Korupsi Di Bidang Perpajakan Suatu Bentuk Tindak Pidana Ekonomi Lies Sudibyo1 dan Lamijan2 1
FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 2 FKIP Undaris Ungaran
Abstrak Peran pajak bagi negara sungguh sangat penting karena pajak memberikan pemasukan bagi keuangan dan pendapatan negara yang sangat besar yang dikelola melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 65 persen. Pencapaian penerimaan dari sektor pajak tersebut ternyata bukan masalah yang mudah karena berbagai faktor dapat menjadi penghambat antara lain; masalah perekonomian nasional dan internasional, masalah pelayanan birokrasi perpajakan, masalah kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, dan yang paling parah adalah masalah mafia dan korupsi pajak baik dari sisi perolehan dan penyetoran uang pajak ke kas negara. Korupsi merupakan perilaku yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang dekat dengan jabatan publik atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi di bidang perpajakan dapat dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi karena akibat yang ditimbulkan adalah kerugian keuangan dan pendapatan negara sehingga menghambat tercapainya kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Berbagai kebijakan hukum dan sanksi pidana yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran dan kejahatan perpajakan sepertil KUHP. UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mengubah UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun dalam pelaksanaannya Jaksa maupun Hakim cenderung mengesamingkan UU Perpajakan, sehingga vonis yang sering dijatuhkan kepada pelaku tindak pelanggaran dan kejahatan pajak relatif lebih ringan. Sudah barang tentu vonis kasus kejahatan perpajakan banyak yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Kata Kunci: Korupsi, Perpajakan,Tindak Pidana Ekonomi
Pendahuluan Pelaku mafia dan korupsi pajak pada era reformasi telah memperoleh bentuk yang nyata dan tidak ada rasa penyesalan bagi pelakunya. Pada hal tindakan tersebut dipandang sebagai salah bentuk tindak pidana ekonomi yang telah merugikan keuangan negara dan masyarakat sampai milyaran rupiah bahkan triliunan rupiah. Gayus Tambunan sebagai contoh, telah melakukan mafia pajak yang merugikan keuangan negara mencapai Rp. 1,7 triliun (Kompas, 21 April 2010). Jumlah kerugian keuangan negara ini sungguh sangat mencengangkan. Namun ironis, ternyata vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp. 300.000.000,- (Kompas, 19 Januari 2011). Bahkan dalam pengadilan banding yang diajukan Jaksa hampir tidak ada perubahan vonis, karena Gayus hanya dijatuhi vonis 10 tahun penjara dan denda tetap Rp. 300.000.000,- (Kompas, 11 Mei 2011)
167
No.2 / Volume 21 / 2012
WIDYATAMA
Sudah barang tentu pelaku mafia pajak yang lain tidak akan jera dan menyesali perbuatannya yang sangat merugikan keuangan negara. Perbuatan para mafia pajak ini sudah pasti dapat dimasukkan ranah tindak pidana ekonomi karena telah merusak system redistribusi pendapatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak yang dikelola melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap tahun pajak adalah komponen terbesar bagi penerimaan APBN, tetapi dengan adanya kebocoran akibat ulah mafia dan korupsi pajak, maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak akan terwujud. Perlu diketahui bahwa negara Indonesia tercinta ini termasuk penganut mekanisme pasar bagi sistem ekonominya, di mana pajak memiliki posisi yang sangat penting dan strategis bagi pemerintah dalam membiayai dan melaksanakan pembangunan, menggerakkan roda pemerintahan, serta mengatur perekonomian negara. Sehingga dalam melaksanakan pembangunan serta mencapai kesejahteraan rakyat pajak memiliki fungsi-fungsi; Pertama fungsi budgeter (anggaran) yakni berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Kedua fungsi regulerend (mengatur), yakni pajak sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik. (Erly Suandy, 2002, hal 13). Adam Smith dalam bukunya An Inquire The Natural and Cause of the Wealth of Nations (dalam Hadi Irawan, 2003) mengemukakan ada empat prinsip pokok dalam pemungutan pajak, yakni equity (prinsip keadilan), certainty (prinsip yuridis), economic (prinsip ekonomi), dan convenience of payment (prinsip efisiensi). Keempat prinsip tersebut menentukan bahwa pajak jangan memberatkan atau bahkan mematikan perkembangan dunia usaha, tetapi akan lebih memotivasi perkembangan ekonomi masyarakat. Sehingga pada tataran pelaksanaannya diharapkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dapat meningkat. Prinsip tersebut di atas dilakukan pemerintah Indonesia dengan asumsi pendapatan dari sector pajak akan dapat menyumbang paling tidak 65% APBN. Hal ini tidak mudah, berbagai masalah ikut menghambat pencapaian pendapatan sektor pajak ini, baik perekonomian nasional dan internasional, kepatuhan dan kesadaran membayar wajib pajak, dan yang paling mengurangi pendapatan sektor pajak ini adalah adanya mafia dan korupsi perpajakan. Bermacam cara untuk meningkatkan penerimaan pajak telah dilakukan pemerintah antara lain menambah jumlah wajib pajak baik pribadi maupun badan usaha, menyederhanakan system pajak dengan diterbitkannya pembaharuan undang-undang perpajakan, bahkan yang paling baru adalah dilaksanakan program peningkatan pencairan tunggakan pajak melalui perbaikan frekuensi dan mutu penagihan pajak. Sedangkan untuk kepatuhan wajib pajak, maka dapat ditempuh optimalisasi petugas pajak untuk memaksa wajib pajak yang membandel dan tidak kooperatif. Namun demikian masih muncul tantangan baru yaitu berupa perlawanan pasif dan perlawanan aktif oleh wajib pajak terutama yang berbentuk badan hukum (rechtpersoon) maupun orang pribadi (naturlijk persoon). Akibat tindakan wajib pajak ini negara dirugikan milyaran rupiah yang menurut penelitian Muqodim dari 96 wajib pajak pada tahun 2009 kerugian Negara di sektor pajak ini mencapai 962,136 milyar. (Muqodim, 2009, hal 33). Sebenarnya negara telah mengantisipasi adanya tindak pidana perpajakan tersebut untuk member sanksi, yakni di samping sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga sudah disahkannya Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2001 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 168
WIDYATAMA
Lies Sudibyo, Lamijan. Korupsi Di Bidang Perpajakan Suatu Bentuk Tindak Pidana Ekonomi
1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Bahkan alat Negara penegak hukum tidak hanya melibatkan polisi, jaksa, dan hakim, tetapi juga sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena pelanggaran pajak ini tergolong extra ordinary crime (tindak kriminal yang luar biasa). Korupsi atau corruption yang berarti merusak, menggoyahkan, atau memutarbalikkan (Lamijan, 2012, hal 4). Transparency International (TI) menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku pejabat public, baik pegawai negeri maupun politisi, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri dan/atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepadanya. (Akhiar Salim, 2006, hal 5). Dengan demikian tindak pidana korupsi mencakup unsur perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Secara umum dapat dikemukakan penyebab timbulnya tindak korupsi adalah (1) kurang sempurnanya peraturan perundangan; (2) administrasi yang lamban dan sangat birokratis; (3) tingkat kesejahteraan dan gaji pegawai yang rendah; (4) warisan pemerintah feodal dan kolonial dalam bentuk pemberian upeti; sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tidak halal; (6) tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah; dan (7) kurangnya kesadaran beretika dan bernegara. (Lamijan, 2011, hal 167). Dari berbagai sumber yang diolah penulis dapat ditemukan beberapa contoh kasus mafia dan korupsi pajak dekade tahun 2010 sampai 2012 antara lain: kasus Gayus Tambunan kerugian Negara mencapai 103 milyar, kasus Dhana Widyatmika kerugian Negara kurang lebih 95 milyar, kasus Tomy Hendratno yang melakukan kolusi dengan James Gunawan pegawai PT Bhakti Investama kerugian Negara sekitar 3,4 milyar. Berangkat dari pemikiran di atas dapat penulis tetapkan masalah yang perlu dikaji dalam tulisan ini yakni : Kebijakan hukum apa yang perlu ditetapkan oleh pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana ekonomi di bidang pajak? Sanksi pidana apa yang perlu dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana ekonomi di bidang pajak? Kebijakan hukum Salah satu bagian dari Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha negara adalah Hukum Pajak. Tetapi di antara para ahli hukum berpendapat bahwa Hukum Pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri sejajar dengan ilmu hukum yang lain (Rochmat Soemitro, 1992, hal 31). Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum pajak di samping memiliki sanksi administrasi juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana pelanggaran atau kejahatan pada umunya. Bahkan kejahatan pajak yang tergolong korupsi merupakan ekstra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang diperlukan penanganan khusus. Namun perlu diketahui, walaupun kejahatan pajak dapat masuk ranah hukum pidana tetap ada perbedaan khusus sebagimana pendapat Van der Poel (dalam Santoso, 1995, hal. 24). Perbedaannya terdapat pada fakta bahwa hukum pajak sangat membutuhkan detail-detailnya, walaupun dasar pikiran yang digunakan sama tetapi sejarah pertumbuhannya berbeda. Menurut Van der Poel, setengah abad lalu pelanggaran-pelanggaran pajak maupun penggelapan uang pajak dianggap hal sepele, WIDYATAMA
169
No.2 / Volume 21 / 2012
WIDYATAMA
tetapi perkembangan hukum saat sekarang sesuai dengan teori dan filsafat, tidak lagi membedakan “pencurian” terhadap kekayaan negara dan “pencurian” terhadap kekayaan individu. Mengikuti perkembangan hukum pajak yang demikian maka perlu pemrintah menetapkan peraturan pajak dengan mencantumkan sanksi-sanksi tegas dan adil untuk menjamin kesejahteraan rakyat melalui pendapatan negara. Untuk itulah beberapa kebijakan peraturan pajak dengan sanksi-sanksi yang bersifat umum dan khusus telah ditetapkan oleh pemerintah, antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), contoh-contoh pasalnya: 1) Perbuatan Penyuapan (Pasal 209) 2) Memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242) 3) Pemalsuan surat (Pasal 263) 4) Membuka rahasia (Pasal 322) 5) Pemerasan dan pengancaman (Pasal 368) 6) Penggelapan (Pasal 372) 7) Melakukan tipu muslihat (Pasal 387) 8) Kejahatan jabatan (Pasal 415, 416, 417, 419, 241 dan 425) b. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 14 disebutkan: “setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Adapun yang terkait dengan tindak pidana perpajakan adalah Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dn 18. Dengan berlakunya undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ini maka beberapa pasal KUHP dinyatakan tidak berlaku seperti Pasal 209, 210, 378, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435. c. Undang-Undang Perpajakan (khusus) Undang-undang ini mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak ada dua jenis, yaitu tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana kejahatan. 1) Tindak Pidana Pelanggaran. Tindak Pidana pelanggaran sering disamakan dengan jenis kejahatan yang ringan atau tindak pidana ringan (tipiring), sehingga ancaman sanksi bagi pelaku lebih ringan daripada pelaku kejahatan. Misalnya berupa sanksi pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang.Hal ini diatur Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 38 yang berbunyi: “setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”. 2) Tindak Pidana Kejahatan dalam Undang-Undang Perpajakan Apabila pelanggaran yang dilakukan wajib pajak merupakan kejahatan ringan, maka kejahatan yang dilakukan wajib pajak dapat disamakan dengan pelanggaran yang berat. Pelanggaran berat karena pidananya memang jauh lebih 170
WIDYATAMA
Lies Sudibyo, Lamijan. Korupsi Di Bidang Perpajakan Suatu Bentuk Tindak Pidana Ekonomi
a)
b)
c)
d)
berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk pelaku kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan atau denda setinggitingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terhutang yang tidak dibayar atau yang kurang dibayar, serta bagi pelaku residive (pengulangan kejahatan) ancamannya dilipatkan dua dengan ketentuan belum leat waktu satu tahun. Adapun ketentuanketentuan yang terkait dengan tindak pidana kejahatan perpajakan ini antara lain diatur dalam Pasal 39, 41, 41A, dan Pasal 41B. Pasal 39 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur tindak pidana kejahatan perpajakan adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang yang dengan sengaja, tidak mendaftarkan diri, atau menyalah gunakan atau menggunakan hak tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipat 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana [enjara yang dijatuhkan. Pasal 41 tentang Sanksi bagi Pejabat (1) Pejabat yang karena kealpannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 41A tentang Sanksi bagi Pihak Ketiga Setiap orang yang menurut Pasal 35 undang-undang ini wajib member keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak member keterangan atau bukti, atau member keterngan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 41B tentang Sanksi bagi Pihak Ketiga Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan ketentuan perpajakan di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana perpajakan adalah meliputi tindak pidana; (1) yang dilakukan oleh wajib pajak; (2) yang dilakukan oleh pekjabat pajak
WIDYATAMA
171
No.2 / Volume 21 / 2012
WIDYATAMA
(fiskus); dan (3) yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak. Sedangkan untuk perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana perpajakan adalah: a) Dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar, palsu atau dipalsukan.b) Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan. c)Tidak memberikan atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak. d) Tidak memperlihatkan pembukuan, dokumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak. e) Tidak member kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat. f) Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP atau NPPKP tanpa hak. g)Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut. Penerapan Sanksi Pidana Apabila dilihat begitu penting dan besarnya peranan penerimaan pajak pada sektor pendapatan negara, maka undang-undang tentang perpajakan telah beberapa kali mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan perkembangan dalam bidang perpajakan. Hal ini diharapkan tindak pidana ekonomi di bidang perpajakan dapat dikurangi atau paling tidak diminimalisasi. Aturan-aturan pemberian sanksi kejahatan perpajakan lebih mengacu pada aturan hukum yang lebih umum, baik pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No,or 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak sepanjang menyangkut administrasi perpajakan. Sedang yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi, tetapi cenderung ke tindak pidana. Penjelasan Pasal 38 di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun demikian, dalam praktik sering terjadi baik jaksa maupun hakim lebih cenderung menerapkan ketentuan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus=kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan. Hal ini seperti diungkap Sarwirini (1999, hal 9) yang menyatakan; “… keadaan ini terjadi, baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang-undang perpajakan baru. Keadaan tersebut dapat ditoleransi jika terjadi pada waktu diterapkannya undang-undang perpajakan yang lama, tetapi sungguh memalukan jika dipakai sesudah penerapan undang-undang perpajakan baru, di mana menyalahi azas lex specialist derogate generali” Lebih lanjut Sarwirini mengungkapkan bahwa dalam menjerat pelaku tindak pidana perpajakan, hakim dan jaksa cenderung hanya mengacu pada Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur; “setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 43B UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih bersifat umum ini masih perlu diterapkan peraturan-peraturan yang bersifat khusus yaitu UU
172
WIDYATAMA
Lies Sudibyo, Lamijan. Korupsi Di Bidang Perpajakan Suatu Bentuk Tindak Pidana Ekonomi
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Studi kasus yang dapat dikaji sebagai tindak pidana perpajakan adalah perkara mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan yang disidangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan divonis pada hari Rabu, 19 Januari 2011 dengan tujuh tahun penjara dan memerintahkan Gayus Tambunan untuk membayar uang denda Rp. 300.000.000,00. (Koran Tempo, 20 Januari 2011). Tetapi dalam peradilan banding di Pengadilan Tinggi vonis tersebut diubah menjadi sepuluh tahun penjara, dan denda tetap Rp. 300.000.000,00 Seharusnya hakim dalam memvonis kasus Gayus tersebut di samping mengacu pada KUHP dan UU Tipikor, juga menerapkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, khususnya Pasal 39 (1) huruf g yang berbunyi: “…. setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut aau dipotong, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar”. Dari kasus mafia penggelapan pajak di atas, baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan pasal-pasal yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mengatur secara khusus kasus perpajakan (lex specialist) secara progresif. Dalam kerangka eleminasi dan efek jera dalam tindak pidana ekonomi, bila diterapkan sanksi UU Perpajakan, maka terhadap pelaku tindak pidana pajak dapat diterapkan hukuman denda maksimum sampai empat kali jumlah pajak yang digelapkan oleh pelaku tindak pidana (Gayus) yang ditengarai mencapai jumlah Rp. 1,7 triliun. Simpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis paparan di atas penulis dapat membuat simpulan sebagai berikut: 1. Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi keuangan atau pendapatan negara. Hal ini dapat diketahui bahwa sumbangan penerimaan pajak mencapai 65 persen dalam penerimaan APBN. Sehingga peraturan perpajakan perlu diatur sesuai perkembangan hukum yang antara lain melalui reformasi undang-undang perpajakan agar tidak terjadi atau meminamilisasi mafia dan korupsi pajak. 2. Tindak pidana perpajakan dapat digolongkan pada tindak pidana ekonomi karena akibat kerugian yang ditimbulkan bisa merugikan atau menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat. 3. Walaupun sudah banyak aturan-aturan hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan perpajakan seperti KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), namun perlu kiranya jaksa dan hakim memperhatikan penggunaan UU Perpajakan berdasarkan azas lex spicialist derogat generalist. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus pajak yang dijatuhi vonis relatif lebih ringan, sehingga menciderai rasa keadilan masyarakat. Daftar Rujukan Akhiar Salim, 13 Juni 2006, Memahami Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah, Jakarta: MPKP-FE UI Erly Suandy, 2002. Hukum Pajak, Jakarta: PT Salemba Empat WIDYATAMA
173
No.2 / Volume 21 / 2012
WIDYATAMA
Hadi Irawan, 2003, Pengantar Perpajakan, Malang: Bayumedia Lamijan, 2011. Dampak Korupsi terhadap Pembangunan Ekonomi, Jurnal Ilmiah Inkoma Volume 22 Nomor 2-Juni 2011 Lamijan, Tindak Pidana Ekonomi: Korupsi Pajak, (Makalah disampaikan pada Seminar Program Doktor Fakultas Hukum, 12 Mei 2012 Muqodim, 2009, Perpajakan Buku Dua, Yogyakarta: UII Press Sarwirini, 1999, Kejahatan di Bidang Perpajakan, dalam Jurnal Yustika, Volume 11 Nomor 2, Surabaya: Fakultas Hukum Unair Kompas, 21 April 2010, Korupsi Gayus Mencapai Rp. 1,7 triliun, Jakarta Kompas, 20 Januari 2011, Gayus Divonis 7 Tahun Penjara, Jakarta Koran Tempo, 20 Januari 2011, Vonis Banding 10 Tahun Penjara Gayus Tambunan, Jakarta
174
WIDYATAMA