Jurnal KIAT Universitas Alkhairaat 7 (1) Desember 2015
ISSN : 0216-7530
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI SULAWESI TENGAH Oleh : Hamdan Rampadio *) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesadaran hukum masyarakat dalam penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis, bersifat empiris sesuai kondisi diperoleh di lapangan. Penelitian hukum sosiologis mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma (hukum) bekerja dalam masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan hukum masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah masih rendah, belum sepenuhnya memahami hukum dan intitusiinstitusi hukum terkait penyalahgunaan narkotika. masyarakat hanya melihat hukum sebagai aturan yang dapat dilanggar, atau norma yang dapat diabaikan karena hanya takut pada aparat penegak hukumnya, tidak nampak perilaku masyarakat yang teratur dan tertib atau belum berperilaku hukum. Kesadaran hukum masyarakat meliputi rendahnya pemahaman hukum masyarakat, rendahnya pengetahuan hukum masyarakat, dan tingkat pendidikan adalah faktor yang ikut menentukan bagi efektif atau tidaknya penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah mengakibatkan tingginya tingkat penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah. Katakunci : Pengetahuan, pemahaman hukum, penyalahgunaan narkotika
tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan tersebut tidak saja dilakukan oleh masyarakat umum namun juga dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa yang merupakan generasi calon penerus kepemimpinan bangsa dimasa yang akan datang. Pengaturan penyalahgunaan narkotika telah menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah Negara Indonesia dalam upaya menghindarkan rakyatnya dari dampak buruk narkotika. Hal ini terlihat dari beberapa undang-undang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yaitu : 1. U n d a n g - U n d a n g V e r d o o v e n d e Middelen Ordonantie yang Berlaku pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia Tahun 1927 atau yang disebut sebagai ordonansi obat bius. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, menyempurnakan ordonansi obat bius. 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, berlaku
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyalahgunaan Narkotika dewasa ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, korbannya adalah mayoritas generasi muda di berbagai wilayah, tidak hanya di kotakota besar tetapi juga di daerah-daerah terpencil sekalipun, dan tanpa memandang status maupun strata sosial. Dampak yang selanjutnya dapat terjadi adalah rusaknya tatanan kehidupan baik keluarga, mas yarakat termasuk lingkungan pendidikan, bahkan merupakan ancaman bagi pembangunan masa depan generasi muda. Propinsi Sulawesi Tengah, berdasarkan data BNN (2013), menempati urutan ke 7 penyalahguna Narkotika dari 33 propinsi yang ada di Indonesia dengan 45.263 kasus *)
Dosen Fakultas Tadulako Palu
Hukum
Universitas
57
hampir seperempat abad lamanya. 4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Lembaran Negara tahun 2009 Nomor 143. Hadirnya Undang-Undang tersebut bertujuan untuk menjaga masyarakat agar tidak terjerumus pada bahaya yang ditimbulkan oleh narkotika. Penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika sangat dukung oleh kesadaran hukum masyarakat sebagai obyek dari penegakan Undang-Undang dalam rangka pemberantasan kejahatan narkotika. Pemahaman terhadap kesadaran hukum ini menjadi penting bagi segenap aparat penegak hukum agar penegakan hukum dapat terlaksana sebagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni menjamin kepastian dan keadilan, serta adanya polapola perilaku yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum dalam kehidupan masyarakat.
reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu (hukum) bekerja dalam masyarakat (Dewata dkk, 2010). Hal ini disebut juga sebagai realitas hukum yaitu seseorang yang seharusnnya bertingkah laku atau bersikap sesuai kaidah – kaidah hukum, dengan kata lain realitas hukum adalah hukum dalam tindakan (law in action). Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di empat wilayah yakni Palu, Donggala, Poso dan Banggai yang merupakan wilayah kerja Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah sebagai institusi penegak hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2015. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling. Kuesioner penelitian disebarkan kepada 80 orang responden, serta melakukan wawancara terhadap informan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian.
Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesadaran hukum masyarakat dalam penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah meliputi : 1. Pengetahuan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 2. Pemahaman hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 3. Tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Kegunaan dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan penegak hukum dalam melakukan langkah -langkah terhadap penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah Sebagai salah satu daerah yang sedang berkembang Sulawesi Tengah sangat rentan dengan peredaran Narkotika. Peredaran Narkotika ini menyasar hampir semua kalangan mulai dari usia remaja sampai dewasa dalam berbagai tingkatan status sosial. Hal ini juga didukung oleh letak geografis Sulawesi Tengah yang berada strategis dalam perlintasan barang dan jasa dalam regional Sulawesi. Syafii (2009) mengemukakan, Propinsi Sulawesi Tengah telah menjadi salah satu daerah rawan terhadap peredaran gelap narkoba, karena para pelaku menggunakan jalur darat, laut dan udara untuk memasok sabusabu, ekstasi, ganja dan zat adiktif lainnya.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis, bersifat empiris sesuai kondisi diperoleh di lapangan. Penelitian hukum sosiologis mengamati bagaimana 58
Jalur peredaran gelap narkoba berasal dari Belanda, Cina lewat Hongkong, Bangkok, Malaysia dan Singapura masuk ke Indonesia dan bahkan sudah menjadi produsen narkoba jenis sabu-sabu dan ekstasi. Selanjutnya narkoba diperdagangkan ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Bandung, Medan, dan Batam. Namun dalam perkembangannya sindikat peredaran narkoba telah memasuki wilayah Kota Palu dan kota kabupaten lainnya yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah. Data Kasus Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika pada Jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi
Tengah sampai dengan tahun 2014 menunjukkan bahwa kejahatan penyalahgunaan Narkotika telah terjadi di seluruh daerah Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah. Jumlah kasus terbanyak adalah yang ditangani oleh Kepolisian Resort (Polres) Kota Palu, selanjutnya secara berturut-turut Ditresnarkoba Polda, Polres Poso, Polres Parigi Moutong, Polres Tolitoli, Polres Banggai, Polres Touna, Polres Donggala, Polres Morowali, Polres Buol, Polres Bangkep, dan Polres Sigi. Jumlah Tersangka Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah Tahun 2014 disajikan pada diagram berikut :
Gambar 1. Diagram Jumlah Tersangka Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah Tahun 2014 (Sumber : Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah)
Kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut berupa pendistribusian dan konsumsi, sementara untuk tindakan kejahatan produksi narkotika belum terdapat di Sulawesi Tengah. Tindakan kejahatan (tindak pidana) penyalahgunaan narkotika tersebut meliputi distribusi dan konsumsi Narkotika (jenis ganja, ekstasi, shabu-shabu) sebanyak 431 kasus (72%), Psikotropika (jenis THD, dextro, obat keras lainnya) 124 kasus (20%), dan Bahan Berbahaya (seperti Miras, Cyanida,
Mercury, Borack, Melanox, dll) sebanyak 46 kasus (8%). Sebagai review atas rincian penanganan tindak pidana oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah bahwa pada tahun 2011 terdapat 189 perkara dengan menetapkan 205 orang tersangka. Kemudian pada tahun 2012 terdapat 213 perkara yang menjerat 239 tersangaka. Sedangkan pada tahun 2013 terdapat 218 perkara dengan menjerat 278 tersangka, namun demikian pada data tersebut terlihat bahwa untuk tahun 2014 sampai dengan Bulan Oktober jumlah 59
perkara ditangani adalah 170 perkara dengan dengan tersangka sebanyak 212 orang. ini menunjukan bahwa antara tahun 2011 sampai dengan 2013 terjadi peningkatan yang sangat signifikan baik jumlah perkara maupun jumlah tersangkanya. Sedangkan untuk tahun 2014 sampai dengan Bulan Oktober baru terdapat 170 perkara dengan tersangka
hanya 212 orang, Meskipun terlihat data tahun 2014 terjadi penurunan namun belum merupakan satu jaminan bahwa angka tersebut tidak akan bertambah karena biasanya pada Bulan November dan Desember disetiap akhir tahun paling banyak dijerat tersangka terutama pada menjelang akhir tutup tahun sering terjadi pesta narkoba yang terjadi.
Gambar 2. Diagram Prosentase Kasus Penyalahgunaan Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Jenis Barang Bukti di Sulawesi Tengah Tahun 2014 (Sumber : Kapolda Sulawesi Tengah)
Gambar 3. Diagram Tren Tindak Pidana dan Penanganan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014 (Sumber : Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah)
Kondisi diatas menunjukkan betapa penyalahgunaan narkotika merupakan ancaman bagi pembangunan masyarakat dan masa depan generasi di Sulawesi Tengah. Kondisi ini jika tidak tertangani
dengan baik, akan semakin berdampak buruk bagi kualitas manusia dan kualitas kehidupan bermasyarakat dimasa yang akan datang.
60
pentingnya peraturan di kampus. Pengetahuan dan pemahaman hukum akan dapat membuat warga masyarakat mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap peraturan (sikap hukum), selanjutnya kemudian akan mentaati peraturan tersebut (perilaku hukum). Indikator tersebut menunjukkan pada tingkat-tingkatan kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seorang warga masyarakat hanya mengetahui hukum, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukumnya masih rendah, tetapi kalau seseorang dalam suatu masyarakat telah berperilaku sesuai dengan hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi.
Kesadaran Hukum Penyalahgunaan Narkotika Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954) . Menurut Abdurrahman Nurhidayat (2006), menyatakan bahwa kesadaran hukum itu adalah tidak lain dari pada suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat pada hukum. Kesadaran hukum ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana menurut Soekanto dalam Nurhidayat, (2006), yaitu ; (1) Pengetahuan tentang kesadaran hukum secara umum, (2) Pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, (3) Penghargaan terhadap ketentuanketentuan hukum, (4) Pentaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, dan (5) Ketaatan masyarakat terhadap hukum. Secara umum keadaan kesadaran hukum dapat dilihat dari indikatorindikator petunjuk tentang taraf kesadaran hukum masyarakat (Soekanto dalam Nurhidayat (2006). Indikator tersebut adalah : Pengetahuan hukum. yang dimaksud dengan pengetahuan hukum adalah seseorang telah mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, baik menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pemahaman hukum Pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari mahasiswa tentang hakikat dan arti
Pengetahuan Hukum Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal 1 ayat (15) yang dimaksud dengan Penyalahgunaan narkotika ialah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya (menyimpang atau bertentengan dengan yang seharusn ya) yang mempergunakan narkotika secara berl ebi han ( overdosi s ) sehi ngga membahayakan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis. Tindak pidana narkotika adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi melawan hukum atau tanpa hak melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tent ang Narkotika (penggolongan dan jenis-jenis Narkotika seperti dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009). Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikelompokan dalam beberapa perbuatan yang terdiri dari : 1. Tindak Pidana yang menyangkut menanam, memelihara, menyimpan narkotika atau penguasaan narkotika 61
2. Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika 3. Tindak pidana yang menyangkut mengimpor, dan mengekspor serta menyalurkan 4. Tindak pidana yang menyangkut penggunaan tanpa hak atau melawan hukum 5. Tindak pidana memberikan narkotika 6. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan tindak pidana narkotika 7. Tindak pidana menyangkut label dan publikasi narkotika 8. Tindak pidana yang menyangkut harta hasil narkotika 9. Tindak pidana yang menyangkut peradilan narkotika 10. Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika 11. Tindak pidana yang menyangkut keterangan palsu 12. Tindak pidana yang menyangkut penyimpangan fungsi 13. Tindak pidana yang menyangkut percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika 14. Tindak pidana yang menyangkut nahkoda atau kapten penerbang secara melawan hukum mengangkut narkotika. Berdasarkan data yang ada bahwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah dalam bentuk distribusi (peredaran) dan konsumsi (pemakaian). ini berarti bahwa masyarakat Sulawesi Tengah saat ini sedang menjadi sasaran dari kejahatan narkotika. Menurut Sunarso (2004), kejahatan narkotika merupakan kejahatan internasional (International Crime) dan kejahatan yang terorganisir (Organize Crime), serta mempunyai jaringan yang luas. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan kearah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukan kerja sama yang bersifat regional maupun internasional.
Sebagai daerah berkembang, Sulawesi Tengah memperoleh masukan aliran barang dan jasa pembangunan dari daerah lainnya khususnya yang telah lebih dulu berkembang dan maju. Keterbukaan akses yang demikian tinggi memungkinkan peredaran narkotika dengan mudah dapat masuk ke Sulawesi Tengah hingga akhirnya sampai pada masyarakat. Masyarakat daerah berkembang salah satunya dicirikan oleh keingintahuan yang tinggi terhadap hal-hal baru baik berupa informasi, teknologi, maupun barangbarang (produk) dalam berbagai bentuk. Keingintahuan seseorang seyogyanya didukung oleh kemampuan menilai, sebelum akhirnya menerima suatu hal baru. Banyak penyebab seseorang menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau narkotika sehingga menjadi korban penyalahgunaan narkotika, penyebabnya adalah : 1. Keingintahuan yang besar tanpa sadar akibatnya. 2. Keinginan untuk mencoba karena penasaran. 3. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun). 4. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable). 5. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan pergaulannya. 6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup. 7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-sekali tidak akan menimbulkan ketagihan. 8. Semakin mudah untuk mendapatkan narkotika dimana-mana dengan harga relatif murah. (available). 9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak mampu menolak narkotika secara tegas Disisi lain, kemampuan menilai tersebut membutuhkan pengetahuan (1) apakah hal tersebut dapat bermanfaat, (2) apakah hal tersebut dibolehkan, dan (3) bagaimana memanfaatkannya. Pada tahap ini, maka kadar pengetahuan seseorang warga masyarakat dapat diukur dari tingkat 62
pendidikanya sebagai obyek sasaran peredaran narkotika yang pada akhirnya menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Data kasus penyalahguna narkotika berdasarkan tingkat pendidikan di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa s eb a gi an bes ar t i ndak pi d an a penyalahgunaan narkotika dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), selanjutnya Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Sekolah Dasar (SD), dan terakhir Perguruan Tinggi (sarjana). Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa seharusnya masyarakat dengan tingkat pendidikan SMA telah memiliki kemampuan dasar membaca, mendefinisikan, menilai baik dan buruk secara umum, serta memperoleh pertimbangan awal menfaat menerima atau tidak. Jumlah Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Sulawesi Tengah, Tahun 2014 pada gambar 4.
Gambar 4. Diagram Jumlah Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Sulawesi Tengah, Tahun 2014 (Sumber : Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah)
Jika dilihat dari aspek yang melatarbelakangi t indak pidana penyalahgunaan narkotika, Sudarsono (1992), mengemukakan bahwa penyalahgunaan narkotika khususnya dikalangan anak muda di latarbelakangi oleh beberapa sebab, yaitu : 1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti ngebut dan bergaul dengan wanita. 2. Menunjukkan tindakan menentang orang tua, guru dan norma sosial. 3. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks. 4. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman
emosional. 5. Mencari dan menemukan arti hidup. 6. Mengisi kekosongan dan kesepian hidup. 7. Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup. 8. Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas 9. Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu Seseorang dengan pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin untuk terhindar dari praktek penyalahgunaan narkotika. Meskipun dengan pendidikan formal yang tinggi, pendidikan agama tetap diperlukan sebagai benteng agar seseorang tidak mudah terpengaruh, tidak mudah menerima, apalagi terlibat dalam 63
penyalahgunaan narkotika. Pendapat Sudarsono tersebut diatas menunjukkan bahwa setiap latar belakang tersebut tidak akan pernah ada jika pemahaman keagamaan seseorang kuat. pergaulan bebas, melawan orang tua, seks pranikah, dan sebagainya adalah hal-hal yang dilarang dalam agama. Maka dengan demikian aspek pendidikan yang erat kaitannya dengan pengetahuan hukum masyarakat harus didukung oleh pendidikan psikologi dan dogma yang kuat agar dapat mengetahui hal-hal yang dibolehkan maupun hal-hal yang dilarang terkait dengan narkotika. Disisi lain pengetahuan tentang apa yang dibolehkan dan apa yang tidak dibolehkan terhadap narkotika, Syafii (2009) mengemukakan bahwa motif pelaku dalam melakukan penyalahgunaan narkotika pada awalnya
sekedar mencoba-caba zat/barang tersebut. Hal itu disebabkan, karena sebagian besar masyarakat kurang informasi mengenai dampak yang ditimbulkan zat/obat narkoba terhadap fisik dan psikis. Terhadap hubungan antara tingkat pendidi kan yan g m engaki batkan peningkatan jumlah tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah, sebanyak 50 (63%) responden menjawab bahwa benar tingkat pendidikan menyebabkan peningkatan jumlah tindak pidana narkotika, selanjutnya 25 (31%) menjawab kurang benar, dan 5 (6%) menjawab tidak benar. Diagram Pandangan Responden Terhadap Tingkat Pendidikan Sebagai Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014 dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Diagram Pandangan Responden Terhadap Tingkat Pendidikan Sebagai Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014. Sumber : Hasil Penelitian
Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya masyarakat Sulawesi Tengah mempunyai pemahaman pentingnya pendidikan untuk membentengi diri dari penyalahgunaan narkotika. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan dapat membantu seseorang warga masyarakat dalam mengetahui bahwa setiap segala sesuatunya mempunyai nilai-nilai, dan ada
ketentuan yang mengaturnya. Pendidikan formal disertai dengan pemahaman nilai keagamaan yang memadai, akan dapat mengendalikan setiap keputusan dan tindakan masyarakat, yang tidak mudah mudah terjebak dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Sebagaimana disampaikan Syafii (2009) bahwa kesadaran remaja terhadap 64
keberagamaannya, dapat menghindarkan dirinya dari perbuatan yang dilarang agama, termasuk narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya. Agama merupakan motivator penting dalam memberikan pengarahan dan upaya pencegahan dari zat-zat terlarang tersebut, oleh karena itu para remaja dan generasi muda penerus bangsa yang taat beragama dan dengan disiplin melaksanakan ajaran agama dapat terhindar dari penyalahgunaan narkotika.
dan seterusnya. Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar polisi dengan serta merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa memperhitungkan apakah polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi yang sudah berpengalaman. Pengharapan tersebut tertuju kepada polisi yang mempunyai pangkat terrendah sampai dengan tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang berhadapan dengan polisi, tidak sempat memikirkan taraf pendidikan yang pernah dialami oleh polisi dengan pangkat terrendah, misalnya. Di dalam kehidupan sehari-hari, setelah menyelesaikan pendidikan kepolisian, maka seorang angota polisi langsung terjun ke dalam masyarakat, dimana dia akan menghadapi berbagai masalah, yang mungkin pernah dipelajarinya di sekolah, atau mungkin sama sekali belum pernah diajarkan. Masalah-masalah tersebut ada yang memerlukan penindakan dengan segera, akan tetapi ada juga persoalanpersoalan yang baru kemudian memerlukan penindakan, apabila tidak dicegah. Hasilnya akan dinilai secara langsung oleh masyarakat tanpa pertimbangan bahwa anggota polisi tersebut baru saja menyelesaikan pendidikan, atau baru saja ditempatkan didaerah yang bersangkutan. Warga masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap anggota polisi dapat menyelesaikan ganguan-gangguan yang dialami oleh arga masyarakat, dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sikap hukum untuk patuh pada peraturan-peraturan yang berlaku juga akan sangat dipengaruhi oleh aspek struktur hukum dalam penegakan hukum itu sendiri. salah satu unsur struktur hukum adalah keadaan aparat penegak hukum beserta kelengkapan yang dimilikinya. Hasil wawancara terhadap responden diperoleh informasi tentang hubungan jumlah personil aparat penegak hukum serta rasio antara keduanya terhadap peningkatan jumlah tindak pidana penyalahgunaan n a r ko t i k a di S ul a w e si T en ga h
Pemahaman Hukum Penyalahgunaan Narkotika Dalam ruang lingkup penegakan hukum mencakup penyidikan, penuntutan, peradilan dan pemasyarakatan yang dalam criminal justice system merupakan total system yang masing-masing sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. Meskipun upaya pemberantasan pelaku kejahatan narkotika oleh Kepolisian dilakukan dengan langkah-langkah terstruktur (1) tindakan pencegahan, bimbingan, penyuluhan dan sosialisasi masalah narkoba, lalu kemudian (2) penegakan hukum. Akan tetapi tindakan represif selalu dianggap wujud utama dari hukum yang sesungguhnya. seseorang atau suatu kelompok cenderung melihat bahwa peritiwa hukum terjadi pada saat penggerebekan atau penangkapan saja. Hal ini telah menyebabkan kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses. Untuk jelasnya, akan dikemukakan suatu contoh yang diambil dari suatu unsur kalangan penegak hukum, yakni polisi yang dianggap sebagai hukum oleh masyarakat luas (disamping unsur-unsur lainnya, seperti misalnya hakim, jaksa, 65
menggambarkan bahwa benar jumlah anggota kepolisian masih sangat minim untuk dapat memberantas penyalahgunaan narkotika. jumlah yang sedikit tersebut juga menggambarkan rasio yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang harus dijaga, dibina, dan dicerdaskan. Kecenderungan anggapan masyarakat bahwa hukum diidentikan sebagai petugas hukum semakin menguatkan bahwa benar hal ini telah menyebabkan ketaatan
terhadap hukum penyalahgunaan narkotika menjadi rendah. Ketiadaan petugas membuat seseorang warga masyarakat (pelaku/korban) leluasa melakukan tindakan penyalahgunaan narkotika baik mengedarkan/menjual maupun menggunakan/mengkonsumsi. Pandangan Responden Terhadap Jumlah dan Rasio Aparat Penegak Hukum Sebagai Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014 dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Diagram Pandangan Responden Terhadap Jumlah dan Rasio Aparat Penegak Hukum Sebagai Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014. Sumber : Hasil Penelitian
Pencegahan tindak criminal dalam kerangka penegakan hukum dilapangan dirasakan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi pemahaman hukum masyarakat. aktivitas pencegahan ini memerlukan kesiapan aparat penegak hukum dalam melakukan pendekatan (persuasive) dan upaya pencegahan tindak criminal (preventive). Oleh karena itu dalam pandangan masyarakat, bahwa seorang aparat penegak hukum dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika merupakan cerminan dari hukum narkotika itu sendiri. Jika peraturan tentang narkotika ditegakan untuk membuat seseorang atau sekelompok masyarakat menjadi lebih baik, maka masyarakat akan melihat apakah penegak
hukum sudah terlebih dahulu mengikuti aturan-aturan tersebut atau justru tidak mentaati peraturan yang ditegakkannya. Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti akan menghadapi bermacambermacam manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. diantara mereka itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang purapura mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang dengan terang-terangan melawanya. Yang dengan sendirinya taat, harus diberi perangsang agar tetap taat, sehingga dapat dijadikan keteladanan. Akan tetapi timbul masalah dengan mereka yang pura-pura menaati hukum, oleh karena mencari peluang di mana penegak hukum berada 66
dalam keadaan kurang siaga. Masalah lainnya adalah, bagaimana menangani mereka mengacuhkan hukum ataupun yang secara terang‑terangan melawannya. Jawaban responden dari penelitian ini tentang hubungan pemahaman hukum masyarakat terhadap peningkatan jumlah tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Sulawesi Tengah menggambarkan bahwa 68 (85%) responden menyatakan benar pemahaman hukum menyababkan tingginya tindak pidana penyalahgunaan
narkotika, selanjutnya 10 (12%) menjawab kurang benar, dan 2 (3%) menjawab tidak benar. Berdasarkan uraian diatas, meningkatnya tindak penyalahgunaan narkotika disebabkan oleh kecenderungan masyarakat memahami hukum dan intitusiinstitusi hukum yang masih sangat sederhana (simple). Pemahaman terhadap adanya sanksi atas pelanggaran terhadap penyalahgunaan narkotika hanya dipahami sebagai ancaman jika pelaku tertangkap atau tidak berhati-hati dalam aksinya.
Gambar 07. Diagram Pandangan Responden Terhadap Pemahaman Hukum Masyarakat Sebagai Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Sulawesi Tengah, Tahun 2014. Sumber : Hasil Penelitian
pengetahuan hukum, dan pemahaman hukum. Beberapa pendapat tersebut sebagai berikut : 1. Sebagian besar masyarakat Sulawesi Tengah di Kota Palu, Poso, Donggala, luwuk dan kota lainya di 13 Kabupaten/ Kota dalam hal penegakan hukum, cenderung bersikap apatis. Hal ini ditunjukan dengan tingkat kepedulian yang sangat rendah terhadap berbagai persoalan hukum. 2. Masyarakat Sulawesi Tengah adalah masyarakat yang sangat mudah terprofokasi, sebut saja kasus perkelahian antar kampung atau antar warga masyarakat Buol dengan Polisi adalah gambaran bagaimana mudahnya m as ya r ak at S ul a w esi Te n gah
Tingkat Kesadaran Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Faktor kesadaran hukum masyarakat adalah faktor yang ikut menentukan bagi efektif atau tidaknya penegakan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Sebagaimana dalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu peraturan/hukum, penegak hukum, 67
terprofokasi. 3. Ti ngkat penget ahuan hukum mas yarakat Sulawesi Tengah cenderung juga masih rendah. Persoalan-persoalan hukum yang terjadi di Sulawesi Tengah sering tidak diketahui oleh masyarakat terutama materi hukum yang menjadi obyek sengketa hukum. 4. Masyarakat adat dan lembaga-lembaga adat yang pada masa lalu sangat berperan dalam membangun kesadaran hukum masyarakat justru pada masa kini menjadi lemah dan semakin pudar peranannya. Berdasarkan pembahasan tentang pengetahuan hukum, pemahaman hukum, serta pendapat-pendapat mengenai hukum di masyarakat Sulawesi Tengah sebagaimana diuraikan diatas, masyarakat Sulawesi Tengah belum mengetahui dan mengerti tentang hukum narkotika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukum penyalahgunaan narkotika pada masyarakat Sulawesi Tengah masih rendah. Masyarakat Sulawesi Tengah belum sepenuhnya memahami hukum dan i nt i t us i -i nst i t usi hukum t erk ai t penyalahgunaan narkotika. Tingginya tindak pidana narkotika yang telah terjadi tidak memberikan makna sebagai pengalaman yang tercermin dari tindakantindakan dalam masyarakat. Hal ini juga dapat dipahami bahwa masyarakat Sulawesi Tengah hanya melihat hukum sebagai aturan yang dapat dilanggar, atau norma yang dapat diabaikan karena hanya takut pada aparat penegak hukumnya. Artinya tidak Nampak perilaku masyarakat yang menggambarkan masyarakat yang teratur dan tertib atau belum berperilaku hukum.
kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. Misalnya, kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya mengetengahkan sanksisanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum dilanggar, maka mungkin warga masya-rat malahan hanya taat pada saat ada petugas saja. Hal ini bukanlah berarti bahwa cara demikian (yakni yang coercive) selalu menghasilkan ketaatan yang semu. Maksudnva adalah, bahwa apabila cara demikian selalu ditempuh, maka hukum dan penegak hukum dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. caracara lain dapat diterapkan, misalnya, cara yang lunak (atau persuasion) yang bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat. kadang -kadang dapat diterapkan cara mengadakan penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum (cara ini lazimnya dikenal dengan sebutan pervasion). cara lainnya yang agaknya menyudutkan warga masyarakat adalah compulsion. Pada cara ini dengan sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum. Memang dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi dimana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Oleh karena masyarakat mengharapkan bahwa polisi akan dapat melindunginya. maka dengan sendirinya polisi harus mengenal lingkungan tempat dia bertugas, dengan sebaik-baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik-baiknya tidak mugkin terjadi, kalau polisi tidak menyatu dengan lingkungan tersebut. Keadaan akan bertambah buruk lagi, apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk mengenal dan memahami lingkungan tersebut, karena terlampau berpegang pada kekuasaan formal atau kekuatan fisk belaka. Seorang aparat penegak hukum harus
Membangun Kesadaran Hukum Dalam Upaya Penegakan Hukum Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat menaati hukum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa 68
selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan gangguan terhadap kedamaian. masalahmasalah tersebut tidak hanya terbatas pada kejahatan dan pelanggaran belaka, mungkin dia harus menolong orang yang sudah tua untuk menyeberan jalan raya yang padat dengan dengan kenderaan bermotor, atau dia harus melerai suami istri yang sedang bertengkar, atau dia harus menolong orang yang terluka didalam kasus tabrak lari, dan lain sebagainya. Alangkah banyaknya tugas polisi; akan tetapi warga masyarakat memang mempunyai harapan demikian. Warga masyarakat menghendaki polisipolisi yang senantiasa “siap pakai” untuk melindungi warga masyarakat terhadap aneka macam gangguan. Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), terdapat golongan etnik dengan kebudayaankebudayaan khusus. Di samping itu, maka bagian terbesar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan dengan wilayah perkotaan. Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus banyak ditangani dengan cara-cara tradisional;; di wilayah perkotaan juga tidak semua masalah dapat diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisional. Kalau demikian halnya, bagaimanakah cara untuk mengenal lingkungan (sosial) dengan sebaikbaiknya? Pertama seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasardasarnya, seperti kekuasaan, kekavaan materiel, kehormatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Dari pengetahuan dan pemahaman terhadap stratifikasi sosial tersebut, dapat diketahui lambanglambang kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya pergaulannya. Di
samping itu akan dapat diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi ke-kuasaan dan wewenang, beserta penerapannya di dalam kenya-taan. Hal itu dapat diketahui melalui wawancara dengan pelbagai tokoh atau warga masyarakat biasa, maupun dengan jalan mengadakan pengamatan-pengamatan terlibat maupun tidak terlibat. Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat setempat. Lembaga-lembaga sosial tersebut adalah, misal lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga penegakan hukum. dan seterusnya. Secara teoretis lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai hubungan fungsional, sehingga mempunvai pengaruh yang sangat besar terhadap stabiIitas maupun perubahan -perubahan sosial budaya yang akan atau sedang terjadi. KESIMPULAN 1. Pengetahuan dan pemahaman hukum akan dapat membuat seseorang warga masyarakat mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap peraturan (sikap hukum), selanjutnya kemudian akan mentaati peraturan tersebut (perilaku hukum). 2. Masyarakat Sulawesi Tengah memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap halhal baru baik berupa informasi, teknologi, maupun barang-barang (produk) dalam berbagai bentuk. Keingintahuan tersebut tidak didukung didukung oleh kemampuan menilai, sebelum akhirnya menerima suatu hal baru. Seseorang dengan pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin untuk terhindar dari praktek penyalahgunaan narkotika. Maka dengan demikian aspek pendidikan yang erat kait annya dengan pengetahuan hukum masyarakat harus didukung oleh pendidikan psikologi dan dogma yang kuat agar dapat mengetahui hal-hal yang dibolehkan 69
maupun hal-hal yang dilarang terkait dengan narkotika. 3. Masyarakat belum mengetahui dan mengerti tentang hukum narkotika (tingkat kesadaran hukum penyalahgunaan narkotika pada masyarakat Sulawesi Tengah masih rendah). Masyarakat belum sepenuhnya memahami hukum dan intitusi-institusi hukum terkait penyalahgunaan narkotika. Tingginya tindak pidana narkotika yang telah terjadi tidak memberikan makna sebagai pengalaman yang tercermin dari tindakan-tindakan dalam m as yarakat unt uk m enj auhi/ menghindari bahkan mencegah penyalahgunaan narkotika.
Mulyono, Liliawati, Eugenia.1998. P eraturan P erundang -undangan Narkotika dan Psikotropika. Harvarindo, Jakarta. Nur Dewata, Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, 2010. Desain Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Nurhidayat, Al aziz. 2006. Kesadaran Hukum Warga Masyarakat Desa Lemahjaya Kecamatan Wanadadi Kabupaten Banjarnegara Terhadap Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Semarang : UNNES. Siswantoro Sunarso, 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologis Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sudarsono, 1992. Kenakalan Remaja, Rineke Cipta, Jakarta. Syafii A., 2009. Pengaruh Narkoba Terhadap Kenakalan Remaja di Sulawesi Tengah. Artikel Jurnal Media Litbang Sulteng 2 (2) : 86 – 93, Desember 2009. (http:// jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ MLS/article/download/53/46 diakses pada 26 Desember 2015, 11.35 wita) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, 2009. Aspek–Aspek Pengubah Hukum. Prenada Media, Jakarta. Dadang Hawari. 1991, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Aditif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Gatot Suparmono, 2009, Hukum Narkoba Indonesia, Penerbit Djambata, Jakarta. Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
70