PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL (PPHN)
KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM DAN POLKAM
Oleh Tim Di Bawah Pimpinan
Irjenpol. Prof.Dr.Farouk Muhammad
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA 2005
KATA PENGANTAR Amandemen Undang Undang Dasar 1945 telah membawa implikasi yang luas dan mendasar bagi kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia. Implikasi tersebut pada gilirannya menuntut perubahan-perubahan yang reformatif di berbagai bidang, antara lain bidang hukum, politik dan keamanan. Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang cepat tersebut maka upaya perumusan perencanaan hukum nasional ke depan harus terus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan tidak saja melibatkan para ahli hukum, namun melibatkan pula para ahli non hukum guna mendapatkan pandangan dan pemikiran yang obyektif bagi perumusan kebijakan di bidang hukum. Pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (Pokja PPHN) Bidang Hukum dan Polkam ini adalah salah satu realisasidari upaya tersebut di atas dalam merumuskan perencanaan hukum nasional, khususnya bidang hukum dan polkam, sekaligus merupakan tindak lanjut dari Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tahun 2003 dan Forum Dialog Hukum dan Non Hukum Tahun 2004. Keanggotaan Pokja dari kalangan hukum melibatkan wakil-wakil dari: Departemen Hukum dan HAM RI (BPHN dan Ditjen Peraturan Perundang-undangan), Mahkamah Agung dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta pakar kejaksaan. Sedangkan di bidang non hukum melibatkan para ahli yang mewakili: Kepolisian RI (PTIK), TNI, LIPI, dan Departemen Luar Negeri. Laporan ini membahas aspek atau permasalahan-permasalahan hukum pada ketiga bidang tersebut dan sekaligus memberikan rekomendasirekomendasi untuk dapat dijadikan sebagai bahan bagi perumusan perencanaan pembangunan hukum pada ketiga bidang tersebut. Bidang hukum memberikan fokus pembahasannya pada penegakan hukum, khususnya berkaitan dengan sistem informasi manajemen perkara di dalam sistem peadilan pidana, diskresi dalam proses penegakan hukum dan kebijakan peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Bidang politik
2
membahas perkembangan politik internasional, perkembangan politik nasional (khususnya berkaitan dengan undang-undang di bidang politik), dan perkembangan politik lokal yang menfokuskan pada masalah Pilkada secara langsung. Sedangkan Bidang Keamanan membahas dua perspektif, yaitu keamanan negara yang tercakup di dalamnya masalah pertahanan negara dan keamanan umum. Secara umum Pokja memandang perlu penataan kembali, baik menyangkut kesisteman maupun perangkat hukum. Oleh karena itu perlu dilakukan amandemen berbagai peraturan perundang-undangan khususnya di ketiga bidang tersebut, penyempurnaan kelembagaan/aparatur, sarana dan prasarna serta penerapan strategi yang tepat dalam mengimplementasikan kebijakan di ketiga bidang tersebut. Dengan selesainya kegiatan ini kami memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT dan mengucapkan terima kasih kepada semua anggota Pokja atas kejasama yang telah diberikan dan kontribusi pemikirannya sebagaimana telah tertuang dalam Laporan ini, serta semua pihak yang telah bekerja keras membantu hingga terselesaikannya Laporan ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyusun Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum dan Polkam. Meskipun jauh dari sempurna, kami berharap Laporan ini dapat menjadi bahan masukan bagi penyusunan perencanaan hukum nasional khususnya di bidang hukum dan Polkam. Kritik dan saran membangun kami harapkan demi sempurnanya Laporan ini.
Jakarta,
Desember 2005
Ketua Tim,
Ijenpol. Prof.Dr.Farouk Muhammad
3
DAFTAR ISI Halaman: KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
RINGKASAN
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................
1
B. Perumusan Permasalahan ..................................................
6
C. Maksud dan Tujuan ............................................................
6
D. Ruang Lingkup ....................................................................
7
E. Pelaksanaan .........................................................................
8
F. Personil Tim ........................................................................
8
POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BIDANG HUKUM ............................................................
10
Manajemen Informasi Penanganan Perkara Pidana
10
A. Latar Belakang Permasalahan .............................................
10
B. Identifikasi Permasalahan ...................................................
13
C. Pembahasan 1. Sistem Informasi Manajemen Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu ............................................
13
2. Beberapa Isu Dalam Penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu .............................................................
20
D. Rekomendasi ........................................................................
29
4
Pengendalian Diskresi Penegak Hukum
31
A. Latar Belakang Permasalahan .............................................
34
B. Identifikasi Permasalahan ...................................................
35
C. Pembahasan .........................................................................
41
D. Rekomendasi ........................................................................ Permasalahan Hukum di Mahkamah Agung Sistem Peradilan Satu Atap di Bawah Kekuasaan
42
Mahkamah Agung .............................................................
42
A. Permasalahan .......................................................................
42
B. Identifikasi dan Pembahasan ...............................................
50
C. Rekomendasi ....................................................................... BAB III
POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BIDANG POLITIK ..........................................................
51
Perkembangan Politik Internasional Lingkungan Strategis Internasional .............................
51
A. Pendahuluan ......................................................................
51
B. Aktor-aktor Utama dalam Hubungan Internasional .........
52
C. Isu-isu Utama Dalam Hubungan Internasional .................
62
D. Lain-lain .............................................................................
69
E. Rekomendasi ......................................................................
74
Perkembangan Politik Nasional Dinamika Politik Nasional .............................................
77
A. Pengantar ...........................................................................
77
5
B. Permasalahan ......................................................................
79
1. Beberapa Masalah Dalam UU 31 Tahun 2002 .............
79
2. Beberapa Masalah Dalam UU No. 12 Tahun 2003 .......
83
3. Beberapa Masalah Dalam UU No. 23 tahun 2003 ........
84
C. Rekomendasi .......................................................................
87
Terhadap UU 31 Tahun 2002 .............................................
87
Terhadap UU 12 Tahun 2003 .............................................
89
Terhadap UU 23 Tahun 2003 ............................................
90
Perkembangan Politik Lokal Implementasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Khususnya Pelaksanaan Pilkada ................................................................................
94
A. Pendahuluan ........................................................................
94
B. Permasalahan dan Pembahasan .........................................
96
1. Dampak Positif Pilkada secara langsung .......................
96
2. Fenomena Perkembangan Politik Lokal ........................
99
3. Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Pilkada dalam
BAB IV
Kaitan Peraturan Perundang-undangan ........................
101
C. Rekomendasi .......................................................................
103
POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BIDANG KEAMANAN ................................................
105
KEAMANAN NEGARA A. Permasalahan .......................................................................
105
B. Identifikasi dan Pembahasan ...............................................
106
C. Rekomendasi .......................................................................
110
6
KEAMANAN UMUM Penanganan Perkara Serba Ringan ...............................
113
A. Permasalahan .......................................................................
113
B. Identifikasi dan Pembahasan ...............................................
114
C. Rekomendasi ........................................................................
116
Komisi Kepolisian Nasional ............................................
118
A. Permasalahan ......................................................................
118
B. Identifikasi dan Pembahasan ..............................................
119
C. Rekomendasi .......................................................................
119
PENUTUP ...............................................................................
121
A. Kesimpulan ..........................................................................
121
B. Saran ....................................................................................
126
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
129
LAMPIRAN ...............................................................................................
131
BAB III
yha: POKJA HP\daftar isi\bphn\2005
7
RINGKASAN Sebagai hukum dasar amandemen UUD 1945 telah berimplikasi luas terhadap kehidupan ketatanegaraan RI termasuk sistem hukum nasional itu sendiri. Amandemen telah merubah tata kehidupan politik secara mendasar menyusul dikeluarkannya paket undang-undang di bidang politik. Bahkan reformasi politik 1998 telah membawa konsekuensi terjadinya perubahan “politik keamanan” di Indonesia. Pada sisi yang lain, perkembangan politik internasional pun, baik langsung ataupun tidak berpengaruh terhadap hukum, politik dan keamanan Indonesia. Semua kecenderungan dan perkembangan di atas, menjadi dasar dan pertimbangan yang penting dalam menyusun perencanaan pembangunan hukum nasional, khususnya bidang hukum, politik dan keamanan. Bidang Hukum Manajemen informasi Penanganan Perkara
Salah satu tuntutan dalam era reformasi adalah bidang hukum terutama menyangkut masalah penegakan hukum sebagai salah satu realitas keadilan. Masyarakat mendambakan kehadiran proses penegakan hukum yang menghasilkan keadilan. Namun seringkali masyarakat masih menemui ketidakpastian dalam proses penegakan hukum manakala mereka terlibat dalam proses penanganan perkara baik sebagai terdakwa, saksi atau karena kepeduliannya terkait dalam proses ketertiban dan keamanan lingkungan. Transparansi dalam proses penegakan hukum masih kurang dijalankan oleh aparat penegak hukum. Sesungguhnya, proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sub sistem akan mengganggu bekerjanya sub sistem yang lain, yang pada akhirnya akan menghambat bekerjanya proses peradilan. KUHAP telah mengintrodusir sistem peradilan pidana yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam: (1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum; (2) Sinkronisasi substansial (substansial syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan (3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati 8
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, aparat penegak hukum memandang penegakan hukum hanya sebagai proses hukum, tidak mempertimbangkan sebagai proses administrasi atau manajemen perkara. Publik tidak dapat mengakses setiap tahapan penyelesaian perkara karena manajemen perkara yang belum terpadu. Ketidakterpaduan administrasi perkara terbukti dari administrasi perkara pidana yang sekarang diberlakukan adalah merupakan administrasi perkara yang disusun secara sektoral yang memperlihatkan ketidaksinambungan administrasi penyelesaian perkara. Seyogyanya aparat penegak hukum secara bersama-sama merumuskan ketentuan administrasi perkara yang mencerminkan kesinambungan proses penyelesaian perkara dengan memperhatikan asas keterbukaan, artinya publik dapat mengakses informasi penyelesaian perkara pada setiap tahap proses, tetapi aparat penegak hukum juga dapat saling melakukan kontrol melalui kebebasan memperoleh informasi. Namun pada sisi lain, ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana ternyata juga telah memberi peluang sebagai hambatan terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu, antara lain dalam hal pra penuntutan dan penyerahan berkas perkara hasil penyidikan PPNS. Pengendalian Diskresi Penegak Hukum
Dalam proses penegakan hukum seringkali dijumpai perilaku menyimpang dari aparat penegak hukum yang tidak netral, tidak obyektif dan tidak menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum. Perilaku menyimpang tersebut terjadi karena penerapan diskresi atas dasar penilaian subyektif aparat penegak hukum tanpa memperhatikan etika profesi menyangkut kewenangan membuat keputusan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya adalah merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur pemikiran pribadi. Diskresi memang diperlukan dalam proses penegakan hukum sebagai pelengkap dari asas legalitas, karena disadari (1) tidak ada perundang-undangan yang demikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia; (2) adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian; (3) kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang; dan (4) adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Pengendalian diskresi penegakan hukum hanya dapat dilakukan dengan meneguhkan nilai-nilai moral para aparat penegak hukum. Oleh karena itu perlu merumuskan nilai-nilai moral 9
secara jelas dan konkrit sebagai norma yang harus ditaati oleh aparat penegak hukum dalam suatu kode etik serta perumusan kebijakan pengendalian diskresi. Sistem Peradilan Satu Atap
Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan mandiri di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi semakin nyata dengan telah terbitnya beberapa undang-undang di bidang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung melakukan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial pada ke empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia yang sebelumnya dilaksanakan oleh departemen yang terkait. Sistem satu atap (one roof system) membawa dampak atau konsekuensi antara lain: (1) pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif menunjukkan pelaksanaan prinsip pemisahan kekuasaan tampak lebih murni dari pemisahan kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Dalam sistem satu atap, hubungan checks and balances antara kekuasaan kehakiman dengan Pemerintah (Presiden) dan DPR hanya ada pada pengangkatan. Pengangkatan Hakim agung mengikutsertakan DPR dan Presiden, sedangkan pengangkatan Ketua, Wakil Ketua dan ketuaketua Muda Mahkamah Agung hanya mengikutsertakan Presiden. Tidak ada hubungan checks and balances dalam pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung; (2) cakupan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman tidak hanya dalam menjalankan kekuasaan dan fungsi yudisial, akan tetapi juga menjalankan kekuasaan atau fungsi administrasi negara, seperti mengangkat dan memberhentikan pegawai, melakukan pengelolaan keuangan dan lain-lain. Bidang Politik Lingkungan Strategis Internasional
Konstalasi politik internasional semakin jauh beranjak dari era Pasca Perang Dingin. Agenda pasca Perang Dingin yang didominasi oleh isu-isu ekonomi, demokrasi, hak asassi manusia dan lingkungan hidup kini telah digantikan oleh isu terorisme internasional, perang melawan terorisme, plorifirasi senjata nuklir, dan masalah keamanan internasional secara umum. Tatanan politik internasional menunjukkan adanya ketegangan antara kehendak sebagian besar komunitas internasional untuk memperkuat multilateralisme, antara lain dengan semakin memberdayakan PBB, dan keinginan A.S. sebagai satu-satunya negara adidaya untuk menunjukkan kepemimpinannya, atau kalau itu tidak berhasil, untuk meninggalkan sistim multilateral dan bertindak sendiri. Dalam skala regional ASEAN, Indonesia memiliki masalah dengan negara-negara Malaysia, Thailand dan Singapura karena persoalan perbatasan dan perebutan pulau-pulau kecil di perbatasan serta konflik sumber daya alam khususnya berkaitan dengan penangkapan ikan dan tambang pasir.
10
Dinamika Politik Nasional
Sejak reformasi mulai berjalan, kehidupan politik di Indonesia ditandai paling tidak oleh beberapa hal berikut: (1) eksistensi sistem kepartaian yang terfragmentasi (fragmented party system); (2) sistem kepartaian lemah (weak party system); (3) keberadaan partai politik yang mengambang (floating parties) dan; (4) pembentukan perwakilan politik berdasarkan mandat (mandatory political basis) masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu diperlukan: sistem multi partai yang didukung tersedianya aturan koalisi dalam pemilu; memperketat persyaratan pembentukan parpol baru; perumusan ideologi, visi, misi dan spesifikasi programyang jelas dan menghindari praktik oligarki dalam manajemen partai. Dalam hal Pemilu legislatif, sistem proporsional dengan daftar calon terbuka cenderung mengarah kembali kepada sistem proporsional tertutup, sebab pilihan terhadap tanda gambar parpol dan kandidatnya sekaligus, ternyata sulit untuk menembus aturan: melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yang merupakan ketentuan untuk terpilihnya seorang kandidat sebagai wakil rakyat. Akibatnya, jika suara yang diperoleh kandidat dalam semua tingkatan pemilihan tidak mencapai BPP, maka kemenangan caleg tersebut sepenuhnya menjadi urusan parpol yang ditentukan berdasarkan nomor urut [Pasal 107 ayat (2)]. Masalahnya, jika hanya nomor urut yang menjadi patokan, maka penggunaan sistem daftar calon terbuka menjadi kurang bermakna. Sedangkan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdapat permasalahan, antara lain menyangkut: (1) regulasi Pasal 5 UU Pilpresyang tidak memberikan time frame yang jelas mengenai pengumuman dan pendaftaran kandidat presiden dan wakil presiden, sehingga menimbulkan ambiguity dan bahkan bersifat kontradiktif dalam pengaturannya; (2) Terdapat beberapa persyaratan capres/cawapres yang kurang memadai, tidak rasional dan amoral yang diatur dalam Pasal 6; dan (3) Penghitungan suara merupakan tahapan yang sangat rawan dari kecurangan, baik karena panjangnya jalur perjalanan birokrasi kotak suara, maupun karena lemahnya pengawasan dan SDM yang tersedia serta adanya pihak-pihak yang bermain untuk melakukan kecurangan. Oleh karena itu perlu amandemen terhadap beberapa pasal dalam UU Pilpres, penyederhanaan birokrasi perhitungan suara, dan melakukan reformasi terhadap eksistensi KPU dan KPUD serta Panwas. Politik Lokal: Pilkada Langsung
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen juga telah mendorong proses demokrasi dan praktik ketatanegaan baru di tingkat lokal, yaitu dengan ditetapkannya ketentuan mengenai Pemilihan Kepala Daerah secara langsung berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan peraturan 11
pelaksanaannya: Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 17 tahun 2005. Hal tersebut melahirkan berbagai fenomena perkembangan politik lokal dan konflik-konflik dalam masyarakat. Berbagai fenomena dan sumber terjadinya konflik adalah perilaku petugas dan beberapa ketentuan mengenai pelaksanaan Pilkada dalam peraturan perundang-undangan antara lain: (1) masalah penambahan daftar pemilih dari warga yang belum terdaftar berdasarkan kesepakatan KPUD, para calon, dan Panwas; (2) penggunaan ijazah palsu oleh pasangan terpilih; (3) pelanggaran terhadap ketentuan PP Nomor 6 Tahun 2005 jo. PP Nomor 17 Tahun 2005; (4) pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan namun oleh KPUD diloloskan dan ditetapkan sebagai pasangan calon; (5) masalah keterlibatan Kepala Daerah terpilih dalam perkara korupsi dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; masalah ketentuan Pasal 106 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa putusan pengadilan tinggi atas keberatan yang diajukan berkaitan dengan sengketa Pilkada bersifat final. Bidang Keamanan Berbagai permasalahan yang menyangkut bidang pertahanan dan keamanan terus saja dihadapi, terutama setelah gerakan reformasi nasional antara lain: (1) keutuhan wilayah, Indonesia telah kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan dan terakhir kita terancam kehilangan pulau Ambalat. Gerakan separatis, baik yang pernah dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga relatif telah dapat dinetralisasikan maupun yang dewasa ini masih tetap mengancam yaitu gerakan Papua Merdeka; (2) berbagai konflik komunal, seperti yang pernah terjadi di Sampit Kalteng, Sambas Kalbar, Kupang NTT, Mataram NTB, dan Ketapang Jakarta maupun yang masih terjadi di Poso Sulteng dewasa ini; dan (3) aksi terorisme internasional, yang walaupun secara kasuistis tidak merupakan ancaman terhadap keamanan negara tetapi dampaknya dapat berakibat pada sikap yang merugikan pada tataran hubungan internasional terutama dari negara-negara maju. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam bidang keamanan adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Dari segi regulasi, pengaturan keamanan negara dinilai menimbulkan kevakuman dan tumpang tindih. Oleh karena itu, dalam janka pendek, untuk mengisi kekosongan hukum tentang pengaturan fungsi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan keamanan negara perlu dibuat suatu piranti lunak sementara, yang secara yuridis tetap mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku tetapi substansinya juga mencakup kebutuhan praktis. Lebih jauh dari itu perlu amandemen terhadap beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara.
12
Penataan instrumen hukum bidang pertahanan negara sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional meliputi: (1) regulasi tentang kebijakan pertahanan negara; (2) regulasi tentang institusi dan prajurit TNI; (3) regulasi tentang sumber daya pertahanan; dan (4) regulasi tentang prosedur pengerahan TNI. Regulasi tentang institusi dan prajurit TNI telah diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Sementara regulasi tentang kebijakan-kebijakan pertahanan negara memerlukan adanya perubahan dan penyesuaian tertentu sehingga terdapat usul akan pentingnya perubahan atas UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam penanganan perkara serba ringan, perlu dikembangkan konsep penanganan yang tidak hanya membebankan tanggung jawab pada Polri tetapi juga komponen masyarakat dan instansi pemerintah lainnya. Secara umum konsep tersebut telah diakomodasi dalam ketentuan Pasal 3 UU RI No.: 2 tahun 2002 tentang Polri yang menetapkan bahwa: “dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian Polri dibantu oleh: (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); (2) Alat Kepolisian Khusus, dan (3) Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Ketentuan tentang PPNS secara substansial telah diatur pada undang-undang masing-masing instansi dan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Tetapi pengaturan tentang Polsus dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa serta ketiga komponen sebagai satu kesatuan sistem dengan Polri belum dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Gagasan untuk memberdayakan potensi lokal dalam penyelesaian perkara pelanggaran hukum serba ringan adalah sejalan dengan tuntutan kepastian hukum sebagai salah satu pilar dalam negara yang menjunjung supremasi hukum. Artinya, bahwa harus ada kepastian bahwa setiap pelanggaran hukum menuntut adanya reaksi sosial. Reaksi sosial tidak selalu harus dalam bentuk sistem peradilan pidana formal; reaksi sosial dalam bentuk informal sekalipun memberikan jaminan tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, jika sistem peradilan pidana formal tidak mampu menjamin kepastian hukum maka sistem informal perlu dikembangkan terutama untuk menangani perkara-perkara pidana serba ringan terutama yang menyangkut pertikaian antar warga dalam suatu komunitas. Komisi Kepolisian Nasional. Ketentuan hukum yang mengaturanya dan berlaku sekarang —yaitu UU No. 2 tahun 2002— menempatkan Komisi Kepolisian semata-mata sebagai badan penasehat Presiden, sehingga berarti bahwa pembuat kebijakan adalah Presiden. Ketentuan tersebut ternyata tidak mengakomodir makna yang terkandung tentang hakekat lembaga tersebut pada umumnya sebagai perumus kebijakan (policy making role) dan sebagai pengawas kepolisian (control role). Oleh karena itu perlu dilakukan amandemen terhadap ketentuan tentang Komisi Kepolisian Nasional dalam UU No. 2 tahun 2002 sehingga dapat meningkatkan peran Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pembuat kebijakan sekaligus pengawas kepolisian.
13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Amandemen yang telah dilaksanakan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan usaha sadar bangsa Indonesia dalam memasuki tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan bertanggung jawab. Perubahan tersebut bukanlah sekedar perubahan, melainkan telah menyusun suatu UUD baru sehingga telah menimbulkan implikasiimplikasi antara lain di bidang politik, hukum dan keamanan. Sebagai hukum dasar amandemen UUD 1945 telah berimplikasi luas terhadap kehidupan ketatanegaraan RI termasuk sistem hukum nasional itu sendiri. Amandemen telah merubah tata kehidupan politik secara mendasar menyusul dikeluarkannya paket undang-undang di bidang politik, yaitu Undang-Undang Partai Politik (UU No. 31 Tahun 2002), Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif (UU No. 12 Tahun 2003), Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No. 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UUNo. 23 Tahun 2003).
14
Bidang otonomi Daerah pun tidak luput dari permasalahan. UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang ditetapkan
sebelum
dilakukannya
amandemen
UUD
1945
telah
diamandemen pula dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah karena banyak persoalan yang krusial dalam pelaksanaannya. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah mendapat pengaturan baru di dalam undang-undang tersebut dan peraturan pelaksaannya kini tengah diuji pelaksanaannya.1 Pilkada Depok menjadi salah satu kasus menonjol yang patut untuk dicermati dan menjadi pelajaran bagi penyempurnaan sistem dan pelaksanaan pilkada di masa mendatang. Di bidang penegakan hukum masih relevan untuk dirumuskannya kembali mengenai paradigma kebebasan hakim, koordinasi dalam sistem penegakan hukum, termasuk juga masalah diskresi penegakan hukum dan manajemen
informasi
penanganan
perkara.
Sementara
itu
upaya
penanganan terhadap tindak pidana yang mengganggu stabilitas seperti korupsi,
pencucian uang, illegal loging perlu mendapat prioritas dan
dilakukan secara terpadu dan terintegrasi. Di bidang pertahanan dan keamanan telah terjadi pemisahan tugas dan kewenangan. Polisi telah dipisahkan dengan TNI; Polisi bertugas menangani masalah keamanan dan ketertiban dalam negeri, sedangkan TNI 1
Pilkada diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP ini selanjutnya diubah oleh Peraturan Pemeraintah Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas PP No. 6 Tahun. 2005.
15
menangani masalah pertahanan (berkaitan dengan kedaulatan negara). Dalam tataran praktis pemisahan tersebut belum berjalan mulus dan memerlukan berbagai ketentuan agar bisa berjalan dengan lancar. Reformasi politik yang terjadi sejak 1998, suka atau tidak suka telah membawa konsekuensi terjadinya perubahan “politik keamanan” di Indonesia menyusul beralihnya kekuasaan dari militer ke sipil. Upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa (good governance) dalam perkembangannya banyak dipengaruhi kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, sehingga kepentingan nasional sering terabaikan. Dalam realitasnya tidak jarang dalam memperjuangkan kepentingannya
disertai
dengan
tindakan
anarkhis
dan
cara-cara
provokatif, sehingga stabilitas keamanan terganggu. Dalam lingkungan strategis, mengatasi ancaman separatisme OPM Papua, penyelesaian konflik komunal dan menjaga perbatasan wilayah perlu terus dicarikan upaya penyelesaian yang mengedepankan pendekatan dialogis. Sementara itu dalam rangka penyelesaian masalah gerombolan bersenjata Geragakan Aceh Merdeka di Aceh telah dicapai kesepakatan damai antara RI dan GAM yang ditandatangani di Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005.2 Pada sisi yang lain, isu teroris dan perang melawan terorisme merupakan masalah yang kompleks yang berpotensi 2 Kesepakatan Damai ditandatangani oleh Hamid Awaludin sebagai Ketua Delegasi Pemerintah RI dan Malik Mahmud mewakili GAM, serta disaksikan oleh Martti Ahtisaari Ketua Crisis Management Initiative. Kesepakatan Damai tersebut diantarannya memuat: (1) Undang-undang baru tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan mulai berlaku selambat-lambatnya 31 Maret 2006; (2) Pemerintah RI akan memfasilitasi pembentukan partai lokal tidak lebih dari setahun setelah penandatanganan; (3) Pemilu lokal digelar April 2006 untuk Kepala Daerah dan 2009 untuk DPRD.
16
meningkatnya
kecurigaan/ketegangan
internasional
disamping
meningkatkan kerjasama internasional. Dalam tataran perkembangan politik internasionalpun telah terjadi pergeseran isu-isu yang langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap Indonesia, baik aspek hukum, politik maupun keamanan. Masalah-masalah hukum dan polkam tersebut di atas telah menjadi bagian dari pembahasan penting dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional (SPHN) VIII di Bali yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Seminar tersebut bertujuan ntuk memperoleh masukanmasukan yang diperlukan bagi pendekatan pembangunan hukum nasional melalui penyiapan penyusunan kebijakan pemerintah di bidang legislasi nasional yang mengatur bidang-bidang polkam, ekonomi keuangan, kesejahteraan rakyat dan hak asasi manusia menjadi satu keterpaduan. Melalui seminar itulah berkembang pemikiran perlunya dialog hukum yang terus menerus di mana BPHN bertindak sebagai Law Dialogue Center. Oleh karena itu sebagai tindak lanjut dan elaborasi dari dari hasil SPHN VIII diselenggarakan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum. Kegiatan ini disamping bertujuan untuk menjembatani pemikiranpemikiran yang berkembang berkaitan dengan pembangunan hukum, juga untuk merumuskan pandangan-pandangan, pendapat dan pemikiran yang sangat diperlukan bagi penentuan langkah kebijakan pembangunan hukum
17
nasional di bidang hukum yang sifatnya menyeluruh dan terpadu dengan bidang-bidang non-hukum. Pelibatan pakar-pakar hukum dan nonhukum dalam kelompokkelompok kerja diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pandangan yang obyektif terhadap
mekanisme dan kerja pembentukan
hukum dan penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan. Untuk lebih menajamkan kembali hasil Forum Dialog tersebut maka pada tahun 2005 ini dibentuk Kelompok-kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Hukum dan Non Hukum agar apa yang telah dihasilkan oleh Forum Dialog tersebut lebih konkrit bagi kepentingan perencanaan pembangunan hukum nasional. Salah satu Pokja dimaksud adalah Pokja Bidang Hukum dan Polkam yang akan membahas perencanaan pembangunan hukum di bidang tersebut.
B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang hendak dikemukakan adalah: 1.
Bagaimanakah perkembangan dan permasalahan-permasalahan yang menonjol di bidang hukum, politik dan keamanan berkaitan dengan perencanaan hukum nasional?
2.
Perencanaan hukum yang bagaimanakah yang perlu diajukan khususnya di bidang hukum, politik dan keamanan?
18
3.
Rekomendasi apakah yang perlu di berikan untuk perencanaan pembangunan hukum nasional di bidang hukum, politik dan keamanan?
C. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan ini adalah menindaklanjuti Forum Dialog Nasional Tahun 2004 khususnya Bidang Hukum dan Polkam guna memberikan masukan konkrit tentang pokok-pokok pikiran Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum dan Polkam. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah: 1.
untuk mengetahui permasalahan-permasalahan secara komprehensif dan mendalam perkembangan bidang hukum, politik dan keamanan;
2.
adanya rumusan pokok-pokok pikiran perencanaan pembangunan hukum di bidang hukum, politik dan keamanan;
3.
adanya rekomendasi bagi pembangunan hukum nasional terutama di bidang hukum, politik dan keamanan.
D. Ruang Lingkup Pembahasan dibagi dalam tiga topik yang masing-masing topik dikembangkan ke dalam sub-sub topik. Ketiga topik tersebut adalah sebagai berikut:
19
Bidang Hukum. Bidang Hukum membahas dua sub-topik, yaitu: (a)
1.
Manajemen Informasi Penanganan Perkara; (b) Pengendalian Diskresi Penegak Hukum: dan (c) Permasalahan Hukum di Mahkamah Agung. Bidang Politik. Bidang Politik membahas tiga subtopik yaitu: (a)
2.
Perkembangan
Politik
Internasioanal);
(b)
Internasional
Perkembangan
(Lingkungan
Politik
Nasional;
Strategis dan
(c)
Perkembangan Politik Lokal Bidang Keamanan3
3.
Bidang keamanan membahas dua perspektif yaitu: Keamanan Negara (termasuk di dalamnya pertahanan negara) dan Keamanan dalam perspektif umum.
E. Pelaksanaan Kegiatan dilaksanakan dalam waktu 12 (dua belas) bulan mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2005 dan dibiayai dengan Anggaran Pembangunan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 2005.
F. Personil Tim Ketua
: Irjenpol. Prof.Dr. Farouk Muhammad
3
Istilah keamanan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan sesuatu. Pengertian keamanan sangat bergantung pada kata yang mengikutinya. Keamanan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: (1) keamanan negara; (2) keamanan umum, dan (3) keamanan manusia (humanity security). Meski saling terkait, keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi dan ketenteraman individu/kelompok orang yang hidup dalam negara. (Mabes POLRI, Kajian Konstitusional tentang Peranan POLRI dalam Pengelolaan Keamanan Negara, Jakarta, 2005.)
20
(Gubernur PTIK) Serkretaris :
Yunan Hilmy, S.H., MH. (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Anggota
Prof.Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H. (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
:
Brigjen TNI Sugeng Widodo, S.H.,M.Si.,MH. (Departemen Pertahanan) Prof.Dr.H. Kaimuddin Salle, S.H.,MH. (Mahkamah Agung RI) Krishna Adi Poetranto (Departemen Luar Negeri) Dr. Dewi Fortuna Anwar, APU (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) A.A. Oka Mahendra, S.H. (Dirjen PP Departemen Hukum dan HAM RI) L. Sumartini, S.H. (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Dr. Satya Arinanto, S.H.,MH. (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Edison Muchlish Mochtar, S.H.,MKn. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Ramelan, S.H.,MH. Pakar Asisten
:
Yul Ernis, S.H.,MH. (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Edi Suprapto, S.H.,MH. (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Pengetik
:
Suliya Subroto 21
BAB II POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BIDANG HUKUM
MANAJEMEN INFORMASI PENANGANAN PERKARA PIDANA
A.
Latar Belakang Permasalahan Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan
bersifat global membawa perubahan pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya. Pandangan nilai-nilai tentang yang baik atau buruk, yang tercela atau terhormat, yang dilarang atau diperbolehkan, telah berubah
22
seiring dengan tuntutan masyarakat. Suasana perubahan yang ditandai dengan maraknya tuntutan sangat dirasakan dalam aktivitas reformasi. Aspirasi masyarakat menghendaki tindakan korektif atas kebijakan masa lalu yang dianggap salah karena tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Salah satu tuntutan dalam era reformasi dewasa ini adalah dalam bidang hukum terutama menyangkut masalah penegakan hukum sebagai salah satu realitas keadilan.
Ketika masyarakat
mendambakan kehadiran proses
penegakan hukum akan menghasilkan keadilan, akan tetapi justru menghadapi ketidakadilan. Proses penegakan hukum ternyata tidak dilandasi oleh cita-cita luhur hukum yaitu keadilan, melainkan lebih banyak dipergunakan bagi pencapaian tujuan dan kepentingan lain, seperti kepentingan kekuasaan melalui intervensi dan tekanan ke badan peradilan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, maupun kepentingan ekonomi yang ditandai gejala praktik dagang hukum oleh aparat penegak hukum. Sementara itu dalam aspek penerapan hukumnya, proses penegakan hukum dijalankan untuk pencapaian tujuan kepentingan pihak-pihak, melalui penafsiran hukum. Para ahli hukum, baik jaksa, hakim maupun advokat bisa berdebat panjang lebar mengenai sesuatu masalah dimana masing-masing mengklaim penafsiran hukum dirinyalah yang paling benar. Dengan kinerja para penegak hukum yang demikian tadi masyarakat pencari keadilan menjadi bingung dan seperti mengalami frustasi, karena mereka menyaksikan bahwa
23
hukum yang digunakan sama tetapi ternyata hasilnya berbeda-beda. Jelasnya, masyarakat merasakan tidak adanya kepastian hukum dan keadilan dalam proses penegakan hukum. Ketidakpastian dalam proses penegakan hukum juga dialami masyarakat manakala mereka terlibat dalam proses itu sendiri baik sebagai terdakwa, saksi atau karena kepeduliannya terkait dalam ketertiban dan keamanan di lingkungannya. Berlarut-larutnya proses penanganan perkara, tidak jelasnya penyelesaian proses penanganan perkara sehingga menyebabkan seseorang bertahun-tahun dalam status menjadi tersangka tanpa ada penyelesaian, saksi pelapor yang tidak pernah mendapat pemberitahuan kapan penyelesaian perkaranya, serta besarnya biaya yang telah dikeluarkan sebagai uang suap atau karena diperas, merupakan penderitaan yang dialami masyarakat pencari keadilan. Singkatnya, pencari keadilan tidak memperoleh informasi yang jelas atas penyelesaian perkara yang ditangani aparat penegak hukum, sehingga proses penegakan hukum bukan lagi menjadi harapan satu-satunya untuk memperoleh keadilan. Transparansi dalam proses penegakan hukum tidak dijalankan oleh aparat penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, aparat penegak hukum memandang penegakan hukum hanya sebagai proses hukum, tidak mempertimbangkan sebagai proses administrasi atau manajemen
perkara.
Publik
tidak
dapat
mengakses
setiap
tahapan
penyelesaian perkara karena manajemen perkara yang belum terpadu. Hal ini sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh aparat punegak hukum karena
24
merupakan peluang terjadinya praktik korupsi dalam proses penegakan hukum. Tidak transparannya proses penegakan hukum juga dapat disebabkan karena sistem hukum itu sendiri, seperti terjadinya bolak-balik perkara dalam sistem pra penuntutan yang diatur dalam KUHAP, tidak terpadunya proses administrasi (manajemen) perkara dalam sistem penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan.
B.
Identifikasi Permasalahan Permasalahan dalam proses penegakan hukum sebagaimana digambarkan
di atas, dapat di identifikasi sebagai berikut : 1.
Apakah asas keterbukaan (transparansi) dalam proses penegakan hukum dapat dilaksanakan melalui pengembangan sistem informasi manajamen perkara terpadu?
2.
Apakah ketentuan dalam perundang-undangan hukum acara pidana yang sekarang
berlaku
sudah
mampu
mewujudkan
asas
keterbukaan
(transparansi) dalam sistem peradilan pidana terpadu?
C.
Pembahasan Sistem
Informasi
Manajemen
Peradilan Pidana Terpadu
25
Perkara
Dalam
Sistem
Apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana? Apakah memiliki pengertian yang sama dengan proses peradilan pidana? Prof. Dr. Loebby Loqman S.H.4) membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses peradilan pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur/faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana adalah dalam arti jalannya suatu peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Sementara itu HAGAN, sebagaimana dikutip oleh Prof Dr. Romli Atmasasmita SH. LLM,5 memberikan pengertian bahwa proses peradilan pidana (criminal justice process) adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Dr. Indriyanto Seno Adji SH. MH.6) membedakan Criminal Justice System dengan Criminal Justice Administration (Administrasi Peradilan Pidana). Criminal Justice Administration merupakan jalannya prosedural dari 4)
hal.22.
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta, 2002,
5)
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Barden,-----------, 1996, hal. 14. 6) Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji SH & Rekan, Jakarta, Edisi Khusus untuk Program Magister Hukum UNPAD, 2002, hal. 9.
26
suatu acara persidangan pidana, yaitu sejak adanya dakwaan sampai dengan diucapkannya suatu putusan bagi terdakwa. Administrasi peradilan pidana merupakan bagian dari cara kerja sub sistem peradilan saja. Sesungguhnya, proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sub sistem akan mengganggu bekerjanya sub sistem yang lain, yang pada akhirnya akan menghambat bekerjanya proses peradilan. Perbedaannya hanya menyangkut obyek yang dipermasalahkan. Jika dalam proses peradilan pidana obyek perhatian dititikberatkan kepada “tersangka” atau “terdakwa” yang disangka melakukan tindak pidana, bagaimana dia harus diperlakukan dan ditentukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang dalam mekanisme peradilan sampai yang bersangkutan mendapatkan status orang yang tidak lagi menyandang pelaku tindak pidana. Sedangkan dalam sistem peradilan pidana, titik berat perhatian ditujukan kepada peran lembaga atau institusi yang terlibat dalam mekanisme peradilan pidana, dimana masing-masing lembaga berperan sebagai sub sistem dalam kesatuan sistem terhadap mekanisme peradilan pidana. Bagaimana cara kerja suatu lembaga dalam sub sistem yang saling berkaitan dengan lembaga dalam sub sistem lainnya akan menggambarkan suatu mekanisme peradilan secara utuh dan menyeluruh, sehingga tujuan
27
diselenggarakannya peradilan pidana dipandang sebagai tujuan bersama dari lembaga-lembaga yang berada dalam sistem peradilan pidana tersebut. Peradilan pidana sebagai sistem dapat ditinjau melalui tiga pendekatan yaitu : pendekatan normatif, administrasi dan sosial. Romli Atmasasmita7 menjelaskan tentang ketiga pendekatan tersebut sebagai berikut : Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga ke empat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organsasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.
7)
lbid hal. 17.
28
Ditinjau dari tujuan sistem peradilan sebagai upaya penanggulangan kejahatan, ketiga pendekatan tersebut akan saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun jika dipandang dari peranan setiap komponen yang berada pada sub sistem dalam sistem peradilan pidana, pendekatan normatif dapat digunakan untuk melihat bekerjanya sistem secara konkrit. Kewenangan dan pembatasan yang dimiliki masing-masing komponen terlihat dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga bisa memiliki ukuran atau kriteria bila terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam memainkan peranannya. KUHAP telah mengintrodusir sistem peradilan pidana yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Apa yang dimaksud dengan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, dikemukakan oleh Prof. Dr. Muladi SH8) bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam : 1)
Sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2)
Sinkronisasi substansial (substansial syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif
8
Dikutip dari Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 17.
29
3)
Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Bagaimana sinkronisasi tersebut di atas diterapkan harus tergambar dalam mekanisme peradilan, ibarat air mengalir yang melewati tempat-tempat tertentu sebagai komponen untuk pemrosesan menuju tahap akhir menjadi air bersih, yaitu manusia tidak lagi sebagai penjahat. Pada setiap tempat pemrosesan harus dijaga agar tidak terjadi kebocoran atau salah proses yang akan mempengaruhi kualitas produksi atau berkurangnya produksi. Oleh karena itu untuk mewujudkan keserampakan dan keselarasan tersebut, bekerjanya komponen-komponen dalam mekanisme peradilan harus bersifat transparan dan memiliki akuntabilitas. Proses penegakan hukum yang tergambar dalam mekanisme peradilan dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan memang telah terselenggara sesuai dengan hukum acara pidana (KUHAP). Namun yang terlihat justru baru kesibukan aparat penegak hukum yang mengoperasikan hukum, dalam hal ini menerapkan KUHAP, tetapi bagaimana semangat aparat penegak hukum untuk jujur menjalankan hukum untuk mencari keadilan masih jauh dari harapan. Aparat penegak hukum masih memandang proses penyelesaian
30
perkara pidana terbatas sebagai “proses hukum”, dan belum melihat peranannya sebagai “proses administrasi”. Dalam sistem peradilan pidana terpadu,
seharusnya
proses
administrasi
(manajemen)
perkara
juga
memperlihatkan sinkronisasi dalam mekanisme peradilan. Suatu perkara yang diawali di tahap penyidikan harus dengan jelas dapat diikuti penyelesaiannya ibarat air mengalir sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Jika suatu perkara penyelesaian harus berhenti di tengah jalan, dihentikan penyidikan atau penuntutan misalnya, harus jelas ketentuan hukumnya dan transparan administrasinya. Tentu saja hal ini memerlukan dukungan administrasi (manajemen) perkara yang transparan dan memiliki akuntabilitas. Ketidakterpaduan administrasi perkara terbukti dari administrasi perkara pidana yang sekarang diberlakukan adalah merupakan administrasi perkara yang disusun oleh masing-masing instansi penegak hukum, kepolisian memiliki ketentuan administrasi perkara tersendiri untuk kepentingan penyidikan, kejaksaan mengatur sendiri ketentuan administrasi perkara untuk kepentingan penyidikan tindak pidana khusus dan penuntutan, pengadilan mengeluarkan sendiri administrasi perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan dan putusan sidang pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan juga
mengeluarkan
sendiri
administrasi
perkara,
untuk
kepentingan
pelaksanaan pemidanaan penjara atau kurungan. Administrasi perkara tersebut masing-masing bersifat sektoral menurut kepentingan masing-masing, memperlihatkan ketidaksinambungan administrasi penyelesaian perkara,
31
sehingga menyulitkan publik memperoleh informasi penanganan suatu perkara. Pada waktu minta informasi ke penyidik dikatakan sudah dilimpahkan kepada penuntut umum, dikejar ke penuntut umum disebutkan bahwa perkara sudah dikembalikan ke penyidik karena belum lengkap. Pencari keadilan yang mengikuti penyelesaian. perkaranya diputus oleh pengadilan negeri dan ternyata banding, sewaktu meminta informasi ke pengadilan tinggi dikatakan berkas perkara belum diterima, begitu dikejar ke pengadilan negeri dikatakan perkaranya sudah putus dan banding di pengadilan tinggi, tanpa diketahui berapa lama seharusnya perkara banding di kirim ke pengadilan tinggi. Berkaitan dengan hal itu seyogyanya, aparat penegak hukum secara bersama-sama
merumuskan
ketentuan
administrasi
perkara
yang
mencerminkan kesinambungan proses penyelesaian perkara. Asas keterbukaan perlu diterapkan dalam arti bukan hanya publik yang dapat mengakses informasi penyelesaian perkara pada setiap tahap proses, tetapi aparat penegak hukum juga dapat saling melakukan kontrol melalui kebebasan memperoleh informasi. Tegasnya perlu dirumuskan adanya sistem informasi manajemen perkara pidana terpadu di lingkungan aparat penegak hukum.
Beberapa Isu Dalam Penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan
32
baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana, sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan sub sistem peradilan yang dapat digambarkan melalui proses jalannya penyelesaian perkara dalam sub sistem penyidikan, sub system penuntutan, sub sistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan. Masing-masing sub sistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan oleh komponen-komponen kepolisian
(subsistem
penuntutan),
penyidikan),
pengadilan
kejaksaan
(subsistem
(subsistem
pemeriksaan
sidang
pengadilan), kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan (sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan). Pelaksanaan keempat komponen dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogyanya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum untuk mengembankan tugas menegakkan keadilan. Namun realitas kehidupan peradilan di Indonesia, masih terdapat pandangan yang egois sektoral, dominasi peranan diantara aparatur penegak hukum. Hat ini terbukti mengganggu bekerjanya sistem dalam peradilan pidana. Di samping itu, ketentuan-ketentuan yang berada dalam hukum acara pidana
ternyata
juga
telah
memberi
peluang
sebagai
terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu, antara lain :
33
hambatan
a. Pra penuntutan •
Penyidik setelah selesai melakukan penyidikan, wajib menyerahkan perkara itu kepada penuntut umum (pasal 110 ayat 1).
•
Penuntut umum yang menerima hasit penyidikan dari penyidik, segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyelidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum (pasal 138 ayat 1).
•
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara itu disertai petunjuk untuk dilengkapi (pasal I 10 ayat 2).
•
Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan kepada penyidik maka penyidikan dianggap telah selesai (pasal 110 ayat 4).
•
Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi maka penyidik segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut umum dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (pasal 110 ayat 3 jo 13 8 ayat 2).
Ketentuan mengenai pra penuntutan tersebut tidak mengatur sampai berapa kali boleh terjadinya bolak-balik berkas perkara
34
antara penyidik dengan penuntut umum. Dengan demikian penuntut umum boleh saja mengembalikan berkas perkara bolak-balik sampai seratus kali sekalipun, sepanjang penuntut umum menilai berkas perkara belum memenuhi persyaratan formil apalagi syarat materiil yang menyangkut pembuktian tindak pidana yang dipersangkakan. Hal ini dapat dimengerti mengingat penuntut umum yang akan mempertanggung jawabkan hasil penyidikan tersebut di sidang pengadilan, sementara itu penuntut umum kurang memiliki peran dalam penyidikan. Secara filosofis, proses pra penuntutan ini pada akhirnya merugikan pencari keadilan, dia tidak segera mendapatkan keadilan. Bahkan sangat mungkin jika proses itu berlarut-larut tiada kepastian, pencari keadilan akan kehilangan hak untuk mendapat keadilan. Bagi saksi dan tersangka tidak memperoleh kepastian kapan perkaranya selesai. Tersangka akan memperoleh status tersangka sepanjang hidupnya apabila ternyata perkara itu tidak dapat diselesaikan akibat proses pra penuntutan. Asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana tidak akan tercapai. Ditinjau dari aspek manajemen, proses pra penuntutan mengakibatkan sistem peradilan pidana terpadu menjadi birokratis, tidak efisien dan tidak efektif. Pertanggungjawaban manajemen menjadi kabur, pada satu sisi penyidik menyalahkan penuntut umum, dan pada sisi lain penuntut umum melemparkan tanggung jawab kepada penyidik.
35
Dari segi realitis pragmatis, persoalan bolak-balik perkara telah menimbulkan konflik horisontal diantara komponen-komponen dalam sistem peradilan pidana. Pernyataan-pernyataan diantara kedua komponen yang berisi tuduhan-tuduhan yang bersifat negatif. Persoalan yang terjadi dalam proses pra penuntutan tersebut antara lain : •
Petunjuk penuntut umum kepada penyidik tidak jelas, mengada-ada.
•
Penyidik tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi petunjuk penuntut umum karena keterbatasan ilmu pengetahuan hukum yang dimiliki.
•
Penyidik tidak dapat mengembangkan petunjuk penuntut umum, karena terpaku kepada kalimat-kalimat yang tertulis dalam petunjuk, dan keinginan untuk cepat-cepat menyerahkan tanggung jawab kepada penuntut umum.
•
Sifat petunjuk yang diberikan secara tertulis memiliki keterbatasan baik dalam mengemukakan oleh penuntut umum maupun penerimaan / pemahaman oleh penyidik.
Terhadap permasalahan-permasalahan tersebut tidak dicarikan upaya pemecahan yang mendasar. Saran yang diberikan pada umumnya agar “dibina koordinasi dan kerjasama yang baik” antara penyidik dan penuntut umum. Saran pemecahan tersebut dapat tercapai apabila hubungan pribadi antara kedua pejabat baik. Jadi saran tersebut tidak menyentuh
36
sistem. Oleh karena itulah dalam interkoneksi antara kedua komponen sistem peradilan pidana, tetap terhambat oleh ketentuan tentang pra penuntutan. Jika kita merujuk kepada asas peradilan cepat, murah dan sederhana, maupun asas, pertanggung jawaban dalam proses hukum, seyogyanyalah ketentuan tentang pra penuntutan ini dihapuskan dan diganti dengan ketentuan
tentang
penyidikan
lanjutan
yang
wewenangnya
diberikan kepada jaksa.
b. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Dalam sistem peradilan pidana terpadu yang diatur KUHAP ditentukan bahwa komponen yang terlibat dalam sub sistem penyidikan selain kepolisian adalah juga institusi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sebagai salah satu institusi yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu, bekerjanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam sub sistem penyidikan diatur tersendiri berdasarkan pasal 107 KUHAP, yaitu : 1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
37
2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hat itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. 3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal
6
ayat
(1)
huruf
b,
ia
segera
menyerahkan
hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. Penjelasan resmi pasal 107 menyatakan sebagai berikut: (a) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya wajib
memberikan
bantuan
penyidikan
kepada
penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. Untuk itu penyidik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. (b) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Hal ini diperlukan dalam rangka koordinasi dan pengawasan.
38
(c)
Laporan dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a disertai dengan berita acara pemeriksaan yang dikirim kepada penuntut UMUM. Demikian juga halnya apabila perkara pidana itu tidak diserahkan kepada penuntut umum.
Ketentuan tersebut memberikan landasan hukum kepada penyidik kepolisian untuk intervensi terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik kepolisian dengan dalih tanggung jawab yang dimiliki dapat melakukan intervensi terhadap penyidikan yang sedang dilakukan oleh PPNS, dan bagi PPNS tidak kuasa untuk menolaknya. Dari ketentuan ini sudah menunjukkan posisi PPNS yang berada di bawah penyidik kepolisian, dapat menghambat bekerjanya sistem. Apalagi bila ditinjau ketentuan tentang pra penuntutan atas hasil penyidikan dari PPNS, dimana PPNS diwajibkan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik kepolisian (pasal 107 ayat (3) KUHAP), ketentuan ini melemahkan sistem peradilan pidana, karena : a.
Pasal 107 (3) KUHAP tidak menentukan batas waktu berapa lama penyidik kepolisian menyimpan berkas perkara tersebut untuk diteruskan kepada penuntut umum.
39
b.
Tidak jelas maksud diadakannya ketentuan tersebut, apakah penyidik kepolisian juga akan memberi petunjuk kepada PPNS menyangkut kelengkapan formal - material berkas perkara. Apabila dikaitkan dengan wewenang intervensi terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, maka hal itu termasuk kewenangan memberi petunjuk kelengkapan berkas perkara, sehingga dengan demikian sesungguhnya penyidik kepolisian mengambil alih wewenang penuntut umum dalam pra penuntutan. Bagaimana konsekwensinya apabila ternyata di kemudian hari petunjuk penyidik kepolisian tersebut berbeda atau mungkin bertentangan dengan petunjuk penuntut umum yang diberikan dalam tahap pra penuntutan. Hal itu berarti proses pemberian petunjuk oleh penyidik kepolisian kepada PPNS menjadi mubazir.
c.
Proses penyerahan berkas perkara hasil penyidikan PPNS melalui penyidik Polri telah menambah panjang rentang birokrasi dan berbelit-belit dalam mekanisme peradilan. Apabila penuntut umum mengembalikan berkas perkara untuk dilengkapi, ia tidak bisa langsung ke PPNS, tetapi juga harus melalui penyidik kepolisian, dan kemudian penyidik kepolisian baru meneruskan ke PPNS. Berapa lama penyidik kepolisian menyerahkan berkas perkara beserta petunjuk penuntut umum kepada PPNS juga tidak ditentukan. Demikian seterusnya proses yang harus dilewati apabila berkas
40
perkara yang sudah dilengkapi itu dikembalikan kepada penuntut umum harus melalui penyidik kepolisian. d.
Hal tersebut secara filosofis akan semakin menjauhkan diri dari proses menemukan keadilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
D. Rekomendasi
Jangka Pendek Aparat penegak hukum secara bersama-sama merumuskan administrasi perkara pidana terpadu untuk menggantikan administrasi perkara, yang bersifat sektoral.
Jangka Menengah. Revisi pasal-pasal perundang-undangan yang menghambat terlaksananya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Jangka Panjang. 1. Penyiapan perangkat lunak untuk sistem informasi manejemen perkara terpadu (SIMPT) 2. Pengadaan perangkat keras untuk mendukung pelaksanaan sistem informasi manajemen perkara terpadu.
41
PENGENDALIAN DISKRESI PENEGAK HUKUM
A.
Latar Belakang Permasalahan Dalam beberapa tahun terakhir kinerja hukum Indonesia dirasakan
semakin kehilangan pamornya disebabkan oleh kegagalan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengayomi dan memberikan keadilan terhadap masyarakat. Kredibilitas hukum banyak menurun, dapat diamati pada gejala-gejala ketidakpuasan masyarakat, seperti perlawanan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang final, perusakan terhadap bangunan lembaga penegak hukum serta ungkapan-ungkapan yang bernada sinis terhadap aparat penegak hukum. Ketidakpercayaan dan kurang penghormatan masyarakat terhadap
42
hukum lebih banyak dipengaruhi oleh tingkah laku aparat penegak hukum seperti mereka yang sengaja mencari-cari kesalahan seseorang dan kemudian melepaskan kembali setelah memperoleh imbalan sejumlah uang, menuntut atau menghukum seorang terdakwa dengan pidana yang ringan karena telah menerima imbalan sejumlah uang, dan sebagainya. Situasi dan kondisi yang demikian terjadi karena aparat penegak hukum kurang memahami apa sesungguhnya makna dari penegakan hukum. Pada proses penegakan hukum seharusnya aparat bertekad untuk bersikap netral, obyektif, tidak pandang bulu karena menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum. Namun dalam praktiknya sikap netralitas, obyektif dan tidak pandang bulu tersebut telah diingkari dengan membelokkan orientasi bahwa penegakan hukum bukan lagi upaya menjalankan hukum dengan jujur untuk mencapai keadilan, akan tetapi lebih berorientasi pada tujuan dan kepentingan pribadi yang sempit. Para penegak hukum tampaknya sibuk menjalankan dan menerapkan hukum, akan tetapi sesungguhnya kesibukan tersebut hanya pengelabuan untuk menutupi kepentingan mereka memperoleh uang dengan memperdagangkan hukum. Pengamatan perilaku aparat penegak hukum yang demikian itu digambarkan secara lebih khusus oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH terhadap perilaku hukum yang dibagi dalam 2 (dua) golongan :
43
1.
Hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut.
2.
Hakim yang apabila memutus terlebih dahulu “berkonsultasi” dengan kepentingan
perutnya
dan
kemudian
mencari
pasal-pasal
untuk
memberikan legitimasi terhadap “putusan perutnya” itu. Hakim tipe ini diberitakan di surat kabar sebagai hakim yang suka melakukan tindakan tidak terpuji untuk memperkaya diri sendiri. Tudingan kolusi di pengadilan-pengadilan, yang sudah luas beredar di pasaran “arus bawah” barangkali berakar pada cara memutus seperti itu.9)
Penggolongan tersebut dapat juga diberlakukan terhadap aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi dan jaksa. Perilaku aparat penegak hukum yang menyimpang terjadi karena pada hakekatnya penerapan diskresi yang menyangkut kewenangan membuat keputusan yang ditentukan berdasarkan batas-batas tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang atau berdasar beberapa alternatif yang diatur oleh undang-undang, diukur menurut penilaian subyektif aparat penegak hukum tanpa memperhatikan etika profesi. Fenomena penyalahgunaan penerapan diskresi dalam proses penegakan hukum sebagaimana yang dimaksud di atas, antara lain :
9)
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hal. 225.
44
•
Penyidik tidak menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai terjadinya tindak pidana, dengan dalih tidak ada biaya penangkapan ataupun biaya operasional. Penyidik tidak menindak lanjuti laporan masyarakat karena telah menerima uang dari pihak terlapor. Penyidik dengan alasan normatif (kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana) melakukan penahanan seorang tersangka, akan tetapi
setelah
menerima
imbalan
uang
tertentu,
penahanannya
ditangguhkan. •
Penuntut umum mengajukan tuntutan perkara yang terlalu ringan karena adanya imbalan uang tertentu dari terdakwa, atau mengajukan tuntutan yang sangat berat, tidak rasional, karena imbalan uang tertentu dari saksi pelapor. Penuntut umum menahan tersangka bukan untuk menjalankan hukum dengan jujur, tetapi sebagai upaya untuk menakuti-nakuti agar tersangka memberikan sejumlah uang.
•
Hakim sengaja menjatuhkan putusan yang ringan atau dibebaskan karena menerima imbalan uang dari terdakwa. Hakim menangguhkan penahanan terdakwa hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang normatif, tidak memperhatikan rasionalitas dan perasaan keadilan masyarakat.
B.
Identifikasi Permasalahan
45
Memperhatikan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka permasalahan dalam penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1.
Apakah perilaku aparat penegak hukum yang menyimpang dalam menjalankan hukum terjadi karena penerapan diskresi secara salah ?
2.
Apakah penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum perlu disertai dengan penegakan kode etik profesi sebagai dasar pengendaliannya ?
C.
Pembahasan Pada dasamya hukum mengandung ide atau konsep-konsep tentang
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Penegakan hukum dengan demikian dapat dirumuskan sebagai suatu usaha atau proses untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan10). Sebagai suatu proses, dalam penegakan hukum dengan demikian harus mengambil keputusan. Setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum akan menempatkan aparat penegak hukum pada kebebasan memilih alternatif-alternatif yang ditetapkan oleh undang-undang atau dalam batas-batas kelonggaran yang diberikan oleh undang-undang. Soerjono Soekanto, dengan mengutip pendapat Wayne A. La Favre, menegaskan bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya adalah merupakan penerapan diskresi yang 10) Satjipto Rahardjo, Masalah Pengakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman - Sinar Baru Bandung, - hal. 15.
46
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur pemikiran pribadi.11) Diskresi memang diperlukan dalam proses penegakan hukum karena disadari bahwa tidak mungkin undang-undang mengatur segala macam peristiwa yang terjadi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Betapapun lengkapnya suatu undang-undang dirumuskan, tetap diperlukan kebebasan aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan yang luwes, sesuai dengan situasi dan tuntutan masyarakat setempat. Jadi, sesungguhnya diskresi dapat merupakan salah satu upaya untuk penyelesaian masalah dalam penegakan hukum. Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti dalam era reformasi, diskresi aparat penegak hukum menjadi penting untuk menerobos aturan-aturan hukum yang bersifat kaku. Penerapan diskresi akan mendorong terwujudnya keadilan sejalan dengan perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Soerjono Soekanto dengan menyitir pendapat Wayne R. La Favre, menegaskan bahwa di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena : 1.
tidak ada perundang-undangan yang demikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
11)
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.
4.
47
2.
adanya
keterlambatan-keterlambatan
undang-undangan
dengan
untuk
menyesuaikan
perkembangan-perkembangan
di
perdalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian. 3.
kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
4.
adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.12
Bagi Prajudi Atmosudirdjo, diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Akan tetapi tidak mungkin bagi undang undang untuk mengatur segala macam kasus posisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya “kebebasan” atau “diskresi” dari pada administrasi negara yang terdiri atas “diskresi bebas” dan “diskresi terikat”, Pada “diskresi bebas” undang-undang hanya menetapkan batas-batas, dan administrasi negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas itu. Pada “diskresi terikat” undang-undang menetapkan beberapa alternatif, dan administrasi negara bebas memilih salah satu alternatif.13) Apa yang dimaksud dengan diskresi, Roeslan Saleh memberikan pengertian sebagai kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil 12)
Ibid., hal. 15 13) Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 80.
48
dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif14). Dari definisi ini nampak bahwa diskresi lebih merupakan hak penguasa dari pada anggota masyarakaat. Dalam proses penegakan hukum, diskresi semakin jelas hak-hak penegak hukum dengan menjadikannya pencari keadilan sebagai obyek. Dalam hubungan antara penegak hukum dan pencari keadilan, diskresi ternyata memang banyak menimbulkan masalah. Jika aparat penegak hukum dengan bebas menetapkan keputusan sebagai kewenangan diskresinya atas dasar keinginan atau kepentingannya sendiri tentang hal-hal yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan, maka sangat mungkin tindakannya akan merugikan kepentingan masyarakat
umum.
Keadaan yang
demikian
akan lebih
meresahkan masyarakat atau pencari keadilan, manakala aparat penegak hukum menerapkan diskresi dengan kekuatan dan kekuasaan, seperti menahan seseorang atau menjatuhkan pidana penjara dengan bukti yang kurang, tetapi dipaksa-paksakan alasan hukumnya. Tindakan-tindakan tertentu dari aparat penegak hukum seperti tindakan kekerasan, tekanan, paksaan melalui penahanan atau pemenjaraan yang termasuk dalam diskresi tersebut, mudah mengundang kritik dan bilamana mencapai tingkat frustrasi akan menimbulkan sikap perlawanan atau pembangkangan
warga
masyarakat
terhadap
aparat
penegak
hukum.
Permasalahan diskresi tersebut terjadi, karena tidak ada pedoman atau kalau ada juga pedoman yang digariskan terbaca sangat abstrak dan susah
14)
Roeslan Saleh, dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal. 155.
49
diterapkan. Oleh karena itu, dalam praktik penerapan diskresi oleb aparat penegak hukum sangat tergantung pada subyektivitas yang bersangkutan. Jika aparat penegak hukum dimaksud menghayati nilai-nilai moral atau etika, maka penerapan diskresi akan melahirkan rasa keadilan dan ketenteraman dalam masyarakat. Sebaliknya, aparat penegak hukum yang tidak berpegang pada nilai-nilai moral, maka penerapan diskresi akan melahirkan kesewenangwenangan. Jadi penerapan diskresi sangat tergantung pada unsur penilaian pribadi aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini, Wayne R. La Favre menyatakan bahwa pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.15) Bagi aparat penegak hukum yang menekuni profesinya di bidang hukum, nilai moral itu merupakan kekuatan yang membimbing dan mendasari perbuatan luhur. Setiap aparat penegak hukum dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Nilai-nilai moral ini dirumuskan sebagai norma yang harus ditaati oleh aparat penegak hukum dalam suatu kode etik. Kode etik profesi hukum yang nantinya dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan diskresi. Dalam praktiknya, aparat penegak hukum belum seluruhnya memiliki kode etik atau jika sudah memiliki ternyata rumusan norma yang disusun terlalu abstrak, tidak memiliki upaya pemaksa yang keras dan tegas seperti yang ada pada hukum positif berbentuk undang-undang. Tidak adanya
15)
Soerjono Soekanto, op cit., hal. 4.
50
pedoman keras dan tegas yang disusun dalam kode etik profesi sehingga menyulitkan pengawasan penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian kode etik profesi yang dirumuskan dengan jelas, konkrit dan disertai upaya pemaksa berupa ancaman sanksi yang keras dan tegas, dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan diskresi sehingga menghindarkan kesewenang-wenangan atau arogansi. Altematif untuk memasukkan upaya pemaksa yang keras ke dalam kode etik profesi, menurut Abdulkadir Muhammad SH16, dilakukan dengan cara: 1.
Memasukkan klausula penundukan pada hukum positif undangundang. Ketegasan sanksi undang-undang diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang
kepada
pelanggarnya. Misalnya dicantumkan ketentuan : “pelanggar kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku”. 2.
Legalisasi kode etik profesi. Dalam rumusan kode etik dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh Dewan Kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan.
Untuk
memperoleh
legalisasi,
ketua
profesi
yang
bersangkutan, mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan pengadilan 16)
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 85-86.
51
yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota yang tidak mematuhi kode etik.
Berkaitan dengan penerapan diskresi dimaksud, maka keberadaan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian menjadi sangat penting dalam melakukan
pengawasan
dengan
berpedoman
pada
kode
etik
profesi
masing-masing aparat penegak hukum. D. Rekomendasi
Jangka Pendek. Sosialisasi kode etik profesi pada masing-masing lembaga aparat penegak hukum maupun kepada masyarakat agar dapat turut mengawasi.
Jangka Menengah. Pemberdayaan Komisi-Komisi yang ada di lembaga, penegak hukum dalam menilai kinerja aparat penegak hukum berdasarkan kode etik profesi yang mengaturnya. Perumusan kembali kode etik profesi dengan mempertimbangkan rumusan upaya pemaksa yang keras melalui klausula penundukan pada hukum positif (undang-undang); atau perumusan ketentuan pengendalian diskresi yang dituangkan dalam peratuarn perundang-undangan ataupun kebijakan
52
yang memberikan pembatasan tentang diskresi yang diperkenankan dan diskresi yang tidak diperkenankan.
Jangka Panjang. Pembinaan mental dan perilaku aparat penegak hukum yang sesuai dengan kode etik profesinya.
PERMASALAHAN HUKUM DI MAHKAMAH AGUNG Sistem Peradilan Satu Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung
A.
Permasalahan Ada satu hal pokok yang akan diangkat dalam hubungan dengan
permasalahan hukum di lingkungan Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Satu Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung.
B.
Identifikasi dan Pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) dalam penjelasannya mengemukakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat) sehingga Pemerintahan berdasarkan konstitusi sebagai dasar hukum.
53
Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tinggi Negara sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor III/MPR/1978 dan kedudukannya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seperti tersebut dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) mengemukakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (hasil perubahan ketiga). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 mengemukakan bahwa Kekeuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agun dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi (hasil perubahan ketiga). Pasal 24 ayat (3) mengemukakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaita dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (hasil perubahan keempat). Sebagai pelaksanaan dari TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 dalam memenuhi
harapan
masyarakat
untuk
mewujudkan
suatu
kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perdilan lain, maka dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 11 ayat (1) mengemukakan bahwa secara organisatoris, administratif, finansial yang selama ini berada di bawah Departemen Kehakiman, dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung,
54
yang meliputi 4 (empat) lingkungan peradilan, masing-masing Badan Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) dan Badan Peradilan Militer. Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan mandiri di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi semakin nyata dengan telah terbitnya beberapa undang-undang di bidang Kekuasaan Kehakiman, masing– masing UU Nomor 4 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 8 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 9 Tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Agama dan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dengan telah dilakukannya perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan
sebagaimana
yang
telah
dikemukakan
di
atas,
selanjutnya ditindak lanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 21 Tahun 2004 tanggal 24 Maret 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung, dan dengan KEPPRES Nomor 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial Peradilan Militer dari
55
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung. Sebagai konsekuensinya
Mahkamah
Agung
melakukan
pembinaan
organisasi,
administrasi dan finansial pada ke empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia yang sebelumnya dilaksanakan oleh departemen yang terkait. Selanjutnya dalam rangka lebih mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Agung juga melakukan pengembangan dan restrukturisasi organisasi Mahkamah Agung dari Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Panitera dan Sekretaris serta dukungan unit yang ada di bawahnya. Sebagai badan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung merupakan Peradilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi Peradilan (Pasal 28 UU Nomor 5 Tahun 2004) a. sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan Kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauam kembali.
56
b. Berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili (Pasal 33 UU Nomor 5 Tahun 2004), permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 2004), serta sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing
dan
muatannya
oleh
Kapal
Perang
Republik
Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004). c. Berwenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, tentang apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Pasal 31A UU Nomor 5 Tahun 2004). 2. Fungsi Pengawasan (Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2004) a. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan b. Melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman; c. Melakukan pengawasan terhadap penasehat hukum dan notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2004) 3. Fungsi Mengatur
57
a. Dapat
mengatur
hal-hal
yang
diperlukan
bagi
kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Agung, mengisi kekuarangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. b. Dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dipandang perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur undang-undang. 4. Fungsi Nasihat a. dapat memberi nasihat atau pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain (Pasal 37 UU Nomor 5 Tahun 2004). b. Dapat memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal 35 UU Nomor 5 Tahun 2004). c. Berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2004 (Pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 2004). 5. Fungsi Administratif (Pasal 5 dan Pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum). a. Mengusulkan kenaikan kelas pengadilan dan pembentukan pegadilan baru.
58
b. Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 secara organisatoris, administratif dan finansial dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. c. Berwenang mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Mahkamah Agung dan ke empat lingkungan peradilan (Pasal 46 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-lain. Selain tugas pokok menerima, memaksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Salah satu undangundang yang memberikan kewenangan khusus tersebut adalah UU Nomor 32 tahun 2004 yang mencabut dan menggantikan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dikenal sebagai UU Otonomi Daerah, yang antara lain memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Tugas pokok dan fungsi yang demikian luas dan berat dalam rangka kebijakan satu atap (one roof system), perlu adanya suatu langkah dan terobosan baru dalam usaha meningkatkan kinerja lembaga peradilan
59
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Pengadilan Tertinggi di Indonesia sehingga lebih berwibawa, mandiri dan merdeka, tidak terpengaruh dari hal-hal yang berasal dari luar, sehingga putusannyapun menjadi semakin ditaati dan dihormati oleh lembaga lainnya, utamanya para pencari keadilan, dengan tetap menjunjung tinggi hukum, keadilan, kejujuran dan kemanfaatan.
Dampak dengan sistem satu atap antara lain: 1. Dengan satu atap pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif menunjukkan pelaksanaan prinsip pemisahan kekuasaan tampak lebih murni dari pemisahan kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Dalam system satu atap, hubungan checks and balances antara kekuasaan kehakiman dengan Pemerintah (Presiden) dan DPR hanya ada pada pengangkatan. Pengangkatan Hakim agung mengikutsertakan DPR dan Presiden, sedangkan pengangkatan Ketua, Wakil
Ketua
dan
ketua-ketua
Muda
Mahkamah
Agung
hanya
mengikutsertakan Presiden. Tidak ada hubungan checks and balances dalam pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung. 2. Satu
atap
menimbulkan
konsekuensi
cakupan
pertanggungjawaban
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan tidak hanya bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan dan fungsi yudisial, akan tetapi juga menjalankan
60
kekuasaan atau fungsi administrasi negara, seperti mengangkat dan memberhentikan pegawai, melakukan pengelolaan keuangan dan lain-lain.
C. Rekomendasi Untuk dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya terutama dengan pelaksanaan one roof system, perlu ada langkah konkrit, yaitu: 1. Dalam jangka pendek, penyediaan sarana dan prasarana pendukung aktivitasnya, penyediaan dana yang memadai, demikian pula sumber daya manusianya. 2. Dalam jangka menengah dan jagka panjang, selain yang dikemukakan pada butir pertama, juga memberikan pengalaman yang lebih banyak baik pada tenaga administrasi, panitera, para hakim mulai dari hakim pengadilan tingkat pertama, hakim pengadilan tingkat banding, maupun hakim agung untuk melakukan studi banding ke luar negeri.
BAB III
61
POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BIDANG POLITIK
PERKEMBANGAN POLITIK INTERNASIONAL Lingkungan Strategis Internasional
A. Pendahuluan Pada Dekade pertama abad ke 21, dunia internasional kembali dicemaskan oleh peningkatan ancaman keamanan dan kemungkian ketegangan beskala global. Konstalasi politik internasional semakin jauh beranjak dari era Pasca Perang Dingin yang dipenuhi optimisme tentang menurunnya ancaman konflik militer. Agenda pasca Perang Dingin yang didominasi oleh isu-isu ekonomi, demokrasi, hak asassi manusia dan lingkungan hidup kini telah digantikan oleh isu terorisme internasional, perang melawan terorisme, plorifirasi senjata nuklir, dan masalah keamanan internasional secara umum. Tatanan politik internasional menunjukkan adanya ketegangan antara kehendak sebagian besar komunitas internasional untuk memperkuat multilateralisme, antara lain dengan semakin memberdayakan PBB, dan keinginan A.S. sebagai satu-satunya negara adidaya untuk menunjukkan
62
kepemimpinannya, atau kalau itu tidak berhasil, untuk meninggalkan sistim multilateral dan bertindak sendiri. Walaupun di satu pihak ada keinginan untuk menjalin kerjasama internasional dalam menghadapi ancaman terorisme, termasuk antara A.S. dan negara-negara Muslim, di lain pihak juga muncul kecendrungan konflik antara A.S melawan dunia (the US versus the Rest) karena berbagai tindakan unilateral yang diambil Washington. Politik internasional masih didominasi oleh peranan beberapa aktor kunci, sementara agenda internasional terdiri dari beberapa isu lama yang belum terselesaikan, ditambah isu-isu baru. Hubungan internasional ditandai oleh pembentukan aliansi-aliansi strategis yang bersifat fleksibel, didorong oleh isu dan kepentingan daripada oleh ideologi. B. Aktor-Aktor Utama Dalam Hubungan Internasional 1. Amerikat Serikat. Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adidaya yang memiliki kekuatan
tidak
tertandingi,
baik
dalam
bidang
ekonomi
maupun
militer. Setelah Uni Soviet bubar A.S. merupakan satu-satunya kekuatan yang memiliki jangkauan pengaruh secara global dan turut menentukan konstalasi
63
politik regional di berbagai belahan dunia. Pada awal era pasca Perang Dingin, di bawah Presiden Clinton dari Partai Demokrat, A.S. merupakan pendukung multilateralisme untuk memajukan berbagai agenda baru, seperti liberalisasi perdagangan, perluasan demokrasi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Namun setelah Presiden George W. Bush dari Partai Republik terpilih sejak akhir tahun 2000, orientasi dan prioritas Washington berubah. Gedung Putih dipimpin oleh para tokoh Perang Dingin yang kembali memberikan prioritas utama pada masalah-masalah keamanan, khususnya pertahanan militer . A.S. ingin secara terbuka menunjukkan supremasinya terhadap negaranegara
lain
dengan
berbagai
kebijakan
unilateral,
termasuk
dengan
mengabaikan kesepakatan multilateral yang telah disetujui pemerintahan terdahulu. Hal ini misalnya terlihat dari penolakan Washington untuk meratifikasi Traktat Kyoto tentang lingkungan hidup yang turut diperjuangkan oleh Wapres Al Gore selama pemerintahan Clinton. Namun kekuatan A.S. yang diakui seluruh dunia tidak sepenuhnya dapat diterjemahkan menjadi otoritas atau pengaruh dalam menetukan kebijakan internasional. Kendati sebagian besar negara-negara anggota PBB ingin berhubungan baik dengan A.S., pada kenyataannya Washington tetap tidak dapat begitu saja memaksakan kehendaknya terhadap negara-negara lain.
64
Setelah serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 A.S. merasa sangat terancam dan menyadari bahwa Washington perlu menggalang kerjasama global untuk menghadapi ancaman terorisme internasional, khususnya yang datang dari jaringan Al Qaeda dan gerakan Islam ekstrim. Untuk menghindari kesan bahwa perang melawan terorisme dilihat sebagai perang melawan Islam, A.S. terutama berupaya mendapat dukungan dari negara-negara Islam sebelum menyerang Taliban di Afghanistan pada akhir tahun 2001. Akan tetapi pada awal pemerintahan Presiden George W. Bush kelompok pro-multilateral di lingkungan Gedung Putih yang cenderung moderat (doves) seperti Menlu Colin Powell, tampaknya kalah suara oleh kelompok garis keras (hawks) yang ingin menggunakan supremasi militer A.S. untuk mengambil tindakan unilateral guna melindungi kepentingan A.S., tanpa mempedulikan opini negara-negara lain. Hal ini kelihatan dari tindakan A.S. dan sekutunya menginvasi ke Iraq yang dimulai pada tanggal 20 Maret 2003, tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB. AS berdalih bahwa serangannya ke Iraq adalah
sebagai
hukuman
bagi
pemerintahan
Saddam
Hussein,
yang
mengembangkan senjata pemusnah massal, walaupun sebelumnya Tim Inspeksi PBB di Iraq tidak menemukan hal yang dituduhkan tersebut. Tujuan utama Gedung Putih adalah menggulingkan Presiden Saddam Hussein dan mengganti pemerintahan di Baghdad dengan yang lebih
65
bersahabat dengan Amerika Serikat, antara lain untuk mengamankan suplai minyak ke A.S. Namun optimisme A.S. bahwa kehadiran tentaranya dalam jumlah besar akan segera dapat menciptakan keamanan dan stabilitas di Iraq di era pasca-Saddam Hussein belum terbukti sampai akhir 2005. Presiden Bush nampaknya berada dalam posisi sulit, antara tuntutan untuk menunjukkan keberhasilan di Iraq
dan keinginan untuk mengakhiri
petualangan A.S. di Iraq yang telah menjatuhkan semakin banyak korban di pihak A.S. serta membenani keuangannya. 2. Republik Rakyat Cina RRC merupakan negara dengan penduduk terbesar didunia yang memiliki potensi tampil sebagai kekuatan global menyaingi A.S., walaupun untuk itu masih diperlukan waktu yang relatif lama. Pertumbuhan ekonomi RRC dalam dekade terakhir yang cukup tinggi (6-8%), yang tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi di negara-negara Asia Timur lainnya, semakin memperkuat posisi RRC sebagai kekuatan ekonomi baru. RRC merupakan salah satu negara tujuan investasi paling menarik karena pangsa pasar yang besar, kebijakan pemerintah yang pro-pasar dan keamanan yang relatif terjamin. Bagi negaranegara berkembang lainnya , seperti negara-negara ASEAN, RRC merupakan tantangan sekaligus peluang ekonomi. Negara-negara berkembang lainnya kalah bersaing dengan RRC. dalam menarik investasi ataupun dalam merebut
66
pasar ekspor, namun juga dapat meraih keuntungan dari pasar dalam negeri RRC ataupun investasi yang mulai mengalir dari RRC. RRC adalah negara nuklir dengan kemampuan militer konvensional yang meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonominya yang fenomenal memungkinkan RRC untuk melakukan modernisasi sistem pertahanannya. Hal ini tetap berlangsung selama negara-negara tetangganya mengalami krisis ekonomi sehingga jurang kemampuan militer antara RRC dengan negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara menjadi semakin lebar. RRC
dipandang
sebagai
“non-status
quo”
power
yang
ingin
mendapatkan tempat selayaknya sebagai kekuatan global, sehingga cenderung dilihat sebagai saingan oleh A.S. Pada awal pemerintahan Bush ada kesan Washington hendak menjalankan kebijakan “pembendungan” baru terhadap RRC. Kebijakan ini dikendurkan setelah peristiwa 911 karena RRC dan A.S. sama-sama membutuhkan kerjasama untuk menghadapi ancaman terorisme internasional, khususnya Islam radikal. RRC menyatakan dukungan terhadap kebijakan A.S. melakukan perang terhadap terorisme. Sebagai imbalannya A.S. setuju menyatakan gerakan separatis di wilayah Xinxiang yang mayoritas Muslim
sebagai
gerakan
teroris
sehingga
Beijing
dapat
leluasa
menumpasnya. Namun masalah Taiwan tetap merupakan ganjalan serius dalam hubungan antara Beijing-Washington. RRC juga tidak mendukung keinginan A.S. untuk menyerang Iraq. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan
67
PBB sikap RRC ini penting dalam menghalangi kecenderungan unilateralisme A.S. Kebijakan RRC di masa lalu, serta kekhawatiran atas ambisi RRC sebagai kekuatan regional yang dominan membuat negara-negara tetangga mencurigai RRC. Hal ini menyebabkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara tetap ingin mempertahankan kehadiran militer A.S. sebagai penyeimbang. Di lain pihak negara-negara tetangga, termasuk ASEAN, juga mengakui potensi dan peranan strategis RRC sehingga mereka berupaya menjalin kerjasama dengan RRC, serta menolak ajakan A.S. untuk membendung RRC. RRC juga semakin meningkatkan hubungannya dengan negara-negara regional, baik untuk kepentingan ekonomi maupun untuk kepentingan
strategis. Hubungan
baik
dengan
negara-negara
tetangga
memungkinkan RRC tampil sebagai kekuatan regional yang disegani. RRC juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dalam berbagai forum internasional. 3. Uni Eropa Integrasi Eropa, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik dan keamanan telah menjadikan Uni Eropa sebagai satu kekuatan yang semakin diperhitungkan dalam konstalasi politik internasional. Apabila integrasi berjalan mulus dan pertumbuhan ekonominya tetap relatif tinggi
68
maka diprediksikan bahwa Uni Eropa akan menjadi kekuatan utama dunia, yang mampu mengakhiri predominasi global A.S. Perluasan Uni Eropa dari 15 anggota menjadi 25 anggota akan mengakhiri
dikotomi
politik
dan
ekonomi
antara
Eropa
Barat
dan
Timur. Walaupun masing-masing negara Eropa menjalin kerjasama dengan A.S., diperkirakan bahwa konsolidasi Eropa akan memperlebar perbedaan antara Eropa dan A.S. Kepemimpinan A.S. dalam bidang keamanan yang selama ini diakui oleh negara-negara Eropa Barat diperkirakan akan semakin mendapat tantangan, terutama apabila Uni Eropa berhasil membentuk kekuatan militer bersama di luar NATO. Inggris akan dipaksa menetukan sikap apakah akan tetap sebagai pengikut setia A.S. atau merupakan bagian integral dari Eropa. Pada tahap awal perluasan Uni Eropa diperkirakan akan menyita perhatian negara-negara anggotanya, sehingga Uni Eropa cenderung akan melihat ke dalam (inward-looking). Dalam jangka pendek Uni Eropa juga masih kesulitan mengambil inisiatif internasional dalam bidang politik dan keamanan karena setiap keputusan harus diambil melalui konsensus. Namun dalam jangka menengah dan panjang Uni Eropa diperkirakan akan semakin meningkatkan profil dan aktifitasnya di luar negeri sehingga agenda internasional tidak lagi terutama ditentukan oleh Washington. Munculnya sentra kekuatan tandingan ini, seperti halnya dengan kebangkitan RRC, akan
69
mengakhiri unipolarisme yang berkiblat ke Washington. Hal ini diharapkan akan memperkuat gerakan multilateralisme yang akan memberi peluang lebih besar kepada negara-negara menengah untuk memainkan peranan.
4. Rusia dan Jepang Rusia dan Jepang merupakan 2 negara utama yang dalam beberapa tahun terakhir ini menurun pamornya. Walaupun sebagai pewaris Uni Soviet Rusia masih merupakan kekuatan militer yang perlu diperhitungkan, yang memiliki senjata nuklir serta kemampuan militer konvensional, secara ekonomi Rusia sekarang sangat tergantung pada negara-negara industri maju, termasuk pada A.S. Rusia juga masih disibukkan oleh berbagai permasalahan domestik lainnya, seperti gerakan separatis bersenjata di Chechnya. Hal ini mengurangi kemampuan Rusia untuk berperan secara optimal dalam masalah-masalah internasional, sehingga peran Rusia cenderung diabaikan dalam tahun-tahun terakhir ini. Sebagai kekuatan ekonomi nomor dua terbesar setelah A.S. Jepang sesungguhnya
dapat
memainkan
peran
internasional
yang
lebih
menonjol. Akan tetapi peranan Jepang sebagai agresor pada Perang Dunia II tampaknya masih menjadi hambatan bagi Jepang untuk tampil sebagai negara “normal”. Kecurigaan negara-negara tetangga, terutama RRC dan Korea, serta
70
Konstitusi Jepang sendiri menyulitkan negeri ini untuk dapat berperan aktif dalam
misi-misi
internasional
yang
bernuansa
politik
atau
keamanan. Belakangan Jepang mulai melibatkan diri secara terbatas dalam berbagai misi perdamaian PBB. Namun tampaknya masih diperlukan waktu yang relatif lama sebelum Jepang dapat tampil sebagai kekuatan regional yang memiliki kemampuan ekonomi dan sekaligus kemampuan militer. Walaupun Jepang tetap sebagai negara donor terbesar di Asia Pasifik, profil Jepang dalam konstalasi ekonomi-politik regional mulai redup dibandingkan RRC. Stagnasi ekonomi yang telah melanda Jepang dalam beberapa tahun terakhir juga semakin memarjinalkan peranan Jepang.
5. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) PBB didirikan pada tahun 1948 oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II sebagai suatu institusi yang diharapkan dapat memelihara keamanan global. Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia telah menjadi anggota PBB. Kebijakan-kebijakan strategis dibuat oleh Dewan Keamanan, yang memiliki 5 anggota tetap dengan hak veto, yaitu Amerika Serikat, Britania Raya, Perancis, Republik Rakyat China dan Rusia. Selama Perang Dingin, ketika dunia terbagi dalam dua kubu berlawanan yang masing-masing dipimpin oleh negara adidaya, Blok Barat di bawah A.S.
71
dan Blok Timur di bawah Uni Soviet, peranan PBB tidaklah terlalu menonjol. Keputusan-keputusan penting, terutama yang berkaitan dengan masalah keamanan, biasanya dibuat oleh negara-negara adidaya di luar kerangka
PBB. Setelah
Perang
Dingin
berakhir
PBB
semakin
diberdayakan. PBB dinilai sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki legitimasi dan otoritas internasional untuk memutuskan dan mengambil tindakan kolektif terhadap suatu negara, terutama dalam menjatuhkan sanksi dan melakukan tindakan militer. Keberhasilan misi PBB di beberapa wilayah konflik, seperti Kamboja, Kosovo dan Timor Timur telah meningkatkan citra PBB dan memperkuat dukungan
dunia
internasional
terhadap
sistem
internasional
yang
multilateral. Kecuali sebagai tindakan pertahanan menghadapi serangan, intervensi terhadap suatu negara yang berdaulat hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Selama pemerintahan Presiden Clinton, Washingtonpun mendukung sistem multilateralisme, yang mengedepankan peranan PBB. Dewasa ini pemerintahan Presiden George W. Bush cenderung mengabaikan peran PBB, seperti terlihat dari tindakan unilateral A.S. menginvasi Iraq. A.S. merupakan kontributor terbesar atas keuangan PBB (sekitar 25%), dan belakangan ini berupaya menggunakan kekuatan keuangan ini untuk menekan Sekretaris Jenderal PBB untuk mengikuti keinginan A.S.
72
C. Isu-Isu Utama Dalam Hubungan Internasional Masalah keamanan dalam hubungan antar-negara kembali menjadi agenda utama internasional dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini seolah menandai berakhirnya era Pasca Perang Dingin di mana isu-isu non-militer seperti isu ekonomi, demokrasi, HAM dan lingkungan hidup mendominasi wacana internasional. Ancaman konflik intra-negara karena perbedaan agama atau etnisitas mulai surut sebagai isu internasional, digantikan oleh ancamanancaman transnasional, terutama dalam bentuk terorisme internasional.
1. Terorisme Internasional Dan Perang Melawan Terorisme Sejak serangan terorisme terhadap A.S. pada tgl. 11 September 2001, ancaman terorisme dan perang melawan terorisme merupakan isu global yang paling menonjol. Walaupun dalam banyak hal situasi regional dan global belum berubah, setidaknya bagi A.S. serangan teroris terhadap jantung kehidupan dalam negerinya tersebut dilihat sebagai kejadian yang telah mengubah dunia. Ancaman terorisme dipandang oleh A.S. sebagai musuh utama dunia, menggantikan ancaman komunisme yang telah sirna sejak satu dasawarsa yang lalu. Sikap A.S. menghadapi ancaman terorisme tidak jauh berbeda dari
73
sikapnya selama Perang Dingin – negara yang tidak pro-A.S. dianggap sebagi anti-A.S. atau musuh. Isu terorisme dan perang melawan terorisme merupakan masalah yang sangat kompleks, yang berpotensi meningkatkan kerjasama internasional dan sekaligus meningkatkan kecurigaan/ketegangan internasional. Di satu pihak hampir semua negara menentang terorisme yang merupakan kejahahatan transnasional, sehingga diperlukan kerjasama regional dan internasional untuk mengatasinya. Di lain pihak isu terorisme juga memunculkan rasa saling curiga ketika terorisme oleh berbagai pihak, terutama di negara-negara Barat, diidentikkan dengan Islam. Hal ini telah melahirkan ketegangan baru antara masyarakat Barat dan masyarakat Islam, seolah-olah memberi justifikasi pada tesis Huntington tentang “The Clash of Civilisations”, yang mana Islam dilihat sebagai musuh utama Barat. Pandangan tentang terorisme dan cara terbaik untuk mengatasinya juga merupakan sumber konflik baru. Walaupun terorisme merupakan ancaman non-tradisional yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-negara, Amerika Serikat , didukung Inggris dan Australia mengutamakan pendekatan militer konvensional. Sebagai balasan terhadap serangan terorisme di New York dan Washington, D.C. yang dipercaya dilakukan oleh pengikut Osama bin Laden, A.S. melakukan serangan militer terhadap Afghanistan untuk menggulingkan rezim Taliban yang melindungi Osama bin Laden, serta menyerang dan
74
menduduki
Iraq
serta
menggulingkan
pemerintahan
Saddam
Hussein. Sebaliknya banyak negara yang menentang pendekatan militer dalam menyelesaikan masalah terorisme, antara lain karena akan menimbulkan banyak korban tidak berdosa serta akan mendorong tumbuhnya radikalisme dan ancaman terorisme baru.
2. Masalah Timur Tengah Masalah Israel-Palestina tetap merupakan masalah keamanan yang paling serius di Timur Tengah yang memiliki dampak global. Dukungan A.S. terhadap Israel tidak saja menjadi ganjalan diplomatik dalam hubungan antara A.S. dan negara-negara Muslim, tetapi lebih serius lagi merupakan sumber gerakan radikalisme Islam yang akhirnya melahirkan tindakan-tindakan terorisme melawan A.S. Invasi dan pendudukan Iraq oleh tentara A.S. dan sekutunya telah melahirkan pusat konflik dan instabilitas baru di Timur Tengah, yang memiliki dampak global. Negara-negara Muslim pada umumnya menentang tindakan unilateral A.S. meneyerang Iraq, sementara tindakan-tindakan brutal tentara A.S. terhadap penduduk sipil Iraq serta skandal penyiksaan dan pelecahan yang dilakukan oleh tentara A.S. terhadap tahanan di Iraq semakin meningkatkan 75
kemarahan warga Muslim. Hal ini dipakai oleh para Muslim esktremis untuk menjustifikasi tindakan-tindakan terorisme yang mereka lakukan melawan kepentingan A.S., termasuk di Indonesia. 3. Asia Pasifik Walaupun Asia Pasifik memiliki beberapa potensi konflik, pada umumnya situasi keamanan di kawasan ini relatif baik. Dalam beberapa tahun terakhir tidak ada konflik terbuka diantara negara-negara di kawasan ini. Situasi yang relatif stabil ini tercipta karena disamping kompetisi negaranegara Asia Pasifik juga aktif mengembangkan kerjasama, terutama dalam bidang ekonomi. Namun demikian di lingkungan Asia Pasifik ada 3 “flashpoints”yang
tetap
menjdi
perhatian
dan
perlu
diwaspadai
perkembangannya. 4. Hubungan RRC-Taiwan Upaya Taipei untuk mendapatkan pengakuan internasional, antara lain melalui diplomasi berlibur, sangat menggusarkan Beijing. Beijing telah menyatakan
akan
menyerang
Taiwan
apabila
yang
bersangkutan
mendeklarasikan kemerdekaannya, sementara pemerintahan yang sekarang berkuasa di Taipei didominasi tokoh-tokoh pro-kemerdekaan. Ancaman Beijing menyebabkan Taiwan memperkuat sistem pertahanannya, dan mempertegas dukungan A.S. terhadap keamananan Taiwan, sementara ekspor senjata
76
canggih dari A.S. ke Beijing meningkatkan kemarahan Beijing. Pemerintahan Presiden Bush berpotensi meningkatkan ketegangan antara Beijing dan Taipei karena Washington secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Taipei, termasuk melalui dukungan militer. Hal ini telah menimbulkan perlombaan senjata antara RRC dan Taiwan. Namun pada saat bersamaan hubungan ekonomi dan sosial budaya antara RRC dan Taiwan juga meningkat dari tahun-ke tahun. Untuk sementara kedua pihak kelihatannya tetap menahan diri dan status quo diperkirakan dapat dipertahankan selama tidak ada tindakan sepihak dari Taiwan untuk mendeklarasikan
kemerdekaan. Ketegangan
juga
dapat
diredam
oleh
meningkatnya hubungan antara Beijing dan Washington, walaupun perbedaan kepentingan antara kedua negara masih sangat banyak. Kepemimpinan RRC yang pragmatis dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi turut mengurangi kemungkinan pecahnya konflik terbuka tenatang masalah Taiwan dalam waktu yang dekat ini. 5. Korea Utara Korea Utara masih merupakan sumber instabilitas utama di kawasan Asia Pasifik, terutama karena negara komunis miskin ini memiliki senjata nuklir yang dikhawatirkan akan digunakannya apabila terdesak. Situasi di Semenajung Korea tetap mengkhawatirkan karena Korea Utara telah beberapa tahun mengalami krisis, termasuk krisis pangan dan energi, sementara satu77
satunya kartu truf yang dimiliki Pyongyang adalah senjata nuklir. Korea Utara telah mengancam akan mengaktifkan kembali reaktor nuklir karena pasokan minyak yang dijanjikan A.S. untuk sumber energi pengganti nuklir telah dihentikan. Pertanyaan apakah Korea Utara akan tumbang karena krisis ekonomi yang dihadapinya akan semakin parah, ataukah status quo akan bertahan selama beberapa saat lagi tetap merupakan teka-teki yang sulit dijawab. 6. Laut Cina Selatan Upaya untuk meredam konflik di Laut Cina Selatan dalam tahun-tahun terakhir tampaknya cukup berhasil. Walaupun masalah kedaulatan sulit diselesaikan, dan kemungkinan tidak dapat diselesaikan, masing-masing pihak yang memiliki klaim di Kepulauan Sparatley sepakat untuk menyelesaikan konflik secara damai. Kepulauan Spratley diklaim seluruhnya oleh RRC, sementara Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei mengklaim sebagian pulau-pulau tersebut. Hubungan yang semakin baik antara negara-negara ASEAN dengan RRC sangat berperan dalam meredakan ketegangan di wilayah ini. Terakhir RRC telah sepakat untuk menandatangani “Code of Conduct on The South China Sea” yang diprakarsai ASEAN. Melalui “Code of Conduct” ini para pihak yang bersengketa sepakat untuk menolak cara-cara kekerasan serta mengedepankan dialog untuk menyelesaikan konflik. 78
Namun di lain pihak negara-negara ASEAN tetap menaruh waspada terhadap ambisi regional RRC dalam jangka panjang. RRC telah menduduki Mischief Reef, atol yang diklaim Filipina beberapa waktu yang lalu, dan membangun instalasi permanen di sana. Kekuatan militer RRC, termasuk Angkatan Laut dan Udaranya meningkat dari tahun ke tahun, sementara sebagian negara-negara ASEAN masih dilanda krisis ekonomi sehingga belum mampu melakukan modernisasi pertahanannya. Jurang kemampuan yang begitu lebar antara RRC dan negara-negara ASEAN tetap menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat Asia Tenggara.
D. Lain-Lain Masih banyak lagi isu-isu regional dan internasional yang perlu mendapat perhatian. 1. Non-Traditional Security Issues. Terorisme telah mendominasi isu keamanan non-tradisional (nontradisioanl security issue) dalam satu tahun terakhir. Namun isu keamanan non-tradisional lainnya tetap penting, seperti masalah penyelundupan manusia, penyelundupan senjata, penyelundupan obat-obat terlarang serta “money laundering”. Isu-isu ini juga tidak sepenuhnya terlepas dari masalah
79
terorisme internasional, karena kalangan teroris banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan melanggar hukum lainnya. 2. Resource Conflicts. Kompetisi atas sumberdaya yang semakin terbatas akan cenderung meningkat di masa-masa mendatang, baik di darat maupun di laut. Di darat konflik terjadi apabila ada sumberdaya yang dimiliki bersama seperti air, atau terdapat pada wilayah perbatasan yang masih dipersengketakan, seperti ladang minyak, atau akses pada satu daerah harus melewati daerah lain, misalnya jalur pipa minyak dan gas. Di laut konflik sering terjadi karena masalah hak-hak menangkap ikan. Pencurian ikan yang dilakukan oleh para nelayan dapat menimbulkan konflik antar negara. Masalah perbatasan laut yang tidak jelas juga menjadi sumber konflik, terutama apabila di wilayah ini terdapat kandungan mineral, seperti yang terjadi dalam masalah Laut Cina Selatan. 3. ASEAN (masalah perbatasan dan organisasi ASEAN) Hubungan bilateral dengan beberapa negara ASEAN, yang menyangkut batas wilayah teritorial negara terutama dengan Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Indonesia memiliki masalah dengan semua negara tetangga ini karena soal perbatasan dan perebutan pulau-pulai kecil di perbatasan. Misalnya, sengketa pulau Ambalat dengan Malaysia. Akankah nasib wilayah
80
Ambalat ini akan sama dengan pulau Sipadan dan Ligitan yang sudah dimenangkan oleh Malaysia? Dalam hubungannya dengan Filipina, Indonesia harus memperkuat penghunian secara de facto atas pulau-pulau kecil di bagian utara wilayah laut Sulawesi Utara. Sebab, kalau tidak, Filipina secara diam-diam telah menguasai pulau-pulau tersebut dengan menempatkan penduduknya di wilayah itu, hidup dan menguasai sumber daya alam di situ. Jika pemerintah RI ini lengah, maka pada saatnya nanti, besar kemungkinan bahwa Filipina akan mengklaim wilayah-wilayah
tersebut
sebagai
wilayah
yurisdiksinya
dengan
memperlihatkan kepada dunia internasional tentang sejarah dan penguasaan de facto atas wilayah itu sebagai alasan yuridis dan historisnya nanti di kemudian hari. Hal yang mirip juga terjadi dengan Thailand, terutama soal kebebasan kapal-kapal asing –khususnya kapal-kapal nelayan Thailand yang menangkap ikan di perairan Indoesia secara illegal. Pencurian besar-besaran ini telah berlangsung sejak lama, dan praktek pencurian ikan di perairan RI ini sangat merugikan para nelayan tradisional di berbagai wilayah laut Indonesia yang berbatasan dengan negara itu, termasuk di wilayah laut lepas lainnya. Hubungan dengan Singapura sangat penting menjadi perhatian kita dalam tiga hal. Pertama, negara ini sejak lama mengimpor pasir dari Indonesia yang digunakan untuk reklamasi pantai Singapore. Akibatnya, yang terjadi bukan hanya kerusakan lingkungan laut di wilayah Kepulauan Riau, tetapi juga
81
jumlah daratan negara itu menjadi lebih luas menuju ke arah wilayah RI. Kenyataan ini telah memengaruhi batas teritori wilayah internasional. Artinya, ukuran wilayah laut RI akan terdesak dan menjadi berkurang sebagai akibat bertambahnya wilayah daratan Singapore tersebut. Kedua,
Singapura
menguasai wilayah udara RI di kepulauan Riau dengan kekuatan satelitnya. Setiap warga negara Indonesia yang menggunakan telepon seluler di Batam akan terkena
charge internasional (air time) oleh perusahaan telekom di
Singapore. Ketiga, sebagai negara transit, Singapore telah berperan sebagai tempat berlindung yang aman bagi para koruptor dari Indonesia. Hal ini umumnya melibatkan koruptor kakap WNI keturunan China dari Jakarta. Karena itu, upaya untuk menyelesaikan perjanjian ekstradisi —yang selama ini dihalang-halangi oleh pemerintah Singapura—harus menjadi perhatian khusus pemerintahan SBY. Ketiga hal di atas dapat terjadi karena akumulasi kesalahan strategi politik luar negeri RI yang terlalu low profile di masa lalu, yang secara linear berjalan dengan model kerjasama ASEAN dengan mengutamakan solidarits regional dengan penerapan prinsip-prinsip meredam konflik. Artinya, semua persoalan di kawasan ASEAN diselesaikan dengan menggunakan prinsipprinsip kerjasama ASEAN yang terlalu akomodatif, non interference dengan mengangkat Asian values yang terkadang bersifat tidak demokratis dalam membangun kerjasama regional.
82
Selanjutnya, perkembangan yang merugikan tiga negara ASEAN (Indonesia, Malaysia dan Singapore) adalah persoalan yang muncul di perairan Selat Malaka dan Selat Singapore. Akibat tingginya angka kejahatan di kedua selat itu, International Maritime Bureau (IMB) baru-baru ini menggolongkan kedua selat tersebut sebagai perairan paling berbahaya di dunia.17 Dalam perkembangan ini, sejumlah negara termasuk Amerika Serikat mendesak tiga negara pantai pemilik selat ini untuk mengizinkan Amerika Serika penampatkan pasukannya dalam rangka ikut serta mengamankan selat Singapura dan Selat Malaka ini. Alasan terorisme internasional digunakan Amerika Serikat untuk bisa ikut campur dalam pengamanan wilayah di kedua selat tersebut. Mengenai perkembangan ASEAN, keberadaan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional sudah lama dipertanyakan oleh anggota ASEAN, terutama sejak krisis ekonomi 1998. Peran ASEAN solidarity sudah mulai memudar sejak tokoh-tokoh pemimpin ASEAN terdahulu seperti Lee Kuan Yu, Suharto dan Mahatir Mohammad sudah berganti tokoh baru pada era reformasi ini. Paradigma integrasi ASEAN dan paradigma Asian
values sekarang telah
banyak berubah. Kekuatan kerjasama (cooperation) di dalam ASEAN sudah mulai longgar. Secara institusional, ASEAN pun tidak punya mekanisme yang dapat membantu para anggotanya untuk keluar dari krisis ekonomi. Karena itu,
17 Menurut catatan IMB, selama semester pertama tahun ini, terjadi 127 perompakan di wilayah kedua selat itu, sepertiganya terjadi di perairan Indonesia. Untuk mengamankan kedua wilayah selat itu, tiga menteri luar negeri: Menlu RI Hasan Wirayuda, Menlu Singapura George Yeo, dan Menlu Malaysia Syed Hamid Albar telah mengadakan pertemuan untuk membicarakan pengelolaan kedua selat ini. Lihat lebih lanjut Kompas, 18 Agustus 2005.
83
ketergantungan kita kepada IMF sejak awal krisis 1998 —sebagai salah satu bentuk tekanan terselubung Amerika Serikat—sampai 2004 tidak bisa dihindari. Perkembangan ASEAN seperti disebut di atas melahirkan pemikiran di kalangan tokoh ASEAN yang kemudian melahirkan pola hubungan kerjasama dalam bentuk apa yang disebut ASEAN plus 3 (China, Korea Selatan dan Jepang); dan munculnya kembali wacana pemikiran Mahatir yang disebut East Asian Community. Masalahnya, apakah ASEAN akan menjadi driving force di dalam East Asian Community atau ASEAN akan dilebur ke dalamnya. Wacana ini akan menjadi pembahasan dalam pertemuan yang akan diadakan pada Nopember mendatang di Kuala Lumpur. Semua perkembangan yang terjadi dalam lingkungan strategis regional dan global ini harus menjadi perhatian RI, guna mencari solusi bagi penentian sikap politik dan kebijakan luar negari Indonesia perkembangan tersebut. E. Rekomendasi 1.
Indonesia harus tetap menentang secara tegas setiap kebijakan unilateralisme yang dilakukan negara-negara besar dan mendukung multilateralisme di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
2.
Indonesia harus berperan aktif dalam mendorong proses reformasi dan revitalisasi PBB menuju organisasi yang lebih demokratis dan
84
berpihak
pada
kepentingan
negara-negara
berkembang
yang
merupakan mayoritas anggota PBB. 3.
Indonesia dituntut untuk selalu mencermati perkembangan dan konstelasi politik internasional dan regional dalam rangka memelihara dan memperjuangkan kepentingan nasional.
4.
Dalam menjalankan kebijakan luar negeri Indonesia seyogyanya menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip normatif yang menjadi landasan kebijakan dengan real politik agar tidak merugikan kepentingan strategis, termasuk kepentingan ekonomi jangka panjang.
5.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi
nomor
tiga
terbesar,
Indonesia
hendaknya
dapat
memainkan peran sebagai jembatan antara dunia Barat dan Islam yang belakangan ini diwarnai sikap saling curiga karena isu terorisme. 6.
Menghadapi berbagai isu keamanan di kawasan Asia Pasifik, pendekatan
kerjasama
dalam
berbagai
bentuk
perlu
tetap
didukung. Namun bagi Indonesia, ASEAN seyogyanya tetap menjadi soko guru politik luar negeri. Indonesia perlu memperjuangkan terwujudnya ASEAN Community pada tahun 2020. 7.
Untuk mencegah konflik di daerah perbatasan dan perairan Indonesia, terutama berkaitan dengan kompetisi yang semakin meningkat atas sumber daya maritim, Indonesia setidaknya perlu melakukan dua hal:
85
menyelesaikan demarkasi perbatasan serta meningkatkan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan dan maritim. 8.
Indonesia
perlu
menunjukkan
keseriusan
dan
meningkatkan
kemampuan dalam menangani kejahatan-kejahatan transnasional, seperti perompakan di perairan Indonesia, untuk menghindari tekanan dan intervensi dari pihak asing. 9.
Dalam menghadapi permasalahan dengan negara tetangga anggota ASEAN, Indonesia harus menggunakan strategi yang lebih aktif terutama dalam upaya menjaga keutuhan wilayah.
10. Di bidang hukum atau legislasi perlu dilakukan: a. penyelesaian batas wilayah dengan negara-negara tetangga; b. Menyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Wilayah Negara RI; c. Pengkajian mendalam tentang Penggunaan Wilayah Negara RI yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan masional. Kajian ini dapat ditindaklanjuti dengan pembuatan Naskah Akademik RUU tentang Penggunaan Wilayah Negara RI.
PERKEMBANGAN POLITIK NASIONAL
86
Dinamika Politik Nasional
A. Pengantar Tujuh tahun setelah reformasi berjalan bangsa kita saat ini masih berada pada proses transisi menuju demokrasi. Setelah empat kali melakukan amandemen konstitusi, sistem politik kita sedang berjalan menuju arah konsolidasi
demokrasi.
Penganjur
pandangan
teori
minimalis
seperti
Gasiorowski dan Power (1998) mengajukan tiga syarat unuk mencapai konsolidasi demokrasi. Pertama, bertahannya rezim demokratis dalam masa dua pemilu. Kedua, terlaksananya pergantian sebuah kekuasaan eksekutif secara konstitusional, dengan menggunakan aturan hukum konstitusi baru. Ketiga, berjalannya rezim baru yang demokratis selama 12 tahun. Jika menggunakan ukuran penganut teori minimalis ini, maka republik ini akan mencapai konsolidasi demokrasi sekitar tahun 2011, terhitung dari Pemilu 1999 sebagai basis pergantian kekuasaan dari rezim Orde Baru ke rezim dan/atau kekuasaan selanjutnya. Pada sisi lain, penganjur teori maksimalis seperti Juan J. Linz (2000), berpendirian bahwa konsolidasi demokrasi dapat tercapai bilamana demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat (aturan) yang disepakati, yang ia sebut sebagai the only game in town. Untuk ini, dibutuhkan lima kondisi sebagai prasyarat yang saling berinteraksi. Kelima kondisi itu adalah: (1) adanya perkembangan civil society
yang hidup dan bebas; (2)
87
harus ada political society yang
otonom; (3) semua aktor politik utama, khususnya pemerintah dan aparat negara harus secara efektif berpegang pada penegakan hukum yang melindungi kebebasan individu dan kehidupan berorganisasi; (4) harus ada
birokrasi
negara yang digunakan oleh pemerintah baru yang demokratis dan; (5) harus ada institusionalisasi terhadap masyarakat ekonomi (economic society). Dengan civil society, yang dicakup menurut Linz adalah lingkungan kebijakan dimana muncul kelompok-kelompok organisasi mandiri, asosiasi, individu secara bebas melakukan artikulasi nilai-nilai, mencipatakan asosiasi dan solidaritas serta memperkuat kepentingan mereka. Termasuk dalam hal ini misalnya, kelompok-kelompok
perempuan, asosiasi paguyuban, organisasi
agama, organisasi kelompok intelektual. Demikian juga organisasi dalam semua strata sosial seperti organisasi perdagangan, kelompok pengusaha, dan asosiasi profesional. Selanjutnya dengan political society menurut Linz, diharapkan lahir lingkungan dimana para aktor politik berkompetisi berdasarkan hak yang sah (legitimate right) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan publik dan aparatur pemerintah. Konsolidasi demokrasi membutuhkan pengembangan penghormatan terhadap institusi utama dari masyarakat politik yang demokratis:
partai
politik,
legislatif,
pemilu,
aturan
hukum
pemilu,
kepemimpinan politik dan aliansi antarpartai. Tulisan ini bermaksud hendak melihat berbagai persoalan yang muncul dalam dinamika politik nasional saat ini, dan upaya apa yang harus dilakukan
88
untuk
mencapai
konsolidasi
demokrasi
berdasarkan
parameter
yang
dikemukakan oleh kedua pandangan di atas. Persoalan politik nasional yang akan dibahas di sini difokuskan pada masalah-masalah yang timbul sebagai akibat kelemahan dari tiga UU bidang politik yaitu: (1) UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; (2) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; (3) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, juga dibahas selayang mengenai perkembangan politik di Aceh yang terkait langsung dengan dinamika politik nasional, sejak lahirnya MOU antara GAM dan Pemerintah RI.
B. Permasalahan 1. Beberapa Masalah dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Reformasi kehidupan partai politik dan sistem kepartaian
ternyata
belum sepenuhnya mendukung terciptanya partai politik yang kuat dan sistem kepartaian yang baik di Indonesia. Sejak reformasi mulai berjalan, kehidupan politik kita ditandai paling tidak oleh beberapa hal berikut: (1) eksistensi sistem kepartaian yang terfragmentasi (fragmented party system); (2) sistem kepartaian lemah (weak party system); (3) keberadaan partai politik yang mengambang (floating parties) dan; (4) pembentukan perwakilan politik berdasarkan mandat (mandatory political basis) masih jauh dari kenyataan.
89
Karena itu, untuk mengatasi persoalan di atas, pemerintah bersama DPR harus merevitalisasi keberadaan partai politik dan sistem kepartaian yang ada, melalui revisi terhadap beberapa pasal dalam UU Parpol No. 31 Tahun 2002 berdasarkan hal-hal berikut.
a. Dalam rangka mengatasi sistem
kepartaian yang terfragmentasi,
diperlukan sistem multi partai yang didukung oleh tersedianya aturan koalisi dalam pemilu. Mekanisme koalisi itu dapat terjadi di parlemen maupun dalam pembentukan pemerintahan (kabinet). Dengan demikian, keberadaan sistem multi partai diharapkan tidak melahirkan fragmentasi partai politik di parlemen, dan pada saat yang sama, kebebasan dan kinerja parpol dapat dijaga dengan baik.
b. Lemahnya sistem kepartaian di Indonesia berakar dari terlalu mudahnya persyaratan dalam mendirikan partai politik (Pasal 2), begitupun dalam pembubarannya (Pasal 20). Lihat misalnya, terdapat 48 parpol yang ikut pemilu tahun 1999 dan 24 parpol dalam pemilu 2004. Dampaknya, muncul oversupply terhadap parpol, dan ini berpengaruh pada berkurangnya kepercayaan dan indentitas politik rakyat selaku pemilih terhadap parpol yang ada. Karena itu,
upaya memperkuat sistem kepartaian dapat
dilakukan dengan memperketat persyaratan pembentukan partai baru dan menanamkan komitmen yang sungguh-sungguh dalam membangun
90
demokrasi bagi para elit politik. Pada sisi lain, harus disediakan sistem dan mekanisme koalisi yang jelas di parlemen, sejalan dengan pembentukan pemerintahan melalui kabinet.
c. Keberadaan partai politik yang bersifat mengambang (floating parties), yang dapat dilihat dari ciri: (1) partai tanpa basis ideologi (nir-ideologi) tertentu yang jelas, hanya bersifat pragmatisme; (2) partai tanpa identitas berdasarkan orientasi politik dan program yang jelas, hampir semua politik tidak memiliki spesialisasi program dan ideologi dalam kehidupan bernegara; (3) partai tanpa konstituen yang jelas, sehingga memudarnya politik aliran. Hal ini terjadi hampir di sebagian besar parpol sejak era reformasi ini; (4) partai oligarkis, yang mengandalkan kepemimpinan puncak dan manajemen organisasi yang bersifat oligarki. Partai politik hanya dikendalikan oleh segelintir orang, sementara konstituen hanya digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan partai dan segelintir elit partai.
d. Terjadinya pengabaian terhadap perwakilan politik yang berbasis mandat. Status dan posisi anggota legislatif sebagai wakil rakyat diabaikan, karena dipotong oleh peran parpol. Artinya, hubungan anggota dewan dengan rakyat pemegang mandat yang diwakili memiliki jarak yang terlalu jauh, karena dipotong oleh partai politik, sebagai konsekuensi langsung sistem
91
pemilihan proporsional yang cenderung tertutup. Keberadaan anggota dewan cenderung menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Fenomena ini, oleh Guillermo O’donnel (1994) disebut sebagai demokrasi tanpa mandat dan perwakilan tanpa mandat, bukan demokrasi perwakilan.
e. Pasal 23 (e) UU Parpol hanya mengatur pengawasan terhadap laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan dana kampanye pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (h, i dan j), tetapi tidak mengatur secara
tegas
mekanisme
pengawasannya.
Akibatnya,
sulit
untuk
mendapatkan data akurat tentang berapa banyak suatu parpol menerima sumbangan baik dari individu maupun dari badan hukum. Atau dengan kata lain, sulit diketahi bahwa
telah terjadi pelanggaran dalam dana
kampanye oleh partai politik. Untuk itu, harus diatur mekanisme pengawasan keuangan parpol berdasarkan prinsip-prinsip kejujuran, transparansi dan akuntabilitas publik. 2. Beberapa Masalah dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
a. Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 mengatur sistem pemilihan legislatif melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Ini berarti bahwa selain memilih tanda gambar parpol peserta pemilu, rakyat (pemilih) juga memilih wakil mereka dari parpol yang bersangkutan. Sistem ini cenderung
92
mengarah kembali kepada sistem proporsional tertutup, sebab pilihan terhadap tanda gambar parpol dan kandidatnya sekaligus, ternyata sulit untuk menembus aturan: melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yang merupakan ketentuan untuk terpilihnya seorang kandidat sebagai wakil rakyat. Hal ini juga disebabkan tingginya kompetisi para kandidat baik secara internal partai maupun kompetisi eksternal antar partai yang ikut pemilu vis-à-vis sempitnya wilayah pemilihan yang dibatasi oleh Daerah Pemilihan (DP). Akibatnya, jika suara yang diperoleh kandidat dalam semua tingkatan pemilihan tidak mencapai BPP, maka kemenangan caleg tersebut sepenuhnya menjadi urusan parpol yang ditentukan berdasarkan nomor urut [Pasal 107 ayat (2)]. Masalahnya, jika hanya nomor urut yang menjadi patokan, maka penggunaan sistem daftar calon terbuka menjadi kurang bermakna.
b. Kelemahan lain terlihat dalam aturan dan implementasi Pasal 93 ayat (1), yang intinya tidak mengesahkan suara apabila yang dicoblos pemilih hanya nama kandidat saja, tanpa mencoblos tanda gambar parpol dari mana kandidat berasal.
3. Beberapa Masalah dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
93
Ada beberapa hal yang menimbulkan masalah dalam UU Pilpres ini, yang mulai muncul dari pencalonan, persyaratan calon, penghitungan suara sampai pengawasan. Berikut ini dikemukakan secara singkat permasalahan tersebut. a. Regulasi Pasal 5 UU Pilpres ini tidak memberikan time frame yang jelas mengenai pengumuman dan pendaftaran kandidat presiden dan wakil presiden,
sehingga
menimbulkan
ambiguity
dan
bahkan
bersifat
kontradiktif dalam pengaturannya. Ketentuan ayat (2) ini menyatakan bahwa “pengumuman pasangan capres/cawapres dapat dilaksanakan secara bersamaan dengan penyampaian daftar calon anggota DPR ke KPU.” Hal ini berarti bahwa
pengumuman pasangan capres/cawapres
oleh KPU
dilaksanakan sebelum diselenggarakannya pemilu legislatif. Namun yang menjadi persoalan adalah adanya aturan dalam ayat (3) yang menyatakan bahwa “pendaftaran pasangan calon oleh parpol dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan kursi DPR atau perolehan suara sah yang ditentukan oleh undang ini ke KPU.” Ketentuan ini terkait erat dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa pasangan calon hanya diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR, atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.18
18
Kasus Dr. Syahrir, calon presiden dari PIB yang terhalang untuk maju berkompetisi dalam Pilpres 2004 karena partainya tidak melewati batas electoral Tahunreshold (3% suara khusus untuk Pilpres 2004 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 101 Aturan Peralihan UU Pilpres) adalah merupakan contoh korban pertama dari aturan hukum yang kontradiktif dari ayat (2) dan (3) di dalam Pasal 5 UU Pilpres ini.
94
b. Terdapat beberapa persyaratan capres/cawapres yang kurang memadai, tidak rasional dan amoral yang diatur dalam Pasal 6. Misalnya, ayat (18) tentang persyaratan tamatan SLTA sebagai syarat capres dan/atau cawapres; ayat (20) tentang bolehnya mantan nara pidana yang pernah dihukum penjara di bawah lima tahun. c. Penghitungan suara merupakan tahapan yang sangat rawan dari kecurangan, baik karena panjangnya jalur perjalanan birokrasi kotak suara, maupun karena lemahnya pengawasan dan SDM yang tersedia serta adanya pihak-pihak yang bermain untuk melakukan kecurangan. Akibatnya, terjadi perbedaan suara antara tingkat PPS dengan tingkat KPPS. Untuk itu, perlu penyederhanaan jalur birokrasi perhitungan suara untuk menjadi lebih singkat.
d. Panwas daerah (prov, Kabupaten/kota) seringkali terbentur dalam implementasi Pasal 79 ayat (4) UU Pilpres dalam pelaksanaan tugasnya. Menurut ketentuan pasal ini, setiap laporan (lisan/tulisan) harus disampaikan kepada Panwas sesuai wilayah kerjanya, paling lambat tujuh hari sejak terjadinya pelanggaran dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Masalahnya, seringkali kasus-kasus pelanggaan itu dilaporkan kepada Panwas setelah lewat waktu tujuh hari kerja sejak terjadinya pelanggaran. Di sisi lain, jaksa menafsirkan bahwa setelah lewat tujuh hari kerja, berarti kasusnya telah kadaluarsa. Ada dua hal yang perlu dibedakan
95
menurut aturan hukum pilpres. Pertama, kasus berdasarkan laporan dari masyarakat, dan kedua, kasus temuan Panwas sendiri. Yang pertama memang diatur batas waktu kadaluarsanya sesudah tujuh hari kerja, tetapi yang kedua, temuan Panwas, tidak memiliki batas waktu kadaluarsa. Persoalannya adalah, penyelesaian kasus kedua hal di atas disamaratakan saja oleh penyidik dari Kejaksanaan maupun dari Kepolisian di berbagai daerah. Padahal, aturannya tidak demikian. e. Dalam rangka demokratisasi, perlu kiranya mengakomodir perkembangan politik di dalam masyarakat. Banyak suara rakyat yang menginginkan calon independen untuk ikut berkompetisi dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Karena itu, sudah wakutnya diusulkan untuk mengakomodasi keinginan civil society ini untuk menempatkan calon presiden dan calon wakil presiden dari kelompok independen. C. Rekomendasi
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Jangka Pendek 1. Dalam rangka mengatasi sistem kepartaian yang terfragmentasi, pemerintah harus melakukan kebijakan yang mendorong penguatan eksistensi dan peran partai politik.
96
2. Untuk memperkuat sistem kepartaian, pemerintah harus memperketat persyaratan pendirian dan pembubaran partai politik; membangun sistem dan mekanisme koalisi yang jelas di parlemen dan di Kabupateninet. 3. Untuk menghindari eksistensinya sebagai partai mengambang (floating parties), diperlukan perumusan ideologi, visi, misi dan spesifikasi program yang jelas dalam anggaran dasar pendirian setiap parpol; mendorong untuk menghindari praktik oligarki dalam manajemen partai. 4. Mengupayakan perubahan paradigma melalui kebijakan partai dan pemerintah untuk membangun hubungan langsung antara rakyat pemegang mandat dengan para wakilnya di lembaga legislatif; dilakukan upaya membangun citra untuk meningkatkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai. Jangka Menengah 1. Usulan perubahan terhadap UU Parpol baik yang menyangkut pengaturan tentang koalisi dan mekanismenya pada tingkat parpol dan tingkat parlemen. 2. Usulan perubahan terhadap susbstansi pendirian (Pasal 2) dan pembubaran parpol (Pasal 20); dan penambahan pasal yang mengatur tentang sistem dan mekanisme koalisi baik di parlemen maupun di kabinet.
97
3. Dipersyaratkan untuk membina hubungan yang kuat antara pengurus dan anggota dewan dari suatu parpol dengan massa konstituennya di seluruh wilayah; serta memperjelas ideologi partai termasuk politik aliran dan karakteristik konstituen yang dibina oleh partai.
Jangka Panjang Perlu amandemen terhadap beberapa pasal dalam UUD 1945 sehubungan dengan hal-hal yang dimaksud dalam rekomendasi jangka pendek dan jangka menengah tersebut di atas.
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD
Jangka Pendek 1. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat pemerintah dan partai politik untuk memperkuat konsepsi sistem proporsional terbuka tanpa dihalangi oleh nomor urut sebagai alternatif penentuan pemenang. 2. Dibutuhkan pengertian dan implementasi kegiatan yang jelas dan mendukung dalam pengesahan suara, bila pemilih hanya mencoblos
98
nama saja tanpa tanda gambar parpol. Artinya, dengan hanya mencoblos nama kandidat saja, maka surat suara seharusnya dianggap sah, karena niat/keinginan pemilih pada dasarnya memilih orangnya (caleg), bukan parpolnya.
Jangka Menengah 1. Perlu perubahan terhadap sistem pemilu yang benar-benar bersifat terbuka (sistem proporsional terbuka), dengan merubah bunyi Pasal 107 ayat (2) UU Pileg ini yang intinya manyatakan bahwa: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Povinsi dan DPRD Kabupatenupaten/Kota dari partai politik peserta pemilu didasarkan pada jumlah suara terbanyak yang diperoleh seorang calon yang tertera dalam daftar calon daerah pemilihan yang bersangkutan.” 2. Perlu perubahan (tambahan) terhadap Pasal 93 ayat (1), yang intinya mengesahkan surat suara kendati hanya mencoblos nama kandidat saja.
Jangka Panjang 1. Perlu komitmen yang sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun pengurus parpol untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam semua undang-undang di bidang politik.
99
2. Mewujudkan
semua
aturan
pemilu
yang
demokratis,
dan
pelaksanaannya yang baik dan demokratis pula secara konsisten dalam setiap pemilu di masa-masa mendatang.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres
Jangka Pendek 1. Diperlukan kamauan politik yang kuat dari pemerintah untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan politik yang baik dan didukung oleh aturan-aturan teknis yang memadai, dalam implementasi UU Pilpres. 2. Implementasi kebijakan publik sebagaimana disebut pada poin satu harus tercermin dalam pelaksanaan aturan perundang-undangan yang berlaku yang menyangkut: pencalonan, persyaratan capres/cawapres, penghitungan suara, pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan semua tahapan pilpres tersebut. 3. Pemerintah dan elit parpol harus tanggap terhadap perkembangan politik di dalam negeri, maupun terhadap arus perkembangan politik global yang berpengaruh terhadap dinamika politik domestik. 4. Dibutuhkan perubahan terhadap perilaku elit politik dengan komitmen politik yang kuat untuk membangun demokrasi yang sehat.
Jangka Menengah
100
1. Perlu dilakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam UU Pilpres, antara lain: Pasal 5 ayat (2) dan (3), Pasal 6 ayat (18) dan (20). 2. Perlu penyederhanan birokrasi perhitungan suara untuk menjaga efisiensi dan validitas hasil rekapitulasi perhitungan suara, melalui perubahan kebijakan teknis ke arah yang lebih baik. 3. Melakukan reformasi terhadap eksistensi, peran dan kewenangan KPU dan KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai pelaksanana pemilu, dengan melahirkan UU tentang KPU dan Panwas. 4. Melakukan reformasi terhadap eksistensi, peran dan kewenangan Panwas Pusat dan Panwas Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, dengan melahirkan tentang KPU dan Panwas dalam satu paket undang-undang.
Jangka Panjang 1. Perlu amandemen terhadap UUD 1945 dalam rangka mengakomodir aturan-aturan hukum yang dibutuhkan dalam rekomendasi jangka menengah di atas. 2. Perlu calon independen untuk diikutsertakan sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di masa-masa mendatang, dalam membangun sistem politik dan pemerintahan yang sehat, stabil dan demokratis.
D. Penutup
101
Semua UU yang mengatur kegiatan pemilu, termasuk UU No. 23 tahun 2003 tentang Pilpres, menyisakan peluang bagi timbulnya multi tafsir yang pada akhirnya melahirkan kericuhan dalam penyelenggaran pemilu-pemilu tersebut. Kita memang membutuhkan regulasi yang baik agar proses transisi menuju demokrasi ini berjalan dengan baik, cepat dan tanpa perlu melahirkan implikasi negatif yang menjadi distorsi dalam pembangunan ekonomi, dan dalam bidang politik, menjadi kendala bagi terwujudnya negara bangsa (nation state) yang kokoh dan bersatu. Perkembangan state of the art sehubungan dengan apa yang disebut di atas, dapat dilihat dalam ketiga pemilu yang ada, keberadaan KPU dan KPUD, hubungan antar lembaga dengan Panwas dan Panwas propinsi dan kabupaten/kota yang masih menyisakan banyak persoalan. Karena itu, perubahan terhadap semua aturan hukum bidang politik, termasuk perubahan terhadap aturan teknis pelaksanaannya menjadi keniscayaan. Kita harus menggali akar konflik yang mendasar, dan untuk kemudian mencari solusi bagi penyelesaiannya yang permanen. Semua hal di atas tentu dibutuhkan dalam rangka mempercepat proses demokratisasi yang sedang berjalan ini, untuk mengantarkan bangsa ini menuju konsolidasi demokrasi yang dicita-citakan.
102
PERKEMBANGAN POLITIK LOKAL Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Khususnya Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
A. Pendahuluan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen telah
memberikan
dasar
konstitusional
Penyelenggaraan
sistem
ketatanegaraan, sistem politik dan sistem pemerintahan termasuk di dalamnya sistem penyelenggaraan pemerintah daerah. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai perkembangan dinamika kehidupan demokrasi dan kehidupan masyarakat, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-
103
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.19 Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat peran strategis tersebut diperlukan figur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mampu mengembangkan inovasi berwawasan ke depan dan siap melakukan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan upaya meletakkan kedaulatan rakyat di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur ketentuan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara. Proses Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan dimulai dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan meliputi persiapan pemilihan, pemungutan
pendaftaran dan
dan
perhitungan
penetapan suara,
19
pasangan
serta
calon,
penetapan
kampanye,
calon
terpilih,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (19 Oktober 2005).
104
pengesahan dan pelantikan untuk pelaksanaan pemilihan kepada daerah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor
6
Tahun
2005
tentang
Pemilihan,
Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebagai suatu proses demokrasi di tingkat lokal pengaturan pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah
Nomor
17
Tahun
2005)
merupakan
praktik
ketatanegaraan yang relatif baru. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selain mempunyai dampak positif, juga berpengaruh pada perkembangan politik lokal serta perlunya penyempurnaan pengaturan yang lebih baik pada masa mendatang. Dalam tulisan ini, akan dibahas: 1.
Dampak positif Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
2.
Fenomena perkembangan politik lokal.
3.
Beberapa permasalahan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dalam kaitan peraturan perundang-undangan.
B. Permasalahan dan Pembahasan 1. Dampak positif Pemilihan Kepala Daerah secara langsung Sampai saat ini telah 159 daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota yang melaksanakan pilkada secara aman, lancar, tertib, dan dinamis,
105
walaupun kita akui bersama disana-sini masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu disempurnakan untuk pelaksanaan Pilkada yang akan datang. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan pada bulan Juni 2005 dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya rata-rata mencapai 70% (tujuh puluh persen). Sebagai suatu praktik demokrasi di tingkat lokal dengan pengaturan yang relatif baru angka tersebut cukup menggembirakan dalam pembinaan kehidupan demokrasi di masa mendatang. Diharapkan hal ini mempunyai
makna
dan
dampak
positif
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai tujuan yang diharapkan. Dari aspek peyelenggaraan pemerintahan daerah, pemilihan Kepala Daerah secara langsung paling tidak memiliki 6 (enam) dampak positif: Pertama, Pilkada merupakan proses pembelajaran politik yang mencakup, proses pembelajaran peningkatan kesadaran politik masyarakat lokal dalam proses pemilihan dan pemahaman terhadap realitas politik, proses pembelajaran bagaimana mengorganisasikan potensi elemen masyarakat agar berpartisipasi dalam suatu aktivitas politik dan proses pembelajaran bagaimana masyarakat memperoleh akses yang lebih luas dan lebih aktual dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Kedua, memperkuat posisi otonomi daerah. Pilkada secara langsung akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang mandat yang
106
merupakan representasi rakyat, yaitu untuk pemerintah (eksekutif) sedangkan DPRD lebih dikhususkan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Ketiga,
berpotensi membatasi kekuasaan dan kewenangan DPRD
yang terlalu besar seperti fungsi memilih, meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Kepala Daerah (dengan segala eksesnya). Pilkada secara langsung membuat akuntabilitas publik Kepala Daerah tidak penuh kepada DPRD tetapi langsung kepada masyarakat sebagai konstituennya. Dengan demikian dapat dihindari kemungkinan manuver politik DPRD untuk asal menjatuhkan Kepala Daerah. Keempat, berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih berkualitas. Kepala Daerah adalah jabatan politik, karena itu kualitas Kepala Daerah sangat ditentukan oleh pola rekruitmennya. Pola rekruitmen Kepala Daerah melalui pemungutan suara secara langsung berpeluang mendorong majunya calon dan menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah yang diharapkan akan menguatkan derajat legitimasi dan posisi Kepala Daerah. Kelima, berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah yang stabil, produktif, efektif, tidak mudah digoyang oleh politisi lokal, tidak mudah dilanda kritis publik dengan demikian berpeluang melayani masyarakat dengan baik.
107
Keenam, berpotensi mengurangi praktik politik uang sehingga dapat menaikkan kembali citra dan kehormatan lembaga DPRD, di samping melindungi Kepala Daerah dari jebakan pelaku kolutif.
2. Fenomena Perkembangan Politik Lokal Bersamaan dengan harapan dampak positif pemilihan kepala daerah secara langsung muncul kenyataan dari fenomena perkembangan politik antara lain: •
Kecenderungan meningkatnya kepopuleran figur politik dibandingkan dengan kepopuleran partai. Bahkan ada tokoh-tokoh yang meninggalkan partainya sendiri dan meloncat ke partai lain demi memperoleh jabatan. Ini akibat sikap konservatif partai politik yang selalu mengandalkan kader-kadernya yang itu-itu saja dan tidak memberikan kesempatan kepada kader-kader yang lain yang mungkin memiliki persyaratan lebih baik.
•
Koalisi partai dibentuk bukan berdasarkan kesamaan idiologis tetapi lebih pada akepentingan pragmatis. Partai eksklusif PKS misalnya dapat menjalin kerja sama dengan partai manapun (kecuali partai Kristen) untuk mencapai tujuan politik. Demikian pula PBB berkoalisi dengan PDIP, PAN, dan lain-lain, PBB juga berkoalisi dengan PKPI, PPDI, dan PKB.
108
•
Maraknya isu dan praktik money politik. Persoalan ini sederhana, karena masyarakat membutuhkan dana untuk menyambung hidup, mereka tidak peduli siapa yang memberi dana dan apa ideologinya. Bagi pasangan calon tentu sangat faham kebutuhan masyarakat. Kedua pihak baik pemilih maupun sang calon saling memanfaatkan.
Selain masyarakat.
fenomena
tersebut
Faktor-faktor
timbul
penyebab
pula
konflik-konflik
potensi konflik
pada
dalam tahapan
pengumuman hasil pilkada, dantaranya masyarakat masih berfikir bahwa tata cara penetapan hasil pilkada sesuai dengan tata cara penetapan hasil pemilihan Presiden. Banyak masyarakat menyangka, apakah pasangan calon yang memperoleh 50% lebih dinyatakan sebagai pemenang dan apabila tidak ada pasangan calon yang mencapai 50% suara maka akan dilakukan pilkada putaran kedua. Padahal menurut pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa calon yang memperoleh lebih dari 25% suara terbanyak akan dinyatakan sebagai pemenang. Artinya bisa saja ada pasangan calon yang mendapat 26% suara dinyatakan sebagai pemenang. Untuk masyarakat yang tidak mengetahui aturan, mereka bisa marah karena yang tidak memilih pasangan calon, yang menang sebesar 74%, jadi konflik bisa terjadi bukan karena pasangan yang
109
mereka dukung itu kalah. Sumber konflik lainnya adalah dapat muncul dari pengelolaan dana pilkada oleh KPUD yang diresakan tidak transparan. Demikian pula penegakan hukum pilkada tidak berjalan maksimal. Masalah sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil
Pilkada
dan
Pilwakada
dan
KPUD
Provinsi
dan
KPU
Kabupatenupaten atau Kota belum disosialisasikan dengan baik. Akibatnya apabila ada calon yang tidak lolos dalam memenuhi syarat sebagai pasangan kepala daerah, pendukungnya langsung melakukan tindak kekerasan.
3. Beberapa permasalahan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dalam kaitan peraturan perundang-undangan
Berbagai fenomena dan sumber terjadinya konflik adalah perilaku petugas dan beberapa ketentuan mengenai pelaksanaan Pilkada dalam peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut: a. Masalah Daftar Pemilih Tetap yang sudah disahkan oleh PPS diubah dengan
memasukkan
warga
yang
belum
terdaftar
berdasarkan
kesepakatan KPUD, para calon, dan Panwas. b. Masalah Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah setelah dilantik ternyata menggunakan ijazah palsu dan telah terbukti memlalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
110
c. Masalah Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah setelah dilantik ternyata berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap terbukti melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 64 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. d. Masalah hak-hak Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara, apakah yang masih mereka peroleh. e. Masalah pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan namun oleh KPUD diloloskan dan ditetapkan sebagai pasangan calon. f. Masalah Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang telah dilantik kemudian ternyata terlibat perkara korupsi dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. g. Masalah terjadinya kecurangan pada saat pemungutan suara di beberapa TPS dan Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) menolak keputusan KPUD untuk melakukan pemilihan ulang. h. Bagaimana jika Mahkamah Agung setelah tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan belum memutus sengketa hasil pemungutan suara.
111
i. Masalah ketentuan Pasal 106 ayat (7) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa putusan pengadilan tinggi atas keberatan yang diajukan berkaitan dengan sengketa Pilkada bersifat final.
C. Rekomendasi.
1. Dalam rangka pematangan demokrasi ke depan perlu dipikirkan adanya calon independen yang tidak harus lewat kendaraan parpol. Legitimasi kepala daerah yang dipilih kurang dari 50% suara yang berhak memilih jelas dipertanyakan keabsahannya bahkan mungkin buruk citranya. Buruk karena hanya didukung sekitar 25% dari total warga yang berhak memilih. Selain itu juga calon yang dijagokan lebih sebagai keinginan elite partai yang bukan keinginan warga atau rakyat oleh karena itu ketentuan bahwa calon hanya dari partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu diubah dengan memberi kemungkinan munculnya calon independen. Kesadaran untuk tidak mencoblos dari warga masyarakat menurut laporan media masa karena memang tidak ada yang layak dipilih.
112
2. Masyarakat memang belum memahami benar apakah perbedaan aturan antara pilkada dan pemilihan Presiden. Ini terjadi karena sosialisasi mengenai atura Pilkada belum meluas. Oleh sebab itu perlu sosialisasi secara meluas mengenai peratuan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung.
3. Beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi permasalahan perlu segera disempurnakan.
BAB IV POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BIDANG KEAMANAN
113
KEAMANAN NEGARA A. Permasalahan Berbagai permasalahan yang menyangkut bidang pertahanan dan keamanan terus saja dihadapi, terutama setelah gerakan reformasi nasional yang kita letakkan. 1)
Dari segi keutuhan wilayah kita telah kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan dan terakhir kita terancam kehilangan pulau Ambalat. Sementara dari dalam negeri kita dihadapkan pada gerakan separatis, baik yang pernah dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang relatif telah dapat diselesaikan dan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga relatif telah dapat dinetralisasikan maupun yang dewasa ini masih tetap mengancam yaitu gerakan Papua Merdeka.
2)
Dari segi kesatuan dan persatuan bangsa kita dihadapkan pada berbagai konflik komunal, seperti yang pernah terjadi di Sampit Kalteng, Sambas Kalbar, Kupang NTT, Mataram NTB, dan Ketapang Jakarta maupun yang masih terjadi di Poso Sulteng dewasa ini.
3)
Dari segi kedaulatan, bangsa kita mengalami musibah aksi terorisme internasional, yang walaupun secara kasuistis tidak merupakan ancaman terhadap keamanan negara tetapi dampaknya dapat berakibat pada sikap yang merugikan pada tataran hubungan internasional terutama dari negara-negara maju.
114
B. Identifikasi dan Pembahasan 1)
Permasalahan yang diuraikan di atas semestinya tidak serta merta timbul tanpa pengaruh dari berbagai faktor, baik dalam bidang politik maupun ekonomi khususnya kesejahteraan. Dari aspek pertahanan dan keamanan, permasalahannya lebih dititik-beratkan pada penanganan permasalahan. Dalam hal ini disadari bahwa sejak ditetapkannya Tap MPR No. VI/2000 bidang pertahanan dan keamanan seolah-olah dipisah secara hitam putih, di mana TNI hanya mengurus masalah pertahanan sementara Polri dibebani tanggungjawab masalah keamanan. Tanpa dipahami secara komprehensif, konsep keamanan dipandang sebagai segenap keseluruhan permasalahan keamanan. Sementara Pasal 30 UUD 1945 dan Tap MPR No.: VII/2000 dengan Tap VII dan Rumusan Pasal 30 UUD 45 yang note bene merupakan satu kesatuan keputusan yang ditetapkan MPR dalam Sidang Umum tahun 2000, tugas dan peran Polri hanya menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat (umum). Akibatnya penanganan permasalahan
yang
menyangkut
keamanan
negara
sebagaimana
diutarakan di atas tidak dapat diatasi secara optimal dengan melibatkan berbagai aktor termasuk TNI. 2)
Dari segi regulasi, pengaturan masalah keamanan negara dewasa ini, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dinilai menimbulkan kevakuman dan tumpang tindih. Sementara Seminar
115
PHN VIII di Denpasar Juli 2003, menilai bahwa rumusan Pasal 30 UUD 1945 dan Tap MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Tap MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri “ternyata tidak konsisten sehingga menimbulkan kerancuan dan penafsiran ganda. Menyimpang dari semangat reformasi, pasal 30 UUD 1945 mencakupkan pula fungsi penegakan hukum dan pembinaan keamanan umun ke dalam Sishankamrata yang semestinya hanya difokuskan pada Sistem Keamanan Nasional (Negara).” Akibatnya, secara yuridis tertutup kemungkinan bagi TNI untuk ikut menangani masalah-masalah yang mengancam keamanan negara. 3)
Mengatasi permasalahan tersebut, Departemen Pertahanan dewasa ini sedang mengembangkan konsep untuk mengganti Undang-Undang No.: 3 tahun 2002 dengan suatu undang-undang tentang pertahanan dan keamanan negara. Walaupun Pasal 30 UUD 1945 dan Tap MPR tidak mengamanatkan
pembentukan
undang-undang
dimaksud,
untuk
kepentingan praktis gagasan tersebut patut dilanjutkan. Namun yang perlu
diwaspadai bahwa ruang
lingkup cakupan undang-undang
dimaksud hanya menyangkut domain keamanan negara (state atau national security), yang sudah barang tentu berbeda dengan domain keamanan umum (social atau public security) dan domain keamanan manusia (human security).
116
4)
Domain keamanan negara mencakup ancaman invasi militer dari luar negeri yang menjadi tugas pokok TNI dan ancaman yang bersumber dari dalam negeri yang dikelola secara fungsional dan proporsional oleh Polri dan TNI. Penentuan obyek tersebut semestinya tidak didasarkan atas jenis ancaman apalagi kejahatan, tetapi pada ekskalasi bentuk gangguan. Ancaman dimaksud dapat mencakup: (1) pemberontakan bersenjata; (2) Gerakan separatis bersenjata; (3) konflik komunal yang anarkis dan menimbulkan kerusuhan; (4) terorisme (internasional); dan (5) kejahatan yang tercakup dalam Bab I Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, yang menjadi tugas Polri bersama TNI dan komponen bangsa lainnya.
5)
Di samping berkaitan dengan kebutuhan adanya undang-undang tentang Hankamneg, kelemahan yang dewasa ini dipandang cukup signifikan adalah pengaturan tentang masalah intelijen. Fungsi intelijen yang dilaksanakan oleh berbagai intansi dewasa ini dipandang tidak cukup efektif memberi kontribusi bagi upaya penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan negara. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa sejalan dengan tugas dan peranan TNI sebagaimana diutarakan di atas, peranan intelijen TNI sesungguhnya masih perlu diberdayakan. Sudah barang tentu segala pemikiran untuk mengefektifkan peranan intelijen dari
berbagai
instansi
harus
tidak
berarti
bahwa
kita
akan
mengembangkan konsep seperti pada masa lalu, di mana intelijen
117
khususnya intelijen TNI dipandang sebagai momok yang menghantui prinsip-prinsip dalam suatu bangunan masyarakat demokratis. 6)
Di bidang pertahanan negara masih terdapat permasalahan hukum, yaitu penataan instrumen hukum bidang pertahanan negara sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional meliputi: (a) regulasi tentang kebijakan pertahanan negara; (b) regulasi tentang institusi dan prajurit TNI [penyusunan peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU TNI] ; (c) regulasi tentang sumber daya pertahanan [peran warga dan pengelolaan sumber daya pertahanan]; dan (d) regulasi tentang prosedur pengerahan TNI [kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI dan kekuatan TNI untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas di luar fungsi pertahanan negara]. Regulasi tentang institusi dan prajurit TNI telah diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
TNI.
Sementara regulasi tentang kebijakan-kebijakan pertahanan negara memerlukan adanya perubahan dan penyesuaian tertentu sehingga terdapat usul akan pentingnya perubahan atas UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
C. Rekomendasi Jangka Pendek: 1. Untuk mengisi kekosongan hukum tentang pengaturan fungsi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan keamanan negara perlu dibuat
118
suatu piranti lunak sementara, yang secara yuridis tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi substansinya juga mencakup kebutuhan praktis. 2. Berkaitan dengan tersebut butir a) rencana untuk melakukan reorganisasi Dewan Ketahanan Nasional perlu ditindak-lanjuti, namun sesuai dengan UU No.: 3 tahun 2002 tetap menggunakan nama Dewan Pertahanan Negara tetapi ruang lingkup tugasnya dapat diperluas sehingga tidak hanya menyangkut upaya pertahanan tetapi juga segenap masalah yang termasuk dalam domain keamanan negara.
Jangka Menengah: 1. Sejalan dengan rekomendasi jangka pendek tersebut di atas gagasan pengubahan UU No.: 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjadi suatu undang-undang tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dapat terus
dikembangkan
termasuk
penyusunan
peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Namun agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain yang juga mengatur masalah keamanan, seperti undang-undang tentang kepolisian, undang-undang tentang perlindungan HAM dan undang-undang tentang kesehatan, maka undang-undang tentang Hankamneg hanya mengatur pengelolaan keamanan negara, baik yang dilakukan melalui upaya pertahanan maupun upaya pemeliharaan keamanan di dalam negeri.
119
2. Sejalan dengan pengubahan Undang-Undang Pertahanan tersebut di atas proses pembuatan RUU Intelijen perlu terus dilanjutkan termasuk penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaannya. 3. Penyesuaian peraturan perundang-undangan yang terkait berkenaan dengan pembaharuan/pembuatan undang-undang tentang Hankamneg dan undang-undang tentang Intelijen. 4. Menyempurnakan perangkat hukum yang menyangkut pertahanan negara, yaitu serangkaian Rancangan Undang-Undang sebagai berikut: (1) RUU tentang Kitab Undang-Undang tentang Hukum Pidana Militer; (2) RUU tentang Kerahasiaan Negara; (3) RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer; (4) RUU tentang Batas Wilayah Negara; (5) RUU tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI; (6) RUU tentang Perubahan UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya; (7) RUU tentang Penggunaan Wilayah Negara Indonesia; (8) RUU tentang Komponen Cadangan; (9) RUU tentang Intelijen Negara; (10) RUU tentang Komponen Pendukung; (11) RUU tentang Pendidikan Kewarganegaraan; (12) RUU tentang Pelatihan Dasar Kemiliteran Wajib; (13) RUU tentang Pengabdian Sesuai Profesi; dan (14) RUU tentang Bela Negara.
Jangka Panjang: 1. Perubahan (amandemen) terhadap rumusan Pasal 30 UUD 1945
120
sebagaimana diusulkan oleh Komisi Konstitusi perlu terus ditindaklanjuti. 2. Pembentukan
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur/
menjangkau perkembangan atau perubahan ke depan postur pertahanan Indonesia yang mempertimbangkan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbuka dan terletak di posisi silang. Indonesia yang memiliki 4 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan memiliki beberapa kompartemen strategis yang sangat rawan terhadap pertahanannya
menimbulkan
keharusan
pada
Indonesia
untuk
mengembangkan strategi pertahanan yang bersifat aktif dan berlapis20 dengan tumpuan pada kekuatan matra udara dan laut sehingga kelak memiliki kemampuan dalam menangkal (detterence factor)
setiap
ancaman.
KEAMANAN UMUM Penanganan Perkara Serba Ringan A. Permasalahan 1. Perkembangan gangguan keamanan dan ketertiban umum khususnya kriminalitas dirasakan semakin meningkat terutama dari aspek kualitas. Kejahatan baru dan berdimensi baru, terutama dalam bentuk kejahatan 20 Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh, Strategi Peperangan Laut Kepulauan, Jurnal SATRIA Studi Pertahanan No.1 Februari 2005, Badiklat Dephan, Jakarta, 2005. Strategi pertahanan berlapis (layered defence strategy) adalah strategi pertahanan yang dilaksanakan untuk meniadakan atau menghancurkan ancaman dari luar melalui gelar kekuatan gabungan laut dan udara di medan pertahanan penyanggah, medan pertahanan utama, dan pertahanan perlawanan.
121
lintas
negara
(transnational
crimes)
semakin
dirasakan
peningkatannya, sehingga menuntut penanganan yang semakin serius dan membutuhkan energi yang tidak kecil. Ini berarti bahwa beban pekerjaan polisi menjadi demikian padat dan berat bahkan akibatnya waktu dan energi polisi acapkali dikuras untuk penanganan kasus-kasus ringan. Sementara itu kemampuan sumberdaya Polri yang tersedia bahkan yang mungkin ditingkatkan sekalipun dipandang tetap kurang efektif untuk menangani segenap gangguan keamanan dan ketertiban. 2. Dewasa ini secara formal sistem peradilan pidana menentukan bahwa setiap kasus pelanggaran hukum hanya mungkin diselesaikan melalui prosedur hukum acara pidana, yang diawali dengan proses pelaporan pada pejabat Polri. Peraturan hukum menetapkan bahwa kecuali dalam hal penyidikan dihentikan karena alasan yuridis setiap perkara yang ditangani polisi harus diproses sesuai ketentuan hukum. Namun di lain pihak terdapat suatu aturan bahwa polisi diberi wewenang untuk menyelesaikan
perkara-perkara
serba
ringan
sehingga
proses
penyelesaiannya tidak sampai ke tingkat pengadilan.
B. Identifikasi dan Pembahasan 1. Berkenaan dengan perkembangan kuantitas dan kualitas kejahatan perlu
dikembangkan
konsep
penanganan
yang
tidak
hanya
membebankan tanggung jawab pada Polri tetapi juga komponen
122
masyarakat dan instansi pemerintah lainnya. Secara umum konsep tersebut telah diakomodasi dalam ketentuan Pasal 3 UU RI No.: 2 tahun 2002 tentang Polri yang menetapkan bahwa: (“dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian Polri dibantu oleh: (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
(2)
Alat
Kepolisian
pengamanan swakarsa.
Khusus,
dan
(3)
Bentuk-bentuk
Ketentuan tentang PPNS secara substansial
telah diatur pada undang-undang masing-masing instansi dan UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana. Tetapi pengaturan tentang Polsus dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa serta ketiga komponen sebagai satu kesatuan sistem dengan Polri belum dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 2. Dalam hal ini ketentuan tentang bentuk-bentuk pengamanan swakarsa perlu diatur secara jelas dan sistematis sehingga seyogyanya tidak hanya menyangkut upaya pencegahan tetapi perlu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan pertikaian dalam lingkungan komunitas lokal sehingga tidak selalu memerlukan proses penyelesaian secara formal melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Konsepsi ini sejalan dengan konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) atau community policing yang dikembangkan Polri dewasa ini serta teori reintegrative shaming yang dikembangkan pada beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir.
123
3. Gagasan untuk memberdayakan potensi lokal dalam penyelesaian perkara pelanggaran hukum serba ringan adalah sejalan dengan tuntutan kepastian hukum sebagai salah satu pilar dalam negara yang menjunjung supremasi hukum. Artinya, bahwa harus ada kepastian bahwa setiap pelanggaran hukum menuntut adanya reaksi sosial. Reaksi sosial tidak selalu harus dalam bentuk sistem peradilan pidana formal; reaksi sosial dalam bentuk informal sekalipun memberikan jaminan tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, jika sistem peradilan pidana formal tidak mampu menjamin kepastian hukum maka sistem informal perlu dikembangkan terutama untuk menangani perkaraperkara pidana serba ringan terutama yang menyangkut pertikaian antar warga dalam suatu komunitas. 4. Dalam praktiknya, dalam kehidupan sosio-kultural bangsa Indonesia, penyelesaian perkara baik perdata maupun pidana tidak jarang dilakukan melalui mekanisme informal, terutama perkara-perkara yang menyangkut pertikaian antar warga dalam suatu komunitas. Di negaranegara maju sekalipun terdapat kecenderungan untuk menyelesaikan perkara-perkara (misdeamenor) melalui mekanisme informal yang difasilitasi oleh pihak ketiga (alternative dispute resolution atau victimoffender reconsiliation program). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penyelesaian informal demikian ternyata lebih dirasakan manfaatnya oleh kedua belah pihak (pelaku dan korban).
124
C. Rekomendasi Jangka Pendek Dengan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku perlu ditetapkan suatu kebijakan yang memberi kewenangan kepada pejabat Polri khususnya yang berperan sebagai petugas Polmas pada wilayah/kawasan yang menerapkan model Polmas untuk memfasilitasi penyelesaian perkara serba ringan dengan pedoman yang jelas.
Jangka Menengah Perlu ada peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan kepada komunitas lokal untuk, di samping melakukan upaya pencegahan, dapat mengambil tindakan kepolisian yang bersifat terbatas sebagai wujud reaksi sosial dalam rangka memberikan jaminan kepastian tindakan (tanpa harus menunggu mekanisme formal) atas setiap pelanggaran hukum ringan sekalipun.
Jangka Panjang Undang-Undang
tentang
Kepolisian
Negara
R.I
(sebagai
institusi)
semestinya diperluas menjadi undang-undang tentang kepolisian di Indonesia yang mencakup pengaturan tentang Polri dan semua komponen
125
pelaksana fungsi kepolisian, baik yang bersifat nasional maupun lokal, termasuk bentuk-bentuk pengamanan swakarsa (Polmas).
Komisi Kepolisian Nasional
A. Permasalahan Tap MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran TNI dan POLRI menetapkan pembentukan lembaga kepolisian nasional sebagai badan penasehat Presiden dalam perumusan kebijakan tentang kepolisian dan pengangkatan/pemberhentian Kapolri (advisory role). UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI yang menjabarkannya dengan menamakan lembaga dimaksud “Komisi Kepolisian Nasional”, hanya mungkin memodifikasi peran Komisi dengan menambah satu ayat yang berkaitan dengan fungsi pengawasan yaitu Pasal 38 Ayat 1 butir b “memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri“. Ternyata ekspektasi publik terhadap kehadiran Komisi Kepolisian sangat tinggi dihadapkan pada permasalahan yang dialami masyarakat tentang kinerja Polri. Komisi Kepolisian acapkali diharapkan seperti komisi-komisi independen lainnya, seperti KPK, Komisi Yudisial dan Komnas HAM. Kebijakan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional semakian menuai kritikan dengan ditetapkannya
126
Menko Polhukam, Mendagri dan Menhuk & HAM secara ex-oficio masingmasing sebagai Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi, serta ditetapkannya usia minimal 45 bagi anggota Komisi.
B. Identifikasi dan Pembahasan Ketentuan tentang pembentukan Komisi Kepolisian ternyata tidak mengakomodir makna yang terkandung tentang hakekat lembaga demikian (yang biasanya disebut komisi) sebagai perumus kebijakan (policy making role) dan sebagai pengawas kepolisian (control role). Ketentuan hukum yang berlaku sekarang menempatkan Komisi Kepolisian semata-mata sebagai badan penasehat Presiden, sehingga berarti bahwa pembuat kebijakan adalah Presiden. Padahal, berbeda dengan departemen dan lembaga pemerintahan lainnya, kepolisian walaupun secara administratif berada dibawah Presiden bukan merupakan “instrument of policy” melainkan “instrument of law”. Di dalam negara demokrasi, kepolisian sebaiknya tidak dikendalikan oleh Presiden. Seperti halnya Jepang, Swedia, dll hubungan Presiden dan Kepolisian diantarai oleh komisi kepolisian. Dalam hal ini Presiden hanya mengurus administrasi kepolisian sedangkan kebijakan kepolisian termasuk pengawasan atas kepolisian dilakukan oleh Komisi Kepolisian.
C. Rekomendasi
127
Jangka Pendek: Sebagai suatu langkah reformasi, pembentukan Komisi Kepolisian perlu direalisasikan dengan segala kekurangannya. Jangka Menengah: Perlu dilakukan amandemen terhadap ketentuan tentang Komisi Kepolisian dalam UU nomor 2 tahun 2002 sehingga Komisi Kepolisian dapat berperan sebagai lembaga pembuat kebijakan dan sekaligus pengawas kepolisian. Namun amandemen hanya mungkin dilakukan setelah keberlakukan Tap MPR nomor VII tahun 2000 secara yuridis sudah tidak memiliki daya mengikat lagi.
Jangka Panjang: Pada masa mendatang, peranan Komisi Kepolisian sebagai lembaga pengawas Polri perlu dimantapkan lagi dengan pembentukan Komisi Kepolisian pada setiap propinsi/Kabupatenupaten/kota karena pengawasan atas pekerjaan kepolisian seyogyanya ditempatkan sedekat mungkin dengan operasionalisasi fungsi kepolisian itu sendiri, tidak berada jauh (pada tingkat pusat semata) di atasnya.
128
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN Hukum 1.
Transparansi atau asas keterbukaan dalam proses penegakan hukum khususnya
dalam
penangangan
perkara
belum
sepenuhnya
dijalankan oleh aparat penegak hukum sehingga pencari keadilan seringkali mendapatkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu sistem informasi manajemen perkara di dalam sistem peradilan pidana terpadu harus dikembangkan dengan berbagai pendekatan (pendekatan normatif, administratif dan sosial) dan optimalisasi berjalannya semua subsistem dan komponen yang mendukung sistem peradilan pidana terpadu. 2.
Ketentuan-ketentuan di dalam hukum acara pidana masih memberi peluang sebagai penghambat bagi terselenggaranya sistem peradilan pidana terpadu secara transparan, antara lain dalam proses pra
129
penuntutan dan penyerahan berkas perkara hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 3.
Diskresi diperlukan dalam proses penegakan hukum karena tidak akan ada hukum atau perundang-undangan yang sempurna mengatur segala hal. Akan tetapi penerapan diskresi yang salah dan sewenang-wenang dalam penegakan hukum seringkali menimbulkan perilaku aparat penegak hukum yang menyimpang. Oleh karena itu penerapan diskresi harus didasari dengan nilai-nilai moral dan etika. Dengan demikian kode etik profesi perlu dirumuskan secara jelas, konkrit dan tegas. Dalam hal ini Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian menjadi sangat penting dalam melakukan pengawasan.
4.
Kebijakan peradilan satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung menunjukkan pelaksanaan pemisahan kekuasaan. Namun hubungan checks and balances antara kekuasaan kehakiman dengan Pemerintah hanya ada pada pengangkatan, tidak ada dalam pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung. Kebijakan
satu
atap
juga
berdampak
pada
cakupan
pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman, yaitu tidak hanya dalam fungsi yudisial akan tetapi juga dalam fungsi administrasi negara.
130
Politik 5.
Konstelasi politik internasional yang berpengaruh dan berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, kepada politik dan hukum Indonesia
yang
kini
berkembang
adalah
isu-isu
terorisme
internasional, perang melawan terorisme, prolifirasi senjata nuklir dan masalah keamanan internasional. 6.
Dalam lingkup regional ASEAN,
Indonesia menghadapi masalah
batas wilayah teritorial dan perebutan pulau-pulau kecil serta pencurian ikan dan perusakan lingkungan, terutama dengan negara Malaysia, Filipina, Tahunailand dan Singapura. Hal ini antara lain disebabkan dari strategi politik luar negeri RI yang terlalu low profile. 7.
Reformasi sistem politik yang dilakukan di Indonesia untuk mewujudkan demokrasi, memerlukan adanya penghormatan dan legitimasi terhadap elemen utama dari politik yang meliputi partai politik, legislatif, pelaksanaan pemilu, aturan hukum pemilu, kepemimpinan partai dan aliansi antar partai.
8.
Wujud demokrasi politik yang baik ditandai dengan kontrol dari para aktor politik yang mempunyai legitimasi yang sah untuk mewakili kepentingan rakyat terhadap kekuasaan publik dan aparatur pemerintah.
131
9.
Pelaksanaan demokrasi perwakilan di Indonesia belum berjalan dengan baik, karena keberadaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat cenderung
mewakili
kepentingan
pantai,
bukan
mewakili
kepentingan dan kebutuhan rakyat. 10. Implementasi pemilihan Kepala Daerah secara langsung menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah membawa dampak positif bagi proses demokratisasi di Daerah yang disertai dengan berbagai kecenderungan fenomena politik lokal khususnya potensi konflik. Potensi konflik bersumber dari perilaku petugas dan beberapa ketentuan mengenai pelaksanaan Pilkada dalam peraturan perundang-undangan dan pemahaman masyarakat sendiri terhadap ketentuan tersebut.
Keamanan 11.
Penataan instrumen hukum bidang pertahanan negara sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional meliputi: (1) regulasi tentang kebijakan pertahanan negara; (2) regulasi tentang institusi dan prajurit TNI; (3) regulasi tentang sumber daya pertahanan; dan (4) regulasi tentang prosedur pengerahan TNI. Regulasi tentang institusi dan prajurit TNI telah diatur dalam UU TNI. Sementara regulasi
tentang
kebijakan-kebijakan
132
pertahanan
negara
memerlukan adanya perubahan dan penyesuaian tertentu sehingga perubahan atas UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjadi penting dilakukan. 12. Keutuhan wilayah, gerakan separatis, konflik komunal dan aksi terorisme merupakan permasalahan utama yang tengah dihadapi Indonesia. Di sisi lain pengaturan masalah keamanan negara diniliai menimbulkan kevakuman,
tumpang tindih, kerancuang dan
penafsiran ganda. Oleh karena itu upaya mengamandemen UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara penting untuk dilakukan dengan memperhatikan ruang lingkup cakupan atau domain pengaturan. 13. Ketentuan
tentang
pembentukan
Komisi
Kepolisian
tidak
mengakomodir makna yang terkandung tentang hakikat lembaga sebagai perumus kebijakan (policy making role) dan sebagai pengawas kepolisian (control role).
Ketentuan hukum yang ada
sekarang hanya menempatkan Komisi Kepolisian sebagai badan penasehat Presiden, sehingga berarti bhawa pembuat kebijakan adalah Presiden. Di dalam negara demokrasi, kepolisian sebaiknya tidak dikendalikan oleh Presiden, sedangkan kebijakan kepolisian kepolisian termasuk pengawasan atas kepolisian dilakukan oleh Komisi Kepolisian.
133
B. SARAN Hukum 1. Perlu dirumuskan adanya sistem informasi manajemen perkara pidana terpadu di lingkungan aparat penegak hukum yang didukung dengan penyiapan perangkat lunak dan perangkat keras serta revisi peraturan perundang-undangan yang menghambat pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu. 2. Dalam mengendalikan diskresi di dalam proses penegakan hukum perlu perumusan kembali kode etik profesi dengan mempertimbangkan rumusan upaya pemaksa yang keras dan pemberdayaan institusi atau lembaga serta para penegak hukum sesuai dengan kode etik profesinya. 3. Untuk menunjang pelaksanaan one roof system perlu penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan kesempatan pengalaman studi komparasi yang banyak bagi tenaga administrasi, panitera dan para hakim.
Politik 4. Indonesia dituntut untuk selalu mencermati perkembangan dan konstelasi politik internasional dan regional dalam rangka memelihara dan memperjuangkan kepentingan nasional.
134
5. Untuk mencegah konflik di daerah perbatasan dan perairan Indonesia, terutama berkaitan dengan kompetisi yang semakin meningkat atas sumber daya maritim, Indonesia setidaknya perlu melakukan dua hal: menyelesaikan demarkasi perbatasan serta meningkatkan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan dan maritim. 6. Dalam menghadapi permasalahan dengan negara tetangga anggota ASEAN, Indonesia harus menggunakan strategi yang lebih aktif terutama dalam upaya menjaga keutuhan wilayah. 7. Diperlukan revisi dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 8. Diperlukan adanya komitmen yang kuat antara partai politik dan pemerintah untuk menyadari dan dapat melaksanakan tugas serta fungsinya masing-masing demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, tanpa saling melakukan intervensi politik demi kepentingan partai atau kelompok tertentu. 9. Selain diperlukan adanya mekanisme pola rekruitmen anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baik, juga diperlukan adanya perubahan perilaku, moral dan pola pikir berpolitik dari pimpinan dan anggota
135
partai, sehingga keberadaan mereka di parelemen benar-benar demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. 10. Dalam rangka pemantapan pelaksanaan Pilkada secara langsung, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan tentang pilkada yang menjadi permasalahan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang pilkada secara meluas.
Keamanan 11. Dalam rangka pengelolaan pertahanan negara perlu mempersiapkan perangkat
hukum
(perundang-undangan)
yang
komprehensif;
perumusan kembali dan pengkajian atas doktrin-doktrin pertanahan strategis; pengembangan Integrated Armed Forces, pengembangan industri pertahanan danmewujudkan pertahanan non-militer. 12. Perlu dilakukan amandemen terhadap ketentuan tentang Komisi Kepolisian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 dan segera merealisasi pembentukan Komisi Kepolisian sebagai lembaga pembuat kebijakan dan sekaligus pengawas kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA 136
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, Jakarta, 2004. ---------------, Seminar Pembanguan Hukum Nasional VIII, Bali, 2003. Bernard Kent Sondakh, Laksamana TNI, Strategi Peperangan Laut Kepulauan, Jurnal SATRIA Studi Pertahanan No.1 Februari 2005, Badiklat Dephan, Jakarta, 2005. Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji SH & Rekan, Jakarta, Edisi Khusus untuk Program Magister Hukum UNPAD, 2002. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kajian Konstitusional Tentang Peranan POLRI Dalam Pengelolaan Keamanan Negara, Markas Besar POLRI, Jakarta, 17 Oktober 2005. Kompas, 18 Agustus 2005. Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta, 2002. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Republika, 16 Agustus 2005. Roeslan Saleh, dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Barden,---------, 1996. Satjipto Rahardjo, Masalah Pengakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Sinar Baru Bandung.
137
---------------, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. Soerjono
Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986.
138
Penegakan
LAMPIRAN
139