1
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
2
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWAN NIM : 1290561035
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
3
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWAN NIM : 1290561035
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 11 AGUSTUS 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. M.H. NIP. 195903251984031002
Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., NIP. 196206051988031020
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
iii
5
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 11 Agustus 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: 2502/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 10 Agustus 2015
Ketua
: Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H. Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., MS. 2. Dr. I Gede Artha, S.H., M.H. 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
iv
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: I Gusti Agung Dian Hendrawan
Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis
: Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 11 Agustus 2015 Yang Menyatakan
I Gusti Agung Dian Hendrawan
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar”. Tesis ini dibuat sebagai tahap penyelesaian akhir dalam menempuh pendidikan jenjang Strata 2 (S2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Selesainya penulisan tesis ini kiranya tidak akan dapat berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan moril maupun materiil, untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas pendukung yang selama ini telah diberikan kepada penulis untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi., Sp.S.(K), beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM. atas arahan, bimbingan, bantuan dan fasilitas yang selama ini diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai tugas akhir studi pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, vi
8
S.H., M.Hum. atas bimbingan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai tugas akhir studi pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Berikutnya, ucapan terima kasih kepada Pembimbing I Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., atas ketulusan hati, kesabaran, dan ketelitian Beliau yang telah membimbing penulis, meluangkan waktunya yang sangat berharga, memberi motivasi, arahan-arahan, masukan dan koreksi yang tiada ternilai dalam penyelesaian tesis ini, dalam suasana kekeluargaan yang tidak akan pernah penulis lupakan. Pembimbing II Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H., atas ketulusan hati, kesabaran, dan ketelitian Beliau yang begitu luar biasa telah membimbing, membantu, mengarahkan, memberi masukan dan koreksi yang tiada ternilai kepada penulis dalam rangka penyelesaian tesis ini, dalam suasana kekeluargaan yang tidak akan pernah penulis lupakan. Para Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah mengajarkan penulis ilmu Hukum dan menambah wawasan yang sangat berharga. Staf Administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi selama menempuh pendidikan pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Rekan-Rekan mahasiswa angkatan tahun 2012 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang memotivasi, memberi semangat dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada keluarga tercinta, Ayah I Gusti Ngurah Made Oka Dania, S.Pd., Ibu Made Artini, S.Pd., M.Pd., istri penulis
vii
9
Ni Ketut Sri Ariastuti Amd.Kep., adik penulis I Gusti Ayu Dewi Hardiyanti, S.Pd. dan anak-anak penulis I Gusti Ayu Nia Anggiswari Devi, I Gusti Agung Dharma Kertaguna yang selalu memberikan semangat, motivasi, kekuatan, doa dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, namun demikian penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada, oleh karena itu dengan hati terbuka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan berharga dalam
pengembangan
ilmu
hukum,
gelandangan dan pengemis.
Denpasar, 11 Agustus 2015 Penulis
viii
khususnya
dalam
penanggulangan
10
ABSTRAK
Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkan masyarakat. Dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan khusus untuk di Kota Denpasar diatur dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Berdasarkan ketentuan hukum tersebut diatas, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar adalah melalui penegakan hukum pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data yang bersumber dari penelitian lapangan dan didukung pula dengan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, jurnal, artikel dan karya tulis yang relevan dengan pokok permasalahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar belum berjalan/dilaksanakan secara maksimal. Faktor-faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana tersebut adalah faktor struktur hukum (legal structure) yaitu terkait dengan kinerja aparat penegak hukum belum maksimal, berikutnya faktor substansi hukum (legal substance) yaitu tindak pidana pergelandangan belum disebutkan secara tegas dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dan belum adanya aturan pidana bagi masyarakat pemberi kepada gelandangan pengemis, dan faktor budaya hukum (legal culture) yaitu berupa kurang pedulinya masyarakat Kota Denpasar akan permasalahan gelandangan dan pengemis, masih adanya masyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada gelandangan pengemis, nilainilai yang tumbuh di masyarakat bertentangan dengan ide pemidanaan terhadap gelandangan pengemis, dan sikap mental aparat penegak hukum yang kurang tegas. Sedangkan yang menjadi faktor pendukungnya adalah faktor struktur hukum (legal structure) yang berupa sarana/fasilitas dan jumlah petugas pelaksanaan operasi/razia atau penertiban yang dimiliki oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar (Satpol PP Kota Denpasar) cukup memadai, dan faktor substansi hukum (legal substance) itu sendiri karena keberadaannya sebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis masih sangat diperlukan dan layak dipertahankan. Kata kunci: Gelandangan, Pengemis, Penanggulangan, Penegakan Hukum Pidana.
ix
11
ABSTRACT
The existence of vagrants and beggars in the municipality of Denpasar are very disturbing society. In the Indonesian positive law, vagrancy and begging activity is qualified as a criminal offense or as a violation (overtredingen) in the regulation of public order as regulated in Article 504 and 505 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Penal Code), while for the area of municipality of Denpasar specifically is regulated in Article 35 paragraph (4) jo. Article 37 paragraph (1) Denpasar Regional Regulation Number 15 of 1993 jo. Number 3 of 2000 regarding Health and Public Order. Based on the legal provisions mentioned above, one of the efforts to be made in order to overcome the problems of vagrants and beggars in the municipality of Denpasar is through the enforcement of criminal law. This research is using a descriptive empirical law method. The data source of this research are based on field research and supported by legal materials consisting of legislation, literature, journals, articles and papers that are relevant to the subject matter. The results showed that the implementation of criminal law enforcement in the context of prevention vagrants and beggars in the municipality of Denpasar has not executed optimally. The factors that become an obstacle to the enforcement of the criminal law are the law structural factors (legal structure) which is related to the performance of law enforcement officials is not maximized yet, the next factor of the substance of the law (legal substance), the crime offence of vagrancy is not mentioned explicitly in Denpasar Regional Regulation Number 15 of 1993 jo. No. 3 of 2000 and there is no regulation regarding of a criminal rule for the giver to a vagrants beggars, and the cultural factors of law (legal culture) are less concerned of Denpasar citizen with vagrants beggars matter, some of the people are still giving something/money to a vagrants beggars, the grows value in the community opposed to the idea of punishment to vagrants beggars, and the mental attitude of law enforcement officers are less assertive. The supporting factor is legal structure in the form of infrastructure/facilities and number of officers conduct of operations/raids or controlling are managed by the Civil Service Police Unit Denpasar (Satpol PP Kota Denpasar) is quite adequate, and the factor of legal substances (legal substance) itself caused of the existence as the basis for the implementation of the enforcement of the criminal law against vagrants and beggars are still very necessary and worth keeping. Keywords: Vagrants, Beggars, Prevention, Criminal Law Enforcement.
x
12
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR”. Penulisan tesis ini terdiri dari 5 Bab yang mana dalam uraianuraiannya juga didukung oleh beberapa sub bab yang dapat menunjang pembahasan setiap Bab tersebut. BAB I sebagai bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis yang digunakan dalam rangka mengkaji, menganalisis permasalahan, kerangka berpikir, serta bagian sub bab metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik penentuan sampel penelitian, pengolahan dan analisis data. Dalam penulisan tesis ini peneliti mengangkat pokok permasalahan sebagai berikut: (i) Bagaimanakah implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?; (ii) Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?. BAB II menguraikan tentang tinjauan umum penanggulangan tindak pidana pergelandangan dan pengemisan. Pembahasannya terdiri dari pengertian gelandangan dan pengemis, peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis, faktor-faktor penyebab munculnya gelandangan dan pengemis di Indonesia, serta upaya penanggulangan tindak pidana. BAB III mengkaji dan membahas tentang pokok permasalahan yang pertama yaitu implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Pada bagian sub bab meliputi uraian tentang profil Kota Denpasar, perkembangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dalam kurun waktu tahun 2010-2014, klasifikasi gelandangan dan pengemis, serta implementasi penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. BAB IV mengkaji dan membahas mengenai faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Dalam sub bab ini peneliti menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut. Selanjutnya, mengenai simpulan dan saran-saran akan peneliti uraikan dalam BAB V.
xi
13
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM..........................................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS..................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...............................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT . ..............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT.....................................................................................................
x
RINGKASAN ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI....................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL............................................................................................
xv
DAFTAR GRAFIK..........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................
1
1.1
Latar Belakang Masalah.........................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ..................................................................
10
1.3
Ruang Lingkup Masalah ........................................................
11
1.4
Tujuan Penelitian ...................................................................
12
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................
12
1.4.2 Tujuan Khusus............................................................
12
Manfaat Penelitian .................................................................
12
1.5
xii
14
1.5.1 Manfaat Teoritis .........................................................
13
1.5.2 Manfaat Praktis ..........................................................
13
1.6
Orisinalitas Penelitian ............................................................
13
1.7
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .............................
16
1.7.1
Landasan Teoritis......................................................
16
1.7.2
Kerangka Berpikir.....................................................
29
Metode Penelitian ..................................................................
31
1.8.1
Jenis Penelitian..........................................................
31
1.8.2
Sifat Penelitian ..........................................................
31
1.8.3
Data dan Sumber Data ..............................................
32
1.8.4
Teknik Pengumpulan Data........................................
34
1.8.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian........................
35
1.8.6
Pengolahan dan Analisis Data...................................
36
1.8
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS............................................
38
2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis..................................
38
2.2 Peraturan Perundang-undangan Terkait Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis....................................................
42
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis di Indonesia ............................................................
54
2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana ..................................
67
BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR ....
xiii
71
15
3.1 Sekilas Profil Kota Denpasar..................................................
71
3.2 Perkembangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Dalam Kurun Waktu Tahun 2010-2014 ........
72
3.3 Klasifikasi Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ....
85
3.3.1
Klasifikasi Gelandangan ...........................................
85
3.3.2
Klasifikasi Pengemis ..................................................
90
3.4 Implementasi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ..............................................
99
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR ....
133
4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ..........
133
4.2 Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ........................
136
4.3 Faktor-Faktor Pendukung Penegakan Hukum Pidana Terhadap
BAB V
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ........................
153
PENUTUP ....................................................................................
160
5.1 Simpulan.................................................................................
160
5.2 Saran ....................................................................................
162
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN
xiv
16
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1:
Data Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode Tahun 2010-2014 ………………...…………….........
2. Tabel 2:
Klasifikasi
Gelandangan
Periode
Tahun
2010-2014
Berdasarkan Tingkat Usia/Umur ............................................. 3. Tabel 3:
Klasifikasi
Gelandangan
Periode
Tahun
Klasifikasi
Gelandangan
Periode
Tahun
Klasifikasi
Gelandangan
Periode
Tahun
93
Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Asal Daerah ..............................................................................
9. Tabel 9:
91
Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin ...........................................................................
8. Tabel 8:
89
Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Tingkat Usia/Umur ..................................................................
7. Tabel 7:
87
2010-2014
Berdasarkan Wilayah Persebaran/Daerah Operasi .................. 6. Tabel 6:
86
2010-2014
Berdasarkan Asal Daerah ......................................................... 5. Tabel 5:
85
2010-2014
Berdasarkan Jenis Kelamin ...................................................... 4. Tabel 4:
74
94
Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Wilayah Persebaran/Daerah Operasi .......................................
10. Tabel 10: Data
Perkembangan
Jumlah
Perkara
Tindak
98
Pidana
Pergelandangan dan Pengemisan Pada Pengadilan Negeri Denpasar Periode Tahun 2010-2014.......................................
xv
127
17
DAFTAR GRAFIK
1. Grafik 1: Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode Tahun 2010-2014 ………………...……………......................
74
2. Grafik 2: Perkembangan Jumlah Gelandangan Periode Tahun 20102014 .........................................................................................
75
3. Grafik 3: Perkembangan Jumlah Pengemis Periode Tahun 2010-2014 ..
75
xvi
18
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1:
Pola Penanggulangan Gelandangan Pengemis di Kota Denpasar .............................................................................. 128
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu menginginkan adanya ketentraman,
ketertiban
maupun
keteraturan.
Keinginan
tersebut
selalu
berkembang dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Dalam proses mencapai ketentraman, ketertiban dan keteraturan ini tidak jarang kita temukan pula terjadinya pertentangan-pertentangan kepentingan yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan. Mengatasi hal yang demikian, maka perlu kiranya dibuat suatu perangkat aturan untuk mengatur diri manusia itu agar supaya tercapai dan tercipta ketertiban. Aturan yang dimaksud tidak lain berupa patokan atau pedoman untuk berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan dan sekaligus harapan. Patokan-patokan tersebut sering dikenal dengan sebutan norma atau kaedah yang mengatur diri pribadi manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat.1 Harus kita sadari bersama timbulnya pertentangan kepentingan-kepentingan tersebut diatas tentunya akan berpeluang besar menimbulkan adanya friksi-friksi tertentu dalam kehidupan masyarakat yang muaranya dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat telah 1
Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke-12, Rajawali Press, Jakarta, h. 1.
1
2
bergeser dari norma-norma atau kaedah yang ada. Pada umumnya prilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat namun akibatnya dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya. Salah satu bentuk pelanggaran hukum khususnya hukum pidana adalah dalam bidang ketertiban umum seperti misalnya mengenai masalah gelandangan dan pengemis. Masyarakat umum lebih populer menggunakan singkatan “Gepeng” untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut.2 Eksistensi gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam lingkungan masyarakat jelaslah sangat meresahkan karena disamping sebagai pelanggaran hukum juga merupakan salah satu penyakit sosial yang tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele dan dibiarkan begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya kehadiran gepeng dalam masyarakat tidak dapat dibendung, bahkan kian hari jumlahnya cenderung makin banyak dan sulit ditanggulangi secara tuntas. Kalau ditinjau lebih jauh masalah gelandangan dan pengemis ini adalah merupakan masalah yang terus mewarnai kehidupan bangsa Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Kemiskinan yang terus melanda sebagian masyarakat Indonesia disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab utama berkembangnya masalah ini dari jaman ke jaman. Disamping itu, gelandangan dan pengemis jelas merupakan salah satu dampak negatif
pembangunan,
khususnya
pembangunan
perkotaan.
Keberhasilan
percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi atau urbanisasi dari 2
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, 2004, Muntigunung Profil Sebuah Dusun, Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Denpasar, h. 7.
3
desa ke kota yang antara lain dapat memunculkan gelandangan dan pengemis karena sulitnya mendapatkan pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan.3 Saat ini di sejumlah kota besar di Indonesia ternyata persebaran maupun jumlah gelandangan dan pengemis tersebut cukup tinggi. Begitu pula halnya dengan kota-kota yang ada di Propinsi Bali, fenomena hadirnya gelandangan dan pengemis telah menjadi masalah serius yang harus dihadapi dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah dapat kita lihat di Kota Denpasar yang mana di beberapa sudut kota dan pusat keramaian sangat mudah kita temukan gelandangan dan pengemis tersebut. Masalahnya disini adalah keberadaan mereka tidak pernah ada habisnya, bahkan pada saat-saat tertentu jumlahnya semakin banyak, seperti misalnya pada saat menjelang hari raya keagamaan dan musim liburan. Adanya serbuan gelandangan dan pengemis tersebut memang sulit dibendung dan nyatanyata
juga
telah
membuat
sibuk
Pemerintah
Kota
Denpasar
untuk
menanggulanginya.4 Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan dan meresahkan masyarakat Kota Denpasar mengingat keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut selain merupakan penyakit sosial yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia juga berpotensi meningkatkan angka kriminalitas serta menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum seperti pemerasan, pencurian dan sindikat perdagangan anak. Disamping itu, masalah
3
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010, Fenomena Munculnya Gelandangan dan Pengemis, http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066, Diakses tanggal 04 Desember 2013. 4
Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 21 Juni, Halaman 23, Kolom 5.
4
gelandangan dan pengemis ini tentu dapat menimbulkan citra buruk atau kesan negatif bagi kota Denpasar itu sendiri sebagai ibu kota, pusat perekonomian maupun pusat pemerintahan Propinsi Bali yang perkembangan sosialnya selalu mendapat soroton masyarakat luas dan juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Sebagai gambaran mengenai seriusnya permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dapat dilihat dari data dan informasi yang peneliti dapatkan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, ternyata dalam periode tahun 2012 saja jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau ditangkap/terjaring razia adalah sejumlah 304 orang, rinciannya 15 orang gelandangan dan 289 orang pengemis. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa kebanyakan gelandangan dan pengemis tersebut ternyata berasal dari daerah Karangasem dan lainnya lagi berasal dari beberapa wilayah di Bali maupun luar Bali.5 Fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang tersebar di wilayah Kota Denpasar memang masih tinggi. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bali, seperti misalnya Kabupaten Buleleng, ternyata jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Denpasar jauh lebih banyak. Peneliti memilih Kabupeten Buleleng sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah yang terbesar di Propinsi Bali serta saat ini pembangunan di wilayah tersebut berkembang cukup pesat. Menurut data yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, dalam periode tahun yang sama 5
Data di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, research dilakukan pada bulan Desember 2014 s/d bulan Maret 2015.
5
yaitu tahun 2012, jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau ditangkap/terjaring razia oleh aparat atau instansi terkait di Kabupaten Buleleng adalah hanya sejumlah 75 orang, rinciannya 10 orang gelandangan dan 65 orang pengemis.6 Tidak dapat kita pungkiri masalah gelandangan dan pengemis ini adalah merupakan masalah yang sangat kompleks karena selain bersinggungan dengan aspek hukum juga berkaitan erat dengan aspek-aspek sosial seperti ekonomi, mental dan budaya masyarakat sehingga wajar apabila disini memerlukan upaya penanggulangan atau penanganan yang lebih komprehensif dari aparat penegak hukum maupun Pemerintah Kota Denpasar dengan melibatkan semua elemen masyarakat. Selama ini Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum terkait memang telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, hal tersebut dapat dilihat dari pemberitaan beberapa media massa. Misalnya, menjelang digelarnya berbagai even internasional di Bali Pemerintah Kota Denpasar gencar melakukan penertiban terhadap gepeng.7 Selanjutnya, diberitakan pula bahwa Pemerintah Kota Denpasar sibuk merazia gepeng dan upaya penertiban tersebut rutin dilaksanakan, apalagi menjelang diselenggarakannya ajang Miss World pada bulan September 2013.8 Selain itu, diperoleh suatu informasi bahwa Pemerintah
6
Data di Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, research dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.
7
Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua Even Internasional. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 10 Juni, Halaman 25, Kolom 6. 8
Dewa Dedi Farendra, dan Maulana Sandijaya; 2013. Menyapa Miss World, Menghalau Gepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 16 Juni, Halaman 28, Kolom 7.
6
Kota Denpasar pada tahun 2012 terus berupaya menanggulangi keberadaan gepeng di Kota Denpasar, jika sebelumnya telah memasang baliho yang berisi imbauan agar tidak memberikan sedekah kepada gepeng, berikutnya Pemerintah Kota Denpasar menyebar selebaran berisi imbauan agar warga tidak memberikan sesuatu pada gepeng.9 Bahwa meskipun ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, namun ketentuan pasal tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar atau alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun meniadakan tindakan tegas negara dalam menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis tersebut. Untuk menjaga ketertiban umum, membangun masyarakat Indonesia yang mandiri dan berbudi pekerti luhur serta memberikan rasa aman, tenteram bagi masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya penanggulangan yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis ini mulai dari yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang sifatnya represif melalui penerapan atau fungsionalisasi Hukum Pidana, misalnya berupa pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis. Beberapa aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman/landasan dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis tersebut secara umum dan pada khususnya di Kota Denpasar, termasuk yang didalamnya
9
Anonim, 2012, Siaga Gepeng Sebar Himbauan, Bali Tribune, http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/, Diakses tanggal 03 September 2013.
7
menegaskan dapat diterapkannya ketentuan Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 3. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; 4. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis; 5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Disamping peraturan perundang-undangan tersebut tersebut diatas ada pula berupa peraturan kebijakan seperti misalnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Aturan-aturan yang tegas dan sifatnya represif mengenai penanganan gelandangan dan pengemis memang tetap diperlukan mengingat ketentuan tersebut dapat menghambat laju serta mempersempit ruang gerak gelandangan dan pengemis itu sendiri di masyarakat, disamping tetap pula harus dikedepankan upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya preventif dan persuasif. Pemikiran seperti ini sangat berdasar mengingat kebijakan Hukum Pidana itu sendiri
8
menegaskan adanya cara penal dan non penal dalam rangka penanggulangan kejahatan atau pelanggaran hukum di masyarakat.10 Secara umum dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut ternyata dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Khusus untuk di Kota Denpasar mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan termasuk ketentuan pidananya tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut: “1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan”.11 Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut: 1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
10
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Ed. I. Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 77. 11
Moeljatno, 2012, KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke-30, Bumi Aksara, Jakarta, h. 184.
9
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. 12 Berikutnya, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut: -
Pasal
35
ayat
(4):
“Dilarang
melakukan
usaha/kegiatan
meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”; -
Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)”. Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang menurut hukum adalah
dilarang dan merupakan suatu tindak pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan peraturan soal larangan tersebut. Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan dan pengemis tetap diperlukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Idealnya dengan adanya ketentuan Hukum Pidana tersebut sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat (law as a tool of social engineering)13, maka hal 12
Ibid.
13
Otje Salman, dan Anton F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed. Ke-2 Cet. ke-1, Alumni, Bandung, h. 33 – 35.
10
tersebut seharusnya dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan membuat masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata
masih
cukup
tinggi,
hal
tersebut
menunjukkan
upaya-upaya
penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahankelemahan. Kondisi tersebut tentu semakin menjadikan masalah penanggulangan gelandangan dan pengemis ini sebagai isu atau permasalahan serius yang harus segera dicarikan jalan pemecahannya bersama. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sangat wajar dan beralasan apabila peneliti sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut dengan mengambil judul penelitian “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
11
1. Bagaimanakah implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar? 2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut sangatlah diperlukan untuk mendapatkan uraian yang lebih terarah. Bertitik tolak dari hal diatas, maka permasalahan
penegakan
hukum
pidana
dalam
upaya
penanggulangan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut penyajiannya dikaji berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar maupun Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar mengenai jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, serta upaya-upaya penanggulangannya oleh Pemerintah Kota Denpasar bersama instansi penegak hukum terkait yaitu Polresta Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu dari periode tahun 2010 sampai dengan 2014. Adapun pokok pembahasannya disini adalah mengenai implementasi penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar serta faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut diatas.
12
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian tentang Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Dengan paradigma ini, ilmu Hukum Pidana akan terus berkembang terutama terkait dengan penanggulangan gelandangan dan pengemis di masyarakat. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis yang terjadi di Kota Denpasar. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penghambat maupun pendukung penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktik di lapangan sebagai berikut:
13
1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi teoristik dan pengembangan konsep dasar dan teori Hukum Pidana, khususnya tentang tindak pidana yang berhubungan dengan masalah gelandangan dan pengemis. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan praktek atau penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum terkait seperti: Polisi dan Hakim dalam rangka menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
1.6 Orisinalitas Penelitian Aspek orisinalitas dalam penelitian ini harus diperhatikan agar tulisan dan penelitian ini dapat bernilai sebagai suatu karya ilmiah yang baik. Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan judul
“Penegakan
Hukum
Pidana
Dalam
Upaya
Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dalam tataran penulisan Tesis dan Disertasi, meskipun mengenai topik gelandangan dan pengemis ini sudah ada yang meneliti dan membahas akan tetapi hampir seluruhnya bukan dalam perspektif kajian ilmu hukum. Adapun hanya ada 1 (satu) penelitian hukum mengenai gelandangan dan pengemis yang peneliti
14
temukan. Sebagai gambarannya, beberapa tulisan ilmiah tersebut akan peneliti uraikan sebagai berikut: I. Nama
: Yusrizal
NIM
: 097005047
Univ./PS
: Universitas Sumatera Utara (USU) / Magister Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut UndangUndang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)
Permasalahan
: 1. Bagaimanakah
fungsionalisasi
hukum
pidana
terhadap gelandangan dan pengemis? 2. Bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 UndangUndang Dasar 1945? 3. Bagaimanakah perbuatan
upaya
gelandangan
dekriminalisasi dan
terhadap
pengemis
dalam
perspektif kebijakan hukum pidana? II. Nama
: Desriyanti
NIM
: 01505002
Univ./PS
: Universitas Negeri Medan / Magister Antropologi Sosial
Judul Tesis
: Miskin
Papa:
Kajian
Antropologi
Kelompok Pengemis di Kota Medan
Terhadap
15
Permasalahan
: 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang menjadi
pengemis?
Bagaimana
latar
belakang
pendidikan mereka? dan Bagaimana mereka memilih menjadi pengemis? 2. Daerah-daerah manakah yang menjadi lokasi mengemis bagi para pengemis di kota Medan? 3. Mengapa kehidupan sebagai pengemis dapat dilakukan secara turun temurun? 4. Bagaimanakah tipologi pengemis yang ada di kota Medan? 5. Apakah ada usaha pemerintah untuk menanggulangi kehidupan sebagai pengemis? III. Nama
: Mardian Wibowo
NIM
: 0606017593
Univ./PS
: Universitas Indonesia (UI) / Magister Ilmu Administrasi
Judul Tesis
: Studi
Implementasi
Kebijakan
Penanganan
Gelandangan di Kota Jakarta Timur Permasalahan
: 1. Bagaimanakah implementasi kebijakan penanganan gelandangan di kota Jakarta Timur? 2. Apakah
strategi
meningkatkan
yang
atau
dapat
digunakan
memperkuat
untuk
implementasi
kebijakan penanganan gelandangan di Jakarta Timur?
16
Apabila dibandingkan dengan Tesis No. I diatas, maka penelitian yang peneliti lakukan ini jelaslah sangat berbeda. Disamping perbedaan dalam rumusan masalah, Tesis No. I yang ditulis Yusrizal tersebut jelas-jelas dibuat dengan jenis penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum empiris dan tempat penelitiannya dilakukan di Kota Denpasar. Berikutnya, apabila dibandingkan dengan Tesis No. II dan III diatas, maka Tesis-Tesis tersebut jelas pula sangat berbeda dengan penelitian ini karena dalam Tesis No. II dan III tersebut masalah gelandangan maupun pengemis dikaji, dibahas dalam perspektif ilmu yang lain dan bukan dalam perspektif ilmu Hukum.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis “Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian”.14 Dalam hal ini tentu saja yang terfokus pada permasalahan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis. Negara Indonesia adalah sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (3)
14
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 44.
17
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945).15 Dalam konteks negara hukum tersebut tentu asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) harus tetap dikedepankan dalam rangka mewujudkan proses penegakan hukum yang adil (ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUDNRI 1945). Ini berarti setiap orang yang melakukan tidak pidana seharusnya ditindak tegas tanpa pandang bulu termasuk bagi gelandangan dan pengemis, namun perlu diingat pula bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya adagium “ultimum remedium” yang dapat diartikan bahwa sanksi pidana adalah sebagai senjata terakhir/pamungkas.16 Dalam penegakan hukum pidana seharusnya prinsip ini harus dipegang teguh dimana pemberian sanksi pidana tersebut memang benarbenar dijadikan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian suatu masalah yang terjadi masyarakat. Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya”.17 Selanjutnya, dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gelandangan (Vagrants, Vagabond, Landloperij) adalah “one who, not having a settled habitation, strolls from place to place, a homeless, idle wandered”18 (terjemahan peneliti: orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak memiliki pekerjaan 15
Ibnu Subarkah, 2010, Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan, Varia Peradilan: Tahun XXV No. 295, Jakarta, h. 46. 16
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 3 Cet. ke-1, Refika Aditama, Bandung, h. 17. 17
Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Ed. 1 Cet. ke-2, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.
18
Bryan A. Garner (ed), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West, a Thomson Reuters Business, Texas, page 1689.
18
atau pengangguran). Sementara itu yang dimaksud dengan pengemis (Beggars, Bedelarij) adalah “a person who communicates with people, often in public places, asking for money, food, or other necessities for personal use, often as a habitual means of making a living”19 (terjemahan peneliti: orang yang sering berada di tempat umum, meminta uang, makanan, atau keperluan lainnya untuk kepentingan pribadi, sering dipakai sebagai sarana kebiasaan mencari nafkah). Sesuai
dengan
ketentuan
hukum
positif
di
Indonesia
perbuatan
pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis jelas adalah merupakan salah satu bentuk tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran ketertiban umum, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 504 dan 505 KUHP. Sementara itu, dalam lingkup wilayah Kota Denpasar, ada pula aturan pidana yang lebih khusus mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut yaitu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Sebagai gambaran mengenai penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis di Indonesia, maka salah satunya dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardian Wibowo tentang gelandangan dan pengemis di Jakarta Timur yang menjelaskan bahwa selama ini pola penanganan gelandangan di Jakarta Timur cenderung bersifat reaktif, yakni menitikberatkan pada kriminalisasi gelandangan, serta tindakan-tindakan on the spot (berupa operasi langsung) menyingkirkan gelandangan dari wilayah Jakarta timur tanpa
19
Ibid, h. 174.
19
memperbaiki infrastruktur di wilayah asal gelandangan. Penanganan yang bersifat reaktif tersebut diatas terbukti tidak memberikan hasil sehingga perlu dilakukan perubahan pendekatan dalam penanganan gelandangan.20 Berikutnya, Saptono Iqbali dalam hasil penelitiannya terhadap gelandangan dan pengemis di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem sebagai daerah asal gepeng mengemukakan bahwa selain tetap melakukan razia-razia, langkah-langkah berupa pembinaan, penyuluhan, pemberian bantuan sosial, maupun pemenuhan kebutuhan spiritual adalah sangat diperlukan sebagai bagian strategi penanganan masalah gepeng tersebut di masyarakat.21 Pembahasan dalam penelitian ini nantinya akan didukung pula oleh beberapa teori yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah tersebut. Penggunaan teori hukum adalah merupakan bagian penting dalam suatu penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan penilaian tentang apa yang seharusnya menurut hukum. Selain itu, teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.22 Suatu undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif
20
Mardian Wibowo, 2008, “Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di Kota Jakarta Timur”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Administrasi Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 21
Saptono Iqbali, 2008, Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem, Jurnal, http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972, Diakses tanggal 10 Oktober 2013. 22
Mukti Fajar Nur Dewata, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 146.
20
maupun aspek empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan studi law in action.
23
Mengacu pada uraian tersebut, maka
jelaslah untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam memang diperlukan teori yaitu berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.24 Adapun teori-teori yang relevan digunakan dalam menganalisis permasalahan sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: a. Teori Bekerjanya Hukum Berbicara
mengenai
penegakan
hukum
pidana
dalam
rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka salah satu hal penting yang terkait didalamnya adalah mengenai proses bekerjanya hukum pidana itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan. Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.25
23
Amiruddin, dan Zaenal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 196. 24
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
25
Esmi Warrasih, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, h. 30.
21
Proses bekerjanya unsur atau aspek tersebut diatas akan menunjukkan pula bahwa hukum tersebut dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran (Role Occupant) sebagaimana yang ditegaskan Robert B. Siedman dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development: “Law as a divice to structure choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behavior, and its importance as the principal instrument that government has to influence behavior”26 (terjemahan peneliti: hukum adalah sebagai perangkat pilihan struktur mengekspresikan sekaligus marginalitas biasa hukum dalam mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku). Robert B. Seidman mencoba untuk menerapkan pandangannya terkait hasil bekerjanya berbagai macam faktor tersebut di dalam analisanya mengenai bekerjanya atau berlakunya hukum dalam masyarakat. Model Robert B. Seidman tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut:
26
Robert B. Siedman, 1978, The State, Law and Development, ST. Martin’s Press, New York, page 77.
22
Oleh Robert B. Seidman bagan diatas diuraikan dalam dalil-dalil sebagai berikut: 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak; 2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembagalembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya; 3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan; 4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.27 Dari uraian teori yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dalam upaya
27
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 27-28.
23
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka pelaksanaannya tentu akan dipengaruhi pula oleh beberapa unsur atau aspek yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut diatas sehingga penegakan hukum pidananya di masyarakat dapat berjalan dengan baik dalam rangka menanggulangi permasalahan tersebut. b. Teori Pemidanaan Salah satu masalah pokok dalam hukum pidana adalah mencari dasar pembenaran dijatuhkannya pidana terhadap pelaku tindak pidana sehingga pidana tersebut menjadi lebih fungsional. “Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.28 Pada umumnya, teori pemidanaan (Strafrechts Theorien) dibagi dalam tiga golongan teori yaitu: 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori ini, penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana. Hanya dengan membalas tindak pidana itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan bahwa perbuatan itu dapat dihargai. Oleh karena itu, pidana dilepaskan dari tujuan. Adapun tokoh-tokoh penganut teori pembalasan ini seperti Imanuel Kant, Van Bemmelen dan Pompe;
28
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 68.
24
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan ataupun pelanggar hukum, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Penganut teori ini antara lain A. Von Feuerbach, Van Hamel dan Simons. Sehubungan dengan tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu: a. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan ataupun pelanggaran hukum; b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang mana dapat dibedakan
atas
pencegahan
umum
(generale
preventie)
dan
pencegahan khusus (speciale preventie). Pencegahan umum didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan kejahatan atau pelanggaran, sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tidak mengulangi kejahatan; 3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut/teori pembalasan dengan teori relatif/teori tujuan. Dalam hal ini dibagi kedalam 3 (tiga) golongan yaitu:
25
a. Menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat; b. Menitikberatkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana; c. Menitikberatkan sama baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat.29 c. Teori Penanggulangan Tindak Pidana Upaya-upaya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Marc Ancel pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) tersebut adalah sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).30 Dalam implementasinya upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana ini harus dilakukan dengan pendekatan integral yakni ada keseimbangan antara sarana penal (hukum pidana) dan non penal (bukan/diluar
hukum
29
pidana).
Dengan
demikian,
dalam
rangka
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 52-60. 30
Barda Nawawi Arief I, Loc.cit.
26
penanggulangan tindak pidana yang terjadi di masyarakat khususnya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka pada tahap/proses dari penegakan hukum pidana in concreto tersebut haruslah juga memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa kesejahteraan sosial (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence). d. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman, “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interest”31 (terjemahan peneliti: suatu sistem hukum dalam pelaksanaannya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi dan budaya berinteraksi). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuan yang saling berinteraksi. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum diatas yakni Struktur Hukum/Pranata Hukum, Substansi Hukum, dan Budaya Hukum. 1. Struktur Hukum (legal structure) Bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya: Pengadilan,
31
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, page 10.
27
Kejaksaan, Kepolisian. Jadi disini menekankan pada aspek lembaga dan aparat penegak hukumnya; 2. Substansi Hukum (legal substance) Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan Hakim, Undang-Undang; 3. Budaya Hukum (legal culture) Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.32 Ketiga unsur/komponen diatas mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara.33 e. Teori Penegakan Hukum Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagiannya. Ini berarti penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tersebut menjadi kenyataan.34 Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum tersebut terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang 32
Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana khusus, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 1. 33
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 26.
34
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Cet. ke-2, Buku Kompas, Jakarta, h. 169.
28
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35 Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektevitas
penegakan
hukum.
Berikutnya,
Hamis
MC.
Rae
juga
mengemukakan pendapatnya bahwa penegakan hukum tersebut harus dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa penegakan hukum harus dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli di bidangnya dan dalam
35
Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 5-8.
29
penegakan hukum akan lebih baik jika pelaksanaanya mempunyai pengalaman praktek berkaitan dengan bidang yang ditanganinya.36 Bahwa dari Teori-Teori Hukum yang dikemukakan diatas, maka dapat dijelaskan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c lebih digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada poin 1, sedangkan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf d dan e digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada poin 2. 1.7.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis tersebut diatas, maka peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:
36
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 17.
30
JUDUL: Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
-
-
LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkan masyarakat. Larangan mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP, sedangkan, khusus untuk di Kota Denpasar mengenai hal tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum; Apabila dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata masih cukup tinggi, hal tersebut jelas menunjukkan upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-kelemahan.
PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar ? 2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar ?
a. b. c. d. e.
TEORI HUKUM Teori Bekerjanya Hukum Teori Tujuan Pemidanaan Teori Penanggulangan Tindak Pidana Teori Sistem Hukum Teori Penegakan Hukum
KAJIAN YURIDIS Hukum Pidana : KUHP dan Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
Bekerjanya Hukum
Perilaku Hukum Masyarakat Timbul masalah gepeng di masyarakat (pelanggaran hukum/perilaku menyimpang)
Upaya-upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis: - Penal (Penegakan hukum pidana Pemidanaan) - Non Penal Penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang lebih komprehensif
Rekomendasi
Faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana: hukum, penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat, kebudayaan.
31
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam hal ini mengkaji mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dalam perspektif hukum pidana. Pada penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.37 Kalau kita bandingkan dengan pendapat Bambang Sunggono, maka jenis penelitian ini disebut juga sebagai penelitian hukum non-doktrinal (socio-legal research) yang mana penekanannya adalah pada studi law in Process.38 Data sekunder dalam penelitian ini digunakan sebagai data awal untuk kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Penelitian hukum empiris tetap mengacu pada premis normatif dimana definisi operasionalnya dapat diambil
dari
peraturan
perundang-undangan
untuk
selanjutnya
melihat
pelaksanaan atau kenyataannya yang ada di lapangan (Das Solen dengan Das Sein). 1.8.2 Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris ini adalah merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
37
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 53. 38
Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Ed. 1 Cet. ke-8, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 102-103
32
suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.39 Biasanya peneliti sudah mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.40 Penelitian ini jelas bertujuan mendiskripsikan dan menggambarkan apa adanya secara tepat mengenai penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya. 1.8.3 Data dan Sumber Data Sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan penelitian ini adalah terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung di lapangan, baik itu dari responden maupun informan. Data Primer dalam penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan yang dilakukan di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar; Kepolisian Resor Kota Denpasar (Polresta Denpasar); dan Pengadilan Negeri Denpasar. Alasan hukum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kota Denpasar adalah karena jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota yang lainnya di Bali, selain itu juga didasari oleh rasa keprihatinan melihat 39
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 57. 40
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 8.
33
kondisi Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, ekonomi bahkan pengembangan pariwisata Propinsi Bali ternyata masih
menghadapi
permasalahan gelandangan dan pengemis yang kian hari makin sulit untuk ditanggulangi secara tuntas; 2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan hukum sebagai berikut: -
Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.41 Dalam penelitian ini meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967), Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5294), Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3177), dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2000);
41
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet ke-8, Kencana, Jakarta, h. 181.
34
-
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam hal ini meliputi literatur-literatur tentang Hukum Pidana dan Teori Hukum, internet dengan menyebut nama situsnya, hasil karya ilmiah Para Sarjana, hasilhasil penelitian dan jurnal-jurnal Hukum;
-
Bahan hukum tersier (tertier) yaitu bahan – bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder. Dalam penelitian ini meliputi: Black Law Dictionary, disamping itu termasuk pula kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan teknik wawancara (interview) mendalam untuk mengumpulkan data primer. 1. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen ini dilakukan atas data sekunder yaitu berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.43 Dalam proses pengumpulan datanya dilakukan dengan melakukan penelusuran secara mendalam kemudian membaca, menganalisa, serta mencatat secara sistematis bagian-bagian yang terkait dengan pokok bahasan;
42
Ibid.
43
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 60-61.
35
2. Teknik Wawancara (interview) Selama ini teknik wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer.44 Wawancara merupakan suatu cara untuk memeperoleh data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan informan dan responden di lapangan. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang melainkan dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang atau telah dikonsep sebelumnya (interview guide) untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pejabat terkait di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar, aparat Satpol PP Kota Denpasar, aparat Kepolisian pada Polresta Denpasar, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan tokoh masyarakat sebagai informan serta gelandangan dan pengemis itu sendiri sebagai responden. 1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam hal ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah non probability sampling artinya dalam penelitian ini tidak ada ketentuan pasti berapa sampel harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau penelitian, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.45
44
Bambang Waluyo, Op.cit, h. 57.
45
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 65.
36
Bentuk dari non probalitas sampling yang dipergunakan adalah bentuk purposive sampling, artinya: penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukkan dari pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristis tertentu yang merupakan ciri utama dari populasi sehingga nantinya dapat diuraikan secara jelas mengenai penegakan hukum pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.46 Dalam hal ini model analisis data yang digunakan adalah model analisis kualitatif atau yang sering dikenal dengan deksriptif kualitatif. Dalam model analisis ini, dari keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder selanjutnya akan diolah serta dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi, dikategorisasikan atau diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lain, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.47 Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan di
46
Bambang Waluyo, Op.cit, h. 72.
47
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h 76.
37
sajikan secara dekstriptif yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan secara jelas, sistematis dan lengkap mengenai hasil penelitian dari permasalahan yang diajukan.
38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”. Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan akronim/singkatan “gepeng” (gelandangan dan pengemis) tersebut yang mana tidak hanya menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk pada sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar. Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma.48 Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah homeless.49 Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut:
48
Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng), Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, h. 2. 49
Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 88.
38
39
-
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum;
-
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Departemen Sosial Republik Indonesia juga memberikan rumusan yang sama dengan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis mengenai pengertian gelandangan dan pengemis tersebut sebagai berikut: Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.50 Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap, tidak tentu pekerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini tidak tentu tujuannya, bertualang”.51 Berikutnya, pengertian pengemis adalah “orang yang meminta-minta”.52
50
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, Depsos RI, Jakarta, h. 2. 51
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, h. 281. 52
Ibid, h. 532.
40
Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindahpindah. Beliau juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar masyarakat kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas. Tindakantindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu.53 Berikutnya, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi orang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan, seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka karena lapangan kerja yang sempit.54 Gorris Keeraf mencatat bahwa secara historis asal usul kata pengemis tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan 53
Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap, FSUI, h. 1 54
Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media Publisher, Jakarta, h. 1.
41
orang jawa yang memiliki kecenderungan menamakan sesuatu berdasarkan kejadian atau waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah Kesunanan Surakarta Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa dahulu pada suatu hari, penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja bernama Pakubuwono X yang pada masa itu memang dikenal sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum tak mampu terutama dilakukan menjelang hari Jumat khususnya pada hari Kamis sore. Pada hari Kamis tersebut diatas, Raja Pakubuwono keluar dari istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Mereka memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada pemimpinnya. Pada saat itu sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan tersebut yang dilakukan setiap kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan dalam bahasa Jawa Kamis dibaca kemis, maka lahirlah sebutan untuk orang yang mengharapkan berkah di hari Kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari Kemis)
42
dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah pada hari Kemis).55 Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosakata bahasa Indonesia yang tentunya memiliki kata dasar Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis tidak dikenal dalam kosakata bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe- sehingga membentuk kata pengemis. Lain halnya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.
2.2 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis di Indonesia, khususnya yang terjadi pula di Kota Denpasar, maka terdapat beberapa aturan hukum yang relevan dan dapat dijadikan pedoman/landasan sebagai berikut: 1. Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.
11
Tahun
2009
tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967); 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia
55
Ibid, h. 4.
43
Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5294); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3177); 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2000). 1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial ini gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Pasal 2 dan 5 UU RI No. 11 Tahun 2009). Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok
44
masyarakat
yang
mengalami
masalah
kemiskinan
sehingga
kegiatan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis. Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: a. Rehabilitasi sosial yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat; b. Jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak; c. Pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya; d. Perlindungan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut diatas yang relevan dan penting diperhatikan dalam
rangka penanggulangan
gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial, apalagi diperuntukkan kepada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi terkait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nantinya diharapkan dapat memulihkan dan mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11
45
Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Kegiatan rehabilitasi sosial tersebut diberikan dalam bentuk: a. Motivasi dan diagnosis psikososial; b. Perawatan dan pengasuhan; c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. Bimbingan mental spiritual; e. Bimbingan fisik; f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. Pelayanan aksesibilitas; h. Bantuan dan asistensi sosial; i. Bimbingan resosianlisasi; j. Bimbingan lanjut; dan atau k. Rujukan. 2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f) Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa terhadap gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabilitasi sosial dalam rangka kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Rehabilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik,
46
mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi gelandangan pengemis. Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran, dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan, pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseorang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial. Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; perawatan dan pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan fisik; bimbingan sosial dan konseling psikosional; pelayanan aksesibilitas; bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan atau rujukan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut diatas, maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya anjuran maupun ajakan sampai yang sifatnya dipaksakan agar gelandangan dan pengemis tersebut bersedia melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan rehabilitasi sosial tentu diharapkan
47
gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut. 3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Pasal 58 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11 Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ini. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis karena belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang RI No. 11 tahun 2009 tersebut diatas. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan rehabilitasi. a. Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang
48
ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis, yang mana berdasarkan Pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan bimbingan sosial, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajat
kesehatan,
pengawasan serta
pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya: -
Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
-
Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;
-
Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
b. Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya represif tersebut meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan pelimpahan. Dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 diuraikan bahwa gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung
49
dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari: -
Dilepaskan dengan syarat;
-
Dimasukkan dalam Panti Sosial;
-
Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
-
Diserahkan ke Pengadilan;
-
Diberikan pelayanan kesehatan.
c. Upaya rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan melalui Panti Sosial. Usaha penampungan tersebut diatas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan dan pengemis yang dimaksukkan dalam Panti Sosial. Seleksi dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif. Dalam melaksanakan usaha penyantunan tersebut diatas para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha tindak
50
lanjut yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis. Usaha tindak lanjut tersebut diatas dilakukan dengan: -
Meningkatkan kesadaran berswadaya;
-
Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;
-
Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bahwa disamping upaya-upaya penanggulangan sebagaimana ditegaskan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tersebut diatas, maka dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis juga dapat diterapkan upaya-upaya penanggulangan melalui penerapan hukum pidana (upaya penal) yaitu berupa pemberian sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.56
56
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h. 26.
51
1. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa: Kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undangundang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan
dengan
keadilan,
misalnya:
pembunuhan,
pencurian.
Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutkan sebagai tindak pidana, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan hukuman pidana. 2. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan. Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut: 1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
52
Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut: 1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan; 2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum. Ini berarti tidak semua gelandangan dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya gelandangan dan pengemis
yang
terbukti
atau
tertangkap
basah
melakukan
kegiatan
menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum. 5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum Khusus untuk wilayah Kota Denpasar, larangan dan saksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut juga diatur di dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang menegaskan sebagai berikut: -
Pasal
35
ayat
(4):
“Dilarang
melakukan
usaha/kegiatan
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;
meminta-
53
-
Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)”.
Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang khususnya di wilayah Kota Denpasar tersebut menurut hukum adalah dilarang dan merupakan suatu tindak pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah Kota Denpasar melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan peraturan soal larangan tersebut. Sama halnya dengan sanksi pidana bagi gelandangan dan pengemis yang diatur KUHP, kegiatan pergelandangan dan pengemisan di wilayah Kota Denpasar yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum. Bertitik tolak dari uraian-uraian mengenai Peraturan Perundang-undangan terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa secara garis besar ada 2 (dua) cara/upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut yaitu melalui cara penal (hukum pidana) dan cara non-penal (bukan/diluar hukum pidana). Upaya-upaya penanggulangan melalui cara non-penal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang menegaskan adanya upaya-
54
upaya penanggulangan berupa preventif, persuasif, dan rehabilitasi. Berikutnya, cara penal yaitu upaya penanggulangan yang sifatnya represif berupa penerapan sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan khusus di wilayah Kota Denpasar diatur dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis di Indonesia Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejalagejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat. 57 Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterbatasan, cenderung bergantung pada belas kasihan atau pemberian orang lain, berkeliaran di tempattempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan perempatan jalan, yang mana keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dirasa sangatlah mengganggu dan meresahkan. Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut tidaklah mudah. Sepanjang hari para gelandangan dan pengemis harus berjalan menelusuri sudut-sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas sinar matahari, 57
Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4.
55
kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan lingkungan yang kotor. Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika menggelandang dan mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan menggelandang dan mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri bagi yang melakukannya.58 Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiatan menggelandang dan mengemis ini ternyata masih menjadi primadona tersendiri bagi orang-orang yang malas apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu nasib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan ataupun kemampuan yang cukup. Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan mengemis tersebut tidaklah mudah dan memerlukan kemampuan serta jiwa yang berani untuk menggelandang dan mengemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis merupakan hal yang mudah dan paling enak untuk dijalani. Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu: 1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
58
Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, Penerbit Sabil, Jakarta, h. 9.
56
2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang layak. 3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan pasar kerja. 4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para pemberi sedekah. Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu: a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta. b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan. c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.59 Uraian diatas menunjukkan adanya beberapa faktor sosial budaya yang juga menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan menguraikan bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat
59
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Op.cit, h 7-8.
57
dibedakan menjadi dua faktor penyebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.60 Berikutnya, menurut Dimas Dwi Irawan ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut yaitu merantau dengan modal nekad, malas berusaha, disabilitas fisik/cacat fisik, tidak adanya lapangan kerja, tradisi yang turun temurun, mengemis daripada menganggu, harga kebutuhan pokok yang mahal, kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-ikutan saja, disuruh orang tua, dan menjadi korban penipuan.61 1. Merantau dengan modal nekad Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak dari mereka yang merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka mencoba dan berusaha meskipun hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas, modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih untuk menjadi gelandangan dan pengemis; 60
Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, Rajawali, Jakarta, h. 14.
61
Dimas Dwi Irawan, Op.cit, h. 6.
58
2. Malas berusaha Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa susah payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu; 3. Disabilitas fisik/cacat fisik Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk memilih menjadi gelandangan dan pengemis dibanding bekerja. Sulitnya lapangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis; 4. Tidak adanya lapangan kerja Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak bersekolah atau memiliki keterbatasan kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka seringkali salah yaitu menjadikan meminta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan; 5. Tradisi yang turun temurun Mengemis dan menggelandang merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak cucunya; 6. Mengemis daripada menganggur Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan menbuat beberapa orang mempuyai mental
59
dan pemikiran daripada menggangur maka lebih baik mengemis dan menggelandang; 7. Harga kebutuhan pokok yang mahal Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok dan
memenuhi
kebutuhannya
adalah
dengan
giat
nekerja
tanpa
mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih memutuskan untuk mengemis karena berpikir tidak ada cara lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; 8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak berdaya
dalam
menghadapi
masalah
ekonomi
yang
berkelanjutan.
Permasalahan ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup dalam krisis ekonomi dihidupnya sehingga menjadi gelandangan dan pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup; 9. Ikut-ikutan saja Kehadiran pendatang baru sebagai gelandangan dan pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung oleh adanya pemberitaan tentang pengemis dan gelandangan yang begitu mudahnya mendapatkan uang di kota yang akhirnya membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan pengemis;
60
10. Disuruh orang tua Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak. Mereka bekerja karena diperintahkan oleh orang tuanya dan dalam kasus seperti inilah terjadi eksploitasi anak; 11. Menjadi korban penipuan Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak tertutup kemungkinan dapat disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi korban penipuan. Hal ini biasanya dapat terjadi di kota besar yang memang rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru sampai di kota. Pendatang baru ini sering mengalami penipuan seperti yang disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya mereka pun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang atau bertahan hidup di kota. Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor penyebab tersebut diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan menyebabkan
munculnya
gelandangan
dan
pengemis
dalam
kehidupan
masyarakat Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis ini juga terjadi dan dapat ditemukan di luar negeri. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut. Sama halnya dengan di Indonesia, faktor kemiskinan ini ternyata juga menjadi penyebab utama
61
munculnya fenomena gelandangan dan pengemis di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Faktor kemiskinan tersebut diatas yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan sosial dapat menyebabkan munculnya permasalahan gelandangan dan pengemis di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Seperti yang dikemukakan oleh Judith Goode dan Jeff Maskovsky sebagai berikut: “People become homeless for a variety of reasons. Homelessness is primarily an economic problem, and is also affected by a number of social and political factors”62 (terjemahan peneliti: Masyarakat menjadi tunawisma karena beragam alasan. Alasan utama adalah kesulitan ekonomi, yang bisa juga dipengaruhi berbagai permasalahan politik dan sosial). Disamping itu, faktor kemiskinan yang disebabkan oleh menurunnya kondisi dunia industri di Amerika Serikat juga dapat mempengaruhi perkembangan gelandangan
dan
pengemis
di
Amerika
Serikat.
Vincent
Lyon-Callo
mengemukakan adanya korelasi hal tersebut sebagai berikut “Poverty caused by the bad situation of industry in United States has a high potentiality to increase homelessness in United States”63 (terjemahan peneliti: faktor kemiskinan yang disebabkan oleh situasi dunia industri di Amerika Serikat yang terpuruk berpotensi besar menyebabkan meningkatnya tunawisma di Amerika Serikat).
62
Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty Studies: The Ethnography of Power, Polities and impoverished People in The United States, New York University Press, New York, page 210. 63
Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: Activist Ethnography in the Homeless Sheltering Industry, University of Toronto Press, Ontario-Canada, page 2-3.
62
Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan pengemis secara umum dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa Gowan yang pada pokoknya menegaskan: There are many different causes of homelessness. Poverty and the inability to afford adequate housing are central to the causes of homelessness. These circumstances may result from a number of different experiences, including long-term or short-term unemployment, debt and other financial pressures, and housing market pressures, such as rising rental and house prices and the lack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by other personal or family problems, such as family breakdown, domestic violence, poor physical and mental health, substance and other addictions. The inability to cope with combinations of these problems can push individuals and families even closer to the edge.64 (terjemahan peneliti: Terdapat banyak sekali penyebab adanya tunawisma. Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli tempat tinggal yang layak. Keadaan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain penggangguran dalam jangka waktu pendek dan panjang, hutang dan tekanan finansial yang lain, tekanan dari pasar perumahan seperti biaya sewa dan harga rumah yang terus meninggi dan sedikitnya jumlah rumah susun atau rumah untuk publik lain yang bisa disewa. Kesulitan finansial seringkali disertai oleh masalah peribadi dan keluarga, seperti kehancuran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan jiwa dan raga yang buruk, ketergantungan atau kecanduan zat-zat adiktif. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akan menyebabkan orang-orang dan keluarga-keluarga semakin terpuruk dan rumah tangga mereka mendekati kehancuran) Selanjutnya, Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya sebagai berikut: “Homelessness affects a wide range of people from different regions, of different ages and different cultural backgrounds. Some groups, however, are particularly at risk of becoming homeless”65 (terjemahan peneliti: Masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dengan usia dan latar belakang
64
Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco, University Minnesota Press, Minneapolis, page 18. 65
Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, Displaced and Barely Visible: Archaeology and Material Culture of Homelessness, Historical Archaeologies of Engagement, Representation, and Identity: Vol. 45. No. 1, New York, page. 67.
63
budaya berbeda bisa saja menjadi tunawisma. Beberapa kelompok masyarakat bahkan sangat beresiko menjadi tunawisma). Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng miskin materi, dalam hal ini gepeng miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental, karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat seseorang bermental seperti ini.66 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga membagi tipe atau kategori gelandangan dan pengemis tersebut menjadi dua kelompok utama yaitu primer dan sekunder sebagaimana dikemukakan oleh P. Lynch sebagai berikut: The United Nations identifies homeless people under two broad groups: - Primary homelessness (or rooflessness). This category includes persons living in the streets without a shelter that would fall within the scope of living quarters; - Secondary homelessness. This category may include persons with no place of usual residence who move frequently between various types of accommodations (including dwellings, shelters and institutions for the homeless or other living quarters).This category includes persons living in private dwellings but reporting ‘no usual address’ on their census form.67 66
Engkus Kuswarno, Op.cit, h. 91.
67
P. Lynch, 2004, Begging for Change: Homelessness and the Law, Melbourne University Law Review: Vol 26, Melbourne, page 694.
64
(terjemahan peneliti: Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB mengidentifikasi tuna wisma dalam dua kelompok utama: - Tuna wisma primer: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat penampungan atau tempat lain yang bisa ditinggali; - Tuna wisma sekunder: yang termasuk dalam kategori ini adalah orangorang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap namun secara berkelanjutan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat ke tempat yang lain (bisa berupa penampungan tuna wisma atau tempat lain yang tergolong tempat yang bisa ditinggali). Kategori ini juga mencakup orang yang tinggal di tempat tinggal sendiri namun tidak memiliki tempat tinggal tetap yang tertulis dalam form sensus.) Uraian-uraian diatas jelas menunjukkan adanya hubungan erat antara permasalahan gelandangan dan pengemis dengan faktor kemiskinan karenanya hal tersebut tentu harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat agar dapat menekan laju perkembangan gelandangan dan pengemis tersebut di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia telah terjadi sejak dahulu dan terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia sampai dengan sekarang. Secara historis masalah kemiskinan di Indonesia telah berlangsung sejak zaman kerajaan-kerajaan, kemudian berlanjut semakin kompleks pada masa penjajahan kolonial Belanda yang mana politik tanam paksa dan eksploitasi komoditas
perkebunan,
pertanian
telah
menimbulkan
penurunan
kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat dipekerjakan secara paksa (kerja rodi) bahkan penangkapan masyarakat yang melawan terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan pekerja. Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diikuti kolonialisme dan
65
imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekedar manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan penjajah Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas-ganasnya berkembang.68 Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata diartikan sebagai kekurangan secara ekonomi saja. Kemiskinan juga dianggap meliputi aspek-aspek non-ekonomi,
seperti
kesehatan,
keamanan/kerentanan,
penghargaan
diri/identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyarakat, hak suara secara politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya.69 Terdapat banyak orang dan organisasi yang memandang kemiskinan berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia sebagai berikut “Poverty as lack of prosperity that is conspicuous”70 (terjemahan peneliti: kemiskinan adalah kekurangan kesejahteraan yang mencolok). Menurut J. Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat konvensional, hal itu dapat dilihat dari pendapat mereka yang menegaskan “Conventional view is essentially connecting welfare with the ability to have something. Therefore, the poor are definied as those who do not have enough
68
Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5. 69
Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion, Compassion International, Jakarta, h. 10. 70
The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?, Oxford University Press, New York, page 32.
66
income to be in possession of something”71 (terjemahan peneliti: Pandangan konvensional pada dasarnya menghubungkan kesejahteraan dengan kemampuan untuk memiliki sesuatu. Oleh sebab itu, orang miskin diartikan sebagai mereka yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk dapat memiliki sesuatu). Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan dan pengemis di masyarakat seperti faktor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat penting dalam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pengemis di Indonesia khususnya di kota-kota besar. Pemikiran tersebut sangat sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan ataupun perbuatan yang menyimpang. Menurut Edwin H. Sutherland, “Criminology is the body of knowledge regarding crime and delinquency as social phenomena. It includes within its scope the processes of making laws, breaking laws, and reacting to the breaking of laws”72 (terjemahan peneliti: Kriminologi
adalah keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum). Sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya bahwa kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut adalah merupakan tindak pidana
71
J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and Inequality, The World Bank, Washington, D.C., page 12. 72
Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill, 1992, Principles of Criminology, Eleventh Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Boston, United States of America, page 3.
67
atau pelanggaran hukum atau perbuatan yang menyimpang karenanya dengan mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan dan pengemis di masyarakat, maka tentu akan dapat dilakukan upaya-upaya penanggulangan yang lebih tepat dan terarah.
2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari rasa takut terhadap gangguan tindak pidana atau kejahatan, maka untuk itu sangat diperlukan adanya upaya-upaya penanggulangan dari pemerintah dan aparat penegak hukum terkait. Upaya penanggulangan tindak pidana adalah masuk dalam lingkup kebijakan kriminal (penal policy/criminal policy) yaitu suatu usaha untuk menanggulangi tindak pidana atau kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional. Secara garis besar, upaya penanggulangan tindak pidana atau kejahatan ataupun pelanggaran hukum di masyarakat tersebut dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur nonpenal (bukan/diluar hukum pidana).73 Agar supaya penanggulangan tindak pidana di masyarakat dapat berlangsung dengan lebih efektif dan maksimal, maka sangat diperlukan adanya keseimbangan penerapan upaya melalui jalur penal maupun non-penal tersebut. Upaya penanggulangan dengan menggunakan jalur penal ini lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan 73
jalur
non-penal
lebih
menitikberatkan
pada
sifat
preventif
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Badung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 42.
68
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.74 Upayaupaya tersebut diatas tentu dapat diterapkan pula dalam rangka penanggulangan masalah tindak pidana pergelandangan dan pengemisan di masyarakat Indonesia, termasuk yang terjadi di Kota Denpasar. Berikutnya,
G.P.
Hoefnagels
menggambarkan
ruang
lingkup
upaya
penanggulangan kejahatan (criminal policy) tersebut sebagai berikut: a. penerapan hukum pidana (criminal law application); b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan; c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing view society on crime and punishment by mass media).75 Ruang lingkup kebijakan kriminal diatas menegaskan bahwa penerapan hukum pidana (criminal law application) adalah merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana atau kejahatan. Penerapan hukum pidana ini merupakan bentuk implementasi upaya penanggulangan melalui jalur penal (hukum pidana) dan pada proses inilah berlangsung penegakan hukum pidana in concreto di masyarakat. Upaya penegakan hukum pidana yang dapat berupa pemberian hukuman atau sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut diatas ternyata perlu ditunjang atau didukung pula oleh upaya-upaya yang sifatnya preventif/pencegahan dalam rangka menanggulangi tindak pidana atau kejahatan
74
Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7. 75
Barda Nawawi Arief II, Op.cit, h. 41.
69
tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dapat terhindar dari merajalelanya perkembangan
kejahatan kejahatan.
atau
sekurang-kurangnya
Menurut
Sutherland,
dapat
membatasi
bahwasanya
usaha
penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus meliputi reformasi bagi perbaikan narapidana dan pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali akan dilakukan seseorang (pencegahan adanya penjahat baru).76 Selanjutnya menurut Kaiser, strategi pencegahan kejahatan adalah suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil lingkup dari kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan, ataupun melalui usahausaha pemberian pengaruh-pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Terdapat pembagian strategi pencegahan kejahatan menurut Kaiser yaitu meliputi: 1. Pencegahan primer, merupakan strategi pencegahan kejahatan melalui bidang sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum sebagai usaha mempengaruhi faktor-faktor kriminogen. Tujuan pencegahan primer yaitu untuk menciptakan kondisi sosial yang baik bagi setiap anggota masyarakat sehingga masyarakat merasa aman dan tentram; 2. Pencegahan sekunder, hal yang mendasar dari pencegahan sekunder dapat ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Sasaran dari kejahatan ini ialah orang-orang yang sangat mungkin melakukan pelanggaran;
76
Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kedjahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, h. 55.
70
3. Pencegahan tersier, yaitu memberikan perhatian pada pencegahan terhadap residivisme, dengan orientasi pada pembinaan. Sasaran utamanya ialah pada orang-orang yang telah melanggar hukum.77 Soedjono Dirdjosiswono juga mengemukakan pendapatnya mengenai upaya penanggulangan tindak pidana atau kejahatan tersebut yaitu dapat dilakukan dengan cara: 1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan; 2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan Cara Abolisionistik.78 Kedua cara diatas juga dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas atau pelanggaran hukum di masyarakat tinggi.
77
Mohammad Kemal Dermawan, Op.cit., h. 12.
78
Soedjono Dirdjosiswono, Op.cit, h. 15.
71
BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
3.1 Sekilas Profil Kota Denpasar Kota Denpasar dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar. Kota Denpasar terletak di tengah-tengah dari Pulau Bali, selain merupakan Ibukota Daerah Tingkat II, juga merupakan Ibukota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan dan perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi ekonomis maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai
kegiatan
sekaligus
sebagai
penghubung
dengan
kabupaten
lainnya. Secara geografis Kota Denpasar terletak diantara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: Utara : Kabupaten Badung; Timur : Kabupaten Gianyar; Selatan: Selat Badung; dan Barat : Kabupaten Badung.79 Luas wilayah Kota Denpasar adalah 127,98 km2 atau 127,98 Ha yang mana merupakan 2,27 persen dari seluruh luas daratan Propinsi Bali yaitu seluruhnya 5.632,86 Km2. Terdiri dari 4 (empat) wilayah kecamatan diantaranya Kecamatan 79
Pemerintah Kota Denpasar, 2014, Selayang Pandang Kota Denpasar, http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang pandang/5/Denpasar-Sekilas, Diakses tanggal 06 Januari 2015.
71
72
Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Utara. Selanjutnya, berdasarkan data yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Denpasar per tahun 2013 jumlah penduduk Kota Denpasar adalah 708.454 jiwa (tujuh ratus delapan ribu empat ratus lima puluh empat jiwa).80 Tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi ini disamping dapat memberikan pengaruh positif, hal tersebut juga berpotensi memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat kota Denpasar yaitu rentan terjadinya kejahatan ataupun berbagai macam bentuk pelanggaran hukum, sepertinya misalnya adalah terjadinya kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang menggangu ketertiban umum.
3.2 Perkembangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Dalam Kurun Waktu Tahun 2010 – 2014 Secara umum situasi kamtibmas di wilayah Kota Denpasar cukup kondusif, aman dan terkendali, namun bila dibandingkan dengan situasi kamtibmas di wilayah-wilayah lain di Propinsi Bali memang tingkat pelanggaran hukumnya cukup tinggi. Sebagai kota besar, sangat wajar kehidupan masyarakat Kota Denpasar diwarnai dengan permasalahan-permasalahan hukum yang kompleks. Berbagai macam bentuk pelanggaran hukum bisa saja terjadi di wilayah Kota Denpasar, salah satunya adalah kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis yang menurut hukum merupakan suatu tindak pidana di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan 80
Pemerintah Kota Denpasar, 2014, Profil Kota Denpasar, http://www.denpasarkota.go.id/index.php/profil/3/Denpasar-Sekilas, Diakses tanggal 06 Januari 2015.
73
Pasal 504, 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Perkembangan yang terjadi selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yaitu periode tahun 2010 s/d 2014 menunjukkan bahwa permasalahan gelandangan dan pengemis masih terus terjadi di wilayah Kota Denpasar. Permasalahan ini menjadi salah satu perhatian serius masyarakat Kota Denpasar karena keberadaan gelandangan dan pengemis itu sendiri sebagian besar menjalankan kegiatannya di tempat-tempat umum, seperti di terminal, pasar, pusat perbelanjaan dan jalanjalan umum yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum termasuk mengancam keselamatan jiwanya dan orang lain. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Denpasar yaitu yang ada pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, secara keseluruhan jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar selama lima tahun terakhir (tahun 2010 s/d tahun 2014) adalah 1144 orang (seribu seratus empat puluh empat orang). Jumlah tersebut diatas adalah didasarkan pada hasil operasi/razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (dahulu bernama Dinas Tramtib & Satpol PP Kota Denpasar) bekerja sama dengan instansi terkait lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dilihat pada tabel dan grafik dibawah ini:
74
Tabel 1: Data Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode Tahun 2010-2014 No
Tahun
Jumlah per tahun
Gelandangan
Pengemis
1.
2010
216
4
212
2.
2011
324
8
316
3.
2012
304
15
289
4.
2013
208
7
201
5.
2014
92
9
83
Total
1144 orang
43 orang
1101 orang
Persentase
100%
3,76%
96,24%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Grafik 1: Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Jumlah Gepeng 350–
324
304
300– 250–
216
208
200– 150– 100–
92
50– 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
75
Grafik 2: Perkembangan Jumlah Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 Jumlah Gelandangan 35– 30– 25– 20– 15
15– 10–
8
7
9
4
5
Total = 43 orang 2010
2011
2012
2013
2014 Tahun
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Grafik 3: Perkembangan Jumlah Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Jumlah Pengemis 350–
316 924
300– 250–
289
212
201
200– 150– 83
100– 50–
Total = 1101 orang 2010
2011
2012
2013
2014 Tahun
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
76
Dilihat dari data yang tercatat dalam Tabel 1 dan Grafik 1, 2 dan 3 diatas dapat diketahui bahwa selama lima tahun terakhir ini di wilayah Kota Denpasar, ternyata jumlah dan persebaran gelandangan pengemis masih cukup tinggi, meskipun jumlah tiap tahunnya mengalami peningkatan dan penurunan atau dengan kata lain menunjukkan grafik naik turun. Jumlah keseluruhan gelandangan dan pengemis tersebut juga dapat menjadi gambaran umum mengenai jumlah kasus tindak pidana pergelandangan dan pengemisan yang terjadi di Kota Denpasar. Kondisi seperti ini tentu cukup meresahkan masyarakat dan perlu mendapatkan perhatian serius Pemerintah Kota Denpasar maupun aparat penegak hukum terkait. Pada tahun 2010 jumlah keseluruhan gelandangan dan pengemis adalah 216 orang, kemudian tahun 2011 mengalami peningkatan sejumlah 50 % dengan jumlah gelandangan dan pengemis mencapai 324 orang. Tahun 2012 jumlah gelandangan dan pengemis mengalami penurunan menjadi 304 orang, dan di tahun berikutnya yakni tahun 2013 turun menjadi 208 orang. Pada tahun 2014 jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar kembali menunjukkan angka penurunan, yakni dengan total jumlah 92 orang. Data tersebut diatas menggambarkan bahwa jumlah gelandangan pengemis tertinggi terjadi pada tahun 2011, dan jumlah yang paling rendah ada pada tahun 2014. Bertitik tolak pada data tabel 1 dan grafik 1, 2 dan 3 tersebut diatas juga dapat dilihat bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir jumlah pengemis jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah gelandangan. Total jumlah pengemis adalah 1101 orang atau 96,24 % dari keseluruhan jumlah gelandangan dan pengemis di
77
Kota Denpasar, sedangkan jumlah keseluruhan gelandangan hanya 43 orang atau 3,76 % dari keseluruhan jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Ini berarti, selama lima tahun terakhir ini masyarakat maupun Pemerintah Kota Denpasar lebih dihadapkan pada dominannya permasalahan pengemis yang tersebar di berberapa sudut kota dibandingkan dengan permasalahan munculnya fenomena gelandangan tersebut. Berbicara khusus mengenai perkembangan jumlah gelandangan di wilayah Kota Denpasar, maka selama lima tahun terakhir menunjukkan jumlah/angka dan grafik naik turun. Pada tahun 2010 jumlah gelandangan di Kota Denpasar adalah 4 orang, dan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011 meningkat menjadi 8 orang. Pada tahun 2012 jumlah gelandangan kembali menunjukkan angka peningkatan menjadi 15 orang. Pada tahun 2013 jumlah gelandangan menurun menjadi 7 orang, namun pada tahun 2014 meningkat lagi jumlahnya menjadi 9 orang. Jumlah gelandangan tertinggi terjadi pada tahun 2012, dan jumlah terendah ditunjukkan pada keadaan tahun 2010. Berikutnya, khusus mengenai perkembangan jumlah pengemis di wilayah Kota Denpasar selama lima tahun terakhir ternyata juga menunjukkan jumlah/angka dan grafik naik turun. Keadaan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah pengemis di Kota Denpasar adalah 212 orang. Pada tahun 2011 jumlahnya meningkat drastis menjadi 316 orang. Kemudian pada tahun 2012 jumlah pengemis menunjukkan angka penurunan menjadi 289 orang. Pada tahun 2013 dan 2014 jumlah pengemis terus mengalami penurunan yaitu pada tahun 2013 adalah 201 orang dan pada tahun 2014 hanya sejumlah 83 orang. Berbeda
78
halnya dengan perkembangan jumlah gelandangan tertinggi dan terendah di Kota Denpasar, dari uraian data diatas maka dapat diuraikan bahwa jumlah pengemis tertinggi terjadi pada tahun 2011, sedangkan jumlah terendah terjadi tahun 2014. Naik turunnya jumlah gelandangan dan pengemis seperti diatas merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai macam permasalahan seperti halnya yang berhubungan dengan kinerja dan kesigapan aparat/instansi terkait, tingginya laju urbanisasi, kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, minimnya keterampilan yang dimiliki, sikap masyarakat terhadap gelandangan dan pengemis, lingkungan, mental gelandangan pengemis itu sendiri dan lain sebagainya. Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, dalam wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 05 Januari 2015, menegaskan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis di Denpasar per tahun memang masih cukup tinggi dan keberadaannya meresahkan masyarakat, mayoritas dari mereka berasal dari luar Kota Denpasar, tingginya arus urbanisasi baik dari dalam daerah maupun luar daerah Bali untuk berpindah ke Kota Denpasar sangat berpotensi menimbulkan tingginya jumlah gelandangan dan pengemis tersebut di Kota Denpasar. Terhadap kondisi tersebut diatas, Bapak Bagus Nyoman Wiranata, S.H., M.Si., Kepala Bidang (KABID) Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Kamis, tanggal 08 Januari 2015) juga mengemukakan pendapatnya bahwa dari hasil operasi/razia yang dilakukan jumlah pengemis jauh lebih banyak daripada gelandangannya, namun apapun itu fenomena banyaknya gelandangan dan pengemis yang masih
79
berkeliaran di seputaran Kota Denpasar ini tentu saja mengganggu ketertiban umum dan merusak citra Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya, disamping itu aktivitas gelandangan pengemis di jalan raya berpotensi juga mengancam keselamatan mereka dan orang lain karena sewaktu waktu bisa saja tertabrak kendaraan yang melintas, serta mengganggu kelancaran lalu lintas. Sebenarnya gelandangan dan pengemis yang beroperasi atau berkeliaran di Kota Denpasar hampir seluruhnya berasal dari luar Kota Denpasar, mereka sengaja datang ke Kota Denpasar dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain, seperti menggendong bayi, pura-pura berjualan, namun itu semua hanya kedok semata. Apapun alasannya menggelandang dan mengemis tersebut tidak dibenarkan karena merendahkan martabat dan hidup sebagai manusia wajib untuk bekerja karena bekerja menurut masyarakat Bali adalah sebuah Yadnya. Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, berdasarkan hasil wawancara dengan para gelandangan dan pengemis yang beberapa kali dibina oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, maka diketahui yang menjadi faktor-faktor utama penyebab timbulnya gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar adalah faktor kemiskinan, mental malas dan ingin cepat mendapat uang, serta diperintah oleh orang tuanya atau orang lain (eksploitasi). Pendapat yang lebih beragam tentang faktor penyebab maupun perkembangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar peneliti peroleh dari hasil wawancara dengan pejabat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Menurut Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi
80
Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) bahwa selain faktor kemiskinan dan mental dari gelandangan dan pengemis itu sendiri yang juga menjadi faktor penyebab masih maraknya gelandangan dan pengemis yang beroperasi di wilayah Kota Denpasar adalah karena masih adanya masyarakat yang memberi uang kepada gelandangan dan pengemis, maka dari itu dihimbau kepada masyarakat untuk jangan memberi sesuatu apapun kepada gelandangan dan pengemis. Pendapat tersebut diatas sangat beralasan karena rasa kasihan masyarakat hanya akan membuat mereka malas dan tetap menjadi gelandangan maupun pengemis. Selama ada pemberi, maka selama itu juga akan ada gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Apabila ada masyarakat yang ingin memberikan bantuan
kepada
masyarakat
miskin
sebaiknya
disalurkan
kepada
organisasi/yayasan yang resmi. Masyarakat Kota Denpasar harus mulai menyadari dan memahami bahwa tidak dibenarkan memberikan uang atau sesuatu kepada gelandangan dan pengemis di jalanan karena hal tersebut tak ubahnya memberikan penegasan/membenarkan mereka menjalani hidup dengan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut. Uraian-uraian tentang faktor-faktor penyebab timbulnya
gelandangan
pengemis tersebut diatas sesuai dengan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh beberapa orang pengemis yang peneliti temukan di seputaran Kota Denpasar. Seperti keterangan yang disampaikan oleh I Wayan Gampil dan Jero Sedeng, keduanya merupakan pengemis asal Munti Gunung, Karangasem yang peneliti
81
temui di seputaran kawasan Jalan Sudirman, Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 01 Oktober 2014) pada pokoknya menerangkan bahwa kedatangan mereka ke Kota Denpasar untuk mengemis sejak dulu sudah sering dilakukan, dan di Kota Denpasar mereka lebih mudah mendapatkan uang dengan meminta-meminta kepada warga masyarakat, upaya ini mau tidak mau mereka lakukan karena kemiskinan dan sulitnya kondisi hidup di daerah asal (Munti Gunung).
Sudah
beberapa
kali
I
Wayan
Gampil
dan
Jero
Sedeng
ditertibkan/terjaring razia dan dipulangkan ke daerah asal, namun hal tersebut tidak membuat mereka jera. Selanjutnya, Ni Nyoman Balik, pengemis asal Munti Gunung yang peneliti temui di seputaran kawasan Pasar Kumbasari/Pasar Badung (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 21 Oktober 2014) juga menerangkan bahwa faktor ekonomi yang mendorongnya untuk datang ke Denpasar, apalagi setelah melihat keberhasilan rekan-rekan satu wilayah asal yang sudah lebih dahulu mengemis di Denpasar. Menurut Ni Nyoman Balik, “mengemis di Kota Denpasar memang cukup menguntungkan, daripada hidup di Munti Gunung yang serba sulit, lebih baik mencari uang dengan mengemis di Denpasar”. Begitu pula, keterangan yang disampaikan oleh Abdurrahman, pengemis asal Banyuwangi yang peneliti temui di seputaran kawasan Jalan Malboro, Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Senin, tanggal 10 Nopember 2014) yang pada pokoknya menerangkan bahwa banyak masyarakat Kota Denpasar yang masih mau memberi uang dan belas kasihan kepada pengemis, terutama pada waktu menjelang hari raya, faktor tersebut ditambah dengan susahnya mendapat pekerjaan di Kota
82
Denpasar dan kondisi ekonomi yang sulit di daerah asal mendorong Abdurrahman untuk datang ke Kota Denpasar untuk mengemis. Pada intinya keterangan para pengemis tersebut diatas telah menunjukkan adanya suatu kondisi kegiatan mengemis tersebut telah menjadi tumpuan hidup yang utama bagi para pengemis untuk bisa bertahan hidup. Fakta lain yang menarik dari banyaknya gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar adalah mengenai pendapatan mereka khususnya dari hasil melakukan kegiatan mengemis di Kota Denpasar. Para pengemis ini memiliki strategi yang sangat jitu dalam menentukan targetnya. Biasanya wisatawan, penumpang angkutan umum, pengendara mobil/sepeda motor, warga masyarakat yang sedang berbelanja, dan warga masyarakat yang sedang melakukan ibadah sangat berpotensi memberikan uang kepada para pengemis. Melalui cara maupun wajah memelas yang dimiliki tentu akan membuat siapapun yang melihatnya menjadi simpati atau kasihan. Hasil penelusuran yang peneliti lakukan di 2 (dua) tempat berbeda di seputaran Kota Denpasar yaitu di daerah Ubung dan Jalan Imam Bonjol, disana peneliti menemukan 2 (dua) orang pengemis yang bernama Nyoman Sadek, asal Munti Gunung, dan Bu Umrah, asal Bondowoso (wawancara dilakukan pada hari Senin, tanggal 08 September 2014) yang mana keduanya memberikan keterangan yang hampir sama bahwa menurut mereka mengemis di Denpasar sangatlah menggiurkan dan menguntungkan. Menurut pengakuan yang mereka berikan, pendapatan minimal dalam sehari yang bisa mereka peroleh adalah sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), sedangkan pada waktu-waktu tertentu seperti pada saat masa liburan dan hari raya keagamaan, pendapatan maksimalnya bisa
83
mencapai Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) per harinya. Dari hasil itulah mengapa pengemis di Kota Denpasar dikatakan memiliki pendapatan yang cukup tinggi, namun hal ini jelas sangat tidak layak untuk ditiru karena sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya kegiatan mengemis dan menggelandang adalah sangat dilarang dan merupakan suatu tindak pidana di bidang ketertiban umum. Terdapat beberapa lokasi yang diidentifikasi sebagai titik rawan lokasi beroperasi/berkeliarannya gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar seperti: Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar, Jalan Imam Bonjol, Pasar Badung, dan Ubung. Selanjutnya, mengenai modus operandi para pengemis di Kota Denpasar, menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar ada beberapa cara dan tips mengemis yang biasa dilakukan oleh para Pengemis pada umumnya di Kota Denpasar yaitu: a. Berpenampilan kotor, lusuh dan terkesan miskin Berpakaian kotor dan lusuh adalah cara yang paling umum diterapkan oleh para pengemis karena sesuai dengan status sosial seorang pengemis yang kerap dihubungkan dengan miskin, maka berpenampilan lusuh sangatlah diperlukan. Biasanya mereka sengaja memakai pakaian yang compang camping sebagai bukti ketidakmampuan mereka, dan terhadap hal ini tidak sedikit masyarakat yang tertipu dengan penampilan mereka; b. Ekspresi wajah memelas Ekspresi seperti inilah yang pada umumnya membuat masyarakat kasihan dan iba sehingga sampai memberi uang;
84
c. Memanfaatkan luka asli atau membuat luka palsu Para pengemis sering pula memanfaatkan kondisi luka pada tubuh mereka untuk menarik simpati dan belas kasihan orang lain, bahkan ada pula pengemis yang sengaja membuat luka palsu sehingga dengan cara tersebut diharapkan mendapatkan uang dan simpati yang lebih banyak; d. Cacat buatan Dalam kenyataan di lapangan ternyata tidak hanya luka bohongan yang para pengemis miliki, terkadang mereka membuat dirinya tampak seperti orang cacat. Upaya rekayasa ini dilakukan agar mendapatkan rasa kasihan dari orang-orang yang melihatnya. Memang tidak semua pengemis memiliki cacat buatan, sebagian juga ada yang benar-benar cacat, namun yang pasti kondisi tersebut digunakan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain; e. Membawa anak atau bayi Cara ini dipilih oleh para pengemis karena lebih efektif mendapatkan uang. Mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang daripada mengemis sendirian mengingat bayi yang dibawa tersebut akan membuat orang menjadi lebih kasihan sehingga memberikan uang. Oleh karena itulah semakin banyak bayi dan anak-anak yang terlibat dalam kegiatan pengemisan ini. Hal ini jelas sebagai bentuk eksploitasi anak yang melanggar hukum, bahkan kalau dibandingkan dengan Kota Jakarta ternyata fenomena penyewaan bayi untuk mengemis sudah marak terjadi. Untuk itu perlu dilakukan antisipasi agar fenomena seperti ini tidak berkembang di Kota Denpasar karena akan sangat meresahkan masyarakat.
85
3.3 Klasifikasi Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Gelandangan dan pengemis sebagai pelaku kegiatan pergelandangan dan pengemisan di wilayah Kota Denpasar ini dapat diklasifikasikan berdasarkan: a. Tingkat usia/umur; b. Jenis kelamin; c. Asal daerah; d. Daerah operasi/wilayah persebaran 3.3.1 Klasifikasi Gelandangan Berikut data karakteristik gelandangan di wilayah Kota Denpasar, berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar: a. Tingkat Usia/Umur Sesuai dengan tingkat usia/umur, maka data gelandangan di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut: Tabel 2: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Tingkat Usia/Umur Usia 8 Th – < 8 Th > 18 Th 18 Th 1 2010 4 4 2 2011 8 1 7 3 2012 15 4 11 4 2013 7 3 4 5 2014 9 4 5 Total 43 orang 0 12 31 Persentase 100% 0% 27,90% 72,10% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar No
Tahun
Jumlah Gelandangan
Keterangan Komunitas anak punk Orang tua terlantar -
Pelaku kegiatan pergelandangan yang terbanyak dilakukan oleh mereka yang berusia 18 tahun keatas yakni 31 orang atau sekitar 72,10% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring operasi/razia selama kurun waktu tahun 2010-2014.
86
Kemudian disusul gelandangan dengan usia antara 8-18 tahun dengan jumlah 12 orang (27,90% dari jumlah gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 20102014). Selama kurun waktu tahun 2010-2014 ini di Kota Denpasar gelandangan yang berusia kurang dari 8 tahun sama sekali tidak ditemukan. Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar gelandangan yang terjaring operasi/razia ini adalah terdiri dari orang tua terlantar, anak jalanan dan mereka yang merupakan komunitas “anak punk” yang ada di Kota Denpasar yang mana usia-usia mereka pada umumnya berada dalam tingkat usia 18 tahun keatas. b. Jenis Kelamin Data gelandangan di wilayah Kota Denpasar menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut: Tabel 3: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Gelandangan 1 2010 4 2 2 2011 8 6 3 2012 15 9 4 2013 7 5 5 2014 9 7 Total 43 orang 29 Persentase 100% 67,44% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar No
Tahun
Perempuan 2 2 6 2 2 14 32,56%
Dilihat dari data diatas, gelandangan pada periode tahun 2010-2014 lebih banyak berasal dari kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan. Gelandangan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 29 orang atau 67,44% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014, sedangkan yang
87
berjenis kelamin perempuan berjumlah 14 orang atau 32, 56% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014. Dari gambaran tersebut diatas dapat kita lihat dengan jelas bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai potensi yang sama untuk dapat terjerumus menjadi salah satu penyakit masyarakat/patologi sosial dan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial yaitu karena ketidakmampuannya dalam menjalankan fungsi sosial yang wajar di lingkungan masyarakat kemudian mereka memilih untuk menjadi gelandangan. c. Asal Daerah Berdasarkan asal daerah, maka data gelandangan di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut: Tabel 4: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Asal Daerah Bali No Tahun
Jumlah Gelandangan Denpasar Karangasem
Luar Bali
Kab. Jawa Lain 1 2010 4 1 3 2 2011 8 1 3 3 3 2012 15 2 2 4 7 4 2013 7 1 2 3 5 2014 9 2 1 5 Total 43 orang 5 4 10 21 Persentase 100% 11,63% 9,30% 23,25% 48,84% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Luar Jawa 1 1 1 3 6,98%
Data diatas menunjukkan bahwa gelandangan yang ada di Kota Denpasar bukan saja dari daerah Kota Denpasar saja, melainkan justru didominasi oleh para gelandangan yang berasal dari wilayah diluar Pulau Bali yaitu Pulau Jawa yakni sejumlah 21 orang (48,84% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia
88
dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Berikutnya, gelandangan yang berasal dari kabupaten-kabupaten lain selain Kota Denpasar dan Kabupaten Karangasem adalah sebanyak 10 orang (23,25% dari jumlah gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014), gelandangan yang berasal dari Kota Denpasar hanya berjumlah 5 orang (11,63% dari jumlah gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Disusul kemudian oleh para gelandangan yang berasal dari Kabupaten Karangasem dengan jumlah 4 orang atau 9,30% dan yang berasal dari wilayah luar Pulau Bali selain Pulau Jawa yaitu sebanyak 3 orang atau 6,98% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Gelandangan yang berasal dari luar pulau Bali, khususnya dari pulau Jawa lebih menonjol jumlahnya oleh karena jumlah perpindahan atau kedatangan penduduk dari Pulau Jawa ke Kota Denpasar tiap tahunnya masih sangat tinggi. Kedatangan mereka ke Kota Denpasar terkadang tidak didukung dengan adanya keahlian/kemampuan khusus sehingga sesampainya di Denpasar sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dimana kondisi tersebut sangat berpotensi membuat masyarakat pendatang tersebut menjadi gelandangan yaitu hidup terlunta-luta dengan mengharapkan belas kasihan orang lain, tidak jelas tempat tinggalnya, modar mandir di Kota Denpasar tanpa pekerjaan yang jelas, demikian diungkapkan oleh Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, dalam wawancara pada hari hari Senin, tanggal 05 Januari 2015. Lebih lanjut, Bapak Made Sudana, S.E. juga mengatakan bahwa tingginya jumlah gelandangan yang berasal dari kabupaten-
89
kabupaten lain diluar Kota Denpasar adalah juga sangat dipengaruhi oleh tingginya tingkat urbanisasi penduduk dari luar Kota Denpasar yang mengadu nasib atau mencari pekerjaan ke Kota Denpasar. d. Daerah Operasi/Wilayah Persebaran Menurut daerah operasi/wilayah persebaran gelandangan tersebut, maka data gelandangan di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut: Tabel 5: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Wilayah Persebaran/Daerah Operasi Jumlah Denpasar Denpasar Gelandangan Barat Timur 1 2010 4 2 2 2011 8 6 3 2012 15 4 4 4 2013 7 4 1 5 2014 9 6 1 Total 43 orang 22 6 Persentase 100% 51,26% 13,95% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar No Tahun
Denpasar Selatan 1 1 4 1 7 16,29%
Denpasar Utara 1 1 3 1 2 8 18,60%
Selama periode tahun 2010-2014, ternyata para gelandangan tersebut paling banyak ditemukan di wilayah Kecamatan Denpasar Barat yaitu sebanyak 22 orang (51,16% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Wilayah Kecamatan Denpasar Barat yang rawan menjadi tempat berkeliarannya gelandangan tersebut adalah kawasan seputaran Pasar Kumbasari/Pasar Badung, Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar dan Jalan Imam Bonjol. Salah satu hal yang menyebabkan Wilayah Kecamatan Denpasar Barat rawan karena dalam perkembangan terakhir ini di kawasan-kawasan tersebut sering menjadi tempat berkumpulnya komunitas “anak punk”.
90
Berikutnya, di Kecamatan Denpasar Utara, jumlah gelandangannya adalah 8 orang (18,60% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Wilayah di Kecamatan Denpasar Utara yang rawan menjadi tempat berkeliarannya gelandangan adalah Ubung (Terminal Ubung dan sekitarnya) mengingat kawasan tersebut menjadi salah satu pintu gerbang masuknya penduduk luar seperti yang berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa yang datang ke Kota Denpasar. Menyusul kemudian di wilayah Kecamatan Denpasar Selatan ditemukan sebanyak 7 orang gelandangan (16,29% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 20102014), hal mana kawasan yang rawan menjadi tempat berkeliarannya gelandangan adalah Jalan Waturenggong dan seputaran wilayah Keluarahan Sesetan, sedangkan di wilayah Kecamatan Denpasar Timur hanya ditemukan sebanyak 6 orang gelandangan (13,95 % dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014). 3.3.2 Klasifikasi Pengemis Berikut data karakteristik pengemis di wilayah Kota Denpasar, berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar: a. Tingkat Usia/Umur Menurut tingkat usia/umur, maka data pengemis di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
91
Tabel 6: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Tingkat Usia/Umur No Tahun 1
2010
Jumlah Pengemis 212 orang
< 8 th 36
Usia 8 th – 18 th > 18 th 45 131
Keterangan
Balita yang ikut terjaring razia = 20 orang 2 2011 316 orang 106 69 141 Balita = 74 orang 3 2012 289 orang 81 30 178 Balita = 62 orang 4 2013 201 orang 59 11 131 Balita = 48 orang 5 2014 83 orang 22 2 59 Balita = 20 orang Total 1101 orang 304 157 640 224 *) Persentase 100% 27,61% 14,26% 58,13% 20,36% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar *) Jumlah balita (bayi lima tahun) yang terlibat dalam kegiatan pengemisan Data diatas menunjukkan bahwa selama periode tahun 2010-2015 moyaritas pengemis di Kota Denpasar adalah mereka yang berada dalam tingkat usia 18 tahun keatas yaitu sejumlah 640 orang atau 58,13% dari keseluruhan pengemis yang terjaring operasi/razia. Berikutnya adalah para pengemis dengan usia kurang dari 8 tahun sejumlah 304 orang atau 27,61% dari jumlah pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014. Kemudian disusul dengan jumlah yang paling sedikit yaitu para pengemis yang berusia 8-18 tahun dengan jumlah 157 orang atau 14,26% dari jumlah pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014 sebagai. Fakta lainnya yang menarik dari kategorisasi pengemis menurut kelompok usia di Kota Denpasar ini adalah dari 1101 orang jumlah keseluruhan pengemis yang terjaring operasi/razia ternyata sebanyak 20,36% atau 234 orang pengemis masih merupakan balita (bayi lima tahun). Para balita pengemis ini kebanyakan diajak dan dimanfaatkan oleh pengemis dewasa untuk ikut mengemis dengan tujuan agar mereka mendapatkan hasil mengemis yang lebih banyak. Kegiatan
92
mengemis oleh ibu-ibu atau perempuan dengan menggunakan/mambawa bayi sudah merupakan modus umum yang sejak dulu sudah ada, hal mana masyarakat umum sebenarnya sudah mengetahui cara-cara mengemis seperti itu, akan tetapi dalam prakteknya cara seperti ini masih terbilang ampuh karena bayi atau anakanak yang diajak mengemis tersebut sering menimbulkan rasa belas kasihan sehingga ada saja masyarakat yang mau memberikan uang kepada pengemis tersebut. Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, jumlah balita atau anak-anak yang melakukan kegiatan mengemis di Kota Denpasar masih sangat tinggi dan hal tersebut sangat meresahkan. Kebanyakan anak-anak atau balita yang mengemis tersebut hanya ikut-ikutan saja, diajak oleh orang tuanya, dan ada pula yang disuruh atau dipaksa oleh orang lain. Eksploitasi terhadap anak-anak atau balita dalam kegiatan mengemis jelas melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan. Kegiatan seperti ini bukan hanya sekedar berbicara tentang tindak pidana pengemisan yang merupakan tindak pidana ringan, akan tetapi juga dapat berkaitan dengan permasalahan tindak pidana umum yang berupa pelanggaran terhadap Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. b. Jenis Kelamin Data pengemis di wilayah Kota Denpasar menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut:
93
Tabel 7: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Pengemis 1 2010 212 orang 4 2 2011 316 orang 103 3 2012 289 orang 103 4 2013 201 orang 50 5 2014 83 orang 29 Total 1101 orang 369 Persentase 100% 33,51% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar No
Tahun
Perempuan 128 213 186 151 54 732 66,49%
Dilihat dari data diatas dapat kita ketahui bahwa pengemis di Kota Denpasar ternyata lebih banyak berasal dari kaum perempuan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Jumlah pengemis yang berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 732 orang atau 66,49% dari keseluruhan pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014 yang mana jauh lebih banyak dari pengemis yang berjenis kelamin laki-laki yang hanya berjumlah 369 orang atau 33,51% dari keseluruhan pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014. Gambaran tersebut diatas menunjukkan bahwa kaum perempuan sangat berpotensi tinggi untuk melakukan kegiatan mengemis di Kota Denpasar yang mana sangat sejalan dengan fakta di lapangan bahwa banyak ibu-ibu atau perempuan yang membawa/mengajak anakanak atau balita untuk mengemis sebagai modus agar mendapatkan hasil mengemis yang lebih banyak. c. Asal Daerah Menurut asal daerah, maka data pengemis di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
94
Tabel 8: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Asal Daerah
No Tahun
Jumlah Pengemis
Bali
Luar Bali
Kab. Jawa Propinsi Lain Timur Lain 1 2010 212 orang 162 15 34 1 2 2011 316 orang 4 225 60 26 1 3 2012 289 orang 198 14 74 3 4 2013 201 orang 141 8 52 5 2014 83 orang 54 29 Total 1101 orang 4 780 97 215 5 Persentase 100% 0,36% 70,84% 8,81% 19,53% 0,46% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar Denpasar Karangasem
Data tersebut diatas menunjukkan bahwa para pengemis yang ada dan berkeliaran di Kota Denpasar hampir seluruhnya berasal dari luar wilayah Kota Denpasar. Kedatangan mereka ke Kota Denpasar ada yang berkelompok dan ada pula yang sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa Kota Denpasar menjadi salah satu wilayah tujuan favorit bagi para pengemis dari berbagai daerah baik yang berasal dari Propinsi Bali maupun diluar Propinsi Bali. Selama kurun waktu tahun 2010 s/d 2014 pengemis yang beroperasi di Kota Denpasar yang berasal dari Kota Denpasar sendiri hanya berjumlah 4 orang atau 0,36% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Dominasi daerah asal pengemis di Kota Denpasar adalah paling banyak berasal dari daerah Kabupaten Karangasem, meliputi: Munti Gunung dan Pedahan yang mana selama kurun waktu 2010-2014 berjumlah 780 orang atau 70,84% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Berikutnya, pengemis yang berasal dari Propinsi Jawa Timur adalah sebanyak 215 orang atau 19,53% dari jumlah pengemis yang terjaring razia dalam
95
kurun waktu tahun 2010-2014. Daerah-daerah asal pengemis dari Propinsi Jawa Timur meliputi: Situbundo, Jember, Probolinggo, Bondowoso, dan Banyuwangi. Disusul kemudian oleh para pengemis yang berasal dari Kabupaten-kabupaten lain selain Karangasem dan Kota Denpasar yaitu sejumlah 97 orang atau 8,81% dari jumlah pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Daerah-daerah asal pengemis dari kabupaten-kabupaten lain tersebut diatas seperti: Trunyan, Bangli. Pengemis yang berasal dari luar Propinsi Bali selain Jawa Timur hanya berjumlah 5 orang 0,45% dari jumlah pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014, daerah asalnya seperti: Lombok dan Kupang. Sejak dahulu daerah Kabupaten Karangasem khususnya Munti Gunung memang dikenal sebagai daerah asal/daerah produksi para pengemis karena banyaknya masyarakat Munti Gunung yang melakukan kegiatan meminta-minta. Munti Gunung adalah sebuah nama dusun yang ada di wilayah Kabupaten Karangasem tepatnya di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu. Kepopuleran Munti Gunung dibawa dan diperkenalkan oleh orang-orang Dusun Munti Gunung sejak puluhan tahun yang lalu dari rumah ke rumah, dari satu jalan ke jalan yang lain, dari satu toko yang satu ke toko yang lain maupun kepada setiap orang yang dijumpai dan mereka tersebar ke seluruh kabupaten yang ada di Bali termasuk Kota Denpasar. Pada umumnya orang yang dimintai uang akan menanyakan asal para pengemis dan mereka pun memperkenalkan diri dari Munti Gunung. Cara seperti itulah pada umumnya memperkenalkan nama Munti Gunung sehingga nama tersebut cepat tersebar ke seluruh Bali. Salah satu alasan utama sebagian warga Munti Gunung pergi
96
ke daerah lain untuk mengemis adalah karena masalah kemiskinan, disamping itu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor mental, pendidikan yang rendah, sulitnya kondisi geografi dan sulitnya mendapatkan air bersih.81 Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dalam wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 05 Januari 2015 menerangkan bahwa setiap tahunnya Kota Denpasar memang selalu menghadapi gelombang kedatangan pengemis yang berasal dari Kabupaten Karangasem terutama yang berasal dari Dusun Munti Gunung. Melihat kondisi ini, maka jelas diperlukan adanya suatu sinergi dan koordinasi yang baik dari kedua Pemerintah Daerah untuk menanggulangi permasalahan pengemis di Kota Denpasar ini. Sangat tidak adil apabila upaya-upaya penanggulangan pengemis di Kota Denpasar sepenuhnya hanya dibebankan kepada Pemerintah Kota Denpasar, melainkan perlu juga adanya peranan pemerintah daerah dari daerah asal pengemis karenanya sangat wajar apabila diperlukan perhatian serius dan upaya-upaya penanggulangan dari Pemerintah Kabupaten Karangasem. Berikutnya, mengenai banyaknya para pengemis yang berasal dari beberapa daerah di Propinsi Jawa Timur, maka kedekatan geografis adalah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Kedatangan para pengemis dari Jawa Timur ini biasanya meningkat pada saat masa hari raya keagamaan dan liburan. Tingginya tingkat kedatangan penduduk Jawa Timur ke Kota Denpasar setiap tahunnya untuk mencari nafkah dan mengadu nasib semakin membuka
81
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Op.cit, h. 5.
97
peluang juga tingginya kedatangan para pengemis ke Kota Denpasar. Apalagi dengan kedatangan mereka ke Kota Denpasar yang tidak didukung dengan adanya keahlian/kemampuan khusus sehingga untuk bertahan hidup di Kota Denpasar mereka memilih menjadi pengemis. Lebih lanjut, Bapak Made Sudana, S.E. menerangkan bahwa ada perbedaan karakteristik yang mudah dikenali untuk membedakan mana pengemis yang berasal dari Bali dan mana yang berasal dari luar Bali, seperti: Jawa Timur. Ciri yang membedakan adalah cara kerja atau cara beroperasi mereka dalam mengemis, kalau pengemis yang berasal dari Bali biasanya mereka akan mengemis atau memintaminta dengan cara berkeliling dan berjalan/berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti: pasar, jalan dan tempat-tempat umum lainnya (sebagai gambarannya lihat Lampiran: foto 1), sedangkan kalau pengemis yang berasal dari Jawa Timur mereka biasanya hanya diam disuatu tempat yang mereka anggap strategis yaitu traffic light, pasar maupun jalan yang ramai dilalui oleh warga Kota Denpasar kemudian dengan modus-modus tertentu seperti: dengan memanfaatkan kondisi cacat, wajah memelas, pakaian lusuh, kotor, dan dengan menengadahkan tangannya mereka mengharapkan belas kasihan dan pemberian uang dari orang-orang yang simpati melihatnya (sebagai gambarannya lihat Lampiran: foto 2). d. Daerah Operasi/Wilayah Persebaran Ditinjau dari daerah operasi/wilayah persebaran pengemis tersebut, maka data pengemis di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
98
Tabel 9: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan Wilayah Persebaran/Daerah Operasi Jumlah Denpasar Denpasar Pengemis Barat Timur 1 2010 212 orang 104 15 2 2011 316 orang 172 33 3 2012 289 orang 193 16 4 2013 201 orang 115 21 5 2014 83 orang 52 4 Total 1101 orang 636 89 Persentase 100% 57,77% 8,08% Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar No Tahun
Denpasar Selatan 47 53 59 43 16 218 19,80%
Denpasar Utara 46 58 21 22 11 158 14,35%
Berdasarkan data diatas dapat kita ketahui mengenai daerah-daerah di wilayah Kota Denpasar yang rawan menjadi tempat beroperasi dan berkeliarannya para pengemis. Dalam kurun waktu tahun 2010-2014 para pengemis tersebut paling banyak ditemukan di wilayah Kecamatan Denpasar Barat yaitu sebanyak 636 orang atau 57,77% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Wilayah
Kecamatan
Denpasar
Barat
yang
rawan
menjadi
tempat
berkeliarannya para pengemis tersebut adalah kawasan Pasar Kumbasari/Pasar Badung, Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar, Jalan Teuku Umar Barat, Jalan Malboro, kawasan Monang-Maning dan Jalan Imam Bonjol. Kawasan-kawasan tersebut menjadi tempat favorit bagi pengemis karena di daerah tersebut banyak ada tempat keramaian, pusat kemacetan, pusat perbelanjaan dan ramai dikunjungi/dilalui masyarakat Kota Denpasar. Selanjutnya daerah rawan pengemis adalah di Kecamatan Denpasar Selatan, jumlah pengemisnya adalah 218 orang atau 19,80% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Tingginya jumlah
99
pengemis di Kecamatan Denpasar Selatan dipengaruhi pula oleh banyaknya tempat keramaian dan fasilitas umum yang ada di seputaran kawasan tersebut, adapun wilayah di Kecamatan Denpasar Selatan yang rawan didatangi pengemis adalah Jl. Waturenggong, Sesetan, dan Renon. Disusul kemudian oleh Kecamatan Denpasar Utara dengan jumlah pengemis sebanyak 158 orang atau atau 14,35% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 20102014. Kawasan yang paling rawan di Denpasar Utara adalah Ubung (Terminal Ubung dan sekitarnya) mengingat kawasan tersebut menjadi salah satu pintu gerbang masuknya penduduk luar seperti Jawa Timur maupun daerah-daerah lain di Propinsi Bali yang datang ke Kota Denpasar. Daerah yang paling sedikit ditemukan pengemis adalah Kecamatan Denpasar Timur yang mana hanya ditemukan sebanyak 89 orang pengemis atau 8,08% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Kawasasn di Denpasar Timur yang rawan didatangi dan menjadi tempat beroperasinya pengemis adalah kawasan Tohpati, Pasar Kreneng, Penatih dan Jalan Gatot Subroto Timur.
3.4 Implementasi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar cukup meresahkan masyarakat dan dapat memberikan citra yang tidak baik bagi Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya dan sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perdagangan maupun pusat pengembangan dan tujuan
100
pariwisata. Untuk menjaga citra, memulihkan kondisi tersebut diatas termasuk pula dalam rangka mewujudkan ketertiban dan ketentraman bagi masyarakat, maka sangat diperlukan upaya-upaya penanggulangan terhadap masalah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut adalah dengan upaya penegakan hukum pidana atau fungsionalisasi hukum pidana terhadap para gelandangan dan pengemis yang berkeliaran/beroperasi di wilayah Kota Denpasar. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud secara kongkret. Ini bararti istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.82 Fungsi
hukum
pidana
secara
umum
yakni
untuk
mengatur
dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu
82
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 157.
101
untuk mencapai dan memenuhi kepentingan itu. Fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana.83 Sebagai dasar hukum atau pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut diatas adalah diatur dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana), dan secara khusus untuk di Kota Denpasar diatur pula dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) yakni Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Menurut ketentuan hukum tersebut kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis adalah merupakan suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum. Pasal 504 KUHP menegaskan larangan kegiatan pengemisan atau meminta minta di tempat umum sebagai berikut: 1. Barang siapa mengemis di tempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan. Berikutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan tentang larangan kegiatan pergelandangan sebagai berikut: 1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
83
Fuad Usfa A., 2006, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, h. 5.
102
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Selanjutnya, ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut: -
Pasal
35
ayat
(4):
Dilarang
melakukan
usaha/kegiatan
meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis; -
Pasal 37 ayat (1): Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Mengacu pada ketentuan hukum pidana tersebut diatas, maka jelaslah
pelanggaran terhadap Pasal 504, 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 berupa kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar dapat diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana berupa pidana kurungan atau denda. Tidak semua kegiatan pergelandangan dan pengemisan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut karena sudah ditegaskan secara limitatif dalam rumusan pasal-pasalnya bahwa yang dapat ditindak, diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana tersebut adalah gelandangan dan pengemis yang melakukan pergelandangan dan
103
pengemisan di tempat-tempat umum, seperti: pasar, terminal, pusat perbelanjaan, kawasan pertokoan, traffic light dan jalan raya, ini berarti kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang tidak dilakukan di tempat umum seperti pengemis yang meminta-minta di rumah-rumah penduduk tidak dapat dikenakan sanksi pidana menurut KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut diatas. Perlu diingat bahwa meskipun telah ditegaskan mengenai adanya ketentuan pidana bagi gelandangan dan pengemis, namun mengacu pada Teori Penanggulangan Tindak Pidana, maka dalam rangka penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis tersebut tidaklah sepenuhnya dapat dilakukan dengan cara/upaya yang sifatnya represif saja yaitu berupa penerapan hukum pidana ataupun pemberian sanksi pidana, melainkan perlu juga disertai
dan
dikombinasikan dengan upaya-upaya yang sifatnya preventif maupun persuasif mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis ini tidak semata-mata merupakan suatu permasalahan hukum, akan tetapi telah menjadi permasalahan sosial yang sangat kompleks. Ketentuan hukum positif Indonesia sebenarnya telah menegaskan hal-hal tersebut sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada bagian Bab II Sub bab 2.2 tentang peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis yang mana secara garis besar terdapat 2 (dua) cara/upaya yang dapat ditempuh dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yaitu: a. Melalui jalur penal (hukum pidana), yang mana lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah pelanggaran hukum terjadi;
104
b. Melalui jalur non-penal (bukan/diluar hukum pidana), yang mana lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum pelanggaran hukum terjadi maupun upaya-upaya rehabilitasi bagi pelaku/pelanggar hukum. Secara khusus aturan hukum yang secara lebih terperinci menguraikan upayaupaya penertiban dan penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas adalah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, yang mana dalam peraturan tersebut ditegaskan jenis-jenis upaya-upaya penanggulangan yaitu berupa upaya preventif, represif, dan rehabilitasi yang bertujuan untuk menekan perkembangan gelandangan dan pengemis serta mengupayakan gelandangan dan pengemis kembali menjadi anggota masyarakat yang mempunyai penghidupan yang layak. Apabila ke 3 (tiga) upaya tersebut dapat dilakukan secara maksimal, maka akan membuat permasalahan gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar dapat ditanggulangi secara lebih efektif dan mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan diharapkan pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Dalam kenyataannya di lapangan, Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat
penegak
hukum
terkait
tidak
hanya
melakukan
upaya-upaya
penanggulangan yang sifatnya represif berupa penegakan hukum pidana tersebut diatas, akan tetapi juga telah dilakukan upaya-upaya yang sifatnya preventif dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Khusus untuk upaya-upaya rehabilitasi sama sekali belum dapat dilaksanakan
105
karena masih banyak terdapat hambatan-hamabatan yaitu berupa terbatasnya anggaran dana, Pemerintah Kota Denpasar hanya mempunyai rumah singgah dan belum mempunyai panti sosial/rehabilitasi yang representatif, dan terbatasnya petugas/sumber daya manusia (SDM). Selama ini upaya preventif tersebut diatas pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar. Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Senin, tanggal 05 Januari 2015), upaya-upaya preventif yang dilakukan adalah dengan memberikan himbauan-himbauan dan pemahaman kepada masyarakat Kota Denpasar untuk tidak mengemis dan menggelandang karena kegiatan tersebut dilarang oleh hukum serta merendahkan martabat dan hidup sebagai manusia. Kegiatan-kegiatan diatas dilakukan dengan pemasangan baliho, penyebaran brosur, penyuluhan kepada masyarakat dan pembinaan kepada gelandangan dan pengemis itu sendiri. Pemasangan baliho tersebut dilakukan di beberapa sudut Kota Denpasar yang mana selama ini Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar biasanya memasang di 5 titik strategis seperti di Ubung, Pasar Badung, Jl. Mahendradata, Jl. By Pass Ida Bagus Mantra dan Jl. Imam Bonjol. Brosurbrosur disebar dan ditempel di lingkungan masyarakat yang isinya menghimbau masyarakat untuk tidak mengemis dan menggelandang termasuk menghimbau warga masyarakat Kota Denpasar agar tidak memberikan uang kepada gelandangan dan pengemis. Upaya-upaya penyuluhan dan sosialisasi ke desa-desa juga telah dilakukan yang mana untuk tahun 2014 dilakukan di 9 desa/kelurahan
106
dengan menghadirkan pemateri-pemateri dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, dan Departemen Agama RI. Penyuluhan dan sosialisasi tersebut memberikan motivasi serta himbauan kepada masyarakat agar tidak melakukan kegiatan mengemis dan menggelandang. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar ternyata juga memiliki Tim Gepeng yang bertugas melakukan penjemputan gelandangan dan pengemis yang Tim Gepeng temukan di lapangan. Gelandangan dan pengemis tersebut kemudian dibawa ke Rumah Singgah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar yang terletak di Jl. By Pass Ida Bagus Mantra untuk diberikan pembinaan dan pelatihan singkat yang waktunya paling lama 3 hari. Setelah itu, gelandangan dan pengemis akan dipulangkan ke daerah asal masing-masing dengan harapan agar supaya mereka tidak lagi datang melakukan kegiatan pergelandangan ataupun pengemisan. Semua upaya preventif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar ini tujuan utamanya adalah mencegah masyarakat untuk melakukan kegiatan mengemis dan menggelandang di wilayah Kota Denpasar. Selama ini koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dengan daerah asal gelandangan pengemis seperti misalnya Kabupaten Karangasem hanya sebatas pemberian saran dan mengingatkan Pemerintah Kabupaten Karangasem untuk ikut serta melakukan pembinaan bagi warganya agar tidak lagi datang untuk mengemis dan menggelandang di wilayah Kota Denpasar, disamping itu antara kedua pemerintah daerah juga belum dilakukan upaya sinergis yang konkrit untuk
107
menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut sehingga dengan melihat kondisi tersebut sangat wajar apabila setiap tahunnya Kota Denpasar tetap didatangi oleh para gelandangan dan pengemis dari daerah-daerah yang dikenal sebagai daerah asal gelandangan dan pengemis. Selanjutnya, berbicara tentang penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, maka hal tersebut sebenarnya memerlukan upaya yang sinergis dari pihak-pihak yang terkait. Ada beberapa pihak atau instansi yang akan terkait dalam pelaksanaannya yaitu diantaranya: Aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, Kepolisian Resor Kota Denpasar (Polresta Denpasar), dan Pengadilan Negeri Denpasar. Dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), hal tersebut adalah sepenuhnya menjadi kewenangan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang mana dalam hal ini adalah aparat Polresta Denpasar. Mengacu pada Undang Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tugas pokok Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
adalah
memelihara
keamanan,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum adalah dilakukan oleh Aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang sesuai dengan
108
ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Denpasar mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, serta menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum. Satpol PP Kota Denpasar dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar sebagai bagian Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) pada Pemerintah Kota Denpasar yang secara khusus juga mempunyai tugas dan wewenang melakukan penanganan/penanggulangan permasalahan gelandangan dan pengemis. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pidana tersebut baik dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis tersebut nantinya akan bermuara pada proses hukum di Pengadilan Negeri Denpasar dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) dengan sanksi pidana yang dapat diberikan adalah berupa pidana kurungan atau denda sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Agar supaya penegakan hukum pidananya dapat berjalan dengan baik dan efektif tentunya aturan-aturan pidana bagi gelandangan dan pengemis tersebut diatas harus diterapkan dan bekerja dengan baik di kehidupan masyarakat dalam setiap pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Sebagai konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di
109
tempat umum yang dilakukan di wilayah Kota Denpasar seharusnya ditindak secara tegas tanpa pandang bulu dan sudah sepatutnya dikenakan sanksi pidana berdasarkan aturan hukum pidana tersebut diatas. Dikaji
dan
dianalisis
berdasarkan
Teori
Bekerjanya
Hukum
yang
dikemukakan oleh Robert B. Siedman, maka proses penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut pelaksanaannya akan dipengaruhi oleh beberapa unsur atau aspek yang terkait satu dengan yang lain yang mempengaruhi bekerjanya hukum sehingga penegakan hukum pidananya di masyarakat dapat berjalan dengan baik. Beberapa unsur atau aspek tersebut meliputi: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan. Dijabarkan lebih lanjut, yang dimaksud dengan unsur Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions) disini yaitu pihak Legislatif dan Eksekutif yang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Pemerintah Republik Indonesia yang mempunyai peranan dalam pembuatan Undang-Undang atau aturan hukum pidana maupun melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), selanjutnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar (DPRD Kota Denpasar) dengan Pemerintah Kota Denpasar yang mempunyai peranan dalam pembuatan Perda maupun melakukan revisi terhadap ketentuan
110
pidana dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Unsur Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions) yaitu aparat/instansi penegak hukum (struktur hukum) yang terkait dengan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, meliputi Aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Polresta Denpasar, dan Pengadilan Negeri Denpasar. Unsur Pemegang Peran (Role Occupant) adalah masyarakat Kota Denpasar termasuk di dalamnya para gelandangan dan pengemis itu sendiri yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Berikutnya, Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force) dan Budaya Hukum (Legal Culture) adalah berupa faktor-faktor sosial dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang dapat berupa faktor ekonomi, politik, dan budaya hukum. Unsur-unsur tersebut diatas mempunyai fungsi dan peranannya masingmasing yang mana disertai juga dengan proses umpan balik (feed back) dari unsur yang satu dengan unsur yang lain yang akan mempengaruhi bekerjanya hukum pidana dalam kehidupan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan gambaran proses bekerjanya hukum yang disampaikan Robert B. Seidman tersebut, maka pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar yang berupa penerapan atau penegakan ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
111
No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum akan menunjukkan kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Adanya ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP, dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 telah mengatur, menegaskan sekaligus memberitahu masyarakat (pemegang peranan/role occupant) tentang adanya larangan beserta sanksi pidana terhadap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum khususnya di wilayah Kota Denpasar. Ini berarti, setiap pelanggaran terhadap ketentuan dalam KUHP dan Perda Kota Denpasar diatas akan ditindak, diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana yaitu berupa pidana kurungan atau denda; 2. Dalam konteks Negara Indonesia sebagai negara hukum maka setiap anggota masyarakat khususnya yang ada di Kota Denpasar dianggap sudah tahu mengenai larangan maupun sanksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum di wilayah Kota Denpasar tersebut diatas. Menurut Robert B. Seidman setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang diharapkan daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum yang berupa kekuatan sosial dan personal. Setiap anggota masyarakat yang ada di Kota Denpasar sebagai pemegang peran tentu diharapkan bertindak untuk mematuhi/mentaati ketentuan dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar tersebut. Apabila ternyata ada anggota masyarakat yang masih melanggar, maka hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
112
kekuatan-kekuatan sosial dan personal (intern pemegang peran) yang bekerja terhadap pemegang peran. Sebagai respon terhadap kondisi tersebut, agar nantinya hukum pidana tersebut bekerja atau dengan kata lain penegakan hukum pidana dapat berjalan dengan baik, maka disinilah nantinya diharapkan kegiatan dari lembaga penerap sanksi dapat bekerja dengan menegakkan aturan hukum yang ada dengan baik; 3. Setiap pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan dalam KUHP dan Perda Kota Denpasar, maka aparat penegak hukum sebagai unsur lembaga penerap sanksi diharapkan bertindak untuk menegakkan aturan pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut secara tegas dan konsekuen dengan menindak, memproses secara hukum, termasuk menerapkan sanksi berupa pidana bagi setiap pelanggarnya. Dalam menjalankan peranannya ini, unsur penerap sanksi juga dituntut untuk jeli dan responsif dalam menerima setiap umpan balik atau masukan di lapangan dari kegiatan/tindakan yang dilakukan pemegang peran sehingga cara-cara atau upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk menanggulangi permasalahan di masyarakat dapat berjalan dengan baik dan efektif; 4. Dari jalannya keseluruhan proses penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka unsur pembuat undangundang itu diharapkan menjalankan peranannya untuk mengawasi dan mengevaluasi penerapan atau pelaksanaan ketentuan pidana yang ada di masyarakat. Dari jalannya proses inilah nantinya juga dapat memberikan suatu umpan balik atau masukan atau bahan evaluasi bagi pembuat undang-undang
113
tentang ketentuan hukum pidana yang sudah ada bagi gelandangan dan pengemis,
untuk
kedepannya
dapat
dijadikan
masukan
dalam
memformulasikan peraturan perundang-undangan pidana dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Dilihat dari uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa poin-poin penting dan ideal dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis adalah setiap unsur-unsur bekerjanya hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Setiap anggota masyarakat seharusnya mentaati/mematuhi ketentuan hukum pidana mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum di wilayah Kota Denpasar dan apabila kemudian terdapat pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana yang ada baik itu terhadap ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP maupun Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000, hal tersebut bisa terjadi karena adanya pengaruh berbagai faktor yang berupa kekuatan sosial, personal maupun budaya hukum. Agar hukum dapat bekerja dengan baik, maka setiap pelanggaran yang terjadi menurut hukum haruslah ditindak secara tegas dan dikenakan sanksi pidana oleh lembaga penerap sanksi atau aparat penegak hukum terkait. Disini unsur pembuat undang-undang juga tidak boleh meniadakan fungsinya untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap aturan hukum pidana yang telah ada bagi gelandangan dan pengemis sehingga kedepannya aturan hukum pidana tersebut
114
dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat dan bekerja dengan baik untuk menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Terkait implementasi atau pelaksanaan penegakan hukum pidana tersebut diatas, ternyata selama kurun waktu 5 tahun terakhir aparat kepolisian yaitu Polresta Denpasar sama sekali tidak melakukan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, ini terbukti dengan tidak adanya kasus tindak pidana pergelandangan dan pengemisan yang ditangani. Dengan demikian, dapat
dilihat
bahwa
tidak
ada
gelandangan
dan
pengemis
yang
berkeliaran/beroperasi di Kota Denpasar yang diproses secara hukum dan dijatuhi sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP tersebut. Data dan informasi yang peneliti temukan di Polresta Denpasar menunjukkan bahwa kondisi tersebut diatas pada pokoknya disebabkan oleh faktor kompleksnya permasalahan hukum di Kota Denpasar yang membuat jajaran Polresta Denpasar belum maksimal menegakkan aturan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan belum sampai menjangkau permasalahan tindak pidana pergelandangan dan pengemisan tersebut serta faktor terbatasnya aparat kepolisian/Sumber Daya Manusia (SDM) pada Polresta Denpasar. Selain itu, mengenai permasalahan tersebut karena sudah diatur pula dalam Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, maka upaya penegakan hukum pidananya menurut Bapak AKP. Nengah Sadiarta, SH., Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polresta Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 07 Januari
115
2015) selama ini sudah sepatutnya lebih dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Hal tersebut untuk menghindari tumpang tindih dalam pola penanganan terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP belumlah berjalan dengan optimal/maksimal sehingga belum efektif untuk menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Berikutnya, dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, maka berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui mengenai implementasi atau pelaksanaan penegakan hukum oleh Pemerintah Kota Denpasar yang dalam hal ini dilakukan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar. Menurut Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015), ada beberapa tahapan atau proses dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut yaitu terdiri dari: a. Operasi/razia, yang mana kegiatan ini dilaksanakan melalui patroli rutin maupun pada saat tertentu berdasarkan laporan masyarakat;
116
b. Penampungan sementara untuk dilakukan seleksi. Terhadap gelandangan dan pengemis yang terjaring razia akan dilakukan seleksi yang dimaksudkan untuk menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya. Pilihan tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah mereka dibina, dipulangkan ke daerah asal/kampung halaman, diberikan pelayanan kesehatan ataupun diproses dan dibawa ke pengadilan untuk sidang tindak pidana ringan (tipiring); c. Pelimpahan dan sidang tindak pidana ringan (tipiring) di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada tahapan inilah sebenarnya dapat dilihat mengenai penerapan sanksi pidana bagi gelandangan dan pengemis tersebut. Rangkaian tahapan penegakan hukum pidana tersebut diatas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis adalah merupakan usaha represif yang dimaksudkan untuk mengurangi dan atau meniadakan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang melakukan pergelandangan dan pengemisan. a. Operasi/razia Perkembangan yang terjadi selama 5 tahun terakhir ini (periode tahun 20102014) menunjukkan bahwa aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang juga bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar cukup gencar melakukan kegiatan operasi/razia yaitu serangkaian kegiatan penertiban yang dilaksanakan dengan cara mendatangi gelandangan dan pengemis di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum lainnya. Hal ini terbukti dari
117
jumlah gelandangan dan pengemis yang terjaring razia di wilayah Kota Denpasar selama lima tahun terakhir (tahun 2010-2014) adalah sejumlah 1144 orang (seribu seratus empat puluh empat orang) yang sebagaimana telah peneliti uraikan sebelumnya bahwa jumlah per tahunnya masih tinggi. Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar menjelaskan bahwa operasi/razia terhadap gelandangan dan pengemis ini secara rutin dilakukan sebanyak 10 kali dalam 1 bulan dan biasanya dilaksanakan pada hari Senin dan Rabu. Operasi/razia tersebut difokuskan pada daerah-daerah yang merupakan
titik-titik
rawan
persebaran
gelandangan
dan
pengemis.
Pelaksanaannya dilakukan oleh tim gabungan yang tidak hanya dari unsur Satpol PP Kota Denpasar saja, akan tetapi juga melibatkan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, aparat Kepolisian dan TNI. Unsur dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar sendiri terdiri dari bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan Daerah. Tidak dapat dipungkiri dalam kegiatan operasi/razia ini terkadang disertai dengan upaya-upaya paksa dan tegas oleh tim gabungan, bahkan oleh beberapa kalangan dianggap tidak manusiawi karena pada saat operasi/razia tersebut banyak
gelandangan
dan
pengemis
yang
lari
pontang
panting
tanpa
memperdulikan keselamatan mereka untuk menghindari kejaran dan tangkapan petugas. Menurut Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi Operasional
118
Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar upaya operasi/razia tersebut cukup efektif untuk membersihkan jalan-jalan atau tempattempat umum lainnya dari gelandangan dan pengenis, namun cukup beresiko karena opersi/razia dapat membahayakan keselamatan jiwa bagi petugas, gelandangan pengemis, maupun masyarakat umum. Tidak jarang dalam pelaksanaanya ternyata tidak mendatangkan hasil atau kurang berhasil. Ketika operasi/razia dilancarkan di satu lokasi, informasi operasi/razia tersebut cepat menyebar, sehingga sudah diketahui oleh gelandangan dan pengemis akan adanya operasi/razia tersebut sehingga mereka dapat melarikan diri dan terhindar dari pantauan petugas. Demikian juga kendaraan operasional yang digunakan dalam penjemputan gelandangan pengemis, sudah sangat dikenal baik oleh gelandangan pengemis. Hal ini menyebabkan gelandangan pengemis sudah mengetahui terlebih dahulu kendaraan operasional Satpol PP Kota Denpasar ataupun Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar yang akan melintas sehingga para gelandangan dan pengemis segera meninggalkan lokasi. Operasi/razia terhadap para gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan secara terpadu oleh tim gabungan tersebut masing-masing unsur di dalamnya mempunyai fungsi dan peranannya masing-masing. Dalam hal ini Satpol PP Kota Denpasar berperan menangkap para gelandangan dan pengemis di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum lainnya, kemudian Satpol PP Kota Denpasar dan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar mendata untuk selanjutnya dimasukkan
119
ke dalam mobil operasional untuk diangkut ke Kantor Satpol PP Kota Denpasar. Aparat kepolisian berperan mengatur lalu lintas di jalan-jalan dimana operasi/razia berlangsung, serta melaksanakan pengamanan bilamana terjadi perlawanan dari para gelandangan dan pengemis. Fakta lain yang menarik dari pelaksanaan kegiatan operasi/razia ini adalah adanya informasi dari para pengemis yang terjaring razia mengenai adanya pihak tertentu yang dengan sengaja mengkoordinir kegiatan mengemis di Kota Denpasar, hal mana oleh petugas sering menyebutnya dengan istilah “germo”. Selama ini sudah dilakukan upaya penangkapan atau pengejaran germo tersebut, namun sampai dengan saat ini upaya tersebut belum berhasil. Informasi seperti ini tentu tidak boleh dianggap sepele dan perlu disikapi, ditindak lanjuti dengan serius sehingga pihak-pihak yang meresahkan tersebut dapat segera tertangkap dan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. b. Penampungan sementara untuk dilakukan seleksi Tahapan atau proses selanjutnya setelah dilakukan operasi/razia adalah para gelandangan dan pengemis yang terjaring operasi/razia tersebut akan ditampung sementara untuk dilakukan pendataan dan proses seleksi sehingga nantinya dapat ditentukan mengenai tindakan selanjutnya yang akan dilakukan terhadap gelandangan dan pengemisan tersebut. Pada tahapan inilah Satpol PP Kota Denpasar dan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dapat melakukan pendekatan persuasif yang intensif kepada gelandangan dan pengemis tersebut. Biasanya petugas akan memberikan pengertian, pemahaman dan mengajak kepada para gelandangan pengemis untuk meninggalkan aktivitas menggelandang
120
dan mengemis di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya serta melaksanakan program-program pembinaan. Bagian atau bidang pada Kantor Satpol PP Kota Denpasar yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan pembinaan atau melakukan pendekatan persuasif bagi gelandangan dan pengemis tersebut adalah Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Sedangkan yang menentukan tindakan selanjutnya terhadap gelandangan pengemis apakah akan dilanjutkan proses hukum pada persidangan tindak pidana ringan (Tipiring) atau tidak adalah Bagian Penegakan Peraturan Perundang-Undangan pada Kantor Satpol PP Kota Denpasar. Melaksanakan pendekatan persuasif ini tidaklah mudah karena diperlukan penanaman dan pemahaman yang berkali-kali, sebagaimana dikemukakan oleh Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar bahwa pendekatan persuasif ini tidak mudah, perlu kesabaran untuk memberikan pengertian dan pemahaman serta kesadaran agar mereka mau meninggalkan aktivitas mengemis ataupun menggelandang di tempat-tempat umum. Disamping itu, pelaksanaan pendekatan persuasif tersebut juga membutuhkan banyak tenaga dan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu diperlukan personil yang mampu membujuk gelandangan dan pengemis untuk diberikan pemahaman dengan cara yang mudah dimengerti serta mendorong ketertarikan gelandangan pengemis untuk tidak melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan lagi.
121
Selama ini, pada tahapan penampungan sementara dan seleksi ini kegiatan/upaya yang sifatnya persuasif ini sudah diupayakan dengan maksimal, bahkan dilakukan dengan mengikut sertakan/mendatangkan petugas dari Departemen Agama RI dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Pembinaan rohani maupun pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas-petugas tersebut diharapkan mampu untuk mengubah pola pikir dan memulihkan sikap mental para gelandangan dan pengemis untuk tidak lagi melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan. Unsur Organisasi Sosial/Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) terkadang juga dilibatkan, seperti misalnya Lentera Anak Bali. Pada waktu-waktu tertentu mereka dilibatkan dalam pemberian pembinaan kepada gelandangan dan pengemis khususnya yang anak-anak yang mana mereka lebih menekankan pada perbaikan sikap mental dan menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak agar tidak menggelandang dan mengemis lagi. Hasil seleksi tersebut diatas selanjutnya dapat ditangani dalam 3 pendekatan, yaitu pertama melalui Sidang tindak pidana ringan (Tipiring), kedua langsung diserahkan kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar untuk dibawa ke rumah singgah yang dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar yang terletak di Jl. By Pass Ida Bagus Mantra untuk diberikan pembinaan atau pelayanan sosial, dan yang ketiga dipulangkan ke daerah asal/kampung halaman. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-2014) ternyata pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar lebih memilih untuk menggunakan pendekatan yang kedua dan ketiga yaitu pemberian pembinaan dan pemulangan ke daerah asal. Biasanya untuk pilihan ketiga tersebut diatas aparat
122
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar meminta para gelandangan dan pengemis tersebut membuat surat pernyataan yang isi pokoknya adalah mereka tidak akan lagi mengulangi perbuatan untuk melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di Kota Denpasar. c. Pelimpahan dan sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Denpasar Tuntasnya proses bekerjanya hukum pidana adalah dapat dilihat dari penegakan dan penerapan sanksi pidana sebagai respon/reaksi atas setiap pelanggaran hukum pidana yang ada. Dalam hal ini penjatuhan sanksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan di Kota Denpasar haruslah melalui proses persidangan tindak pidana ringan (Tipiring) pada Pengadilan Negeri Denpasar yang mana menurut Hukum Acara Pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 s/d Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang Acara Pemeriksaan Cepat/Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Dengan kata lain, sidang tindak pidana ringan (Tipiring) ini merupakan suatu kegiatan dalam penindakan bagi pelanggar ketentuan pidana yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) yakni Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, termasuk pula ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP. Bagi pelanggar ketentuan ini dapat dikenakan sanksi kurungan atau denda. Jadwal persidangan Pengadilan Negeri Denpasar khusus untuk sidang perkara tindak pidana ringan adalah pada hari Rabu dan Jumat. Sidang dapat dilaksanakan
123
di ruang sidang Pengadilan Negeri, di Kantor Camat, maupun di tempat terbuka seperti di area parkir dengan memasang tenda-tenda, seperti yang dikemukakan oleh Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E. (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) yang pada pokoknya menerangkan bahwa penyelenggaraan sidang tipiring dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri, di tempat-tempat terbuka seperti di area parkir, lapangan olahraga atau di Kantor Camat yang mana disesuaikan tempatnya dengan daerah operasi/razia dan tentunya apabila dilakukan diluar Pengadilan Negeri Denpasar, maka hal tersebut pasti melibatkan tim terpadu termasuk langsung menghadirkan Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar. Unsur-unsur yang terlibat dalam proses sidang Tipiring, yaitu: Hakim, Kepolisian, Jaksa, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Pelaksanaan sidang Tipiring diawali dengan penyidikan oleh PPNS Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Berkas penyidikan tersebut juga dilaporkan kepada Penyidik Kepolisian pada Polresta Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar, selanjutnya oleh PPNS Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar berkas perkaranya diajukan kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk disidangkan oleh Hakim, jika terbukti melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
124
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum tersebut, akan dikenakan sanksi pidana kurungan atau denda sesuai dengan keputusan Hakim. Informasi yang peneliti dapatkan adalah penjatuhan/pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 ini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini terbukti dari fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-2014) ternyata tidak ada gelandangan dan pengemis yang telah terjaring razia diproses secara hukum dan disidangkan pada persidangan tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri Denpasar. Kondisi yang berbeda terjadi pada periode sebelum tahun 2010 dimana menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) pada masa tersebut masih banyak gelandangan pengemis yang diproses dan disidangkan pada persidangan tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri Denpasar. Melihat data yang telah peneliti uraikan pada Tabel 2 dan Tabel 6 tersebut diatas dapat diketahui bahwa dari jumlah total gelandangan pengemis yaitu 1144 orang dalam periode tahun 2010 s/d 2014, ternyata jumlah gelandangan dan pengemis yang berumur 8 tahun keatas yang mana menurut ketentuan hukum pidana dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana adalah sejumlah 840 orang dengan rincian jumlah gelandangan 43 orang dan pengemis sejumlah 797 orang. Apabila aparat penegak hukum tegas dan konsekuen menerapkan/melaksanakan
125
ketentuan hukum pidana yang ada yaitu dengan menindak/memproses dan melimpahkan setiap pelanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 ke pengadilan, maka semestinya terdapat 43 perkara tindak pidana pergelandangan dan 797 perkara tindak pidana pengemisan yang disidangkan dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Sikap yang diambil oleh aparat PPNS pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010-2014) dalam penanganan dan tindak lanjut atas banyaknya jumlah pelanggaran Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 yang terjaring operasi/razia tersebut yaitu dengan tidak memproses dan tidak melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Denpasar. Alasan utama bagi aparat PPNS pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar meniadakan proses hukum sidang Tipiring bagi gelandangan pengemis tersebut adalah karena alasan kemanusiaan dan keprihatinan terhadap kehidupan gelandangan pengemis tersebut. Mereka lebih memilih untuk melakukan pendekatan persuasif yaitu dengan memberikan pembinaan-pembinaan agar supaya gelandangan pengemis tersebut sadar dan berhenti melakukan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum. Disamping itu, upaya lain yang dilakukan adalah memulangkan gelandangan dan pengemis tersebut ke daerah asal/kampung halamannya dengan harapan agar mereka tidak lagi datang menggelandang dan mengemis ke Kota Denpasar.
126
Tidak adanya gelandangan dan pengemis yang dilimpahkan dan disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar ini berarti tidak ada pula gelandangan dan pengemis yang dijatuhi sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dilihat bahwa penegakan hukum pidana terhadap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempattempat umum sebagai pelanggaran Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum belum dilaksanakan secara tuntas dan belum optimal karena aparat penegak hukum terkait hanya melakukan upaya penegakan hukum pidana berupa kegiatan operasi/razia dan penampungan sementara untuk diseleksi, namun tanpa disertai dengan upaya tindak lanjut berupa pelimpahan untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar agar kemudian dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan atau denda. Sejalan dengan kondisi yang peneliti uraikan diatas, selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010-2014) data yang ada pada Pengadilan Negeri Denpasar menunjukkan tidak ada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia yang kemudian disidangkan dan dikenakan sanksi pidana di Pengadilan Negeri Denpasar. Hal tersebut dapat dilihat dalam data tabel di bawah ini:
127
Tabel 10: Data Perkembangan Jumlah Perkara Tindak Pidana Pergelandangan dan Pengemisan Pada Pengadilan Negeri Denpasar Periode Tahun 2010-2014 No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
Perkara Pelanggaran Pasal 504 KUHP dan 505 KUHP
2010 0 2011 0 2012 0 2013 0 2014 0 Total 0 Persentase 0% Sumber: Pengadilan Negeri Denpasar
Perkara Pelanggaran Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
0 0 0 0 0 0 0%
Data diatas memperlihatkan memang tidak ada perkara tindak pidana pergelandangan dan tindak pidana pengemisan yang dilimpahkan oleh aparat Satpol PP Kota Denpasar maupun Polresta Denpasar untuk disidangkan dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Denpasar. Berbeda halnya dengan kinerja aparat penegak hukum tersebut sebagai lembaga penerap sanksi dalam penanganan jenis-jenis perkara tindak pidana ringan lainnya yang terjadi di Kota Denpasar yang ternyata cukup gencar dilakukan upaya penegakan hukum pidana yaitu dengan melimpahkan dan menyidangkannya ke Pengadilan Negeri Denpasar. Hal tersebut terlihat dari data yang dimiliki Pengadilan Negeri Denpasar yang menunjukkan jumlah perkara tindak pidana ringan selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010-2014) selain pergelandangan dan pengemisan adalah sebanyak 1280 perkara. Jenis-jenis perkara tindak pidana ringan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar tersebut seperti perkara tentang pedagang kaki
128
lima yang berjualan sembarangan, membuang sampah sembarangan, merokok di kawasan tanpa rokok (KTR), dan pelacuran. Berikut dapat kita lihat gambaran komprehensif mengenai proses dan pola penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-2014) dilakukan di Kota Denpasar tersebut diatas, sebagai berikut: Gambar 1.
Pola
Penanggulangan
Gelandangan
Pengemis
di
Kota
Denpasar 1) Operasi/Razia Represif (penal)
2) Penampungan Sementara+Seleksi Pelimpahan dan
3) Sidang Tipiring
Tujuannya memberikan efek jera namun belum diterapkan dengan tuntas karena upaya no. 3 (sidang Tipiring) sama sekali tidak dilaksanakan
Pendekatan Preventif, Persuasif (non penal)
Rehabilitasi (non penal)
- Himbauan - Pemasangan Baliho - Penyebaran Brosur - Penyuluhan Hukum
Sudah dilaksanakan
- Pembinaan jasmani dan rohani - Bimbingan mental - Pemberian ketrampilan
Belum dilaksanakan
Gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar jumlahnya masih tinggi
Upaya-upaya penanggulangan belum efektif/ maksimal, termasuk pula penegakan Hukum Pidananya
Melihat pola penanganan/penanggulangan tersebut diatas sebenarnya dapat dijelaskan bahwa upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang lebih komprehensif tersebut adalah dengan kombinasi dan pelaksanaan secara menyeluruh 3 cara/pendekatan yang ada yaitu preventif, represif dan rehabilitasi. Dalam hal telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan KUHP dan Perda Kota Denpasar tindakan yang seharusnya dilakukan adalah lebih
129
menekankan pada upaya represif berupa penegakan hukum pidana dengan tahapan pelaksanaan: operasi/razia, penampungan sementara dan seleksi, serta pelimpahan dan sidang tipiring, namun dalam pelaksanaan upaya ini harus tetap selektif dan manusiawi dengan tidak melakukan kekerasan. Menurut Hakim sekaligus Humas (Hubungan Masyarakat) pada Pengadilan Negeri Denpasar yaitu Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., dalam wawancara pada hari selasa, tanggal 20 Januari 2015, menegaskan bahwa apabila permasalahan gelandangan dan pengemis ini terus menerus mengganggu masyarakat dan jumlah setiap tahunnya tetap tinggi, maka dengan penerapan dan penjatuhan sanksi pidana berdasarkan KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut sebenarnya dapat menjadi senjata ampuh untuk memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis tersebut agar tidak lagi melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan, akan tetapi itu semua tergantung pada cara penanganan atau sikap yang diambil oleh aparat penegak hukum terkait yaitu aparat Polresta Denpasar maupun Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar. Apabila perkara tindak pidana pergelandangan dan pengemisan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar, maka Pengadilan Negeri Denpasar tentu akan memeriksa, mengadili dan memutus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Gelandangan dan pengemis yang terbukti melanggar KUHP maupun Perda Kota Denpasar yaitu melakukan pergelandangan dan pengemisan di tempattempat umum tentu akan dijatuhi/dikenakan sanksi pidana berupa kurungan atau denda oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Penjatuhan sanksi pidana tersebut
130
nantinya diharapkan memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis yang mana tujuan penjatuhan/pemberian sanksi seperti diatas sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagaimana yang diuraikan Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) dalam Teori Pemidanaan yaitu penjatuhan pidana mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Mengacu pada Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) tersebut diatas, maka penjatuhan pidana tersebut selain dapat membuat jera para pelakunya diharapkan pula dapat mempunyai manfaat yang lebih luas yakni menentramkan masyarakat, mencegah setiap anggota masyarakat Kota Denpasar untuk melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan, serta yang paling penting adalah dapat memperbaiki atau merubah pola pikir maupun sikap mental para gelandangan dan pengemis tersebut agar tidak lagi melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan sehingga fungsi sosialnya pulih kembali dan dapat hidup secara normal dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, oleh karena ketentuan pidana yang sudah ada sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum tersebut belum sepenuhnya dilakukan secara tegas dan konsekuen, maka dikaji dan dianalisi berdasarkan Teori Bekerjanya Hukum yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman jelaslah aturan hukum pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum tersebut belum bekerja atau diterapkan dengan maksimal. Hal yang paling terlihat adalah kurang optimalnya fungsi pemegang peran (anggota masyarakat termasuk gelandangan dan pengemis) dan
131
lembaga penerap sanksi (aparat penegak hukum: Polresta Denpasar, Satpol PP Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar) dalam proses bekerjanya hukum yang membuat hukum pidana tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut terlihat dari banyaknya anggota masyarakat sebagai unsur pemegang peran yang melanggar Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 yang mana hal ini terbukti dari masih tingginya jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Adanya pengaruh faktor sosial dan personal berupa faktor kemiskinan dan masih adanya masyarakat pemberi bagi gelandangan pengemis cukup dominan menyebabkan munculnya gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Berikutnya, atas terjadinya pelanggaranpelanggaran tersebut diatas ternyata respon yang diberikan oleh aparat penegak hukum sebagai lembaga penerap sanksi adalah dengan tidak menegakkan aturan hukum pidana secara maksimal yang mana terbukti dari tidak adanya gelandangan dan pengemis yang terjaring razia melakukan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang dilimpahkan dan dikenakan sanksi pidana oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Kondisi seperti ini membuat implementasi penegakan hukum pidana belum berjalan dengan baik atau efektif dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Selain itu, maksud dan tujuan upaya-upaya penegakan hukum pidana agar memberikan efek jera dan mencegah gelandangan dan pengemis mengulangi perbuatannya sebagaimana ditegaskan Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) dalam Teori Pemidanaan jelas tidak tercapai karena selama ini upaya-upaya penegakan hukum
132
pidananya belum dilakukan secara tuntas mengingat pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan pengemis yang melakukan pergelandangan maupun pengemisan di tempat-tempat umum tidak sampai disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar dan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Upaya seperti itu tentu tidak akan memberikan efek jera bagi gelandangan dan pengemis agar tidak lagi kembali menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum. Hasil penegakan hukum pidana yang telah dilakukan selama ini sebenarnya dapat memberikan umpan balik (feed back) dan menjadi bahan evaluasi/masukan bagi aparat penegak hukum sebagai lembaga penerap sanksi untuk memperbaiki kinerjanya dalam proses penegakan hukum. Untuk lembaga legeslatif sebagai pembuat undang-undang, proses bekerjanya hukum pidana tersebut diatas jelas dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi aturan hukum pidana yang sudah ada dan kedepannya memformulasikan aturan hukum pidana yang lebih baik dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis termasuk pula dijadikan bahan masukan untuk menyusun/memformulasikan aturan hukum yang lebih khusus dan komprehensif tentang penanganan/penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
133
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak pihak. Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau das sein. Bilamana ketimpangan interaksi diatas terus berlangsung, maka pelaksanaan penegakan hukum pada umumnya tidak akan dapat mewujudkan keadilan dan ketertiban umum dalam kehidupan masyarakat.84 Dalam dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks sangat wajar apabila dalam suatu kegiatan masyarakat akan ditemukan faktor-faktor yang sifatnya mendukung maupun menghambat. Begitu pula dalam proses penegakan hukum tidak tertutup kemungkinan apabila dalam pelaksaaannya akan ditemukan hambatan-hambatan, namun tidak menutup kemungkinan ada juga faktor-faktor pendukung yang dapat membuat pelaksanaan penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat berjalan lebih efektif dan optimal. Selanjutnya berbicara tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, maka hal tersebut tidak akan terlepas dari 84
Ahmad Mujahidin, 2014, Penegakan Hukum Jangan Tersandera Pemberitaan Media, Varia Peradilan: Tahun XXIX No. 344, Jakarta, h. 105.
133
134
pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menjadi indikator atau tolak ukur dalam keberhasilan maupun efektivitas suatu penegakan hukum.85 Menurut Lawrence M. Friedman dalam teorinya yaitu Teori Sistem Hukum menegaskan bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum yakni legal structure (Struktur Hukum/Pranata Hukum), legal substance (Substansi Hukum) dan legal culture (Budaya Hukum): 1. Struktur Hukum (legal structure) Disini menekankan pada aspek lembaga atau aparat penegak hukum termasuk mengenai kinerjanya, misalnya: Pengadilan, Kepolisian; 2. Substansi Hukum (legal substance) Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan Hakim, Undang-Undang; 3. Budaya Hukum (legal culture) Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. Relevan dengan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman tersebut diatas, Soerjono Soekanto juga berpendapat bahwa masalah pokok
85
penegakan
hukum
sebenarnya
Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 9.
terletak
pada
faktor-faktor
yang
135
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penegakan
hukum
sebagaimana
disampaikan oleh Lawrence M. Friedman dalam Teori Sistem Hukum tersebut telah dipertegas oleh Soerjono Soekanto dalam teorinya tentang penegakan hukum yang mana uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tersebut adalah telah lebih disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Mengenai faktor legal structure (Struktur Hukum/Pranata Hukum) yang dikemukakan Lawrence M. Friedman apabila dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto adalah menunjuk pada faktor penegak hukum dan faktor sarana/fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Berikutnya, faktor legal substance (Substansi Hukum) inti dan maksudnya adalah sama dengan faktor hukum atau peraturan itu sendiri yang dikemukakan Soerjono Soekanto. Sedangkan faktor legal culture (Budaya Hukum) adalah terkait dengan faktor masyarakat dan kebudayaan.
136
Faktor-faktor yang dikemukakan Lawrence M. Friedman maupun Soerjono Soekanto tersebut diatas adalah saling berkaitan erat dan menjadi satu kesatuan sistem yang nantinya akan sangat mempengaruhi penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam hal ini adalah yang terkait dengan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis. Agar penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut dapat berjalan dengan lebih baik, maka dari faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut perlu diketahui mengenai faktor-faktor mana yang menjadi faktor-faktor penghambat maupun pendukung dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis. Penjelasan mengenai faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis sangat diperlukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangan dalam pelaksanaan penegakan hukum sehingga kedepannya dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan/pembenahan dan evaluasi. Penjelasan mengenai faktor-faktor pendukung juga tidak kalah pentingnya yaitu untuk mengetahui potensi yang ada sehingga dapat dijadikan modal untuk mendukung segala kegiatan penegakan hukum pidana.
4.2 Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Dikaji dan dianalisis berdasarkan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman maupun uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
137
tersebut diatas, dan dikaitkan dengan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, maka dapat diketahui mengenai faktor-faktor penghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut, sebagai berikut: 1. Struktur Hukum (legal structure) Sebagaimana yang telah peneliti uraikan diatas bahwa pembahasan mengenai faktor legal structure (Struktur Hukum Hukum) ini adalah lebih menekankan pada aspek lembaga/aparat penegak hukum beserta kinerjanya dan juga sarana/fasilitas pendukung yang dalam lingkup ini adalah jelas yang terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama ini aparat penegak hukum terkait yaitu aparat Polresta Denpasar yang bertugas dan berwenang untuk menegakkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), begitu pula Satpol PP Kota Denpasar yang bertugas dan berwenang untuk menegakkan Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) ternyata belum menunjukkan kinerja maksimal dalam proses penegakan hukum pidana guna menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Ini berarti tugas dan fungsi sebagai aparat penegak hukum tersebut belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini terbukti dari tidak adanya upaya penegakan hukum terhadap ketentuan Pasal 504 KUHP tetang tindak pidana pengemisan dan Pasal 505 KUHP tentang tindak pidana pergelandangan yang selama ini dilakukan oleh aparat Polresta Denpasar.
Ini
berarti
tidak
ada
gelandangan
dan
pengemis
yang
berkeliaran/beroperasi di Kota Denpasar yang diproses secara hukum dan dijatuhi
138
sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan data yang ada di Pengadilan Negeri Denpasar yang menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010 s/d 2014) memang tidak ada perkara tindak pidana ringan mengenai pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang dilimpahkan oleh aparat Kepolisian untuk selanjutnya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri Denpasar. Berikutnya, upaya penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang selama ini dilakukan oleh aparat Satpol PP Kota Denpasar juga terbukti belum dilaksanakan secara tuntas dan maksimal. Hal ini terlihat dari pola penanganan dan tindak lanjut yang dilakukan Satpol PP Kota Denpasar atas gelandangan dan pengemis yang melanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 adalah dengan tidak memproses dan tidak melimpahkan para pelanggar Perda tersebut ke Pengadilan Negeri Denpasar. Upaya penegakan hukum pidana yang sudah dilakukan hanyalah berupa kegiatan operasi/razia, penampungan sementara untuk diseleksi dan kemudian dipulangkan ke daerah asal, namun tanpa disertai dengan upaya tindak lanjut berupa pelimpahan untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar. Dengan demikian, sangat wajar apabila dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (periode tahun 2010 s/d 2014) tidak ada perkara tindak pidana ringan mengenai pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang
139
diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri Denpasar. Oleh karena tidak ada perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, maka jelaslah Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar sebagai salah satu unsur penegak hukum (struktur hukum) juga tidak dapat menjalankan peranan atau tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis ini. Kelemahan-kelamahan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar masih menemui hambatan sehingga belum berjalan dengan maksimal. Faktorfaktor yang menyebabkan kurang maksimalnya peranan dan kinerja aparat Polresta Denpasar tersebut adalah karena: -
Terbatasnya jumlah personil aparat Polresta Denpasar (faktor SDM);
-
Luasnya ruang lingkup tugas penegakan hukum yang disertai dengan kompleksnya permasalahan hukum di Kota Denpasar; dan
-
Selama ini permasalahan gelandangan dan pengemis sudah ditangani oleh pihak Satpol PP Kota Denpasar.
Faktor diataslah yang membuat aparat Kepolisian pada Polresta Denpasar belum menjangkau permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Selanjutnya, mengenai kurang maksimalnya peranan Satpol PP Kota Denpasar dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis adalah lebih disebabkan oleh kebijakan yang diambil oleh Satpol PP Kota Denpasar yang ternyata lebih mengutamakan upaya persuasif dan karena alasan kemanusiaan/belas kasihan aparat penegak hukum pada Pemerintah Kota
140
Denpasar ini meniadakan proses pelimpahan dan persidangan ke Pengadilan Negeri Denpasar. Apapun alasannya upaya represif yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum selama ini berupa operasi/razia dan penampungan sementara untuk diseleksi yang merupakan bagian dari proses/tahapan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut patut kita apresiasi dan tetap dihargai. Penegakan hukum pidana yang belum tuntas atau belum dilakukan sepenuhnya tersebut setidak-tidaknya masih memberikan harapan dan gambaran bahwa ketentuan pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar masih dilaksanakan dan tetap diperlukan dalam rangka mewujudkan ketertiban umum di kehidupan masyarakat Kota Denpasar. Peneliti sependapat apabila dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tetap menjunjung atau memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, namun dalam konteks negara hukum adanya peniadaan atau pengesampingan proses hukum berupa pelimpahan dan sidang tindak pidana ringan bagi pelanggar ketentuan KUHP maupun Perda Kota Denpasar tentang pergelandangan dan pengemisan tersebut jelas kurang tepat karena tidak mencerminkan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen. Melihat realita mengenai jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang masih tetap tinggi setiap tahunnya, maka sudah sepatutnya upaya penegakan hukum pidana yang dilakukan secara tuntas, setiap tahapannya dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan menjadi senjata pamungkas (ultimum remidium) dalam
141
rangka penanggulangan permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Penerapan sanksi pidana harus tetap dilakukan secara selektif dan hatihati khususnya terhadap para gelandangan pengemis kambuhan yang sudah berkali-kali terjaring razia melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di Kota Denpasar. Dilihat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa faktor struktur hukum yaitu kinerja aparat penegak hukum masih menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar. Untuk itu kedepannya diperlukan adanya evaluasi dan perbaikan kinerja dari aparat penegak hukum yaitu aparat Polresta Denpasar dan Satpol PP Kota Denpasar. Selanjutnya, mengenai sarana/fasilitas penunjang penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis, menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, SE., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) hal ini masih terdapat kelemahan atau kekurangan yang mana dapat menghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar. Faktor penghambat dimaksud adalah Pemerintah Kota Denpasar tidak mempunyai panti rehabilitasi/panti sosial yang representatif bagi gelandangan pengemis dan adanya kekhawatiran tentang kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang penuh. Hambatan-hambatan diatas adalah permasalahan klasik yang sudah sejak lama
142
berlangsung dan perlu dicarikan solusi/pemecahannya bersama oleh semua pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum maupun masyarakat. Panti rehabilitasi/panti sosial sangat diperlukan dalam rangka penanggulangan gelandangan pengemis secara menyeluruh yang berfungsi untuk memperbaiki sikap mental, pemberian pembinaan secara jasmani dan rohani sehingga kedepannya para gelandangan pengemis tidak mengulangi lagi melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum. Upaya represif dengan pemberian sanksi pidana kurungan kepada gelandangan pengemis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menurut hemat peneliti memang sulit dilakukan/diterapkan mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan khususnya yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Denpasar atau tempat untuk menjalani pidana bagi gelandangan dan pengemis tidak akan mencukupi (over capacity) dengan memperhatikan semakin banyaknya jumlah narapidana maupun tingginya tingkat kriminalitas di Kota Denpasar. Masalah tersebut diatas cukup krusial sehingga ide penghukuman terhadap gelandangan pengemis mustahil diterapkan apabila melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia saat ini. Apapun alasannya kondisi seperti ini jelas dapat menimbulkan keragu-raguan bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan secara tegas ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut sehingga di
143
masyarakat pasal-pasal ini jarang sekali diterapkan bagi gelandangan dan pengemis karenanya menyebabkan ketentuan pidana bagi gelandangan dan pengemis ini tidak bekerja dengan baik dalam kehidupan masyarakat dan implementasinya belum efektif. 2. Substansi Hukum (legal substance) Faktor substansi hukum (legal substance) ini adalah tentang faktor hukum atau peraturan itu sendiri. Menurut hukum positif di negara kita kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat umum yang dilakukan gelandangan dan pengemis dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan secara khusus untuk di Kota Denpasar mengenai ketentuan pidana tersebut diatur pula dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) yakni Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Pasal 504 KUHP menegaskan larangan kegiatan pengemisan atau meminta minta di tempat umum sebagai berikut: 1. Barang siapa mengemis di tempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
144
Berikutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan tentang larangan kegiatan pergelandangan sebagai berikut: 1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan; 2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Selanjutnya, ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut: -
Pasal
35
ayat
(4):
Dilarang
melakukan
usaha/kegiatan
meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis; -
Pasal 37 ayat (1): Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Mengacu pada ketentuan hukum pidana tersebut diatas, maka kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar dapat diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, gangguan/hambatan terhadap penegakan hukum yang berasal dari faktor substansi hukum (legal substance) ini adalah dapat disebabkan karena:
145
-
Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
-
Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.86 Apabila ditinjau lebih lanjut mengenai bunyi aturan pidana dalam Pasal 504,
Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut, maka dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang kedepannya perlu dievaluasi dan diperbaiki, sebagai berikut: a. Terkait aturan pidana bagi gelandangan dalam Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 masih belum jelas. Menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 inilah yang selama ini masih dijadikan dasar hukum dalam upaya penertiban atau penegakan hukum pidana terhadap gelandangan di Kota Denpasar. Secara substansi, dalam bunyi Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 kata ”gelandangan” sama sekali belum disebutkan secara jelas sebagai perbuatan yang dilarang dalam Perda Kota Denpasar. Bunyi Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000: “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”, kata
86
Ibid, h. 17.
146
“usaha lain yang sejenis” tersebutlah yang ditafsirkan termasuk pula kegiatan pergelandangan, namun dalam konteks implementasinya di lapangan tentu hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang kurang jelas karenanya terhadap ketentuan Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut perlu dilakukan revisi dengan menambahkan kata “gelandangan” dalam bunyi pasalnya; b. Disamping itu, kelemahan-kelemahan lain yang terlihat dari ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 adalah aturan pidana tersebut belum sampai menyentuh masyarakat pemberi kepada gelandangan dan pengemis. Agar menekan jumlah gelandangan pengemis seharusnya masyarakat secara tegas dilarang dan bahkan perlu disertai dengan sanksi pidana apabila terbukti memberikan sesuatu kepada gelandangan pengemis. Dikaitkan dengan fakta di lapangan, faktor adanya masyarakat pemberi inilah yang menjadi salah satu faktor utama penyebab masih banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sehingga dengan adanya aturan pidana bagi masyarakat yang memberikan uang atau sesuatu kepada gelandangan dan pengemis jelas akan membuat lahan operasi dari gelandangan pengemis tersebut menjadi semakin sempit; c. Jenis sanksi pidananya berupa pidana kurungan sulit diterapkan apabila melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Denpasar yang penuh atau tidak akan mencukupi (over capacity). Kondisi ini membuat ide
147
penghukuman terhadap gelandangan pengemis sulit diterapkan. Untuk menghadapi kondisi ini, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah: -
Penjatuhan sanksi kurungan bagi gelandangan pengemis ini sebaiknya lebih diterapkan kepada para gelandangan pengemis kambuhan yang sudah berkali-kali ditertibkan oleh petugas atau terjaring razia;
-
Perlu segera dilakukan teroboson hukum dengan melakukan pembaharuan hukum pidana yaitu jenis sanksi pidana terhadap gelandangan pengemis dalam ketentuan KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut ditambah dengan sanksi rehabilitasi sehingga terhadap para gelandangan dan pengemis yang terbukti melanggar ketentuan KUHP dan Perda Kota Denpasar dapat dilakukan upaya penanggulangan yang lebih komprehensif yang tidak hanya memberikan efek jera, akan tetapi pula dapat memperbaiki dan membina gelandangan pengemis tersebut agar tidak lagi menggelandang dan mengemis.
Melihat kelemahan-kelemahan faktor substansi hukum (legal substance) tersebut, maka ada baiknya saran dan masukan dari berbagai pihak dalam rangka penanggulangan gelandangan pengemis perlu disikapi dengan serius dan kedepannya ditindaklanjuti karena menurut peneliti saran dan masukan tersebut dapat memperkuat dan menyempurnakan faktor substansi hukum (legal substance) dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Seperti misalnya ide tentang perlu dibuatnya suatu Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis. Di beberapa daerah lain seperti Kota Bandung, Kota Padang dan DKI
148
Jakarta pemerintah daerahnya telah mempunyai Perda
khusus tentang
penanggulangan gelandangan dan pengemis. Kota Denpasar sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang jumlah gelandangan dan pengemis per tahunnya masih cukup tinggi tentu sudah sepatutnya mempunyai Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis. Beberapa pihak yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar yang diwakili oleh Bapak Bagus Nyoman Wiranata, S.H., M.Si., Kepala Bidang (KABID) Rehabilitasi Sosial dan Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, pihak Satpol PP Kota Denpasar yang diwakili oleh Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, termasuk pula dari elemen masyarakat yaitu Bapak Drs. I Wayan Candra (salah satu tokoh agama/masyarakat di Kelurahan Sesetan, yang wilayahnya rawan menjadi daerah operasi gelandangan pengemis, wawancara pada hari Rabu, tanggal 26 Nopember 2014) sangat setuju apabila kedepannya dapat dibuat Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis tersebut sehingga dengan aturan yang lebih komprehensif tersebut diharapkan permasalahan gelandangan pengemis di Kota Denpasar dapat ditanggulangi secara lebih efektif dan tuntas. Dalam Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis tersebut dapat dimasukkan rumusan tentang larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan ditempat umum, larangan memberikan sesuatu kepada gelandangan pengemis, sanksi
pidana terhadap pelanggar larangan tersebut,
pihak-
pihak/instansi yang terlibat beserta tugas, fungsi dan kewenangannya, dan upaya-
149
upaya penanggulangan yang dapat dilakukan. Harapan dari adanya perda khusus tersebut adalah membuat upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar menjadi lebih terarah, efektif dan maksimal. 3. Budaya Hukum (legal culture) Pembahasan tentang faktor ini adalah sangat terkait dengan faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor kebudayaan yaitu mencakup nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam kehidupan masyarakat mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).87 Budaya masyarakat kita sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Budaya masyarakat menghendaki setiap anggotanya agar mengasihi sesama dan memberikan pertolongan kepada yang tidak mampu. Nilai-nilai ini menyebabkan adanya anggota masyarakat yang bersimpati kepada gelandangan dan pengemis dengan memberikan uang atau makanan. Kondisi seperti ini akan semakin mudah kita lihat pada saat hari-hari besar keagamaan dimana banyak anggota masyarakat kita termasuk di Kota Denpasar memanfaatkan waktu tersebut untuk berbuat kebaikan dengan cara berbagi atau memberi sesuatu kepada mereka yang tidak mampu. Masih banyaknya masyarakat pemberi tentu membuat semakin subur atau menjamurnya gelandangan dan pengemis dan mendorong mereka untuk datang ke kota Denpasar. Bapak Drs. I Wayan Candra menegaskan bahwa kondisi tersebut diatas memang terjadi di masyarakat khususnya di Kelurahan Sesetan yang mana
87
Ibid, h. 60.
150
beliau sering kali melihat keberadaan gelandangan pengemis di wilayah tempat tinggalnya akan semakin meningkat pada saat menjelang hari raya keagamaan seperti Galungan dan Idul Fitri. Masyarakat biasanya memberikan sejumlah uang kepada gelandangan pengemis tersebut. Apapun alasannya, memberikan sesuatu kepada gelandangan dan pengemis ini sangatlah tidak mendidik dan akan membuat mental gelandangan pengemis menjadi pemalas. Larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum ini memang terkesan janggal dalam kehidupan masyarakat kita yang biasa bersedekah ataupun berbelas kasihan dengan memberi sesuatu kepada fakir miskin termasuk gelandangan pengemis. Apalagi kalau kita lihat di Kota Denpasar yang mayoritasnya adalah masyarakat Hindu di Bali yang memiliki konsep nilai menyama braya yang sangat kental, ajaran agama Hindu: beryadnya, Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) yang membuat lumrah kegiatan-kegiatan yang bernuansa membantu orang lain yang sedang kesusahan termasuk terhadap gelandangan pengemis ini sehingga upaya pemidanaan berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut dirasa sangat berlebihan dan karenanya jelas faktor nilainilai yang ada dalam lingkungan masyarakat Kota Denpasar ini sangat berpengaruh menghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis tersebut.
151
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut, maka idealnya masyarakat harus ikut berperan serta dalam pelaksanaan penegakan hukum. Dalam kenyataannya, disamping masih ada mayarakat pemberi kepada gelandangan pengemis tersebut diatas ternyata di Kota Denpasar juga ada anggota masyarakatnya yang masih bersikap acuh tak acuh dan terkesan tidak peduli dengan kondisi di sekitar karenanya membuat masyarakat tidak peduli lagi dengan keberadaan gelandangan dan pengemis. Selain itu, masyarakat Kota Denpasar cenderung kurang mempunyai inisiatif yang lebih untuk melaporkan ke aparat/petugas terkait dengan keberadaan gelandangan pengemis di lingkungan sekitar mereka sehingga timbul kesan pembiaran oleh masyarakat. Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, faktor masih adanya masyarakat pemberi dan sikap mayarakat yang kurang peduli terhadap permasalahan gelandangan pengemis inilah yang selama ini juga berkontribusi ikut menghambat kinerja aparat Satpol PP Kota Denpasar dalam rangka penertiban atau penanggulangan permasalahan gelandangan dan pengemis. Selanjutnya, mengenai faktor-faktor penghambat lainnya yang berasal dari faktor budaya hukum (legal culture) ini adalah dapat dilihat dari masih sangat lunak dan kurang tegasnya sikap mental yang ditunjukkan oleh aparat penegak
152
hukum terhadap gelandangan dan pengemis yang terbukti melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum. Menurut peneliti sikap mental dari aparat penegak hukum diatas menunjukkan bahwa budaya hukum aparat penegak hukum tersebut masih kurang baik. Hal ini tidak akan memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis sehingga tujuan untuk memperbaiki sikap mental dan membuat para gelandangan pengemis tersebut jera untuk menggelandang dan mengemis lagi sulit tercapai. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Wayan Bunga asal Pedahan, Karangasem dan Ibu Sundari asal Banyuwangi (wawancara dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2014 dan 31 Oktober 2014), keduanya adalah pengemis yang pernah terjaring razia di kawasan Ubung dan Sesetan, yang menerangkan bahwa mereka tidak akan takut untuk datang lagi ke Kota Denpasar, disini mereka masih bisa mencari uang dengan mudah melalui mengemis/meminta-minta, dan mereka sudah tahu resiko yang akan terjadi ketika mereka terjaring razia yaitu pasti akan dipulangkan ke daerah asal. Faktor budaya dan faktor masyarakat tersebut diatas ternyata telah berperan menghambat
pelaksanaan
penegakan
hukum
pidana
dalam
rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Faktor-faktor ini yang justru masih mendorong hadirnya gelandangan pengemis dan membiarkan keberadaan mereka di lingkungan masyarakat Kota Denpasar sehingga turut berkontribusi menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan penegakan hukum pidana sebagaimana diatur ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
153
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
4.3 Faktor-Faktor
Pendukung
Penegakan
Hukum
Pidana
Terhadap
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Berikutnya, mengenai faktor-faktor pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Struktur Hukum (legal structure) Faktor struktur hukum ini disamping merupakan faktor penghambat ternyata didalamnya juga terdapat hal-hal yang sifatnya mendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar. Bagian dari faktor struktur hukum yang merupakan faktor pendukung adalah berkaitan dengan sarana/fasilitas penunjang penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis. Menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan PerundangUndangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) sebenarnya sarana dan fasilitas penegakan hukum pidana yang dimiliki Satpol PP Kota Denpasar cukup memadai. Sarana dan fasilitas berupa mobil patroli, Handy Talky (HT), senjata pengamanan yang cukup dan ditunjang dengan jumlah petugas/aparat Satpol PP Kota Denpasar yang cukup pula dapat menjadi modal
154
pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Dukungan sarana dan fasilitas ini sejalan atau berbanding lurus dengan hasil penertiban yang telah dilakukan selama ini yaitu banyaknya gelandangan dan pengemis yang terjaring razia yang selama 5 tahun terakhir adalah sejumlah 1144 orang (seribu seratus empat puluh empat orang). 2. Substansi Hukum (legal substance) Sebagaimana yang telah diuraikan diatas gangguan/hambatan terhadap penegakan hukum yang berasal dari faktor substansi hukum (legal substance) adalah dapat disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undangundang dan adanya ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Terkait hal ini tidak ada asas-asas hukum yang dilanggar oleh ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000. Selama ini memang masih ada perdebatan mengenai eksistensi ketentuan pidana bagi gelandangan dan pengemis yang diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar tersebut diatas karena dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) yang menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, namun menurut peneliti ketentuan Pasal 34 UUDNRI 1945 tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar atau alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun meniadakan tindakan tegas negara dalam menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis tersebut. Demi mewujudkan ketertiban umum, memberikan rasa aman dan tenteram bagi
155
masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya penanggulangan yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis ini mulai dari yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang sifatnya represif melalui penegakan hukum pidana yaitu dengan penegakan ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut. Menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan PerundangUndangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, adanya aturan dan sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar tersebut diatas tetap diperlukan dalam rangka menjaga ketertiban umum di masyarakat, apalagi kian hari keberadaan gelandangan pengemis di Kota Denpasar ini dirasa semakin mengganggu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Made Bogor (wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 28 Januari 2015) , warga kota Denpasar yang tinggal di kawasan Jl. Teuku Umar sejak awal tahun 1980 sampai dengan sekarang, yang pada pokoknya menerangkan bahwa semakin hari wilayah Jl. Teuku Umar, Denpasar semakin padat dan ramai karenanya makin mudah juga ditemukan pengemis di wilayah tersebut, keberadaannya sangat mengganggu dan sulit untuk dihilangkan karenanya menurut beliau sangat setuju apabila aturan pidana dan sanksi pidana berupa denda atau kurungan bagi gelandangan pengemis tetap dipertahankan, namun dalam penertibannya haruslah tetap dilakukan secara manusiawi.
156
Dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat Kota Denpasar secara keseluruhan yang sangat menginginkan terciptanya ketertiban umum, maka aturan dan sanksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat umum yang diatur dalam Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut memang tetap diperlukan dan layak untuk dipertahankan mengingat ketentuan tersebut dapat memberikan efek jera dan memperbaiki sikap mental gelandangan dan pengemis agar dikemudian hari tidak lagi melakukan kegiatan tersebut. Aturan pidana tersebut diharapkan dapat bekerja dengan baik dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar dan tentu saja menjadi modal penting serta faktor pendukung dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Pembahasan secara lebih komprehensif mengenai faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar tersebut diatas dapat peneliti uraikan sebagai berikut: Tabel 11: Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Penegakan Hukum Pidana Ditinjau Menurut Pendapat Lawrence M. Friedman No
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Faktor penghambat
Faktor pendukung
1
Struktur hukum
2
Substansi hukum
3
Budaya hukum
-
157
Tabel 12: Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Penegakan Hukum Pidana Ditinjau Menurut Pendapat Soerjono Soekanto No
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Faktor penghambat
Faktor pendukung
1
Hukum atau peraturan itu sendiri
2
Penegak hukum
3
Sarana dan fasilitas
4
Masyarakat
-
5
Kebudayaan
-
-
Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar, sebagai berikut: a. Faktor struktur hukum (legal structure) yaitu berupa: -
Kinerja aparat penegak hukum terkait belum maksimal;
-
Pemerintah Kota Denpasar tidak mempunyai panti rehabilitasi/panti sosial yang representatif bagi penanggulangan gelandangan pengemis; dan
-
Adanya kekhawatiran tentang kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang penuh (over capacity) sehingga pemberian sanksi pidana kurungan kepada gelandangan pengemis sulit dilakukan/diterapkan;
b. Faktor substansi hukum (legal substance) yaitu berupa: -
Larangan kegiatan pergelandangan oleh gelandangan belum disebutkan secara tegas dalam Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000;
-
Aturan pidana dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
158
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 belum sampai menyentuh masyarakat pemberi kepada gelandangan dan pengemis; -
Pemerintah Kota Denpasar belum mempunyai Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis;
c. Faktor budaya hukum (legal culture) yaitu berupa: -
Masih adanya masyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada gelandangan dan pengemis;
-
Kekurang pedulian masyarakat atas permasalahan dan keberadaan gelandangan pengemis di lingkungan sekitar;
-
Nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali yang memiliki konsep nilai menyama braya yang sangat kental, ajaran agama Hindu: beryadnya, Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) tidak sejalan dengan upaya pemidanaan terhadap pelanggar ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut;
-
Masih sangat lunak dan kurang tegasnya sikap mental yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum terhadap gelandangan dan pengemis yang terbukti melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempattempat umum.
Berikutnya, faktor-faktor pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
159
a. Faktor struktur hukum (legal structure) yaitu berupa: -
Sarana penunjang pelaksanaan operasi/razia atau penertiban yang dimiliki oleh Satpol PP Kota Denpasar cukup memadai;
-
Jumlah petugas Satpol PP Kota Denpasar yang cukup;
b. Faktor substansi hukum (legal substance) yaitu berupa: -
Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 sebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis masih sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar dan layak dipertahankan.
Faktor struktur hukum (legal structure) tersebut diatas disamping menjadi faktor penghambat juga menjadi faktor pendukung, begitu pula faktor substansi hukum (legal substance) menjadi faktor penghambat dan faktor pendukung, sedangkan faktor budaya hukum (legal culture) selama ini masih menjadi faktor penghambat penegakan hukum pidana. Faktor-faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lain yang mana hal tersebut sangat mempengaruhi belum maksimalnya
pelaksanaan
penegakan
hukum
pidana
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
dalam
rangka
160
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan uraian yang terdapat pada Bab-Bab terdahulu, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Penegakan hukum pidana adalah salah satu cara/upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (periode tahun 2010 s/d 2014) penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis ini belum berjalan/dilaksanakan secara maksimal, hal tersebut terlihat dari tidak adanya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat Polresta Denpasar atas ketentuan Pasal 504 KUHP (tindak pidana pengemisan) dan Pasal 505 KUHP (tindak pidana pergelandangan). Berikutnya, implementasi penegakan hukum pidana oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar atas ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum juga belum dilakukan secara maksimal karena tahapan-tahapan proses penegakan hukum pidana tersebut belum dilakukan secara tuntas dan menyeluruh yaitu berupa: operasi/razia, penampungan sementara dan seleksi, serta pelimpahan dan sidang Tipiring (Tindak Pidana Ringan)
yang menyebabkan upaya penanggulangan
160
161
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar belum berjalan efektif dan maksimal; 2. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar tersebut adalah faktor struktur hukum (legal structure) yaitu terkait dengan kinerja aparat penegak hukum belum maksimal, berikutnya faktor substansi hukum (legal substance) yaitu tindak pidana pergelandangan belum disebutkan secara tegas dalam Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dan belum adanya aturan pidana bagi masyarakat pemberi kepada gelandangan pengemis, dan faktor budaya hukum (legal culture) yaitu berupa masih kurang pedulinya masyarakat Kota Denpasar akan permasalahan gelandangan dan pengemis, masih adanya masyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada gelandangan pengemis, nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat bertentangan dengan ide pemidanaan terhadap gelandangan pengemis, dan sikap mental aparat penegak hukum yang lunak atau kurang tegas. Faktor-faktor pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis adalah faktor struktur hukum (legal structure) yang berupa sarana/fasilitas dan jumlah petugas pelaksanaan operasi/razia atau penertiban yang dimiliki oleh Satpol PP Kota Denpasar cukup memadai, dan faktor substansi hukum (legal substance) itu sendiri karena keberadaannya sebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar masih sangat diperlukan dan layak dipertahankan.
162
5.2 Saran 1. Perlu adanya peningkatan kinerja, koordinasi dan sinergi dari lembaga/aparat penegak hukum terkait yaitu Satpol PP Kota Denpasar, Polresta Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar agar supaya pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dapat dilakukan secara lebih tegas dan konsekuen, disamping itu tetap pula diupayakan cara/upaya pencegahan dan koordinasi atau kerja sama yang lebih intensif antara Pemerintah Kota Denpasar dengan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis agar penanggulangan terhadap permasalahan ini dapat dilakukan dengan efektif dan maksimal; 2. Evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh harus segera dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dan aparat penegak hukum untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis, baik itu yang terkait dengan faktor struktur hukum (legal structure), faktor substansi hukum (legal substance) maupun faktor budaya hukum (legal culture) yang mana upaya tersebut diatas dapat berupa perbaikan kinerja, pembuatan Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) khusus tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis yang di dalamnya juga mengatur sanksi pidana bagi masyarakat pemberi maupun gelandangan dan pengemis, berikutnya berupa upaya pembaharuan hukum pidana terkait jenis sanksi pidana terhadap gelandangan pengemis yang lebih diarahkan pada sanksi kerja sosial dan rehabilitasi, serta peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis.
1
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, dan Asikin, Zaenal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Alkotsar, Artidjo. 1984. Advokasi Anak Jalanan. Rajawali. Jakarta.
Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Badung.
............. 2010. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Ed. I. Cet. Ke-3. Kencana. Jakarta.
Ashshofa, Burhan. 2004. Metoda Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
Dermawan, Mohammad Kemal. 1994. Strategi Pencegahan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Dewata, Mukti Fajar Nur, dan Achmad, Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali. 2004. Muntigunung Profil Sebuah Dusun. Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali. Denpasar.
Dimas Dwi Irawan. 2013. Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis. Titik Media Publisher. Jakarta.
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2005. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. Depsos RI. Jakarta.
Dirdjosiswono, Soedjono. 1970. Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kedjahatan (Crime Prevention). Alumni. Bandung.
2
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation. New York.
Fuad Usfa A.. 2006. Pengantar Hukum Pidana. UMM Press. Malang.
Goode, Judith and Jeff Maskovsky. 2007. The New Poverty Studies: The Ethnography of Power, Polities and impoverished People in The United States. New York University Press. New York.
Gowan, Teresa. 2010. Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco. University Minnesota Press. Minneapolis.
Hatta, Moh.. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana khusus. Cet. I. Liberty. Yogyakarta.
Haughton, J. and S. Khandker. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. The World Bank. Washington, D.C.
Kartini Kartono. 2003. Patologi Sosial II Kenakalan Remaja. Ed. 1. Cet. 5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kuswarno, Engkus. 2008. Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Lyon-Callo, Vincent. 2004. Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: Activist Ethnography in the Homeless Sheltering Industry. University of Toronto Press. Ontario-Canada.
Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Cet ke-8. Kencana. Jakarta.
Moeljatno. 2012. KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet. ke-30. Bumi Aksara. Jakarta.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Ed. 1 Cet. ke-2. Rajawali Pers. Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Ed. 3 Cet. ke-1. Refika Aditama. Bandung.
............. 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT. Eresco. Bandung.
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. 2013. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum. Universitas Udayana. Denpasar.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung.
............. 2006. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Cet. ke-2. Buku Kompas. Jakarta.
Rasjidi, Lili, dan Rasjidi, Ira Thania. 2004. Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum. Cet. ke-IX. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ridwan HR. 2008. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. PT. Refika Aditama. Bandung.
Salman, Otje, dan Susanto, Anton F. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed. Ke-2 Cet. ke-1. Alumni. Bandung.
Serikat Putra Jaya, Nyoman. 2005. Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
4
Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung.
Siedman, Robert B. 1978. The State, Law and Development. ST. Martin’s Press. New York.
Soekanto, Soerjono. 2012. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Cet. ke-21. Rajawali Press. Jakarta.
............. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cet. ke12. Rajawali Press. Jakarta.
Sudilarsih, Feni. 2012. Kisah Suksesnya Seorang Pengemis. Penerbit Sabil. Jakarta.
Sunggono, Bambang. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Ed. 1 Cet. ke-8. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sutherland, Edwin H., Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill. 1992. Principles of Criminology. Eleventh Edition. Rowman & Littlefield Publishers. Boston. United States of America.
Suparlan, Parsudi. 1978. Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap. FSUI.
The World Bank. 2004. Voice of the poor: Can anyone hear us?. Oxford University Press. New York.
Todd, Scott. 2010. Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion. Compassion International. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Cet. ke-4. Sinar Grafika. Jakarta.
5
Warrasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis. PT. Suryandaru Utama. Semarang.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1995. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia). PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
MAJALAH/JURNAL:
Ahmad, Maghfur. 2010. Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2. Pekalongan.
Lynch, P.. 2004. Begging for Change: Homelessness and the Law. Melbourne University Law Review: Vol 26. Melbourne.
Mujahidin, Ahmad. 2014. Penegakan Hukum Jangan Tersandera Pemberitaan Media. Varia Peradilan: Tahun XXIX No. 344. Jakarta.
6
Subarkah, Ibnu. 2010. Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan. Varia Peradilan: Tahun XXV No. 295. Jakarta.
Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch. 2011. Displaced and Barely Visible: Archaeology and Material Culture of Homelessness. Historical Archaeologies of Engagement, Representation, and Identity: Vol. 45. No. 1. New York.
TESIS :
Mardian Wibowo. 2008. “Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di Kota Jakarta Timur”. (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Administrasi Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.
KORAN/SURAT KABAR : Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos Radar Bali. Tgl. 21 Juni. Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua Even Internasional. Jawa Pos Radar Bali. Tgl. 10 Juni. Farendra, Dewa Dedi, dan Sandijaya, Maulana; 2013. Menyapa Miss World, Menghalau Gepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos Radar Bali. Tgl. 16 Juni.
INTERNET : Anonim. 2012. Siaga Gepeng Sebar Himbauan. Bali Tribune. http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/. Diakses tanggal 03 September 2013. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010. Fenomena Munculnya Gelandangan dan Pengemis. http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066. Diakses tanggal 04 Desember 2013. Iqbali, Saptono. 2008. Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Jurnal.
7
http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972. tanggal 10 Oktober 2013.
Diakses
Pemerintah Kota Denpasar. 2014. Selayang Pandang Kota Denpasar. http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang pandang/5/DenpasarSekilas. Diakses tanggal 06 Januari 2015.
________. 2014. Profil Kotamadya Denpasar. http://www.denpasarkota.go.id/index.php/profil/3/Denpasar-Sekilas. Diakses tanggal 06 Januari 2015.
KAMUS : Garner, Bryan A. (ed). 2009. Black’s Law Dictionary. Ninth Edition. West, a Thomson Reuters Business. Texas.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Balai Pustaka. Jakarta.
8
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Bagus Nyoman Wiranata, S.H., M.Si.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pangkat
: Penata Tingkat I (III D)
Jabatan
: Kepala Bidang (KABID) Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Pendidikan 2. Nama
: S2 : Made Sudana, S.E.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pangkat
: Penata Tingkat I (III D)
Jabatan
: Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Pendidikan 3. Nama
: S1 : I Gusti Agung Alit Artika, S.E.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pangkat
: Penata Tingkat I (III D)
9
Jabatan
: Kepala
Seksi
(Kasi)
Penyelidikan
dan
Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar Pendidikan 4. Nama
: S1 : Desak Ketut Putri Yasni, S.H.
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Pangkat
: Penata Tingkat I (III D)
Jabatan
: Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar
Pendidikan 5. Nama
: S1 : Nengah Sadiarta, S.H.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pangkat
: AKP
Jabatan
: Kepala
Satuan
Reserse
Kriminal
Reskrim) Polresta Denpasar Pendidikan 6. Nama
: S1 : Hasoloan Sianturi, S.H., M.H.
(Kasat
10
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pangkat
: IVA
Jabatan
: Hakim dan Humas Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan
: S2
7. Nama
: Drs. I Wayan Candra
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: S1
Alamat
: Jalan Raya Sesetan No. 231, Dsn. Puri Agung, Kel.
Sesetan,
Kec.
Denpasar
Selatan,
Kotamadya Denpasar 8. Nama
: I Made Bogor
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: S1
Alamat
: Jalan Pulau Ceningan No. 27, Kel. Dauh Puri Kelod,
Kec.
Denpasar
Denpasar
Barat,
Kotamadya
11
DAFTAR RESPONDEN
1. Nama
: I Wayan Gampil
Umur
: ± 30 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Munti Gunung, Karangasem
2. Nama
: Jero Sedeng
Umur
: ± 45 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Munti Gunung, Karangasem
3. Nama
: Ni Nyoman Balik
Umur
: ± 65 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Munti Gunung, Karangasem
4. Nama
: Abdurrahman
Umur
: ± 45 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Banyuwangi
12
5. Nama
: Nyoman Sadek
Umur
: ± 65 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Munti Gunung, Karangasem
6. Nama
: Bu Umrah
Umur
: ± 60 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Bondowoso
7. Nama
: Wayan Bunga
Umur
: ± 40 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Pedahan, Karangasem
8. Nama
: Sundari
Umur
: ± 45 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Kawin
Asal Daerah
: Banyuwangi
13
LAMPIRAN
14
Foto 1 : Gambaran tentang cara kerja pengemis asal Bali
Foto 2 : Gambaran tentang cara kerja pengemis asal Jawa Timur atau luar Bali
15
Foto 3 : Pengemis yang terjaring razia beserta hasil dari kegiatan mengemis
Foto 4 : Salah satu pengemis yang terjaring razia di Kota Denpasar
16
Foto 5 : Gambaran kegiatan mengemis di tempat umum di wilayah Kota Denpasar
Foto 6: Pemasangan baliho sebagai salah satu upaya preventif yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar