34
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM KORUPSI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Perkembangan
Perundang-undangan
Tindak
Pidana
Korupsi
di
Indonesia sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 1. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April 1957 Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan. 35 Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.
35
Sudarto, Op. cit, hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi. Atas dasar itu pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No. Prt/PM-06/1957. Pada bahagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan. 36 Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan harta benda. Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya,
yang
kekayaannya
diperoleh
secara
mendadak
dan
sangat
mencurigakan. Jika dalam harta benda tersebt ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi 36
Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi………dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada, maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 011/1957. 2. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda. Sudarto, 37 berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya. Adapun yang dimaksud perbuatan korupsi pidana adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tahun 1958, yaitu:
37
Ibid., hal. 129.
Universitas Sumatera Utara
a. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atua pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan; c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya dirumuskan dengan Pasal 34 peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat tahun 1958, yaitu: a. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat saja. Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan pertama. Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan yang luar biasa. Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar perbuatan-
Universitas Sumatera Utara
perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakanakan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi. 3. Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat tadi diberlakukan, lantas pemerintah memandang perlu untuk menggantinya dengan peraturan yang berbentuk undang-undang. Akan tetapi karena keadaan memaksa, dan tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah undang-undang, maka instrument hukum yang dipergunakan untuk itu adalah dengan membentuk sebuah peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-undang (Perpepu). Atas dasar itu, maka pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran Negara No. 72 Tahun 1960. Barulah kemudian pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi undang-undang, sehingga ia dikenal dengan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960. Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat dalam Peraturan Penguasa Perang Puasat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP. Mengenai rumusan korupsi yang bukan pidana dari peraturan penguasa perang pusat tidak diambil alih pengaturannya oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Meskipun demikian, di dalam penjelasan undang-undang ini terdapat keterangan yang menegaskan, bahwa korupsi yang bukan pidana diadili oleh pengadilan tinggi atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, sehingga harta benda hasil korupsi dapat dirampas. Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Bambang
Poernomo 38
dalam
hubungan
itu
mengatakan
bahwa
pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya. Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana
korupsi,
namun selama
kurun
waktu
antara
tahun 1960-1970
perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan. Dari sudut pandang aparat penegak hukum sendiri, penyebabnya antara lain adalah karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangundangan mengenai korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif maupun preventif. Kekurangan yang terdapat dalam undang-undang korupsi pada waktu itu, yang dirasakan sangat menghambat upaya penegak hukum, terutama sekali adalah mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang di dalam undang-undang itu disyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tanpa adanya unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka suatu perbuatan, meskipun bersifat koruptif, tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi.
38
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan tentang tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu, hanya terdapat di dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 berbunyi: Disebut tindak pidana korupsi ialah: a. Tindakan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat; b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatyan atau kedudukan; c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KHUP. Rumusan Pasal 1 huruf a dan huruf b tersebut di atas ternyata, bahwa untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi disyaratkan terlebih dahulu adanya suatu kejahatan atau yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran itu haruslah terlebih dahulu dibuktikan sebelum melangkah lebih lanjut pada pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan dan seterusnya. Penjelasan Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 memperjelas perlunya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut. Sebagai hal yang diutamakan. Penegasan demikian tercermin dalam kesimpulan yang terdapat di dalam penjelasan Pasal tersebut, yang menyatakan: “…………yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana apabila terjalin unsur-unsur kejahatan atau pelanggaran, sehingga berdasarkan itu
Universitas Sumatera Utara
dapat dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup berat di samping perampasan harta benda hasil korupsinya. Ternyata dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan undangundang itu, dengan persyaratan yang demikian, tidak mendapatkan efektivitas yang memadai seperti harapan semula. Hal itu disebabkan karena sulit untuk membuktikan unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Akibat adanya persyaratan atau unsur yang demikian, banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang sesungguhnya bersifat korutif, sangat sukar dipidana berdasarkan undang-undang ini. Kesukaran itu adalah karena sulitnya memenuhi pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran terlebih dahulu. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dirasakan pula kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama sekali menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pembuktian. 39 Kebijakan
untukmelakukan
pembaharuan
terhadap
undang-undang
mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undangundang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, UndangUndang No. 24 Prp. Tahun 1960 dianggap kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, dan diperkuat dengan berbagai pendapat yang berkembang ditengah masyarakat, 39
Tentang kurang memadainya ketentuan undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 sebagai sarana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi tercermin dari adanya pengakuan legalitas sebagaimana dapat dilihat lebih lanjut dalam penjelasan Umum UUPTPK 1971.
Universitas Sumatera Utara
pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana kporupsi. Kemudian
untuk
mempermudah
pembuktian
dan
mempercepat
proses
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undangundang korupsi. Untuk memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Prsiden No. R. 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah rancangan undang-undang tersebut dimaksdukan untuk mencabut dan mengganti UndangUndang No. 24 Prp. Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru. 4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Setelah beberapa tahap pembahasan dalam persidangan di lembaga legislatif, akhirnya pada sidang pleno tanggal 12 Maret 1971 rancangan undangundang tersebut di atas disetujui oleh DPRDGR untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 Maret 1971 menjadi undang-undang, yaitu UndangUndang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 No. 19.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat. Lengkapnya Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: (1).a.
Barangsiapa dengan melawan hukum dengan melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuagan negara atau perekonomian negara;
a. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; c.
Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP;
d.
Barang siapa member hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengikat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. (2).
Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakuan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.
Pada Pasal 1 ayat 1 huruf a UU-PTPK 1971 di atas terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara tekstual berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang lama, diganti dengan unsur melawan hukum. Dengan adanya unsur melawan hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur melakuikan kejahatan atau pelanggaran. 40 Unsur melawan hukum hukum dalam undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971 itu mengandung pengertian formil dan materil. Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undangundang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu diperlukan adanya langkah pembaharuan perundang-undangan pidana, sehingga dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam upaya penanggulangan masalah korupsi. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya 40
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu keleahan yang dimiliki oleh undang-unang No. Tahun 1971. Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Disamping
untuk
memperluat
landasan
hukum
bagi
upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat pula dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan efek pencegaahn (deterrent effect) yang lebih besar bagi pelaku potensial. Hal ini paling tidak terlihat dari adanya kebijakan menerapkan sistem minimum khusus dalam pemindanaan yang sama sekali tidak dinekal dalam undang-undang sebelumnya. 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak
Universitas Sumatera Utara
paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh
suburnya
korupsi
dengan
berbagai
kebijakan
penyelenggaraan
pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undangundang baru. Undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. 41 Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang 41
Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan lembaga independent itu adalah Undang-Undang
No.
30
Tahun
2002
tentang
Pembentukan
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya, dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat TIMTASTIPIKOR untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin parah. Untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang meliputi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka strategi yang digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang dimaksud adalah dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu: 42 a. Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi; b. Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin; c. Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. 42
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupkan lembaga pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung jawab secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2005. Adapun Timtaspikor ini keanggotaanya terdari dari Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Adapun tugas dan wewenang Timtastipikor adalah (1) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi, (2) mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada huruf, (3) Melakukan kerjasama dan/atau koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional dan instansi
pemerintah lainnya
dalam upaya
penegakan hukum
dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, (4) Melakukan hal-hal yang dianggap perlu guna memperoleh segala informasi yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun karena keberadaan Timtastipikor dinilai kurang efektif dan tegas serta kewenangannya tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK
Universitas Sumatera Utara
sehingga dikeluarkan Keppres No. 10 Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Korupsi. 6. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Secara de facto saat ini sudah ada empat badan institusi negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang berhungan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: (1) kepolisian, (2) kejaksaan, (3) KPK (Komisi Pembarantas Korupsi), (4) Timtastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi). Meskipun aturan dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2002 mengatur juga kewenangan khusus yang dilakukan komisi pemberantasan korupsi terkait penyidikan dan penuntutan perkara korupsi namun undang-undang ini tidak menghapuskan kewenangan pejabat penyidik dari pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan perkara korupsi. Ketentuan tentang penyidikan dan penuntutan perkara korupsi tertuang dalam: Pasal 6 huruf a Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinatif dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 7 huruf a Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
Prinsip koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi ini salah satunya dengan instansi kejaksaan sehingga dengan demikian tercipta sinergi antara kejaksaan dan KPK. Koordinasi ini diaktualisasikan melalui peraturan bersama Jaksa Agung Republik Indonesia No.: KEP-347/A/JA/12/12/2005 dan ketua Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK), No. 11/KPK-KEJAGUNG/XII/12/2005 tentang kerjasama antara komisi pemberantasan korupsi dengan kejaksaan republik indonesia dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Terkait dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi maka ada batasan dimana KPK melakukan penyidikan perkara korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar (Rp.1.000.000.000,00). Hal ini berbeda dengan kewenangan kejaksaan yang tidak mengenal minimal atau batas kerugian negara dalam melakukan penanganan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi. Dengan demikian kewenangan kejaksaan lebih luas dibandingkan kewenangan KPK. B. Perkembangan
Perundang-Undangan
Tindak
Pidana
Korupsi
di
Indonesia 1. Rumusan Delik Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian,
dibentuklah
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1999 No. 140. Jadi dapat dikatakan, bahwa pembentukan undang-undang yang baru tersebut dapat ditempatkan sebagais suatu kebijakan legislatif untuk menutupi kelemahan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Oleh karena itu, di dalamnya terkandung aspek-aspek pembaharuan hukum pidana. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai instrument pidana khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, telah menimbulkan perbedaan interpretasi di kalangan sarjana hukum. Disamping masalah ketentuan peralihan yang tidak secara eksplisit dicantumkan, masalah pembuktian terbalik kembali diperbincangkan. Undang-undang korupsi itu dianggap belum sempurna, terutama sekali disebabkan di dalamnya tidak secara tegas dirumuskan konsepsi pembalikan beban pembuktian yang oleh banyak kalangan diyakini mampu mengeliminasi tingkat keparahan korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara lain yang menerapkannya. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah mempersiapkan sebuah Rancangan UndangUndang (RUU) untuk mengamandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Tanggal 21 Mei 2001, RUU tersebut diserahkan pemerintah ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut dan ditetapkan menjadi undang-undang. Paling tidak ada dua hal yang menjadi pokok pemikiran yang melandasi penyusunan RUU tersebut sebagaimana ditegaskan di dalam keterangan pemerintah di hadapan rapat paripurna DPR, yaitu: Pertama, untuk lebih meningkatkan upaya
pemberantasan tindak
pidana
korupsi
yang
telah
menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara dan masyarakat pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya sesuai dengan ketentuan hati nurani rakyat, maka diperlukan landasan hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Kedua, tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Bagian yang cukup penting dari RUU Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenal masalah beban pembuktian sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 12 A, yang secara lengkap berbunyi: a. Setiap pemberian kepada pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau kepada penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang nilainya Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah) atau lebih, dianggap pemberian suap sanpai dibuktikan sebaliknya oleh penerima pemberian tersebut. b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah yang tercantum dalam Pasal 12 undang-undang ini hanya mengacu pada Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku jika penerima pemberian melaporkan pemberian yang diterimanya kepada komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya dimulai dan dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal pemberian tersebut diterima. d. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berwenang menentukan pemberian tersebut dapat dimiliki oleh penerima atau diserahkan kepada negara. e. Bagi Pemberian yang nilainya kurang dari 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa pemberian tersebut bukan merupakan suap
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dilakukan oleh Penuntut Umum. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Republik Indonesia. Konsep tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah pada perumusan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 15. Pasal 2 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” Rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 inilah yang berupa rumusan paling abstrak diantara rumusan-rumusan lainnya, oleh karena itu cakupannya sangat luas. Dengan luasnya rumusan itu, maka perbuatan yang dapat masuk ke dalam rumusan ini. Segi positif dari rumusan seperti ini ialah cakupannya sangat luas sehingga lebih mudah menjerat si pembuat. Selain itu, rumusan abstrak seperti ini lebih mudah mengikuti arus perkembangan masyarakat melalui penafsiran hakim. Namun, segi negatifnya mengurangi kepastian hukum akibat terbukanta peluang dan kecenderungan yang lebih luas lagi bagi jaksa dan hakim yang tidak baik untuk menggunakan Pasal ini secara serampangan.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun demikian, ada batas pengertian secara substantif kejahatan Pasal 2 yang harus dipegang teguh sehingga penerapannya tidak menjadi semena-mena. Setidaknya, jika dilihat dari sudut penguasaan objek korupsi oleh si pembuat, maka pada korupsi Pasal 2 objek kejahatan berada dalam kekuasaannya. Objek kejahatan yang berada dalam kekuasaan koruptor berupa hasil korupsi tersebut. Sebelum korupsi dilakukan, benda objek kejahatan belum berada dalam kekuasaannya. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah: setiap orang; melawan hukum; memperkaya diri sendiri atau orang alain atau korupsi; dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara. a. Setiap orang Subjek hukum tindak pidana korupsi dalam rumusan Pasal ini adalah terdiri atas orang pribadi (subjek hukum tindak pidana pada umumnya) dan suatu korporasi. 43 Dapatnya korporasi sebagai subjek hukum karena ada kata-kaat memperkaya diri atau orang lain atau suatu korparasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sangat berbeda dengan rumusan Pasal 3 yang tidak terdapat kata-kata memperkaya diri. Menurut Adami Chazawi, korparasi bersifat subjuk hukum (rechtspersonen) yang tidak memiliki jabatan atau kedudukan seperti sebjek hukum orang (naturalijke personen), maka korparasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karen tidak dimilikiny subjek hukum yang dapat
43
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Bayumedia Publishing, 2003), hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah subjek hukum orang. 44 Jadi, tidak semua tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dapat dilakukan korporasi. b.
Melawan hukum Melawan hukum berasal dari kata wederrechtejlijk 45 yang artinya
melawan hukum. Selain itu digunakan juga istilah tidak berhak atau tidak berwenang, bukan menjadi haknya dan sebagainya. Istilah melawan hukum menggambarkan suatu pengertian tentang sifat tercelanya atau sifat terlarangnya suatu perbuatan. Perbuatan yang tercela menurut Pasal 2 adalah perbuatan memperkaya diri. Pengertian “melawan hukum” dalam penjelasan resmi Pasal 2 ayat (1) dengnan pengertian onrechtmatig sebagaimana dimuat yurisprudensi Hoge Raad pada tanggal 31 januari 1919 (N.J. 1919 W. 10365, yakni “onrechtmatig” tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun dalam pergaulan masyarakat. 46 Melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1. Jika yang melarang atau mencela adalah hukum tertulis, maka sifat melawan hukum yang demikian disebut dengan melawan hukum formil karena bertumpu pada aturan tertulis atau peraturan perundang-undangan; 44
Ibid. Melawan hukum perbuatan/tidak berbuat yang bertentangan dengan hukum/undangundang hak orang lain, kewajiban hukum si pelaku kesusilaan, sikap hati-hati, sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas hidup bermasyarakat terhadap diri atau barang orang lain (Lihat Kamus Hukum, J.C.T. Simorangkir, dkk (Sinar Grafika, 2000), hal. 187. 46 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal. 50. 45
Universitas Sumatera Utara
2. Jika sifat terlarangnya berasal dari amsyarakat berupa kepatutan masyarakat atau nilai-nilai keadilan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka sifat tercela yang demikian disebut dengan melawan hukum materiil. Bahwa melawan hukum dalam tindak pidana korupsi mempunyai arti ganda, baik yang berarti melawan hukum materiil maupun hukum formil. Istilah melawan hukum sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada juli 2006 yang lalu dalam tindak pidana korupsi, adalah termasuk melawan hukum formil dan materiil, tetapi setelah putusan MK itu, hanya bersifat hukum formil saja, alasan MK demi kepastian hukum dan keadilan. 47 Mr Tergugat Haar (terjemahan) mengartikan perbuatan melawan hukum adalah tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barangbarang kelahiran dan kerokhanian dari milik hidup seorang atau gerombolan orang-orang. 48 Pengertian yang dikemukakan oleh Tergugat Haar tersebut sangat luas artinya, maka kepada Hakim untuk benar-benar memperhatikan rasa kedilan tertentu. Intinya perbuatan berada dalam dada para anggota masyarakat tentang suatu hal yang tertentu. Intinya perbuatan melawan hukum itu adalah yang dapat merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau mengahambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Dapat pula
47
Putusan MK No.. 003/PUU-IV/2006, dan Harian Kompas, senin, 31 Juli 2006, hal. 3, “Putusan Mahkamah Konstitusi Masih Terus Dikritik” dan Harian Waspada, kamis, 3 Agustus 2006, hal. 9 “ICW: Putusan MK Bisa Suburkan Korupsi”. 48 R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar maju, 2000), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan melawan hukum itu dari segi hukum pidana adalah bersifat merugikan masyarakat, jadi anti sosial. 49 Pasal 2 ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur melawan hukum, dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi; “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan terebut dianggap tercel karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”. 50 Dalam pengertian tersebut, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, dimana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang perorang dalam masyarakat, maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid). Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut, tidak jauh dari pengertian yang dianut dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang kira-kira maksudnya bahwa unsur melawan hukum itu tidak ada kepastian hukum untuk
49 50
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 3. Penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
dapat berlaku untuk semua daerah di Indonesia, sebab melawan hukum disatu daerah belum tentun merupakan melawan hukum didaerah lain. Dari abstraknya pengertian unsur melawan hukum tersebut, maka MK dalam putusannya No. 003/PPU-IV/2006 menetapkan: “Menimbang bahwa oleh karenanya penjelasn Pasal 2 ayat (1) UndangUndang PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) 1945. Dengan demikian, penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang PTPK sepanjang mengenai frasa “yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatanperbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercel;a karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945” 51 Menurut tinjauan suatu teori, satu-satunya objek hukum positif adalah fakta bahwa perbuatan tersebut merupakan kondisi dari suatu sanksi. Di dalam teori hukum pidana tradisional dibuat suatu perbedaan antara mala in se dan mala prohibita,52, yakni perbuatan yang dengan sendirinya dianggap jahat, dan perbuatan yang dianggap jahat hanya karena perbuatan tersebut dilarang oleh suatu tata sosial positif. Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Dapat juga 51
Putusan MK No. 003/PPU-IV/2006, tentang uji materil yang dimohonkan oleh Ir. Daud
Djatmiko. 52
Bandingkan Jerome Hall, Prolegomena to a Science of Criminal Law (1994) 89 U. atau PA. L.Rev 549-580. Perbedaan antara mala in se dan mala prohibita, yakni perbuatan yang jahat dengan sendirinya dan perbuatan yang jahat hanya karena perbuatan itu dilarang oleh suatu tata sosial positif, hampir identik dengan perbedaan yang dibuat oleh Aristotle dalam bukunya Ethica Nichomachea (1134b) antara “yang alamiah” dan “menurut hukum” yang alami: yang dimanapun memiliki kekuatan yang sama dan tidak ada oleh karena pikiran manusia: menurut hukum: yang pada dasarnya sama, tetapi tatkala setelah ditetapkan menjadi tidak sama. (lihat Ibid).
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja larangan ditujukan kepada perbuatan,
sedangkan
ancaman
pidana
ditujukan
kepada
orang
yang
menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, 53 yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang meunjukkan kepada dua keadaan kongkrit, yaitu: 1. Adanya kejadian yang tertentu; 2. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 54 Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti yang dirumuskan di atas, maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tempat dengan wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Contohya: dalam merumuskan perbuatan korupsi, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Tanpa ditambah kata-kata lagi, perbuatan tersebut sudah wajar pantang dilakukan, sebab sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut sudah jelas. Akan tetapi, adakalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-unsur di atas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 melarang setiap orang memperkaya diri 53 54
Moeljatno, Op. cit, hal. 54. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sendiri atau orang lain atau suatu korparasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dengan melawan hukum. Rumusan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, itu saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan. Harus ditambah dengan unsur secara melawan hukum. Sebab dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, belumlah memadai, karena dapat saja pelaku korupsi mengembalikan kerugian negara, berarti unsur kerugian negara telah pulih. Maka untuk menghindari hal tersebut lahirlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menganut unsur melawan hukum secara formil untuk menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun yang menganut hukum materil. Menurut Simon, untuk adanya suatu straafbaarfeit di syaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang dan agar tindakan itu dapat dihukum harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh undangundang serta adanya unsur melawan hukum. 1. Moelijatno “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut” 55
55
Ibid, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Dari kedua rumusan straafbaarfeit tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan (manusia); 2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); 3. Bersifat melawan hukum (syarat materil). Menurut peneliti dari putusan MK tersebut punya nilai positf dan negatif terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni: 1. Nilai positifnya: a. Mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan
perlindungan hukum
yang
pasti,hal ini
didasarkan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP (nultum delictum sine praevie lege poenali), artinya peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu. 56 Bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum, di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada. 2. Nilai negatifnya a. Penggunaan delik formil dalam PTPK akan semakin sulit untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana yang dikatakan oleh Teten Masduki “Putusan MK yang menetapkan pembuktian TPK hanya menggunakan delik formil justru dapat menyuburkan praktek
56
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Universitas Sumatera Utara
korupsi. 57 Delik materil sangat dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi untuk menghindari celah hukum. Sebab tidak mungkin dalam pembuatan peraturan, seperti pembuatan PERDA akan dibuat asas kepatutan demi pelayanan umum. c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak ada keterangan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 termasuk dalam penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan memperkaya diri. Dalam KUHP ada unsur “menguntungkn diri” seperti dalam Pasal 368, 369 dan 378. Akan tetapi dalam Pasal KUHP ini unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” dengan melawan hukum bukanlah unsur tingkah laku, tetapi unsur yang dituju oleh batin atua kesalahan dalam bentuk maksud. Unsur menguntungkan diri menurut ketiga Pasal KUHP yang telah disebutkan, pengertiannya telah disepakati oleh para ahli sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada” 58 Dari segi bahasa, memperkaya berasal dari suku kata “kaya”. Kaay artinya mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. Memperkaya artinya menjadikan lebih kaya. 59 Oleh karena itu dari sudut bahasa/harfiah memperkaya dapat diberi arti yang lebih jelas sebagai perbuatan menjadikan bertambahnya kekayaan. Menurut Andi Hamzah sebagai “menjadikan orang yang belum kaya jadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. 60
57
ICW: Putusan MK Bisa Sburkan Korupsi, Waspad, Loc. cit. Adami Chazawi, Op. cit, hal. 38. 59 Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: Penerbit M2S, 1997), hal. 240. 60 Andi Hamzah, Op. cit, hal. 92. 58
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dari perbuatan memperkaya harus diperoleh suatu kekayaan, perolehan kekayaan yang melebihi sumber kekayaan yang sudah ada, artinya bahwa sebelumnya juga telah ada kekayaan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perbuatan memperkaya harus terdapat unsur (1) perolehan
kekayaan;
(2)
perolehan
kekayaan
melampaui
dari
sumber
kekayaannya, dan (3) ada kekayaan yang sah sesuai dengan sumber kekayaannya, dan ada kelebihan kekayaan yang tdiak sah. 61 Kekayaan yang tidak sah inilah yang diperoleh dari perbuatan memperkaya. Isi pengertian perbuatan memperkaya dalam Pasal 2 mengandung 3 perbuatan memperkaya diri, yakni memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan Memperkaya suatu korporasi. Memperkaya diri sendiri, artinya diri si pembuat sendirilah yang memperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah. Sedangkan memperkaya orang lain adalah sebaliknya, orang yang kekayaannya bertambah atua memperoleh kekayaannya adalah orang lain selain di pembuat. Demikian juga halnya dengan memperkaya suatu korporasi, yang bukan si pembuat yang memperoleh atau bertabah kekayaan oleh perbuatannya tetapi korporasi. Walaupun si pembuat tidak memperoleh atau bertambah kekayaan, tetapi beban tanggung jawab pidananya disamakan dengan dirinya yang mendapatkan kekayaan secara pribadi. Berdasarkan pengertian itu, untuk selesainya perbuatan memperkaya sebagai syarat selesainya tindak pidana korupsi, Pasal ini disyaratkan perolehan atau penambahan kekayaan itu telah nyata. Perolehan ini tidak perlu dihubungkan
61
Ibid, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
dengan kerugian negara, walaupun kemungkinan kerugian negara selalu ada akibat dari perbuatan memperkaya. Mengapa demikian? Karena kerugian negara yang menjadi unsur dalam Pasal 2 ini sekedar dapat mendatangkan kerugian negara, tidak perlu nyata-nyata negara cukuplah dibuktikan oleh jaksa penuntut umum bahwa menurut pengalaman dan logika/akal orang pada umumnya dari perbuatan memperkaay yang diperbuat dan logika/akal orang pada umumnya dari perbuatan memperkaya yang diperbuat oleh si pelau dapat mendatangkan kerugian bagi negara. Apa yang dimaksud dengan tujuan suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan memperoleh suatu keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain atua suatu korporasi. Diri sendiri artinya untuk kepentingan pribadinya. Orang lain artinya orang selain pribadinya. Korporasi sesungguhnya juga bukan pribadinya seperti orang lain, tetapi substansi pengertian korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 62 Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yaitu menyalahgunakan kewenangan yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” 63 Apabila dirnci, rumusan tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
62 63
Adami Chazawi, Op. cit, hal. 38. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
1. Unsur-unsur objektif a. Perbuatannya 1) Menyalahgunakan kewenangan; 2) Menyalahgunakan kesempatan; 3) Menyalahgunakan sarana. 4) Adanya kesengajaan sebagai maksud b. Yang ada padanya 1) Karena jabatan; 2) Karena kedudukan. c. Yang dapat merugikan 1) Keuangan negara; 2) Perekonomian negara. 2. Unsur subjektif a. Dengan tujuan 1) Menguntungkan diri sendiri; 2) Menguntungkan orang lain; 3) Menguntungkan suatu korporasi. Dari unsur-unsur yang tersebut di atas, peneliti akan mencoba menganalisisnya satu persatu. Adalah sebagai berikut: a. Menyalahgunakan kewenangan Kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, berarti secara terselubung subjek hukum orang ini tidak berlaku untuk semua orang, akan tetapi hanya berlaku bagi orang yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
jabatan atau kedudukan tertentu atau orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. Yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu bisa dapat diartiokan orang itu sebagai pegawai negeri atau kedudukan dalam hukum privat, misalnya seorang direktur suatu PT. Jadi, perbuatan
menyalahgunakan
kewenangan
dapat
yang dilakukan oleh orang yang
didefenisikan
sebenarnya
berhak
sebagai untuk
melakukannya,tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Misalnya, seorang polisi penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahann karena jabatannya. 64 Polisi tersebut menangkap seseorang yang dibencinya, meski diketahui orang tersebut tidak melakukan kejahatan apapun. Contoh lain, seorang kepala personalia suatu kantor publik memiliki kewenangan untuk mengangkat pegawai, namun dia mengangkat anaknya tanpa melalui prosedur. b. Menyalahgunakan kesempatan. Kesempatan adalah peluang atau tersedianya waktu yang cukup dan sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Apabila peluang yang ada tersebut dia gunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan justru bertentangan dengan tugas pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya, maka disini telah terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan. Misalnya, beberapa orang polisi yang mendapat tugas melakukan penggerebekan sekelompok orang yang bermain judi
64
Pasal 7 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
disebelah rumah, seorang diantara polisi tersebut mengambil sejumlah uang yang berhasil disita. c. Menyalahgunakan sarana Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. 65 Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki sarana atau alat yang digunakannya untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena kedudukan atau jabatan itu semata-mata digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan kewajibannya, tidak digunakan untuk perbuatan lain diluar tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukannya. Misalnya, karena memegang jabatan Kepala Dinas Kebersihan, dia diserahi sejumlah truk-truk besar. Kepala Dinas tersebut berwenang menggunakannya untuk pekerjaan mengangkut sampah. Akan tetapi, ia telah menyalahgunakan sarana yang ada padanya dengan menyewakan salah satu diantara itu di luar kepentingan dinas kebersihan kota. d. Karena jabatan/kedudukannya. Kata “jabatan” dan “kedudukan” jika dikaitkan dengan pengertian “keuangan negara” atau perekonomian Negara” maka tidak dapat terlepas dari “manajemen” sehingga jabatan atau kedudukan tersebut berada dalam ruang lingkup perencanaan dan pengawasan. Pengawasan tidak dapat dimasukkan karena dalam Pasal 3 tidak termasuk unsur “kelalaian”, melinkan unsur “sengaja” itulah sebabnya kepala jawatan /dinas yang berperan sebagai pengawas suatu proyek, jika dijadikan terdakwa, sering dibebaskan oleh pengadilan.
65
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dimaksudkan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewjibannya. Misalnya, A diwajibkan melaksanakan suatu pekerjaan. Ternyata pekerjaan baru selesai 40% telah dinyatakan selesai 100%. Contoh lain, B ditugaskan membeli 100 mesin baru, ternyata yang dibeli 100 mesin bekas, dan lain-lain. Oleh karena mengaku jabatan, akibatnya dia mempunyai kewenangan. Jika jabatan itu lepas, maka kewenangan juga akan hilang. Dengan demikin, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenngan yang sudah tidak dimilikinya. Contohnya, Kepala Dinas Kebersihan yang tidak menjabat tidak akan dapat lagi menggunakan pasilitas, truk-truk untuk mengangkut barang-barang dagangan menantunya atau menyewakan kepada pihak lain. 2. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Agar dapat memahami konsep pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi, maka dapat dilihat dari unsur subyektif dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur Subyektif Dalam Pasal 2 Secara Melawan Hukum Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana. Perbedaan pendapat tersebut telah melahirkan adanya dua pengertian tentang ajaran sifat melawan
Universitas Sumatera Utara
hukum, yaitu sifat melawan hukum dalam pengertian formil (formiele wederrechtelijkheid) dan melawan hukum dalam pengertian materil ("materiele wederrechtelijkheid). 66 1) Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang. 67 Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undangundang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi. 68 Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. 69 2) Sifat melawan hukum materil
66
Roeslan Saleh. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana. (Jakarta: Aksara Baru), 1987, hal. 7. 67 P.A.F. Lamintang. Op. cit, hal. 356 68 D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 39. 69 S. R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHMPTHM, 1983), hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materil, suatu perbuatan dapat dipandang bersifat melawan hukum atau tidak bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis. 70 Sifat melawan hukum materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu. 71 Bersifat melawan hukum materiil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan,
70 71
P.A.F. Lamintang, Op. cit, hal. 356 D. Schaffmeister et.al., Op. cit, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari diri si pelaku. 72 Asas perbuatan melawan hukum materiel inilah yang kemudian diintrodusikan kedalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan melawan hukum yang mengandung pengertian materiel dan formil dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dipidana, "yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan", walaupun arah idea konsepsional ini dalam praktek mengalami penyimpangan eksesif dan kontradiksi dengan prinsip keadilan yang objektif. Sehubungan dengan sifat melawan hukum materiil ini, maka Makamah Konstitusi RI dalam Putusannya No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa pengertian melawan hokum materiil sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun, 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, "Yang dimaksud dengan 'secara melawan hukum' dalam Pasal ini mencakup, perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, 72
Loebby Loqman. Beberapa Ikwal di Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Datacom), 1991, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat. Unsur Subjektif Dalam Pasal 3 Dengan tujuan: 1) menguntungkan diri sendiri 2) menguntungkan orang lain 3) menguntungkan suatu korporasi
Unsur subjektif yang melekat pada batin si pembuat menurut Pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pengancaman, maupun penipuan (368, 369,378 KUHP). Apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Memperoleh
suatu
keuntungan
atau
menguntungkan
artinya
memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang
Universitas Sumatera Utara
dapat dinilai dengan uang termasuk hak. Apakah perolehan atau penambahan kekayaan ini harus terwujud dari perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan dan sebagainya tadi? Tidaklah perlu, karena perolehan atau penambahan kekayaan ini merupakan orientasi dari kehendak atau maksud saja. Rumusan Pasal 3 tidak mencantumkan unsur melawan hukum dalam hal yang dituju oleh pengetahuan si pembuat (tujuan menguntungkan diri dengan melawan hukum) yang dalam hal ini berbeda dengan rumusan pada Pasal 368, 369, dan 378 KUHP Walaupun unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan, tetapi menurut logika sebelum berbuat tidak mungkin si pembuat tidak memiliki kesadaran tentang tercelanya perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya untuk mencapai kehendak yang menguntungkan diri tersebut. Bedanya, apabila unsur melawan hukum dicantumkan maka kesadaran si pembuat seperti itu harus dibuktikan oleh penuntut umum dalam persidangan untuk menyatakan dakwaanya terbukti sedangkan bila tidak, maka tidak perlu dibuktikan. Dengan tidak dicantumkan unsur melawan hukum, baik melawan hukum subjektif yang dituju oleh pengetahuan si pembuat (seperti pada penipuan: 378 KUHP) maupun melawan hukum objektif yang ditujukan pada perbuatannya (misalnya Pasal 406 KUHP) dalam tindak pidana korupsi Pasal 3, maka akan memudahkan Jaksa PU dalam tugasnya untuk membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi menurut Pasal 3. Diri sendiri artinya untuk kepentingan pribadinya. Orang lain artinya orang selain pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan Pasal 2 tidak ada menyebut secara langsung unsur “dengan sengaja”, teatapi sebenarnya dalam Pasal tersebut secara tersirat menyebut unsur “dengan sengaja”. Sedangkan dalam rumusan Pasal 3, unsur dengan sengaja tergambar secara jelas dalam rumusan Pasal tersebut yaitu “…dengan tujuan menguntungkan
diri
sendiri
atau
orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”, dan bentuk kesengajaan seperti ini disebut dengan kesengajaan sebagai maksud. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi juga menganut konsep pertanggungjawaban yang sama dengan konsep pertanggungjawaban pidana pada hukum pidana umum, dimana pertanggungjawaban dalam delik korupsi masih berdasarkan atas asas kesalahan atau“geen straf zonder schuld”, berupa kesengajaan. Maksudnya, tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan adalah asas fundamental dalam hukum pidana. Demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dan penting dalam hukum pidana. Akan tetapi, harus disadari bahwa ini tidak mengenai keharusan menurut undangundang yang empiris, tetapi tentang asas normatif. 73
73
Schaffmeister dkk, Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 2007, hal 77
Universitas Sumatera Utara