LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN
O L E H
Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM. Marfuatul Latifah, SHI., L.LM.
PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2015
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dalam dekade 10 tahun terakhir eksploitasi dan eksplorasi hasil perikanan di Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing sangatlah besar. Data Badan Pangan Dunia atau FAO mencatat kerugian Indonesia per tahun akibat illegal fishing sebesar Rp.30 triliun. Jumlah tersebut dinilai cukup kecil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut Susi, kerugian negara akibat illegal fishing per tahun sebenarnya bisa mencapai lebih dari US$ 20 miliar atau sekitar Rp.300 triliun, sehingga, selama 10 tahun terakhir, total kerugian negara mencapai Rp.3.000 triliun. Salah satu penyebab kerugian tersebut adalah banyaknya kapal asing ilegal yang menangkap ikan di laut Indonesia. Jumlah kapal asing lebih dari 1.000 unit, dan yang tidak mempunyai izin berkisar 3-5 kali lipatnya. Jumlah tangkapan satu kapal mencapai 600-800 ton per tahun.1 Dalam memberantas illegal fishing di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) juga memuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam UU Perikanan, di antaranya pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI AL, dan pejabat polisi negara Republik Indonesia, serta pembentukan pengadilan perikanan. Kebijakan Pemerintah dalam menenggelamkan kapal menimbulkan pro kontra dalam masyarakat dan kekhawatiran bahwa tindakan penenggelaman tersebut akan berdampak pada hubungan antar negara, khususnya dari negara-negara asal nelayan tersebut. Bahkan, tindakan tersebut dikaitkan dengan pelanggaran HAM, pelanggaran hukum, dan tindakan tidak manusiawi. Selain itu, pelaksanaan penyidikan dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan yang dimiliki oleh Kepolisian, Penyidik 1“Susi:
"Illegal Fishing" Rugikan Negara Rp 300 Triliun Per Tahun”, http://finance.detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegalfishing-rp-240-triliun, diakses pada 15 Januari 2015.
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) (Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan) masih menimbulkan persoalan. Banyaknya institusi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan belum membuat efektif penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan, sehingga dibentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) berdasarkan Perpres No. 178 Tahun 2014 sebagai pengganti Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Terakhir, dibentuk Satgas Pemberantasan Illegal Fishing dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Terkait dengan kelembagaan Pengadilan Perikanan (Pasal 71 UU Perikanan), pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Saat ini telah dibentuk 10 pengadilan perikanan, namun perkara tindak pidana di bidang perikanan yang ditangani tujuh pengadilan perikanan yang sudah aktif selama periode 2007 hingga 2013 masih sangat sedikit. Demikian pula, masalah penerapan sanksi terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Sanksi penenggelaman kapal misalnya, dalam UU Perikanan tidak disertai prosedur pelaksanaannya. Selain itu, penjatuhan pidana terhadap tindak pidana di bidang perikanan belum menimbulkan efek jera. Pengaturan sanksi administrasi sangat kurang. Belum efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan ini juga memberi dampak yang besar terhadap industri perikanan. Tindak pidana di bidang perikanan menimbulkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung, berupa kerugian material maupun imaterial, dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan? Dari permasalahan tersebut, ada lima pertanyaan penelitian yang diajukan, yaitu pertama, bagaimana penerapan hukum internasional terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan? Kedua, bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh institusi penegak hukum dan institusi-institusi terkait dalam pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan? Ketiga, bagaimana pelaksanaan proses penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan pada pengadilan perikanan? Keempat, bagaimana penerapan sanksi dalam tindak pidana di bidang perikanan? dan kelima, bagaimana dampak penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan terhadap industri perikanan?
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkuat khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019. Berdasarkan fokus penelitian, jenis penelitian “Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan” ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris. Sedangkan berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Dengan demikian, dalam melaksanakan penelitian hukum ini, Tim Peneliti memulainya dengan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif terkait penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, kemudian mengkaji penerapan ketentuan-ketentuan hukum positif pada peristiwa hukum perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini, khususnya di daerah penelitian. Dengan penggunaan kedua tahapan tersebut, maka penelitian normatif-empiris ini membutuhkan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer (primary sources), dan bahan hukum sekunder (secondary sources). Sedangkan data primer diperoleh langsung dari sumbernya, yakni masyarakat.2 Data primer umumnya diperoleh melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.3 Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari aparat penegak hukum, pejabat pemerintah, pengusaha, masyarakat nelayan, melalui wawancara dan laporan dalam bentuk dokumen, serta para akademisi yang memiliki kompetensi dalam masalah tindak pidana di bidang perikanan melalui focus group discussion (FGD). Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Oktober 2015. Adapun penelitian ke daerah dilakukan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), dengan waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut Provinsi Kepulauan Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta, 2010, hal 51. 3 Zainuddin Ali, op.cit., hal. 106. 2
Riau
pada 23 – 29 Maret 2015 dan Provinsi Sulawesi Utara pada
6 – 12 April 2015.
Selanjutnya, data yang terkumpul dalam penelitian ini disusun secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penegakan hukum yang masalah pokoknya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah:4 faktor hukum (undang-undang), penegak hukum (pihak yang membentuk dan menerapkan hukum), sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, masyarakat, dan kebudayaan. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan kebudayaan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan hukum internasional terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan (illegal fsihing) diatur dalam UNCLOS 1982, yang membedakan wilayah laut menjadi dua kategori, dimana negara dapat melakukan penegakan hukum terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Penerapan hukum internasional di ZEE terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan (illegal fishing) terdapat dalam Pasal 73 UNCLOS 1982 yakni kapal asing yang tidak mematuhi peraturan perundang-, perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Penyidikan dilakukan oleh 3 lembaga, yaitu TNI AL, PPNS Perikanan, dan kepolisian. Kewenangan penyidikan bersama tersebut pada dasarnya telah terpetakan dengan baik, otoritasnya dibedakan berdasarkan jangkauan wilayah kewenangan yaitu 0-12 mil laut untuk penyidik Kepolisian, wilayah ZEEI yaitu lebih dari 200 mil bagi Penyidik Perwira TNI AL, dan seluruh wilayah perairan Indonesia bagi PPNS Perikanan. Selain itu, mekanisme
4
Ibid., hal. 8-60.
kerjasama 3 instansi tersebut telah terjalin melalui MoU antara KKP dengan Kepolisian RI dan TNI AL. Namun penerapan mekanisme ini belum sampai tataran daerah. Untuk itu perlu dibentuk wadah yang menjalankan fungsi koordinator terhadap lembaga-lembaga yang melakukan penyidikan tindak pidana perikanan atau menunjuk salah satu dari lembaga yang melakukan penyidikan tersebut sebagai koordinator. Selain itu, Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan seringkali terhambat oleh ketentuan tentang nakhoda yang berkebangsaan asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI, tidak bisa ditahan. Hal ini seringkali menyebabkan nahkoda yang menjadi terperiksa melarikan diri sehingga proses penyidikan menjadi terhambat. Selain nahkoda, anak buah kapal yang ikut ditangkap saat terjadinya tindak pidana di bidang perikanan juga ikut diamankan dan ditempatkan di suatu tempat yang bukan tempat tahanan. Sampai saat ini di 2 daerah yang menjadi objek penelitian tidak terdapat tempat khusus yang memadai untuk tahanan. Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang Kepulauan Riau dan Pengadilan Perikanan Bitung Sulawesi Utara setiap tahunnya telah memeriksa kasus-kasus tindak pidana di bidang perikanan, namun demikian jika dibandingkan dengan banyaknya kerugian negara dari maraknya tindakan illegal fishing maka tentu dapat dikatakan jumlah kasus yang berhasil
disidangkan
tersebut
masih
relatif
sedikit.
Namun
demikian,
dalam
pelaksanaannya ternyata tindak pidana di bidang perikanan selama ini juga disidangkan di pengadilan negeri, maka untuk dapat menyimpulkan seberapa efektif penegakan hukum tindak pidana bidang perikanan oleh pengadilan perikanan selama ini menjadi tidak relevan. Selain itu, dalam pemeriksaan di pengadilan, hakim mengalami keterbatasan juru bahasa/penerjemah misalnya dalam kasus yang melibatkan pelaku dari Filipina, Vietnam, Thailand, dan lain-lain. Perumusan sanksi pidana dalam tindak pidana di bidang perikanan cukup memadai, namun belum membuat efek jera. Selain itu, ancaman sanksi administrasi dalam UU Perikanan sangat terbatas dan tidak memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana di bidang perikanan. Terkait dengan sanksi pemusnahan kapal yang dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, ketentuan tersebut tidak menyebutkan tolok ukur terkait persetujuan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri mengacu pada hal–hal apa, terkait dengan apakah kapal tersebut dihancurkan ataukah dilakukan penahanan untuk selanjutnya dilelang atau bahkan dihibahkan kepada
penduduk terdekat setempat di wilayah domisili terjadinya tindak pidana perikanan tersebut. Hal ini akan menimbulkan keraguan seorang Hakim dalam menetapkan persetujuannya atas dilakukannya pemusnahan kapal. Kekayaan bahan baku ikan di Provinsi Sulawesi Utara mendorong perkembangan industri usaha pengolahan ikan, namun perkembangan industri usaha pengolahan ikan di Provinsi tersebut mengalami penurunan karena kekurangan pasokan bahan baku ikan sebagai dampak dari penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan. Berbeda dengan Provinsi Sulawesi Utara, tidak ada dampak dari penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan terhadap industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau. Pasokan bahan baku ikan untuk industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau masih tercukupi karena industri usaha pengolahan ikan di Provinsi tersebut tidak sebesar di Provinsi Sulawesi Utara. Industri usaha pengolahan ikan di Provinsi Kepulauan Riau bukan industri besar, melainkan hanya berupa home industry. Beberapa saran dari hasil penelitian, bahwa penyidikan yang dilakukan oleh tiga instansi perlu ditentukan koordinatornya, agar proses penyidikan tidak berjalan sendirisendiri tetapi ada koordinasi, dan penerapan mekanisme kerjasama tiga instansi yang menjalankan tugas menyidik sesuai MoU sampai pada tataran daerah. Dalam UU Perikanan perlu ditegaskan bahwa semua tindak pidana di bidang perikanan diperiksa dan diputus hanya oleh Pengadilan Perikanan. Selain itu, perlu perubahan terkait jangka waktu 30 hari pemeriksaan di pengadilan, yang dinilai terlalu singkat dan sering terlampaui, khususnya bagi terdakwa yang tidak ditahan. Ketentuan sanksi pidana sebaiknya ditentukan minimum khusus dan maksimum umum agar efek jera yang dimaksudkan dalam perumusan ancaman pidana dalam UU dapat dicapai. Selain itu, adanya minimum khusus dan maksimum umum dalam ancaman pidana bertujuan agar jaksa penuntut umum tidak melakukan penuntutan kurang dari hukuman minimal, begitu juga hakim. Terkait dengan sanksi administrasi, harus dirumuskan secara tegas berupa teguran secara tertulis dan apabila perbuatan tersebut terulang kembali, terhadap orang perorangan maupun perusahaan dapat dikenakan sanksi pembekuan izin dan penutupan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan maupun perorangan akan berpikir kembali untuk melakukan pengulangan pelanggaran aturan yang ada. Selain itu, perlu ada ketentuan yang memberikan tolok ukur bagi ketua pengadilan
negeri dalam memberikan persetujuan pemusnahan kapal, sehingga asas kepastian dapat menjadi pegangan dan hakim memiliki keyakinan dalam memberikan persetujuan. Penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan hendaknya juga perlu memperhatikan kebutuhan pasokan bahan baku untuk kelancaran proses produksi industri usaha pengolahan ikan. Selain itu, perlu ada pembinaan dan pembangunan infrastruktur untuk mendorong perkembangan industri pengolahan ikan.