LAPORAN AKHIR TIM KOMPILASI BIDANG HUKUM TENTANG “ASAS RETROAKTIF”
Disusun oleh Tim Dibawah Pimpinan Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H., MH
PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI 2006
1
KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan hasil kerja Tim Kompilasi Bidang Hukum tentang “Asas Retroaktif”, yang bekerja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : G1-13.PR.09.03 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Penyusunan Kompilasi Bidang Hukum Tahun Anggaran 2006, di Jakarta tanggal 16 Januari 2006, dengan Susunan Keanggotaan sebagai berikut : Ketua
:
Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H., MH
Sekretaris
:
Sri Mulyani, S.H
Anggota
:
1.
Wildan Suyuti, S.H
2.
Fauzi Yusuf Hasibuan, S.H., MH
3.
Drs. Liberty, S.H.
4.
Damsuri Nungtjik, S.H., MH
5.
Heru Baskoro, S.H.,MH
6.
Multiwati Darus, S.H.,MH
7.
Dadang Iskandar, S.Sos
8.
Ismail, S.H.
1.
Nurhayati, S.H.
2.
Edi Djunaedi, SIP
1.
Firdaus
2.
Slamet Wiyono
Asisten Pengetik
: :
Dalam laporan ini dibahas antara lain tentang pengertian asas Retroaktif/sebagai asas hukum, hukum positif yang mengatur tentang asas Retroaktif baik nasional maupun internasional. i
2
Dalam hukum nasional
dibahas tentang UUD 1945 yang mengatur tentang asas Retroaktif, maupun putusan Mahkamah Konstitusi, sedangkan dalam hukum internasional dibahas
tentang
Mahkamah
Internasional
yang
meliputi
perjanjian
Nuremberg, Tokyo 1945 / Yugloslavia / Croasia / Hersegovina (Slobadan Milosovic), Rwanda (Suku Tutsi), dan Statuta Roma pasal 11, 23, 24 serta masalah
pro
dan
kontra
tentang
asas
retroaktif,
yang
kemudian
dikompilasikan. Akhirnya atas kerjasama dan partisipasi seluruh anggota Tim hingga tersusunnya laporan ini, Tim mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya. Tim mengharapkan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia, terutama masalah pro dan kontra tentang asas retroaktif, pada masa kini maupun masa yang akan datang.
Jakarta,
Desember 2006 Ketua
Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H.,MH
ii
3
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
ii
BAB
1
BAB
BAB
I
II
III
: PENDAHULUAN ………………………………………. A.
Latar Belakang …………………………………….
1
B.
Permasalahan ……………………………………..
4
C.
Maksud dan Tujuan ……………………………….
5
D.
Ruang Lingkup …………………………………….
5
E.
Metodelogi ………………………………………….
6
F.
Jadwal Kegiatan ……………………………………
6
G.
Susunan Keanggotaan ……………………………
7
: TINJAUAN YURIDIS TENTANG KAIDAH-KAIDAH HUKUM ……………………………………………………
9
A.
Pengertian Asas Retroaktif ……………………….
9
B.
Kaidah HukumDalam Hukum Pidana ……………
12
C.
Larangan Berlaku Surut Dalam Norma Pidana …
14
D.
Asas Retroaktif Sebagai Asas Hukum …………..
18
: HUKUM POSITIF YANG MENGATUR ASAS RETROAKTIF …………………………………………….
27
A.
Konstitusi ……………………………………………
27
B.
Hukum Pidana ……………………………………...
30
C.
Mahkamah Internasional ………………………….
35
iii
4
BAB
IV
: KOMPILASI ASAS RETROAKTIF ……………………… A.
Pendapat Pro dan Kontra Atas Penerapan Asas Retroaktif …………………………………………….
B.
45 45
Putusan Pengadilan HAM dan Mahkamah Konstitusi…………………………………..………… 49
BAB
V
: KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI …..…..
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN Lampiran
1
Lampiran
2
Lampiran
3
Lampiran
4
Lampiran
5
iv BAB I
5
53
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Kompilasi menurut Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, SH.1 adalah sebagai berikut: "Kompilasi merupakan pengumpulan bahan-bahan hukum yang dilakukan sejak sebelum sampai diundangkannya suatu Undang-undang dengan mencantumkan bagian-bagian yang dirubah atau dicabut dan diganti, atau tambahan-tambahannya, dalam suatu susunan yang akan digunakan untuk mempermudah mencari kembali peraturanperaturan tersebut dengan suatu metode tertentu". Di bidang hak cipta, suatu "Kompilasi" merupakan suatu karya dalam bentuk koleksi atau penyusunan bahan-bahan atau data yang dipilih, dikoordinasikan atau disusun sedemikian rupa yang menghasilkan suatu karya yang secara keseluruhan menjadi karya orisinil dari hak cipta(lihat misalnya dalam Copyright Act 17 USCA Pasal 101). Dalam bahasa Inggris, Kompilasi disebut dengan "Compilation" yang didalam "Black Law Dictionary" diartikan sebagai: "A bringing together of preexisting statutes in the form in which they were enacted, with the removal of section which have been repealed and the substitution of amandments in an arrangement designed to facilitate their use. A literary production composed of the works or selected extracts of other and arranged methodical manner"2. Pengumpulan peraturan perundangundangan (statute-common law term) yang telah ada yaitu peraturan
1
Prof.Dr.Sunaryati Hartono, Kompilasi Bidang Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, BPHN, Dep. Hukum Dan Perundang-undangan RI. Tahun 1999/2000.
2
Henry Campbell Black, MA, Black's Law Dictionary, Fifth Edition.
6
perundang-undangan
yang
telah
diterbitkan
berikut
perubahan-
perubahannya dalam suatu susunan yang mendukung daya gunanya). Kompilasi merupakan suatu produksi yang berkaitan dengan literatur yang mencakup pekerjaan-pekerjaan atau intisari-intisari terpilih dari yang lainnya dan disusun secara sistematis." Statute: suatu act (UU) produk legislatif yang menyatakan, memerintahkan, atau melarang sesuatu, atau suatu UU yang diterbitkan dan dibuat dengan kehendak tertulis (the written will) dari badan legislatif. Dan kata statute dipakai dengan tujuan untuk membedakannya dengan keputusan pengadilan atau hukum tidak tertulis (unwritten laws)". Sedangkan yang dimaksudkan dengan Asas hukum adalah dasar normatif pembentukan
hukum, tanpa asas hukum, hukum positif tak
memiliki makna apa-apa, dan kehilangan watak normatifnya, yang pada gilirannya asas hukum membutuhkan bentuk yuridis untuk menjadi aturan hukum positif. Asas hukum adalah konsep-konsep dasar pembimbing bagi pembentukan hukum, yang dalam proses pembentukan hukum dijabarkan lebih lanjut dan dikonkritkan. Asas-asas hukum mempunyai peranan penting dalam penemuan hukum, apakah penemuan hukum akan dipandang sebagai proses atau produk, asas-asas hukum akan selalu muncul sebagai fenomena penting. Oleh karena itu harus diakui bahwa asas-asas hukum mengambil tempat sentral dalam hukum positif. Salah satu asas yang sampai saat ini masih berlaku dan sangat terkenal adalah asas legalitas. Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian yaitu Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam hal ini terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan; 1.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (Kiyas);
7
2.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut3 Namun demikian seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dalam dunia kriminalpun mengikuti perkembangan hal in dapat dibuktikan dengan jenis-jenis kejahatan baru yang apabila di tahun 1990an masih dibicarakan tentang kejahatan komputer, tetapi di tahun 2000-an sudah dibicarakan tentang kejahatan Cyber4. Sehingga berarti bahwa hukum pidana berpacu dengan sangat cepat dengan peraturan-peraturan baru, yang dalam hal ini berarti pula bahwa asas-asas hukum pidana maupun teori hukum pidana, yang selama ini digunakan akan berubah atau bahkan tidak dapat digunakan lagi. Pergeseran dan perkembangan hukum pidana dan asas hukum pidana di Indonesia dari konvensional kearah modern harus disadari oleh pemerintah sebagai pembuat undang-undang untuk mengantisipasi langkah yang harus diambil dalam menyikapi tindak pidana yang tidak lagi umum sifatnya. Pergeseran tersebut ditandai dengan modes operandi yang dilakukan secara acak (random) dan bersifat nomaden (berpindahpindah). Perkembangan modes kejahatan modern tidak dapat lagi dijangkau
oleh
peraturan
perundang-undangan
kita
yang
masih
menggunakan produk kolonial, karena hanya menjangkau tindak pidana konvensional, yang umum saja. Dalam hal ini politik pemerintahpun telah banyak dipengaruhi oleh berkembangannya kejahatan-kejahatan modern yang terjadi diseluruh dunia. Hal ini telah banyak dilakukan oleh pemerintah dengan telah diberlakukannya undang-undang yang bersifat khusus, misalnya: 3
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana , Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 25 Komariah Emong, Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pembentukan Asas-asas Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Seminar Asas-asas Hukum Pidana Nasional, oleh BPHN bekerjasama dengan FH Univ Diponegoro, Semarang, 26-27 April 2004. 4
8
1.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Terorisme, menjadi undang-undang
2.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undangundang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
3.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10
Tahun 1998 Tentang Tindak Pidana
Perbankan, Berkaitan dengan
semangat penegakkan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Tindak Pidana Terorisme, yang menerapkan asas Retroaktif, di Indonesia masih terdapat perbedaan pendapat diantara para pakar hukum, namun demikian perbedaan pendapat dalam ilmu pengetahuan tersebut dalam hal ini ilmu pengetahuan hukum adalah merupakan hal yang biasa, oleh karena ilmu pengetahuan itu dapat dipandang dari berbagai sudut, tinggal tergantung dari sudut mana memandangnya. Asas Retroaktif mungkin suatu saat dapat diterima dan diterapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia atau mungkin pula tidak dapat diterima sehingga tidak dapat diterapkan dalam peraturan perundang-undangan
kita.
Hal
ini
kita
dapat
melihat
dampak
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap asas-asas hukum di Indonesia. B.
Permasalahan Meskipun peraturan perundang-undangan telah jelas mengatur tentang berlakunya asas retroaktif, dalam tindak pidana yang telah ditentukan, namun dalam kenyataan para penegak hukum belum atau tidak menerapkan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
9
Mengingat asas Retroaktif merupakan salah satu bagian penting dalam Hukum Acara Pidana, maka BPHN dalam hal ini Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum, memandang perlu mengadakan Kompilasi Hukum
Tentang
Asas
Retroaktif,
untuk
menghimpun
terhadap
kebiasaan yang timbul dan berlaku dalam praktek pelaksanaan asas Retroaktif tersebut yang dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam melaksanakan dan memperbaiki serta menyempurnakan undangundang atau perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan berlakunya asas retroaktif. C.
Maksud dan Tujuan Maksud dari kegiatan ini adalah untuk
melakukan kompilasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang telah memberlakukan asas Retroaktif dalam putusan pengadilan maupun dalam praktik hukum acara pidana di Indonesia. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah menghimpun kebiasaan yang timbul dalam praktik
hukum acara pidana terutama
terhadap putusan pengadilan yang memberlakukan asas retroaktif khususnya dalam hukum acara pidana. D.
Ruang Lingkup Ruang lingkup pembahasan Kompilasi hukum tentang asas retroaktif hukum acara pidana, ini meliputi : Inventarisasi bahan acuan yaitu hasil penelitian, kajian, analisis dan evaluasi, serta literatur yang berkaitan dengan asas retroaktif dan peraturan
perundang-undangan
menurut
KUHAP
maupun
diluar
KUHAP. E.
Metodologi Metodologi
yang
dipakai
10
adalah
pendekatan
normatif
dilengkapi dengan studi komperatif terhadap kepustakaan /studi literatur yang dilakukan dengan membaca buku-buku ilmiah, makalah-makalah maupun putusan-putusan pengadilan yang berhubungan dengan asas retroaktif, wawancara dengan praktisi di bidang hukum pidana maupun hukum acara pidana, dengan mengkompilasikan peraturan perundangundangan maupun pelaksanaannya dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan berlaku dalam praktik hukum acara pidana. Kemudian menelaah hukum positif baik tertulis dan tidak tertulis yang mengatur tentang asas retroaktif. F.
Jadwal kegiatan Kegiatan ini dilaksanakan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari bulan Januari 2006 sampai dengan Desember 2006.
N
Jenis
O
Kegiatan
1.
Pengumpul
Jan Fe b
Mrt
Ap Mei
Ju
r
n
an&pembua tanProposal Penysun& 2.
perbkn prop
Pengmtn 3.
lapangan
11
Jul
Au
Se
g
p
Okt No p
De s
4.
Pnglhn data Peysn
5.
lapAkhir Pbkn propsl
6.
&peyrhan Laporan akhir
G.
Susunan Keanggotaan Keanggotaan Tim ini bekerja berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: G113.pr.09.03 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Tim Pelaksana Penyusunan Kompilasi Hukum Tahun Anggaran 2006 , Tanggal 16 Januari 2006 di Jakarta, dengan susunan Keanggotaan sebagai berikut: Ketua
:
Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH.MH.
Sekretaris
:
Sri Mulyani, SH.
Anggota
:
1. Wildan Suyuti, SH.MH. 2. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH.MH. 3. Drs. Liberty, SH. 4. Damsuri Nungtjik, SH.MH. 5. Heru Baskoro, SH.MH. 6. Multiwati Darus, SH. 7. Dadang Iskandar, S.Sos. 8. Ismail, SH.
Asiaten
:
1. Nurhayati, SH. 2. Edi Djunaedi, SIP.
12
Pengetik
:
1. Firdaus. 2. Slamet Wiyono
13
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KAIDAH-KAIDAH HUKUM
A.
PENGERTIAN AZAS RETROAKTIF Didalam kamus istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia halaman 492, yang dimaksud RETROAKTIF yaitu mempunyai daya berlaku surut.5 Pemberlakuan Hukum Pidana secara “Retroaktif” adalah merupakan suatu pengecualian dari suatu azas legalitas atau Principle Of Legality atas dasar Extra Ordinary Crime, seperti halnya dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah Hukum Pidana yang telah dikodifisir yaitu sebagian besar terdiri dari aturan-aturannya telah disusun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
6
(Wet Boek Van Strafrect) maka dengan Undang-undang No. 1
Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 termuat dalam Berita Negara Republik Indonesia II No. 9 di dalam penegasan tentang Hukum Pidana yang berlaku di Republik Indonesia Kitab Undang-undang Hukum PIdana (KUHP) untuk Indonesia dalam buku I berjudul “Algemene Bepalingen” (Ketentuan-ketentuan Umum) mulai dengan title I yang berjudul “Omvang Bande Werking der Wettelijke Strafbepalingen” (Luas Berlakunya Ketentuan-ketentuan Undang-undang tentang Hukum Pidana). 7 yang didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa : “ suatu perbuatan hanya merupakan tindak
5 6 7
Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, Belanda Indonesia, hal. 492. Moelyatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta, Renika Cipta. Hlm. 16. 1993 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm. 42, 2003
14
pidana jika ini ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan Perundang-undangan”. Didalam bahasa latin, ada pepatah yang sama maksudnya yaitu: Nullum Delictum Nula Puna Sine Pravia Lege Punali yang artinya Tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa Undang-undang Hukum Pidana terlebih dahulu. Dari hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan adanya dua azas dari Hukum Pidana yaitu: I. bahwa sanksi Pidana (straf-sanctie) hanya dapat ditentukan dengan Undang-undang. II. bahwa ketentuan sanksi Pidana ini tidak boleh berlaku surut (Geen Terug Werkende Kracht). Urgensi Hukum Pidana tersebut tentunya senantiasa tidak terlepas dari adanya perubahan dalam masyarakat kita, baik secara perlakuan sehingga hampir luput dari peninjauan yang biasa, atau terjadi begitu cepat sehingga sukar menyatakan dengan pasti lembaga kemasyarakatan yang menetap. Demikian pula masyarakat, seiring dengan kemajuan yang dialami masyarakat dalam berbagai bidang, bertambah juga peraturan-peraturan hukum. Penambahan peraturan hukum itu tidak dapat di cegah karena masyarakat berharap dengan bertambahnya peraturan tersebut, kehidupan dan keamanan bertambah baik walaupun mungkin jumlah pelanggaran terhadap peraturanperaturan itu bertambah. Di Indonesia perubahan dan kemajuan yang dialami selama orde baru antara tahun 1966 sampai tahun 1998 menimbulkan beberapa aspek negatif, antara lain penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Keadaan demikian mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, antara lain pada Bab IV huruf C, butir 2 huruf C, berbunyi sebagai berikut : “ menegakkan supremasi hukum dalam
15
kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara”8. Hal tersebut dimaksudkan untuk merealisasikan Negara hukum yang sebagaimana dimuat pada penjelasan resmi Undang-undang Dasar 1945 sehingga hukum berperan sebagai pengatur kehidupan Nasional. Suatu perkembangan baru dari suatu azas larangan berlaku surut yaitu dengan adanya pemberlakuan Hukum Pidana secara “Retroaktif” yang merupakan pengecualian dari azas legalitas atau Priciple of Legality atas dasar Extra Ordinary Crimes, seperti halnya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang berat. Azas Legalitas pada intinya berisi azas “Lex Temporis Delicti” hanya memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban Tindak Pidana, sehingga akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban kolektif terhambat. Dengan dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban Tindak Pidana, maka pemberlakuan Hukum Pidana secara “Retroaktif” penyeimbang
azas Legalitas yang semata-mata berpatokan pada
kepastian hukum dan azas keadilan untuk semua pihak. Dalam keadaan tertentu seperti halnya kepentingan kolektif bagi kepentingan kolektif baik masyarakat, bangsa, maupun Negara yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari azas legalitas , maka pemberlakuan hukum pidana secara Retroaktif kiranya dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat.
8
MPR, Ketetapan Nomor X/MPR/1998
16
B.
KAIDAH HUKUM DALAM HUKUM PIDANA Bermula dengan adanya suatu peristiwa besar sepanjang peristiwa peledakan bom di Indonesia yaitu ledakan bom yang terjadi di Sari Café dan Praddys Club di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang telah menimbulkan korban ratusan jiwa manusia melayang, raibnya harta benda yang nilainya ratusan juta rupiah dan traumatik yang luar biasa baik bagi masyarakat Bali maupun Wisatawan Manca negara serta bagi seluruh umat manusia atas peristiwa tersebut. Peristiwa
tersebut
sebenarnya
bukan
merupakan
permasalahan yang luar biasa dari sudut pandang Hukum Pidana, sebab semua itu telah ada pengaturan Hukumnya dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dapat menjerat pelaku pemboman tersebut ke meja hijau, akan tetapi ternyata hal tersebut tidak sesederhana itu, yaitu menghilangkan jiwa ratusan manusia dan lenyapnya harta benda dan bangunan, namun perbuatan tersebut ada yang di latar belakangi dengan sesuatu yang disebut “Terorisme” yang membawa permasalahan Hukum baru yaitu perangkat Hukum yang ada tidak dapat digunakan untuk menuntut para pelaku peledakan bom tersebut ke meja hijau seakan-akan ada kekosongan Hukum guna menangani masalah terorisme tersebut. Sehingga kepentingan Hukum yang dilibatkan atas tindakan terorisme tidak hanya membahayakan jiwa dan harta benda tetapi menimbulkan rasa takut yang luar biasa bagi masyarakat maupun bagi kebebasan pribadi serta integritas Nasional dan Kedaulatan Negara, fasilitas Internasional, Instalasi Publik, lingkungan hidup, sumber daya alam serta sarana Informasi dan Komunikasi. Masalah Terorisme tersebut dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, serta mempunyai jaringan yang sangat luas sehingga
17
merupakan suatu ancaman bagi perdamaian dan keamanan baik bagi daerah, maupun bagi nasional ataupun bagi Internasional. Berangkat dari peristwa terorisme tersebut diatas dianggap sebagai keadaan memaksa, sehingga lahirlah suatu terobosan baru dalam suatu azas hukum dan dalam Hukum Pidana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang didalam pertimbangan huruf F bahwa terorisme di pandang sebagai yang tidak biasa atau extra ordinary crimes yang memerlukan perangkat hukum yang luar biasa atau extra legal instrumental pula. Dengan didasarkan pada pertimbangan adanya kebutuhan yang sangat mendesak, perlu di atur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Hal yang menarik dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
tersebut
terdapat
adanya
suatu
aturan
yang
menyatakan bahwa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini “dapat diberlakukan surut”. Pernyataan tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa: ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini “dapat diberlakukan surut” untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya PERPU ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang
atau Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri. Dengan demikian terhadap kasuskasus Terorisme yang terjadi sebelum PERPU Nomor 1 Tahun 2002 ini di Undangkan berlaku PERPU Nomor 1 Tahun 2002 dengan pembatasan bahwa pernyataan berlakunya PERPU Nomor 1 Tahun
18
2002
harus dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang yang berarti berlakunya tidak serta merta, maka sebagai pelaksana ketentuan Pasal 46 PERPU Nomor 1 Tahun 2002. Pemerintah mengeluarkan PERPU Nomor 2 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom di bali dan PERPU Nomor 2 Tahun 2002 ini dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 ditingkatkan menjadi Undang-undang. Sedangkan PERPU Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ditingkatkan menjadi Undangundang dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. C.
LARANGAN BERLAKU SURUT DALAM NORMA PIDANA Suatu aturan-aturan pidana tidak berlaku surut ataupun Undang-undang tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan azas yang dirumuskan pada Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa: “tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan hukum pidana menurut Undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu”. Azas yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut yang dikenal dalam bahasa latin dengan azas ‘NULLA POENA “, yang selengkapnya berbunyi : ‘NULLUM
DELICTUM
NULLA
POENA
SINE
PRAEVIA
LEGE
POENALI”. Artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa Undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Azas ini kemudian dikembangkan oleh seorang pakar dari Jerman bernama Paul Johann Anselm Von Feuerbach dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yang ajarannya dikenal dengan “de leer van de psychologische dwang” yaitu ajaran tentang pemaksaan secara psikologis.
19
Ajaran Paul Johann Anselm Von Feurbach tersebut pada dasarnya memuat tiga ketentuan yaitu: -
Pertama “Nulla Poena Sine Lige” yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman harus di dasarkan pada suatu Undang-undang
-
Kedua “Nulla Poena Sine Crimine” yang bermakna bahwa penghukuman hanya dapat dilakukan jika perbuatan itu telah diancam dalam suatu Undang-undang.
-
Ketiga “Nullum Crimen Sine Poena Legali” yang bermakna bahwa perbuatan tersebut telah diancam oleh suatu Undang-undang yang berakibat dijatuhkannya suatu hukuman berdasar ketentuan dalam Undang-undang yang dimaksud. Dengan demikian maka tidak seorangpun dapat dihukum
karena suatu perbuatan kecuali atas suatu Undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan. Ketentuan ini bersumber dari hak asasi manusia agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 tersebut maka ada jaminan kepastian hukum atau legal certainty. Keadaan yang sama dapat kita jumpai pula dalam ketentuan Pasal 2 AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving) yang menyatakan bahwa: Undang-undang itu hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang akan datang dan “tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut” atau De
Wet
Verbindt
Allen
Voor
Het
Toekomende
Enheeft
Geenterugwerkende Kracht (Undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut). Bahwa azas ini diulangi untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menandakan
20
bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk Undang-undang ditekankan bagi hukum pidana. 7 Disamping itu, Pasal 1 ayat 1 KUHP memelopori ketentuan pasal peralihan hukum yang penting juga dan yang termuat dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa: “Bijverandering in de Wetgeving na Hettijdstip Waarop Het Feit Begaan is Worden de Voor den Verdachte Guntigste Bepalingen Toegepast” artinya apabila ada perubahan dalam perundang-undangan terjadi sesudah sesuatu tindak pidana diperbuat maka yang diberlakukan adalah ketentuan-ketentuan dari hukum lama atau hukum baru yang lebih menguntungkan bagi si tersangka. Larangan berlaku surut dalam hukum pidana dikatakan untuk menegakkan adanya kepastian hukum bagi penduduk yang selayaknya harus tahu bahwa perbuatan yang dilakukan adalah merupakan tindak pidana atau tidak. Apabila suatu rancangan Undang-undang telah diundangkan dalam lembaran Negara, setiap orang dianggap telah mengetahui Undang-undang itu, namun Undang-undang itu mulai mengikat sesuai rumusan dalam Undang-undang itu sendiri ada kalanya Undang-undang diberlakukan sejak hari pertama diundangkan dalam lembaran Negara, tetapi ada kalanya pula sebelum diberlakukan di beri tenggang waktu untuk memasyarakatkannya, bisa beberapa bulan atau satu tahun tergantung urgensinya. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, bahwa larangan berlaku surut ini memenuhi rasa keadilan sesuai dengan sikapnya pada umumnya terhadap hukum.
7
Wiryono Prodjodikoro, op.cit. hlm.43
21
Mahkamah Agung pada Tahun 1955 dalam putusannya yang termuat dalam majalah hukum Tahun 1956 No. 3-4 halaman 25 pernah menyatakan bahwa baik Pasal 1 Algemene Bepalingen Van Wetgeving baik Pasal 100 Jo. Pasal 99 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara RI tidak mengandung suatu fiksi bahwa setiap orang dapat dianggap mengetahui Undang-undang, tetapi mengandung suatu pernyataan bahwa berlakunya Undang-undang tidak bergantung pada hal apakah isi Undang-undang
itu
sudah
atau
belum
diketahui
oleh
yang
bersangkutan. Berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seseorang karena melakukan suatu perbuatan dapat dihukum bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: -
Pertama: Ada suatu Norma hukum pidana yang tertentu, Norma Hukum Pidana adalah aturan yang mengandung ancaman hukuman (sanksi) terhadap pelanggaran suatu norma hukum pidana.
-
Kedua: Norma Hukum Pidana itu harus berdasarkan suatu Undangundang, norma hukum pidana itu harus berdasarkan suatu undangundang yang dibuat dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, dengan demikian perbuatan yang diancam dengan sanksi tersebut jelas rumusannya dalam Undang-undang. Umumnya para pakar sependapat
bahwa
berdasarkan
ketentuan
ini
diharapkan
mempergunakan penafsiran analogi dalam hukum pidana. -
Ketiga: Norma Hukum Pidana itu harus “sudah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan” jika terjadi suatu perbuatan maka perbuatan itu diadili berdasarkan ketentuan pidana yang telah ada dalam bentuk Undang-undang.
22
Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut ditujukan pada aparat penegak hukum terutama pada Hakim, bukan pada pembuat undangundang, hal ini bermakna bahwa walaupun pembuat Undang-undang merumuskan suatu norma pidana dapat berlaku surut, hakim tidak dapat memberlakukan “berlaku surut” sebelum Undang-undang tersebut dibuat. 8 Penerapan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut dapat memedomani pendapat Van Bemmelen, yang mengutarakan antara lain: “Hoge Raad” berpegang teguh pada ketentuan bahwa ketentuan pidana itu harus didasarkan pada Undang-undang dalam arti formil dan bahwa ancaman hukuman itu harus terdapat dalam Undang-undang tersebut, bahkan ia juga mempunyai pendapat yang demikian jauh, yaitu bahwa apabila pembentukan Undang-undang dalam arti formil itu telah melimpahkan suatu pengaturannya kepada raja, raja tidak dapat melimpahkan pengaturannya kepada menteri, kecuali apabila hal tersebut memang diijinkan oleh Undang-undang dalam arti formil 9 D.
AZAS RETROAKTIF SEBAGAI AZAS HUKUM Sebagaimana
ketentuan
Pasal
1
ayat
2
KUHP
yang
menyatakan bahwa “jika sesudah perbuatan itu dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”. Dengan demikian pernyataan dalam ketentuan tersebut di atas adalah merupakan suatu penyimpangan dari larangan berlaku surut dari hukum pidana, sepanjang mengenai hal bahwa hukum yang baru lebih menguntungkan bagi tersangka dari pada hukum yang lama yaitu 8
Leden Marpaung, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 115.
2005 9
Lamintang, Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sumur Batu, hlm. 134. 1983.
23
apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir. Jikalau larangan berlaku surut dipandang sebagai penegak kepastian hukum bagi sipelanggar hukum pidana, maka ini berarti harus dijaga benar-benar jangan sampai seorang oknum mendapat pukulan berupa hukum pidana berdasar suatu perbuatan yang pada waktu itu tidak disertai sanksi pidana, dengan demikian kepentingan si oknum itulah yang menjadi titik tolak dari larangan berlaku surut. Kalau demikian halnya maka menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro sudah selayaknya apabila dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP berlaku surut, hal ini bahkan harus dirumuskan dalam hal hukum baru terang lebih menguntungkan sitersangka pada waktu belum terlanjur diambil keputusan Hakim yang terakhir yang memuat pukulan bagi si oknum itu. 10 Akan tetapi kalau ini terjadi bagi oknum
A
yang dengan
demikian tidak mendapat hukuman seberat atau barangkali sama sekali tidak dihukum maka ini mudah dirasakan tidak adil bagi seorang oknum yang sudah dihukum sebelum perubahan Undang-undang yang bersangkutan. Lebih-lebih ketidakadilan akan dirasakan apabila oknum A dan oknum B ini bersama-sama melakukan tindak pidana, dan B telah dikurung sedangkan A karena sakit atau karena sebab lain pemeriksaan perkaranya diundur sehingga sebelum jatuh putusannya terjadi perubahan Undang-undang yang meringankan hukumannya atau sama sekali meniadakan ancaman hukuman. Maka dapat dimengerti bahwa diantara para penulis Sarjana Hukum diperdebatkan sampai dimana berdasar atas Pasal 1 ayat 2
10
Wirjono Prodjodikoro, op.cit. hlm. 45
24
KUHP ini, suatu ketentuan hukum pidana kasus dinyatakan berlaku surut. 11 Didalam hukum positif Indonesia dapat kita jumpai suatu ketentuan yang memberikan peluang untuk tidak memberlakukan azas legalitas secara mutlak yaitu terdapat pada ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951 serta dalam ketentuan Pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang memberikan landasan hukum bagi ditetapkannya hukum pidana adat atau hukum tidak tertulis untuk menuntut dan memidanakan suatu perbuatan yang tidak diatur dalam Undang-undang sepanjang menurut hukum pidana adat atau hukum tidak tertulis perbuatan tersebut dapat atau patut dipidana. Sebagai pelaksana ketentuan Pasal 4 PERPU No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom di Bali. PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ditingkatkan menjadi Undangundang dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2003. Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tentang pemberlakuan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 pada peristiwa peledakan bom di Bali yang akhirnya kemudian oleh Mahkamah Konstitusi melalui kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap UUD telah dibatalkan. Pembatalan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 ini tentunya membawa implikasi yang sangat luas terutama upaya mencegah dan memberantas terorisme, serta membuka cakrawala pengkajian yang lebih mendalam baik di tingkat nasional, regional maupun internasional guna mensejajarkan terorisme sebagai kejahatan internasional seperti halnya dengan kejahatan “Genosida” kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. 11
Ibid
25
Pernyataan diperbolehkannya berlaku surut (Retroaktif) pada PERPU No. 1 Tahun 2002 demikian juga dapat kita jumpai pada ketentuan Pasal 43 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga kita jumpai adanya ketentuan yang mengatur pemberlakuan hukum pidana secara RETROAKTIF. Keadaan hal tersebut di atas mau tidak mau membawa konsekuensi dalam pembelajaran hukum pidana, bahwa ada wacana baru yang memerlukan pembahasan secara bulat dan tuntas ialah pemberlakuan RETROAKTIF disamping atas fundamental hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan serta asas keadilan yang menjadi tujuan akhir dari hukum termasuk hukum pidana. Pada tanggal 23 Juli 2004 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-undang Nol. 16 Tahun 2003 mengenai tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 sehingga membawa konsekuensi Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh karena
sebagaimana
ketentuan Pasal 24 C
UUD 1945 dalam amandemen ketiga diantaranya menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk mengkaji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Atas keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut melahirkan dua pendapat, yaitu: Pendapat pertama tergolong yang pro atas keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut dikenal dengan aliran dogmatig dalam arti sempit yang menyatakan dapat mengerti keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan alasan bahwa kejahatan sejenis peristiwa bom di Bali merupakan kejahatan biasa yang aturannya secara jelas dapat diancam dengan ketentuan Pidana yang
26
sudah ada yaitu Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya cukup berat. Sedangkan pendapat yang kedua tergolong yang kontra atas keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut sehingga dikenal dengan aliran dogmatig dalam arti luas yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memperhatikan hakikat pembukaan Undang-undang Dasar 1945 beserta tugas penegakan hukum dalam arti luas. Selain itu perbuatan teror merupakan kejahatan yang luar biasa atau Extra Ordinary Crimes, sehingga diperlukan perangkat hukum yang luar biasa juga yang mampu memerangi kejahatan yang bersifat global. Secara formal, teror belum termasuk kedalam kejahatan berat manusia, namun secara materiil
tidak memenuhi unsur-unsur berat Hak
Asasi Manusia karena termasuk kejahatan umat manusia atau musuh umat manusia (Hostis Humanist Generic). Sementara itu dalam dunia Internasional ada desakan kuat untuk memasukkan kejahatan Trenty-Based Crimes Related to Terorism and Drugs Trafficking (terorisme dan narkotika) sebagai kejahatan kemanusiaan. Sehubungan desakan tersebut banyak ahli hukum mendukung ICC untuk memasukkan kejahatan tersebut di dalam yurisdiksinya.12 tersebut
misalnya
memungkinkan
diperlakukan
“Azas
Penerimaan Retroaktif”
sebagaimana diakui dalam kejahatan Hak Asasi Manusia berat. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan pertama tersebut menitik beratkan pada pandangan Legal Justice yang hanya mengutamakan kepastian hukum saja. Hampir semua KUHP di dunia ini termasuk Indonesia ketinggalan zaman, demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah13, Kemajuan 12
Amir Syamsudin, Kompas, 3 Juli 2004 Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Beberapa catatan tentang Asas-asas Hukum Pidana Dalam Perbandingan, Makalah disampaikan pada seminar Asas-asas Hukum Pidana 13
27
teknologi terutama teknologi informasi yang demikian pesat tidak dapat dikejar dengan pembaharuan hukum pidana. Memang ada negara-negara yang sesudah Perang Dunia II berusaha menciptakan KUHP baru yang lebih sesuai dengan zaman, seperti Jerman dan Austria yang menciptakan KUHP baru pada tahun 1875, diikuti oleh RRC tahun 1979 dan Portugal tahun 1986. Adapula Negara yang terus-menerus mengubah dan menambah KUHP nya yang sudah tua seperti Belanda dan Perancis.
Menurutnya14,
setelah
memperhatikan
beberapa
putusan
pengadilan termasuk putusan Mahkamah Agung akhir-akhir ini, tereutama dalam kasus korupsi, nyata bahwa asas-asas hukum pidana kurang dikuasai oleh jaksa, hakim dan advokat. Kelihatan sekali bahwa, beberapa putusan menyimpang dari asas yang berlaku. Asas-asas hukum pidana yang dimaksud di sini terutama tercantum di dalam Buku I KUHP, seperti asas legalitas, hukum transitoir, percobaan, penyertaan dan gabungan delik (concursus) dan sistem pidana. Lebih sulit lagi jika asas-asas ini harus disesuaikan dengan hukum pidana khusus seperti delik korupsi, money laundering. Putusan hakim yang rancu ini sebagian besar juga disebabkan oleh surat dakwaan jaksa yang rancu dan sering keluar dari asas-asas hukum pidana yang berlaku. Sebab lainnya ialah kurang memadainya pengetahuan kita akan asas-asas hukum pidana ditambah dengan pendidikan dan latihan jaksa, hakim, dan advokat yang penyelenggara merasa tidak perlu mendalami ulang asas-asas hukum pidana, karena dipandang bahwa para sarjana hukum itu sudah dibekali dengan sempurna di bangku kuliah fakultas hukum, bahkan sudah ada yang sudah memperoleh ijazah Strata 2 ilmu hukum. Oleh karena itu perlu dianjurkan agar pendidikan jaksa, hakim dan Nasional, diselenggarakan oleh BPHN bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 26 - 27 April 2004 14 Ibid.
28
advokat dilakukan secara terpadu, lebih intensif dan lebih lama sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Belanda, Jepang dan lain-lain. Hukum Transitoir Menurut Prof. Andi, yang kurang dipahami juga ialah apabila ada perubahan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan yang diterapkan ialah ketentuan yang paling menguntungkan menurut van Hamel, ialah yang paling lunak (minder streng) (van Hamel, 1926:134). Ketidak pahamnya sebagian orang akan asas ini nyata dalam proses bahkan dilakukan oleh pakar hukum pidana, mengapa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada aturan peralihan tentang ketentuan mana yang diberlakukan terhadap terdakwa kasus korupsi yang melakukan perbuatan sebelum undang-undang tersebut berlaku tetapi diadili sesudah berlaku?. Rupanya tidak diingat, bahwa sudah ada ketentuan umum mengenai itu, yaitu pasal 1 ayat (2) KUHP yang biasa disebur hukum transitoir. Sehingga semua yang telah diatur di dalam ketentuan umum tidak perlu diatur di dalam ketentuan khusus kecuali ketentuan khusus itu sendiri menyimpang. Ketika bertindak sebagai Ahli15 dalam Pengadilan MK tersebut antara lain menyatakan bahwa: Ahli sama sekali tak pernah berpendapat korupsi adalah extra ordinary crimes. Korupsi itu banyak macamnya, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Mulai sopir pelat merah menjual bensin itu korupsi. Orang mebuat perjalanan tujuh hari, empat hari sudah pulang, tiga hari itu korupsi. Menurut ahli, korupsi adalah extra ordinary crimes sama dengan mencuri. Acara pidana tidak boleh diberlakukan surut. KPK tidak memiliki wewenang untuk memeriksa, menyidik, maupun menuntut sebelum undang-undang diundangkan. Kalau KPK memberlakukan itu KPK 15
memberlakukan surut.
Prof. Dr. Andi Hamzah, Saksi di Mahkamah Konstitusi Politik dan Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret, 2005, hlm.56.
29
Kalau KPK tidak menyidik, masih ada jaksa penyidik, polisi penyidik. Bahkan jaksa lebih pengalaman dalam menyidik.
30
BAB III HUKUM POSITIF YANG MENGATUR ASAS RETROAKTIF
Asas
Retroaktif
berlaku
surut
dalam
keberlakuannya
adalah
kewenangan berlakunya Undang-undangan atau peraturan perundangundangan yang menembus batas waktu sebelum peraturan tersebut diundangkan atau disahkan. Asas Retroaktif terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyatakan: “jikalau ada Undang-undangan baru diberlakukan setelah perbuatan itu dilakukan maka tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”16 Penerapan prinsip Retroaktif di atas bisa dibenarkan dengan adanya prinsip In Dibio Proreo, yaitu penerapan sebuah undang-undang yang berlaku secara Retroaktif harus dilihat waktu kejadian perkara atau tempus delictinya. Hal ini dilakukan agar dapat dilihat apakah Undang-undang baru atau
undang-undang lama
yang diberlakukan
bagi tersangka
yang
melakukan perbuatan hukum. Keberlakuan dari asas retroaktif itu oleh Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 28 ayat (1) dilarang. Hal ini merupakan perwujudan dari asas legalitas. Pasal 28 ayat (1) berbunyi:” hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas diasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan manapun”. Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 Amandemen II mengamanatkan bahwa seorang harus diakui secara pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak 16
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya. Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, 1996), hal 27.
31
dituntut atas dasar hukum berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan ruang untuk menerapkan asas Retroaktif. Penerapan asas Retroaktif dapat diterapkan dalam proses peradilan HAM, walaupun hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1). Penerapan asas Retroaktif menurut Tim tidak bertentangan dengan asas legalitas, karena pengadilan HAM mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang tergolong sebagai kejahatan yang tidak ada pengaturannya dalam aturan tertulis atau extra ordinary crimes. Penerapan asas Retroaktif dapat diterapkan dalam proses peradilan HAM berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”. Indrianto Seno Adji berpendapat tentang pencantuman asas Retroaktif dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu: “Pertama, pencantuman asas Retroaktif pada Pasal 43 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 terbatas soal kewenangan, bukan terhadap substansi hukum pidana materiil, sehingga pembelaan sterootif dimungkinkan sebagai suatu
justifikasi
karena,
asas
retroaktif
hanya
dapat
diberlakukan
berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu terhadap perundang-undangan dengan ancaman pidana penjara yang menguntungkan tersangka/terdakwa. Makna legalitas pemidanaan berdasarkan Bab VII ketentuan pidana dari
32
undang-undang tersebut, Pasal 36-41 hanya dapat diterapkan terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya Undang-undang tersebut. Kedua, lagi pula, definisi pelanggaran HAM berat (Pasal 7) merupakan kriminalisasi dari perbuatan yang tidak ada pengaturannya dalam KUHP Nasional yang berlaku surut, saat diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 sehingga meskipun Pengadilan HAM Ad Hoc berwenang memeriksa berdasarkan asas Retroaktif, tetap saja substansi pemeriksaan terbatas pada Buku II KUHP berdasarkan hukum pidana materiil yang berkaitan dengan kejahatan.17 Pemberlakuan ketentuan asas Retroaktif
bertentangan dengan
ketentuan dasar berlakunya hukum pidana yaitu tiada suatu perbuatan dapat dihukum bila tidak ada aturan hukum yang mengaturnya atau dikenal sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sina Praevia lagi Poenale. Menurut teori yang dikemukakan oleh Simons bahwa asas Retroaktif itu tidak dibenarkan, pendapatnya adalah: “Bahwa Undang-undang pidana itu hanya dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan yang telah dilakukan setelah Undang-undang Pidana tersebut mulai diberlakukan terhadap hal-hal yang terjadi di waktu kemudian”.18 Ketentuan mengenai asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini Moelyanto menulis bahwa asas Legalitas itu mengandung tiga pengertian, yaitu: 1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang; 17
Indrianto Seno Adji, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang Objektif (Jakarta, Kompas, 02 Februari 2002), hal. 4 18 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997), hal.141.
33
2.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.19 Karena Indonesia menempatkan prinsip Legalitas dalam hukum
pidana, maka sebenarnya penerapan asas legalitas dalam suatu kasus pidana hanyalah kekecualian sifatnya yaitu : Pertama, diterapkan terhadap kasus dalam hukum pidana yang berkaitan dengan kejahatan yang tidak ada pengaturannya dalam hukum menimbulkan tertulis.
Kedua,
asas
Retroaktif
diterapkan
terhadap
kasus
yang
mengakibatkan pembalasan atau asas lex talionis, tidak adanya kepastian hukum
dan
dikhawatirkan
dapat
menimbulkan
kesewenangan
dari
pelaksanaan hukum dan elit politik dengan akibat eksesif adanya suatu balas dendam politik yang berakibat kekacauan suatu negara”.20 Asas Retroaktif bertentangan dengan Asas Legalitas di Indonesia. Asas legalitas dalam bahasa latin adalah Nullum Delictum Nulla Poena Sina Pravia lagi Poenale. Yang berarti tiada suatu perbuatan dapat dipidana tanpa peraturan yang mendahului suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dijatuhkan sanksi.”21
PUTUSAN PENGADILAN Putusan
pengadilan
PUTUSAN
Nomor
mengenai
keberlakuan
asas
Retroaktif
01/PID.HAM/AD.HOC/2001/PH.JKT.PST.
adalah Tentang
Keterlibatan Mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osario Soares dalam Pelanggaran HAM berat di Timor Timur. 19
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta, Badan Penerbit Gajah Mada, 1995), hal. 25. 20 Agus Riewanto, Pelanggaran HAM dan asas Retroaktif. (Semarang, Suara Merdeka, 18 Februari 2002), hal. 5 21 Ibid, Asas-asas Hukum Hukum Pidana, (Jakarta, Rhineka Cipta, 1993), hal . 23.
34
A.
Konstitusi Sejak dilaksanakan amandemen UUD 1945 sebagai tindak lanjut tuntutan reformasi hukum, secara substansial dalam UUD 1945 yaitu pada amandemen yang kedua telah dimuat adanya ketentuan yang mengatur tentang hal-hal berkaitan azas retroaktif sebagai bagian dari Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 28I ayat (1) secara tegas Indonesia menganut asas non retroaktif bukan retroaktif sebagaimana bunyi pasalnya “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Substansi ini pada dasarnya telah dimuat dalam UU No.39 tentang Hak Asasi Manusia. Namun apabila kita menyimak beberapa undang-undang yang berlaku saat ini dan beberapa putusan pengadilan ternyata sebagian menganut adanya asas retroaktif, untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada substansi undang-undang dan isi putusan pengadilan berikut ini. 1.
Undang - Undang a. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. - Pasal 4 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
35
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. - Penjelasan pasal 4 menyatakan, bahwa hak untuk tidak dituntut
atas
dasar hukum
yang berlaku
surut
dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. - Pasal 18 (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. b. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. - Pasal 43 ayat (1) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc. - Ayat (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Ketentuan asas sebagaimana yang dimuat dalam undang-undang tersebut pada dasarnya telah diaplikasikan dalam praktek hukum yaitu pada perkara pelanggaran HAM berat berkaitan penyerangan oleh kelompok Pro Integrasi terhadap penduduk sipil Pro Kemerdekaan menjelang diadakannya Jajak Pendapat di Timor Timur pada tahun 1999 yang melibatkan Gubernur Tim Tim pada masa itu (Abilio Jose Osorio Soares dan Beberapa pejabat TNI dan Polri) yang telah diajukan kesidang pengadilan HAM Jakafrta Pusat serta telah
36
memperoleh putusan berkekuatan tetap, dimana dalam putusannya Abilio Soares dinyatakan bersalah, sedangkan untuk pejabat yang lain dinyatakan tidak terbukti bersalah dengan putusan bebas. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang. Pasal 46 : Ketentuan dalam Perpu ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Perpu ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Perpu tersendiri. c.
UU No.16 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No.2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang. Pasal 1 : Perpu No.2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 (Lembaran Negara RI tahun 2002 No.107, Tambahan
Lembaran
Negara
RI
tahun
2002
No.4233),
ditetapkan menjadi Undang-undang. Ketentuan asas retroaktif sebagaimana substansi undang undang tersebut telah diaplikasikan
yaitu
dalam menangani
perkara para pelaku peledakan Bom Bali, dimana para pelakunya telah disidang dan telah divonis dinyatakan terbukti bersalah dengan dijatuhi hukuman mati serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
37
d.
UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diundangkan pada tanggal 24 Desember 2002. Pasal 68 berbunyi “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9.” Pasal 70 yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1(satu) tahun seetelah Undang-undang ini diundangkan.” Ketentuan pasal kewenangan tersebut telah diaplikasikan dalam proses pemeriksaan terhadap Ir H.Abdullah Puteh, M.Si dalam perkara korupsi pembelian pesawat helikopter.
B.
Hukum Pidana Secara umum hukum pidana yang dianut di Indonesia apabila mengacu pada KUHP pada dasarnya menganut Asas Non Retroaktif. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.” Ayat (2)
berbunyi “Jika lalu undang-undang diubah, setelah
perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.” Dalam hal ini KUHP menganut adanya asas “Nullum delictum sine pravea lege poenali” yang berarti peristiwa tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu.
38
Bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan, dengan demikian berarti undangundang tidak mungkin berlaku surut. Apabila mencermati substansi KUHP tersebut mengandung prinsip yang mengharuskan bahwa ketentuan pidana haruslah ditetapkan kedalam suatu undang-undang yang sah. Disamping itu pula bahwa ketentuan pidana yang dituangkan dalam suatu undang-undang tidak dapat dikenakan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan sebelum adanya ketentuan pidana dalam undang-undang itu diberlakukan. Dengan demikian bahwa suatu undang-undang tidak dapat berlaku surut, sebagaimana yang dikenal dengan asas “Nullum delictum sine praevia lege poenali” yang berarti bahwa suatu peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu. Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan hukuman terikat pada undang-undang, oleh karenanya dengan adanya ketentuan ini, maka hak kemerdekaan seseorang akan lebih terjamin. Namun apabila dikaji dari aspek kepentingan kolektif atau untuk kepentingan negara, asas ini cenderung kurang dapat diterima, karena dapat dimungkinkan seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana yang berakibat banyak korban bisa lepas dari jeratan hukum, dan hal ini tentunya dapat merugikan kepentingan kolektif atau negara tersebut. Oleh karenanya dalam hal tertentu asas ini dikecualikan seperti misalnya dalam hal kejahatan perang atau terjadinya pelanggaran HAM berat. Demikian halnya di negara Indonesia berkaitan dengan penerapan
asas hukum pidana
39
pada prinsipnya menganut asas
hukum atau undang-undang tidak berlaku surut sebagaimana asas yang dinyatakan dalam pasal 1 KUHP tersebut. Namun dalam hal-hal tertentu dimana ternyata terjadi suatu tindak pidana yang berakibat banyak timbul korban, dalam penerapannya asas tersebut dapat diabaikan demi untuk kepentingan kolektif atau kepentingan negara, sebagaimana yang diberlakukan dalam UU No.39 tahun 1999, UU No 26 tahun 2000, UU No. 15 tahun 2003 dan UU No.16 tahun 2003 sebagaimana telah diuraikan diatas. 2.
Putusan Pengadilan Mencermati beberapa putusan pengadilan di Indonesia, sebagian telah menerapkan hukum berlakunya asas retroaktif sebagaimana ditentukan dalam beberapa undang-undang yang telah diuraikan tersebut diatas.
Adapun putusan Pengadilan
yang telah memberlakukan asas retroaktif
sebagaimana
tersebut dibawah ini. a.
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat yang telah mengadili mantan Gubernur Timor Timur (Abilio Soares dan beberapa mantan pejabat Timor Timur dari kalangan TNI
dan
Polri)
yang
dituduh
telah
melakukan
pelanggaran HAM berat pada masa diadakannya Jajak Pendapat tahun 1999. Bahwa berdasarkan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat, 01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST tanggal 7 Agustus 2002 yang diucapkan pada tanggal 14 Agustus 2002 dalam putusannya
menyatakan bahwa
Abio Jose Osorio Soares terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah
40
melakukan
tindak
pidana
pelanggaran
HAM yang berat berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan dan oleh karenanya dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Bahwa hal-hal yang menjadikan pertimbangan hakim antara lain : -
Bahwa tak ada seorangpun berada diatas hukum, bahwa tanggung jawab dipastikan pelaksanaannya dan bahwa tak akan ada pihak yang bisa lolos dari hukum karena kejahatan dimasa lalu atau masa depan;
-
Bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida termasuk kedalam kejahatan internasional, berdasarkan asas tersebut tidak dapat digunakan untuk membebaskan pelaku tindak pidana Internasional dari penuntutan dan penghukuman;
-
Bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sudah menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, orang yang
melakukan
(commission)
atau
tindak
pidana
pembiaran
kekerasan
(omission)
dapat
dituntut secara retroaktif b.
Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah melakukan pemeriksaan terhadap Bram Manopo tersangka tindak pidana
korupsi
yang
perkaranya
terjadi
sebelum
diberlakukannya Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tertanggal 27 Desember 2002.
41
c.
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dalam menangani perkara Nomor :
FDM-148/Denpa/2003 atas kejadian
peledakan Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. d.
Putusan
Mahkamah
013/PUU-I/2003
Konstitusi,
yang
perkara
memeriksa,
nomor
mengadili.
:
dan
memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan
permohonan
putusan
pengujian
dalam
perkara
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 16 tahun 1003 terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa peledakan Bom Bali yang terjadi tanggal 12 Oktober 2002. Adapun isi pokok putusannya adalah : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk pengujian Undang-Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Pada peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun1945. Menyatakan bahwa Undang-Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.1
Tahun
2002
Tentang
Pemberantasan Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UndangUndang
(Lembaran
Tahun2003
No.46,
42
Negara Tambahan
Republik Lembaran
Indonesia Negara
Republik Indonesia Nomor 4285) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Menyatakan bahwa Undang-Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.2
Tahun
2002
Tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4285) tidak mempunyai kekuatan huikum mengikat. C.
Mahkamah Internasional. Sejarah Pembentukan Mahkamah
Mahkamah Kejahatan
International. Keprihatinan
terhadap terjadinya kejahatan-kejahatan serius sudah
dimulai sejalan dengan perkembangan konsep mengenai HAM.Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila upaya international untuk mengani kasus- kasus kejahatan serius dan pelanggaran HAM juga memiliki akar historis yang sudah cukup lama. Secara garis besar, perkembangan upaya-upaya yang terwujud melalui pembentukan mahkamah-mahkamah
kejahatan
internasional
menjadi 4 (empat) masa , yaitu: a. Masa Pra Perang Dunia II b. Masa Mahkamah Nurm berg & Tokyo
43
bias
dibedakan
c. Masa ICTY & ICTR d. Masa ICC ( International Criminal Court )/ Mahkamah Kejahatan International.22 1. Masa Pra Perang Dunia II Bahwa hampir semua publicist sepakat terhadap International Militery Tribunal
Nuremberg
(selanjutnya
disebut
sebagai
Mahkamah
Nuremberg) yang muncul pada akhir Perang Dunia II merupakan peletak dasar bagi pembentukan mahkamah kejahatan internasional dalam sejarah modern. Namun sesungguhnya gagasan tentang pembentukan mahkamah kejahatan internasional telah dimulai pada masa sebelumnya. Menurut Sharp23 bahwa mahkamah kejahatan perang internasional yang tercatat pertama kali dibentuk adalah yang dibuat untuk mengadili Peter von Hagenbach24 pada tahun 1474. Dalam peradilan yang melibatkan dua puluh delapan negar-negara dibawah kerajaan Romawi
Suci
dipersalahkan
(The telah
Holy
Roman
melakukan
Empire),
pembunuhan,
Von
Hagenbach
perkosaan,
dan
kejahatan lain yang “melanggar hukum Tuhan dan hukum manusia” saat dia melakukan pendudukan militer. Melalui peradilan tersebut von Hagenbach dilucuti status kebangsawanannya dan kemudian di hukum mati. Sementara itu Cherif Bassiouni peradilan
terhadap pelaku
kehatan
mencatat bahwa
internasional pertama
kali
diselenggarakan pada tahun 1268 di NAPLES, ketika Conradin von
22
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material, Mahkamah Kejahatan Internasional, hal, 1 Walter Garry Sharp, Sr, International Obligatioan to Search for and Arerest International Criminals : Government Failerre in the Former Yugoslavia? “Duke Juornal of Comparative and International Law, 7-2000, p.417. 24 Cristopeher L.Blakesley, “Obstacles to the Creation of a war Crimes Tribunal” dalam Carotte Ku7 Paul F. Diehl (eds), international Law, Classic and Contempory Readings, Lynne Rienner Publisher, Boulder, Colorado, 1998, p.285. 23
44
Hohenstsaufen dijatuhi hukuman karena ia dianggap melancarkan perang yang tidak dibenarkan (unjust war). Dalam sejarah modern, upaya internasional untuk mengadili para penjahat perang pertama kali dilakukan lewat peradilan Leipzig yang dibentuk pada akhir Perang Dunia I. Berdasarkan perjanjian Versailles 1919 ( The Treaty of Peace Between the Allied and Associated Powers and Germany), Jerman selaku pihak yang kalah dalam Perang Dunia I diwajibkan untuk menyerahkan para tersangka pelaku kejahatan perang kepada pihak sekutu untuk diadili. Meskipun demikian, Jerman menolak menyerahkan 896 tersangka pelaku kejahatan perang yang diminta sekutu. Alih-alih menyerahkan mereka, Jerman memilih untuk mengadili sendiri empat puluh lima orang tersangka. Dari keempat puluh lima orang tersebut akhirnya hanya 12 orang yang benar-benar diajukan ke pengadilan. Dari antara kedua belas terdakwa, enam orang dinyatakan tidak bersalah, sedangkan sisanya enam orang dijatuhi hukuman ringan. Gagasan pembentukan makamah kejahatan internasional juga sempat muncul melalui Perjanjian Sevres 1920, yang merupakan perjanjian perdamaian antara pasukan Sekutu dengan kekaisaran Usmaniyah Turki. Perjanjian tersebut meletakan kewajiban bagai Turki untuk menyerahkan orang-orang yang disangka melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Namun melalui Perjanjian Lausanne 1923 pada akhirnya para pelaku “kejahatan terhadap kemanusiaan “ itu memperoleh amnesti.25
25
Christoper L. Blakesley , Op. cit. p..285.
45
2. Masa Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo Kegagalan untuk mengadili kejahatan internasional pada akhir Perang Dunia
II
tampaknya
mengilhami
negara-negara
Sekutu
untuk
mengadopsi model kejahatan mahkamah kejahatan internasional yang berbeda. Setelah melalui pembicaraan – pembicaraan di London dan Moscow pada tahun 1942-1943, pada akhirnya negara-negara Sekutu yang menyepakati Piagam London tanggal 8 Agustus 1945. Piagam London 1945 menjadi dasar bagi pembentukan Mahkamah Nuremberg yang merupakan forum untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman. Sebanyak dua puluh empat tersangka penjahat perang Jerman diajukan ke mahkamah tersebut dan sebagai hasilnya, sembilan belas tersangka dinyatakan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, sehingga mereka di jatuhi hukuman bervariasi, mulai dari hukuman penjara selama sepuluh tahun, seumur hidup hingga hukuman mati. Seperti telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Nuremberg dianggap memiliki arti penting bagi sejarah pembentukan mahkamah kejahatan internasional. Dalam konteks perkembangan hukum internasional, prinsip-prinsip penting yang diletakkan oleh Mahkamah Nurmberg adalah sebagai berikut 26. a. That the initiation and waging of aggressive war ia crime as is a conspiracy to wage aggressive war b. That the violation of the laws and customs of war is acrime. c. The inhumane acts upon civilians in execution of, or in conection with, aggressive war constitutes acrime.
26
Simi Singh, The Future of International Criminal Court(ICC), “ Touro International Law Review, vol,10. Spring 2000, p.5.
46
d. That individuals may be held liable for crimes committed by them pursuant to superior orders. e. That individual charged with a crime under international law is entitled to fair trial. Di antara prinsip- prinsip diatas, yang dianggap terpenting
bagi
perkembangan hukum pidana internasional adalah pertanggung jawaban individual (individual responsibility), irelevansi posisi politik pelaku kejahatan internasional, serta tidak dapat dipakainya argument perintah atasan ( superior order) untuk menghindar dari tanggung jawab pidana. Perkembangan selanjutnya, ketiga prinsip tersebut secara
kuat
tercermin
di
dalam
institusi
peradilan
kejahatan
internasional pasca Nuremberg. Meskipun
Mahkamah
Nuremberg
dianggap
penting
bagi
perkembangan hukum pidana internasional, nuansa politik yang menyertai pembentukannya telah memunculkan beberapa kritik yang terfokus pada kenyataan bahwa mahkamah ini di bentuk oleh Negaranegara yang keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Fakta ini menimbulkan kritik bahwa Mahkamah Nuremberg tidak lain adalah sarana bagi Negara-negara pemenang untuk melakukan “balas dendam” terhadap mereka yang dianggap bertanggung jawab atas meletusnya Perang Dunia II. Kritik bahwa Mahkamah Nuremberg ini tidak lebih dari sekedar penerapan “ victor’s justice” menjadi semakin kuat tatkala Mahkamah Nuremberg
mengintroduksi prinsip yang
dianggap bertentangan dengan asas hukum pidana universal, yakni prinsip ex post facto yang bertentangan dengan maxim “ nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege” atau “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”.
47
Sementara itu untuk kawasan timur jauh dibentuklah Mahkamah Tokyo dengan model yang kurang lebih sama dengan Mahkamah Nuremberg. Sebanyak dua puluh lima
pelaku kejahatan perang
Jepang diajukan ke mahkamah ini dan semua pelaku dinyatakan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Diantara dua puluh lima tersangka, tujuh orang terdakwa akhirnya dijatuhi pidana mati. 3. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia(ICTY). Runtuhnya kubu komunis pada akhir perang dingin telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap struktur politik internasional maupun domistik. Sebagaimana bagi negara-negara lain yang sebelumnya berada di bawah persekutuan Blok Timur, keruntuhan komunisme juga membawa implikasi yang luas bagi Yugoslavia. Negara federasi yang tampaknya solid dibawah komunisme ini ternyata harus menghadapi ancaman disintegrasi yang serius. Ketika cengkeraman
komunisme
atas
federasi
Yugoslavia
melemah,
sentimen etnis yang selama ini tertekan tiba-tiba muncul kepermukaan di antara republik-republik dibawah federasi Yugoslavia.27 Memanfaatkan melemahnya komunisme Republik Slovenia, Republik Kroasia, serta Republik Bosnia - Hersegovina secara berturut-turut memproklamirkan independensi mereka serta memutuskan untuk meninggalkan Federasi Yugoslavia. Etnik Serbia di Republik Serbia Negara bagian terkuat dalam federasi dan di republik- republik yang memisahkan diri ternyata menentang pemisahan diri tersebut, sehingga dimulailah siklus kekerasan antar etnik di wilayah bekas 27
Slovenia, Kroasia, Serbia, Bosnia, Montenegro, serta Macedonia, Arie Siswanto, Ibid, hal, 5.
48
Federasi Yugoslavia, khususnya di Slovenia, Kroasia, dan BosniaHersegovina. Dalam perkembangan selanjutnya , kekerasan juga menimpa Kosovo, satu propinsi di wilayah Serbia, yang memiliki komposisi etnis Albania Muslim (90 %) dan Serbia (10 %). Meski didominasi oleh etnis Albania semenjak pasukan Turki merebut Kosovo dari Serbia di tahun 1389, bagi etnik Serbia Kosovo dianggap memiliki arti penting dalam sejarah dan kebudayaan Serbia. Upaya propinsi ini melepaskan diri dari Serbia kemudian dijawab dengan kekerasan oleh Slobodan Milosovic. Meski diselingi oleh kesepakatan Rambouillet (Pebruari 1999), Slobodan Milosovic tetap melancarkan kampanye ethnic cleansing diwilayah ini. 28 Kekerasan etnik yang menyertai konflik Balkan ternyata merupakan salah satu yang terburuk semenjak peristiwa Holocaust yang menghabiskan enam juta orang Yahudi Eropa. Setelah PBB terlibat didalam upaya meredam konflik itu, cukup banyak anggota UN prace keepers yang justru menjadi korban.29 Apa yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia kemudian menjadi keprihatinan internasional, sehingga pada akhirnya Dewan Keamanan PBB dengan otoritas yang dimilikinya menetapkan konflik tersebut sebagai situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Selanjutnya , dengan Resolusi Nomor 827/1993 Dewan Keamanan menetapkan pembentuakan ICTY sebagai suatu lembaga peradilan internasional ad hoc yang dimaksudkan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat (gross violationa of human rights) di wilayah bekas Yugoslavia. 27 William Nester, International Relations, Politics and Economics in the 21 st Century, Wadsworth-Thomson Learning, Belmont, 2001, p.302. 29 Pada Akhir Maret 1995 tercatat tidak kurang dari 149 anggota UN peace keepers tewas dan 1366 lainnya luka-luka. Lihat Stanley Meisler, United Nations, the first Fiffty Years, Atlantic Monthly Press, New York, 1995, p. 313.
49
Jadi berbeda dengan Mahkamah Nuremberg dan Tokyo , pihak yang menentukan dalam upaya pembentukan ICTY ini adalah Dewan Keamanan PBB. 4. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Rwanda
adalah
Negara
di
Afrika
Tengah
yang
komposisi
penduduknya terdiri dari dua kel;ompok etnik utama yakni Hutu (85 %) dan Tutsi (14%). Pada tahun 1959, kelompok mayoritas Hutu melancarkan pemberontakan terhadap penguasa Rwanda yang didominasi oleh kelompok Tutsi. Satu tahun kemudian, Parmehetu , partai politik yang didominasi oleh etnik Hutu memegang kekuasaan. Pada bulan Desember 1963, kekerasan etnik meletus di Negara itu, serta mengakibatkan tewasnya 20.000 warga Tutsi yang melarikan diri keluar Rwanda beberapa kali mencoba melancarkan invasi dari Negara-negara tetangga, namun mereka selalu gagal. Setiap kali serangan kelompok Tutsi dapat dipatahkan, warga Tutsi yang masih berada di Rwanda selalu mengalami tindakan balasan yang keras.30 Pada tahun 1973, Juvenal Habyarimana melancarkan kudeta dan menjadi penguasa Rwanda hingga dua puluh satu tahun kemudian. Meskipun Habyarimana berusaha membuat program-program untuk melunakan ketegangan etnik, permusuhan antara kedua kelompok masyarakat di Rwanda tidak sepenuhnya reda. Pada tanggal 1 Oktober 1990, Front Patriotik Rwanda (RTF, Rwanda Patriotic Front) melancarkan serangan dari Uganda. Pemerintah Rwanda merespons serangan itu dengan penangkapan besarbesaran.
30
Sekedar menyebut satu contoh, pada akhir 1963 sebanyak 10.000 orang Tutsi tewas dalam serangan yang dilancarkan oleh kelompok Hutu, Arie Siswanto , Ibid, hal. 6.
50
Kira-kira sebanyak 10.000 orang (kebanyakan dari etnik Tutsi dan kelompok oposisi) dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses hukum yang adil. Konflik tersebut berlangsung hingga tahun 1992, seraya menelan ribuan korban jiwa dan sekitar 100.000 orang harus mengungsi. Pada awal tahun 1992 organisasi politik pendukung Habyarimana membentuk dua kelompok milisi, yaitu Interahamwe dan Impuzamugambi. Dengan dukungan dari militer Rwanda., dua kelompok milisi ini melancarkan pembunuhan terhadap 2000 warga sipil yang kebanyakan merupakan etnik Tutsi. Selama tahun 19921993
pemerintah
Rwanda
dan
RPF
sempat
melangsungkan
pembicaraan damai di Arusha, Tanzania, yang pada akhirnya melahirkan Arusha Accord pada
bulan Agustus 1993. Menurut
kesepakan itu kedua belah pihak setuju untuk melakukan demobilisasi, menciptakan satu angkatan bersenjata, menbentuk pemerintahan peralihan di bawah pimpinan perdana menteri yang diterima oleh kedua belah pihak, serta menyelenggarakan pemilihan umum multi partai yang juga diikuti oleh RPF.Oleh kelompok garis keras Hutu Arusha Accord dianggap sebagai suatu kekalahan, sehingga mereka menolaknya yang dirasa menggerogoti kekuasaan mereka. Sebelum Arusha Accord diterapkan secara efektif, kerusuhan etnik di Burundi pada bulan Oktober 1993 mengobarkan lagi ketegangan etnik di Rwanda.
Dalam
kondisi
seperti
itu,
kelompok-kelompok
milisi
memainkan peranan yang sangat penting. Pada
tanggal
6
April
1994,
pesawat
yang
ditumpangi
oleh
Habyarimana dan Ntaryamira (Presiden Burundi) jatuh didekat lapangan terbang Kigali. Kematian kedua kepala Negara tersebut kemudian menyulut kekerasan diseluruh penjuru Negara, karena
51
kelompok garis keras Hutu, menuduh RPF sebagai pihak yang menyebabkan matinya Habyarimana. Pada saat bersamaan, pasukan Hutu, pasukan pengawal Presiden dan kelompok milisi mulai memburu dan membunuh warga sipil dari etnik Tutsi dan dari etnik Hutu moderat. Kecelakaan pesawat udara itu juga menyulut kembali pertempuran antar pasukan Rwanda dengan RPF. Pada tanggal 18 Juli 1994, RPF bersama dengan pemerintah Rwanda dalam pelarian (goverment in flight) yang didominasi oleh kelompok Hutu moderat menyatakan kemenangan atas pasukan Rwanda dan membentuk pemerintahan bersatu. Sebelumnya pada tanggal 1 Juli 1994, Dewan Keamanan PBB mendorong dibentuknya Komisi Ahli (Commission of Experts)
yang
bertugas
melakukan
investigasi
dan
membuat
rekomendasi tentang Grave violations of international humanitarian law dan evidence of possible acts of genocide di Rwanda. Pada tanggal 29 September 1994, Komisi Ahli menyerahkan laporan awalnya kepada Dewan Keamanan, seraya merekomendasikan dibentuknya mahkamah kejahatan internasional untuk mengadili pelaku kejahatan perang dan genosida di Rwanda sejak tanggal 6 April 1994. Tanpa menunggu konklusi akhir dari hasil kerja Komisi Ahli, pada tanggal 8 Nopember 1994, memutuskan untuk membentuk mahkamah kejahatan internasional. Dalam kasus Rwanda, kebutuhan akan suatu mahkamah kejahatan internasional menjadi semakin mendesak karena tindakan pembalasan terhadap mereka yang dicurigai terlibat dalam pembantaian masal mulai dilancarkan. Sama seperti ICTY, pihak yang sangat menentukan pembentukan ICTY adalah Dewan Keamanan PBB.
52
B A B IV KOMPILASI ASAS RETROAKTIF
A.
PENDAPAT
PRO
DAN
KONTRA
ATAS
PENERAPAN
ASAS
RETROAKTIF I. PENDAPAT PRO a.
Kasus Terorisme 1.
Pemerintah dalam hal ini oleh Yusril Mahendra : - Bahwa pemberlakuan dua Perpu dalam waktu yang sama adalah wujud kehati-hatian pemerintah dalam menerapkan asas retroaktif. - Perpu tidak berlaku retroaktif, namun karena korban jiwa sangat besar dan terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan, maka demi keadilan dan pertimbangan-pertimbangan lain, Perpu tersebut diberlakusurutkan.
2.
Muladi : - Mendukung sepenuhnya pemberlakuan secara surut terhadap
Perpu
No.2/2002.
Pemberlakuan
secara
retroaktif penting karena peristiwa di Bali merupakan extra ordinary
crime yang korbannya luar biasa dan
berskala internasional. - Sekalipun itu melanggar asas legalitas, tapi dari segi keadilan sesuai dengan konstitusi Pasal 28I dan 28J itu dimungkinkan, tapi itu berlaku hanya untuk kasus itu saja.
53
3.
Nasrulah pengajar hukum pidana Fakultas Hukum UI : - Diberlakukan dimengerti
surutkannya secara
Perpu
akademis.
No.2/2002
dapat
menilai,
kasus
Ia
pemboman di Bali sebagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu asas legalitas dapat dikalahkan dengan asas retroaktif, demi kepentingan umum. - Apabila asas retroaktif itu tidak dikesampingkan maka akan justru menimbulkan dampak yang lebih luas bagi masyarakat. Jadi selalu dalam penerapan suatu undangundang kepentingan umum juga harus dijaga. Oleh karena itu, berlakunya asas retroaktif dalam Perpu No.2 itu secara akademis dibenarkan. - Bahwa Perpu tersebut tidak bolah diberlakukan untuk jangka waktu yang panjang. Perpu tersebut harus bersifat sesaat dalam rangka menyelesaikan kasuskasus yang genting dalam masyarakat. 4.
J.E. Sahetapy anggota DPR dari Komisi II : - Pemberlakuan
Perpu
secara
retroaktif
tidak
perlu
dipermasalahkan lagi. Alasannya, terorisme dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa dan ketentuan tersebut sebelumnya telah diberlakukan dalam UU tentang Pengadilan HAM. - Dalam konstitusi memang tidak ada hukum yang berlaku surut, tapi dalam kenyataannya untuk Pengadilan HAM berlaku surut dan DPR bisa mempertimbangkan hal itu. Oleh karena itu, tidak perlu lagi diributkan kalau HAM itu
54
dianggap suatu kejahatan yang luar biasa, hal itu juga berlaku sama saja untuk terorisme. 5.
Empat Majelis hakim Mahkamah Konstitusi : - Sebenarnya Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang menyinggung asas retroaktif tidaklah bersifat mutlak dan ada pengecualian. Hal ini dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. - Tafsiran
atas
Pasal
28I
UUD
1945
haruslah
memperhatikan kenyataan bahwa UUD hanya sebagian dari hukum dasar Negara. Untuk itu menjadi tugas hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan interprestasi atas ketentuan UUD apabila terdapat hal yang tidak jelas karena adanya kontradiksi antara satu pasal dengan pasal lain. - Bahwa penerapan asas non retroaktif haruslah juga diperkirakan apakah dengan menerapkan secara kaku demikian akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. - Satu
titik
keseimbangan
harus
ditemukan
antara
kepastian hukum dan keadilan. Dengan mencoba memahami arti pasal 28I UUD 1945 dengan tidak hanya mendasarkan pada teksnya saja, akan tetapi juga mempelajari pengertian asas tersebut dari sejarahnya, praktek dan tafsiran secara komparatif. 6.
Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah :
55
- Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini final dan mengikat. Namun begitu, ia menegaskan bahwa putusan MK atas UU No.16 tahun 2003 hanya berlaku kedepan dan tidak berlaku surut, atau retroaktif. 7.
Romli Atmasasmita : - Seharusnya MK tidak hanya mempertimbangkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, melainkan juga memperhatikan pembukaan UUD 1945 dan pasal 28J UUD 1945. - Pasal 28J memungkinkan negara untuk membatasi hak asasi
seseorang
jika
diperintahkan
berdasarkan
undang-undang dan untuk kepentingan yang lebih luas. - Harus dilihat secara keseluruhan dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya pasal 28I (yang diperhatikan), termasuk juga Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 untuk menciptakan kesejahteraan, ikut menertibkan perdamaian dan kedamaian dunia. - Bagaimanapun konstitusi harus melindungi (rakyat Indonesia) yang 200 juta ini yang sewaktu-waktu akan menjadi sasaran bom. 8.
Nurcholis Majid : - Bahwa peristiwa pemboman di Bali dipandang sebagai suatu kejahatan yang merupakan pelanggaran dan tantangan terhadap ajaran agama tentang kesucian nyawa, harta dan martabat manusia. - Pemberlakuan
asas
retroaktif
khususnya
dalam
penanganan kasus bom Bali telah ada hukum positif yang mengaturnya (Perpu 1/2002 jo UU 15/2003)
56
sehingga peradilan sebagai kebijakan aplikatif mengikuti dan
menerapkan
undang-undang
sebagai
hasil
kebijakan formulatif. Dari dimensi demikian ini peradilan kasus bom Bali dapat dibenarkan dari visi yuridis, hak asasi manusia, filosofis dan sosiologis.
B.
PUTUSAN PENGADILAN HAM DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.
Pengadilan HAM yang didasari dari UU No.26 tahun 2000 dengan ketentuan yang berlaku surut melalui pembentukan Pengadilan Ham Adhoc pada dasarnya sudah sejalan dengan hukum kebiasaan Internasional
yang
telah
diterapkan
dalam
Mahkamah
Militer
Nuremberg (1946), Mahkamah Militer Tokyo (1948), Mahkamah Ad Hoc Rwanda (1993) dan Mahkamah Ad Hoc Yugoslavia (1994). Namun justifikasi sama sekali tidak akan dapat lagi diterima sejak lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 22 Juli
004
tentang pembatalan pemberlakuan asas retroaktif. Hal ini disebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut didasarkan atas permohonan pengajuan judicial review pemberlakuan asas retroaktif, bukan mengenai masalah substansi dari UU No.15 tahun 2002 sejalan dengan pasal 281 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai asas berlakunya suatu undang-undang (asas non retroaktif), maka putusan tersebut memiliki implikasi pemberlakuan yang sama untuk semua jenis tindak pidana dan seharusnya tidak diterapkan secara
diskriminasi
karena
bertentangan
diperlakukan sama dimuka hukum.
57
dengan
hak
untuk
Bahwa
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
atas
pengajuan
permohonan judicial review UU No.16 tahun 2002 tidak komprehensif dan tidak bersifat elaboratif dan bahkan bersifat kontradiktif, terutama dilihat dari sudut kepentingan nasional bangsa dan NKRI dalam menghadapi kejahatan internasional dimasa yang akan datang. 2.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pemberlakuan surut UU No.15 tahun 2003 untuk kasus Bom Bali. Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu : a.
Membatalkan berlaku surut UU No.15 tahun 2003.
b.
Kasus Bom Bali bukan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), tetapi merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan secara kejam.
Dari substansi putusan tersebut dapat disampaikan pendapat : a.
Putusan
Mahkamah
keseimbangan
Konstitusi
perlindungan
tidak
mencerminkan
atas
kepentingan
tersangka/terdakwa perkara terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban Bom Bali. b.
Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang sifat kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa Bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam, justru menunjukkan kerancuan dalam pendekatan yang digunakan yaitu telah digunakan
pendekatan
hukum
ketatanegaraan
bukan
pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa Bom Bali sebagai tindak pidana terorisme
58
dan karenanya merupakan kejahatan yang luar biasa. Bahkan kualifikasi tindak pidana terorisme sebagai kejahatan yang sangat serius terhadap kemanusiaan telah ditegaskan dalam beberapa konvensi internasional tentang terorisme. Peristiwa Bom Bali jelas merupakan suatu tindak pidana yang telah menimbulkan akibat hilangnya nyawa dan hancurnya harta
benda
masyarakat
Bali
dan
menggoncangkan
perekonomian nasional khususnya masyarakat Bali. Pemberlakuan surut atas peristiwa Bom Bali pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang terpaksa dilakukan dalam keadaan darurat sejalan
dengan mandat kepada
pemerintah pasal 22 UUD 1945 dan perubahannya. Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 22 Juli 2004 mengenai pembatalan asas retroaktif terhadap peristiwa Bom Bali merupakan preseden yang tidak menguntungkan pemerintah baik kedalam negeri maupun hubungan luar negeri. Di dalam negeri
terkait
dengan
proses
peradilan
yang
sedang
berlangsung terhadap tersangka/terdakwa lainnya dalam kasus Bom Bali atau yang berkaitan dengan kasus tersebut. c.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.069/PUU/II/2004 tanggal 15 Februari 2005 yang substansinya antara lain : 1).
Dalam rumusan pasal 72 UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi jelas bahwa Undangundang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku kedepan (perspektif) yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002, artinya undang-undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tampus delictinya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan.
59
2).
Bahwa
sekiranya
tindakan
yang
dilakukan
Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap tindak pidana yang disangkakan sebagaimana
pemohon
(Bram
termuat
HD
dalam
Manoppo, surat
MBA)
panggilan
No.145/X/2004/P.KPK tanggal 8 Oktober 2004 dapat dinilai sebagai tindakan yang retroaktif, maka hal tersebut tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas materi undang-undang a quo, melainkan masalah penerapan undang-undang yang berlaku merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. 3).
Bahwa
suatu
ketentuan
mengandung
pemberlakuan
hukum secara retroaktif (expost facto law) jika ketentuan dimaksud a.
Menyatakan seorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
b.
Menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat dengan hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
4).
Bahwa pasal 68 Undang-undang a quo sama sekali tidak mengandung salah satu dari dua unsur dimaksud, sebab pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan pasal 68 adalah tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang secara logis berarti tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan
60
yang
penanganannya
diambil
alih
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi.
II. PENDAPAT YANG KONTRA Apabila kita mencermati dalam Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi, antara lain dinyatakan bahwa: 1) TIndak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2001
tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) Penyelenggaraan
Negara
adalah
penyelenggara
Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 3) Pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
adalah
serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penututan, dan pemeriksaan di pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengapa pemerintah memberi kekuasaan yang seluas-luasnya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Dalam pasam 9 dinyatakan antara lain sebagai berikut:
61
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan alasan. a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsure korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana karena campur tangan dari eksekutif, legislatif, yudikatif, atau f. keadaan
lain
yang
menurut
pertimbangan
kepolisian
dan
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diberi tugastugas, wewenang dan kewajiban yang sangat luas. Komisi ini menjadi lembaga terakhir dari satu-satunya harapan untuk menegakan hukum guna memberantas korupsi sampai keakarakarnya, sehingga komisi ini diberi kewenangan dan tugas yang luar biasa, extra ordinary, bagi pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan yang luar biasa31. Dikatakan bahwa korupsi merupakan masalah multi dimensi yang tidak saja berkaitan dengan masalah huum tetapi menyangkut pula aspek sosial budaya, aspek psikologis maupun aspek filosofis. Sehingga yang menjadi akar permasalahan adalah keberadaan dan tumbuh suburnya korupsi tidak semata-mata 31
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H.,.LL.M, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 12.
62
berada pada aspek hukum, melainkan terletak pula pada aspek lainnya. Sementara itu ketika meberikan kesaksiannya32. Sejalan dengan pendapat tersebut maka Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H,33, dalam sebuah tulisannya, menyatakan antara lain bahwa: Kita suka mengobral pendapat, korupsi di negeri ini merupakan kebejatan yang berdimensi yang luar biasa. Maka cara-cara yang digunakan untuk menghadapi juga berkualitas luar biasa. Ini berarti tidak tradisional dan konvensional, tetapi terbuka untuk bertidak lebih progresif dan berani melakkukan pembebasan. Penjagaan dan pemaknaan terhadap Undang-Undang Dasar tidak boleh dibelenggu doktrin, asas, dan teori status quo. Lebih lanjut dikatakan bahwa, keinginan untuk memberantas korupsi bukan hal yang baru, bukan ditandai garis start 27 Desember 2002, tetapi sudah sejak 30 tahun. Lalu mengapa para terdakwa koruptor harus menikmati kelonggaran release and discharge?. Perdebatan tentang penggunaan asas retroaktif tidak menyentuh substansi karena sudah lebih dari 30 tahun kita ingin melakukan pemberantasan korupsi yang kini semakin parah. Jadi, yang kita hadapi dalam kontroversi penggunaan asas retroaktif sebenarnya telah menyangkut hal substansial. Penggunaan asas retroaktif memang bias menjadi masalah besar jika kita meproyeksikannya pada latar belakang alam pikiran hukum liberal. Disitu asas non retroaktif menjadi salah satu pilar penting untuk mengamankan bastion perlindungan individu. Untuk itu, prosedur menjadi andalan.
32
Prof. Dr. R omli Atmasasmita, S.H.,.LL.M, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik & Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret, 2005, hlm. 56. 33 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Mengadili Korupsi Mengapa dipersulit?, Kompas, Opini, Selasa, 1 Maret 2005
63
Kemudian Prof. Satjipto menyatakan, dalam suasana serba luar biasa ini, marilah kita bertindak progresif dengan berani membebaskan diri
dari
dominasi
teknikalitas,
prosedur,
doktrin,
serta
asas
konvensional, jika itu membelenggu kita untuk keluar dari penderitaan. Aneka putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya berkuallitas milestone dalam perjalanan negara hukum. Kehadiran MK yang progresif saat ini amat dibutuhkan. Progresif berarti tidak submitif, pasrah bongkokan terhadap kata-kata, terhadap doktrin, dan asas yang dominan. Kata kuncinya adalah berani melakukan pembebasan. UUD akan menjadi living constitution hanya jika penjaganya berddikasi tinggi untuk membebaskan diri dari absolutisme pikiran dan teori serta dari penjara positivisme yang kaku dan dogmatis. Hukum, UUD bukan hanya peraturan dan logika, tetapi lebih pada itu memiliki tujuan sosial lebih mulia untuk rakyat. Tak kurang dari Ketua Komisi III DPR Teras Narang34 dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi antara lain bahwa: UU No.30 tahun 2002 adalah perintah UU No.31 tahun 1999. Tindak pidana korupsi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). DPR memberi kewenangan kepada KPK untuk mengambilalih semua tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai. Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan tidak lagi menjadi masalah lokal, tetapi internasional. Itu ditegaskan dengan adanya United Nation Convention Against Corruption yang berisi keprihatinan negara pesrta konvensi atas gawatnya masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi yang merusak nilai demokrasi, nilai dan keadilan. Kalau PBB menganggap korupsi sebagai kejahatan biasa 34
Teras Narang, Ketua Komisi III DPR, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik & Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret, 2005, hlm. 56.
64
biasa saja35. Hal yang demikian dikatakan oleh Ketua KPK tersebut, ketika menjadi saksi dalam Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dikatakan bahwa: Pasal 68 UU No.30/2002 tidak bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Bram Mannopo tidak dijerat dengan pasal 68 UU No.30/2002 melainkan dengan pasal 6 c UU No.30/2002. Tak ada pelanggaran hak konstitusional pemohon.
35
Taufiequrahman Ruki, Ketua KPK, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik & Hukum, Kompas, 5 Maret, 2005, hlm. 56.
65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN / REKOMENDASI
A.
KESIMPULAN Pada bagian akhir dari tulisan ini akan diuraikan beberapa kesimpulan antara lain : bahwa pandangan pertama tersebut menitik beratkan pada pandangan Legal Justice yang semata-mata hanya mengutamakan adanya kepastian hukum. Sedangkan pada pandangan kedua menitik beratkan pada sudut pandang Moral Justice yaitu tidak hanya mengharapkan adanya kepastian hukum saja, akan tetapi memandang hukum sebagai SUBSTANTIF artinya melihat hukum dari segi kepastian hukum dan rasa keadilan serta kemanfaatan. Dengan secercah harapan sebagaimana telah tersurat dan tersirat didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 1.
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia pada dasarnya menganut
asas non retroaktif sebagaimana yang dikenal
dengan asas “nullum delictictum sine prave lege poenali” yang secara tegas tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari perbuatan itu.” Dalam perkembangannya asas ini telah dipertegas lagi secara konstitusional keadalam UUD 1945 pada pasal 28I, demikian
66
pula kedalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimuat pada pasal 4. 2.
Meskipun yang dianut dalam sistem hukum pidana adalah asas non retroaktif, namun dalam praktek hukum khususnya dalam menghadapi kasus tertentu, diterapkan pula asas retroaktif. Sebagai landasan hukum penerapan asas ini telah dikuatkan kedalam
undang-undang
sesuai
obyek
kasus
yang
diberlakukan asas retroaktif yaitu UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
UU No.15 tahun 2003 dan UU No.16
tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. 3.
Dalam aplikasi penerapan asas retroaktif sesuai undangundang tersebut khususnya yang mengatur tentang Terorisme ternyata timbul reaksi pro dan kontra, yang puncaknya dengan dikeluarkannya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
yang
menyatakan bahwa UU No.15 tahun 2003 dan UU No.16 tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dengan
keluarnya putusan tersebut sudah tentu dapat berimplikasi terhadap proses penanganan perkara peledakan Bom Bali baik yang telah maupun yang sedang dalam proses penanganan oleh penegak hukum. 4.
Bahwa dari beberapa ahli hukum, para praktisi hukum dan para politisi selama ini dalam menanggapi tentang asas retroaktif dalam penerapan hukum pidana di Indonesia terutama terhadap tindak pidana terorisme masih banyak terjadi beda pendapat.
Hal
ini
terlihat
dengan
munculnya
berbagai
tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi No.013/PUUI/2003 terkait dengan pemberlakuan UU No.15/2003 tentang
67
pemberlakuan Perpu No.1/2002 dan UU No.16/2003 tentang pemberlakuan Perpu No.2/2002. Dalam hal ini Tim sependapat dengan para pihak yang menyatakan
apabila
terhadap
tindak
pidana
terorisme
diberlakukan asas retroaktif. Oleh karenanya akan lebih tepat apabila dalam kompilasi ini dimasukan saran/rekomendasi Tim, yang esensinya memuat agar kiranya istilah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) pada kejahatan tertentu seperti terorisme dirummuskan sebagai extra ordinary crime yang dimuat dalam draf RUU KUHP. Dengan rumusan istilah tersebut akan lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi hukum pidana di Indonesia. 5.
Tim ada kecenderungan untuk menerima Asas Retroaktif, dalam hal ini tidak pada setiap tindak pidana, tetapi tindak pidana yang sangat luar biasa, misalnya terhadap kasus terorisme.
68
2.
SARAN/REKOMENDASI
1.
Perlu perumusan kembali tentang pengertian extra ordinary crime untuk dijadikan sebagai suatu kaidah hukum atau setidaktidaknya sebagai kaidah penunjuk.
2.
Perlu diteliti kembali dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum baru, dalam hukum positif kita, khususnya kaidah hukum formal maupun hukum materiil.
69
DAFTAR PUSTAKA -
Affandi Wahyu, Hukum dan Hukum dalam Praktik, Alumni, Bandung, 1978
-
Agus Riewanto, Pelanggaran HAM dan Asas Retroaktif, Semarang, Suara Merdeka, 18 Februari 2002, hlm. 5
-
Andi Hamzah, Beberapa Catatan Tentang Asas-asas Hukum Pidana Dalam Perbandingan, Makalah, Semarang, 26-27 April 2004
-
Amir Syamsudin, Kompas, 3 Juli 2004
-
Andi Hamzah, Saksi di Mahkamah Konstitusi Politik dan Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret 2005, hlm. 56
-
Aris
Siswanto,
Yurisdiksi
Material,
Mahkamah
Kejahatan
Internasional, hlm.1 -
Barda Nawawi Arief; Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003
-
Bemmelen, J.M. Van Hukum Pidana I, Hukum Pidana 2, Hukum Pidana 3, Bina Cipta, Bandung, 1986
-
Chaidir Ali, Yursiprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana Korupsi, Bina Cipta, Jakarta, 1979
-
Cristopeher L. Blakesley, “Obstacles to the Creation of a war Crimes Tribunal” dalam Carotte Ku7 Paul F. Diehl (eds), International Law, Classic and Contempory Readings, Lynne Rienner Publisher, Boulder, Colorado, 1998, pg. 285
-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001
-
Departemen Perundang-undangan. RUU/KUHP, 1999/2000
-
Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 492
70
-
Hamzah, Andi, Delik-delik yang tersebut di luar KUHP, Paradnya Paramita, Jakarta, 1980
-
Henry Campbell Black, MA, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition
-
Indrianto Seno Adji, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Yang Objektif, Jakarta, Kompas, 2 Februari 2002, hlm. 4
-
Komariah Emong, Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pembentukan Asas-asas Hukum Pidana, Makalah, Semarang, 26-27 April 2004
-
Lamintang, Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sumur Batu, hlm. 134, 1983
-
Lamintang, PAF., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984
-
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 141
-
MPR, Ketetapan Nomor X/MPR/1998
-
Muljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Dalam Hukum Pidana, Yogjakarta, Badan Penerbit Gajah Mada, 1995, hlm. 25
-
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.25
-
Muladi, Demokratisasi Hak Azasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002
-
Marpaung Leden, Asas-asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
-
Prodjodikoro Wirjono, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003
-
R.
Soesilo,
Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana
Serta
Komentarnya, Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor Politea, 1996, hlm. 27
71
-
R. Ahmad S. Soemadipradja, Hukum Pidana dalam Yurisprudensi
-
Romli Atmasasmita, Korupsi, Dood Govermance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 12
-
Romli Atmasasmita, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik dan Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret 2005, hlm. 56
-
Sunaryati Hartono, Kompilasi Bidang Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, BPHN, Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, Tahun, 1999/2000
-
Simi Singh, The Future of International Criminal Court (ICC), Touro International Law Review, vol. 10, Spring, 2000, pg. 5
-
Satjipto Rahardjo, Mengadili Korupsi Mengapa/Dipersulit?, Kompas, Opini, Selasa, 1 Maret 2005
-
Teras Narang, Ketua Komisi III DPR, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik dan Hukum, Kompas, Sabtu, 5 Maret 2005, hlm. 56
-
Taufiequrahman Ruki, Ketua KPK, Saksi di Mahkamah Konstitusi, Politik dan Hukum, Kompas, 5 Maret 2005, hlm. 56
-
Walter Garry Sharp, Sr, International Obligatioan to Search for and Arerest International Criminal : Government Failerre in the Former Yugoslavia? Duke Juornal of Comparative and International Law, 72000, pg. 417
-
William Nester, International Relations, Politics and Economics in the 21 st Century, Wadsworth-Thomson Learning, Belmont, 2001, pg. 302
-
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm. 42, 2003
-
Universal Declaration of Human Right, 1948
72
-
Undang-undang Disarm 1945 Amandemen I, II, III, IV, Bina Pustaka Tama, Surabaya, 2002
-
Pada Akhir Maret 1995 tercatat tidak kurang dari 149 Anggota UN Peace Keepers Atlantic Monthly Press, New York, 1995, pg. 313
-
Sekedar menyebut satu contoh pada akhir 1963 sebanyak 10.000 orang Tutsi tewas dalam serangan yang dilancarkan oleh kelompok Hutu, Arie Siswanto
73
DAFTAR RUJUKAN
ATMASASMITA, ROMLI, Pengantar Hukum Pidana Internasional; Refika Aditama; 2000 ---------------------------------- Pengaturan Terorisme Dilihat Dari Sudut Hukum Internasional Penerbit Percetakan Atkins, Richard D.,
dan
Hukum
Nasional;
Negara; 2002 The Alleged Transnational Crime; Martinus Nijhoff Publisher & Internasional Bar Association;
1995 Bossard, Andre.,
Transnational Cime and Criminal Law; Office Of International Criminal Justice. 1990
Bodansky, Joseph.,
Bin Laden: The Man Who Declared War on
America; Dyzenhaus, Ralf.,
Prima Publishing; California; 1999 Legality and Legitimacy; Oxford University Press;
1999 Emmers, Ralf.,
Non-Traditional Security in
Eastern
The Asia-Pasific;
University Press; 2004
Felson, Richard B.& Tedeschi, James T., Aggression and Violence; SocialInteractionist Perspective; The American Psychological
Assoc; 1993
Kadsh, Sanford.,
Encyclopedia of Crime and Justice; Vol I – III; The
Free
Press; 1983
Neuner, Matthias.,
National Legislation Incorporating International
Crimes;
Approaches of Civil and Common Law
Countries;
Berliner Wissenchaft-Verlaf GmBH;
2003
74
Robertson, QC, Geoffrey, Crimes Againts Humanity: The Struggle For Global Remmelink, Yan,
Justice; Penguin Books; 2000 Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP
Indonesia; PT. Sulistio, Hermawan, Teror
Gramedia Pustaka Utama; 2003 Bom Bali; Buku Putih Tidak Resmi Investigasi Bom Bali; Pensil – 234; 2002
Wise, Edward, & Podgor, Ellen S., International Criminal Law: Cases And Materials: Lexis Publishing; 2002
75
Lampiran 2 PERSOALAN BERKAITAN DENGAN UU NO. 22 TAHUN 2003
1. Mr X sebagai pedagang minyak pelumas berupaya memperoleh keuntungan yang lebih dengan melakukan pengoplosan oli yang kemudian dikemas dalam bentuk tabung / keleng dan ditempel merk Mesran sebagaimana biasa terdapat di pasaran yang diperjual belikan pada took / kios minyak pelumas yang banyak terlihat disepanjang jalan. Pada suatu waktu iketahui seorang pembeli bahwa oli tersbut bukan asli dari merk Mesran yang sering dia gunakan. Hal tersebut diketahui setelah diteliti ternyata warna oli berbeda dengan yang biasa dia beli, disamping itu suara mesin menggelitik dan mengeluarkan asap dan ternyata diperoleh informasi beberapa temannya yang pernah membeli oli disitu juga mengalami hal sama Oleh karenanya yang bersangkutan curiga dan merasa dirugikan, kemudian melapor ke Polisi atas kejadian tersebut. Asumsi bahwa hasil penyidikan polisi ternyata terbukti dan telah diakui oleh Mr X sebagai tersangka benar telah melakukan pengoplosan oli dan menjualnya ke masyarakat umum. Persoalan :
76
Jelaskan dan berikan argumentasi kemungkinan unsur-unsur pidana apa saja yang dapat disangkakan terhadap Mr X.
2. Mr Y sebagai pedagang eceran BBM menjual premium dan minyak tanah di kiosnya di pinggir jalan raya yang cukup rame arus lalu lintas kendaraan bermotor. Sesuai dengan pengalamannya bahwa dengan adanya rencana kenaikan harga BBM cenderung terjadi kelangkaan BBM. Mempelajari situasi yang demikian Mr Y
berupaya untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan cara mencampur bensin dengan minyak tanah dengan total sebanyak 5 ton. Kemudian bensin campuran tersebut
dimasukkan kedalam drum-
drum dan disimpan digudang miliknya, yang menurut rencana akan dijual setelah nanti harga bensin sudah mulai naik. Pada suatu saat Polisi menerima informasi tentang adanya penyimpanan bensin sebanyak 5 ton tersebut. Persoalan : Jelaskan dan berikan argumentasi langkah-langkah yang harus dilakukan pihak Polisi dan kemungkinan unsur-unsur pidana yang dapat disangkakan terhadap Mr Y.
77
Lampiran 3 PENDAPAT HUKUM ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.003/PUU-IV/2006 TANGGAL 25 JULI 2006
1. DASAR PEMERIKSAAN Pemeriksaan, mengadili dan putusan
perkara konstitusi
didasari adanya permohonan hak uji materi atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir Dawud Djatmiko selaku karyawan PT Jasa Marga yang ditahan sejak tanggal 28 Juni 2006 sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road, yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
2. POKOK PERMOHONAN Masalah pokok yang dimohonkan, bahwa kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU PTPK beserta penjelasannya masingmasing bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 3. ISI PUTUSAN
78
Isi pokok putusan Mahkamah Konstitusi adalah : a. Menyatakan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun daalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Menyatakan
Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No.134,
79
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
No.4150)
sepanjang frasa yang berbunyi : “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. PENDAPAT HUKUM a. Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pemohon. b. Dengan telah diputusnya perkara atas permohonan uji materi UU PTPK terhadap UUD 1945, maka Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006 telah mempunyai kekuatan hukum tatap dan bersifat mengikat. c. Bahwa mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka terhadap perkara Tindak pidana korupsi yang
80
dituduh memenuhi unsure pasal 2 ayat (1) diberlakukan ketentuan sebagaimana bunyi putusan dimaksud. d. Dengan ketentuan sebagaimana tersebut huruf d diatas, maka perkara tindak pidana korupsi yang sedang dalam proses penyidikan sudah tentu segera menyesuaikan, sehingga dengan demikian dalam hal penerapan pasal menggunakan unsure pasal yang betentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai keliru penerapan hukum dengan konsekuensi bahwa bagi tersangka yang dilakukan penahanan harus segera dikeluarkan dan pihak penyidik sudah sepatutnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
81
Lampiran 4 MENGKRITISI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERTANGGAL NOMOR 013/PUU-I/2003 22 JULI 2004
Putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) tertanggal 22 Juli 2004 merupakan putusan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bersifat controversial dan sekaligus merupakan “landmark” dalam tata hukum dan perundang-undangan serta proses peradilan di Indonesia. Putusan MK tersebut merupakan langkah berani
untuk menunjukkan kemandiriannya
sebagai “the guardian of the Constittution” di Republik ini. Makalah ini akan meneliti
sejauh
manakah
putusan
MK
sudah
dilandaskan
kepada
pertimbangan yang komprehensif dan akurat, yaitu 1.
Mengenai pembatalan asas retroaktif untuk peristiwa bom bali;
2.
Mengenai peristiwa
bom
bali bukan kejahatan luar biasa
(extraordinary crimes), 3.
Hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) yang dilakukan secara kejam sehingga tidak juga tepat ditempatkan sebagai
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
(crimes
against
humanity). Mengenai hal pertama, Pendapat dan putusan MK yang menegaskan bahwa asas nonretroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkosisten dengan pengakuan MK bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat. Selain itu, sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Adhoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non-retroatif merupakan asas partikularistik dan
82
bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal. Pengakuan MK tersebut juga tidak sejalan dengan esensi teori Kelsen itu sendiri, “Pure Theory of Law” yang mengharamkan muatan politis dalam proses legislasi, dan juga tidak mengakui teori kausaliteit (sebab akibat) sebagaimana telah diakui dalam dunia ilmu pengetahuan pada umumnya termasuk pendidikan ilmu hukum pidana. Hal ini terbukti dari obsesi Kelsen untuk menempatkan status yang bersifat “scientific” ke dalam teori hukumnya dengan mengatakan antara lain “..the idea was to develop those tendencies of jurisprudence that focus solely on cognition of the law rather than on he shaping of it, and to bring the results of this cognition as close as possible to the highest values of all science: objectivity and exactitude” (Dyzenhaus, 1997). Secara singkat Dyzenhaus menegaskan obsesi Kelsen, dengan mengatakan “law has to be understood scientifically, but not in the sense of an explanation of natural events in terms of causal laws” Sedangkan pemberlakuan asas retroaktif terhadap peristiwa bom bali justru bertumpu kepada teori kausaliteit sehingga yang dipermasalahkan bukan semata-mata perbuatan pembomannya itu per se melainkan juga akibatnya yang berdampak sangat luar biasa terhadap kehidupan ekonomi, sosial dan bidang penegakan hukum baik dilihat dari aspek kepentingan nasional dan internasional. Teori Kelsen dalam konteks kasus bom bali justru telah menempatkan hukum dan penegakan hukum dalam sangkar menara gading yang dibutakan terhadap kenyataan yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia khususnya pada masyarakat di Propinsi Bali, dengan segala akibatnya, sehingga penerapan teori kelsen secara murni tidak cocok diterapkan secara mutlak ke dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang tengah memasuki masa transisi saat ini. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 atas peristiwa bom bali dan mengabaikan sama sekali
83
teori sebab akibat, menunjukkan ketertinggalam pemikiran MK dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum. Begitu pula penerapan teori Kelsen sedemikian jelas tidak sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang fungsi dan peranan hukum dalam alam pembangunan yang sudah diletakkan baik dalam GBHN maupun dalam
Undang-undang Nomor 14
tahun 1970 yang telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman vide Pasal 27 ayat 1 dimana hakim diwajibkan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Jika kita meneliti bahwa MK kedepan juga akan melakukan judicial review seluruh produk perundang-undangan yang dipandang bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan perubahannya, meliputi baik dalam bidang hukum, agama, pendidikan, budaya, politik maupun ekonomi, jelas sangatlah naïf jika MK yang merupakan “the guardian of the Constitution” di Republik ini masih
mengadopsi secara
kuat
alam
pikiran
Kelsen
hanya
untuk
mempertahankan satu pasal saja yaitu Pasal 28 I, dan tidak secara elaboratif dan komprehensif menganalisis ketentuan Pasal 28 J dalam konteks NKRI. Juga dianutnya pemikiran Kelsen tidak lagi cocok dengan pemikiran yang berkembang dalam masa menegaskan,
bahwa
pembangunan
perkembangan
hukum
hukum
di Indonesia
akan
selalu
yang
mengikuti
perkembangan masyarakat, dan sebaliknya perkembangan hukum dalam masyarakat tidak akan terjadi (tercipta) jika tidak dilandaskan kepada perkembangan kesadaran hukum masyarakatnya. Penerapan teori Kelsen dalam peristiwa bom bali sama sekali mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban bom bali dan keluarganya dan dengan menempatkan sisi kepastian hukum di atas segalanya, MK telah memisahkan secara tegas antara sisi kepastian dan keadilan; seharusnya kepastian
84
hukum diterapkan dalam kerangka memenuhi keadilan yang lebih besar bagi bangsa Indonesia. Pertimbangan MK yang secara gamblang menganut teori hukum murni (Kelsen) dengan tidak mempertimbangkan sama sekali keadaan-keadaan yang menjadi pertimbangan pemerintah mengenai latar belakang pemberlakuan surut UU Nomor 15 tahun 2003 dengan UU Nomor 16 tahun 2003 yang secara tegas merujuk kepada Pasal 22 UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam Keterangan tertulis Pemerintah tanggal 2 Januari 2004, sangatlah tidak bijaksana dan tidak objektif karena pertimbangan tersebut MK telah menempatkan posisi pemerintah (Negara) pada pihak yang dilemahkan, sedangkan MK seharusnya sudah memahami betul bahwa pemberlakuan surut UU Nomor 15 tahun 2002 tidak mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan untuk memberlakukannya, yaitu suatu pemerintahan yang juga bekerja berdasarkan UUD 1945 dan perubahannya (Pasal 22). Dengan demikian
putusan
MK
tersebut
tidak
mencerminkan
keseimbangan
perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa perkara terorisme dengan perlindungan atas hak suatu Negara yang berdaulat dan korban bom bali. Jika Ketua MK selalu berkata bahwa untuk tujuan yang mulia tidaklah harus menggunakan cara-cara yang tidak mulia (pemberlakuan surut), pendapat tersebut justru mengabaikan seluruh keterangan tertulis yang disampaikan pemerintah mengenai pemberlakuan surut untuk kasus bom bali pada tanggal 2 Januari 2004, kecuali pendapat dan pembelaan penasehat hukum dari tersangka bom bali saja yang dipertimbangkan dan diakui. Dalam beberapa konvensi internasional dan resolusi DK PBB dan Konvensi Organisasi Negara-negara
Islam (OKI) yang telah dikeluarkan
untuk
menghadapi kegiatan terorisme, memang belum ada definisi komprehensif sehingga definisi terorisme masih bersifat “sectoral definition” dan belum merupakan “one comprehensive definition”. Hal ini tidaklah harus diartikan bahwa setiap Negara tidaklah berwenang, untuk menetapkan definisinya
85
sendiri dengan mempertimbangkan kepentingan nasional Negara yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan beberapa Konvensi internasional mengenai terorisme dan resolusi DK PBB dan Konvensi OKI tentang pemberantasan terorisme. Bahkan ketiadaan definisi comprehensive tersebut justru tidak menyurutkan langkah setiap Negara untuk menetapkannya dalam undang-undang anti terorisme Negara yang bersangkutan. Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap berpedoman kepada tiga paradigma yaitu prinsip perlindungan Negara (State’s protection), perlindungan tersangka (offender’s protection) dan perlindungan
korban
(victim’s
protection)
dengan
tidak
memisahkan
paradigma satu dengan yang lainnya sehingga merupakan tritunggal. Dalam prinsip tersebut tetap diberlakukan terhadap peristiwa bom bali. Sehingga pertimbangan putusan MK yang menegaskan bahwa Undang-undang Nomor 16 tahun 2002 yang memberlaukan surut Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 merupakan pelanggaran atas hak asasi tersangka tidak tepat, dan menyesatkan, karena yang diberlakukan surut tersebut justru UU yang memuat ketiga paradigma tersebut di atas. Pertimbangan dan pendapat MK tentang sifat kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crimes), justru menunjukkan kerancuan dalam pendekatan yang digunakan yaitu telah digunakan pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa bom bali sebagai tindak pidana terorisme dan karenanya merupakan kejahatan yang luar biasa. Bahkan kualifikasi tindak pidana terorisme sebagai kejahatan yang sangat serius terhadap
kemanusiaan
telah
ditegaskan
dalam
beberapa
Konvensi
Internasional tentang terorisme. Konvensi OKI tentang Pemberatasan
86
Terorisme (1999) yang dihasilkan pada Sidang Luar Biasa OKI di Burkina Faso tanggal 28 Juni – 1 Juli 1999; telah menegaskan secara eksplisit antara lain “Believing that terrorism constitutes a gross violation of human rigjhts, in particular the right to freedom and security as well as an abstacle to the free functioning of institutions and socio-economic development as it aims at destabilizing States”. Komentar umum yang disampaikan dalam diskusi pada sidang keenam Komisi PBB untuk Terorisme,
bulan
Oktober
2003,
khusus
mengenai
“Comprehensive
Convention on Terrorism”, ditegaskan bahwa, “International terrorism poses the most serious threat to international peace and security”. Kedua pendapat dan sikap masyarakat internasional tersebut secara gamblang
menunjukkan
bahwa,
terorisme
merupakan
kejahatan
kemanusiaan, sekalipun belum secara formal ditempatkan sebagai salah satu kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC. Atas dasar fakta tersebut jelas bahwa, pendapat dan penilaian kelima Hakim majelis MK bahwa peristia bom bali bukan “estra-ordinary crimes”, dengan tanpa meminta para ahli hukum pidana internasional atau para penyusun UU Nomor 15 tahun 2003, terlebih dahulu; jelas terlalu dini dan sangat ceroboh. Yang pasti hanya dengan teori Von Buri atau Von Kries peristiwa bom bali tersebut dapat diungkapkan dengan tuntas dan menyeluruh daripada teori Kelsen. Peristiwa bom bali jelas merupakan suatu tindak pidana yang telah menimbulkan akibat hilangnya nyawa dan hancurnya harta benda masyarakat Bali, dan menggoncangkan perekonomian nasional khususnya masyarakat Bali. Aliran Kelsenian semata-mata tidaklah cocok digunakan untuk menganalisis peristiwa bom bali yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes); apalagi aliran tersebut turut dipertimbangkan dalam meneliti hubungan sebab akibat dari peristiwa tersebut. Pertimbangan MK bahwa karena peristiwa bom bali merupakan kejahatan biasa dan dapat diterapkan
87
UU yang sudah ada (KUHP) dan KUHAP, adalah merupakan konsekuensi logis dari kekeliruan penilaiannya terhadap kualifikasi kejahatan atas peristiwa bom bali sehingga dapat disimpulkan bahwa MK tidak mengetahui dan mendalami sepenuhnya hukum pembuktian yang telah berlaku sejak tahun 1981 dalam perkara pidana di Indonesia. Kelima Hakim MK bahkan tidak memahami bahwa KUHP peninggalan pemerintah Kolonial Belanda tidak memuat unsur-unsur ketakutan yang luar biasa, unsur korban massal (indeterminate victims), dan unsur “organized” yang merupakan unsur pokok dalam tindak pidana terorisme serta
perbuatan menyembunyikan (safe
harbor rules), perbuatan memberikan kemudahan dan memfasilitasi; yang kesemuanya tidak diatur sama sekali dalam KUHP. Begitu juga alat bukti elektronik yang sering digunakan dalam kegiatan terorisme. Pendapat dan pertimbangan MK bahwa telah ada peraturan perundang-undangan yang berlaku ketika terjadi peristiwa bom bali (KUHP/KUHAP) menunjukkan bahwa MK telah menyederhanakan selain terhadap peristiwa dan akibat bom bali, juga terhadap proses penyidikan dan penuntutan atas suatu tindak pidana terorisme. Penerapan Pasal 338 atau 340 atau Undang-undang Nomor 12 tahun 1951 tentang Sejata Api dan bahan peledak, dengan ancaman minimal 1 (satu) hari, tidak efektif bagi pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan hukum NKRI dalam mengungkap kegiatan terorisme sebagai kejahatan internasional. Keganjilan ini akan menjadi pelik lagi jika pemerintah Indonesia hendak melakukan permintaan ekstradisi atas pelaku tindak pidana terorisme dengan Negara lain dimana prinsip “dual criminality” tidak dapat dipenuhi sehingga beban kesulitan untuk mengungkap kegiatan terorisme menjadi bertambah lagi. Jika MK menilai bahwa pemerintah telah keliru dengan menerapkan kaidah hukum yang bersifat abstrak terhadap suatu peristiwa konkrit, dan wewenang itu hanya ada pada pengadilan, dan langkah seperti itu bertentangan dengan
88
prinsip pemisahan kekuasaan menurut UUD 1945 dan perubahannya, juga tidak benar sama sekali. Alasan pertama, sistem pemisahan kekuasaan dalam praktik di Indonesia dan juga di Negara lain, tidak bersifat mutlak, sebagaimana telah dibuktikan masih adanya hak prerogative presiden dalam bidang judicial seperti, proses pemberian Grasi, Amnesti, dan pemberian remisi, dan asimiliasi terhadap terpidana. Kedua,
dengan
kenyataan
praktik
pemerintahan
seperti
itu
maka
pemberlakuan surut atas peristiwa bom bali bukanlah suatu langkah yang bertentangan dengan prinsip sistem pemisahan kekuasaan tadi karena kebijakan pemerintah tersebut bukanlah kebijakan pembentukan Undangundang baru semata-mata malainkan merupakan kebijakan pemerintah yang terpaksa dilaksanakan dalam
keadaan darurat sejalan dengan mandate
kepada pemerintah Pasal 22 UUD 1945 dan perubahannya. Keadaan darurat dimaksud adalah keadaan perundang-undangan yang berlaku pada saat terjadinya peristiwa bom bali, yang menurut pertimbangan pemerintah ketika itu, memang belum memadai, untuk menyidik, menuntut dan menghukum kejahatan dalam peristiwa bom bali yang digolongkan sebagai tindak pidana terorisme, baik di lihat dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang sudah ada (KUHP/KUHAP) maupun dari sisi hukum pembuktian yang berlaku. Selain itu, MK tidak memahami sepenuhnya betapa pentingnya penerapan teori kausalitas dalam hukum pembuktian suatu perkara pidana. Disinilah letak penting dan relevansi penggunaan Pasal 22 UUD 1945 atas peristiwa tersebut dengan penerapan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 secara retroaktif. Putusan MKRI tertanggal 22 Juli 2004 mengenai pembatalan asas retroaktif terhadap peristiwa bom bali merupakan preseden yang tidak menguntungkan pemerintah baik ke dalam negeri maupun hubungan luar negeri. Di dalam negeri terkait dengan proses peradilan yang sedang berlangsung terhadap tersangka/terdakwa lainnya dalam kasus bom
89
Bali atau yang berkaitan dengan kasus tersebut. Menurut keterangan Jaksa Agung RI, kurang lebih ada 75 (tujuh puluh lima) kasus bom bali yang sedang dalam proses peradilan baik di tingkat PN, PT dan MA. Dampak putusan MK sudah dapat ditebak yaitu UU Nomor 15 tahun 2002 tidak dapat diberlakukan dan harus dibatalkan atas kasus-kasus tersebut, kecuali dakwaan JPU disusun berlapis, disamping UU Nomor 15 tahun 2002 juga UU lainnya seperti UU Nomor 12 tahun 1951 atau UU Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian atau ketentuan Makar (KUHP). Bagaimana dengan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap? Pendapat para ahli hukum dan praktisi hukum berbeda; ada yang berpendapat bahwa, putusan tersebut tetap harus dieksekusi dengan merujuk kepada Pasal 58 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi : “Undang-undang yang diuji MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Di sisi lain ada pendapat bahwa putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum sekalipun harus dibatalkan atau tidak harus dieksekusi. Pendapat kedua merujuk kepada asas hukum pidana yang bersifat universal sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang pada intinya menuntut pemberlakuan UU yang paling menguntungkan terdakwa jika terjadi perubahan atas suatu perundang-undangan. Pendapat ini bertolak dari putusan
MK
yang
mutatis
mutandis
telah
menimbulkan
perubahan
perundang-undangan yaitu dari pemberlakuan surut UU Nomor 15 tahun 2002 dengan ancaman minimum 4 – 5 tahun kepada pemberlakuan KUHP atau UU lain dengan ancaman minimum 1 (satu) hari. Dalam kaitan ini sudah tentu kelima Hakim Majelis MK sudah mempertimbangkan implikasi hukum lebih
jauh dari putusannya
tersebut
khususnya
dalam menghadapi
pertanyaan yang diajukan terpidana mati kasus bom bali dengan segala Hak
90
konstitusionalnya
yang
diatur
dalam
Pasal
28
I
UUD
1945
dan
perubahannya, antara lain hak untuk hidup (the right to life) yang juga dapat membatalkan pidana mati yang telah dijatuhkan karena bertentangan dengan Pasal 28 I tersebut, hak untuk memperoleh kesamaan dimuka hukum antara terpidana yang akan dieksekusi dan tersangka/terdakwa yang sedang dalam proses peradilan dengan dasar dakwaan yang sama yaitu, UU Nomor 15 tahun 2002 yang diberlaku surutkan dengan UU Nomor 16 tahun 2002. Putusan MK juga memiliki implikasi hukum lebih jauh atas digelarnya proses pengadilan HAM Adhoc atas mandate Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal 43) yang pada intinya memberlakukan surut UU Nomor 26 tahun 2000 terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Pada saat pengajuan inisiatif RUU Pengadilan HAM dengan ketentuan yang berlaku surut melalui pembentukan Pengadilan HAM Adhoc sudah sejalan dengan hukum kebiasaan internasional yang telah diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia, akan tetapi justifikasi tersebut sama sekali tidak lagi dapat diterima
sejak lahirnya
putusan MK tertanggal 22 Juli 2004 tentang Pembatalan Pemberlakuan Asas Retroaktif. Hal ini disebabkan pertama, putusan MK tersebut didasarkan atas permohonan pengajuan judicial review pemberlakuan asas retroaktif, bukan mengenai masalah substansi dari UU Nomor 15 tahun 2002 (tindak pidana terorisme) sejalan dengan Pasal 28 I UUD 1945 dan perubahannya. Kedua, karena putusan MK tersebut mengenai asas berlakunya suatu UU (asas non-retroaktif) maka putusan tersebut memiliki implikasi pemberlakuan yang sama untuk semua jenis tindak pidana dan seharusnya tidak dapat diterapkan secara diiskriminatif. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa putusan MK atas pengajuan permohonan judicial review UU Nomor 16 tahun 2002 yang memberlakukan surut Undang-undang Nomor 15 tahun 2002, tidak komprehensif dan tidak juga bersifat elaboratif terutama dilihat dari
91
sudut kepentingan nasional bangsa dan NKRI dalam menghadapi kejahatan internasional
di
masa
yang
akan
datang.
Jika
pemerintah
selalu
menyampaikan bahwa pemerintah menghormati putusan MK maka sudah tentu harus juga dipahami implikasi hukum sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
92
Lampiran 5 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 013/PUU-1/2003 TANGGAL 22 JULI 2004 TENTANG PEMBERLAKUAN SURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 UNTUK KASUS BOM BALI
Putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) tertanggal 22 Juli 2004 merupakan putusan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bersifat kontroversial dan sekaligus merupakan “landmark”, dalam tata hukum dan perundang-undangan serta proses peradilan di Indonesia. Putusan MK Telah membatalkan berlaku surut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, dan juga di dalam putusan MK telah ditegaskan bahwa, kasus bom Bali bukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), tetapi merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan secara kejam. Analisa atas putusan MK akan bertitik tolak kepada 2 (dua) substansi dalam putusan MK tersebut. Putusan
MK
merupakan
langkah
berani
untuk
menunjukkan
kemandiriannya sebagai “the guardian of the Constitution” di Republik ini. Masalah yang muncul dalam putusan MK adalah sejauh manakah putusan MK sudah dilandaskan kepada pertimbangan yang komprehensif dan akurat baik dalam menerapkan pembatalan asas retroaktif untuk peristiwa bom bali; maupun dalam menegaskan bahwa peristiwa bom Bali bukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan secara kejam dan tidak tepat ditempatkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Analisa pertama, pendapat dan putusan MK yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa
93
“dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I); terbukti inkonsisten dengan pendapat MK di dalam putusannya bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat. Sesungguhnya sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Adhoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non-retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal. Analisa kedua, pendapat MK mengenai kekecualian penerapan asas tidak berlaku surut, tidak sejalan dengan esensi teori Kelsen, “Pure Thoery of Law” yang men-tabu-kan pengaruh muatan politis dalam suatu proses legislasi, dan tidak mengakui teori kausaliteit (sebab-akibat), sebagaimana telah diakui dalam dunia ilmu pengetahuan pada umumnya termasuk pendidikan ilmu hukum pidana. Kelsen berrcita-cita menempatkan status yang bersifat “scientific” ke dalam teori hukumnya dengan mengatakan antara lain: “..the idea was to develop those tendencies of jurisprudence that focus solely on cognition of the law rather than on the shaping of it, and to bring the results of this cognition as close as possible to the highest values of all science: objectivity and exactitude” (Dyzenhaus, 1997). Secara singkat Dyzenhaus menegaskan obsesi Kelsen, dengan mengatakan “law has to be understood scientifically, but not in the sense of an explanation of natural events in terms of causal laws”. Pemberlakuan asas retroaktif terhadap peristiwa bom bali justru bertumpu kepada teori kausaliteit karena yang dipermasalahkan bukan semata-mata perbuatan pembomannya itu, melainkan juga akibatnya yang berdampak sangat luar biasa terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan bidang penegakan hukum baik dilihat dari aspek kepentingan nasional dan internasional. Teori Kelsen dalam konteks kasus bom bali justru telah menempatkan hukum dan penegakan hukum dalam sangkar menara gading yang dibutakan terhadap kenyataan yang
94
sesungguhnya terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia khususnya pada masyarakat di Propinsi Bali, dengan segala akibatnya. Penerapan teori Kelsen secara murni tidak cocok dengan peristwa yang terjadi di dalam kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang tengah memasuki masa transsisi saat ini. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam peristiwa bom Bali dengan mengabaikan sama sekali teori sebabakibat, menunjukkan ketertinggalan pemkiran MK dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang masih mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu pengetahuan hukum. Sikap majelis Hakim MK tersebut tidak sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang fungsi dan peranan hukum dalam alam pembangunan yang sudah diletakkan baik dalam GBHN maupun dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman vide Pasal 27 ayat ! dimana hakim diwajibkan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Jika kita meneliti bahwa MK kedepan juga akan melakukan judicial review seluruh produk perundangundangan yang dipandang bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan perubahannya, meliputi baik dalam bidang hukum, agama, pendidikan, budaya, politik maupun ekonomi, jelas sangatlah naïf jika MK yang merupakan “the guardian of the Constitution” di Republik ini masih mengadopsi secara kuat alam pikiran Kelsen hanya untuk mempertahankan satu pasal saja yaitu, Pasal 28 I, dan tidak secara elaboratif dan komprehensif menganalisis ketentuan Pasal 28 J dalam konteks NKRI. Analisis ketiga, pemikiran Kelsen tidak lagi cocok dengan pemikiran yang berkembang dalam masa pembangunan hukum di Indonesia yang menegaskan,
bahwa
perkembangan
hukum
akan
selalu
mengikuti
perkembangan masyarakat, dan sebaliknya perkembangan hukum dalam
95
masyarakat tidak akan terjadi (tercipta) jika tidak dilandaskan kepada perkembangan kesadaran hukum masyarakatnya. Penerapan teori Kelsen dalam peristiwa bom bali sama sekali mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban bom bali dan keluarganya dan dengan menempatkan sisi kepastian hukum di atas segalanya, MK telah memisahkan secara tegas antara sisi kepastian dan keadilan; seharusnya kepastian hukum diterapkan dalam kerangka memenuhi keadilan yang lebih besar bagi bangsa Indonesia. Analisa keempat, pertimbangan MK yang secara gamblang menganut teori hukum murni (Kelsen) dengan tidak mempertimbangkan sama sekali keadaan-keadaan yang menjadi pertimbangan pemerintah mengenai latar belakang pemberlakuan surut UU Nomor 15 Tahun 2003 dengan UU Nomor 16 Tahun 2003 yang secara tegas merujuk kepada Pasal 22 UUD 1945. Sebagaimana dimuat dalam Keterangan tertulis Pemerintah tanggal 2 Januari 2004,
sangatlah tidak bijaksana
dan
tidak
objektif
karena
pertimbangan tersebut MK telah menempatkan posisi pemerintah (Negara) pada pihak yang dilemahkan, sedangkan MK seharusnya sudah memahami betul bahwa pemberlakuan surut UU Nomor 15 Tahun 2002 tidak mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan untuk memberlakukannya, yaitu suatu pemerintahan yang juga bekerja berdasarkan UUD 1945 dan perubahannya (Pasal 22). Dengan demikian putusan MK tersebut tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa perkara terorisme dengan perlindungan atas hak suatu Negara yang berdaulat dan korban bom bali. Jika ketua MK selalu berkata bahwa untuk tujuan yang mulia tidaklah harus menggunakan cara-cara yang tidak mulia (Perberlakuan surut), pendapat tersebut justru mengabaikan seluruh keterangan tertulis yang disampaikan pemerintah mengenai pemberlakuan surut untuk kasus bom bali pada
96
tanggal 2 Januari 2004, kecuali pendapat dan pembelaan penasehat hukum dari tersangka bom bali saja yang dipertimbangan dan diakui. Analisa kelima, dalam beberapa konvensi internasional dan resolusi DK PBB dan Konvensi Organisasi Negara-negara Islam (OKI) yang telah dikeluarkan untuk menghadapi kegiatan terorisme, memang belum ada definisi dan belum merupakan “one comprehensive definition”. Hal ini tidaklah harus diartikan bahwa setiap Negara tidaklah berwenang untuk menetapkan definisinya sendiri dengan mempertimbangkan kepentingan nasional Negara yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan beberapa Konvensi internasional mengenai terorisme dan resolusi DK PBB dan Konvensi OKI tentang pemberantasan terorisme. Bahkan ketiadaan definisi comprehensive tersebut justru tidak menyurutkan langkah setiap Negara untuk menetapkannya dalam undang-undang anti terorisme Negara yang bersangkutan. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap berpedoman kepada tiga paradigma yaitu prinsip perlindungan Negara (State protection), perlindungan tersangka (offender’s protection) dan perlindungan
korban
(victim’s
protection)
dengan
tidak
memisahkan
paradigma satu dengan yang lainnya sehingga merupakan tritunggal. Dalam Praktik penyidikan pihak Kepolisian dalam peristiwa bom bali, ketiga prinsip tersebut
tetap
diberlakukan
terhadap
peristiwa
bom
bali. Sehingga
pertimbangan putusan MK yang menegaskan bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002 yang memberlakukan surut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 merupakan pelanggaran atas hak asasi tersangka tidak tepat dan menyesatkan, karena yang diberlakukan surut tersebut justru Undangundang yang memuat ketiga paradigma tersebut di atas. Analisa keenam, pertimbangan dan pendapat MK tentang sifat kualifikasi kegiatan terorisme pada peristwa bom bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa dan hanya merupakan kejahatan biasa yang
97
dilakukan secara kejam (ordinary crimes), justru menunjukkan kerancuan dalam pendekatan yang telah digunakan, yaitu MK tidak menggunakan pendekatan
hukum
pidana
(internasional)
yang
dipandang
memiliki
kredibilitas akademik dalam membedah peristwa bom bali sebagai tindak pidana terorisme dan karenanya merupakan kejahatan yang luar biasa, dibandingkan dengan pendekatan dari visi ilmu hukum ketatanegaraan. Bahkan kualifikasi tindak pidana terorisme sebagai kejahatan yang sangat serius terhadap kemanusiaan telah ditegaskan dalam beberapa Konvensi Internasional tentang terorisme. Konvensi OKI tentang Pemberantasan Terorisme (1999) yang dihasilkan pada Sidang luar biasa OKI di Burkina Faso tanggal 28 Juni – 1 Juli 1999, telah menegaskan secara eksplisit antara lain: “Believing that terrorism constitutes a gross violation of human right, in particular the right to freedom and security as well as an obstacle to the free functioning of institutions and socio-economic development as it aims at destabilizing States”. Komentar umum yang disampaikan dalam diskusi pada
siding keenam Komisi PBB untuk
Terorisme, bulan Oktober 2003 khususnya mengenai
“Comprehensive
Convention on Terorism” ditegaskan bahwa, International terrorism poses the most serious threat to international peace and security”. Kedua pendapat dan sikap masyarakat internasionl tersebut secara gamblang menunjukkan
bahwa
terorisme
merupakan
kejahatan
kemanusiaan,
sekalipun belum secara formal ditempatkan sebagai salah satu kejatan yang menjadi yurisdiksi JCC. Atas dasar fakta tersebut jelas bahwa, pendapat dan penilaian kelima Hakim majelis MK bahwa peristiwa bom bali bukan “extra ordinary crimes”, jelas keliru dan sangat ceroboh. Analisis ketujuh, Peristiwa bom bali sebagai “extra-ordinary crime” hanya dapat diungkapkan dengan tuntas dan menyeluruh dengan teori Von Buri atau Von Kries bukan dengan penilaian berdasarkan teori Kelsen, yang
98
secara esensial memang mengabaikan sama sekali aspek moralitas individual dan kelompok masyarakat sebagai korban. Peristiwan bom bali jelas merupakan suatu tindak pidana yang telah menimbulkan akibat luar biasa dengan hilangnya nywa dan hancurnya harta benda masyarakat Bali, dan menggoncangkan perekonomian nasional khususnya masyarakat Bali. Aliran Kelsenian semata-mata
terbukti tidaklah cocok untuk digunakan
menganalisis peristiwa bom bali yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Analisa kedelapan pertimbangan MK bahwa karena peristiwa bom bali merupakan kejatan biasa dan dapat diterapkan UU yang sudah ada (KUHP) dan KUHAP, adalah merupakan konsekuensi logis dari kekeliruan analisis mengenai kualifikasi kejahatan atas peristiwa bom bali sehingga dapat dikatakan, di satu sisi, disimpulkan bahwa MK sudah mengabaikan pendapat masyarakat internasional mengenai karakteristik terorisme yang sudah dicantumkan dalam tiga konvensi internasional tentang terorisme (tahun 1937, tahun 1997 dan tahun 1999); dan di sisi lain, MK tidak mendalami sepenuhnya hukum pembuktian yang telah berlaku sejak tahun 1981 dalam perkara pidana di Indonesia, Kelima Hakim MK bahkan tidak memahami bahwa KUHP peninggalan pemerintah Kolonial Belanda tidak memuat unsurunsur ketakutan yang luar biasa, unsur korban massal (indeterminate victims), dan unsur “organized” yang merupakan unsur pokok dalam tindak pidana terorisme serta perbuatan menyembunyikan (safe harbor rules), perbuatan memberikan kemudahan dan menfasilitasi, yang kesemuanya tidak diatur sama sekali dalam KUHP. Begitu juga alat bukti elektronik yang sering digunakan dalam kegiatan terorisme. Analisa kesembilan, pendapat dan pertimbangan MK bahwa telah ada peraturan perundang-undangan yang berlaku ketika terjadi peristwa bom bali (KUHP/KUHAP) menunjukkan bahwa MK telah menyederhanakan selain
99
terhadap peristwa dan akibat bom bali, juga terhadap proses penyidikan dan penuntutan atas suatu tindak pidana terorisme. Penerapan Pasal 338 atau Pasal 340 atau Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan bahan peledak, dengan ancaman minimal 1 (satu) hari, tidak efektif bagi pemerintah
untuk
mempertahankan
kedaulatan
hukum
NKRI
dalam
mengungkap kegiatan terorisme sebagai kejahatan internasional. Kelemahan hukum dari putusan MK berdampak kontra produktif jika pemerintah Indonesia hendak meminta ekstradisi pelaku tindak pidana terorisme bom bali dari Negara lain. Prasyarat utama keberhasilan permintaan ekstradisi adalah dipenuhinya prinsip “dual criminality” dengan putusan MK tersebut maka dengan mudah Negara diminta (requested state) akan menolak dengan alasan tidak dipenuhinya prinsip tersebut di atas yaitu untuk Bom Bali bukan merupakan tindak pidana terorisme sekalipun menurut UU Negara diminta, peristiwa tersebut digolongkan sebagai tindak pidana terorisme. Analisa kesepuluh, MK menilai bahwa pemerintah telah keliru dengan menerapkan kaedah hukum yang bersifat abstrak terhadap suatu peristiwa konkrit, dan wewenang itu hanya ada pada pengadilan, dan langkah seperti itu bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan menurut UUD 1945 dan perubahannya, juga tidak benar sama sekali. Alasan pertama, tidak penerapan sistem pemisahan kekuasaan mutlak diseluruh Negara di dunia sebagaimana telah dibuktikan dengan adanya hak prerogatif presiden dalam bidang judicial seperti proses pemberian Grasi, Amnesti, dan pemberian remisi dan asimiliasi terhadap terpidana. Kedua, dengan kenyataan praktik pemerintahan seperti itu maka pemberlakuan surut atas peristiwa bom bali bukanlah suatu langkah yang bertentangan dengan prinsip sistem pemisahan kekuasaan tadi karena kebijakan pemerintah tersebut bukanlah kebijakan pembentukan UU baru semata-mata melainkan merupakan kebijakan pemerintah yang terpaksa harus dilaksanakan dalam keadaan darurat
100
sejalan dengan mandat kepada pemerintah Pasal 22 UUD 1945 dan perubahannya. Keadaan darurat dimaksud adalah keadaan perundangundangan yang berlaku pada saat terjadinya peristiwa bom bali, yang menurut pertimbangan pemerintah ketika itu, memang belum memadai, untuk menyidik, menuntut dan menghukum kejahatan dalam peristiwa bom bali yang digolongkan sebagai tindak pidana terorisme, baik di lihat dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang sudah ada (KUHP/KUHAP) maupun dari sisi hukum pembuktian yang berlaku. Selain itu, MK tidak memahami sepenuhnya betapa pentingnya penerapan teori kausalitas dalam hukum pembuktian suatu perkara pidana. Disinilah letak penting dan relevansi penggunaan Pasal 22 UUD 1945 atas peristwa tersebut dengan penerapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 secara retroaktif. Putusan MKRI tertanggal 22 Juli 2004 mengenai pembatalan asas retroaktif terhadap peristiwa bom bali merupakan preseden yang tidak menguntungkan pemerintah baik ke dalam negeri maupun hubungan luar negeri. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Di dalam negeri terkait dengan proses peradilan yang sedang berlangsung terhadap tersangka/terdakwa lainnya dalam kasus bom bali atau yang berkaitan dengan kasus tersebut. Menurut keterangan Jaksa Agung RI, kurang lebih ada 75 (tujuh puluh lima) kasus bom bali yang sedang dalam proses peradilan baik di tingkat PN, PT dan MA. Dampak putusan MK sudah dapat ditebak yaitu UU Nomor 15 Tahun 2002 tidak dapat diberlakukan dan harus dibatalkan atas kasus-kasus tersebut, kecuali dakwaan JPU disusun berlapis, disamping UU Nomor 15 Tahun 2002 juga UU lainnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1951 atau UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian atau ketentuan Makar (KUHP). Masih ada pertanyaan tersisa dari putusan MK tersebut bagaimana dengan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap? Pendapat
101
para ahli hukum dan praktisi hukum berbeda; ada yang berpendapat bahwa, putusan tersebut tetap harus dieksekusi dengan merujuk kepada Pasal 58 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi” “ Undang-undang yang diuji MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Di sisi lain ada pendapat bahwa putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum sekalipun harus dibatalkan atau tidak harus dieksekusi. Pendapat kedua merujuk kepada azas hukum pidana yang bersifat universal sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang pada intinya menuntut pemberlakuan UU yang paling menguntungkan terdakwa jika terjadi perubahan atas suatu perundang-undangan. Pendapat ini bertolak dari putusan MK yang mutatis mutandis telah menimbulkan perubahan perundang-undangan yaitu dari pemberlakuan surut UU Nomor 15 Tahun 2002 dengan ancaman minimum 4 – 5 tahun kepada pemberlakuan KUHP atau UU lain, dengan ancaman minimum 1 (satu) hari. Implikasi hukum lanjutan (subsequent legal implications) dari putusan MK atas kasus pemberlakuan surut sebagaimana diuraikan di atas yang memutlakan penerapan Pasal 28 I UUD 1945 adalah pertama, ancaman pidana mati atau mereka yang tengah didakwa pidana mati atau terpidana yang akan menjalani pidana mati masih dapat mempersoalkannya, dengan konsekuensi
seluruh
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
memuat pidana mati harus dihapuskan; yang didakwa harus dibatalkan, dan yang akan menjalani pidana mati masih dapat mempertanyakan hak konstitusionalnya sesuai dengan bunyi Pasal 28 I ayat (1). Implikasi hukum kedua, adalah, hak untuk memperoleh kesamaan dimuka hukum antara terpidana yang akan dieksekusi dan tersangka/terdakwa yang sedang dalam
102
proses peradilan dengan dasar dakwaan yang sama yaitu, UU Nomor 15 Tahun 2002 yang diberlaku-surutkan dengan UU Nomor 16 Tahun 2002. Implikasi hukum ketiga adalah, masih dapat dipersoalkan proses pengadilan HAM Adhoc atas mandate Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal 43) yang pada intinya memberlakukan surut UU Nomor 26 Tahun 2000 terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Pengajuan insitiatif RUU Pengadilan HAM dengan ketentuan yang berlaku surut melalui pembentukan Pengadilan HAM Adhoc mengacu kepada hukum kebiasaan internasional yang telah diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia. Namun justifikasi sama sekali tidak lagi dapat diterima sejak lahirnya putusan MK tertanggal 22 Juli 2004 tentang pembatalan pemberlakuan asas retroaktif. Hal ini disebabkan putusan MK tersebut didasarkan atas permohonan pengajuan judicial review pemberlakuan asas retroaktif, bukan mengenai masalah substansi dari UU Nomor 15 Tahun 2002 (tindak pidana terorisme) sejalan dengan Pasal 28 I UUD 1945, dan dengan putusan MK mengenai asas berlakunya suatu UU (asas non-retroaktif) maka putusan tersebut memiliki implikasi pemberlakuan yang sama untuk semua jenis tindak pidana dan seharusnya tidak dapat diterapkan secara diskriminatif karena bertentangan dengan hak untuk diperlakukan sama di muka hukum. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa putusan MK atas pengajuan permohonan judicial review UU Nomor 16 Tahun 2002 yang memberlakukan surut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002, tidak komprehensif dan tidak juga bersifat elaboratif dan bahkan bersifat kontraproduktif, terutama dilihat dari sudut kepentingan nasional bangsa dan NKRI dalam menghadapi kejahatan internasional di masa yang akan datang. Jika pemerintah selalu menyampaikan bahwa pemerintah menghormati putusan MK maka sudah
103
tentu harus juga dipahami implikasi hukum sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai salah satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
104