LAPORAN AKHIR TIM FORUM DIALOG HUKUM DAN NON HUKUM KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM DAN TEKNOLOGI
Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan : Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., LL.M.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ……………………………………………
1
B.
Maksud dan Tujuan .… ………………………………….
3
C.
Ruang Lingkup Pembahasan …………………………..
4
INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG HUKUM DAN TEKNOLOGI
A.
Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan Teknologi Informasi & Cyber Crime ........................... I.
Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait Cyber Crime.....................................................
II.
6
Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang Dipersiapkan ...................................................
B.
5
11
Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan Waktu ........................................................................
27
C.
Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional ................
29
D.
Efek Rumah Kaca .......................................................
31
E.
Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya...................
F.
34
Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legeslatif dan Judikatif sebaga sarana Penyebarluasan dan Layanan Informasi Hukum ..........................................
BAB
III
TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG
38
DAN
WAKTU
A.
Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global........
B.
Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan ................................................
C.
43
47
Perkembangan Teknologi Informasi di Beberapa Negara ....................................................
54
BAB IV
INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN SERTA IMPLIKASINYA BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI NASIONAL
A.
B.
C.
D.
Space Treaty 1967 I.
Prinsip-prinsip Pokok.........................................
57
II.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi ..
59
III.
Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 61
Rescue Agreement 1968 I.
Ketentuan Pokok ………………………………….
64
II.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi.....
66
III.
Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 67
Liability Convention I.
Ketentuan-ketentuan Pokok …………………….
68
II.
Interpretasi dan Implementasi ...........................
71
III.
Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional….
73
Registration Convention I.
Ketentuan-ketentuan Pokok …………………….
75
II.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi....
76
III.
Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional ...
78
E.
Moon Agreement 1979..................................................
79
F.
Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya.......
80
BAB V
BAB VI
EFEK RUMAH KACA
A.
Efek Rumah Kaca (Green House Efect)……………….
82
B.
Pemanasan Global (Global Warming) …………………
83
C.
Gas-Gas Rumah Kaca ................................................
85
D.
Dampak Pemanasan Global .......................................
88
E.
Meminimalkan Dampak Pemanasan Global...............
92
F.
Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global..................
95
PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA
BAB VII
A.
Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek.............
97
B.
Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya...
100
C.
Upaya Pengurangan Pembajakan ………………........
103
SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGESLATIF DAN JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN LAYANAN INFORMASI HUKUM
A.
Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional..................105
B.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam membangun Sistem Informasi Hukum Nasional.............. 107
C.
Sistem Internet
Informasi
Hukum
berupa
Nasional Portal
Berbasis
Jaringan
Situs
Web
bphn.go.id................................ ...................................... 113 D.
Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legislatif dan Judikatif sebagai Sarana Penyebarluasan dan Layanan Informasi Hukum............................................. 124
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan ..................................................................
127
B.
Saran ……………………………………………..............
130
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
131
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sebagai bagian dari proses peningkatan aktifitas sosial dalam ekonomi, masyarakat dunia telah
memasuki suatu masyarakat yang
berorientasi kepada informasi. Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan dibanyak sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (Electronic – Comerce) pendidikan (electronic education), kesehatan (telemedika), telekarya, transportasi, industri pariwisata, lingkungan sampai ke sektor hiburan. Teknologi Informasi mencakup masalah sistem yang
mengumpulkan
(Collect),
menyimpan
(save),
memproses,
memproduksi dan mengirimkan informasi dari dan ke industri ataupun masyarakat secara efektif dan cepat. Teknologi komputer baik perangkat keras maupun perangkat lunak, jaringan komunikasi meluas dan teknologi multimedia dimungkinkan menjadi tulang punggung di masyarakat abad 21 mendatang. Namun demikian, selain keuntungan yang menjanjikan dan teknologi khususnya teknologi informasi, teknologi ini juga memberikan persoalan
baru
dalam
tatanan
kehidupan
masyarakat,
misalnya
pelanggaran HAKI, penipuan dalam perdagangan elektronik, perpajakan dan sebagainya. Di Indonesia saat ini penggunaan teknologi informasi telah sedemikian luas, namun demikian perangkat hukum/peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan ini belum mendukung untuk mengimbangi ekses-ekses yang ditimbulkan akibat pemanfaatan teknologi informasi ini. Dengan demikian terdapat kesenjangan antara kemajuan teknologi dan rendahnya perangkat hukum positif, penegakan hukum
belum
berjalan
sebagaimana
mestinya
dalam
mengatur
penyalahgunaan teknologi informasi. Untuk itu Badan Pembinaan Hukum Nasional periode 2004 telah membahas keterkaitan antara hukum dan teknologi, dengan membentuk kelompok kerja hukum dan teknologi, lingkup pembahasan tahun lalu adalah : -
Pengaruh perkembangan teknologi informasi terhadap Sistem Hukum Nasional;
-
Cyber Law, dukungan mutlak bagi perkembangan Sistem Informasi Nasional (SISFONAS) berbasis teknologi informasi dan komunikasi;
-
Sistem Informasi Hukum Nasional menunjang kesiapan berlakunya undang-undang kebebasan memperoleh informasi public;
-
Kesiapan
regulasi
dalam
mengantisipasi
pembangunan
dan
pengoperasian Badan Antariksa di Biak; -
Peningkatan Investasi dan Kreativitas Investor Nasional melindungi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Internasional;
-
Sistem Tanggungjawab dalam Penerbangan Sipil;
-
Prospek Multimedia dan Industri Penyiaran;
-
Hukum dan Teknologi (Nuklir).
Sebagai sebuah negara hukum, maka segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat harus dilandasi dan sejalan dengan aturan hukum. Demikian pula sebaliknya sebagai perangkat acuan maka hukum di
Indonesia harus bisa memberikan koridor yang jelas dan terarah
sehingga berbagai aktivitas yang akan dilakukan oleh masyarakat dapat dilakukan secara tertata dengan benar. Dalam hal ini bahwa keberadaan hukum harus selalu bisa beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sehingga dengan
demikian
berkesinambungan
proses yang
pembangunan memang
masyarakat
menjadi
tujuan
secara utama
diberlakukannya hukum di negeri ini akan dapat terlaksana dengan baik serta bersifat dinamis mengikuti berbagai perubahan yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional.
B.
Maksud dan Tujuan Mengacu kepada latar belakang seperti tersebut diatas, maka maksud dan tujuan pembahasan kelompok kerja hukum dan teknologi adalah untuk memperoleh masukan-masukan pemikiran yang diperlukan bagi peningkatan pembangunan hukum nasional melalui penyusunan kebijakan pemerintah di bidang teknologi. Apakah itu kebijakan melalui pembentukan pada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan lain.
C.
Ruang Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan dalam kegiatan tim mencakup isu-isu aktual di bidang hukum dan teknologi antara lain sebagai berikut : a.
Inventarisasi isu-isu aktual di bidang hukum dan teknologi
b.
Teknologi informasi menembus batas ruang dan waktu
c.
Interpretasi dan implementasi perjanjian-perjanjian internasional di bidang keantariksaan serta implikasinya bagi upaya perumusan legislasi nasional
d.
Efek rumah kaca
e.
Pembajakan hak cipta dan mall-mall yang ada di indonesia sebagai tempat penjualannya
f.
Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum.
BAB II INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG HUKUM DAN TEKNOLOGI
A.
Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan Teknologi Informasi & Cyber Crime
Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap keberadaan regulasi di bidang Cyber Crime. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (ICT) yang sangat cepat telah mempengaruhi sistem hukum nasional secara keseluruhan, karena kesulitan seringkali dihadapi jika kasus-kasus cyber crime pendekatannya dilakukan melalui hukum konvensional. Menghadapi persoalan ini Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah konkret berupa pembuatan regulasi baru yang terkait dengan Cyber Crime. Langkah itu antara lain dalam bentuk disahkannya Undang-undang
tentang
Terorisme
yang
didalamnya
mengakui
keberadaan alat-alat bukti elektronik. Di samping itu terdapat pula Undang-undang lainnya yang terkait masalah Cyber crime seperti UU tentang Telekomunikasi, UU Tindak Pidana pencucian uang, disamping juga sudah ada undang-undang
tentang Hak Cipta yang mengatur
perlindungan software komputer dan menetapkan sanksi pidana bagi pelanggarnya.
I
Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait Cyber Crime 1.
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme Pasal 27 Undang-undang ini mengatur masalah alat bukti elektronik yang terkait dengan kegiatan terorisme. Pada prinsipnya alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah. Alat Bukti Pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi : a.
Alat Bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana
b.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
c.
Data, Rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada :
d.
Tulisan suara atau gambar
e.
Peta, rancangan, foto atau sejenisnya
f.
Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya
2.
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Undang-undang ini juga mengatur alat bukti elektronik yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Dalam pasal 38 UU No. 25/2003 alat bukti yang diakui selain yang dimaksud dalam Hukum Acara Pidana juga termasuk didalamnya alat bukti lain berupa Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan dokumen lainnya termasuk data elektronik.
3
Undang-undang Telekomunikasi.
No.
36
Tahun
1999
tentang
Undang-undang ini mengatur masalah akses tidak sah
melalui
melakukan
sarana perbuatan
telekomunikasi tanpa
hak,
berupa tidak
larangan sah
atau
memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi dan atau akses ke jasa telekomunikasi dan atau akses ke jaringan telekomunikasi khusus, ancaman pidana atas perbuatan ini adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan atau denda maksimal Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
4.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pemerintah komitmennya
yang
Indonesia
menekankan
menjunjung
tinggi
Hak
kembali Kekayaan
Intelektual (HKI). Pengakuan perlindungan terhadap HKI istilah yang baku Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan dasar bagi suatu Negara untuk dapat maju dalam era masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Society). Penghargaan terhadap suatu inovasi akan menciptakan efek multiplier dalam perkembangan peran dan kreativitas komunitas intelektual suatu Negara. Hal ini juga merupakan salah satu hal yang diungkapkan Presiden RI dalam pertemuannya dengan Bill Gates di markas Microsoft di Redmond, Amerika Serikat baru-baru ini. Di Indonesia implementasi HKI di bidang program komputer merupakan pengejawantahan dari UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan sesuai dengan komitmen Indonesia yang telah meratifikasi kesepakatan WTO-TRIPS. Sejalan dengan komitmen pemerintah secara umum mengenai
HKI,
Communication
dalam
konteks
Technology
(ICT)
Departemen Komunikasi
Information pemerintah
and melalui
dan Informatika (Depkominfo)
akan menjadwalkan berbagai langkah koordinasi dengan vendor
maupun
dengan
pihak-pihak
terkait
dalam
mengimplementasikan HKI di Indonesia. Dalam konteks ICT di Indonesia, penggunaan software (perangkat lunak) bajakan
merupakan
tantangan
paling
besar,
karena
mencakup operasi di berbagai aspek, termasuk dalam operasi pemerintah maupun dunia usaha. Menteri Komunikasi dan Informatika, memandang bahwa seperti halnya Negara-negara berkembang lainnya, merupakan
tantangan
besar
bagi
Indonesia
dalam
mengimplementasikan HKI dalam penggunaan software berlisensi, karena dalam satu sisi mahalnya harga lisensi tersebut dibandingkan dengan GDP per kapita yang relatif rendah. Di satu pihak pemerintah menargetkan penyebaran ICT secara lebih merata, tingginya nilai software berlisensi sering merupakan penghambat karena menjadikan biaya investasi maupun biaya operasional tinggi sehingga sulit terjangkau. Oleh karena itu diperlukan alternatif-alternatif yang realistik yang harus disesuaikan dengan visi industri ICT di Indonesia ke depan. Khususnya mengenai penggunaan software Microsoft di kantor pemerintah, sudah dilakukan pembicaraan antara Microsoft dan pemerintah RI untuk mengatasi penggunaan software bajakan. Sementara ini berbagai alternatif untuk mengatasi masalah ini sudah dibicarakan namun belum ada
kesepakatan
konkrit
mengenai
cara
mengatasi
permasalahan yang ada. Sebagai langkah pertama dalam kerjasama, akan dilakukan inventarisasi bersama yang dikoordinasikan PT.Microsoft
oleh
Indonesia
Depkominfo untuk
bersama
dengan
mengidentifikasi
jumlah
komputer dan aplikasi yang digunakannya baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Pekerjaan besar ini diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu empat bulan ke depan, sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan
strategi
yang
terbaik
dalam
mengatasi
penggunaan software bajakan khususnya di limgkungan pemerintah. Perlu diketahui bahwa beberapa perguruan tinggi saat ini telah memiliki Campus Agreement dengan Microsoft.
5.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Pengakuan atas alat bukti elektronik meskipun bersifat
limitatif
terbatas
pada
dokumen-dokumen
perusahaan diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang mengakui keberadaan dokumen elektronik. Antara lain dinyatakan bahwa
suatu
data yang originalnya adalah dalam bentuk elektronis atau
sejak semula dibuat atau diterima dalam sarana bukan kertas dapat langsung dialihkan kedalam bentuk media lainnya tanpa harus dibuat dahulu hasil cetaknya (hardcopy). Ditegaskan pula bahwa dokumen perusahaan adalah data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Pasal 15 ayat (1) UU Nomor. 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
2.
Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang Dipersiapkan Saat ini Pemerintah Indonesia juga sedang mengajukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat beberapa Undang-undang terkait Cyber Crime dan regulasi Cyber Law pada umumnya.
1.
RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Salah satu yang sudah final pembahasannya adalah Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan transaksi
elektronik yang di dalamnya mengatur keberadaan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah Ketentuan tentang alat bukti terdapat dalam pasal 5 RUU ITE yang menyatakan bahwa: (1)
Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik merupakan alat bukti dan memiliki akibat hukum yang sah .
(2)
Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Di samping hal-hal tersebut RUU ITE juga mengatur tentang hal-hal yang merupakan perbuatan yang dilarang terkait dengan cyber crime yang terdapat dalam pasal 26 RUU ITE yang berbunyi sebagai berikut : a. Larangan menggunakan dan mengakses komputer melawan hukum dengan apapun dengan maksud merusak, merubah, mengganti, memperoleh atau menghapus informasi Secara prinsip, semua orang dilarang : (1)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan maksud
merusak,
mengganti,
merubah,
memperoleh, atau menghapus informasi dari komputer atau sistem elektronik lainnya.
(2)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem komputer lainnya dengan maksud memperoleh, menghancurkan
mengubah, informasi
merusak
atau
negara,
yang
berada pada statu dilindungi atau rahasia. (3)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya, tanpa hak dengan maksud memperoleh, merubah, menghapus atau merusak informasi keamanan negara atau hubungan internasional yang dapat menghasilkan
ancaman
atau
kerusakan
potensial kepada negara dan juga subjek hukum internasional lainnya1.
b.
Larangan merusak dilindungi Negara. Setiap perbuatan
orang melawan
Sistem
Elektronik
dilarang
untuk
hukum
yang
melakukan
yang
dapat
mengakibatkan rusaknya program transmisi, informasi atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara2.
1 2
Pasal 26 RUU ITE Pasal 27 RUU ITE
c.
Larangan mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi negara. Setiap orang dilarang menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya yang melampaui haknya, baik dari dalam negara atau luar negara, untuk mengambil informasi dalam dari komputer
atau
sistem
elektronik
lainnya
yang
dilindungi oleh negara.3
d.
Larangan menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya dengan segala cara atau yang melampaui kapasitasnya. Setiap orang dilarang : (1)
menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya yang dimiliki oleh negara tanpa adanya otorisasi;
(2)
menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi sebelumnya
atau
yang
melampaui
batas
kewenangannya terhadap yang dilindungi oleh negara, yang dapat merusak benda tersebut. (3)
menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi
3
Pasal 28 RUU ITE
sebelumnya
atau
yang
melampaui
batas
kewenangannya terhadap yang dilindugi secara umum, yang dapat merusaknya. (4)
merusak
atau
komputer
atau
mengakibatkan sistem
kekacauan
elektronik
yang
digunakan oleh negara4.
e.
Larangan mengakses komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperoleh keuntungan atau informasi finansial dari lembaga perbankan atau lembaga finansial.
Setiap orang dilarang : (1)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik tanpa otorisasi atau melebihi kewenangannya dengan maksud memperoleh kekayaan atau informasi finansial dari Bank Indonesia, atau informasi finansial dari Bank Indonesia atau lembaga perbankan atau lembaga finansial, perusahaan kartu kredit, kartu
pembayaran
atau
lainnya
selain
informasi konsumen yang disimpan. (2)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem
4
Pasal 29 RUU ITE
elektronik
tanpa
otorisasi
dari
perusahaan kartu kredit, kartu permbayaran lainnya, dalam transaksi elektronik untuk memperkaya diri.5
f.
Larangan Akses Melawan Hukum dalam Komputer yang Dilindungi tanpa adanya Otorisasi atau yang Melebihi Kewenangan Setiap orang dilarang menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik Bank Indonesia tanpa adanya otorisasi atau yang melebihi kewenangaan dengan maksud memperkaya diri atau menggunakannya dengan perbuatan yang melawan hukum.6
g.
Larangan untuk mengambil keuntungan atau kode akses (Menggunakan Password untuk Menjebol Komputer Lembaga atau Lembaga Lain yang dilindungi oleh Negara.) Setiap orang dilarang: (1)
Menyebarkan,
menukarkan,
atau
menggu-
nakan kode akses (password) atau informasi yang serupa, untuk menjebol komputer atau sistem elektronik dengan maksud mensalah gunakan, yang dapat mempengaruhi sistem
5 6
Pasal 30 RUU ITE Pasal 31 RUU ITE
elektronik
Bank
perbangkan
atau
Indonesia,
lembaga
lembaga finanasial,
dan
perdagangan domestik atau internasional.
(2)
Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan kode akses atau password, atau informasi yang serupa, yang dapat digunakan untuk menjebol komputer maksed
atau
sistem
elektronik
mensalahgunakan
dengan
komputer
atau
sistem komputer yang dilindungi negara.7 h.
Larangan dalam Hubungan Internasional yang Merusak Komputer yang Dilindungi Negara dibawah Jurisdiksi Indonesia.
Setiap orang dilarang untuk melakukan tindakan, dalam konteks hubungan internasional, yang merusak dengan maksud dengan Every person merusak komputer atau sistem elektronik yang dilindungi dibawah jurisdiksi Indonesia dan dapat diakses secara umum.8
7 8
Pasal 32 RUU ITE Pasal 32 RUU ITE
i.
Larangan untuk menggunakan dan mengakses secara melawan hukum dengan segala cara dengan maksud merusak,
mengganti,
merubah,
memperoleh
atau
menghapus informasi.
Pada prinsipnya setiap orang dilarang : (1)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik, tanpa hak dengan maksud merusak, mengganti, merubah, memperoleh atau menghapus informasi dari komputer atau sistem elektronik lainnya.
(2)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem komputer lainnya dengan segala cara dengan merusak
maksud atau
memperoleh,
merubah,
menghancurkan
informasi
negara, dalam status dilindungi atau rahasia. (3)
Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan maksud memperoleh, merubah, menghapus atau merusak informasi keamanan negara atau hubungan internasional yang dapat menjadi
ancaman atau kerugian kepada negara atau subjek hukum internasional lainnya.9
j.
Larangan untuk Merusak Sistem Elektronik yang Dilindungi oleh Negara Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melawan
hukum
yang
dapat
mengakibatkan
kerusakan pada transmisi program, informasi atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.10
k.
Larangan untuk mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi Negara. Setiap orang dilarang untuk menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya tanpa hak atau melebihi kewenangannya, baik yang
diberikan
dari
negara
atau
tidak,
ntuk
memperoleh information didalam komputer atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.11
9 10 11
Pasal 26 RUU ITE Pasal 27 RUU ITE Pasal 28 RUU ITE
l.
Larangan untuk Menggunakan atau Mengakses Komputer atau Sistem Elektronik lainnya dengan Segala Cara atau yang Melebihi Kewenangannya.
Setiap orang dilarang : (1).
Menggunakan atau mengakses komputer dan atau
sistem
elektronik
yang
dimiliki
dan
dilindungi oleh negara tanpa adanya otorisasi; Menggunakan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik tanpa otorisasi atau melebihi kewenangannya yang dilindungi oleh negara,
yang
dapat
berakibat
rusaknya
sesuatu. (2).
Menggunakan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi atau yang melebihi kewenangannya yang dilindungi
oleh
publik
yang
dapat
mengakibatkannya kerusakan. (3).
Merusak komputer
atau atau
mengakibatkan sistem
digunakan oleh negara.12
12
Pasal 29 RUU ITE
kekacauan
komputer
yang
m.
Larangan untuk mengakses Komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperkaya diri atau memperoleh informasi finansial dari lembaga perbangkan atau lembaga finansial.
Setiap orang dilarang: (1)
Menggunakan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi atau yang melampaui bata denga maksud meperkaya diri atau memperoleh informasi finansial dari Bank Indonesia, atau lembaga perbankan atau lembaga finansial, perusahaan kartu kredit, kartu pembayaran atau informasi konsumen lainnya.
(2)
Menggunakan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik tanpa otorisasi dari perusahaan kartu kredit atau bentuk lainnya kartu pembayaran dalam dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan.13
13
Pasal 30 RUU ITE
n.
Larangan untuk Mengakses secara Melawan Hukum Komputer yang dilindungi tanpa Otorisasi atau yang melampaui Kewenangan Setiap orang dilarang untuk menggunakan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik bank Indonesia tanpa otorisasi atau yang melebihi kewenangan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan atau menyalagunakannya.14
o.
Larangan untuk mengambil keuntukngan Kode akses (Penggunaan Password untuk menjebol komputer Lembaga Monetary atau lembaga lainnya yang dilindungi oleh Negara.) Setiap orang dilarang: (1).
Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan kode akses (password) or atau informasi lainnya yang serupa, untuk digunakan dalam menjebol komputer atau sistem elektronik dengan
maksed
menyalahgunakan,
yang
dapat mempengaruhi bank Indonesia, lembaga perbankan atau finansial dan perdaganan domestik dan asing.
14
Pasal 31 RUU ITE
(2)
Menyebarkan menukarkan atau menggunakan kode akses atau password, atau informasi yang serupa yang dapat digunakan untuk menjebol komputer atau sistem elektronik dengan maksed menyalahgunakan komputer atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.15
p.
Larangan dalam Hubungan Internasional untuk merusak Komputer yang Dilindungi oleh Negara dibawah kewenangan Indonesia.
Setiap
orang
dilarang
dalam
konteks
hubungan internasional untuk merusak komputer atau sistem elektronik yang dilindungi negara dibawah jurisdiksi umum.16
15 16
Pasal 32 RUU ITE Pasal 32 RUU ITE
Indonesia
dan
dapat
diakses
secara
2.
RUU tentang Transfer Dana Ketentuan tentang cyber crime juga terdapat dalam RUU tentang transfer dana yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 91 : (1)
Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum
menerbitkan/mengeluarkan
Perintah
Transfer Dana dengan maksud mengambil dan atau memindahkan seluruh atau sebagian Dana milik orang
lain,
dipidana
dengan
pidana
penjara
sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2)
Pengurus, pejabat, dan atau pegawai Bank yang dengan sengaja dan melawan hukum menerbitkan/ mengeluarkan
Perintah
Transfer
Dana
dengan
maksud mengambil dan atau memindahkan seluruh atau sebagian Dana milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya milyar
rupiah)
Rp. dan
1.000.000.000,00 paling
banyak
(satu Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 92 :
Barang siapa yang dengan sengaja menerima dan atau menampung baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain suatu Dana yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara sekurangkurangnya 4 (empat) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun
dan/atau
denda
sekurang-kurangnya
Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 93 (1)
Barang
siapa
dengan
sengaja
mengubah,
menghilangkan, menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana, dengan maksud untuk mengakibatkan kerugian Pengirim dan/atau Penerima yang berhak dan/atau
pihak lain dan atau untuk memperkaya diri sendiri dan/atau pihak lain, dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2)
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila dilakukan oleh pengurus, pejabat, dan atau pegawai Bank, maka pidana yang ditentukan dalam ayat (1) ditambah dengan sepertiganya.
Pasal 94 : Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum mengakses,
mengambil,
mengubah,
menggunakan,
menggandakan, merusak, dan atau menghilangkan suatu sistem informasi Transfer Dana, dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 95 Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain, menahan dan atau mengintersepsi pengiriman Perintah Transfer Dana melalui komputer atau media elektronik lainnya, dipidana dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau
100.000.000,00
denda
sekurang-kurangnya
Rp.
(seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
3.
RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Di samping rancangan regulasi tersebut, saat ini masalah Cyber Crime juga sedang dibahas dan diintegrasikan ke dalam rancangan KUHP yang
merupakan kodifikasi
hukum pidana nasional sebagai revisi dari KUHP yang dibuat Pemerintah kolonial Belanda.
B.
Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan Waktu Secara umum banyak orang yang tercengang dan kagum terhadap perkembangan di dunia “cyberspace” beserta kecanggihan teknologi dan aplikasinya, namun sangat jarang yang memberi perhatian memadai terhadap masalah hukum dan kebijakan yang ditimbulkannya. Perlindungan hak-hak pribadi (privacy right) dan arus informasi lintas batas merupakan sisi dilematis yang dihadapi oleh masyarakat informasi. Disatu pihak ingin dicapai kebebasan arus informasi (free flow of information), sementara dilain pihak harus tetap menjamin perlindungan terhadap hak-hak pribadi. Ciri-ciri intrinsik teknologi komputer dan sistem yang dikembangkannya memungkinkan penyebaran informasi tersebut menjangkau lintas batas negara (transborder). Dalam hubungan ini aspek yang berkaitan dengan hukum perdata meliputi masalah yurisdiksi penegakkan hukum serta pilihan hukum, misalnya dalam kontrak-kontrak yang dilakukan secara elektronis (etransaction). Masalah yurisdiksi menyangkut kewenangan instansi yang berhak menyelesaikan sengketa yang (mungkin) timbul. Sedangkan masalah pilihan hukum memberikan berbagai alternatif dalam hal para pihak tidak mencantumkan ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam transaksi elektronis yang mereka lakukan. Sementara itu masalah penegakkan hukum akan sangat memperhatikan berfungsinya perangkat hukum,
terutama masalah putusan asing, baik oleh badan peradilan asing maupun lembaga arbitrase asing. Agar terdapat jaminan penyebaran informasi lintas batas nasional tidak merugikan berbagai pihak, maka beberapa negara tetap melakukan pembatasan-pembatasan tertentu, seperti yang telah diterapkan oleh Amerika Serikat, jerman dan Perancis. Beberapa instrumen internasional yang berkaitan dengan pembatasan tersebut, antara lain : “Data Protection Convention of the Council of Europe (1980)”, Council of Europe Convention for the Protection Individuals with Regard to Automatic Processing of Personal Data (1981)”, European Community Directive on the Protection of Individuals with Regards to the Processing of Personal Data on the Freemovementn of such data of 1995”. Seorang futurolog Amerika Serikat , Alfin Toffler dalam bukunya “Power Shift”17 sebagaimana juga dikemukakan dalam karyanya “The Third Wave”,
meramaikan
penghujung
abad
20
berkat
kemajuan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pada awal abad millenium akan ditandai oleh pesatnya teknologi informasi mampu membentuk suasana “Total Information War”, yang sering disebut “battle of information and battle of communication”. Perdebatan pro dan kontra tentang manfaat kegunaan teknologi informasi yang banyak dibicarakan mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat, mencakup nilai-nilai moral, etika serta perilaku ditengah perubahan paradigma bisnis di Indonesia.
17
Toffler, Alfin. “Power Shift”, A Bantam Book, USA, November 1990, hlm. 153
C.
Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional
Sebagai negara yang mempunyai kepentingan dalam penerapan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya. Indonesia perlu mengembangkan sistem hukum antariksa nasional. Melalui sistem hukum nasional yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, diharapkan kegiatan keantariksaan dapat berlangsung dengan tertib, bermanfaat serta mendorong kemajuan. Dalam pengembangan hukum antariksa nasional, beberapa prinsip perlu diperhatikan, antara lain : a.
Didasarkan atas kepentingan nasional.
b.
Tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional yang berlaku.
c.
Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional, khususnya di bidang keantariksaan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi 4 (empat) dari 5 (lima) perjanjian internasional di bidang keantariksaan, masing-masing: “Space Treaty 1967”18,”Rescue Agreement 1968”19, “Liability Convention 1972”20, 18 19 20 21
dan
“Registration
Convention
Diratifikasi dengan Undang-undang No.16 tahun 2002. Diratifikasi dengan Keppres No.4 tahun 1999. Diratifikasi dengan Keppres No.20 tahun 1996. Diratifikasi dengan Keppres No.5 tahun 1997.
1975”21.
Sementara
“Moon
Agreement 1979” belum diratifikasi. Dengan meratifikasi, berarti ketentuan yang
terdapat
dalam
perjanjian-perjanjian
internasional
tersebut
ditransformasi dari ketentuan hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional. Konsekuensinya, setiap upaya legislasi nasional di bidang keantariksaan harus memperhatikan dan tunduk kepada ketentuanketentuan hukum internasional termaksud. Persoalannya, seiring dengan perkembangan kegiatan keantariksaan maka intrepretasi dan implementasi perjanjian-perjanjian
internasional
diantara
berbagai
negara
dapat
bervariasi sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing. Indonesia pun
akan
menjadikan
kepentingan
nasionalnya
sebagai
dasar
pertimbangan bagi perumusan legislasi nasionalnya, khususnya dalam perumusan RUU Keantariksaan
D.
Efek Rumah Kaca Teknologi adalah bentuk aplikasi dari ilmu pengetahuan dalam mewujuddkan kesejahteraan umat manusia. Teknologi diciptakan agar hidup manusia dipermudah, dan lebih produktif atau lebih efisien, yang akhirnya manusia akan hidup lebih nyaman dan lebih sejahtera. Namun belakangan ini teknologi ibarat pisau bermata dua, satu sisi teknologi memang dapat mempermudah dan mensejahterakan umat manusia, namu disisi yang lain teknologi mempunyai dampak yang negative terhadapap kehidupan manusia. Dengan meningkatnya teknologi dan pemanfaatannya bagi kehidupan umat manusia, justru manusia
dihadapkan kepada
berbagai
masalah, terutama adalah masalah kesehatan. Semua sektor
pembangunan dewasa ini mengalami peningkatan yang luar biasa berkat kemajuan teknologi , tetapi ironisnya semua kemajuan teknologi di semua sector pembngunan tersebut mempunyai dampak negative pada kesehatan masyarakat. Perkembangan teknologi pertanian seperti penggunaan pupuk buatan dan penggunaan peptisida untuk pemberantasan hama, jelas akan merugikan
kesehatan.
Perkembangan
teknologi
pangan
seperti
pengawetan makanan, penggunaan kemasan makanan dari plastik dan foam, penggunaan penyedap kakanan dan sebagainya juga merugikan kesehatan. Perkembangan teknologi pertambangan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, limbahnya juga akan menggancam kesehatan manusia, seperti kasus di Buyat beberapa waktu yang lalu. Di sektor perhubungan, khususnya transportasi, dengan meningkanya peggunaan kendaraan bermotor, maka emisi atau gas buangan kendaraan bermotor tersebut akan mengganngu kesehatan masyarakat. Baru-baru ini pemerintah, dalam hal ini Presiden RI mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 10 Tahun 2005 berkaitan dengan penghematan BBM (bahan bakar minyak) . Tetapi Inpres tersebut lebih didorong oleh alasan ekonomi, dan tidak didasari oleh alasan yang lebih bersifat global. Sebanarnya disamping alasan ekonomi dan politik, penghematan bahan bakar minyak akan lebih berbobot lagi kalau dilandasi pula alasan global, yakni adanya efek rumah kaca yang mengakibatkan
“global warming” (pemanasan bumi) sebagai dampak dari polusi udara (air pollution). Dengan perkataan lain pemansan global atau efek rumah kaca adalah merupakan salah satu dampak dari sektor pembangunan (teknologi transportasi), khususnya asap kendaraan bermotor. Meskipun gas buangan kendaraan bermotor atau teknologi transportasi ini bukan satu-satunya penyebab efek rumah kaca atau pemanasan bumi, namun gas buangan kendaraan motor di Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam efek rumah kaca (nurhasanah
[email protected]) Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 4 ayat 6 menyebutkan bahwa baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsure lingkungan hidup. Udara adalah salah satu lingkungan hidup kita, oleh sebab itu zat-zat atau gas-gas yang ada didalamnya harus sesuai dengan baku mutu lingkungan seperti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Apabila melebih dari ambang batas yang ditentukan akan terjadi polusi udara, dan menggangu kesehatanan masyarakat. Salah satu bentuk implementasi Undang-Undang No. 4/1982 ini adalah Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) No. 2 tahun 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Didalam undang-undang ini
telah ditetapkan baku mutu
lingkungan, termasuk gas buangan kendaraan bermotor (CO2), meskipun masing-masing Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur bersama Badan Meteorologi
dan
Geofisika
setempat
diberikan
keleluasaan
untuk
menetapkan baku mutu berdasarkan daerah masing-masing berdasarkan pertimbangan kondisi setempat, sepanjang masih didalam batas ambien.
E.
Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya Pada
tanggal
15
April
Tahun
1994
Pemerintah
Indonesia
menandatangani persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation). Dan meratifikasi Persetjuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing the WTO) dengan Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994. Sebagai anggota WTO, Indonesia harus menyesuaikan system HKI nasional dengan Perjanjian TRIPS. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Hak Cipta, Paten dan Merek, Undang-undang tersebut pada saat itu belum sesuai dengan standart minimal yang diharuskan pada Perjanjian TRIPS. Sebagai Konsekuensinya, undang-undang tersebut telah direvisi dan diubah dengan: (1)
Undang-undang No. 12/1997 Tentang Perubahan atas Undangundang No. 6/1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang No. 7 Tahun 1987;
(2)
Undang-undang No. 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 61 Tahun 1989;
(3)
Undang-undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek.
Sementara itu, untuk menyusun UU Hak Cipta yang sesuai dengan Perjanjian TRIPS pada tahun 2002, UU Hak Cipta disahkan dengan UU nomor 19 tentang Hak Cipta (menggantikan UU Hak Cipta Tahun 1982 sebagaimana telah diubah pada tahun 1987 dan Tahun 1992. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tentang “Persyaratan Khusus Sehubungan dengan Tindakan Pembatasan” sebagaimana diatur dalam Bagian III, Bab 4 Perjanjian TRIPS, satu bab khusus telah ditambahkan ditambahkan pada Undang-Undang Kepabeanan Tahun 1995 (UU No. 5/1995). Bab X dari Undang-undang tersbut terdiri dari ketentuan tentang larangan dan pembatasan eksport-import dan pengawasan eksport-import atas barang-barang hasil pelanggaran HKI (khususnya Hak Cipta). Sanksi yang tegas untuk penggunaan/eksplorasi secara tidak sah atas hak cipta adalah 7 tahun penjara dan denda Rp. 1.000.000.000 atau kirakira US$100.000. Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 10 Perjanjian TRIPS untuk memberikan perlindungan atas program computer dan kompilasi data sebagai karya sastra sebagaimana diatur dalam Konvensi Bern. Menurut
Pasal 12 UU Hak Cipta, program komputer dan kompilasi data termasuk dalam lingkup perlindungan. Pasal 2 (2) Undang-undang Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program computer memiliki hak untuk menyewakan sebagaimana diatur oleh Pasal 11 Perjanjian TRIPS. Di samping memberikan perlindungan hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia atas karya-karya konvensional seperti sastra, karya seni musik (Pasal 29 UU Hak Cipta), Indonesia juga melindungi semua karya termasuk piranti lunak (software) selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan (Pasal 30), sebagaimana diatur oleh Pasal 12 Perjanjian TRIPS. Dengan diberlakukannya Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 yang mulai efektif tanggal 29 Juli Tahun 2003 maka perlu diadakan sosialisasi kepada para pemiliki mall yang berada di Jabotabek tentang pentingnya HaKI itu khususnya Hak Cipta bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan iklim usaha yang sehat dan dinamis, sehingga mampu mendorong pelaku ekonomi dapat lebih berkembang dan maju dan berkompetisi dalam era globalisasi. Dalam menyadari Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah satu kunci pertimbangan dalam keputusan bisnis perlu mewujudkan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya karya-karya intelektual di masyarakat di seluruh Indonesia.
Dalam keadaan ekonomi yang cukup memprihatinkan sekarang ini, investasi asing merupakan hal yang banyak diharapkan akan turut membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Sistem HKI yang baik, dalam hal ini mencakup perlindungan hokum yang lebih kuat dan akan berdampak pada meningkatkan arus investasi modal asing ke Indonesia.
Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia (1)
Permasalahan HKI di Indonesia, pada dasarnya sama dengan permasalahan HKI di negara-negara lain baik di negara maju maupun dinegara-negara berkembang yang membedakan adalah jumlah dan kualitas. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pembajakan buku, kaset, CD music dan sebagainya dinegara majupun itu terjadi akan tetapi jumlah pelanggarannya sangat sedikit, sedangkan di Indonesia dikatagorikan sebagai negara ke tiga yang terbesar di dunia yang melakukan pembajakan.
(2)
Hal lain yang perlu dikemukan adalah efektitas penegakan hukum. Walaupun terjadi pembajakan di luar negeri cukup banyak, mereka memiliki system penegakan hukum yang amat baik, karena apabila masyarakat melaporkan masalah pembajakan tersebut dapat segera ditangani langsung oleh polis dan para penegak hukum lainnya, hal tersebut biasanya terjadi di negara-negara maju.
(3)
Isu lain berkaitan dilema pasar. Kebanyakan kita terbelenggu oleh keengganan mengganti kebiasaan membeli barang bajakan dengan membeli barang yang asli karena yang bajakan jauh lebih murah dibanding yang asli. Sebagian kita mensejajarkan kedudukan antara kaduanya sebagai persaingan antara dua produk yang kompetitif. Padahal sudah jelas yang pertama illegal, yang kedua sah. Keterbelengguan ini disebabkan oleh dibiarkannya peredaran produk illegal
untuk
diperjual
belikan
secara
bebas
ditengah-tengah
masyarakat. F.
Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum. Kebutuhan informasi hukum yang sangat mendesak seyogianya dapat dipenuhi dan diakses secara mudah dan murah bagi yang membutuhkannya serta dapat diandalkan dan tersaji secara tepat waktu. Informasi Hukum yang jelas, akurat dan mutakhir dirasakan sangat urgen bagi : 1.
Perancangan dan pembahasan Amandemen Undang Undang Dasar 1945, Undang-undang dan lain-lain produk perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah;
2.
Penentuan Kebijakan Pemerintah : dari Presiden , Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai ke Camat serta bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah (otonom) menggunakan limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat.
3.
Pemeriksaan
dan
investigasi
oleh
Polisi,
Jaksa,
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Obudsman Nasional, komisi Judisial dsb; 4.
Penyusunan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Militer, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta berbagai Pengadilan Ad-Hoc yang sekarang sedang berkembang;
5.
Pelaksanaan tugas para Pengacara dan Pembela perkara di lembagalembaga Bantuan Hukum termasuk penyusunan strategi pembelaan (pleidooi) bagi kliennya;
6.
Pelaksanaan tugas para Debitur dan Mediator di dalam perkara bisnis dan atau ekonomi;
7.
Pelaksanaan tugas para guru besar dan dosen Fakultas Hukum, agar mutu pendidikan Sarjana Hukum Indonesia tetap up-to-date dengan mengajarkan teori maupun hukum nasional dan internasional yang paling mutakhir;
8.
Pembinaan kesadaran hukum masyarakat, agar setiap warga negara dan
penduduk
mengetahui
apa
yang
merupakan
hak
dan
kewajibannya sebagai warga negara; 9.
Informasi Hukum yang paling mutakhir itu juga sangat penting bagi para mahasiswa untuk dapat menyusun skripsi, tesis dan disertasinya secara baik sehingga dapat meningkatkan kecerdasan bangsa;
10. Dan lain-lain.
Mengingat kebutuhan informasi hukum diatas sangat vital maka keberadaan situs web pemerintah dalam rangka penerapan e-Government dapat menjadi wahana atau sarana yang efektif dan efisien untuk digunakan dalam rangka penyebarluasan produk hukum maupun produk kebijakan masing-masing instansi baik eksekutif, legislatif maupun Judikatif. Perkembangan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sungguh
sangat
memberikan
kemudahan
bagi
masyarakat
dalam
memperoleh informasi. Akses ke informasi pemerintahan termasuk informasi hukum menjadi terbuka sangat lebar bagi siapa saja. Sehinga dapat dikatakan ada demokratisasi dibidang akses publik terhadap informasi hukum serta jalannya pemerintahan. Arus informasi hukum yang tidak terhambat dan terbuka luas untuk berbagai kalangan ini, akan meningkatkan kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan kepatuhan publik terhadap aturan hukum dan tata pemerintahan. Hal ini dikarenakan ketimpang tindihan dalam aturan serta kekeliruan penerapan hukum yang berlaku dapat dihindari. Selanjutnya dengan kelancaran arus informasi hukum ini maka ketimpangan antara yang memiliki akses informasi hukum dengan yang tidak mempunyai akses dapat diminimalkan sehingga perlakuan pemerintah terhadap masyarakat akan lebih adil dan konsisten, sehingga ketegangan dan kecurigaan antara pemerintah dan masyarakat dapat dihindari. Dengan adanya arus informasi hukum yang terbuka ini pula dapat menekan perbuatan korupsi karena dengan tersedianya informasi
hukum yang lengkap dan tepat masyarakat dan kalangan luas dapat memantau
serta
mengukur
batasan-batasan
kewenangan
instansi
dilingkungan eksekutif, legislatif dan judikatif sehingga memudahkan menuntut
pertangung
jawaban
apabila
terjadi
penyimpangan-
penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran.
Permasalahan
kemudian
adalah
bagaimana
mendayagunakan
dengan optimal bahan-bahan hukum serta produk hukum dan produk kebijakan
berupa
peraturan
perundang-undangan
beserta
aturan
pelaksanaanya yang tersebar di berbagai instansi. Sampai dengan saat ini berbagai kalangan seperti aparatur negara, penegak hukum, kalangan akademisi dan berbagai profesi hukum lainnya serta masyarakat luas masih beranggapan dan merasa belum memiliki akses yang baik dan memuaskan untuk
mendapatkan
informasi mengenai
produk
hukum,
peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya dari berbagai instansi yang berwenang. Dalam era transparansi, berbagai kalangan tersebut diatas menghendaki adanya keterbukaan dan kebebasan untuk memperoleh informasi hukum. Pihak birokrasi pada pemerintahan, lembaga legislatif dan judikatif harus mampu memberikan layanan yang cepat, akurat dan tidak berbelit-belit sehingga pencari informasi hukum terpenuhi kebutuhannya secara memuaskan. Untuk itu diperlukan suatu Jaringan Informasi Hukum yang dapat diandalkan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi sehingga dapat diakses dengan mudah dan murah dan tidak terikat ruang dan waktu. Berbagai upaya membangun Sistem Informasi Hukum Nasional dengan memanfaatkan Teknologi Informasi telah dilakukan karena didasarkan atas kenyataan bahwa dokumentasi dan informasi hukum masih merupakan faktor yang lemah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai instansi di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah ditetapkan sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999. Sebagai Pusat Jaringan, BPHN mengemban tugas
untuk menyebarluasan peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta mengembangan otomasi data hukum. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut BPHN telah berinisitif mengembangakan
Aplikasi Sistem Informasi Hukum Nasional
(SisFoKumNas) berbasis jaringan internet untuk meningkatkan aksibilitas layanan informasi hukum serta memperluas jangkauan penyebarannya yang tidak terikat ruang dan waktu. Portal situs web BPHN ini dapat diakses melalui alamat http://www.bphn.go.id. dan mempunyai fasilitas link dengan beberapa portal situs web Pemerintah Pusat, portal situs web Pemerintah Daerah serta portal situs web lembaga legislatif yaitu situs web Dewan Perwakilan Rakyat dan portal situs web lebaga judikatif seperti portal situs web Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
BAB III TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG DAN WAKTU
A.
Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global.
Globalisasi teknologi informasi mengantarkan hadirnya masyarakat informasi sebagai kelanjutan dari strata masyarakat agraris dan masyarakat industri. Teknologi telekomunikasi, komputer dan informasi telah
berkembang
demikian
canggihnya
sehingga
aplikasi
yang
berhubungan dengan teknologi tersebut sudah menjadi kehidupan umat manusia sehari-hari. Teknologi ini mengubah cara hidup kita. Berbagai hambatan seperti batas ruang dan waktu yang semula menjadi kendala sangat besar menjadi hilang atau berkurangdengan adanya jaringan internet. Munculnya sejumlah kasus yang sangat fenomenal di dunia internet telah mendorong dan mengukuhkan internet sebagai institusi dalam arus utama (mainstream) budaya saat ini. Sejarah penemuan teknologi internet bermula dari negara Amerika Serikat. Internet singkatan dari Interconnection Networking, bisa diartikan a global network of computer networks. Jaringan komputer berskala internasional yang dapat membuat masing-masing komputer saling berkomunikasi. Istilah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan internet disebut cyber atau siber. Sedangkan cyber crime, selanjutnya kita sebut sebagai kejahatan siber. Pada Tahun 1969 Departemen Pertahanan
Amerika Serikat menemukan produk teknologi yang esensinya adalah memadukan teknologi telekomunikasi dengan komputer yang dikenal dengan nama ARPAnet yang merupakan kependekan dari Advanced Research Project Agency Network. Berdasarkan perpaduan dua produk ini, seseorang dapat menjual ide melalui “Request For Comment” kemudian diakses oleh orang lain untuk memperoleh komentar. Pada tahun 1970-an perpaduan teknologi ini yang dikenal dengan istilah teknologi informasi (information technology) mulai dimanfaatkan untuk keperluan non-militer oleh berbagai universitas. Kegiatan teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk saling berkomunikasi, dimanfaatkan masyarakat untuk penyebaran dan pencarian data serta dimanfaatkan pula untuk memberi pelayanan dan transaksi bisnis. Teknologi Informasi (TI) atau Information Tec hnology (IT)22 merupakan sub sistem dari sistem informasi yang lebih berorientasi pada teknologinya. Dalam sistem teknologi informasi yang digunakan adalah teknologi komputer, teknologi komunikasi dan teknologi apapun yang dapat
22
Salah satu definisi Teknologi Informasi atau Information Technology, yang dikutip dari “ Information Technology Training Package ICA 99” yang diterbitkan oleh Australian National Training Authority (ANTA), disebutkan : The Information Technology Industry is defined as the development application of computer and communication – based tecnologies, for processing, precenting, and managing data and information. This includes computer hardware and component manufacturing, computer software development and various computer related service; together with communication equipment, component manufacturing and service. Industri Teknologi Informasi adalah merupakan pembangunan dan penggunaan komputer beserta teknologi yang berbasis komunikasi untuk memproses, menampilkan dan mengatur data beserta informasinya. Ini meliputi perangkat keras dan komponennya, pembangunan perangkat lunak dan berbagai pelayanan yang berkaitan dengan komputer yang bersamaan juga dengan perangkat kumonikasi.
memberikan nilai tambah untuk organisasi. Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, media dan informatika atau disingkat teknologi telematika23 serta meluasnya perkembangan infrastruktur informasi global telah merupakan pola dan cara kegiatan bisnis di bidang industri, perdagangan dan pemerintahan. Terkait dengan keberadaan internet sebagai satu jaringan telekomunikasi global (global telecommunication network) atau sering juga disebut dengan jalan raya informasi (Information Superhighway atau Digital highway), orang akan membayangkan terjadinya konvergensi pasar dan konvergensi konsumen. Dengan
konvergensi
dalam
bidang
perdagagangan
telah
melahirkan model transaksi e-commerce. Pada perjalannya internet juga telah melahirkan konsep baru dalam bidang-bidang yang lainnya, seperti pendidikan
(e-learning),
pemerintahan
(e-government),
bisnis
(e-
business), dan politik (e-democracy). Indonesia sebenarnya telah cukup lama membangun dan memanfaatkan telematika, baik dalam pengolahan data berbagai komputer maupun dalam penyelenggaraan layanan telekomunikasi canggih. Namun hingga kini masih tertinggal, bahkan tertinggal oleh negara tetangga kita Singapura dan Malaysia yang telah memiliki cyber law masing-masing sejak tahun 1993 dan tahun 1997. Dalam upaya pendayagunaan telematika, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan 23
Chandra Yusuf, “ Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Hukum Pasar Modal”, Seminar BPHN, Jakarta 20-21 Oktober 2003 dijelaskan bahwa telematika berasal dari kata “telematics” .yang memiliki pengertian suatu campuran atau kombinasi dari telekomunikasi ( telecommunication) dan menghitung (computing). Internet adalah salah satu contoh dari telematika, merupakan komunikasi data antara sistem dan alat-alat.
Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Dua tahun sebelumnya terdapat Undang-undang Nomor 36 tahun 1999. Tentang Telekomunikasi sebagai pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 Tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia. Perkembangan telekomunikasi yang pesat mendorong secara simultan munculnya ekonomi global24 yang semakin luas. Telekomunikasi akan melengkapi infrastuktur setiap industri dan perusahaan yang bersaing dalam pasar global. Bisnis telekomunikasi berkembang berlipat ganda
ke
arah
proses
interkonektivitas,
dimana pemanfaatannya
dikombinasikan dengan telepon. Sarana media televisi, komputer dan komponen elektronik menjadi kekuatan global yang bisa memberikan dampak positif maupun negatif terhadap kehidupan umat manusia Oleh karena itu diperlukan ekspektasi terhadap tinkah laku individual dalam bentuk peraturan-peraturan baru atau norma-norma baru berupa code of conduct secara universal ditengah berlangsungnya itikad tidak baik dilakukan pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan melawan hukum, yang berarti melakukan pelanggaran dan kejahatan. Seperti halnya kejahatan komputer yang merupakan kejahatan siber (cybercrime) telah berkembang di Indonesia perlu ada pengaturannya, agar dapat mencebah dampak negatif, mendorong dampak positif, sehingga terjadi kondisi sosial yang harmonis. 24
Naisbitt, John “Global Paradox”, USA, 1994, menyebutkan ;” Telecommunication is the driving forse that is simultaneously creating the huge global economy and making as parts smaller and more powerful”, William morrow and Company, New York, hlm. 53
Memperhatikan kondisi serupa itu timbul gerakan masyarakat untuk mengembangkan hukum, peraturan, norma tidak tertulis dan berbagai upaya untuk memelihara harmoni sosial. Jika mengikuti kasus-kasus kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cyber crime/ computer crime/ computer misuse/ computer abuse/ computer related crime) dikaitkan dengan kriterian penggunaan hukum kejahatan tersebut bukanlah merupakan kejahatan yang sederhana. Karena itu kejahatan siber (cyber crime)
bukan hanya persoalan yuridis belaka, sebab
didalamnya terkait beberapa unsur lainnya, seperti sikap pelaku yang tidak bertanggung jawab, kecongkakan intelektual si pelaku, sikap tertutup si korban, disamping lemahnya hukum dan pengawasan. Masalah pengertian istilah “cyber crime” belum dikenal secara sistematis dalam kepustakaan di Amerika Serikat sampai dengan tahun 1980-an dan baru diakui sekitar tahun 1990-an yang secara khusus dimasukkan ke dalam Black's Law Dictionary (2001).25
B.
25
Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan
Dalam “Black Law Dictionary” (2001), dimasukkan pengertian istilah cybersquatting, the act of reserving a domain name on the internet, esp. a name that would be associated with a company's trademark and than seeking to profit by selling or licensing the name to the company that has an interest in being identified with it. Cybertalking, the act of the threatening, harassing or annoying someone through multiple e-mail messages, as trough the internet, esp. with the intent of placing the recipient in fear that an illegal act or an injury will be inflicted on the recipient or member of the recipient's family or household.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada Undang-undang khusus yang
mengkriminalisasikan
tipe
kejahatan
dengan
menggunakan
teknologi komputer. Jika dalam beberapa kasus penggunaan komputer untuk melakukan kejahatan tertentu telah dijatuhi pidana Pengadilan di Indonesia, fakta tersebut bukan merupakan penerapan dari hukum pidana, melainkan suatu analisis hukum yang “mempersamakan” kejahatan dimaksud dengan kejahatan biasa yang telah diatur dalam KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan siber dapat meliputi pertama, teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan dan kedua, teknologi informasi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan.26 Sebagaimana disebutkan dalam “Convention on Cybercrime” (2001), teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan terbagi atas tiga jenis kejahatn siber yaitu : 1.
Offences against the confidentiality, integrity and avaibility of computer data, meliputi : illegal access, illegal interception; data interference; sistem interference; misuse devices.
2.
Computer related offences, meliputi computer related forgery; computer related fraud; offences related forgery; computer related fraud; offences related to childpornography.
3.
Offences related to infringement of copy right and related rights, meliputi kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual.
26
Romli Atmasasmita, disampaikan dalam “Seminar Teknologi Informasi “, kerjasama BPHN dan Program Pasca Sarjana UNPAD, 20-21 Oktober 2003.
Sedangkan sasaran teknologi informasi sebagai sarana kejahatan, khususnya dalam transaksi bisnis internasional telah menimbulkan akibat hukum yang sangat merugikan, dan bahkan telah menimbulkan masalah yurisdiksi hukum. Khusus mengenai prinsip yurisdiksi hukum pidana telah diakui beberapa prinsip yurisdiksi, antara lain prinsip teritorialitas, prinsip nasionalitas, baik nasionalitas pelaku maupun korban dan prinsip universalitas. Mengingat semakin kompleksnya permasalahan terhadap perlunya penerapan hukum untuk menghadapi kejahatan siber, maka diperlukan hukum pidana khusus siber atau cybercrime law27 yang dirasakan sangat mendesak kehadirannya di negara kita. Di dalam Konvensi Cybercrime (2001) yang diadopsi oleh
Council of Europe telah ada ketentuan
mengenai yurisdiksi hukum pidana yang selama ini telah diakui dalam hukum pidana yang berlaku di seluruh negara. Sampai saat ini belum ada satu lembaga internasional yang memiliki wewenang untuk memutuskan yurisdiksi negara yang berwenang menuntut dan mengadili kasus dimaksud. Namun demikian prinsip umum hukum internasional sudah mengakui bahwa pilihan yurisdiksi hukum pidana terhadap kejahatan siber yang bersifat transnasional merupakan wewenang negara locus delicti, dilihat dari sisi nasionalitas pelaku atau korban atau tempat dimana sarana teknologi komputer digunakan. Demikian juga telah diterima prinsip yurisdiksi yang bersifat opsional/ 27
Dalam “Black Law Dictionary”. (2001), hlm. 392 disebutkan : Cyberlaw, the field of law dealing with computers and the internet, including such issuess as intellectual – property rights, freedom of expression and free access to information.
bahwa negara lain yang telah dirugikan karena kejahatan transnasional tersebut dapat mengajukan klaim yurisdiksi yang sama. Teknologi komputer telah mengubah budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bainbridge mengatakan bahwa : Computer Technology is having an ever-growing impact upon society and the way that society conducts its affairs. Computer have permeated almost every profesional, commercial and industrial activity and many organizations would find it difficult, if not impossible, to function without relying heavily on computer.28 Teknologi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk memudahkan hidup manusia dari waktu sebelumnya. Pemanfaatan telematika dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti pendidikan, pertukaran informasi, hiburan, perdagangan dan sebagainya bukan saja telah mengakibatkan segala urusan menjadi mudah, tetapi juga melahirkan sejumlah permasalahan termasuk masalah hukum. Dalam perdagangan secara elektronik (e-commerce) misalnya, muncul persoalan hukum berkaitan dengan perlindungan data pribadi para konsumen (the protection of privacy right of consumen). Informasi mengenai transaksi secara elektronik (on-line system) atau e- commerce membutuhkan adanya perlindungan hukum yang memadai terhadap upaya orang atau pihak-pihak yang berusaha mengakses secara ilegal. Jenis perlindungan ini meliputi beberapa aspek
28
Bainbridge, David, “Introduction to Computer Law”, Pearson Education Limited, Great Britain, 2000, hlm.1.
yang disebut CIANA 3, yaitu : Confidentiality, Integrity, Authorization, Nonrepudiation, Availibility, Authenticity dan Auditability. Seluruh aspek tersebut dirangkum dalam sebuah sistem yang dinamakan Cryptosystem yang terdiri atas dua sistem yakni, symetric cryptosystem atau secret key cryptosystem dan asymetric cryptosystem atau public key cryptosystem29. Teknologi
informasi
atau
information
technology
(IT)
telah
menghasilkan berbagai jenis dan peluang baru dan telah menciptakan karir baru dalam pekerjaan manusia. Transaksi-transaksi bisnis makin banyak dilangsungkan secara elektronik, suatu perubahan dari “paper transaction”, menjadi “electronic transaction”. E-commerce memerlukan sistem
pengamanan
yang
dapat
melindungi
pihak-pihak
yang
bertransaksi. Amerika Serikat memainkan peran utama dalam revolusi informasi, menyadari ketergantungan mereka pada IT yang telah membuka ancaman baru terhadap ekonomi, keamanan masyarakat (public safety) dan pengamanan nasional (national security). Sehubungan dengan itu pada
tanggal
22
Mei
1999,
Presiden
Amerika
Serikat
telah
menandatangani Presidential Decision Directive 63 (PDD 63) on Critical Infrastructure Protection. Di dalam Keputusan Presiden Amerika Serikat tersebut ditegaskan sistem pengamanan terhadap komunikasi elektronik memberikan perlindungan perbuatan-perbuatan yang dapat berupa :
29
Makalah “Cyber Law : Antisipasi Hukum Terhadap Transaksi Bisnis Melalui Cyber Network”, Seminar Pusat Studi Hukum dan Kemasyarakatan (PSHK) Medan, 30 Januari 2001.
1.
Pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap data dan informasi, baik selama proses transmisi oleh pengirim kepada penerima maupun selama dalam penyimpanan.
2.
Perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam usaha memperoleh informasi yang dirahasiakan , baik secara langsung dari penyimpanan, maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada penerima (upaya penyadapan).
Sehubungan
dengan
itu,
sistem
pengamanan
komunikasi
elektronik harus mengakomodasikan kebutuhan pengamanan CIANA 3. Indonesia mempersiapkan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
karena
menyadari
perkembangan
teknologi
telah
mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Didalam RUU tersebut, antara lain memuat substansi tentang tanda tangan elektronik (electronic signature)
atau digital signature.
Signature yang dimaksudkan disini bukan merupakan digitalizes image of handwritten signature”, bukan tanda tangan yang dibutuhkan oleh seseorang dengan tangannya di atas dokumen-dokumen, antara lain dokumen-dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Digital signature diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau hash, yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui dunia siber (cyberspace). Fungsi suatu digital signature sama dengan
fungsi sidik jari seseorang. Digital signature merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu pesan yang dikirimkan.30
Digital signature
bertujuan untuk dapat dijadikan alat bukti kuat secara hukum bahwa isi pesan yang telah dikirimkan oleh pengirim itu disetujui oleh pengirimnya dan bukan dikirimkan oleh orang lain. Pada tanggal 1 Oktober 2000 Amerika Serikat telah mengeluarkan suatu Undng-undang yang mengatur mengenai digital signature atau electronic signature, disebut sebgai “Electronic Signature in Global and International Commerce Act”, Singapura mengatur digital signature mendahului Amerika Serikat dengan menerbitkan Electronic Transaction Act Number 25 of 1998, tanggal 10 juli 1998, Dalam RUU tentang Informasi dan Transaksi Elekronik di Indonesia disebutkan bahwa tanda tangan elektronik adalah Informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang ditujukan oleh pihak yang bersangkutan untuk menunjukkan identitas dan status subyek hukum. Sedangkan transaksi elektronik adalah hubungan hukum yang dilakukan melalui komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya31. Dari kedua definisi tersebut titik berat diletakkan pada pentingnya status subyek hukum dan hubungan hukumnya.
30 31
Drew, Grady N. “Using Set For Secure Electronic Commerce”, Prentice Hall PTR, 1999, hlm. 40. Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Departemen Komunikasi dan Informatika, 2004.
C.
Perkembangan Teknologi Informasi di Beberapa Negara Perspektif internasional dari “information superhighways” telah menjadi agenda nasional beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, Canada, Uni Eropa, Jepang, Republik Korea, Singapore dan Malaysia.32 Sejak tahun 1993 Amerika Serikat mengembangkan “National Information Infrastructure” atau NII terdiri dari 4 komponen pokok yaitu : “owner of the highways”, “the makers of the information appliances”, “ the information
providers”
dan
“information
costumer”,
Visi
dari
pengembangan NII adalah membuat Amerika Serikat sebagai pemimpin dunia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta melayani kebutuhan informasi bagi bangsa Amerika dengan harga terjangkau.
Canada, tahun 1994 melalui “The Information Highway Advisory Council” (IHAC), bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui inovasi dan investasi dengan memperluas dan menyempurnakan infrastruktur informasi, menegakkan kedaulatan nasional dan identitas kultural bangsa serta menjamin pelayanan umum (universal service) dengan harga yang wajar.
Uni Eropa, mengembangkan “EU Action Plan For The Information Society” pelaksanaannya melalui “the European Council For Telecoms”.
Jepang, melalui Dewan Telekomunikasi pada tahun 1993 telah melakukan studi mengenai “Info Communication Infrastructure”
32
Munir, Abu Bakar, Cyber Law, Policies and Challenges , Butter worts Asia Tahun, Malaysia, 1999.
yang bertujuan akhir untuk mendukung transisi ke arah “Intellectual Creative Society”.
Republik Korea, mempunyai visi dan misi untuk mengembangkan “Korea Information Infrastructure” (KII), bertujuan memperluas dan memajukan infrastruktur informasi nasional yang terdiri dari jaringan komunikasi komputer, “data base” dan terminal multi media.
Singapura, pada tahun 1993 melalui “The Singapore National Computer Board” (NCB) telanh mengembangkan “IT 2000 Master Plan”, bertujuan merubah Singapura menjadikan “Intellegent Island” dimana penggunaan IT merupakan bagian dari seluruh kehidupan masyarakat, baik di tempat kerja, di rumah, di tempat bermain dan lain-lain. Pada tahun 2010 Singapura berambisi sebagai negara pertama di dunia yang memiliki
“an advanced nationwide
information infrastructure”.
Malaysia, memasuki tahun 2004 telah menambah 3 (tiga) perangkat Undang-undang lagi di bidang siber (cyber laws), yaitu the Electronic Government Act, the Electronic transactions Act dan the Personal Data Protection Act. Sebelumnya Malaysia telah memiliki undang-undang: the Digital Signatture Act 1997, the Computer Crimes Act 1997, the Copyright (Amendment) Act 1997 dan the Communications and Multimedia Act 1998.
Indonesia, melalui instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2001, Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika
di
Indonesia, antara lain bertujuan memfasilitasi masyarakat untuk turut
serta
dalam
pengembangan
dan
pendayagunaan
telekomunikasi, media dan informatika (Telematika).33
Sambil menunggu kehadiran “cyber law” di Indonesia beberapa aspek yang mendesak untuk diatur sebagai jaminan kepastian hukum yaitu perlunya pengaturan “secure transaction”, “public key infrastructure”, “registration authority”, “electronic payment” dan “sertification authority”.
BAB IV INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN-PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN SERTA IMPLIKASINYA BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI NASIONAL
33
Inpres Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pemberdayagunaan Telematika di Indonesia.
A.
Space Treaty 1967 I.
Prinsip-prinsip Pokok Sebagai “Magna Charta”
Bagi kegiatan keantariksaan.
“Space Treaty 1967” memuat prinsip-prinsip pokok bagi kegiatan keantariksaan, yang mencakup : a.
Prinsip kebebasan dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa secara non-diskriminatif (“freedom of exploration and use on a non-discriminators basis”) untuk kepentingan dan manfaat semua bangsa34.
b.
Prinsip larangan penundukan nasional (“not subject national appropriation”) atas antariksa, termasuk bulan dan bendabenda langit lainnya35.
c.
Prinsip
berlakunya
Internasional
Ketentuan-ketentuan
termasuk
Piagam
PBB
bagi
Hukum kegiatan
keantariksaan36. d.
Prinsip Larangan penempatan dan percobaan senjata nuklir dan senjata perusak masal serta perbentengan di antariksa37
e.
Prinsip kewajiban pertolongan terhadap astronaut sebagai duta
kemanusiaan
pengembalian
34 35 36 37
Lihat Pasal I Space Treaty 1967. Ibid. Pasal II Ibid. Pasal III Ibid. Pasal IV
(“envoys
terhadap
of
astronaut
mankind”) dan
serta
benda-benda
antariksa yang melakukan pendaratan darurat, kecelekaan atau dalam keadaan “distress”38. f.
Prinsip tanggung jawab negara (“state responsibility”) bagi “national activities” dengan melaksanakan “authorization and continuing supervision”. serta kewajiban memberikan ganti rugi internasional (“international liability”) atas akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan benda-benda antariksa39.
g.
Prinsip pelaksanaan yurisdiksi dan pengendalian atas benda antariksa
oleh
negara
pendaftar
dari
suatu
benda
antariksa40. h.
Prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan melalui “international consultation”41.
i.
Prinsip kerjasama internasional42.
Mengingat prinsip-prinsip di atas bersifat universal, maka tak heran jika sampai dengan tanggal 1 Januari 2003 jumlah negara yang telah meratifikasi Space Treaty 1967 berjumlah 98 (sembilan puluh delapan) negara. bahkan negara-negara yang belum meratifikasinya dalam prakteknya menghormati dan melaksanakan prinsip-prinsip “Space Treaty 1967”. Dengan demikian dapat
38 39 40 41 42
Ibid. Pasal V Ibid. Pasal VI dan VII Ibid. Pasal VIII Ibid. Pasal IX Ibid. Pasal XI
dikatakan “Space Treaty 1967” bukan hanya sekedar “treaty contract”, tetapi merupakan “law making treaty”.
2.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi Meskipun bersifat universal, akan tetapi banyak negara dan para ahli yang menginterpretasikan serta mengimplementasikan secara berbeda prinsip-prinsip di atas. Beberapa contoh mengenai perbedaan
interpretasi
dan
implementasi
tersebut
dapat
digambarkan sebagai berikut : a.
Pengertian “province of mankind” apakah sama dengan “common heritage of mankind”, meskipun keduanya merupakan kawasan “beyond national territory”, namun penafsirannya
yang
berbeda
dapat
mengakibatkan
implementasi yang berbeda pula; b.
Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan
“common
heritage
of
mankind”.
ada
yang
menafsirkannya sebagai “common interesr”, sementara yang lain memahaminya sebagai “common ownership”; c.
Mengenai konsep “non-appropriation”, AS berpendapat bahwa hanya terbatas pada pengertian tidak tunduk kepada “kedaulatan nasional”, akan tetapi kepemilikan pribadi (“private ownership”) dimungkinkan, di mana hal itu dapat diatur pada hukum nasional masing-masing. Sementara itu
beberapa negara lain (mis: Italy, Perancis, Belanda) berpendapat bahwa “non-appropriation” tidak hanya berlaku terhadap negara, tetapi juga berlaku bagi badan hukum lainnya; d.
Mengenai pengertian “peaceful” meskipun dari rumusan “Space Treaty 1967” sesuai dengan penafsiran AS yaitu “partial demilitarization” (sepanjang tidak agresif), namun negara lain (mis. Iran) masih mempertanyakan, terutama dikaitkan dengan penafsiran Uni Sovyet (dulu), yang memahami “peaceful” sebagai “non-military”;
e.
Masih banyak negara yang belum/tidak memahami adanya perbedaan
konsepsi
antara
“state
responsibility”
dan
“international liability” dalam konteks kegiatan keantariksaan, dimana “state responsibility” merupakan bentuk “tanggung jawab umum” sedangkan “international liability” merupakan salah satu bentuk konsekuensinya yaitu berupa kewajiban untuk membayar ganti rugi; f.
Menyangkut
kewajiban
untuk
melakukan
“international
consultation”, masih terdapat penafsiran yang berbeda, terutama dalam hal permintaan konsultasi dilakukan oleh negara yang secara potensial akan menghadapi dampak dari kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara lain. Apabila langkah konsultasi tersebut gagal, tetap tidak ada
kewajiban bagi negara yang melakukan kegiatan untuk menghentikan kegiatannya; g.
Tidak jelasnya kriteria tentang kualifikasi dari “space crew” yang dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang notabene adalah “envoys of mankind”. Hal ini penting mengingat di masa depan akan semakin banyak personil yang dikirim ke antariksa (termasuk sebagai “tourist”), yang tidak semuanya layak diperlakukan sebagai “envoys of mankind”.
h.
Tidak adanya kejelasan mengenai negara mana yang dimaksud dengan “appropriate state”, apakah “launching state”, “state of registry” ataukah negara yang memberikan lisensi bagi suatu kegiatan keantariksaan;
i.
Masih perlunya redefinisi terhadap beberapa istilah dan pengertian seperti : “space activities”, “space objects”, “launching State”, “national activities”, dan lain-lain.
3.
Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional Perbedaan interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip Space
Treaty
tentu
saja
membawa
implikasi
bagi
upaya
perumusan legislasi nasional, khususnya yang akan dituangkan dalam RUU Keantariksaan. Oleh karena itu maka perkembangan tersebut perlu dicermati dan sekaligus dapat diambil sikap sebelum diinkorporasikan
ke
dalam
RUU
Keantariksaan.
Untuk
itu
parameter yang dapat digunakan adalah kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks kegiatan keantariksaan. Beberapa contoh mengenai sikap yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
a. Perlu penetapan status antariksa sebagai “province of mankind” dan “common heritage of mankind” yang tidak tunduk pada kedaulatan nasional; b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan “common heritage of mankind” kiranya secara prinsip terlebih dahulu dipahami sebagai “common ownership” sebelum ada rejim khusus yang menjabarkannya, hal ini diperlukan untuk mencegah pemanfaatan oleh negara-negara maju dengan semata-mata berdasarkan prinsip “first come, first served” dan hanya didasarkan atas kemampuan ilmiah dan teknis; c. Mengenai penerapan prinsip “non-appropriation” juga harus diartikan bukan hanya tidak tunduk kepada kedaulatan nasional, tetapi juga tidak dapat dimiliki oleh privat sepanjang tidak berdasarkan atas rejim internasional yang berlaku; d. Mengenai pengertian “peaceful”,perlu ditetapkan beberapa parameter hukum dan teknis serta diterapkannya sistem verifikasi
untuk
menjamin
maksud-maksud damai;
pemanfaatan
antariksa
untuk
e. Mengenai
pengertian
“launching
state”
perlu
dilakukan
redefinisi dalam konteks kemungkinan partisipasi swasta bagi kegiatan keantariksaan, misalnya dengan mengintrodusir istilah “launching authority”. Disamping itu perlu diperhatikan pula modus peluncuran baru seperti “air launch” dan “sea launch” yang dapat berpengaruh pada batasan “launching state”. f. Sebagai suatu negara yang disatu sisi aktif di bidang pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan serta pada sisi lain menjadi “potential victims” bagi kegiatan keantariksaan,
maka
Indonesia
perlu
memperhatikan
penafsiran tentang “international consultation” dari sudut pandang pengamanan kepentingan nasional. g. Mengingat eratnya kaitan antara pendaftaran, yurisdiksi dan pengendalian atas benda antariksa dengan masalah “state responsibility” dan “International liability”, maka masalah ini harus
terus
didalami,
termasuk
dalam
hal
kegiatan
keantariksaan dilakukan oleh badan hukum bukan negara. h. Dan lain-lain.
B.
Rescue Agreement 1968 I.
Ketentuan Pokok “Rescue Agreement” merupakan penjabaran dari ketentuan pasal V “Space Treaty 1967” yang menyatakan bahwa astronaut
adalah
duta
kemanusiaan
(“envoys
of
mankind”)
sebagai
konsekuensinya, perjanjian ini meletakkan kewajiban bagi negara lain untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memberikan
pertolongan
bagi
astronaut
yang
melakukan
pendaratan darurat (“emergency landing”), mengalami kecelakaan atau dalam keadaan “distress”, serta mengembalikan benda antariksanya kepada negara peluncur. Perjanjian yang terdiri dari 10 Pasal ini memuat prinsipprinsip sebagai berikut : a.
Kewajiban
negara
anggota
untuk
menyampaikan
pemberitahuan, baik kepada pihak peluncur (“launching authority”) maupun Sekretaris Jenderal PBB atas tiap informasin atau penemuan menyangkut astronaut yang mengalami kecelakaan, melakukan pendaratan darurat atau dalam keadaan “distress” pada wilayah yurisdiksi negara lainnya43. b.
Kewajiban
negara
anggota
untuk
segera
mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan dan memberikan bantuan yang diperlukan serta melaporkan atas langkah-langkah yang diperlukan tersebut baik kepada negara
peluncur
maupun
Sekretaris
Jenderal
PBB.
Disamping itu mendorong pihak peluncur dan negara
43
Lihat Rescue Agreement, Pasal 1
anggota bekerjasama bagi upaya penyelamatan yang efektif44. c.
Kewajiban negara anggota yang terdekat dengan lokasi kejadian di laut lepas di luar wilayahnya untuk segera memberikan bantuan dan melakukan operasi penyelamatan serta melaporkannya, baik kepada pihak peluncur maupun kepada Sekretaris Jenderal PBB45.
d.
Kewajiban negara anggota untuk mengembalikan astronaut dan/atau benda-benda antariksa kepada pihak peluncur46.
e.
Kewajiban pihak peluncur untuk membiayai segala kegiatan negara yang memberikan bantuan dan mengembalikan baik astronaut maupun benda antariksanya47.
f.
Pihak peluncur (“launching authority”) diartikan sebagai baik negara yang bertanggung jawab atas peluncuran maupun organisasi
internasional
yang
bertanggungjawab
atas
peluncuran48.
2.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi Secara ideal ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam “Rescue
Agreement”
menonjolkan 44 45 46 47 48
Ibid. Pasal 2. Ibid. Pasal 3. Ibid. Pasal 4. Ibid. Pasal 5 ayat 5. Ibid. Pasal 6.
aspek
tidak
menimbulkan
kemanusiaan,
persoalan
akan
tetapi
karena dalam
pelaksanaannya dapat memunculkan persoalan-persoalan praktis yang perlu dipecahkan, seperti: a.
Dikaitkan
dengan
perkembangan
keantariksaan
yang
mungkin menyertakan personil seperti “payload specialist”, “researcher”, “scientist”, dan bahkan “military personnel”, termasuk keikutsertaan “space tourist”, apakah mereka semua dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang adalah merupakan “envoys of mankind”?
jika tidak, apakah
parameter yang dapat digunakan untuk membedakannya? b.
Apakah negara anggota tetap wajib memberikan bantuan kepada astronaut negara lain yang melakukan misi militer (mis. mata-mata) yang tidak bersahabat kepada negaranya?
c.
Bagaimana mekanisme penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap negara yang tidak memberikan bantuan sesuai kewajiban dalam “Rescue Agreement”?
d.
Mengapa istilah “launching authority” hanya berlaku bagi negara dan organisasi internasional? Bagaimana bila pihak peluncur
adalah
perusahaan
swasta,
apakah
dapat
diklasifikasikan sebagai “launching authority”? e.
Mengingat “Rescue Agreement” merupakan perjanjian yang relatif
lama,
apakah
tepat
waktu
untuk
melakukan
amademen terhadap ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi ?
3.
Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional Dengan mendasarkan kepada masih adanya beberapa persoalan yang berkaitan dengan interpretasi dan implementasi “Rescue Agreement”, maka dalam rangka mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Keantariksaan
“Rescue
Agreement”
ke
dalam
RUU
harus dilakukan dengan memperhatikan dan
mengantisipasi perkembangan yang terjadi dengan tetap bersandar kepada kepentingan nasional. Langkah-langkah yang dapat ditempuh mencakup namun tidak terbatas pada: a.
Menata aspek kelembagaan yang terkait dengan koordinasi pelaksanaan tindakan penyelamatan dan pengembalian terhadap astronaut dan benda antariksa yang melakukan pendaratan darurat, mengalami kecelakaan atau dalam keadaan “distress”.
b.
Mengaktualisasikan
pengertian
“astronaut”
dengan
perkembangan yang ada dengan merumuskan parameter objektif mengenai kualifikasi “astronaut”. c.
Terhadap
kegiatan
yang
nyata-nyata
bersifat
“tidak
bersahabat” dan bertentangan dengan prinsip “peaceful uses of outer space”, kewajiban dalam “Rescue Agreement” dapat dinyatakan tidak berlaku.
d.
Mengembangkan pengertian “launching authority” agar juga mencakup kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh badan hukum swasta dan bahkan individu.
C.
Liability Convention 1.
Ketentuan-ketentuan Pokok Liability
Convention
merupakan
perjanjian
yang
menjabarkan ketentuan pasal VI dan VII “Space Treaty 1967”. Perjanjian ini disebut “victims-oriented” karena di desain untuk melindungi kepentingan negara/pihak ketiga yang tidak ikut serta melakukan kegiatan keantariksaan tetapi menjadi “potential victims” dari kegiatan keantariksaan. Inti dari perjanjian ini adalah memuat prosedur dan mekanisme ganti rugi internasional atas kerugian yang diakibatkan kegiatan benda-benda antariksa
Perjanjian yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :
a.
Pengertian-pengertian pokok seperti kerugian (“damage”), peluncuran
Negara
(“launching”).
peluncur
(“launching
state”), benda antariksa (“space object”)49. b.
Prinsip
pertanggungjawaban
(“absolute
liability”)
dalam
yang hal
bersifat
kerugian
absolute
terjadi
pada
permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan50. Sementara itu bagi kerugian yang terjadi di antariksa pertanggungjawabannya didasarkan atas unsur kesalahan (“liability based on fault”)51. c.
Pihak
yang
bertanggungjawab
atas
kerugian
yang
diakibatkan oleh benda-benda antariksa adalah negara peluncur (“launching state”) yang meliputi negara yang benar-benar peluncuran;
meluncurkan. Negara
yang
Negara
yang
menyediakan
membiayai
wilayah
atau
fasilitasnya untuk peluncuran; Negara yang menyediakan wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran52. Dalam
hal
dilakukan
pertanggungjawaban
nya
peluncuran bersifat
bersama,
bersama-sama
maka dan
tanggung renteng53. d.
Pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi adalah negara yang tidak termasuk dalam pengertian negara
49 50 51 52 53
Lihat Liability Convention 1972, Pasal 1. Ibid. Pasal II. Ibid. Pasal III. Ibid. Pasal I ( C ). Ibid. Pasal IV dan V.
peluncur yang mewakili baik kepentingan negara maupun badan hukum dan badan pribadi yang menderita kerugian akibat kegiatan benda-benda antariksa54. e.
Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi pada instansi pertama dilakukan melalui jalur diplomatik (“diplomatic chanel”)55. Jika gagal dapat dibentuk “claim commission”56 atas kesepakatan negara korban dengan negara peluncur57. Gugatan juga dapat dilakukan melalui pengadilan-pengadilan administrasi atau badan-badan pemerintah terkait pada negara peluncur.
f.
Penetapan jumlah ganti rugi harus didasarkan atas prinsipprinsip hukum internasional serta prinsip keadilan untuk memulihkan keadaan korban seperti sebelumnya58.
g.
Dalam hal terjadinya “large scale danger” sebagai akibat dari kegiatan benda antariksa yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan lingkungannya. Negara peluncur wajib memberikan bantuan kepada negara korban dalam melakukan “search and recovery and clean-up operation” jika diminta oleh negara korban59.
54 55 56 57 58 59
Ibid. Pasal VIII, Ibid. Pasal IX. Ibid. Pasal XIV. Ibid. Pasal XV dan XVI. Ibid. Pasal XII. Ibid. Pasal XXI.
h.
Perjanjian
ini
juga
berlaku
bagi
organisasi-organisasi
internasional yang menyatakan manerima hak-hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian ini60.
II.
Interpretasi dan Implementasi Selama berlakunya “Liability Convention” terdapat suatu kasus internasional yang menonjol yaitu kasus jatuhnya satelit exUni Sovyet “Cosmos 954” di wilayah Kanada pada tahun 1978. Dari “diplomatic communication” yang dilakukan antara Kanada dan Uni Sovyet, terdapat perbedaan penafsiran mengenai beberapa isu, yaitu: a.
Dalam hal jatuhnya benda antariksa yang mengandung ancaman yang sangat besar (“large scale danger”) Uni Soyet menafsirkan bahwa yang berhak menentukan bantuan dalam melakukan kegiatan “search and recovery and clean-up operation” adalah negara peluncur, sementara Kanada berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hak negara korban.
b.
Sebagai konsekuensi dari penafsiran tersebut, Uni Sovyet berpendapat bahwa negaranya tidak bertanggung jawab atas biaya tindakan “search and recovery and clean-up operation” yang dilakukan oleh Kanada bekerjasama dengan Amerika Serikat. Artinya kerugian yang dapat dimintakan
60
Ibid. Pasal XXII.
kompensasinya (“recoverable damages”) tidak termasuk biaya “search and recovery and clean-up operation”, tetapi hanya terbatas pada kerugian yang bersifat fisik (“physical damages”) dan langsung (“direct damages”) saja.
Di luar kasus di atas, masih dapat diamati adanya beberapa kelemahan pada “Liability Convention”, antara lain : a.
Pengertian
“launching
apabila
state”
mengacu
pada
pengertian dalam konvensi dapat menimbulkan posisi yang “unfair” khususnya bagi negara yang hanya “menyewakan” wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran, sementara
kontribusinya
untuk
menimbulkan
kerugian
adalah minimal. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara yang melakukan “procurement” sepanjang mereka tidak secara aktif terlibat dalam kegiatan peluncuran. b.
Karena
perjanjian
ini
yang
bersifat
“government
to
government”, maka jaminan atas proses ganti rugi yang cepat, efektif dan layak bagi kepentingan korban kurang terpenuhi. Disamping itu perjanjian ini kurang mampu mengakomodasikan
secara
memuaskan
kenyataan
meningkatnya peran swasta dalam kegiatan keantariksaan beserta segenap implikasinya.
3.
Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional Dalam
perumusan
RUU
keantariksaan,
khususnya
ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan mekanisme penyelesaian
tuntutan
ganti
rugi,
ketentuan-ketentuan
yang
terdapat dalam “Liability Convention” dapat diinkorporasikan, termasuk dalam pengembangan sistem ganti rugi yang bersifat nasional (domestik) dari kegiatan keantariksaan di mana Indonesia adalah termasuk negara peluncur yang menimbulkan kerugian terhadap jiwa dan harta benda warganegara atau badan hukum Indonesia. Sejalan dengan itu, perlu adanya penataan sistem koordinasi nasional untuk menghadapi jatuhnya benda-benda antariksa di wilayah Indonesia. Koordinasi tersebut mencakup aspek-aspek kelembagaan, aparatur, kesiapan teknologi maupun pendanaan. Mengingat adanya beberapa kekurangan/kelemahan pada “Liability Convention” maka perlu didalami kemungkinan mengajukan usulan perubahan terhadap ketentuan “Liability Convention” untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman dan perkembangan teknologi. Usulan perubahan tersebut dapat mencakup substansi seperti : a. Perluasan kerugian yang dapat diganti (“recoverable damages”) agar tidak terbatas kepada kerugian fisik dan langsung saja (“physical and direct damages”).
b. Jika mungkin sistem dan mekanisme pertanggungjawaban dalam “Liability Convention” dapat diperluas hingga mencakup pula tanggungjawab pihak peluncur swasta dan mekanisme penyelesaiannya dipersingkat untuk menjamin ganti rugi bagi korban secara cepat, efektif dan layak. c. Keputusan “claim commission” dapat diusulkan bersifat “final and binding”. d. Rumusan kerjasama internasional dalam hal terjadinya “large scale danger” agar lebih jelas dan tidak menimbulkan interpretasi ganda. e. Mengenai pembagian beban tanggungjawab diantara sesama negara peluncur dalam suatu peluncuran bersama (“joint launching”),
selayaknya
negara
yang
benar-benar
meluncurkanlah yang paling bertanggung jawab karena secara teknis kontribusi bagi timbulnya kegagalan paling besar berada pada mereka.
D.
Registration Convention 1.
Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi tentang pendaftaran atas benda/objek yang diluncurkan ke antariksa atau yang dikenal dengan “Registration Convention” merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal VIII
“Space Treaty 1967”. Perjanjian yang terdiri dari 12 Pasal ini mengatur hal-hal, seperti: a. Beberapa pengertian pokok seperti “launching state”, “space objects” dan “state of registry”61. b. Kewajiban negara peluncur untuk mendaftarkan objek yang diluncurkan ke antariksa dalam suatu sistem pendaftaran yang terpelihara serta melaporkan pendaftaran tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB62. c. Dalam suatu peluncuran bersama (“joint launching”) para pihak wajib menetapkan pihak yang harus melakukan pendaftaran63. d. Sekretaris Jenderal PBB wajib memelihara catatan pendaftaran atas benda-benda yang diluncurkan ke antariksa, termasuk segala informasi yang melengkapinya. Informasi yang ada dalam catatan pendaftaran tersebut bersifat terbuka untuk diakses penuh64.
e. Informasi-informasi apa yang harus disampaikan oleh negara pendaftar, seperti : nama negara peluncur; tanda-tanda dan nomor registrasi; tanggal dan wilayah atau lokasi peluncuran; parameter dasar orbit yang meliputi “nodal period”; “apogee” dan “perigee”; fungsi umum dari benda antariksa yang
61 62 63 64
Lihat Registration Convention, Pasal I. Ibid. Pasal II ayat 1. Ibid. ayat 2. Ibid. Pasal III.
bersangkutan; informasi lain yang diperlukan yang disampaikan secara berkala; dan informasi dalam hal benda antariksa tersebut sudah tidak berfungsi65. f. Kerjasama untuk memberikan bantuan dalam mengidentifikasi benda antariksa yang menimbulkan kerugian66. g. Berlakunya perjanjian ini bagi intergovermental organization (IGO) yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan konvensi67.
2.
Permasalahan Interpretasi dan Implementasi Dalam upaya perumusan ketentuan mengenai sistem registrasi nasional bagi kegiatan keantariksaan, harus diperhatikan interpretasi
dan
implementasi
negara-negara
lain
terhadap
“Registration Convention” yang dapat digambarkan sebagai berikut: a. Kenyataan bahwa hanya 10 negara dan 2 intergovernmental organization (“IGO's) yang melaporkan pendaftaran atas bendabenda antariksanya sesuai dengan “Registration Convention”, bahkan 5 diantaranya bukan negara pihak dari “Registration Convention” dan mendaftarkan benda antariksanya atas dasar Resolusi Majelis Umum PBB No. 1721 Tahun 1961.
65 66 67
Ibid. Pasal IV. Ibid. Pasal VI. Ibid. Pasal VII.
b. Bahwa tanda-tanda pendaftaran (“registration markings”) bukan merupakan kewajiban atas dasar “Registration Convention”, hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan identifikasi. c. Bahwa negara-negara pada umumnya tidak mendaftarkan benda-benda antariksa yang diluncurkan untuk misi militer atau yang tergolong dalam “sensitive satellite”. d. Sejauh ini tidak ada mekanisme penegakan hukum bagi isu “non-compliance” terhadap “Registration Convention”. e. Untuk
menghindari
“double
registration”
pemerintah
AS
menetapkan untuk tidak mendaftarkan satelit asing. f. Perkembangan keantariksaan
komersialisasi ternyata
tidak
dan
privatisasi
terakomodasikan
kegiatan secara
memuaskan oleh “Registration Convention” jika tidak dilakukan penafsiran yang fleksibel terhadap ketentuan-ketentuannya.
3.
Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional Dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional Indonesia atas dasar “Registration Convention” serta kepentingan nasional
dan
dengan
mempertimbangkan
interpretasi
dan
implementasinya oleh berbagai negara maka perumusan legislasi nasional akan mengarah kepada : a. Pengembangan sistem pendaftaran nasional bagi kegiatan keantariksaan untuk kepentingan identifikasi bagi setiap benda
antariksa
Indonesia
dan
melaporkannya
sesuai
dengan
mekanisme “Registration Convention”; b. Pelaksanaan “jurisdiction” and “control” atas benda antariksa yang didaftarkan di Indonesia; c. Pengaturan mengenai pengalihan pendaftaran dalam hal terjadinya pengalihan hak kepemilikan (“Transfer of ownership”) atas benda antariksa; d. Pengaturan mengenai penunjukan negara yang melakukan pendaftaran dalam hal dilakukan kegiatan-kegiatan peluncuran bersama antar negara; e. Penetapan lembaga yang bertugas melaksanakan sistem pendaftaran nasonal.
E.
Moon Agreement 1979 Meskipun Indonesia belum meratifikasi “Moon Agreement”, namun beberapa ketentuan dari “Moon Agreement” ini patut diperhatikan dalam perumusan RUU Keantariksaan. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi :
1.
Adanya upaya untuk mengembangkan suatu rejim internasional dalam rangka eksploitasi sumber daya di bulan68 sebagai “Common Heritage of Mankind” (CHM).
2.
Penjabaran CHM dalam suatu rejim internasional nantinya akan memberikan
kejelasan
mengenai
penafsiran
prinsip
“non-
appropriation”. 3.
Adanya pernyataan bahwa kegiatan di bulan dan benda-benda langit lainnya “exclusively for peaceful”.
Sikap
negara-negara
terhadap
“Moon
Agreement”
dapat
digambarkan sebagai berikut : 1.
Hanya 10 negara yang telah meratifikasi “Moon Agreement”;
2.
Amerika Serikat tidak meratifikasi “Moon Agreement” dengan alasan bahwa ketentuan Pasal XI “Moon Agreement” sangat kontroversial
karena
penafsiran
CHM
sebagaimana
yang
dirumuskan dalam Pasal tersebut merupakan disinsentif bagi pembangunan. Disamping itu penerapan ketentuan menyangkut “orderly development” dan “equitable sharing” dapat dianggap sebagai pengenaan pajak yang hanya menguntungkan negaranegara
68
yang
tidak
mempertaruhkan
Lihat Pasal XI ayat 5 Moon Agreement 1979
risiko
(negara-negara
berkembang). Ditambahkan bahwa“Moon Agreement” merupakan suatu moratorium bagi eksploitasi sumber daya di bulan69. 3.
Dalam perkembangan terakhir bahkan Amerika Serikat dan Australia mengusulkan agar pengaturan eksploitasi sumber daya di bulan dikembalikan kepada hukum nasional masing-masing, pendapat mana antara lain ditentang oleh Italy, Belanda dan Kanada70.
Dari segi kepentingan Indonesia pada saat ini belum ada urgensi untuk meratifikasi “Moon Agreement”, namun penjabaran CHM perlu terus dipelajari dan didalami.
F.
Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya Di luar perjanjian-perjanjian internasional yang secara khusus mengatur
kegiatan
keantariksaan,
terdapat
beberapa
perjanjian
internasional terkait yang perlu diperhatikan dalam perumusan RUU Keantariksaan, antara lain: 1.
ITU Constitution and Convention 199271 beserta Administrative Regulations sepanjang menyangkut masalah keantariksaan.
69
70
71
Lihat Glenn Harland Reynolds, “The Moon Treaty Prospect for the Future”, Space Policy, May 1995, halaman 117. Lihat juga Martin Mentor, “Commercial Space Activities Under the Moon Treaty”, Prosiding IISL, Colloqium, 1980, halaman 37. Perdebatan ini berkembang pada UN/Korea Workshop on Space Law, Daejeon, Korea, 3-6 Nopember 2003. Telah diratifikasi dengan Keppres No.18 Tahun 1996.
2.
Treaty Banning Nuclear Weapons Test on the Surface of the Earth, In the Atmosphere, or in Outer Space of 1963.
3.
The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons of 1968.
4.
Kesepakatan
kelompok
negara-negara
Technology Control Regime”(MCTR).
BAB V EFEK RUMAH KACA
maju
tentang
“Missile
A.
Efek Rumah Kaca (Green House Efect) Pada awalnya istilah efek rumah kaca atau “green house effect” ini digunakan berdasarkan pengalaman para petani didaerah beriklim atau berhawa dingin yang menanam sayur-sayuran dan biji-bijian di dalam rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada waktu siang hari, pada cuaca cerah meskipun tanpa alat pemanas suhu, didalam ruangan rumah kaca suhu lebih tinggi dari pada suhu di luarnya. Hal ini terjadi karena sinar mata hari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh tanaman/tanah di dalam ruangan rumah kaca sebagai radiasi infra merah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar ruangan rumah kaca sehingga udara di dalam rumah kaca suhunya naik dan panas sebagi akibat dari udara yang terperangkap di dalam ruangan rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca. Akibatnya suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu diluarnya. Oleh sebab itu selanjutnya dikenal sebagai “efek rumah kaca”. Efek rumah kaca ini juga dapat terjadi di dalam mobil yang di parkir ditempat yang panas, dalam keadaan jendela tertutup, akibatnya suhu didalam mobil akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu diluar. Dalam keadaan yang normal, sinar mata hari masuk menembus atmosfer dan diabsorbsi oleh permukaan bumi. Kemudian panas atau sinar mata hari ini siap dipantulkan kembali, yang diemisikan atau dibuang oleh permukaan bumi sebagai radiasi infra merah ke atmosfer. Tetapi
pada kasus rumah kaca, radiasi infra merah ini tidak dapat keluar ke atmosfer seperti pada pada saat radiasi atau sinar mata hari masuk. Radiasi infra merah ini
terperangkap oleh beberapa gas, sehingga
menimbulkan reaksi atau efek rumah kaca. Secara rinci terjadinya efek rumah kaca di atmosfer dapat dijelaskan sebagai berikut. Pancaran sinar mata hari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian lain diserap oleh bumi. Bagian yang diserap akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai radiasi infra merah yang panas. Radiasi infra merah tersebut di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan Carbon dioksida
(CO2)
sehingga
tidak
terlepas
menyebabkan panas terperangkap
ke
luar
angkasa
dan
dan akhirnya mengakibatkan
peningkatan suhu lapisan trospofer dan bumi, maka terjadilah efek rumah kaca di bumi (Meivena dan Arnelly, 2004)
B.
Pemanasan Global (Global Warming) Akibat atau efek yang sangat serius rumah kaca adalah apa yang disebut pemanasan global atau pemanasan bumi (global warming). Menurut Sri Tjahjani Budi Utami (Utami,2003) pemanasan global adalah sebuah fenomena ketika energi yang berasal dari radiasi matahari diserap oleh permukaan bumi dan dilepas kembali sebagai energi infra merah yang tidak dapat menembus keluar angkasa karena terhambat atau terperangkap oleh berbagai macam gas rumah kaca yang ada diatmosfer.
Pemanasan global terjadi karena kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi CO2 dan gas-gas lain yang dikenal sebagai
gas-gas
rumah
kaca
(GRK)
yang
meliputi
bumi
dan
memerangkap panas. Kenaikan suhu ini merubah iklim, menyebabkan berubahnya pola cuaca yang dapat menimbulkan peningkatan curah hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya angin dan badai bahkan terjadinya bencana alam. Secara
umum
dapat
dikatakan,
bawa
pemanasan
global
merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata bumi yang diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan teknologi dan aktivitas manusia sehingga menyebakan meningkatnya gas-gas rumah kaca. Beberapa factor yang yang menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca, antara lain sebagai berikut: (Messmer, Maja: 1998). 1.
Konsumsi bahan bakar fosil ( minyak tanah, gas, dan batu bara) pada
industri,
transportasi,
pembangkit
tenaga
listrik,
dan
penggunaan pada rumah tangga dan perkantoran. 2.
Kebakaran dan penggundulan hutan: menurut Bank Dunia, laju kerusakan hutan di Indonesia tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 adalah sebesar 2 – 2,2 juta ha per tahun. Sedangkan kebakaran hutan pada periode yang sama telah melahap 22,7 ha per tahun.
3.
Kegiatan pertanian dan
peternakan yang mengeluarkan emisi
antara lain CO2 dan N2O dan CH4.
4.
Sampah: Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah, baik sampah organic maupun sampah non organic. Sampah di Indonesia, terutama di kota-kota besar, bukan saja menimbulkan masalah tempat pembuangannya saja, melainkan juga dampak sampah tersebut. Karena
sampah mempunyai kontribusi
yang
besar terhadap pemansan global, diperkirakan 1 ton sampah padat akan menghasilkan sekitar 50 kg gas metan atau metana. Oleh sebab itu makin besar jumlah volume sampah, makin besar menghasilkan
gas
metan
ke
atmosfer,
dan
makin
besar
menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global.
Volume sampah di Indonesia makin lama makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan pertambahan penduduk. Apabila pada tahun 1990 setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,5 kg per orang per hari, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,0 kg sampah per orang/hari. Pada tahun 2010 nanti di perkirkan setiap penduduk Indonesia akan menghasilkan sampah 2,1 kg per hari.
C.
Gas-Gas Rumah Kaca Seperti telah disebutkan diatas bahwa pemanasan global adalah merupakan efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena adanya gas-gas yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, yang disebut
gas-gas
rumah
kaca
(GRK),
antara
lain:
kaca
terpenting
(
[email protected]/Kegerahan ddi Rumah Kaca) 1.
Karbon Dioksida (CO2): Karbon penyebab
dioksida
adalah
gas
rumah
pemanasan
global.
Sumbangan
utama
manusia
terhadap meningkatnya jumlah CO2 di atmosfer berasal dari hasil pembakaran utamanya dari kendaraan bermotor, juga pembakaran yang dilakukan oleh pabrik, dan rumah tangga. Akhir-akhir ini dengan sering terjadinya kebakaran, terutama kebakaran hutan akan menambah kontribusi CO2 dalam atmosfer, yang berarti meningkatnya efek rumah kaca atau pemanasan global.
2.
Uap air (H2O): Uap air bersifat tidak terlihat dan harus dibedakan dari awan dan kabut yang terjadi ketika uap membentuk butir-butir aiar. Uap aiar juga merupakan penyumbang besar efek rumah kaca. Jumlah uap air dalam atmosfer berada di luar kendali manusia dan dipengaruhi oleh suhu global. Jika bumi menjadi lebih hangat, jumlah uap air di atmosfer akan meningkat karena naiknya laju penguapan, dan selanjutnya akan meningkatkan efek rumah kaca, serta makin mendorong pemanasan global.
3.
Metana atau metan (CH4):
Metana adalah gas rumah kaca lain yang terdapat secara alami, yang dihasilkan oleh jenis-jenis mikroorginsme tertentu menguraikan bahan organic pada kondisi tanpa udara (anaerob). Gas ini juga dihasilkan secara alami pada saat pembusukan biomassa di rawa-rawa sehingga disebut juga gas rawa. Metana mudah terbakar, dan mengahsilkan karbon dioksida sebagai hasil sampingan. Jumlah metana yang terbesar yang disumbangkan ke atmosfer sehingga mempengaruhi efek rumah kaca adalah pembuangan sampah. Disamping itu makin meningkatnya jumla ternak kerbau, sapi dan sejenisnya merupakan sumber lain yang bararti dalam mengahsilkan metana. Pada gilirannya juga akan meningkatkan kontribusinya terhadap efek rumah kaca.
4.
Ozon: Ozon adalah gas rumah kaca yang terdapat secara alami di atmosfer (troposfer, stratosfer). Di troposfer, ozon merupakan zat pencemar hasil sampingan yang terbentuk ketika sinar mata hari bereaksi dengan gas buangan kendaraan bermotor. Ozon pada troposfer dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
5.
Dinitrogen Oksida (N2O):
N2O
adalah juga gas rumah kaca yang terdapat secara
alami, namun tidak banyak diketahui secara rinci tentang asal gas ini di dalam atmosfer. Diduga sumber utamanya merupakan hasil kegiatan mikroorginisme dalam tanah. Pemakaian pupuk nitrogen dapat meningkatkan jumlah gas ini
dalam atmosfer. Dinitrogen
oksida juga dihasilkan dalam skala kecil oleh pembakaran bahan bakar dari fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas bumi).
6.
Cloroflurocarbon (CFC): CFC adalah sekelompok gas buatan, dan mempunyai sifatsifat tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan amat stabil sehingga dapat digunakan dalam berbagai peralatan. CFC yang paling banyak digunakan mempunyai nama dagang “Freon”. Freon digunakan dalam proses mengembangkan busa di dalam peralatan pendingin ruangan dan lemari es.
D.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global, yang diperkirakan telah dimulai puluhan tahun yang lalu mempunyai berbagai dampak terhadap bumi kita, antara lain sebagai berikut: (http.pkrtn.go.id/gobal warning/bambang/doc)
1.
Iklim mulai tidak stabil:
Pemanasan
global
dapat
permukaan air laut akibat pencairan
menyebabkan
kenaikan
di kutub, perubahan pola
angin , meningkatnya badai atmosfer, bertambahnya
populasi
dan jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Disamping itu, pemanasan global dapat menyebabkan perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi. Seperti kita rasakan pada saat ini, pada bulan Juli yang seharusnya sudah berada dalam musim panas (kering), tetapi curah hujan masih tinggi, bahkan di beberapa daerah termasuk Jakarta masih terjadi banjir. Disamping itu dengan tidak stabilnya musim ini juga berdampak kepada meningkatnya penyebaran penyangkit seperti demam berdarah (Kompas, 20 Agustus 2005).
Peningkatan
gas-gas
rumah
kaca
dalam
atmosfer
sebenarnya sudah berlangsung lama, dengan bukti-bukti antara lain sebagai berikut:
2.
Mencairnya es di kutub: Seperti
telah
diketaui
bahwa
es
yang
menyelimuti
permukaan bumi di kedua kutub bumi telah berkurang 10 % sejak tahun 1960. Sementara ketebalan es di kutub utara telah berkurang 42% dalam 40 tahun terakhir. Kalau hal ini tidak dikendalikan, maka pada tahun 2500 nanti maka kedua kutub bumi kita sudah
tidak
akan
diselimuti
oleh
es
lagi.
(http.pkrtn.go.id/gobal
warning/bambang/doc. Pergeseran musim nampaknya juga sudah terjadi di beberap belahan bumi kita, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, terasa bahwa batas antara musim hujan dan musim panas sudah tidak jelas lagi. Pada musim panas curah hujan masih tinggi, intensitas hujan pada musim hujan dan musim kemarau hampir tidak ada bedanya. Iklim dan curah hujan yang tidak teratur ini akan menyebabkan gangguan pola tanam pada petani, dan akhirnya akan mengganggu produksi bahan pangan., terutama beras dan makanan pokok lainnya (Kompas 13 Juli 2005).
3.
Peningkatan permukaan air laut: Berbagai studi tentang perubahan ilkim memperlihatkan telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1 – 2 meter dalam 100 tahun terakhir ini. Menurut IPCC (Inter governmental Climate Change) pada tahun 2030 nanti permukaan air laut akan bertambah antara 8 – 29 cm dari permukaan air laut saat ini.
4.
Dampak social ekonomi dan politik: Tahun 2000, Indonesia telah mengalami 33 kejadian banjir, kebakaran hutan, dan 6 bencana angin topan. Hal ini semua membawa kerugian sebesar kurang lebih $150 milyard dan 690
nyawa hilang (Kompas 7 Maret 2003). Bencana ini menimbulkan dampak social sepereti perubahan mata pencaharian pendduduk, terutama di daerah pertanian akibat perubahan iklim yang menyebabkan kurangnya masa panen. Sehingga menyebabkan para petani mencari mata pencaharian lain yang tidak tergantung pada iklim, sehingga tejadi urbanisasi besar-besaran. Kebakaran hutan tahun 1997 telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari Rp.1,2
trilyun, dan hilangnya hari kerja
penduduk sebanyak 2,5 juta hari. Sementara itu akibat kebakaran hutan tersebut diperkirakan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar US$9,3 milyar (Bappenas, 2000). Sedangkan dampak politik yang terjadi berupa hilangnya batas-batas Negara atau berkurangnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut. Banyak pulau-pulau kecil yang hilang karena naiknya permukaan air laut. Dengan naiknya permukaan air laut juga menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah barang tentu wilayah Indonesia akan berkurang.
5.
Sumber daya air: Perubahan suhu akibat perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan serta menyebabkan pergeseran vegetasi didaerah hulu sungai, sehingga akan mempengaruhi ketersediaan
air dan limpasan permukaan air tanah. Secara umum di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2080 akan terdapat 2 – 3,5 milyard penduduk yang akan mengalami kekurangan air, akibat menurunya persediaan air tanah.
6.
Kesehatan masyarakat. Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi eleh factor iklim dan suhu. Parasit dan vector penyakit sangat peka terhadap factor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban udara. Penyakit-penyakit tropis yang ditularkan melalui vector seperti malaria, demam berdarah, filariasis (kaki gajah) akan makin meningkat, bukan hanya di Negara yang beriklim tropis, tapi juga di Negara-gara sub tropis, bahkan di Negara yang bermusim dingin. Di Indonesi penyakit penyakit tersebut yang semula terjadi daerah dataran rendah, mungkin pada waktu yang akan datang akan dapat menyebar didaerah pegunungan yang
berhawa dingin, namun
karena pemanasan global berubah menjadi bersuhu panas.
E.
Meminimalkan Dampak Pemanasan Global Seperti telah disebutkan diatas, bahwa pemanasan global ini terjadi karena efek rumah kaca. Pada gilirannya efek rumah kaca terjadi karena meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi akibat dari meningkatnya teknologi dan kegiatan manusia. Akibat yang fatal dari
pemanasan global adalah terancamnya kehidupan dibumi ini, termasuk manusia. Oleh sebab itu harus segera dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak pemanasan global tersebut, antara lain:
1.
Konservasi dan efisiensi energi: Penghematan energi, bukan semata-mata untuk alasan ekonomi seperti Kepres No. 10/2005, tetapi seyogyanya juga untuk alasan konservasi energi. Potensi terbesar untuk penghematan energi adalah di dunia industri, dimana sebagian besar energi dikonsumsi. Penghematan energi yang lain adalah di sector transportasi dan rumah tangga, baik dalam penggunaan listrik maupun bahan bakar lainnya.
2.
Eliminasi CFC: Eliminasi CFC sangat diperlukan karena gas-gas tersebut dapat menyumbangkan 20 % dari efek rumah kaca pada tahun 2030. Oleh karena itu harus segera diambil tindakan guna penghapusan penggunaan CFC secara menyeluruh. Penggantian “Freon” dengan gas lain dalam system atau peralatan pendingin udara adalah perlu segera dilakukan.
3.
Menukar bahan bakar:
Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi) yang
bervariasi atau menggantinya denagan bakar dari
bahan baku tumbuh-tumbuhan atau biogas. Untuk produksi jumlah panas atau listrik yang sama, gas alam menghasilkan CO2 40% lebih rendah dibandingkan dengan batu bara, dan sekitar 25% lebih rendah dari pada minyak. Sehingga dengan menukar sumber bahan bakar dari minyak bumi ke gas alam dan biogas dapat mengurangi emesi CO2.
4.
Teknologi energi yang dapat diperbaharui (renewable): Upaya mengurangi emisi GRK dapat dilakukan dengan mengembangkan suatu teknologi yang dapat menekan emisi penyebab efek rumah kaca, seperti PLTA, pemanas air dengan tenaga mata hari, penggunaan tenaga angin dikonversi menjadi listrik maupun penagkapan metana dari tempat sampah dan kotoran manusai atau heawan mejadi energi atau listrik.
5.
Reboisasi kehutanan: Untuk menyerap 10% emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini dapat dilakukan dengan tanaman areal seluas Zambia atau Turki sendangkan untuk menyerap semua emisi tahunan diperlukan menanam
seluar
warning/bambang/doc.)
Australia.
(http.pkrtn.go.id/global
F.
Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global Pada bulan Desember tahun 1997, di Kyoto, Jepang diadakan Konferensi ke 3 Perubahan Iklim oleh “The United Nations Framework Cooperation on Climate Change” (UNFCCC). Dalam konferensi tersebut disepakati adanya program “Clean Development Mecanism” atau CDM dalam rangka mengahadapi fenomena pemansan bumi atau pemanasan global (global warming). Selanjutnya kesepakatan ini disebut “Protokol Kyoto”, yang intinya semua negara maju akan mengurangi tingkat emisi gas buangan atau gas yang menimbulkan gas-gas rumah kaca (green house gases), antara lain CO2, CH4, HFCS, minimal 5,5% dari emisi tahun 1990. Sampai dengan tahun 2001 dari 84 negara yang telah menanda tangani Protocol Kyoto tersebut baru 33 negara yang telah meratifkasinya. Meskipun Indonesia bukan Negara maju, dan belum diwajibkan untuk meratifikasi Protokol Kyoto tersebut, namun seyogyanya sudah mulai menyiapkan perangkat hukumnya. Sebab Indonesia terdiri dari banyak pulau dan mempunyai banyak hutan, yang rentan terhadap dampak pemanasan bumi ini. Alangkah baiknya kalau Inpres No. 10 tahun 2005 yang baru dikeluarkan oleh presiden tentang hemat energi ini ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah atau
Undang-Undang.
Konsiderans produk hokum itupun tidak hanya semata-mata factor
ekonomi, melainkan juga karena pertimbangan faktor lingkungan hidup yang bersih atau bebas emisi gas rumah kaca. Pemerintah
Indonesia
telah
mengeluarkan
Undang-Undang
tentang pengelolaan lingkungan hidup, yakni PP.No. 4/1982. Tujuan dikelurkannya UU tersebut adalah tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Untuk pelaksanaan UU tersebut baru dikeluarkan 3 Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP. No. 29/1986 tentang Analisis Dampak Lingkungan, PP.No. 20/1990 tentang pengendalian pencemaran air, dan PP. No. 35/1991 tetang sungai. Sedangkan PP tentang pengendalian pencemaran udara belum ada. Oleh sebab itu sebagai partisipasi terhadap pengurangan pemanasan global sebagai efek rumah kaca di Indonesia, dan sekali gus mertifikasi Protokol Kyoto, seyogyanya segera mengeluarkan PP tentang pengendalian pencemaran udara mengacu pada UU No. 4 tahun 1982.
BAB VI
PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA
A.
Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek Pada saat ini seperti diketahui bersama masalah pembajakan, dalam hal ini kami memfokuskan kepada pembajakan di bidang industri video, melihat semakin parah dan bahkan ada kecendrungan meningkat. Contohnya tempat-tempat pembajakan yang dahulu misalnya hanya dikenal di daerah glodok atau mangga dua akan tetapi sekarang pembajakan tersebut berdasarkan survey sudah merambah ke pertokoan, mall dan retailer besar sebagai contoh seperti di Pondok Indah mall, Hero, Matarhari, ITC, Ratu Plaza, Mall Ambasador dll.
Dampak Pembajakan Seperti diuraikan diatas jelas membawa beberapa dampak baik bagi penerimaan negara melalui pajak maupun terhadap idustri video secara keseluruhan. 1.
Kerugian Negara a.
Berdasarkan asumsi dan data-data diatas jelas terlihat kontribusi:
•
Dari produk legal sebenarnya juga cukup besar dimana kalau kita ambil asumsi rata-rata pajak yang
dibebankan melalui stiker PPN adalah Rp 1000 – Rp 3000 maka kontribusi produk legal
melalui pajak
adalah sebesar 7,5 milyar – 22,5 milyar rupiah pertahunnya (dengan kondisi 10% produk legal di pasar), yang sebetulnya kontribusi tersebut dapat ditingkatkan apabila pembajakakan dapat diatasi atau paling tidak dikurangi. •
Dengan
asumsi
90%
berupa
produk
bajakan,
perkiraan minimal adalah sebanyak 68,4 juta keeping berupa produk bajakan dimana kerugian pajak negara ditaksir berkisar
b.
Perlu
diingat
200 milyar pertahunnya.
Indonesia
telah
meratifikasi
persetujuan
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui Undangundang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994 (Lembaran Negara RI tahun 1994 no. 57). Dimana salah satu bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia Agreement Establishing the World Trade Organization) adalah aspek-aspek dagang Hak Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs), dan berdasarkan data dari IIPA Indonesia masuk dalam daftar Priority Watch List, dimana
apabila keadaan pembajakan seperti saat ini masih terus dibiarkan maka terdapat kemungkinan yang sangat besar Indonesia dapat dikenakan sanksi. c.
Pengaruh terhadap perubahan budaya diantaranya: •
Matisurinya
Industri
Perfilman
dalam
negeri,
perkembangan industri film local sangat lamban disbanding negara-negara lain. •
Banyaknya
kejahatan
misalnya
baik
violence
/
kekerasan, kejahatan seksual disebabkan karena film tidak disensor melalui Lembaga sensor. •
Sangatlah menyedihkan apabila pembajakan telah menjadi budaya yang dapat diterima oleh masyarakat atau telah dianggap sebagai sesuatu yang tidak melanggar hukum.
2.
Kerugian Dari Industri Video Berdasarkan data dan asumsi tersebut dan kekayaan yang terjadi dilapangan industri video mengalami beberapa kerugian yang cukup besar, diantaranya: a.
Penurunan penjualan yang cukup tajan dari tahun ke tahun yang sangat mengancam matinya industri video legal di Indonesia dalam waktu dekat.
b.
Belum lagi beban pajak yang dikenakan terhadap produk legal sangatlah berat karena seperti yang kami ketahui dilapangan para pembajak menjual hasil bajakan dengan harga relative sama dengan beban pajak yang harus dipenuhi oleh produk legal (baik DVD maupun VCD).
B.
Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya Selanjutnya Direktorat Jenderal HKI Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan Tim Kepres No. 189 telah pula melakukan koordinasi dengan Departemen terkait seperti : Mabes POLRI, Kejaksaan Agung, Ditjen. Bea Cukai, Mahkamah Agung, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, berbabagai asosiasi di bidang Hak Cipta seperti: MPA (Motion Picture Association), ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), ASPILUKI (Asosiasi Piranti Lunak Komputer Indonesia), YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia), ASIREVI (Asosiasi Importir Rekaman Video Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), dan lain-lain. Beberapa langkah prioritas yang disepakati akan lebih ditingkatkan penanganannya antara lain adalah: 1.
Gerakan menanggulangi pembajakan HKI khususnya Hak Cipta secara menyeluruh terutama antara lain : optical disk yang terdiri dari film, musik, dalam bentuk CD/VCD, DVD dan program computer.
2.
Mengupayakan pelarangan impor mesin bekas untuk pembuatan optical disk.
3.
Mengupayakan untuk membatasi import biji plastik sebagai bahan baku produksi optikal disk.
4.
Malakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang telah mendapat izin dengan memperhatikan apakah produk-produk tersebut telah mendapat izin dari licensor, termasuk produk-produk bajakan.
5.
Dilaksanakannya sanksi berupa pencabutan izin operasional apabila diketahui terdapat pelanggaran Hak Cipta dan memberikan sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan ketentuan Undangundang hak Cipta baik hukuman kurungan maupun denda.
Berikut ini Pelanggaran Hak Cipta dari tahun 1998 s/d 2003 (Kerjasama antara Ditjen. HKI, ASIREVI dan Pihak Kepolisian) NO
Tanggal
Bekerjasama
Sasaran Operasi
VCD yang disita
1
13 Feb 98
Polda Metro Jaya
Toko Mince, Mangga Dua
909 pcs VCD ilegal
2
25 Sep 98
Polda Metro Jaya
Toko Milik Susuan, Ahui, A cing, Mangga Dua
+ 2.411 VCD ilegal
3
15 Sep 99
Mabes Polri
Mobil angkut VCD & CV. Pura + 22.930 pcs VCD Angkasa illegal
4
8 Dec 99
Mabes Polri
Toko Manna & Toko III No. 5 Mangga dua
2.000 pcd & 14 doos VCD illegal
5
4 May 00
Polres Jakbar
Mall Citraland, di toko Disc 88 & Toko studio
3.910 pcs VCD illegal
6
13 May 00
Polres Jakbar
Toko-toko didepan Harco Glodok
300.000 pcs VCD illegal
7
24 Jul 00
8
5 Okt 00
Polda Metro jaya
Mangga Dua Mall Lt. Dasar & Lt. 1
5.000 pcs VCD illegal
9
5 Feb 01
Polres Jakbar
Pabrik PT. Multi Cakara di Kapuk
Software komputer
10
25 Apr 02
Polda Metro Jaya
Toko di Mangga Dua Mall
604 VCD illegal
11
21 May 03
Mabes Polri
2 toko di Lt. 2 Mangga Dua Mall
5 Karung dan 651 VCD illegal
12
6 Jun 03
Mabes Polri
2 toko di Mangga Dua Mall
1.270 pcs VCD
Tipiter Mabes Polri Petak 9, Jl. Kemenangan Gg. 160.571 pcs VCD II, Glodok – Jakbar illegal
illegal.
C.
UPAYA PENGURANGAN PEMBAJAKAN Adapun upaya untuk mengurangi pembajakan ialah memberikan sistem perundang-undangan HKI Indonesia sendiri dapat dikatakan sudah cukup kuat untuk dapat memberi perlindungan hukum kepada karya– karya intelektual bangsa sendiri dan pihak asing. Akan tetapi tidak dapat
disangka pula bahwa penegakan hukum masih lemah. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengenai lemahnya penegakan hukum tersebut, diantaranya : 1.
Kurangnya pemahaman akan HKI dan perbedaan pandangan serta persepsi akan HKI. Ini tidak terjadi hanya dikalangan penagak hukum (Polisi, Jaksa, Bea Cukai, Hakim) akan tetapi juga dikalangan bisnis.
2.
Kurangnya koordinasi antara penegak hukum untuk menerapkan penegakan hukum.
3.
Penegakan hukum seringkali bertentangan dengan suasana social. Pelanggar hukum sering kali adalah rakyat dari kalangan “bawah” atau kurang berpendidikan.
4.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menambah berat biayabiaya dalam rangka operasi penegakan hukum.
5.
Kurangnya kesadaran masyarakat sendiri untuk menghormati Hak Kekayaan Intelektual milik orang lain
6.
Terbatasnya tenaga ahli utamanya pada sector pemerintah dan juga swasta untuk menangani Hak Kekayaan Intelektual.
7.
Kesulitan penegakan hukum di Indonesia dengan luas wilayah dan penduduk yang sangat banyak (sekitar 200 juta penduduk) amat tidak sebanding dengan jumlah penegak hukum yang ada.
8.
Memberikan penyuluhan bagi para pemilik mall yang ada di Jabotabek untuk tidak memberikan tempat kepada penjual ataupun
pengecer penjual VCD bajakan baik itu berupa CD lagu atau pun VCD atau DVD serta CD software computer yang dulu sangat marak di lihat di mall yang ada di sekitar Jabotabek ini. 9.
Memberikan sanksi yang berat serta denda yang tinggi bagi penjual serta pengganda CD, VCD bajakan dan juga kepada pembeli barang bajakan juga dikenakan sanksi yang berat untuk dapat memberikan rasa takut kepada para pembeli barang bajakan serta kepada pembajaknya juga.
BAB VII SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGISLATIF DAN JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN PELAYANAN INFORMASI HUKUM
A.
Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional
Berbagai kegiatan pembangunan hukum, seperti penyelenggaraan pemerintahan negara memerlukan pengambilan keputusan oleh pimpinan eksekutif sampai ke eselon empat. Begitu pula instansi yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat yang mengemban tugas pelayanan memerlukan informasi dan data hukum yang lengkap, cepat dan akurat untuk dapat mengambil keputusan yang sebaik-baiknya di dalam setiap kasus yang memerlukan keputusan dan izin dari instansi Pemerintah (Pusat maupun Daerah/Otonom).
Demikian pula lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memerlukan informasi hukum dan data yang lengkap dalam proses penyusunan
peraturan
perundang-undangan
(legislation).
Dibidang
judikatif, para hakim, jaksa dan polisi tidak mungkin dapat memutus perkara atau menuntut seseorang ke Pengadilan dengan dakwaan atau tntutan yang tepat, apabila sebelumnya mereka tidak dilengkapi dengan peraturan hukum dan ilmu hukum yang paling mutakhir karena keadaan hukum di Indonesia sudah jauh berbeda, termasuk juga susunan dan struktur organisasi badan-badan peradilan serta Hukum Acaranya.
Dalam era globalisasi ini bahkan setiap penegak hukum, pengacara dan dosen/guru besar pun harus terus mengikuti perkembanganperkembangan hukum yang baru, baik di negerinya sendiri, di luar negeri, maupun perkembangan baru di berbagai bidang Hukum Internasional. Hal ini hanya akan berhasil, apabila setiap insan yang berkecimpung di bidang hukum
(termasuk
para
pejabat
negara
dan
pemerintah)
dapat
memperoleh data dan informasi hukum yang paling mutakhir, sistematis dan lengkap (komplit) dengan cara yang cepat, mudah dan murah, dan pada saat ia membutuhkan informasi hukum itu. Oleh sebab itu maka kehadiran suatu Sistim Informasi Hukum Nasional adalah sangat penting untuk memajukan dan memperbaiki keadaan hukum di Indonesia.
Kebutuhan Sistem Informasi Hukum yang beroperasi secara Nasional dengan memelihara komunikasi `dua arah` yaitu mengirimkan pesan dari instansi Pemerintah/Negara atau masyarakat ke Jaringan Informasi Hukum dan sebaliknya mengirimkan informasi dari Jaringan Informasi Hukum ke instansi Pemerintah/Negara dan/atau masyarakat adalah dirasakan sangat mendesak dalam era informasi ini terlebih lagi untuk
mengantisipasi
berlakunya
Undang-undang
Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik dalam waktu dekat ini, yang sekarang RUU nya masih dalam taraf pembahasan oleh Pansus DPR72. Apabila RUU tersebut telah disahkan menjadi Undang-undang maka Pemerintah berkewajiban dan semakin dituntut untuk dapat menyajikan pelayanan 72
http://www.parlemen.net, diakses pada tanggal 15 Oktober 2005
informasi hukum secara mudah, murah, cepat dan tepat waktu. `Mudah`dalam arti prosedur untuk mendapatkan informasi publik tidak berbelit-belit dan mudah dilakukan. Sedangkan pengertian `Informasi Publik` merujuk pada semua jenis informasi yang dihasilkan atau dikelola lembaga publik termasuk informasi hukum, peraturan perundangundangan dan bahan hukum lainnya serta putusan pengadilan yang penting. Sementara yang dimaksudkan lembaga publik meliputi seluruh lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan pengawasan publik baik di tingkat pusat maupun daerah. Termasuk juga organisasi non pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat atau swasta yang menggunakan dana pemerintah atau yang mempunyai perjanjian kerja dengan pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan publik.
B.
Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Membangun
Sistem
Informasi Hukum Nasional
Membangun sebuah Sistem Informasi Hukum tentunya tidak terlepas dari komponen-komponen dasar yang menjadi pilar berdirinya sistem itu sendiri yang meliputi komponen-komponen seperti infrastruktur (berbasis teknologi), konten(data), organisasi dan Sumber Daya Manusia, yang akan berhubungan dengan manajemen sistem informasi hukum. Definisi Teknologi Informasi
Teknologi
Informasi
adalah
suatu
teknologi
yang
berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu.73 Definisi kata `informasi` secara internasional telah disepakati sebagai hasil dari pengolahan data` yang secara prinsip mempunyai nilai lebih dibandingkan
dengan
data
mentah.74
Teknologi
Informasi
yang
berkembang dipertengahan tahun 80-an ini merupakan pengembangan teknologi komputer yang dipadukan dengan teknologi telekomunikasi dan muatan informasi.
Teknologi komputer dan teknologi telekomunikasi
bersinergi
dengan Sistem Informasi menjadi Teknologi Informasi yang kita kenal sekarang ini dan menjadi faktor pendorong utama implementasi teknologi dalam seluruh kegiatan manusia terutama proses penyebaran informasi secara masal dan mendunia. Perkembangan teknologi informasi dan konvergensi media komunikasi telah mengubah kegiatan manusia yang sebelumnya dilakukan secara manual kemudian bergeser dengan menggantungkan pada kecanggihan sistem komputer, sistem jaringan komputer maupun sistem datanya yang antara lain sangat adalah penggunaan internet dalam pengelolaan informasi.
Metode penyebarluasan hukum 73 74
Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003 Ibid hal 3
menonjol
Fungsi Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang diemban oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagaimana diamanatkan oleh Keppres No 91 tahun 1999 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional adalah antara lain : •
Merumuskan kebijakan pengembangan dan pelayanan JDIH;
•
Sebagai pusat rujukan informasi dan dokumentasi hukum nasional;
•
Pengumpul dan penyebarluasan bahan dokumentasi dan informasi hukum kepada para Anggota Jaringan yang meliputi berbagai instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik dalam bentuk salinan, abstraksi, panduan penemuan kembali, maupun bentuk lainnya;
•
Pembinaan tenaga pengelola dokumentasi dan informasi hukum
•
Pembinaan kerjasama antara Anggota Jaringan;
•
Evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan JDIH Nasional;
•
Pelayanan informasi dan dokumentasi hukum nasional kepada masyarakat.
Untuk memenuhi fungsi tersebut diatas perlu dibangun suatu sistem yang dapat memenuhi paling tidak 3 (tiga) kebutuhan utama sebagai berikut : 1.
Pemenuhan kebutuhan informasi hukum khususnya bagi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, penegak hukum dan profesi hukum
lainnya serta masyarakat luas pada umumnya. Sehingga informasi dapat diakses dengan mudah cepat dan akurat.
2.
Penyediaan sarana koordinasi bagi Anggota Jaringan untuk perumusan kebijakan, pengembangan dan pelayanan JDIH, pembinaan tenaga pengelola, penyebaran bahan dokumentasi dan informasi antar anggota, serta proses evaluasi berkala. Koordinasi diperlukan mengingat hal ini sangat mempengaruhi kadar dan kualitas yang informasi yang dihasilkan. Informasi harus bersifat komprihensif yang hanya bisa dicapai apabila semua komponen yang terlibat dalam penyediaan informasi dapat merumuskannya secara terkoordinir.
3.
Menjadikan JDIH sebagai pusat data informasi hukum yang nantinya akan menjadi pusat rujukan utama untuk dokumentasi dan informasi hukum.
Untuk memenuhi ke tiga kebutuhan utama tersebut diatas satu langkah mendasar
yang paling sesuai dilakukan adalah melakukan
digitalisasi data yang selanjutnya dengan menggunakan beberapa perangkat lunak
pemrosesan dapat dilakukan lebih lanjut guna
menghasilan data hukum terstruktur secara elektronik dalam membangun database.
Konfigurasi JDIH on-line
Selanjutnya dalam konteks pengembangan JDIH sebagai sarana pendayagunaan bersama perturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya, maka data base produk hukum pemerintah Pusat dan Daerah merupakan aset yang harus terus di pupuk dan dikembangkan baik kuaalitas maupun kuantitasnya. Oleh karenanya kelengkapan semua produk hukum baik di Pusat dan Daerah yang memenuhi standar pengelolaan
data
elektronik
menjadi
sangat
krusial
mengingat
kelengkapan dokumentasi produk hukum akan menghasilkan informasi hukum yang berkualitas. Sehingga diharapkan baik Pusat maupun Anggota Jaringan dapat melengkapi dan membangun basis data elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem Informasi Hukum Nasional yang terpadu dan handal sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang mudah diakses.
Sementara itu dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan antara lain :
1.
Tersebarnya lokasi fisik database produk hukum dengan berbagai sistem yang pernah ada di Indonesia dimana masing-masing sistem membentuk sistem hukum dan infrastruktur tersendiri.
2.
Tersebarnya anggota-anggota jaringan dengan cakupan berskala nasional dimana unit kerja yang melaksanakan tugas dalam bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dari berbagai daerah yang harus melakukan koordinasi. Dengan keadaan seperti ini, maka diperlukan suatu infrastruktur yang bisa memberikan kemudahan bagi para anggota JDIH untuk berkomunikasi satu sama lain.
3.
Tempat akses informasi hukum, sejalan dengan fungsi JDIH sebagai penyedia informasi hukum kepada masyarakat, maka tempat akses yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh informasi hukum akan memegang peranan penting dari proses penyebaran informasi hukum.
Untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut, Infrastruktur yang paling sesuai adalah mengimplementasikan sistem JDIH dengan memanfaatkan penyebaran jaringan Internet yang berkembang sangat pesat di Indonesia pada saat ini yang diimplementasikan dalam bentuk portal situs web baik yang diselenggarakan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif dalam rangka penyebarluasan dan layanan informasi hukum. Namun harus pula dipertimbangkan kesiapan sistem tersebut untuk diakses publik apabila menggelar sistem melalui Internet. Satu hal yang penting
pada suatu sistem yang bersifat publik adalah masalah yang berkaitan dengan masalah keamanan data dan informasi.
C.
Sistem Informasi Hukum Nasional Berbasis Jaringan Internet Berupa Portal Situs Web bphn.go.id
Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan informasi Hukum yang mengemban tugas pembinaan, pengembangan, pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta pengembangan otomasi data hukum sebagaimana diamanatkan oleh Keppres 91/1999 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional,
maka
diperlukan infrastruktur Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum yang handal. Diharapkan pula infrastuktur tersebut dapat beroperasi optimal dan berskala Nasional bahkan Regional maupun Internasional.
untuk mewujudkan infrastruktur tersebut BPHN telah memanfaatkan Teknologi Informasi berbasis web/jaringan internet dengan pemasangan jaringan intranet dilingkungan lokal BPHN dan pemasangan jaringan ekstranet dan internet serta pembangunan aplikasi yang terintegrasi dengan data yang terpusat pada sistem yang dinamakan Sistem Informasi Hukum Nasional (SisFoKum Nas). Sistem ini akan berjalan dengan menggunakan jaringan intranet yang telah dibangun di BPHN yang
selanjutnya dikoneksikan ke setiap Anggota Jaringan (JDIH) yang meliputi berbagai instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif serta publik (Nasional/ Internasional) melalui jaringan internet yang terhubung pada salah satu penyedia jasa internet/ISP (Internet Service Provider)
Sistem Informasi Hukum BPHN dibangun pula berdasarkan misi yang diemban BPHN dalam membangun sistem e-government di bidang hukum, sehingga dapat diakses oleh lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan profesi hukum lainnya serta masyrakat luas pada umumnya melalui pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Pelaksanaan e-government adalah sebagai upaya pemerintah dalam menggunakan Teknologi Informasi (baik
telepon, fax,
meningkatkan
terutama
kinerjanya
komputer,
dalam
internet) dalam
hubungannya
dengan
masyarakat, dunia usaha maupun lembaga terkait menunju good governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan mengedepankan
transparansi,
akuntabilitas
serta
melibatkan
peran
masyrakat dalam perumusan suatu kebijakan publik termasuk peraturan perundang-undangan.
Misi lain yang merupakan penjabaran dari tugas pokok dan fungsi BPHN telah pula tercakup dalam sistem ini yang meliputi : perencanaan pembuatan peraturan perundang-undangn melalui Program Legislasi Nasional. Kegiatan penelitian, pengkajian hukum dan penyusunan Naskah
Akademis dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI. Penyuluhan hukum untuk meningkatkan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat. Mengoptimalkan kerjasama dengan lembaga baik dalam maupun luar negeri serta peningkatan Sumber Daya Manusia terutama dalam penguasaan Teknologi Informasi.
Penggunaan Teknologi Informasi berbasis Jaringan Internet ini memungkinkan
sistem
yang
interaktif
(dua
arah)
sehingga
dapat
memfasilitasi peran serta dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya, terutama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejak tahap pra legislasi yang diawali dengan perencanaan hukum, penelitian, pengkajian dan penyusunan Naskah Akademis yang menjadi materi muatan suatu RUU menuju tahap legislasi yaitu pembahasan RUU di DPR untuk
disepakati dan diundangkan yang kemudian disebarluaskan dan
disosialisasikan yang pada akhirnaya tahap paska legislasi yaitu analisa evaluasi apakah suatu peraturan undang-undang masih sesuai dengan kebutuhan masyarakatbpada masa kini.
Dengan demikian jelaslah merujuk kepada pemberlakuan hukum yang harus
memenuhi
aspek
sosiologis,
keterlibatan
masyarakat
dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sejak awal sekaligus dapat menjadi sarana sosialisai sebelum peraturan itu diberlakukan. Sehingga
diharapkan hukum yang akan dihasilkan akan lebih responsif karena betulbetul lahir dari kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi rasa keadilan. Jadi hukum tidak semata-mata dirumuskan oleh segelintir elite yang ahirnya hanya menjadi wacana yang tidak berkembang di masyarakat yang kandangkala baru diundangkan harus dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembengan masyarakat.
Secara teknis Sistim Informasi Hukum di BPHN meliputi antara lain :
Komponen dasar sistem dalam jaringan data dan informasi hukum nasional
Sistem informasi yang dibangun merupakan hasil konvergensi dari tiga komponen teknologi informasi mencakup unsur telekomunikasi, komputer dan konten (data/Informasi) ini mensyaratkan adanya kegiatan pengumpulan,
pemrosesan,
penyimpanan,
analisis
dan
proses
penyebarluasan informasi75.Model yang dibangun dalam sistem informasi yang menjadi basis Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional berorientasi interaksi antar komponen masyarakat hukum untuk tujuan peningkatan
kualitas
pengetahuan
hukum
dan
membantu
pengambilan keputusan.
75
Prof. Efraim Turban, R Kelly Rainer Jr and Richard E Potter dalam Introduction to Information Technology, John Willey and Son, Inc 2003.
proses
Sistem ini akan merangkum kegiatan output, input penyebarluasan ke anggota dalam sistem atau keluar sistem. Dalam proses ini diperlukan juga mekanisme feedback yang dapat mengontrol semua proses operasi. Untuk penyebarluasan hukum dibuat proses pemilahan antara data, informasi dan pengetahuan yang didefinisikan secara tepat yang diinstalisasikan dalam Kerangka JDIH.
Komponen dasar pembentuk
Sistem Informasi Hukum BPHN ini
mencakup 6 (enam) katagori yaitu :
1.
Pengadaan Hardware meliputi perangkat dari setting processor, monitor, keyboard, printer, scanner dan komponen hardware lain yang mampu menunjang proses penerimaan data dan informasi, perangkat yang membantu pemrosesan data, informasi dan pengetahuan, serta perangkat yang mampu menampilkan (display) data, informasi dan pengetahuan hukum.
2.
Pengadaan
software
pendukung.
Software
sesungguhnya
merupakan aplikasi berupa seperangkat program komputer yang dibuat
khusus
untuk
menangani pemrosesan
data
yang
dilakukan hardware. Dan program khusus untuk komunikasi antara pengelola JDIH. 3.
Pengadaan Database. Diperlukan sebuah definisi yang sangat jelas tentang proses organisasi data. Bagaimana korelasi antar
file yang berhubungan. Bagaimana sebuah data ditampilkan. Bagaimana hubungan penyimpanan antar data dan proses penterjemahan hubungan antar data. 4.
Pengadaan Jaringan bagaimana pembuatan koneksi atau hubungan antar node sistem yang dibangun bagaimana proses sharing informasi antar komponen sistem yang ada di dalam jaringan.
5.
Pembuatan
prosedur
operasi
dalam
sistem.
Penyusunan
strategi, kebijakan, metode dan aturan di dalam implementasi sistem informasi. 6.
Analisis persiapan Sumber Daya Manusia yang merupakan komponen yang paling penting meliputi antara lain siapa saja yang akan menjalankan sistem informasi, siapa yang akan masuk menjadi katagori pemakai saja (user) dan bagaimana cara user ini dilayani oleh Sumber Daya Manusia yang ada.
Pembangunan Jaringan
Pembanguna Jaringan komputer meliputi pembangunan jaringan Local Area Network (LAN) maupun Wide Area Network (WAN) untuk menunjang operasional semua aplikasi JDIH. Pembangunan LAN akan mempermudah sharing penggunaan komputer, file system maupun printer. Selain itu dengan LAN akan memudahkan implementasi Sistem Informasi Hukum yang berbentuk Client/Server maupun Web-based. Sedangkan
WAN diperlukan untuk menghubungkan Pusat dengan Anggota Jaringan. Sebagai ujicoba untuk menjamin beroperasinya Sistem Informasi JDIH telah ditempatkan terminal kerja di 2 (dua) Anggota Jaringan yaitu Biro Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM DKI Jakarta.
Pembangunan jaringan Sistem Informasi Hukum di BPHN meliputi : A.
Perangkat Keras : 1.
Web Server dan Database Sever serta fungsi Firewall •
2xIntel Xeon Prosesor 2Ghz, Memory 4 GB ECC DDR SDRRAM, 4 x 146 GB HDD SCSI Hot Swap, FDD 3.5``, Redudant Power Suplay;
•
Switch 4-ports untuk monitor, keyboard, dan mouse;
•
13 (tigabelas) Workstation Intel Pentium 4 Processor 2 Ghz, Memory 256 MB DDR DIMM, 40 GB HDD 48 X CD-ROM Drive, FDD 3.5`` monitor, keyboard, mouse. 2 terminal ditempatkan di Biro Hukum Pemda Prov DI Yogyakarta dan KanWil DepKehHam DKI Jakarta;.
•
3 (tiga) buah Scanner, A4, USB 2,0, 2400 dpi, 48 bit
•
1 (satu) set perangkat infrastruktur ADSL;
•
2 (dua) buah modem External 56 Kbps (ditempatkan di 2 Anggota Jaringan diatas)
1.
Aplication Server
2.
B.
Rack.
Perangkat Lunak •
Web Server : Red Hat LINUX dan PHP
•
Mailserver :
•
Anti Virus Mail
•
Proxy
•
Database : MySQL
•
Implementasi Firewall
•
Implementasi ADSL
•
Aplikasi Client/Server (SisFoKumNas) berbasis web dengan fungsi utama memberikan fasilitas pengolahan data secara terpadu dalam rangka melakukan kegiatan pengoperasian sistem sehari-hari.
Pembangunan aplikasi Pembangunan model layanan informasi berbentuk portal yang digabung dengan halaman situs berisi informasi hukum dan dapat menampilkan data yang mutakhir, cepat aksesnya, mudah pemeliharaanya dan dapat dengan mudah dikembangkan serta diintegrasikan dengan aplikasi lainya.
Pengembanga SDM berbasis Kompetensi dan kebutuhan Tenaga Ahli
Hal lain yang cukup krusial yang harus diperhatikan dalam pengembangan
Sistem
Dokumentasi dan
Informasi hukum adalah
dukungan Sumber Daya Manusia berbasis Teknologi Informasi (TI). Sedangkan tenaga ahli yang dibutuhkan terdiri dari beberapa kelompk pekerja seperti Sistem Analys, Programer, Teknisi Jaringan dll Substansi dan Materi yang Dikumpulkan (Dan Merupakan Koleksi yang menjadi aset) Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional
Dalam mencapai tujuan agar menjadi institusi terdepan dan terpercaya dalam penyediaan data dan informasi hukum, BPHN secara tertib dan berkelanjutan berupaya untuk dapat mengumpulkan, melengkapi dan mengolah peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya, antara lain meliputi: I.
Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari: 1.
Undang Undang Dasar 1945
2.
Ketetapan MPRS/MPR RI
3.
Undang-undang
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5.
Peraturan Pemerintah
6.
Peraturan Presiden/Keputusan Presiden
7.
Peraturan Daerah
Serta produk hukum lainnya, seperti: 8.
Undang-undang Darurat
9.
Penetapan Presiden
10.
Peraturan Presiden
11.
Instruksi Presiden
12.
Peraturan Menteri
13.
Keputusan Menteri
14.
Peraturan Gubernur
15.
Keputusan Gubernur
16.
Peraturan Bupati/Walikota
17.
Keputusan Bupati/Walikota
18.
Yurisprudensi
19.
Traktat
Nomor urut 12 s.d. 17 tidak lengkap, dalam arti tidak semua Departemen,
Pemerintah
menerbitkannya
mengirim
Daerah, secara
maupun kontinyu
Instansi produk
dimaksud.
2.
Bahan Hukum lainnya, : 1.
Buku-buku Hukum langka produk Hindia Belanda.
2.
Buku terbitan dalam dan luar negeri.
yang hukum
3.
Buku-buku terbitan hasil kegiatan BPHN;
4.
Hasil-hasil Penelitian Hukum;
5.
Hasil-hasil Pengkajian Hukum;
6.
Hasil-hasil Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan;
7.
Hasil-hasil Naskah Akademis;
8.
Hasil-hasil Pembahasan Rencana Legislasi Nasional;
9.
Hasil-hasil Penulisan Ilmiah Bidang Hukum;
10.
Makalah-makalah ilmiah bahan Seminar Pembangunan Hukum Nasional;
11.
Hasil-hasil Seminar;
12.
Direktori Tesis (termasuk sebagian bahan fisiknya), Disertasi;
13.
Hasil-hasil Evaluasi, Orientasi, Forum diskusi, Pertemuan Berkala, Rakorwil dan Rakornas JDI Hukum.
D.
Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legislatif dan
Judikatif
Sebagai
Sarana
Penyebarluasan
dan
Layanan
Informasi Hukum
Dalam konteks pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum sebagai sarana pendayagunaan bersama peraturan perundangundangan dan bahan hukum lainnya, kelengkapan semua produk hukum yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik di Pusat dan Daerah yang memenuhi standar pengelolaan data elektronik menjadi
sangat krusial mengingat kelengkapan dokumentasi produk hukum akan menghasilkan informasi hukum yang berkualitas.
Diharapkan instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif baik di Pusat maupun Daerah dapat membangun simpul-simpul informasi berupa basis data elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem Informasi Hukum Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang handal yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang mudah diakses.
Agar sistem ini dapat beroperasi optimal dan berdaya guna maka koordinasii antara instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif menjadi sangat penting dalam hal pendayagunaan bersama dokumentasi peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya sebagaimana telah ada wadahnya yaitu Keppres No. 91/99 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Komunikasi interaktif melalui portal dengan cara tanya jawab secara on-line, pembentukan milis, masih terus diupayakan.
Ujicoba beroperasinya portal situs bphn.go.id secara nasional telah dilaksanakan pada bulan Juli 2005 dengan menempatkan terminal kerja (komputer, modem, scanner) di 2 (dua) Anggota Jaringan yang selama ini telah
mengikuti pelatihan (Pemda DI Yogyakarta dan Kanwil Dep Hukum dan HAM DKI Jakarta.
Pengelola JDIH di Pemerintah Prov Yogyakarta menginput data Perda yang dimilikinya secara jarak jauh (remote) ke server BPHN yang selanjutnya disebarluaskan melalui portal situs bphn.go.id.
Mengingat keterbatasan dana APBN tidak mungkin menempatan terminal kerja di semua instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif yang berjumlah ratusan dan pula adanya keterbatasan daya tapung server. Oleh karenanya telah diupayakan suatu bentuk koordinasi antara instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif dengan melakukan ‘link’ ke situs web dimaksud yang telah mengoperasikan dan menempatkan produk peraturan yang dihasilkannya di situs webnya masing-masing ke portal situs bphn.go.id. Sehingga fungsi BPHN sebagai pusat rujukan penyajian dokumentasi dan informasi hukum lainnya masih bisa dilaksanakan.
Kegiatan
pengolahan,
penyajian
dan
penyebarluasan
peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum melalui jaringan internet ini dapat meningkatkan aksesibilitas penyampaian informasi dan jangkauan penyebaran yang lebih luas bahkan dapat diakses secara internasional. Dan yang terlebih penting lagi dapat meningkatkan interaksi dan partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan hukum dapat memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Meskipun Undang-undang yang secara khusus mengatur Cyber crime belum disahkan, tetapi ketentuan tentang Cyber crime
termasuk pengakuan alat bukti elektronik yang bersifat spesifik dan sektoral telah ada dalam hukum positif Indonesia. 2.
Perlunya peningkatan SDM penegak hukum dalam menangani kasus-kasus Cyber Crime, oleh karena itu pelatihan tentang Cyber Crime untuk Hakim, Jaksa, Polisi dan pihak-pihak terkait termasuk kalangan perguruan Tinggi perlu terus dikembangkan dan menjadi perhatian negara-negara maju untuk kerjasama pelaksanaannya, sehingga penanganan dan penegakkan hukumnya dapat lebih optimal.
3.
Perkembangan Teknologi Informasi yang telah menembus batas ruang dan waktu tanpa dibarengi dengan perkembangan hukum yang
memadai
akan
melahirkan
penyalahgunaan
yang
menyesatkan. 4.
Perkembangan Telematika telah mengantarkan transaksi kegiatan, termasuk transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronik, suatu perubahan dari “paper transaction”, menjadi “electronic transaction”.
5.
Dalam rangka perumusan legislasi nasional di bidang keantariksaan, maka ketentuan-ketentuan dan perjanjian-perjanjian internasional di bidang keantariksaan serta perjanjian-perjanjian internasional terkait lainnya dimana Indonesia merupakan negara pihak (“contracting parties”) sedapat mungkin diintegrasikan.
6.
Upaya pengintegrasian tersebut dilakukan dengan memperhatikan dinamika kepentingan nasional serta perkembangan pada lingkup internasional menyangkut interpretasi dan implementasinya oleh berbagai negara.
7.
Terhadap
perjanjian-perjanjian
internasional
lainnya
di
mana
Indonesia bukan menjadi negara pihak, maka ketentuan-ketentuan yang
relevan
akan
diperhatikan
sepanjang
sesuai
dengan
kepentingan nasional. 8.
Sistem HKI akan melindungi para pencipta dalam menghasilkan karya-karya intelektual tanpa merasa takut bahwa karya-karya mereka akan ditiru, dibajak atau dipakai oleh orang yang tidak berhak. Segala usaha yang telah dikeluarkan dalam mencipta suatu kreasi akan menghasilkan suatu “reward” yang sepadan dan akan menambah keinginan untuk terus berkreasi yang pada akhirnya akan semakin memajukan masyarakat secara umum untuk menikmati hasil-hasil karya intelektual tersebut.
9.
Keberadaan Situs web Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif merupakan sarana yang efisien dan effektif dalam penyebarluasan dan layanan informasi hukum.
10. Dalam rangka pemberdayaan bersama informasi hukum berbagai instansi
baik
eksekutif,
legeslatif
maupun
Judikatif
dapat
membangun simpul-simpul informasi berupa basis data elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format komunikasi
standar yang terhubung dengan portal situs web bphn.go.id sehingga pada giliranya dapat mewujudkan Sistem Informasi Hukum Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang mudah diakses. 11. Portal situs web bphn.go.id merupakan sarana pemberdayaan pengetahuan hukum untuk berbagai kalangan yang membutuhkan informasi hukum berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
kepustakaan
hukum
penelitian/pengkajian hukum,
berupa
buku-buku,
Naskah Akademis,
hasil
Analisa dan
Evaluasi peraturan-perundang-undangan, hasil pembahasan produk legislasi Nasional, proceding Pertemuan Ilmiah, hasil 12. pembahasan jaringan dokumentasi dan informasi hukum dll.
B.
Saran 1.
Perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana dan hukum acara pidana agar dapat memberi ruang gerak yang cukup kepada penegak
hukum
dalam
kejahatan-kejahatan (information technology).
menyidik,
menuntut
penyalahgunaan
dan
memeriksa
teknologi
informasi
2.
Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik harus segera diproses menjadi Undang-undang agar lebih dapat
memberikan
kepastian
hukum
dalam
mengahadapi
perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dengan segala akibat yang ditimbulkannya. 3.
kajian terhadap hukum dan teknologi perlu terus dilakukan mengingat perkembangan teknnologi begitu pesat. Dengan demikian kajian-kajian yang sifatnya spesifik di bidang hukum dan teknologi perlu terus ditindak lanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
http.bkrtn. bappenas.go.id/globalwarming/bambang/doc.
[email protected]/Konsumsi Global.
Energi,
Emisi,
dan
Pemanasan
Messmer Maja, dipl.Natw.ETH, Erika Stutz, dipl.Chem.HTL. Atmosfer dan PemanasanGlobal. Indah Off set Malang, Malang:1998. Meivina, Arnely, dkk. Bumi Makin Panas, Ancman Perubahn Iklim di Indonesia, Jakarta: 2004. M Utami, Sri Tjahyani Budi, Modul Mata Pencenaran Udara dan Kesehatan, FKM-UI, Depok: 2003. http:
[email protected]/Kegerahan di Rumah Kaca. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: 1982. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986, tentang Analisis Dampak Lingkungan Beserta Penjelasnnya, Jakarta: 1986. Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta. GATT on TRIPs Agreement Daftar pelanggaran Hak Cipta yang disidik di Ditjen. Hak Cipta. Gregory Churchill,J.D., Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), Makalah Pertemuan Berkala Pelaksanaan JDI Hukum, BPHN, Pontianak 24-27 Juli 2005. Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH, Manajemen Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Menuju Good Governance, BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004. Prof. Dr. Wahyono Darmabrata, S.H, M.H, Prospek Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesa menyongsong globalisasi Informasi, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Cahyana Ahmadjayadi, Peran Teknologi Informasi dalam penyebarluasan Informasi Hukum di Indonesia, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Tim Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika Indonesia,Penerapan SIMDK dan Telematika Bidang Hukum, Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003.