BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI A.
Perkembangan Hukum Di Dunia Internasional Mengenai Penyitaan Dan Perampasan Hasil Tindak Pidana Dewasa ini, pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu
pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). 57 Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset (asset recovery) yaitu 58 : 1. Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan; dan 2. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan. Pada Pasal 3 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 tentang pembekuan, perampasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat pelanggaran atas konvensi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : 1. Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat (1) huruf a). 2. Pembuktian penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat (1) huruf b). 57
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recoverytindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11 , diakses terakhir tanggal 27 Februari 2011. 58 I Ktut Sudiharsa, Pengembalian Asset Kejahatan Korupsi, http://dongulamo.com/joomlaoverview/category/7-artikel.html , diakses terakhir tanggal 5 Maret 2011.
29 Universitas Sumatera Utara
3. Pembuktian adanya perubahan bentuk terhadap harta kekayaan (pasal 31 ayat (4). 4. Pembuktian percampuran harta kekayaan yang sah dan yang melanggar konvensi (pasal 31 ayat (5). 5. Pembuktian bahwa harta kekayaan merupakan penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari : a. Pelanggaran terhadap konvensi. b. Perubahan bentuk harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. c. Integrasi harta kekayaan sah dan pelanggaran konvensi. Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, UNCAC menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar konvensi yaitu: 1. Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan anti korupsi yang efektif; 2. Perlunya melibatkan masyarakat; 3. Pentingnya kerjasama internasional. 59 Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna 59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penghukuman terhadap para koruptor. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan. 60 Perjuangan menentang “penyakit” korupsi secara global berujung dengan terbentuknya konvensi-konvensi PBB. Pasal 2 huruf (a) United Nation Convention Against Transnational Crime (UNCATC) Tahun 2000 memasukkan tipikor sebagai salah satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group. Kesadaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal di suatu negara tetapi juga dapat mempengaruhi perekomian global sehingga diperlukan kerjasama internasional untuk “mengatasinya”. UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. UNCAC juga memberikan peluang untuk memudahkan pengembalian aset curian yang dihalangi ketentuan kerahasian bank, dengan syarat; negara tempat aset itu disimpan meratifikasi UNCAC. Pasal 40 UNCAC menyatakan bahwa setiap negara pihak wajib memastikan terdapatnya mekanisme yang layak dalam sistem 60
Saldi Isra, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum nasionalnya untuk mengatasi halangan-halangan yang mungkin timbul dari UU kerahasian bank atas penyidikan terhadap kasus-kasus pidana yang ditentukan dalam UNCAC tersebut. Dalam hal upaya pembekuan, penyitaan dan perampasan asset negara yang dicuri melalui tipikor yang ditentukan Pasal 31 UNCAC (juga pasal-pasal lainnya) sesungguhnya hanyalah ketentuan pasif yang tidak dapat memaksa negara-negara safe haven untuk bekerjasama mengembalikan asset korupsi yang tersimpan di negaranya. Dalam mengaktifkan ketentuan tersebut masih diperlukan kerjasama internasional diantara negara-negara dunia. Hanya saja hal tersebut tentu menjadi kendala bagi negara-negara berkembang yang tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam kancah politik internasional.61 Kendala kerjasama dan belum diratifikasinya UNCAC oleh banyak negaranegara besar menjadi penghambat utama dalam mengembalikan aset-aset curian dari tipikor. Aset kekayaan yang dicuri tersebut sangat membantu pembangunan negaranegara dunia berkembang dan miskin. Berdasarkan pentingnya upaya pengembalian asset tersebut bagi negara berkembang, maka perlu diketahui sejauhmana peran dari konvensi PBB dan program inisiatif seperti StAR itu sendiri bagi pengembalian aset curian tipikor. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa upaya pengembalian asset 61
Ibid., Langkah terbaru dalam upaya pengembalian asset curian adalah melalui usaha kerjasama Bank Dunia dan United Nation office of Drugs and Crime (UNODC) yang meluncurkan prakarsa yang disebut Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative pada 17 September 2007. Ide StAR initiative tersebut dilandasi kesadaran Bank Dunia bahwa negara-negara berkembang memerlukan bantuan dalam mengembalikan asset-asset curian yang diakibatkan tindak pidana. Program StAR initiative “diluncurkan” dengan optimisme yang luar biasa. StAR initiative bukanlah instrumen hukum yang langsung dapat diterapkan sebagaimana konvensi-konvensi PBB yang lain dikarenakan bergantung kepada efektifnya kemitraan antara negara maju dengan negara berkembang serta antara lembaga-lembaga bilateral dan multilateral terkait. StAR juga berkaitan dengan diratifikasi atau tidaknya UNCAC oleh sebuah negara.
Universitas Sumatera Utara
melalui peran Konvensi dan ratifikasi konvensi tersebut dengan UU tidak akan banyak berarti apabila tidak diikuti langkah-langkah teknis dan strategi diplomasi yang baik oleh Indonesia (negara-negara berkembang). Sehingga menurut Romli Atmasasmita, untuk mengatasi hal tersebut harus diperhatikan bagaimana membatasi prinsip-prinsip intervensi yang kaku dari kedaulatan negara yang dapat menghambat kerjasama internasional dalam upaya pengembalian aset curian dari tipikor. 62 Perkembangan terakhir di dunia Internasional mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai upaya menekan tingkat kejahatan, dapat dilihat dari uraian berikut 63 : 1. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, dalam kurun waktu 10 Tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narkotic Drugs and Phychotropic Substance pada tahun 1988 dan 62
Ibid., Menurut Komisi Hukum Nasional terdapat beberapa permasalahan bagi terlaksananya ketentuan UNCAC terutama yang berkenanan dengan asset recovery yang diturunkan dengan program StAR Initiative, yaitu; 1. StAR initiative bukanlah sarana yang mudah digunakan oleh negara berkembang untuk memperoleh kembali uang yang dicuri melalui korupsi dan disimpan di pusat-pusat finansial yang terdapat di negara-negara maju yang dibentengi dengan hukum, profesionalisme, teknologi serta politik. 2. Implementasi StAR initiative serta keberhasilannya sangat tergantung kepada keikutsertaan dan kepatuhan negara maju serta negara berkembang tanpa kecuali. Tanpa ini, StAR initiative akan tetap tinggal sebagai wacana, bukan sebagai the missing link in an effective anti corruption effort dan constitute a formidable deterrent to corruption. 3. Belum diterimanya UNCAC oleh setengah dari Negara G-8 dan oleh pusat-pusat finansial dunia di mana uang curian disimpan, perbedaan sistem hukum (common law-civil law), lemahnya negara berkembang dalam institusi publik, sistem hukum dan penegakannya, tidak tegasnya political will, lemahnya kerjasama internasional, lemahnya dukungan professional yang diperlukan dan lainlain, dipastikan menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang untuk dapat memanfaatkan StAR initiative dan memetik buahnya dengan mudah. Lagi-lagi negara berkembang perlu dibantu oleh unsur luar yaitu World Bank Group-UNODC di mana di dalamnya duduk negara-negara maju dan bantuan apapun bentuknya tidak ada yang prodeo. 63 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 116-117.
Universitas Sumatera Utara
United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) pada 2000 serta United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2003. Salah satu bagian penting dari konvensi-konvensi PBB tersebut adalah adanya pengaturan yang berkatian dengan penelusuran, penyitaan, dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana termasuk kerja sama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antarnegara. 2. Pemerintah Inggris pada 2002 menetapkan suatu Undang-Undang Proceed of Crime Act (POCA) yang antara lain mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana. 64 Sejak undang-undang ini
diberlakukan pada 2003, aparat penegak hukum di Inggris telah berhasil merampas sekitar 234 juta pondsterling atau setara dengan 4,38716 trilyun rupiah hasil dan instrumen tindak pidana. 3. Pemerintah Australia pada 2002 juga menetapkan Proceed of Crime Act. Ketentuan baru ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi aparat penegak hukum untuk menyita dan merampas aset tindak pidana.
64
Lihat Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 220-221, dalam sistem hukum nasional Inggris dikenal dua sistem penyitaan, yaitu : sistem yang berdasarkan properti/kekayaan atau disebut juga in rem system dan sistem yang berdasarkan nilai atau disebut in personam system. Jika sistem hukum nasional menganut in rem system, penyitaan dilakukan atas kekayaan yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Kekayaan tersebut meliputi kekayaan yang diperoleh dari dan dengan segala keuntungan dan kekayaan yang digunakan dalam tindak pidana tersebut, tanpa menghiraukan kepemilikan atas kekayaan-kekayaan tersebut. Jika sistem hukum nasional menganut in personam system, penyitaan dilakukan hanya atas kekayaan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana, tanpa melihat apakah ada hubungan antara kekayaan tersebut dengan tindak pidana. Dengan sistem ini kekayaan apapun yang dimiliki pelaku tindak pidana, baik yang diperoleh sebelum maupun setelah dilakukannya tindak pidana, dapat menjadi objek penyitaan, selama kekayaan tersebut berada di bawah hak milik pelaku atau terpidana.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemerintah Selandia Baru pada 2005 juga menetapkan Criminal Proceeds and Instruments Bill setelah melihat keberhasilan Australia dan Inggris menerapkan ketentuan yang serupa. 5. Pemerintah Nigeria pada 1998-2006 berhasil menyita dan merampas hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jenderal Sani Abacha, mantan presiden Nigeria, dalam jumlah 800 juta dollar AS dari dalam negeri dan 505,5 juta dollar AS dari Swiss. 6. Pemerintah Peru selama kurun waktu 2000-2001 melakukan reformasi hukum dan pengadilan yang secara fundamental meningkatkan kemampuan penyidikan, pengungkapan jaringan pelaku tindak pidana korupsi dan pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Sebagai hasilnya, pada 2001 Peru menerima kembali 33 juta dollar AS dari Kepulauan Cayman dan 2002 menerima 77,5 juta dollar dari Swiss serta 2004 menerima 20 juta dollar dari Amerika Serikat. Dana ini berasal dari hasil Korupsi Vladimiro Montesinos, kepala intelijen polisi pada pemerintahan Presiden Alberto Fujimori. 7. Pemerintah Philippina selama 18 tahun antara 1986-2004 berhasil menyita dan merampas 624 juta dollar AS dari Swiss. Dana tersebut berasal dari hasil korupsi Ferdinand Marcos, mantan Presiden Philippina.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen Internasional mengenai perampasan aset tindak pidana telah mengalami perkembangan 65 , baik dari sisi teori pembuktian maupun praktik peradilan di beberapa negara terhadap perkara tindak pidana serius seperti tindak pidana narkotika, korupsi, pencucian uang dan di bidang perpajakan. Perkembangan dalam teori pembuktian adalah dengan pemberlakuan teori pembuktian terbalik (reversal burden of proof) yang semula ditentang oleh banyak negara maju dan berkembang. Keyakinan bahwa pembuktian terbalik merupakan instrumen yang ampuh dalam membuktikan asal usul harta kekayaan seseorang yang diduga kuat
65
Lihat Romli Atmasasmita, Op.cit, Hal. 96-97. Lahirnya ketentuan Bab V tentang Asset Recovery dalam konvensi PBB Anti-Korupsi (2003) didahului oleh tiga resolusi sidang umum PBB Anti Korupsi (2003) didahului oleh tiga resolusi sidang umum PBB yaitu sebagai berikut: 1. Resolusi sidang majelis umum PBB No. 5/188 tanggal 20 Desember 2000, “Preventing and Combating Corrupt Pratices and Illegal Transfer of Funds and Repatriation of such funds to Countries of Origin”; 2. Resolusi sidang majelis umum PBB No. 56/260 Tanggal 31 Januari 2002, yang meminta Komite Adhoc Negosiasi Draft. Konvensi PBB Anti Korupsi untuk memasukkan suatu pendekatan multi disiplin termasuk pencegahan dan petindakan terhadap transfer aset berasal dari korupsi; dan 3. Resolusi Badan Ecosoc Tahun 2001/13 Tanggal 24 Juli 2001, “Strenghtening International Cooperation in Preventing and Combating the Transfer of Funds of Illicit Origin, including Laundering of Funds”. Ketiga resolusi di atas ditindaklanjuti dengan Loka Karya Teknis dengan topik, Transfer Abroad of Funds or Asset of Illicit Origin; 1. Return of Funds or Assets of Illicit Origin. 2. Prevention of the Transfer of Funds or Assets of Illicit Origin. Sejarah perkembangan “Asset Recovery” dapat ditelusuri dari beberapa instrument internasional mengenai korupsi dan pencucian uang sebagai berikut: 1. United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime Tahun 2000 (UN General Assembly Resolution No.55/25 Annex 1). 2. The Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds From Crime (ETS No.141)-Strasbourg 8 November 1990. 3. Criminal Law Convention on Corruption of the Council of Europe (adopted in 1999; entry into force in 2003). 4. Civil Law Convention on Corruption of the Council of Europe (adopted in 1999, entry into force in 2002). 5. The Inter-American Convention Againts Corruption of the Organization of American State (adoption in 1996, entry into force in 1997). 6. The Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transaction of the Organization Economic Cooperation and Development (adopted in 1997, entry into force, 2004).
Universitas Sumatera Utara
berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana semakin menguat terutama setelah Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 mengatur ketentuan pembuktian terbalik tersebut. Pengaturan tersebut mencerminkan suatu kehendak masyarakat internasional untuk menerapkan pembuktian terbalik tersebut dalam hal-hal tertentu. 66 Penerapan pembuktian terbalik (reversal burden of proof) dalam perampasan aset, secara teoretis diperbolehkan dengan pertimbangan sebagai berikut: pertama, doktrin dalam sistem hukum Common Law menegaskan bahwa harta hasil tindak pidana ialah harta kekayaan negara sehingga harta kekayaan tersebut harus dikembalikan kepada negara. Sehubungan dengan perampasan aset tindak pidana, dikenal “Relation-back doctrine”. Atas dasar doktrin ini maka perampasan aset telah terjadi sejak perpindahan kepemilikan atas aset negara kepada seseorang. Intinya dokrin ini membolehkan berlaku surut sampai sejak tempus delicti perpindahan aset tindak pidana tersebut. Perampasan atas aset ini dianggap telah terjadi sejak aset tersebut berpindah tangan. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat menegaskan bahwa, doktrin tersebut tidak berlaku surut kecuali jika pemerintah memperoleh putusan pengadilan yang memerintahkan penyitaan tersebut. Dengan kata lain, doktrin tersebut tidak bersifat “self-executing”. Pertimbangan kedua, yaitu pembuktian terbalik tidak merupakan pelanggaran atas prinsip praduga tak bersalah dan privilege againts selfincrimination. Sekalipun Mahkamah HAM Uni Eropa
66
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 97-99.
Universitas Sumatera Utara
secara prinsipil tidak menolak praduga atas fakta dan hukum, pembuktian atas praduga tersebut dibebankan kepada tersangka sesuai dengan hukum acara yang berlaku dan membuka kemungkinan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Pendapat yang lebih tegas dinyatakan dalam putusan Mahkamah HAM Uni-Eropa dalam kasus Phoam Hamg v Perancis 25 September 1992. Mahkamah menegaskan bahwa, pertimbangan apa yang dimaksud dengan “resiko” merujuk kepada sisi kewaspadaan yang lebih besar dalam menghargai hak asasi manusia dari tersangka/tertuduh. 67 Inti persoalan dalam pembuktian terbalik bukan masalah pelanggaran atas hak asasi tersangka an sich melainkan terletak pada sejauh mana undang-undang memberikan kesempatan dan keleluasaan seorang tersangka untuk membuktikan sebaliknya. Model pembuktian terbalik yang dibolehkan dalam sistem hukum UniEropa adalah pembuktian terbalik tidak murni atau partial reversal burden of proof. Undang-Undang Hukum Pidana Belanda 1996 telah menganut model pembuktian terbalik tidak murni sebagaimana tercantum dalam pasal 36 yang membolehkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana dengan syarat tersangka telah dituntut melakukan tindak pidana dengan ancaman 67
Ibid., Putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia Uni Eropa dalam perkara Phoam Hang, pertimbangan penerapan pembuktian terbalik dalam perampasan aset secara keperdataan harus dilandaskan pada “proportionality test” atau “tes kelayakan”. Tes kelayakan masih memiliki kelemahan-kelemahan. Di antara kelemahan ini dan penting untuk diketahui bahwa untuk meneliti lebih jauh apakah praduga atas fakta dan hukum (presumption of fact or law), sesuai/cocok dengan praduga tak bersalah, pengadilan tidak hanya menilai penerapan praduga tersebut telah dilaksanakan melainkan harus menyelidiki apakah undang-undang telah dengan benar memberikan kesempatan kepada tersangka/tertuduh untuk mengajukan bukti lawan. Tes kelayakan (proportionality) dalam pelaksanaannya harus dinilai oleh pengadilan yang bebas dan mandiri.
Universitas Sumatera Utara
kategori kelima dan tersangka diduga telah menikmati hasil tindak pidana yang telah dilakukannya. Sistem hukum Civil Law, masih tidak sepenuhnya mendukung model pembuktian terbalik tidak murni (genuine reversal of the burden of proof). Dalam praktik, persoalannya penuntut umum sering menghadapi hambatan bagaimana cara efektif dan efisien untuk melaksanakan pembuktian terbalik terhadap aset tindak pidana dengan melalui tuntutan secara pidana. Hal ini disebabkan pembuktian melalui jalur kepidanaan harus terlebih dahulu dibuktikan dengan bukti permulaan yang cukup mengenai kesalahan tersangka (prof beyond a reasonable doubt), kemudian dilaksanakan perampasan aset tindak pidana lainnya yang telah dikonversikan atau dihibahkan kepada pihak ketiga atas dasar pembuktian terbalik. Model perampasan aset ini selain menyita waktu, juga dalam praktik sering dihadapkan kenyataan, tersangka melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya atau telah meninggal dunia. Selain itu kesulitan lain adalah dalam melacak/menelusuri perpindahan aset kepada orang lain terutama jika dilakukan secara tunai atau ditransfer dalam hitungan detik dengan teknologi masa kini 68 Civil forfeiture atau civil recovery digunakan apabila proceeding pidana yang kemudian diikuti dengan pengambilalihan asset (cosfiscation) tidak dapat dilakukan, yang bisa diakibatkan karena lima hal, yaitu : pemilik aset telah meninggal dunia, berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas, penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak berhasil, terdakwa tidak berada dalam batas
68
Ibid., hal. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
yurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui, tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana. Dalam implementasinya, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik dimana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa asset yang akan diambil adalah hasil, berhubungan atau digunakan untuk kejahatan. 69 Aplikasi ekstra territorial memang tidak pernah luput dari berbagai kendala, terutama apabila tidak ada kerja sama yang efektif dengan pemerintah negara lain. Dengan demikian, mutual legal assistance menjadi faktor penting. Mutual legal assistance sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membantu asset recovery melalui gugatan pidana, tetapi juga melalui gugatan perdata. 70 Ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Mutual Legal Assistance) diatur dalam Pasal 46 United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi), antara lain 71 : 1. Negara-negara peserta wajib seluas-luasnya saling memberi bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam proses penyidikan, penuntutan dan proses peradilan berkenaan dengan tindak pidana yang dicakup oleh konvensi ini. 2. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana wajib diberikan seluas mungkin di bawah perundang-undangan, perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan dan persiapan-persiapan yang relevan Negara Peserta yang diminta yang menyangkut penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yudisial berkenaan dengan tindak 69
Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Civil Forfeiture, Disampaikan pada Focus Group Discusion (FGD) Perampasan aset Hasil Kejahatan Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering, yang dilaksanakan oleh DPD ISHI Sumatera Utara, Wisma Benteng Medan, 18 Desember 2010, hal. 6. 70 Ibid. 71 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003, (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), Terjemahan Tidak Resmi oleh Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (FORUM 2004), Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, Cetakan Pertama, 2005, hal. 59-72.
Universitas Sumatera Utara
pidana untuk mana subyek hukum dapat ditahan berdasarkan Pasal 26 dari konvensi ini di Negara Peserta yang meminta. 3. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang akan diberikan sesuai dengan pasal ini dapat diminta untuk salah satu dari tujuan-tujuan berikut ini: (a) mendapatkan bukti atau pernyataan-pernyataan (keterangan) dari orang-orang; (b) menjalankan pelayanan dokumen-dokumen yudisial; (c) melakukan penggeledahan dan perampasan serta pembekuan; (d) memeriksa obyek dan tempat; (e) memberikan informasi, barang-barang bukti dan penilaian ahli; (f) menyediakan atau memberikan asli atau salinan resmi dokumen-dokumen yang relevan dan rekaman-rekaman, termasuk rekaman pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau bisnis; (g) mengidentifikasikan atau menolak hasil-hasil kejahatan, kekayaan, peralatanperalatan atau benda-benda lain untuk tujuan pembuktian; (h) memfasilitasi kehadiran sukarela orang-orang di Negara Peserta; (i) bantuan dalam bentuk-bentuk lain yang tidak bertentagan dengan hukum nasional dari Negara Peserta yang diminta; (j) mengidentifikasi, membekukan dan melacak perolehan hasil tindak pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini; (k) pengembalian aset-aset sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V konvensi ini. 4. Tanpa mengurangi hukum nasional, otoritas-otoritas yang kompeten dari suatu Negara Peserta dapat, tanpa permintaan terlebih dahulu, mengirimkan masalahmasalah kriminal kepada suatu otoritas yang berkompeten di Negara Peserta yang lain dimana mereka (percaya) bahwa informasi itu dapat membantu otoritas tersebut dalam menjalankan atau (dengan sukses) (membuat) (mengakhiri) penyelidikan dan proses peradilan kriminal, atau dapat berakhir dengan suatu permohonan yang diformulasikan oleh Negara Peserta yang disebut terakhir sesuai dengan Konvensi ini.
Ketentuan mengenai Pembekuan, Perampasan dan Penyitaan diatur dalam Pasal 31 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003): 1. Setiap Negara Peserta wajib mengambil, sejauh dimungkinkan oleh sistem hukum nasionalnya, tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memungkinkan penyitaan atas: (a) Hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini, atau kekayaan yang nilainya sama dengan hasil tindak pidana tersebut;
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
(b) Kekayaan, peralatan atau perkasas lainnya yang digunakan atau dimaksud untuk digunakan dalam tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini. Setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memungkinkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau perampasan setiap hal tersebut pada ayat 1 pasal ini dengan tujuan kemungkinan penyitaan. Setiap Negara Peserta wajib mengadopsi, sesuai dengan hukum nasionalnya, tindakan-tindakan lainnya yang mungkin diperlukan untuk mengatur penataan kekayaan yang dibekukan, dirampas atau disita yang dibekukan, dirampas atau disita yang ditentukan dalam ayat 1 dan ayat 2 pasal ini oleh pejabat-pejabat yang berwenang. Jika hasil-hasil tindak pidana tersebut telah diubah atau dikonversi, sebagian atau seluruhnya, menjadi kekayaan dalam bentuk lain, maka kekayaan dimaksud dapat dikenakan tindakan-tindakan tersebut dalam pasal ini sebagai pengganti hasil kejahatan itu. Jika hasil-hasil tindak pidana tersebut telah bercampur-baur dengan kekayaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah, maka kekayaan tersebut, dan tanpa mengurangi kewenangan apa pun yang berkaitan dengan pembekuan atau perampasan, dapat dikenakan tindakan penyitaan sampai sebesar nilai yang diperkirakan dari hasil-hasil yang telah bercampur-baur itu. Pendapatan atau keuntungan lainnya yang didapat dari hasil-hasil tindak pidana itu, dari kekayaan ke dalam mana hasil-hasil tindak pidana itu telah diubah atau dikonversi, atau dari kekayaan dengan mana hasil-hasil tindak pidana tersebut telah bercampur-baur, juga akan dapat dikenakan tindakan-tindakan tersebut dalam pasal ini, dengan cara yang sama dan untuk jumlah yang sama dengan hasil-hasil tindak pidana. untuk tujuan pasal ini dan pasal 55 konvensi ini, setiap Negara Peserta wajib memberi wewenang kepada pengadilan mereka atau kepada otoritas-otoritas lainnya yang berwenang, untuk memerintahkan kepada Bank, lembaga keuangan agar dokumen-dokumen perbankan, keuangan atau perdagangan dibuat tersedia atau disita. Suatu Negara Peserta tidak akan menolak untuk melakukan tindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat ini dengan alasan kerahasiaan bank. Negara-Negara Peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional mereka, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Ketentuan dalam pasal ini tidak dapat ditafsirkan dengan merugikan pihak-pihak ketiga yang beritikad baik.
Universitas Sumatera Utara
10. Tak satupun yang dimuat dalam pasal ini mempengaruhi prinsip bahwa tindakantindakan yang dirujuk itu akan dirumuskan dan dilaksanakan sesuai dengan dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari hukum nasional suatu negara. 72
Kebijakan hukum perampasan aset tindak pidana baik di Inggris dan Amerika Serikat, tidak bertujuan untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh negara an sich, melainkan bertujuan untuk memutus mata rantai aktivitas kejahatan dengan menghentikan sumber kekuatan kehidupan para pelaku kejahatan yang utama yaitu pendanaan. Adapun di negara berkembang tujuan perampasan aset semata-mata mengembalikan dan memulihkan kuangan negara. Kebijakan perampasan aset tindak pidana di Indonesia masih jauh dari tujuan perampasan aset yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris. Sehubungan dengan keberadaan dua model perampasan aset, masih terdapat permasalahan, yaitu sarana hukum manakah yang harus diutamakan, perampasan aset melalui kepidanaan atau melalui keperdataan. Pernyataan yang berkaitan dengan penerapan hierarkhi tersebut diutamakan melalui jalur normal melalui sarana perampasan aset berdasarkan penuntutan pidana (criminal based forfeiture). Hirarkhi penegakan hukum sepanjang berkaitan dengan aset tindak pidana di Inggris, dilaksanakan secara berjenjang yaitu perampasan aset melalui kepidanaan merupakan primum remidium sedangkan sarana perampasan aset melalui keperdataan merupakan ultimum remidium. 73
72 73
Ibid., hal. 45-46. Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 104-105.
Universitas Sumatera Utara
Cassela mengemukakan bahwa, praktik perampasan aset (asset forfeiture) di Amerika Serikat merupakan bagian dari penanganan perkara pidana dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, penegak hukum di Amerika Serikat bukan hanya ingin memenjarakan pelaku tindak pidana melainkan juga ingin memindahkan sarana untuk melakukan tindak pidana sehingga tidak dapat digunakan. Kedua, jika terdapat korban tindak pidana maka sarana terbaik adalah mengembalikan aset tindak pidana untuk memberikan kompensasi bagi korban yang bersangkutan. Ketiga, perampasan aset efektif untuk mencegah keuntungan yang diharapkan diperoleh dari tindak pidana. Keempat, perampasan aset merupakan salah satu bentuk dari hukuman. Keempat pertimbangan memasukkan perampasan aset sebagai bagian penting dan terpisahkan dalam penegakan hukum di Amerika Serikat terutama ditujukan terhadap tindak pidana narkotika, penggelapan pajak dan pelanggaran ketentuan pasar modal (security exchange act) dan undang-undang antikorupsi Amerika Serikat (Foregin Corrupt Practices Act). 74
B.
Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Istilah “kebijakan” diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah :
74
Ibid., hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
a. usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 75 b. kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 76 Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mahfud M.D., juga memberika defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politk mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya, bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
perumusan
materinya
(pasal-pasal),
maupun
dalam
penegakannya.
Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang
75
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 26. 76 Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
akan datang dengan melihat penegakanya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. 77 Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan, melaksanakan “politik hukum pidana” berarti : 1. mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna; 78 2. usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 79 Dengan demikian politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif (the positif rules) dalam defenisi Marc Ancel jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Acel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 80 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal
policy”
atau
“penal
law
enforcement
policy”
yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:
77
Mahmud Mulyadi, Op.cit., hal. 66. Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 26. 79 Sudarto, Op.cit., hal. 93. 80 Ibid. 78
Universitas Sumatera Utara
1. tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 81 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penaggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
81
Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2010, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 82 Pembentukan undang-undang menurut Sudarto, melalui proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas dan dalam. Isi dari suatu undangundang mempunyai pengaruh yang luas terhadap masyarakat. Bukan hanya sudah terbentuknya undang-undang, melainkan apakah sesudah terbentuknya undangundang itu tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat bisa tercapai. Suatu golongan sudah merasa puas apabila undang-undang mengenai masalah tertentu sesuai dengan apa yang didambakan. Akan tetapi harus juga diperhitungkan pengaruh adanya undang-undang tersebut dalam masyarakat. Apakah pelaksanaannya diterima secara baik oleh masyarakat, ataukah mendapat tentangan dan bahkan menimbulkan konflik. Jika yang terakhir ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu disfungsionil dan menjadi perhatian dari penguasa untuk meningkatkan mutu dari perundang-undangan. 83
82
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 28. Lihat juga, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal. 206, bahwa, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri. Politik hukum adalah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Politik hukum adalah kebijakan dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. Politik hukum adalah sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. 83 Sudarto, Op.cit., hal. 21-22.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang yang dibentuk harus meningkat secara kualitatif. Undangundang dalam arti materiil adalah produk perundang-undangan yang mengikat penduduk atau golongan penduduk secara umum. Untuk dapat memperhitungkan pengaruh bekerjanya undang-undang, maka perlu dketahui keadaan sebenarnya dari masyarakat dan perundang-undangan yang ada. Informasi mengenai hal ini akan sempurna dengan bantuan ilmu sosial, termasuk pula ilmu hukum. Informasi yang diberikan oleh ilmu hukum yaitu mengenai hukum positif yang berlaku. Hal ini akan menghindarkan pembuatan undang-undang yang saling bertentangan, yang akan mengakibatkan keragu-raguan dalam penerapannya. Jika penegak hukum sendiri tidak pasti dalam melaksanakan suatu undang-undang maka masyarakat umum akan merasakan akibat buruk dari ketidak pastian hukum itu. 84 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret. Jadi, istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana. Bertolak dari pengertian yang demikian, fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundangundangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum.
84
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 85 Faktor perundang-undangan yang patut dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Dengan perkataan lain, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis bagi upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, secara garis besar meliputi: a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; b. perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan yang terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya. c. perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. 86
85
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan 2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 87 Bertolak dari pendekatan kebijakan, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi 88 , harus dibuktikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: a. Pembentuk undang-undang 89 , demikian pula badan-badan kenegaraan lainnya, dalam tindakannya harus berusaha mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materril dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugikan (materiil dan/atau spiritual) atas wargan masyarakat.
86
Ibid., hal. 169-170. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., Hal. 30. 88 Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 31-32. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri degnan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuknya peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan kekuasaan administratif (eksekutf). 89 Lihat Podgorecki dalam Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Op.cit., Hal. 23, bahwa pembentuk undang-undang harus : 1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya; 2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu, dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar hal-hal ini dapat diperhitungkan dan agar dapat dihormati; 3. Mengetahui hipotesa yang menjadi dasar undang-undang yang bersangkutan, dengan perkataan lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana (undang-undang dan misalnya sanksi yang ada di dalamnya) dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai; 4. Menguji hipotesa ini, dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari undangundang itu, termasuk effek sampingan yang tidak diharapkan. 87
Universitas Sumatera Utara
c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai. d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). 90
Pembentuk undang-undang dalam suatu aturan pidana menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana mempunyai arti perbuatan tersebut sebagai bersifat melawan hukum. Sebelum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut belum dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundangundangan sebelum perbuatan dilakukan”. Ada empat makna yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni : Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. 91 Aturan pidana merupakan aturan hukum yang berisi penilaian terhadap kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum yang bersangkutan yaitu baik atau jelek bagi masyarakat dan karenanya kelakuan demikian boleh dilakukan 90
Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana,Op.cit., hal. 36-40. Alvi Syahrin, Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk) http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/melawan-hukum.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011. 91
Universitas Sumatera Utara
atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, makna hukum dipandang sebagai keseluruhan penilaian mengenai cara bagaimana orang sepatutnya berbuat dalam hidup bermasyarakat, sebagai keseluruhan aturan bertingkah laku. Aturan dipandang sebagai aturan mengenai seharusnya atau tidak seharusnya. Aturan hukum bersifat umum, bukan yang ditetapkan untuk seorang tertentu tetapi untuk semua orang dalam masyarakat tertentu. Aturan hukum tidak berhenti berlaku jika ia telah ditetapkan untuk suatu kejadian tertentu, melainkan selalu dapat diterapkan lagi setiap kali ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan aturan hukum tersebut. Sifatnya yang umum mengakibatkan kesamaan hukum, aturan yang sama untuk kejadian-kejadian yang sama. Suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut pembentuk undang-undang dipandang sebagai perbuatan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak perbuatan pidana. Pembentuk undang-undang, dalam merumuskan perbuatan pidana tidak selalu menyebutkan “melawan hukum” dalam rumusannya. Dalam perundang-undangan pada umumnya lebih banyak rumusan tindak pidana yang tidak memuat unsur melawan hukum daripada memuatnya. 92 Perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan dengan Negara. 93 Korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. 94 Tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 95 Pelaku tindak pidana
93
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 94 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 95 Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Universitas Sumatera Utara
korupsi “murni merugikan keuangan negara dapat dijerat atau didakwa dengan pasalpasal: Pasal 2, 3, 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf (a), Pasal 12 huruf (i) Pasal 12 A dan Pasal 17 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 96 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa : (1)
(2)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Rumusan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini bila dirincikan, terdapat unsur-unsur: 1. secara melawan hukum atau wederrechtelijk; 2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan:
96
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, 97 maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dengan timbulnya akibat.
Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu a. ajaran sifat melawan hukum formil, atau b. ajaran sifat melawan hukum materiil. Roeslan saleh mengemukakan : menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut. 98 97
Lihat Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Edisi Revisi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 123-124, penerapan unsur melawan hukum secara materil berarti asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP disingkirkan. Dengan adanya kata-kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan” dan seterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika ada demonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakan manifestasi rasa keadilan masyarakat? Jika demikian halnya orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untuk berdemonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor, misalnya dengan motif politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagi kepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasus Pilkada. Mencantumkan kata-kata frasa “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas zaman Jerman Nazi dengan kata-kata yang sama, yaitu “rasa keadilan masyarakat” (the sound sense of justice of the people) menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harus dipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah melakukan korupsi. 98 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu : a. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. b. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. 99 Menurut Indrianto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis. Oleh Indrianto Seno Adji dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan asalan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundangundangan. 99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keutungan lainnya dari seseorang (korporasi/badan hukum) dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang. 100 Menurut Adami Chazawi, atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak pidana materiil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub (a) maupun sub (b) dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materiil, atau berupa tindak pidana materill. 101 Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kata “dapat”, persoalan pokok yang harus dijawab adalah 102 : 1. apakah pengertian kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) yang dijelaskan dalam Penjelasan pasal 2 ayat (1), dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) menjadi rumusan delik formil? 2. apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas, frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan?
100
Ibid., hal. 34. Adami Chazawi, Hukum Pidana Materill Dan Formil Korupsi Di Indonesia, (Malang : Bayumedia, 2005), hal. 30. 102 Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009, hal. 87. 101
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atua suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus nyata terjadi. 103
Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing. 104 Tindakan untuk merampas harta kekayaan (aset) yang diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan atau tindak pidana merupakan langkah antisipatif dalam menyelamatkan dan atau mencegah larinya harta kekayaan yang merupakan salah satu langkah represif. Apabila telah terjadi suatu tindak pidana atau kejahatan maka dalam hal ini aparat penegak hukum harus berpikir tidak hanya bagaimana mempidanakan pelakunya ke penjara akan tetapi harus pula memikirkan dan mempertimbangkan apakah ada harta hasil tindak pidana dari perbuatan pelaku
103
Ibid. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. 104
Universitas Sumatera Utara
tersebut dan apabila terindikasi adanya harta hasil tindak pidana maka patut dipikirkan dasar hukum dan langkah apa saja yang harus diambil untuk memulihkan kembali harta hasil tindak pidana. Dalam upaya pemulihan harta hasil kejahatan atau tindak pidana korupsi, adalah dengan tindakan perampasan sebagai pidana tambahan pada putusan pengadilan pidana oleh hakim terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana tindak pidana korupsi, dimana harta kekayaan tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan atau harta kekayaan tersebut digunakan sebagai sarana atau prasarana melakukan tindak pidana korupsi. Pidana Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 : (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Universitas Sumatera Utara
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Menurut Adami Chazawi, sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, maka pidana perampasan barang tertentu adalah bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperative) untuk dijatuhkan. 105 P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa mengenai keputusan apakah perlu atau tidaknya dijatuhkan suatu pidana tambahan, selain dari menjatuhkan suatu pidana pokok kepada seorang terdakwa, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 106 Adapun perbedaan antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif) sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif, sedangkan penjatuhan jenis pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya bukan merupakan suatu keharusan. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. Penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri (lepas dari pidana pokok), melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan menjatuhkan jenis pidana pokok adalah dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan.
105 106
Mohammad Ekaputra, Op.cit., hal. 158. Ibid., hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie). 107 Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan seperti yang terdapat dalam pasal 18 ayat (1) tersebut, dapat diberikan beberapa penjelasan dan catatan sebagai berikut: a. Untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP, barang-barang tersebut harus kepunyaan terpidana. 108 Pidana tambahan berupa perampasan barangbarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP tidak dapat dilakukan terhadap barang yang tidak berwujud, karena yang dimaksud dengan “barang” dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP adalah hanya barang berwujud, sedangkan perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dapat dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud. 109 b. Perlu adanya alat-alat bukti antara keterangan ahli (Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah “harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” karena pelaksanaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai “sebanyak-banyaknya sama” dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dalam pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, jangan hanya 107
Ibid., hal. 134-135. R. Wiyono, Op.cit., hal. 142. 109 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 78. 108
Universitas Sumatera Utara
ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang “masih dikuasai” oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, tetapi ditafsirkan termasuk pula harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan kepada orang lain. 110 c. Yang dimaksud pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, oleh penjelasan pasal 18 ayat (1) huruf c disebutkan: pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Di dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf c tersebut tidak dijelaskan apakah perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan kepunyaan terpidana, atau apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana harus dibuktikan di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. 111 Untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c, tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana masih di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. Sehubungan dengan dicantumkan atau disebutnya tenggang waktu, baik di dalam pasal 18 ayat (1) huruf c maupun di dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) huruf c, maka kepada pengadilan yang akan menjatuhkan putusan tentang pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, agar mencantumkan di dalam
110 111
R. Wiyono, Op.cit., hal. 142-143. Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
putusannya tenggang waktu lamanya penutupan perusahaan berlangsung dan yang jelas jangan sampai melewati wakti 1 (satu) tahun. 112 d. Yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat (1) huruf d, bukan hanya hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) KUHP, karena jika tidak demikian, tentunya tidak perlu adanya ketentuan seperti pasal 18 ayat (1) huruf d. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat (1) huruf d adalah termasuk hak-hak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa, yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) KUHP, misalnya hak untuk mengekspor barang-barang tertentu atau hak untuk mengembangkan suatu kawasan tertentu. 113 e. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf c dan pasal 18 ayat (1) huruf d, pada hakikatnya merupakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b angka 1 KUHP. Oleh karena merupakan pidana tambahan, ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (2) KUHP berlaku juga untuk ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan Pasal 18 ayat (1) huruf d, artinya pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut mulai berlaku pada hari putusan pidana tambahan tersebut dapat dijalankan dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalani pidana tambahan. Dengan demikian, pelaksanaan (eksekusi)
112 113
R. Wiyono, Op.cit., hal. 143. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf c dan pasal 18 ayat (1) huruf d tidak diperlukan. 114 Jika pengadilan telah menjatuhkan putusan mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka bagi terpidana diberi batas waktu untuk membayar uang pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu “... paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ... ” (inkracht). 115 Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP), tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. 116 Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti adalah merupakan pidana tambahan, sedangkan pidana denda merupakan pidana pokok, sehingga akibatnya ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP tidak dapat serta merta diberlakukan untuk pembayaran uang pengganti. Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya
114
Ibid. hal. 144. Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80. 116 R. Wiyono, Op.cit., hal. 145. 115
Universitas Sumatera Utara
adalah seperti yang ditentukan dalam pasal 18 ayat (2), yaitu “... maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. 117 Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dan kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut. Yang dimaksud dengan “harta bendanya” dalam pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) KUHP atau pasal 18 ayat (1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Yang dimaksud dengan “dapat disita” dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta benda kepunyaan terpidana tindak pidana korupsi bersifat fakultatif, karena penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai eksekutor/pelaksana
117
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 270 KUHAP 118 , jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,...”(Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). 119 Perampasan pidana merupakan sistem yang didasari atas unsur objektif, yang dalam hal ini keweanangan jaksa harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud merupakan suatu hasil atau sarana kejahatan yang telah selesai atau dalam proses kejadiannya. Perampasan aset pidana tunduk pada semua perlindungan prosedural konstitusional dan peraturan yang tersedia di bawah naungan hukum pidana. Penerapan tindak perampasan harus disertakan dalam dakwaan yang diajukan oleh pihak jaksa penuntut umum. Ketentuan mengenai perampasan aset hasil kejahatan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tahun 2010) 120 : pasal 6 : Pejabat Publik yang memperkaya diri berupa peningkatan jumlah kekayaannya secara signifikan dan tidak dapat membuktikan peningkatan tersebut diperoleh secara sah, dipidana dengan Perampasan Kekayaan tersebut.
118
Pasal 270 KUHAP: Pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. 119 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 81. 120 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, http://www.djpp.depkumham.go.id/pembahasan-ruu/80-ruuyang-di-bahas/607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
pasal 20 : Setiap orang yang menghalang-halangi Penyitaan atau Perampasan barang atau uang yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. pasal 21 : Setiap orang yang menjual atau mengalihkan barang yang telah disita atau dirampas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. pasal 22 : (1) Pejabat Publik yang dengan sengaja melaporkan harta bendanya yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Pejabat Publik yang pada waktu melaporkan harta bendanya mengajukan buktibukti palsu tentang perolehan harta benda tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). pasal 23 : (1) Permohonan Perampasan aset untuk menyatakan suatu aset dirampas menjadi milik negara terhadap: a. milik tersangka/terdakwa yang telah meninggal dunia yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; b. milik tersangka yang tidak dikenal yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. milik tersangka/terdakwa yang melarikan diri ke luar negeri yang diduga. d. kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6. (2) Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh jaksa. (3) Sebelum diajukan permohonan, penyidik atau penuntut umum sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan penyitaan atas aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). pasal 24 : (1) Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diajukan kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat aset tersebut berada. (2) Pemeriksaan permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim tunggal dengan acara singkat. (3) Putusan yang menyatakan suatu aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menjadi milik negara adalah Putusan pertama dan terakhir. (4) Putusan hakim terhadap permohonan Perampasan aset yang berasal dari Kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d dapat dimintakan banding dan kasasi.
Universitas Sumatera Utara
(5) (6)
(7)
Putusan terhadap permohonan Perampasan aset harus dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum dan wajib diumumkan. Pihak lain yang berkepentingan yang beritikad baik dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan Perampasan aset dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan diucapkan. Dalam hal hakim menganggap alasan yang dikemukakan oleh pihak berkepentingan dapat diterima maka hakim mengembalikan aset tersebut seluruhnya atau sebagian kepadanya.
pasal 25 : (1) Penetapan hakim untuk menyatakan suatu aset menjadi milik negara harus dijatuhkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan diajukan. (2) Biaya perkara pemeriksaan permohonan Perampasan aset ditanggung oleh negara. pasal 45 : (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh Kekayaannya dan Kekayaan istri atau suami, anak, dan Kekayaan setiap orang atau Korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang Kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan Kekayaannya maka keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. pasal 47 : (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap Kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, Kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian Kekayaan tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
Universitas Sumatera Utara
(5) (6)
Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pengaturan mengenai perampasan aset selain belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan yang sudah ada memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat dilaksaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. 121 Mekanisme ini selain seringkali sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukan bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebagainya. Aset kejahatan seringkali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri. Selain juga belum mengatur secara komprehensif langkah-langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut yang harus dilakukan sejak awal penanganan perkara, yaitu dengan dilakukan pemblokiran dan penyitaan baik terhadap harta kekayaan di dalam negeri maupun harta kekayaan tersangka di luar negeri. Secara umum, perbedaan antara ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan perkembangan terakhir di dunia internasional menyangkut penyitaan
121
Yunus Husein, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia (Asset Forfeiture Of Crime In Indonesia), jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7410563576.pdf, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menunjukkan perlunya perluasan, penambahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat ini di Indonesia. 122 Tujuan utama dari penyusunan undang-undang perampasan hasil tindak pidana yaitu untuk menekan tingkat kejahatan dan meletakkan keadilan di dalam masyarakat di Indonesia melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan salah satu motif dasar perilaku atau calon pelaku tindak pidana yaitu medapatkan keuntungan ekonomis. Selain pengenaan sanksi pidana, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana dan juga sarana yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana akan dirampas oleh negara. Dengan berkurang atau hilangnya salah satu motif untuk melakukan tindak pidana diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan. 123 Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana juga menunjukkan bahwa harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum dan sarana yang diperoleh secara melawan hukum dan sarana yang memungkinkan perolehan harta tersebut akan dirampas dan dikembalikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, perampasan hasil tindak pidana akan menunjukkan bahwa bagi pelaku tindak pidana “crime doesn’t pay”. Hal seperti ini memberikan pesan kuat bahwa keadilan, yang sempat terganggu dengan adanya tindak pidana dikembalikan kepada masyarakat. Kegunaan dari 122 123
Ibid. Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
penyusunan undang-undang yang mengatur penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana mempunyai beberapa kegunaan, yaitu: 1. menyediakan ketentuan hukum yang bersifat komprehensif yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya dalam melaksanakan penyitaan dan perampasan hasil dan istrumen tindak pidana. 2. mendorong agar pengembalian hasil tindak pidana dapat dilaksanakan secara optimal melalui mekanisme yang efektif, dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. mengimbangi perkembangan di dunia internasional di bidang penegakan hukum khususnya dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana atau asset recovery antarnegara. 124
C.
Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh
negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan 124
Ibid., hal. 117-118.
Universitas Sumatera Utara
oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi. 125 Dari rumusan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur-unsur penting pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: 1. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum; 2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur perdata; 3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi; 4. Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan, dan pengembalian dilakukan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi baik yang ditempatkan di dalam maupun di luar negeri; 5. Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum; 6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
125
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
a. mengembalikan kerugian negara korban tindak pidana korupsi yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi; b. mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak pidana lainnya, misalnya, tindak pidana pencucian uang, terorisme dan tindak pidana lintas negara lainnya; c. memberikan efek jera bagi pihak lain yang beriktikad melakukan tindak pidana korupsi. 126 Substansi sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui empat tahap yang terdiri dari : pertama, pelacakan aset untuk melacak asetaset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. 127
1. Tahap Pertama, Pelacakan Aset Tahap ini sangat penting dan menentukan tahapan selanjutnya. Tujuan investigasi atau pelacakan aset ini adalah untuk mengidentifikasi aset, lokasi 126 127
Ibid. Ibid., hal. 206.
Universitas Sumatera Utara
penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini sekaligus merupakan pengumpulan alat-alat bukti. Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Dalam hal demikian, pasti terdapat hubungan yang disamarkan antara individu dengan aset-aset tersebut. Semua fakta diperiksa silang dan disatukan dengan hasil riset dari database dunia, riset catatan publik, dan pemeriksaan berkasberkas korporasi. Informasi awal ini digunakan untuk menentukan langkah investigasi selanjutnya. Praduga kedua adalah bahwa pihak ketiga akan dimanfaatkan dalam proses penyembunyiaan aset-aset tersebut. Conyngham mengungkapkan bahwa ketika perburuan aset dimulai, pihak-pihak ketiga tersebut patut dicurigai untuk didekati. Selain menjadikan mereka sebagai target, yurisdiksi yang akan dilacak harus dapat diperkirakan. Hal ini sangat penting karena kemenangan baru tercapai apabila aset yang dapat diidentifikasikan berada dalam yurisdiksi yang tidak menerapkan ketentuan pengembalian yang rumit dalam sistem hukumnya. 128 Kesulitan terbesar dalam membuktikan tindak pidana korupsi adalah mengetahui jumlah kekayaan tersangka. Pada masa sekarang orang lebih mudah memiliki properti di luar negeri, membuka rekening bank di luar garis yuridisnya dan
128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melindungi kepemilikan atas suatu properti. 129 Pencucian hasil kejahatan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UNCAC : Setiap negara peserta wajib mengadopsi, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain sejauh diperlukan, untuk menetapkan sebagai (tindak pidana) kejahatan, bilamana dilakukan dengan sengaja : a. (i) konversi atau transfer kekayaan, (padahal) diketahui(nya) bahwa kekayaan itu merupakan hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu atau (untuk tujuan) membantu seseorang yang terlibat dalam melakukan (kejahatan asal) untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya. (ii) penyembunyian atau penyamaran dari sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan dengan kekayaan, mengetahui bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil perolehan kejahatan. b. tunduk pada konsep-konsep dasar dari sistem hukumnya : (i) perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, (padahal) mengetahui, pada saat penerimaan, bahwa kekayaan itu merupakan hasil perolehan kejahatan; (ii) penyertaan dalam, keterlibatan dengan atau berkonspirasi untuk melakukan dan membantu, membujuk, memfasilitasi dan (menganjurkan) untuk melakukan satu dari tindak pidana-tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini.
Harian Indonesia Times, 24 Agustus 1991, A.T. Kerney Incorporated, perusahaan konsultan Amerika Serikat menyebutkan sejumlah besar dana dari Indonesia berada di Bank-Bank Singapura sebanyak 41 persen dari total jumlah Asian Currency unit, yakni 76 milyar dollar AS, yang dimiliki oleh oknum-oknum pejabat dan perusahaan tertentu dari Indonesia terdiri dari dana individu-individu dan perusahaan tertentu dari Indonesia terdiri dari dana individu-individu dan perusahaan tertentu sebesar 26 milyar dollar AS dan dana non Bank sebesar 50 milyar dollar AS
129
Ian Mc Walters, SC., Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, (Surabaya: JPBooks, 2006), hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 1991. Pada tahun 1997 dan setelah selesainya riwayat Orde Baru pada bulan Mei 1998 jumlahnya semakin meningkat menjadi puluhan kali, dari segi simpanan deposito warga negara Indonesia dan kerugian lainnya. 130 Semakin banyaknya dana-dana Negara Indonesia oleh oknum-oknum pejabat negara berupa deposito dan tabungan sampai saat ini, karena negara Indonesia lemah dalam proses penegakan hukum terhadap oknum-oknum pejabat negara (baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif) yang berkolusi dan nepotisme dengan pengusaha-pengusaha untuk melakukan korupsi. Walaupun telah banyak proses hukum, tetapi para pelaku tindak pidana korupsi hanya terdiri dari para pengusaha yang mudah melarikan diri keluar negeri dengan membawa hasil kejahatan keluar negeri tanpa adanya upaya-upaya hukum lainnya dengan menerapkan hukum pidana internasional (konvensi-konvensi internasional yang telah disepakati oleh para negara peserta). Jadi proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (baik polisi, jaksa, hakim) masih menerapkan hukum pidana nasional (domestik). Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh para pengusaha yang menggunakan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), antara lain yaitu: a. David Nusa Wijaya (Dirut Bank Servita) dengan kerugian negara Rp. 1,29 triliun, di vonis 8 tahun penjara. b. Samdikun Antono (Dirut Bank Modern) dengan kerugian uang negara sekitar Rp. 169 milyar di vonis 4 tahun penjara. 130
H. R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasional 2, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hal. 246.
Universitas Sumatera Utara
c. Bambang Sutrisno (Dirut Bank Surya) dengan kerugian negara sekitar Rp. 1,5 triliun, di vonis penjara semur hidup. d. Adrian Kiki Ariawan (Bank Surya) dengan kerugian negara Rp. 1,5 triliun di vonis penjara seumur hidup. e. Sudjiono Tinan (Dirut BPHI) dengan kerugian negara sekitar Rp. 2,2 triliun (Rp. 369 miliar dan Rp. 178 juta dollar AS). 131 Para terdakwa tersebut diatas sedang dalam proses hukum, telah melarikan diri ke luar negeri dengan mudah tanpa adanya penyidikan siapa dibelakang layar para terdakwa tersebut dapat dengan mudah melarikan diri ke luar negeri, aset kekayaan pribadi para terdakwa tersebut diatas termasuk kekayaan istri dan anakanaknya yang tidak diikuti dengan melakukan penyitaan terhadap kekayaan para terdakwa serta tanpa proses hukum terhadap mantan para pejabat pemerintahan yang telah memberi kemudahan untuk mendapatkan dana BLBI tanpa agunan. 132 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan informasi mengakibatkan satu negara dengan negara lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan kejahatan dan modus operandinya semakin canggih sehingga penanggulangannya diperlukan kerja sama antara negara yang satu dengan negara
131 132
Ibid., hal. 247-248. Ibid., hal. 248.
Universitas Sumatera Utara
yang lain. 133 Upaya mencari ataupun mengejar para terpidana dan tersangka beserta aset-asetnya baik didalam negeri maupun di luar negeri, maka dibentuklah Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim Terpadu adalah satuan kerja lintas departemen dibawah koordinasi Wakil Jaksa Agung. Keanggotaan Tim Terpadu terdiri dari unsur-unsur Kejaksaan Agung R.I., Kemenko Polhukam (Deputy III/Menko Polhukam Bidang Hukum dan Ham), Departemen Hukum Dan Ham (Ditjen Administrasi Hukum Umum dan Ditjen Imigrasi), Kepolisian Negara R.I. (Bareskrim dan NCB Interpol Indonesia), Departemen Luar Negeri (Ditjen Politik Hukum Keamanan dan Kewilayahan), dan Unsur PPATK. 134
133
Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. 134 Tim Terpadu Pencari Terpidana Dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi, http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=2&sm=3, diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011. Tugas Pokok : a. Menghimpun keterangan, fakta / data dan informasi dari berbagai sumber tentang tempat atau keberadaan terpidana dan tersangka tindak pidana korupsi di dalam maupun di luar negeri sebagai bahan masukan guna pengakurasian, pengolahan serta penetapan kebijakan, langkah dan tindakan lebih lanjut. b. Melakukan koordinasi dan kerjasama dalam rangka penyelidikan, pencarian dan penangkapan terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi di dalam negeri (dengan segenap jajaran pemerintah baik dengan departemen / lembaga pemerintah non departemen yang secara fungsional terkait langsung maupun tidak langsung berwenang atau berkepentingan dengan penegakan hukum, aparat keamanan serta lembaga lainnya yang diperlukan) dan di luar negeri (dengan berbagai negara dan atau pemerintahan khususnya di negara-negara yang diduga menjadi tempat beradanya terpidana atau tersangka perkara tindak pidana korupsi baik secara langsung maupun atas dukungan dari departemen luar negeri melalui Perwakilan / Kedutaan Besar Republik Indonesia). c. Menyerahkan terpidana dan tersangka tindak pidana korupsi kepada institusi penegak hukum selaku pihak yang berwenang dalam hal ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan atau kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap para tersangka untuk dilakukan / diselesaikan penyelidikan / penyidikannya. d. Melakukan upaya penyelamatan kerugian keuangan negara berupa asset hasil korupsi dan asset lainnya untuk dimasukkan kembali sebagai asset negara. e. Melaksanakan berbagai upaya antisipatif dan koordinatif dalam rangka menjamin tercapainya kecepatan dan ketepatan kebijakan, langkah dan tindak lanjut dengan pimpinan masing-masing anggota tim terpadu sejak perencanaan, pelaksanaan dan proses hukum hingga penuntasan eksekusi.
Universitas Sumatera Utara
Hasil yang telah dicapai tahun 2009 1) Pelacakan aset ECW Neloe. a. Swiss Federal Prosecutor telah mengeluarkan hasil keputusan resmi (formal decree) untuk menyita aset ECW Neloe tanggal 17 April 2009, namun pemilik rekening diberi kesempatan selama 30 hari untuk keberatan (banding) atas keputusan resmi penyitaan tersebut. b. Menindaklanjuti informasi resmi dari pihak Federal of Justice and Police of Switzerlandadatanggal 20 April 2009, maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk proses banding atas penyitaan rekening milik ECW Neloe di Pengadilan Federal Swiss adalah tanggal 17 Mei 2009. c. Jika terdapat kemungkinan Banding atas penyitaan rekening milik ECW. Neloe, maka Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta perlu melakukan diskusi dengan pihak berwenang di Swiss atas materi keberatan dari pemilik rekening (antara lain apakah ada keterkaitan dengan pihak ketiga informasi tentang pihak ketiga untuk mengetahui apakah ada keterlibatan langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana korupsi di Bank Mandiri, serta kewenangan dari pihak yang mengajukan keberatan karena ECW Neloe saat ini berstatus sebagai narapidana di Indonesia).
Fungsi : Turut serta menuntaskan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta turut serta menuntaskan perkara tindak pidana korupsi yang masih dalam proses penyelesaian (tahap penyidikan dan tahap penuntutan) dengan mengoptimalkan pencarian terpidana dan tersangka beserta asset-assetnya baik didalam negeri maupun di luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
d. Jika tidak terdapat banding terhadap penyitaan aset ECW Neloe, maka Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara peminta dapat mendiskusikan bagaimana langkah-langkah yang harus diambil guna menindaklanjuti keputusan resmi (formal decree) dari Swiss Federal Prosecutor tersebut. 2) Pelacakan keberadaan Irawan Salim dan asetnya. 135 a. Dalam pelacakan asset tersangka Irawan Salim (kasus Bank Global) di Swiss, Pemerintah Federal Swiss pada dasarnya telah dapat menyetujui permintaan MLA untuk melakukan pembekuan asset Irawan Salim sejumlah USD 9,9 juta yang berada di Bank Swiss, untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia. Sampai saat ini Tim menunggu pihak Kejaksaan Federal Swiss untuk tindak lanjutnya. b. Telah diterima nota diplomatik dari Federal Department of Justice of Switzerland tanggal 30 April 2009, yang secara resmi telah memberitahukan tentang
pemblokiran
aset-aset
dalam
rekening
di Deutschebank
of
Switzerland. c. Pemerintah
Republik
Indonesia
sebagai
Negara
Peminta
sebaiknya
mendiskusikan materi pembatasan penggunaan dokumen (reservation of speciality) yang diajukan Pemerintah Swiss terhadap aset milik Irawan Salim yang telah diblokir, serta mendiskusikan materi keberatan apa saja dari 2 (dua) pemilik rekening yang mengajukan banding di Swiss.
135
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
d. Pemerintah
Republik
Indonesia
sebagai
Negara
Peminta
sebaiknya
mendiskusikan tentang maksud reservation of speciality terhadap tindakantindakan perdata yang dimasukkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan pidana
menurut
Pasal
49
Sub
ayat
(d)
Konvensi
tentang
implementasi Schengen Agreement. e. Penyidik Kepolisian dan Penuntut Umum perlu menindaklanjuti proses hukum terhadap tersangka Irawan Salim atas tindak pidana pencucian uang yang dijadikan dasar pengajuan permintaan bantuan timbal balik ke Swiss. Karena untuk memenuhi isi permintaan untuk perampasan dan pengembalian aset, Indonesia sebagai Negara Peminta harus menyampaikan Putusan Pengadilan untuk perintah perampasan aset di Swiss. Jika terdapat hambatan proses hukum, maka Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta sebaiknya melakukan negosiasi untuk menghilangkan hambatan tersebut. f. Diperoleh fakta baru bahwa asset Irawan Salim yang berada di Swiss sudah ada sejak tahun 1998 sementara kasus Bank Global baru terjadi tahun 2004. Oleh karena itu Tim Terpadu sedang meminta kepada penyidik Bareskrim untuk melakukan tindakan hukum penyidikan lanjutan dengan meminta bantuan audit BPK/BPKP guna penelusuran aliran keuangan dari Bank Global hingga ke Swiss periode sebelum tempus delictie kasus Bank Global. Disamping itu Tim Terpadu juga sedang meminta hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa BI pada Bank Global periode tahun 1998 s/d 2005 guna
Universitas Sumatera Utara
mengetahui aliran dana Bank Global periode sebelum tempus delictie kasus Bank Global. g. Diperoleh informasi adanya pergerakan masuk dan keluar Irawan Salim dan keluarganya di Kanada dan pihak NCB Interpol Indonesia telah bekerja sama dengan Interpol Kanada untuk memastikan keberadaan Irawan Salim berikut keluarganya di Kanada. h. PPATK telah mengirimkan surat kepada Jaksa Agung RI tentang pemblokiran aset Irawan Salim di Jersey. Pihak berwenang di Jersey meminta Pemerintah RI untuk mengirimkan permintaan resmi dari pihak berwenang di Indonesia kepada Kejaksaan Agung Jersey terkait pemblokiran aset tersebut karena sampai saat ini pemblokiran yang dilakukan oleh Pemerintah Jersey masih bersifat informal. 3) Pelacakan ke Australia. 136 a. Pelacakan Terpidana Adrian Kiki Ariawan. 1. Adrian Kiki Ariawan telah berhasil ditangkap oleh Australian Federal Police pada tanggal 28 Nopember 2008. Pihak Australia mengemukakan bahwa
Adrian
Kiki
Ariawan
sedang
dalam
penahanan
CDPP
(Commonwealth Director of Public Prosecutions) sejak tanggal 28 November 2008 di Hakea Prison, Negara Bagian Western Australia. pada sidang Magistratetanggal 8 Desember 2008 yang lalu, pengadilan setuju untuk tetap menahan termohon ekstradisi. 136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam sidang tanggal 16 Januari 2009 di Perth Magistrate Court, pihak pengacara yang bersangkutan menyatakan bahwa kliennya tetap pada posisi menolak permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Pemerintah RI dan menyampaikan permohonan untuk memperoleh Bail (status tahanan luar dengan jaminan). Pihak Kejaksaan Australia (CDPP) akan mempertimbangkan usulan Bail tersebut dan akan dibicarakan pada hearing selanjutnya rencananya akan diadakan pada tanggal 24 Maret 2009 namun dimajukan menjadi tanggal 24 Februari 2009 atas permintaan dari Kejaksaan Australia (CDPP). Pada persidangan tersebut yang bersangkutan
menolak
permohonan
ekstradisi
dan
tidak
mengajukan Bail dan tetap berada dalam tahanan. Persidangan berikutnya dijadwalkan tanggal 12-13 Agustus 2009. 3. Mengenai aset yang mungkin dimiliki oleh Adrian Kiki Ariawan di Australia, pihak Indonesia berkeinginan agar dibuka kesempatan untuk mendiskusikan mekanisme
kemungkinan MLA (Mutual
perampasan Legal
aset
tersebut
Assistance). Namun
melalui sesuai
dengan hukum Australia, pelacakan terhadap asset tersebut hanya bisa dilakukan untuk masa 6 (enam) tahun ke belakang. Sehingga untuk kasus Adrian Kiki Ariawan, hal tersebut telah melampaui masa daluarsa (statutory limitation). 4. Kedutaan Besar Australia menginformasikan bahwa proses ekstradisi akan memakan waktu cukup panjang bahkan sampai beberapa tahun sampai
Universitas Sumatera Utara
terciptanya keputusan final apabila yang bersangkutan memanfaatkan semua haknya untuk banding ke pengadilan federal dan ke pengadilan tinggi. Namun Pemerintah Australia tetap akan memfasilitasi dan mempercepat
langkah-langkah
ekstradisi
dengan
mengedepankan
perjanjian ekstradisi yang sudah ada antara Indonesia dan Australia. 5. Bahwa perkembangan terakhir persidangan ekstradisi Adrian Kiki Ariawan di Australia, Pengadilan Australia memutuskan Kiki Adrian Ariawan layak di ekstradisi ke Indonesia. Berdasarkan surat dari Maggie Jackson
–
First
Secretary,
International
Crime
Cooperation
Division, Kedubes Australia tertanggal 15 Oktober 2009 diperoleh informasi bahwa berdasarkan hukum Australia, yang bersangkutan mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum, dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak putusan dijatuhkan. Namun sejauh ini Adriawan Kiki Ariawan tidak mengajukan upaya hukum atas putusan Pengadilan Megistrate tersebut, sehingga dengan demikian tahap kedua proses ekstradisi telah selesai dan masalah tersebut sekarang sedang dalam proses pertimbangan oleh Menteri Dalam Negeri Australia untuk memutuskan dapat tidaknya ekstradisi dilakukan. Selanjutnya ditambahkan bahwa apabila Mendagri Australia memutuskan untuk menyerahkan Kiki Ariawan ke Indonesia, yang bersangkutan berhak mengajukan perlawanan yang diajukan kepada Pengadilan yang lebih tinggi. Namun demikian
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Australia menjamin untuk memprioritaskan penanganan masalah ini. b. Pelacakan Aset Terpidana Hendra Rahardja. 1. Berkaitan dengan permintaan bantuan pelacakan dan penarikan kembali aset-aset Hendra Rahardja yang ditransfer dari Australia ke Hong Kong, Pemerintah Australia melalui Keputusan The New South Wales Supreme Court telah memerintahkan kepada South East Group (SEG) di Hong Kong untuk mengalihkan asset terpidana Hendra Rahardja sebesar USD 398,478,87 ke Australia untuk diserahkan kepada Pemerintah RI. 2. Guna tindak lanjutnya pemerintah Australia telah meminta kepada Direktur Perjanjian Internasional Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM agar dibuka rekening khusus untuk menerima / menampung dana sebesar USD 398,478,87 tersebut. 3. Untuk memenuhi maksud tersebut Kejaksaan Agung telah menyampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM rekening penampungan dana tersebut yaitu pada Bank Rakyat Indonesia Nomor : 000001933-01-000638-30-1 atas nama bendaharawan pengeluaran Kejaksaan Agung RI dan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan surat tanggal 27 Juli 2006 telah diteruskan kepada Jaksa Agung Australia. 4. Perkembangan terakhir untuk penanganan aset terpidana Hendra Rahardja, pada tanggal 8 Desember 2009 bertempat di Departemen Hukum dan HAM telah dilakukan penyerahan aset tersebut secara simbolis dari pihak
Universitas Sumatera Utara
berwenang Australia kepada Tim Terpadu dan pihak Departemen Hukum dan HAM sebagai Central Authority 137 , dana sebesar 493.647,07 Dollar Australia yang akan ditransfer ke Nomor Rekening : 000001933-01000638-30-1 atas nama bendaharawan pengeluaran Kejaksaan Agung RI. 4). Pelacakan tersangka Maria Pauline Lumowa dan asetnya.138 a. Bahwa Menteri Hukum dan HAM dengan surat Nomor : M.HH.AH.08.02-13 tanggal 29 April 2009 telah menyampaikan permintaan bantuan hukum timbal balik dan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang disampaikan melalui saluran diplomatik Departemen Luar Negeri. b. Terdapat informasi bahwa tersangka Maria Pauline Lumowa telah mengetahui upaya Pemerintah RI untuk melacak, membekukan, menyita dan merampas aset miliknya di Belanda sehingga terdapat upaya dari yang bersangkutan untuk menjual dan mengalihkan aset-aset tersebut baik yang bergerak dan tidak bergerak. c. Permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik dan Ekstradisi didasarkan pada Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) dan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (UNTOC). Dalam ketentuan di kedua Konvensi tersebut, jika pemerintah Belanda menolak untuk mengekstradisi
137
Lihat Adi Asyari, Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Penyitaan Dan Perampasan Asset Korupsi, jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410794105.pdf, diakses terakhir tanggal 4 Maret 2011, bahwa Central Authority mempunyai peran ganda, yang pertama, peran di dalam negeri sebagai koordinator untuk meminta dan melengkapi data-data permintaan dari instansi-instansi di dalam negeri, kedua, peran kerjasama dengan negara asing sebelum formal request dibuat. 138 Tim Terpadu Pencari Terpidana Dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi, http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=2&sm=3, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
tersangka Maria Pauline Lumowa maka Belanda mempunyai kewajiban sebagai Negara Pihak dalam Konvensi tersebut untuk menuntut yang bersangkutan berdasarkan hukum nasionalnya. 139 Jaksa Agung Basrief Arief dalam Konferensi International Association of Prosecutor (IAP) ke-7, menyatakan kerja sama lintas negara perlu dikembangkan demi terwujudnya penegakan hukum. Penanganan kasus korupsi terhambat oleh otoritas atau yurisdiksi negara lain. Untuk itu, ada beberapa model hukum internasional yang dapat digunakan untuk menyikapi kendala-kendala dalam penanganan kejahatan lintas negara, seperti melalui sarana pengajuan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (Mutual Legal Assistant–MLA) dan ekstradisi. 140 Menurut Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional : perjanjian bantuan hukum timbal balik cukup efektif untuk melacak aset koruptor. Dengan perjanjian itu, kedua negara yang bekerja sama akan saling mengikat, sehingga bila ada permohonan dari Indonesia, negara yang bersangkutan wajib menindaklanjutinya. 141
139
Ibid. Novrieza Rahmi, Kerja Sama, Kunci Penanganan Transnational Crimes, http://202.153.129.35/berita/baca/lt4d836dc794451/kerja-sama-kunci-penanganan-transnational-crime , diakses terakhir tanggal 16 Mei 2011. 141 Yandhrie Arvian, Bagja Hidayat, Timbal Balik Menjerat Koruptor, , http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/05/01/EB/mbm.20060501.EB119121.id.html diakses terakhir tanggal 19 Maret 2011. Lihat juga Pasal 46 ayat (15) UNCAC : Permintaan untuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana harus memuat: (a) identitas (jati diri) dari otoritas yang membuat permintaan; (b) pokok masalah dan sifat investigasi, penuntutan, atau proses peradilan yudisial yang (berkaitan), dan nama serta (tugas-tugas) (fungsi-fungsi) otoritas yang menentukan investigasi, penuntutan atau proses peradilan yudisial; (c) ringkasan fakta-fakta yang relevan, kecuali yang menyangkut permintaan untuk tujuan pelayanan dokumen-dokumen yudisial; (d) deskripsi (gambaran) mengenai bantuan yang dicari dan rincian dari proses tertentu ingin diikuti oleh Negara Peserta yang meminta; 140
Universitas Sumatera Utara
Kerja sama ini, dapat dilakukan karena ada beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Beberapa di antaranya adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 7 Tahun 2006, dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCTOC) Tahun 2000 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 5 Tahun 2009. 142 Kerjasama penegakan hukum untuk memberantas korupsi diatur dalam ketentuan UNCAC. Pasal 48 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), antara lain: 1. Negara-Negara Peserta wajib bekerjasama secara erat satu dengan lainnya, bersesuaian dengan sistem hukum dan administrasi nasional mereka masingmasing, untuk meningkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum untuk memerangi kejahatan-kejahatan yang dicakup dalam konvensi ini. Setiap Negara Peserta wajib, secara khusus, mengambil tindakan-tindakan yang efektif: (a) Untuk meningkatkan dan, dimana diperlukan, membangun jalur-jalur komunikasi antara otoritas-otoritas, “instansi” mereka yang berwenang untuk memudahkan pertukaran secara cepat dan aman informasi mengenai seluruh aspek kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini termasuk, jika Negara-Negara Peserta yang terkait menganggap ini layak, hubungan-hubungan dengan kegiatan-kegiatan kejahatan lainnya; (b) Untuk bekerjasama dengan Negara-Negara Peserta lainnya dalam melakukan penyelidikan berkenaan dengan tindak pidana yang dicakup oleh konvensi ini mengenai: (i) Identitas, keberadaan dan kegiatan-kegiatan dari orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan-kejahatan tersebut atau lokasi dari orang-orang lain yang terkait; (ii) Pemindahan hasil-hasil kejahatan atau kekayaan yang berasal dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan itu; (e) dimana mungkin, identitas, lokasi dan kebangsaan dari orang yang terkait; dan (f) tujuan untuk mana bukti-bukti, informasi dan sesuatu tindakan itu dicari (diminta). 142 Novrieza Rahmi, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
(iii) Pemindahan kekayaan, perlengkapan atau alat-alat pembantu lainnya yang digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dalam melakukan kejahatan-kejahatan tersebut; (c) Mengadakan, jika layak, item-item yang diperlakukan atau (sejumlah substansi) untuk tujuan-tujuan analitis atau investigatif; (d) Tukar-menukar informasi dimana layak, dengan Negara-Negara Perserta lain mengenai (cara-cara) dan metode-metode khusus yang digunakan untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini, termasuk penggunaan identitas palsu, dokumen-dokumen yang dipalsukan, diubah atau dokumen palsu dan kegiatan-kegiatan untuk (tujuan) menyembunyikan dengan (cara) (sarana) lainnya. (e) Memudahkan koordinasi yang efektif antara otoritas-otoritas, “badan/instansi” mereka yang berwenang dan mempromosikan pertukaran personil dan ahli-ahli, termasuk, sesuai perjanjian-perjanjian atau pengaturan-pengaturan bilateral antara Negara-Negara Peserta yang terkait, penempatan perwira penghubung; (f) Tukar-menukar informasi dan mengkoordinir tindakan-tindakan administratif dan tindakan-tindakan lain selayaknya untuk tujuan identifikasi awal kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh konvensi ini. 2. Dengan maksud untuk mengefektifkan Konvensi ini, Negara-Negara Peserta wajib mempertibangkan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral atau pengaturan-pengaturan kerjasama langsung antara “badan/instansi” penegak hukum mereka dan mengubahnya jika perjanjianperjanjian atau pengaturan-pengaturan itu sudah ada. Dalam ketiadaan perjanjianperjanjian atau pengaturan-pengaturan antara Negara-Negara Peserta yang terkait, Negara-Negara Peserta dapat mempertimbangkan untuk menjadikan Konvensi ini sebagai (basis) (landasan) untuk kerjasama penegakan hukum timbal balik berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini. Manakala layak, Negara-Negara Peserta (wajib) sepenuhnya memanfaatkan perjanjianperjanjian atau pengaturan-pengaturan, termasuk organisasi-organisasi internasional atau regional, untuk meningkatkan kerjasama antara “badan/instansi” penegakan hukum mereka.
Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik,
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara. 143
2. Tahap Kedua, Pembekuan Atau Perampasan Aset Kesuksesan investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu pembekuan atau perampasan aset. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (KAK 2003), pembekuan atau perampasan berarti larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindah kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh di bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya. Jika aset-aset yang dibekukan atau dirampas berada dalam yurisdiksi hukum negara korban, berdasarkan perintah tersebut pembekuan atau perampasan dapat langsung dilaksanakan. 144 Jika aset-aset tersebut berada di luar yurisdiksi hukum negara korban, tetapi berada dalam yurisdiksi hukum negara lain (negara penerima), pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari negara penerima. Ada dua kemunginan cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan dari negara korban dalam yurisdiksi hukum negara 143
I, Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, ejournal.unud.ac.id/.../stolen%20aset%20recovery%20_gst%20kt%20ariawan_%20jan%202009%20w rd(1).pdf , diakses terakhir tanggal 3 Maret 2011. 144 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
penerima. Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang negara lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan. Akan tetapi, jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan badanbadannya melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan dari badan yang berwenang negara lain, otoritas negara korban harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang negara penerima untuk mengeluarkan perintah pembekuan atau perampasan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah yang ditempatkan di negara penerima tersebut. Idealnya negara penerima harus melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengizinkan badan yang berwenang negara penerima membekukan atau merampas aset-aset berdasarkan perintah pembekuan atau perampasan yang dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang yang dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban. Perintah pembekuan atau penyitaan dari badan yang berwenang negara korban setidak-tidaknya harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama, perintah tersebut harus mengadung dasar yang beralasan, sehingga badan yang berwenang negara penerima yakin bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut; kedua, aset-aset yang dimintakan pembekuan atau perampasannya merupakan objek perintah yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. 145
145
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perampasan dalam konteks tindak pidana korupsi, merupakan bagian dari proses mekanisme pengembalian aset (Asset Recovery), dikatakan oleh Matthew H. Fleming bahwa : Pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; Kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil/keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; Ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya. 146 Perampasan aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu proses dalam hal sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara untuk mengembalikan kerugian atas tindak pidana korupsi yang terjadi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai suatu alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, selain itu juga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi. 147 Dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perampasan adalah pengambilalihan secara permanen atas kekayaan dengan putusan pengadilan atau badan berwenang yang lain (pasal 1 angka 7). 148 Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan atau putusan 146
Matthew H. Fleming dalam Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 103. Ibid., hal. 105. 148 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.pdf, http://www.djpp.depkumham.go.id/pembahasan-ruu/80ruu-yang-di-bahas/607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011. 147
Universitas Sumatera Utara
pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya (Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana). Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana (Pasal 1 angka 2). Dalam Pasal 16 RUU Perampasan Aset disebutkan bahwa perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. 149 Perampasan aset tindak pidana melalui jalur kepidanaan menurut Romli Atmasasmita, harus terlebih dahulu dibuktikan kesalahan orang yang menguasai aset tersebut sampai memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap; jika tidak demikian maka perampasan aset tindak pidana melanggar asas praduga tak bersalah. 150 Perampasan pidana dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak pidana dan dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara. Tata cara perampasan pidana dilakukan menurut tata cara yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. (Pasal 35 RUU Perampasan Aset (Tahun 2008)). 151
149
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf, http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43sosialisasi/842-sosialisasi-ruu-tentang-perampasan-aset-tindak-pidana.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011. 150 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 106-107. Lihat Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan : Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 151 Rancangan Undang-Undang Republtik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Perampasan Aset, http://www.djpp.depkumham.go.id/rancangan.html , diakses terakhir tanggal 15 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan, bahwa apabila suatu barang disita dan diajukan dalam pemeriksaan sidang, nasib barang tersebut kemudian ditentukan dalam putusan hakim. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan penyelesaiannya yaitu: 1. Dirampas untuk negara. Perampasan ini adalah merupakan pidana tambahan. 2. Dimusnahkan. Tindakan ini merupakan tindakan kepolisian, bukan merupakan tindakan tambahan. 3. Dikembalikan kepada yang paling berhak, hal ini merupakan tindakan perdata. Apabila secara tegas ditentukan bahwa barang itu dikembalikan kepada seseorang, maka kewajiban penuntut umum untuk mengembalikan kepada orang tersebut. Sedangkan apabila tidak secara tegas disebutkan kepada seseorang pemgembalian barang tersebut, maka hal ini dapat diselesaikan secara “damai” atau melalui perkara perdata, atau secara administratif. Suatu barang yang dicuri dari pemiliknya, dimana pemilik tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, tidak termasuk barang yang boleh dirampas. Demikian juga suatu barang yang dicuri yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan, dan barang tersebut bukan merupakan barang yang terlarang, juga tidak termasuk barang yang dapat dirampas. 152 Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) KUHP dapat diketahui bahwa barang yang dirampas melalui putusan hakim pidana adalah: 1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat, cek palsu dari kejahatan pemalsuan uang; 2. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya. 153 152
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press. 2010), hal. 156. Lihat Mohammad Ekaputra, Ibid., Corpora delictie dan instrumenta delictie yang dapat dirampas itu haruslah kepunyaan terpidana. Andi Hamzah menyebutkan, bahwa jika suatu benda itu dimiliki bersama dengan orang lain, maka ada dua pendapat: 1. ada yang mengatakan tidak dirampas. Pompe dan Vos berpendapat bahwa barang demikian dapat dirampas dengan menunjuk arrest, Hoge Raad 16 Desember 1981. 2. ada pula yang berpendapat dapat dirampas. Noyon-Langemeijer mengatakan tidak dapat dirampas, karena suatu hak tidak dapat dirampas, sedangkan milik bersama ini adalah suatu hak. 153
Universitas Sumatera Utara
Menurut Andi Hamzah dan Siti Rahayu, perampasan sebagai pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim, merupakan tindakan mencabut hak milik atau suatu barang dari orang yang mempunyainya dan barang itu dijadikan milik pemerintah (untuk dirusak atau dijual untuk negara). Pidana perampasan barang ini hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan dilakukan untuk semua barang. Perlu diperhatikan, bahwa pidana perampasan barang-barang tertentu, berbeda dengan pengertian penyitaan menurut penafsiran otentik dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP. 154 KUHAP menggunakan istilah “benda”. Hal ini dirumuskan dalam penjelasan pengertian pada pasal 1 angka 16 tentang penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Istilah “aset” yang dipergunakan dalam Draft RUU ini memiliki pengertian yang tidak sama dengan istilah “benda” yang dipergunakan dalam KUHAP. KUHAP lebih menekankan kepada benda (barang) yang terkait dengan tindak pidana, termasuk benda hasil tindak pidana, sedangkan “aset” dalam Draf RUU lebih ditujukan kepada benda (bergerak-tidak bergerak, berwujud-tidak berwujud) yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana. Rumusan dalam Draf RUU ini tidak sama dengan jenis aset yang dapat dirampas dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencakup juga aset yang
154
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk melakukan tindak pidana dan bahkan aset yang diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Jika draf RUU ini hendak mengatur tentang Aset Tindak Pidana, sebaiknya rumusan Pasal 1 dan Pasal 2 yang mengatur tentang batas pengertian aset tindak pidana disesuaikan dan mengacu kepada rumusan yang secara tersirat dalam KUHAP, yaitu benda atau aset yang dipergunakan sebagai alat tindak pidana dan hasil tindak pidana. 155 Pasal 2 Draf RUU Perampasan Aset (Tahun 2008), menyatakan bahwa benda atau aset yang dirampas adalah: a. aset yang (diduga) diperoleh secara langsung maupun tidak langsung berasal dari tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamannya kemudian dikonversi, diubah atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan atau diperoleh lansung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut; b. aset yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana maupun prasarana untuk melakukan tindak pidana; c. aset yang terkait dengan tindak pidana yang tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya, atau alasan lain; dan/atau d. aset lainnya yang sah sebagai pengganti aset tindak pidana.
Termasuk aset yang dapat dirampas berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan aset Tindak Pidana ini adalah aset yang berupa barang temuan. Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
155
Mudzakir, Penelusuran, Penyitaan, Perampasan Dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana, Makalah sebagai bahan Focus Group Discussion (FGD) tentang Penyitaan dan Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Departemen bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2009, http://www.legalitas.org/content/penelusuran-penyitaan-perampasan-dan-pengelolaan-aset-tindakpidana , diakses terakhir tanggal 12 Desember 2010.
Universitas Sumatera Utara
disebutkan bahwa aset tindak pidana yang dapat dirampas adalah aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. 156 Bila dalam suatu berkas perkara, ada bangunan/rumah serta tanahnya yang dijadikan barang bukti, maka selain bangunan/rumah agar tanah dimana bangunan/rumah didirikan ikut pula disita dengan cara menyita sertifikat asli tanah, surat-surat jual beli tanah dan surat lain yang ada hubungan dengan pemilikan atas tanah tersebut. Penyitaan tersebut diberitahukan secara resmi kepada Kepala Badan Pertanahan Kota/Kabupaten, sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, selain itu penyitaan dilaksanakan dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan 2 orang saksi, sesuai dengan ketentuan Pasal 129 KUHAP. Apabila kepentingan penyidikan tidak memerlukan lagi, maka benda yang disita dikembalikan kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada mereka yang paling berhak. 157
156
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (Jakarta: Timpani, 2010), hal. 92. Lihat juga, Pasal 95 dan Pasal 96 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, http://www.djpp.depkumham.go.id/rancangan.html , Pasal 95: (1) Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun. (2) Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya dikenakan tindakan. (3) Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Pasal 96: Barang yang dapat dirampas adalah : a. barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana; b. barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana; c. barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana; d. barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; dan/atau e. barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana. 157 Marwan Effendy, Ibid., hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
Draf RUU Perampasan Aset (Tahun 2008), menunjukkan adanya perluasan benda yang dapat disita dari ketetuan yang diatur dalam KUHAP yaitu: a. Aset yang diduga diperoleh secara tidak langsung berasal dari tindak pidana (Pasal 2 ayat (1) huruf a.). Ketentuan mengenai tidak langsung dari tindak kejahatan juga dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 158 b. Aset yang yang diduga akan dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana (Pasal 2 ayat (1) huruf b.). c. Aset yang terkait dengan tindak pidana (Pasal 2 ayat (1) huruf c) d. Aset yang sah sebagai pengganti asset tindak pidana (Pasal 2 ayat (1) huruf d). Aset dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan huruf d tersebut sesungguhnya merupakan penjelasan tentang asset, tidak termasuk kategori jenis asset tindak pidana yang dapat disita atau dirampas. Karena merupakan penjelasan yang berisi perluasan, sebaiknya dimuat dalam ayat tersendiri atau pasal yang memuat perluasan norma sebelumnya atau dimuat dalam penjelasan pasal. 159 Sehubungan dengan hal tersebut menurut Mudzakir, Draf RUU Perampasan Aset (Tahun 2008) dalam pasal 2, memuat norma hukum yang substansinya menyatukan untuk semua aset atau benda yang terkait dengan tindak pidana, dengan 158
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. 159 Mudzakir, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
maksud menyempurnakan dilakukan dengan cara: Pertama, jenis benda (atau aset) mengacu kepada norma hukum tentang jenis benda (atau aset) yang dapat disita dan dirampas (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP). Kedua, jika dipandang perlu, mengingat perkembangan hukum pidana dan praktek hukum ditambah jenis aset tertentu yang belum masuk ke dalam jenis aset dalam KUHAP. Benda/asset tindak pidana yang perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam perluasan jenis benda/aset hasil tindak pidana secara lengkap sebagai berikut: 1. Aset tindak pidana: a. Aset yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana b. Aset yang hasil dari tindak pidana (langsung) c. Aset yang hasil tindak pidana yang telah diubah dalam bentuk aset lain (perubahan aset langsung) 2. Aset sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayarkan. 3. Aset sebagai pengganti aset hasil tindak pidana (contoh: Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ). 4. Aset yang dijadikan jaminan bagi tersangka/terdakwa atau terpidana. 5. Aset hasil dari perbuatan melawan hukum, hukum administrasi atau hukum perdata, yang terkait dengan kewajiban membayar kepada negara (hak tagih negara) yang diduga akan digelapkan atau tidak dibayarkan yang perbuatan tersebut termasuk kategori tindak pidana. 6. Aset yang tidak ada atau tidak diketahui pemiliknya dengan berbagai alasan yang diduga hasil dari tindak pidana.
Dari benda/asset tersebut dapat dijelaskan: a. Aset yang boleh dirampas adalah “aset tindak pidana” dan benda/asset yang berhubungan dengan tindak pidana yang tidak langsung tidak dapat dijadikan objek perampasan asset. b. Hubungan benda/asset dengan tindak pidana adalah hubungan yang bersifat langsung yaitu: 1. Benda/aset yang dipergunakan untuk “persiapan” melakukan tindak pidana yang dapat dipidana (ada persiapan yang tidak dapat dipidana). 2. Benda/aset yang dipergunakan untuk “percobaan” melakukan tindak pidana yang dapat dipidana (ada percobaan yang tidak dapat dipidana). 3. Benda/aset yang dipergunakan untuk “melakukan tindak pidana”.
Universitas Sumatera Utara
4. Benda/aset yang “hasil tindak pidana” dan benda/asset yang sudah diubah dengan segala bentuk dan perwujudannya. c. Termasuk Aset Tindak Pidana adalah aset yang dijadikan jaminan utk memenuhi kewajiban berdasarkan putusan pengadilan: 1. Membayar pidana denda. 2. Membayar pidana ganti kerugian keuangan negara (Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001). 3. Jaminan bagi tersangka/terdakwa yang apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya d. Benda/aset yang tidak diketahui pemiliknya dan diduga hasil tindak pidana e. Benda/aset lain yg dapat disita dan dirampas menjadi milik negara benda/aset yang berasal dari perbuatan melawan hukum yang bukan tindak pidana, sebaiknya dimuat dalam bab tersendiri. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kehadiran Draf RUU ini sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum pidana nasional Indonesia. Apabila Draf RUU merumuskan norma sendiri tentang asset tindak pidana yang berbeda dengan norma hukum pidana lain yang telah ada (maksudnya rumusan dalam KUHAP) dapat menyulitkan dalam praktek penegakan hukum pidana. 160
3. Tahap Ketiga, Penyitaan Aset-Aset KAK 2003 memberikan pengertian penyitaan, termasuk penyerahan jika diperlukan, adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas-otoritas yang berkompeten lainnya. Apabila dihubungkan dengan tindak pidana korupsi, penyitaan, termasuk penyerahan, apabila diperlukan, merupakan pencabutan secara permanen aset-aset dari penguasaan dan/atau kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan perintah pengadilan atau
160
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
badan yang berwenang lainnya. Jadi penyitaan merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. 161 Menurut Michael Levi, negara mempunyai justifikasi/pembenaran untuk melakukan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui penyitaan dengan alasan: 1. alasan pencegahan (prophylactic) yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali terhadap aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan tindak pidana lain di kemudian hari. 2. alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak mempunyai alasan hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah tersebut. 3. alasan prioritas yaitu karena tindak pidana memberikan prioritas kepada negara yang menjadi korban untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah dari pada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana. 4. alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memilki kepentingan selaku pemilik aset tersebut. 162 KAK 2003 tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan hukuman/pinalti seperti didefinisikan dalam Konvensi tentang Pencucian, Pelacakan, Perampasan, dan Penyitaan atas Hasil-Hasil Kejahatan dari Dewan Eropa (Convention on Laundering, Search, Seizure dan Cosciscation of the Proceeds from Crime (CLSCPC) dari Council of Europe. Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai sebuah hukuman atau tindakan, yang diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai akibat dari pencabutan yang permanen atas kekayaan. Biasanya perintah penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang
161
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 215 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta: Solusi Publishing, 2010, hal. 58-59. 162
Universitas Sumatera Utara
berwenang dari negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana di negara korban. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada kemungkinan bagi Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan. Dengan perintah penyitaan, pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban meminta negara penerima untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut. Ketika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut, perintah penyitaan dapat dilaksanakan. Namun, jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan otoritasnya melaksanakan perintah penyitaan dari negara lain (negara korban), badan yang berwenang dari negara korban harus mengajukan permintaan kepada otoritas negara penerima untuk menerbitkan perintah penyitaan atas aset-aset tersebut. 163 Ketentuan-ketentuan penyitaan dalam KAK 2003 mewajibkan Negara Pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam rangka melaksanakan permohonan penyitaan dari negara korban. KAK 2003 juga meminta Negara Pihak untuk melakukan tindakan-tindakan legislasi dan tindakan-tindakan lain yang perlu untuk pelaksanaan perintah penyitaan dari negara korban. Namun, sebagaimana ditetapkan dalam KAK 2003, tindakan-tindakan tersebut harus berdasarkan sistem hukum nasional negara pihak. KAK 2003 tidak mengatur jenis penyitaan dalam pengembalian aset. Sementara prosedur-prosedur penyitaan beragam menurut sistem163
Ibid., hal. 215-216.
Universitas Sumatera Utara
sistem hukum yang berbeda. Hal ini menimbulkan dilema hukum dalam pelaksanaan penyitaan. 164 Penyitaan berasal dari kata “sita”, yang dalam perkara pidana berarti penyitaan yang dilakukan terhadap barang bergerak/tidak bergerak milik seseorang, untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana. Jadi penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik tersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungan dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian. 165 Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 16 KUHAP, dapat diketahui bahwa benda yang dapat disita/benda sitaan yang dalam beberapa pasal KUHAP yaitu Pasal 8 ayat (3) huruf b, 40, 45 ayat (2), 46 ayat (2), 181 ayat (1), 194, 197 ayat (1) huruf I, 205 ayat (2) dinamakan juga sebagai “barang bukti” yang berfungsi untuk kepentingan pembuktian dalam penyelidikan, penuntutan dan peradilan. 166 Memperhatikan pengertian penyitaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP, kata “…mengambil alih”, seolah-olah benda yang akan disita, semula adalah kepunyaan penyidik dan kemudian bendanya dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula. Karena itu kata “mengambil alih” kurang tepat
164 165
Ibid., hal. 217. Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hal.
54. 166
HMA. Kuffal, Tata Cara Penggeledahan dan Penyitaan, (Malang: UMM Press, 2005),
hal. 21-22.
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan dalam tindakan penyitaan pada tindak pidana, sehingga lebih tepat digunakan kata “menaruh” karena bersifat upaya paksa. 167 Terlepas dari pada persoalan kata-kata yang kurang tepat di atas, penyitaan dalam pengertian hukum acara pidana yang digariskan oleh KUHAP adalah “upaya paksa” yang dilakukan penyidik untuk : 1) mengambil atau merampas sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tetapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara melawan hukum (wederechtelyk). 2) setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya. 168 Tindakan penyitaan dalam bentuk tertentu adalah tindakan hukum pemblokiran yaitu pembekuan sementara Aset Tindak Pidana dengan tujuan untuk mencegah dialihkan atau dipindahtangankan (pasal 1 angka 4 RUU Perampasan Aset (Tahun 2008). Sesuai dengan konsep dasar dalam KUHAP bahwa benda/asset yang dapat disita dan dirampas adalah benda yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, maka perampasan asset dasarnya harus ada dugaan terjadinya tindak pidana. Prosedur perampasan benda/asset didahului dengan adanya dugaan terjadinya tindak pidana dan benda yang diduga dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau hasil tindak pidana dilakukan penyitaan dan perampasan benda tersebut. Asas hukum yang mendasari KUHAP terkait dengan penyitaan dan perampasan benda/aset bahwa benda/aset yang menjadi hak milik orang tidak boleh disita dan dirampas kecuali atas
167
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1985), hal. 285. 168 Ibid., hal. 286.
Universitas Sumatera Utara
izin dari pengadilan. Oleh sebab itu, meskipun benda/asset yang diduga dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau hasil tindak pidana juga tidak boleh disita atau dirampas, kecuali atas izin dari pengadilan. 169 Ketentuan mengenai penggeledahan dan penyitaaan barang, benda, atau harta kekayaan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, berdasarkan atas surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Pasal 42 : Ketua pengadilan negeri setempat dapat mengeluarkan surat izin penggeledahan dan penyitaan sehubungan dengan suatu barang atau benda apabila diyakini bahwa di dalam atau pada suatu tempat terdapat barang, benda, atau harta kekayaan yang: a. diduga diperoleh atau sebagai hasil dari suatu tindak pidana menurut hukum Negara Peminta yang telah atau diduga telah dilakukan; b. telah dipergunakan untuk melakukan atau mempersiapkan tindak pidana; c. khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; d. terkait dengan tindak pidana; e. diyakini dapat menjadi barang bukti dalam tindak pidana; atau f. dipergunakan untuk menghalangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas tindak pidana. Pasal 43 : Surat izin penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 harus memuat hal-hal sebagai berikut: a. dugaan tindak pidana yang terkait dengan dikeluarkannya surat izin; b. tempat yang dapat digeledah berdasarkan surat izin; c. uraian mengenai barang, benda atau harta kekayaan yang disetujui untuk disita; d. jangka waktu pelaksanaan surat perintah; dan 169
Lihat Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP. Ayat (1) : Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Ayat (2) : Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Lihat juga Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa atau terpidana tindak pidana korupsi dapat dilakukan tanpa harus meminta izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, yaitu: (1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini.
Universitas Sumatera Utara
e. persyaratan dan kondisi lainnya yang berhubungan dengan barang, benda, atau harta kekayaan tersebut. Pasal 44: (1) Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 memberi kewenangan kepada petugas kepolisian atau kejaksaan untuk melaksanakan penggeledahan dan penyitaan. (2) Tindakan penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hukum acara pidana. KUHAP mengatur dan memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Akan tetapi benda yang tidak dapat disita terbatas pada benda yang ada hubungannya dengan terjadinya tindak pidana. Tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tersebut semata-mata untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Mencermati uraian tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan penyitaan yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana dapat dianggap/dinilai sebagai tindakan penyitaan yang tidak sah (bertentangan dengan hukum). Terhadap benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan telah diatur secara rinci dalam Pasal 39 KUHAP. Ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mepersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
Menyimak semua ketentuan isi pasal dimaksud di atas, telah digariskan prinsip hukum dalam penyitaan benda. Prinsip itu menegaskan bahwa benda yang dapat disita menurut KUHAP hanya benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Jika suatu benda tidak ada kaitannya dengan keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap benda-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita. Oleh karena itu, penyitaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum, dan dengan sendirinya penyitaan tidak sah. Konsekwensinya orang yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada praperadilan apabila masih dalam tingkat penyelidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah diperiksa di persidangan. 170 Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut Pasal 95 KUHAP menegaskan terhadap pejabat yang melakukan penyitaan yang tidak sah tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian melalui Praperadilan. 171
4. Tahap Keempat, Pengembalian Dan Penyerahan Aset-Aset Kepada Negara Korban Setelah melalui tahap penyitaan barulah dapat dilakukan tahap keempat terhadap aset-aset yang disita, yaitu pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian aset-aset, baik negara penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan tindakan lainnya 170
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Op.cit.,
171
HMA. Kuffal, Op.cit., hal. 50.
hal. 297.
Universitas Sumatera Utara
menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut. 172 Pengembalian aset merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang baru dalam hukum pidana pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 173 Pengembalian aset hasil kejahatan merupakan suatu perkembangan hukum dengan perspektif yang relatif baru dalam upaya memerangi dan memberantas kejahatan, yakni dari suspect-oriented perspective ke profitoriented perspective, suatu perspektif orientasi pada konfiksasi hasil-hasil kejahatan yang diperoleh, dikuasai, dan dinikmati oleh para pelaku kejahatan. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan atau criminal person (in personam), tetapi pada aset hasil kejahatan atau criminal property (in rem atau fructus sceleris). 174 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (KAK) 2003, tidak dijelaskan pengertian pengembalian aset. Menurut Matthew H. Fleming dalam dunia internasional, tidak ada defenisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan defenisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana dan/atau dari sarana tindak pidana. Dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi mengacu kepada proses pelaku tindak pidana korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan
172
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 231. Ibid., hal. 102. 174 Purwaning M. Yanuar, Bukan RUU Perampasan Aset , http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=232893 , diakses terakhir tanggal 10 Desember 2010. 173
Universitas Sumatera Utara
haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lain. Pendapat Fleming tersebut lebih menekankan pada: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil/keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat/sarana melakukan tindak pidana lainnya. 175 Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi melalui jalur kepidanaan
(criminal procedure) diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan pasal 38 ayat (5), pasal 38 ayat (6) dan pasal 38 B ayat (2) dengan proses penyitaan dan perampasan. Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa 176 :
175
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Op.cit., hal. 102-104. Lilik Mulyadi, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:pengembalian-aset-assetrecovery-pelaku-tindak-pidana-korupsi-menurut-undang-undang-korupsi-indonesia-pasca-konvensipbb-anti-korupsi-2003&catid=23:artikel&Itemid=36 , diakses terakhir tanggal 26 Maret 2011. 176
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Pengembalian aset hasil korupsi dapat dibedakan kedalam dua kelompok
besar, yaitu pengembalian aset hasil korupsi yang berada di Indonesia dan pengembalian aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Untuk yang terakhir
Universitas Sumatera Utara
peluang untuk mewujudkannya terbuka dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 yang merupakan ratifikasi atas United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Sekalipun sesuai dengan sifatnya sebagai hukum yang berasal dari konvensi internasional, yang masih membutuhkan pemberian bentuk positif (Roeslan Saleh: 1983) lebih lanjut, mengingat belum dapat berlaku langsung sebagai hukum positif, tetapi paling tidak dengan meratifikasinya membuka kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan prosedur dan protokol pengembalian aset hasil korupsi yang diatur didalamnya. Dalam konvensi ini disadari bahwa kepentingan untuk dapat menarik kembali aset hasil korupsi di luar negeri praktis hanya dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional. Hal ini menjadi motivasi utama bagi Indonesia untuk
menandatangani
UNCAC
2003
(Romli
Atmasasmita:
2004)
dan
meratifikasinya. Mengingat, salah satu arti penting konvensi ini bagi Indonesia, adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006). 177 Bagian yang terpenting dalam penegakan hukum pidana adalah pemulihan kembali dampak kejahatan. Hukum pidana (materiil dan formil) tidak menjadikan pemulihan dampak kejahatan sebagai bagian dari substansi penegakan hukum pidana sehingga tidak menjadi bagian integral dalam hukum pidana (materil dan formil).
177
Chairul Huda, Problematika Seputar Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
Persoalan pemulihan dampak kejahatan dalam hukum acara pidana merupakan persoalan yang terkait dengan fundamental hukum pidana dan pemidanaan yakni terkait dengan landasan filsafat dari sistem hukum pidana dan pemidanaan dalam suatu Negara. 178 Sistem hukum pidana belum menjadikan sepenuhnya pemulihan dampak kejahatan sebagai bagian substansi dari sistem hukum pidana nasional sehingga pemulihan dampak kejahatan tidak menjadi sasaran/fokus materi hukum pidana yang penting. Hukum pidana yang berlaku sekarang mengenai pemulihan dampak kejahatan hanya sebagai simbolik dalam penyelenggaraan hukum pidana, konsekuensinya kepentingan pemulihan dampak kejahatan diatur secara tidak langsung dan bersifat abstrak. Jika ada ketentuan hukum pidana yang mengatur pemulihan dampak kejahatan bersifat parsial yang tidak memiliki alas teori dan filsafat hukum pidana sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan dalam praktek penegakan hukum pidana. 179 Adanya celah substantif mengenai pemulihan dampak kejahatan membawa kompleksitas
persoalan
tindakan
hukum
oleh
aparat
hukum
pada
tahap
implementasinya. Pada satu sisi aparat dituntut cepat tanggap terhadap implikasi hukum dari kejahatan, namun disisi lain bahwa tindakan aparat penegak hukum harus berdasarkan pada asas legalitas, hal ini membawa dampak kurang efektifnya penegakan hukum di tingkat implementasi karena cerobohnya formulasi hukum sejak
178 179
Mudzakir, Op.cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diundangkan. Lebih jauh bahwa pada tahap implementasi hukum sering ditemukan kebocoran-kebocoran formulasi hukum yang bermuara pada tindakan kesewenangwenangan serta memunculkan celah hukum untuk “dimainkan” oleh oknum aparat hukum yang bermental korup dalam suatu proses penegakan hukum. Dengan diaturnya ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik dalam Pasal 46 Bab IV KAK 2003 tentang kerja sama internasional, diharapkan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi efektif dan efisien dapat terlaksana. 180 Penggunaan instrumen hukum bantuan hukum timbal balik dalam pengembalian asetaset korupsi, menurut Addullahi Shehu, mempunyai beberapa keuntungan yaitu: Efektif dalam menjamin alat-alat bukti, efesien dalam investigasi kasus-kasus pidana karena melalui otoritas sentral, dapat mengatasi masalah kerahasiaan bank dan tidak adanya biaya advokat yang biasanya mahal. Sedangkan kelemahannya adalah prosedur pengembalian dana tidak jelas, dan pendekatan bilateral menghasilkan apa yang disebut sebagai hasil sepotong-sepotong, tidak sekaligus. Menurut Tim Daniel, bantuan hukum timbal balik dapat menjadi sangat efektif, tetapi sekaligus dapat menjadi proses yang lama dan berbelit-belit. Hal ini mengakibatkan banyaknya peluang bagi target yang diinvestigasi, yang memiliki banyak uang hasil tindak pidana korupsi, menggunakan sebagaian dari uang tersebut untuk menggagalkan atau memperlambat proses bantuan hukum timbal balik. 181 Upaya Indonesia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan para pelaku tindak pidana di luar negeri melalui jalur pidana, harus melalui perjanjian-perjanjian internasional untuk bantuan hukum timbal balik, baik bilateral maupun multilateral, dengan negara-negara penerima atau dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional. Indonesia, sebagaimana juga dengan
180 181
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 233. Ibid., hal. 236.
Universitas Sumatera Utara
115
negara atau organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, harus tunduk dan terikat pada norma-norma dasar perjanjian dalam hukum internasional dalam pembuatan perjanjian hukum timbal balik tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. 182
182
Ibid., hal. 241.
Universitas Sumatera Utara