UNIVERSITAS INDONESIA
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
RIESA SUSANTI NPM. 0906581510
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JULI 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
RIESA SUSANTI NPM. 0906581510
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JULI 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ABSTRAK Nama : Riesa Susanti Program Studi : Pascasarjana Judul : Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian negara tidak dapat dieksekusi dan terganggunya proses penanganan perkara lain yang berkaitan dengan perkara tersebut. Untuk itu Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) mengatur tentang peluang dilakukannya pemeriksaan dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia) dengan maksud untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun dalam penerapannya, peradilan in absentia masih belum menyentuh tujuan utama tersebut. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan pada prinsip bahwa kehadiran terdakwa adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi sebagai manusia. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah penerapan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi, bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peradilan in absentia harus dilaksanakan berdasarkan KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak terdakwa untuk menghadiri sidang guna melakukan pembelaan terhadap dirinya, namun terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Dalam konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. Instrumen yang dapat digunakan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Sedangkan untuk aset yang berada di luar negeri, Indonesia mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC/Konvensi Anti Korupsi/KAK) yang telah diratifikasi Indonesia. Peradilan in absentia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, kesulitan-kesulitan teknis dalam tahap penyidikan sampai eksekusi, dan perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain yang sangat mempengaruhi proses pengembalian aset. Kata kunci : peradilan, in absentia, korupsi, aset.
viii Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ABSTRACT Nama : Riesa Susanti Study Program : Postgraduate Title : In Absentia Trial in Recovering The Proceeds of Corruption The absence of the defendant in a trial, specifically corruption, not only can hamper the attempt to recover the stolen assets but also vex the case handling process on relate matter. In order to fill the gap between the inability bring the defendant into the court and the compulsory need to present the defendant has became the essence of Article 38 Act No. 20 of 2001 on Eradication of the Criminal Act of Corruption (UU TPK) that regulates in absentia trial by means to enable the recovering of the stolen assets. However, in its implementation the in absentia trial process has not yet brought any sufficient results. Whereas, the process is resulted the debate from the human rights' point of view on whether the system must ensure that every person has the right to defend him/herself in front of the fair trial and cannot be self adjudicated by the evidence solely deliberate from the prosecutor (government). Thus, this thesis will discuss three main issues in regard to the in absentia trial for corruption case. First, it will discuss on the conceptual view on how the in absentia trial in colliding with the human right view. It will discuss the necessity to have the in absentia trial whilst the necessity for the government to ensure the establishment on fair trial before the court for every person. The second issue, will discuss on the implementation of the in absentia trial in regards to the attempt to repatriate the stolen asset. Third, the discussion will also elaborate on the optimum utilization of the in absentia trial as an alternate choice in conducting stolen asset recovery. The thesis is using the normative research method based on library literatures or usually called as secondary data based on literature study/documentary study and being analyzed using qualitative descriptive methods. The implementation the in absentia trial is based on KUHAP, specifically on the chapter that relates to the summoning procedures. KUHAP regulates that any defendant has the right to defend him/herself before the court and despite the fact that this has not been effectively exercise due to the the defendants' own desire. And under special circumstance the exercise of that right also can be adjourned. The instruments that applies in the repatriation of stolen assets recovery are the seize and confiscate as mentioned under the KUHAP. Whereas for the assets that locate in a foreign jurisdictions, Indonesia is referring to the regulations under the UNCAC that had been ratified under Indonesia law. In absentia trial in recovering the proceeds of corruption is dealing with the various problems mainly related to the perception of inequality in concerning the regulations of in absentia trial and the repatriate stolen assets, technical difficulties in the process from investigation phase until execution, and Indonesia’s legal system difference with other countries will influence the attempt to recover the assets.
Key words : trial, in absentia, corruption, asset.
ix Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ................................................................................... HALAMAN JUDUL ...................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ KATA PENGANTAR …………………………………………………........ LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …................... ABSTRAK ………………………………………………………………...... ABSTRACT .................................................................................................... DAFTAR ISI ………………………………………………………...........…
i ii iii iv v vii viii ix x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................... 1.2. Pernyataan Masalah ................................................................... 1.3. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................... 1.5. Kegunaan Penelitian ................................................................... 1.6. Kerangka Teori ………………………………………………... 1.7. Kerangka Konsepsional ……………………………………...... 1.8. Metode Penelitian ……………………………………………... 1.8.1. Jenis dan Sumber Data ………………………………..... 1.8.2. Metode Pengumpulan Data …………………………...... 1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data ………………………...... 1.9. Sistematika Laporan Penelitian ………………………………...
1 5 5 6 6 7 13 14 14 15 16 17
BAB II TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA 2.1. Teori Negara Hukum ………………………………………..... 18 2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana ………………………………... 25 2.3. Teori Keadilan Sosial ………………………………………..... 31 BAB III PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia ………….. 37 3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan ………….... 40 3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum Internasional dan Nasional ………... 47
BAB IV PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Tersangka/Terdakwa ............................................................... 66 4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ………………………...... 73 4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana
x Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Korupsi …..................................................................... 4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ................................................................…..... 4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ....………………………..... 4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ……………………………... 4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi secara In Absentia ………..... 4.2.5.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II) dan Sherny Kojongian (Terdakwa III) ..…………………………. 4.2.5.2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als. Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II) .................................. 4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ................................................
74 79 80 91 102
102
111
118
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ............................................................................ 131 5.2. Saran ...................................................................................... 134 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 136
xi Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Pembentukan
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dilandasi pemikiran bahwa korupsi sudah sangat akut dan menggerogoti seluruh sendi kehidupan berbangsa, sehingga dalam pemberantasannya tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi dan menggunakan cara-cara konvensional, melainkan diperlukan metode dan cara tertentu yaitu dengan menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1 Hal ini dikarenakan karakter korupsi sangat kriminogen (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan).2 Dengan mempertimbangkan kerugian hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai akibat korupsi, UU TPK memuat berbagai ketentuan yang semangat terbesarnya dapat disimpulkan adalah untuk memulihkan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat yang bersifat materiil, disamping mencantumkan ketentuan ancaman pidana yang lebih berat untuk memberikan efek jera pada pelakunya. Dengan demikian, hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat menjadi perhatian dan sasaran utama para pembentuk undang-undang dalam perumusan undang-undang pemberantasan korupsi melalui upaya sekeras-kerasnya untuk
1
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN No.137, TLN No. 4250, Penjelasan Umum. 2 Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008), hal. 1.
1 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
mengembalikan uang negara yang telah dikorupsi yang kemudian oleh negara dimanfaatkan untuk pemulihan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.3 Salah satu upaya dimaksud adalah peluang dilakukannya pemeriksaan dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia). Peluang dilaksanakannya peradilan in absentia diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK dapat diketahui bahwa maksud dari ketentuan mengenai peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, terdakwa dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim. Terdapat beberapa keuntungan apabila suatu perkara korupsi diperiksa dan diputus secara in absentia yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan agar aset-aset dari pelaku tindak pidana korupsi bisa langsung disita dan dieksekusi oleh jaksa melalui putusan hakim. Namun di sisi lain, KUHAP menganut asas kehadiran terdakwa yang dihadapkan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam keadaan bebas dan merdeka, artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik jasmani maupun rohaninya.4 Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa di sidang pengadilan diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP yaitu bahwa terdakwa adalah seorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan, dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang diketahuinya sendiri atau dialami sendiri. Hal ini juga diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) yang menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”.
3
Edy Wibowo, Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, (Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009), hal. 49. 4 Lihat Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana hakekatnya untuk memberikan ruang kepada terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan
mempertahankan
hak-hak
kebebasannya,
harta
benda
ataupun
kehormatannya. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti benarbenar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli dan alat-alat bukti yang lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan pembelaannya.5 Pada praktiknya upaya menyidangkan terdakwa perkara korupsi secara in absentia bukanlah suatu hal yang baru. Sejak tahun 2002, terdapat 6 (enam) perkara korupsi yang diperiksa dan diputus secara in absentia dan kesemuanya merupakan terdakwa perkara korupsi BLBI. Dalam perkara korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian diadili secara in absentia ketika ketiganya telah melarikan diri ke luar negeri. Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam perkara BLBI Bank Surya diadili secara in absentia ketika yang bersangkutan berada di Singapura. David Nusa Wijaya dalam perkara BLBI Bank Servitia juga telah divonis 1 (satu) tahun penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena melarikan diri. Perkara terbaru yang diperiksa dan diputus dalam pengadilan in absentia adalah perkara korupsi dan pencucian uang dengan terpidana mantan pemilik Bank Century yaitu Hesyam Talaat Mohamed Besher Alwarraq alias Hesham Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi. Vonis yang dijatuhkan terhadap keduanya adalah penjara 15 (limabelas) tahun, uang pengganti sebesar Rp 3.115.889.000.000,(tiga triliun seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta rupiah) dan pidana denda Rp 15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah).6 Keberadaan kedua terpidana yang tidak diketahui tersebut membuat eksekusi hukuman penjara menjadi sulit dilaksanakan karena menyangkut perjanjian ekstradisi antar negara. Selain itu dalam upaya penyitaan aset menemui beberapa kendala antara lain berkaitan dengan adanya upaya perlawanan hukum dari negara
5
Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 89. 6 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST, Jakarta, 2010, hal. 256.
3 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
tempat aset bermasalah itu disembunyikan karena menganggap aset tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam perkara-perkara korupsi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tujuan utama peradilan in absentia dalam upaya untuk menyelamatkan kekayaan negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, belum tercapai. Hal ini antara lain dikarenakan terdapat kesulitan dalam proses eksekusi terkait dengan proses ekstradisi yang rumit dan terbatasnya jumlah negara yang mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPK, terdapat beberapa perkara dimana tersangkanya melarikan diri yaitu antara lain Anggoro Widjojo dalam perkara penyuapan terkait pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang menjadi buronan sejak Juni 2008. Kondisi ini mengakibatkan penanganan perkara tersebut mengambang dan tidak jelas di tingkat penyidikan. Perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan perkara tersebut mengalami kesulitan ketika akan diproses lebih lanjut karena menunggu tertangkapnya ”tersangka utama”. Selain itu, harta benda yang diduga berasal dari perbuatan korupsi yang telah dilakukan tidak jelas statusnya karena belum ada ketetapan hukumnya. Perasaan keadilan masyarakat yang menuntut ditegakkannya hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi berhadapan dengan kenyataan bahwa pelaku tindak pidana korupsi memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah selama belum terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (presumption of innocence) melalui due process of law. Padahal, apabila mengacu pada pendapat Loebby Loqman, UU TPK pada prinsipnya mempunyai tujuan prevensi untuk melindungi harta kekayaan/perekonomian negara. Tujuan represifnya disamping untuk melakukan pemidanaan bagi mereka yang melakukan korupsi juga untuk menyelamatkan harta kekayaan negara. Dalam perkara korupsi, perlindungan serta penyelamatan terhadap harta kekayaan negara menjadi prioritas utama.7
7
Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996), hal. 49.
4 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1.2. Pernyataan Masalah Dalam perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi pada akhir-akhir ini, muncul fenomena yang berkaitan dengan ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan dikarenakan terdakwa melarikan diri. Hal ini menimbulkan kebuntuan dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi dan terganggunya proses penanganan perkara lain yang berkaitan langsung dengan perkara tersebut. Pembahasan mengenai peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati dikarenakan maksud dari ketentuan mengenai peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan negara yang merupakan bentuk perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat dari dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Namun dalam penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi masih belum menyentuh tujuan utama tersebut terutama dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan dengan prinsip bahwa kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana pada hakekatnya adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia. Berdasarkan uraian di atas, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya peradilan in absentia dalam upaya menyelamatkan kekayaan negara, maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah penerapan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pernyataan masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian tesis ini akan dibatasi dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi? 2. Bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi? 3. Bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?
5 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian Sesuai identifikasi pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian ini mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi. 2. Mengetahui penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. 3. Mengetahui peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian terhadap permasalahan di atas yang akan dituangkan dalam penulisan tesis ini diharapkan akan mempunyai kegunaan sebagai berikut : (1) Teoritis a. Sebagai sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi terutama dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui peradilan in absentia. b. Sebagai bagian dari usaha pembinaan hukum nasional dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan peradilan in absentia. (2) Praktis a. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan dunia perguruan tinggi tentang peradilan in absentia terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian integral dari strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; b. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan dunia perguruan tinggi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
6 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1.6. Kerangka Teori Dimitri Vlasis8 mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi. Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak. Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan dan disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Pengembalian aset merupakan salah satu tujuan pemidanaan baru dalam hukum pidana terutama tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Menurut Michael Levi9, justifikasi sebagai dasar pengembalian aset adalah : 1. Alasan pencegahan (prohylactic) adalah untuk mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang; 2. Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak mempunyai hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah; 3. Alasan prioritas atau mendahului, yaitu karena tindak pidana memberikan prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana. 4. Alasan kepemilikan (proprietary), yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian dari upaya pemulihan kesejahteraan sosial, berdasarkan pendekatan konvensional hukum pidana merupakan salah satu bentuk pemidanaan. Terutama terhadap tindak
8
Dimitri Vlasis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66. hal. 118. 9 Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime, (Georgia : Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, 2004), hal. 17.
7 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pidana yang berkaitan dengan keuangan atau yang bertujuan memperoleh keuntungan materiil. Justifikasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk pemidanaan merupakan gabungan dari 3 (tiga) teori, yaitu teori keadilan retributif, keadilan restoratif dan utilitarianisme.10 Menurut Howard Zehr,11 dalam keadilan retributif, tindak pidana adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum, keadilan diterapkan dengan cara mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurut Zehr keadilan retributif merupakan paradigma lama yang pernah membentuk cara berpikir dan merespon kejahatan. Ada banyak definisi teori keadilan restoratif, salah satunya dikemukakan oleh Walgrave, yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadinya tindak pidana12. Menurut Kent Roach,13 keadilan restoratif sebagai bagian dari teori keadilan harus direkonsiliasi dengan teori keadilan restributif. Keadilan restoratif merupakan pelengkap yang berguna bagi teori keadilan restributif. Purwaning mengatakan dengan menggabungkan utilitarianisme, pandangan Roach tersebut sesuai dengan tujuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, karena tindak pidana korupsi itu mengandung unsur-unsur, baik menurut teori keadilan restoratif maupun teori keadilan restibutif, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan perbaikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi (mengandung prinsip restoratif). Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dan hilangnya peluang bagi individu dan masyarakat untuk 10
Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 25. 11 Howard Zehr, Restorative Justice, Restorative Justice Symposium, http://www.ojp.gov/nij/rest-just/, hal. 2, diakses tanggal 2 Maret 2011. 12 L. Walgrave, Met Het Oog op Herstel : Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven : Univesitaire Pers Leuven, 2000), hal. 34 sebgaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op. cit., hal. 91. 13 Kent Roach, Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise, (Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000), hal. 249 – 280.
8 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
hidup layak dalam mencapai kesejahteraan.14 Teori keadilan retributif adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama seperti terpidana memperlakukan korban. Tindak pidana menuntut balasan yang bersifat pemidanaan. Pernyataan klasik ini dikatakan oleh Hegel (1770-1831) yang mempresentasikan tindak pidana dan pidana dalam batasan saling menegaskan atau membatalkan. Pemidanaan adalah baik karena menghapuskan atau meniadakan kejahatan, baik secara hukum secara moral. Karena itu, secara moral pidana harus dijatuhkan. Negara memiliki hak dan kewajiban untuk menjatuhkan pidana15. Mengenai utilitarianisme, George P. Fletcher16 mengatakan bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral dalam tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis biaya/keuntungan sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan kerugian dalam mengadopsi rencana aksi tertentu, Semua keputusan hukum, baik keputusan individu
maupun
putusan
pengadilan,
harus
dilakukan
sesuai
dengan
konsekuensinya. Konsekuensi yang tepat dipertimbangkan dengan seksama dalam upaya yang hati-hati dan dalam kesenangan manusia. Jalan pikiran tersebut tercermin dalam pembenaran sementara tentang kebutuhan yang menyatakan bahwa pelanggaran hukum dapat dibenarkan jika dapat memberikan manfaat yang lebih besar. Menurut tokoh utilitarianisme, Jeremy Bentham, pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan jika dapat mencegah terjadinya tindak pidana yang lebih besar.17 Pengembalian aset memiliki peran vital bagi masyarakat dalam menggagalkan suatu tindak pidana kejahatan. Ian McWalters,18 menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) peran penting pengembalian aset dalam penanganan 14
Ibid., hal. 91 – 92. John Rawls, A Theori of Justice, (Oxford University Press, 1999), hal. 276 – 277. 16 George P. Fletcher, Basic Concept of Legal Thought, (Oxford University Press, 1996), Op.cit., hal. 25. 17 Ibid., hal. 26. 18 Ian McWalters, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, (Surabaya : JP Books, 2006), hal. 192 – 193. 15
9 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
kasus kejahatan yaitu : (1) menggagalkan penerimaan penerimaan keuntungan bagu pelaku tindak kejahatan. Hukuman tanpa kurungan ataupun yang lebih ringan tidak akan cukup untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya; (2) pemulihan aset dapat menambah dukungan masyarakat dan menjadi pesan penting bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam memerangi kejahatan; (3) mencerminkan
dukungan
terhadap
hukum-hukum
yang
berlaku
dalam
memberantas kejahatan. Ketika denda yang diberikan kepada pelaku dinilai tidak cukup, maka pelaksanaan pengembalian aset dapat menjadi senjata ampuh pemerintah; dan (4) pengembalian aset dapat berperan sebagai peringatan penitng bagi meraka yang hendak melakukan suatu tindak kejahatan. Menurut Matthew H. Flemming, dalam perspektif pemberantasan tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi umumnya dianggap sebagai alat atau sarana untuk memerangi tindak pidana yang sangat berorientasi pada keuntungan, termasuk tindak pidana akuisitif (tindak pidana yang didorong oleh nafsu keserakahan) dan tindak pidana terorganisasi. Dalam praktik dan dalam istilah yang paling umum, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan proses yang banyak tahapannya dan cabang dari sejumlah kompleksitas, meliputi sejumlah lembaga, termasuk polisi (dalam pengertian yang luas yang meliputi kepolisian, kepabeanan dan badan-badan investigasi lainnya, kejaksaan, pengadilan dan bisa juga para penerima hasil tindak pidana tersebut). 19 Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara korban dengan cara antara lain meniadakan hak atas aset pelaku secara perdata maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.20 Sedangkan teori pengembalian aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat 19
Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy : Draft for Comments, (London : University College, 2005), hal. 3. 20 Indriyanto Seno Adji, Op.cit., hal. 149 – 150.
10 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dalam mencapai kesejahteraan.21 Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar : berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.22 Pengembalian aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu. Purwaning M. Yanuar merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai suatu sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.23 Dari rumusan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur-unsur penting pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu :24 (1) Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum; (2) Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur perdata; (3) Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi; (4) Pelacakan,
pembekuan,
perampasan,
penyitaan,
penyerahan
dan
pengembalian dilakukan terhadap aaset hasil tindak pidana korupsi baik yang
21
Ibid., hal. 30. Ibid. 23 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 104. 24 Ibid., hal. 104 – 105; 22
11 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri; (5) Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum; (6) Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut : a. Mengembalikan kerugian negara korban tindak pidana korupsi yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi; b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak pidana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang, terorisme dan tindak pidana lintas negara lainnya; c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan tindak pidana korupsi. Terdapat 2 (dua) jenis perampasan aset yang berkembang dalam sistem common law yaitu ordinary common law forfeiture (perampasan yang berlaku berdasarkan putusan pengadilan) dan statutory forfeiture (perampasan yang berlaku berdasarkan undang-undang). Ordinary common law forfeiture terjadi menyusul ditetapkannya putusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan terdakwa. Pihak otoritas berwenang memandang perampasan sebagai konsekuensi dari pidana tersebut. Ordinary common law forfeiture menjadi perampasan in personam dan jika telah diputuskan dalam putusan pengadilan, perampasan meliputi semua properti nyata dan pribadi yang dimiliki terpidana, tidak hanya benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam tindak pidana.25 Sedangkan statutory forfeiture diberlakukan tanpa memerlukan putusan pengadilan sebelumnya. Akan tetapi dibatasi pada properti yang digunakan dalam melakukan pelanggaran hukum. Statutory forfeiture disebut dengan perampasan in rem perdata. Konsep bahwa properti sebagai pihak yang bersalah dan bukan orang, menjadi legal-fictionguilty property, dengan mengambil alih properti tersebut sebelum merugikan pihak lain.26
25
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset Forfeiture, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 616. 26 Ibid., hal. 167.
12 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1.7. Kerangka Konsepsional Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, dibawah ini diberikan definisi operasional sebagai berikut. Peradilan in absentia adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa dihadiri terdakwa, secara yuridis formal hanya dapat diberlakukan dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undangundang tertentu.27 Menurut Djoko Prakoso, sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.28 Pengertian korupsi sesuai materi dalam penulisan ini dibagi atas dua pengertian yaitu : pertama, berdasarkan definisi yang mengacu kepada pengertian korupsi menurut Transparency International yaitu perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kedua, berdasarkan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengacu kepada UU TPK, bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU TPK, yang meliputi : delik merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13). Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah upaya yang dilakukan
untuk
mengambil
langkah-langkah
strategis
yang
bertujuan
mengamankan harta kekayaan yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.29 Istilah pengembalian aset mengandung pengertian bahwa penguasaan aset oleh pelaku tindak pidana tidak didasarkan pada hal yang sah, karena 27
Marwan Effendy, Peradilan In Absentia dan Koneksitas, (Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010), hal. 11. 28 Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 54. 29 Eka Martiana Wulansari, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 664.
13 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
merupakan hasil kejahatan. Oleh karena itu, aset tersebut harus dikembalikan kepada pihak yang memiliki hak yang sah atas aset tersebut, yaitu negara. Melalui tindakan pengembalian aset maka negara mengambil kembali atau memulangkan aset yang menjadi haknya dari pelaku tindak pidana korupsi yang telah menguasai aset tersebut secara tidak sah.30
1.8. Metode Penelitian Metode penelitian diperlukan guna mengumpulkan sejumlah bahan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian. Untuk keperluan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.8.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.31 Data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.32 Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : (1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,33 seperti : a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 30
Jeane Neltje Saly, Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC), (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan PerundangUndangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 667 – 668. 31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 52. 32 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 65. 33 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.
14 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi; d. Putusan hakim yang berkaitan dengan penelitian ini. (2) Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,34 seperti buku-buku teks hukum, hasil-hasil penelitian hukum, jurnal-jurnal di bidang hukum, artikel-artikel yang dibuat ahli hukum di bidang hukum pidana, hasil simposium, seminar atau diskusi di bidang hukum baik yang berupa laporan maupun proceeding yang terkait dengan peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. (3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,35 berupa kamus-kamus seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, kamus-kamus keilmuan seperti kamus istilah hukum serta ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.
1.8.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study).36 Data sekunder dimaksud dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, pada tempat-tempat sebagai berikut : (1) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan KPK, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; (2) Komisi Pemberantasan Korupsi;
(3) Kejaksaan Agung RI dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat; (4) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
34
Ibid. Ibid. 36 Ibid., hal. 201 – 205. 35
15 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data dan analisis data.37 Data yang diperoleh akan diolah dengan cara melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum yaitu membuat klasifikasi terhadap bahanbahan hukum. Data selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif berdasarkan datadata penelitian serta disusun dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
1.9. Sistematika Laporan Penelitian Sistematika dalam penulisan ini disusun dalam bab-bab sebagai berikut : BAB I
:
Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Laporan Penelitian.
BAB II
:
Bab dua adalah tentang Teori Negara Hukum dan Sistem Peradilan Pidana yang akan menguraikan tentang teori negara hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori keadilan sosial dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
BAB III
:
Dalam bab tiga tentang Peradilan In Absentia dan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi akan diuraikan mengenai konsepsi dan dasar hukum peradilan in absentia, prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset hasil
tindak
pidana
korupsi
dalam
instrumen
hukum
internasional dan nasional. BAB IV
:
Bab empat - Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, merupakan bab yang berisikan penyajian tentang peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi, penerapan hukum peradilan in absentia berdasarkan UU TPK
37
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),
hal. 19.
16 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan peranan
peradilan
in
absentia
dalam
memaksimalkan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam bab ini juga akan dikaji beberapa putusan yang berkaitan dengan rumusan masalah tesis ini. BAB V
:
Merupakan bab Penutup yang terdiri atas kesimpulan yaitu jawaban atas semua permasalahan penulisan tesis ini, dan saran yaitu pendapat penulis berkaitan dengan pokok bahasan yaitu mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Berdasarkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika laporan penelitian yang telah diuraikan di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas dan diuraikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan pelaksanaan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu teori negara hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori keadilan sosial.
17 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
BAB II TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1. Teori Negara Hukum Ide negara hukum selain berkaitan erat dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocrazy yang berasal dari kata nomos dan cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum, oleh karena itu, istilah nomokrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.38 Ide negara hukum dilahirkan untuk membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang mempraktikkan sistem absolute dan mengabaikan hak-hak dari rakyat itu sendiri.39 Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Untuk itu, dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum.40 Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan yaitu : (1) pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan (2) pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.41 Sedangkan konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang 38
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), 2005, hal. 151. 39 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 4. 40 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 11. 41 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil, (Jakarta : Grasindo, 2004), hal. 36 – 37.
18 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.42 Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman yaitu rechtsstaat.43 Pemikiran negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep negara polisi (polizei staat). Polizei staat berarti negara menyelenggarakan keamanan dan ketertiban serta memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini lebih banyak diselewengkan oleh penguasa.44 Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan the rule of law.45 Immanuel Kant46 dalam karya ilmiahnya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde menyatakan bahwa konsep negara hukum adalah sebagai berikut: ”Sebagaimana dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi terhadap negara polizei ialah ”orang-orang kaya dan cendekiawan.” Orang kaya (borjuis) dan cendekiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak diganggu, yang mereka inginkan ialah mereka hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya sendiri, kongkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka dan negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut.” Jadi fungsi negara dalam konsep ini adalah hanya menjaga ketertiban dan keamanan.
Konsep
ini
disebut
dengan
nachtwachkerstaats
atau
nachtwachterstaats dan dikenal dengan negara hukum liberal. Dalam kutipan yang sama, Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa konsep negara hukum yang disebut dengan rechtsstaat mencakup 4 (empat) unsur 42
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hal. 153. 43 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ...., Op.cit. 44 Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 14. 45 Jimly Asshiddiqie, Op.cit. 46 Immanuel Kant, Methaphysiche Ansfangsgrunde, sebagaimana dikutip dalam Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 16.
19 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
utama sebagai berikut :47 (1) Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; (2) Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan theory atau konsep trias politica (pemisahan atau pembagian kekuasaan); (3) Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang (wetmatigheid van bestuur); (4) Apabila dalam melakanakan tugas pemerintah masih melangar hak asasi maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya. Dari konsep ini diketahui bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya. Albert Van Dicey mengetengahkan 3 (tiga) ciri penting dari the rule of law yaitu : (1) supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum (kedaulatan hukum), (2) equality before the law merupakan kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat negara, dan (3) constitution based on individual right, dimana konstitusi bukan merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakkan dalam konstitusi hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.48 Keempat prinsip rechtsstaat tersebut pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan oleh The International Commission of Jurists, prinsipprinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah : (1) negara harus tunduk pada hukum, (2) pemerintah menghormati hak-hak individu, dan (3) peradilan yang bebas dan tidak memihak.49 Pada abad ke XX, negara hukum mengalami perkembangan dan mendapat 47
Ibid., hal. 16 – 17. Ibid., hal. 13. 49 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ..., Op.cit., hal. 152. 48
20 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
perhatian dari para pemikir dari berbagai bangsa yang menginginkan kehidupan yang demokratis, berkemanusiaan dan sejahtera, diantaranya adalah Paul Scholten. Paul Scholten50 mengemukakan terdapat 2 (dua) unsur utama dalam membahas negara hukum yaitu : (1) adanya hak warga terhadap negara/raja, dan (2) adanya pembatasan kekuasaan. Scholten mengemukakan terdapat 3 (tiga) kekuasaan yang harus terpisah satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan pelaksana undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara hukum materiil mencakup pula pengertian keadilan didalamnya.51 Menurut Jimly Asshiddiqie, Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized public power, dan rule of law dalam arti materiil yaitu the rule of just law.52 Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian mengenai hukum dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan hukum materiil. Jika hukum dipandang kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Oleh karena itu, disamping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.53
Konsep negara hukum di Indonesia secara konstitusional ada sejak dideklarasikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal ini terbukti dalam
50
Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 17. Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hal. 152 – 153. 52 Ibid., hal. 153. 53 Ibid. 51
21 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Penjelasan UUD 1945 disebut bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Meskipun dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi pencantuman beberapa kalimat dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945 yaitu (1) pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban warga negara, (2) adanya pembagian kekuasaan; dengan adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan, (3) setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undangundang, dan (4) adanya kekuasaan kehakiman yang bebas. Jimly Asshiddiqie menyampaikan 4 (empat) prinsip yang secara bersamasama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu :54 (1) Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik vertikal maupun horizontal; (2) Ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara; (3) Asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (4) Prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian dirumuskan
pula
ide
peradilan
administrasi
untuk
memungkinkan
warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik. Berkaitan dengan UUD 1945, menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hakhak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan 54
Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998, hal. 5.
22 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran).55 Ciri-ciri rechtsstaat yang lain dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yaitu: (1) adanya UUD atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, (2) adanya pembagian kekuasaan negara, (3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.56 Dalam kaitan ini, Sri Soemantri juga mengemukakan adanya 4 (empat) unsur terpenting negara hukum yaitu : (1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan, (2) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara), (3) adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara, dan (4) adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).57 Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa meskipun terdapat perbedaan latar belakang mengenai konsep the rule of law dan konsep rechtsstaat, terdapat kesamaan bahwa pada dasarnya kedua konsep negara hukum tersebut berkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini memperkuat gagasan bahwa konsep negara hukum sangat erat berkaitan dengan hak-hak asasi manusia sehingga dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah sebagai wadah dan hak-hak asasi manusia sebagai isinya.58 Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak-hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.59 Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara 55
Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 1993), hal. 96 – 98. 56 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987), hal. 76. 57 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana dikutip dalam Mien Rukmini, Op.cit., hal. 37. 58 Ibid. 59 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 3.
23 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
hukum tersebut dikatakan oleh Sudargo Gautama sebagai berikut : “... dalam suatu
negara
hukum,
terdapat
pembatasan
kekuasaan
negara
terhadap
perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindak sewenangwenang. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.”60 Jadi dalam negara hukum selain terdapat persamaan (equality) juga terdapat pembatasan (restriction). Sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa dalam suasana keseimbangan. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi hukum.61 Namun harus diperhatikan jangan sampai pembatasan itu “membunuh” baik hak asasi individu maupun hak negara. Artinya, karena negara mempunyai tujuan dan fungsi yang harus dicapai pembatasan itu jangan sampai sedemikian rupa sehingga negara tidak dapat menjalankan fungsinya dan mencapai tujuannya; demikian pula terhadap individu. Keterlibatan individu dalam negara untuk mencapai tujuan dan menjalankan fungsinya harus lebih terjamin mengingat bahwa partispasi individu tersebut merupakan pengejawantahan hak asasinya.62 Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu syarat mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. Apa gunanya orang diberikan hak untuk melindungi kebebasan-kebebasannya apabila ia tidak ingin atau tidak tahu bagaimana melaksanakan perlindungan haknya tersebut.63 Setiap individu harus sadar dan mengetahui akan perlindungan hak asasinya serta tiada satu pihakpun termasuk negara dapat melanggarnya, karena ia dilindungi hukum. Apabila terjadi pelanggaran, berarti melanggar hukum dan dalam hal ini individu dapat meminta bantuan negara dalam hal ini pengadilan untuk memproses pelanggaran yang dilakukan itu, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh negara sendiri (onrechtmatige overheidsdaad).64 Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, negara dan aparaturnya juga harus tunduk kepada hukum. Dalam suatu negara 60
Ibid. Ibid. 62 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 21. 63 Sudargo Gautama, Op.cit. 64 Ibid., hal. 26. 61
24 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
hukum, kekuasaan negara dibatasi dan ditentukan hukum. Ketentuan ini juga berlaku bagi alat perlengkapan negara sehingga dalam melaksanakan tugasnya harus bersumber dan berakar pada hukum. Sebagaimana pendapat Nozick bahwa negara tetap merupakan suatu keharusan, namun suatu keharusan tidak boleh mengurangi kebebasan bertindak para warga negara melebihi dari yang seharusnya.65 Berkaitan dengan pemikiran Nozick, Dworkin berpendapat bahwa :66 “Semua hak ini berasal dari hak-hak asasi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan sebagai orang yang sederajat yang sesungguhnya, berasal dari prinsip utama liberalisme yang menyatakan, bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan rasa hormat dan perhatian yang sama.” 2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana Tujuan utama hukum acara pidana adalah melaksanakan proses hukum yang adil (due process of law). Pada kerangka ini terdapat 2 (dua) kepentingan yang harus diperhatikan yaitu kepentingan negara dan kepentingan pencari keadilan yaitu tersangka dan terdakwa. Proses hukum yang adil ini merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan pidana. Hal ini dikarenakan sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil dan sebaliknya, proses hukum yang adil merupakan roh dari sistem peradilan pidana yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa.67 Sistem peradilan pidana merupakan suatu bentuk sistem yang unik karena berbeda dengan sistem-sistem sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada kesadarannya untuk memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfare dalam skala yang besar, guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (berupa rehabilitasi pelaku tindak pidana, pengendalian dan penekanan tindak pidana serta kesejahteraan sosial). Segala sesuatu yang bersifat unwelfare tersebut dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda, bahkan kadang-kadang hilangnya nyawa manusia atau di beberapa negara berupa derita 65
Scoot Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994), hal. 44. 66 Ibid., hal. 47. 67 Mardjono Reksodiputro, Op.cit.
25 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
fisik (misalnya pukulan dengan rotan).68 Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu, pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah law enforcement.69 Mardjono Reksodiputro memberikan batasan bahwa yang dimaksud sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.70 Menanggulangi berarti adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana. Gambaran ini merupakan apa yang paling terlihat dan diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal ini belum merupakan keseluruhan tugas dan tujuan sistem. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatan. Karena itu, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai :71 (1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (2) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
68
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. 21. 69 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 27. 70 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hal. 84. 71 Ibid., hal. 84 – 85.
26 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian
hukum
saja
akan
membawa
bencana
berupa
ketidakadilan.72 Menurut Muladi, Frank Hagan membedakan pengertian antara criminal justice process dan criminal justice system. Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.73 Berkaitan dengan hal ini, Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang maju secara teratur, mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan dan diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat.74 Sementara itu, Barda Nawawi Arief menurut Heri Tahir mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concreto.75 Berdasar pada pandangan Barda Nawawi Arief tersebut, nampak jelas relevansi sistem peradilan pidana dengan proses hukum yang adil. Hal ini dikarenakan sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum dengan sendirinya harus mencerminkan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Sedangkan hak-hak tersangka dan terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan pidana merupakan prasyarat terselenggaranya proses hukum yang adil. 72
Muladi, Op.cit., hal. 4. Ibid., hal. 2. 74 Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93. 75 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010), hal. 9. 73
27 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Tobias dan Petersen,76 mengatakan bahwa due process of law berasal dari Inggris yaitu dalam dokumen Magna Charta 1215 merupakan : “constitutional guaranty … that no person will be derived of life, liberty of property for reasons that are arbitrary. … protects the citizen againts arbitrary actions of the government.” Oleh karena itu, maka unsur-unsur minimal dari due process itu adalah : “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court” (mendengar tersangka dan terdakwa, penasihat hukum, pembelaan, pembuktian dan pengadilan yang adil dan tidak memihak).77 Selanjutnya dikatakan bahwa peradilan yang adil (due process of law) hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa. Arti dari peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Dalam pengertian peradilan yang adil terkandung pengertian penghargaan atas hak kemerdekaan seorang warga negara. Pendapat yang dikemukakan Tobias dan Petersen tersebut, senada dengan pendapat Mardjono Reksodiputro yang menyatakan bahwa hal-hal yang tercakup dalam proses hukum yang adil adalah hak-hak tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan terjadi; dalam pemeriksaan terhadapnya dia diberi hak didampingi oleh penasihat hukum; dia pun berhak memajukan pembelaannya dan penuntut umum harus membuktikan kesalahan terdakwa di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak.78 Jaminan bahwa sistem peradilan pidana berpegang teguh pada proses hukum yang adil sangat penting apabila menyadari bahwa setelah seseorang menjadi tersangka, status hukumnya sebagai bagian masyarakat telah berubah. Seorang tersangka akan mengalami berbagai pembatasan dalam kemerdekaannya dan sering pula mengalami degradasi secara fisik dan moral. Adanya kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dalam menentukan seorang menjadi tersangka, yang pada hakekatnya akan membatasi pula 76
Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pretrial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional Rights, Charles C. Thomas Publisher, hal. 3 sebagaimana dikutip dalam Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93. 77 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 99. 78 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007), hal. 9.
28 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
kemampuannya membela diri terhadap persangkaan tersebut, menjadikan proses hukum yang adil merupakan sesuatu yang harus dilindungi oleh konstitusi negara yang bersangkutan.79 Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan tentang proses hukum yang adil telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP merupakan pengganti hukum acara pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het Herziene Inlandsch Reglement). Pada waktu HIR diundangkan, hal ini dianggap sebagai kemajuan penting untuk tatacara penyidikan kasus kejahatan bagi golongan non-Eropa (Bumiputera) di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan tidak dipergunakannya proses hukum yang adil terhadap orang Indonesia (yang dibedakan dari orang Eropa).80 Penjelasan
KUHAP,
antara
lain
menunjukkan
pentingnya
“…
penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara … (yang) perlu diwujudkan pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.” Dalam penjelasan ini dipergunakan 2 (dua) macam istilah yaitu “hak asasi manusia” dan “hak serta kewajiban warganegara”. Perlu dipahami bahwa hak asasi manusia (human rights) mengandung 3 (tiga) elemen utama yaitu : (1) hak warganegara (civil rights, burgerrechten), (2) hak politik (political rights), dan (3) hak sosial (social rights). Menurut pandangan Mardjono Reksodiputro, hak warganegara adalah yang utama, dibandingkan dengan hak politik dan sosial. Hal ini dikarenakan apabila hak warganegara benarbenar dimiliki dan dipertahankan oleh pengadilan, maka barulah hak politik dan hak sosial mempunyai arti. Hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana adalah “hak warganegara” dan harus dijamin oleh konstitusi serta undang-undang pidana. Oleh karena itu, pernyataan dalam KUHAP bahwa pelaksanaan hak (serta kewajiban) warganegara perlu terwujud dalam sistem peradilan pidana Indonesia, merupakan pengakuan pembuat undang-undang Indonesia bahwa due process of law (proses hukum yang adil) merupakan sikap-batin (spirit) dari KUHAP. Seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan, harus menafsirkan setiap 79 80
Ibid., hal. 10. Ibid., hal. 10 – 11.
29 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ketentuan dalam KUHAP menurut sikap-batin tersebut.81 Dalam KUHAP terdapat desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana. Sistem ini secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu : (1) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adyudikasi (preajudication), (2) tahap sidang pengadilan atau tahap adyudikasi (ajudication), dan (3) tahap setelah pengadilan atau tahap purna-adyudikasi (post-ajudication). Dari ketiga tahap tersebut, Mardjono Reksodiputro mendukung pandangan bahwa tahap adyudikasi atau tahap sidang pengadilan harus dianggap “dominan” dalam seluruh proses. Pendapat yang memberi peran “dominan” pada tahap adyudikasi mendasarkan diri pada KUHAP yang menyatakan bahwa baik dalam hal putusan bebas, maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang.”82 Suatu sistem peradilan pidana yang berkeinginan secara jujur melindungi hak seseorang warganegara yang merupakan terdakwa, akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adyudikasi. Hanya di dalam tahap persidanganlah terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Di dalam tahapan ini terdapat kewajiban menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela dirinya terhadap dakwaan. Jaminan yang penuh ini harus diberikan oleh pengadilan dan dalam kenyataannya hanya dapat berlangsung apabila kita selalu dapat meyakini kenetralan dan kebebasan hakim-hakimnya. Suatu proses hukum yang adil dimana terdapat keyakinan adanya pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasa aman masyarakat, tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu sendiri.83 Berkaitan dengan pentingnya tahap adyudikasi tersebut, Mien Rukmini berpendapat apabila sidang pengadilan mendasarkan diri terutama pada data dan bukti yang dikumpulkan dalam tahap penyidikan (pra-adyudikasi), pengadilan akan sangat tergantung kepada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa tentang perkara tersebut. Terdakwa dan pembelanya akan berada dalam posisi 81
Ibid., hal. 15 – 16. Ibid., hal. 18. 83 Ibid. 82
30 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
yang tidak menguntungkan. Bukti-bukti baru, kesaksian a de charge dan setiap pendapat terdakwa terhadap peristiwa atau fakta dalam perkaranya, selalu akan dinilai oleh hakim dengan memperbandingkannya terhadap pandangan jaksa (berdasarkan pemeriksan oleh kepolisian). Nampak jelas bahwa kesempatan pembelaan dalam sidang pengadilan akan sangat berkurang.84 Untuk itu, hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan, yang harus diartikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan berpedoman pada proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti yang dimiliki polisi atau
penuntut
umum,
tetapi
“sudut
pandang”
terdakwa
masih
harus
dipertimbangkan. Apabila terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, sedang proses peradilan pidana tetap juga dijalankan, maka dapat dikatakan telah melanggar hak untuk membela diri seorang warga negara.85
2.3. Teori Keadilan Sosial Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi dan mengakibatkan tidak terwujudnya kesejahteraan umum. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa tindak pidana korupsi mengancam pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi dan moral bangsa. Bank Dunia mengungkapkan bahwa korupsi menghambat efisiensi ekonomi, mengalihkan sumber-sumber dari orang miskin kepada orang kaya, meningkatkan biaya dalam menjalankan usaha, mendistorsi pengeluaranpengeluaran publik dan membuat jera investor-investor asing; korupsi juga mengikis perwakilan program-program pembangunan dan mengurangi masalahmasalah kemanusiaan. Korupsi mempengaruhi manusia tidak hanya dalam kehidupan ekonomi dan politiknya belaka, melainkan juga dalam pertumbuhan rohaniah dan filsafatnya. Di antara akibat-akibat korupsi tersebut, yang paling jelas adalah berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terbilang banyaknya, di saat-saat yang sangat menyedihkan.86 Menurut Alatas, 84
Mien Rukmini, Op.cit., hal. 102. Ibid., hal. 107. 86 Alatas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta : LP3ES, 1987), hal. 177. 85
31 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Stanislav Andreski dalam bukunya The African Predicament memberikan contoh ketidakadilan yang terjadi di Afrika Selatan antara lain adalah di rumah-rumah sakit para pasien harus membayar juru rawat untuk mengambilkan pispot, dokterdokter harus disuap, para pasien yang tidak sanggup membayar akan disuntik dengan air yang diberi zat pewarna, dan obat-obatan dicuri dari apotik. Sistem pemerintahan yang korup tersebut oleh Andreski disebut kleptokrasi dan akibatnya adalah sebagai berikut : “kerugian yang disebabkan oleh korupsi jauh melebihi keuntungan yang diperoleh daripadanya, karena kecurangan merusak perekonomian. Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh maksud-maksud terselubung tanpa peduli pada akibat-akibat yang bakal menimpa masyarakat luas.”87 Jong-Sung You88 menyatakan bahwa korupsi lebih sering dilihat sebagai persoalan keadilan sosial daripada persoalan pembangunan, tetapi tidak ada teori keadilan ataupun literatur tentang korupsi yang membahas korupsi sebagai bentuk ketidakadilan. Salah satu unsur penting dalam teori keadilan sosial adalah bahwa kesejahteraan umum masyarakat tidak boleh dilanggar; maksudnya adalah bahwa kesejahteraan umum tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan pribadi. Tindakan yang mengancam kesejahteraan umum merupakan ketidakadilan sosial.89 Berangkat dari konsep keadilan yang dikemukakan oleh para filsuf, antara lain Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavelli, Rene Descantes, Thomas Aquinas, John Locke dan Immanuel Kant, muncul pemikiran tentang keadilan sosial dari dialektika materialisme Karl Max, positivisme Aguste Comte, liberalisme John Stuart Mill dan Luigi Taparelli, dan John Rawls. Penekanan pada keadilan sosial berkaitan dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Teori Rawls didasarkan atas 2 (dua) prinsip yaitu : equal right dan economic equality. Dalam equal right harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain 87
Ibid., hal. 178. Jong-Sung You, A Normative Theory of Corruption as Injustice, makalah yang dipresentasikan dalam Comparative Politics Research Workshop, Harvard University, November 2003, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 37. 88
32 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.90 Pemikiran Rawls tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh para pemikir kenamaan seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Terdapat 2 (dua) prinsip keadilan menurut Rawls dalam bukunya Theory of Justice sebagaimana dikutip oleh Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo yaitu :91 “First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all …” Menurut Purwaning M. Yanuar, keadilan sosial yang dikemukakan John Rawls mengembangkan konsep keadilan dari perspektif bahwa manusia adalah merdeka dan sederajat. Kemerdekaan terletak pada kemampuan memiliki 2 (dua) kekuasaan moral yaitu kemampuan memiliki naluri keadilan dan kemampuan memahami konsepsi tentang hal yang baik. Apabila individu-individu memiliki 2 (dua) kekuasaan moral tersebut pada tingkat yang diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang sepenuhnya kooperatif, maka pribadi-pribadi dalam masyarakat adalah sederajat.92 Dalam pandangan Rawls, masih dalam kutipan yang sama, naluri keadilan adalah kemampuan untuk mengerti, menerapkan dan bertindak
berdasarkan
konsepsi
publik
tentang
keadilan
yang
mendeskripsikan/menggambarkan istilah-istilah yang sesuai dengan ketentuanketentuan tentang kerja sama.93
90
Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilan-johnrawls, diakses 30 April 2011. 91 Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum, Buku Ke-1, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 468. 92 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 59. 93 Ibid.
33 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara sederajat. Terdapat 3 (tiga) syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:94 (1) Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain; (2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang pilihannya tersebut; (3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan. Keadilan sosial sebagai ilmu pengetahuan sosial (teori), menurut Purwaning M. Yanuar pertama kali dikemukakan Luigi Taparelli dalam bukunya Theoretical Treatise on Natural Law Based on Fact. Menurut Taparelli, keadilan sosial adalah keadilan yang spesifik mengatur hubungan antara berbagai jenis lembaga. Keadilan sosial adalah norma dan kebiasaan dalam bentuk kebajikan sosial yang terkandung dalam institusi politik, institusi hukum, dan institusi budaya dalam masyarakat untuk mempromosikan kesejahteraan umum dengan memberikan dukungan untuk melaksanakan hak kebebasan individu, khususnya kebebasan dari hak asosiasi-asosiasi penengah/intermediari, sesuai dengan prinsip-prinsip pelengkap solidaritas dan subsidiaritas.95 Pandangan Taparelli tersebut senada dengan definisi klasik keadilan yang dikemukakan Louis Kelso dan Mortomer Adler yaitu bahwa keadilan dalam formulasi yang paling umum, menekankan kewajiban-kewajiban moral atau perintah bagi manusia yang bergabung dalam tujuan-tujuan hidup yang umum, 94
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 146; 95 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 60 – 61.
34 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
yaitu : bertindak demi kesejahteraan umum (common good)96 bagi semua, tidak hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia; tidak mencederai satu sama lain; memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia; dan bertindak adil terhadap sesama dalam pertukaran barang-barang dan dalam distribusi kekayaan, jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.97 Definisi Kelso dan Adler tersebut menunjukkan bahwa dalam formulasi umum, keadilan menetapkan kewajiban-kewajiban moral atau perintah yang berkaitan dengan tujuan-tujuan umum dalam kehidupan manusia. Kewajibankewajiban atau perintah-perintah tersebut terdiri dari 4 (empat) hal yaitu : (1) bertindak bagi kesejahteraan umum untuk semua orang, bukan untuk kepentingan pribadi secara eksklusif; (2) mencegah pencederaan satu sama lain; (3) memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya; dan (4) berlaku adil terhadap satu dengan lainnya dalam tukar menukar barang dan distribusi kemakmuran, jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.98 Kewajiban-kewajiban moral yang dikemukakan Kelso dan Adler pada hakikatnya merupakan kebajikan-kebajikan yang menjadi dasar martabat kepribadian manusia. Menurut Purwaning M. Yanuar, Kurland mengatakan bahwa martabat kepribadian manusia merupakan dasar dari semua teori keadilan.99 Masih menurut Purwaning M. Yanuar, William Ferree menyatakan bahwa keadilan sosial merupakan satu dari kebajikan-kebajikan utama dalam filsafat moral yang dikenal sebagai moralitas sosial. Moralitas sosial mewajibkan manusia untuk melaksanakan dan memperhatikan kesejahteraan umum. Ferree juga memberikan arti common good yang sinonim dengan general welfare atau kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum didefinisikan oleh Ferree sebagai jaringan kerja kebiasaan-kebiasaan, hukum, organisasi sosial, lembaga-lembaga 96
Terdapat perbedaan mengenai arti istilah kesejahteraan umum. Istilah tersebut mengacu kepada beberapa konsep yang berbeda-beda. Dalam arti populer, istilah ini mendeskripsikan kebaikan yang dibagikan dan bermanfaat bagi semua anggota komunitas. Pengertian ini yang umum diartikan dalam filsafat, etika, dan ilmu politik. Dalam etika dan ilmu politik, memajukan kesejahteraan umum berarti memberikan manfaat bagi anggota-anggota masyarakat. Ini berarti melakukan kesejahteraan umum sama dengan membantu semua orang. Dalam pengertian ini, istilah common good sinonim dengan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum biasanya dianggap sebagai cita-cita utilitarian, yaitu merepresentasikan sebesar mungkin kesejahteraan bagi sebanyak mungkin individu. 97 Ibid., hal. 61 – 62. 98 Ibid., hal. 62. 99 Ibid.
35 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
yang membuat keteraturan sosial dan sangat menentukan kualitas budaya.100 Berdasarkan uraian tersebut, apabila dihubungkan dengan teori keadilan sosial, pengembalian aset pada hakikatnya adalah kewajiban moral yang merupakan salah satu kebajikan sosial untuk bertindak dalam rangka mencapai kepentingan
kesejahteraan
umum,
baik
dalam
skala
nasional
maupun
internasional; mengatasi dan mencegah penderitaan masyarakat akibat kemiskinan yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi; memberikan kepada negara korban tindak pidana korupsi apa yang menjadi haknya; dan penegakan keadilan bagi masyarakat. Hakikat pengembalian aset sebagai salah satu kebajikan sosial, menurut teori keadilan sosial tidak ditujukan kepada kesejahteraan individu, tetapi kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan atau kebaikan kesejahteraan umum.101 Dengan mengacu pada teori-teori tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas dan diuraikan mengenai konsepsi dan dasar hukum peradilan in absentia, prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam instrumen hukum internasional dan nasional.
100 101
Ibid., hal. 62 – 63. Ibid., hal. 67.
36 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
BAB III PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia adalah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.102 In absentia berasal dari bahasa Latin absentia yang berarti tidak hadir.103 Menurut Andi Hamzah, istilah in absentia berasal dari bahasa Latin in absentia atau absentium, yang dalam istilah dan peribahasa hukum bahasa Latin berarti ‘dalam keadaan tidak hadir” atau “ketidakhadiran”.104 Dalam bahasa Perancis disebut absentia dan dalam bahasa Inggris absent atau absentie.105 Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan memutuskan suatu perkara perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa.106 Istilah in absentia secara yuridis formal mulai dipergunakan di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi disebut dengan “in absensia” sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan : “Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka Pengadilan berwenang mengadilinya di luar kehadirannya (in absensia)”. Istilah in absentia pada perkembangannya tidak lagi disebut dalam berbagai produk legislasi, tetapi tetap diatur dengan menggunakan istilah “tidak hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak berbeda dan mengandung arti suatu proses pemeriksaan dan mengadili seseorang atau beberapa orang terdakwa di depan sidang pengadilan dan penjatuhan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Seorang terdakwa dapat dijatuhi hukum pidana oleh hakim di pengadilan dalam suatu proses pengadilan in absentia.107
102
Djoko Prakoso, Op.cit., 1984, hal. 54.. Marwan Effendy, Op.cit., hal. 5. 104 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1986), hal. 98. 105 Marwan Effendy, Ibid. 106 Ibid., hal. 11. 107 Ibid., hal. 6. 103
37 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Secara umum peradilan in absentia lazim diterapkan terhadap pemeriksaan perkara perdata yang dalam pelaksanaannya hanya dihadiri oleh wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedangkan yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut. Mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Sebaliknya, dalam perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.” KUHAP tidak mengatur secara tegas ketentuan mengenai peradilan in absentia, baik di dalam ketentuan pasal-pasal maupun penjelasannya. Namun di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan sebagai berikut : Pasal 196 (1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain. Pasal 214 (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan. (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana. Secara yuridis formal, peradilan in absentia hanya dapat diberlakukan dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undang-undang tertentu. Terdapat beberapa tindak pidana tertentu yang mempunyai kewenangan mengadili secara in absentia yaitu : (1) Tindak pidana ekonomi berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi jo Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1962, (2) Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (3) Tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 38 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, (4) Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan (5) Tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU TPK. Terhadap tindak pidana korupsi, sebenarnya peradilan in absentia telah diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana bunyi Pasal 23 ayat (1) yaitu : “Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya.” Dalam perkembangannya, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 26 UU TPK yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1) UU TPK menyatakan bahwa : “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Jadi apabila terdakwa tidak memanfaatkan hak yang diberikan oleh pasal ini dan terdakwa tidak hadir di depan persidangan tanpa memberikan alasan yang sah atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka persidangan perkara korupsi dimaksud dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa (in absentia).108 Pengaturan tentang peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU TPK yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. 108
Ibid., hal. 12.
39 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU TPK tersebut, peradilan in absentia hanya dapat dilaksanakan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah dan sepanjang usaha aparat penegak hukum (dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum) untuk mencari dan menghadirkan terdakwa ke pemeriksaan sidang pengadilan sudah maksimal tapi tidak membawa hasil. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi terdakwa yang tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap persidangan tanpa diperlukan panggilan, karena merupakan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa ke muka persidangan.109 Peradilan in absentia dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang keberadaannya tidak diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah atau patut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dilakukan semaksimal mungkin dengan alasan :110 (1) Demi pengembalian dan penyelamatan harta negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Semangat Pasal 38 ayat (1) UU TPK menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa ( ordinary crime) yang penegakan hukumnya di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Secara filosofis, terobosan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelakunya, ia juga berorientasi pada usaha pengembalian harta negara yang dijarah oleh para koruptor. Selain itu, secara teoritik dibenarkan dengan alasan melakukan proses rechtvinding (penemuan hukum) atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya. 109 110
Ibid., hal. 13. Ibid., hal. 61 – 63.
40 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(2) Inti Pasal 38 ayat (1) UU TPK adalah dalam hal lembaga pengadilan telah memanggil terdakwa secara resmi dengan surat ke alamat terdakwa dan terdakwanya tidak hadir, maka pengadilan secara hukum memiliki peluang untuk meneruskan persidangan. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah dengan telah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya namun tidak dapat dihadirkan meskipun dengan paksa (vide Pasal 154 ayat (6) KUHAP), maka dapat dilaksanakan peradilan in absentia. (3) Pengecualian prosedur atau eksepsionalitas disebabkan korupsi dianggap sebagai kejahahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang serius, karena bukan kejahatan biasa maka penyelesaiannya mesti dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Jika melalui prosedur yang biasa akan menghadapi kendala untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan sehingga tidak bisa menembus jaringan kejahatan itu. Oleh karena itu dalam pemberantasan korupsi, oleh pembuat undang-undang dibuka ruang yang menyimpang dari tradisi hukum yang sudah mengakar dan bersifat khusus yang memungkinkan pelaksanaan peradilan in absentia dibenarkan secara hukum. (4) Untuk meminimalisir kerugian negara dalam upaya mengembalikan kerugian negara dengan cara mempercepat proses hukumnya, sehingga dengan adanya putusan pengadilan in absentia tersebut pengembalian kerugian negara mempunyai landasan hukum yang jelas sebagai wujud kepastian hukum. Sepanjang diperoleh bukti yang kuat bahwa kekayaan terdakwa yang disita tersebut diperoleh dan berasal dari hasil tindak pidana korupsi. (5) Sekalipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, tetapi yang diperlukan adalah unsur-unsur Pasal 183 KUHAP yang menyatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”. Sedangkan terdakwa di dalam persidangan hanya dibutuhkan keterangan dan sistem pembuktian yang dianut oleh rezim hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa alat bukti yang sah tidak hanya keterangan terdakwa tetapi juga meliputi alat bukti lain yaitu (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, dan (4) petunjuk. Di 41 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
samping itu, dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Begitu juga dinyatakan dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Inti keterangan terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan sesungguhnya adalah keterangan yang berisi pengakuan, bukan sebaliknya berupa penyangkalan. Namun, keterangan yang berisi pengakuan terdakwa ini haruslah ditunjang oleh isi dari alat bukti lainnya, antara lain keterangan saksi.111 Terhadap penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dipengaruhi oleh perbedaan pendapat para ahli hukum mengenai keabsahan peradilan in absentia. Terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang mempengaruhi yaitu :112 (1) Yang menganggap bahwa pemeriksaan di pengadilan memutlakkan hadirnya terdakwa. Pendapat ini secara ekstrim menolak diberlakukannya sidang in absentia. Pasal-pasal yang menjadi acuan adalah pasal-pasal yang termuat dalam KUHAP yang meliputi Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155 ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman atas ketentuan pasal-pasal tersebut adalah tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa hadirnya terdakwa. Bahwa para penyidik akan mengalami kesulitan yang substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan, karena bagaimana mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa. (2) Pandangan bahwa demi alasan pengembalian harta negara dalam perkara tindak pidana korupsi dan pemenuhan keadilan di masa transisi, maka pasalpasal dalam UU TPK harus diberi nafas dan terobosan. Hal ini secara teoritik dibenarkan dengan alasan melakukan proses penemuan hukum (rechtvinding) atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya. Acuan yang dipergunakan
111
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal. 98. 112 Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26 – 27.
42 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pendapat ini adalah Pasal 38 ayat (1) UU TPK yang semangatnya adalah menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang penegakan hukumnya pun di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) untuk menyelamatkan kekayaan negara. Pada prinsipnya eksepsionalitas dalam hukum acara merupakan prosedur yang bersifat luar biasa seperti pengesampingan asas non-rektroaktif pada kasus pelanggaran HAM, kewenangan mengesampingkan perkara oleh Jaksa Agung ataupun in absentia. Eksepsionalitas diberlakukan pada peradilan in absentia perkara tindak pidana korupsi mengingat kejahatan korupsi senantiasa berkaitan dengan jabatan atau disebut dengan kejahatan okupasi (occupational
crime)
yaitu
kejahatan
yang
dalam
pelaksanaannya
mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang dilindungi undang-undang sehingga setiap pelaku kejahatan okupasi yang tergolong powerfull sulit dijangkau oleh hukum. Karena berkaitan dengan jabatan, maka tindak pidana korupsi sering dikelompokkan sebagai kehajatan kerah putih (white collar crime) sehingga tindak pidana korupsi dalam hal ini dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). (3) Pendapat yang paling moderat, bahwa sidang in absentia dapat saja dilakukan, tetapi dalam praktek tetap harus melewati proses kerja normal yang maksimal. Pendapat ini beranggapan bahwa kedua pendapat sebelumnya sama-sama merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum sama sehingga perlu dipertemukan menjadi suatu kekuatan dalil baru. Pandangan moderat berpendapat bahwa pada dasarnya peradilan in absentia merupakan suatu amanat undang-undang yang pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepastian akan pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari penerapan sistem hukum di Indonesia yang mengacu pada faktor tatanan kelembagaan, materi hukum dan budaya hukum. Suatu kondisi yang signifikan disikapi sebagai terobosan (breaktrough) yang dapat menimbulkan efek jera dan optimalisasi pengembalian harta kekayaan negara. Suatu terobosan yang bermuara kepada terciptanya kepastian hukum yang
43 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dapat dijadikan sebagai indikator adanya penegakan hukum dengan tujuan : 113 (1) Pengungkapan kebenaran (truth) atau kesalahan (wrong). (2) Pengakuan dan penyesalan pelaku akan kesalahannya. (3) Penghukuman terhadap pelaku. (4) Pemulihan hak korban jika tindak pidana itu melahirkan korban yang riil seperti dalam kasus pelanggaran HAM.
3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan Hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan merupakan prinsip yang sangat penting dalam KUHAP. Hal ini dikarenakan KUHAP menganut asas pemeriksaan akusator yang berarti tersangka atau terdakwa lebih dipandang sebagai subyek dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan.114 Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Terdakwa adalah seseorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan,” dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang diketahuinya sendiri dan dialami sendiri.” Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa di sidang pengadilan juga diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Kehakiman yang menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”. Pemeriksaan sidang di pengadilan dilakukan oleh hakim, terbuka untuk umum secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ketentuan ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti benar-benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli, dan alat-alat bukti lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan pembelaannya.115 Selain itu terdakwa dapat berhadapan langsung dan berdialog dengan hakim, sehingga hakim dapat memperhatikan pula sifat-sifat, sikap serta 113
Marwan Effendy, Op.cit., hal 23. Mien Rukmini, Op.cit., hal. 87. 115 Ibid., hal. 89. 114
44 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
keadaan terdakwa yang sesungguhnya.116 Tanpa hadirnya terdakwa di persidangan, pemeriksaan perkara oleh pengadilan tidak dapat dilakukan. Untuk itulah pentingnya bagaimana cara menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 154 KUHAP. Pada prinsipnya Pasal 154 terutama ayat (2), (4) dan (6) merupakan pedoman menghadirkan terdakwa dalam persidangan untuk membuat terang dan jelas suatu perkara yang didakwakan pada terdakwa. Kehadiran terdakwa tersebut juga sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan penuntut umum.117 Rangkaian upaya menghadirkan terdakwa di persidangan diawali dengan perintah hakim ketua sidang supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang persidangan. Akan tetapi apabila terdakwa pada sidang yang telah ditentukan tidak hadir, hakim ketua sidang akan meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah. Dalam penelitian tersebut akan dijumpai beberapa kemungkinan yaitu: (1) Terdakwa ternyata dipanggil ”secara tidak sah”, dalam hal ini hakim ketua sidang akan menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada tanggal hari sidang berikutnya; (2) Terdakwa ternyata sudah dipanggil ”secara sah”, dalam hal ini sekalipun terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak datang menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah; berdasarkan ketentuan Pasal 154 ayat (4) dan (6), maka pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang akan menunda atau mengundurkan persidangan pada tanggal hari sidang berikutnya seraya memerintahkan penuntut umum untuk memanggil terdakwa sekali lagi pada tanggal hari sidang yang telah ditentukan. Apabila kemudian setelah terdakwa dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, namun tetap juga tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka dalam hal ini hakim ketua sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dengan paksa pada tanggal hari sidang pertama berikutnya. Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan tanpa alasan yang sah 116 117
Ibid. Marwan Effendy, Op.cit., hal. 9.
45 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
terdapat beberapa kemungkinan yaitu :118 (1) sama sekali tidak memberikan alasan apapun; atau (2) memberikan alasan tetapi alasan itu dinilai tidak patut, berupa alasan yang tidak ada relevansinya dengan ketidakhadirannya, misalnya tidak dapat hadir karena akan mengantarkan anak ke sekolah; atau (3) alasan patut ternyata tidak benar/bohong, yaitu alasan yang ada relevansinya, namun ternyata terbukti alasan itu palsu, misalnya dengan alasan sakit ternyata tidak sakit karena surat keterangan dokter dipalsu olehnya.119 Suatu panggilan dapat dikatakan sah atau tidak sah apabila memenuhi atau tidak memenuhi ketentuan Pasal 145 KUHAP. Syarat-syarat sahnya suatu pemanggilan kepada terdakwa dimaksud adalah sebagai berikut :120 (1) Suatu panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir, (2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir, (3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara, (4) Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan, (5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP, penuntut umum yang menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang harus memuat tanggal, hari, serta jam sidang, dan untuk perkara apa ia dipanggil, yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang
118
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hal. 393. 119 Ibid. 120 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 237 – 238.
46 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dimulai.121 Berkaitan dengan alasan sakit yang diperkuat dengan surat keterangan dokter (yang tidak dipalsukan) atau karena halangan yang patut atau wajar seperti misalnya terdakwa mengalami musibah adalah merupakan alasan yang dapat dibenarkan atau alasan yang sah. Alasan yang sah ini dengan sendirinya menghapuskan wewenang hakim ketua sidang untuk memerintahkan terdakwa dihadirkan dengan paksa di persidangan. Namun demikian, penentuan sah atau tidaknya suatu alasan yang diajukan terdakwa tetap merupakan kewenangan hakim. Seandainya hakim menilai alasan yang dikemukakan terdakwa sah, tindakan hakim adalah menunda dan mengundurkan persidangan dan selanjutnya memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa pada tanggal hari sidang berikutnya. Akan tetapi apabila hakim ketua sidang menilai alasan yang dikemukakan terdakwa tidak sah, maka hakim akan menerapkan substansi Pasal 154 ayat (4) dan (6) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa walau peradilan in absentia diberi ruang atau dibenarkan oleh undangundang tindak pidana korupsi, tetapi dalam pelaksanaannya harus tetap memperhatikan hak-hak terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3), (4) dan (6) UU TPK.
3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum Internasional dan Nasional Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara korban dengan cara antara lain meniadakan hak aset pelaku secara perdata maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.122 Pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui 4 (empat) tahap 121
Ibid., hal. 238. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Diadit Media, 2009), hal. 149 – 150. 122
47 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
sebagai berikut : tahap pertama, pelacakan aset untuk melacak aset-aset; tahap kedua, tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; tahap ketiga, penyitaan. Setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut, baru dapat dilaksanakan tahap keempat yaitu penyerahan aset dari negara penerima aset kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah.123 Berkaitan dengan tahapan-tahapan pengembalian aset, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut : (1) Tahap pertama, pelacakan aset. Tahap ini sangat penting dan menentukan tahapan selanjutnya. Tujuan investigasi atau pelacakan aset ini adalah untuk mengidentifikasikan aset, lokasi penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini sekaligus merupakan pengumpulan alat-alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John Conyngham124 otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut bermitra dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi. Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, pasti terdapat hubungan yang disamarkan antara individu dengan aset-aset tersebut. Praduga kedua adalah bahwa pihak-pihak ketiga akan dimanfaatkan dalam proses penyembunyian aset-aset tersebut. Ketika perburuan aset dimulai, pihak-pihak ketiga tersebut patut dicurigai untuk didekati. Selain menjadikan mereka menjadi target, yurisdiksi yang akan dilacak harus dapat diperkirakan. Hal ini sangat penting karena kemenangan baru tercapai apabila aset yang dapat diidentifikasi berada dalam yurisdiksi yang tidak menerapkan ketentuan pengembalian yang rumit dalam sistem hukumnya.125
123
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 123. John Conyngham, Esq., Recovering Dictator’s Plunder, Testimony of John Conyngham, Esq., Global Director of Investigations, (Control Risks Group Limited Before the Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Customer Credit US House of Representative, 9 Mei 2002), hal. 2, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 207. 125 Ibid., hal. 208. 124
48 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(2) Tahap kedua, pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu pembekuan atau perampasan aset. Menurut KAK, pembekuan atau perampasan berarti larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh di bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya.126 Berdasarkan pengertian tersebut, badan yang berwenang lainnya diartikan sebagai pihak kepolisian, kejaksaan dan badan negara yang diberikan otoritas untuk melakukan tindakan tersebut, misalnya KPK, PCGG di Filipina yaitu suatu otoritas non yudisial yang khusus dibentuk dan diberi wewenang untuk melakukan investigasi atas aset-aset keluarga Ferdinand Marcos.127 (3) Tahapan ketiga, penyitaan aset-aset. KAK memberikan pengertian penyitaan, termasuk penyerahan manakala diperlukan adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas yang berkompeten lainnya. Apabila dihubungkan dengan tindak pidana korupsi, penyitaan, termasuk penyerahan, apabila diperlukan, merupakan pencabutan secara permanen aset-aset dari penguasaan dan/atau kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi.128 Jadi, penyitaan merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. KAK tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan hukuman/penalti seperti yang didefinisikan dalam Konvensi tentang Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan dari Dewan Eropa (Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime/CLSCPC) dari Council of Europe. Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai hukuman atau tindakan, yang 126
Pasal 2 huruf f KAK. Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 211. 128 Ibid. 127
49 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai pencabutan yang permanen atas kekayaan.129 Penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang menetapkan bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang tidak berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana pada khususnya. Prinsip ini mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk mempengaruhi tingkah laku orang, hukum itu harus menyampaikan pesanpesan yang koheren. Pesan-pesan itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi berusaha untuk mencegah bentuk khusus tingkah laku, tetapi di sisi yang lain membiarkan seseorang yang melakukan bentuk khusus tingkah laku yang berusaha dicegah tersebut, mendapatkan keuntungan.130 (4) Tahap keempat, setelah melalui tahap penyitaan barulah dapat dilakukan tahap keempat terhadap aset-aset yang disita, yaitu pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.131 Agar dapat melakukan pengembalian asetaset, baik negara penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan tindakan lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut. Pengembalian aset negara sebagai hasil tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional ini memerlukan perangkat hukum nasional maupun internasional, karenanya perangkat melalui Mutual Legal Assistance (MLA) maupun Konvensi Internasional, seperti United Nation Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003) atau Konvensi Anti Korupsi (KAK) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) menjadi amanat yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Pengembalian aset merupakan prinsip dasar KAK. Hal ini dijelaskan
129
Lihat : Pasal 1 huruf d CLSCPC, European Treaty Series, No. 141, Strasbourg, 8, XI,
130
Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 217 – 218. Ibid., hal. 231 – 232.
1990. 131
50 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dalam Bab V mengenai pengembalian aset Pasal 51 tentang ketentuan umum yang menyatakan : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental principle of this Convention, and States Parties shall afford one another the widest measures of cooperation and assistance in this regard.” Dalam KAK tidak dijelaskan pengertian pengembalian132 aset.133 Menurut Matthew H. Flemming,134 dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Flemming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana. Flemming melihat pengembalian aset sebagai : (1) pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan dan penghilangan; (2) yang dicabut, dirampas dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; (3) salah satu tujuan pencabutan, perampasan dan penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat bantu atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.135 Pelaksanaan KAK mengedepankan aspek kerjasama internasional dalam rangka memerangi praktik korupsi seperti ekstradisi136 dan bantuan hukum timbal balik.137 Dengan mengimplementasikan KAK ke dalam hukum nasional negaranegara pihak, maka seharusnya tidak ada lagi kekebalan dan tempat berlindung bagi para pelaku tindak pidana korupsi kemanapun mereka pergi dan menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan KAK merupakan sarana hukum internasional yang besifat komprehensif dan tidak menggunakan faktor pendekatan tunggal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.138 Beberapa prinsip penting dalam KAK terkait dengan pengembalian aset 132
Dalam Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004, menjelaskan kata recovery sebagai istilah hukum yang diartikan sebagai : “(1) The regaining or restoration of something lost or taken away, (2) The obtained of a right to something by a judgement or decree, (3) An amount awarded in or collected from a judgement or decree.” 133 Ibid., aset berarti : “(1) An item that is owned and has value, (2) The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill, (3) All the property of a person available for paying debts.” 134 Matthew H. Flemming, Op.cit., hal. 27. 135 Ibid., hal. 31. 136 Pasal 44 KAK. 137 Pasal 46 KAK. 138 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 122.
51 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pada negara adalah sebagai berikut : (1) Prinsip Asset Recovery Asas atau prinsip asset recovery ini diatur secara eksplisit dalam KAK. Prinsip ini dapat diketahui dari Chapter V (Bab V) mengenai Asset Recovery (Pengembalian Aset), khususnya Article 51 UNCAC/Pasal 51 KAK yang berbunyi : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental principle of this Convention, and State Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard.” (Pengembalian aset-aset menurut bab ini merupakan suatu prinsip yang mendasar dari Konvensi ini, dan negara-negara peserta wajib saling memberi kerja sama dan bantuan yang seluasluasnya mengenai hal ini). KAK khususnya mengenai pengembalian aset ini menurut Adil Surowidjojo lebih memfokuskan pada pencegahan transportasi hasil korupsi, meskipun negara-negara disyaratkan untuk meningkatkan antisipasi institusiinstitusi keuangannya dalam mengantisipasi transaksi keuangan dan kegiatankegiatan dalam sektor perbankan melalui langkah-langkah pencegahan. Pendekatan ini dipasangkan dengan kerja sama regional, interregional, dan multilateral yang ditargetkan untuk memerangi pencucian uang (money laundering), diantaranya pemberdayaan otoritas domestik untuk melakukan penyelidikan dan berbagi informasi dengan otoritas yang relevan139. Pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui lembaga keuangan dan memerangi pencucian uang sebagai salah satu mata rantai korupsi menjadi sangat logis dengan pertimbangan seperti dikemukakan oleh I Gede Made Sadguna bahwa lembaga keuangan bisa dimiliki atau dikuasai oleh penjahat yang pintar dengan tujuan utama memakainya sebagai sarana pencucian uang. Produk dan jasa keuangan dimanfaatkan untuk “mencuci” harta hasil kejahatan. Hasil akhirnya bukan saja penjahat tersebut dapat dengan aman menikmati hasil kejahatannya, melainkan juga dapat membiayai kembali operasi kejahatannya140. Ketentuan Pasal 51 KAK secara teknis memungkinkan tuntutan, baik 139
Adil Surowidjojo, The United Nations Convention Against Corruption : How Will It Help Us?, (Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005), hal. 71. 140 I. Gede Made Sadguna, Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, Tahun 2005), hal. 17.
52 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
secara perdata (melalui gugatan) maupun secara pidana pengembalian aset negara yang telah diperoleh oleh seseorang melalui perbuatan korupsi. Kemungkinan menempuh prosedur hukum dalam rangka pengembalian aset ini juga berlaku bagi negara peserta lain yang telah dirugikan (damages to another state party) atau dalam rangka menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan kejahatan korupsi (to establish title to or ownership of property acquired through the commission of an offence establish in accordance with this Convention). Prinsip KAK tersebut dengan demikian tidak hanya menekankan pentingnya kebijakan dan praktik pencegahan anti korupsi (preventive anti corruption policies and practices) yang lebih bersifat pidana – kriminalisasi dan penegakan hukum (criminalization and law enforcement). Kepentingan utama lainnya, yaitu tindakan-tindakan perdata berupa gugatan pengembalian aset negara yang dikorupsi dalam istilah yang lebih populer disebut dengan “stolen assets recovery (STAR)”. KAK memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan perampasan atas kekayaan tanpa pemidanaan (without a criminal conviction), dalam hal pelaku tidak dapat dituntut dengan alasan meninggal dunia, lari (kabur) atau tidak hadir atau dalam kasus-kasus lain yang sama. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK . Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata dilakukan ketika mekanisme peradilan pidana gagal melakukan penuntutan karena kondisikondisi terdakwa meninggal dunia, lari (kabur), atau in absentia. Ungkapan lain yang terkandung di dalam pasal ini adalah merekomendasi negara peserta menggunakan/mengatur non-criminal systems of confiscation. Prinsip yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK yang kemudian melahirkan konsep in rem forfeiture atau forfeiture actions to be brought against the stolen property it self, seperti diterapkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat141. Sehubungan dengan prinsip pengembalian aset ini, KAK mengatur mengenai
kewajiban
negara-negara
peserta,
termasuk
Indonesia
untuk
memungkinkan 3 (tiga) hal, yaitu :
141
U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/assetrecovery.ctm, diunduh tanggal 24 April 2011.
53 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(a) Negara peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia (Pasal 53 ayat (1) KAK); (b) Orang-orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi pada negara peserta lain yang telah dirugikan atas tidak pidana korupsi itu dan dananya dilarikan atau dilakukan pencucian di Indonesia (Pasal 53 ayat (2) KAK); (c) Mengembalikan kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompeten di Indonesia kepada negara peserta lain (yang mengajukan permintaan) - (Pasal 57 ayat (2) KAK).
(2) Gugatan Perdata sebagai Alternatif Pengembalian Aset Negara Berdasarkan KAK, prinsip pengembalian aset (asset recovery) disertai dengan prinsip mengenai upaya hukum gugatan perdata. Di samping instrumen gugatan perdata, KAK juga memungkinkan cara lain, yaitu “permintaan” perampasan. Sebenarnya perampasan menjadi inti pengembalian aset, sedangkan gugatan perdata menjadi komplemen atau alternatif ketika aset yang dikorupsi belum berhasil dilakukan perampasan (confiscation). Kondisi ini utamanya terjadi ketika hasil korupsi dicuci (money laundering) di negara lain. Pengembalian aset melalui
gugatan
perdata
dimungkinkan
berdasarkan
Pasal
53
KAK.
Pengembalian aset melalui gugatan perdata tersebut secara teknis tidak diatur dalam KAK. KAK hanya mewajibkan negara peserta untuk memfasilitasinya sesuai dengan hukum nasional masing-masing. Negara-negara yang menganut common law system gugatan perdata sebagaimana diatur KAK tersebut dikenal dengan instrumen civil forfeiture yang dibedakan dengan criminal forfeiture142. Civil forfeiture merupakan gugatan untuk pengembalian aset, sedangkan criminal forfeiture merupakan tuntutan pidana terhadap orang. Civil forfeiture tidak mengharuskan penggugat untuk membuktikan unsurunsur dan kesalahan orang yang melakukan tindak pidana (personal culpability). Penggugat cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana. 142
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative, makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, 2007, hal. 22 – 23.
54 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Penggugat cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut. Pemilik aset tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut143. Adanya ratifikasi KAK memberi arti terbukanya kemungkinan Indonesia untuk melakukan gugatan di pengadilan-pengadilan asing, sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku di negara yang bersangkutan, khususnya negara peserta apabila terdapat cukup bukti uang hasil korupsi (stolen assets) dilakukan pencucian uang (money laundering) dengan segala bentuknya atau “disimpan” di luar negeri.
(3) Litigasi Multiyurisdiksi (Multi-jurisdictional Litigation) Prinsip assets recovery melalui gugatan perdata sebagaimana diatur oleh KAK tidak dapat dilepaskan dari prinsip multi-jurisdictional litigation atau litigasi multiyurisdiksi atau litigasi lintas yurisdiksi. Gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain (yang menjadi peserta KAK) tempat dilarikannya kekayaan negara (dilakukannya pencucian uang). Hal ini tersurat dalam Pasal 53 KAK. Prinsip tersebut dengan demikian memberikan konsekuensi pada negara peserta untuk memfasilitasi atau mengatur dalam hukum nasionalnya sehingga memungkinkan atau mengizinkan negara peserta lain melakukan litigasi untuk non-criminal avenue for recovery.
(4) Pembekuan
(Freezing)
atau
Penyitaan
(Seizure)
dan
Perampasan
(Confiscation) dari Hasil Korupsi atau Kekayaan yang Dicuci (Laundering) di Negara Lain Pembekuan atau penyitaan berbeda dengan perampasan. Perampasan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 – 55 KAK, pengertiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g KAK adalah pencabutan kekayaan untuk selamanya. 143
Ibid., hal. 24.
55 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Sedangkan pembekuan (freezing) atau penyitaan (seizure) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf f KAK, berarti larangan transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, yang bersifat sementara. Pasal 2 huruf f KAK menyatakan bahwa : ”For the purpose of this Convention : “Freezing” or “seizure” shall mean temporarity prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of property or temporarity assuming custody or control of property on the basis of an order issued by a court or other competent authority. (“Pembekuan” atau “penyitaan” berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, atau untuk sementara waktu menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.)” Pembekuan
atau
penyitaan
aset
ini
merupakan
tindakan
yang
memungkinkan dilakukannya perampasan (confiscation). Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 31 KAK. Perampasan itu sendiri sebenarnya merupakan konsep dalam hukum pidana. KAK tidak memberi batasan konsep perampasan hanya pada perkara pidana, menunjukkan bahwa konsep tersebut juga berlaku untuk kepentingan gugatan perdatanya. Hakikatnya, perampasan (confiscation) dalam hukum perdata merupakan dikabulkannya gugatan pengembalian aset itu sendiri. Dikabulkannya gugatan pengembalian aset, maka aset tersebut dinyatakan sah untuk dirampas oleh negara yang dirugikan tersebut. Dalam sistem hukum nasional, upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam UU TPK menggunakan 2 (dua) jenis instrumen, yaitu instrumen perdata dan pidana. Instrumen perdata yang terdapat dalam UU TPK memberikan dasar hukum kepada negara yang direpresentasikan oleh Jaksa Pengacara Negara atau pihak instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan atau ahli warisnya. Penggunaan instrumen perdata ini membawa konsekuensi prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil.144 Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang masuk dalam wilayah hukum sipil atau hukum perdata. 144
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 149.
56 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Pendekatan melalui jalur perdata dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan UU TPK sebagai berikut : (1) Pasal 32 ayat (1) UU TPK menetapkan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Dalam ayat (2) kemudian ditetapkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. (2) Pasal 33 UU TPK menyatakan bahwa dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. (3) Pasal 34 UU TPK mengatur bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan pada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. (4) Pasal 38 C UU TPK menetapkan apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Pengajuan gugatan dengan menerapkan instrumen hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Hukum Acara Perdata, hanya berlaku sepanjang benda tersebut
57 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
berada di wilayah Indonesia atau di atas kapal berbendera Indonesia. Dengan demikian, apabila benda tersebut berada di luar wilayah Indonesia, masalah kepemilikan dan hak kebendaan lainnya akan diatur menurut hukum perdata yang berlaku di wilayah negara tersebut.145 Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi menggunakan instrumen pidana dilakukan melalui proses penyitaan dan perampasan. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku tindak pidana korupsi dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut untuk dirampas oleh Hakim dan dikembalikan kepada kas negara. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.146 Menurut Andi Hamzah, definisi penyitaan dalam pasal ini agak panjang tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pasal 134 Ned. Sv. juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya yaitu “dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana.” Jadi, tidak dibatasi hanya untuk pembuktian. Persamaan kedua definisi tersebut di atas adalah pengambilan dan penguasaan milik orang.147 Penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi diatur secara khusus dalam UU TPK, sehingga ketentuan KUHAP yang mengatur tentang penyitaan tidak berlaku.148 Berkaitan dengan tugas penyidikan perkara tindak pidana korupsi, penyidik atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.149 Selanjutnya penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dan salinan berita acara tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.150 Mardjono
Reksodiputro
membedakan
antara
“penyitaan”
dan
145
Ibid., hal. 150. Pasal 1 angka 16 KUHAP. 147 Andi Hamzah, Hukum Acara …, Op.cit., hal. 147. 148 Pasal 47 ayat (2). 149 Pasal 47 ayat (1). 150 Pasal 47 ayat (3). 146
58 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
“perampasan”. Penyitaan sebagaimana didefinisikan dalam KUHAP adalah berasal dari istilah Belanda “beslag”, yaitu “mengambil dan menahan barang oleh alat negara dengan persetujuan atau menurut keputusan pengadilan”. Menyita (beslag leggen) adalah tindakan sementara, menunggu keputusan selanjutnya dari pengadilan. Sedangkan perampasan yang disebut sebagai pidana tambahan dalam Pasal 10 huruf b angka 2 KUHAP/WvS Indonesia 1918 adalah berasal dari istilah Belanda “verbauren” (verbeurdverklaring – pernyataan dirampas). Merampas adalah pidana yang ditujukan pada benda dan tagihan milik terpidana untuk diambil alih menjadi milik negara tanpa ada kompensasi.151 Perampasan menurut Martiman Prodjohamidjojo152 adalah tindakan hakim yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana diputuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda. Dengan demikian, berdasarkan penetapan hakim, benda tersebut dirampas dan kemudian dapat dirusak atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan milik negara. Pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi selain berupa pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK yaitu berupa:153 (1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dan tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dan barang yang menggantikan barangbarang tersebut; (2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dan tindak pidana korupsi; (3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah
151
Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi), makalah disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD) di PPATK tanggal 21 Juli 2009, hal. 1. 152 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hal.36. 153 Pasal 18 ayat (1) UU TPK.
59 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan sementara sesuai dengan putusan pengadilan. (4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa konsep pengembalian aset sudah dicakup secara substansial, walaupun terminologi yang dipergunakan berbeda. Istilah aset yang dipergunakan dalam KAK tidak dikenal dalam UU TPK, namun pengertiannya telah tercakup dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK tersebut. Di samping hasil tindak pidana korupsi berasal dari keuangan atau perekonomian negara, juga hal-hal yang dipergunakan untuk memfasilitasi tindak pidana korupsi (to facilitate crime), termasuk perusahaan milik terpidana.154 Mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU TPK ditentukan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan hasil korupsi. Apabila tidak dibayar, maka paling lama 1 (satu) bulan setelah keputusan hakim berkekuatan hukum tetap maka harta benda terpidana disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dan apabila hasil lelang tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan UU TPK. Dalam kaitannya dengan uang pengganti yang dipandang oleh Utrecht sebagai pidana tambahan yang dapat ditetapkan disamping pidana pokok, Utrecht mengemukakan pandangan bahwa pidana tambahan dan pidana pokok mempunyai karakter berbeda.155 Pidana tambahan hanya dapat diterapkan di samping pidana pokok.156 Apabila hakim tidak dapat menetapkan pidana pokok maka tidak dapat ditentukan pidana tambahan sebagai pengganti. Selain itu, Pasal 18 ayat (2) UU TPK mengandung upaya yang bersifat fakultatif bagi jaksa. Akibatnya Pasal 18 ayat (3) dalam praktik sering menjadi jalan keluar yang secara hukum tidak salah namun tidak mencakup pengaturan yang dituju dalam pengaturan asset recovery dalam KAK. 154
Jeane Neltje Saly, Op.cit., hal. 684. Ibid. 156 Jeane Neltje Saly, Op.cit. 155
60 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
UU TPK telah mengatur pula mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap perolehan harta kekayaan terdakwa. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU TPK). Namun demikian apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari pokok perkara, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditokah oleh hakim (Pasal 37 huruf B UU TPK).157 Menindaklanjuti UU TPK, pemerintah pada tahun 2007 membentuk panitia yang bertugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). Namun hingga akhir tahun 2010, RUU dimaksud belum dibahas oleh DPR. RUU PA mempunyai arti yang penting bagi upaya pengembalian aset hasil tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri. Hal ini dikarenakan paling tidak diperlukan 2 (dua) syarat utama dalam pengembalian aset dimaksud yaitu :158 (1) Indonesia harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan korupsi, dalam hal ini UU TPK, KPK dan Pengadilan Tipikor), (2) Indonesia juga harus mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor (baik aset yang disembunyikan di dalam negeri maupun di luar negeri). Kedua syarat ini sangat penting terutama jika Indonesia ingin merampas (recover) aset koruptor Indonesia yang berada di luar negeri. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak akan dapat begitu saja meminta/merampas aset koruptor Indonesia di luar negeri, melainkan harus melalui jalur hukum negara dimana aset tersebut ditempatkan.159 RUU PA pada intinya adalah mengatur mekanisme perampasan aset secara komprehensif, mulai dari penelusuran, pemblokiran, penyitaan dan hukum acara 157
Yunus Husein, Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan PerundangUndangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 569. 158 Mardjono Reksodiputro, Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham tanggal 3 Agustus 2009, hal. 1 – 2. 159 Ibid.,
61 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pemeriksaan di pengadilan. Selain itu diatur pula mengenai pengelolaan aset, rehabilitasi, kompensasi dan perlindungan terhadap pihak ketiga, asset sharing dan kerjasama internasional dalam pengembalian aset. Pengaturan perampasan aset secara khusus dimaksud dipandang perlu untuk memasukkan sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset hasil tindak pidana melalui “mekanisme perdata” yang menekankan perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan) yang dikenal dengan konsep non conviction based (NCB/perampasan aset tanpa pemidanaan). NCB merupakan terobosan dalam menghadapi mekanisme perampasan yang selama ini sangat terbatas karena memerlukan suatu putusan pengadilan dan ini berarti putusan tersebut harus memberikan hukuman bersalah kepada seseorang serta dalam mekanisme tersebut tindakan hukumannya selalu ditujukan terhadap orangnya (in personam/pelaku kejahatan) dan tindakan perampasan merupakan bagian dari tuntutan pidana terhadapnya.160 Pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak pidananya).161 Mekanisme NCB membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. NCB juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi atau uang pengganti atas kerugian negara. Dengan demikian aset yang baru ditemukan di kemudian hari dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah in kracht, tetap dapat disita dan dirampas melalui mekanisme ini. Selain itu, kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi, walaupun pelakunya sakit atau tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap 160
Supriyadi Widodo Eddyono, Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 722. 161 Yunus Husein, Op.cit., hal. 570.
62 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dapat dilakukan secara fair karena tetap melalui suatu sidang pengadilan.162 Melalui NCB, sistem pembalikan beban pembuktian dapat ditempatkan secara tepat sesuai dengan standar internasional yang menggariskan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian tidak patut diterapkan dalam peradilan pidana dimana kegagalan dalam pembuktian menurut sistem tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik. Mekanisme ini sejalan dengan Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK dan memenuhi standar Revised 40+9 Recommendations Financial Action Task Force (FATF) yang menggariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan. Adapun pokok-pokok pengaturan dalam RUU PA adalah sebagai berikut :163 (1) Memperkenalkan mekanisme perampasan in rem atau yang di negara-negara common law system dikenal dengan sebutan civil forfeiture atau non-convicted based.
Mekanisme
ini
memungkinkan
dilakukannya
penyitaan
dan
perampasan asset tanpa perlu adanya tersangka atau terdakwa/terpidana. Proses hukum difokuskan pada masalah asset/kebendaan (in rem) dan bukan pada orang (in personan). (2) Memperluas bentuk-bentuk aset yang dapat disita atau dirampas sehingga mencakup (a) aset hasil tindak pidana; (b) aset yang digunakan atau akan digunakan sebagai sarana (instrumen) untuk melakukan tindak pidana; (c) asset yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; dan (d) aset yang merupakan barang temuan. (3) Mengatur pembalikan beban pembuktian secara lengkap. Sebenarnya dalam konteks ini reserve burden of proof diperkenankan untuk diterapkan. Mekanisme ini sangat “tidak fair” bila diterapkan pada pemeriksaan perkara pidana dimana kegagalan seseorang dalam membuktikan sebaliknya dijadikan sebagai dasar untuk menghukum orang tersebut. Beberapa undang-undang termasuk UU TPK sudah memperkenalkan mekanisme ini namun lebih diarahkan pada pemidanaan sehingga dalam praktiknya sulit untuk diterapkan. (4) Mengukuhkan perlunya mekanisme asset sharing atas aset hasil rampasan 162 163
Ibid. Ibid., hal. 572 – 573.
63 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perampasan aset tersebut. Dengan mekanisme ini kesulitan dalam penganggaran dan pembiayaan kegiatankegiatan dalam alian seupaya penegakan hukum termasuk capacity building dapat teratasi. Dengan demikian diharapkan aparat penegak hukum dapat lebih kuat dalam menangkal masuknya pengaruh kekuasaan. Khusus mengenai pembalikan pembuktian sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka perampasan aset hasil kejahatan yang mengadopsi konsep NCB tidaklah ditujukan untuk menghukum pelaku tindak pidana, tetapi hanyalah proses yang sebagian besar bersifat perdata untuk menyita harta kekayaan hasil pidana untuk diserahkan kepada negara. NCB bukan merupakan pengganti penuntutan pidana dan dimungkinkan apabila penuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil.164 Konsep NCB tetap menekankan adanya suatu proses pidana terhadap seseorang terdakwa, namun sebelum ada putusan bersalah maupun sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dimintakan putusan (putusan sela) untuk merampas aset tersebut. Jadi, NCB tetap harus berdasarkan pada putusan pengadilan, meskipun terdakwanya belum dinyatakan bersalah.165 Terdapat polemik menyangkut pertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan non self incrimination. Berkaitan dengan hal ini apabila pembalikan beban pembuktian dilakukan untuk menghukum terdakwa, maka ini bertentangan dengan asas hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan non self incrimination. Namun, apabila pembalikan beban pembuktian pada perampasan NCB bukan untuk memberikan hukuman badan kepada pelaku tindak pidana tersebut.166 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas dan diuraikan mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang akan membahas mengenai peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak tersangka/terdakwa, penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan peranan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak 164
Ibid., hal. 573. Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan ….,, Op.cit., hal. 3. 166 Yunus Husein, Op.cit., hal. 573. 165
64 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pidana korupsi.
65 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
BAB IV PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Tersangka/Terdakwa Permasalahan yang sering ditemukan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah adanya seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tidak dapat diketahui dan ditemukan keberadaannya, meskipun telah dipanggil sesuai ketentuan yang berlaku. Atas keadaan tersebut, penyidik berusaha mencari dan menemukan tersangka seoptimal mungkin sehingga bisa menemukannya. Namun dalam kenyataan seringkali terhadap tersangka yang dicari tidak dapat diketemukan keberadaannya sehingga tidak memungkinkan dibawa dengan upaya paksa melalui penangkapan atau penahanan. Apabila kondisi ini berlanjut sampai pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, maka Pasal 38 ayat (1) UU TPK memungkinkan dilaksanakannya peradilan in absentia yaitu perkara tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Peradilan in absentia dimaksud dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang keberadaannya tidak diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah atau patut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan semaksimal mungkin.167 Selanjutnya tujuan penerapan peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi dapat diketahui dari penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu untuk menyelamatkan kekayaan negara. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat serta martabat manusia” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan KUHAP.168 Hal 167
Marwan Effendy, Op.cit., hal. 61. Menurut Mardjono Reksodiputro dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, dalam Penjelasan KUHAP kita dapat menemukan 10 (sepuluh) asas yang yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat serta martabat manusia” yaitu : (1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; (2) Praduga tidak bersalah; (3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 168
66 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ini menunjukkan bahwa KUHAP dan penjelasannya telah memberikan pedoman bagaimana hak-hak sipil (hak-hak warga negara) dilindungi dalam proses peradilan pidana. Proses peradilan pidana dilaksanakan berlandaskan proses hukum
yang
adil
(due
process
of
law),
dimana
hak-hak
tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hakhak warga negara (civil rights) dan karena itu merupakan bagian dari HAM. Peradilan harus menjaga bahwa selalu ada kemungkinan untuk menuntut dan memperolehnya apabila hak-hak tersebut dilanggar.169 Berkaitan dengan pandangan yang menolak diterapkannya peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi karena cenderung melanggar HAM dengan alasan sebagai berikut :170 (1) Hak-hak terdakwa untuk membela diri antara lain sudah diatur dalam Pasal 51 dan 52 KUHAP. (2) Sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 dimana setiap warga negara di hadapan hukum kedudukannya sama, sehingga walaupun terdakwa melarikan diri seharusnya kewajiban penegakan hukum untuk menghadirkannya melalui kerjasama Interpol atau perjanjian ekstradisi atau terdakwa dapat melarikan diri karena tidak segera dikenal, sehingga dalam hal ini aparat hukum perlu berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan terdakwa. (3) Penerapan peradilan in absentia terhadap pelaku tindak pidana korupsi terkait dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dalam pembelaannya di persidangan, yaitu hak untuk membantah (terhadap barang bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, maupun keterangan saksi), dan hak untuk memberikan tanggapan, meskipun terdakwa masih diberikan (4) (5) (6) (7) (8)
Hak untuk mendapat bantuan hukum; Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; Peradilan yang terbuka untuk umum; Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undangpundang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis); (9) Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan (10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Kesepuluh asas ini harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi hak-hak sipil (HAM). 169 Ibid., hal. 57. 170 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 72 – 73.
67 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
hak untuk mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan tanpa kehadirannya, karena selama belum ada putusan/vonis dari hakim, hakhak asasi terdakwa dijamin oleh hukum dianggap belum bersalah (asas presumption of innocence). Pelanggaran HAM dimaksud dalam pelaksanaan peradilan in absentia berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 14 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik/The International Covenant on Civil and Political Rights (KIHSP). KIHSP merupakan salah satu bagian dari 3 (tiga) instrument pokok hak asasi manusia internasional dalam International Bill of Human Rights. KIHSP disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang lebih luas dan dengan penjabaran yang lebih spesifik, seperti misalnya penjabaran hak-hak yang bersifat non-derogable dan hak-hak mana yang bersifat permissible yang berkaitan dengan hak sipil dan politik.171 KIHSP mengandung hak-hak demokratis yang esensial, sebagian besar berkaitan dengan berfungsinya suatu negara dan hubungannya dengan warga negaranya. Hak untuk hidup dan kebebasan merupakan hal yang harus dihormati oleh negara. Kebebasan individu dapat meningkatkan kualitas hidup dan menggambarkan hubungan antara negara dengan tiap individu. Namun demikian, semua HAM mencerminkan pembatasan pada level tertentu yang sengaja dibuat suatu negara untuk warga negaranya. Hakhak dan kebebasan-kebebasan jarang sekali yang bersifat absolut. Jadi sebuah negara diperbolehkan membatasi hak seseorang atas privasi absolut ketika negara misalnya melakukan investigasi tindak pidana.172 Pasal 14 KIHSP secara khusus mengatur tentang persamaan di muka pengadilan dan hak atas suatu persidangan yang adil dan terbuka untuk umum yang dilakukan oleh pengadilan yang kompeten, mandiri dan tidak memihak yang ditetapkan oleh hukum.173 Pasal 14 KIHSP menyatakan sebagai berikut :
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu 171
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, 2008), hal. 36 – 37. 172 Ibid., hal. 93. 173 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 69.
68 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. (2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. (3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; (b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; (e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksisaksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; (f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; (g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. (4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. (5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. (6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta 69 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. (7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masingmasing negara. Kalimat pertama dari Pasal 14 ayat (1) KIHSP menandakan pentingnya semua orang harus diberikan tanpa diskriminasi hak yang sama atas akses ke pengadilan. Kalimat kedua Pasal 14 ayat (1) KIHSP berkaitan dengan hak atas peradilan yang fair dan terbuka untuk umum oleh sebuah pengadilan yang kompeten, mandiri dan tidak memihak serta ditetapkan oleh undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (2) dinyatakan tentang asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Ketentuan ini berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. Asas praduga tak bersalah harus dipertahankan tidak hanya selama persidangan berhadapan dengan terdakwa, tetapi juga berhubungan dengan seseorang atau tertuduh dalam seluruh tahap sebelum persidangan.174 Pasal 14 KIHSP selanjutnya diatur ketentuan yang berkaitan dengan hak-hak terdakwa yaitu antara lain berupa hak : (1) Jaminan prosedural minimal pemberitahuan dalam penentuan terhadap pidana seseorang; (2) Hak atas fasilitas-fasilitas dan waktu yang memadai untuk menyiapkan suatu pembelaan; (3) Hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (4) Hak diadili dengan kehadiran terdakwa;
(5) Hak atas saksi dalam keadaan apapun saksi tidak boleh diperiksa tanpa hadirnya terdakwa maupun pengacara; (6) Hak untuk tidak dipaksa dalam memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah (asas non self-incrimination);
174
Ibid.
70 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(7) Hak untuk banding. Hak-hak tersebut dalam Pasal 14 KIHSP tersebut telah tercantum dalam Pasal 50 sampai dengan 68 KUHAP. Jika mengacu pada Pasal 14 ayat (3) huruf d KIHSP tersebut di atas, maka pelaksanaan peradilan in absentia terlihat seperti melanggar HAM. Namun harus diingat bahwa dalam instrumen hak asasi manusia terdapat 2 (dua) macam sifat mengikat suatu instrumen hak asasi manusia yaitu derogasi (derogable) dan non derogable. Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu negara menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi yang darurat.175 Alasan yang diperbolehkan digunakan untuk membuat derogasi adalah keadaan darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu negara, ancaman esensial terhadap keamanan negara dan disintegrasi bangsa.176 Dalam Pasal 4 KIHSP dinyatakan bahwa : (1) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkahlangkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. (2) Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini. (3) Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) KIHSP tersebut, Pasal 14 KIHSP merupakan pasal yang tidak termasuk dalam rumpun hak fundamental atau non derogable rights, yaitu suatu hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam situasi apapun.177 Atau dengan kata lain, Pasal 14 KIHSP merupakan hak asasi yang dapat ditunda 175
Rhona K.M. Smith, Op.cit., hal. 41 – 42. Ibid., hal. 42. 177 Ibid., hal. 71. 176
71 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pemenuhannya (derogable rights). Hal ini diperkuat dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dengan menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Komitmen pemerintah ini jelas tertuang dalam huruf a pertimbangan UU KPK yang menyatakan : 178 ”Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.” Ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 DUHAM menegaskan bahwa pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi yang lebih luas dengan syarat diatur dalam bentuk-bentuk undang-undang.179 Ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 14 KIHSP telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 17, 18 dan 19 UU HAM. Selanjutnya dalam Pasal 73 UU HAM diatur tentang hak derogasi dimana Pasal 17, 18, dan 19 UU HAM tidak termasuk non-derogable rights. Berdasarkan hal tersebut di atas, pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan tanpa melanggar HAM apabila negara
telah
menjalankan
keharusan
mengemukakan
alasan-alasan
atas
ketidakmampuan negara menghadirkan tersangka. Artinya, ketidakmampuan negara dikemukakan dan dibuktikan di depan pengadilan sebagai suatu alasan yang obyektif. Dalam proses dan prosedur pelaksanaan peradilan in absentia, harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam hal ini KUHAP, terutama berkaitan dengan tata cara melakukan pemanggilan secara layak dan diberitahukan di media massa terhadap tersangka tetapi yang bersangkutan tidak hadir dan tidak menggunakan haknya.180 Hal ini sangat penting karena mengingat syarat mutlak dilaksanakannya peradilan in absentia adalah : (1) harus dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah. Mengenai ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan in absentia, di satu 178
Lihat Penjelasan Umum UU KPK. Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 13. 180 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 71 – 72. 179
72 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
sisi KUHAP memberikan hak kepada terdakwa untuk menghadiri sidang pengadilan dan hak tersebut merupakan hak utama terdakwa untuk seluas-luasnya melakukan pembelaan terhadap dirinya, melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan juga diberikan keleluasaan apabila pada waktu persidangan sedang berjalan akan tetapi belum mencapai putusan, terdakwa dapat hadir, maka pada sidang berikutnya pengadilan wajib mendengar dan memeriksa terdakwa. Untuk mencapai tujuan pemeriksaan, persidangan dilakukan dengan mengacu kepada prinsip persidangan yang sederhana, cepat dan murah, tetapi karena pengadilan juga harus memperhatikan hak-hak terdakwa, maka harus dicari keseimbangan antara kepentingan terdakwa dengan kecepatan pemeriksaan yang dituntut dalam suatu perkara, terutama perkara korupsi.181 Di sisi lain, terdakwa sendiri secara sengaja memang tidak berkeinginan menggunakan hak yang diberikan KUHAP tersebut. Dalam hal ini berarti terdakwa telah memilih untuk tidak menggunakan haknya untuk membela diri di muka persidangan. Ketidakhadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan tanpa alasan yang sah walaupun telah dilakukan pemanggilan secara sah merupakan upaya terdakwa secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan yang berakibat pada kebuntuan proses pemeriksaan.182 Dalam konteks ini, hak untuk membela diri di muka persidangan dapat ditunda pemenuhannya dikarenakan kesengajaan dari terdakwa yang melarikan diri.
4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi merupakan hukum acara khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam UU TPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Namun, proses peradilan in absentia pada tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses peradilan tindak pidana yang secara umum yang meliputi proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam pelaksanaan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilaksanakan berdasarkan 181 182
Loebby Loqman, Op.cit., Marwan Effendy, Op.cit., hal. 19.
73 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU TPK. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dimaksud dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK.183
4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam tindak pidana korupsi, suatu perkara tindak pidana korupsi dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah melalui proses penyelidikan. Suatu perkara dapat ditingkatkan ke tingkat penyidikan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :184 (1) Ditemukannya bukti permulaan yang cukup adanya TPK; (2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU TPK, penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditetapkan lain dalam undang-undang ini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam penyidikan perkara tindak pidana korupsi tetap menggunakan ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP kecuali ditentukan lain oleh UU TPK. Dikarenakan dalam UU TPK tidak disebutkan secara spesifik pengertian penyidikan, maka penyidikan dimaksud dalam UU TPK mengacu pada pengertian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Dalam proses penyidikan, penyidik dengan kewenangan yang dimilikinya harus mencari
keterangan-keterangan
dan
mengumpulkan
barang
bukti
yang
mempunyai nilai pembuktian untuk dijadikan alat bukti yang sah di dalam pemeriksaan di persidangan, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana 183 184
benar-benar
terjadi
dan
terdakwalah
yang
bersalah
Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU TPK. Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU KPK.
74 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
melakukannya.185 Alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Khusus untuk alat bukti berupa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, UU TPK melengkapi dengan ketentuan bahwa untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : (a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.186 Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK disebutkan bahwa dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tidak berlaku berdasarkan UU KPK. Prosedur khusus dimaksud adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.187 Dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hakhak tersangka.” Berkaitan dengan kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, Pasal 38 UU KPK menyatakan : (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
185
Pasal 183 KUHAP. Pasal 26 A UU TPK. 187 Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU KPK. 186
75 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Dengan demikian pelaksanaan penyidikan dalam perkara korupsi tetap mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP tentang wewenang penyidik berlaku juga pada penyidikan tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26 UU TPK disebutkan bahwa
kewenangan Penyidik pada pasal ini termasuk
wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping). Selain kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP, UU KPK dan UU TPK juga memberikan kewenangan meliputi : (1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya (Pasal 47 ayat (1) UU KPK); (2) Meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa (Pasal 29 ayat (1) UU TPK); (3) Meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi (Pasal 29 ayat (4) UU TPK); (4) Membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 UU TPK). Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam KUHAP untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya Pasal 28 UU TPK mengatur tentang kewajiban tersangka berupa kewajiban memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi, terdapat beberapa kondisi khusus berkaitan dengan penghentian penyidikan perkara tindak pidana korupsi yaitu : (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah
76 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan isntansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Selanjutnya ditentukan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Putusan bebas dimaksud adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP.188 (2) Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Ahli waris dimaksud adalah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.189 Hal dimaksud menunjukkan bahwa meskipun perkara ditutup demi kepentingan hukum, tetapi jika diketahui secara nyata bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara, maka tidak menutup kemungkinan tanggungjawab pengembalian keuangan negara tersebut kepada ahli warisnya. Mengenai formulasi berkas perkara hasil penyidikan in absentia, tidak berbeda dengan berkas perkara tindak pidana yang lazim selama ini dibuat oleh Penyidik. Letak perbedaannya hanya pada Berita Acara Permintaan Keterangan Tersangka. Jika pada berkas perkara hasil penyidikan yang biasa terdapat keterangan tersangka yang tertuang dalam Berita Acara Permintaan Keterangan Tersangka, tetapi dalam berkas perkara hasil penyidikan in absentia keterangan tersangka tidak ada. Meskipun keterangan tersangka tidak ada, namun Berita Acara Permintaan Keterangan seharusnya tetap dilampirkan dan wajib memuat identitas tersangka secara lengkap mengacu pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) 188 189
Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU TPK dan penjelasannya. Pasal 33 UU TPK dan penjelasannya.
77 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
huruf a KUHAP yaitu memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Pentingnya identitas ini karena akan dituangkan di dalam dan menjadi syarat formil dari sahnya suatu surat dakwaan yang akan diajukan ke depan persidangan.190 Ketidakhadiran tersangka tidak memberikan keterangan, oleh penyidik dituangkan pada Berita Acara sebagai catatan, bahwa tersangka telah dipanggil secara patut, tetapi tidak hadir atau dengan kata lain tidak memenuhi panggilan permintaan keterangan. Catatan dimaksud dilengkapi dengan masing-masing nomor dan tanggal surat, alamat yang dituju, nama penerimanya dan relaas dari surat panggilan serta ditutup dengan tanda tangan penyidik yang mendapat perintah untuk melakukan permintaan keterangan.191 Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, untuk membuktikan tindakan penyidik telah optimal, sebaiknya dimintakan bantuan berbagai pihak untuk turut serta mencari tersangka dan dibuat Daftar Pencarian Orang (DPO). Untuk kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan, sebaiknya surat panggilan, relaas, surat permintaan bantuan pencarian tersangka dan DPO dilampirkan dalam berkas perkara menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.192 Untuk lengkapnya susunan berkas hasil penyidikan in absentia mengacu kepada susunan secara umum disesuaikan dengan kebutuhan berkas perkara menurut Pasal 8, 12, 75, 110, 121 dan 138 KUHAP. Berkas perkara hasil penyidikan baru dapat dilimpahkan ke Pengadilan apabila memenuhi kelengkapan formil dan materiil. Kelengkapan formil berkas perkara hasil penyidikan antara lain seperti setiap tindakan yang dituangkan dalam berita acara harus dibuat oleh pejabat yang berwenang (penyidik) atas kekuatan sumpah jabatan dan ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat tindakan tersebut, memuat identitas tersangka, saksi atau ahli secara lengkap, surat panggilan yang dilakukan secara patut terhadap tersangka, pelaksanaan upaya paksa (penggeledahan dan penyitaan) sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana dan tindakan lain yang dibenarkan undang-undang. Sedangkan 190
Marwan Effendy, Op.cit., hal. 29. Ibid. 192 Ibid. 191
78 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
kelengkapan materiil antara lain dalam berita acara pemeriksaan saksi, ahli dan tindakan lain tersebut harus memuat perbuatan melawan hukum sesuai dengan pasal dari tindak pidana yang disangkakan, adanya kesalahan yang didukung minimal 2 (dua) alat bukti yang memenuhi unsur pasal yang disangkakan, tempus dan locus delictie. Kelengkapan formil dan materiil ini sangat penting mengingat berkas perkara hasil penyidikan adalah dasar dari substansi surat dakwaan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Jika surat dakwaan tidak memenuhi dimaksud, maka surat dakwaan dapat dinyatakan batal demi hukum.193
4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum KPK. Penuntut Umum mempunyai waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara dari penyidik, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.194 Tuntutan dalam perkara in absentia tidak berbeda dengan tuntutan dalam perkara biasa. Dalam tuntutan pidana perkara in absentia seperti lazimnya dalam perkara biasa memuat identitas terdakwa, dakwaan, uraian fakta hukum alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan serta analisa pembuktian unsur-unsur pasal yang dirumuskan di dalam dakwaan mengacu kepada alat bukti yang diperoleh di depan persidangan. Selain itu, dalam tuntutan harus memuat alasan memberatkan dan meringankan yang menjadi dasar permintaan Jaksa Penuntut Umum yang dituangkan dalam diktum tuntutan pidana.195 Dalam proses penuntutan berkaitan dengan pembuktian terdapat beberapa ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan 37 A UU TPK yaitu : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan 193
Ibid., hal. 31 – 32. Pasal 52 ayat (1) UU KPK. 195 Op.cit., hal. 32. 194
79 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti, (3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan, (4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU TPK dan Pasal 5 sampai dengan 12 UU ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal tersebut di atas merupakan penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem semi terbalik.196 Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa terdakwa mendapatkan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar dan berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan tidak mempersalahkan dirinya sendiri (non-self incrimination).
4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154 ayat (4) KUHAP dan Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan 196
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil …., Op.cit., hal. 409.
80 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan suatu keharusan atau kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya pengecualian jika undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, yakni menyangkut ketentuan adanya pengecualian dalam undang-undang khusus yang menentukan lain. Ketentuan ini menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Dengan demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undangundang menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus ini adalah adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan hukuman tanpa hadirnya terdakwa. Terdapat beberapa kondisi ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu : (1) Ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim197 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi, atau (2) Ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim198 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu : (1) terdakwa telah dipanggil secara sah; dan (2) terdakwa tidak hadir di sidang 197 198
Lihat : Pasal 153 ayat (3) KUHAP. Lihat : Pasal 154 ayat (3) dan (4) KUHAP.
81 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pengadilan tanpa alasan yang sah. Pemeriksaan dan diputusnya perkara tindak pidana korupsi baru boleh dilakukan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi, syarat mutlak dilaksanakannya pemeriksaan dan persidangan in absentia adalah : (1) harus dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam KUHAP maupun di dalam UU TPK tidak ada ketentuan yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.199 Dalam UU TPK syarat-syarat pemanggilan dimaksud tidak diatur secara khusus sehingga dalam pelaksanaannya mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 dan 146 KUHAP yaitu : (1) Panggilan berbentuk surat panggilan Pasal 145 ayat (1) mengatur bahwa panggilan terhadap terdakwa atau saksi harus berbentuk surat panggilan. Pasal 146 ayat (1) selanjutnya menentukan halhal yang harus dipenuhi surat panggilan yaitu harus memuat : (a) tanggal, hari serta jam sidang, (b) tempat persidangan, (c) alasan pemanggilan (dalam perkara atau tindak pidana yang didakwakan). (2) Panggilan harus disampaikan Bagi terdakwa yang berada di luar tahanan : (a) Surat panggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya. (b) Surat panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir, apabila tempat tinggal terdakwa tidak diketahui (c) Surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa yang berdaerah hukum di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa jika terdakwa tidak berada atau dijumpai di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir. Jadi jika terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau secara kebetulan sedang tidak ada, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui Kepala Desa tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 227 ayat (2) 199
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 654.
82 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
KUHAP yang menegaskan bahwa petugas yang menyampaikan panggilan bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil. (d) Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di pengadilan yang mengadili perkara tersebut apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir terdakwa tidak diketahui atau tidak dikenal. Mengacu pada Pasal 145 ayat (5) ini, surat panggilan agar dapat berdaya guna sebenarnya dapat dilakukan melalui media cetak atau elektronik. (3) Surat tanda penerimaan Pasal 145 ayat (4) mengatur bahwa setiap orang yang menerima surat panggilan, baik terdakwa atau saksi harus menandatangani surat tanda penerimaan (relaas). Relaas merupakan bukti telah disampaikannya surat panggilan. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi kepastian hukum. Hal ini dikarenakan pada masa lalu sering terjadi hakim mengeluarkan perintah penangkapan atas alasan keingkaran terdakwa menghadiri persidangan sekalipun panggilan sudah disampaikan kepadanya secara sah, dalam persidangan terdakwa membantah dan menganggap penangkapan tidak sah karena panggilan tidak pernah disampaikan penuntut umum kepadanya. Untuk menghindari saling salah menyalahkan, maka Pasal 145 ayat (4) sebagai alat pembuktian tentang sampai tidaknya suatu panggilan. Ketentuan ini memperluas orang-orang yang dapat menerima surat panggilan, yaitu bukan hanya terdakwa atau Kepala Desa saja, tetapi dapat diterima juga oleh orang lain atau melalui orang lain. Orang lain tersebut harus menerima surat panggilan dengan tanda penerimaan. Orang lain dimaksud, menurut penjelasan Pasal 145 ayat (4) ialah keluarga atau penasihat hukum. Surat panggilan yang disampaikan penuntut umum melalui keluarga atau penasihat hukum di alamat tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa, dianggap telah dilakukan dengan sempurna dan panggilan telah dianggap sah.
Keluarga atau penasihat hukum yang menerima surat panggilan harus membuat surat tanda penerimaan. Hal ini diharapkan dapat mempercepat proses pemeriksaan. Penyampaian surat panggilan kepada keluarga atau penasihat hukum dianggap rasional dan wajar sebab keluarga atau penasihat hukum terdakwa adalah orang yang secara moral dan hukum ikut bertanggungjawab menghadirkan
83 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
terdakwa di depan sidang pengadilan.200 Terdapat kemungkinan orang yang dipanggil atau yang menerima surat panggilan tidak mau menandatangani relaas. Dalam hal seperti ini, petugas mencatat alasannya (Pasal 227 ayat (2) KUHAP). (5) Tenggang waktu penyampaian surat panggilan Surat panggilan sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan dimulai. Penuntut umum harus memperhatikan ketentuan ini. Surat panggilan yang disampaikan kurang dari tenggang waktu ini dianggap tidak sah dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk mematuhi panggilan tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 227 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang tenggang waktu penyampaian surat panggilan memuat kata “harus” yang secara lengkap berbunyi : “Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.” Selain itu, tujuan tenggang waktu 3 (tiga) hari dimaksudkan untuk memberi kesempatan waktu yang memadai bagi terdakwa untuk mempersiapkan pembelaan diri atau untuk mencari penasihat hukum yang diperlukan.201 Ketentuan tenggang waktu pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua tingkat pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli. Ketentuan terkait tenggang waktu sifatnya tidak mutlak karena seandainya surat panggilan sidang disampaikan penuntut umum kepada terdakwa kurang dari 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai, namun demikian terdakwa bersedia dengan rela perkaranya disidangkan, kerelaan seperti ini tidak menghalangi sahnya pemeriksaan dilakukan. Asal benar-benar ditanya kerelaan dan kesediaan terdakwa untuk diperiksa dalam sidang pengadilan. Jika terdakwa keberatan, tidak ada alternatif lain selain memundurkan sidang pada hari dan tanggal yang ditentukan kemudian. Apalagi jika diperhatikan angka 18 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03/1983 batas waktu 3 (tiga) hari tersebut ditolerir. Sekalipun tenggang waktu pemanggilan ditolerir dalam keputusan dimaksud, terkait dengan Pasal 112 ayat (1) yaitu pemanggilan dalam 200 201
Marwan Effendy, Op.cit., hal. 26. Ibid., hal. 27.
84 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
taraf penyidikan tetapi keputusan tersebut meliputi juga pemanggilan dalam pemeriksaan pemanggilan. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dalam pelaksanaannya terkait dengan “pengertian tenggang waktu yang wajar”, disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak dapat dianalogikan dengan penjelasan Pasal 152 ayat (2) dimana ditentukan waktu 3 (tiga) hari.202 Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal, untuk perkara dalam proses penuntutan ditempelkan di papan pengumuman pengadilan yang berwenang mengadilinya. Sedangkan dalam proses penyidikan untuk memudahkan pemanggilan dapat dilakukan melalui media cetak nasional dan lokal.203 Demikian pemanggilan secara sah, apabila setelah diumumkan tidak juga hadir maka sidang in absentia dapat dilakukan.204 Dalam penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur pemanggilan tersangka dan terdakwa memegang peranan penting sebab jika prosedur pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sah menurut perintah ketentuan undang-undang, maka surat dakwaan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penyidikan yang sah jika itu merupakan putusan judex factie karena pemanggilan terdakwa tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan putusan judex factie dapat dibatalkan oleh judex juris mengacu kepada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2026 K/Pid/1986 tanggal 29 Agustus 1987 dalam perkara in absentia atas nama terdakwa Frans Limanax yang didakwa melanggar Pasal 16 ayat (7) jo ayat (8) Undang-Undang
Nomor
7/Drt/Tahun
1955
jo
Undang-Undang
Nomor
15/Perpu/1962 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Penetapan Berbagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang menjadi UndangUndang.205 Permasalahan yang muncul kemudian adalah terkait ketidakhadiran terdakwa sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) secara terus-menerus dengan alasan yang sah. Apakah sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran
202
Ibid. Ibid., hal. 28. 204 Adami Chazawi, Op.cit., hal. 392. 205 Ibid. 203
85 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
terdakwa? Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU TPK tidak dapat diterapkan, karena tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846 K/Pid/2000 tersebut di atas yaitu karena terdakwa terus-menerus tidak dapat hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. Sebelum putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah ada Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor 121 K/Kr/1980 dan atas dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI lalu memberikan petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 22 Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,206 yaitu dalam hal perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima. Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK adalah termasuk tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK, dapat diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di sidang pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu terdakwa hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi, meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang pengadilan, terdakwa wajib diperiksa oleh hakim. Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal 38 ayat (2) UU TPK ditentukan lebih lanjut sebagai berikut : (1) Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu 206
Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985, hal. 84.
86 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi untuk diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi. (2) Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi. Ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK sifatnya tidak imperatif, maka hakim dapat saja memenuhi apa yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai hakim memenuhi permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan dengan cepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman berkurang fungsinya. Yang dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK adalah tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan sah ketika hakim menjatuhkan putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Tidak menjadi masalah apakah tidak hadirnya terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus atau hanya pada satu atau beberapa kali sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketika hakim menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Setelah hakim menjatuhkan putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah seperti yang ditentukan juga dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK, yaitu dengan alternatif sebagai berikut: (1) Mengumumkan putusan hakim tersebut pada : papan pengumuman pengadilan, yaitu adalah papan pengumuman pengadilan negeri, papan pengumuman pada kantor pemerintah daerah, atau (2) Putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa. Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) UU TPK cukup berupa
87 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
petikan surat putusan pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP. Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah, maka tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah juga seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK. Dalam hal terdakwa hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pidana, menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3) huruf d KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut. Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (4) UU TPK juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah.207 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana korupsi, apakah terdakwa hadir atau tidak hadir di sidang pengadilan dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, terdakwa dapat mengajukan upaya hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut. Ketentuan tersebut secara langsung akan mendorong terdakwa perkara tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai macam alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat mengajukan permohonan banding. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) tanggal 10 Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penasihat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa atau Terpidana In Absentia, memerintahkan agar Ketua Pengadilan Tinggi dan Negeri menolak atau tidak melayani Penasihat Hukum atau Pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang tidak hadir, sehingga hal terdakwa untuk mengajukan upaya hukum menjadi tertutup. SEMA RI tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 38 ayat (6) UU TPK karena tujuan persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi adalah dalam rangka menyelamatkan keuangan negara atau mengembalikan kerugian 207
Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
88 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
negara, maka penetapan pengadilan merampas barang-barang yang disita diajukan dalam persidangan oleh penuntut umum dinyatakan tidak dapat dimintakan banding.208 Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6) menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang dimaksud Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat dimohonkan banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP hanya putusan pengadilan. Selanjutnya Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK adalah pihak ketiga yang beritikad baik. Dengan demikian, jika ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, akan ditemui persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut : (1) Persamaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah : (a) Memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan terhadap putusan atau penetapan pengadilan tentang perampasan barangbarang, karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaan yang didapat dengan itikad baik; (b) Keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah menjatuhkan putusan atau penetapan perampasan barang-barang karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan itikad baik. (2) Perbedaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah : (a) Tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk 208
Marwan Effendy, Op.cit., hal. 15 – 17.
89 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
umum; (b) Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK adalah berbentuk penetapan, sedangkan apa yang dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah berbentuk putusan; (c) Pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK terdakwa
telah
meninggal
dunia
sebelum
penetapan
pengadilan
dikeluarkan, sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, terdakwa belum meninggal dunia. Jika ketentuan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dikaitkan dengan Pasal 38 ayat (3) dan (5) UU TPK dapat diketahui hal-hal sebagai berikut : (1) Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut Umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap keberatan dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan tersebut. (2) Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh Pasal 38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan. (3) Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya membenarkan keberatan tersebut. Penetapan ini selanjutnya oleh jaksa dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan penetapan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya yang disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan tersebut. (4) Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan oleh penuntut umum pada
90 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
papan pengumuman pengadilan, kantor
pemerintah
daerah
atau
sejak
diberitahukan kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara gugatan perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya209 Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK disebutkan bahwa tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut, maka sebelum lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan tentang perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan penetapan pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan penetapan pengadilan yang dimaksud. Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK tidak disebutkan seperti halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK bahwa apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas. Penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK dapat diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK, karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK, yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.
4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Salah satu instrumen dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan instrumen pidana yang dilakukan melalui proses penyitaan dan perampasan. Untuk aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di wilayah Indonesia, penyitaan dilakukan berdasarkan Pasal 47 UU KPK. Sedangkan perampasan adalah berupa putusan tambahan pada pidana pokok yaitu selain berupa pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana 209
Pasal 118 HIR - Pasal 142 Rbg.
91 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK. Berkaitan dengan pidana tambahan, Pasal 17 UU TPK mengatur bahwa : “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.” Kata “dapat” dalam pasal ini menciptakan situasi yang tidak pasti karena apakah terdakwa dituntut dan dijatuhi hukuman tambahan sangat tergantung dari itikad baik jaksa penuntut dan hakim yang memutus perkara korupsi. Peluang untuk tidak membayar uang pengganti secara penuh juga muncul dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan : “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.” Adanya substitusi dari keharusan membayar uang pengganti dengan kurungan badan yang lamanya tidak melebihi ancaman hukuman maksimum pidana pokoknya, menciptakan peluang bagi pelaku tindak korupsi untuk memilih memperpanjang masa hukuman badan dibandingkan harus membayar uang pengganti. Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK menyatakan bahwa perampasan harta atau
kekayaan
hanya
ditujukan
kepada
terpidana.
Padahal
modus
menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya dengan menggunakan keluarga, sanak saudara atau orang kepercayaan. Ketentuan ini dapat mengakibatkan strategi untuk menyembunyikan harta dan kekayaan hasil tindak pidana korupsi menjadi lebih mudah. Pembatasan besaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor, juga berpotensi menyulitkan usaha memaksimalkan pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Pembatasan dimaksud adalah bahwa besaran uang pengganti yang bisa dijatuhkan sama dengan uang yang diperoleh dari kejahatan korupsi atau sebesar yang bisa dibuktikan di pengadilan. Pemahaman ini sangat konvensional, mengingat tindak pidana korupsi adalah tergolong kejahatan luar biasa yang tidak dapat disamakan dengan kejahatan lain yang dikategorikan biasa. Argumentasinya, dampak korupsi 92 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
bukan hanya merugikan keuangan negara, akan tetapi membawa penderitaan sosial, merusak lingkungan hidup, membengkaknya angka kemiskinan yang tidak dapat sekedar dibayar dengan uang pengganti yang nilainya sama dengan uang yang dikorupsi. Tata cara menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi semakin berkembang dengan berbagai modusnya. Lazimnya, pelaku tindak pidana korupsi akan melakukan investasi besar-besaran dari hasil tindak pidana korupsinya dalam berbagai jenis dan kegiatan usaha. Modus yang sering ditemukan adalah pembelian properti berupa rumah, apartemen, hotel, tanah dan lain-lain. Selain itu juga investasi dalam bentuk emas, saham dan asuransi jiwa. Untuk menghapus jejaknya, pelaku tindak pidana korupsi seringkali mengatasnamakan harta kekayaannya kepada orang lain. Kesulitan untuk mendeteksi hasil tindak pidana korupsi semakin bertambah apabila kegiatan memindahkan harta kekayaan sudah melampaui batas negara. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan pelaku ke luar negeri ini dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan KAK adalah terdiri dari 4 (empat) tahap yang terdiri dari : (1) pelacakan aset untuk melacak aset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan, (3) penyitaan, dan hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap (4) penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Salah satu sorotan dalam pembentukan KAK adalah upaya pengembalian aset yang langsung maupun tidak langsung dibeli/diperoleh secara tidak sah. Seringkali aset-aset tersebut sedemikian besar jumlahnya sehingga dalam pengembaliannya memerlukan prosedur yang tidak mudah.210 Keberhasilan pelacakan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi di sektor publik, dan tindak pidana ekonomi pada umumnya, sangat bergantung kepada kemampuan investigator dalam mencari jejak kepemilikan uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari pelakupelakunya.211 Pelacakan seringkali memperlihatkan adanya itikad jahat, 210
Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 210 William R Schoeder, A Review Article, How To Do Financial Asset Investigations : A Practical Guide for Private Investigators, Collections Personnel, and Asset Recovery Specialists, 211
93 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
mengidentifikasi pelaku serta dapat membuka jalan sampai pada perampasan dan penyerahan hasil yang diperoleh secara tidak sah. Untuk kepentingan investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, KAK mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dalam sistem hukum nasional masing-masing negara dengan tujuan untuk penyitaan.212 Jika badan yang berwenang negara korban asal tempat aset diperoleh secara tidak sah hendak mengidentifikasi dan melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah yang berada dalam yurisdiksi hukum negara penerima, badan yang berwenang negara korban harus harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang negara korban. Atas permintaan tersebut, badan yang berwenang negara penerima harus melakukan tindakan-tindakan mengidentifikasikan dan melacak aset-aset tersebut.213 Pada tahap pembekuan atau perampasan aset, jika aset-aset yang dibekukan atau dirampas berada dalam yurisdiksi hukum negara korban, berdasarkan perintah tersebut pembekuan atau perampasan dapat langsung dilaksanakan. Jika aset-aset tersebut berada di luar yurisdiksi hukum negara korban, tetapi berada dalam yurisdiksi hukum negara lain (negara penerima), pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari negara penerima. Terdapat 2 (dua) kemungkinan cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan dari negara korban dalam yurisdiksi hukum negara penerima yaitu : (1) Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan oleh badan berwenang negara lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan.
(2) Jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan badan-badannya melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan dari badan yang
The FBI Law Enforcement Bulletin, July, 2001, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 209. 212 Pasal 31 ayat (2) KAK. 213 Pasal 55 ayat (2) KAK.
94 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
berwenang negara lain, otoritas negara korban harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang negara penerima untuk mengeluarkan perintah pembekuan atau perampasan aset-aset yang secara tidak sah ditempatkan di negara penerima tersebut.214 Idealnya negara penerima harus melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengizinkan badan yang berwenang negara penerima membekukan atau merampas aset-aset berdasarkan perintah pembekuan atau perampasan yang dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban. Perintah pembekuan atau penyitaan dari badan yang berwenang negara korban setidak-tidaknya harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) perintah tersebut harus mengandung dasar yang beralasan, sehingga badan yang berwenang negara penerima yakin bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut; dan (2) aset-aset yang dimintakan pembekuan atau perampasannya merupakan obyek perintah yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.215 Negara penerima dapat melakukan pembekuan dan perampasan aset berdasarkan keyakinan yang beralasan, tanpa terlebih dahulu mendapatkan perintah dari negara korban.216 Ketentuan ini sering diterapkan di Switzerland dimana jaksa sebagai penuntut umum melakukan tindakan pembekuan aset-aset dengan dasar keyakinan yang beralasan, tanpa adanya perintah pengadilan dari negara korban. Sedangkan di Inggris berlaku sebaliknya, Home Office tidak akan melakukan tindakan sebelum adanya tuntutan pidana di negara korban dan telah memenuhi syarat bahwa tuntutan tersebut dilakukan secara tepat di negara korban.217 Salah satu syarat penting untuk melakukan tindakan pembekuan atau perampasan oleh badan yang berwenang di negara penerima adalah bahwa asetaset tersebut merupakan obyek dari perintah penyitaan. Dengan kata lain, pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut merupakan pengamanan sebelum
214
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 211 – 212. Tim Daniel, Repatriation of Looted State Assets : Selected Case Studies and The UN Convention Against Corruption, (Tranparency International, Bab 5, 6 Januari 2004), hal. 104 – 105, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 212. 216 Ibid., hal. 213. 217 Ibid. 215
95 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat dilakukan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban.218 Selanjutnya pada tahap penyitaan aset-aset, perintah penyitaan biasanya dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana di negara korban. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dalm hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan.219 Dengan perintah penyitaan, pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban meminta negara penerima untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut. Ketika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut, perintah penyitaan dapat dilaksanakan. Namun, jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan otoritasnya melaksanakan perintah penyitaan dari negara lain (negara korban), badan yang berwenang dari negara korban harus mengajukan permintaan kepada otoritas negara penerima untuk menerbitkan perintah penyitaan atas aset-aset tersebut.220 Terkadang badan yang berwenang dari negara korban menghadapi yurisdiksi negara penerima yang tidak kooperatif. Jika hal itu terjadi, terdapat 2 (dua) alternatif sikap yang dapat diambil badan yang berwenang dari negara korban, yaitu menyerah atau melakukan tindakan-tindakan sepihak. Tindakantindakan sepihak biasanya melanggar hukum dan melanggar yurisdiksi kedaulatan negara penerima yang tidak kooperatif. Hal ini dapat menimbulkan persoalan diplomatik yang berdampak pada rusaknya hubungan diplomatik dan dapat membuat negara penerima yang tidak kooperatif tersebut dengan kedaulatannya memberlakukan peraturan-peraturan yang lebih ketat yang akan semakin mempersulit negara korban memperoleh dukungan dan kerja sama dalam penyitaan aset.221
218
Ibid., hal. 215. Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK. 220 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 216. 221 Ibid., hal. 217. 219
96 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Ketentuan-ketentuan penyitaan dalam KAK mewajibkan negara pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam rangka melaksanakan permohonan penyitaan dari negara korban. KAK juga meminta negara pihak untuk melakukan tindakan-tindakan legislasi dan tindakan-tindakan lain yang perlu untuk melaksanakan perintah penyitaan dari negara korban. Namun, tindakan-tindakan tersebut harus berdasarkan sistem hukum nasional negara pihak.222 KAK tidak mengatur jenis penyitaan dalam pengembalian aset. Sementara prosedur-prosedur penyitaan beragam menurut sistem-sistem hukum yang berbeda. Hal ini menimbulkan dilema hukum dalam pelaksanaan penyitaan. Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyitaan adalah : (1) biaya pelaksanaan, harus seimbang antara biaya investigasi dan biaya selama proses pengembalian aset dengan nilai aset yang akan kembali, (2) berkaitan dengan hak, termasuk hak asasi manusia, dari pemilik atas kekayaan yang menjadi pokok sengketa yang dituntut.223 Kedua hal ini mempunyai hubungan yang krusial. Semakin lemah hak-hak pelaku tindak pidana atas aset-aset tersebut yang mungkin disebabkan oleh pembalikan beban pembuktian, penyitaan tanpa perintah pengadilan, kewajiban untuk memaparkan laporan-laporan yang lengkap dari profesional yang memberikan jasa kepada si pelaku (bankir, praktisi hukum, akuntan), alat-alat bukti lain, biaya pengembalian aset makin berkurang.224 Terdapat 2 (dua) sistem penyitaan yaitu (1) sistem penyitaan berdasarkan properti/kekayaan (in rem system) dan sistem yang berdasarkan nilai (in personam system). Sehubungan dengan adanya perbedaan sistem tersebut, terdapat masalah penting yang yang perlu dipahami negara korban dalam tahapan penyitaan yaitu sebagai berikut : (1) Sistem hukum penyitaan yang digunakan negara penerima. Hal ini penting untuk diketahui sejak merencanakan investigasi atau pelacakan aset di negara penerima untuk memutuskan pencarian aset-aset, apakah hanya aset-aset yang
222
Ibid., hal. 218. Lihat : Pasal 14 ayat (1) KIHSP. 224 Peter Alldridge, Money Laundering Law : Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of the Proceeds of Crime, (Hart Publishing, Oxford and Portland Oregon, 2003), hal . 45, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 218 – 219. 223
97 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
diperoleh dari hasil tindak pidana atau semua aset yang dimiliki pelaku tindak pidana. Jika sistem hukum nasional menganut in rem system, penyitaan dilakukan atas kekayaan yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Sedangkan jika sistem hukum nasional menganut in personam system, penyitaan dilakukan hanya atas kekayaan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana, tanpa melihat apakah ada hubungan antara kekayaan tersebut dengan tindak pidana. Berdasarkan sistem ini kekayaan apapun yang dimiliki pelaku tindak pidana, baik yang diperoleh sebelum maupun setelah dilakukannya tindak pidana, dapat menjadi obyek penyitaan, selama kekayaan tersebut berada di bawah hak milik pelaku atau terpidana.225 (2) Adanya putusan pengadilan di negara korban dipersyaratkan dalam rangka melaksanakan perintah penyitaan di negara penerima.226 Sebagian besar negara memiliki ketentuan-ketentuan penyitaan yang merupakan bagian dari proses penghukuman pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini berarti untuk melaksanakan penyitaan dipersyaratkan adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Namun terdapat juga beberapa negara yang dapat melakukan penyitaan sekalipun belum ada putusan pengadilan yang menyatakan pelaku bersalah. Penyitaan dimaksud dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu : (a) Penyitaan dalam proses peradilan pidana dapat dilakukan tanpa adanya pemidanaan yang menyatakan terdakwa bersalah. (b) Penyitaan di luar proses pidana, misalnya melalui proses perdata atau proses hukum administrasi. Proses penyitaan secara perdata dapat dilaksanakan tersendiri atau bersamaan dengan proses pidananya. (3) Standar pembuktian, dalam tahap penyitaan negara-negara harus memahami standar-standar pembuktian dalam penyitaan di negara penerima. Penyitaan biasanya dianggap sebagai bagian dari hukuman terhadap terpidana. Hal lain yang terkait dengan masalah penyitaan adalah perkembangan penggunaan sistem pembuktian terbalik dalam penyitaan. Kebanyakan negara menerapkan sistem hukum yang meletakkan kewajiban pembuktian kepada jaksa penuntut umum. Namun di beberapa negara terjadi perkembangan penggunaan sistem pembuktian terbalik, yaitu pihak terdakwa harus membuktikan bahwa aset 225 226
Ibid., 220 – 222. Ibid.
98 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
yang dimilikinya bukan merupakan hasil yang diperoleh secara tidak sah. Penggunaan sistem pembuktian terbalik ini merupakan wewenang pengadilan. Lazimnya digunakan ketika badan pemerintah telah mengajukan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan aset diperoleh secara tidak sah atau terdakwa tidak mungkin mendapatkan aset-aset yang dimilikinya berdasarkan perhitungan penghasilannya yang sah atau resmi.227 Salah satu masalah penting dalam penyitaan adalah hubungan antara pemidanaan dengan penyitaan; apakah negara korban dapat memperoleh perintah penyitaan hanya terhadap aset-aset yang berhubungan langsung dengan tindak pidana pelaku yang telah dihukum atau apakah perintah penyitaan dapat juga meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dijatuhi pidana. Di banyak negara, baik yang menganut sistem kekayaan maupun sistem nilai, yang menerapkan sistem pembuktian terbalik dapat membuat perintah penyitaan yang meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dipidana. ada juga negara yang menerapkan sistem penyitaan berdasarkan nilai, yang memberlakukan perintah yang mengandung nilai uang atas seluruh kekayaan terpidana, baik yang diperoleh secara sah maupun tidak.228 Setelah melalui keseluruhan proses, barulah dapat dilakukan pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Salah satu masalah penting dalam tahap ini adalah soal pembagian aset antara negara penerima dengan negara korban. Mayoritas negara-negara mengatur pembagian dan penerimaan aset melalui perjanjian bantuan hukum dan timbal balik. Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pembagian aset adalah : (1) Pembagian dan penerimaan aset-aset berlaku hanya dalam kasus-kasus dimana bantuan diberikan berdasarkan permintaan dari negara korban untuk membekukan dan menyita aset-aset. Pembagian aset tidak berlaku dalam hal pemberian bantuan yang berupa investigasi.
(2) Pembagian aset ditetapkan hanya untuk kasus-kasus dengan total nilai aset lebih dari US$ 1,3 juta. (3) Pembagian aset dapat dilakukan terhadap kekayaan yang disita dan bukan dalam hubungan dengan penyitaan nilai tunai 227 228
Ibid., hal. 230. Ibid., hal. 231.
99 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Karena kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian aset-aset yang dibekukan dan disita, umumnya masalah pembagian aset diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban dan negara penerima.229 Berdasarkan
Pasal
46
KAK
yang
mengatur
tentang
kerjasama
internasional, diharapkan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi efektif dan efisien dapat terlaksana. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan penempatan aset-aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri merupakan salah satu tindak pidana yang bersifat global. Para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintas dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakan hukum dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan adanya instrumen hukum internasional berupa bantuan hukum timbal balik yang memungkinkan kerjasama antar negara dalam upaya pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Proses-proses hukum untuk memenuhi tahapan-tahapan pengembalian aset tersebut di atas dapat diadakan dalam yursidiksi negara korban melalui kerjasama internasional pengembalian aset, antara lain melalui instrumen bantuan hukum timbal balik. Selain itu, dapat juga dilakukan dalam yurisdiksi negara tempat asetaset berada atau ditempatkan, dengan cara pengembalian aset melalui penyitaan sebagai eksekusi dalam pemidanaan perkara. Cara tradisional pengembalian aset-aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan di negara korban. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili penyelidik atau penyidik meminta kerjasama dengan negara penerima untuk 2 (dua) tujuan yaitu mendapatkan alat bukti bagi kepentingan persidangan dan untuk mengamankan aset-aset tersebut guna kepentingan penyitaan.230 Dengan adanya ketentuan tentang mekanisme pengembalian aset dalam KAK, persoalan tersebut diharapkan tidak lagi terjadi, sebab ketentuan-ketentuan ini bertujuan mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa hukum nasional 229 230
Ibid., hal. 232 – 233. Ibid., hal. 235.
100 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
mengijinkan pengadilan untuk melaksanakan permintaan penyitaan dan pembekuan aset dari para pelaku tindak pidana korupsi. Hingga saat ini syaratsyarat untuk mendapatkan bukti, pengamanan alat-alat bukti yang diperoleh melalui penyitaan dan pembekuan aset masih tergantung pada perjanjianperjanjian bilateral bantuan hukum timbal balik.231 Adanya penyidikan dan penuntutan di negara penerima selain penting untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian bantuan hukum timbal, juga dapat memperluas cakupan bantuan yang dapat diberikan seperti meliputi bantuan yang mengesampingkan hukum kerahasiaan bank dalam yurisdiksi negara penerima. Instrumen hukum bantuan hukum timbal balik terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu (1) permintaan bantuan untuk tujuan-tujuan peradilan, dan (2) permintaan bantuan polisi dalam pelacakan.232 Sedangkan menurut KAK, pengertian ”bantuan” dirumuskan lebih luas, yaitu tindakan-tindakan bantuan hukum timbal balik yang seluas mungkin dalam penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan. Bantuan hukum timbal balik dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bilateral. Jenis-jenis bantuan yang dapat diminta oleh negara korban kepada negara penerima dapat meliputi : (1) tindakan-tindakan investigatif untuk melacak asetaset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan, (3) penyitaan, dan (4) pengembalian aset dari negara penerima kepada negara korban. Upaya-upaya pengembalian aset berhadapan dengan rintangan sistem hukum internasional. Masalah ini meliputi pengumpulan alat-alat bukti yang relevan, keharusan adanya kesaksian, dan penggunaan alat bukti yang diperoleh dalam investigasi proses pidana untuk gugatan perdata. Untuk mengatasi rintangan tersebut, KAK menghimbau agar negara korban dan negara penerima membuat instrumen hukum bantuan hukum timbal balik. Bantuan hukum timbal balik itu didasarkan pada traktar bilaterat dan traktat multilateral.
231 232
Ibid. Ibid., hal. 236.
101 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi secara In Absentia 4.2.5.1. Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
Nomor
:
1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II) dan Sherny Kojongian (Terdakwa III) (1) Kasus Posisi Para terdakwa diduga secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 1992 sampai dengan 1996 bertempat di kantor PT Bank Harapan Sentosa (BHS) yang beralamat di jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat dengan cara menyalurkan kredit kepada perusahaan grup BHS dengan melampaui batas kredit. BHS mempunyai modal dasar dari para pemegang saham juga mendapat modal dana yang dihimpun dari masyarakat berbentuk tabungan, deposito, giro dan lain-lain. Di sampaing itu BHS juga menerima fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) dalam bentuk Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), selain itu juga menerima fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk fasilitas overdraft. Dana-dana tersebut digunakan terdakwa untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya perusahaan grup BHS. Pada saat BHS mengalami rush, yaitu pengambilan dana besar-besaran dari masyarakat, BHS kekuarangan dana karena sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan grup BHS selaku debitur BHS. Karena kekurangan dana, BHS memohon kepada pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia untuk diberikan bantuan berupa fasilitas overdraft. Pada tanggal 1 November 1997, BHS sudah dalam keadaan tidak sehat dan akhirnya dilikuidasi. Pada saat itu BHS belum dapat mengembalikan hutangnya pada Bank Indonesia sehingga mengakibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung telah merugikan keuangan negara.
Pada saat penghentian operasional dan likuidasi itu berlangsung, Hendra Rahardja yang menjabat sebagai komisaris sekaligus pemegang saham mayoritas tidak ditahan dan dengan mengantongi Surat Pernyataan Release and Discharge kemudian berangkat ke Sidney, Australia, dan bermukim disana. Penyidik Polri kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap dan menahan Hendra
102 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Rahardja yang berada di Sidney, Australia. Alasan penangkapan tersebut adalah karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian uang di Sidney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan Interpol Red Notice. Pada tanggal 1 Juni 1999, Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police dan 3 (tiga) hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sidney ke penjara Silverwater di Sidney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru diterbitkan di Indonesia pada tanggal 18 Juni 1999. Hendra Rahardja yang ditahan di Sidney mengajukan keberatan atas penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke Indonesia. Dalam putusan Federal Court of Australia New South Wales District Registry No. N531 of 2000 tertanggal 1 Agustus 2000, hakim memutuskan untuk tidak mengabulkan permohonan ektradisi Hendra Rahardja ke Indonesia. Hendra Rahardja kemudian mengajukan gugatan Habeas Corpus atas penahanannya di New South WalesAustralia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang terdiri atas permintaan POLRI kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke Indonesia. Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan perkara Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja, Brett Walker, di Sidney – NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena adanya dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.233 Kekhawatiran bahwa Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan membatalkan ekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia telah dibuat perjanjian ekstradisi. 234
(2) Dakwaan
Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap Terdakwa I, II, dan III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang233
Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 188. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. 234
103 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) sub 1e jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dakwaan kedua khusus terdakwa III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(3) Putusan Setelah diperiksa dan diadili secara in absentia oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 menjatuhkan putusan terhadap terdakwa : 1. HENDRA RAHARDJA, umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3 Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa. 2. EKO EDI PUTRANTO, umur 34 tahun, tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret 1967, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan Mantan Komisaris PT. Bank Harapan Sentosa. 3. SHERNY KOJONGIAN, umur 38 tahun, tempat tanggal lahir Manado, jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Taman Kebon Jeruk Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, agama Kristen, pekerjaan Mantan Direktur PT. Bank Harapan Sentosa. Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa I, II, dan III yang diadili secara in absentia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut; 2. Menghukum kepada para terdakwa in absentia tersebut masing-masing : Terdakwa I dengan pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun; 3. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak
104 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; 4. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut suratsuratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah) dirampas untuk negara; 5. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima puluh empat ribu dua ratus rupiah); 6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut secara in absentia adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis tertanggal 20 Agustus 2001 Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah ditetapkan bahwa pemeriksaan dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para terdakwa (in absentia) dengan alasan para terdakwa telah dipanggil secara patut oleh Jaksa Penuntut Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum telah melakukan pemanggilan melalui surat kabar : Media Indonesia, Terbit, Republika, dan Suara Pembaruan akan tetapi para terdakwa tidak hadir. 2. Bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya segiatgiatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau adanya kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para tersangka, mengingat yang bersangkutan tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi telah berada di negara lain (luar negeri), sedangkan para tersangka tersebut telah diduga merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke tanah air (Indonesia). 3. Bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para tersangka kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, akan mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau
105 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan, sedangkan di lain pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas. 4. Bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan untuk memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi
dengan
meninggalkan
tanah
air,
maka
Majelis
dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 yang menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 5. Bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan memberikan jalan upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan tetap berpedoman kepada asas praduga tak bersalah. 6. Bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan tentang pengertian in absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan. 7. Bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang demikian itu bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, menurut hemat Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK oleh karenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air. Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah :
106 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1. Akibat perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan negara sangat besar; 2. Para terdakwa telah menikmati hasil korupsi; 3. Para terdakwa tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara, terbukti setelah melakukan perbuatan mereka melarikan diri; 4. Perbuatan para terdakwa merupakan salah satu potensi yang merusak perekonomian negara yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter. Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI tanggal 8 November 2002 menerima permintaan banding dari terdakwa I Hendra Rahardja. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22 Maret 2002 Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST yang dimohonkan banding sehingga amar selengkapnya menjadi berbunyi : 1. Menyatakan terdakwa I, II dan III yang telah dipanggil dengan secara sah tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah; 2. Menyatakan terdakwa I, II dan III telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut; 3. Menghukum kepada terdakwa tersebut masing-masing : Terdakwa I dengan pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun; 4. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; 5. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut suratsuratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah) dirampas untuk negara; 6. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima puluh empat ribu dua ratus rupiah); 7. Menghukum terdakwa I membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
107 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
peradilan, biaya mana untuk tingkat pertama sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan untuk tingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, intinya adalah : 1. Di dalam hukum acara pidana, penempatan kata in absentia dalam amar putusan kurang tepat dan tidak berdasarkan alasan hukum yang benar, karena istilah in absentia tidak dikenal dalam hukum acara pidana yang berlaku. Yang dikenal dan diatur adalah mengadili dan menjatuhkan putusan tanpa hadirnya terdakwa seperti yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo UU TPK. 2. Kepada terdakwa telah diberikan hak untuk hadir di muka persidangan seperti diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo UU TPK. Hak yang diberikan UU kepada terdakwa tersebut adalah sepenuhnya kewenangan terdakwa untuk menggunakan atau tidak, bukan menjadi kewajiban terdakwa untuk hadir seperti yang diatur secara umum dalam perkara pidana biasa. 3. Karena tidak terbukti secara aktif dan proporsional terdakwa dalam menggunakan haknya untuk hadir di muka sidang melainkan justru menggunakan atau memanfaatkan keberadaannya dalam tahanan di Australia sebagai alasan untuk tidak hadir, maka Majelis Hakim tingkat banding tidak dapat lain kecuali berkesimpulan terdakwa telah melepaskan haknya untuk berusaha hadir memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi justru menikmati atau memanfaatkan keberadaannya di Australia sebagai alasan tidak hadir. 4. Sesuai dengan yurisprudensi yang berlaku dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 4 Agustus 1982 Nomor 4321/7/B/JS/PID/1982 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 17 November 1982 Nomor 89/1982/PT.Pidana jo Putusan MARI tanggal 19 November 1984 Nomor 492/K/Pid/1983 telah dipertimbangkan karena panggilan telah disampaikan ke alamat tempat terdakwa terakhir berada sehingga walaupun panggilan itu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) dan (5) KUHAP, panggilan tersebut tetap dapat dianggap telah dilakukan dengan
108 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
semestinya. 5. Dengan mengambilalih seluruh pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama kecuali hal in absentia seperti pertimbangan di depan tentang kesalahan terdakwa yang terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar, oleh karena itu diambil alih seluruhnya oleh Majelis Hakim Tingkat Banding sebagai pertimbangannya sendiri dalam tingkat banding, dengan memperbaiki putusan tersebut sebagaimana lengkapnya dalam amar tersebut di atas.
(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Hendra Rahardja Memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara Hendra Rahardja secara in absentia, telah menggambarkan pentingnya proses pemanggilan secara patut dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim dalam perkara ini mengedepankan pentingnya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan tetap berpedoman kepada asas praduga tak bersalah. Pengertian in absentia dalam perkara ini diartikan secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara patut. Terkait HAM, dikarenakan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK maka tidak terjadi pelanggaran HAM. Majelis Hakim juga telah memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan pemanggilan melalui berbagai surat kabar. Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan apabila terdakwa kembali ke tanah air dapat menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan. Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah digalakkan oleh pemerintah dan tuntutan masyarakat luas agar perkara tindak pidana korupsi diberantas
109 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum. Terlebih lagi mengingat kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut sangat besar. Dalam amar putusan perkara Hendra Rahardja ini, dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dapat menerima secara hukum proses penyidikan yang sejak awal dilakukan secara in absentia. Berita Acara Hasil Penyidikan in absentia dan prosedur pemanggilan terhadap para tersangka dan terdakwa tersebut sah menurut hukum. Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sependapat dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bakwa para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan memandang sah para terdakwa diperiksa dan diadili tanpa kehadiran diri mereka di persidangan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak sependapat dengan penggunaan istilah in absentia dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan diganti dengan kata ”tanpa hadirnya terdakwa.” Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa dalam perkembangannya istilah in absentia tidak lagi disebutkan dalam berbagai produk legislasi, tetapi digunakan istilah ”tidak hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak berbeda dan mengandung arti yang sama. Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam perkara Hendra Rahardja, meskipun Indonesia dan Australia telah memiliki perjanjian ekstradisi dan dan Mutual Legal Assistance (MLA), namun dalam kenyataannya
tidak
dapat
menjamin
kelancaran
proses
ekstradisi
dan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Aset-aset Hendra Rahardja yang tersebar di Australia dan Hongkong tidak serta merta dapat dikembalikan. Pengembalian aset-aset Hendra Rahardja dilakukan melalui proses yang panjang dan akhirnya Pemerintah Indonesia menerima lebih dari AUD 642.000. Dalam proses pengembalian aset-aset Hendra Rahardja, pemerintah membentuk Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim Terpadu dibentuk terakhir berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor : Kep23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Perkara Tindak Pidana Korupsi.235
235
Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id, diakses tanggal 26 Mei 2011.
110 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Berkaitan dengan permintaan bantuan pelacakan dan penarikan kembali aset-aset Hendra Rahardja yang ditransfer dari Australia ke Hong Kong, Pemerintah Australia melalui Keputusan The New South Wales Supreme Court telah memerintahkan kepada South East Group (SEG) di Hong Kong untuk mengalihkan asset terpidana Hendra Rahardja sebesar USD 398,478,87 ke Australia untuk diserahkan kepada Pemerintah RI. Guna tindak lanjutnya pemerintah Australia telah meminta kepada Direktur Perjanjian Internasional Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM agar dibuka rekening khusus untuk menerima/menampung dana sebesar USD 398,478,87 tersebut. Perkembangan terakhir untuk penanganan aset terpidana Hendra Rahardja, pada tanggal 8 Desember 2009 bertempat di Departemen Hukum dan HAM telah dilakukan penyerahan aset tersebut secara simbolis dari pihak berwenang Australia kepada Tim Terpadu dan pihak Departemen Hukum dan HAM sebagai Central Authority, dana sebesar 493.647,07 Dollar Australia yang akan ditransfer ke Nomor Rekening : 000001933-01-000638-30-1 atas nama bendaharawan pengeluaran Kejaksaan Agung RI.
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
Nomor
:
339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als. Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II) (1) Kasus Posisi Bahwa terdakwa I dan II pada waktu antara tahun 2001 sampai dengan 2008, bertempat di kantor Bank CIC Internasional Tbk (PT Bank CIC) dan atau di kantor PT Bank Century Gedung Sentral Senayan II Jalan Asia Afrika Nomor 8 Jakarta Pusat, melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan cara melakukan transaksi pembelian, penempatan dan atau pertukaran surat-surat berharga valuta asing (SSB valas) Bank CIC. Sebagian surat berharga dimaksud merupakan surat berharga yang tergolong dalam structured product yang tidak memiliki peringkat (non rating), tidak memiliki harga pasar dan memberikan imbal hasil yang
111 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
rendah. Sehingga pada saat surat berharga jatuh tempo, Bank CIC tidak menerima dana secara tunai melainkan justru dibayar dengan saham perusahaan Global Opportunities Fund yang dimiliki terdakwa II. Selain Bank CIC, pada saat itu Bank Pikko dan Danpac juga mengalami permasalahan pembelian/pertukaran surat-surat berharga, sehingga pada tanggal 6 Desember 2004 dilakukan merger atas ketiga bank tersebut dan berganti nama menjadi PT Bank Century Tbk (Bank Century). SSB valas yang berkualitas buruk yang sebelumnya berasal dari Bank CIC berlanjut menjadi beban Bank Century yang
mengakibatkan
kondisi
keuangan
Bank
Century
memburuk
dan
dikategorikan tidak sehat/macet. Terhadap kondisi ini, Bank Indonesia meminta Bank Century untuk menjual SSB tersebut dan mewajibkan untuk menambah modal. Pada tanggal 4 Oktober 2005, terdakwa I dan II menandatangani Letter of Commitment
(LoC)
yang
pada
pokoknya
menyatakan
kesanggupan
bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan likuiditas bank dan untuk menjual SSB valas hingga batas waktu 31 Desember 2005. Dengan
adanya
permasalahan
ini
maka
Bank
Indonesia
melakukan
pemeriksaan/investigasi terhadap Bank Century bahwa pertukaran SSB Bank Century telah mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Karena kondisi keuangan Bank Century semakin menurun ditambah pertimbangan likuiditas dan penurunan permodalan, Bank Indonesia memutuskan memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang (FPJP). Tanggal 15 Oktober 2008, terdakwa I dan II menandatangani LoC kepada Bank Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan SSB tersebut.
(2) Dakwaan Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap terdakwa I dan II dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) bagian ke satu KUHP dan dakwaan kedua dengan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2002
112 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1).
(3) Putusan Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa : 1. HESHAM
TALAAT
MOHAMED
BESHEER
ALWARRAQ
Alias
ALWARRAQ. Als. HESHAM AL WARRAQ, umur 51 tahun, tempat tanggal lahir Cairo – Mesir 12 April 1958, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Saudi Arabia, tempat tinggal Kingdom Tower 20 Floor, Riyadh, 11622 Kingdom of Saudi Arabia PO Box 88014 Riyadh 11622, Saudi Arabia, agama Islam, pekerjaan Shareholder of First Gulf Asia Holding. 2. RAFAT ALI RIZVI, Umur 50 tahun, tempat tanggal lahir Pakistan 22 Oktober 1960, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan United Kingdom, tempat tinggal First Gulf Asia Holding Ltd, Offshore Group Chamber PO Box CB 12751, Nassau – New Providence Bahamas, agama Islam, pekerjaan Shareholder of Chinkara Capital Ltd/First Gulf Asia Holding. Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Menyatakan terdakwa I dan II yang diadili secara in absentia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang secara bersama-sama; (2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan II dengan pidana penjara masing-masing 15 (lima belas) tahun; (3) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti yang dibayar secara tanggung renteng sebesar Rp. 3.115.889.000.000,- (tiga triliun seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta rupiah), apabila para terdakwa tidak membayar uang pengganti selama 1 (satu) bulan setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dan apabila para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun penjara; (4) Menjatuhkan pidana denda terhadap masing-masing terdakwa sebesar Rp.
113 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. (5) Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara masingmasing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut secara in absentia adalah sebagai berikut : (1) Bahwa untuk memeriksa dan mengadili perkara terdakwa-terdakwa dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO), Majelis Hakim telah menetapkan hari persidangan dengan perintah agar Penuntut Umum tetap melakukan pemanggilan terhadap para terdakwa sebanyak 3 (tiga) kali secara berturutturut sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yakni : untuk persidangan pertama pada hari Kamis tanggal 18 Maret 2010; persidangan kedua pada hari Senin tanggal 19 April 2010 dan untuk persidangan ketiga pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2010; (2) Bahwa untuk ketiga persidangan tersebut, terdakwa tidak pernah hadir dan atas ketidakhadiran tersebut pra terdakwa tidak pernah mengirimkan surat sebagai pemberitahuan alasan ketidakhadirannya; (3) Bahwa pada saat persidangan yang ketiga, penuntut umum telah mengajukan permohonan secara lisan agar persidangan terhadap kedua terdakwa tersebut, mengingat dakwaan terhadap kedua terdakwa berisi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, dan penuntut umum pun telah melakukan pemanggilan secara sah dan patut terhadap kedua dakwaan tersebut; (4) Bahwa atas surat dakwaan penuntut umum dan permohonan penuntut umum agar perkara ini dilanjutkan secara tanpa hadirnya terdakwa berdasarkan putusan sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa I berkewarganegaraan Saudi Arabia dan terdakwa II berkewarganegaraan United Kingdom, telah dipanggil secara sah dan patut untuk hadir menghadapi persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi kedua terdakwa tersebut tidak pernah hadir (in absentia);
114 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
b. Memerintahkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama terdakwa I dan II dilanjutkan secara tanpa hadirnya kedua terdakwa tersebut; c. Memerintahkan kepada penuntut umum untuk mengumumkan putusan sela ini; d. Menangguhkan biaya perkara ini sampai dengan putusan akhir; (5) Bahwa meskipun putusan sela dalam perkara ini telah diumumkan dalam mass media nasional dan internasional, namun kedua terdakwa tidak pernah muncul di persidangan sehingga perkara ini tetap dilanjutkan secara in absentia; Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah : (1) Perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi dan money laundering; (2) Perbuatan kedua terdakwa tersebut berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap program-program pemerintah dalam pengawasan perbankan. Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada. Pertimbangan lain adalah bahwa tujuan pemidanaan dalam perkara korupsi ini diharapkan bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang memperhatikan
terdakwa
(memasyarakatkan
terdakwa/terpidana
dan
membebaskan rasa bersalah), maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi mengayomi masyarakat), serta mengembalikan kehidupan sosial.
(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Hesham dan Rafat Pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara Hesham dan Rafat secara in absentia, didasarkan pada adanya 2 (dua) jenis kejahatan yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Mekanisme dalam persidangan ini menggunakan ketentuan sebagaimana diatur
115 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dalam Pasal 36 UU TPPU yang mengatur : (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus. Berdasarkan ketentuan dimaksud, mekanisme dimaksud adalah : (1) dilakukan pemanggilan 3 (tiga) kali secara sah terdakwa tidak hadir, maka (2) Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. Ketentuan ini bersifat lebih spesifik dari Pasal 145 KUHAP yang tidak mengatur berapa kali panggilan harus disampaikan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU TPK dijelaskan bahwa maksud ketentuan ini adalah agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Jadi, pasal ini mensyaratkan meskipun dengan alasan yang sah tetapi sudah dipanggil 3 (tiga) kali tidak hadir maka peradilan in absentia dapat tetap dilaksanakan. Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam perkara korupsi yang diharapkan bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang memperhatikan terdakwa (memasyarakatkan terdakwa/terpidana dan membebaskan rasa bersalah), maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi mengayomi masyarakat), serta mengembalikan kehidupan sosial. Dalam amar putusan perkara Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dapat menerima secara hukum prosedur pemanggilan terhadap 116 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
para terdakwa tersebut. Hal ini berarti pemanggilan telah dilakukan secara sah. Selain itu, dikarenakan para terdakwa selama proses persidangan tidak pernah hadir dan perkaranya telah diperiksa serta diputus tanpa kehadiran kedua terdakwa (in absentia), Majelis Hakim mewajibkan untuk mengumumkan putusan dimaksud sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU TPK. Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam perkara Hesham dan Rafat, Majelis Hakim menetapkan sejumlah uang, rekening bank yang berada di Hongkong atas nama terdakwa I, dan rekening bank atas nama terdakwa 2 serta beberapa aset dirampas untuk negara cq. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Putusan pengadilan ini selanjutnya akan menjadi dasar dalam penelusuran aset dan pemblokiran. Menindaklanjuti putusan tersebut, pemerintah melalui Tim Pengembalian Aset yang diketuai Wakil Jaksa Agung melakukan pembekuan aset yang berada di Hongkong. Pada saat ini seluruh aset Bank Century di Hong Kong sudah dilakukan pembekuan oleh otoritas setempat. Peradilan di Hong Kong sudah memberikan kesempatan pengajuan keberatan oleh Robert Tantular, mantan pemilik Bank Century terkait pembekuan asetnya. Jika sudah ada putusan dari Pengadilan Hong Kong, maka aset yang dibekukan tersebut dapat dirampas untuk negara. Seluruh proses pengembalian aset dari Hongkong tersebut dilakukan melalui Mutual Legal Assistance (MLA). Sedangkan untuk aset yang berada di Swiss, pembekuan aset Century di Dresdner Bank Swiss senilai US$155 juta terganjal oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Pemerintah Swiss menilai uang Hesham dan Rafat bukan termasuk kategori hasil tindak pidana korupsi. Pemerintah Swiss menyarankan upaya gugatan perdata yang harus diajukan oleh Bank Mutiara (sebelumnya Bank Century) yang memunyai kompetensi dan kepentingan langsung. Perkembangan terakhir pihak Bank Mutiara sudah mengajukan gugatan perdata atas aset tersebut. Terdapat beberapa kendala dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hesham dan Rafat, yaitu antara lain kemungkinan terjadinya penyusutan nilai aset Bank Century yang dapat disita negara. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelusuran Tim Pengembalian Aset, tidak semua
117 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
aset buron tersebut merupakan hasil kejahatan kasus Bank Century. Tim Pengembalian Aset masih perlu membuktikan asal-muasal kekayaan kedua terpidana. Jika aset tersebut berasal dari aset nasabah yang digelapkan, maka aset ini dapat disita untuk dikembalikan kepada negara. Aset Hesham dan Rafat yang dapat disita mencapai Rp 13 triliun. Data tersebut berdasarkan laporan yang diberikan Bank Hongkong, Swiss, dan Inggris, tempat kekayaan Hesham dan Rafat disimpan. Namun, jumlah aset dari hasil pidana kasus Bank Century yang berhasil diidentifikasi hanya sekitar Rp 1 triliun yang berada di dalam negeri. Sisanya, aset yang berada di luar negeri dan masih dalam tahap identifikasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk memudahkan pengejaran aset tersebut adalah melalui audit forensik. Audit tersebut adalah teknik audit khusus untuk menemukan bukti finansial yang mendukung pembuktian ada atau tidaknya tindakan kejahatan untuk mengetahui aliran dana bailout Bank Century. Upaya lain untuk mengetahui aset Bank Century yang digelapkan adalah melalui penangkapan Hesham dan Rafat karena akan mempermudah inventarisasi aset. Berdasarkan putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana korupsi secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja serta terdakwa Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan secara patut sangat penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang patut ini menjadi justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in absentia tanpa melanggar hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan peradilan in absentia, berdasarkan kedua putusan tersebut dapat diketahui bahwa meskipun Indonesia telah memiliki perjanjian ekstradisi dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kelancaran proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian aset dilaksanakan melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta jumlah aset yang dikembalikan masih belum maksimal.
4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Tujuan diaturnya peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana
118 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
korupsi secara jelas dituangkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu untuk menyelamatkan kekayaan negara. Pengertian menyelamatkan kekayaan negara adalah identik dengan pengertian dalam pasal-pasal UU TPK yaitu menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 2 dan 3 UU TPK yang menyebutkan bahwa salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 4 UU TPK, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana korupsi tetapi hanya merupakan salah satu alasan meringankan hukuman atau clementie.236 Peradilan in absentia efektif dianggap dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang telah dijarah oleh pelaku tindak pidana korupsi dikarenakan hal-hal sebagai berikut :237 (1) Penyelesaian perkaranya lebih cepat dan jaksa sebagai wakil pemerintah dapat mengejar harta kekayaan negara dimaksud apabila : a. Harta/aset kekayaan yang diduga merupakan harta yang diperoleh dari kejahatan tersebut dapat disita secara sah dan dikembalikan kepada negara. b. Pada saat proses penyidikan harta kekayaan pelaku telah diinventarisasi dengan benar dan telah disita secara sah, sehingga setelah adanya putusan pengadilan langsung dapat dieksekusi. (2) Putusan peradilan in absentia merupakan sarana yang sah untuk penyelamatan kerugian negara, apabila prosedur pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara dapat direalisasikan tanpa khawatir mendapat gugatan dari pihak lain. (3) Mempercepat proses peradilan karena prosedurnya tidak berlarut-larut sehingga dalam perkara tindak pidana tersebut akan memperkecil tunggakan perkara dan adanya kepastian hukum. (4) Sepanjang
aset-aset
terdakwa
jelas
status
kepemilikannya
sehingga
memudahkan dilakukan penyitaan. Apabila tidak jelas kepemilikannya akan menimbulkan masalah pada waktu proses penyitaan. (5) Secara teoritis dapat mengefektifkan upaya penyelamatan kekayaan negara, 236 237
Darwin Prints, Op.cit., hal. 62. Marwan Effendy, Op.cit., hal. 65.
119 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
namun dalam penerapannya masih terdapat kendala, khususnya dalam pelaksanaan eksekusi uang pengganti sebagai upaya penyelamatan kerugian negara. Pengembalian keuangan negara merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini mengingat tindak pidana korupsi kejahatan korupsi juga membuat kehancuran dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Dalam berbagai contoh perkara tindak pidana korupsi dimana pelakunya melarikan diri ke luar negeri dengan membawa serta uang hasil tindak pidana korupsinya telah memberikan keuntungan kepada negara yang menampung uang hasil tindak pidana korupsi tersebut. Kemudahan-kemudahan berupa keringanan pajak, izin tinggal (permanent residence) bahkan sampai pemberian kewarganegaraan menjadi daya tarik bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri ke luar negeri karena menjadikan mereka untouchable. Fenomena ini merupakan indikator bahwa tindak pidana korupsi bukan lagi merupakan kejahatan nasional melainkan sudah bertransformasi menjadi kejahatan trans-nasional.238 Jika mengacu pada proses dan prosedur peradilan in absentia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan peradilan in absentia telah memberikan rambu-rambu yang cukup jelas dalam pelaksanaannya dengan tetap mempertimbangkan hak-hak pelaku tindak pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan in absentia terdapat banyak permasalahan. Terdapat ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi aturan-aturan hukum yang berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal ini menimbulkan tidak berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana maka semua unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana harus mempunyai persepsi yang sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau perbedaan persepsi tentang suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses peradilan pidana tidak dapat mencapai kebenaran materil yang diharapkan, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 238
Todung Mulya Lubis, Singapore Paradox, http://naration.wordpress.com/2009, diakses tanggal 18 Mei 2011.
120 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Persepsi berbeda dimaksud antara lain adalah dalam menyikapi ketentuanketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dapat menjadikannya dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecahpecah menjadi beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini dilakukan apabila kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan “saksi mahkota”, dimana pelaku yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya. Dalam praktek sering terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara (splitsing)239 tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 168 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau isteri terdakwa mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa dalam satu perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak hukum dalam prakteknya. Terdapat ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in absentia, maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding. Pada Pasal 38 ayat (4) UU TPK memang tidak menentukan secara tegas siapa yang mempunyai hak untuk upaya hukum, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan bahwa upaya hukum ini dapat dilakukan oleh “kuasa atau penasihat hukumnya tanpa kehadiran terdakwa”. Hal ini dapat menyebabkan dan mendorong tersangka pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri karena hak-haknya sebagai terdakwa tetap dilindungi oleh hukum melalui kuasa atau penasihat hukumnya. Dalam pasal ini, tidak terdapat penjelasan secara tegas, sehingga sering ditafsirkan hal ini dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit ketentuan banding ini dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan : (1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk itu atau penuntut umum. (2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan
239
Menurut Andi Hamzah dalam Hukum Acara …, Op.cit., hal. 164, dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling manjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi.
121 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2). (3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan. (4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana. Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia), terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan itu. Ketentuan ini menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk tidak hadir dalam sidang pengadilan misalnya dengan melarikan diri. Hal ini dimungkinkan karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap dilindungi oleh ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat (4) UU TPK). Kesulitan-kesulitan teknis berkaitan dengan pelaksanaan peradilan in absentia terjadi sejak tahap penyidikan, yaitu antara lain (1) kesulitan mengumpulkan alat-alat bukti, dan (2) kesulitan melakukan penyitaan aset-aset hasil tindak pidana korupsi terutama yang telah dialihkan ke tangan orang lain dan atau dilarikan ke luar negeri. Sedangkan dalam proses persidangan dan eksekusi permasalahan yang dihadapi adalah : (1) perbedaan keterangan saksi-saksi, (2) perbedaan jumlah barang bukti yang disita dari terdakwa, dan (3) barang bukti yang disita kurang mencukupi uang pengganti. Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kesulitan dalam eksekusi badan, denda dan uang pengganti, nilai barang bukti yang disita megalami penurunan/penyusutan karena rusak atau hancur.240 Terkait kewenangan yang dimiliki KPK, hanya bisa digunakan pada saat seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan untuk menetapkan status seseorang menjadi tersangka tidaklah mudah mengingat KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Hal ini tentu saja kurang mendukung upaya KPK dalam menghadapi kompleksitas modus dalam mengaburkan dan menghapuskan jejak hasil tindak pidana korupsi. Kesulitan untuk mendeteksi hasil tindak pidana korupsi ini semakin bertambah ketika pemindahan hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri sudah dilakukan. Dari pengalaman 240
Marwan Effendy, Op.cit., hal. 67 – 68.
122 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
berbagai negara yang berusaha mendapatkan kembali hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri, dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang serius baik dalam skala domestik maupun internasional.241 Meskipun Indonesia telah meratifikasi KAK ternyata masih banyak menemui kendala. Perjanjian ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA) dengan negara lain juga tidak menjadi jaminan kelancaran proses pengembalian aset. Permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan perbedaan sistem hukum yang diterapkan negara satu dengan yang lain sehingga sangat mempengaruhi proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pengembalian aset di luar negeri sangat tergantung dengan perjanjian hukum antar dua negara korban dengan negara penerima. Selain itu perlu ada mekanisme kesepakatan antara negara yang tertuang dalam MLA. Kendala lain adalah adanya persyaratan dari beberapa negara yaitu bahwa harus ada perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim. Sedangkan peraturan perundangundangan di Indonesia belum mencantumkan ketentuan mengenai hal ini. Permasalahan fundamental berkaitan dengan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia selama ini adalah karena aset hasil tindak pidana korupsi cenderung diabaikan dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya menjadi kabur dan menciptakan kesemrawutan penegakan hukum oleh aparat hukum. Pengabaian terhadap aset hasil tindak pidana korupsi ini ditempatkan sebagai dasar kajian formulasi hukum dalam RUU PA.242 Konsideran RUU PA menyebutkan bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Definisi aset dalam RUU PA adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai nilai ekonomis. Definisi aset dalam RUU PA ini sejalan dengan istilah hasil tindak
241
Laporan World Bank, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative : Challenges Opportunities and Action Plan, (Washington DC, 2007), hal. 18 – 25. 242 Baryanto, Tinjauan RUU Perampasan Aset dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 296 Juli 2010), hal. 57.
123 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pidana korupsi yaitu setiap aset yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari suatu tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamnya kemudian dikonversi, diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan atau diperoleh langsung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal, atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut dari waktu ke waktu sejak terjadinya tindak pidana tersebut. Istilah aset ini memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah benda dalam KUHAP.243 Benda dalam KUHAP lebih menekankan kepada benda (barang) yang terkait dengan tindak pidana, sedangkan aset lebih ditujukan pada benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai nilai ekonomis serta aset tersebut diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana. Formulasi aset dalam RUU PA tidak sama dengan jenis aset yang dapat dirampas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) RUU PA yang didalamnya mencakup pula mengenai aset yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya dan bahkan aset yang diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Kerancuan ini terjadi karena belum ada kesamaan rumusan istilah dalam RUU PA. Karena RUU PA ingin mengatur tentang aset seharusnya secara kontekstual harus digunakan istilah aset, tidak menggunakan istilah benda. Proses perampasan aset diatur dalam RUU PA meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut : (1) Penelusuran Penelusuran adalah upaya untuk mengikuti, mengungkap atau memastikan keberadaan suatu aset hasil tindak pidana melalui pencarian atau penelitian terhadap bahan keterangan atau bukti yang ditemukan.244 Penelusuran ini dilakukan oleh institusi penegak hukum antara lain penyelidik, penyidik atau Jaksa Penuntut Umum.245 Ketentuan ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada penegak hukum untuk menelusuri aset secara optimal. Wewenang penelusuran aset ini dapat diupayakan dan dilaksanakan sejak tahap penyelidikan hingga penuntutan. 243
Lihat : penjelasan Pasal 1 angka 16 KUHAP. Pasal 1 angka 3 RUU PA. 245 Pasal 2 ayat (1) RUU PA. 244
124 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Tindakan hukum penelusuran aset memungkinkan dibentuknya suatu satuan tugas gabungan yang terdiri dari instansi-instansi terkait yang dalam melaksanakan penelusuran aset dapat bekerjasama dengan badan-badan lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hasil penelusuran yang substansinya mendukung proses pembuktian tindak pidana selanjutnya diberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum.246 (2) Pemblokiran Pemblokiran adalah pembekuan sementara aset dengan tujuan untuk mencegah dialihkannya atau dipindahtangankan.247 Pemblokiran dapat dilakukan apabila penyidik atau penuntut umum terhadap aset yang dapat diterangkan oleh pemilik atau yang menguasainya, tidak terang siapa pemiliknya, serta aset yang diduga diperoleh dari memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum atau aset yang diduga merupakan hasil dan/atau alat melakukan perbuatan melanggar hukum.248 Pemblokiran dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan atas perintah penyidik atau penuntut umum sesuai kewenangan berdasarkan undang-undang.249 Terkait jangka waktu, pemblokiran dilakukan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan selama pemblokiran, penyidik atau penuntut umum mengumumkan aset tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman pengadilan negeri, media massa, media elektronik, dan internet guna memberikan kesempatan kepada orang yang berhak atau pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan. (3) Penyitaan Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian, penyidikan, penuntutan dan peradilan.250 Penyitaan dalam RUU PA identik dengan penyitaan yang diatur dalam KUHAP. Namun, RUU PA memungkinkan juga penyitaan di luar KUHAP yang dilakukan oleh Jaksa Agung dengan surat izin penyitaan dari 246
Pasal 4, 5 dan 7 RUU PA. Pasal 1 angka 5 RUU PA. 248 Pasal 14 RUU PA. 249 Pasal 15 RUU PA. 250 Pasal 1 angka 6 RUU PA. 247
125 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 21 RUU PA menyatakan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah : (1) benda sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana; (2) aset hasil tindak pidana; (3) benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; (4) benda yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana; (5) benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang dilakukan; dan (6) benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata
atau
karena
pailit
dapat juga disita untuk sepanjang memenuhi
ketentuan ayat (1). Penyidik diwajibkan mengumumkan penyitaan yang telah dilakukan
kepada masyarakat melalui
surat
kabar
daerah,
surat
kabar
nasional, papan pengumuman pengadilan negeri di daerah hukum tempat benda disita dan secara on line paling lambat 3 hari kerja sejak dilakukan penyitaan.251 Terhadap penyitaan ini dapat dilakukan upaya hukum berupa keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan diajukan paling lambat 60 (enampuluh) hari sejak aset tersebut disita. Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak barang disita tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap benda yang disita, maka penyidik mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk menetapkan benda yang disita tersebut sebagai milik negara.252 (4) Perampasan In Rem Definisi perampasan yaitu upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia aatau di negara asing.253 Aset yang dapat dikenakan perampasan adalah :254 (a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; (b) benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
(c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
251
Pasal 23 dan 24 RUU PA. Pasal 26 dan 27 RUU PA. 253 Pasal 1 angka 7 RUU PA. 254 Pasal 29 RUU PA. 252
126 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
(d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; (e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang dilakukan; (f) benda yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; (1) benda yang merupakan barang temuan. Perampasan menurut RUU PA dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu : perampasan in rem dan perampasan pidana. Perampasan in rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk
tindak pidana.255 Perampasan in rem dilaksanakan dengan cara Jaksa
Agung memberikan kuasa khusus kepada Jaksa Pengacara Negara di daerah hukum tempat barang atau aset untuk diserhakan kepada Badan Pengelola Aset (BPA), kemudian Jaksa Pengacara negara mengajukan permohonan tertulis dengan memuat sekurang-kurangnya : (a) jenis, jumlah dan taksiran nilai barang yang akan dirampas, (b) tempat barang ditemukan atau disita, (c) dari siapa barang disita, dan (d) alasan perampasan in rem.256 Berkaitan dengan barang yang akan dirampas, Jaksa Pengacara Negara mengajukan bukti minimum di depan persidangan untuk membuktikan bahwa barang yang digugat adalah diduga kuat berasal dari suatu tindak pidana dan/atau merupakan hasil tindak pidana dan/atau digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana dan/atau merupakan aset diperoleh dari kegiatan tidak sah. Bukti minimum dimaksud adalah dugaan yang didapat dari kegiatan penelusuran.257 Hakim selanjutnya menilai kekuatan bukti-bukti yang diajukan tersebut dengan tidak terikat pada ketentuan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata. Hasil penilaian Hakim diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri selambatlambatnya 3 (tiga) hari sejak permohonan diajukan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan atas permohonan tersebut yang dapat berupa penetapan mengabulkan atau menolak permohonan perampasan in rem. Dalam proses ini 255
Pasal 1 angka 8 RUU PA. Pasal 30 RUU PA. 257 Pasal 31 RUU PA. 256
127 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
pihak ketiga dapat mengajukan keberatan kepada BPA. Atas penolakan BPA, pihak ketiga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan atas harta perampasan in rem yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri dapat mengajukan keberatan kepada BPA. Dalam hal ini berlaku asas actori incumbis probatio (pihak yang mendalilkan, yang harus membuktikan dalilnya tersebut) bagi pihak ketiga.258 (5) Perampasan Pidana Perampasan pidana adalah tindakan negara menuntut mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara pidana.259 Perampasan pidana dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak pidana dan dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara. Tata cara perampasan pidana dimaksud dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.260 Sesuai hukum acara pidana maka perampasan pidana dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana/eksekutor putusan pidana. Ketentuan-ketentuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam RUU Aset telah mencerminkan ketentuan-ketentuan dan tahapan-tahapan di dalam KAK, meskipun masih banyak terdapat beberapa kerancuan istilah. Menjadi suatu hal yang penting adanya persamaan persepsi dan visi, bukan saja berkaitan
dengan
penerjemahan 261
pengembalian hasil tindak pidana.
melainkan
juga
pada
tahapan
proses
Misalnya berkaitan dengan upaya penyitaan
yang jika mengacu pada proses pengadilan menurut KUHAP dan urutan yang selalu disebutkan dalam KAK, selalu menyebutkan urutan proses tindakan. Pasal 31 KAK disebutkan sebagai freezing, seizure, dan confiscation. Hal ini menggambarkan tentang proses pembekuan pada saat penuntutan. Seizure atau forfeiture adalah proses penyitaan sebelum putusan pengadilan dan confiscation adalah untuk tahap perampasan pada saat telah ada putusan pengadilan. Confiscation dalam KAK adalah penyitaan setelah putusan, yang jika disesuaikan
258
Pasal Pasal 32 – 34 RUU PA. Pasal 1 angka 9 RUU PA. 260 Pasal 35 RUU PA. 261 Yenti Garnarsih, Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Jakarta, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 633. 259
128 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dengan KUHAP disebut sebagai perampasan.262 Jadi dalam putusan harus disebutkan dengan tegas perintah untuk perampasan. Dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya pengembalian aset dari tersangka, terdakwa dan terpidana tindak pidana korupsi terutama jika asetnya berada di luar negeri maka putusan pengadilan memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas dan detail tentang bentuk kebendaan, lokasi dan dalam penguasaan atau kepemilikan siapa. Konsekuensi yang lain, Indonesia juga perlu mengatur ketentuan perundangundangan untuk melaksanakan putusan hakim dari negara lain tentang perampasan aset yang ada di Indonesia.263 Selain berkaitan dengan peristilahan, dalam membangun sistem hukum tentang pengembalian hasil tindak pidana korupsi, Indonesia dihadapkan pada permasalahan perbedaan sistem hukum. Indonesia menganut Civil Law System yang hanya menganut gugatan in personam dimana pengembalian aset hanya berdasarkan tuntutan pidana atau criminal forfeiture. Hal ini mengingat bahwa dalam melaksanakan kerjasama internasional dalam pengembalian aset akan selalu berhubungan dengan negara lain yang menganut sistem hukum common law. Untuk itu perlu dipikirkan pembangunan sistem hukum pengembalian hasil tindak pidana korupsi dengan gugatan in rem atau non convicted conviction atau civil forfeiture. Selain itu juga harus dipikirkan mengenai hukum acara permintaan in rem dan juga in personam ke negara lain, mengingat diperlukan suatu putusan pengadilan dari Indonesia. Sejauh ini Indonesia belum mempunyai dasar hukum dan prosedur bagi hakim untuk memutuskan pengembalian (perampasan) hasil korupsi. Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan central authority, yaitu dalam menentukan lembaga yang paling tepat untuk melakukan permohonan pengembalian hasil tindak pidana korupsi atau sebaliknya.264 Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) sebagai central authority. Keberadaan Kemkumham nampaknya tidak tepat dan berpotensi akan ditolaknya permintaan pengembalian hasil tindak pidana korupsi yang berada di 262
Ibid. Ibid., hal. 234. 264 Ibid., hal. 641. 263
129 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
luar negeri. Hal ini dikarenakan Kemkumham merupakan lembaga yang hanya memiliki kewenangan administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada beberapa negara, central authority berada pada Departement of Justice yang membawahi secara langsung proses penyidikan dan penuntutan. Mengacu pada hal tersebut, sebaiknya central authority Indonesia berada di bawah Kejaksaan Agung. Meskipun hingga saat ini RUU Perampasan Aset masih dalam pembahasan, hal-hal tersebut di atas dapat menjadi argumentasi pentingnya pengaturan yang khusus berkaitan dengan pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Setelah Indonesia meratifikasi KAK, implikasi logis yang muncul adalah Indonesia harus segera menyesuaikan hukum nasionalnya dengan ketentuan KAK. Harus dipahami dengan benar, bahwa proses pengembalian hasil tidak pidana korupsi tidaklah semudah seperti apa yang telah diatur dalam KAK karena masih ada beberapa persyaratan yang bersifat khusus. Selain itu, Indonesia juga mengatur Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 dimana salah satu prinsipnya adalah resiprokal yaitu jika Indonesia menginginkan aset yang dilarikan ke negara lain dikembalikan ke Indonesia, maka Indonesia juga harus menyediakan mekanisme yang mengatur aset dari negara lain yang disembunyikan di Indonesia. Dalam konteks rumitnya proses pengembalian hasil tindak pidana korupsi tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan batas perkara-perkara mana saja yang diprioritaskan menggunakan proses peradilan in absentia yaitu terhadap perkara yang asetnya besar dan dapat disita. Besarnya aset yang dapat disita harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara dalam proses pengembalian aset dimaksud. Selain itu perlu dipertimbangkan juga efek jera dari suatu perkara sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu memberikan efek jera dan mengembalikan kerugian atau kekayaan negara. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan disampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban atas semua permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, dan saran yang berkaitan dengan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
130 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Proses peradilan pidana dilaksanakan berdasarkan proses hukum yang adil (due process of law) dimana hak-hak pelaku tindak pidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) yang merupakan bagian dari HAM. Salah satu hak dimaksud adalah hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) huruf d KIHSP. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi seakan-akan telah melanggar hak tersebut. Dengan menggunakan asas derogasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) KIHSP, diketahui bahwa hak-hak yang terdapat di dalam Pasal 14 KIHSP merupakan hak asasi yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights). Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 29 DUHAM yang menegaskan bahwa pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hak- hak asasi yang lebih luas, dalam hal ini adalah hak negara, dengan syarat diatur dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan ketentuan ini, pelaksanaan peradilan in absentia harus dilakukan berdasarkan KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Ketidakmampuan negara untuk menghadirkan terdakwa di muka persidangan harus dikemukakan dan dibuktikan sebagai alasan yang obyektif. Hal ini sangat penting dikarenakan syarat mutlak dapat dilaksanakannya peradilan in absentia adalah (1) harus dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah. Mengenai ketidakhadiran terdakwa, di satu sisi KUHAP memberikan hak untuk menghadiri sidang untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Namun di sisi lain, terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Hal ini merupakan upaya terdakwa secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan. Dalam konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. 2. Penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses peradilan tindak pidana pada umumnya yang meliputi 131 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam perkara tindak pidana korupsi, pelaksanaan proses dimaksud berdasarkan pada hukum acara yang berlaku (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam UU TPK. Berkaitan dengan penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur pemanggilan tersangka dan terdakwa memegang peranan yang penting. Hal ini dikarenakan jika prosedur pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sah menurut KUHAP, maka surat dakwaan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Tujuan dilaksanakannya peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Salah satu instrumen yang digunakan dalam pengembalian aset dimaksud adalah melalui instrumen pidana berupa penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di dalam negeri, instrumen pidana dimaksud dapat secara langsung
dilaksanakan.
Sedangkan
untuk
aset
yang
dilarikan
atau
disembunyikan pelaku tindak pidana korupsi ke luar negeri, Indonesia mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KAK yang telah diratifikasi Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ketentuan-ketentuan dalam KAK mengatur tahapan-tahapan pengembalian aset yang meliputi : (1) pelacakan aset, (2) pembekuan atau perampasan aset, (3) penyitaan aset-aset, dan (4) pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Tahapan-tahapan ini mengedepankan kerjasama internasional dalam pelaksanaannya yaitu antara lain berupa perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik. Selain itu, diperlukan juga dukungan hukum nasional berupa implementasi KAK ke dalam sistem hukum nasional. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia telah memiliki UU KPK dan UU TPK. Untuk memperkuat kedua undang-undang tersebut, pemerintah sedang menyusun RUU Pengembalian Aset yang menagtur mekanisme perampasan aset secara komprehensif dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan di dalam KAK. Berdasarkan 2 (dua) putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana korupsi secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja
132 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
serta terdakwa Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan secara patut sangat penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang patut ini menjadi justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in absentia tanpa melanggar hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan peradilan in absentia, meskipun Indonesia telah memiliki perjanjian ekstradisi dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kelancaran proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian aset dilaksanakan melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta jumlah aset yang dikembalikan masih belum maksimal. 3. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam peranannya berkaitan dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan peradilan in absentia itu sendiri maupun proses pengembalian aset. Permasalahan mendasar adalah berkaitan dengan masih terdapatnya ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuanketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia yaitu dalam hal penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing) dan penafsiran hak untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia yang lebih lanjut dapat menyebabkan dan mendorong pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri dan tidak menghadiri persidangan. Selain itu muncul kesulitankesulitan teknis yang terjadi sejak tahap penyidikan sampai dengan eksekusi. Permasalahan lain adalah berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki KPK yang hanya bisa digunakan pada tahap penyidikan, sedangkan proses untuk menetapkan tersangka tidak mudah mengingat KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Sedangkan permasalahan fundamental yang berkaitan dengan pengembalian aset adalah aset hasil tindak pidana korupsi cenderung diabaikan dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal. Selain itu, perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain sangat mempengaruhi proses pengembalian aset. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya mekanisme
133 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
kesepakatan antar negara yang tertuang dalam MLA dan persyaratan harus adanya perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim, sedangkan perundang-undangan di Indonesia belum mengaturnya.
5.2. Saran 1. Perlu segera dilakukan penyesuaian dan persamaan persepsi ketentuanketentuan dalam hukum nasional dengan ketentuan KAK terkait pemahaman konsepsi dan ketentuan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan dimaksud yaitu antara lain dalam hal : (1) penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing), (2) hak untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia (Pasal 38 ayat (4) UU TPK), (3) perluasan kewenangan yang dimiliki KPK terutama dalam rangka mendeteksi hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan atau dilarikan, dan (4) ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan putusan hakim dari negara lain tentang perampasan aset yang ada di Indonesia dan hukum acaranya. 2. Perlu segera dilakukan penyempurnaan dan pengesahan RUU Perampasan Aset dengan terlebih dahulu melakukan penyesuaian terhadap persepsi dan visi KAK. Penyesuaian dimaksud terutama berkaitan dengan : (1) ruang lingkup aset hasil tindak pidana korupsi yang selama ini cenderung diabaikan dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal, (2) istilahistilah dalam RUU PA dengan KAK untuk menghindari kerancuan istilah, terutama berkaitan dengan istilah aset, dan (3) tahapan proses pengembalian aset yang menggambarkan urutan proses tindakan. 3. Dalam masa transisi sebelum penyesuaian-penyesuaian dan pengesahan RUU Perampasan Aset dilakukan, untuk sementara waktu perlu segera diatur ketentuan yang mengharuskan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya mencantumkan tindakan perampasan dan pengembalian pada kas negara terhadap harta benda pelaku tindak pidana korupsi serta adanya 134 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim pada perkara tindak pidana korupsi yang memenuhi unsur merugikan keuangan negara atau kekayaan negara. Oleh karena ketentuan ini bersifat teknis maka dapat diatur dalam peraturan yang bersifat teknis juga seperti misalnya dalam Standart Operating Procedure (SOP/Prosedur Operasi Baku) Kejaksaan Agung dan KPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Diharapkan dengan adanya pengaturan tentang keharusan adanya perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim ini dapat mempermudah proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi terutama yang disembunyikan atau dilarikan ke luar negeri.
135 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Diadit Media, 2009. Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix Tampubolon. Perkara H.M. Soeharto. Jakarta : Multi Mediametri, 2001. Alam, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi – Implementasinya di Indonesia. Jakarta : Forum Lintas Generasi, 2008. Alatas. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES, 1987. Asshiddiqie, Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI, 2005. _____________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. _____________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI - Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008. _____________. Pengkajian mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004. _____________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010. Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Alumni, 2006. _____________. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang : Bayumedia Publishing, 2005. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995. Davidson, Scoot. Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994. 136 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Effendy, Marwan. Peradilan In Absentia dan Koneksitas. Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010. Flemming, Matthew H. Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy : Draft for Comments, Version Date. London : University College, 2005. Gautama, Sudargo. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni, 1983. Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju, 1995. Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011. Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta : Erlangga, 1986. _____________. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988. Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil. Jakarta : Grasindo, 2004. Loqman, Loebby. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996. McWalters, Ian. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia. Surabaya : JP Books, 2006. M.D, Moh. Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta : UII Press, 1993. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Pieth, Mark. Recovering Stollen Assets. Bern : Internationaler Verlag der Wissenschaften, 2008 Prakoso, Djoko. Peradilan In Absentia di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
137 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Prihartono, Dwiyanto. Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003. Prodjohamidjojo, Martiman. Komentar atas KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita, 1990. Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994. _____________. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007. Rizal, Jufrina dan Agus Brotosusilo. Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum, Buku Ke-1. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006. Rukmini, Mien. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2007. Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, 2008. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Tahir, Heri. Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010. Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Yanuar, Purwaning M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi – Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, 2007.
Jurnal/Makalah/Internet/Bahan Lain Asshiddiqie, Jimly. Undang-Undang Dasar 1945 : Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan. Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998.
138 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Eddyono, Supriyadi Widodo. “Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Husein, Yunus. “Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Noor, Rasyid. “Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 285 Agustus 2009. Reksodiputro, Mardjono. Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi). Makalah disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD), PPATK tanggal 21 Juli 2009. _____________. Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Makalah disampaikan dalam Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham, Hotel Maharani Jakarta tanggal 3 Agustus 2009. Roach, Kent. ”Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise”. Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000. Sadguna, I. Gede Made. “Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, 2005. Saly, Jeane Neltje. “Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Surowidjojo, Adil. “The United Nations Convention Against Corruption : How Will It Help Us?”. Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005. Wandatama, Ario dan Detania Sukarja. “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, Hotel Milenium Jakarta tanggal 28 – 29 Nopember 2007. Wibowo, Edy. “Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009. Wulansari, Eka Martiana. “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum 139 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
dan Hak Asasi Manusia RI. Yusuf, Muhammad. “Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset Forfeiture”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Zehr, Howard. “Restorative Justice”. Restorative Justice Symposium, 1990. Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004. Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI tanggal 8 November 2002. Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilanjohn-rawls/. Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id. U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/assetrecovery.ctm.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Tahun 2010 Nomor 122, TLN Nomor 5164. Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076. Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003). LN Tahun 2006 Nomor 32, TLN Nomor 4620. Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2002 Nomor 137, TLN Nomor 4250. 140 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2001 Nomor 134, TLN Nomor 4150. Indonesia. Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886. Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. LN Tahun 1994 Nomor 61, TLN Nomor 3568. Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tanggal 13 Nopember 1998.
141 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011