LAPORAN TIM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM DAN SUMBERDAYA ALAM
Disusun oleh Tim Di Bawah Pimpinan
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................. Daftar Isi ..........................................................................
BAB I
BAB II
BAB III
Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah ............................... B. Permasalahan .............................................. C. Maksud dan Tujuan Kegiatan ...................... D. Personalia Kelompok Kerja .......................... Kajian Ulang (Review) Kebijakan Sektoral Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. A. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ........................................................ B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan ................................. C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ............................. D. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ....................................... E. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air ............................ F. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ....................................... Arah Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Beberapa Rancangan UndangUndang. A. Kebijakan Legislasi Bidang Sumber Daya Alam Dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009 ..................................... B. RUU Tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ......... C. Arah Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ...................................... D. Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam ....................
i iii
1 8 10 10
11 15
17 20 25 48
55
58
76 101
BAB IV
Penutup. A. Kesimpulan .................................................. B. Rekomendasi .................................................
143 149
KATA PENGANTAR Para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan sumberdaya alam dengan tepat dalam ketentuan UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusional pengaturan sumberdaya alam, yaitu Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.”
Hak atas sumberdaya
alam merupakan bagian dari hak atas hidup sejahtera lahir dan batin yang menjadi substansi dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun melihat kepada kondisi saat ini, Pokja SDA berkesimpulan bahwa hingga saat ini masih belum ada suatu konsep kebijakan nasional tentang pengelolaan sumber daya alam, sementara pada tataran
normatif
undangan
sektor
terjadi yang
ketidaksinkronan mengatur
pengelolaan sumber daya alam.
tentang,
peraturan atau
perundang-
terkait
dengan,
Keadaan ini juga ditambah dengan
belum adanya suatu lembaga nasional yang mengelola SDA secara terpadu. Oleh karena itu, Pokja Sumber Daya Alam merekomendasikan untuk segera menyusun cetak biru (blueprint) mengenai pengelolaan SDA yang komprehensif, kohesif dan konsisten yang dijadikan sebagai rujukan bersama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang SDA.
Juga segera dilakukan kaji ulang (review) dan revisi
terhadap seluruh peraturan perundang-undangan sektor yang mengatur atau berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, serta sumber daya agraria sebagaimana diamanatkan oleh Tap MPR No. IX/MPR/2001.
Sementara pada tataran kelembagaan diperlukan
koordinasi
substansial
dalam
penyusunan
peraturan
perundang-
undangan di bidang sumber daya alam dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Berdasarkan kajian-kajian dan diskusi-diskusi Kelompok Kerja Bidang Hukum dan Sumber Daya Alam, diperoleh kesepakatan bahwa sebagai langkah pokok yang yang saat ini sangat diperlukan adalah bahwa RUU
tentang
Pengelolaan
Sumber
Daya
Alam
segera
diselesaikan pembahasannya, terutama tahapan harmonisasi dan sinkronisasi
dengan
peraturan-peraturan
perundang-undangan
yang mengatur atau terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, untuk selanjutnya diajukan oleh pemerintah untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2006. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Kelompok kerja dan berbagai pihak yang telah mendukung terlaksananya tugas Kelompok Kerja Bidang Sumber Daya Alam ini, serta kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam melaksanakan tugas ini. Semoga semua gagasan, pemikiran dan pendapat yang telah tertuang dalam Laporan ini bermanfaat khususnya bagi upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia, dan umumnya bagi upaya pengembangan hukum nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Jakarta, Desember 2005 Kelompok Kerja Bidang Hukum Sumber Daya Alam Ketua, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., ML
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar. Hutan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Terdapat sekitar 10 ribu jenis tumbuh-tumbuhan, 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, dan 65 jenis ikan air tawar. Indonesia juga. memilliki simpanan sumberdaya mineral seperti emas, nikel, tembaga batubara, perak, bauksit dan sebagainya yang tergolong besar. Oleh karena itulah maka Indonesia menjadi salah satu produsen emas, tembaga, dan batubara terpenting di dunia.
Sumberdaya
kelautan di perairan Indonesia pun tidak kalah dalam hal kekayaan dan keragaman potensinya. Terumbu karang yang ada di Indonesia mengandung lebih dari 70 genus sehingga menjadikan negara ini salah satu negara yang mempunyai keragaman karang paling tinggi di dunia. Potensi sumberdaya alam yang sedemikian besar menjadikannya sebagai andalan pembangunan. Pada masa pemerintahan orde baru, sumber daya alam adalah modal dasar pembangunan nasional.
Ketika rezim pemerintahan
berganti, pembangunan ekonomi di tingkat nasional dan daerah juga tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada sumberdaya alam. Pembiayaan pembangunan yang mengandalkan pada pemanfaatan sumberdaya alam ternyata tidak diimbangi dengan sikap yang bijak untuk mengelola sumberdaya alam. Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan besar pada tahun 1997-1998 yang menghabiskan lebih dari 5 ha hutan mengancam kepunahan berbagai spesies hewan dan tumbuhan yang ada. Hampir 70% terumbu karang rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan dengan bom dan racun dan pencemaran laut oleh limbah industri. Laju kerusakan hutan mencapai lebih dari 1,8 juta hektar. Eksploitasi tambang besar-besaran telah mengubah bentang alam, merusak tanah dan menghilangkan vegetasi di atasnya.
Pengelolaan sumberdaya alam yang ditujukan untuk memberikan keuntungan ekonomi semaksimal mungkin dijalankan dengan cara memberikan kewenangan. kepada pemerintah untuk menetapkan hak penguasaan pada sumberdaya
alam
kepada
pihak-pihak
tertentu.
Kecenderungan
untuk
mengutamakan pemodal dan kroni-kroni birokrasi dalam pemberian hak penguasaan pada sumberdaya alam menimbulkan ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya alam. Rakyat yang berjumlah lebih banyak dan memiliki ketergantungan. hidup sangat besar pada sumberdaya alam hanya bisa menikmati sedikit ruang untuk memanfaatkan sumber daya alam. Sementara itu badan-badan usaha milik negara, swasta dan badan usaha asing menikmati ruang yang lebih luas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan sumberdaya alarn juga memberikan porsi yang lebih besar bagi Pemerintah Pusat untuk menikmati keuntungan ekonomi dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara itu, Pemerintah Daerah tidak memperoleh bagian yang memadai untuk mendanai pembangunan di daerahnya sendiri, sehingga tercipta ketergantungan politik dan ekonomi yang kuat pada Pemerintah Pusat. Perubahan sedikit terjadi dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Meskipun demikian di sana-sini pembagian yang dirasakan. adil bagi kedua belah pihak masih belum tuntas dibahas. Pengelolaan sumberdaya alam juga cenderung dilakukan dalam skala besar dan teknologi tinggi tanpa diimbangi kemampuan menciptakan sumbersumber pendanaan yang mandiri. Banyak badan usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam menyandarkan pendanaan usahanya dari utang luar negeri. Dari jumlah utang swasta sebesar US $ 51.5 milyar, US $ 4.1 milyar diantaranya adalah utang industri kehutanan sebesar Rp. 34 trilyun. Sementara itu usaha ekonomi rakyat untuk memanfaatkan sumberdaya alam belum mendapatkan perhatian serius dari pernerintah untuk pengembangannya.
Kendati, usaha
ekonomi tersebut telah mampu memberikan jaminan keberlanjutan kehidupan sekian juta orang yang bergantung pada sumberdaya alam. Ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya alam berakar dari bias dalam memandang keberadaan hukum negara dan hukum-hukum adat serta kearifan lokal/tradisional. Keabsahan hak-hak yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan sumberdaya alam disandarkan pada hukum negara meskipun proses pembuatannya tidak melibatkan rakyat. Sementara itu hak-hak atas sumberdaya alam yang ada pada rakyat umumnya dimiliki secara turun-temurun dan menjadi bagian yang melekat dengan sistem sosial budaya rakyat.
Kendati demikian hak-hak tersebut dipandang lebih
rendah bahkan acapkali diingkari karena hukum adat yang memberikan legitimasi padanya juga tidak diakui. Konflik atas sumberdaya alam yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia acapkali bersumber dari adanya benturan hak penguasaan atas sumberdaya alam tersebut. Konflik atas sumberdaya. alam terjadi karena hilangnya akses rakyat terhadap sumberdaya alam, terganggunya sistem sosial budaya akibat hilangnya penguasaan pada sumberdaya alam sebagai salah satu pilar dari sistem tersebut, serta menurunnya kualitas sumberdaya alam dan kualitas kehidupan rakyat yang hidup bergantung pada sumberdaya alam. Berbagai
kebijakan
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
dibuat
pemerintah bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam saat ini tanpa perlindungan yang memadai bagi kepentingan generasi mendatang. Pengelolaan sumberdaya alam lebih mengutamakan peran pemilik modal besar daripada kekuatan ekonomi rakyat, kontrol dan pemanfaatan sumberdaya alam diatur dan dilaksanakan pemerintah tanpa memberikan ruang partisipasi yang luas pada publik.
Politik pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif, berorientasi pada pemilik modal, bertumpu pada peran pemerintah khususnya Pemerintah Pusat, sektoral dan tidak melindungi hak asasi manusia itulah yang menyebabkan terjadinya salah urus dalam pengelolan sumber daya alam. Politik pengelolaan sumberdaya alam yang mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya tercermin dalam seperangkat peraturan perundangundangan baik yang terkait langsung (UU Pertambangan, UU Kehutanan, dan lain-lain) maupun tidak langsung dengan sumberdaya alam (UU PMDN/PMA dan lain-lain). Peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam ditetapkan dan dilaksanakan secara terpisah oleh berbagai departemen/instansi sektoral di tingkat pusat dan daerah tanpa ada koordinasi dan keterpaduan. Perlindungan pada hak-hak masyarakat adat tidak diberikan secara utuh demikian pula hak-hak masyarakat lokal lainnya. Dengan pendekatan seperti diatas yang terjadi hampir selama 32 tahun lebih mengakibatkan peraturan perundang-undangan yang terkait tumpang tindih dan inkonsistensi serta tidak menggambarkan cetak biru terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Praktik salah urus pengelolaan sumberdaya alam di masa silam yang mengantarkan Indonesia pada krisis sumberdaya alam dan krisis-krisis politik, sosial, ekonomi yang menyertainya perlu segera diakhiri. Penataan ulang pada struktur penguasaan dan sistem pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan bersama-sama oleh semua pihak. Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam telah dimandatkan oleh TAP MPR No.IX/MPR/2001.
Atas dasar
itulah maka kita memerlukan pijakan baru dalam mengelola sumberdaya alam. Undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya alam diharapkan sebagai cetak biru akan memberikan arahan yang tegas bagi kita semua untuk mengelola sumberdaya alam secara adil, demokratis dan berkelanjutan.
Selanjutnya
Tap.
MPR
IX/MPR/2001
tersebut
menugaskan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah, dan atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR No. IXIMPR/2001 ini.
Sejalan dengan
perintah Ketetapan MPR ini, maka DPR bersama Presiden melalui UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 telah pula menetapkan program penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup, yakni antara lain perubahan atau penyempurnaan terhadap UU No. 5/1960 tentang Agraria, UU No. 11/1967 tentang Pertambangan; UU No. 8/1971 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati; UU No. 9/1985 tentang Perikanan; dan ditetapkannya Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Upaya ke arah pembentukan undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam saat ini masih berjalan.
Program
penyusunan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) saat ini sudah
sampai
pada
tahap
pengharmonisasian,
pembulatan,
dan
pemantapan konsepsi.
Kelompok Kerja Hukum Sumberdaya Alam berpendirian bahwa substansi yang dikandung dalam RUU PSDA ini harus dapat dijadikan sebagai landasan penilaian dan acuan penyesuaian bagi undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam.
Maksudnya adalah bahwa UU
PSDA harus dapat berfungsi sebagai norma penyelaras dan norma rujukan bagi undang-undang "sektor", sehingga terjadi harmonisasi kebijakan.
Dalam kedudukannya sebagai undang-undang yang mempunyai fungsi sebagai norma "payung" demikian, maka posisi peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber daya alam berada pada titik tengah keterpaduan (integrasi), keterdekatan (kohesi), keterhubungan (korelasi) dan keutuhan (holistik) dalam pengelolaan sumber daya alam, agar tetap konsisten untuk menjalankan prinsip good environmental governance dan good sustainable development governance. demikian,
peraturan
perundang-undangan
mengenai
Meskipun pengelolaan
sumberdaya alam tidak harus mengatur sesuatu yang telah diatur oleh undang-undang "sektoral" dan juga tidak mengatur kewenangan yang telah ada pada instansi sektor maupun pemerintah daerah.
Materi
muatan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan SDA ini seharusnya bertitik berat pada pengaturan tentang penjabaran dari asas-asas pengelolaan sumber daya alam yang meliputi asas kehatikehatian (precautionary principle), keadilan antar dan intragenerasi, kepastian masyarakat
hukum adat,
(termasuk keterbukaan,
kepastian
usaha),
keterpaduan
perlindungan
antarsektor,
dan
keberlanjutan. Selain itu juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek
demokrasi
pengelolaan
SDA
yang
tercermin
dalam
pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih hakiki (genuine) dan terinci dengan menjabarkan prinsip access to information, public
participation,
dan
access
to
justice;
kemudian
bagaimana
pengakuan dan perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai masyarakat adat dalam pengelolaan SDA; penanganan sengketa yang lebih partisipatif yang meliputi pencegahan, resolusi, penyelesaian dan pemulihan pasca konflik. Selain itu pula diatur bagaimana pengawasan dan akuntabilitas publik, serta transparansi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA.
Tak
kurang
pentingnya
adalah
pengaturan
pemanfaatan
sumberdaya alam bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat, peningkatan pendapatan negara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan dan untuk kepentingan lainnya yang sah. Untuk itu dalam rangka pemanfaatan SDA ini, diperlukan suatu sistem perizinan yang terpadu (integrated licensing system) atau setidaknya perizinan berantai (keffing vergunningen) dalam upaya pengendalian pemanfaatan SDA dan mencegah bahaya. Dengan demikian keberadaan izin ini tidak dimaksudkan sebagai kebijakan dalam rangka eksploitasi.
Hal lain yang juga perlu ditonjolkan adalah apa yang disebut dengan pendekatan bioregion (kawasan pengelolaan) dalam pengelolaan SDA. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan keseimbangan kebutuhan hidup dan potensi sumber daya alam yang ditentukan berdasarkan kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial.
Pendekatan ini
bertujuan untuk pemulihan dan pemeliharaan fungsi ekosistem melalui tanggung jawab pada kelestarian SDA, daya tarik budaya, dan proses ekologi, desentralisasi, dan keseimbangan sosial. Asumsi-asumsi dasar yang acapkali didiskusikan sebagai hal penting dalam pendekatan bioregion pada pengelolaan sumber daya alam perlu ditonjolkan, yakni: (1)
keragaman
karakteristik
ekosistem
yang
semuanya
saling
tergantung; (2) kesatuan antara ekosistem alam dengan masyarakat; (3) kesatuan yang ada tidak dibatasi oleh batas administratif dan etnis; (4) perlunya sinergi dan pengembangan pengetahuan modern dan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam; (5) perlunya kerjasama dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangaan bioregion, (6) partisipasi semua pihak dalam penyusunan kebijakan serta kemampuan adaptasi pada perubahan yang terjadi dalam bioregion.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pengelolaan SDA
ini
adalah
aspek
kelembagaan
yang
mampu
mendorong
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang dilandasi oleh tata pemerintahan yang baik. Secara kelembagaan juga mampu memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kepentingan dalam pemanfaatan SDA secara efektif, obyektif, imparsial dan responsif, baik antar-instansi (sektor) pemerintah, antara Pusat dan Daerah, antar-daerah, maupun antar-komponen masyarakat.
B.
PERMASALAHAN
Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Bidang Hukum Sumber Daya Alam, saat ini diperlukan adanya cetak biru (blueprint) mengenai pengelolaan SDA yang komprehensif, kohesif dan konsisten yang dijadikan sebagai rujukan bersama dalam pengelolaan di bidang ini, juga perlu adanya koordinasi substansial dalam penyusunan peraturan di bidang SDA dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang melibatkan seluruh sektor dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Dalam hubungan itu, permasalahan atau isu pokok di bidang hukum sumber daya alam untuk saat ini meliputi hal-hal sebagai berikut: Penegakan
Hukum:
Masalah-masalah
yang
dihadapi
di
bidang
penegakan hukum ini, antara lain, meliputi: (a) kelemahan kapasitas, kompetensi dan integritas moral aparatur penegak hukum;
(b)
institusi
penegak
hukum
yang
masih
bekerja
berdasarkan kepentingan institusinya masing-masing; dan (c) Tidak adanya koordinasi yang kuat dan substansial untuk membangun sinkronisasi dan harmonisasi tugas dan fungsi penegakan hukum. Sinkronisasi Kepentingan Antar Sektor. Persoalan sinkronisasi ini meliputi: (a) masih banyak perundangundangan di bidang PSDA yang lebih menitikberatkan pada kepentingan ekonomi dan mengabaikan kepentingan konservasi; (b) pengaturan PSDA yang masih bersifat sentralistik sehingga
banyak
benturan
penyelesaian
dengan
konflik
dilakukan melalui
kewenangan
kewenangan
daerah;
antar
sektor
dan
(c)
seringkali
pendekatan ad hoc tidak menyelesaikan
sinkronisasi yang bersifat strategis dan berjangka panjang Sinkronisasi Kepentingan Sektor dan Masyarakat Adat. Dalam hal ini termasuk: (a) Pemahaman terhadap keberadaan masyarakat adat yang masih parsial dan bahkan dianggap sebagai penghambat dalam pengelolaan SDA; (b) Pengaturan tentang pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dalam PSDA masih belum memadai, sehingga belum ada jaminan hukum yang lebih kuat dalam suatu undang-undang; dan (c) Penyelesaian sengketa yang melibatkan masyarakat adat masih bersifat ad hoc dan tidak menyentuh akar masalahnya dan berujung pada peminggiran dan pengabaian hak-hak masyarakat adat. Kewenangan Pusat dan Daerah Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Permasalahan ini mencakup: (a) Dalam kaitan upaya
pengaturan PSDA masih terjadi tarik menarik kewenangan antara Pusat
dan
Daerah
menimbulkan kewenangan;
secara
ketegangan (b)
Kebijakan
tidak yang
proporsional, berujung
desentralisasi
pada
sehingga konflik
pengelolaan
SDA
dilaksanakan secara setengah hati, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan antara Pusat dan Daerah; dan (c) Daerah dalam rangka mengejar PAD seringkali mementingkan eksploitasi kekayaan
SDA
tanpa
memperhatikan
prinsip-prinsip
keberlanjutan.
Kelembagaan: Persoalan kelembagaan meliputi: (a) Tidak adanya suatu institusi yang dapat melakukan sinkronisasi dan harmonisasi secara substansial pada setiap peraturan perundang-undangan, sehingga selama ini berjalan masing-masing; (b) Koordinasi dilakukan hanya bersifat formalitas dan tidak secara sistematis,
konsisten
dan
terus
menerus,
sehingga
mekanisme
penyelesaiannya lebih bersifat ad hoc dan parsial.
MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN Kelompok Kerja Bidang Hukum Sumber Daya Alam ini merupakan kelanjutan dari program kegiatan Dialog Bidang Hukum dan NonHukum, yang tujuannya adalah lebih mengkaji lebih mendalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, sebagai bahan masukan bagi penentuan langkah kebijakan pembangunan nasional di bidang hukum, khususnya dalam kaitan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. D.
PERSONALIA KELOMPOK KERJA Ketua Sekretaris Anggota
Asisten Pengetik
: Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., ML : Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H., LL.M : 1. Prof.Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS 2. Prof. Dr. Daud M. Silalahi, S.H., LL.M 3. Prof.Dr. Hj. Etty R. Agoes, S.H., LL.M 4. Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H. 5. Dr. Asep Warlan Yusup, S.H., M.H. 6. Dr. Ryad Chairil, M.Eng 7. Sri Badini Amidjojo, S.H., M.H. 8. Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M 9. Dra. Masayu S. Hanim, MSi. 10. Isna Hertati, S.H. : 1. Sukesti Iriani, S.H., M.H. 2. Rahendro Jati, S.H. : 1. Tatik Kusnowati 2. Bambang Widi
BAB II
KAJIAN ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN SEKTORAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Beberapa undang-undang yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; (3) Undang-undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan; (4) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan (6) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pada Bab ini beberapa undang-undang tersebut akan dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.
A.
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
TENTANG
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumberdaya alam.
UUPA mengartikan
sumberdaya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional". Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumberdaya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang
sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumberdaya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah?
Dalam hubungan ini, UUPA
memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan saling keterkaitan antara sumberdaya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batasbatas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumberdaya alam. Hanya. ada. satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumberdaya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam
(agraria)
menyatakan
bahwa
perencanaan
pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat
kehidupan
pengembangan
sosial
produksi
budaya
dan
pertanian,
kesejahteraan
peternakan,
masyarakat,
perikanan
serta.
pengembangan industri, transmigrasi, dan. pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumberdaya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa: "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah." Namun demikian, selama, tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama. pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi
kualitas
tanah
pertanian
yang
banyak
dialihfungsikan
menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditas untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah diterlantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horizontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat.
Dalam Pasal 5 disebutkan
bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan, dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria. nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat.
Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu
disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal.
Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian
dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan. bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa
kelompok
(pemerintah).
orang
yang
sedang
memegang
kekuasaan
Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan
negara maka hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria. yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasarnya adalah urusan pemerintah pusat.
UUPA tidak mengatur secara rinci
tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. pemerintah
daerah
adalah
pelaksanaan
dari
tugas
Kewenangan pembantuan.
Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan
peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti haInya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.
B.
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG PERTAMBANGAN Pemahaman tentang sumberdaya alam dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan bersifat reduksionis. Sumberdaya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditas.
Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan mengartikan sumberdaya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat. Selain
pandangan
reduksionis
tentang
sumber
daya
alam,
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang.
Undang-undang
ini
hanya
memberikan
perlindungan, lingkungan dari kegiatan pertambangan.
satu
pasal
Pengaturan
tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa: "apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya."
Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungannya. Pemanfaatan
sumber
daya
tambang
diarahkan
untuk
meningkatkan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar.
Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan
orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).
Undang-undang
Pertambangan
ini
juga
bersifat
sentralistik.
Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (menteri pertambangan).
Pemerintah Daerah hanya berhak melaksanakan
penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahanbahan golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi.
Sedangkan, bahan galian tambang
golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu
bara,
timah,
bauksit,
dan
lain-lain
menjadi
bagian
dari
kewenangan pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan
dan
pembuatan
kebijakan
pengelolaan
sumber
daya
tambang. Kontrol publik pun dalam pengelolaan sumberdaya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi, rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dikenal sebagai prior informed consent principle.
Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan
tentang
pertambangan
rakyat.
Undang-undang
ini
menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat.
Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah
masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat.
Membatasi hak masyarakat adat hanya pada
pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak
sentralistik,
sektoral,
dan
diskriminatif
secara
nyata
menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati.
Pasal 30 yang mengatur
kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata
bukan
dimaksudkan
sebagai
upaya
untuk
konservasi,
reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.
C.
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 KONSERVASI SUMBERDAYA EKOSISTEMNYA
TAHUN ALAM
1990 TENTANG HAYATI DAN
Penegasan. tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumberdaya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alarn nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumberdaya alam. Konservasi sumberdaya
alam
hayati
terwujudnya
kelestarian
dan
ekosistemnya
sumberdaya
alam
bertujuan
hayati
serta
mengusahakan keseimbangan
ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan
dengan
kegiatan
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang ini berkaitan dengan dominasi peran pemerintah.
Pengaturan tentang peran
masyarakat diberikan dalam Bab IX (Pasal 37).
Peran serta rakyat dalam
konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya
diarahkan
dan
digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat. Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah tertentu
sebagai
wilayah
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan;
menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. Undangundang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun
masyarakat
adat
di
berbagai
tempat
mempunyai
pranata,
pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya alam. Peran pemerintah dalam konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumberdaya alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai.
Undang-undang ini
bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan. Konservasi pandangan
sumberdaya,
undang-undang
ini
alam adalah
dilaksanakan oleh pernerintah pusat.
hayati
dan
urusan
ekosistemnya
negara
yang
dalam
kemudian
Pemerintah daerah hanya dapat
menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga
menginterpretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia.
Pengaturan yang diberikan kepada
rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.
D.
UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG
KEHUTANAN
Undang-undang
Nomor
41
Tahun
1999
tentang
Kehutanan
mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumberdaya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditas tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait. Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas
manfaat
dan
lestari
dimaksudkan
agar
setiap
pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi.
Pengejawantahan asas itu
kemudian dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, undang-undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi
kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya. Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas. Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumberdaya hutan bertentangan dengan UUPA.
Hak menguasai negara
menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu. Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma pengelolan sumberdaya alam yang berpusat pada negara (state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap.
Hal ini merupakan
konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku
utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut. Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat.
Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas
sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan basil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait. Ketentuan yang sifatnya birokratik dan teknokratik-saintifik ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (selfdetermination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumberdaya alam dan mengelola, dalam skala, terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari. Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan.
Peran serta masyarakat
diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana
peruntukan
hutan,
pemanfaatan
hasil
hutan
dan
informasi
kehutanan,
memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat. Undang-undang
Kehutanan
ini
belum
mampu
sepenuhnya
menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat (forest for people). Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutan pun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat.
Satuan pengelolaan hutan ditetapkan
berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat. Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi
masyarakat
untuk
mengembangkan
perekonomiannya
seperti
dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal. Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal dan antara masyarakat adat/lokal pemegang konsesi kehutanan.
Konflik-konflik
tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis dan
kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah. Undang-undang Kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah.
Sementara itu, pada bagian menimbang butir (c)
disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan normanorma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena mengingkari pernyataan dalam butir (c) konsiderans undang-undang tersebut. Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Namun kewenangan
yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah pun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan Pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 10 dan Pasal 17.
Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. berwenang menetapkan status dan fungsi hutan.
Departemen Kehutanan Khusus dalam penetapan
status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satu pun ketentuan
yang
menyebutkan
perlunya
koordinasi
antara
Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Departemen
Hal ini berpotensi
menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pernerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama. Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).
E.
UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
Air adalah sumber kehidupan, tanpa air tak mungkin ada kehidupan. Air yang semula tiada yang memiliki (res nullius), kemudian menjadi milik bersama umat manusia (res commune), bahkan milik bersama
seluruh
makhluk
Tuhan,
tak
seorang
pun
boleh
memonopolinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa air merupakan hal yang sangat mendasar
dalam
menopang
kehidupan
manusia.
Bahkan
dapat
dikatakan manusia tidak dapat hidup tanpa air, sehingga dapat diterima bahwa air merupakan bagian dari hidup, dan bahkan kehidupan itu sendiri.
Kebutuhan
mendasar
akan
air
dalam
hidup
manusia
merupakan hal yang mutlak. Tanpa minyak maupun energi listrik manusia masih dapat hidup tetapi manusia tidak dapat hidup tanpa air.
Oleh karenanya pengaturan air berbeda dengan sumber daya dan kekayaan alam lainnya, memerlukan penghayatan yang mendalam akan fakta tersebut. Oleh karena hak setiap orang untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya merupakan hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi, hal mana tidak dapat dilakukannya tanpa air dalam jumlah minimal yang cukup, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk irigasi pertanian, maka sesuai dengan tafsiran yang telah diterima secara internasional dalam dokumen PBB General Comment No. 15 Tahun 2000 yang menyatakan air sebagai hak azasi yang diakui, tafsiran demikian sangat bersesuaian dengan UUD 1945, khususnya pasal 28A dan pasal 28I ayat (1), yang menjadi norma dasar dalam system hirarki peraturan perundang-undang an di Indonesia yang mengatur air. Oleh karenanya dari fakta bahwa akses warganegara terhadap air dalam mempertahankan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, dapat ditarik satu norma dasar bahwa akses warganegara tersebut adalah merupakan hak yang bersifat asasi juga.
Pemerintah
Negara
Republik
Indonesia
berkewajiban
untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, dan selain itu negara juga berkewajiban, di samping melindungi, juga menghormati dan memenuhi hak asasi warganegara yang menyangkut akses terhadap air. Secara universal telah diterima bahwa negara bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak asasi manusia dari warganegaranya (respect, protect, and fulfill). Untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warganegara atas air, maka Pemerintah atas nama negara juga telah diberi perintah dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 untuk melaksanakan amanat "Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Konsepsi "dikuasai oleh negara" sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD l945 tersebut, telah ditafsirkan oleh Mahkamah konstitusi dalam perkara nomor 01-021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU No.20 tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember Tahun 2004, yang merumuskan bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi dari pemilikan. Dinyatakan bahwa: “….pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
pemilikan
dalam
konsepsi
hukum
perdata.
Konsepsi
penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang
diakui
sebagai
sumber,
pemilik
dan
sekaligus
pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ” dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. “Rakyat secara kolektif itu dikontsruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan
(regelendaad),
tindakan
pengurusan
pengelolaan
(bestuursdaad),
(beheersdaad)
dan
pengaturan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie)”.
Timbul pertanyaan, apakah dengan tafsir konsep penguasaan demikian, dapat dengan tegas ditentukan siapa yang menjadi pemilik air tersebut? Konsepsi tersebut jelas menegaskan bahwa rakyat adalah pemilik bumi dan air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya, sehingga oleh karenannya manusia sebagai individu yang memiliki hak yang bersifat azasi untuk memperoleh akses terhadap air, yang harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi Pemerintah sebagai kewajiban konstitusional, memperoleh garis keutamaan dalam skala prioritas yang disusun dalam peraturan perundangundangan tentang sumber daya air. Bahkan sistem hukum dan negara yang tidak mengenal ketentuan seperti Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, juga menganut doktrin bahwa air adalah merupakan res communes. Konsekuensi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, air merupakan milik umum rakyat Indonesia dan seluruh kewenangan
yang
lahir
dari
penguasaan
negara
dalam
bentuk
pengaturan, pengelolaan, pengawasan dan pengurusan atas air dan sumber daya air harus menempatkan hak rakyat Indonesia yang bersifat asasi demikian, sebagai hak yang utama, dan seluruh pengaturan yang dilakukan haruslah terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan warga Negara untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, baru pada giliran berikut skala prioritas lainnya memperoleh tempat.
Tidak dapat disangkal bahwa sumber daya air tersebut ada dalam kondisi yang dinamis, dan sangat banyak dipengaruhi daya tangkap dan daya simpan tanah akan air, sehingga persediaan dan ketersediaanya tidak selalu sama. Juga ada kemungkinan bahwa air yang berada pada sumber daya tertentu tidak dapat dipergunakan secara habis dan dapat terbuang. Dilihat dari fungsi juga harus diakui sebagaimana disebut dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa air mempunyai fungsi sosial, lingkungan, maupun ekonomi. Tetapi dengan melihat sifat hak rakyat atas air sebagai hak asasi, yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi, dan rakyat sebagai pemilik atas air,
maka menjadi pertanyaan yang harus dijawab, apakah dengan urutan prioritas yang telah diuraikan, penempatan Hak Guna Pakai Air duduk sejajar dengan Hak Guna Usaha Air akan mendukung penjabaran konstitusi dan tafsirannya bahwa air milik rakyat yang memiliki hak asasi atas air tersebut sebagai prioritas dapat dipandang sebagai penjabaran pengaturan sumber daya air yang serasi dengan bunyi Undang-undang Dasar? Apakah hak asasi atas air dan fungsi ekonomis, lingkungan dan social tepat diatur dengan sistem Hak Guna Air? Ataukah lebih tepat, baik pengaturan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomis tersebut lebih baik diatur dengan sistem perizinan sebagai bagian dari managemen sumber daya air? Apakah pemenuhan hak asasi atas air bagi rakyat dapat secara baik dipenuhi dengan menyerahkan pengelolaan dan pengusahaan sumber daya air pada badan usaha perorangan atau swasta? Air yang semakin langka, perlu pengaturan oleh negara. Akan tetapi, dalam tataran paradigmatik, pengaturan oleh negara atas sumber daya air, seharusnya hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya air, agar air dapat digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water) yang secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Bukan pengaturan dalam bentuk pemberian hak-hak tertentu atas air (water right) kepada perseorangan dan/atau badan usaha swasta, seperti yang dianut oleh UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air
(UU
SDA),
yang
dapat
tergelincir
menjadi
privatisasi
terselubung sumber daya air, sehingga mendistorsi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, UU SDA yang begitu besar resistensi masyarakat terhadapnya, seyogyanya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya, yaitu paradigma yang lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan dari pada dimensi ekonominya, jika tidak, UU SDA akan
inkonstitusional, sebab paradigmanya tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pengaturan tentang sumberdaya air diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air untuk menggantikan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Menurut UU ini yang dimaksud dengan Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Air oleh
undang-undang ini diartikan sebagai semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
Prinsip-prinsip pokok bagi pengelolaan sumber daya air dalam UU Sumberdaya Air terdapat pada Pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Asasasas yang dipakai dalam pengelolaan sumberdaya air adalah asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Pasal 2 selengkapnya menyatakan sebagai berikut: “Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.” Pasal 3 menyatakan bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
Berkaitan
dengan
fungsi
sumberdaya air, dinyatakan dalam Pasal 4 bahwa sumber daya air mempunyai
fungsi
sosial,
lingkungan
hidup,
dan
ekonomi
yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Berdasarkan fungsinya tersebut, dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal seharihari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Dalam hal ini undang-undang tidak dimuat rincian apa yang dimaksud dengan hak menguasai negara atau sumber daya air dimaksud.
Hanya dalam
penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud penguasaan sumber daya air adalah kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengaturan sumber daya air. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.
Penguasaan negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 6 UU
Sumberdaya Air, sebagai berikut: (1) (2)
(3)
Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang
(4)
kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan hak guna air. Undang-undang
Sumberdaya
Air
mengakui
masyarakat hukum adat atas sumberdaya air.
hak
ulayat
Undang-undang ini
secara rinci menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat, yaitu “sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan”. Hak ulayat masyarakat hukum adat ini dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu : a.
unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b.
unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari; dan
c.
unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di
Bali; totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak
Di dalam Pasal 7 UU tentang Sumberdaya Air dikatakan bahwa hak guna air dan hak guna usaha air adalah berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air, dimana hak guna air ini tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, baik sebagian atau seluruhnya. Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak ini bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin.
Sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha air.
Kontroversi dan tantangan kuat terhadap substansi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air ini terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 7. Banyak kalangan masyarakat dan LSM yang mengkritisi dan bahkan secara tegas menolak pola pengelolaan dan penguasaan sumberdaya air melalui kosep “hak guna air” ini. memiliki
Konsep hak guna air dan hak guna usaha air yang dinilai tidak pembatasan
dipandang
sebagai
ancaman
terhadap
pemanfaatan sumberdaya air. Atas dasar itulah, mereka beranggapan bahwa agenda privatisasi dan komersialisasi air dalam undang-undang
ini sangat kuat.
Hal ini dinyatakan dalam pasal-pasal yang
memberikan peluang pengelolaan air minum dan penguasaan sumbersumber air kepada swasta, tidak dibatasi nasional maupun asing. Dengan demikian privatisasi tidak sebatas penyerahan penyediaan air minum, namun juga pengelolaan air untuk berbagai kepentingan, khususnya irigasi pertanian, energi dan industri. Sebuah undang-undang, yang mengatur pengelolaan air lebih terpadu, memperhatikan fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang
adil
atas
konflik
pemanfaatan
air,
memang
sangat
dibutuhkan.
Pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh mencakup semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik kepentingan antarsektor dan antarwilayah administrasi Di mata penentang undang-undang ini, undang-undang sumberdaya air dianggap lebih didominasi kepentingan ekonomis. Undang-undang ini memberi ruang yang luas bagi swasta untuk menguasai sumber-sumber air (air tanah, segala bentuk air permukaan, dan sebagian badan sungai). Instrumen Hak Guna dalam pasal 7,8,9,dan 10 menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumbersumber air kepada swasta (individu dan badan usaha Hak Guna Usaha Air ini bagaikan pengkaplingan sumber air oleh pemodal layaknya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sektor kehutanan.
Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah
(kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak guna usaha air.
Jumlah alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus dipenuhi sebagaimana yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan air pada sumber air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti dibandingkan dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Ada kekhawatiran bahwa dengan instrumen Hak Guna Pakai air, undang-undang ini juga membatasi bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat. Di luar batasan kriteria penggunaan sehari-hari dan pertanian rakyat yang akan ditentukan Pemerintah, akan dikategorikan sebagai kepentingan komersial.
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1)
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pertanian rakyat adalah budi daya pertanian yang meliputi berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan
yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga. Dalam pasal 8 ini, definisi pertanian rakyat tidak melebih 2 hektar per petani. Batasan penggunaan air bagi keperluan sehari-hari akan ditetapkan kemudian oleh Peraturan Pemerintah.
Oleh karena itu maka penggunaan air diluar batasan tersebut akan diwajibkan mendapatkan izin dan tentunya dikenakan biaya. Begitu banyak aktivitas non-komersial yang selama ini secara bebas dilakukan oleh masyarakat akan terhambat dengan adanya batasan tersebut. Dengan adanya batasan penggunaan air oleh masyarakat, maka
alokasi
air
bagi
kepentingan
komersial
semakin
besar.
Pengaturan ini justru membuat air mengalir lebih besar kepada kepentingan komersial dan yang mampu dari sisi ekonomi. Pengaturan ini merupakan penjabaran dari prinsip komersialisasi air Bank Dunia dan ADB yang memiliki prinsip “Water must be utilized by those who render the most economic advantage“ atau “air seharusnya digunakan oleh mereka yang memberikan keuntungan ekonomis lebih besar “ (ADB, 2001).
Hak Guna Usaha menjadi instrumen baru yang menentukan hak pengusahaan atas sumber-sumber air yang ada. Dengan sifat tersebut, instrumen Hak Guna Usaha merekonstruksi penguasaan sumbersumber
air,
termasuk
sumber
air
yang
telah
diusahakan
bagi
kepentingan bersama masyarakat.
Dengan pengaturan izin Hak Guna Usaha, swasta memiliki peluang
untuk
menguasai
sumber-sumber
air
milik
bersama
masyarakat. Proses formalitas perizinan merupakan hambatan bagi masyarakat untuk menggunakan dan mengusahakan sumber-sumber air
yang
menjadi milik
bersama.
Sumber-sumber air
bersama
masyarakat lokal dan kelompok masyarakat adat dapat dialihkan dan dikuasakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada swasta yang tentunya mampu menempuh proses formalitas perizinan.
Dengan keterbatasan masyarakat setempat menempuh proses formalitas tersebut, sumber-sumber air yang menjadi milik bersama masyarakat dapat dialihkan menjadi hak swasta (individu atau badan usaha)
dengan
pemberian
Hak
Guna
Usaha.
Formalitas
lebih
menentukan hak kepemilikan di mata hukum dan birokasi sebagaimana yang selama ini berlangsung.
Ini merupakan diskriminasi formalitas
perizinan dan menciptakan monopoli penguasaan sumber-sumber air oleh swasta dan kelompok yang mampu memperoleh izin Hak Guna Air. Dengan sumber air tersebut, swasta mengelola dan mendistribusikannya untuk berbagai kepentingan dan memungut biaya. Dengan demikian sumber-sumber air digunakan untuk kepentingan komersial.
Dilihat dari sisi ini, Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air cenderung membatasi peran Negara hanya sebagai pembuat dan pengawas regulasi (regulator). Negara sebatas sebagai regulator dan swasta sebagai penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas
regulator
akan
kehilangan
kontrol
atas
setiap
tahapan
pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air.
Negara tidak dapat
menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan utama.
1.
Managemen Sumber Daya Air dengan Sistem Hak atau Sistem Perizinan.
Jikalau Hak Guna Air dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2004 dibedakan antara Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air, maka Hak Guna Pakai Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi, oleh Pasal 8 ayat (1) ditentukan tidak memerlukan izin. Tetapi jikalau penggunaannya mengubah kondisi alami sumber air, keperluan kelompok dalam jumlah besar dan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada, memerlukan izin. Di lain pihak, Pasal 9 menentukan bahwa Hak Guna Usaha Air diberikan kepada perorangan atau badan usaha dengan izin, maka tafsiran yang terjadi atas Pasal 9 tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, telah menunjukkan bahwa hak guna usaha yang diberikan dapat berupa
pengusahaan
air
minum
kepada
swasta.
Hal
ini
menimbulkan pertanyaan apakah penjabaran demikian konsisten dengan UUD 1945. Meskipun tidak dapat dinafikan adanya aspek ekonomi dari air, yang harus diperlakukan secara efisien dan tepat guna, akan tetapi fungsi ekonomis air yang demikian tidak boleh menjadi komoditas yang menguntungkan hanya segelintir orang, karena air adalah hak milik rakyat, yang seharusnya dipergunakan untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidupnya, sebagai yang utama dan terutama. Oleh karenanya pengaturan hak asasi rakyat atas akses terhadap air tidak boleh disejajarkan dengan hak guna usaha, yang boleh diberikan kepada perseorangan, badan usaha swasta dan koperasi, karena sifat satu hak guna usaha, sebagai suatu konsep hak yang berada dibawah hak milik yang dikenal dalam konteks hukum perdata barat, yang juga diambilalih dalam konsepsi hak yang diatur dalam hukum pertanahan Indonesia, maka hak guna usaha demikian akan
memiliki sifat eksklusif terhadap orang lain, eksklusivitas mana dapat dipertahankan terhadap siapapun. Meskipun dapat diberi argumen bahwa hak guna usaha dimaksud dalam Undangundang a quo, berbeda dengan hak guna usaha dalam hukum agraria, yaitu tidak bersifat teritorial melainkan bersifat volume, maka hak yang bersifat eksklusif demikian tetap mempunyai keunggulan yang dapat mengesampingkan hak asasi warga atas akses terhadap air, karena akses pemegang Hak Guna Usaha Air atas sumber daya air dalam lokasi tertentu yang diberikan padanya, tidak akan terbuka bagi setiap orang untuk melakukan kontrol yang efektif.
Manusia memiliki hak atas sesuatu melalui dua cara, yaitu: (a) Atas dasar hakikatnya; dan (b) atas dasar kegunaanya. Yang pertama
adalah
hak
yang
dimiliki
manusia
di
luar
kewenangannya. Manusia memiliki hak ini atas dasar “perintah ilahi”. Yang kedua adalah hak yang dimiliki atas dasar akal budi dan kehendak, dalam arti bahwa manusia memiliki hak atas sesuatu karena ia mampu menggunakannya. Masyarakat (dalam hal ini negara) sebagai sumber hak positif menetapkan pembagian atas barang-barang dan jasa bagi warganya, dan ini hanya akan sah jika didasarkan atas “hak kodrat”, yaitu hak yang lebih dasar yang dimiliki oleh semua manusia”. (E. Sumaryono, Etika Hukum, 2002, hal. 260). Oleh karenanya tidak tepat untuk mengatur akses atas sumber daya air dalam dua hak yang setara yaitu Hak Guna Pakai Air yang sifatnya asasi dan Hak Guna Usaha Air, yang bersumber dari hukum positif berdasar kedaulatan negara, yang pada dasarnya memberi kemungkinan Hak Guna Usaha Air menjadi diutamakan dari Hak Guna Pakai Air yang bersifat asasi, meskipun dinyatakan bahwa pengaturan yang dilakukan bukan dimaksudkan demikian. Menjadi satu pertanyaan besar, mengapa
dalam Undang-undang yang menyangkut sumber daya alam lainnya yaitu tentang minyak dan gas bumi, yang justru aspek ekonomis minyak dan gas bumi tersebut jauh lebih menonjol setidaknya untuk masa sekarang dan manusia masih dapat hidup dengan layak tanpa minyak dan gas bumi, justru pengusahaan dan pemanfaatan aspek ekonomisnya sebagai komoditas tidak diatur dengan memberi hak guna usaha minyak.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air, di satu sisi sebagai komoditas ekonomi, dan di sisi lain sebagai barang yang menjadi kebutuhan dasar dan asasi manusia, tanpa mana manusia tidak bisa hidup, memerlukan pengaturan yang harus mempertimbangkan dan mendorong kewajiban Negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhinya. Meskipun akan selalu dipersoalkan kondisi saat ini yang tidak memungkinkan Negara untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi kebutuhan asasi manusia akan air tersebut sehingga memerlukan mobilisasi dana dan daya,
maka tidak tertutup kemungkinan
untuk
melakukan pengaturan hal demikian melalui sistem perizinan (vergunning). Teknik pengaturan demikian akan menghasilkan satu posisi Negara sebagai pemberi izin, yang memiliki kedudukan berdaulat yang akan menempatkan negara dalam kedudukan yang lebih baik dalam rangka kewajibannya untuk “menghormati, melindungi, dan memenuhi” hak asasi rakyat atas akses terhadap air secara lebih baik dan lebih efektif, karena setiap pelanggaran izin yang diberikan akan dengan sendirinya memberi wewenang untuk mencabut izin, dengan antisipasi dampaknya secara dini dan dengan akibat hukum yang telah dapat diperkirakan. Hal demikian akan menjadi lain jika negara memberi hak guna usaha, yang
akan
mempersulit
prosedur
pencabutan
dalam
hal
diperlukan perlindungan dan pemenuhan hak asasi warga negara
pada saat dibutuhkan. Kedudukan negara akan menjadi lebih sulit untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi warga atas akses terhadap sumber daya air, karena Hak Guna Usaha Air yang telah diberikan juga berhak atas perlindungan hukum yang sama dari negara, meskipun tetap diakui bahwa hak milik
sekalipun,
dapat
dicabut
untuk
kepentingan
umum
(onteigening).
2.
Peluang Privatisasi dalam Undang-undang Sumber Daya Air.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, meskipun dikatakan tidak mengatur tentang privatisasi, akan tetapi membuka secara lebar peluang tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (4), yang kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9, dan Pasal 64 Peraturan
Pemerintah
Nomor
16
Tahun
2005.
Meskipun
dikatakan hanya menyangkut Sistem Pengembangan Air Minum (SPAM)
pada
daerah,
terjangkau Pelayanan
wilayah,
atau
kawasan
yang
belum
BUMD/BUMN, akan tetapi Hak Guna
Usaha Air yang dapat diberikan pada swasta dan perorangan, adalah merupakan peluang bagi privatisasi dimaksud.
Walaupun Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa Hak Guna Air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya, akan tetapi dengan bentuk kapitalisasi usaha melalui saham di bursa, mobilisasi kapital demikian menjadi terbuka luas, meskipun tanpa memindahtangankan hak guna usaha yang diperoleh satu badan hukum. Oleh karenanya pintu atau peluang demikian tidak dapat dikesampingkan hanya karena secara ekplisit tidak menyebut privatisasi. Usaha swasta yang mengelola air
(minum)
akan
selalu
profit-oriented,
karena
merupakan
karakteristik yang tidak dapat dilepaskan bahwa sebagai bentuk usaha harus mengusahakan keuntungan yang optimum untuk para pemegang saham. Pelayanan atau public service bukan merupakan orientasinya bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan watak dasarnya, sehingga tidak dapat diharapkan bahwa badan usaha swasta akan mengabdikan dirinya bagi pelayanan publik yang bersifat sosial. Pengalaman empiris dan penelitianpenelitian sebagaimana telah diutarakan para saksi dan ahli dipersidangan telah ternyata bahwa pengelolaan air minum oleh swasta tidak meningkatkan kualitas air minum, dan harga tidak semakin
rendah
melainkan
semakain
mahal.
Alasan
yang
dikemukakan bahwa Pemerintah tidak mempunyai modal dan kemampuan untuk mengelola air minum, adalah satu alasan yang tidak tepat untuk menyerahkan pengelolalan pada swasta, karena swasta juga tidak memiliki modal sendiri dalam pengelolaan tersebut melainkan memanfaatkan sumber modal dari perbankan, dan badan usaha negara dapat pula menggunakan tenaga ahli dengan kontrak manajemen. Seharusnya jika public utilities seperti air
yang
menjadi
kewajiban
Pemerintah
untuk
melindungi,
menjamin, dan memenuhi kebutuhan bagi warganya sebagai bagian dari hak asasi, maka perintah Pasal 28A dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan sebagai satu pilihan yang akan menjadi batu ujian dalam melihat konstitusionalitas UU
SDA
tersebut,
yang
justru
merupakan
kewajiban
konstitusional negara, karena Republik Indonesia memilih sebagai satu negara kesejahteraan (welfare state).
3.
Analisis Hukum UU No. 7 tahun 2004 ttg Sumber Daya Air
a.
Pasal 6 ayat (3) yang berbunyi “Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tetap diakui sepanjang masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. Penjelasan: bahwa pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat
dengan
peraturan
daerah
(Perda)
inkonstitusional,
karena menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dengan ukuran “sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ”. Padahal, hingga saat ini belum ada satu pun Undang-undang yang di dalamnya memuat penjabaran ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut. Tanpa ukuran-ukuran seragam yang bersifat nasional, justru akan melahirkan Perda yang beragam
dan
bisa
menggoyahkan
sendi-sendi
Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air” dan pasal-pasal berikutnya, seperti Pasal 8 dan Pasal 9. Penjelasan: bahwa penggunaan istilah “Hak Guna Air” yang diturunkan dari “hak menguasai negara atas air” dan kemudian dijabarkan menjadi “Hak Guna Pakai Air” dan “Hak Guna Usaha Air” selain secara paradigmatik tidak tepat, karena lebih bernuansa “water right” dari pada “the right to water”, juga dapat mengundang salah tafsir (misinterpretasi) seolah-olah air tidak lagi dikuasai oleh negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, istilah Hak Guna Air, Hak Guna Pakai Air, dan Hak Guna Usaha Air, sebaiknya diganti saja dengan istilah-istilah: izin penggunaan air, izin pemakaian air, dan izin pengusahaan air yang terasa lebih kental peranan negara di dalamnya.
c.
Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “Hak Guna Usaha Air dapat diberikan kepada perseorangan dan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya”. Penjelasan:
bahwa
ketentuan
tersebut
merupakan
kebijakan
terselubung kebijakan privatisasi sumber daya air yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Seharusnya Hak Guna Usaha Air atau lebih tepat izin pengusahaan air seyogyanya hanya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
d.
Pasal
11
ayat
(3)
yang
bunyinya
“Penyusunan
pola
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya”. Penjelasan: secara mutatis mutandis sama dengan alasan pengabulan permohonan atas Pasal 9 ayat (1), kecuali badan usaha yang dimaksud adalah BUMN dan BUMD. e.
Pasal 26 ayat (7) yang berbunyi “Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan
keadilan
dengan
memperhatikan
prinsip
pemanfaat air membayar jasa pengelolaan sumber daya air dan
dengan
melibatkan
peran
masyarakat”.
Penjelasannya berbunyi “Yang dimaksud dengan prinsip pemanfaat membayar biaya jasa pengelolaan adalah penerima manfaat ikut menanggung biaya pengelolaan sumber daya air baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan ini tidak diberlakukan kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan
pokok
sehari-hari
dan
pertanian
rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”. Dalam Penjelasan Pasal 80 ayat (1), ketentuan tidak dikenai biaya hanya jika
pengguna sumber daya air mengambil air bukan dari saluran distribusi. Alasan pengabulannya adalah bahwa dengan diberikannya Hak Guna Usaha Air kepada swasta akan berakibat penguasaan air melalui saluran distribusi semakin luas/besar
dan
berakibat
berkurangnya
sumber
air
nondistribusi, sehingga mayoritas masyarakat pengguna air terpaksa harus membayar air untuk keperluan sehari-hari dan pertanian rakyat.
f.
Pasal 29 ayat (3) yang berbunyi “Penyediaan air untuk kebutuhan sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama
penyediaan
sumber
daya
air
di
atas
semua
kebutuhan”. Penjelasan: bahwa ketentuan tersebut telah mendiskriminasi pemakai air untuk pertanian rakyat yang berada dalam sistem
irigasi
yang
sudah
ada
dengan
yang
tidak,
bertentangan dengan pasal-pasal HAM dalam UUD 1945, cukup beralasan. Sebab ada kemungkinan pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada justru lebih besar daripada yang sudah berada dalam sistem irigasi yang sudah ada. Seharusnya Negara memberikan perlakuan yang sama untuk penyediaan air bagi semua pertanian rakyat.
g.
Pasal
38
ayat
perseorangan
(2)
dapat
yang
berbunyi
melaksanakan
dengan teknologi modifikasi cuaca
“Badan
usaha
pemanfaatan
dan awan
setelah memperolah izin
dari Pemerintah”. Penjelasan:
bahwa
seharusnya
modifikasi
cuaca
untuk
pembuatan hujan buatan dilakukan oleh negara/Pemerintah, bukan oleh badan usaha swasta atau perseorangan, dan
harus
setelah
mendalam,
melalui
serta
penelitian
dan
mengembangkan
percobaan
kemampuan
yang untuk
menangkal efek negatifnya bagi hidup dan lingkungan hidup manusia. Ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, karena pembuatan hujan buatan dengan teknologi modifikasi cuaca kalau tidak hati-hati justru akan membahayakan
hidup
dan
lingkungan
hidup
manusia,
terlebih lagi praktik selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan, dan jika izin diberikan kepada perseorangan dan badan usaha swasta akan menimbulkan konflik di masyarakat.
h.
Pasal 39 yang intinya berisi ketentuan bahwa pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat harus memperhatikan lingkungan hidup, dapat dilakukan kegiatan usaha oleh badan usaha dan perseorangan setelah mendapat izin dari Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah. Terhadap pasal ini dapat dikemukakan catatan bahwa meskipun perizinan memang diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup,
tetapi
Pemerintah
harus
tetap
memberikan
perlindungan kepada para petani garam rakyat tradisional dalam prioritas perizinan.
i.
Pasal 40 ayat (4) yang berbunyi “Koperasi, badan usaha, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan system penyediaan air minum”. Penjelasannya berbunyi
“Dalam
hal
di
suatu
wilayah
tidak
terdapat
penyelenggaraan air minum yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah,
penyelenggaraan air minum di wilayah tersebut dilakukan oleh koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat”. Penjelasan: bahwa ketentuan Pasal 40 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena telah memperluas komersialisasi dan privatisisasi sumber daya air, khususnya dalam sistem penyediaan air minum dengan memberikan peranan kepada swasta. Hal itu terbukti dengan keluarnya PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang dalam Pasal 1 butir 9 menyatakan bahwa “Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Padahal dalam Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan bahwa pengembangan SPAM adalah tanggung jawab Pemerintah/Pemerintah Daerah, sehingga Pasal 40 ayat (3) UU SDA menyatakan bahwa penyelenggara SPAM adalah BUMN dan/atau BUMD. Peran serta koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat dalam pengembangan SPAM bukanlah untuk menggantikan tanggung jawab Pemerintah/Pemerintah Daerah melalui BUMN/BUMD seperti bunyi Penjelasan Pasal 40 ayat (4). Dengan
demikian,
Pasal
40
ayat
(4)
memang
merupakan
swastanisasi terselubung seperti terlihat dalam PP No. 16 Tahun 2005 yang merupakan implementasi Pasal 40 UU SDA.
10. Pasal 41 ayat (5) yang intinya berkaitan dengan penyediaan air untuk kebutuhan air baku untuk pertanian yang dapat mengikut sertakan masyarakat, Penjelasan pasal tersebut memperkuat indikasi pemberian peranan swasta mengelola sistem irigasi di Indonesia. Demikian pula ketentuan Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 46 UU SDA yang intinya memberi
kemungkinan
pemberian
izin
kepada
swasta/perseorangan melakukan usaha sumber daya air permukaan.
4.
Konstitusionalitas Pasal 98 Aturan Peralihan UU Nomor 7 Tahun 2004.
Pasal 98 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menentukan bahwa ”Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir”. Ketentuan ini telah melegalisasi segala izin-izin yang dikeluarkan sebelum UU Nomor 7 Tahun 2004, tanpa memperhitungkan apakah izin yang dikeluarkan tersebut bertentangan dengan Undang-undang yang baru ini, sehingga pasal peralihan ini disusun tanpa perintah untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan baru, yang sangat merugikan dan dipandang inkonstitusional, apalagi jika izin yang telah diterbitkan berlangsung untuk 25 (dua puluh lima tahun).
Meskipun ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan mulai berlaku Tanggal 1 November 2004 yang secara formal tidak mengikat terhadap UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang diundangkan Tanggal 18 Maret 2004, akan tetapi praktik pembentukan perundang-undang an telah menerima sebagai hukum, bahwa pada saat suatu peraturan perundang-undang an dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah
Peraturan
Perundang-undang
an
yang
baru
itu
dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang-undang an yang baru. Ketentuan peralihan dalam Pasal 98 Undang-undang a quo yang tidak mengatur penyesuaian terhadap ketentuan dalam Undang-undang baru, dapat menjadi justifikasi
terhadap
berlakunya
UU
izin-izin
Nomor
7
yang Tahun
telah 2004,
diberikan meskipun
sebelum sangat
bertentangan dengan paradigma baru tentang air sebagai HAM, yang
merupakan
kewajiban
negara
untuk
menghormati,
melindungi, dan melakukan pemenuhan terhadapnya. Untuk memenuhi kewajiban dimaksud Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945
mensyaratkan penguasaan negara atas sumber daya air tanpa menunggu izin tersebut harus habis terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada logika berfikir bahwa jika hak untuk hidup, dimana air merupakan syarat yang tidak dapat ditunda dan tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun, maka Pasal 98 Undangundang a quo tanpa mengatur penyesuaian dengan Undangundang yang baru jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal-pasal yang secara eksplisit dikemukakan di atas sebagai
aturan
yang
dipandang
inkonstitusional,
adalah
merupakan aturan/ketentuan yang merupakan paradigma yang menjadi jiwa atau dasar dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang air tersebut, yang jika dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka sudah seharusnyalah UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini harus dinyatakan tidak berlaku dan harus ditinjau kembali.
F.
UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
Dengan ditetapkannya Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan menggantikan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 diharapkan sektor perikanan memiliki landasan hukum yang lebih baik.
Hal ini dikarenakan,
Undang-undang No. 9 Tahun 1985 yang dikeluarkan ketika orde baru berkuasa yang dicirikan oleh sentralistis, dimana memasung kreatifitas masyarakat lokal dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Mahmud MD menyebutkan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan berpengaruh secara signifikan terhadap suatu produk hukum yang dilahirkannya yakni terdapat dua konfigurasi politik yang mempengaruhi produk hukum, yaitu konfigurasi politik ketika berlangsungnya pemerintahan yang demokratis dan pemerintahan yang otoriter.
Disebutkan bahwa, dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka diharapkan produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik.
Sedangkan, di negara yang konfigurasi politiknya
otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks, elitis atau konservatif.
Dengan demikian, dari revisi Undang-undang Perikanan
tersebut, diharapkan isinya lebih menciptakan kepastian hukum dan menghormati hak-hak masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Hal
ini dikarenakan, sebagai revisi, maka Undang-undang Perikanan yang baru memuat isu-isu atau permasalahan yang berkembang dan yang akan datang.
Meskipun kehadiran Undang-undang No. 31 Tahun 2004 belum memuaskan dan perlu disempurnakan, namun kehadiran Undangundang Perikanan yang baru ini diharapkan paling tidak dapat mengakomodir sebagian perkembangan permasalahan yang terjadi di dunia perikanan dan kelautan.
UU No. 31 Tahun 2004 merupakan
koreksi terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1985 yang dianggap tidak cocok lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baru, yaitu
globalisasi dan otonomi daerah.
Apalagi permasalahan kompleksitas
perikanan dan kelautan hanya diatur oleh 11 bab dan 34 pasal pada Undang-undang No. 5 Tahun 1985. Namun, kekurangan inilah yang kemudian dilengkap dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 yang memuat 17 bab dan 110 pasal, serta penunjukan pengaturan atau peraturan pelaksana, seperti: (1) Peraturan Pemerintah sebanyak 15 buah,
(2)
Keputusan
Presiden
sebanyak
dua
buah,
(3)
Peraturan/Keputusan Menteri sebanyak enam buah, dan (1) Keputusan ketua Mahkamah Agung sebanyak satu buah. Dengan demikian, perkembangan ini mulai melengkapi kekurangan pada Undanng-undang Perikanan sebelumnya.
Adapun beberapa aspek-aspek atau materi penting diantara yaitu: Pertama,
pengaturan
pengelolaan
perikanan
di
luar
wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia (laut lepas). Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan atau standar internasional”. Sebelumnya, pengelolaan perikanan di luar laut wilayah Indonesia tidak dimasukkan, sehingga ini akan menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak
mempunyai
kepedulian
dalam
menciptakan
kelestarian
sumberdaya di laut lepas.
Padahal, United Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) secara jelas dalam Pasal 116-120 menyebutkan bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau bekerjasama dengan negara lain dalam mewujudkan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati di laut lepas (conservation and management of the living resources of the high seas). Dengan demikian, dimasukannya poin
pengelolaan di luar laut wilayah Indonesia akan menciptakan imej baik di mata dunia bahwa Indonesia juga mempunyai kepedulian terhadap kelestarian sumberdaya di laut lepas.
Kedua, pengakuan terhadap hukum adat dan/atau kearifan lokal serta
memperhatikan
peran
serta
masyarakat.
Dengan
adanya
pengakuan negara terhadap rakyatnya itulah yang menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan secara sustainable, karena masyarakat merasa memiliki. Lain halnya dengan pengelolaan di era sebelumnya yang sentralistis, top-down dan anti pluaralisme hukum yang mempunyai andil besar dalam menghancurnya sumberdaya perikanan dan kelautan. Oleh
karena
itu,
adanya
pengakuan
pemerintah
terhadap
keberadaan hukum adat/kearifan lokal (Pasal ...) serta melibatkan masyarakat (Pasal 67) dalam sistem pengelolaan perikanan diharapkan dapat menciptakan sustainable fisheries. Hal ini dikarenakan, konsepkonsep pengelolaan Community Based Management (CBM) dan CoManagement terbukti lebih baik bila dibandingkan dengan sistem yang bersifat top-down di era yang sentralistis. Mengingat, akses dan pengontrolan oleh masyarakat ke pemerintah selaku pembuat kebijakan (policy maker) dan terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri lebih cepat dan dekat Kearifan-kearifan lokal yang masih berlangsung dan mempunyai kekuatan hukum yang ada di daerah pesisir Indonesia, diantaranya yaitu: Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan Bentenan (Sulawesi Tenggara) dan Desa Endokisi (Papua) (Wahyono, et.al., 2000).
Ketiga, kerjasama internasional dan peran serta Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa: ”untuk kepentingan kerjasama internasional, pemerintah: (a) dapat mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan; (b) bekerjasama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan serta menyamapaikan buktibukti ilmiah terkait kepada negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan”. Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (2) menyebutkan: ”pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regiona ldan internasional”. Dengan dituangkan ketentuan diatas, maka undang-undang mengamanatkan Pemerintah Indonesia untuk ikut berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya perikanan regional dan internasional, sehingga diharapkan kita tidak ”dicap” lagi oleh dunia sebagai ”penunggang bebas" (free rider) dalam wilayah yang telah diatur oleh komisi-komisi internasional
atau
Regional
Fisheries
Management
Organizations
instrumen
internasional
dan
(RFMOs). Meskipun
keberadaan
RFMOs
beserta aturan-aturannya hanya bersifat “soft law”, akan tetapi sebagai negara yang baik, Indonesia harus ikut berperan dalam organisasi tersebut atau paling tidak mendukung program kerjanya dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya perikanan secara global (lintas negara). Ironisnya, hingga saat ini Indonesia belum mendaftarkan diri sebagai anggota ketiga RFMOs tersebut. Keempat, sistem informasi dan data statistik perikanan. Pada bagian ini juga, nampaknya ada kemajuan besar Pemerintah Indonesia untuk mau membenahi data perikanan Indonesia yang sangat ”lemah”.
Padahal akuntabilitas dan akuratibilitas data sangat diperlukan dalam membuat suatu kebijakan. Misalnya, khusus untuk kegiatan perikanan tangkap yang berkaitan dengan jumlah tangkapan sumberdaya ikan yang diperbolehkan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Apabila
data
kita
lemah,
maka
dapat
mengancam
perdagangan
perikanan Indonesia di kancah internasional. International Plan of Action - Illegal Unreported Unregulated (IPOA-IUU) misalnya, mengatur praktikpraktik perikanan yang unreported seperti kesalahan data laporan, data laporan di bawah yang sebenarnya (under-reported), dan yang tidak dilaporkan. Oleh karena itu, tugas pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pembenahan data-data, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 61 UNCLOS 1982, yaitu penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif yang dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific efidence). Tidak hanya UNCLOS 1982 yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, tetapi juga Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995, dan International Plan of ActionIllegal Unreported Unregulated Fishing 1999. Kelima, pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayaan-ikan kecil.
Kompleksitas permasalahan yang menyebabkan kemiskinan
nelayan, salah satunya disebabkan oleh permasalahan akses ke dunia perbankan.
Oleh
karena
itu,
dimasukannya
poin-poin
tentang
pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayaan-ikan kecil dalam Bab X Undang-undang No. 31 tahun 2004 diharapkan menjadi alat legitimasi.
Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang
mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudidaya ikan kecil. Keenam, peradilan perikanan.
Ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 71 yang mengatur peradilan perikanan diharapkan memecahkan permasalahan hukum di bidang perikanan yang selama ini kerap terjadi,
seperti lamanya penanganan atau putusan terhadap para pelanggar, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum di sektor kelautan dan perikanan. Namun demikian, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan ini masih
perlu
disempurnakan
mengingat
beberapa
keluhan
dari
stakeholders perikanan.
BAB III ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DALAM BEBERAPA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A.
KEBIJAKAN LEGISLASI BIDANG SUMBER DAYA ALAM DALAM PROGRAM LEGISLASI NASIONAL 2005-2009 Tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan, yakni
perubahan ke arah yang lebih baik. Sedangkan peranan hukum dalam pembangunan tersebut adalah untuk menjamin bahwa rangkaian proses perubahan yang berlangsung dalam kaitan pembangunan itu terjadi dengan cara yang teratur1. Ketertiban dan keteraturan proses pembangunan tersebut hanya akan terwujud apabila didukung oleh adanya aturan-aturan hukum yang responsif terhadap upaya pembangunan. Hukum yang demikian dapat menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara berbagai kepentingan dalam masyarakat.2
Salah
satu
faktor
yang
menyebabkan
belum
optimalnya
pemanfaatan sumberdaya alam nasional Indonesia, adalah antara lain, dari aspek peraturan perundang-undangan. 1 2
Ibid. Sunaryati Hartono, Politik Bandung, 1991, hal. 30.
Selain banyak peraturan
Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
yang bertentangan antara satu peraturan dengan yang lain, juga karena materi
muatannya
tidak
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
tata
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Oleh
karena
itu,
perencanaan
pembentukan
peraturan
perundang-undangan menjadi satu hal yang penting. Terutama karena di
dalam
fase
perencanaan
ini
ditetapkan
prioritas
peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Instrumen
perencanaan
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan atau yang lebih dikenal dengan Program Legislasi Nasional selama jangka menengah (lima tahunan) 2005 – 2009 telah menetapkan sebanyak 284 RUU untuk digarap bersama Pemerintah dan DPR.
Dari
jumlah tersebut terdapat tidak kurang dari 37 RUU yang substansinya mengatur atau terkait dengan pengaturan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, yaitu: 1.
RUU tentang Mineral dan Batubara
2.
RUU tentang Energi
3.
RUU tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
4.
RUU tentang Hak Milik Atas Tanah
5.
RUU tentang Pengambilalihan Lahan Untuk Kepentingan Umum
6.
RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
7.
RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat
8.
RUU
tentang
Pemanfaatan
Perairan
Indonesia
dan
Zona
Tambahan serta Penegakan Hukum di Perairan Indonesia dan Zona Tambahan
9.
RUU tentang Perubahan UU No. 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
10.
RUU tentang Pengadilan Perikanan
11.
RUU tentang Karantina Kesehatan
12.
RUU tentang Bagi Hasil Perikanan
13.
RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
14.
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
15.
RUU tentang Kelautan
16.
RUU tentang Pesisir
17.
RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Hutan Secara Ilegal (Illegal Logging)
18.
RUU tentang Lahan Subur Pertanian
19.
RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam
20.
RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetika
21.
RUU tentang Keanekaragamanan Hayati dan Pangan
22.
RUU tentang Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas
23.
RUU tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
24.
RUU tentang Geologi
25.
RUU tentang Konservasi Tanah dan Air
26.
RUU tentang Pengesahan Konvensi Stockholm Mengenai Persistent Organic Pollutant
27.
RUU tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources for Food and Agriculture
28.
RUU tentang Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
29.
RUU tentang Kebumian
30.
RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional
31.
RUU tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
32.
RUU tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
33.
RUU tentang Perubahan/Penggantian Atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
34.
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
35.
RUU tentang Perubahan UU yang menetapkan Perpu No.1 Tahun 2004
tentang
Penambangan
Terbuka
dalam
Kawasan
Konservasi/Kawasan Lindung 36.
RUU tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
37.
RUU tentang Perubahan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Dari RUU-RUU yang dijadwalkan untuk dibahas selama 5 (lima)
tahun tersebut, ada 6 (enam) RUU yang masuk prioritas tahun 2005, yaitu: 1.
RUU tentang Mineral dan Batubara;
2.
RUU tentang Energi;
3.
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
4.
RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir;
5.
RUU Perubahan atas UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
6.
RUU tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
Akan tetapi sampai bulan Desember 2005 belum satu pun dari keenam RUU tersebut berhasil diselesaikan pembahasannya, dan rencananya akan menjadi program carry-over untuk dibahas pada tahun 2006.
B.
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA Dalam Tahun 2004 Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah
menyelesaikan satu "konsep" Rancangan Undang-Undang tentang Sumberdaya Agraria, yang kemudian di dalam Prolegnas 2005-2009 disebut RUU tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kehadiran rancangan ini adalah sebagai tindak lanjut dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pasal 6 ketetapan ini menyatakan
menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera, mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya, alam serta, mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua.undang-undang atau peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan ini. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) butir (a) mengenai
arah
kebijakan-kebijakan
pembaruan
agraria
dalam
rangka
sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundangundangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana, dimaksud dalarn pasal 4 ketetapan ini.
Ketetapan ini membedakan antara "Pembaruan Agraria" dan "Pengelolaan Sumber Daya Alam", tetapi pembedaan ini diadakan mengenai arah kebijakan bukan pembedaan secara substansial. Dalam konsiderans huruf (a) disebutkan bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri.
Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan adil dan makmur.
Begitu pula dalam Pasal 4 huruf (f) berkenaan
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya
kesetaraan
alam
gender
dikatakan dalam
"mewujudkan
penguasaan,
keadilan
pemulihan,
termasuk
penggunaan,
pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam”.
Berdasarkan penegasan di atas, Tap MPR No.IX/MPR/2001 menghendaki adanya pengaturan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (UUPSDA) dan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA) bukan
Undang-Undang
tentang
Sumber
Daya
Agraria
(UUSDA)
sebagaimana yang dirancang oleh BPN tersebut di atas karena subtansi materi yang menyangkut sumber daya agraria adalah termasuk dalam UUPSDA.
Adanya UUPSDA di samping UUSDA menentukan ruang
lingkup dan kewenangan pengelolaannya. Dengan demikian cukup beralasan pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tidak perlu dicabut tetapi hanya diperbaharui dan dilengkapi saja, dan kelengkapannya adalah dalam pengaturan teknis mengenai pembaruan agraria yang mungkin hampir mirip dengan undang-undang landreform dahulu.
Hal ini juga dapat dipahami dari ketentuan Pasal 2 Tap MPR No. IX/MPR/2001 yang menentukan pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemulihan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksanakan
dalam
rangka
tercapainya
kepastian
dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan ketentuan ini yang akan diatur adalah penataan kembali:
-
Penguasaan;
-
Pemulihan
-
Penggunaan; dan
-
Pemanfaatan sumber daya agraria.
Sedangkan pengaturan mengenai sumber daya agrarianya sendiri harus menjadi bagian dari UUPSDA.
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digariskan dalam Tap MPR No.IX/MPR/2001.
Karena itu kerangka sistematika RUU Sumber Daya Agraria ini perlu untuk dikaji ulang. Kerangka sistematika yang ada adalah sebagai berikut Bab I
Ketentuan umum (Pasal 1).
Bab Il
Tujuan dan Ruang Lingkup. 1. Tujuan (pasal 2). 2. Ruang lingkup (pasal 3).
Bab III
Hubungan Negara, Masyarakat dan Individu dengan Sumber Daya Agraria, (Pasal 4-7). Bab IV
Prinsip-Prinsip Pengaturan, Penguasaan, Pemulihan, Penggunaan, Pemanfaatan dan Pemeliharaan Sumber Daya Agraria (Pasal 8-7).
Bab V
Hak Tanah dan Ijin Pemanfaatan Sumber daya Agraria. 1.
Hak-hak Tanah (Pasal 18-19).
2.
Hak Milik dan Hak Pakai (Pasal 20-23).
3.
Ijin Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Pasal 2427).
Bab VI
Hak Utama untuk Memperoleh Sumber Daya 3 1). Bab VII
Agraria (Pasal 28-
Pendaftaran Tanah dan Pencatatan Ijin Pemanfaatan Sumber Daya Agraria. 1.
Umum (Pasal 32).
2.
Pendaftaran Tanah (Pasal 33).
3.
Pencatatan
Ijin
Pemanfaatan
Sumber
Daya
Agraria (Pasal 34). Bab VIII
Pengambilalihan Hak dan Ijin Serta Pengalihfungsian Sumberdaya Agraria. 1.
Pengambilalihan
Hak
Tanah
dan
Iiin
Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Pasal 35-38). 2.
Pengalihfungsian Sumber Daya Agraria (Pasal 39-41).
Bab IX
Sistem Inforinasi Sumberdaya Agraria (Pasal 42).
Bab X
Penyediaan Sumberdaya Agraria untuk keperluan Peribadatan, Sosial dan Konservasi. 1. Penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial (Pasal 43-44). 2. Penyediaan sumber daya untuk konservasi (Pasal 45). Bab XI
Penyelesaian sengketa sumberdaya agraria (Pasal 4647).
Bab XII
Pemetaan,
Pengendalian,
Penggunaan
dan
Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Pasal 48). Bab XIII
Sanksi (Pasal 49).
Bab. XIV
Ketentuan Pidana (Pasal 50).
Bab XV
Ketentuan Peralihan (Pasal 51-53).
Bab XVI
Ketentuan Penutup (Pasal 54-55).
Bila kita perhatikan kerangka sistematika ini tampak banyaknya peluang timbulnya konflik kewenangan mengingat tidak ada satu lembaga khusus yang menangani tentang sumber daya agraria dan/atau sumber daya alam. Apa yang diatur dalam rancangan sumberdaya agraria ? Dalam Pasal 1 angka (5) disebutkan bahwa sumber daya agraria adalah bumi,
air dan ruang udara, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
yang
terdapat
di
dalam
wilayah
Republik
Indonesia.
Perumusan ini agak berbeda dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang No.5 Tahun 1960 yang merumuskan: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional”. Yang berbeda prinsipal di sini adalah digantinya konsep tentang "ruang angkasa" menjadi "ruang udara" walaupun lingkup pengertiannya tidak berbeda.
Ketentuan berikutnya (Pasal 1 butir 6,7,8 dan 9) menjelaskan rincian dari ruang lingkup dari sumberdaya agraria : -
Bumi adalah permukaan bumi, tubuh bumi dan yang berada di bawah air dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (butir 6). Ketentuan ini sama dengan Pasal 1 ayat (4) UndangUndang No.5 Tahun 1960 yang menyatakan: "dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air".
-
Air adalah seluruh air yang terdapat dipermukaan dan di dalam bumi, termasuk laut dalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia (butir 7). Ketentuan ini berbeda, dengan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.5 tahun 1960 yang menyatakan dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
-
Ruang udara adalah ruang yang terdapat di atas bumi dan air dalam wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (butir 8), sekalipun berbeda secara terminologi, namun secara substansial
hampir
sama
dengan
pasal
1
ayat
(6)
yang
menyatakan bahwa ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat (4) dan (3) pasal ini.
-
Tanah adalah permukaan bumi yang berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas-batas tertentu termasuk lapisan ruang di atas dan di dalam tubuh bumi (butir 9). Ketentuan ini memberikan perluasan lingkup dari apa yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang menegaskan: "Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang di sebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum " Sebagai tindak lanjut dari pengertian tanah yang diperluas
tersebut di atas diberikan pula pengertian yang lebih luas mengenai hak atas tanah. Dikatakan bahwa hak atas tanah adalah kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah atau ruang di dalam yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (butir 13). Hal ini berbeda jauh dengan ketentuan Pasal 4 ayat (20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang menentukan hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undangundang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari Pasal 4 ayat (2) ditentukan pula adanya Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan selain hak-hak atas air dan ruang
angkasa.
Ketentuan ini yang disebutkan terakhir tidak kita jumpai
dalam rancangan undang-undang tentang sumberdaya agraria.
Dalam rancangan disebutkan sebagai hak yang tertingi adalah Hak Bangsa. Pasal 1 angka 1 merumuskan bahwa “hak bangsa adalah kewenangan
untuk
mempunyai
dan
mengatur
seluruh
bidang
sumberdaya agraria yang merupakan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa”. Konsep tentang Hak Bangsa lebih bersifat politis dari pada konsep yuridis.
Di bawah Hak Bangsa yang juga sering diidentikkan dengan “Hak Ulayat Nasional" ada Hak Negara yang disebut hak menguasai Negara. Dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria dirumuskan Hak Menguasai Negara adalah kewenangan tertentu yang bersumber dan Hak Bangsa yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan yang mewakili bangsa untuk mengatur sumber daya agraria sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini secara konstitusional telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kemudian diperluas dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada, tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
Sedangkan
dalarn
Rancangan
Undang-undang
Sumberdaya
Agraria Pasal 5 ayat (1) dirumuskan Negara sebagai organisasi kekuasaan
dari
bangsa
Indonesia
diberi
hak
untuk
menguasai
sumberdaya agraria dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Apa yang menjadi ruang lingkup dari Hak menguasai Negara? Dalam konstitusi tidak dijumpai bagaimana. rincian dan ruang lingkup dari hak menguasai Negara tersebut.
Untuk pertama kali rincian
penegasan ruang lingkup diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 2 ayat (2) Undang-undang tersebut menyatakan: “Hak menguasai dari Negara, termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan, memutuskan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara, orang-orang dengan bumi, air dengan ruang angkasa. c. Menentukan dengan mengatur hubungan-hubungan hukum antara, orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang menguasai bumi, air dengan ruang angkasa.” Dalam formulasi yang sedikit berbeda Rancangan Undang-undang Sumberdaya Agraria, PasaI 5 ayat (2) menyebutkan: “Hak menguasai Negara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi kewenangan untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemanfaatan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya agraria. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan sumber daya agraria. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara, orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai sumberdaya agraria.” Rumusan ini tidak begitu jauh berbeda dari rumusan yang ditetapkan pada tahun 1960.
Dalam perkembangan pengaturan
mengenai sumberdaya alam telah terjadi beberapa variasi pengaturan seperti yang dapat disebutkan di bawah ini : 1.
Undang-Undang
No.23
Lingkungan Hidup.
Tahun
1997
tentang
Pengelolaan
Dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa
sumberdaya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. Kemudian dalam ayat 92 disebutkan bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah : a.
mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup ;
b.
mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumberdaya alam, termasuk sumberdaya genetika. ;
c.
mengatur perbuatan hukurn dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek lainnya, serta perbuatan hukum terhadap
sumberdaya
alam
dan
sumberdaya
buatan,
termasuk sumberdaya genetika ; d.
mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial
e.
mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :
a.
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan ;
b.
menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan dan;
c.
mengatur menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan ;
3.
Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal
6
ayat
(1)
undang-undang
ini
menyebutkan
bahwa
sumberdaya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam undang-undang ini
tidak dimuat rincian apa yang dimaksud dengan hak menguasai negara atau sumberdaya air dimaksud. Hanya dalam penjelasan ayat
(2)
disebutkan
bahwa
yang
dimaksud
penguasaan
sumberdaya air adalah kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengaturan sumber daya air.
4.
Rancangan Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran menyatakan
rakyat. bahwa
Penjelasan penguasaan
pasal
oleh
ini
negara
antara.
lain
sebagaimana
dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut, dimafaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian baik perseorangan, masyarakat
maupun. pelaku uaha sekalipun memiliki hak atas tanah dipermukaan tanah tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki mineral atau batubara, yang terkandung di bawahnya.
Kemudian dalam ayat (2) disebutkan penguasaan mineral dan batubara oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah meliputi inventarisasi, penyelidikan dan penelitian, pengaturan, pemberian izin, pembinaan, dan pengawasan pengusahaan mineral dan batubara di wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Bagaimana, pelaksanaan Hak Menguasai Negara tersebut? Pasal 5 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Agraria menyatakan kewenangan yang bersumber dari Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud pada, ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Sedangkan
dalam
ayat
(4)
disebutkan
pelaksanaan
kewenangan sebagaimana, dimaksud pada, ayat (3) dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada masing-masing sumberdaya agraria dalam hubungan koordinasi baik antar instansi pemerintah maupun dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan ketentuan ini pelaksanaan
kewenangan menguasai sumberdaya agraria dilakukan oleh Pemerintah RI yang teknis pelaksanaannya dilakukan oleh instansi-instansi untuk bidang-bidang
tertentu:
Departemen
Kehutanan
untuk
hutan,
Departemen Pertambangan untuk tambang, Departemen Pekerjaan Umum untuk air, dan sebagainya serta Pemerintah Daerah di bawah koordinasi antar instansi dan pemerintah daerah yang dalam hal ini diperkirakan akan ada satu Menteri Koordinasi Sumberdaya Agraria.
Ketentuan ini agak berbeda dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan Hak Menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada
daerah-daerah
swatantra
dan
masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
Berdasarkan ketentuan ini maka daerah swatantra yang
sekarang disebut daerah otonom dan masyarakat hukum adat mendapat pemberian kewenangan dalam bentuk otonomi formal dan otonomi fungsional.
Penyerahan
kewenangan
kepada
masyarakat
hukum
adat
dilakukan dengan pengakuan keberadaan hak ulayat. Hak ini tampak dengan adanya Pasal 3 yang menyebutkan: dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Dalam
rancangan
undang-undang
Sumber
Daya
Agraria,
keberadaan hak ulayat juga diakui. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan hak
ulayat
adalah
kewenangan
masyarakat
hukum
adat
untuk
mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, peranan, tanaman serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan,
sepanjang
tidak
bertentangan
dengan
kepentingan
nasional. Dalam ketentuan ini hak ulayat dirumuskan sebagai sebuah kewenangan bukan suatu hak, ini adalah dalam rangka sinkronisasi dengan rumusan Hak Bangsa (angka 1) dan Hak Menguasai Negara (angka
2)
yang
juga
dirumuskan
sebagai
sebuah
kewenangan.
Sedangkan pengertian masyarakat hukum adat yang merupakan sebagai subyek pendukung hak ulayat dirumuskan dalam angka 3 yang menyatakan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang bersatu
berdasarkan
persamaan
asal
usul,
keturunan,
kediaman, kebudayaan, dan pranata yang masih berlangsung.
wilayah Disini
masih dipergunakan istilah masyarakat hukum adat sebagaimana yang
dikenal sejak zaman Belanda dengan sebutan "Adatrechtgemeenschap" bukan
istilah
"Masyarakat
Adat"
sebagaimana,
yang
banyak
dipopulerkan pada saat sekarang.
Pengaturan lebih rinci tentang hak ulayat masyarakat hukum adat ini diatur dalam Pasal 6 yang menyatakan "(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Hak ulayat masyarakat adat atas, tanah, peranan, tanaman dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencariannya, yang pada, kenyataannya masih berlangsung, diakui, dihormati dan dilindungi sesuai dengan dinamika perkernbangan masyarakat hukum adat, kepentingan nasional dan negara dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia serta pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengakuan hak ulayat yang masih berlangsung sebagairnana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan kriteria tertentu dan hasil penelitian yang melibatkan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, instansi terkait, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Kriteria masih berlangsungnya hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi unsur-unsur: a. masyarakat hukum adat. b. Wilayah tempat hak ulayat berlangsung. c. Hubungan, keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya. d. Adanya kewenangan untuk mengatur secara bersamasama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati masyarakatnya. Hak ulayat tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: sudah dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dengan suatu hak tanah atau ijin pemanfaatan sumberdaya agraria. Sudah diperoleh atau dimohon hak atau oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal di atas hak ulayat akan diberikan sesuatu hak tanah atau ijin pemanfaatan sumberdaya agraria kepada fihak ketiga, hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut harus dilepaskan terlebih dahulu."
Sekalipun masih banyak hal yang belum jelas dari ketentuan tersebut, namun harus diakui bahwa pengaturan tersebut jauh lebih rinci dari berbagai ketentuan yang pemah ada tentang ulayat.
Salah
satu undang-undang yang cukup baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, misalnya hanya mengatur tentang hal ulayat dalam satu pasal yaitu Pasal 6 ayat (2) dan (3).
Pasal 6 ayat (2) ditentukan bahwa penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang
tidak
bertentangan
dengan
peraturan.
Perundang-undangan.
kepentingan
Dalam
nasional
penjelasan
pasal
dan yang
bersangkutan (TLN No. 4377) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan
berbagai
sebutan
dari
masing-masing
daerah
yang
pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; penyampeto atau perwatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa; prabumian dan payar di Bali ; totabuan di Bolaang Mangondouw; torluk di Angkola; lumpo di Sulawesi Selatan; muru di Pulau Buru; paer di Lombok; dan panjaean di Tanah Batak.
Kemudian, dalam Pasal 6 ayat (3) disebutkan hak ulayat masyarakat hukum adat atau sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak-hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada, apabila memenuhi tiga unsur, yaitu: a.
unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
b.
Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari, dan
c.
Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Sebagai bandingan dan memberi pengaturan cukup rinci tentang hak ulayat dapat disebut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa keunikan
sebagaimana ditegaskan sebelumnya dalam Pasal 4 ayat (1) sudah ditentukan bahwa semua, hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Maka sebagai
konsekwensinya hutan negara itu juga meliputi hutan adat.
Karena itu
dalam pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Akan
tetapi dalam Pasal 4 ayat (3) ditegaskan pula bahwa penguasan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Arahan lain dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam pasal 5 yang menyatakan: “(1).
(2) (3)
(4)
Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a. hutan negara ; dan b. hutan hak. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (10 huruf a dapat berupa hutan adat. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada diakui keberadaannya. Apabila dalarn perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.”
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) (TLN No. 3888) mengungkapkan uraian tentang keberadaan hutan adat dan hutan-hutan lainnya yang dapat dikelola oleh masyarakat. Dikatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang serahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat
dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekwensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan Negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa.
Hutan
negara yang pernanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.
Hutan hak yang berada
pada tanah yang dibebani hak untuk lazim disebut hutan rakyat.
Selain itu ada pula Bab IX yang berjudul "Masyarakat Hukum Adat ".
Pasal 67 yang merupakan satu-satunya pasal dalam Bab
tersebut menegaskan : “(1)
(2)
(3)
Masyarakat Hukurn Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. melakukan pemenuhan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang ; dan c. Mendapatkan pernberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukurn adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah”
Penjelasan pasal ini (TLN No. 3888) memberikan beberapa arahan penting berkenaan dengan pelaksanaan hak masyarakat hukum adat di bidang kehutanan. Penjelasan Pasal 67 ayat 1 menyatakan, masyarakat hukum
adat
diakui
keberadaannya,
jika
menurut
kenyataannya
bentuk
paguyuban
memenuhi unsur antara lain: a.
masyarakatnya
masih
dalam
(rechtsgemeenschap); b.
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
c.
ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati ; dan
e.
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Penjelasan pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Sedangkan penjelasan Pasal 67 ayat (30 menyatakan Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: a.
tatacara penelitian.
b.
pihak-pihak yang diikutsertakan.
c.
materi penelitian ; dan
d.
kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
Sebagai tambahan dapat disebutkan satu undang-undang lagi sebagai bandingan yang substansi materinya agak mirip dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang ini menyatakan dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah,
dan
imbalannya.
Penjelasan
pasal
ini
(TLN
No.
4411)
menyebutkan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur : a.
masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap)
b.
ada kelembagaan dalarn bentuk perangkat penguasa adatnya
c.
ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati ; dan
e.
ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas tanah tidak selamanya diakui dengan Pemberian Hak atas Tanah.
Satu catatan tambahan lagi sehubungan dengan hak ulayat adalah penegasan dalam pasal 14 Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang
Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembagian
Untuk
Kepentingan Umum, yang menyatakan bahwa penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Jadi di sini tidak ada pemberian ganti kerugian sebagaimana halnya dengan pengambilan tanah-tanah hak lainnya.
Dikemukakannya berbagai aspek berkenaan dengan “sumberdaya agraria"
dan
dimaksudkan
sejumlah sebagai
peraturan
bandingan
perundang-undangan
betapa
beragamnya
adalah
pengaturan
terutama pada tatanan teknis seperti halnya tentang hak ulayat, sehingga diharapkan peraturan yang akan dibuat dapat mensinkronkan pengaturannya, bukan sebaliknya menambah keragaman yang dapat membingungkan
pelaksanaan
di
lapangan.
Selain
itu
adanya
pengaturan yang ada perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk tidak secara begitu saja dihapuskan oleh peraturan yang baru.
C.
ARAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai dasar
hukum untuk menampung kebutuhan masyarakat terhadap pemecahan masalah lingkungan dari segi yuridis sudah ada.
Hal ini tidak berarti
bahwa sarana hukum telah lengkap, baik dari segi preventif (yuridis administratif), maupun yang bersifat represif (aspek kepidanaan dan keperdataan). perkara
Pengadilan masih belum berperan dalam penyelesaian
(sengketa)
lingkungan,
sedangkan
pemahaman
terhadap
substansi Hukum Lingkungan juga belum memuaskan. Secara ringkas, dapat dikemukakan fakta empiris dan hukum yang melandasi perlunya dari perlunya dilakukan perubahan terhadap UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut: 1.
Fakta Empiris : a.
Kecenderungan
tingkat
pencemaran
dan
perusakan
LH
semakin meningkat baik, kualitas maupun kuantitas; b.
Faktor-faktor penyebab krisis pengelolaan lingkungan hidup: 1)
Bias Otonomi Daerah
2)
Lemahnya kerjasama antar-Daerah
3)
Mengabaikan
pendekatan
desentralisasi
fungsional
(ekosistem/bioregion) 4)
Lemahnya koordinasi antar-instansi pemerintah
5)
Kepadatan penduduk yang tinggi
6)
Kebijakan Pemerintah yang inkonsisten dan berubahubah
7)
lebih menonjolkan ‘selera’ pejabat yang didasarkan pada common sense pribadi
8)
Kurangnya
respon
terhadap
hasil
pengawasan
&
pengaduan masyarakat; 9)
Disharmoni antar rencana tata ruang;
10)
Perizinan yang tidak tertib
11)
Terjadinya konflik kepentingan
12)
Sektor
informal
yang
terus
termarjinalkan
tersisihkan 13)
Kurangya pemberdayaan masyarakat
atau
14)
Lemahnya kualitas SDM aparatur maupun masyakarat
15)
Maraknya KKN
16)
Lemahnya dukungan infrastruktur
17)
Kelembagaan yang tidak akomodatif dan responsif
18)
Lemahnya penegakan hukum;
19)
Kurangnya menjalin jejaring (network) dan kemitraan
20)
Kegagalan program
21)
Banyaknya konversi lahan
22)
Kekurangberdayaan
lembaga
LH
di
tingkat
pusat
maupun daerah dalam mengatasi persoalan-persoalan lingkungan hidup; 23)
kurang efektifnya instrumen atur dan awasi (amdal dan izin), serta instrumen atur diri sendiri (instrumen ekonomi,
audit
LH,
dll)
dalam
pengendalian
pencemaran; 24)
belum adanya kebijakan nasional PLH yang terpadu ;
25)
Kurang
terjaminnya
pendayagunaan
dalam
pengembangan demokratisasi lingkungan hidup yang meliputi: akses informasi, akses partisipasi, dan akses pada keadilan
2.
Fakta Hukum: a.
Ketidakjelasan kedudukan hukum UUPLH terhadap UU “sektor”;
b.
Belum memuat prinsip-prinsip manajemen lingkungan hidup secara komprehensif, kohesif dan konsisten yang meliputi: 1).
perencanaan,
2).
pengorganisasian,
3).
pelaksanaan &
4).
pengendalian;
c.
Belum memuat secara rinci prinsip-prinsip pengaturan PLH, antara lain:
d.
1).
Pollution Prevention
2).
Precautionary Principle
3).
Polluter Pays Principle
4).
Strict Liability dan Absolute Liability
5).
Shifting of burden of proof
6).
Transboundary Principle
7).
Prinsip Kepastian Hukum
8).
Prinsip Larangan Penyalahgunaan wewenang
9).
Prinsip Kecermatan
10).
Extraterritoriality Principle
Kelemahan dari rumusan pasal-pasal yang terkait dengan kewenangan
Pemerintah
dalam
melakukan
pengelolaan
lingkungan hidup seperti tercantum dalam Pasal 9, 12, 13, 14,15, 18, dan Pasal 22, Pasal 25 dalam
UU 23/97 yaitu
mandat hukumnya kurang jelas, dan tidak ada konsekuensi hukum akibat tidak dilaksanakannya kewenangan tersebut. e.
Kelemahan dari rumusan pasal yang terkait dengan Otonomi Daerah;
f.
UU
No.23
Tahun
1997
belum
memuat
prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yg baik; g.
Belum terakomodasinya instrumen ekonomi (sistem insentif dan disinsentif, pajak dan retribusi) yang dapat mendorong tingkat kepatuhan terhadap persyaratan lingkungan;
h.
Beberapa
norma
yang
diatur
dalam
UUPLH
kurang
implementatif dan atau multitafsir, (contoh antara lain Pasal 25
mengenai
sanksi
administrasi,
Pasal
35
mengenai
tanggungjawab
mutlak
(strict
liability)
,dan
37ayat
(2)
mengenai gugatan Pemerintah atas nama masyarakat. i.
Belum memuat rumusan norma perizinan yang lebih jelas antara
lain
meliputi:
kewenangan,
substansi,
prosedur,
penaatan izin, pengawasan. j.
Belum
terintegrasinya
hukum
administrasi
dan
hukum
pidana sebagai instrumen hukum preventif. 2 hal yang terkait dengan permasalahan tersebut: 1).
Aspek
prosedural
mengenai
Pidana
tindakan
Lingkungan:
yang
terkait
perlu
dengan
diatur primary
jurisdiction, karena hal ini bertalian dengan keahlian sehingga yang berwenang bertindak adalah Pemerintah yang terkait dengan keahlian tersebut. 2).
Aspek Material pidana lingkungan: perlu dirumuskan pasal-pasal pidana terkait dengan hukum administrasi.
k.
perlu
dipertimbangkan
lingkungan
atau
bentuk
pentingnya lain
peranan
sehingga
peradilan
memungkinkan
penyelesaian lingkungan lebih efektif. l.
perlu dipertimbangkan adanya kewenangan MENLH untuk mengajukan gugatan ke peradilan TUN akibat keputusan yang
dikeluarkan
oleh
pejabat
lainnya
yang
tidak
mengindahkan kaidah lingkungan. m. Belum diatur mengenai asuransi/dana jaminan lingkungan n.
Aspek Hukum Lingkungan Internasional : 1).
Dalam UUPLH kurang terdapat landasan untuk merujuk berlakunya
konvensi-konvensi
yang
diratifikasi
di
Indonesia seharusnya dalam UUPLH ada ketentuan yang secara tegas menyatakan berlakunya konvensi yang telah diratifikasi sebagai bagian dari UUPLH. 2).
beberapa prinsip umum hukum lingkungan internasional diintegrasikan ke dalam UUPLH contoh : prinsip kehati-
hatian, prinsip pencegahan dini, polluters pay principle, ERA. Perangkat Hukum Lingkungan yang berlaku dan pernah berlaku dalam sistem hukum nasional Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1).
2).
3).
Bersifat Insidental (Incidentally Profile) a.
Bersifat reaktif;
b.
Berjangka pendek
c.
Penanganan bersifat ad-hoc;
d.
Didasarkan kepada situasi dan kondisi konkrit dan seketika;
e.
Bertindak cepat tanggap (segera).
Bersifat Komensalis a.
Formalitas;
b.
Minority regulation;
c.
Supportive;
d.
Akomodatif terhadap kegiatan sektoral;
e.
Tidak signifikan untuk mengatur mutu tata lingkungan.
Bersifat Partial a.
Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan isu yang berdiri sendiri-sendiri;
b.
Tidak sistematis dan terpadu;
c.
Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu yang lain;
d.
Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai sebagai suatu yang komprehensif, integrated, dan holistik.
4).
Bersifat Sektoral atau Departemental a.
Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang sektor;
b.
Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masingmasing sektor;
c.
Apabila tidak ada koordinasi maka sering timbul konflik kewenangan, overlapping, dan tarik menarik kepentingan di antara sektor;
d.
Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan kemauan politik untuk membangun lingkungan peraturan
tanpa yang
merusak
memerlukan
perundang-undangan
yang
digariskan
perangkat
dalam
hukum
lingkungan.
kebijakan
dalam
bentuk
Penggunaan
hukum
sebagai sarana berdasarkan beberapa kelebihan, yaitu bersifat rasional integratif,
memiliki
legitimasi
dan
tersedianya mekanisme pelaksanaan.
sanksi
serta
didukung
oleh
Dengan demikian, pemecahan
masalah lingkungan tidak berlandaskan teori semata, tetapi didukung dengan kemauan politik serta penegakan perangkat hukumnya.
Terhadap masalah lingkungan diperlukan pola berpikir global, tetapi langkah-langkah dan tindakan yang perlu diambil dalam rangka pengelolaan lingkungan sifatnya lokal.
Kesadaran lingkungan umat
manusia, Hanya Satu Bumi, diikuti pula oleh Indonesia dengan membina kerjasama internasional yang bergerak di bidang lingkungan dengan landasan “Our common Future” (WCED).
Penanganan masalah lingkungan merupakan tugas bersama pemerintah dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan perlu keseimbangan hubungan antara kepentingan umum dengan kepentingan perseorangan serta antara hak dan kewajiban.
Sistem keterpaduan sebagai ciri utama kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dirumuskan dalam UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup belum berhasil diwujudkan. Pengelolaan lingkungan
di Indonesia lebih bersifat koordinatif, mengingat wewenang pengelolaan lingkungan secara sektoral tetap berada pada departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen,
tanggungjawab masing-masing.
sesuai
dengan
bidang
tugas
dan
Menteri Negara Lingkungan Hidup
mempunyai fungsi koordinatif terhadap departemen sektoral dan lembaga
pemerintah
nondepartemen,
sedangkan
unsur
terpadu
diwujudkan dalam kebijakan (integrated and coordinated approach). Namun, kedudukan Menteri Negara Lingkungan Hidup tanpa wewenang administratif struktural merupakan kendala.
Upaya keterpaduan tercermin dalam pelaksanaan kebijakan lingkungan, penentuan langkah-langkah dan program, termasuk di bidang peraturan perundang-undangan.
Dewasa ini kemampuan aparatur negara untuk menegakan UULH-UUPLH secara simultan, baik ditingkat pusat maupun di daerah masih
kurang
dan
memerlukan
pembinaan
secara
bertahap.
Keterbatasan kemampuan aparatur penegakan hukum dalam tugas operasionalnya serta kekurangan tenaga ahli dibidang lingkungan terutama terasa di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Kunci utama kebijakan lingkungan terletak pada penetapan sarana yang diperlukan bagi langkah-langkah operasional. Sarana kebijakan lingkungan yang ditetapkan dalam UULH, seperti pajak dan retribusi lingkungan sebagai perwujudan sistem insentif dan disinsentif belum diatur lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaan. Begitu pula
instrumen AMDAL belum dikaitkan dengan prosedur perizinan, apalagi perizinan lingkungan belum diatur sebagai sati sistem perizinan lingkungan terpadu (integrated environmental licencing system).
Peraturan perundang-undangan lingkungan yang berlaku di Indonesia sebelum UULH banyak yang merupakan produk hukum kolonial
dan
tidak
memuat
pertimbangan
lingkungan
dalam
pengaturannya. Perangkat hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pengelolaan lingkungan masa kini merupakan hambatan terhadap pelaksanaan UULH-UUPLH serta penentuan langkah-langkah yuridis yang perlu ditempuh untuk memecahkan masalah lingkungan. Perangkat hukum tersebut sebagian sudah ditinjau kembali/dicabut berdasarkan sifat “payung” UULH, kecuali Hinder Ordonnantie dan Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie.
Hinder Ordonnantie (HO) merupakan dasar hukum perizinan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lingkungan, tetapi tidak efektif sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan, karena jangkauan teritorialnya terbatas. Untuk jenis kegiatan tertentu diwajibkan izin rangkap, yaitu izin HO dan Izin Usaha Industri, disamping masih diperlukannya izin lokasi bagi perusahaan yang akan beroperasi.
Pemerintah Daerah cukup tanggap terhadap masalah lingkungan. Ada kasus pencemaran lingkungan yang diselesaikan oleh Kepala Daerah secara musyawarah sebagai pencerminan asas kerukunan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan mitra pemerintah yang berperan sebagai penunjang pengelolaan lingkungan.
Namun, tidak
semua LSM merupakan “LSM-Lingkungan”, perlu seleksi sehubungan dengan kewenangan berperkara (“legal standing” atau “persona standi in judicio”). Prinsip konsekuen
Pencemar dalam
Membayar
peraturan
tidak
dapat
diterapkan
secara
perundang-undanganlingkungan
di
Indonesia, karena banyak hambatan terhadap pelaksanaan prinsip itu. Golongan ekonomi lemah yang eksistensinya diakui dalam UULH dan
keterbatasan pendapat anggota masyarakat sendiri merupakan faktor yang menimbulkan perkecualian terhadap prinsip tersebut, di samping terdapat
praduga
tentang
“hak
untuk
mencemarkan”.
Namun,
perwujudannya dalam bentuk “pungutan pencemaran” tetap diperlukan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berdampingan dengan kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Hak ini baru mempunyai arti, apabila dijabarkan melalui saluran sarana hukum, agar tidak ditafsirkan sebagai tuntutan/gugatan terhadap pemerintah.
Hak dan kewajiban berperanserta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup belum khusus diatur dengan peraturan perundangundangan. Aspek hukum peranserta masyarakat berkaitan dengan asas keterbukaan dalam pengelolaan lingkungan, yang lazimnya dituangkan dalam bentuk inspraak (peranserta) dan beroep (banding) dalam prosedur hukum administrasi (proses pengambilan keputusan) tentang izin.
Penyelesaian sengketa lingkungan masih tunduk pada 2 (dua) jenis dasar hukum, yaitu berperkara di pengadilan (Pasal 20 ayat (1) UULH-Pasal 34-39 UUPLH jo. Pasal 1365 BW)dan jalur musyawarah di luar pengadilan (Pasal 20 ayat (2) UULH-Pasal 31-33 UUPLH), yaitu penyelesaian
sengketa
lingkungan
alternatif.
Penerapan
asas
tanggunggugat mutlak yang dikenakan secara sellektif (terbatas) dalam perkara pencemaran lingkungan belum dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, kecuali mengenai perlindungan laut dan di bidang ketenaganukliran.
Di samping itu, ketentuan tentang badan
pembuktian membuat penderita enggan berperkara. Gugatan kelompok
(Pasal 37 UUPLH) belum merupakan ketentuan umum dalam hukum acara perdata mengenai perkara lingkungan.
Di bidang Hukum Lingkungan kepidanaan terdapat masalah mengenai perumusan delik lingkungan, alat-alat bukti dan hubungan kausal sebagai delik materiil maupun formil, ketidak serasian ancaman pidana dalam peraturan yang berlaku serta jenis sanksi pidana untuk badan hukum (korporasi).
Dari kajian konklusif di atas, nyata betapa banyak masalah yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan melalui jalur hukum, walaupun UULH-UUPLH sudah berlaku. Hal ini tidak saja merupakan tantangan bagi mereka yang langsung berkecimpung di bidang Hukum Lingkungan, tetapi merupakan panggilan tugas dan tanggungjawab bersama para ahli hukum untuk berperanserta melalui kemampuan ilmunya dalam pembangunan Hukum Lingkungan nasional Indonesia masa mendatang.
Penataan ruang secara terpadu yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan keberhasilan merupakan
dengan
pengelolaan pula
penegakan
lingkungan
wewenang
Mentri
hukumnya secara
Negara
menentukan
menyeluruh Lingkungan
dan
Hidup.
Sehubungan dengan hal itu, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan Ruang diharapkan menerapkan konsep baru tata ruang terhadap lingkungan hidup, sehingga mencakup berbagai jenis penataan (kota, tanah dan sebagainya). Dengan demikian a cluster of interrelated matters diatur dalam satu undang-undang.
Dalam
kaitannya
dengan
upaya
penyederhanaan
perizinan,
konsep sistem perizinan lingkungan terpadu untuk instalasi/tempat
usaha yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan perlu diterapkan,
sebagai
sarana
pencegahan
dan
penanggulangan
pencemaran lingkungan yang cukup efektif. Sistem ini merupakan penyederhanaan perizinan lingkungan yang dewasa ini masih bersifat kompleks.
Untuk kepastian hukum, perlu dirumuskan pengertian lingkungan sosial dari
segi
yuridis,
karena
istilah
ini
pengelolaan lingkungan secara operasional.
dipergunakan
untuk
Konsep ini diperlukan
dalam mengambil langkah kebijakan dalam berbagai segi lingkungan sosial
yang
mempunyai
implikasi
hukum,
misalnya
baku
mutu
lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, daya dukung dan daya tampung lingkungan dan sebagainya.
Mengingat banyaknya pengecualian hukum yang melemahkan Prinsip
Pencemar
membayar Pencegahan lingkungan
perlu
Membayar, disertai
Pencemaran yang
sudah
maka
dengan
penerapan pengetahuan
Menguntungkan diatur
Prinsip
dalam
yang
Pencemar
tentang berintikan
Keputusan
Mentri
konsep audit Negara
Lingkungan idup Nomor: KEP-42/MENLH/11/94 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Dari perspektif hukum apa yang terurai di atas memunculkan pertanyaan mendasar bagaimanakah hukum dapat difungsikan secara efektif, adil, dan bijak terhadap keberadaan lingkungan hidup? Atau setidaknya dalam konteks Indonesia (otonomi daerah) bagaimanakah peran hukum agar mampu menjawab berbagai masalah yang meliputi antara lain:
-
Sejauhmana keberadaan hukum baik di tingkat pusat maupun daerah yang berlaku sekarang ini telah menjamin adanya perlindungan terhadap keberlanjutan lingkungan hidup?
-
Apakah hukum di daerah sudah cukup memadai bagi penetapan perlindungan
terhadap
keberadaan
lingkungan
hidup
dari
tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab? -
Bagaimanakah
kebijakan
pengaturan
daerah
sebaiknya
dirumuskan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara adil, bijak, merata, dan berkelanjutan? -
Sejauhmanakah penegakan hukum di daerah bagi mereka yang melanggar hukum lingkungan?
-
Apakah sudah cukup memadai aspek kelembagaan, di Pusat maupun Daerah yang berfungsi dan bertanggung jawab dalam perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup?
-
Bagaimanakah wujud pemberian landasan yang kuat terhadap berbagai tindakan dan hubungan hukum di antara anggota masyarakat (perorangan maupun badan usaha) yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup?
-
Sejauhmanakah pemberian jaminan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan proporsional kepada setiap orang yang berada pada akses lingkungan hidup khususnya, dan kepada seluruh rakyat pada umumnya?
Mengingat permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka tujuan perubahan UU No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah: -
Agar ada rujukan peraturan dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat dijamin adanya kepastian hukum;
-
Untuk memastikan ruang lingkup kewenangan dan kewajiban pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
prinsip
Good
Environmental
Governance
(GEG)
dan
Good
Sustainable Development Governance (GSDG); -
Adanya kepastian hukum dalam penghelolaan lingkungan hidup yang
memenuhi
prinsip-prinsip
komitmen
global
Indonesia,
ekosistem
sebagaimana
universal
sehingga
yang
yang
terjadi
dimaksud
merupakan
keseimbangan
dalam
peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang lingkungan hidup; -
Adanya aturan yang dapat mengharmonisasikan hubungan antar sektor yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup;
-
Adanya kepastian dalam penegakan hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau benturan kewenangan antara instansi satu dengan instansi lainnya;
-
Adanya kepastian hukum dalam pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup;
-
Adanya jaminan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan suatu keharusan. Faktor-faktor penyebab utama perlunya dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 1997 ini, antara lain, adalah: -
Adanya perubahan jaman dan perkembangan masyarakat yang menuntut lingkungan hidup sebagai determinant factor dalam pembangunan.
-
Adanya tuntutan harmonisasi dengan UU sektor terutama dalam rangka otonomi daerah.
-
Belum dimuatnya asas/prinsip yang harus ada dalam pengelolaan lingkungan
hidup
Development
Governance
Governance (GEG).
yang
berdasarkan (GSDG)
dan
Good Good
Sustainable Environmental
-
Adanya “cacat” peraturan-peraturannya termasuk di dalamnya ketidakjelasan merumuskan pasal-pasalnya, sehingga UU Nomor 23 Tahun 1997 tidak dapat berlaku efektif.
-
Sulitnya dalam penegakan UU Nomor 23 Tahun 1997 karena tidak mengakomodasi
pendekatan
ekonomi
dan
ekologi
yang
memberikan landasan pada pengelolaan lingkungan hidup yang mendorong investasi. -
Arah dan perubahan ke depan dengan memperhatikan prinsipprinsip lingkungan hidup yang baik (GEG dan GSDG).
-
Adanya
pengaruh
internasional/global
terhadap
pengelolaan
lingkungan hidup?
Beberapa konsep yang terkandung dalam substansi perubahan UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah: 1.
Polluter Pays Principle Polluter Pays Principle
(PPP)
lebih
dikaitkan
dengan
aspek
preventif. Sebagaimana disinggung dalam bab lain bahwa dengan PPP dilakukan kebijakan internalisasi biaya sosial ke dalam biaya rencana kegiatan dalam rangka pengaturan fisik dan sarana keuangan
melalui
lingkungan.
Di
sini
pengaturan-pengaturan diinternalkan
aspek
pengelolaan
ekonomi
berupa
pemberian insentif dan disinsentif untuk tujuan pembinaan lingkungan hidup, dimana hal itu dapat dilakukan secara pungutan (charges) atas pencemaran udara atau air atau berupa uang
jaminan.
pemerintah
Insentif,
supaya
misalnya,
pelaku
kegiatan
dapat
berupa
berupaya
dorongan
mengurangi/
menghilangkan pencemaran dalam bentuk subsidi, keringanan biaya kredit, dan keringanan fiskal bagi alat-alat unit pengolahan limbah.
Sebaliknya,
disinsentif
dapat
dilakukan
dengan
pembebanan
pajak
yang
tinggi
bagi
pelaku
kegiatan
yang
mencemari dan tidak menyediakan bantuan fiskal lain.
2.
Good Environmental Governance (GEG) Pemahaman
awal
tentang
pengelolaan
pembangunan
yang
berwawasan lingkungan dimulai dengan pemancangan pilar-pilar tata pemerintahan yang baik (good governance), agar bencana lingkungan (environmental disaster) tidak menimpa. Untuk itulah diperlukan suatu konsep yang mendasar dan strategis untuk mencegah dan sekaligus dapat mengatasi problema lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Salah satu konsep pembangunan
berkelanjutan yang paling dianggap strategis adalah apa yang disebut dengan ‘good environmental governance’.
Realisasi dari
konsep pemerintahan yang arif dan bijak berdasarkan prisnip “good environmental governance” merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan keseimbangan yang optimal dan efektif antara lingkungan dan pembangunan.
Menurut UNDP (1997)
“Governance” didefinisikan sebagai “pelaksanaan otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang
terkait,
lembaga-lembaga
yang
dapat
menyuarakan
kepentingan, baik perorangan maupun kelompok masyarakat dalam mendapatkan haknya dan melakukan tanggung jawabnya, serta menyelesaikan segala perselisihan yang muncul di antara mereka. Dikatakan lebih lanjut bahwa ‘governance’ berada dalam keadaan yang baik apabila terdapat pengelolaan sumber-sumber alam yang mempertimbangkan kepentingan sosial, lingkungan dan ekonomi secara selaras, serasi dan seimbang. Adapun ciri-ciri minimal sebagai prasyarat untuk mencapai ‘good governance’
adalah
adanya
transparansi,
akuntabilitas,
partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan
(UNDP,
1997).
Good
Governance
menuntut
pula
komitmen terhadap pelaksanaan rule of law. Konsep rule of law paling tidak harus memenuhi karakter-karakter antara lain (a) supremasi
hukum;
(b)
kepastian
hukum;
(c)
hukum
yang
responsif; (d) penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif dan (e) keberadaan independensi peradilan.
Adapun
secara
rinci
karakteristik
atau
kriteria
‘good
environmental governance’ itu adalah meliputi: -
Pemberdayaan masyarakat. Kriteria ini dimaksudkan untuk melihat apakah peraturan perundang-undangan mengakui pemberdayaan masyarakat (people’s empowerment) melalui berbagai peluang agar masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan, tersedianya akses publik terhadap informasi agar publik dapat berpartisipasi secara efektif, dan hak masyarakat (khususnya masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam dan ekosistemnya) untuk mendapatkan prioritas menikmati dan mendapatkan manfaat dari sumber daya alam tersebut.
-
Transparansi. Kriteria ini terkait erat dengan kriteria pertama, dan dapat dijadikan tolok ukur apakah suatu peraturan perundang-undangan menjamin keterbukaan dan transparansi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dimaksud;
-
Desentralisasi yang demokratis. Tolok ukur untuk menguji apakah
desentralisasi
yang
demokratis,
termasuk
pemberdayaan masyarakat lokal dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diakui serta difasilitasi dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; -
Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan. Pengakuan ini sangat penting dilakukan terutama dalam peraturan perundangan-undangan tentang sumber
daya
pengurasan,
alam
tertentu
kerusakan,
dan
yang
rentan
kepunahan
terhadap
(kehutanan,
pertambangan, minyak dan gas, kelautan, sumber daya air). Pengakuan ini tidak terbatas pada pengakuan tekstual (misalnya pernyataan simbolik dalam suatu mukadimah), akan tetapi secara konsisten pengakuan tersebut mengalir ke dalam tubuh peraturan perundang-undangan yang memperjelas
langkah-langkah
untuk
mencegah
serta
menanggulangi pengurasan dan perusakan sumber daya alam,
serta
pencemaran
melalui
piranti
manajemen
lingkungan, instrumen ekonomi, instrumen daya paksa. (enforcement atau command and control), moral suassion maupun kontrol publik. -
Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pengakuan secara tegas tentang hal ini dalam suatu produk hukum
sangatlah
penting,
masyarakat
adat
dan
bergantung
hidupnya
karena
pada
umumnya
masyarakat
lokal
(setempat)
pada
sumber
daya
alam
di
sekelilingnya, dan masyarakat adat penjaga daya dukung ekosistem dan lingkungan mereka. Pengakuan terhadap hak-hak mereka juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas hak-hak mereka dari arus pembangunan dan penanaman modal yang berlangsung dengan sangat cepat. -
Konsistensi dan harmonisasi. Konsistensi adalah kesesuaian substansi antara satu pasal dengan pasal-pasal lainnya
dalam satu produk hukum. Sedangkan harmonisasi adalah kesesuaian
antara
substansi
dalam
satu
peraturan
perundang-undangan dengan substansi yang terdapat dan semangat
yang
tercermin
perundang-undangan
dalam
konstitusi,
maupun
peraturan
konvensi-konvensi
internasional yang diakui oleh banyak negara-negara di dunia, terlepas apakah kita meratifikasi konvensi-konvensi tersebut atau tidak; -
Kejelasan (clarity). Kejelasan suatu peraturan perundangundangan
sangatlah
kepastian
hukum.
penting Di
untuk
samping
menjamin
itu
kejelasan
adanya akan
mempengaruhi daya penegakan (enforceability); -
Enforceability. Daya penegakan (enforceability) ditentukan oleh (a) ketersediaan sanksi yang mampu menimbulkan efek jera (deterrent effect); (b) ketersediaan 3 (tiga) jenis sarana sanksi yang terdiri atas sanksi administrasi, perdata, dan pidana; (c) ketersediaan mekanisme pengaduan masyarakat dan
penindaklanjutannya
terhadap
pelanggaran-
pelanggaran hak yang dialami masyarakat; (d) ketersediaan mekanisme pengawasan penaatan terhadap persyaratan lingkungan; (e) ketersediaan institusi dan aparat khusus yang
melakukan
pengawasan
penaatan,
penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, bahkan pengadilan.
3.
Good Sustainable Development Governance (GSDG) Sustainable Development sebagaimana yang dikemukakan dalam KTT Bumi di Johannesburg tahun 2002 adalah pengentasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan serta perlindungan daya dukung ekosistem, yang merupakan pengembangan dari prinsip CBDR, Precautionary
Principles dan Demokrasi Lingkungan (3 pilar). Sedangkan Good Governance mensyaratkan perwakilan yang efektif, pemerintahan yang bersih, peradilan yang mandiri, desentralisasi demokratis, civil society yang kuat dan mekanisme resolusi konflik, serta mutlak adanya transparansi, partisipasi, akuntabilitas, penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif. Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good governance adalah Good Sustainable
Development
Governance.
Implikasi
dari
digunakannya prinsip Good Sustainable Development Governance adalah: -
Dorongan ke arah Corporate Social Responsibility dan Accountability
lebih
menguat
(termasuk
tuntutan
masyarakat internasional); -
Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic society and government);
-
Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) semakin kuat dan efektif;
-
Gerakan konsumen hijau semakin meluas seiring dengan berkembangnya
pendidikan
lingkungan,
meningkatnya
kesadaran LH terhadap kondisi SDA dan LH yang semakin memburuk; 4.
Rule of Law semakin terbangun.
Liability base on fault Para pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana apabila dapat dibuktikan bahwa pada pelakunyanya terdapat kesalahan, baik itu dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan.
5.
Strict Liability Bentuk pertanggungjawaban perdata yang tidak memerlukan pembuktian unsur kesalahan, sebagai unsur utama dalam
pertanggungjawaban melawan
hukum).
perdata
jenis
Dengan
fault
demikian
based beban
(perbuatan pembuktian
penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani pembuktian adanya kesalahan. Namun demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian (injured party) masih harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat).
5.
Subsidair Hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian lingkungan hidup tidak efektif.
6.
Sic utere tuo ut alienum non laedas Tindakan satu entitas dalam mengeksploitasi sumber daya alamnya tidak boleh sampai merugikan negara tetangga atau orang lain Kondisi
dan
ciri
perangkat
Hukum
Lingkungan
untuk
membangun lingkungan hidup, adalah sarana teknologi, sarana ekonomi
yang
memadai,
sarana
penerangan
atau
sarana
metodologi pengetahuan, dan lain-lain.
7.
Bersifat Insidental (Incidentally Profile) Gejala kelahiran suatu perundangan lingkungan tidak jarang ditandai oleh sifat “incidentally”. Yaitu produk peraturan yang tadinya belum direncanakan dalam jangka panjang, akhirnya perangkat hukum itu dikeluarkan karena terdesak oleh keadaan yang segera mungkin harus diatasi dengan perangkat peraturan. Misalnya, lahirnya peraturan dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah kesehatan lingkungan ataupun karena timbulnya pencemaran dimana-mana oleh industri. Sifat
perundang-undangan seperti ini sudah tentu tidak akan luwes dalam jangka waktu lama (tidak mampu mencakup kebutuhankebutuhan perkembangan zaman), karena wawasan yang ditata hanya mampu menjangkau kepentingan-kepentingan saat itu.
8.
Bersifat Komensalis Banyak peraturan perundang-undangan lingkungan kita yang bersifat komensalis yaitu, terdapat berbagai peraturan lingkungan (dalam
pasal-pasal)
yang
sekedar
termaktub
dalam
paket
perundang-undangan yang bukan ditujukan untuk hal-hal yang berkenaan dengan mutu tata lingkungan. Beberapa pasal yang menyangkut pembinaan tata lingkungan hidup terdapat dalam perundang-undangan sektor lain yang bersifat ekonomi. Dengan demikian, keberadaan regulasi lingkungan di sini bersifat minority regulation di antara misi ekonomi sebagai tujuan utama. Sebagai contoh: Dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 (Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan) jo PP Nomor 32 Tahun 1969 (Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967). Masingmasing UU ini menetapkan pasal 16, pasal 30, serta pasal 46 ayat (4) dan (5), yang melarang usaha-usaha pertambangan pada wilayah-wilayah
tertutup untuk kepentingan umum dan lokasi-
lokasi pertahanan; mewajibkan pemegang kuasa pertambangan (KP) mengembalikan tanah seperti semula untuk mencegah timbulnya penyakit dan bahaya-bahaya lainnya. UU Nomor 11 Tahun 1967 telah diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pasal yang terpenting untuk perlindungan lingkungan terdapat pada pasal 15 yang menggariskan tentang perlindungan hutan, dalam UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Atom. Pasal
lingkungan terpenting adalah pasal 14 sampai pasal 20, yang menekankan
tentang
pengawasan
atas
kesehatan dalam penggunaan tenaga atom.
keselamatan
dan
Penguasa instalasi
atom dapat dituntut atas suatu kecelakaan karena perbuatan kesengajaan/kelalaian, dan pihak korban akan mendapat ganti rugi yang disebabkan oleh kecelakaan tersebut. Kini UU ini sudah mengalami perubahan dengan hadirnya UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran, namun prinsipnya tidak jauh berubah.
19.
Bersifat Partial Bersifat partial, yaitu peraturan-peraturan yang bersifat partial, mencakup peraturan yang dibuat secara sendiri-sendiri oleh instansi-instansi atau departemen-departemen, sehingga tidak jarang menimbulkan duplikasi atau tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain. Sifat demikian juga dapat melahirkan ekses, di mana akan sulit dicapai satu gerak yang sama karena satu dan lainnya tidak sinkron. Peraturan Menteri X, misalnya, melarang tetapi Peraturan Menteri Y membolehkan. Masalah yang paling menonjol ialah terdapatnya sifat egosektoral, di mana satu sektor/departemen
dengan
sektor/departemen
lainnya
saling
merasa lebih berkepentingan, berwenang, atau lebih tinggi. Misalnya, dari sebuah sumber yang diberikan Yayasan Lembaga Konsumen, produk kimia jenis PCP (Pentaklorofenol) yang merupakan salah satu bahan yang cukup toksis (setingkat bahayanya dengan DDT), oleh Menteri Pertanian sudah tidak akan lagi diimpor, tetapi ternyata bahan itu masih ada di pasaran dan masih tetap diizinkan oleh Departemen Perdagangan.
10.
Bersifat Sektoral atau Departemental
Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan perundangundangan lingkungan. Selain dapat dimaklumi bahwa pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masingmasing departemen atau sektor, hal itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan peraturan-peraturan dalam kaitan tugasnya masing-masing. Masalah yang dihadapi hampir sama dengan ciri sebelumnya yakni faktor egosektoral. Selain
setiap
pelaksanaan
departemen
atau
sektor
perundangan
yang
digariskan
dari
peraturan
perundangan
berkompeten
untuk
lingkungan aparatnya.
membuat
bertugas
mengurusi atas,
juga di
Untuk poin pertama, asas keterpaduan
dan sinkronisasi peraturan perundangan antardepartemen masih bisa dijaga dan dipelihara. Sedangkan pada poin terakhir agaknya asas demikian sulit dipertahankan, terutama
kalau substansi
yang diatur itu bersifat lintas sektoral. Dalam keadaan ini duplikasi atau kesimpangsiuran peraturan setiap departemen sulit dihindari.
Selama
ini
pola-pola
pelaksanaan
yang
lintas
sektoral/lintas departemental ditempuh melalui cara joint policy, yaitu dengan mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) oleh dua atau lebih pimpinan departemen atau lembaga. Namun cara ini memiliki kelemahan karena tidak selalu diharuskan untuk ditempuh oleh pucuk pimpinan lembaga-lembaga pemegang keputusan. Masalah lainnya ialah bahwa hal ini sering tergantung pada
kelincahan
pribadi
atau
pendekatan
dari
pimpinan
departemen/lembaga. Jika dilihat dari segi kekuatan juridis formal,
maka
sistem
SKB
belum
mendapat
melembaga dalam perangkat formal hukum.
tempat
yang
Corak Legislasi Hukum Lingkungan seperti model-model di atas sudah saatnya ditinjau ulang. Pola perangkat hukum lingkungan yang dominan bercirikan insidental, komensalis, partial, sektoral atau departemental atau jalan pintas seperti dibahas sebelumnya, memberi kesan terhadap suatu keadaan yang belum memiliki kemauan dan pendirian terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
Dalam
rangka
ini,
dari
segi
hukum
perlu
didisain
dan
dikonstruksi beberapa pola perangkat legislasi lingkungan seperlunya. Pola hukum lingkungan secara ius constituendum sebaiknya didasarkan pada tiga faktor berikut ini: 1.
Perkembangan situasi kebutuhan (Faktor Pembangunan);
2.
Pola
karakteristik
ekologis
(lingkungan
hidup)
dan
variasi
ekosistem lingkungan (Faktor Ekologi); 3.
Mekanisasi yang dinamis kelembagaan, baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan tata lingkungan (Faktor Manajemen).
Ketiga faktor ini harus diperhatikan sebagai starting point untuk meregulasi hukum lingkungan yang sesuai dengan masa dan jaman. Ketiganya tidak dapat dipisahkan tetapi hanya dapat dibedakan. Bertolak dari ketiga pola ini, yang dapat pula memudahkan penentuan pola-pola
hukum
yang
diharapkan
mampu
melindungi
dan
mengkonservasikan lingkungan, atau paling tidak menetralisasi semua interaksi-interaksi dan benturan-benturan yang diperkirakan.
Bertitik tolak dari faktor yang disebut di atas serta mengingat atas pengelolaan lingkungan yang digariskan oleh UU Nomor 23 Tahun 1997 (lihat pasal 3, yaitu menunjang pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia), maka sifat dan wawasan
peraturan perundang-undangan lingkungan yang sebaiknya akan ditata, harus dibedakan dalam 3 (tiga) corak kebijakan hukum yaitu:
1.
Regulasi Bersifat Environmental Policy Regulasi-regulasi hukum yang semata-mata hanya untuk satuansatuan lingkungan/ekosistem, termasuk sistem-sistem kebijakan yang berhubungan dengan itu, disebut dengan Environmental Policy. Faktor yang ditekankan di sini adalah, diregulasikannya berbagai produk perundang-undangan yang khusus ditujukan untuk menata sistem lingkungan.
2.
Regulasi Bersifat Integral Policy Regulasi hukum di mana tugas dan tujuan pokok dari peraturan perundang-undangan tidak saja untuk kepentingan lingkungan, tetapi lebih ditujukan untuk kepentingan lain seperti pariwisata, perindustrian,
transmigrasi,
perdagangan,
pekerjaan
umum,
perumahan, transportasi, dan lain-lain, disebut dengan integral policy.
Dalam
kebijakan
penataan
regulasi
ini,
sektor
nonlingkungan hidup menjadi porsi utama dari tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan tetapi tetap diperhatikan dan dirumuskan beberapa pasal ketentuan atas konservasi lingkungan sememadai mungkin. Di samping itu, setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat hendaknya saling menunjang dan sejalan, atau paling tidak,
tidak
lingkungan peraturan integralisasi ditetapkan.
akan yang
bertentangan telah
dengan
ditempuh.
Dengan
perundang-undangan atas
berbagai
Misalnya,
pola
kebijakan-kebijakan
harus kebijakan
peraturan
demikian,
setiap
mencerminkan lingkungan
yang
perundang-undangan
transmigrasi harus dapat menopang atau setidaknya sejalan
dengan pola kebijakan lingkungan, sesuai dengan asas keutuhan lingkungan yang dicita-citakan, terutama di lingkungan lokasi transmigrasi.
Dalam hal ini, umpamanya perlu dipikirkan tata
pembagian lahan para transmigran dan disesuaikan dengan jumlah arus transmigrasi yang akan datang.
Mungkin jumlah
areal yang dimiliki setiap transmigran sudah perlu dikurangi. Hal lain, misalnya, sistem pertanian di lokasi transmigrasi ini supaya diubah dan disesuaikan dengan pola-pola yang toleran dengan ketahanan lingkungan (carrying capacity).
Lahan dan areal
transmigrasi perlu dipilih supaya tidak mengorbankan lokasilokasi yang potensial dan produktif bagi vegetasi atau sistem ekologi kehutanan.
Cadangan hutan jangan terlalu banyak
dikorbankan bagi penyediaan lokasi transmigrasi.
3.
Regulasi Bersifat Supporting Policy/Beyond Policy Regulasi hukum di semua sektor, sepanjang masih mampu dilibatkan
untuk
mendorong
ditingkatkannya
partisipasi
pembinaan lingkungan, disebut dengan supporting policy atau beyond policy. Sifat ketiga ini lebih diharapkan untuk mendorong faktor pembinaan lingkungan. Misalnya, mencintai lingkungan dan alam dapat diajarkan baik melalui intrakurikuler atau ekstrakurikuler
di
berbagai
sekolah,
ditambahkan
dan
diaktifkannya LSM, digiatkannya swadaya masyarakat berupa partisipasi-partisipasi sosial, spontanitas masyarakat, kelompokkelompok agama, pramuka, pemuda, dan lain-lain motivasi yang digerakkan oleh keputusan-keputusan departemental.
Dilihat dari 3 corak kebijakan seperti di atas, nampaklah bahwa pada prinsipnya semua departemen atau sektor terlibat dan mempunyai sangkut paut dalam hal penataan legislasi hukum lingkungan. Dengan kata lain, semua produk
kebijakan atas bidang-bidang pemerintahan atau non pemerintah dikelompokkan melalui ketiga corak legislasi di atas dan satu dengan yang lain hendaknya harus saling menunjang (sesuai asas KISS). Yang menjadi kendala adalah aspek enforcement (pelaksanaan hukum)nya.
Dan
itu
semua
diserahkan
pada
masing-masing
instansi-
instansi/departemen-departemen pelaksana teknis serta aparat penegak hukum. D.
1.
WEWENANG DAERAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UU NO. 32 TAHUN 2004 Pengaturan Kewenangan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup menurut UU No. 32/2004 Berdasarkan pada Pasal 17 UU No. 32/2004 dinyatakan antara
lain bahwa adanya hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah yang meliputi: a. kewenangan,
tanggung
jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian dampak, budi daya, dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dan c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Sedangkan hubungan pemnafataan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi: a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintah daerah; c. pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 17 UU No. 32/2004 seperti dikutip di atas nampaknya masih belum mencerminkan pengaturan hubungan
antar
satuan/tingkatan
pemerintahan
(Pusat,
provinsi,
kabupaten/kota) maupun antar daerah secara jelas dan tidak ada hal yang baru, karena selama ini pun memang hubungan tersebut sudah ada pengaturannya yang demikian. Dari pasal 17 tersebut tidak terumuskan bagaimana seharusnya hubungan antar Pemerintah dengan pemerintahan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam diatur yang antara
lain
pencegahan
berkenaan konflik
dan
dengan
proporsionalitas
tumpang
tindih
pemanfaatan,
kewenangan,
jaminan
kesejahteraan bagi daerah yang memiliki sumber daya alamnya.
Demikian
pula
pengaturan
hubungan
antar
daerah
dalam
pemanfaatan sumber daya alam pun masih sangat umum dan tidak jelas maksud dan tujuan perumusan norma seperti itu. Bahkan lebih membingungkan lagi ada rumusan yang berbunyi “pengelolaan perizinan bersama” (Pasal 17 ayat 2 huruf c UU No. 32/2004). Secara konseptual pengaturan perizinan itu adalah antara lain terkait dengan perihal kewenangan dan penegakan hukum, bagaimakah hal tersebut dilakukan dengan
bersama-sama antar daerah? Rumusan tersebut semestinya
ada penjelasan dalam bagian Penjelaasan Pasal demi Pasal, namun sayang dalam Penjelasan Pasal 17 tersebut berbunyi “cukup jelas” (baca: cukup jelas bahwa hal itu tidak jelas!).
Hal lainnya berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup, dalam Pasal 13 ayat (1) huruf j dan Pasal 14 ayat (1) huruf j UU No. 32/2004 menyatakan bahwa daerah propinsi dan kabupaten/kota berwenang menyelenggarakan urusan wajib di bidang pengendalian lingkungan hidup. Dari uraian Pasal 13 dan Pasal 14 ini, jelas menekankan bahwa pertama, sebagian kewenangan dalam pengendalian lingkungan
hidup
sudah
menjadi
kewenangan
Daerah.
Kedua,
pembagian di antara kewenangan pusat, propinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Di dalam UU No. 23/1997 dan UU No. 22/1999 dinyatakan bahwa daerah berwenang menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Sedangkan
UU
No.
32/2004
berwenang
menyelenggarakan
pengendalian lingkungan hidup. Di sini terdapat perbedaan penyebutan istilah yang tentunya membawa makna dan implikasi hukum yang berbeda. Menurut UU No. 23/1997 pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Jadi pengendalian lingkungan hidup menurut UU No. 23/1997 merupakan salah satu bagian saja dari unsur pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan
ketentuan
yang
terdapat
dalam
peraturan
perundang-undangan di lingkungan hidup bahwa pengendalian itu merupakan salah satu alat pengawasan. Dengan demikian apabila mengacu pada makna pengendalian tadi apakah berarti daerah hanya berwenang melakukan penetapan baku mutu, perizinan, pengawasan, koordinasi? Sehingga daerah tidak berwenang membuat kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan dan pemulihan lingkungan hidup? Hal inilah yang memerlukan penjelasan mengapa wewenang pengelolaan lingkungan hidup diubah menjadi pengendalian lingkungan hidup yang nota bene memiliki makna yang lebih sempit.
Namun demikian, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan adanya kebijakan Nasional yang menetapkan bahwa setiap Daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan Nasional yang pada hakikatnya bertujuan melindungi dan menyelamatkan lingkungan yang ditujukan pula bagi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Untuk melaksanakan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup agar optimal, efektif dan efisien, maka harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral.
Untuk mewujudkan keterpaduan itu maka pembagian tugas, wewenang, batas-batas, serta hubungan antara satu instansi dengan instansi lainnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam harus diatur secara tegas dan jelas. Sejalan dengan kriteria pembagian kewenangan yang dianut oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka isi/alokasi kewenangan di bidang lingkungan hidup di antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota masih belum jelas, konkrit dan terukur secara pasti.
Sesungguhnya kalau kita lihat dari UU No. 23/1997 prinsip pengelolaan
lingkungan
hidup
adalah
didasarkan
pada
asas
dekonsentrasi bukan pada desentralisasi, sedangkan UU No. 32/2004 pengelolaan
lingkungan
hidup
didasarkan
pada
kewenangan
desentralisasi.
Sesungguhnya suatu
kesatuan
sifat dari suatu pengelolaan lingkungan sebagai
ekosistem
tidak
mengenal
batas-batas
wilayah
adminstrasi pemerintahan. Akan tetapi jika dikaitkan dengan wewenang pengelolaannya,
maka
harus
jelas
batas
lingkup
wilayah
pengelolaannya.
Namun demikian, pemerintahan dapat efektif jika selaras dan serasi dengan keadaan nyata yang ada di masing-masing daerah antara lain faktor geografi, demografi, adat istiadat, kebudayaan, tingkat kecerdasan warga masyarakat, perkembangan ekonomi, dan tingkat kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya. Jika kualitas lingkungan merupakan salah satu tujuan masyarakat, maka dalam
konteks otonomi daerah pertanyaan yang diajukan adalah apakah tujuan pengelolaan lingkungan hidup dapat tercapai melalui kebijakan yang seragam (uniform environmental policy) atau melalui kebijakan regional yang berbeda-beda (regionally differentiated policy). Prinsipprinsip ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup menghendaki desentralisasi karena beberapa petimbangan antara lain: a) setiap Daerah memiliki daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berbeda; b) tingkat dan skala pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya pada setiap daerah berbeda; c) setiap daerah memiliki kapasitas daya serap (absorptive capacity) akan polusi yang berbeda; d) sistem pencegahan, penaggulangan, dan pemulihan akibta pencemaran dan perusakan lingkungan dapat berbeda yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Daerah; e) preferensi masyarakat akan kualitas lingkungan berbeda di setiap wilayah.
Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut di atas, maka kepada Daerah perlu diberi wewenang-wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya berdasarkan dan melalui sistem desentralisasi. Dari sekian banyak pendapat yang menunjang dilaksanakannya sistem desentralisasi teritorial dengan memberikan otonomi kepada daerah, dapat kita simak alasannya yang terkait dengan upaya mencapai keefektifan pemerintahan dan merealisasi kehidupan demokrasi pada lapisan bawah serta tataran “akar rumput” (grass-root). Sistem desentralisasi tersebut dapat pula mencegah penumpukan kekuasaan pada suatu lapisan atau pihak Pusat saja. Sistem ini juga mengandung makna adanya pengakuan bahwa penentu kebijakan penyelenggaraan pemerintahan pada level daerah adalah Daerah itu sendiri. Apabila
kita
mengacu
kepada
UU
No.
23/1997
tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka istilah “pengelolaan” ini diartikan
sebagai suatu upaya terpadu yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian. Jadi istilah “pengelolaan” di sini diartikan bahwa selain kegiatan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam juga ada kegiatan konservasi dan preservasinya, bahkan termasuk di bidang penegakan hukum berupa pengawasan dan pengendalian. Dalam prakteknya kerap terjadi beberapa permasalahan yang berpotensi
dapat
pemerintahan
menghambat
tersebut.
jalannya
Berdasarkan
hasil
pelaksanaan
wewenang
penelitian/kajian
dan
pengalaman yang telah dilakukan yang menyebabkan adanya hambatan dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan lingkungan, antara lain sebagai berikut : 1. Penyerahan pengelolaan lingkungan hidup yang telah diserahkan kepada Daerah secara formal tidak diikuti dengan penyerahan secara nyata (material). Akibatnya timbul semacam dualisme penanganan, yakni di satu pihak Pemerintah Pusat menangani urusan tersebut, dan di lain pihak Daerah pun merasa sudah menjadi wewenangnya.3 2. Sesuatu urusan yang telah diserahkan secara formal, namun kemudian oleh Daerah tidak ditangani sebagaimana mestinya, karena alasan-alasan antara lain kekurangan tenaga (SDM), pembiayaan, sarana dan prasarana. 3. Urusan sudah diserahkan, baik secara formal maupun material, Daerah telah pula menyelenggarakan sepenuhnya. Akan tetapi dengan berbagai kebijakan, urusan-urusan tersebut seolah-olah ditarik kembali secara diam-diam (informal). Hal ini banyak terjadi pada relasi kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota.
3
Misalnya dalam hal pengaturan pengelolaan lingkungan hidup menurut UU Nomor 22/1999 dalam rangka pemanfaatan sumber daya laut yang terdapat dalam batas kawasan 4 mil (kab/kota) dan atau sampai dengan batas 12 mil (propinsi), dalam beberapa kasus masih terdapat tarik menarik atau tumpang tindih kewenangan. Ketentuan ini oleh UU Nomor 32/2004 diubah rumusannya menjadi daerah dapat mengolah sumber daya laut.
4. Urusan belum diserahkan sebagai wewenang Daerah, namun secara nyata sejak lama sudah diselenggarakan oleh Daerah, yang seolaholah telah menjadi urusan otonominya. Hal ini secara hukum sulit dipertanggung jawabkan, baik dari segi perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendaliannya. 5. Urusan yang sejak lama sudah diserahkan kepada Daerah, tetapi oleh perubahan dan perkembangan zaman serta perkembangan teknologi, urusan dimaksud sudah tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan. Dengan perkataan lain, urusan tersebut sudah tidak faktual di lapangan.
Wewenang menyelenggarakan perintah yang bersifat mengatur menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Paraturan Daerah dan pelaksanaannya, termasuk mengurus dengan mengeluarkan keputusankeputusan. Sesuatu urusan pemerintahan dan sektor-sektornya menjadi tugas, hak dan wewenang Pemerintah Daerah jika : a. dinyatakan
dalam
pemberian
wewenang
pangkal
yaitu
dalam
undang-undang pembentukan daerah; b. dinyatakan secara ekspilsit, baik dalam UU pemerintahan Daerah maupun dalam UU sektoral;4 c. diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dengan Peraturan Pemerintah melalui peraturan perundang-undangan Sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel I Penyelenggaraan Asas-Asas Pemerintahan No . 4
Asas
Sifat Pemberian
Pusat
Wilayah
Daerah
Hal ini sangat bergantung pada sistem rumah tangga (otonomi) yang dianut, apakah berdasarkan sistem rumah tangga (otonomi) formil yang tidak merinci jenis kewenangan apa saja yang diserahkan kepada Daerah; atau sistem otonomi materil yang menyebutkan dengan rinci dan pasti pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antara Pusat dan Daerah; ataukah dengan sistem otonomi riil/nyata yang mendasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata.
Kewenangan 1
Desentrali sasi
Penyerahan
1. Pengawasan 2. Pengendalian 3. Pertanggungjawaban Umum
1. Koordinasi 2. Pengawasan
1. Kebijakan 2. Perencanaan 3. Pelaksanaan 4. Pembiayaan (kecuali gaji PNS)
2
Dekonsen trasi
Pelimpahan
1. 2. 3. 4.
Koordinasi
1. Menunjang 2. Melengkapi
3
Pembantu an
Pengikutsertaa 1. Kebijakan n 2. Perencanaan 3. Pelaksanaan 4. Pembiayaan 5. Pengawasan
Kebijakan Perencanaan Pembiayaan Pengawasan
Koordinasi
Membantu Pelaksanaan
Dalam konteks ini ada hal lain yang menarik untuk didiskusikan yakni tentang apakah wewenang yang sudah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik kembali oleh yang menyerahkan? Hal ini menurut UU No 32/2004 nampaknya tidak dapat ditarik kembali. Jadi apabila sudah diserahkan, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, mampu atau tidak mampu tetap wajib dilaksanakan.
Sebab menurut UU No.
32/2004 pengendalian lingkungan hidup itu merupakan kewenangan wajib, sehingga menuntut daerah untuk melaksanakannya secara bertanggung jawab sesuai dengan prinsip otonomi seluas-luasnya.
Lain halnya dengan UU No. 5 tahun 1974 di dalam Pasal 9 dikatakan sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi, karena misalnya apabila
urusan
tersebut
berkembang
sedemikian
rupa
sehingga
menyangkut kepentingan yang lebih luas dan lebih tepat jika diurus langsung oleh Pemerintah Pusat atau daerah propinsi.
Jadi masalah pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah akan banyak terkait dengan kebijakan otonomi yang berkenaan dengan sistem rumah tangga daerah. Namun yang pasti UU No. 32/2004 menganut
sistem
rumah
tangga
riil/nyata,
yakni
dengan
mengkombinasikan antara sistem rumah tangga formil dan sekaligus pula sistem rumah tangga materil, namun dengan
dominasi sistem
rumah tangga formil.
Secara teoritis, apabila Pemerintah Pusat atau pemerintah tingkat atasnya
menyerahkan
pengendalian
sebagian
lingkungan
hidup
urusan
pemerintahan
kepada
Daerah,
di
maka
bidang melalui
pendekatan teori konstanta pembagian kewenangan dapat dipahami bahwa:
a.
Pada
hakikatnya
pengendalian
semua
urusan
pemerintahan
di
bidang
lingkungan hidup merupakan tugas, wewenang,
dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun berdasarkan asasasas penyelenggaraan pemerintahan yang bersendikan kepada a) Negara
Kesatuan,
b)
demokrasi,
c)
permusyawaratan,
d)
kebhinekaan, e) keterbukaan dan partisipasi masyarakat, f) kemandirian, serta g) efektivitas dan efisiensi, maka berdasarkan UU No.32/2004 Pemerintah Pusat dianggap telah
menyerahkan
tugas, wewenang dan tanggung jawabnya tersebut tadi kepada Daerah,
sehingga
lingkungan
hidup
sebagian
urusan
tersebut
menjadi
pengendalian tugas,
di
bidang
wewenang,
dan
tanggung jawab Daerah. b.
Karena pada hakikatnya urusan pengendalian lingkungan hidup ini merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling melengkapi yang harus ditujukan bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pemanfaatannya bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat,
maka selain terjadi penyerahan kepada Daerah juga berarti dapat pula terjadi penarikan kembali urusan yang telah diserahkannya itu. Penarikan kembali urusan yang telah diserahkan tersebut harus
benar-benar
berdasarkan
penelitian,
pengkajian,
dan
penilaian yang sangat cermat, seksama dengan memperhatikan asas kerterbukaan, transparansi, aspiratif dan
akomodatif,
dengan melalui peraturan yang setingkat. c.
Urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan memiliki karakterisitik yang khas dan spesifik bila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang lainnya, setidak-tidaknya dari segi issue-nya yang tidak hanya berdampak dan bergema secara lokal, regional, maupun nasional, bahkan juga internasional. Oleh karena itu berbagai institusi baik negara maupun organisasi internasional
akan
dimungkinkan
“ikut
campur”
terhadap
masalah pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Air ini. Selain itu, juga karena masalah lingkungan yang berkenaan dengan media darat, laut, udara dapat terjadi tidak hanya lintas sektoral, dan juga lintas wilayah yurisdiksi pemerintahan. Dengan demikian pengertian penyerahan urusan sebagaimana diuraikan di atas, harus dapat dipahami apabila terjadi hal-hal yang delicate dan bahkan
dapat
terjadi
overlapping
kewenangan,
baik
secara
substansial maupun hirarki kewenangan.
Untuk itu, untuk menghidari adanya beban berat yang harus dipikul oleh kabupaten/kota dan juga sifat pengelolaan lingkungan hidup yang cenderung lintas batas wilayah administrasi, maka perlu dipertimbangkan
bahwa
titik
berat
desentralisasi
kewenangan
pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup sebaiknya diserahkan/berada pada propinsi, bukan pada kabupaten/kota.
Tujuan dan manfaat Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup Sesungguhnya secara positif adanya ketentuan pemberian kewenangan pengelolaan kepada Daerah ini, asumsinya memberi keuntungan antara lain :
a.
lebih memberikan kemungkinan yang cukup leluasa bagi Daerah untuk mengelola
lingkungan secara efektif dan
efisien; b.
Daerah beserta masyarakatnya yang berada langsung
di
lokasi SDA dapat lebih mudah mengontrol keadaan SDA tersebut, sehingga dapat diketahui dan diperoleh langsung manfaat maupun resikonya; c.
Dengan
diketahui
dan
dirasakan
manfaatnya
yang
sedemikian besar, maka bagi Daerah beserta masyarakatnya akan senantiasa
berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap
konservasinya
upaya
melalui
kegiatan
pemeliharaan, pelestarian, pemulihan, dan perlindungan lingkungan. d.
Bagi Daerah dengan adanya pemberian hak, kewajiban, dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tersebut, maka Pemerintah Pusat hanya berperan selaku fasilitator, pengarah, pembina, dan pengawas5 saja.
e.
Pelaksanaan peran serta masyarakat akan lebih dapat dirasakan
makna,
pengelolaannya 5
ada
urgensi, pada
dan
relevansinya
Pemerintah
Daerah.
apabila Hal
ini
Yang dimaksud ‘pengawasan’ di sini adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal : a. pengawasan represif dalam rangka “pengujian materil” terhadap perda ex. Pasal 218 UU No. 32/2004; b. pengawasan yang diberikan oleh UU sebagai lex spesialis (mis: ex Pasal 22 UU No. 23/1997) terhadap UU No. 32/2004; c. pengawasan yang dilakukan pemerinat pusat sebagai lini kedua, apabila pemberi izin atau pihak pemda sebagai lini pertama tidak mampu melakukannya.
didasarkan kepada jaminan (yuridis, politis, dan sosiologis) hak masyarakat dalam hal : -
hak untuk mengetahui dan dapat mengakses semua informasi tentang
pengelolaan LH dan akses SDA yang
ada di Daerahnya; -
hak untuk ikut memikirkan tentang pengelolaan LH dan SDA
(perencanaan,
peruntukan, berbagai
penggunaan,
pengawasan,
bentuk,
pemanfatan,
pengendalian
cara,
dsb.)
mekanisme,
dalam
prosedur
berperanserta (public hearing, public opinion, saresehan, diskusi, studi, seminar, dsb.); -
hak untuk ikut berperan dalam proses pengambilan keputusan.
Kendatipun kata akhir tetap ada pada
Pemerintah, namun masyarakat dapat berperan, baik langsung
maupun
tidak
langsung
dalam
proses
pengambilan keputusan; -
hak untuk berperan dalam proses pengawasan dan pengendalian
pengelolaan
lingkungan berdasarkan
keputusan yang telah diambil.
f.
Melalui hak-hak masyarakat tersebut, maka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang dan KKN relatif lebih mudah
dikontrol
secara
langsung
dan
efektif
oleh
masyarakat, karena masyarakat dapat mengakses hal-hal apa saja yang menyangkut pengelolaan lingkungan yang ada di sekitranya. Apalagi apabila ada suatu perundang-undangan perizinan
yang
mewajibkan
pemberi
izin
untuk
mengumumkan setiap permohonan izin dan keputusan izin.6
6
Lihat Pasal 19 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
g.
Namun demikian, seringkali dijadikan alasan klise, bahwa Daerah dikhawatirkan belum mampu untuk melaksanakan urusan pengelolaan lingkungan ini dengan pertimbangan kurangnya atau lemahnya 3-P (personalia, peralatan, dan pembiayaan).
2.
Jenis Kewenangan Pengelolaan “Diserahkan” kepada Daerah
Lingkungan
Hidup
yang
Jenis sebagian urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang diserahkan kepada Daerah adalah yang berkenaan dengan sebagian wewenang pemerintahan di bidang
pengendalian
wewenang
lingkungan
pemerintahan
adalah
hidup. hak
Yang
atau
dimaksud
kekuasaan
dengan
yang
sah
berdasarkan kaidah-kaidah hukum publik untuk melakukan perbuatan pemerintahan dan menjalankan fungsi-fungsi jabatan dan/atau organ pemerintah dalam upaya penyelenggaraan pencapaian tujuan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan pengendalian lingkungan hidup. Pengendalian: Dalam kegiatan pengendalian ini UULH telah memberikan arahan sebagai berikut : a. melalui pendekatan command and control yakni meliputi : a.
pembuatan amdal bagi setiap kegiatan usaha yang penting dan besar sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 15). Penyerahan urusan dibidang ini dapat dilakukan melalui PP Amdal.
b.
melalui instrumen perizinan yang memuat persyaratan lingkungan (Pasal 18). Perlu dipikirkan adanya suatu izin lingkungan yang terpadu di tingkat Daerah yang diterbitkan oleh Kepala Daerah (desentralisasi perizinan). Sebab sekarang ini perizinan melakukan kegiatan
usaha
yang
berdampak
penting
pada
lingkungan,
wewenang menerbitkan izinya ada pada pejabat sektoral, misalnya
izin usaha perdagangan ada pada pejabat dept. perdaganagan, izin industri ada pada dept. perindustrian, izin HPH ada pada dept. kehutanan, izin pertambangan ada pada dept. pertambangan (kecuali tambang gol.C), dsb. Jadi apakah misi pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup yang harus diemban oleh setiap izin itu dapat tercapai dengan efektif, apabila setiap izin tersebut masih tetap dikeluarkan oleh instansi sektoral ? Jadi perlu ada review/kajian terhadap wewenang perizinan lingkungan ini. c.
pengenaan sanksi administrasi, pidana, dan tuntutan perdata. Catatan : untuk sanksi administrasi Gubernur Kepala Daerah dan/atau Bupati/Walikota berwenang melakukan sanksi paksaan pemerintahan (Pasal 25). Kepala Daerah juga dapat mengajukan rekomendasi dalam hal pencabutan izin (Pasal 27). Larangan setiap usaha/kegaiatan terhadap baku mutu dan kriteria baku kerusakan LH (lihat Pasal 14) Catatan : pencemaran daya tampung dan perusakan daya dukung diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) – Pasal 14 ayat 1 dan 2. Oleh karena itu dengan dasar ini maka pengendalian pencemaran air dan pencemaran udara lebih lanjut diatur dalam PP tersendiri.
d.
kewajiban melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (limbah B-3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Untuk ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP tersendiri.
e.
Larangan impor limbah B-3.
f.
melalui pendekatan voluntary compliance yakni meliputi : 1.
audit lingkungan (Pasal 28);
2.
masyarakat diberi kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 7);
3.
Program PROKASIH, Program Langit Biru, Program KENDALI B-3, Sertifikasi ISO 14000, Program PROPER dsb.
C.
Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah
Dalam
rangka
pengaturan
tentang
kelembagaan
Undang-undang
No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini menguraikan tentang perangkat
daerah
baik
propinsi
maupun
kabupaten/kota
perinciannya berpedoman pada peraturan pemerintah.
yang
Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang kelembagaan sementara ini masih mengacu pada PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (untuk selanjutnya sebut PP No. 8/2003) sebagai pengganti PP No. 84/2000.
PP No. 8/2003 diperkirakan berdampak pada penurunan status kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, karena PP No. 8 Tahun 2003 mengatur jumlah kelembagaan di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Untuk tingkat Propinsi jumlah dinas maksimal adalah 10 (sepuluh), terkecuali DKI Jakarta dapat 14 (empat belas). Untuk tingkat Kabupaten/Kota jumlah dinas maksimal adalah 8 (delapan). Selain dinas, di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota terdapat Lembaga Teknis. Untuk tingkat Propinsi, Lembaga Teknis menjalankan “tugas tertentu” yang meliputi bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan dan pelayanan kesehatan. LembagaTeknis ini dapat berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit.
Untuk tingat Kabupaten/Kota Lembaga Teknis melaksanakan “tugas tertentu”
yang
meliputi
bidang
penelitian
dan
pengembangan,
perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kerasipan dan dokumentasi, kependudukan dan pelayanan kesahatam. Lembaga Teknis ini dapat berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit.
Dari ketentuan-ketentuan dalam PP No. 8 Tahun 2003 itu tidak ditemukan indikasi, bahwa pengelolaan lingkungan hidup di daerah termasuk tugas yang diserahkan kepada Lembaga Teknis berbentuk Badan atau Kantor. Dengan demikian maka pengelolaan lingkungan hidup di daerah mungkin menjadi urusan dinas atau lembaga teknis. Namun, karena PP No. 8 tahun 2003 membatasi jumlah dinas, maka pembentukan dinas yang mengurusi pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat tergantung pada visi lingkungan hidup Daerah.
1.
Kelembagaan di Propinsi Di era otonomi, BAPEDALDA propinsi tetap menjalankan fungsifungsi koordinasi terhadap dinas-dinas propinsi dan koordinasi vertikal
pada
tingkat
Kabupaten/Kota.
Di
samping
itu,
BAPEDALDA propinsi memiliki kewenangan pengawasan dan pengedalian
dampak
lingkungan
lintas
kabupaten/kota.
Kewenangan propinsi dalam pengelolaan lingkungann hidup dapat dilihat pada Undang-undang No 32/2004. Pasal 13 ayat (1) huruf j Undang-undang No. 32 Tahun 2004, menyebutkan, bahwa salah satu bidang pemerintahan yang merupakan kewenangan propinsi adalah “pengendalian lingkungan hidup.” Dalam prakteknya bidang
pengendalian
lingkungan
hidup
ini
ada
yang
diselenggarakan oleh lembaga yang berbentuk Dinas atau ada juga Badan, dengan nomenklatur yang berbeda-beda. Bahkan ada pula yang ditandemkan dengan bidang lain misalnya Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. 2.
Kelembagaan Kabupaten/Kota Jika keberadaan dan status kelembagaan di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup dapat dilihat sebagai salah satu indikator apresiasi dan komitmen terhadap pengelolaan lingkungan, ternyata respon pemerintah kabupaten/kota lingkungan
terhadap
hidup
berbeda
pengakuan antara
kewenangan
satu
pengelolaan
kabupaten/kota
dengan
kabupaten/kota lingkungan
lainnya.
Beberapa
membentuk
menggabungkan
Pemerintah
BAPEDALDA.
urusan
lingkungan
Kabupaten/Kota
Sebagian hidup
kabupaten
dengan
bidang
pertambangan/kehutanan, bahkan ada juga yang ditandem dengan urusan Pemakaman. Sebagian kabupaten/kota hanya membentuk Kantor Lingkungan Hidup yang statusnya lebih rendah dari badan atau dinas. Selain itu, dinas-dinas sektoral pun memiliki kewenangan pengendalian dampak lingkungan juga dalam lingkup sektoralnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf j Undang-undang No.32/2004 kabupaten/kota memiliki enam belas kewenangan wajib dan salah satu di antara kewenangan wajib itu adalah kewenangan di bidang pengendalian
lingkungan
hidup.
Akan
tetapi
tidak
begitu
jelas
kewenangan di bidang lingkungan hidup apa saja yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Selain itu, kewenangan Berdasarkan PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang mencabut berlakunya PP No. 20 tahun 1990, Bupati/Walikota diserahi kewenangan untuk mengeluarkan izin pembuangan limbah air dan izin pembuangan air limbah untuk apliaksi pada tanah. Ketika PP No. 20/1990 masih berlaku, pemberian izin pembuangan limbah cair ke air merupakan kewenangan Gubernur. Namun berdasarkan UU No. 22/1999 yang menitiberatkan desentralisasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka PP No. 82/2001 memindahkan
kewenangan
izin
pembuangan
limbah
cair
yang
sebelumnya berada pada Gubernur kepada Bupati/Walikota. PP No. 82/2001 yang sesuai dengan era desentralisasi memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk mengeluarkan izin pembuangan air limbah ke air maupun ke tanah. Kewenangan pemberian izin pembuangan air limbah ke tanah pada masa sebelum era otonomi di pegang oleh Men LH berdasarkan PP No. 20/1990. Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No:130-67 tahun 2002, Kabupaten/Kota juga memiliki kewenangan dalam penerbitan izin usaha industri. Namun, kewenangan ini tampaknya belum secara efektif digunakan. 3.
Berbagai Skenario Kelembagaan Ditingkat Propinsi, PP No. 8 Tahun 2003 telah membatasi, bahwa bidang-bidang
penelitian
dan
pengembangan,
perencanaan,
pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan dan pelayanan kesehatan dapat diurus oleh Badan atau Kantor. Saat ini aspek pengendalian dampak menjadi kewenangan Badan, yaitu BAPEDALDA. Dengan tidak disebut-sebutnya pengendalian dampak sebagai bidang yang diurus oleh Badan dalam PP No. 8 Tahun 2003, maka ada kemungkinan BAPEDALDA Propinsi ditiadakan. Skenario terbaik adalah jika para Gubernur membentuk dinas Lingkungan Hidup atau Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan. Skenario terburuk adalah jika BAPEDALDA ditiadakan dan tidak diikuti dengan penggantinya dalam bentuk Dinas Propinsi. Ketiadaan Dinas PLH ini salah satunya dapat disebabkan oleh karena tidak dipenuhinya skor yang telah ditetapkan dalam PP No. 8/2003 tersebut. Pemerintah Propinsi ini dapat menjalankan tugas koordinasi dan pengawasan atas kegiatan pengendalian dampak lingkungan tingkat kabupaten/kota. Jika instansi tingkat kabupaten/kota tidak
menjalankan
kewenangannya
secara
efektif
dan
menimbulkan masalah pencermaran atau perusakan lingkungan lintas
Kabupaten/Kota,
maka
Pemerintah
Propinsi
dapat
bertindak sebagai upaya penegakan hukum lapis kedua. Di tingkat kabupaten/kota, PP No. 8/2003 juga telah membatasi, bahwa bidang-bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan,
pengawasan,
pendidikan
dan
pelatihan,
perpustakaan, kearsipan dan dokumnetasi, kependudukan dan
pelayanan kesehatan dapat diurus oleh Badan atau Kantor. Di sisi lain kabupaten/kota memiliki kewenangan di bidang perizinan lingkungan seperti izin HO, izin pembuangan air limbah ke air dan izin aplikasi air limbah ke tanah berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001. karena PP No. 8 Tahun 2003 tidak menyatakan, bahwa pengendalian
pencemaran
air
atau
pengendalian
dampak
lingkungan pada umumnya sebagai bidang yang dapat diurus oleh sebuah Badan atau Kantor, maka semestinya pengendalian dampak lingkungan dikelola oleh sebuah Dinas. Namanya dapat disebut dengan Dinas Pengedalian Dampak Lingkungan atau Dinas Pengelolaan Lingkungan, karena izin-izin tersebut memang berkaitan
dengan
dampak
lingkungan
atau
pencemaran
lingkungan yang dikategorikan sebagai “brown issues”, sementara “green issues” dikelola oleh Dinas Kehutanan. Pengelolaan
lingkungan
hidup
melandaskan
pada
asas
keterpaduan sebagai bentuk transformasi pendekatan ekosistem. Oleh
karena
itu,
pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
diselenggarakan dalam kerangka pemerintahan negara harus senantiasa
melandaskan
pada
asas
keterpaduan.
Asas
keterpaduan ini harus tercermin dalam setiap tahap dari proses pengelolaan lingkungan hidup. Di dalam Bab IV UU No. 23 Tahun 1997 tentang Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat beberapa ketentuan yang menggariskan pokok-pokok tugas, kewajiban, dan wewenang negara (baca : Pemerintah) untuk menyelenggarakan pengelolaan lingkungan
hidup
yang
bersendikan
pada
“pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan”. Di
dalam
menetapkan
Bab bahwa
IV
UU
No.
kebijakan
23/1997, nasional
pasal-pasalnya penyelenggaraan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, dalam arti titik berat wewenang pelestarian lingkungan
berada pada Menteri yang membidangi lingkungan hidup; dan titik berat wewenang pengembangan dan pemanfaatan lingkungan berada pada instansi sektoral. Dengan demikian jelaslah bahwa Menteri
yang
membidangi
lingkungan
hidup
ini
memiliki
wewenang atributif untuk mengkoordinasikan segala kegiatan yang
berkenaan
dengan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Kelembagaan tingkat pusat ini dapat pula tercermin kepada tingkat Daerah yang secara struktural dan fungsional akan mengacu kepada struktur dan fungsi Pemerintah Pusat. Salah satu wujud dari wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawab tersebut adalah kebebasan untuk berbagai prakarsa sebagai ciri kemandirian dalam batas-batas tertentu. Selain
dilandasi
(prakarsa)
tadi,
oleh
sendi
kemandirian
juga
dalam
pengelolaan
dan
hak
inisiatif
lingkungan
hidup
seyogianya dilandasi pula oleh sendi keanekaragaman potensi sumber daya hayati dan non hayati, karakteristik kebhinekaan budaya masyarakat, dan aspirasi yang dapat menjadi modal utama pembangunan. Dengan demikian setiap tugas, kewajiban, dan wewenang yang
akan
(telah)
diserahkan
kepada
daerah
tidak
harus
seragam/serupa. Usaha penyeragaman (uniformitas) untuk setiap daerah justru akan mengurangi hakikat otonomi tadi, yakni kehilangan sendi kebhinekaan dalam berbagai aspeknya. Selain itu pemberian otonomi melalui penyerahan urusan, pada dasarnya dapat
ditambah
atau
dikurangi
sesuai
dengan
potensi,
kemampuan, dan kebutuhan Daerah. Dengan demikian jelaslah urusan yang dilaksanakan oleh daerah akan senantiasa berbedabeda satu sama lain. a.
UU
No.
23/1997
tidak
secara
eksplisit
membagi
kewenangan antara Pusat, propinisi dan kabupaten/kota. UU ini hanya menyebutkan bahwa Pemerintah dapat
melimpahkan (dekonsentrasi), dan atau mengikutsertakan daerah
(tugas
pembantuan),
dan
atau
menyerahkan
(desentralisasi) sebagian kewenangannya kepada Daerah, dengan tanpa menjelaskan tolok ukur dan saat kapan masing-masing tindakan tadi dapat dilakukan; b.
UU
No.
23/1997
mengandung
inkonsistensi
dalam
merumuskan norma yang berkenaan dengan kewenangan pelaksanaan pengelolaan LH, sebagaimana terlihat dalam Pasal 9 UU No. 23/19997. Di satu pihak dianut prinsip keterpaduan
dalam
PLH,
namun
di
lain
pihak
pelaksanaannya dilaksanakan oleh masing-masing pelaku pembangunan (dhi, antara lain instansi sektor); c.
UU No. 23/1997 pun telah menyiratkan bahwa Menteri yang bertanggung jawab di bidang PLH ini sebagai menteri yang non portofolio, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat (4) jo Pasal 11. Walaupun dalam ketentuan lain disebutkan bahwa Menteri LH berwenang mengeluarkan izin (Pasal 20).
d.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak menyebutkan adanya hubungan antara antara satuan pemerintahan (pusat, propinsi,
kabupaten/kota)
wewenang,
keuangan,
yang
pelayanan
meliputi umum,
hubungan pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. e.
Hubungan antar satuan pemerintahan dilakukan dalam rangka
pembinaan
dan
pengawasan
yang
meliputi
pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. f.
Salah
satu
bentuk
dari
pengawasan
tersebut
adalah
pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang dianggap bertentangan dengan
perundang-undangan
kepentingan umum.
yang
lebih
tinggi
serta
g.
Karena propinsi merupakan wilayah administrasi (wakil pemerintah)
maka
bimbingan,
pelatihan,
dilimpahkan
kewenangan
kepada
pemberian
arahan
dan
propinsi
pedoman,
supervisi
dapat
berdasarkan
asas
dekonsentrasi. h.
Adapun hubungan propinsi dengan kabupaten/kota selain yang ditentukan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan koordinasi dan konsultasi dengan pemerintah propinsi.
i.
Perlu
ada
penegasan
secara
yuridis
bahwa
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, mungkin terjadi suatu tumpang tindih atau setidak-tidaknya berhimpitan satu kewenangan terhadap kewenangan yang lainnya, karena:
(1)
ketidakjelasan
peraturan-peraturan
mengaturnya; (2) batas-batas antara terhadap
yang
satu keweangan
kewenangan yang lainnya tidak jelas dan tidak
tegas yang berakibat timbulnya kekaburan; (3) sering berubahnya peraturan yang menimbulkan ketidakpastian hukum; (4) ketidaksamaan dalam menafsirkan ketentuan perundang-undangan oleh aparatur pemerintah dan DPRD; (5)
sering
terjadi
inkonsistensi
melaksanakan suatu kebijakan
dalam
membuat
dan
baik oleh Pusat maupun
Daerah. j.
Baik UU No. 23/1997 maupun UU No. 32/2004 tidak dengan tegas mengatur mengenai pengelolaan lingkungan yang
melintasi
batas
wilayah
administrasi,
hanya
menyebutkan bahwa antar Daerah dapat bekerjasama. Mengapa
demikian,
karena
menekankan
pada
ditegaskan
adalah
UU
desentralisasi perlunya
No.
32/2004
teritorial.
Yang
rumusan
lebih perlu
tentang
desentralisasi fungsional, yakni pengelolaan lingkungan
yang mendasarkan pada jenis, sifat, dan karakteristik lingkungan yang sangat mungkin lintas batas wilayah administrasi pemerintahan. k.
Sehubungan dengan adanya desentralisasi fungsional tadi, maka perlu dipertimbangkan untuk diatur adanya apa yang disebut
community
penyelenggaraan
government,
pengelolaan
LH
yang
yakni
suatu
bersifat
multi
stakeholders atau multi pihak, yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan komitmen di antara para pemangku kepentingan.
E.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Sumber daya alam sering dipahami sebagai seolah milik bersama,
sehingga siapapun mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya. bersama
(common
properties
resources)
yang
Konsep pemilikan seharusnya
dapat
dimanfaatkan dan dikelola bersama demi kepentingan bersama, sering disalahartikan menjadi sumber milik bersama. Sumber milik bersama berarti
sumber
tanpa
kepemilikan,
sehingga
siapa
yang
dapat
memanfaatkannya terlebih dahulu akan mendapat manfaat sebesarbesarnya, tanpa harus memikul tanggung jawab untuk mengendalikan keberlanjutan sumber tersebut maupun kepentingan orang lain. Selama ini para perencana pembangunan masih bersikap bias dalam memperlakukan sumberdaya alam jika dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Dalam perencanaan tidak tersedia investasi modal yang cukup untuk
memelihara kelestarian sumberdaya alam. Sehingga hal tersebut berdampak pada semakin menurunnya kualitas dan terancamnya kelestarian sumberdaya alam yang selanjutnya dapat menurunkan kesejahteraan manusia, baik saat ini maupun generasi yang akan datang.
Tidak adanya perhatian para perencana pembangunan terhadap masalah-masalah sumberadaya alam dan lingkungan bukan karena kesukaran mencari metodologi.
Namun penyebabnya lebih arah pada
kesalahan menterjemahkan konsep tujuan pembangunan ekonomi itu sendiri.
Pembangunan ekonomi menurut mereka adalah merupakan
segala kegiatan yang dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sesaat tanpa mengabaikan aspek-aspek lainnya.
Sehingga walaupun
secara ekonomi terjadi peningkatan pertumbuhan, namun peningkatan tersebut juga berimplikasi pada menurunnya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan yang mana sangat dibutuhkan juga oleh generasi yang akan datang.
Atas
dasar
pemikiran
di
atas
untuk
mencapai
kegunaan
sumberdaya alam yang mampu memberikan manfaat yang tertinggi bagi kebutuhan masyarakat, baik saat ini maupun generasi yang akan datang, maka kita harus dapat melihat lebih jauh ke depan dengan kemampuan
daya
peramalan
yang
tinggi
terhadap
kemungkinan
perubahan sistem-sistem nilai-nilai masyarakat yang ada. Sehingga kita tidak terperangkap pada pemuasan kebutuhan sebesar-besarnya pada saat ini saja, tanpa melihat kebutuhan sumberdaya alam generasi yang akan datang. Konsep pembangunan yang mampu memberikan manfaat yang tertinggi bagi kebutuhan masyarakat, baik saat ini maupun generasi yang akan datang adalah dikenal dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Pembangunan
Berkelanjutan
sendiri
dapat
diinterpretasikan
dalam terminologi ekonomi sebagai suatu pembangunan yang tidak pernah punah (development that lasts). Secara lebih spesifik diartikan sebagai pembangunan yang memaksimumkan kualitas kehidupan generasi sekarang yang tidak menyebabkan penurunan kualitas kehidupan generasi yang akan datang.
Saat ini tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin berat, baik pada skala mikro maupun makro.
Pada skala mikro,
penduduk yang kehilangan pekerjaan dan mengalami penurunan daya beli, terdorong untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya antara lain: penebangan kayu hutan secara semena-mena, perusakan ekosistem pantai dan mangrove, perusakan terumbu karang, penebangan liar, dan penambangan tanpa izin.
Sementara itu, pada
skala yang lebih besar, sumber daya alam akan dianggap sebagai trade off terhadap krisis ekonomi. Sumber daya alam akan terkuras dalam waktu singkat dengan discount rate yang tinggi, sehingga dapat mengganggu keberlanjutan pemanfaatannya. apabila
kegiatan
industri
melakukan
Keadaan ini diperparah “penghematan”
dengan
mengabaikan biaya lingkungan dalam penetapan biaya produksinya.
Kerusakan sumber daya alam yang hebat dan terus mengalami peningkatan, baik dari jumlah maupun sebaran wilayahnya. Kerusakan tersebut disebabkan baik oleh usaha-usaha komersial yang secara sah mendapat izin, maupun oleh individu-individu yang tak berizin.
Ancaman kerusakan terhadap SDA, di samping disebabkan oleh pertumbuhan penduduk juga disebabkan oleh perusakan langsung melalui konversi lahan untuk berbagai keperluan yang mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar. Karena sumber
daya
alam
menjadi
bagian
penting
dari
daya
dukung
lingkungan, maka kerusakan tersebut bukan hanya telah dan akan menghentikan usaha-usaha komersial yang berbasis sumber daya alam, melainkan juga mengakibatkan kerugian yang dirasakan publik, seperti terjadinya banjir, pencemaran lingkungan, penyebaran wabah penyakit, hilangnya bentang alam yang indah, dan konflik sosial; yang semunya itu
berakibat
pada
penurunan
kesejahteraan
masyarakat
secara
keseluruhan.
Selama pengairan,
ini
sektor-sektor
kelautan,
dan
seperti
pertanian
kehutanan,
mempunyai
pertambangan, orientasi
untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang lebih dianggap sebagai faktor produksi dan komoditas yang seolah-olah dapat dieksploitasi dan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Orientasi sektor yang demikian, telah melemahkan pengelolaan sumber daya alam sebagai suatu ekosistem maupun ekosistem-ekosistem dalam suatu bioregion tertentu. Sumber daya alam publik seperti danau, sungai, pesisir, pulau kecil, maupun bentang alam telah mengalami kerusakan akibat lemahnya penanganan. Adanya produk hukum yang menetapkan rencana tata ruang wilayah, juga tidak didayagunakan sebagaimana mestinya, sehingga secara riil dan sistematis kerusakan ekosistem seolah menjadi sulit dikendalikan.
Perilaku
masyarakat
yang
melakukan
eksploitasi
secara
berlebihan adalah akibat dari lemahnya produk peraturan perundangundangan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam maupun lemahnya kemampuan lembaga publik untuk mengatasinya. Pemanfaatan SDA sebagai komoditas dan sekaligus aset bangsa, ternyata dalam kebijakannya masih mengandung dan mengundang berbagai pertanyaan, yang bahkan sering kali masih berhadapan dengan situasi dilematis antara pelestarian dan pemanfaatan.
Oleh karena itu prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam benar-benar
harus
memperhatikan:
“economically
viable,
socially
acceptable, and environmentally sound”; atau dengan perkataan lain suatu prinsip pemanfaatan sumber daya alam harus benar-benar mengkombinasikan secara sempurna tiga kepentingan yaitu: “pro job, pro people, and pro environment” secara adil dan demokratis.
Ini
mengisyaratkan perlunya pertimbangan-pertimbangan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, kesejahteraan dan keadilan sosial, dan terlestarikannya fungsi lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Landasan pokok tentang pengelolaan SDA dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang sejak awal hingga sekarang tidak pernah diubah. Pasal tersebut menentukan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Ada dua prinsip pokok yang ditegaskan dalam pasal ini : a.
Sumber daya alam, dalam artian bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada di wilayah negara Republik Indonesia berada di bawah penguasaan negara.
b.
Pengelolaan SDA dilakukan untuk mewujudkan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia masa sekarang dan untuk generasi masa yang akan datang.
Dalam perubahan keempat (tahun 2002) terhadap Pasal 33 UUD 1945 ditambahkan ayat (4) dan (5) yang berbunyi sebagai berikut : “(4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.” Ketentuan
ini
mengamanatkan
perlunya
pengaturan
lebih
lanjut
prinsip-prinsip yang diatur dalam ayat-ayat sebelumnya dari Pasal 33 dengan suatu undang-undang.
Pembentukan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (UU PSDA), selain amanat Tap MPR juga merupakan Kebijakan Program Pembangunan Hukum 2002-2004 yang menjadi komitmen DPR dan Pemerintah untuk merealisasikannya.
Sebagai suatu undang-undang
yang baru, maka UU PSDA harus memuat prinsip-prinsip yang terkandung dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001, dan Undang-undang lainnya harus pula menyesuaikannya. Oleh karena itu substansi yang dikandung dalam UU PSDA dapat dijadikan sebagai landasan penilaian dan acuan penyesuaian bagi undang-undang yang terakit dengan sumber daya alam. Maksudnya adalah bahwa UU PSDA berfungsi sebagai norma penyelaras dan norma rujukan bagi undang-undang "sektor", sehingga terjadi harmonisasi kebijakan. Sebagai undang-undang yang mempunyai fungsi sebagai norma "payung"
tersebut,
maka
posisi
peraturan
perundang-undangan
pengelolaan sumber daya alam berada pada titik tengah keterpaduan (integrasi),
keterdekatan
(kohesi),
keterhubungan
(korelasi)
dan
keutuhan (holistik) dalam pengelolaan sumber daya alam, agar tetap konsisten untuk menjalankan prinsip good environmental governance dan
good
sustainable
development
governance.
Peraturan
perundang-undangan pengelolaan SDA ini tidak dimaksudkan untuk mengatur sesuatu yang telah diatur oleh undang-undang "sektoral" dan juga tidak mengatur kewenangan yang telah ada pada instansi sektor maupun pemerintah daerah.
Dengan demikian, yang menonjol dari materi muatan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan SDA ini adalah titik beratnya
pada
pengaturan
tentang
penjabaran
dari
asas-asas
pengelolaan sumber daya alam yang meliputi asas kehati-kehatian (precautionary principle), keadilan antar dan intragenerasi, kepastian hukum (termasuk kepastian usaha), perlindungan masyarakat adat, keterbukaan, keterpaduan antarsektor, dan keberlanjutan. Selain itu juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokrasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih hakiki (genuine) dan terinci dengan menjabarkan prinsip access to information, public participation, dan access to justice; kemudian bagaimana pengakuan dan perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai masyarakat adat dalam pengelolaan SDA; penanganan sengketa yang lebih partisipatif yang meliputi pencegahan, resolusi, penyelesaian dan pemulihan pasca konflik.
Selain itu pula diatur
bagairnana pengawasan dan akuntabilitas publik, serta transparansi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA.
Tak kurang pentingnya adalah pengaturan pemanfaatan sumber daya
alam
bagi sebesar-besar
kesejahteraan
rakyat, peningkatan
pendapatan negara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan dan untuk kepentingan lainnya yang sah. Untuk itu dalam rangka pemanfaatan SDA ini, dipedukan suatu sistem perizinan yang terpadu (integrated licensing system) atau setidaknya perizinan berantai (keffing vergunningen) daiarn upaya pengendalian pernanfaatan SDA dan mencegah bahaya. Dengan demikian keberadaan izin ini tidak dimaksudkan sebagai kebijakan dalam rangka eksploitasi.
Hal lain yang juga menonjol adalah apa yang disebut dengan pendekatan bioregion (kawasan pengelolaan) dalam pengelolaan SDA. Pendekatan
ini
digunakan
untuk
mendapatkan
keseimbangan
kebutuhan hidup dan potensi sumber daya alam yang ditentukan berdasarkan kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial.
Pendekatan ini
bertujuan untuk pemulihan dan pemeliharaan fungsi ekosistem melalui tanggung jawab pada kelestarian SDA, daya tarik budaya, dan proses ekologi, desentralisasi, dan keseimbangan sosial. Asumsi-asumsi dasar yang acapkali didiskusikan sebagai hal penting dalam pendekatan bioregion
pada
pengelolaan
sumber
daya
alam
adalah:
(1)
ada
keragaman karakteristik ekosistem namun semuanya saling tergantung; (2) ada kesatuan antara ekosistem alam dengan masyarakat; (3) kesatuan yang ada tidak dibatasi oleh batas administratif dan etnis;(4) diperlukan sinergi dan pengembangan pengetahuan modern dan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam; (5) perlu kerjasama dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangaan bioregion, (6) partisipasi semua pihak dalam penyusunan kebijakan serta kemampuan adaptasi pada perubahan yang terjadi dalam bioregion.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pengelolaan SDA
ini
adalah
aspek
kelembagaan
yang
mampu
mendorong
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang dilandasi oleh tata pemerintahan yang baik. Secara kelembagaan juga mampu secara efektif, obyektif, imparsial dan responsif memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kepentingan dalam pemanfaatan SDA, baik antarinstansi (sektor) pemerintah, antara Pusat dan Daerah, antar-daerah, maupun antar-komponen masyarakat.
1. Alam
Pendekatan
Bioregion
(Kawasan
Pengelolaan)
Sumberdaya
Mengapa
pendekatan
bioregion
pengelolaan sumber daya alam (SDA)?
perlu
diterapkan
dalam
Pendekatan pembangunan
selama ini cenderung mengutamakan kawasan perkotaan daripada perdesaan,
sehingga
kawasan
pembangunan perkotaan. mengutamakan
wilayah
perdesaan
tertinggal
jauh
dari
Pendekatan pembangunan juga cenderung daratan
daripada
lautan,
sehingga
pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya sampah, limbah).
Pengelolaan SDA terkotak-kotak dalam wilayah administrasi yang kecil-kecil yang seringkali lebih sempit daripada ekosistem serta menimbulkan koriflik antar daerah. Padahal daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang, sehingga diperlukan kerjasama antar daerah untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA, dan tumpang tindih kebijakan di antara sektor-sektor tersebut.
Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada bersifat atas-bawah (top-bottom) dan tidak memperhatikan budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat, antar sektor dan antar kawasan. Terkotak-kotaknya
wilayah
ekosistem
ke
dalam
wilayah
administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok masyarakat setempat
terganggu
kehidupan
ekonominya,
seperti
masyarakat
pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan, mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma sosialnya. Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam, sementara kemajemukan sosial budaya menjadi kenyataan dalam kehidupan, sehingga
pembangunan
karakteristik lokal.
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
Hal ini menyebabkan pernbangunan tidak efektif,
tidak efisien dan boros, serta menimbulkan banyak konflik sosial.
Penegakan
hukum
masih
sangat
lemah
karena
hukumnya
tumpang tindih dan eksploitatif-sektoral serta dibuat dalam sistem yang sentralistik dan represif.
Dalam sistem otonomi daerah sekarang,
daerah membuat peraturan daerah (PERDA) sendiri yang bisa saling bertentangran dengan perundang-undangan sektoral di atas, karena perundang-undangan
sektoral
tersebut
tidak
mengakomodasi
kepentingan daerah.
Penegakan hukum tidak dapat dilakukan karena. Perundangundangan yang ada tidak mengakui keberagaman hukum adat yang mengatur pengelolaan SDA setempat, sehingga masyarakat merasa tidak menjadi bagian dari sistem hukum. tersebut.
Menurut sistem hukum yang berlaku sekarang, SDA dikuasai oleh negara c.q. pemerintah.
Sistem, ini tidak memberi ruang bagi
penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut. Hal ini menyebabkan konflik akibat klaim. negara atas penguasaan SDA oleh masyarakat secara individual maupun komunal. Keadaan ini mengakibatkan ketidakjelasan pemegang mandat
pengelolaan
SDA
menurut
hukum
negara,
sebaliknya
masyarakat yang secara de facto mengelola SDA setempat tidak
mempunyai kekuatan hukum. untuk mencegah eksploitasi SDA di wilayahnya sendiri oleh orang/kelompok orang di luar komunitasnya. Hal ini mengakibatkan terbukanya akses SDA terhadap eksploitasi yang tidak terkendali oleh siapa pun (open access).
Basis dari konsep bioregion adalah biogeografi. Biogeografi adalah ilmu yang mempelajari pola distribusi tumbuhan dan hewan dengan menggunakan organisme.
pendekatan
analisis
spatial
terhadap
distribusi
Pada awaInya konsep biogeografi banyak niendapatkan
kritik karena belum dapat memberi jawaban atas pertanyaan tentang alasan mengapa dinyatakan bahwa tumbuhan tertentu hanya dapat hidup di suatu daerah tertentu. Salah satu hasil kajian yang bersifat fenomenal dengan menggunakan pendekatan konsep biogeografi adalah ditemukannya garis Wallace di Indonesia bagian Tengah.
Konsep
biogeografi
jarang
sekali
menyentuh
faktor-faktor
lingkungan alam lainnya dalam satu ekosistem dan faktor manusia dengan aktivitasnya terhadap terjadinya pola distribusi tumbuhan dan hewan tersebut. Hal ini kemudian dipandang sebagai satu kelemahan mendasar dari konsep biogeografi.
Karena itu, dalam perkembangan
selanjutnya biogeografi mulai menyentuh faktor-faktor ekosistem dati kegiatan-kegiatan manusia untuk memahami pola distribusi organisme mahluk hidup (tumbuhan dan hewan) dalam suatu lingkungan geografi pada masa lalu dan pada saat ini. Bersamaan dengan perkembangan tersebut kemudian muncul istilah baru yang dikenal sebagai konsep Bioregion.
Dengan
demikian,
konsep
bioregion
merupakan
kajian
deterministik dari gabungan pengetahuan tentang klimatologi, fisiografi, hidrologi,
geografi
tumbuhan
(plantgeography),
geografi
hewan
(zoogeography), sejarah kejadian alam, dan beberapa deskriptif ilmu
alam lainnya, termasuk manusia dan aktivitasnya serta kaitannya dengan faktor lingkungan alam lainnya sebagai suatu kesatuan ekosistem.
Jika dilihat dari dimensi waktu maka konsep bioregion juga dikembangkan sebagai dasar untuk menyusun perencanaan suatu daerah. Di Amerika Utara misalnya, pernerintah Kanada dan Amerika Serikat pada tahun 1996 telah mengeluarkan definisi Bioregion yang diadaptasi dari Vie Bioregional Association of North Americas (BANA). Definisi bioregion ini mencakup : (a) penemuan, pemahaman, restorasi daii pemeliharaan sistem alam lokal; (b) pembangunan dan penerapan cara-cara praktis berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia; (c) mendukung pembangunan budaya baru berdasarkan situasi hakiki suatu daerah (biogeography).
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa paling tidak terdapat 2 perbedaan penting dari konsep bioregion dengan biogeografi, yaitu: (1) dimasukkannya dimensi waktu dalam konsep bioregion, masa yang lalu dan waktu yang akan datang, sebagai unit analisis mengkaji fenomena lingkungan di suatu wilayah; dan (2) dimasukkannya dimensi manusia dan kegiatannya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dalam konsep bioregion. Sedangkan, kesamaan mendasar dari kedua konsep tersebut adalah digunakannya sudut pandang ruang (spatial) untuk memahami fenomena lingkungan di suatu wilayah.
Dengan demikian, secara praktis dalarn aplikasinya bahwa konsep bioregion tetap bertumpu pada hasil kajian biogeografi atau fenomena geografi,
tetapi
ditambah
dengan
tataran
kesadaran
masyarakat
mengenai suatu tempat (ruang) dan kesadaran bagaimana mereka dapat melangsungkan kehidupanya di wilayah tersebut.
Dari pengertian di atas, dikatakan bahwa penentuan garis batas entitas suatu biogeografi yang paling tepat berdasarkan konsep bioregion pada akhirnya harus digambarkan dan balikan ditentukan oleh kognisi dan afektif masyarakat setempat terhadap lingkungan alamnya. Kognisi tersebut dipengaruhi oleh kondisi nyata yang ada di wilayah setempat sebagai nilai-nilai lhigkungan (environmental value) yang diterima (perceived) dan ditanggapi oleh masyarakat setempat. Karena itu, dalam aplikasi konsep bioregion perlu juga dikaji sikap-sikap atau afektif masyarakat setempat terhadap nilai-nilai lingkungannya, sehingga dapat diketallui seberapa jauh dan seberapa penting nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan tingkat pemahaman terhadap resiko dan manfaat optimal suatu kondisi lingkungan tertentu di wilayah lingkungannya. Cara berpikir dari individu atau kelompok masyarakat atas sumberdaya di lingkungannya, termasuk gambaran masa dopannya, akan dapat menunjukkan gambaran mengenai pandangan hidup (way of life) dari komunitas masyarakat setempat.
Cara berpikir seperti ini kemudian
disebut sebagai paham atau ideologi bioregionalisme (bioregionalism).
Ideologi bioregionalisme mencakup teori dan sistem terpadu yang praktis dari berbagai sektor kehidupan yang berorientasi pada konsep pembangunan berkelanjutan. Kunci dari keberhasilan implementasi konsep bioregion adalah pemahaman tingkat nilai bioregionalisme pada suatu
komunitas
masyarakat
dan
memikirkan
bagaimana
cara
meningkatkan kualitas pemahaman nilai-nilai bioregionalisme tersebut. Hal ini karena setiap komunitas masyarakat memiliki resonansi yang unik terhadap lingkungannya. terhadap
bioregionalisme
Apabila. pemahaman masyarakat
meningkat,
maka.
akan
tercipta
suatu
kesadaran yang tinggi dan mendalam terhadap ruang dan lingkungan hidupnya. hidupnya
Selanjutnya, akan
kesadaran
akan
menumbuh-kembangkan
ruang
dan lingkungan
kesadaran
masyarakat
setempat untuk memiliki (sense of belonging), mengkonservasi, dan melindungi
wilayah
lingkungannya.
termasuk
kehidupan
sosial
komunitas masyarakat setempat.
Dengan demikian, bioregionalisme merupakan suatu mainstream yang mempromosikan cara/pola yang mempertimbangkan ekologi dan sosial budaya untuk mencapai kehidupan berkelanjutan. Sebagai suatu kesatuan wilayah ekosistem: 1.
Bioregion
merupakan
area
geografis
yang
mempunyai
karakteristik tanah, batas-batas alam terhadap aliran air, iklim, dan flora tertentu; 2.
Bioregion mengkaitkan ekosistem, geografis masyarakat dan budaya untuk mendorong ikatan sosial yang diharapkan dapat meningkatkan ikatan eko-budaya yang mengakar pada. suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi;
3.
Batas bioregion tidak dapat ditentukan dari ”atas” karena bioregion adalah konsep ekologi dan budaya yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Sebagai batasan ekosistem dan sosial-budaya, bioregion adalah suatu wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora dan fauna asli (native), dan pola interaksi manusia dengan alam yang salah satunya menghasilkan kearifan budaya. yang nienggambarkan integritas sistern alam dan lingkungan serta. kondisi kesadaran untuk hidup di wilayah tersebut.
Bioregion memadukan ekosistem darat,
pesisir, dan laut termasuk ekosistem pulau kecil dengan masyarakat dan kebudayaannya dalam konteks ruang, untuk keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
Sebagai suatu pendekatan, konsep bioregion merupakan:
1.
pendekatan
bawah-atas
(bottom
up)
untuk
mendapatkan
keseimbangan di antara kebutuhan hidup dan potensi sumber daya.
alam
berdasarkan
di
dalam
kriteria.
wilayah
ekonomi,
bioregion ekologi,
yang
dan
ditentukan
sosial
dengan
mengutamakan pemulihan dan pemeliharaan fungsi eksosistem untuk mendukung kepentingan masyarakat melalui:
2.
a.
tanggungjawab atas kelestarian sumber daya alam;
b.
daya tarik budaya dan proses ekologi;
c.
tujuan politis desentralisasi dan keseimbargan sosial.
dari
sudut
keanekaragaman
hayati
bioregion
merupakan
pendekatan holistik dan tetap mempertahankan kekhasan lokal (local specific) berdasarkan karakteristik, keunikan ekosistem, dan budaya setempat.
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus didahului dengan proses orientasi dan identifikasi untuk mengenali karakteristik lokasi di mana
pemangku
utama
tinggal,
yang
sangat
berguna
untuk
mengidentifikasi potensi dan keterbatasamiya, sehingga masyarakat diharapkan bertindak bijak dan arif terhadap lingkungan alam, dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih efektif karena mengakomodasi keunikan dan karakter sosialbudaya masyarakat setempat.
Prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan bioregion adalah: 1.
pengelolaan perairan terintegrasi dengan daratan dan komponen lainnya
2.
pengelolaan suatu bioregion tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif dan batas etnis
3.
pengelolaan
bioregion
berkelanjutan
dilakukan
(sustainable
dengan
management)
manajemen
yang
bercorak
dalam
kawasan
kolaboratif, partisipatif, dan koordinatif 4.
dapat dikelola (manageable)
5.
mengacu pada realitas sekarang
6.
keterwakilan dan repetisi
7.
aktivitas
konservasi
tidak
hanya
sebatas
konservasi, tetapi mencakup kawasan di luar konservasi 8.
holistik dan lokal spesifik
9.
tercapainya sistem pengelolaan yang adil, demokratis, transparans dan akuntabilitas
10.
terjadinya keterlekatan antar semua pihak; dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Elemen bioregion yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah: 1.
Kawasan Lindung yang terdiri dari berbagai ekosistem alam yang dilindungi;
2.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dikelola secara kesatuan yang utuh dari hulu hingga muara/batas kontinen, termasuk manusia yang hidup dan tinggal di dan sekitar DAS;
3.
Kawasan Pesisir dan. Laut yang dikelola untuk melindungi ekosistem-ekosistem kunci
4.
Teluk
5.
Kawasan
Budidaya
Kehutanan,
Perkebunan,
Pertanian,
Peternakan, Perikanan yang dikelola untuk tujuan jangka panjang 6.
Lahan
terdegradasi
yang
direhabilitasi
untuk
berbagai
penggunaan yang berorientasi jangka panjang; 7.
Pertambangan yang dikelola untuk efisiensi pemanfaatan sumber daya
alam,
dengan
meminimalisasi
memberikan manfaat bagi sektor lain;
dampak
negatif
dan
8.
Ekosistem Pulau Kecil/Kelompok Pulau Kecil tak dihuni dan dikelola untuk kantong keanekaragaman hayati;
9.
Institusi/Kelembagaan berbasis komunitas lokal yang mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati;
10.
Ekosistem kota yang dikelola untuk mendukung pendanaan konservasi keanekaragaman hayati;
11.
Industri;
12.
Manusia
dan
kebudayaannya
(sistem
pengetahuan,
mata
pencarian, teknologi, bahasa, religi, struktur dan pranata sosial); 13.
Sistem penguasaan sumber daya alam (kepemilikan dan akses);
14.
Administrasi pemerintahan dan kebijakan;
15.
Sejarah komunitas;
16.
Mobilitas dan interaksi sosial;
17.
Variabel demografi.
Sedangkan karakter dari bioregion mencakup: 1.
Wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora dan fauna asli yang menggambarkan kondisi geografis dan kondisi kesadaran untuk hidup di daerah tersebut; Bioregion menyatukan ekosistem tertentu.
alam
dengan
Batas-batas
masyarakat bioregion
dalam
harus
konteks
mampu
tempat
menjamin
integritas, resiliensi, produktivitas dan keberagaman ekosistem dalam jangka waktu panjang; 2.
Tidak dibatasi oleh batas administratif dan batas etnis;
3.
Riset dan monitoring;
4.
Pemanfaatan pengetahuan: tradisional, lokal dan ilmiah;
5.
Pengelolaan, adaptif;
6.
Rehabilitasi dan restorasi,
7.
Pengembangan keahlian kooperatif;
8.
Keterpaduan kelembagaan;
9.
Kerjasama internasional.
Dengan
pendekatan
bioregion
maka
persoalan-persoalan
pengelolaan sumber daya alam dapat diatasi, karena dengan pendekatan bioregion berarti: 1.
mengurangi
dikotomi
dan
kesenjangan
perkotaan-perdesaan
dalam pembangunan berkelanjutan; 2.
menyatukan dan mensinkronkan kegiatan pembangunan di darat dan di laut;
3.
mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan sosial dengan berbasis pada masyarakat dan para pemangku kepentingan lokal, serta
bersifat
lintas
daerah
dan
lintas
sektoral,
sehingga
mendorong penyelesaian sengketa antar daerah, antar sektor, dan antar pemangku kepentingan; 4.
mendorong kerjasama antar daerah dan memungkinkan adanya sistem insentif dan disinsentif antar daerah dalam pengelolaan SDA;
5.
bersifat bottom-up, lintas daerah dan lintas sektoral, sehingga kepentingan kelompok masyarakat rentan tersebut di atas dapat diakui dan diakomodasikan;
6.
mengakui keberagaman itu dan setiap pembangunan disesuaikan dengan
karakteristik
lokal
(ekosistem
dan
sosial
budaya
setempat); 7.
menggunakan pendekatan desentralisasi dan menjamin keadilan antar dan inter generasi, kesetaraan gender serta membuka akses terhadap SDA yang lebih besar bagi masyarakat lokal, memiliki sistem yang transparan dan bertanggung jawab (accounability), dan menggunakan indikator pembangunan yang memasukan unsur penyusutan SDA dan lingkungan hidup;
8.
Lintas daerah dan lintas sektoral yang mendorong penegakan hukum yang terpadu, walaupun hukum dan sistem hukum yang ada masih lemah
9.
mengakui keberagaman sosial budaya, termasuk hukum adat, memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangriya hukum-hukum lokal yang lebih sesuai dengan sistem nilai pengelolaan SDA setempat, sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum.
10.
mengakui keberadaan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan SDA
sehingga
mandat
bisa
diberikan
oleh
negara
kepada
masyarakat setempat untuk mengelola SDA secara berkelanjutan. Dengan demikian masyarakat, setempat mempunyai kekuatan hukum.
untuk
mengatur
pengelolaan
SDA
dan
mencegah
adanya
kewajiban
eksploitasi yang berlebihan.
Pendekatan
bioregion
juga
mensyaratkan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan SDA, yaitu: 1.
Generasi
yang
akan
nonpemerintah (ornop)
datang,
diwakili
lingkungan
hidup,
kepentingan untuk dapat menikmati
SDA
oleh yang
organisasi mempunyai
sekurang-kurangnya
sama seperti yang dinikmati generasi sekarang. 2.
Masyarakat adat, yang berkepentingan melestarikan dan menjaga keberlanjutan SDA, meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kehidupan
sosial
budayanya
dari
pengelolaan
SDA,
dan
pengambilan keputusan tentang pengelolaan SDA di wilayahnya. 3.
Masyarakat kesejahteraan masyarakat
lokal,
yang
hidupnya peladang
berkepentingan
melalui
pernanfaatan
berpindah,
pernburu
meningkatkan SDA, dan
seperti peramu,
pengumpul rotan dan hasil hutan lainnya, penambang tradisional, petani, buruh, nelayan tradisional, dan lain-lain.
4.
Masyarakat pendatang, yang berkepentingan untuk memperbaiki kesejahteraan ekonominya dengan ikut memanfaatkan SDA, misalnya
pembuka
tambak,
petani
komoditas,
nelayan,
penambang rakyat, penebang kayu, dan lain-lain. 5.
Buruh, yang berkepentingan untuk memperoleh pekerjaan dari kegiatan pengelolaan SDA, misalnya buruh HPH-HTI, buruh tambang, buruh nelayan, buruh tani, buruh tambak, buruh pabrik kayu, buruh perkebunan, buruh industri yang berbasis SDA, dan lain-lain.
6.
Masyarakat
global,
yang
berkepentingan
melestarikan
keanekaragaman hayati dan keberlanjutan fungsi ekosistem dunia dengan mencegah perubahan iklim akibat pernanasan global dan menikmati jasa lingkungan dari SDA (pariwisata). 7.
Kaum perempuan, yang berkepentingan untuk mendapatkan hak dan akses yang sama dengan laki-laki dalam pengelolaan SDA dan pengambilan keputusan tentang pengelolaan SDA.
8.
Pedagang yang berkepentingan untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan komoditi SDA, misalnya pedagang kayu, rotan, kopi, ikan, udang, dan lain-lain.
9.
Investor domestik dan asing, orang atau kelompok orang yang menanamkan modalnya dalam pengelolaan SDA, dan berharap mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan dari investasinya.
10.
Pemerintah
daerah
yang
berkepentingan
meningkatkan
pendapatan asli daerahnya dan kesejahteraan masyarakatnya melalui pengelolaan SDA. 11.
Pemerintah pusat yang berkepentingan meningkatkan pendapatan dan
devisa
negara
serta
kesejahteraan
rakyatnya
melalui
pengelolaan SDA. 12.
Ilmuwan yang berkepentingan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk keberlanjutan fungsi SDA.
13.
Lembaga
donor
efektivitas
yang
manfant
berkepentingim
dan
daya
guna
untuk dana
meningkatkan bantuan
yang
diberikannya. 14.
Lembaga keuangan yang berkepentingan memperoleh jaininan untuk pengembahan uang yang dipinjamkannya melalui kepastian iklim usaha.
15.
Kaum
profesional
di
bidangnya
(rimbawan,
berkepentingan
untuk
pertambangan)
yang
kesejahteraan
hidupnya
dan
masyarakat meningkatkan
mengaplikasikan
keahlian
dibidangnya. 16.
Para politisi yang berkepentingan mendapatkan dukungan politik dari pengelolaan dan pola alokasi SDA.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, tujuan yang harus dicapai antara lain pengembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Apabila hal ini menjadi misi dari pembangunan tiap daerah, maka sebelum menetapkan sasaran-sasaran pembangunan ada 3 (tiga) kegiatan penting
yang
harus
dilakukan
berkaitan
dengan
pengembangan
bioregion, yaitu: a.
Penguasaan
aspek-aspek
wilayah,
baik
secara
geografis,
demografis dan inventarisasi sumber daya alam di darat dan di laut. Daerah aliran sungai (DAS), kondisi iklim dan kondisi fisik harus dikaji mendalam baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif, b.
Memperhitungkan faktor pembatas/hambatan baik secara ekologi maupun sosial yang dikaji secara kuantatif dan kuantitatif,
c.
Menganalisis
kemampuan
dalam
bidang
pembiayaan,
peralatan/perbekalan dan tenaga kerja secara kualitatif dan kuantitatif.
Dalam pembangunan bukan hanya sektor ekonomi yang di jadikan indikator, tetapi juga harus dikembangkan indikator sosial, lingkungan dan keberlanjutannya. Hal ini harus dikembangkan sebagai kerangka data yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan masyarakat di bidang sosial, untuk mengukur kualitas lingkungan serta keberlanjutannya.
Jadi semua permasalahan itu akhirnya dapat
dikembalikan menjadi permasalahan : man - space - time (manusia ruang - waktu). Hal tersebut dimaksudkan untuk mencari pegangan yang mudah dalam usaha untuk mengerti dan menghayati gejala-gejala yang terjadi di wilayah yang bersangkutan, baik secara positif maupun negatif.
Para pelaku pembangunan pada umurnnya sangat terpukau oleh majunya suatu ilmu pengetahuan sehingga meremehkan masalahmasalah yang kecil, akhirnya menumpuk dan berubah menjadi masalah besar.
Begitu pula dalam penggunaan teknologi yang maju, pada hal
kemampuan para ahli rekayasa lingkungan masih terbatas sehingga investasi yang mempengaruhi kualitas lingkungan sering diselesaikan dengan cara yang kurang menguntungkan. Seharusnya mengidentifikasi berbagai permasalahan, kemudian dianalisis dan dirumuskan dengan pengalaman dan kemampuan yang ada untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini berlaku untuk man (sistem sosial) maupun untuk space (ekosistem). 2.
Beberapa Hal Yang Dapat Dipertimbangkan Dalam Kaitan RUU PSDA a.
Hak Masyarakat Adat Peraturan
perundang-undangan
yang
mengakui
keberadaan hak adat adalah: (1)
Undang-undang Peraturan
Dasar
Nomor
5
Tahun
Pokok-pokok
1960
Agraria
tentang
Pasal
16
Pengakuan terhadap nilai-nilai adat, yang dapat diartikan termasuk juga pengakuan terhadap hak ulayat Pasal 9 ayat(1) menyatakan : “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilainilai agama, adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat” (2)
Pasal
67
UU
Nomor
41
Tahun
1999
tentang
Kehutanan : “(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. ... c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya (3)
Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur Pasal 31 butir c yang menyatakan :
Konsep
“Masyarakat yang menguasai tanahnya dengan hak ulayat dan atau hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang karena Rencana Tata Ruang Kawasan Bopunjur ini pemanfaatan tanahnya tidak sesuai lagi, maka penyelesaiannya diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” penguasaan negara atas bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah menjadi suatu
alat
yang
ampuh
menghilangkan
kedaulatan
masyarakat adat. Berbagai undang-undang seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, UU Nomor 5
Tahun 1967 tentang Peraturan Pokok Kehutanan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Peraturan Pokok Pertambangan, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, serta SK Menteri Kehutanan Nomor 31
Tahun
Kehutanan
2000 telah
tentang
Pelaksanaan
mendasarkan
diri
pada
Pembangunan konsep
Hak
Menguasai Negara (HMN) yang merupakan wujud kekuasaan negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya”
Seperti halnya disebutkan masih dalam Pasal 67 ayat (1) butir b UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, : “melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang“ dan ayat (2) : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah“ Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di satu sisi mengakui keberadaan masyarakat adat, namun disisi lain memberikan pembatasan hak dan eksistensinya.
Secara
mendalam, dapat dilihat bahwa kedudukan masyarakat adat lemah.
Ini
dapat
ditunjukkan
dengan
apabila
kegiatan
masyarakat adat berhadapan dengan kegiatan eksploitasi sumber daya yang didukung dengan undang-undang sentralistik, maupun sektoral, maka masyarakat adat akan dikalahkan dan kehilangan haknya.
Dalam
melakukan
kegiatannya
sendiri
terlihat
pembatasan apa saja yang dapat dilakukan masyarakat adat.
Dari segi eksistensi, berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan ini, bahwa masyarakat adat yang berhak adalah yang diakui keberadaannya, sedangkan dalam ayat (2) pengakuan atas keberadaan suatu masyarakat adat tergantung kepada legalisasi dari peraturan daerah. Sehingga secara tidak langsung eksistensi masyarakat adat tergantung dari lembaga eksekutif /pemerintah dan legislatif. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat adat yang keberadaannya di wilayah pedalaman atau terpencil, atau masyarakat adat yang terlibat konflik dengan pemerintah ?.
Pemahaman dan pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat adat sebenarnya sudah menjadi isu hukum nasional, dimana kondisi yang ada saat ini masyarakat adat cenderung pada posisi yang lemah. Ketentuan yang ada lebih berpihak pada kepentingan investor daripada masyarakat adat.
Berbicara
tentang
kebijakan
dan
peraturan
perundang-
undangan Lingkungan Hidup di Indonesia, kita akan melihat banyak tantangan dalam penyusunan dan implementasinya. Hukum lingkungan dapat dikatakan belum begitu dipahami oleh para stakeholders di Indonesia, sehingga tidak jarang terjadi kendala yang menghambat dalam penerapan suatu kebijakan atau peraturan. “Perangkat peraturan perundang-undangan menjadi instrumen kebijakan yang utama. Termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan ini adalah undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang sifatnya sektoral yang dikeluarkan oleh departemen-departemen dan lembaga pemerintah non-departemen di tingkat pusat, dan peraturan-peraturan daerah. Benih persoalan sering awalnya timbul dari ketidakharmonisan peraturan-peraturan sektoral ini, juga antara peraturan nasional dan peraturan daerah. Masing-masing departemen/LPND sektoral mengeluarkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kepentingan
sektornya, karena lingkupnya nasional maka akan timbul generalisasi. Konsekuensinya, jika diterapkan pada wilayah tertentu akan terjadi benturan antar peraturan sektoral, dan antara peraturan sektoral pusat dan peraturan daerah. Tarik menarik kepentingan antar sektor ini, ditambah lagi dengan kepentingan daerah, akan mengurangi efektivitas berlakunya peraturan perundang-undangan “(Kepala BPHN, 2004). Dari pendapat di atas, kita dapat menarik point-point penting, yaitu : (1)
peraturan perundang-undangan adalah instrumen kebijakan yang utama;
(2)
banyak
sekali
peraturan
perundang-undangan
bersifat sektoral; (3)
adanya tarik menarik kepentingan antar sektor dan antara pusat dan daerah (disharmoni);
(4)
pada
akhirnya
efektivitas
peraturan
perundang-
undangan berkurang
b.
Peraturan Perundang-undangan
Dari segi hierarki peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari pendapat Hans Kelsen tentang Stufenbau des Recht dengan
prinsip-prinsip
peraturan-peraturan
perundang-
undangan. Selain itu hal tersebut berhubungan dengan salah satu dari 3(tiga) pembedaan yang dibuat oleh Roscoe Pound (Rahardjo, 1980 :71), yaitu “apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya”7.
7
Dua pembedaan lainnya adalah : 1. Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu; 2. Apakah yang dikatakan oleh pengadilan itu sama dengan yang dilakukan olehnya.
Menurut Lon L. Fuller, hukum itu dilihat sebagai suatu usaha mencapai tujuan tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena
tekanan
disini
adalah
pada
usaha,
maka
dengan
sendirinya ia mengandung risiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada enerji, wawasan (insight), intelegensia dan
kejujuran
menjalani
(conscientiousness)
hukum
itu
(Fuller
dari
dalam
mereka
yang
harus
Rahardjo,1980:77-78).
Menurut Fuller, ada 8(delapan nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakannya “delapan prinsip legalitas” adalah: (1)
harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara
ad-hoc,
atau
tindakan-tindakan
yang
bersifat
arbitrer; (2)
peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak;
(3)
peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
(4)
perumusan
peraturan-peraturan
itu
harus
jelas
dan
terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; (5)
hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
(6)
diantara
sesama
peraturan
tidak
boleh
terdapat
pertentangan satu sama lain; (7)
peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubahubah;
(8)
harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat
Salah satu fungsi peraturan perundang-undangan adalah menjamin
kepastian
hukum.
Sedemikian
pentingnya
fungsi
tersebut sehingga tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu alasan peraturan perundang-undangan ditaati. Delapan prinsip
tersebut diatas memang terkesan ideal untuk diterapkan di Indonesia, namun sangat penting untuk melakukan perbaikan secara mendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal
ini
untuk
mengurangi
permasalahan
dan
disharmoni dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Beberapa permasalahan disharmoni peraturan perundangundangan, yaitu adanya : 1.
banyak peraturan yang tidak sinkron dan bersifat sektoral;
2.
masalah dalam penggunaan bahasa dan istilah;
3.
perbedaan
penafsiran
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan; 4.
perbedaan antara ketentuan pusat dan daerah;
5.
sanksi dan jangka waktu peraturan perundang-undangan
Prinsip yang seharusnya diterapkan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah bahwa diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain. Dalam hal kaitannya dengan penataan ruang dan tata ruang kawasan Bopunjur, dalam Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, Keppres Nomor 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, masing-masing memiliki materi yang berhubungan. Untuk itu diperlukan adanya kesatuan dalam koordinasi kegiatan yang dilaksanakan. Koordinasi tingkat pusat yang disebutkan dalam ketiga peraturan ini berbeda : -
Keppres Nomor 114 Tahun 1999 Pengendalian pemanfaatan ruang : Bupati/Walikota dan aparat yang ditunjuk bertanggung jawab kepada Gubernur
(Jawa Barat) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Gubernur memperhatikan arahan Menteri, yaitu menteri yang
bertugas
mengkoordinasikan
penataan
ruang
sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat(1) UU Nomor 24 Tahun 1992, yaitu Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri -
Keppres Nomor 62 Tahun 2000 Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri sebagai menteri yang bertugas mengkoordinasikan
-
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) baik ditingkat
Propinsi
bertanggung
jawab
maupun kepada
Kabupaten/Kota
Gubernur
yang
yang
kemudian
melaporkan hasil kerja kepada Mendagri.
Dalam konteks tata ruang daerah, yang digunakan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 adalah jalur kelembagaan pusat dan daerah, sedangkan dalam Keppres Nomor 62 Tahun 2000, jalur yang digunakan lebih kepada jalur fungsi dan substansi yang diarahkan kepada Menko Ekuin. Dalam Keppres Nomor 114 Tahun 1999, kemudian fungsi tersebut lebih ditekankan dengan tanggung jawab gubernur kepada presiden dan Menko
Ekuin
hanya
bertindak
memberikan
arahan
pada
gubernur.
Dari hal tersebut, walaupun apabila kemudian kita menarik (dengan jalur struktur kelembagaan) maka akan menemukan akhir yaitu pada presiden, akan tetapi penggunaan pemegang koordinasi yang berbeda ini akan menimbulkan kerancuan masyarakat awam.
Ketidaksinkronan
peraturan
perundang-undangan
seperti
halnya terjadi pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan masyarakat adat, akan tetapi disisi lain begitu banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang memiliki muatan Hak Menguasai Negara (HMN) yang sangat besar.
Sementara
prinsip
di
Indonesia
adalah
pembatasan
kekuasaan yang bersumber pada Hak Menguasai itu ada pada asas-asas hukum negara kita sebagai negara hukum, yang dilengkapi oleh Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dari Pancasila
serta
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
pelaksanaannya, sebagaimana dikemukakan dalam BAB I angka 7 : “bahwa memperoleh tanah kepunyaan siapapun untuk keperluan apapun dan oleh siapapun harus dilakukan melalui musyawarah dengan yang empunya tanah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya maupun imbalannya. Hanya dalam keadaan yang memaksa, bilamana musyawarah tidak berhasil mencapai kesepakatan, tanah yang diperlukan untuk melaksanakan proyek kepentingan umum dapat diambil secara paksa, melalui tatacara yang diatur dalam undangundang, yang dikenal dengan sebutan pencabutan hak. Tetapi biarpun diperlukan untuk kepentingan umum ada asas umum yang sifatnya universal, berlaku untuk tiap negara hukum, mengenai bentuk dan jumlah imbalannya, yaitu bahwa dengan pengambilan tanah kepunyaannya keadaan bekas pemegang hak tidak boleh menjadi mundur” (Harsono, 2003:47-48) Kekuasaan HMN yang sangat besar ini sebenarnya telah menjadi isu untuk dilakukannya peninjauan atas peraturanperaturan kedudukan
perundang-undangan, dan
eksistensi
agar
masyarakat
lebih adat
memperhatikan dalam
materi
muatannya. Selama ini pemahaman akan masyarakat adat lebih bersifat parsial, sehingga perlindungannya masih jauh dari memadai.
Dalam penyusunan suatu kebijakan seringkali yang terjadi selama ini adalah eksploitasi sumber daya yang diusahakan dilakukan semaksimal mungkin guna mencapai target ekonomi setinggi-tingginya.
Untuk
itu
kebijakan,
dengan
peraturan
perundang-undangan sebagai instrumen utama, diarahkan untuk mendukung program-program eksploitasi dari masing-masing sektor. Pada akhirnya ketika diimplementasikan khususnya di daerah, egosektoral ini saling berbenturan satu dengan lainnya. “....Ketika UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1967, karena strategi pembentukan hukum baru ini masih mengandung kekuatan hukum secara sektoral, ternyata masih menimbulkan perbenturan antar sektor dengan kegiatan sumber daya alam lainnya, seperti kegiatan penambangan, kegiatan perkebunan, penggunaan lahan untuk jalan dan sebagainya. Isu lintas sektor yang timbul dari pelaksanaan Pasal 38 ayat(4) UU Nomor 41 tentang Kehutanan telah menimbulkan penafsiran yang menimbulkan isu hukum antar sektor pertambangan dan kehutanan pula, karena masing-masing kegiatan masih dilihat semata-mata dari pertimbangan hukum sektoral”. (Hardjasoemantri, 2004) Sebagai penjelasan Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan : “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka” Untuk mengatasi konflik antara sektor kehutanan dan pertambangan
yang
disebabkan
pasal
di
atas,
pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan menambah ketentuan dalam Bab Penutup dengan: -
Pasal 83A:
“Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud“ -
Pasal 83B “Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden“ Inti dari permasalahan di atas adalah konflik antar sektor dan
penetapan perpu sebagai solusi konflik, tidak harus terjadi apabila penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan pertimbangan
yang
cermat
dan
akurat,
memperhatikan
kepentingan-kepentingan sektor lain yang juga terlibat dalam wilayah sumber daya alam yang sama, sehingga yang ditetapkan adalah produk peraturan yang tidak bersifat sektoral dan terpadu.
Permasalahan-permasalahan seperti ini cukup banyak terjadi. Adanya ketidaksinkronan dalam peraturan itu sendiri, antar peraturan, dan peraturan-peraturan yang sifatnya sektoral.
Harapan baru muncul seiring dengan ditetapkannya Tap MPR Nomor X/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Arah kebijakan pembaruan agraria dan sumber daya alam diarahkan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor. Salah satu langkah maju penerapan Tap MPR
Nomor
IX/MPR/2001
tersebut
adalah
dengan
diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang diharapkan dapat mulai merintis usaha perpaduan sektor dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
3.
Bahasa dan Istilah
Masalah istilah dan pengertian umum yang digunakan dalam perundang-undangan memang merupakan salah satu masalah pokok dalam penafsiran materi perundang-undangan. Dalam bidang lingkungan hidup, bahasa atau istilah yang digunakan seringkali berkaitan dengan hal-hal teknis.
Lazimnya dalam setiap perundang-undangan didahului oleh pasal-pasal mengenai rumusan atau penjelasan umum tentang istilah-istilah yang digunakan oleh undang-undang. Hal ini penting agar istilah atau pengertian yang digunakan dalam undang-undang tersebut tidak menimbulkan berbagai ragam penafsiran atau makna (Silalahi,2003:36). Salah satu prinsip dalam
penyusunan
peraturan
perundang-undangan
adalah
perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci dan harus dapat dimengerti oleh rakyat.
Hal ini akan lebih banyak terjadi dalam perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan sumber daya air sebab disini banyak digunakan istilah-istilah teknis dan pengertian ilmiah (scientific term) menjadi pengertian hukum (Silalahi,ibid). Beberapa istilah
secara
yuridis
terlebih
dahulu
harus
memenuhi
persyaratan ilmiah untuk dijadikan materi dalam perundangundangan atau kebijakan lingkungan hidup, karena suatu istilah secara yuridis belum tentu sesuai dengan kriteria istilah yang sama dari segi ilmiah atau lingkungan hidup.
Perkembangan baru yang disertai munculnya istilah-istilah atau pengertian-pengertian baru dalam perundang-undangan
demikian tidak selalu jelas pengaruhnya dalam perundangundangan baru.
Baik karena tingkat legalitasnya (hirarki
perundang-undangan), (sebagai contoh – penulis) dimana masalah pencemaran secara lebih lengkap umumnya baru termuat dalam peraturan Menteri atau SK Dirjen atau peraturan yang lebih rendah, maupun yang disebabkan tidak adanya penjelasan mengenai
status
dari
kebanyakan
ketentuan
perundang-
undangan terdahulu, antara lain dengan alasan bahwa undangundang baru belum mempunyai peraturan pelaksanaan dan lain sebagainya. Meskipun ketentuan perundang-undangan yang baru telah dilakukan, kesulitan dan kebingungan pada penegak atau pemakai “jasa hukum” masih tetap dapat terjadi karena sebagian besar peraturan baru ini tidak pernah diterbitkan (apalagi disebarkan) (Silalahi, op.cit, 38)
Selain permasalahan tersebut di atas, contoh penggunaan istilah yang penting untuk dikaji misalnya Pasal 38 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan : “apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi Negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut dapat diizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku“ Sedangkan dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Jawa Barat sebagai peraturan pelaksana, disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2): “apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini terdapat indikasi adanya endapan mineral, kandungan air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai
amat berharga bagi Pemerintah, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut dapat diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku” Perbedaan
yang
ada
adalah
pada
kata
‘negara’
dan
‘pemerintah’, dua kata yang memiliki konsep berbeda. Dalam ketentuan umum perda ini disebutkan bahwa ‘pemerintah’ adalah Pemerintah Republik Indonesia. Pertanyaan yang timbul apabila yang dimaksud penyusun pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia, mengapa penyusun perda tidak menggunakan ‘negara’ sebagaimana dalam keppres, sehingga konsep menjadi sama antara aturan yang lebih tinggi dengan aturan lebih rendah. Pemerintah hanyalah salah satu organ dalam negara, dan apabila istilah ‘pemerintah’ digunakan dalam konteks pasal di atas, maka orientasi
dikhawatirkan
lebih
cenderung
menuju
kepada
penguasaan pemerintah. 4.
Perbedaan Penafsiran Peraturan Perundang-undangan Pertentangan
yang
diakibatkan
perbedaan
penafsiran
atas
kebijakan/peraturan perundang-undangan antar instansi baik secara vertikal maupun horisontal beberapa kali terjadi, dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi, mengingat kondisi struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia yang belum mantap, bersifat sektoral sementara pemahaman terhadap hukum lingkungan juga masih belum memadai. Disisi lain terjadi pula tarik menarik kepentingan sektoral, dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pertentangan. Contoh yang terjadi beberapa waktu yang lalu yaitu pertentangan antara KLH dengan Pemprov DKI Jakarta. Baik Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai institusi dimana Komisi Penilai Pusat maupun
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebagai institusi Komisi Penilai Daerah, masing-masing merasa berhak atas penilaian AMDAL Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Kedua belah pihak merasa memiliki dasar yang kuat. Dari segi hierarki dasar hukum, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang berpegang pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 memang memiliki tingkat yang lebih tinggi dari Keputusan Menteri LH Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Propinsi DKI Jakarta. Namun harus dicermati bahwa Keputusan Menteri LH didasari oleh UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal, sehingga dapat dilihat bahwa kedudukan Keputusan Menteri LH pun tidak lemah. Selain itu dari segi substansi, apabila Keppres Nomor 52 Tahun 1995 direalisasikan, maka tetap memerlukan Amdal sebagai analisis keamanan lingkungan, dan KLH berwenang menilai Amdal Reklamasi berdasarkan PP Nomor 27 Tahun 1999. Pertarungan peraturan perundang-undangan pernah terjadi juga pada sektor lain. Di belakang peraturan perundang-undangan yang dipertarungkan,
ada
kepentingan-kepentingan
sektoral
yang
diperjuangkan agar terlaksana. Secara umum, penggunaan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai ’dasar hukum’, seolah-olah menjadi sesuatu yang legal atau sah. Namun apabila kita mencermati kepentingan di balik penggunaan peraturan perundang-undangan tersebut maka penggunaan peraturan perundang-undangan sebaga dasar hukum, tidak lain hanyalah suatu metode (yang dianggap legal) untuk mencapai tujuan atau keuntungan yang dikehendaki.
Adapun perbedaan penafsiran dari satu peraturan perundangundangan tang sama, sebenarnya kembali kepada (1) tingkat kemampuan pemahaman
pada
ketentuan-ketentuan
hukum,
(2)
apakah
ada
kepentingan sektoral yang melatarbelakangi penafsiran ketentuan hukum, sehingga
penafsiran diusahakan
ditarik sesuai kepentingan
yang
dikehendaki. Untuk hal pertama, harus diakui pemahaman ketentuan hukum di Indonesia tidak sama, dalam arti beberapa pihak masih memiliki kemampuan yang terbatas dalam menginterpretasikan suatu ketentuan, ditambah pula pada beberapa peraturan perundang-undangan memiliki ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Namun pada beberapa ketentuan hukum yang disusun dengan struktur kaidah bahasa dan istilah yang rinci, kecil kemungkinan untuk terjadi perbedaan penafsiran, karena ketentuan tersebut tidak lagi bersifat umum. Namun kebanyakan ketentuan-ketentuan hukum yang ada memiliki susunan bahasa dan istilah yang masih umum, sehingga penafsiran yang dilakukan atau kemudian
interpretasi
menjadi
berbeda
atau
bahkan
menjadi
bias.Beberapa kalangan yang awam pengetahuan hukum, mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan peraturan perundang-undangan. Sementara aktivitas dan lingkup kerja, khususnya di bidang lingkungan banyak diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian terjadi bias atau perbedaan penafsiran,
karena
pemahaman
yang
tidak
memadai
dan
tidak
komprehensif8.
8
Salah satu contoh kasus adalah ketika aparat pemerintahan di instansi X dihadapkan pada suatu Peraturan Daerah Propinsi dan Keputusan Gubernur. Sebagai keterangan, keputusan gubernur tersebut merupakan peraturan pelaksana perda propinsi. Perda tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang pengaturan bangunan di wilayah propinsi yang bersangkutan, sementara keputusan gubernur merupakan dasar penertiban dari pelanggaran terhadap perda tersebut. Yang terjadi adalah aparat pemerintahan di instansi X tersebut, merasa bingung mana yang harus dijalankan, ia menganggap telah terjadi dualisme sehingga penting untuk dilakukan penegasan mana yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam bekerja, atau ia menawarkan alternatif solusi, dan juga mempertanyakan kemungkinan, perda dan keputusan gubernur itu untuk digabungkan menjadi satu buku/aturan saja. Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa pemahaman atas ketentuan (hierarki) peraturan perundangundangan yang tidak memadai, dan ini dimiliki oleh aparat pemerintahan yang dalam lingkup
5.
Hubungan Ketentuan Pusat dan Daerah
Perubahan yang terjadi berkenaan dengan terbitnya Keppres Nomor 2 Tahun 2002 adalah bahwa tugas, fungsi dan kewenangan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dialihkan ke dalam Kementrian Lingkungan Hidup (Askin, 2003:5).
Dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 sebagai penyempurnaan dari UU Nomor 4 Tahun 1982, dinyatakan beberapa hal seperti : 1.
Sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, wewenang pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 8 ayat (1) : “sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah”
2.
Pengelolaan lingkungan hidup di tingkat pusat dan daerah dinyatakan dalam Pasal 11 ayat(1) ; “Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri” Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
dapat melimpahkan wewenang tertentu kepada perangkat wilayah, mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat, dan Pemerintah juga dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya.
tugasnya akan berinteraksi dengan masyarakat. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tulisan Masayu S. Hanim tentang Penegakan Hukum.
Pembentukan hukum di daerah melalui peraturan daerah juga sering mengalami ‘kecelakaan’ karena tidak membantu membentuk hukum lingkungan yang baik di daerah. ….Kasus Puncak
merupakan
bukti
yang
paling
signifikan
dari
perkembangan hukum di daerah yang tidak taat pada ketentuan yang bersifat nasional (Pasal 49-50 UU Nomor 22 Tahun 1999) (Silalahi, 2004).
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, materi kewenangan diatur dalam Pasal 7 mengenai wewenang Pemerintah (1)
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain; (2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional Pasal 9 mengenai wewenang Propinsi: “(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. (2). Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (3). Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah“ Pasal 11 mengenai wewenang Kabupaten/Kota “(1). Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9;
(2). Bidang Pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Selain pasal-pasal di atas, ketentuan lain yang mengatur adalah Pasal 4 PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang wewenang Pemerintah dan Propinsi.
Permasalahan yang terjadi selama ini dalam hal tidak lancarnya hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk dalam hal komunikasi kebijakan, membutuhkan solusi yang efektif. Semua pihak harus berperan aktif membangun hubungan dan komunikasi yang sehat demi kepentingan semua pihak, sehingga alur dan proses kebijakan dapat berjalan dengan lancar. Era otonomi daerah memang mensyaratkan kemadirian daerah termasuk dalam hal kebijakan, akan tetapi tidak lantas hal itu kemudian menafikan hubungan antara pusat dan daerah. Sistem politik yang berubah tidak hanya memungkinkan pola desentralisasi dilaksanakan, lebih dari itu diharapkan adanya timbal balik arus informasi dari daerah
ke
pusat
(bottom-up)
yang
akan
menjadi
bahan
pembentukan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah.
Langkah yang ditempuh Pemerintah Propinsi Jawa Barat adalah
menetapkan:
“Strategi
meningkatkan
kemampuan
birokrasi untuk mengantisipasi dan mengatasi aturan yang tidak konsisten dari Pemerintah Pusat dan belum
tertatanya aturan
hubungan antar lembaga vertikal maupun horisontal serta antara eksekutif dan legsilatif melalui kebijakan memantapkan sinergi
pemerintahan antara pusat dan daerah melalui peningkatan kinerja
birokrasi
koordinasi
dengan
penyusunan
program-program; peraturan
peningkatan
perundangan
antara
Pemerintah dan Daerah.....“ (Renstra Propinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005).
Pembagian kewenangan yang adil dan proporsional juga menjadi agenda penting dan mendapat perhatian besar. Hal ini harus ditegaskan untuk menghindari konflik atau ketegangan antara pusat dan daerah. Ketika komunikasi kebijakan tidak berjalan
dengan
lancar,
dan
pembagian
kewenangan
pun
bermasalah, maka penanganan masalah lingkungan hidup tidak mampu mencapai hasil yang baik.
6.
Sanksi dan Jangka Waktu a.
Sanksi
Dari beberapa peraturan-peraturan perundangan yang dikaji, dapat diamati misalnya pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Jawa Barat, sanksi yang ditetapkan untuk pelanggaran perda adalah 6(enam) bulan kurungan atau denda sebesar Rp 50.000,- , sedangkan pada Rancangan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, sebagai perda terbaru menetapkan sanksi 3(tiga) bulan kurungan atau denda sebesar Rp 5.000.000,Berdasarkan hal tersebut, sanksi berupa denda mengalami peningkatan, dan hal ini cukup positif, mengingat pada periode sebelumnya jumlah denda sebesar Rp 50.000,dirasakan terlalu ringan untuk dijadikan sebagai sanksi pelanggaran rencana tata ruang Jawa Barat. Para oknum tidak akan ragu untuk melakukan pelanggaran karena denda
yang
sedemikian
ringan,
walaupun
sanksi
hukuman
kurungan yang ditetapkan adalah 6(enam) bulan kurungan, tentunya para pelanggar akan lebih memilih membayar denda berupa uang. Hal ini sangat memprihatinkan apalagi jika mengingat para pelanggar tata ruang yang datang dari status dan
kalangan
menengah
ke
atas
yang
pasti
mampu
membayar denda yang ringan tersebut. Dari segi hukuman kurungan, dalam Rancangan Perda Nomor 2 Tahun 2003, mengalami penurunan menjadi 3(tiga) bulan. Hal ini sebenarnya sedikit disayangkan, karena akan lebih baik apabila sanksi kurungan ditetapkan sama seperti Perda sebelumnya, yaitu 6(enam) bulan. Sudah waktunya kita bersikap tegas dalam hal penerapan peraturan dan penataan ruang, karena selama ini baik dari substansi aturan maupun implementasi masih dikatakan longgar sehingga orang tidak akan ragu untuk melanggarnya.
b.
Jangka Waktu Jangka
waktu
peraturan
perundang-undangan
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Salah satu prinsip hukum adalah peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
Jangka waktu adalah hal yang sangat penting karena dijadikan dasar untuk menentukan kapan peraturan tersebut mulai berlaku efektif dan kapan berakhir, hal ini sebagai dasar untuk menentukan bilamana suatu perbuatan atau kegiatan sesuai peraturan perundang-undangan tersebut, termasuk didalam pengaturan atau ketentuan peraturan, atau tidak.
Beberapa
hal
yang
dapat
diamati
dari
peraturan
perundang-undangan di kawasan JABOPUNJUR, misalnya dalam peraturan-peraturan penataan ruang. Pada umumnya, peraturan tersebut mencantumkan lama berlaku peraturan, seperti sepuluh tahun, lima belas tahun, dan lainnya, akan tetapi
selalu
peninjauan
diikuti setiap
dengan 5(lima)
kalimat tahun
‘akan untuk
dilakukan dilakukan
penyesuaian’. Pada kenyataannya, salah satu contoh yang terjadi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah pada tahun ke-lima kemudian bukan mendapat peninjauan dan penyesuaian, namun perubahan secara keseluruhan menjadi peraturan
daerah tentang
rancana tata ruang
wilayah yang baru.
Hal ini mungkin tidak terlalu dirasakan oleh para penyusun kebijakan, namun pada prakteknya aparat yang bertugas dan berinteraksi langsung dengan masyarakat akan menghadapi kesulitan, karena ketika peraturan tersebut masih dalam proses sosialisasi, kemudian harus mengalami perubahan lagi. Sehingga aparat di daerah dan masyarakat seringkali berpendapat bahwa kebijakan yang ada dirasakan sering berganti-ganti dalam waktu relatif singkat. BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Peraturan
perundang-undangan
tentang
pengelolaan
sumberdaya alam ditetapkan dan dilaksanakan secara terpisah oleh berbagai departemen/instansi sektoral di tingkat pusat dan daerah tanpa ada koordinasi dan keterpaduan. Perlindungan pada hak-hak masyarakat adat tidak diberikan secara utuh demikian pula hak-hak masyarakat lokal lainnya. seperti
ini
yang
mengakibatkan
terjadi
peraturan
hampir
Dengan pendekatan
selama
32
perundang-undangan
tahun yang
lebih terkait
tumpang tindih dan inkonsistensi serta tidak menggambarkan cetak biru (blue print) pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Praktik salah urus pengelolaan sumber daya alam di masa silam yang mengantarkan Indonesia pada krisis sumberdaya alam dan krisis-krisis politik, sosial, ekonomi yang menyertainya perlu segera diakhiri.
Pembangunan pembangunan menurunkan
untuk atau
berkelanjutan, memenuhi merusak
sebagai
kebutuhan
kemampuan
suatu saat
sistem
ini
tanpa
generasi-generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya, harus didukung dengan kemauan politik untuk membangun tanpa merusak yang digariskan dalam kebijakan lingkungan dalam perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan. Penggunaan
hukum
sebagai
sarana
berdasarkan
beberapa
kelebihan, yaitu bersifat rasional integratif, memiliki legitimasi dan sanksi serta didukung oleh tersedianya mekanisme pelaksanaan. Dengan demikian, pemecahan masalah-masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup tidak berlandaskan teori semata, tetapi didukung dengan kemauan politik serta penegakan perangkat hukumnya.
Penataan ulang pada struktur penguasaan dan sistem pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan bersama-sama oleh semua pihak.
Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam telah dimanatkan oleh TAP MPR No.IX/MPR/2001.
Atas dasar itu maka untuk saat ini ke depan yang diperlukan adalah pijakan baru dalam mengelola sumberdaya alam. Adanya undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya alam diharapkan sebagai cetak biru yang akan memberikan arahan yang tegas bagi pengelolaan sumber daya alam secara adil, demokratis dan berkelanjutan.
Sejalan dengan amanat untuk melakukan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam tersebut, upaya ke arah pembentukan undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam saat ini masih terus berjalan. kebijakan
pembangunan
hukum
(tertulis
Disamping itu, atau
peraturan
perundang-undangan) yang dituangkan dalam Program Legislasi Nasional selama tahun 2005 – 2009 telah menetapkan sebanyak 37 RUU, yang substansinya mengatur atau terkait dengan pengaturan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dari 284 RUU yang akan digarap bersama Pemerintah dan DPR selama lima tahun.
Perencanaan
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan ini menjadi satu hal yang penting, terutama karena di dalam
fase
perencanaan
perundang-undangan
yang
ditetapkan akan
prioritas
dibentuk
peraturan
sesuai
dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam nasional Indonesia, adalah antara lain, dari aspek peraturan perundang-undangan.
Selain banyak
peraturan yang bertentangan antara satu peraturan dengan yang
lain, juga karena materi muatannya tidak sesuai dengan prinsipprinsip
tata
pemerintahan
yang
baik
dalam
pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam.
Oleh karena itu, telaahan dan kajian yang mendalam terhadap rancangan-rancangan peraturan perundang-undangan sangat perlu dilakukan.
Kajian-kajian, kritikan, komentar atau
tanggapan terhadap rancangan sebuah undang-undang bukan dimaksudkan untuk menghambat dikeluarkannya peraturan yang bersangkutan, akan tetapi justru agar peraturan itu pada saat terbentu dan diberlakukan tidak lagi terlalu banyak menghadapi resistensi, penolakan atau bahkan upaya pembatalan melalui Mahkamah Konstitusi, karena dianggap inkonstitusional atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Oleh karena itu, Tim atau Kelompok Kerja Sumber Daya Alam BPHN disamping melakukan kajian ulang (review) terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah ada yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, juga mengkaji dan
mengkritisi
beberapa
rancangan
peraturan
perundang-
undangan yang akan mengatur sumber daya alam, yaitu RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Berkaitan
dengan
RUU
Sumber
Daya
Agraria,
yang
substansinya mengatur tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sesungguhnya nomenklatur “Sumber Daya Agraria” RUU ini tidak
sesuai dengan yang disebut dalam Tap MPR No.IX/MPR/2001 yang
menghendaki
adanya
pengaturan
Undang-Undang
Pengelolaan Sumber Daya Alam (UUPSDA) dan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). Dengan demikian Tap MPR tersebut tidak memerintahkan untuk membuat Undang-Undang tentang Sumber Daya Agraria (UUSDA) sebagaimana yang dirancang oleh Badan
Pertanahan
menyangkut UUPSDA.
Nasional,
sumber
daya
karena
agraria
subtansi
adalah
materi
termasuk
yang dalam
Dengan demikian cukup beralasan pendapat yang
mengatakan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tidak perlu dicabut tetapi hanya diperbaharui dan dilengkapi saja, dan kelengkapannya
adalah
dalam
pengaturan
teknis
mengenai
pembaruan agraria yang mungkin hampir mirip dengan undangundang landreform dahulu.
RUU tentang Perubahan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
dilatarbelakangi
oleh
masih
adanya berbagai kelemahan dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Sistem keterpaduan sebagai ciri utama kelembagaan
pengelolaan lingkungan hidup yang telah dirumuskan dalam UU tentang
Pengelolaan
diwujudkan.
Lingkungan
Hidup
belum
berhasil
Pengelolaan lingkungan lebih bersifat koordinatif,
mengingat wewenang pengelolaan lingkungan secara sektoral tetap
berada
pada
departemen/lembaga
pemerintah
nondepartemen, sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing. Oleh karena itu, perubahan terhadap UU Nomor 23
Tahun
1997
Tentang
merupakan suatu keharusan.
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
Faktor-faktor penyebab utama
perlunya dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 1997 ini, antara lain, adalah:
-
Adanya perubahan jaman dan perkembangan masyarakat yang menuntut lingkungan hidup sebagai determinant factor dalam pembangunan. -
Adanya tuntutan harmonisasi dengan UU sektor terutama dalam rangka otonomi daerah.
-
Belum dimuatnya asas/prinsip yang harus ada dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berdasarkan Good Sustainable Development Governance (GSDG) dan Good Environmental Governance (GEG).
-
Adanya
“cacat”
dalamnya
peraturan-peraturannya
ketidakjelasan
merumuskan
termasuk
di
pasal-pasalnya,
sehingga UU Nomor 23 Tahun 1997 tidak dapat berlaku efektif. -
Sulitnya dalam penegakan UU Nomor 23 Tahun 1997 karena tidak mengakomodasi pendekatan ekonomi dan ekologi
yang
memberikan
landasan
pada
pengelolaan
lingkungan hidup yang mendorong investasi. -
Arah dan perubahan ke depan dengan memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang baik (GEG dan GSDG).
-
Adanya pengaruh internasional/global terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Mengenai RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, tanggapan yang dikemukakan adalah bahwa substansi yang dikandung dalam RUU PSDA harus dapat dijadikan sebagai landasan penilaian dan acuan penyesuaian bagi undang-undang yang terakit dengan sumber daya alam. Maksudnya adalah bahwa UU PSDA berfungsi sebagai norma penyelaras dan norma rujukan bagi
undang-undang
kebijakan.
Sebagai
"sektor",
sehingga
undang-undang
yang
terjadi
harmonisasi
mempunyai
fungsi
sebagai
norma
"payung"
tersebut,
maka
posisi
peraturan
perundang-undangan pengelolaan sumber daya alam berada pada titik
tengah
keterpaduan
keterhubungan
(korelasi)
(integrasi), dan
keterdekatan
keutuhan
(kohesi),
(holistik)
dalam
pengelolaan sumber daya alam, agar tetap konsisten untuk menjalankan prinsip good environmental governance dan good sustainable
development
governance.
Peraturan
perundang-undangan pengelolaan SDA ini tidak dimaksudkan untuk mengatur sesuatu yang telah diatur oleh undang-undang "sektoral" dan juga tidak mengatur kewenangan yang telah ada pada
instansi
sektor
maupun
pemerintah
daerah.
Dengan
demikian, materi muatan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan
pengaturan sumber
tentang
daya
(precautionary
SDA
ini
harus
penjabaran
alam
yang
principle),
dari
meliputi
keadilan
dititikberatkan asas-asas asas
antar
dan
pada
pengelolaan
kehati-kehatian intragenerasi,
kepastian hukum (termasuk kepastian usaha), perlindungan masyarakat adat, keterbukaan, keterpaduan antarsektor, dan keberlanjutan. Selain itu juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokrasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih hakiki (genuine) dan terinci dengan menjabarkan prinsip access to information, public participation, dan access to justice; kemudian bagaimana pengakuan dan perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai masyarakat adat dalam pengelolaan SDA; penanganan sengketa yang
lebih
partisipatif
yang
meliputi
pencegahan,
resolusi,
penyelesaian dan pemulihan pasca konflik. Selain itu pula diatur bagairnana
pengawasan
dan
akuntabilitas
publik,
serta
transparansi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA. Hal
lain yang juga menonjol adalah apa yang disebut dengan pendekatan bioregion (kawasan pengelolaan) dalam pengelolaan SDA.
Pendekatan
ini
digunakan
untuk
mendapatkan
keseimbangan kebutuhan hidup dan potensi sumber daya alam yang ditentukan berdasarkan kriteria ekonomi, ekologi, dan sosial. Pendekatan ini bertujuan untuk pemulihan dan pemeliharaan fungsi ekosistem melalui tanggung jawab pada kelestarian SDA, daya tarik budaya, dan proses ekologi, desentralisasi, dan keseimbangan sosial.
B.
REKOMENDASI
a.
Perlu adanya review dan revisi terhadap sejumlah undangundang sektor yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya agraria sebagaimana amanat Ketetapan
MPR
No.
IX/MPR/2001,
yang
harus
ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR; b.
Perlu adanya sumber
cetak biru (blueprint) mengenai pengelolaan
daya
alam
yang
komprehensif,
kohesif
dan
konsisten yang dijadikan sebagai rujukan bersama dalam penyusunan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
sumber daya alam; c.
Perlu adanya koordinasi substansial dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam
dengan
berlandaskan
pada
prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. d.
Langkah penting yang yang saat ini sangat diperlukan adalah bahwa RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam harus
segera
diselesaikan
pembahasannya,
terutama
tahapan harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan-
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, untuk selanjutnya diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2006.