POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH
(Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UMI Makassar)
A.
Latar Belakang Pemikiran Judul atau thema ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
korupsi di Indonesia telah merupakan hal yang menarik perhatian semua
pihak
pemerintah,
dan
melibatkan
birokrat,
hampir
legislator,
semua
tokoh
elemen,
masyarakat,
baik tokoh
agamawan, LSM termasuk cendikiawan kampus. Oleh karena itu pula
penanggulangan
dan
penegakan
hukumnya
harus
pula
dihadapi dengan melibatkan seluruh elemen bangsa dan tidak terbatas pada para aparat penegak hukum saja. Sekalipun korupsi bukan merupakan hal yang baru dan berbagai kebijakan serta langkah-langkah antisipasi telah dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai
regulasi
peraturan
perundang-undangan
serta
restrukturisasi dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam menopang political will, namun karena korupsi merupakan tindak pidana yang multi dimensi dan berdampak sangat merugikan tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sampai sekarang belum optimal dan efektif dalam tataran implementasi berdasarkan berbagai data dan informasi aktual, bahkan telah memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, suatu hal yang sangat memprihatinkan kita semua.
Karakteristik
korupsi
yang
multi
dimensi
dan
sangat
destruktif tersebut telah menimbulkan pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda, baik di kalangan para praktisi hukum maupun para teoritisi hukum tentang batasan korupsi, sekalipun hal tersebut sudah dirumuskan dengan konkrit dan tersurat dalam undang-undang tindak pidana korupsi dan lebih diperparah lagi apabila
kasus
korupsi
sudah
diintervensi
dengan
berbagai
kepentingan di luar kepentingan hukum dengan berbagai dalil dan argumentasi
sehingga
tidak
mudah
mengungkap
lebih-lebih
menuntaskan kasus korupsi, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dan para pemerhati keadilan di negeri ini. Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dalam kenyataan tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi stagnasi, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya. Pendekatan legalistik yang berorientasi repressif hanya merupakan pengobatan simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh
untuk
memberantas
korupsi,
sehingga
diperlukan
pendekatan dan kebijakan komprehensif baik keilmuan hukum maupun pendekatan di luar keilmuan hukum seperti pendekatan sosiologi,
kultural,
penyelenggaraan
keagamaan,
negara.
ekonomi,
Dengan
manajemen
pendekatan
yang
dalam bersifat
komprehensif diharapkan ditemukan solusi dalam pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang lebih optimal dan efektif. Pandangan tentang perbedaan yang besar antara teori dan praktik
mengandung
kebenaran
namun
bersifat
relatif
dan
terkadang bersifat subyektif, namun demikian adanya pandangan
tersebut tidak berarti bahwa perbedaan tidak dapat diatasi atau didekatkan karena pengalaman yang benar sering memerlukan juga
perubahan-perubahan
dibangun
sebelumnya.
mempertimbangkan
terhadap Bersikukuh
pengalaman
teori-teori kepada
yang
benar
yang
telah
teori juga
tanpa bukanlah
merupakan suatu pendirian atau langkah bijaksana. Dalam konteks tersebut
di
atas,
pengalaman
praktik
hukum
di
dalam
menanggulangi korupsi sering dihadapkan kepada kendala, baik kendala hukum materil maupun hukum formil, kendala birokrasi, maupun kendala sosial dan psikologis. Teori-teori hukum pidana yang telah dikembangkan selama ini sering kurang mendukung langkah-langkah
konkrit
penanggulangan
korupsi
oleh
aparat
penegak hukum, bahkan teori pembuktian dalam hukum pidana sering kurang relevan lagi dengan perkembangan modus operandi dan kualitas korupsi. B.
Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak Pidana Korupsi Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik
hukum pada umumnya. Menurut Sudarto (Hamdan, 1997: 19) politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk
mencapai
apa
yang
dicita-citakan,
(2)
usaha
untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna (Sudarto, 1986: 153). Menurut Marc Ancel (Arief, 1992: 1) politik hukum pidana
(penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Mulder (Hamdan, 1999: 20) berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan (Arief, 1992: 7). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto (1986: 113-114) diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana politik
kriminal
merupakan
keseluruhan
fungsi
dari
aparatur
penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal merupakan
keseluruhan
kebijakan
yang
dilakukan
melalui
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan
untuk
menegakkan
norma-norma
sentral
dari
masyarakat. Dalam pengertian yang praktis, politik hukum pidana (politik kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini
tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu
(criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Usaha
penanggulangan
kejahatan
melalui
pembuatan
undang-undang (hukum pidana) juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang bersifat integral, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu: (1) perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal dan non penal, (2) perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi khususnya sanksi pidana (Arief, 1994: 35). Mencermati
fakta
aktual
yang
terjadi
dalam
upaya
pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan berbagai modus operandi belum menunjukkan hasil yang optimal, bahkan terkesan masih terjadi diskriminatif perlakuan aparat
penegak
hukum
mulai
dari
proses
penyidikan,
penahanan,
penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang sangat kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu dan kekecewaan masyarakat dan semakin kaburnya cita-cita penegakan hukum yang berkeadilan serta bermartabat. Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dengan
Undang-Undang
disempurnakan
lagi
Nomor
bukan
20
merupakan
Tahun
2001
jaminan
lebih
optimalnya
penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah banyak
mengalami
kemajuan
dengan
berbagai
karakteristik
sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana. Lahirnya
Komisi
Pemberantasan
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
Korupsi
2002
berdasarkan
dengan
berbagai
kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga belum
banyak
bisa
berbuat
sekalipun
harus
diakui
bahwa
munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi dengan
keterbatasan
lembaga tersebut.
sumberdaya
yang
dimiliki
oleh
kedua
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk
perundang-
undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi pidana dengan sanksi denda. C.
Penutup Apa yang tertuang dalam makalah ini adalah sesuatu yang
bersifat idealis yang didasarkan atas analisis pemikiran dan pengamatan empiris melalui perkembangan yang terjadi. Dengan keterbatasan waktu penulis menyadari pembahasannya tidak akan mungkin tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya bisa menjadi bahan diskusi yang menarik untuk lebih dikembangkan dalam forum yang lain.
Wallahu Waliyyut Taufiq Walhidayah
RUJUKAN PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana. Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. ______, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ______,
1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
______,
2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit Alumni, Bandung. M. Hamdan, 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Romli Atmasasmita, 1999. Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI, Suatu Reorientasi Atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Sudarto, 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung. ______, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung. ______, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.