PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : NAMA NIM
: HARIS ARDIKA : 26120056
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Sya
OLEH : NAMA NIM
: HARIS ARDIKA : 26120056
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
NAMA
:
HARIS ARDIKA
FAKULTAS
:
HUKUM
PROGRAM STUDI
:
ILMU HUKUM
NPM
:
26120056
DISETUJUI DAN DITERIMA OLEH PEMBIMBING
(ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H.)
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan lulus. Dengan atakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, September 2015
Tim Penguji Skripsi : 1.
Ketua
TRI WAHYU ANDAYANI, SH, CN, MH
2.
Sekretaris
ANDY USMINA WIJAYA, SH, MH
3.
Anggota
1. Dr. SUGENG REPOWIJOYO, SH, Hum (Penguji 1)
2. FARINA GANDRYANI, SH, MSi (Penguji 2)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur Alhamdulillah atas limpahan rahmad, taufik serta hidayah – Nya, segala sesuatu dapat dimulai dan diselesaikan hanya dengan kehendakNya, oleh karena itu dengan penuh rasa syukur atas terselesaikannya skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Indonesia”. Sebagai salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan studi pada Program Sarjana Universitas Wijaya Putra Surabaya, skripsi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keterlibatan penulis dalam mengikuti program pendidikan di Universitas Wijaya Putra Surabaya. Terima kasih yang dalam perlu kami sampaikan pula kepada yang kami hormati: 1. Bapak Budi Endarto, SH, MHum selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah member kesempatan dan mengantarkan kami dalam lingkup pendidikan Universitas Wijaya Putra Surabaya, melalui segala fasilitas untuk menyelesaikan pendidikan serta penulisan skripsi ini. 2. Ibu Tri Wahyu Andayani, SH, CN, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Andy Usmina Wijaya, SH, MH selaku Dosen Pembimbing dalam tugas ini yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Para Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada kami. 5. Para teman-temanku yang banyak memberikan dorongan dan pengorbanan.
6. Semua pihak yang ikut serta membantu dan memberikan dorongan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang bersangkutan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ditemui, untuk itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun akan Penulis terima dengan senang hati demi kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, September 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………………………………………………………….. .....
1
1.2. Rumusan Masalah ...............................................................................
7
1.3. Penjelasan Judul..................................................................................
7
1.4. Alasan Pemilihan Judul ........................................................................
9
1.5. Tujuan Penelitian ................................................................................
9
1.6. Manfaat Penelitian………………………………………………………... ..
9
1.7. Metode Penulisan ................................................................................
11
1.8. Pertanggungjawaban Sistematika ........................................................
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1. Pengertian Tindak Pidana, Penanggulangan .........................................
14
2.2. Pengertian Narkotika..............................................................................
24
2.3. Delik Formil dan Materiil Tindak Pidana Narkotika .................................
27
2.4. Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang 35 / 2009…………….
32
BAB III PENEGAKAN HUKUM BAGI ANAK YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA 3.1. Stetsel Sanksi Pidana Dalam KUHP ......................................................
34
3.2. Sanksi Pidana Bagi Anak Dalam UU Pengadilan Anak ..........................
37
3.3. Sanksi Pidana Bagi Anak Dalam UU Narkotika …………………………..
43
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan ...........................................................................................
57
4.2. Saran-Saran ..........................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika saat ini menjadi perhatian berbagai kalangan
dan terus menerus dibicarakan dan dipublikasikan. Ironisnya, tidak hanya dikalangan dewasa saja narkotika begitu dikenal dan dikonsumsi, tetapi dikalangan remaja dan anak dibawah umur pun juga sudah mengenal barang haram tersebut. Fakta yang disaksikan hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun elektronik, ternyata peredaran narkotika telah merebak kemana-mana tanpa pandang usia. Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Dalam
dunia
menghilangkan
medis rasa
narkotika nyeri.
Di
sangat samping
diperlukan itu
sudah
karena ratusan
keampuhannya tahun
orang
menggunakannya sebagai obat mencret dan obat batuk.1 Narkotika merupakan bagian dari narkoba yaitu segolongan obat, bahan atau zat yang jika masuk ke dalam tubuh berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan 2 syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan. Terjadi perubahan dalam kesadaran, pikiran, perasaan, dan perilaku pemakainya.2 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal
1 2
Andi Hamzah dan RM. Surachman. Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Jakarta. Sinar Grafika. 1994. hlm. 5. Ahmadi Sofyan. Narkoba Mengincar Anak Muda. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2007. hlm. 12
1
1 Ayat (1) bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dari mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan
dan
perlindungan
dalam
rangka
menjamin
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Anak adalah bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan manusia yang oleh karena kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan yang matang maka segala sesuatunya berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak pada Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak memerlukan perlindungan dan pemeliharaan khusus dari orang tuanya. Sepeti pada masa sekarang ini telah banyak anak yang mengkonsumsi narkotika, sehingga diperlukan upaya pembinaan dan perlindungan terhadap anak agar anak terhindar dari penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, si 2
pelaku sekaligus sebagai korban kejahatan.3 Kriminologi itu sendiri bararti ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Masa remaja seorang anak dalam suasana atau keadaan peka, karena kehidupan emosionalnya yang sering berganti-ganti. Rasa ingin tahu yang lebih dalam lagi terhadap sesuatu yang baru, kadangkala membawa mereka kepada halhal yang bersifat negatif. Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum, sangat disayangkan apabila anak telah mengalami pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika bahkan dapat menjadi. Pengulangan tindak pidana, dalam pergaulan sehari-hari, khususnya diantara para penjahat/preman dikenal dengan “residivis” (seharusnya recidive). Seseorang yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada narkotika akan merugikan dirinya sendiri, juga merusak kehidupan masyarakat. Pengertian recidive secara yuridis adalah seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Pengulangan tindak pidana (Recidive) dalam KUHP tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik yang berupa kejahatan di dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran di dalam Buku III. Selain itu, KUHP juga mensyaratkan tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Dengan demikian, KUHP menganut Sistem Recidive Khusus, artinya: “pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana
3
Made Darma Weda. Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana. Jakarta. Guna Widya. 1999. hlm. 80
3
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.4 Kecanduan terhadap narkotika adalah gangguan dalam otak yang disebabkan penyalahgunaan narkotika sehingga menyebabkan pengulangan perilaku yang berlebihan dari orang yang tidak atau susah berhenti terhadap obatobatan walaupun dengan resiko berbahaya bagi tubuhnya. Jika mereka berhenti mengkonsumsi obat-obatan, maka tubuh dari si pecandu akan menderita berlebih secara fisik dan mereka mau tidak mau harus memenuhi perasaan ketagihan tersebut dengan cara apapun. Seorang pecandu narkotika sudah tidak mampu lagi mengendalikan dirinya sendiri, mereka hanya sendirian tanpa perlu berfikir akan teman, keluarga atau lingkungan sekitarnya, banyak pecandu narkotika yang meninggal akibat penggunaan dosis yang berlebih atau over dosis. Penggunaan bahan kimia narkotika dalam jangka waktu panjang akan mengganggu sistem kerja syaraf di otak, contohnya Glumate adalah neurotransmitter atau syaraf yang berfungsi untuk menangkap pembelajaran, memahami, memori dan prilaku seseorang. Jaman sekarang, narkotika tidak hanya merasuki pada lingkungan remaja saja, anak-anakpun sudah banyak yang mengalami kecanduan juga. Sebagai contoh yang terjadi di Jayapura, seorang anak berinisial RW (15) tahun alias Aldo alias Amos berhasil ditangkap Tim Satuan Reskrim Narkoba Polres Jayapura Kota, atas dugaan memiliki satu karung ganja yang ditafsir senilai Rp 50 juta. Kapolres Jayapura Kota AKBP Alfred Papare mengatakan, terkuaknya bisnis gelap RW ini berawal ketika aparat kepolisian menerima informasi rumah RW kerap dijadikan transaksi ganja. Alhasil, anggota langsung melakukan penggrebekan dan
4
Tri Andrisman. Hukum Pidana: Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung. Universitas Lampung. 2011. hlm. 198.
4
berhasil meringkus RW yang tengah tidur di rumahnya di Argapura Vietnam, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Sabtu (19/1/2013). Kapolres memaparkan, RW ditengarai pernah terlibat kasus narkotika dan pernah diproses Direktorat Reskrim Narkoba Polda Papua. Pengakuan RW, ia sering mengambil ganja dari Papua New Guinea. Tersangka seorang residivis, karena sudah beberapa kali ditangkap karena kasus serupa, namun tak jera. Terkait usia RW yang masih tergolong dibawah umur, pihak kepolisian masih melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Anak (BAPAS) untuk proses pemeriksaan tersangka. Contoh kasus nyata lainnya mengenai pengulangan tindak pidana narkotika oleh anak adalah yang terjadi pada Pengadilan Negeri Kotabumi yang berwenang memeriksa perkara kasus anak yang berkonflik dengan hukum dengan terdakwa Johan Saputra Bin Junaidi (17) tahun, didakwa oleh jaksa/penuntut umum Kejaksaan Negeri Kotabumi dengan dakwaan alternatif keempat yang melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dengan pidana penjara selama 01 (satu) tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. Terdakwa ditahan karena terbukti secara sah telah tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan Narkotika Golongan I jenis putaw. Terdakwa menikmati putaw bersama dengan rekan-rekannya disebuah rumah dan terdakwa mengaku bahwa ia merupakan pecandu berat narkotika jenis putaw dengan dosis yang besar antara 2 (dua) hingga 3 (tiga) kali mengkonsumsi narkotika jenis putaw setiap harinya dan menjadikan paket-paket kecil putaw yang dibelinya tersebut untuk memudahkan pada saat mengkonsumsi putaw tersebut dan mengkonsumsi putaw tersebut dengan cara menggunakan alat bantu suntikan yang berisikan cairan bubuk putaw lalu menyuntikkannya ke tangan.
5
Hakim Anak Pengadilan Negeri Kotabumi berpendapat dalam tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa merupakan permasalahan remaja (anak muda) yang karena lingkungan pergaulan yang negatif dan ternyata terdakwa merupakan pecandu putaw sejak usia 11 (sebelas) tahun serta terdakwa sudah pernah dibawa ke BNN Bogor untuk direhab selama 2 (dua) bulan di tahun 2011. Mengingat Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 6 Ayat (1) UU RI No.4 tahun 1979 dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta peraturan lain yang bersangkutan. Maka Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan memakai Narkotika Golongan I untuk diri sendiri” dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.5 Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.6 Penerapan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika berbeda dengan orang dewasa. Perhitungan pidana yang dijatuhkan kepada anak-anak adalah ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa, karena anak dipandang belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya secara sepenuhnya. Selain itu, dalam proses penegakan hukum terhadap anak, digunakan beberapa pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi pidana
tersebut.
Teori
pertanggungjawaban
pidana
menjelaskan
bahwa
pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat 5
Putusan Pengadilan Negeri Kotabumi No: 172/Pid.Sus/Anak/2013/PN.KB Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.153 6
6
(liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana.7 Adanya kasus-kasus ini maka dapat dilihat faktor penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana narkotika oleh anak, seperti faktor lingkungan pergaulan yang negatif, faktor keluarga dan faktor ekonomi. Upaya penanggulangan baik secara penal maupun non penal juga telah dilakukan, seperti penyuluhan, rehabilitasi dan pidana penjara. Namun, masih saja kita jumpai kasus pengulangan tindak pidana narkoika oleh anak. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka menimbulkan rasa ingin tahu saya untuk mengkaji lebih lanjut faktor-faktor penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana narkotika oleh anak. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Analisis Kriminologis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak.”
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengertian tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak ? 2. Bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika yand dilakukan oleh anak ?
1.3.
7
Penjelasan Judul
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni. 1986. hlm. 49.
7
Penelitian ini mengambil judul “Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Anak”. Pengulangan tindak pidana, dalam pergaulan sehari-hari khususnya diantara para penjahat / preman dikenal dengan „residivis’ (seharusnya recidive). Pengertian recidive secara yuridis adalah seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.8 Tindak pidana dalam konsep KUHP pengertian tindak pidana telah dirumuskan dalam Pasal 11 Ayat (1) sebagai berikut: “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.” Narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat pengertian dari Narkotika itu sendiri yakni pada Pasal 1 Ayat (1): “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang ini.” Anak menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkan bahwa : “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” 8
Tri Andrisman. Op.cit. hlm.197
8
1.4.
Alasan Pemilihan Judul Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan
pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental
spiritual
manusia
seutuhnya
lahir
maupun
batin.
Seiring
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dewasa ini berkembang pengaruh pemakaian obat-obatan dikalangan masyarakat. Hal ini sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin berkembang dengan pesat, dan salah satu yang paling marak saat ini adalah “Masalah Narkotika dan Psikotropika.” Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Peredaran Narkotika dan Psikotropika secara tidak bertanggung jawab sudah semakin meluas di kalangan masyarakat. Hal ini tentunya akan semakin mengkhawatirkan, apalagi kita mengetahui yang banyak menggunakan Narkotika dan Psikotropika adalah kalangan generasi muda yang merupakan harapan dan 9
tumpuan bangsa di masa yang akan datang. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan dampaknya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya mengatasi masalah ini.
1.5.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk
mengetahui
dan
memahami
faktor-faktor
penyebab
terjadinya
pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak. 2. Untuk mengetahui dan memahami upaya penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak.
1.6.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai analisis kriminologis terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak.
10
2. Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat umum mengenai analisis kriminologis terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak serta terhadap penegak hukum diharapkan penulis dapat memberikan informasi dan menyumbangkan pemikiran dalam menyeselasaikan masalah pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak.
1.7.
Metodelogi Penelitian
a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan isu hukum yang akan dicari jawabannya yaitu tentang Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Anak. Untuk memberikan jawaban atas isu hokum diatas tersebut digunakanlah tipe penelitian hokum normative, yaitu suatu penelitian yang bertumpu pada telaah peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang berkaitan dengan pkok masalah yang dibahas. Dalam penelitian hukum tidak dikenal variable bebas dan veriabel terikat, hipotesis, populasi dan sampling, data dan teknik pengumpulan data, analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian hokum normative yang akan memberikan jawaban bagaimana hokum yang seharusnya dan seyogyanya, bukan hokum yang senyatanya, dengan sumber penelitian berupa bahan hokum primer dan bahan hokum sekunder, yang kemudian dianalisa.
b. Pendekatan Masalah
11
Pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum normative adalah pendekatan
hukum
perundang-undangan
(statute
approach).
Pendekatan
perundang-undangan yaitu melakukan kajian terhadap peraturan perundangundangan dan peraturan lainya yang berlaku, yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum Objek penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berbentuk perturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum narkotika. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah bahan literature berbentuk buku dan diktat-diktat yang membahas masalah hukum narkotika.
d. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Adapun langkah yang digunakan adalah pertama, melakukan pengumpulan dan menginventarisir bahan-bahan hokum dengan menggunakan studi kepustakaan. Dengan bantuan daftar katalog dapat diketahui bahan-bahan hokum yang pembahasannya menyangkut dengan pokok masalah yang dibahas ini. Langkah kedua adalah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan diklarifikasi dengan cara memilah-milah bahan hokum dan kemudian disusun secara sistematis agar mudah dipelajari dan dipahami. Langkah ketiga, dalam menganalisa bahan-bahan hokum digunakan metode deduktif, yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan ketentuanketentuan yang bersifat umum dan kemudian diterapkan pada pokok masalah yang akan dibahas serta bersifat khusus. 12
Langkah keempat, untuk sampai pada jawaban permasalahan yang akan dibahas, digunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang berdasarkan pada hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, antara pasal yang satu dengan lainnya.
1.8.
Sistematika Pertanggungjawaban Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan
dibagi dalam 4 (empat) bab, sebagai tersebut dibawah ini. Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah yang menjadi alasan penting kajian hukum ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian ini, tujuan dan manfaat penelitian ini, mengapa dilakukan. Uraian metode penelitian sebagai instrument kajian
apakah
langkah-langkah
kajian
dalam
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bab II Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Pembahasan meliputi definisi dan macam tindak pidana narkotika yang diatur dalam ketentuan perundangundangan di Indonesia. Bab III Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak. Pembahasan meliputi ketentuan tindak pidana narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 tetang Narkotika dan bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati pada tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak. Bab IV Penutup, Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan dan bagian saran, bagian kesimpulan merupakan jawaban singkat terhadap permasalahan yang dirumuskan, sedangkan bagian saran merupakan sumbangan pemikiran masukan dalam khazanah hukum. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
2.1.
Pengertian Tindak Pidana, Penanggulangan dan Pemberantasan Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang diancam pidana, asal saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kekuatan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh Karena itu, ada hubungannya yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika karena tidak ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menujuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Karena itu maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam pasal 14 ayat 1 UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah
14
“peristiwa pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam entah karena penyakit, entah karena sudah tua, entah karena tertimpa pohon yang roboh ditiup angin puyuh, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungannya dengan kelakuan orang lain, di situlah peristiwa tadi menjadi penting bagi hukum pidana. Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”. Istilah ini sering tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering disepakati dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan”, tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasalpasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contoh: U.U. Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain)
15
Mengenai peristilahan ini, yang memakai istilah: peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya dengan istilah Belanda “strafbaar feit”. Kata-kata di atas adalah salinan belaka dari “strafbaar feit”, sedangkan perbuatan pidana bukan demikian halnya. Ada beberapa kajian penting sehubungan dengan istilah perbuatan pidana diantaranya apakah istilah “perbuatan pidana” itu dapat disamakan dengan istilah Belanda “strafbaar feit”? Untuk menjawab ini perlu kita ketahui dahulu apakah artinya “strafbaar feit”. Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waarding) dan dilakukan dengan kesalahan. Beliau berkata: “Strafbaar feit itu sendiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua, hal itu berada juga dengan “perbuatan pidana” sebab di sini tidak dihitungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain 16
halnya strafbaar feit. Di situ dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan. Perbuatan pidana ini kiranya dapat disamakan dengan istilah Inggris “criminal act” Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan : akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Dalam Outlines of criminal Lau 1952 pag. 13 tentang criminal act atau dengan bahasa latin : actus reus ini diterangkan sebagai berikut: “actus reus may be defined as such result of human conduct as the law seek (mencoba) to prevent.it is important to note that the actus reus, which is the result of conduct, must be distinguished from the conduct which produced the result” Kedua. Karena criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidana seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Hal ini dinyatakan dalam kalimat latin: “Actus non facit reum, nisi mens sit res”. (an act does not make a person guilt, unless the mind is guilt). Bahwa untuk mempertanggungjawabkan pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika ada kesalahan. (geen starf zonder schuld, ohne Schuld keono Strafe).“Pidana” merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang khusus. Berdasarkan dengan “hukuman” yang merupakan istilah umum dan dapat mempunyai arti yang luas serta berubah-ubah. Istilah hukuman tidak saja dipergunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, 17
seperti : pendidikan, moral, agama dan lain sebagainya. Sudarto menulis bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh menulis bahwa pidana adalah reaksi atas delik, berupa suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara kepada pembuat delik itu. Terjemahan “Strafbaar feit” atau “delic” itu (sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) di kenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti : a. Tindak pidana (Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) b. Perbuatan pidana (Mulyatno, pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI tahun 1955 di Yogyakarta) c. Pelanggaran pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok – pokok Hukum Pidana. Penerbit Fasco, Jakarta 1995) d. Perbuatan yang boleh di hukum (Mr. Karni, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Penerbit Balai Buku Indonesia, Jakarta1959) e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang – Undnag No. 12/Drt Tahun 1951, pasal 3, tentang Mengubah Ordonantie Tijdelijk Bijzondere Strafbepalingen) Beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat untuk dipakai adalah istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar suruhan/ gebod) atau tidak bertindak. Terkait dengan definisi tindak pidana atau peristiwa 18
pidana, dan apabila di lihat dalam peraturan perundang – undangan yang ada, tidak pernah diketemukan. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hokum, para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan. Sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefinisikan Simon dan Van Hamel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan – pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia hingga saat ini. a.
Simon Simon mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam
dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. b. Van Hamel Perumusan Van Hamel sebenarnya sama dengan perumusan Simon, hanya Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu : perbuatan itu harus pula patut di pidana (Welk Handeling een Strafwaarding karakter heft). Secara tegas Van Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang – Undang bersifat melawan hukum, patut di pidana dan dilakukan dengan kesalahan. Simon maupun Van Hamel memasukkan kesalahan dalam pengertian tindak pidana. “Berhubung dengan kesalahan, ataupun dilakukan dengan kesalahan, merupakan frasa yang memebri pertanda, bahwa bagi beliau suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika di dalamnya juga dirumuskan tentang kesalahan. c.
Schaffmeister 19
Beliau mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. Dalam hal ini, sekalipun tidak menggunakan istilah kesalahan, namun data dicela umumnya telah dapat dipahami sebagai makna kesalahan. Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh Undang-Undang (Een Strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit). Begitu berpengaruhnya pandangan ahli – ahli hukum Belanda tersebut, sehingga umumnya diikuti oleh ahli – ahli hukum pidana Indonesia, termasuk generasi sekarang, seperti misalnya : 1. Komariah E. Sapardjaja. Beliau menyatakan, “Tindak Pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 2. Indriyanto Seno Adji Menyatakan, “Tindak Pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa sutau tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau di cela oleh masyarakat dan dilakukan oleh orang yang bersalah yang dapat dikenakan sanksi pidana. Unsur kesalahan atau pertanggung jawaban menjadi bagian pengertian tindak pidana. 3. A. Ridwan Halim, S. menyebut tindak pidana sebagai delik yaitu : suatu perbuatan atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman 20
oleh Undang – undang (pidana). Dari apa yang dikatakan oleh A Ridwan Halim, S, jelas Nampak agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus telah diatur dalam suatu peraturan perundang – undangan serta diancam dengan hukuman. Berkaitan dengan pemahaman tindak pidana tersebut di atas Moeljatno, mengemukakan beberapa unsur – unsur untuk adanya suatu tindak pidana atau perbuatan pidana yaitu ; 1.
Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah orang
2.
Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan rumusan delik.
3.
Bersifat melawan hukum yaitu : a) Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah diatur dalam Undang – undang. b) Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan melanggar aturan atau nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat harus adanya kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pencelaan dari masyarakat apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat. Kesalahan itu sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan / dolus dan kealpaan.
4.
Harus dapat dipertanggung jawabkan
5.
Sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan
21
Dari hal tersebut terlihat bahwa kesalahan adalah faktor penentu pertanggung jawaban pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian definisi tindak pidana. Hal ini Nampak sebagaimana di katakana Moeljatno, apakah Inkonkreto yang melakukan perbuatan tadi sungguh – sungguh di jatuhi pidana atau tidak. Itu sudah di luar arti perbuatan pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan. Di lain kesempatan juga beliau mengatakan, suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam definisi – definisi tersebut, unsure keslahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah “perbuatan‟ saja. Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakuan dan akibatnya.
Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh Undang – undang.
Pengertian sebagaimana tersebut di atas, dalam pasal 11 rancangan KUHP di rumuskan dengan, “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang – undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan ancam dengan pidana “ Dapat ditegaskan
22
sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran – pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggung jawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.
Sekalipun demikian, usaha untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawabn pidana harus terus menerus dikembangkan sehingga manfaat dapat menyeluruh. Menurut Andi Hamzah, “Pemisahan tersebut hanya penting diketahui oleh penuntut umum dal;am penyusunan surat dakwaan, karena surat dakwaan cukup berisi bagian inti (bestandeel) delik dan perbuatan nyata terdakwa, jadi actus reus saja. Bertolak dari pendapat di atas, maka dengan sendirinya juga sangat penting bagi penasehat hukum untuk menyusun pembelaan. Pada gilirannya hakim juga perlu untuk memahami konsep ini dalam menyusun putusan.
Mengingat Pasal 1 ayat (1) KUHP menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang – undangan. Sekalipun dalam Rancangan KUHP Prinsip ini sedikit banyak disimpangi. Tetapi penentuan tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan masih merupakan inti ketentuan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan Nullum Crimen Sine Lege dan Nulla Poena Sine Lega merupakan prinsip utama dari asas legalitas, sehingga penyimpangannya sejauh mungkin dihindari. Karena itu sutau perbuatan bagaimanapun bentuknya baru merupakan perbuatan pidana
23
bilaman perbuatan itu dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan orangnya diancam dengan pidana.
2.2.
Pengertian Narkotika
Secara harafiah narkotika sebagaimana di ungkapkan oleh Wilson Nadaek alam bukunya “Korban Ganja dan Masalah Narkotika”, merumuskan sebagai berikut: Narkotika berasal dari bahasa Yunani, dari kata Narke, yang berarti beku, lumpuh, dan dungu. Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak) serta adiksi.
Soedjono D. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa : menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan (halusinasi). Sedangkan menurut Elijah Adams memberikan definisi narkotika adalah sebagai berikut, “Narkotika adalah : terdiri dari zat sintesis dan semi sintesis yang terkenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdaganganperdagangan gelap, selain juga terkenal istilah dihydo morfhine.. Selain definisi yang diberikan oleh para ahli, terdapat juga pengertian narkotika dalam Undang-undang. Pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika memberikan pengertian narkotika sebagai berikut:
24
a.
Bahan – bahan yang disebut dalam angka 2 sampai angka 3
b.
Garam – garam dan turunan – turunan dan morfhine dan kokaina
c.
Bahan – bahan lain namun alamiah sintesa maupun semi sintesa yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfhine atau kokaina yang ditetapkamn oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, bilamana di salahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan, sepertimorfina dan kokaina.
d.
Campuran – campuran yang sedian – sedian mengandung bahan yang tersebut dalam huruf a,b, dan c. Undang – undang Nomor. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan
yaitu narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan – golongan sebagaimana terlampir dalam Undang – undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Undang – undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika memberikan pengertian psikotropika adalah sebagai berikut : Psikotropika adalah obat atau zat alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh efektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa antara narkotika dan psikotropika adalah berbeda, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar dan pada umumnya masyarakat juga kurang memahami adanya
perbedaan
tersebut.
Zat
Narkotika
bersifat
menurunkan
bahkan
menghilangkan kesadaran seseorang sedangkan zat psikotropika justru membuat 25
seseorang semakin aktif dengan pengaruh dari saraf yang ditimbulkan oleh pemakai zat psikotropika tersebut. Bunyi Undang – undang nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 tersebut dapat dipahami bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa ngeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam pergaulan sehari – hari, narkotika dan psikotropika cendrung disamakan, masyarakat lebih mengenal pada zat tersebut sebagai narkoba (narkotika dan obat – obat terlarang / psikotropika) atau NAPZA, narkoba menrut proses pembuatannya terbagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : a.
Alamai, adalah jenis zat / obat yang diambil langsung dai alam, tanpa ada proses fermentasi, contohnya : Ganja, Kokain dan lain – lain
b.
Semi Sintesis, jenis zat / obat yang diproses sedemikian rupa melalui proses fermentasi, contohnya : morfein, heroin, kodein, crack dan lain – lain.
c.
Sintesis, merupakan obat zat yang mulai dikembangkan sejak tahun 1930-an untuk keperluan medis dan penelitian digunakan sebagai penghilang rasa sakit (analgesic) dan penekan batuk (Antitusik) seperti :amphetamine, deksamfitamin, pethadin, meperidin, metadon, dipopanon, dan lain – lain. Zat / obat sintesis juga dipakai oleh para dokter untuk terapi bagi para pecandu narkoba. Menurut pengaruh penggunaannya (effect), akibat kelebihan dosis (overdosis)
dan gejala bebas pengaruhnya (Withdrawal Syndrome) dan kalangan medis, obat – obatan yang sering disalahgunakan itu dibagi ke dalam 5 (lima) kelompok yaitu: 26
a.
Kelompok Narkotika, pengaruhnya menimbulkan euphurina, rasa ngantuk berat, penciutan pupil mata, dan sesak napas. Kelebihan dosis akan mengakibatkan kejang – kejang, koma, napas lambat dan pendek – pendek. Gejala bebas pengaruhnya adalah gambapng marah, gemetaran, panic serta berkeringat, obatnya seperti : metadon, kodein, dan hidrimorfon.
b.
Kelompok Depresent, adalah jenis obat yang brefungsi mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Obat ini dapat membuat si pemakai merasa tenang dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri.
2.3 Delik Formil dan Delik Materiil Tindak Pidana Narkotika Apabila di cermati kategori tindak pidana atau peristiwa pidana maka dalam hukum pidana di kenal beberapa kategorisasi tindak pidana atau peristiwa pidana yaitu : a. Menurut Doctrine 1)
Dolus dan Culpa Dolus berarti sengaja, delik dolus adalah perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana, contoh : pasal 336 KUHP. Culpa berarti alpa. “Culpose Delicten” artinya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja hanya karena kealpaan (ketidak hati – hatian) saja, contoh : pasal 359 KUHP. Tindak pidana narkotika sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan adanya kesengajaan yang mensyarakatkan adanya tindak pidana.
2)
Commissionis,
Ommissionis
dan
Commissionis
per
Ommissionem.
Commissionis delik yang terjadi karena seseorang melangar larangan, yang dapat meliputi baik delik formal maupun delik material.Contoh : pasal 362 KUHP 27
: Pasal 338 KUHP. Ommissions delik yang terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat) biasanya delik formal. Contoh : pasal 164 KUHP, pasal 165 KUHP. Commissionis per Ommissionem delik yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi yang tampak tidak berbuat). Contoh : Pasal 304 yakni dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan sedang ia wajib member kehidupan, perawatan atau pemelihaaan kepada orang itu. 3)
Material dan Formal. Kategorisasi ini didasarkan pada perumusan peristiwa pidana yakni delik material dan delik formal. Delik material yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan dianacam dengan pidana oleh Undang – Undang. Contoh : Pasal 338 KUNP, tentang pembunuhan dan Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan. Delik formal yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang – Undang. Contoh : pasal 362 KUHP, tentang pencurian. Dalam praktek kadang – kadang sukar untuk dapat menentukan sesuatu delik itu bersifat material atau formal, seperti pasal 378 KUHP tentang penipuan. Tindak pidana narkotika sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam delik formal yang merumuskan secara rinci mengenai perbuatan pidana yang dilakukan.
4)
Without Victim dan With Victim Without Victim yaitu delik yang dilakukan dengan tidak ada korban With Victim yaitu : delik yang dilakukan dengan ada korbannya beberapa atau seseorang tertentu. Tindak pidana narkotika dapat dirumuskan sebagai crime 28
without victim, dimana para pelaku juga berperan sebagai korban. Menurut Hj. Tutty Alawiyah A.S dalam Moh. Taufik Makarao dkk menyebut, tindak pidana atau kejahatan narkotika adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban (Victimless Crime). Selain narkotika, yang termasuk kejahatan tanpa korban adalah perjudian, minuman keras, pornograpi, dan prostitusi. Kejahatan tanpa korban biasanya bercirikan hubungan antara pelaku dan korban yang tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada sasaran korban, sebab semua pihak adalah terlibat dan termasuk dalam kejahatan tersebut. Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun demikian, jika di kaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban (VictimlessCrime) ini sebetulnya tidak tepat, karena semua perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya perubahan – perubahan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu kejahatan ini lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang disepakati (Concensual Crimes). Kejahatan tanpa korban ini adalah kejahatan yang grafiknya meningkat karena terlibatnya lembaga dan kelompok tertentu, misalnya polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai, imigrasi, lembaga, professional, dan lain sebagainya. Di Amerika Serikat, maupun di Negara – Negara lain seperti misalnya : Cina, Belanda merupakan suatu konsekuensi yang sangat serius terhadap hukum berkaitan dengan kejahatan tanpa korban adalah bahwa kejahatan ini berkembang menjadi sebuah jaringan operasi yang
disebut
sebagai
kejahatan
terorganisir
(organize
crime).
Kejahatan
terorganisasi seperti ini adalah merupakan kejahatan yang berkaitan dengan
29
kepentingan ekonomi. Dia eksis dan berkembang karena memberikan barang dan pelayanan kepada orang yang terlibat secara melawan hukum.
b.
Menurut KUHP KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 mengkategorikan tiga
jenis peristiwa pidana yaitu : 1) Kejahatan (Crimes) 2) Perbuatan buruk (Delict) 3) Pelanggaran (Contraventions) Menurut KUHP yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada dalam dua (2) jenis saja yaitu “ Misdrif” (kejahatan) dan “Overtreding” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan / syarat – syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya mnetukan semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan, sedang semua yang terdapat dalam buku III adalah pelanggaran. Kedua jenis tindak pidana tersebut bukan perbedaan gradual saja. Kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman yang lebih berat dari pada pelanggaran. Menurut M.V.T pembagian tindak pidana atas “kejahatan” dan “Pelanggaran” tersebut
didasarkan
atas
perbedaan
prinsipil,
yaitu:
kejahatan
adalah
“Rechsdelicten” yaitu “perbuatan – perbuatan yang mskipun tidak ditentukan dalam Undang – undang, sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sebaliknya pelanggaran adalah “Wetsdelicten” yaitu “Perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukum baru dapat di ketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pendapat M.V.T tersebut di atas, identik dengan pendapat S.B Simandjuntak, yang mengatakan perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan merupakan 30
perbedaan antara delik Undang – undang dan delik hukum. Kejahatan merupakan delik hukum sedang pelanggaran merupakan delik Undang – undang. Suatu perbuatan akan merupakan delik hukum (Rechtsdelict) apabila perbuatan itu dianggap bertentangan dengan hati nurani setiap manusia dan asas – asas hukum pada umumnya. Sedang perbuatan akan merupakan delik Undang – undang (Wetsdelict), bila Undang – Undang dengan tegas melarangnya walaupun belum tentu perbuatan itu dianggap bertentangan dengan hati nurani setiap manusia dan asas – asas hukum pada umumnya, juga belum tentu perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan itu dilarang dengan tujuan untuk menjaga keterlibatan umum. Dengan kata lain, kejahatan adalah : perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedang pelanggaran adalah perbuatan yang oleh Undang – undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum. Selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I KUHP yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran seperti : 1.
Percobaan (poging) atau membantu (medeplictig heid) untuk pelanggaran tindak pidana pasal 54 pasal 60 KUHP.
2.
Daluarsa (Verjaring) bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran pasal 78,84 KUHP.
3.
Pengaduan (Klacht) hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan tidak ada pada pelanggaran.
4.
Peraturan pada berbarengan (samenloop) adalah berlainan untuk kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana narkotika sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu kejahatan. Hal ini dapat 31
dilihat pada penggolongan kejahatan berdasarkan karakteristik pelaku kejahatan sebagai kejahatan terorganisasi. Kejahatan Terorganisasi menurut Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika.
2.4 Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pengertian tindak pidana narkotika dan psikotropika, tidak kita ketemukan dalam Undang-undang narkotika dan Undang-undang psikotropika, baik Undangundang yang berlaku sekarang yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, maupun Undang-undang yang berlaku sebelumnya, seperti stb, 1927. No. 278 jo No. 536 tentang Ver Doovende Middelen Ordonantie dan Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-undang narkotika dan psikotropika tidak membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika dan psikotropika, namun atas dasar penegrtian dan penejlasan tentang tindak pidana di atas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukuman dan pidana. Dalam sistem hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan32
perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak ada Undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. Bab I pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum Delicttum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada sutau perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan Undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan Undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Definisi tersebut di atas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu, antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus di taati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat di taati. Pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak pidana atau tindak kejahatan. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan beberapa tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 33
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha; dan/atau. pencabutan status badan hukum.
34
B A B III PENEGAKAN HUKUM BAGI ANAK YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA
3.1.
Stetsel Sanksi Bagi Anak Dalam KUHP Ada pandangan bahwa bagian terpenting dari KUHP suatu bangsa adalah
stetsel sanksinya, sebab dari stetsel sanksi ini akan mencerminkan nilai budaya bangsa itu. Artinya, bagaimana stetsel sanksi dalam KUHP suatu bangsa dirumuskan, maka demikian budaya masyarakat bangsa tersebut. Dengan demikian, maka makin represif formulasi pidana dalam KUHP juga dapat bermakna represif masyarakat bangsa itu dalam memberikan reaksi terhadap pelaku tindak pidana. Dalam konteks ini istilah represif tidak saja bermakna karena beratnya pidana yang dirumuskan, tetapi juga karena system perumusan ancaman pidananya, misalnya sangat imperative, tidak bersifat alternative dan tidak memberikan kemungkinan adanya perbaikan dari diri pelaku. Patut dicatat bahwa dalam perkembangan dewasa ini terdapat kecenderungan internasional dimana masyarakat bangsa-bangsa yang beradap semakin tidak menyukai stetsel sanksi yang tidak manusiawi, seperti perumusan ancaman pidana yang sangat imeratif dan pidana yang sangat berat yang menutup kemungkinan adanya perbaikan dari diri pelaku. Negara-negara didunia yang memiliki pandangan demikian seperti Norwegia, Polandia, Yunani, Belanda, dan lainnya. Konstruksi pemikiran tersebut dirumuskan dalam Pasal 67 Undang-Undang Pengadilan, yang menyatakan "Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,
35
maka Pasal 45, Pasal 45 dan Pasal4T Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi". Berdasarkan deskripsi singkat tentang tiga pasal dalam KUHP tersebut di atas, dapat dikemukakan, bahwa stelsel sanksi terhadap anak yang ada di dalam KUHP pada intinya adalah sebagai berikut: 1.
Adanya kemungkinan putusan tanpa pemidanaan, sekalipun kesalahan pelaku terbukti. Peluang ini diberikan oleh ketentuan Pasal 45 KUHP. Dengan demikian, ketentuan Pasal 45 KUHP hakikatnya telah memberikan landasan yuridis yang sangat kuat, berkenaan dengan kemungkinan adanya putusan tanpa pemidanaan. Jalan pikiran pembuat KUHP berkaitan dengan ketentuan Pasal 45 KUHP pada dasarnya mudah dimengerti, mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa yang semestinya memperoleh perlindungan hukum secara baik. Oleh karenanya ketentuan Pasal 45 KUHP tersebut memberikan alternatif yang cukup kepada hakim untuk sedapat mungkin menghindarkan anak dari putusan pemidanaan.
2.
Adanya keterlibatan lembaga atau pihak swasta dalam pelaksanaan putusan. Kemungkinan ini diberikan oleh ketentuan Pasal 46 KUHP. Formulasi Pasal 46 KUHP ini pada dasarnya memberikan petuang kepada masyarakat untuk dilibatkan dalam pelaksanaan putusan hakim, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan putusan tanpa pemidanaan. Keterlibatan pihak atau lembaga swasta didalam pelaksanaan putusan hakim ini pada dasarnya juga bermakna agar sedapat mungkin hakim menghindarkan anak dari putusan yang berupa pidana. Sebab, dengan putusan yang demikian negara dapat melibatkan masyarakat baik secara perorangan maupun secara kelembagaan dalam melaksanakan
putusan
hakim.
Pasal
24
KUHP
ini
memberikan
tiga 36
kemungkinan
yaitu
diserahkan
kepada
pemerintah
untuk
dilakukan
pemeliharaan dalam rumah pendidikan negara; diserahkan kepada pemerintah untuk dilakukan pemeliharaan dalam lembaga atau yayasan swasta; atau diserahkan kepada pemerintah untuk dilakukan pemeliharaan dalam keluarga atau perorangan. Dengan demikian pelaksanaan putusan hakim sangat memberi peluang untuk melibatkan masyarakat, sehingga lebih menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata tetapi dapat dilakukan secara bersama-sama dan gotong royong antara pemerintah dengan lembaga atau yayasan swasta, dan atau warga masyarakat. 3.
Adanya larangan penjatuhan pidana yang sangat berat kepada pelaku anak, khususnya yang berupa pidana mati dan pidana seumur hidup. Larangan ini ditentukan dalam pasal 47 KUHP.
3.2.
Ketentuan Sanksi Pidana Bagi Anak dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sebagai
respon yuridis terhadap persoalan tentang anak merupakan landasan utama dalam penyelesaian terhadap kenakalan anak. Berkaitan dengan ketentuan pidana, Undang-undang pengadilan Anak mengaturnya dalam Bab III mulai pasar 22 sampai dengan Pasal 32. Secara umum menurut ketentuan pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak dapat berupa pidana maupun tindakan. Menurut Pasal 23 Undang-Undang pengadilan Anak, pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah : 37
a.
Pidana pokok, yang meliputi : 1. pidana penjara; 2. pidana kurungan; 3. pidana denda; atau 4. pidana pengawasan
b.
Pidana tambahan, yang dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Sementara tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak menurut ketentuan
Pasal 24 Undang-Undang pengadilan Anak adalah : a.
mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b.
menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c.
menyerahkan
kepada
Departemen
sosial,
atau
organisasi
social
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Pasal 24 Undang-Undang pengadilan Anak tersebut, apabila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur sebelumnya yaitu di dalam Pasal 46 KUHP, sebagai berikut: (1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka lalu dimasukkan dalam rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain; atau diserahkan kepada seorang tertentu atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah dengan cara lain : dalam kedua hal di atas paling lama sampai umur delapan belas tahun; (2) Aturan untuk melakukan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang-undang. 38
Pasal 45 KUHP memberi aturan administratif tentang apa yang harus dikerjakan, apabila hakim telah memberi perintah, bahwa yang bersalah akan diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan ini selesai jika telah dicapai umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan dalam rumah pendidikan negara atau mempercayakan untuk dididik oleh orang, perserikatan, lembaga atau badan sosial swasta yang lain. Dengan demikian, ada tiga kemungkinan yang dapat dipilih dalam hal hakim menjatuhkan putusan yang berupa perintah untuk diserahkan pada pemerintah, yaitu : 1.
pemeliharaan dalam rumah pendidikan negara;
2.
pemeliharaan dalam lembagatlayasan swasta; atau
3.
pemeliharaan dalam keluarga/perorangan. Secara umum jenis pidana yang diatur dalam Undang-Undang pengadilan
Anak dengan KUHP tidak jauh berbeda. secara prinsip dua aturan hukum tersebut tetap memberikan legitimasi secara hukum terhadap kemungkinan penjatuhan pidana kepada anak perbedaan kedua aturan hukum tersebut dalam hal pengaturan jenis pidana terhadap anak adalah tidak adanya pidana mati untuk anakmenurut Undang-Undang Pengadilan Anak dan tidak adanya pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP. Adanya pidana tambahan berupa pemberian ganti rugi dalam undang-Undang Pengadilan Anak yang tidak diatur dalam KUHP. Dengan demikian, secara umum kedua aturan hukum tersebut tidak jauh berbeda dalam hal pengaturan mengenai jenis pidana terhadap anak Berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, undang-undang Pengadilan Anak memberikan pengaturan sebagai berikut :
39
a.
pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam pasal 26 ayat (1).
b.
Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana (penjara) seumur hidup dapat berupa : (1) Pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal 26 ayat (2), apabila anak telah berumur 12 (dua belas) tahun; (2). Diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun.
c.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam pasal 27.
d.
Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum denda bagi orang dewasa), dengan ketentuan apabila apabila denda tidak dapat terbayar diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan tiap hari tidak boleh dari 4 (empat) jam kerja, sebagaimana ditentukan dalam pasal 29.
e.
Pidana bersyarat dapat dijatuhkan kepada anak nakal, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (1).
f.
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana dengan ketentuan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
40
Apabila
dibandingkan
dengan
ketentuan
yang
diatur
dalam
KUHP
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 47 KUHP yang menyatakan : a.
Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap perbuatan pidananya dikurangi sepertiga.
b.
Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan yang tersebut dalam pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3, tidak dapat dijatuhkan. Dalam ketentuan Pasal 47 KUHP tersebut di atas maksimum pidana pokok
terhadap perbuatan pidananya dikurangi 1/3 (sepertiga), sementara dalam UndangUndang Pengadilan Anak hanya 1/2 (setengah) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, sedangkan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, sementara dalam Undang-undang Pengadilan Anak hanya 10 (tahun) apabila anak telah berumur 12 tahun, tetapi apabila anak belum mencapai umur 12 tahun maka anak tersebut diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan pembinaan dan latihan kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang pengadilan Anak jauh lebih baik disbanding ketentuan yang diatur di dalam KUHP. Apabila dicermati secara lebih mendalam, ketentuan pidana dalam undangUndang Pengadilan Anak justru lebih ketat bila dibandingkan dingan berbagai perundang-undangan yang berlaku bagi ora'ng dewaia. Kenyataan ini dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut, pertama, dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum, sehingga terhadap pelakunya dapat diancam pidana tidak hanya didasarkan 41
pada hukum tertulis, tetapi juga didasarkan pada hukum tidak tertulis sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 sub b yang menyatakan bahwa anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dikualifikasi sebagai anak nakal. Namun demikian, jenis-jenis pidana dan atau tindakan yang diterapkan terhadap anak harus disesuaikan dengan jenis-jenis tindak pidana yang dilakukan, dengan memperhatikan berat ringanya ancaman sanksi pidana yang dirumuskan, sehingga akan tetap dapat mencapai tujuan peniatuhan pidana untuk tetap dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian UndangUndang Pengadilan menganut ajaran sifat melawan hokum materiil dalam fungsinya yang positif. Dianutnya ajaran sifat melawan hukum yang positif dalam UndangUndang Pengadilan Anak merupakan penyimpangan dariajaran sifat melawan hokum yang dianut dalam hukum pidana pada umumnya. Sebab, ajaran sifat melawan hukum yang dianut dalam hukum pidana (di lndonesia) pada umumnya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Kedua, dengan menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, maka Undang-Undang Pengadilan Anak pada hakikatnya jauh lebih represif terhadap anak, mengingat batasan tentang perbuatan terlarang yang dapat dilakukan oleh anak menjadi sangat luas. Pemahaman
tersebut
sebenarnya
baik-baik
saja
sepanjang
tetap
memperhatikan kepentingan, pertumbuhan dan perkembangan anak, dan asalkan jenis-jenis sanksi dan tindakan yang diterapkan terhadap anak disesuaikan dengan jenis-jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Meskipun secara teoretis ajaran 42
sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif merupakan refleksi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, oleh karenanya mestinya dapat menjadi filter dalam perilaku anak, tetapi memberikan ancaman kepada anak yang melakukan berbagai perbuatan tersebut justru menjadi problem yuridis, oleh karena formulasi perbuatan yang dilarang menurut pergaulan cakupannya sangat luas.
3.3.
Ketentuan Sanksi Pidana Bagi Anak dalam Undang-Undang Narkotika. Untuk melihat bagaimana ketentuan sanksi pidana bagi anak dalam Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, berikut ini akan disajikan bagaimana stelsel sanksi dalam Undang-Undang Narkotika dan sejauhmana stelsel tersebut berlaku bagi pelaku anak. Apabila dicermati, terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang khusus diberlakukan bagi anak, yaitu bagi mereka yang belum cukup umur. Namun demikian, oleh karena Undang-Undang Narkotika tidak secara khusus mengatur tentang stelsel sanksi bagi anak, maka akan dilihat bagaimana berlakunya stelsel sanksi dalam Undang-Undang Narkotika tersebut terhadap anak. Meskipun, dalam Undang-Undang Narkotika juga terdapat beberapa pasal pengecualian yang khusus diberlakukan terhadap mereka yang belum cukup umur. Sehingga berlakunya stelsel sanksi dalam Undang-Undang Narkotika terhadap anak harus diberlakukan juga Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak. Hal ini sebagai konsekuensi adanya asas lex specialis derogat legi generalis. Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana stelsel sanksi bagi anak dalam Undang-Undang Narkotika, berikut ini akan disajikan
43
ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997). Namun demikian, oleh karena tema pokok penelitian ini berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, maka sajian terhadap ketentuan-ketentuan pidana bagi anak dalam Undang-Undang Narkotika hanya akan difokuskan pada ketentuan-ketentuan pidana yang terkait langsung dengan tema penelitian ini, yaitu yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang Narkotika diatur dalam Pasal 85, yang menyatakan barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a) menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b) menggunakan narkotika Golongan ll bagi dirisendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; c) menggunakan narkotika Golongan lll bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun; Berdasarkan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Narkotika tersebut di atas, maka penyalahgunaan narkotika dalam konteks penelitian ini mengandung makna bahwa penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hokum yang ditujukan bagi diri sendiri. Apabila dicermati, maka stelsel sanksi dalam Undang-Undang Narkotika di atas hanya menggunakan satu formulasi, yaitu stelsel sanksi yang bersifat tunggal. Sistem perumusan ancaman pidana dalam Pasal 85 Undang-Undang Narkotika hanya menggunakan satu sistem perumusan, yaitu sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal. Secara teoritis, sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal merupakan sistem perumusan ancaman pidana yang bersifat kaku (imperatlf). Dengan sistem perumusan ancaman seperti ini, maka tidak ada pilihan 44
lain bagi hakim, ketika terjadi pelanggarannya. Jadi, hakim hanya dihadapkan pada satu jenis sanksi pidana yang harus dijatuhkan pada terdakwa. Hakim tidak dapat memilih alternatif pidana lain selain pidana penjara. Dengan demikian, apabila ada orang yang oleh hakim dipersalahkan melanggar ketentuan Pasal 85 UndangUndang Narkotika, maka jenis pidana yang harus dijatuhkan oleh hakim adalah pidana penjara. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana lain selain pidana penjara. Dengan formulasi seperti tersebut di atas, persoalannya adalah, bagaimana apabila yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Narkotika adalah orang yang belum cukup umur? Dengan merujuk ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Narkotika jo Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak dapat dikemukakan, bahwa meskipun dalam Pasal 85 Undang-Undang Narkotika pidana yang harus dijatuhkan hakim hanyalah pidana penjara, namum apabila orang yang melakukan pelanggaran tersebul kualifikasinya masih belum cukup umur, maka berlakulah ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak. Dengan demikian, apabila ada orang yang belum cukup umur melakukln tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang-Undang Narkotika, maka pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim tidak hanya terbatas pada pidana penjara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 85 undang-Undang Narkotika, tetapi hakim dapat juga menjatuhkan putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak. Dengan demikian terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umur maka berdasarkan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Narkotika jo Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan bahwa teihadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana ata tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Dengan demikian ialam penerapa ketentuan tersebut berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. 45
Berdasarkan rumusan Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, maka dapat dipahami bahwa hanya terhadap anak nakal yang dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Sementara tentang perkara anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal ialah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (deiapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Pengadilan Anak). Sedangkan Anak Nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan peibuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak). Dengan demikian hanya anak yang telah berumur umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang dapat dijatuhi pidana atau tindakan, sedangkan anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun tidak dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Terhadap anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi diduga melakukan penyalahgunaan narkotika, maka terhadapnya dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Di mana jika menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina, maka Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, tetapi apabila anak tersebut tidak dapat dibina, maka Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak). Sedangkan terhadap anak yang telah berumur umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang melakukan penyalahgunaan narkotika dengan ancaman pidana penjara atau pidana mati, maka Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama 1/2 (satu per 46
dua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa, sedangkan untuk Pidana Mati atau Pidana Penjara Seumur Hidup tidak dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal melainkan hanya dengan dijatuhkan Pidana Penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Dengan catatan Apabila Anak Nakal belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. Sedangkan terhadap Anak Nakal belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan salah satu tindakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 (Pasal 26 Undang-Undang Pengadilan Anak). Berdasarkan ketentuan Pasal 5, jo Pasal 22 jo 26 Undang-Undang Pengadilan Anak jo. Pasal 85 Undang-Undang Narkotika dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut : a.
Sistem perumusan ancaman pidana yang dianut dalam Undang-Undang Narkotika berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umur, khususnya yang masuk kategori Anak Nakal adalah sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal. Sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal merupakan sistem perumusan yang bersifat imperatif, artinya hakim harus menjatuhkan pidana tersebut. Namun demikian, apabila ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Narkotika tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak, maka cukup Penyidik yang melakukan tindakan dan tidak perlu hakim menjatuhkan pidana penjara sebagaimana diformulasikan dalam Pasal 85 tersebut. Dengan 47
demikian, sifat imperatif daristelsel sanksi dalam Pasal 85 undang-Undang Narkotika telah dianulir oleh ketentuan Pasal 5 Undang-Undang pengadiran Anak, yaitu dalam hal penyalahgunaan narkotika itu dilakukan oieh orang yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun. Berdasarkan keientuan Pasal 5, jo. Pasal 22 jo 26 Undang-Undang pengadilan Anak jo, Pasal 85 Undang-Undang Narkotika tersimpul, bahwa system perumusan ancaman pidana dalam pasal 85 undang-Undang Narkotika tidak lagi bersifat imperatif, sekalipun ancaman pidananya dirumuskan secara tunggal tetapi bersifat alternative/fakultatif. Artinya, dalam hal penyalahgunaan narkotika itu dilakukan oleh anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun, tidak perlu hakim tetapi cukup penyidik dapat memberikan tindakan alternatif pidana selain pidana penjara, yaitu memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Dinas Sosial tanpa pidana apapun. b.
Adanya pengurangan pidana satu per dua dari maksimum pidana pokok yang diancamkan, dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 undang-undang pengadilan Anak jo. pasar 85 Undang-Undang Narkotika. Sebelum dikemukakan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada anak
dalam Undang-Undang Narkotika, berikut ini akan dikemukakan sistem perumusan aniaman pidana dalam Undang-Undang Narkotika secara umum. Deskripsi tentang sitem perumusan ancaman pidana dalam undang-Undang Narkotika dipandang sangat urgen untuk dapat menletahui, sejauhmana Undang-Undang Narkotika merespon terjadinya tindak pidana. Narkotika pada umumnya, dalam pengertian respon masyarakat terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh orang 48
dewasa, sehingga juga dapat diperbandingkan, bagaimana undang-undang tersebut merespon terhadap tindak pidana, khususnya penyalahgunaan narkotika dalam hal pelakunya adalah anak. Dengan melihat stelsel sanksi dalam undang-Undang Narkotika, secara implisit akan tercermin bagaiamana masyarakat merespon tindak pidana narkotika pada umumnya. Secara umum sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam undang-Undang Narkotika hanya terdiri dari tiga, yaitu sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal, system perumusan ancaman pidana secara alternatif, dan sistem perumusan ancaman pidana secara alternatif-kumulatif. Untuk melihat bagaimana sistem perumusan ancaman pidana dalam UndangUndang Narkotika pada umumnya, berikut ini dikutipkan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur sanksi pidana. a.
Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : (a) menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau (b) memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana peniara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
49
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana peniara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (ima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Apabila dicermati, maka sistem perumusan ancaman pidana (stelsel sanksi) dalam Pasal 78 Undang-undang Narkotika dapat dijelaskan sebagai berikut (a) Pasal 78 (1) huruf b Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinit, yaitu dengan menggunakan sistem maksimum husus (straf maximum). (b) Pasal 78 (2) Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan system perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem definite, yaitu dengan menggunakan sistem minimum khusus (straf minimum) dan sistem maksimum khusus (straf maximum). (c)
Pasal 78 (3) Undang-Undang
Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan system perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem definite, yaitu dengan menggunakan 50
sistem minimum khusus (straf minimum) dan sistem maksimum khusus (straf maximum). (d) Pasal 78 (4) Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan system perumusan ancaman pidana secara tunggal, yaitu pidana denda. Sementara
berkaitan
dengan
bobot
atau
beratnya
ancaman
pidana
dirumuskan dengan sistem indefinite, yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum). b.
Pasal 79 : Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : (1) Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan ll, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); (2) Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan lll, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah); b. Ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah); Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
51
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah); b. Ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 400.000.000,00 ( empat ratus juta rupiah); (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan denda paling banyak 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah); b. Ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan denda paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); Apabila dicermati, maka sistem perumusan ancaman pidana (stelsel sanksi) dalam Pasal 79 Undang-Undang Narkotika dapat dijelaskan sebagai berikut : Pasal 79 (1) huruf a Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum), Pasal 79 (1) huruf b Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum).
52
Pasal 79 (2) huruf a Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan system perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan system indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan system maksimum khusus (straf maximum). Pasal 79 (2) huruf b Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum). Pasal 79 (3) huruf a Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum). Pasal 79 (3) huruf b Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif, yaitu kumulasi antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite sentence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum).
53
Pasal 79 (4) huruf a dan b Undang-Undang Narkotika dalam hal macam atau jenis pidana yang dapat dijatuhkan menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara tunggal, yaitu pidana denda. Sementara berkaitan dengan bobot atau beratnya ancaman pidana dirumuskan dengan sistem indefinite (indefinite senfence), yaitu dengan menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum). Apabila dilihat dari jenis ancaman pidana yang diancamkan sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana dalam pasal 79 sampai dengan Pasal 100 jenis sanksi pidana dalam Undang-Undang Narkotika terdiri dari mati, pidana penjara baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana penjara sementara waktu, pidana kurungan, dan pidana denda.
Undang-Undang Narkotika secara substansial
mengandung kelemahan yang cukup mendasar terutama berkaitan dengan system perumusan ancaman pidananya (stelsel sanksinya). Beberapa kelemahan mendasar yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dapat dikemukakan sebagai berikut : a.
Secara umum, berkaitan dengan bobot atau beratnya pidana Undang-Undang Narkotika menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara indefinite (indefinite sentence system) dengan menggunakan sistem perumusan pidana maksimum (straf maximum). Sistem perumusan ancaman pidana secara indefinite merupakan sistem perumusan ancaman pidana yang tidak pasti. Secara teoretis, meskipun sistem perumusan ancaman pidana secara indefinite merupakan sistem yang dibangun oleh hokum pidana modern, sebagai penghargaan atas kebebasan hakim di satu sisi dan adanya individualisasi pidana di sisi yang lain, tetapi sistem perumusan ancaman pidana secara indefinite mengandung beberapa kelemahan, yaitu : 1. Dengan hanya ditentukan maksimum pidana yang dapat dijatuhkan, misalnya seperti dalam 54
perumusan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2), kebebasan hakim dalam menjatuhkan
pidana
sangat
besar.
Kebebasan
ini
sangat
potensial
menimbulkan disparitas pidana. Padahal, munculnya disparitas pidana dalam putusan hakim akan menimbulkan problem dalam penegakan hukum, seperti sikap tidak menghargai hukum, dan lain-lain yang justru bersifat kontraproduktif dengan tujuan penegakan hukum pidana itu sendiri. Lebih-lebih kejahatan narkotika merupakan salah satu jenis kejahatan yang tergolong sangat serius yang mempunyai dampak sangat luas dan sangat kompleks. Bertolak dari realitas ini, maka memberikan kebebasan yang demikian besar pada hakim dalam menjatuhkan pidana yang justru dapat menimbulkan disparitas putusan, akan bersifat kontraproduktif. b.
Sistem perumusan ancaman pidana yang menggunakan sistem maksimum akan menimbulkan persoalan manakala terjadi kesenjangan antara maksimum pidana yang diancamkan dengan pidana yang dijatuhkan. Kesenjangan ini akan menimbulkan
kesan
tidak
berwibawanya
ancaman
pidana,
sehingga
phsicologise dwang dalam rangka pencegahan umum (general prevention) sulit untuk diwujudkan. Sementara salah satu tujuan perumusan ancaman pidana justru untuk memberikan efek pencegahan umum (kepada masyarakat). c.
Sistem perumusan ancaman pidana maksimum yang menimbulkan rentang ancaman pidana yang sangat besar dalam konteks hukum pidana lndonesia mulai dari minimum umum 1 (satu) hari sampai maksimum khusus, sangat potensial membuka peluang dilakukannya persekongkolan atau kolusi oleh para penegak hokum khususnya hakim. Dengan demikian, sistem maksimum ini juga menimbulkan implikasi yuridis yang sangat serius berkaitan dengan proses penegakan hukum. Sebab, secara teoretis dan empiris salah satu faktor yang 55
sangat menentukan efektifitas penegakan hukum adalah persoalan substansi hukumnya itu sendiri. Dengan demikian apabila substansi hukumnya tidak bagus, dalam konteks ini karena peluang yang diberikan oleh undang-undang tentang rentang pidananya sangat besar maka secara hipotetis teoretis juga sulit untuk diharapkan adanya penegakan hukum yang efektif.
56
B A B IV PENUTUP
4.1. a.
Kesimpulan Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak pidana atau tindak kejahatan. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan beberapa tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b.
Penanggulangan pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak dapat dilakukan melalui upaya represif. Upaya represif dengan memberikan sanksi pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan perhitungan pidana yang dijatuhkan kepada anak adalah ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa
4.2.
Saran a. Upaya
penanggulangan
pengulangan
tindak
pidana
penyalahgunaan
narkotika oleh anak yang dapat dilakukan melalui upaya preventif. Upaya preventif dapat dilakukan dengan memberi pengarahan, penyuluhanpenyuluhan yang luas kepada anak tentang bahanya narkotika, dengan demikian anak akan memiliki pemahaman, penghayatan dan perilaku yang baik.
57