarkan pada kesesatan dan menghasilkan sesuatu yang tidak hanya berbeda dengan apa yang menjadi tujuan melainkan bahkan dapat mengantarkan kita pada keadaan yang lebih buruk daripada penggantian kerugian192. Dikatakan pula keadilan restoratif tidak cocok dengan peradilan pidana tradisional melainkan baru dapat berfungsi optimal bila dilakukan dalam peradilan pidana modern.
Akan tetapi, perlu diperhatikan pula apa yang dikatakan oleh Sullivan dan Tifft (2006) bahwa, “restorative justice must be put down, contained, co-opted, or modified in some other way to meet the state’s ideological and administrative requirements”.193 Terlepas dari berbagai kritik tajam mengenai konsep keadilan restoratif, penerapak keadilan restoratif sebagai tujuan dari pemidanaan harus disesuaikan sedemikian rupa agar dapat cocok dengan ideologi dari negara dan persyaratan admnisitrasi dari negara yang memberlakukan konsep ini dengan tanpa menghilangkan prinsip dasar dari konsep keadilan restoratif.194 Sanggahan inipun juga disampaikan oleh John Braithwaite yaitu ia mengatakan bahwa: “Dalam penjatuhan hukuman, beberapa pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah kapan kita hukum harus dijatuhkan? Apa hukuman yang paling tepat untuk dijatuhkan? Pertanyaan yang terakhir inilah yang selalu menjadi pembahasan hangat antar para akademisi maupun aparat penegak hukum. John Braithwaite menyarankan bahwa teori keadilan restoratif ini jangan selalu ditafsirkan sempit, karena teori ini sebenarnya telah tumbuh dalam tradisi-tradisi masyarakat, hanya perlu digali lebih dalam lagi.”195 191
Ibid.
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Andrew Von Hirsch, et. al., ed., Restorative Justice: Competing or Reconcilable Paradigms?, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003), hal. 7
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
83
Untuk mendukung sanggahan Braithwaite diatas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berpendapat bahwa program keadilan restoratif adalah program apapun yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Program keadilan restoratif juga bertujuan untuk memulihkan kedamaian dan hubungan yang ruak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup didalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggungjawab. Maka harus dipahami makna proses restoratif (restorative process) dan makna hasil restoratif (restorative outcome).196 Proses restoratif adlah proses apapun dimana korban kejahatan dan pelaku kejahatan, dan bilamana anggota komunitas-komunitasnya yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama, guna memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator.197 Sedangkan, hasil restoratif adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk misalnya, pemilihan program seperti program pemulihan program pemberian ganti rugi, dan program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat, program-programnya dapat digabungkan dengan tindakan-tindakan lain.198
Dalam berbagai literatur, istilah ”praktek keadilan restoratif” (restorative justice practice) dan ”program keadilan restoratif” (restorative justice programmes) sering dipertukarkan. Akan tetapi, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap konsisten menggunakan istilah ”program keadilan restoratif ” dan PBB hanya mengarahkan
program-programnya
hanya
pada
penyelesaian
konflik
permasalahan pidana. Oleh sebab itu penyelesaian konflik diluar pidana, misalnya konflik-konflik di sekolah dan di lingkungan kerja tidak dibicarakan dalam buku pegangan tentang keadilan restoratif tersebut.199 Dalam Handbook on Restorative 196
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations,
197
Ibid., hal. 7.
198
Ibid.
2006)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
84
Justice yang diterbitkan oleh UNODC tersebut dikatakan bahwa praktek keadilan restoratif tidak bersifat kaku, melainkan dapat diadaptasikan dengan berbagai adat istiadat maupun masyarakat dimana pemikiran keadilan restoratif diaplikasikan. Dan sekali lagi, demi tujuan pemulihan keadaan akibat tindak pidana dan memulihkan hubungan antar korban-pelaku tindak pidana tidak menyisakan dendam, keadilan restoratif selalu dapat ditegakkan.
199 Ibid., hal. 5.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 4
ANALISIS
4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan Keadilan Restoratif
4. 1. 1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas Kerugian Negara Korupsi mengakibatkan kemiskinan yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai bentuk pelanggaran yang terburuk, karena aset negara yang seharusnya digunakan rakyat dikorupsi untuk kepentingan pribadi para pelaku tindak pidana korupsi. Bertitik tolak dari hal tersebut negara wajib dan bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana korupsi dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Perlindungan tersebut tidak hanya meliputi pengemalian aset hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat melalui pembangunan berkelanjutan.200 Sesuai dengan ajaran kriminologi dalam teori hedonis201 yang menganggap bahwa seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang 200
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 51. 201
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, aesuai dengan ajaran kriminologi dalam teori hedonis yang menganggap bahwa seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi
85
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
86
akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi. Analisis ekonomi dalam hukum pidana, menurut J.C Oudijk, mendasarkan diri pada asumsi bahwa pelaku atau calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.202 Hal ini lah yang membuat penderitaan rakyat semakin berat karena rakyatlah yang harus membayar apa yang dinikmati para pelaku tindak pidana korupsi itu. Pelaku tindak pidana korupsi mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk memakmurkan kehidupan rakyat203. Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga merupakan pengobatan atas pencorengan terhadap keadilan sosial204.
Dengan
demikian,
pelaku
tindak
pidana
korupsi
sangat
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Pelaku tindak pidana korupsi harus bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi yang mereka lakukan, juga sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab 2 bahwa tindakan pengembalian aset pun memiliki unsur prevention of crime.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dampaknya bersifat gradual, maka 202
Ibid, hal. 78 .
203
Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), hal 5 204
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 63. Definisi klasik keadilan yang dikemukakan Louis Kelso dan Mortimer Adler bahwa keadilan, dalam formulasi yang paling umum, menekankan kewajiban‐kewajibn moral atau perintah bagi manusia yang ebrgabung dalam tujuan‐tujuan hidup yang umum, yaitu bertindak demi kesejahteraan umum bagi semua, tidak hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia, tidak mencederai satu sama lain, memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia, dan bertindak adil terhadap sesame dalam pertukaran barang dan distribusi kekayaan. Dengan demikian, tindakan pengembalian aset yang bertujuan untuk mengembalikan aset yang dikorupsi kepada negara merupakan suatu perbuatan yang baik rehabilitatif bagi luka masyarakat, retributif bagi si pelaku tindak pidana korupsi, juga restoratif bagi kerugian materil bagi keuangan negara.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
87
penjatuhan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana ini sebaiknya tidak hanya penghukuman yang bersifat membuat jera pelaku saja, tetapi juga harus disertai hukuman lain untuk mengobati luka dan kerugian dari para korbannya. Dalam terjadinya tindak pidana korupsi, terkadang para penegak hukum dan pemerintah perumus peraturan perundang-undangan lupa akan keadaan korban yang harus sangat diperhatikan. Pemulihan kerugian yang dialami korban tindak pidana tidak kalah penting daripada penjatuhan hukuman penjara bagi para pelakunya. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, walaupun memang rakyat Indonesia yang menjadi korban dalam tindak pidana ini tidak seluruhnya dan secara langsung menerima restitusi dari tindak pidana ini, tetapi dengan adanya tindakan hukum secara konkrit berupa pengembalian aset dan tentunya penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara dapat menjadi obat bagi luka rakyat Indonesia akibat tindak pidana korupsi ini.
Metode pencegahan, penindakan dan penanggulangan atas tindak pidana korupsi harus lebih progresif dan efektif. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merupakan penanggulan tindak pidana melainkan juga merupakan suatu pencegahan terjadinya tindak pidana karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, yaitu pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan
kejahatan.
Idealnya,
kejahatan
berkurang
karena
kesadaran
masyarakatnya sendiri, inilah yang disebut dengan Marginal Deterrence. Marginal Deterrence didefinisikan oleh Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. sebagai suatu tahap dimana upaya-upaya pencegahan kejahatan sudah berada pada tahap minim karena menurunnya tingkat kejahatan sebagai hasil pencegahannya yang semakin efektif dan kesadaran masyarakat sendiri. Bedanya dengan prevention of crime (pencegahan kejahatan), sebagai langkah konvensional, ialah bahwa pencegahan kejahatan yang disebut terakhir ini menitik beratkan pendekatan pemberatan hukuman. Antara kedua bentuk upaya tersebut, jelas marginal deterrance adalah bentuk yang ideal, karena kejahatan berkurang bukan karena diperberatnya hukuman dan langkah-langkah represif lainnya, tetapi yang
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
88
dilakukan ialah usaha-usaha pendekatan rasional, persuasif dan proses penyadaran lainnya.205
Kondisi ini bisa terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat memadai. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu sistem penanggulangan atas kerugian dari tindak pidana korupsi. Keadilan restoratif yang merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi pada pengembalian kerugian dan keadaan seperti sedia kala sebelum terjadinya tindak pidana, merupakan pemikiran yang harus ditanamkan pada penegak hukum khususnya tindak pidana korupsi.
Dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang maka akan mengakibatkan kerugian. Walaupun telah dijatuhkan hukuman pidana, yang biasanya dijatuhkan hukuman penjara, terhadap pelaku pidana seringkali korban tetap tidak puas karena kerugian yang diderita korban tidak tergantikan. Pemecahan masalah menggunakan penjatuhan pidana pokok biasa dirasakan kurang memberikan keadilan. Keadilan yang dituju atau dicapai dengan cara tersebut adalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang kadang-kadang tidak sama dengan keadilan yang dirasakan masyarakat.206 Keadaan ini tidaklah mengherankan kalau kita melihat tujuan pemidanaan yang selama ini dikembangkan dalam hukum positif kita, yang fokus perhatiannya lebih banyak pada upaya bagimana agar pelaku ini jera, bagaimana agar pelaku ini menjadi orang yang berguna di masyarakat dan sebagainya. Titik perhatian utama dalam proses pemecahan kasus pidana ini, penguasa atau negara lebih banyak memberikan perhatian kepada pelaku atau pelanggar, agar pelaku berubah menjadi baik dan berguna dimasyarakat, sementara di pihak lain, korban dan masyarakat yang merasa terganggu keharmonisannya akibat ulah pelanggar atau 205
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal 18 206
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III, September 2004, hal 19 s.d 28.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
89
pelaku tadi kurang mendapatkan perhatian bahkan tidak dilibatkan dalam memecahkan masalah yang terjadi dan menimpa dirinya tersebut.
Berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan terebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari Margarita Zemova dalam bukunya Restorative Justice: Ideals and Realties yang menyatakan bahwa kunci dari tercapainya keadilan restoratif adalah suatu tindak pidana tidak hanya dikendalikan oleh aparat penegak hukum dan penasehat hukum saja, tetapi juga melibatkan para pelaku tindak pidana dan juga korbannya.207
Pengembalian kerugian atau tindakan untuk mengembalikan
keadaan semula
proses pemecahannya adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut, termasuk bagaimana memperbaiki kerusakan tersebut dan siapa yang bertanggungjawab untuk itu. Proses seperti ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tadi secara bersama-sama juga mencari alternatif pemecahannya.208 Proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahakan masalah dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan inilah yang disebut dengan istilah Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (Tony Marshall yang kemudian diadopsi oleh Kelompok Kerja Peradilan Anak, PBB). 209 207
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate Publishing Limited, 2007), hal 10. 208
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III, September 2004, hal 19 s.d 28. 209
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal. 3. (Dalam Robert I Rutberg dan Dennis
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
90
Welgrave mengemukakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana.210 Selain itu, konsep keadilan restoratif ini juga sangat kental dengan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan dari pemidanaan, yaitu pemulihan keadaan dengan korban, pelaku tindak pidana dan masyarakat yang bersama-sama sesuai peran masing-masing untuk memulihkan keadaan. Bila dikaitkan dengan pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi, dalam rangkaian tindakan penelusuran, pembekuan, penyitaan dan akhirnya tahap pengembalian aset negara yang dikorupsi adalah sejalan dengan konsep keadilan restoratif yang megutamakan perbaikan dan pengembalian kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Telah dikatakan dalam bab 3, bahwa keadilan restoratif tidak dapat dikategorikan sebagai teori, melainkan metateori yaitu dalam pemikiran keadilan restoratif mengandung pula unsur-unsur dalam teori-teori pemidanaan yaitu teori retributif, teori preventif, teori campuran, teori rehabilitatif, dan teori resosialisasi. Dalam pelaksanaan program keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan, pada dasarnya kita tidak bisa terlepas dengan tujuan pemidanaan lainnya seperti konsep rehabilitasi, resosialisasi, retributif, juga konsep prevensi. Begitupun dalam pengaplikasian
keadilan
restoratif
sebagai
tujuan
pemidanaan
dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, perampasan aset dengan tujuan pengamanan aset agar tidak dihilangkan jejaknya merupakan salah satu nestapa yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Gaya hidup modern dan konsumtifitas dari pejabat negra dewasa ini tidak dapat dielakkan dari godaan praktik korupsi. Bahkan Gaspare Mutolo, seorang gembong mafia yang bekerjasama dengan komisi anti Thomson, ed., Truth v Justice, The Moralty of Truth Comission (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000). 210
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven: Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal. 249-280).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
91
mafia Italia pada tahun 1992, mengungkapkan bahwa211 ”perasaan paling buruk yang dialami para penjahat yang melakukan kejahatan dengan motif mendapatkan
keuntungan
hasil
kejahatan
adalah
jika
aset-aset
hasil
kejahatannya itu diambil”.
Sedikit mengkritisi Pasal 4 jo Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, dimana pengembalian kerugian negara yang dimaksud adalah dengan pembayaran denda yang jumlahnya limitatif ditentukan oleh undang-undang, dan maksimal denda yang diancam adalah hanya 1 milyar rupiah. Melihat realitas di Indonesia dewasa ini, jumlah uang yang dikorupsi sudah tidak main-main, puluhan milyar bahkan sampai trilyun. Sebut saja kasus Bank Century yang sangat menyita perhatian Indonesia pada tahun 2008 yang merugikan keuangan negara kurang lebih sebesar 6,7 trilyun sangat tidak adil apabila aset yang dicuri tersebut hanya dikembalikan 1 milyar rupiah (dengan asumsi dikenakan pidana denda maksimal). Pengembalian aset yang dimaksud dalam undang-undang ini haruslah diperluas, tidak hanya pidana denda tetapi semua aset yang telah dicuri harus dikembalikan, beserta segala keuntungan yang didapat dari aset tersebut. Tanggung jawab pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya apa yang diatur dalam undang-undang, yaitu dengan penjatuhan hukuman penjara atau hukuman mati dan penjatuhan denda, melainkan juga bertanggungjawab atas segala kerugian negara yang disebabkan olehnya dan memulihkan keadaan bangsa yang terpuruk atas tindak pidana korupsi.
4. 1. 2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 1 huruf 2 mendefinisikan korban sebaagai ”Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Kata subjek dalam definisi yang diberikan dalam 211
Purwaning Yanuar, Pentingnya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana, Disampaikan dalam Lokakarya BPHN Departemen Hukum dan HAM pada 18 Agustus 2009, hal. 10.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
92
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut adalah ”seseorang” yang menunjuk seorang manusia, tetapi definisi tersebut merupakan definisi ’korban’ secara sempit. Bila kita tafsirkan secara luas, yang dapat diklasifikasikan sebagai korban adalah tidak hanya manusia, melainkan dalam beberapa konteks, negara pun dapat dikategorikan sebagai korban, tentunya korban tindak pidana.
Dalam tindak pidana korupsi transnasional, dimana suatu negara yang asetnya dikorupsi dan aset tersebut dilarikan keluar negeri, maka negara yang disebut pertama ini disebut sebagai negara korban. Dalam topik ini, Negara sebagai representasi dari rakyatnya yang dikorbankan akibat maraknya tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, rakyat Indonesia yang senantiasa menjadi warga yang taat dalam membayar pajak, tapi dengan mudahnya pajak yang mereka bayarkan diselewengkan dan dilarikan ke luar negeri. Negara atas nama Rakyat Indonesia sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam usaha pemulihan keadaan dengan pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.212 Disamping itu, negara dapat merepresentasikan rakyatnya sebagai korban dari tindak pidana dalam hal ada gap sosial antara korban dan pelaku tindak pidana contohnya dalam tindak pidana korupsi yang merupakan white collar crime dan korbannya merupakan rakyat Indonesia, khususnya kalangan menengah kebawah yang
membutuhkan
bantuan
keuangan
dari
pemerintah
dalam
untuk
213
menyelenggarakan kesejahteraannya.
Apabila mendengar istilah ’korban tindak pidana’ pasti kita otomatis membayangkan penderitaan berupa luka fisik, atau kehilangan harta benda. Predikat korban memang sangat dekat dengan penderitaan atasnya akibat tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pada dasarnya, korban tindak pidana adalah tidak hanya manusia tetapi Negara pun dapat menjadi korban dari tindak pidana, yaitu salah satunya tindak pidana korupsi.214 Dengan demikian, Negara Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene]. Diterjemahkan oleh Jane Grigson, (USA: Oxford University Press, 1964), hal 14. 212
213
Ibid., hal 97 s.d. 99.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
93
diharapkan melakukan upaya-upaya yang akan disarankan berikut mengenai pemulihan keadaan negara akibat tindak pidana korupsi. Atas terjadinya tindak pidana korupsi, negara sangat menderita tidak hanya dalam hal finansial tetapi juga dalam bidang politik, hukum dan kemanusiaan. Salah satu penyebab adanya tindak pidana korupsi adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Sedangkan akibat dari korupsi, keuangan negara digerogoti oleh para pelaku tindak pidana korupsi, dana yang seharusnya digunakan unutk pembangunan nasional dan kegiatan pemakmuran rakyat dikorupsi begitu saja oleh mereka. Penderitaan rakyat, khususnya rakyat kecil, semakin berat. Dengan demikian, jelaslah Negara, dengan ditafsirkan secara luas, dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi.
Dengan diaturnya ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) dalam Pasal 46 Bab VI UNCAC 2003 yang mengatur tentang kerja sama internasional, Negara diharapkan dapat secara aktif melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang efektif dan efisien dapat terlaksana. Bagi aset negara yang dilarikan ke luar negeri oleh para pelaku tindak pidana korupsi, MLA dapat dijadikan salah satu jawaban atas pertanyaan yurisdiksi aset yang akan disita melampaui yurisdiksi Indonesia.
Menurut Tim Daniel, dalam TI’s Quarterly Newsletter, jenis-jenis bantuan khusus yang dapat diminta dari negara lain adalah215: 1. Pelacakan oleh otoritas-otoritas pidana negara tersebut 2. Memberitahukan kepada negara korban tentang informasi yang diperoleh dari pelacakan; pemberian informasi tunduk pada syarat bahwa informasi hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan dalam perkara pidana dan di negara korban; 214 Ibid. Dalam bukunya, Cesare Beccaria menggunakan teori kontrak sosial yang dimana Negara sebagai representasi rakyatnya. 215
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven: Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal 236. (Seperti terdapat dalam Tim Daniel, Tracking Down Stolen Assets: the Nigerian Experience, TI’s Quarterly Newsletter, March 2003, hal. 10).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
94
3. Membekukan aset-aset yang berada di negara yang dimintai bantuannya
Membina hubungan dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan pencucian uang hasil tindak pidana korupsi guna mempermudah pelacakan aset merupakan kontribusi negara yang terbesar. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal transnasional, penegak hukum dan tim pelacak aset tidak dapat bekerja sendiri dalam pelacakan dan pembekuan aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan. Akan tetapi, peran Negara korban sangat besar dalam hal kontribusinya meminta negara tujuan untuk menyusun suatu bantuan timbal balik. Keterangan tersangka tindak pidana korupsi tidak dapat begitu saja dijadikan dasar pelacakan aset, karena pada dasarnya seorang tersangka pidana dilindungi hak-hak tersangka dan berlaku asas non-self incrimination. Dalam hal ini, pemikiran mengenai program keadilan restoratif sangat tepat untuk diaplikasikan, dimana dalam penegakan hukum ada pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat terlibat untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana.
4. 1. 3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindakan Restoratif
Program keadilan restoratif merupakan jalan untuk menegakkan hukum pidana demi menyeimbangkan kebutuhan dari masyarakat, korban dan pelaku tindak pidana. Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitkan oleh UNODC disebutkan beberapa kriteria atau keistimewaan program keadilan restoratif, yaitu : 1. Dapat secara fleksibel menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara kejahatan, pelaku dan korban, yang memungkinkan setiap kasus harus dipertimbangkan secara individual. Dalam kaitannya dengan proses pengembalian aset hasil tindak korupsi, penegak hukum harus dapat membuktikan aset yang diduga hasil tindak pidana dan pula harus berhasil menjatuhkan pidana terhadap pelaku, sedangkan korban dan dalam topik ini Negara lah yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi berperan
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
95
dalam urusan political will yang harus kencang melakukan diplomasi kepada negara tempat aset dilarikan untuk bekerjasama melakukan penyitaan dan pengembalian aset. 2. Menghargai harga diri dan hak dari para pihak terkait dalam tindak pidana, membangun kesepahaman antar pihak dan menggalakan keharmonisan sosial melalui pemulihan kerugian yang diderita korban, pelaku tindak pidana dan masyarakat. Penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga merupakan program pengembalian harga diri bangsa yang telah diremehkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi karena tidak terlaksananya
sistem
good
governance
dengan
baik.
Moralitas,
akuntabilitas dan transparansi dari pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi sudah begitu bobroknya dan mencoreng nama Indonesia. Di sisi lain, harga diri pelaku tindak pidana korupsi pun sedikit lebih dihargai walaupun tetap saja kebencian dari masyarakat masih saja ada, tetapi dengan mengembalikan aset yang dikorupsinya, setidaknya ia telah menebus kesalahannya secara materil, dan juga secara immateril, harus menebus kesalahannya dengan penjatuhan pidana penjara sebagai pidana pokok. 3. Alternatif yang tepat dimana dapat diintegrasikan dengan sistem peradilan pidana tradisional dan sistem pemidanaan. Keadilan restoratif ini, selain dapat diartikan sebagai suatu praktek tetapi bisa juga dijadikan sebagai dasar pemikiran. Sehingga, dalam sistem peradilan pidana khususnya dalam penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi, keadilan restoratif harus dijadikan dasar pemikiran. Begitu fleksibelnya pemikiran ini membuat keadilan restoratif dapat diintegarasikan dalam sistem peradilan pidana. Adat istiadat di Indonesia pun telah mengenai konsep yang bersifat restoratif dalam sistem ganti rugi yang diterapkan pada kehidupan tradisional sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. 4. Pendekatan yang menggabungkan konsep pemecahan masalah dan menunjukkan hal apa yang menjadi akar sebab dari tindak pidana. Terkait dengan program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, lembaga
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
96
pemidanaan berupa pidana pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dirasakan tidak cukup. Akar masalah dari penegakan hukum atas tindak pidana korupsi ini bukan hanya penjatuhan hukuman yang memberikan efek jera melainkan juga pengembalian kerugian negara. Hal yang terakhir disebut inilah merupakan masalah yang harus dipecahkan. 5. Suatu pendekatan yang peduli akan kerugian dan korban dari tindak pidana itu sendiri. Sudah jelas, apabila kita kaitkan dengan masalah pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, program ini mengusung tujuan keadilan bagi korban tindak pidana korupsi dengan mengembalikan keseimbangan yang sempat hilang. 6. Suatu pendekatan yang menyadarkan dan mendorong para pelaku tindak pidana untuk memahami sebab dan akibat dari tindakannya serta bertanggungjawab atas dasar kesadarannya sendiri. Dengan rangkaian persidangan dan perampasan aset yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan pengembalian aset, diharapkan para pelaku sadar akan perbuatan yang mereka lakukan. Dengan perampasan ini pula mereka harus pula merasa apa yang dirasakan penderitaan rakyat kecil yang seharusnya mendapatkan hak untuk pembangunan dan penyejahteraan tetapi dana yang digunakan habis dikorupsi oleh pelaku. Tujuan moral yang terdapat dalam konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sangat mulia, yaitu menyadarkan para pelaku akan kemiskinan yang akan mereka hadapi sebagai konsekuensi perbuatan yang mereka lakukan. Lagi, prinsip ”crime doesn’t pay” berlaku, yaitu pelaku tindak pidana tidak akan menerima keuntungan dari perbuatan mereka. 7. Suatu pendekatan yang tidak kaku dan dapat disesuaikan untuk diadaptasikan dalam berbagai keadaan, tradisi hukum, prinsip dan dasar filosofi dari sistem hukum nasional masing-masing Negara. Terkait dengan pengembalian aset, telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa dalam hal aset yang akan disita berada di luar yurisdiksi Indonesia, maka pemerintah Indonesia dapat mengajukan MLA kepada negara tujuan. Disamping itu, UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia pun
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
97
telah
mengatur
bahwa
ketentuan
dalam
UNCAC
2003
berupa
pengembalian aset yang bersifat restoratif harus mengadopsi ketentuan hukum pidana dalam UNCAC 2003 ke dalam hukum nasional.
Pemulihan keadaan dari korban, pelaku tindak pidana dan keadaan sekitar yang kehilangan keseimbangan akibat terjadinya tindak pidana pun merupakan satu unsur penting dari pendekatan keadilan restoratif. Dalam kaitannya dengan upaya perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, pemulihan keadaan dari korban tindak pidana, yang direpresentasikan oleh negara, mendapatkan pemulihan berupa aset hasil tindak pidana korupsi yang dirampas dari pelaku tindak pidana dan selanjutnya akan dikembalikan kepada negara. Mengenai pemulihan keadaan dari pelaku, dengan mengembalikan aset negara yang diambilnya secara melawan hukum membuat pelaku tindak pidana, berdasarkan penjelasan dari Pasal 4 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun bukan merupakan dasar penghapus pemidanaan tetapi dapat dijadikan dasar peringan. Oleh karena itu, dengan mengembalikan aset yang telah ddikorupsinya, para pelaku akan dipertimbangkan peringanan pidana atasnya. Melihat konsep pemikiran dari keadilan restoratif, dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan ini merupakan konsep yang telah dewasa dalam menghadapi permasalah di masyarakat khususnya masalah pidana. Pembalasan sekonyongkonyong bukan satu-satunya tujuan dari suatu pemidanaan. Keadilan restoratif menawarkan pemikiran yang matang mengenai usaha apa saja yang harus ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan dari suatu masyarakat atau negara akibat terjadinya tindak pidana. Dan terkait dengan pendekatan keadilan restoratif dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tujuan pemulihan keadaan yang merupakan tujuan dari keadilan restoratif adalah sejalan dengan program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
98
4. 2. Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dapat Berjalan Efektif Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang menyita banyak perhatian masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Pertanyaan yang sering muncul adalah sedemikian rupa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi diupayakan tetapi mengapa korupsi masih merajalela dan koruptor masih bebas berkeliaran
menikmati
hasil
korupsinya?
Cara
apa
yang
tepat
untuk
mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan membasmi korupsi?
4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia Korupsi sebagai tindak pidana yang bersifat gradual sangat membutuhkan perhatian yang lebih dan keseriusan yang besar dalam penindakannya karena bila tidak, stabilitas ekonomi negara pun terancam. Sebagai tindakan awal dari keseriusan ini adalah dengan kesigapan penegak hukum dalam menanggapi laporan atau indikasi adanya tindak pidana korupsi. Hal itu dapat dilakukan dengan pembekuan aset yang dicurigai sebagai hasil tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UNCAC 2003. Kepolisian Republik Indonesia dan KPK lembaga yang berwenang menerima laporan dari masyarakat atas indikasi terjadinya tindak pidana korupsi, diharapkan tidak menunda untuk melakukan penyelidikan dan pelacakan aset terkait laporan tersebut. Seiring dengan berkembangnya globalisasi, tindak pidana korupsi pun berkembang semakin rumit karena batas antar negara semakin menipis dan pencucian uang pun semakin mudah dilakukan. Untuk dapat mengakses aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri menjadi perkara yang tidak mudah. Seringkali aset-aset tersebut demikian besar jumlahnya, sehingga pengembalian itu memerlukan prosedur yang tidak mudah. Untuk kepentingan investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, UNCAC 2003 mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dengan
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
99
tujuan penyitaan.216 Di sisi lain, negara-negara dimana aset hasil tindak pidana korupsi disimpan harus dengan cepat merespon permintaan bantuan hukum. Sekali lagi ditekankan bahwa dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pihak terkait harus benar terlibat dan saling bekerjasama memerangi tindak pidana korupsi dan membantu negara korban dalam memulihkan kerugiannya akibat tindak pidana korupsi. Mengenai hal ini, bahkan Saldi Isra berpendapat bahwa Indonesia harus mendesak negara-negara maju melalui lembaga-lembaga internasional untuk menciptakan kerjasama internasional yang lebih pro dengan keterbatasan kemampuan negara-negara berkembang terhadap tekhnologi, akses dan politik internasional dalam upaya pengembalian aset curian.217 Keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat optimal bila pola pikir masyarakat Indonesia hanya terpaku pada balas dendam semata pada para koruptor. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus menanamkan pola pikir maju dengan tidak berhenti pada pembalasan atas tindak pidana, tetapi juga bagaimana tindakan selanjutnya untuk mengamankan aset negara yang dikorupsi serta memulihkan kerusakan dan kerugian akibat tindak pidana. Edukasi mengenai pentingnya pengembalian aset negara harus ditanamkan kepada masyarakat Indonesia, sehingga setiap golongan masyarakat Indonesia, khususnya legislator sang perumus peraturan perundang-undangan dan penegak hukum Indonesia, mengerti pentingnya penegakan hukum atas pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak dapat begitu saja dirampas dan dikembalikan ke negara tanpa dilakukan proses yang pantas dan tepat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2 laporan ini, terkait tahapantahapan pengembalian aset, proses pengembalian aset harus dilakukan selain 216
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, Pasal 31 ayat 2.
217
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recoverytindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11, diunduh pada 6 Maret 2011.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
100
dengan kapabilitas dari penegak hukum yang baik, juga harus disertai dengan ada tim khusus yang fokus melakukan penelusuran aset hasil korupsi. William R. Schoeder mengatakan bahwa keberhasilan pelacakan tindak pidana korupsi di sektor publik sangat bergantung kepada kemampuan penyidik dalam mencari jejak kepemilikan uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari pelaku-pelakunya.218 Penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, baik di Indonesia maupun di negara lain, merupakan poin inti dari dari rangkaian proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini. Korupsi sebagai kejahatan kerah putih yang terkadang banyak memboncengi kepentingan para pejabat pemerintah membuat proses penelusuran aset menjadi semakin sulit. Banyak sekali kepentingan-kepentingan politik dan pribadi bersarang dalam proses ini. Sebagai contoh, yang sedang marak sekarang ini adalah korupsi untuk pendanaan dana kampanye, mark-up dana pengadaan barang dan suap dari pengusaha kepada Pemerintah Daerah agar menang tender.
Berangkat dari ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa dapat dibentuknya tim gabungan bila ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Untuk dapat mengesampingkan kepentingan-kepentingan tersebut dalam tahap pelacakan aset, maka diperlukan adanya satu tim khusus219 atau yang dalam Rancangan Undang-Undang Pengembalian Aset disebut dengan Satuan Tugas atau Task Force. Satuan Tugas ini terdiri dari gabungan beberapa instansi terkait seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung Repulik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, akademisi, juga advokat. Disamping itu, dalam program pengembalian aset hasil tindak 218
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 209 (Sebagaimana terdapat dalam Willian R. Schoeder, A Review Article: How To Do Financial Asset Investigations: A Practical Guide for Practice Investigators, Collections Personnel, and Asset Recovery Specialists, The FBI Law Enforcement Bulletin, Juli 2001). 219 Tim khusus diperlukan dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan oleh pelaku. Mengapa diperlukan tim khusus karena tim ini dibentuk khusus untuk menjalankan fungsi ini dengan penuh konsentasi dan fokus pada penelusuran aset.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
101
pidana korupsi ini, tidak hanya elemen hukum dan penegak hukum saja yang dilibatkan. Unsur keuangan sangat kuat disini, penggunaan instrumen hukum saja tidak cukup, dalam penegakannya instrumen dan penyedia jasa keuangan pun harus dilibatkan. Jasa perbankan pun harus terlibat secara aktif karena mulai dari penelusuran dan penyitaan aset yang dilarikan oleh pelaku tindak pidana korupsi pun tidak dapat lepas dari keahlian para penyedia jasa keuangan dan perbankan.
Terkait dengan legislasi, Indonesia sendiri telah memiliki instrumen hukum mengenai Mutual Legal Assistance yaitu Undang-Undang 1 Tahun 2006, UndangUndang No. 39 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meratifikasi UNCAC, juga telah memiliki PPATK sebagai lembaga yang dipercaya untuk berwenang dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana yang dicuci. Akan tetapi instrumen tersebut tidak digunakan secara maksimal dan harmonis.220 Disamping itu, World Bank Group (WBG) menyampaikan bahwa terkait dengan perbedaan sistem hukum antar negara yang berurusan masalah pengembalian aset tidak perlu dirisaukan. Hal yang menjadi pokok pikiran adanya negara korban yang mengajukan bantuan dapat menjelaskan keterkaitan kepentingan negara korban atas asetnya yang dilarikan ke negara tujuan. Sementara itu, yang dialami Indonesia bila melihat ke kasus Bank Century adalah Swiss, negara tujuan, tidak merasakan adanya iktikad baik sama sekali terhadap Indonesia sebagai negara pemohon bantuan karena Indonesia tidak menunjukkan secara maksimal keinginannya untuk bekerjasama dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kembali lagi ditekankan bahwa Indonesia harus memiliki keseriusan atas penegakan pengembalian aset ini dengan meningkatkan political will dari Indonesia sendiri dan mengoptimalkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi.
220
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibu Chairijah, Direktur Hukum Internasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, menyampaikan bahwa tidak pernah ada keputusan instrumen yang mana yang akan digunakan dalam “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011”
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
102
4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset Tersedianya dasar hukum kerja sama internasional mengenai pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah telah membuka peluang bagi upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi. Persoalannya adalah, ketentuan mekanisme pengembalian yang diatur dalam UNCAC 2003 mengacu pada hukum nasional masing-masing negara pihak UNCAC 2003 yang pada umumnya berbeda dan dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi hukum antara negara pihak yang satu dengan yang lainnya. Efektif berlakunya UNCAC 2003 tidak semata-mata bergantung kepada penandatanganan dan ratifikasi UNCAC 2003 oleh negara-negara pihak, tetapi juga sangat bergantung kepada sistem hukum nasional masing-masing negara yang dapat bersinergi dengan ketentuan dalam UNCAC 2003.
Untuk melegalisasi setiap tahap dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana, Indonesia sebaiknya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, sehingga Indonesia memiliki instrumen hukum yang komprehensif mengenai sistem dan mekanisme mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Sebagai tambahan, Undang-Undang Perampasan Aset yang nantinya akan disahkan harus harmonis dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia sebelumnya. Dengan harmonisasi tersebut diharapkan ketentuan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri menjadi jelas dan dapat diaplikasikan segera.
Harmomisasi lain yang diperlukan dalam penegakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini adalah dalam hal peradilan pidana di Indonesia. seperti yang telah dikemukakan dalam bab 2 bahwa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak selalu berkaitan dengan aspek hukum tetapi juga dengan bidang lain, tetapi karena akibat dari tindak pidana korpsi mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, maka proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini membutuhkan seperangkat aturan hukum. Harmonisasi
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
103
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan undang-undang yang satu dengan yang lain.
4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai Alternatif Non-convicted based forfeiture221 atau perampasan in rem merupakan salah satu alternatif dalam melegalisasikan tindakan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Lembaga in rem ini merupakan suatu legal action atau upaya hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk menuntut atas kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak (an action determining the title to property and the rights of the parties, not merely among themselves, but also against all persons at anytime claiming an interest in that property).222 Dalam pengembalian aset jenis ini, penyelamatan aset dengan gugatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang telah diputus bebas oleh pengadilan atas kejahatan korupsi yang dilakukannya, padahal atas perbuatannya menimbulkan kerugian terhadap negara. Dikarenakan tuntutan pidana gugur apabila terdakwa meninggal pada saat berjalannya persidangan, maka gugatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi juga dapat diberikan kepada terdakwa yang meninggal dalam proses persidangan pidana atas perkara korupsinya, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang mengatakan bahwa “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya” 221
Merupakan pengembalian aset tanpa adanya putusan pidana atas kasus tersebut terlebih dahulu yang biasa juga disebut sebagai pengembalian aset secara perdata atau civil forfeiture atau perampasan in rem. 222
Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7, No. 4, Desember 2010, hal 629-644.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
104
Belajar dari penegakan hukum di negara berkembang, Britani Raya contohnya yang telah mengaplikasikan NCB Recovery untuk mengambil kembali aset negara yang dikorupsi dengan dipayungi oleh POCA 2002. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi bukan merupakan perkara mudah, banyak sekali rintangan yang akan dihadapi oleh para penegak hukum. Akan tetapi, apapun caranya, apapun instrumennya, kerugian negara harus tetap dikembalikan demi mengembalikan keseimbangan dari negara. Pengembalian Aset secara NCB dapat digunakan dalam hal pelaku tindak pidana telah diputus bebas dari pelanggaran pidana pokok dikarenakan kurang adanya bukti yang dapat digunakan atau kegagalan dalam memenuhi beban pembuktian.
Meskipun pengembalian aset secara NCB sekalipun tidak pernah boleh dijadikan sebagai pengganti untuk penuntutan pidana, dalam banyak hal (terutama dalam korupsi pejabat), Pengembalian Aset secara NCB mungkin merupakan satusatunya alat yang tersedia untuk memulihkan keadaan akibat tindak pidana korupsi tersebut dan sekali lagi untuk memperoleh keadilan.223 Pengaruh para pejabat yang korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah para penyelidik kejahatan secara keseluruhan atau setelah pejabat yang berkaitan telah meninggal dunia atau kabur. Seringkali terjadi dimana seorang pejabat korup yang telah merampok negaranya berupaya untuk memperoleh imunitas dari penuntutan. Oleh karena itu, rezim pengembalian aset secara NCB tidak berhantung pada sebuah penghukuman pidana, maka dapat dilanjutkan tanpa memangdang adanya kematian, pelarian atau setiap kekebalan yang mungkin dinikmati pejabat yang korup tersebut. 224
Pengembalian aset secara NCB sebagai salah satu usulan untuk alternatif penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada akhirnya pun bermuara pada sistem peradilan pidana Indonesia sendiri. Indonesia sebaiknya melakukan 223 Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 15. 224
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
105
reformasi peradilan pidana dengan menanamkan pemikiran Keadilan Restoratif dalam tujuan pemidanaannya. Dalam setiap perumusan undang-undang hendaknya tujuan dari pembuatan undang-undang dan penjatuhan hukuman yang dikenakan adalah berdasarkan suatu cita-cita, bukan hanya untuk membuat jera para pelaku tindak pidana, Kembali lagi dengan pemikiran aliran konsekuensialis dimana konsekuensi yang didapat dari seorang tindak pidana harus setimpal dengan apa yang ia lakukan dan hukuman yang dijatuhkan pun hendaknya bijaksana dengan mempertimbangkan sisi deterrence, hak asasi manusia, keadilan juga sisi preventif untuk kemudian hari. Disamping itu, program keadilan restoratif yang dalam penegakan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh penegak hukum melainkan adanya partisipasi dari para pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat yang memegang perannya masing-masing dalam penyelesaian masalah akan membawa sistem peradilan Indonesia menjadi lebih bijaksana, dewasa dan mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan dan kepastian hukum.
4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam pembahasan mengenai program perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berupa Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011, timbul suatu rekomendasi yang diutarakan oleh Harry Ponto adalah dengan penggunaan Hukum Kepailitan sebagai pendekatan upaya perampasan aset hasil tindak pidana. Dengan rendahnya Indeks Perkiraan Korupsi Indonesia tahun 2010 yaitu 2,8 dari skala 10,00225, pemerintah, penegak hukum, juga masyarakat Indonesia harus 225 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Bertahan, Todung Mengaku Terkejut, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/10/27/142578-indeks-persepsikorupsi-indonesia-bertahan-todung-mengaku-terkejut, diunduh pada 15 Juni 2011. Disampaikan juga bahwa TII merilis IPK Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2,8 atau tidak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. TII melakukan penelitian terhadap tingkat persepsi korupsi pada beberapa negara berdasarkan data gabungan dari hasil survei sejumlah organisasi. Indonesia berada pada posisi 110 dari 178 negara yang dilakukan survei terhadap indeks persepsi korupsi. Singapura, Finlandia, Selandia Baru dan Denmark termasuk kategori negara yang bersih terhadap praktik korupsi dengan poin tertinggi mencapai 9,3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
106
cerdas dan kritis menghadapi dan melakukan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, salah satunya dengan penggunaan instrumen hukum perdata berupa kepailitan untuk mengembalikan aset kepada negara sebagai korban tindak pidana. Untuk menarik korelasi antara hukum kepailitan dengan pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi, pelaku tindak pidana dikategorikan sebagai debitur, sedangkan negara dikategorikan sebagai kreditur. Adapun definisi dari kepailitan itu sendiri adalah
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, karena debitur tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.226 Lembaga kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu pertama kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utangutangnya. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh para krediturnya.227
Dalam hukum kepailitan, syarat yang harus dipenuhi adalah “seorang Debitur mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”, dan berikut adalah penguraian unsurnya: -
Debitur, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, didefinisikan “orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Dalam Pasal 1 ke 11 Undang-Undang Kepailitan
226 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 28. (Sebagaimana dikutip dari D. Djohansyah, Pengadilan Niaga, dalam Rudy Lontoh (editor), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23). 227
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 10.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
107
disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi ini menafsirkan debitur sebagai subjek hukum”. Dalam arti luas, debitur didefinisikan dengan pihak yang memiliki kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul karena sebab apapun, baik karena perjanjian utang-piutang dan perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang. Dengan keleluasaan subjek hukum ini membuat lembaga kepailitan pun dapat digunakan dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan aset kepada negara. Seorang tindak pelaku tindak pidana (terpidana) yang telah dijatuhkan pidana oleh hakim dengan diwajibkan mengembalikan sejumlah uang untuk mengembalikan kerugian, dengan begitu uang tersebut menjadi kewajiban bagi pelaku untuk mengembalikan. Apabila uang yang harus dikembalikan tersebut belum dikembalikan, maka itu akan menjadi utang bagi terpidana tersebut, sehingga terpidana dapat dikategorikan sebagai seorang debitur. -
Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Hal yang paling penting dalam unsur ini pertama adalah adanya utang. Dalam Pasal 1 ke 6 Undang-Undang Kepailitan disebutkan bahwa “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”. Terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dengan putusan pengadilan yang inkracht yang mengamanatkan adanya perampasan aset yang telah disita dalam tahap sebelumnya maka aset tersebut diklasifikasikan sebagai utang yang lahir dari undang-undang228. Putusan hakim yang mengamanatkan bahwa
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
108
terpidana korupsi harus mengembalikan semua aset yang telah dikorupsi atau dengan pembayaran uang pengganti. Selanjutnya, perlu dicari satu lagi debitur yang utangnya yang telah jatuh tempo dan belum dibayar oleh si pelaku tindak pidana untuk dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga.
Terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia sebagai korban, yang direpresentasikan oleh Negara, maka kepentingan umum lah yang menjadi masalah disini. Untuk permohonan kepailitan yang dimana utang oleh kreditur (yaitu aset yang dikorupsi oleh pelaku), Kejaksaan dapat menjadi lembaga yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Kepailitan yang menyatakan bahwa “permohonan kepailitan dapat diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum”. Disebutkan lebih lanjut dalam penjelasan pasal ini mengenai unsur “kepentigan umum” yakni, kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya a.) Debitor melarikan diri; b.) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c.) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d.) Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e.) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau f.) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan pun tidak ada bedanya dengan permohonan kepailitan oleh orang perorangan atau badan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan melengkapi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Mempertimbangkan aset yang dikorupsi 228 Ibid., hal 32. Utang ini merupakan utang yang ditafsirkan dalam arti luas, yang dimana setiap kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar sejmlah uang, sekalipun kewajiban tersebut tidak timbul dari pernjanjian utan-piutang dapat diklasifikasikan sebagai utang menurut Undang-Undang.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
109
oleh para pelaku tindak pidana korupsi sanga besar besar dampak buruknya bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan negri, permohonan kepailitan oleh Kejaksaan atas dasar merugikan kepentingan umum adalah sah. Dengan demikian, lembaga kepailitan hendaknya dapat diperhitungkan sebagai salah satu tindakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian negara yang mereka sebabkan.
4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset Selain harmonisasi yang tersebut diatas, dalam Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan, aturan dasar operasi (standard operating procedure) mengenai permohonan MLA, pihak yang berwenang dalam setiap tahapan pengembalian dan badan pengembalian aset harus diatur secara jelas dan komprehensif. Aturan yang diatur dalam undang-undang diharapkan tidak diboncengi oleh kepentingan manapun, melainkan kepentingan rakyat Indonesia. Sekali lagi bila kita belajar dari negara Thailand yang memiliki Kantor Pencucian Uang (AMLO) dan Britania Raya yang memiliki Asset Recovery Agent (ARA) yang merupakan badan khusus yang independen mengurus aset hasil tindak pidana yang harus dikembalikan kepada negara, maka Indonesia pun sebaiknya memiliki badan seperti ini pula. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa kepentingan pengembalian aset tidak hanya diperlukan dalam tindak pidana korupsi melainkan banyak tindak pidana lainnya. Badan yang khusus memiliki peran dan fungsi untuk menjalankan fungsi tersebut merupakan sesuatu kebutuhan yang dasar dalam pelaksanaan pengembalian aset. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset sendiri sebenarnya telah mengatur mengenai Badan Pengembalian Aset yang dimana Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (RUPBASAN) merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk menjalankan tugas dan fungsi itu.
Semua gagasan yang telah dikemukakan diatas merupakan poin-poin yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan penegak hukum dalam penegakan hukum pengembalian aset hasil tindak pidana. Indonesia sebagai negara yang tingkat
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
110
korupsinya tinggi diharapkan memberikan komitmen penuh dan perhatian khusus dalam hal ini, karena masa depan pembangunan bangsa sangat tergantung dengan keuangan negara yang sebagian dihimpun dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat Indonesia kepada negara. Tidak ada kata terlambat dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia saat ini boleh saja terpuruk dalam perilaku korupsi, dan lemahnya penegakan hukum, tetapi cukup hal ini menjadi pelajaran yang cukup berharga untuk Indonesia melangkah lebih maju, dimulai dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dalam bab-bab sebelumnya dalam penulisan ini, pada intinya adalah konsep keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan dapat digunakan sejalan dengan konsep pengembalian aset atas hasil tindak pidana korupsi. Adapun kesimpulan secara menyeluruh adalah sebagai berikut : 1. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia telah dikenal sejak tahun 1957, yakni pada saat disahkannya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Di Indonesia sendiri, dewasa ini dasar hukum dari tindakan pengembalian aset diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Indonesia sebenarnya telah memiliki Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang telah disusun sejak ahun 2008, tetapi sampai tahun 2011 ini undang-undang tersebut belum juga disahkan. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia juga mengamanatkan didirikannya Badan Pengembalian Aset, yaitu RUPBASAN. Sedangkan di Britania Raya, tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 yang dimana pengembalian aset hasil tindak pidana dapat dilakukan dengan pengembalian secara pidana, juga pengembalian secara perdata, bahkan mereka telah memiliki Asset Recovery Agent (ARA) yaitu
111
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
112
badan independen khusus yang menangani masalah pengembalian aset hasil tindak pidana. Di negara Thailand, pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999 (AMLA), kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) untuk
melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap
pencucian uang. 2. Untuk memaksimalkan upaya penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka gagasan yang timbul adalah diantaranya harus adanya keseriusan dari penegak hukum dan political will dari Indonesia, segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, penggunaan upaya pengembalian aset secara NCB sebagai alternatif, menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternative pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan pengefektifan RUPBASAN sebagai badan pengembalian aset. 3. Keadilan Restoratif merupakan pemikiran dari tujuan pemidanaan yang mengutamakan konsep pemulihan keadaan akibat terjadinya tindak pidana sehingga keadaan kembali seperti semula dengan pendekatan yang mengutamakan penyesalan oleh pelaku karena kesadarannya atas konsekuensi dari perbuatannya, dimana dalam pelaksanaannya pelaku, korban, penegak hukum dan masyarakat dengan perannya masing-masing saling bekerjasama untuk memulihkan keadaan. Konsep keadilan restoratif merupakan sebuah metatori yang secara bijaksana dan fleksibel dapat diintegrasikan dan diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, karena konsep keadilan restoratif tidak dapat ditafsirkan secara sempit begitu saja. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang sejalan dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa upaya pengembalian aset. Hal ini dikarenakan tindakan pengembalian aset sendiri merupakan tindakan yang bersifat restoratif untuk mengembalian keseimbangan yaitu mengembalikan kerugian akibat tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, negara dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi, dan pengembalian aset hasil tindak pidana adalah tindakan yang bersifat restoratif.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
113
5.2 Saran Setelah melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut 1. Mengintegrasikan pengaturan dalam UNCAC yang merupakan salah satu hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. 2. Konsep keadilan restoratif hendaknya dijadikan salah satu dasar pemikiran dari penyusunan aturan dalam RUU Perampasan Aset dan Pemerintah Indonesia harus dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang sampai saat ini masih dalam daftar tunggu DPR untuk pengesahannya. Dengan harapan tindak pidana dapat berkurang karena masyarakat menyaksikan langsung konsekuensi apa yang akan mereka dapat bila melanggar suatu ketentuan hukum. 3. Indonesia harus meningkatkan political will dengan meningkatkan hubungan baik dengan negara lain khususnya negara yang sering menjadi tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi dan membangun hubungan baik dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi. Disamping itu pemerintah harus membekali para penegak hukum dengan edukasi komprehensif mengenai teknik pengembalian aset. 4. Disamping proses persidangan atas pelaku tindak pidana korupsi berjalan, proses penelusuran, pembekuan dan penyitaan aset harus tetap berjalan. Penelusuran aset sebaiknya turut melibatkan firma-firma hukum dan keuangan yang masing-masing ahli dalam bidangnya. 5. Selain pidana penjara, perampasan segala aset hasil tindak pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah harus dilakukan. Karena pada dasarnya pelaku tindak pidana korupsi merupakan manusia yang materialistis dan akan sangat menderita bila hartanya dirampas, dan hal tersebut merupakan pidana yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
114
perampasan aset hasil tindak pidana sebagai pidana tambahan harus pula dijatuhkan kepada terpidana disamping pidana pokok. 6. Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia pun telah berkembang. Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP saja kurang cukup karena hanya unsur pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan. Dengan pemikiran konsekuensialis dan pendekatan keadilan restoratif, diharapkan masyarakat Indonesia mendapatkan edukasi atas konsekuensi yang akan mereka dapat bila melakukan tindak pidana. 7. Rumah
Penyimpanan
Barang
Sitaan
dan
Rampasan
Negara
(RUPBASAN), lembaga yang berwenang sebagai Badan Pengembali Aset harus segera diaktifkan secepatnya setelah pengesahan RUU Perampasan Aset. 8. Pengembalian aset secara pidana, Pengembalian Aset NCB, dan Lembaga Kepailitan dapat dijadikan cara untuk mengembalikan aset yang telah dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
DAFTAR REFERENSI
BUKU Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008. Beccaria, Cesare. Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene]. Diterjemahkan oleh Jane Grigson. USA: Oxford University Press, 1964.
Dirdjosisworo, Soedjono. Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984.
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000.
Greenberg. Theodore S. et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture). Washington DC. The World Bank, 2009.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Semarang. Sinar Grafika, 2005.
. Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Hayati, Tri, et. al. Administrasi Pembangunan : Suatu Pendekatan Hukum dan Perencanaannya. Depok. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2005.
115
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
116
Hirsch, Andrew Von. et. al. ed. Restorative Justice: Competing or Reconcilable Paradigms?. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003.
Kanter, E.Y dan S. R Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002
Liebmann, Miriam. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley Pubishers, 2007.
Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara, 2001.
Maheka, Arya. Mengenal dan Memberantas Korupsi. (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi).
Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1984.
Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. cet-3. Bandung. Refika Aditama, 2003.
Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.
Rotberg, Ribert I dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth Comissions. Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000 .
Santosa, Bima Priya, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu. Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010.
Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia. Bandung: Percetakan Binacipta, 1992.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
117
Setiady, Tolib. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2010
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet III. Jakarta. UI-Press, 1986.
Sunarso, Siswanto. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasiona. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009.
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008.
Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC). World Bank Group, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunity, and Action Plan. Washington: 2007.
Utama, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.
Utrecht, Ernst. Hukum Pidana. Bandung: Universitas Press, 1965.
Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
118
Yanuar, Purwaning. M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung. PT Alumni, 2007
Zernova, Margarita. Restorative Justice: Ideals and Realties. England: Ashgate Publishing Limited, 2007.
INTERNET Bungalan, Hendra. Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/NilaiKerugian-Negara-Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun.
Diunduh
pada
24
Februari 2011.
Isra, Saldi. ”Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama”, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article &id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasamainternasional&catid=23:makalah&Itemid=11. Diunduh pada 6 Maret 2011.
Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi. http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705. Diunduh pada 1 April 2011.
Korupsi
Didominasi
Kalangan
Birokrasi,
http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813.
Diunduh
pada 1 April 2011.
Yudhoyono,
Susilo
Bambang.
”Program
Kerja
100
Hari
KIB
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html. Diunduh pada 1 April 2011.
UNDANG-UNDANG
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
II”.
119
Anti Money Laundering Act. Thailand, 1999.
Civil Law Convention on Corruption. Strasbroug, 1999. Entry into force 2003.
Council of Europe. Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime. Strasbourg. 8. XI, 1990
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 8 tahun 1981, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76, TLN Republik Indonesia No. 3209.
. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874.
. Undang-Undang Tentang Kepailitan, Undang-Undang No 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131, TLN Nomor 4443. .Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Moelyatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, 2008.
Proceed of Crime Act. United Kingdom, 2002.
United Nations. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003.
JURNAL Ariawan, I Gusti Ketut, ”Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, (Januari 2008).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
120
Garnasih, Yenti, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 7, No. 4, Desember 2010): hal 629-644.
Herlina, Apong. “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,.(September 2004): hal 19 s.d 28.
Swartz, Omar, “On Social Justice and Political Struggle”, essay, Human Nature Review. Volume 4, (15 Agustus 2004).
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia.
SEMINAR , LOKAKARYA DAN DISKUSI Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009.
Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.
Donald, Potter W. State Responsibility, Sovereignty, and Failed States. Makalah disampaikan pada Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29 September-1 Oktober 2004. Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia”. Makalah disampaikan pada Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003.
Thiel, Marita van, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development Bank, Asset Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
121
Disampaikan pada Proceedings of the 6th Regional Seminar on Making International Anti-Corruption Standards Operational, 2008.
TESIS & DISERTASI Soemarno. Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana”, Disertasi Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Sistem Peradilan Pidana. Depok, 2009.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
MINUTES OF MEETING THE FIRST UNODC ROUND TABLE DISCUSSION ON ASSET RECOVERY
Day/ Date Place Time Moderator Participants 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
: Thursday/ April 28th, 2011 : Prada Meeting Room, Four Seasons Hotel, South Jakarta : 09.30 am to 12.00 pm : Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri) :
Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri) Khasan Ashari (Kementrian Luar Negeri) Oktorian S. Hakim (Kementrian Luar Negeri) Dumas Radityo (Kementrian Luar Negeri) Chandra Hamzah (KPK) Arinta Luthri Handini (KPK) Muhammad Yususf (PPATK) Fithriadi Muslim (PPATK) Chairijah (Kementrian Hukum dan HAM) Pangihutan Siagian (Kementrian Keuangan) Christian (Kementrian Keuangan) Firstda Ayu Fian Nur Agusta (Kementrian Keuangan) Shanti (Kementrian Keuangan) Oktavia Maya Soraya (Kementrian Keuangan) Ahmad Wiyagus (Bareskrim) Trimulyono (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI) Ludfie Jatmiko (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI) Sudarmadji (Biro Hukum Bank Indonesia) Hendra Jaya Sukmana (Biro Hukum Bank Indonesia) Metta Dharmasaputra (Tempo) Budi Setyarso (Tempo) Desita Sari (Tim Pembaharuan MA) Harry Ponto (Kailimang & Ponto) Ahmad Fawaiq (Masyarakat Transparansi Indonesia) Riani Atika Nanda Lubis (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Ibrahim Tjondronegoro (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta) Ajit Joy (UNODC) Novriady Erman (UNODC) Rizki Indrawansyah (UNODC) Marsha Suryawinata (UNODC) Lisma Marpaung (UNODC) Seri Tarigan (UNODC)
1
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
I. PURPOSE OF MEETING a. General Purpose To discuss the problem on asset recovery faced by Indonesia. b. Specific Purpose 1. To raise common understanding amongst law enforcement and related institutions on asset recovery; 2. To find out the obstacles faced by institutions on asset recovery; and, 3. To find out how UNODC could further contribute on asset recovery matters in Indonesia
II. POINTS DISCUSSED 1. Asset recovery is difficult and complicated matter whereas the current initiatives on asset recovery are still preliminary in nature which further actions are required. 2. Under Indonesian legal context, it is even difficult to establish the crime in which asset recovery is required, i.e. corruption and money laundering, whereas, on the other hand, there is also a problem with definition on asset recovery matters. 3. The difference of legal system amongst countries is not a decisive matter on asset recovery as long as there are commitments and cooperation amongst law enforcement. 4. Some institutions still find a problem on asset recovery, i.e. in BNP Paribas and Bank Century case, since there is still no single exact requirement on documentations and Standard Operational Procedure (SOP) in seizing the stolen asset overseas, hence, UNODC could provide guidance or best practice from other countries. 5. Previous experiences on asset recovery have shown on how Indonesian officials are too dependent on foreign investigators. Regardless of the great result on tracing the asset, for example in BPPN case, there is a need to rely more on local resources. 6. We still have a problem in conducting a detailed and comprehensive investigation due to classical financial problem. 7. In order to promote asset tracing and asset recovery, there is a need to promote a reward for whistleblower.
2
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
8. From legal perspective, there is also still unclear cut between Article 10 of Indonesian Criminal Law and Article 39 of Indonesian Procedural Criminal Law on confiscation of asset. 9. There is differentiation between domestic asset recovery and foreign asset recovery. Nonetheless, both require court decision which states that there is a direct link between the asset and the predicate crime. 10. It is also important to note that in order an asset can be frozen and recovered, there should be a specific name of the asset to be confiscated in the court verdict. 11. Investigator cannot be further burdened by being assigned to conduct additional task on asset recovery since they have already been preoccupied by investigation as crucial matters related to the substance of the case. 12. On the other hand, it seems to be that we are lacking in political will. Not to mention, there is also a problem on cooperation. There is also a possibility to use bankruptcy law in Indonesia to recover asset both located in domestic and overseas. 13. In many cases, it is imperative as well for journalist to understand the law and legal system, and also to cooperate with law enforcement by not publishing the ongoing investigation in order to prevent any possibility that the suspect from escape or from concealing their assets. 14. Whereas the current mechanism in handling corruption case focuses on capturing the suspect, there should be a change to establish mindset to prioritize asset recovery. 15. The discussion also suggests several approaches on asset recovery namely, NonConviction Based Asset Recovery and Bankruptcy. It is also important to note the draft law on whistleblowing needs to be supported. 16. However, it should be taken into account that Indonesia does not have a mechanism on trans-boundary insolvency. 17. Considering the fact that third party also enjoy the proceed of corruption, there is also a need to adopt a law which criminalize and confiscate assets of third party. 18. One of the problems in asset recovery relies on the eagerness of public official to cope with vast-capital owner.
3
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
III. FOLLOW UP AND RECOMMENDATION 1. There is a need to establish a task force within, in particular, Indonesian National Police and Attorney General Office which mainly deal with asset-tracing and asset recovery matters and can work with the investigators. 2. There is a need as well to improve capacity of the current investigator and proposed task force on asset recovery. 3. It would be better if this Round Table Discussion does not establish a formal group on asset recovery since it will create a bureaucratic problem. However an informal group of stakeholders can be established.
4
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011