ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFOMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hukum dan Kelembagaan Lembaga Penegakan Hukum di Bidang Perikanan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Lutfi Brilliant Wanda C44080035
ABSTRAK
LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN dan THOMAS NUGROHO.
Permasalahan illegal fishing mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Kerugian dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya aspek ekonomi yakni kerugian secara finansial, aspek sosial berupa penyebaran penyakit berbahaya dan aspek ekologis seperti over fishing dan destructive fishing. Lembaga penegak hukum yang berwenang yang menjadi objek peneltian adalah Polisi Perairan, TNI AL, dan PSDKP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan, menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya, dan memberikan rekomendasi efektifitas penegakan hukum. Penelitian ini menggunakan analisis kelembagaan, analisis hukum dan analisis SWOT. Penelitian menghasilkan bahwa bahwa tiga lembaga penegakan hukum yaitu Polair, TNI AL dan PSDKP menjalankan fungsi penegakan hukum sesuai dengan dasar hukum tersendiri. Variabel kewenangan Polair diamanahkan dengan 4 dasar hukum, TNI dengan 5 dasar hukum, dan PSDKP dengan 3 dasar hukum. Variabel kewilayahan menjabarkan bahwa ketiga lembaga memiliki wewenang berbeda pada wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Prioritas strategi penegakan hukum dengan dua urutan terbesar dari penelitian adalah peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing dan menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih.
Kata Kunci
: illegal fishing, destructive fishing, penegakan hukum, dasar hukum
ABSTRACT
LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analysis of Legal Institutional and law enforcement in the field of Fisheries. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and THOMAS NUGROHO.
Problem of illegal fishing and marine fisheries sector resulting in Indonesia is unable to be utilized optimally. Losses can be viewed from several aspects, including economic loss aspect i.e. financially, social aspects of the spread of dangerous disease, and ecological aspects such as over fishing and destructive fishing. Law enforcement agencies in authority who become the object of this research is Police, TNI AL, and PSDKP. The aims of this research are to find out main task and function of institutional law enforcement in the fields of fisheries, analyze conflict authority between the law enforcement agency in the fields of fisheries based on legal basis, and give recommendations the effectiveness of law enforcement. There researchs uses institutional analysis, legal analysis and SWOT analysis. The result of this research is there are three the law enforcement agency that is Police, TNI AL and PSDKP that carries on the function of law enforcement in accordance with the legal basis of its own. Variable authority Police is given with four the basic law, TNI AL with 5 the basic law, and PSDKP with 3 the legal basis. Territoriality variable describe that all three institutions has authority different in the territorial waters of the interior, the waters of the archipelago, the sea territorial, and ZEEI. Priority strategy law enforcement with two largest order of the research is an increase regional and international cooperation in eliminating illegal a fishing and destruktive a fishing and increase the number of patrolly boats and the addition of advanced technology.
Keywords: illegal fishing, destructive fishing, law enforcement, legal basis
.
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menerbitkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Penelitian
: Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum dibidang Perikanan
Nama Mahasiswa
: Lutfi Brilliant Wanda
NRP
: C44080035
Program Studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Akhmad Solihin, S.Pi, M.H NIP. 19790403 200701 1001
Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si NIP. 19700414 200604 1 020
Diketahui, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Dr. Ir. Budy Wiryawan MSc. NIP. 19621223 1987031 001
Tanggal ujian: 31 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
PRAKARTA
Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012 hingga Juli 2012 dengan judul analisis hukum dan kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Akhmad Solihin, S.Pi, M.H selaku pembimbing 1 dan Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si selaku pembimbing 2 dalam penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir; 2. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku dosen penguji tamu; 3. Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM orang tua tercinta yang selalu menemani dengan dukungan terbaik; 4. Kasubdis Kumlater Diskumal Bapak Yuli Dharmawanto, SH, Kaurmin Subdit Gakkum Dit Polair Baharkam Polri Bapak Agus Budi, dan bang Edwin dan bang Samsu dari Ditjen Pengawasan SDKP Kementerian Perikanan dan Kelautan yang telah bersedia sebagai sumber informasi atau memberikan segala informasi yang diperlukan; 5. Aktivis Kementerian Kebijakan Kampus, BEM KM IPB Kabinet Berkarya, BEM FPIK IPB Kabinet Ekspansi Biru, Beasiswa Aktivis IPB 2011 dan Dompet Dhuafa, Asisten PAI IPB, rekan-rekan Al-Hurriyah yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian; 6. Keluarga besar PSP 45; 7. Serta semua pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Lutfi Brilliant Wanda
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 14 September 1990 dari Bapak Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Ibu Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis terpilih untuk masuk Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam mengikuti organisasi. Periode Tahun 2011-2014 penulis menjadi Ketua 2 Ikatan Alumni SMAN 49 Jakarta (ILUSMA49), tahun 2010-2011 penulis menjadi President Bakti Nusa IPB Beasiswa Aktivis Mahasiswa Nusantara Lembaga Pengembangan Insadi-Dompet Dhuafa (Bakti Nusa LPI DD), tahun 2011-2012 penulis menjadi Menteri Kementrian Kebijakan Kampus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM, tahun 2010-2011 penulis menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB, tahun 2009-2010 penulis menjadi Kepala Bagian Kajian Departemen AKPK Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB, dan tahun 2008-2009 penulis menjadi Kepala Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB IPB. Penulis juga aktif menjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) TPB IPB pada tahun 2010-2012, Asisten Dosen Metode Operasi Penangkapan Ikan (MOPI) PSP FPIK IPB tahun 2011-2012, dan menjadi Penyuluh Bantuan Sosial Gubernur Jawa Barat tahun 2011-2012.
Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum dibidang Perikanan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................................xi DAFTAR GAMBAR .....................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xiii 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ................................................................................1 1.2 Permasalahan ..................................................................................2 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................2 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................3
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan ........................................................................4 2.2 Penegakan Hukum ..........................................................................8 2.3 Wilayah Laut Indonesia ..................................................................12 2.3.1 Wilayah Laut dan Hak Kedaulatan Penuh ...........................12 2.3.2 Wilayah Laut dan Hak Berdaulat ........................................13 2.3.3 Wilayah Laut tanpa Kedaulatan Wilayah ............................14
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) ......................................................................15
2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) ..........................19 2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan ........................19 2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ................................................19 2.6.2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia .................................................21 2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ................................................................23 2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ..............................................................29 2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan ......................................29
ix
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan..............................................................................31
3
METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................33 3.2 Metode pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................33 3.2.1 Metode Pengumpulan Data .................................................33 3.2.2 Pengolahan Data ..................................................................33
3.3 Metode Analisis Data .....................................................................34 3.3.1 Analisis Kelembagaan .........................................................34 3.3.2 Analisis Hukum ...................................................................34 3.3.3 Analisis Kebijakan ..............................................................36
4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kelembagaan ....................................................................39 4.1.1 Polair ...................................................................................39 4.1.2 TNI AL ................................................................................39 4.1.3 KKP .....................................................................................40
4.2 Analisis Hukum .............................................................................42 4.2.1 Variabel Kewenangan .........................................................42 4.2.2 Variabel Kewilayahan .........................................................46
4.3 Analisis Kebijakan ..........................................................................49 4.3.1 Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT) ..................................................................50 4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) ..........................................................69
5
KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan .....................................................................................73 4.1 Saran ...............................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................75 LAMPIRAN ..................................................................................................77
x
DAFTAR TABEL
1
Halaman Faktor internal dan eksternal...................................................................17
2
Faktor Strategi Internal (IFAS) ..............................................................18
3
Faktor Strategi Eksternal (EFAS) ..........................................................18
4
Tabel SWOT ..........................................................................................18
5
Variabel kewenangan .............................................................................35
6
Variabel kewilayahan .............................................................................36
7
Tupoksi lembaga penegakan hukum ......................................................41
8
Analisis Variabel Kewenangan ..............................................................43
9
Analisis Variabel Kewilayahan ..............................................................47
10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011 ..............................................................................................53 11 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan Satuan Kerja tahun 2011 ........54 12 Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi ..........................................56 13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum ............................................58 14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum ...........................................62 15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ....................................................................66 16 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ....................................................................70
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982 .................................................................13 2 Kerangka formulasi strategi .....................................................................15 3 Analisis SWOT .........................................................................................16 4 Kerangka pemikiran .................................................................................33 5 Diagram venn tupoksi lembaga penegakan hukum .................................41 6 Matriks IE .................................................................................................64
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Alamat Polair daerah tingkat provinsi di seluruh Indonesia .................... 78 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia ......80 3 UPT Satker dan Pos PSDKP ....................................................................82 4 Jumlah personil patroli pada kapal PSDKP tahun 2007 hingga 2011 ......86 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya ......................................87 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair ....................................................89 7 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011 ..................91 8 Jumlah masing-masing tindak pidana perikanan tahun 2007 hingga 2011 ..............................................................................92
xiii
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Persoalan illegal fishing di Indonesia mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Apabila dilihat dari segi ekonomi, kerugian yang diperoleh oleh pemerintah Indonesia cukup besar jumlahnya. Kerugian negara akibat praktik illegal fishing diperkirakan mencapai Rp 30 triliyun dalam setahun. Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) mengatakan bahwa jumlah devisa yang hilang akibat perikanan illegal fishing berkisar $1,9 miliar atau sekitar 19 Triliun Rupian setiap tahunnya. Praktik illegal fishing juga menimbulkan dampak sosial, yaitu penyebaran virus HIV AIDS. Nelayan asing yang masuk ke perairan Indonesia tidak terdata dengan benar, mereka masuk dan dapat membawa virus mematikan yang menyebarkannya di wilayah yang mereka singgahi. Secara ekologi terdapat kerugian berupa rusaknya lingkungan dan ancaman over fishing. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum mampu mengontrol praktik-praktik illegal fishing secara efektif. Terjadinya illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah kurangnya sarana dan prasarana lembaga penegak hukum. Selain itu, penegakan hukum juga dihadapkan pada tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum atau ego-sektoral penegakan hukum. Penegakan hukum di bidang perikanan melibatkan tiga lembaga sebagaimana yang dimandatkan oleh undang-undang, yaitu Kepolisian, Tentara Negara Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), dan Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Periakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP). Penanganan illegal fishing juga telah dicoba untuk diselesaikan dengan menggunakan beberapa dasar hukum. Dasar hukum tersebut dapat berupa undang- undang, peraturan menteri dan keputusan menteri. Dasar hukum tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
2
Perikanan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Lembaga-lembaga penegak hukum dan beberapa dasar hukum yang ada belum berlaku optimal. Lembaga belum menjalankan fungsinya dengan baik, dan dasar hukum belum dijalankan dengan optimal oleh lembaga penegak hukum. Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan”.
1.2 Permasalahan Permasalahan yang menjadi dasar pada penelitian ini antara lain: 1) Bagaimana tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan? 2) Apakah terdapat tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya? 3) Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menciptakan penegak hukum yang efektif di bidang perikanan? 1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan; dan 2) Menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya; dan 3) Memberikan rekomendasi untuk mewujudkan penegakan hukum yang efektif.
3
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak penegak hukum dibidang perikanan mengenai strategi yang tepat untuk pengawasan perikanan: 1) Manfaat bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan penegakan hukum di bidang perikanan; 2) Manfaat bagi dunia pendidikan diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengawasan perikanan; dan 3) Manfaat bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat menjadi pengetahuan baru bagi peneliti.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi (Purwaka 2008): 1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan; 2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum yang rasional; 3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional; 4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional; 5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional; 6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal; 7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
5 penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional; 8) Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; dan 9) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional. Hal penting tentang lembaga pertama sampai dengan keenam merupakan aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan, sedangkan hal penting tentang lembaga ketujuh, kedelapan dan kesembilan merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (Purwaka 2008). Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan terdiri dari dua substruktur utama, yaitu tata kelembagaan dan kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan. Masing-masing substruktur kelembagaan tersebut mengandung komponen-komponen kapasitas potensial (potensial capacity), daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity) (Purwaka 2008). Mekanisme kelembagaan adalah tata kelembagaan dalam keadaan bekerja atau bergerak. Oleh karena itu mekenisme kelembagaan bersifat dinamis, sedang tata kelembagaan bersifat statis. Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008): 1) Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas potensial mencangkup: (1) Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundang- undangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan; (2) Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan (4) Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi, dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; (2) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; (3) Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; dan (4) Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai. 3) Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga daya lentur kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; dan (2) Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan kelembagaan.
7
Kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang merupakan tata kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja meliputi (Purwaka 2008): 1) Kapasitas
potensial mekanisme kelembagaan untuk melakukan dan
mengembangkan komunikasi, interaksi dan jejaring kerja kelembagaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, sebagai perwujudan dari oprasionalisasi kapasitas potensial tata kelembagaan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung kelembagaan; 2) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi; 3) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi yang berdampak pada organisasi kelembagaan; dan 4) Optimalisasi sisa tata kelembagaan yang belum dikonversikan menjadi mekanisme kelembagaan melalui upaya penafsiran, penalaran dan argumentasi rasional untuk didaya gunakan menjadi kapasitas potensial, daya dukung dan daya tampung dalam kerangka interaksi kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang dinamis. Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut: 1) Visi, misi, tujuan dan objek; 2) Bentuk lembaga; 3) Struktur organisasi; 4) Uraian tugas pokok dan fungsi; 5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan 6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan. Keberlanjutan suatu kegiatan yang mensyaratkan pentingnya partisipasi banyak pihak, mutlak memerlukan kerangka hukum (legal framework), agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berkaitan dengan kerangka hukum, perlu diperhatikan pentingnya struktur hukum (legal structure), pelaksanaan mandat hukum (legal mendate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (Purwaka 2008).
8
2.2 Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat preventif. Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan (Supriadi dan Alimudin 2011). Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104. Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan (Supratomo 2011). Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu bagi negara hukum. Menurut Supratomo (2011), berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut: 1) Tindak
pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan/atau lingkungannya;
9
2) Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan; 3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI dan/atau lingkungannya; 4) Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan; 5) Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah; 6) Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat; 7) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang dan/atau tidak memenuhi syarat; 8) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan; 9) Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan; 10) Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa SIUP; 11) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI; 12) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI; 13) Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; 14) Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin; 15) Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan; 16) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing; 17) Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar; 18) Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah; 19) Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan; 20) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
10
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
11 keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka dan/atau barang bukti
tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana, melakukan penghentian penyidikan,dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukum
dapat
dipertanggungjawabkan. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75. Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri, dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal 76C bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan. Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00 dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang terjadi.
12
2.3 Wilayah Laut Indonesia Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS ’82) memiliki beberapa rezim laut yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara). 2.3.1 Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dapat disebut juga sebutan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki kedaulatan mutlak atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Wilayah ini meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial. 1) Perairan Pedalaman (Internal Waters). Perairan pedalaman merupakan wilayah Indonesia dimana terdapat kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lintas. Perairan Indonesia merupakan laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, atau laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk di perairan kepulauan. 2) Perairan Nusantara atau Perairan Kepulauan (Archipelagic Water). Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut yang terletak di antara pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal, tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut tersebut. Kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran intenasional kapal asing juga memiliki hak lintas melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) atau sea lanes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, Indonesia memiliki tiga ALKI. Hak lintas kapal asing berdasarkan prinsip Lintas Damai dan ALKI memberdakan antara hak dan kewenangan antara perairan pedalaman dan perairan nusantara. 3) Laut Teritorial (Territorial Sea). Laut Teritorial merupakan wilayah perairan di luar perairan kepulauan yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal pantai. Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadapnya. Seperti halnya yang berlaku di wilayah perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan Lintas Damai dan hak lintas berdasarakn ALKI.
13
2.3.2 Wilayah laut dengan hak berdaulat Wilayah laut dengan hak berdaulat adalah wilayah laut dimana suatu negara memiliki hak terhadap kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur beberapa hal di wilayah tersebut. 1) Zona Tambahan (Contiguous Zone). Zona tambahan ditetapkan sampai dengan 12 mil laut di luar laut teritorial atau sampai dengan 24 mil laut diukur dari garis pangkal pantai terluar. Pada zona ini Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan tertentu dalam mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai, keuangan/fiskal, kerantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin pelaksanaan hukum di wilayahnya. 2) Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economi Zone). Konvensi hukum laut 1982 Pasal 55 dan 56 ayat (1a) menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Lebar ZEE tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal pantai terluar. Indonesia di perairan ZEE memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati yang terdapat di kolom perairan. Hak berdaulat lainnya adalah berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi seperti produk energi dari air, arus, dan angin. Indonesia juga memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan, serta memberikan izin pembangunan pulau buatan, instalasi, dan bangunan laut lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan dasar hukum untuk mengatur wilayah ini yakni pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Zonasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982
14
3) Landas Kontinental (Continental Shelf). Landas kontinen merupakan wilayah dimana suatu negara pantai memiliki kewenangan atas kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya. Daerah di bawah permukaan yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinental (continental margin), atau hingga jarak 200 mil dari garing pangkal dari lebar laut teritorial diukur. Negara pentai diperbolehkan untuk menetapkan batasan luar landas kontinental lebih dari 200 mil dengan ketentuan: (1) Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis pangkal; (2) Tidak melebihi 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m; (3) Tidak melebihi lebar 60 mil laut dari kaki lereng kontinen; (4) Garis terluar dengan titik-titik ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik-titik terluar dan kaki lereng kontinen. 2.3.3 Wilayah laut tanpa kedaulatan wilayah Wilayah laut tanpa kedaulatan adalah wilayah dimana negara tidak memiliki kewenangan. Wilayah ini meliputi perairan laut lepas dan kawasan dasar laut dalam Internasional 1) Laut Lepas (High Seas). Laut lepas merupakan bagian laut yang bukan wilayah negara maupun ZEE. Jadi Indonesia tidak memiliki kedaulatan atau hak berdaulat terhadapnya. Laut lepas bersifat terbuka, yakni terdapat kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa di dasar laut, membangun pulau buatan dan instansi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, menangkan ikan hingga riset ilmiah. Kebebasan ini harus memperhatikan kepentingan negara lain di laut lepas dan memperhatikan hak-hak dalam konvensi hukum laut 1982 yang bertalian dengan kegiatan kawasan. 2) Kawasan Dasar Laut Dalam Internasional (Internasional Sea-Bed Area). Dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional. Kekayaan alamnya diperuntukan bagi warisan umum umat manusia (common heritage of mankind).
15
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif. Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip “kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap peluang, dan hilangkan ancaman”. Kerangka formulasi strategis dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengumpulan Data 1) Faktor internal 2) Faktor Eksternal
Analisis data (Matriks SWOT)
Pengambilan keputusan
Gambar 2 Kerangka formulasi strategis Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan. Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi erupakan hal yang sangat penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan perikanan tangkap.
16
Peluang 3. Mendukung strategi turn around
1. Mendukung strategi agresif
Kelemahan
Kekuatan
4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman
Gambar 3 Analisis SWOT (Rangkuti 2005)
Keterangan : Kuadran 1
: Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan, dimana lembaga penegak hukum mempunyai peluang dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan disituasi ini adalah kerjasama pengadaan
kapal patroli oleh lembaga
Internasional; Kuadran 2
: Pada kuadran dua merupakan situasi terdapatnya ancaman, namun masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam menjalankan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan adalah penempatan kapal patroli pada titik rawan sering terjadi tindak pidana perikanan;
Kuadran 3
: Kuadran tiga menggambarkan bahwa lembaga penegak hukum mempunyai peluang, akan tetapi masih terdapat kelemahan- kelemahan yang harus dihadapi. Cocok strategi yang dapat diterapkan adalah penguatan lembaga masyarakat untuk membantu pengawasan;
Kuadran 4
: Kuadran keempat merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan karena dalam dalam menjalankan fungsi pengawasan terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak
17 internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal.
Contoh strategi yang dapat dijalankan adalah menjalankan operasional yang sudah dijalankan selama ini. Keputusan yang dihasilkan merupakan suatu strategi dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan: 1) Strategi SO : Strategi
ini
memanfaatkan
seluruh
kekuatan
unuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk mengatasi ancaman; 3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan yang ada; 4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang). Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal Faktor internal Kekuatan ............ ............ Kelemahan ............ ............
Faktor Eksternal Ancaman ............ ............ Peluang ............. .............
Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Menurut Rangkuti (2005) pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut: 1) Pada kolom satu tabel diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (matriks strategi internal) serta peluang dan ancaman (matriks strategi eksternal); 2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting); 3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4 (pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
18
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan kelemahannya sangat kecil maka nilainya 4 ; 4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan rating; 5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom 4. Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4. Tabel 2 Faktor Strategi Internal (IFAS) Faktor Internal 1. Kekuatan ..... ..... 2.Kelemahan ..... .....
Bobot
Rating
Bobot x rating
Tabel 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Faktor Eksternal 1. Peluang ..... ..... 2.Ancaman ..... .....
Bobot
Rating
Bobot x rating
Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT. Tabel 4 Tabel SWOT IFAS
EFAS Oportunities (O) ............... .............. Threats (T) ................. .................
Strengths (S) .................. .................
Weaknesses (W) .................. ...................
Strategi SO Strategi WO
Strategi ST Strategi WT
19
Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh dalam perhitungan maka kebijakan yang ditetapkan semakin tepat. Hal ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut dapat mengatasi adanya kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya, maka kebijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak yang tidak memuaskan bagi objek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan.
2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada. QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang disasarkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang baik untuk organisasi (David, 2003).
2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan 2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Maret 1980 mengeluarkan pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif
20
Indonesia (ZEEI). Undang-undang ini didasari atas pentingnya melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumberdaya alam non hayati, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan. Pengembangan ZEEI juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumberdaya alam di zona tersebut. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang- undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2). Hak berdaulat dapat dilihat pada Pasal 4, bahwa Indonesia berhak melakukan kegiatan di ZEEI, antara lain Indonesia berhak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. Indonesia berhak atas juridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut juga diakui dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Selain bahwa kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Pemerintah RI atau berdasarkan persetujuan Internasional dengan Pemerintah RI dan dilaksanakan menurut syarat- syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut, kegiatan tersebut juga harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintan RI. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah RI untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia hal ini berdasarkan BAB IV tentang kegiatan-kegiatan di ZEEI Indonesia.
21
Aparatur penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan Pasal 13, dapat melakukan tindakan berupa penangkapan terhadap kapal dan/atau orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI yang meliputi tindakan penghentian kapal sampai menyerahkan kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan dimana perkara dapat diproses lebih lanjut. Tindakan penangkapan oleh aparatur penegakan hukum ini harus dilaksanakan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh hari kecuali bila terdapat keadaan mendesak. Pasal 14 menjabarkan bahwa aparatur penegak hukum adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang yang melanggar tersebut. Pasal 15 menjelaskan bahwa permohonan pembebasan terhadap pihak yang melanggar tersebut dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari pengadilan negeri yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan apabila sudah menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan. Ketentuan pidana dapat dilihat pada Pasal 16 dicabut, hal ini berdasarkan Pasal 110 ayat (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 2.6.2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pada Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas antara lain: 1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
22 2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan; 3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; 7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; 8) Menyelenggarakan
identifikasi
kepolisian,
kedokteran
kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; 12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan. Tindakan bertujuan untuk membantu tugas Kepolisian Begara Republik Indonesia dalam memberantas tindak kejahatan yang ada. Tindakan tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
23
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan; 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau Mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang juga merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tersebut belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Selain itu, undang-undang ini disahkan juga dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal. Pasal 5 menerangkan bahwa Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
24 dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pengelolaan perikanan di luar
wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Dijelaskan pada Pasal 8 bahwa setiap orang baik nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, Anak Buah Kapal (ABK) yang melakukan penangkapan ikan, pemilik kapal, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan serta pemilik perusahaan pembididaya ikan, kuasa pemilik perusahaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidaya ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bengunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WWP Republik Indonesia. Penggunaan alat, cara, bangunan dan bahan-bahan tersebut diperbolehkan hanya untuk penelitian yang diatur dalam peraturan pemerintah. Ketentuan selanjutnya pada Pasal 9 bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia. Ketentuan mengenai API dan/atau alat bantu penangkapan ikan tersebut diatur dengan peraturan menteri. Pada Pasal 12 dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WPP Republik Indonesia. Setiap orang juga dilarang membudidayakan ikan, membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika dan menggunakan obat-obatan dalam pembudidayakan ikan yang dapat membahakan sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia di WPP Republik Indonesia yang lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah. Ketentuan larangan selanjutnya pada Pasal 16 bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumberdaya ikan, dan/atau lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke laut WPP Republik Indonesia
25
yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Ikan hasil tangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan hal ini ada pada Pasal 20 ayat (6). Dijelaskan pada Pasal 26, bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penengkapan, pembudidaya ikan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di WPP RI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dimana kewajiban ini tidak berlaku untuk nalayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil. Ditambahkan pada Pasal 27 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk penangkapan ikan di WPP RI dan/atau laut lepas wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), namun SIPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil seperti dijelaskan pada ayat 5 Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Pada ayat (3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia di WPP RI atau mengoperasikan kapal asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli. Sedangkan pada ayat (4) dijabarkan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkpan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Menurut Pasal 28 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera Indonesia di WPP Republik Indonesia wajib memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), namun SIKPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil seperti dijelaskan pada ayat (4) Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Pada ayat (3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Pada
26 Pasal 28A ditekankan bahwa setiap orang dilarang memalsukan dan
menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu. Pasal 29 menjelaskan bahwa usaha perikanan di WPP RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Pengecualian diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pada Pasal 30 dikatakan bahwa pemberian SIUP kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah RI dan Pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian ini harus mencantumkan kewajiban Pemerintah negara berbendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara berbendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut. Selain itu Pemerintah RI juga menetapkan peraturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya. Dijelaskan pada Pasal 35A ayat (1) bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di WPP RI wajib menggunakan nakhoda dan ABK berkeluarganegaraan Indonesia. Sedangkan pada ayat 2 ditambahkan bahwa kapal perikanan berbendera saing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah ABK. Pelanggaran terhadap kapal perikanan berbendera asing tentang ABK ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin dimana mengenai pengenaan sanksi
administratif diatur dalam peraturan pemerintah, hal ini
terdapat pada ayat (3) dan (4). Ketentuan pada Pasal 38 ayat 1 bahwa setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak memiliki SIUP selama berada di WPP RI wajib menyimpan API di dalam palka. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP dengan satu jenis API tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa API lainnya.
27
Sedangkan pada ayat (3) menambahkan bahwa setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP wajib menyimpan API dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang diizinkan di WPP RI. Pada Pasal 39 dijelaskan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 jenis API yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah penangkapan ikan. Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis, dimana
mengenai persyaratan
administrasi dan kelayakan teknis diatur dalam peraturan menteri. Pada Pasal 44 ayat (1) surat persetujuan berlayar juga harus dimiliki oleh kapal perikanan sesuai dengan Pasal 42 ayat (2) yang dikeluarkan oleh syahbandar pelabuhan setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. Pungutan perikanan diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya ikan dan lingkungannya di WPP RI dan di luar WPP RI dikenakan pungutan perikanan. Pungutan ini merupakan penerimaan negara bukan pajak dan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Sesuai dengan Pasal 49, setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI juga dikenakan pungutan perikanan. Pada Pasal 50 dijelaskan bahwa pungutan perikanan digunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya. Ketentuan mengenai pungutan perikanan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sesuai dengan Pasal 51. Dijelaskan pada Pasal 66 bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang meliputi kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, perbenihan, pengolahan, distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan,dan ikan hasil rekayasa genetik.
28 Dilanjutkan pada Pasal 66A bahwa pengawas perikanan merupakan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk, mereka dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan. Pengawas perikanan yang dimaksud dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan yang diatur pada peraturan menteri. Pasal 66B menjabarkan bahwa pengawas perikanan melaksanakan tugasnya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kapal perikanan, pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk, pelabuhan tangkahan, sentra kegiatan perikanan, area pembenihan ikan, area pembudidayaan ikan, unit pengolahan ikan, dan/atau kawasan konservasi perairan. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas diatur dalam peraturan menteri. Wewenang pengawas perikanan terdapat pada Pasal 66C antara lain memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan, memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan, memeriksa kegiatan usaha perikanan, memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan, memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI, mendokumentasikan hasil pemeriksaan, mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk keperluan pengujian laboratorium, memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan, menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik, menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pengawas perikanan dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
29
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan hal ini sesuai dengan Pasal 67. Pasal 68 dikatakan bahwa Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. 2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun
20004 tentang
Tentara Nasional Indonesia disebutkan bahwa Angkatan Laut yang merupakan bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas antara lain: 1) Melaksanakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) matra laut di bidang pertahanan; 2) Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; 3) Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; 4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan 5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. 2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan.
Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban msayarakat, menagakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari
30 kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan
kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Beberapa kesepakatan yang dapat diambil antara lain adalah bahwa dalam rangka mendorong dan mengembangakn sistem pengamanan di lingkunagn DKP, maka Kepolisian menyiapkan tenaga pelatih profesional guna melakukan pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang dimiliki jajaran DKP. Pihak Kepolisian juga membantu piranti lunak dan keras untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka pelaksanan sistem pengawasan. Dalam rangka peningkatan kemampuan Penyidik Pegawai Begeri Sipil (PPNS) DKP, maka kepolisian dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai Pasal 4. Bidang operasional pada Pasal 5 dikatakan bahwa DKP dan kepolisian mendahulukan tindakan preventif dan persuasif dalam menangani kasus-kasus yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas dibidang kelautan dan perikanan, sepanjang tidak atau belum dikategorikan tindakan pidana. Pasal 6 dan Pasal 7 melanjutkan bahwa kedua pihak dapat saling memberitahukan mengenai informasi adanya perbuatan dari pihak tertentu yang merugikan dan/atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan. Informasi tersebut dapat disampaikan oleh jajaran DKP kepada jajaran Kepolisian setempat untuk ditendak lanjuti yang dalam prosesnya DKP wajib membantu Kepolisian. Tindak lanjut pada Pasal 8, apabila terjadi tindak pidana membuat kepolisian memerlukan penyitaan barang bukti berupa dokumen kelautan dan perikanan, dapat meminta bantuan kepada DKP. Pelanggaran yang memerlukan kesaksian dari pejabat DKP atau dinas, maka pemanggilan sebagai saksi disampaikan kepada yang bersangkutan di tingkat pusat melalui menteri KP dan di tingkat Daerah melalui dinas, kabupaten/kota yang bersangkutan. Pejabat dapat menunjuk anggota yang membidangi permasalahannya atau apabila diperlukan dapat memberikan keterangan tertulis.
31
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Pasal 1 mengatakan bahwa guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas penyidik dan untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, informasi dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di bidang perikanan secara terpadu, dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Dilanjutkan pada Pasal 2 dikatakan bahwa Forum tersebut mempunyai tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Pasal 3 menjelaskan bahwa forum menyelenggarakan fungsi antara lain: 1) Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan; 2) Identifikasi, jenis, modus operandi, volume/frekwensi, dan penyebaran praktik- praktik tindak pidana di bidang perikanan; 3) Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap; 4) Penyuluh dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjasinya tindak pidana di bidang perikanan; 5) Identifikasi, pengukuran, dan analisis signifikansi tindak pidana di bidang perikanan secara periodik; 6) Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; 7) Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; 8) Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; dan 9) Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan. Susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan pada Pasal 4 adalah sebagai berikut:
32
1) Ketua
: Menteri Kelautan dan Perikanan
2) Wakil Ketua I
: Kepala Kepolisian Negara RI
3) Wakil Ketua II
: Kepala Staf TNI AL
4) Sekretaris I merangkap anggota
: Direktur Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, DKP
5) Sekretaris I merangkap anggota
:Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia
6) Anggota
:
(1) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung (2) Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL (3) Direktur Jendral Imigrasi, Departeman Hukum dan HAM (4) Direktur Jendral Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan (5) Direktur Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan (6) Direktur Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (7) Direktur Pidana, Mahkamah Agung (8) Direktur Polisi Parairan, Badan Pembinaan Keamanan, Mabes Polri Pasal 5 menjelaskan bahwa untuk mendukung tugas forum, dibentuk tim teknis sesuai dengan kebutuhan yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait dan ditetapkan oleh ketua forum. Tim bertugas menyampaikan laporan dan bertanggung jawab kepada ketua forum. Pada Pasal 6 dilanjutkan bahwa forum di daerah ditetapkan oleh gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota. Keanggotaan forum di daerah terdiri dari instansi terkait di provinsi atau kabupaten/kota setempat. Pembiayaan dijabarkan pada Pasal 8 yaitu dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) DKP.
33
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dengan judul “Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan” akan dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2012 di kantor lembaga penegak hukum PSDKP Gambir Jakarta Selatan, Polisi Perairan Tanjung Priuk Jakarta Utara dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Cilangkap Jakarta Timur.
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.2.1 Metode pengumpulan data Data yang akan diambil dalam penelitian ini adalah data terkait pengawasan. Data bersifat primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuisioner, dan wawancara dengan pihak terkait. Sedangkan data sekunder diperoleh studi pustaka terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta akses internet melalui situs-situs yang terkait dengan penelitian. 3.2.2 Pengolahan data
Gambar 4 Kerangka pemikiran Identifikasi isu permasalahan dilakukan. Penelitian menggunakan dengan menggunakan tiga analisis, yaitu analisis kelembagaan atau analisis tupoksi,
34 analisis hukum atau analisis peraturan perundang-undangan dan analisis kebijakan
atau analisis SWOT dan matriks QSPM. Setelah dianalisis akan didapatkan efektifitas kelembagaan penegakan hukum.
3.3 Metode Analisis Data 3.3.1 Analisis kelembagaan Analisis kelembagaan yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis tupoksi. Tupoksi dari masing-masing
kelembagaan penegak hukum di
deskripsikan lebih jelas, dijabarkan mengenai ranah kerja dari tiap kelembagaan. Analisis digunakan untuk menjawab tujuan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing lembaga penegak hukum. 3.3.2 Analisis hukum Analisis hukum digunakan untuk menilai berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Analisis digunakan untuk menjabarkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya. Ketiga lembaga penegakan hukum yaitu Polisi, TNI AL, dan PSDKP diteliti dengan menggunakan dua variabel, yaitu variabel kewenangan dan variabel kewilayahan. 1) Variabel Kewenangan Variabel kewenangan ini bertujuan untuk melihat uraian dasar hukum dari masing-masing lembaga. Dasar hukum yang digunakan antara lain Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004, Kesepakatan Bersama antara
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
No:
10/KB/Dep.KP/2003
atau
No.Pol:
B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
35
Tabel 5 Variabel kewenangan
Dasar Hukum Polisi
Lembaga TNI AL PSDKP
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. 2) Variabel Kewilayahan Variabel kewilayahan ini bertujuan untuk melihat uraian wilayah operasi secara geografis dari masing-masing lembaga. Wilayah operasi secara geografis tersebut terbagi atas perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Variabel kewilayahan juga dianalisis dengan menggunakan enam dasar hukum seperti variabel kewenangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dengan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
No:
10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
36
Tabel 6 Variabel kewilayahan Wilayah Perairan Perairan Laut Pedalaman Kepulauan Teritorial ZEEI
Lembaga
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
3.3.3 Analisis Kebijakan Analisis
kebijakan
menggunakan
analisis
Strengths,
Weaknesses,
Opportunities, and Threats (SWOT) dan matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM). 1) Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) Analisis digunakan untuk memberikan rekomendasi efektifitas penegakan hukum. Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Seperti diutarakan sebelumnya pada tinjauan pustaka bahwa metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang) masing-masing lembaga. Setelah didapatkan
37
dari ketiga lembaga tersebut, kemudian disatukan. Hal ini bertujuan untuk menentukan strategi bersama.Tahapan kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Proses pengisian dapat dilihat pada paparan sebelumnya di tinjauan pustaka. Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4. Kriteria nilai adalah sebagai berikut: 1) Lembaga penegakan hukum sangat tidak dapat diandalkan untuk melakukan fungsi pengawasan karena faktor internal dan eksternal sangat tidak mendukung; 2) Lembaga penegakan hukum tidak dapat diandalkan untuk melakukan fungsi pengawasan karena masih banyak faktor yang belum mendukung; 3) Lembaga penegakan hukum dapat diandalkan untuk melakukan fungsi pengawasan karena banyaknya faktor pendukung meskipun masih ada beberapa faktor yang kurang mendukung; 4) Lembaga penegakan hukum sangat dapat diandalkan untuk melakukan fungsi pengawasan karena faktor internal dan eksternal sangat mendukung dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil. Tahapan ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT. Semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh dalam perhitungan maka kebijakan strategi alternatif yang ditetapkan semakin tepat bagi lembaga penegakan hukum. 2) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM)
Langkah-langkah dalam membuat matriks QSPM adalah sebagai berikut : 1) Buatlah daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan internal kunci di kolom kiri QSPM. 2) Berilah bobot pada setiap faktor internal dan eksternal kunci.
3) Periksalah matriks-matriks pencocokan dan kenalilah strategi-strategi alternatif yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan. 4) Tentukan nilai daya tarik (AS). Cakupan daya tarik adalah : 1 = tidak menarik; 2 = agak menarik; 3 = wajar menarik; 4 = sangat menarik.
38 5) Hitunglah nilai total daya tarik (WS). Total nilai daya tarik didefinisikan
sebagai hasil mengalikan bobot dengan daya tarik di masing-masing baris. 6) Hitunglah jumlah total nilai daya tarik. Jumlahkan total nilai daya tarik di masing-masing kolom strategi QSPM, jumlah total nilai daya tarik mengungkapkan strategi yang paling menarik (David, 2003). Pada analisis QSPM umumnya sama seperti pada analisis SWOT. Semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh maka prioritas kebijakan strategi alternatif yang ditetapkan semakin baik. sebaliknya apabila nilai yang diperoleh kecil, maka prioritas kebijakan strategi alternatif kurang baik.
39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kelembagaan 4.1.1 Polair Objek analisis kelembagaan adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pada masing-masing kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan. Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu meliputi: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Apabila melihat dari sejarah hukum Polair, Polair dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri No.4/2/3/Um, tanggal 14 Maret 1951 tentang Penetapan Polisi Perairan sebagai Bagian dari Djawatan Kepolisian Negara terhitung mulai tanggal 1 Desember 1950. Berdasarkan kedua dasar hukum ini dapat diperjelas bahwa seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar di tengah hamparan laut Indonesia yang sangat luas merupakan tugas dari Polair untuk memelihara keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum. 4.1.2 TNI AL Tugas pokok dan fungsi TNI AL berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1) Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; 2) Menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; 3) Melaksanakan tugas diplomasi AL dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; 4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan
40
5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Tugas pokok TNI secara umum dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) yaitu pada intinya menegakan kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dari ancaman dan gangguan. Pada ayat (2) dijabarkan bahwa tugas pokok dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan selain perang. Ditambahkan pada operasi militer selain perang diantaranya adalah membantu kepolisian dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang- Undang. Berdasarkan dasar hukum ini, dapat dijelaskan bahwa terdapat kalimat keamanan pada Pasal 9 ayat (2) di wilayah laut. Hal ini harus diperjelas agar tidak terjadi tumpang tindih dengan lembaga lain seperti Polair. 4.1.3 KKP Tugas pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat dilihat dari Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP 307/DJ-PSDKP/2011 Tentang Penetapan Pengawas pada Unit Pelaksana Teknis, Satuan Kerja dan Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Keputusan Dirjen tersebut pada urutan kedua mengatakan bahwa pengawas perikanan melaksanakan tugas pengawasan untuk kegiatan: 1) Penangkapan ikan; 2) Pembudidayaan ikan, pembenihan; 3) Pengolahan, distribusi keluar masuk ikan; 4) Distribusi keluar masuk obat ikan; 5) Konservasi; 6) Pencemaran akibat perbuatan manusia; 7) Plasma nutfah; 8) Penelitian dan pengembangan perikanan; 9) Ikan hasil rekayasa genetika; 10) Pengusahaan dan pemanfaatan pasir laut; 11) Pemanfaatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) berkoordinasi dengan instansi terkait; dan 12) Tugas lainnya yang diberikan oleh pimpinan.
41 Berdasarkan ketiga tupoksi lembaga penegakan hukum dapat dilihat bahwa
ketiganya memiliki persamaan tupoksi namun ada juga perbedaannya. Tabel persamaan dan perbedaan tupoksi ketiga lembaga tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tupoksi Lembaga Penegakan Hukum
No.
Tupoksi Polisi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Keamanan Ketertiban Penegakan Hukum Pertahanan Diplomasi Pembangunan dan Pengembangan Kekuatan Matra Laut Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Laut Pengawasan Sumberdaya
√ √ √
Lembaga TNI AL
PSDKP
√ √ √ √
√
√ √ √
Sumber : Pengolahan data primer
Analisis tupoksi lembaga penegakan hukum juga dapat dilihat dengan menggunakan diagram venn. Penggunaan diagram venn bertujuan untuk melihat tupoksi yang beririsan satu lembaga dengan lembaga lain. Keterangan nomor pada diagran venn mengikuti nomor tupoksi pada Tabel 7. Diagram venn didapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram Venn Tupoksi Lembaga Penegak Hukum Berdasarkan diagram venn tersebut, dapat dilihat bahwa polisi memiliki tumpang tindih tupoksi keamanan dengan TNI AL. Ketiga lembaga memiliki tumpang tindih tupoksi penegakan hukum. Tupoksi ketertiban hanya dimiliki oleh
42
Polisi, begitupun dengan tupoksi pengawasan hanya dimiliki PSDKP. Lembaga TNI AL juga memiliki tuposi yang berbeda dengan yang lain, antara lain pertahanan, diplomasi, pembangunan dan pertahanan kekuatan matra laut, dan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Objek penegakan hukum Polisi secara geografis adalah daratan dan lautan. Apabila dispesifikasi permasalahnnya, misalnya tindakan pencurian ikan, maka polair merupakan lembaga yang bertugas untuk memproses secara hukum. TNI AL dengan sangat jelas juga memiliki tugas dalam menegakan hukum di wilayah laut nasional. Jadi apabila ada suatu pelanggaran di laut, maka TNI AL juga merupakan lembaga yang bertugas untuk memprosesnya secara hukum. Pengawas SDKP juga memiliki tugas penegakan hukum, walau tidak disebutkan secara jelas, namun kegiatan yang disebutkan dalam Keputusan Dirjen merupakan kegiatan yang apabila dilanggar, akan terjerat hukum. Sebagai contoh kegiatan penangkapan ikan, apabila terjadi pelanggaran dalam kegiatan penangkapan ikan maka dapat dikenakan sangsi hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dengan demikian jelas bahwa ketiga lembaga tersebut memiliki tugas sama yakni penegakan hukum di wilayah laut nasional.
4.2 Analisis Hukum Analisis hukum menggunakan dua variabel, yakni variabel kewenangan dan variabel kewilayahan. 4.2.1 Variabel kewenangan Variabel kewenangan menggunakan enam dasar hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
No:
10/KB/Dep.KP/2003
atau
No.Pol:
B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
43
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Analisis variabel kewenangan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Analisis Variabel Kewenangan
Dasar Hukum Polisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Lembaga TNI AL
PSDKP
Pasal 14 Pasal 13
Pasal 41
Pasal 73 Pasal 73 Pasal 73 Pasal 9
Pasal 1 Pasal 1
Pasal 4 Pasal 4 Pasal 4
Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa masing-masing undang-undang memberikan kewenangan yang sama ataupun tidak pada lembaga. Undang- undang
tentang
perikanan
memberikan
kewenangan
kepada
ketiga
lembaga.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 hanya memberikan kewenangan kepada TNI AL. Pasal 14 undang- undang tentang ZEEI menjelaskan bahwa aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di ZEEI adalah perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata RI. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 juga memberikan jabaran bahwa TNI AL memiliki tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan
44 hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Aparatur TNI AL
dalam menjalankan tugasnya memiliki wewenang berdasarkan Pasal 13 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 yaitu melakukan penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang- orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses. Penyerahan ini harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure. Ketentuan pidana diatur pada Pasal 16 dan 17 yaitu apabila terdapat pelanggaran terhadap kegiatan di ZEEI dipidana dengan denda setinggi-tingginya Rp. 225.000.000,-. Tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang lingkungan hidup. Kegiatan merusak atau memusnakan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp. 75.000.000,-. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 memberikan kewenangan kepada dua lembaga yaitu Polisi, dan TNI AL. Pasal 13 dijabarkan bahwa tugas pokok Kepolisian antara lain adalah menegakan hukum. Hal ini berarti bahwa polisi bertangggung jawab dalam penegakan hukum di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk wilayah laut. Pasal 41 menambahkan, dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 memberikan kewenangan kepada ketiga lembaga yakni Polisi, TNI AL, dan PSDKP. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh PSDKP, perwira TNI AL, dan pejabat Kepolisi Negara Republik Indonesia. Penyidik dapat melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan yang kemudian Menteri
45
membentuk forum koordinasi tersebut. Wewenang penyidik disebutkan dalam Pasal 73A antara lain: 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2) Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 3) Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 4) Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 5) Menghentikan, memeriksa, menangkap, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6) Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; 7) Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; 9) Membuat dan menandatangai berita acara pemeriksaan; 10) Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; 11) Melakukan penghentian penyidikan; dan 12) Mengadakan
tindakan
lain
yang
menurut
hukum
dapat
dipertanggungjawabkan. Penyidikan sesuai dengan Pasal 73B undang-undang tentang perikanan memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama tujuh hari sejak ditemukan adanya tindak pidana. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari. Apabila pemeriksaan belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 hari. Apabila telah lewat 30 hari, maka penyidik harus mengeluarkan tersangka dari tahanan. Namun apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi sebelum 30 hari, maka tersangka dapat segera dikeluarkan. Penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum paling lama 30 hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Pasal
2
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
46 Nomor
PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan mengatakan bahwa forum tersebut mempunyai tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Susunan anggota forum dijabarkan pada Pasal 4 dengan Ketua adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua I adalah Kepala Kepolisian Negera RI, dan Wakil Ketua II adalah Kepala Staf TNI AL. Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia. 4.2.2 Variabel kewilayahan Variabel kewilayahan juga dilihat dari enam dasar hukum seperti pada variabel kewenangan. Kewilayahan secara geografis menggunakan empat wilayah yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Analisis variabel kewenangan dapat dilihat pada Tabel 9.
47
Tabel 9 Analisis Variabel Kewilayahan Lembaga
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 ttg Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Perairan Pedalaman
Wilayah Perairan Laut Kepulauan Teritorial ZEEI
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
TNI AL
TNI AL
TNI AL
Polisi PSDKP
Polisi PSDKP
Polisi PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
TNI AL
TNI AL PSDKP
TNI AL
TNI AL PSDKP
Sumber : Pengolahan data primer
Ketiga lembaga memiliki wewenang berbeda-beda pada wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial dam ZEEI. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 hanya memberikan kewenangan kepada TNI AL. Pasal 14 undang- undang tersebut menjelaskan bahwa aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di ZEEI adalah perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata RI. Penjabaran tentang variabel kewilayahan lembaga kepolisian, Undang- Undang Nomor 2 tahun 2002 Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa kepolisian
48
dalam melaksanakan peran dan fungsi meliputi seluruh wilayah negara RI. Pada penjelasan disebutkan bahwa wilayah negara RI adalah wilayah hukum berlakunya kedaulatan penuh negara RI sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sementara itu, menurut Pasal 3, fungsi kepolisian dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Pasal 41 menambahkan, dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini menjelaskan bahwa Polisi dan TNI berwenang hingga laut teritorial. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menerangkan bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pasal 73 menambahkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh PSDKP, perwira TNI AL, dan pejabat Kepolisi Negara Republik Indonesia. Namun dikarenakan dasar hukum kepolisian mengatakan bahwa wewenang kepolisian banya sampai laut teritorial, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa ketiga lembaga berwenang hingga wilayah laut teritorial sedangkan ZEEI berwenang TNI AL dan PSDKP. Pasal 9 (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan jabaran bahwa TNI AL memiliki tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Wilayah yurisdiksi nasional yang dimaksud merupakan wilayah berdaulat penuh dan wilayah hak berdaulat bagi Indonesia, hal ini didasari oleh ratifikasi Unclos 1982. Maka TNI AL berwenang hingga ZEEI. Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dengan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
No:
10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan menjelaskan bahwa KKP adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan
49 budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta riset kelautan dan perikanan. Hal ini menekankan bahwa pada keputusan menteri wilayahnya merujuk pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yakni hingga ZEEI. Sedangkan pada analisis hukum variabel kewenangan disebutkan bahwa pihak yang berwenang adalah Polisi dan PSDKP yang mewakili KKP. Tidak terlepas pada dasar hukum ZEEI bahwa yang berwennag hanya TNI AL, maka dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga yakni Polisi dan PSDKP memiliki wewenang hingga laut teritorial. Pasal
2
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan mengatakan bahwa forum tersebut mempunyai tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Susunan anggota forum dijabarkan pada Pasal 4 dengan Ketua adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua I adalah Kepala Kepolisian Negera RI, dan Wakil Ketua II adalah Kepala Staf TNI AL. Tindak pidana perikanan yang dimaksud adalah seluruh pelanggaran yang terjadi di WPP, yakni hingga ZEEI. Kembali mengingat bahwa hanya TNI AL yang berwenang pada ZEEI maka dapat disimpulkan tiga lembaga Polisi, TNI AL, dan PSDKP berwenang hingga laut teritorial sedangkan TNI AL hingga wilayah ZEEI. 4.3 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan untuk memberikan rekomendasi strategi alternatif efektifitas penegakan hukum serta prioritasnya yang selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan bagi lembaga penegak hukum. Penentuan efektifitas ini menggunakan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats) dan matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM).
50
4.3.1 Analisis Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT)
Analisis SWOT dijalankan dengan lebih dulu menentukan faktor internal dan eksternal. Hal ini digunakan juga untuk menentukan rekomendasi strategi alternatif penegakan hukum. 1) Faktor Internal Faktor internal berupa kekuatan (strength) yang didapat dari lembaga penegak hukum. (1) Sarana penunjang patroli Sarana penunjang patroli merupakan bagian penting dalam mendukung sumberdaya kelautan dan perikanan. Tanpa sarana yang memadai dan dapat diandalkan, pengawasan tidak dapat dilakukan dengan optimal. Sarana penunjang patroli antara lain alat utama sistem senjata (alusita), sistem pemantauan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS), borgol, seragam pengawas, peta, pentungan, peratuan perundang-undangan dan lain-lain. Sarana penunjang ini berfungsi agar lembaga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Senjata digunakan untuk mengamankan diri apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya terjadi serangan baku tembak di laut. Vessel monitoring system (VMS) berfungsi untuk menentukan posisi koordinat kapal. Fasilitas ini terdiri dari pusal pemantauan kapal atau fishing monitoring system (FMS), transmitter VMS on- line, dan transmitter VMS off-line. Hal ini berfungsi untuk mencatat posisi penting misalnya posisi kapal yang melakukan pelanggaran penangkapan tanpa surat izin. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri telah memasang transmitter VMS on-line pada 4.168 unit kapal perikanan berukuran lebih dari 60 GT, dan transmitter VMS off-line pada 1500 unit kapal berukuran 30-60 GT (KKP 2012). Peneliti mendapatkan informasi bahwa untuk senjata yang menempel di atas kapal Polair hanya senjata RPD Kaliber 12,7. (2) Satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah Sistem pengawasan merupakan sistem terintergrasi antar wilayah. Lembaga pengawasan memiliki satuan kecil yang bertempat di masing-masing daerah. Mereka bertugas untuk mengamankan perairan laur di wilayahnya. Terdapat satuan Polair di setiap Polda, Dinas Kelautan dan Perikanan di masing-masing daerah dan penempatan armada perang siap tempur TNI AL pada titik terluar
51 Indonesia. Terdapat 31 Polair di setiap Polda hingga tahun 2011 yang dapat
dilihat pada Lampiran 1 (www.polair.or.id). Selain Kepolisian, KKP juga memiliki satuan kewilayahan yang disebut Dinas Kelautan dan Perikanan. Pada tingkat pengawasan, KKP juga memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) Satuan Kerja (Satker) dan Pos Pengawasan SDKP yang tersebat diseluruh Indonesia. Daftar Dinas Kelautan dan Perikanan dapat dilihat pada Lampiran 2 (www.kkp.go.id) dan daftar UPT Satker dan Pos Pengawasan SDKP Lampiran 3 (KKP 2012). Apabila KKP memiliki Dinas Kelautan dan Perikanan dan Polisi memiliki Polair di setiap daerah untuk menjalankan fungsi pengawasannya, maka TNI AL juga memilikinya namun berbeda. TNI AL menggunakan sistem militer (show of force). Sistem militer ini merupakan sistem sistem yang selam ini dipercaya untuk menjaga pulau-pulau kecil terluar. Selain itu dapat juga digunakan untuk menjaga perikanan setempat dari illegal fishing dan destruktive fishing. Shof of force dilaksanakan dengan menempatkan kekuatan militer seperti personil TNI AL dan armada perang berupa kapal laut dan alusita (Paonganan 2010). (3) Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung Unsur penting lain dari pengawasan adalah personil atau SDM. Masing- masing lembaga tentu memilikinya, seperti satuan pengawas pada PSDKP, personil Polair dan perwira TNI AL. Personil yang ada menentukan kesuksesan dari kegiatan pengawasan yang dilakukan. Jumlah perwira TNI AL hingga tahun 2009 berjumlah 74.963 orang (Tempo 2010). Sedangkan untuk Polair memiliki jumlah personil sebanyak 1666 orang. Jumlah awak kapal atau personil patroli PSDKP dari tahun 2007 hingga tahun 2011 selalu mengalami penambahan. Tahun 2007 sebanyak 215, 2008 sebanyak 252, 2009 sebanyak 313, 2010 sebanyak 340 dan tahun 2011 sebanyak 346 personil (KKP 2011). Pembagian personil patroli berdasarkan kapal pengawasan dapat dilihat pada Lampiran 4. (4) Terdapat Dasar Hukum Dasar hukum telah lebih dulu dibahas pada analisi hukum. Masing-masing lembaga penegak hukum memang memiliki dasar kuat dalam melakukan fungsi pengawasan. PSDKP memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang Nomor 45
52 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
perikanan. Polisi air memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. TNI AL memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. (5) Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum (MoU) Lembaga-lembaga pengawasan menyadari bahwa mereka tidak akan mempu menjalankan fungsinya secara optimal sendiri. Kesepakatan antar lembaga dijalankan untuk membentuk kerjasama yang baik. Kesepakatan yang dibentuk, menuntut masing-masing lembaga dalam perannya agar tidak keluar dari apa yang telah disepakati. Kesepakatan ini juga yang menjadi dasar adanya patroli bersama. Adapun faktor internal berupa kelemahan (weakness) dijelaskan sebagai berikut: (1) Kurangnya jumlah kapal patroli Ketersediaan kapal patroli masing dirasa minim jumlahnya. Kapal yang ada belum mampu untuk dioperasikan ke seluruh wilayah perairan Indonesia. Masing- masing lembaga menyadari besarnya wiilayah perairan yang kita miliki dengan potensinya belum dapat diawasi seutuhnya dengan armada kapal yang ada. Kapal yang dimiliki TNI AL berjumlah 211 kapal. Kapal tersebut diklasifikasikan menjadi 5 bagian. Kapal Republik Indonesia berjumlah 136 buah, kapal Angkatan Laut berjumlah 71 buah, Kapal pasukan marinir sebanyak 2 buah, dan kapal brigade marinin serta kapal komando latih marinir masing-masing 1 buah (Tempo 2010). Daftar nama kapal dan penempatan yang dimiliki PSDKP dapat dilihat pada Lampiran 5 (KKP 2011) sedangkan daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki Polair terdapat pada Lampiran 6 (Polair 2012). (2) Keterbatasan kemampuan personil Personil atau SDM pengawasan Polair, PSDKP dan TNI AL juga memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan ini diantaranya keterbatasan komunikasi atau bahasa dengan awak kapal asing. Hal ini dikarenakan personil pengawasan tidak memiliki kemampuan bahasa khusus seperti bahasa Inggris. Permasalahan lain adalah ketidakmampuan personil dalam melakukan pengejaran. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain kemampuan pribadi dari personil saat di
53
lapang dalam menggunakan fasilitas kapal atau kemampuan menggunakan senjata. Pada beberapa kasus ditemukan pula permasalahan loyalitas dari personil dimana saat melakukan operasi di laut, personil dapat dengan mudah disogok dengan uang atau apapun yang menggiurkan. Kekurangan ini sudah berusaha untuk dukurangi dengan cara personil anggota Polair memiliki ijazah tindak pidana perikanan, bertujuan agar personil mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi. Perwira TNI AL juga dilatih untuk mahir dalam menggunakan alusita yang ada. Hal ini penguat dasar utama apabila terdapat hal buruk yang terjadi di laut. (3) Keterbatasan anggaran Anggaran merupakan mutlak perlu bagi sebuah kegiatan pengawasan. Anggaran operasi pengawasan yang rendah menyebabkan fungsi pengawasan secara preventive dan repressive kurang berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Anggaran Polair pada tahun 2012 adalah sebesar 230 Miliar Rupiah. Peneliti tidak mendapatkan data yang lain dikarenakan pihak Polair tidak memberikannya. Perkembangan alokasi anggaran PSDKP dari tahun 2001 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 10 (KKP 2012). Tabel 10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011 Tahun Alokasi (Rp.) 2001 28.305.803 2002 68.521.651 2003 119.181.981 2004 279.555.610 2005 151.033.197 2006 181.020.554 2007 255.502.405 2008 288.651.305 2009 345.635.561 2010 284.630.669 2011 362.704.000 Sumber : KKP 2012
Dukungan anggaran untuk pelaksanaan program PSDKP tahun 2011 sebesar Rp. 362.704.000.000 meningkat sebesar 21,53% dari alokasi anggaran 2010. Rincian alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011 disajikan dalam Tabel 11 (KKP 2012).
54
Tabel 11 Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011
No. 1. 2. 3. 4.
5.
Satuan Kerja Pusat (6 Satker) UPT PSDKP (5 Satker) Dekonsentrasi (33 Satker) Tugas Pembantu Kabupaten/Kota (2 Satker) Tugas Pembantu Provinsi (3 Satker) Total
Realisasi Penyerapan Alokasi Anggaran hingga 31 Persentase Anggaran Desember 2011 243.617.219.000 239.891.833.125 98,47 91.450.397.000 88.702.863.488 97,00
22.309.144.000 19.924.524.966 89,31
1.727.240.000 1.708.485.000 98,91
3.600.000.000 5.535.155.000 98,20 362.704.000.000
353.762.861.579
97.53
Sumber : KKP 2012
Selain berdasarkan satuan kerja, alokasi anggaran PSDKP juga dibagi berdasarkan kegiatan. Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011 dapat dilihat lampiran 7 (KKP 2012). (4) Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap Dasar hukum terhadap pengawasan adalah sebuah peraturan yang dijadikan acuan dalam pengawasan. PSDKP menyebutkan bahwa dalam peraturan perundang-undangan perikanan dan kelautan terdapat kelemahan yakni pada belum lengkapnya aturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah tentang pengawasan. Arah gerak bagi personil lapang ini yang sebenarnya merupakan gambaran lembaga dalam melakukan tugasnya. Lemahnya peraturan tersebut membuat lembaga perlu membuat peraturan tambahan agar ketika di lapang personil dapat memiliki acuan teknis. (5) Hambatan struktural dalam satu lembaga Hambatan paling memalukan adalah hambatan struktural dalam satu lembaga. Hambatan ini terjadi saat menangani kasus pelanggaran dimana antar elemen tidak saling mendukung. Modus pelanggaran yang sudah begitu jelas dilihat di laut, dapat begitu saja lepas dari hukum bahkan sebelum sempat sampai di meja pengadilan.
55
2) Faktor Eksternal. Faktor eksternal berupa peluang (opportunities) yang didapat dari lembaga penegak hukum. (1) Kerjasama internasional Kerjasama nasional antar lembaga memang penting, namun kerjasama internasional tidak kalah pentingnya. Dukungan dunia internasional dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang tertuang dalam UNCLOS 1982, dan konvensi internasional lainnya. Adapun kerjasama tersebut diantaranya IOTC, dan CCSBT. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) merupakan institusi regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Indonesia merupakan negara anggota ke-27. Kerjasama ini memungkinkan Indonesia untuk memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) merupakan kesepakatan untuk menjaga konservasi keberadaan tuna sirip biru. Dasar dari pembentukan ini adalah karena penurunan drastis jumlah tangkapan ikan tuna sirip biru. Hal ini dikarenakan penangkapan yang berlebihan oleh negara-negara maju dan berkembang. Indonesia menjadi anggota tetap pada tahun 2007. (2) Keterlibatan masyarakat Masyarakat terbukti merupakan partner paling dekat dengan lembaga yang berapa di daerah. Masyarakat mampu membantu personil pengawasan secara langsung. Bahkan dibeberapa daerah dikatakan masyarakat secara aktif membantu pelaksanaan secara mandiri berinisiatif membentuk kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS). Jumlah POKMASWAS selama kurun waktu 2007 hingga 2011 cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2010 ke 2011 jumlahnya sama. (KKP 2011).
56
Tabel 12. Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kep.Bangka Belitung Kep.Riau Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali
2007 47 8 109 3 12 1 16 70 21 2 26 57 30 9 10 13 33
2008 39 62 85 16 15 32 75 43 25 14 15 79 39 20 23 27 35
2009 39 62 84 16 15 32 76 77 25 14 15 79 46 16 23 27 35
2010 41 63 105 46 18 19 65 89 22 38 17 79 26 14 23 27 41
2011 41 63 105 46 18 19 65 89 22 38 17 79 26 14 23 27 41
Sumber : KKP 2011
(3) Teknologi berkembang pesat Pengembangan ilmu pengetahuan semakin baik. Banyak teknologi baru yang muncul yang dapat digunakan untuk membantu kegiatan pengawasan. Bahkan beberapa lembaga telah menyediakan anggaran khusus untuk mengadakan penelitian tentang teknologi
baru. Apabila hal
ini dapat
berkesinambungan maka pengawasan merupakan elemen penting dalam penggunaan teknologi tepat guna. Adapun faktor eksternal berupa ancaman (threat) dijelaskan sebagai berikut: (1) Kecepatan kapal asing Dilengkapinya personil pengawasan dengan berbagai teknologi, memang merupakan sebuah poin positif bagi dunia pengawasan perikanan. Terlebih kemampuan yang handal dalam menggunakannya. Namun ternyata saat bertemu dengan kapal asing di laut, tetap saja kemampuan kapal asing diatas kemampuan kapal pengawas. Kemampuan paling dasar yang disorot adalah kecepatannya. Kapal asing jauh lebih cepat dari kapal patroli. Hal ini sangat merugikan karena kapal patroli tidak dapal mengejar ataupun mendekat untuk melakukan pemeriksanaan dan langkah penahanan.
57
(2) Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing Nelayan merupakan salah satu pekerjaan beresiko tinggi terjangkit penyakit menular berbahaya. Khususnya nelayan migran yang meninggalkan kampung halamanya dalam kurun waktu yang lama, risiko terjangkit semakin besar. Entz, dkk dalam Nikijuluw (2008) mengatakan bahwa hasil penelitian di Thailand dengan jumlah responden 818 nelayan (terdiri dari 852 nelayan asli Thailand, 137 Myanmar, dan 99 Khmer), secara keseluruhan 15,5% positif HIV. Penyakit membahayakan ini dapat dengan mudah menyebarkan penyakit saat bertemu dengan personil pengawasan. Personil patroli tidak jarang terinfeksi penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing. Walaupun belum ada data resmi jumlah personil pengawasan yang terjangkit, namun permasalahan ini sudah menjadi topik besar dalam dunia pengawasan. (3) Modus operandi beragam Tindak pidana yang terjadi di kapal perikanan bukan hanya kasus ikan. Sering kali personil pengawas saat memeriksa kapal menemukan beberapa pelanggaran sekaligus. Tindak pidana itu antara lain penyelundupan narkotika, perdagangan manusia hingga penyelundupan warga negara asing. Frekuensi tindak pidana atau modus operandi selama kurun waktu 2007 hingga 2011 bersifat fluktuatif naik turun yang dapat dilihat pada lampiran 8 (KKP 2011). (4) Tumpang tindih antar lembaga pengawasan Hal paling penting yang berkaitan antar lembaga adalah tumpang tindihnya pengawasan antar lembaga tersebut. Hal ini dapat dilihat dari operasi, tata cara, dan petunjuk teknis penanganan tindak pidana di atas kapal. Pada beberapa kasus bahkan dikatakan perselisihan hingga peradilan. (5) Kebutuhan pasar internasional Pasar internasional merupakan faktor ekonomi yang selalu diperhitungkan disetiap negara. Ketergantungan pasar internasional terhadap produk kelautan dan perikanan yang semakin besar dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut pengawasan untuk bersifat suistainability (berkelanjutan). Apabila negara Indonesia salah dalam mengambil tindakan, maka embargo akan dikenakan. Embargo akan menimpa Indonesia dengan seluruh larangannya termasuk larangan pemasaran hasil perikanan ke luar.
58
3) Matriks internal factor evaluation (IFE) dan matriks eksternal factor evaluation (EFE).
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating. Penentuan bobot dan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari keempat responden tersebut dirata-rata. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan wawancara dengan responden maka teridentifikasi 10 faktor yang mempengaruhi faktor internal yang terdiri dari 5 kekuatan dan 5 kelemahan. Kekuatan yang dimiliki terdiri dari: (1) sarana penunjang patroli; (2) satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah; (3) memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung; (4) terdapat dasar hukum; dan (5) terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Kelemahan dalam faktor internal yang dimiliki antara lain: (1) kurangnya jumlah kapal patroli; (2) keterbatasan kemampuan personil; (3) keterbatasan anggaran; (4) aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap; (5) hambatan struktural dalam satu lembaga. Tabel matriks IFE efektivitas penegakan hukum dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum Faktor strategis internal Kekuatan A Sarana penunjang patroli B Satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah C Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung D Terdapat dasar hukum E Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum Kelemahan F Kurangnya jumlah kapal patroli G Katerbatasan kemampuan personil H Katerbatasan anggaran I Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap J Hambatan struktural dalam satu lembaga Total Sumber : Pengolahan data primer
Rata-rata
Skor
Bobot
Rating
0,095 0,105 0,105
3,8 3,75 3,65
0,362 0,395 0,384
0,115 0,1
4 3,5
0,461 0,351
0,958 0,085 0,09 0,11 0,098 1
1,2 1,7 1,5 1 1,9
0,114 0,145 0,135 0,11 0,186 2,643
59 Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum secara internal berada dalam kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,643. Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa kekuatan utama lembaga penegak hukum adalah terdapatnya dasar hukum dengan nilai 0,461. Dasar hukum memang merupakan acuan mutlak yang dapat digunakan oleh lembaga penegak hukum untuk menjalankan fungsinya. Lembaga yang tidak memiliki dasar hukum akan sangat lemah ketika menjalankan tugas dan fungsinya. Dasar hukum juga dapat dijadikan acuan posisi lembaga di kancah nasional. Apabila dasar hukum lembaga tersebut adalah undang-undang, maka lembaga tersebut memiliki dasar hukum tertinggi di negara Indonesia. Asal-muasal dasar hukum ini menjadi penting sekali apabila beberapa lembaga bertemu atau saling bersisihan di lapang, maka yang memiliki dasar hukum tertinggilah yang lebih memiliki posisi. Faktor kedua yaitu satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah dengan nilai 0,395. Sistem penguatan di pusat memang merupakan langkah jitu untuk memperkuat lembaga. Hal ini digunakan untuk menunjukan kepada lembaga lain bahwa lembaga tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa dan pantas diperhitungkan. Namun hal ini tidak berlaku bagi optimasi sistem di Indonesia. Negara seperti Indonesia yang luas dan memiliki banyak daerah-daerah terpencil memang memerlukan desentralisasi khusnya pada bidang pengawasan perikanan laut. Spesifikasinya adalah dibentuknya lembaga pengawasan tingkat daerah. Tindak pidana pelanggaran perikanan marak terjadi di daerah-daerah terpencil. Inilah yang menjadi dasar pentingya dibangun dan dikuatkannya lembaga pengawasan di daerah-daerah. Faktor ketiga adalah memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung dengan nilai 0,384. Keberadaan personil harus memadai dari jumlah. Jumlah mereka harus banyak sehingga bisa ditempatkan di titik-titik terluar Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Jumlah personil ini juga harus terdistribusikan merata sehingga seluruh daerah dapat terpantau kondisinya. Faktor keempat merupakan sarana penunjang patroli dengan nilai sebesar 0,362. Sarana penunjang patroli ini antara lain adalah alusita atau alat utama sistem
60 senjata dan satelit. Setiap personil terutama personil yang sedang melakukan
patroli di laut harus membawa senjata. Hal ini bertujuan untuk mengamankan diri apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Satelit juga diperlukan guna mencatat setiap koordinat kapal ikan yang sedang beroperasi. Faktor terakhir adalah terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegakan hukum dengan nilai 0,351. Kesepakatan ini dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik antar lembaga. Kesepakatan diharapkan dapat menjadi dasar untuk lembaga penegak hukum untuk bergerak bersama menjalankan tugas. Hal ini juga bertujuan untuk meminimumkan kesalahpahaman apabila terjadi perbedaan pendapat saat melaksanakan tugas. Kelemahan utama lembaga penegakan hukum adalah aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap dengan nilai 0,11. Seperti yang telah dijelaskan bahwa dasar hukum merupakan dasar bagi pelaksanaan tugas lembaga. Dasar hukum ini sudah seharusnya mencangkup seluruh hal mengenai pengawasan, namun hal ini tidak terjadi. Lembaga menyepakati bahwa dasar hukum yang ada masih belum lengkap atau masih banyak terdapat kelemahan. Belum lengkapnya dasar hukum ini harus segera dibenahi dengan dibuatkan peraturan-peraturan lain yang mendukung kelemahannya tersebut. Tidak lengkapnya dasar hukum dapat membuat lembaga pengawasan berfikir lebih dalam mengambil tindakan. Faktor kedua adalah kurangnya jumlah kapal patroli dengan nilai sebesar 0,114. Keterbatasan armada patroli berupa kapal memang merupakan kelemahan besar bagi suatu lembaga pengawasan. Dengan terbatasnya jumlah armada kapal, maka lembaga tidak bisa menjalankan fungsi dasarnya yaitu pengawasan patroli di laut. Pelaku tindak pidana perikanan akan makin bebas melakukan pelanggaran. Faktor ketiga adalah keterbatasan anggaran dengan nilai sebesar 0,135. Anggaran merupakan syarat yang harus ada untuk melaksanakan sesuatu termasuk pengawasan. Lembaga pengawasan diberikan anggaran tertentu untuk melaksakan tugasnya. Namun lembaga mengatakan bahwa anggaran yang diberikan masih belum cukup untuk menjalankan tugas dengan optimal. Misalnya untuk memberi solar untuk patroli. Anggaran solar masih sangat kurang untuk patroli armada ke seluruh laut Indonesia. Faktor keempat adalah keterbatasan kemampuan personil dengan nilai 0,145. Keterbatasan personil ini dilihat dari segi
61
kualitas. Dari segi kualitas personil antara lain adalah kemampuan memainkan senjata, membawa kapal, ilmu navigasi hingga kemampuan berbahasa asing. Banyak personil masih kurang dalam bidang menggunakan senjata. Mereka tau secara teori namun dalam pelaksanaan masih sangat kurang. Personil juga terbatas dalam ilmu navigasi hingga membawa kapal. Dalam keadaan darurat personil harus membantu nahkoda dalam hal ini. Hingga kekurangan utama personil adalah bahasa asing. Banyak sekali kasus yang terjadi dimana komunikasi menjadi permasalahan besar. Komunikasi tidak efektif dikarenakan keterbatasan pengetahuan. Faktor terkahir adalah hambatan struktural dalam satu lembaga dengan nilai 0,186. Hambatan diakui dapat menjadi kelemahan suatu lembaga penegakan hukum. Hambatan yang dimaksud adalah perbedaan sudut pandang atau penilaian dalam suatu tindak pidana dalam satu lembaga. Hambatan dapat terjadi pada tingkat patroli hingga penanganan kasus di pengadilan. Hal ini menjadi catatan buruk bagi lembaga tersebut. Penanganan sebuah penanganan kasus tindak pidana, sudah seharusnya tiap struktur memberikan kontribusi terbaik sesuai dengan arahan kerjanya. Mereka juga dituntut untuk dapat saling mendukung satu sama lain. Namun ternyata ada banyak perkara kasus dimana antar satu lembaga tidak mendukung. Pada faktor eksternal terdapat 3 faktor peluang dan 5 faktor ancaman. Peluang yang dimiliki terdiri dari: (1) kerjasama internasional; (2) keterlibatan masyarakat; (3) Teknologi berkembang pesat. Sedangkan ancaman yang dimilki antara lain: (1) kecepatan kapal asing; (2) wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing; (3) modus operandi beragam; dan (4) tumpang tindih antar lembaga pengawasan; (5) kebutuhan pasar internasional. Tabel matriks EFE efektivitas penegakan hukum dapat dilihat di Tabel 14.
62
Tabel 14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum
Faktor strategis eksternal Peluang A Kerjasama internasional B Keterlibatan masyarakat C Teknologi berkembang pesat Ancaman D Kecepatan kapal asing E Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing F Modus operandi yang beragam G Tumpang tindih antar lembaga pengawasan H Kebutuhan pasar internasional Total
Rata-rata
Skor
Bobot
Rating
0,127 0,125 0,129
3,5 3,3 3,8
0,444 0,412 0,49
0,125
1,2
0,15
0,12 0,124 0,129 0,122 1
2 1,5 1 1,8
0,24 0,186 0,129 0,22 2,269
Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2,269. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas penegakan hukum oleh lembaga penegakan hukum berada dalam level rata-rata. Diketahui pada Tabel 14 bahwa teknologi berkembang pesat menduduki urutan pertama sebagai peluang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Hal ini bisa dilihat dari nilai sebesar 0,49. Indonesia merupakan negara berkembang dimana merupakan incaran negara-negara maju untuk memasarkan hasil perkembangan teknologi yang ada. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teknologi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan mestinya. Lembaga penegakan hukum juga telah menjalankan sistem agar penggunaan teknologi dalam setiap menjalankan tugas selalu menggunakan teknologi unggulan. Konsistensi mengenai hal ini dapat dilihat pada saat latihan, lembaga selalu mengusahakan agar dapat belajar menggunakan teknologi baru yang nantinya dapat digunakan saat operasi di laut. Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah kerjasama internasional dengan nilai sebesar 0,444. Peluang ini didasarkan dengan banyaknya kerjasama berupa perjanjian-perjanjian dibidang perikanan. Perjanjian internasional yang telah dibuat contohnya antara lain UNCLOS 1982, FAO-CCRF, RFMO, WCPFC, IOTC, dan CCSBT. Perjanjian yang telah ada harus selalu dijalankan dengan baik. Hal ini berguna untuk saling mendukung antar negara. Kesepakatan internasional menjadi penting karena saat
63
ini sudah memasuki era perdagangan bebas. Selain itu kini konflik tindak pidana yang banyak terjadi juga lebih banyak melibatkan negara luar, atau dapat dikatakan pelakunya merupakan warga negara asing. Dengan adanya perjanjian tersebut, tindak pidana yang terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik. Faktor terakhir keterlibatan masyarakat. Peluang ini memiliki nilai sebesar 0,412. Keterlibatan masyarakat menjadi bantuan paling dasar bagi lembaga saat menjalankan tugas. Masyarakat dapat membantu dari proses operasi di laut, apabila terjadi tindak pidana seperti menggunakan alat tangkap terlarang hingga kasus penyidikan di pengadilan. Masyarakat membentuk kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) di beberapa wilayah guna membantu lembaga penegakan hukum PSDKP. Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas penegakan hukum lembaga penegakan hukum adalah tumpang tindih antar lembaga pengawasan. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0,129. Lembaga penegak hukum di bidang perikanan antara lain adlan PSDKP, TNI AL, dan Polair. Ketiga lembaga tersebut mengakui adanya tumpang tinding antar mereka. tumpang tindih dapat terjadi mulai dari proses paroli pengawasan di laut, hingga penyidikan. Tumpang tinding ini memiliki pengaruh paling besar dari kesuksesan lembaga menjalankan fungsi dan tujuannya. Faktor kedua adalah kecepatan kapal asing dengan nilai 0,15. Kapal asing memiliki banyak keunggulan. Keunggulan yang dimaksud adalah keunggulan lebih kecepatannya kapal mereka. Keunggulan-keunggulan inilah yang menyebabkan proses patroli pengawasan di laut sulit dilakukan. Misalnya saat kapal patroli lembaga penegak hukum menemukan pelanggaran tindak pidana, dan beruska untuk mengejarnya, maka kapal tersebut dengan kecepatan tinggi, dengan teknolidi satelit yang lebih canggih dapat pergi dari pengejaran. Faktor ancaman ketiga adalah modus operandi yang beragam. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0,186. Tindak pidana yang terjadi di laut sangat beragam modus yang ada antara lain pelanggaran penggunaan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan endemik, pembuangan limbah di laut, hingga pengelundupan manusia, narkoba, senjata dengan menggunakan kapal ikan. Beragamnya modus yang ada membuat lembaga penegak hukum kesulitan. Hal ini dikarenakan tupoksi menganai penanganan masing-masing modus berbeda-beda. Faktor
64 keempat dengan nilai 0,22 adalah kubutuhan pasar internasional. Pasar bebas yang
dihadapi negara-negara di dunia menuntutnya untuk dapat memenuhi kebutuhan. Seperti kebutuhan akan ikan laut. Seluruh negara di dunia bersaing untuk dapat menjadi nomor satu. Bahkan negara-negara yang tidak memiliki laut pun ikut bersaing dengan memiliki kapal ikan untuk menangkan ikan di laut lepas. Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah perairan yang luas juga merupakan negara yang selalu diperhitungkan untuk menyediakan kebutuhan akan ikan laut. Hal ini menjadi dasar ancman apabila Indonesia sedikit saja mengalami kesalahan dalam prosedur, maka Indonesia akan mendapatkan embargo dari negara-negara asing. Kesalahan dapat terjadi dari berbagai unsur, baik penangkapan pengolahan hingga pemasaran. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang disengaja ataupun kesalahan yang tidak disengaja. Embargo ini yang menjadi hal yag ditakuti oleh Indonesia. Faktor terakhir adalah wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing dengan nilai 0,24. Lingkungan yang tidak terjamin kebersihannya merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit yang diidap oleh ABK. Penyakit yang dibawa umumnya merupakan penyakit aneh hingga penyakit berbahaya seperti AIDS. Tidak jarang mereka urung melaksanakan tugasnya karena takut tertular penyakit. Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2,643 dan 2,269. Penggabungan nilai IFE dan EFE pada matriks IE menunjukan efektivitas pengawasan lembaga pengawasan hukum di bidang perikanan berada pada sel lima (V) seperti yang terlihat pada Gambar 6. Total Rata-rata Tertimbang IFE
Tinggi (3,0-4,0)
Kuat (3,0-4.0) I
Rata-rata (2,0-2,99) II
Lemah (1,0-1,99) III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Total Sedang Rata-rata (2,0-2,99) Tertimbang EFE Rendah (1,0-1,99)
Gambar 6 Matriks IE
65
Berdasarkan gambar matriks IE di atas dapat diketahui bahwa efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan berada pada sek lima (V) sehingga strategi yang terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan melakukan perbaikan sistem pengawasan dari segi hukum dan kerjasama serta pengawasan yang optimal. Perbaikan sistem hukum dapat dilakukan dengan menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada. Kerjasama perlu ditingkatkan antar lembaga, masyarakat maupun dengan instansi luar negeri. Pengawasan yang optimal perlu dilakukan seperti peningkatan armada kapal, peningkatan fasilitas kapal, penggunakan teknologi canggih, hingga peningkatan personil patroli. 4) Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT) Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST dan WT. Perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strengths-Opportunities), ST (Strenghts-Threats), WO (Weaknesses-Opportunities) dan WT (Weaknesses- Threats) yang dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi bisnis yang dibangun dengan menggunakan matriks SWT dapat dilihat pada Tabel 15.
66
Tabel 15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan IFAS
EFAS
Peluang (Opportunities) O1. Kerjasama internasional; O2. Keterlibatan masyarakat; O3. Teknologi berkembang pesat.
Ancaman (Threats) T1. Kecepatan kapal asing; T2. Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing; T3. Modus operandi yang beragam; T4. Tumpang tindih antar lembaga pengawasan. T5. Kebutuhan pasar internasional
Sumber : Pengolahan data primer
Kekuatan (Strengths) S1. Sarana penunjang patroli; S2. Satuan pangawasan kewilayahan setiap daerah; S3. Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung; S4. Terdapat dasar hukum; S5. Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. SO SO1. Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang (S1, S2, O2) SO2.Peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing (S4, S5, O1) ST ST1. Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada (S4, S5, T5) ST2. Meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll (S1, S3, S5, T1, T2, T3) ST3. Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan (S4, S5, T4)
Kelemahan (Weaknesses) W1. Kurangnya jumlah kapal patroli; W2. Keterbatasan kemampuan personil; W3. Keterbatasan anggaran; W4. Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap; W5. Hambatan struktural dalam satu lembaga.
WO WO1. Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih (W1, O1, O3) WO2. Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum (W4, W5, O1)
WT WT1.Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. (W1, W2, W3, W4, W5, T1, T2, T3, T4, T5)
67
Dari analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi yang dijelaskan sebagai berikut: (1)
Strategi Strengths-Opportunity (SO) Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang diperoleh, maka strategi yang sebaiknya dilakukan adalah penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap meningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang. Kepemilikan terhadap sarana penunjang patroli, serta satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah yang mendukung merupakan kekuatan utama. Kekuatan ini diimbangi dengan keterlibatan masyarakat. Hal ini menjadi peluang utama yang bisa diambil untuk menjalankan strategi kedua. Strategi kedua merupakan peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing. Strategi ini didasari oleh adanya dasar hukum dari masing-masing lembaga dan adanya kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Selain itu terdapat pula kerjasama internasional. Kombinasi antara kekuatan dan peluang yang ada ini memungkinkan lembaga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kegiatan tindak pidana di bidang perikanan. (2)
Strategi Weakness-Opportunity (WO) Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah menambahkan jumlah kapal patroli dan menambahkan teknologi canggih. Strategi ini dimaksudkan untuk memenuhi kekurangan dari kebutuhan kapal. Strategi ini juga muncul dikarenakan adanya kerjasama internasional. Dengan demikian lembaga dapat mengambil untung dengan mendapatkan pembagian seperti penambahan kapal dan teknologi canggih dari dunia internasional. Strategi yang kedua adalah membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum. Lembaga menyadari adanya aturan pelaksanaan dasar hukum yang belum lengkap hingga terdapatnya hambatan struktural dalam satu lembaga. Kedua hal ini merupakan
68 kelemahan dasar dari munculnya strategi yang harus di tanggulangi.
Penanggulangan dapat ditempuh dengan memanfaatkan peluang adanya kerjasama internsional yang sudah ada lebih dulu. (3)
Strategi Strengths-Threats (ST) Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk menghindari
ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada. strategi ini ditempuh untuk memenfaatkan kekuatan betupa adanya dasar hukum dan kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Strategi juga ditempuh
untuk menhindari
ancaman berupa kebutuhan pasar internasional. Strategi kedua adalah meningkatkan kemampuan kapal dan personil partoli serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi, dan lain-lain. Hal ini didasari oleh kepemilikan sarana penunjang patroli dan jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung. Sehingga personil yang ada dapat ditingkatkan dari segi kemampuannya. Faktor lain adalah adanya kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Lembaga dapat memanfaatkannya untuk pengadaan fasilitas. Strategi ini lahir dari ancaman akan keunggulan cepatnya kapal asing, wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing dan modus operandi yang beragam. Strategi ketiga adalah melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi dari masing-masing lembaga pengawasan. Tugas pokok dan fungsi yang ada perlu dijelaskan atau diingatkan terus menerus. Tupoksi ini bisa didapatkan dari dasar hukum yang ada selama ini. Hal ini juga bisa dilihat dari kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Ancaman mengenai hal ini adalah dengan adanya tumpang tindih antar lembaga pengawasan. (4) Strategi Weakness-Threats (WT) Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapar menjalankan tugasnya dengan optimal. Sadarnya lembaga akan kekurangan yang ada seperti kurangnya jumlah kapal patroli, keterbatasan kemampuan personil dan anggaran, dasar hukum yang
69
dirasa belum lengkap, dan hambatan struktural dalam satu lembaga juga dengan acaman seperti kapal asing yang lebih unggul, wabah penyakit yang bisa menyerang personil patroli tiap saat hingga tumpang tindih antar lembaga pengawasan seharunya menjadi kesadaran tersendiri bagi lembaga. Mereka harus lebih sering melihat kekurangan dan ancaman yang ada apabila selama ini sehingga mereka akan cenderung untuk menguatkan internal kelambagaan.
Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas didapatkan sembilan rekomendasi strategi alternatif sebagai berikut: (1) Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang; (2) Peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing; (3) Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih; (4) Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum; (5) Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada; (6) Meningkatkan
kemampuan
kapal
dan
personil
patroli
serta
mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll; (7) Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan; (8) Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. 4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) Analisis digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling baik dalam mencapai efektifitas penegakan hukum. Matriks QSPM dapat dilihat pada Tabel 16.
70
Tabel 16 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) Faktor Bobot
I II AS WS AS WS 4 0,38 4 0,38 4 0,42 4 0,42 3 0,315 4 0,42 3 0,345 4 0,46 2 0,2 2 0,2
(S) S1 0,095 S2 0,105 S3 0,105 S4 0,115 S5 0,1 (W) W1 0,958 W2 0,085 W3 0,09 W4 0,11 W5 0,098 (O) O1 0,127 O2 0,125 O3 0,129 (T) T1 0,125 T2 0,12 T3 0,124 T4 0,129 T5 0,122 Total Prioritas
Strategi Alternatif III IV V VI VII VIII AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS 4 0,38 2 0,19 4 0,38 4 0,38 1 0,095 3 0,285 2 0,21 2 0,21 1 0,105 4 0,42 2 0,21 2 0,21 2 0,21 2 0,21 1 0,105 3 0,315 1 0,105 1 0,105 3 0,345 4 0,46 4 0,46 2 0,23 4 0,46 1 0,115 4 0,4 3 0,3 4 0,4 4 0,4 4 0,4 1 0,1
2 3 3 2 2
1,916 4 0,255 2 0,27 3 0,22 4 0,196 1
3,832 4 0,17 4 0,27 4 0,44 4 0,098 1
3,832 2 0,34 1 0,36 3 0,44 4 0,098 4
1,916 2 0,085 1 0,27 3 0,44 3 0,392 2
1,916 1 0,085 4 0,27 3 0,33 1 0,196 1
0,958 1 0,34 1 0,27 1 0,11 2 0,098 2
0,958 4 0,085 4 0,09 4 0,22 4 0,196 4
3,832 0,34 0,36 0,44 0,392
1 4 2
0,127 4 0,5 1 0,258 4
0,508 4 0,125 1 0,516 4
0,508 4 0,125 1 0,516 1
0,508 4 0,125 1 0,129 3
0,508 1 0,125 1 0,387 3
0,127 1 0,125 1 0,387 1
0,127 1 0,125 2 0,129 1
0,127 0,25 0,129
1 1 2 2 2
0,125 4 0,12 4 0,248 3 0,258 2 0,244 4 6,397 VI
0,5 2 0,48 1 0,372 1 0,258 1 0,488 3 9,937 I
0,25 1 0,12 1 0,124 3 0,129 4 0,366 2 8,753 II
0,125 1 0,12 1 0,372 1 0,516 2 0,244 5 6,612 IV
0,125 4 0,12 4 0,124 4 0,258 2 0,61 2 6,504 V
0,5 1 0,48 1 0,496 3 0,258 4 0,244 1 6,138 VII
0,125 2 0,12 2 0,372 2 0,516 1 0,122 2 4,455 VIII
0,25 0,24 0,248 0,129 0,244 7,796 III
Sumber : Pengolahan data primer
Berikut merupakan uraian singkat strategi pengembangan berdasarkan matriks QSPM beserta uraian singkat mengenai kebijakan yang dapat dilaksanakan untuk efektifitas penegakan hukum berdasarkan Tabel 16, antara lain: 1) Meningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing. (1) Aktif berperan serta dalam organisasi pengelolaan perikanan regional (regional
fisheries
management
organzaition,
RFMO)
maupun
internasional untuk fokus pada topik memberantas illegal fishing dan destruktive fishing. (2) Meratifikasi konvensi pembentukan RFMO yang berada di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI, seperti WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission) 2) Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih. (1) Meningkatkan armada kapal patroli dari segi jumlah hingga dapat memberikan pengawasan pada seluruh perairan Indonesia dan ZEEI.
71 (2) Optimalisasi penggunaan teknologi yang sudah ada agar tepat guna di
bidang pengawasan. (3) Tetap mengembangkan penelitian mengenai teknologi agar dapat bersaing dengan perkembangan teknologi negara lain. 3) Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. (1) Merinci jumlah personil patroli dan jumlah kapal serta kemampuannya untuk dibuat sistem pengawasan yang baik, agar seluruh wilayah Indonesia dapat diawasi. (2) Menempatkan kapal, senjata dan personil
yang mumpuni dalam
menggunakannya pada titik rawan terjadi hal paling berbahaya, seperti baku tembak. (3) Selalu memberikan motivasi kepada personil bahwa pengawasan adalah hal penting sehingga mereka melakukan kerja dengan optimal. 4) Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum. (1) Melakukan pendataan ulang dan kajian mengenai tata aturan yang sudah ada. Apabila terdapat tumpang tindih antar satu dengan lembaga lain, maka dapat dilakukan revisi dengan segera. (2) Membuat tata aturan yang dirasa masih kurang setelah melihat pendataan tata aturan sebelumnya. 5) Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada. (1) Membuat pendataan mengenai kebutuhan ikan pada pasar internasional dengan data yang tepat. Pendataan yang tepat ini menjadi penting dalam usaha mencapai kebutuhan tersebut. (2) Melakukan pendataan kesepakatan mengenai sistem yang harus ada dalam memenuhi kebutuhan ikan. Setelah itu mengingatkan pada bagian penangkapan, budidaya maupun pengolahan terhadap kesepakatan yang sudah ada agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penanganan yang baik.
72 6) Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif
kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang. (1) Memberikan pelatihan-pelatihan mengenai pengawasan perikanan kepada POKMASWAS
guna
menambah
kemampuan
untuk
membantu
pengawasan. (2) Memberikan fasilitas seperti pos berkumpul dan kapal pengawas kepada POKMASWAS agar dapat digunakan saat pengawasan. 7) Meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll. (1) Melakukan perawatan dan meningkatkan kemampuan dari mesin kapal yang juga disesuaikan dengan kondisi kapal agar dapat berlayar dengan maksimal. (2) Melakukan pelatihan-pelatihan personil seperti pelatihan penggunaan senjata, dan penggunaan alat komunikasi diatas kapal oleh mentor yang kompeten secara berkesinambungan. (3) Melakukan pendataan dan mengoptimumkan pengguanaan fasilitas yang sudah ada seperti VSM. 8) Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan. (1) Melakukan identifikasi kembali mengenai dasar hukum tentang tupoksi masing-masing lembaga. (2) Melakukan evaluasi secara berkala mengenai pelaksanaan tupoksi yang ada.
73
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini adalah bahwa tiga lembaga penegakan hukum yaitu Polair, TNI AL dan PSDKP memiliki tupoksi yang beririsan satu dengan yang lainnya. Polisi memiliki tumpang tindih tupoksi keamanan dengan TNI AL. Ketiga lembaga memiliki tumpang tindih tupoksi penegakan hukum. Tupoksi ketertiban hanya dimiliki oleh Polisi, begitupun dengan tupoksi pengawasan hanya dimiliki PSDKP. Lembaga TNI AL juga memiliki tuposi yang berbeda dengan yang lain, antara lain pertahanan, diplomasi, pembangunan dan pertahanan kekuatan matra laut, dan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Analisis hukum menjabarkan bahwa pada variabel kewenangan memberikan kewenangan kepada ketiga lembaga penegak hukum. Analisis variabel kewilayahan secara geografis menjabarkan bahwa TNI AL dan PSDKP berwenang hingga ZEEI sedangkan Polair hanya sampai laut teritorial. Penelitian memberikan beberapa strategi efektivitas penegakan hukum. Strategi dilihat dari faktor internal dan eksternal lembaga serta diuturkan berdasarkan prioritas. Strategi antara lain: 1) meningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing; 2) menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih; 3) menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal; 4) membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum; 5) menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada; 6) penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap
peningkatan
peran
aktif
kelompok
masyarakat
pengawas
(POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang; 7) meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dan lain-lain; 8) melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan.
74
5.2 Saran
Saran dari penelitian adalah dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan berkaitan dengan pengawasan dan penelitian lanjutan mengenai konflik kewenangan baik pada pengawasan di laut maupun saat penyidikan.
75
DAFTAR PUSTAKA
David FR. 2003. Strategic Management, Concepts and cases, 10th ed. New Jersey: Pearson Education Inc. 461 hal
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan. Jakarta: DKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Laporan tahunan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT Grasindo, Jakarta.
Nikijuluw V. 2008. Blue Water Crime. Jakarta: PT. Pusaka Cidesindo.
Paonganan Y. 2010. Babak Baru Pertahanan http://indomaritimeinstitute.org/?p=474 [5 mei 2010].
Laut.
Polair. 2012. Sejarah Polair. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/sejarah-polair [2 April 2012].
Polair. 2012. Tugas Pokok. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/tugas-pokok [2 April 2012].
Polair. 2012. Visi misi. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/visi-dan-misi [2 April 2012]
76
Purwaka TH. 2008. Hukum dan Kelembagaan Kelautan: Pengembangan Etalase Kelautan di Kepulauan Bangka Belitung. Jakarta: Fakultas Hukum. Universitas Katolik Indonesia. Atma Jaya-Jakarta. Januari 2008.
Purwaka TH. 2008. Model Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan. Jakarta: Fakultas Hukum. Universitas Katolik Indonesia. Atma Jaya-Jakarta. Januari 2008.
Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membelah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 1983. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta
Saaty TL. 2001. Decision Making For Leaders. Forth edition, University of Pittsburgh, RWS Publication.
Supriadi dan Alimuddin. 2011. Hukum Perikanan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Jakarta
Supratomo G. 2011. Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Alamat Polair daerah tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Polair
Alamat Aceh Jl. Indra Budiman No.15 Lampulo Banda Aceh Sumatera Utara Jl. Taman Makam Pahlawan No.1 Belawan Sumatera Utara Sumatera Barat Jl. Raya Padang Painan KM 16 Bumus Padang Sumatera Barat Riau Jl. Diponegoro No.462 Tg. Batu, Riau Bengkulu Jl. Ir. Rustandi Sugianto Pulaubay No.11 Bengkulu Jambi Jl. Raden Mataher No.3 Jambi Lampung Jl. Sudirman No.1 Pelabuhan Panjang Bandar Lampung Sumatera Selatan Jl. Mayor Zen Sel Lais Palembang Sumatera Selatan Metrojaya Jl. Pelabuhan Pos 3 Pondok Dayung Tg. Priok Jakarta Utara Jawa Barat Jl. Perniagaan No.8 Pelabuhan Cirebon Jawa Barat Jawa Tengah Jl. Amirang No.1 Semarang Jawa Tengah Daerah Istimewa Jl. Lingkar Utara Condong Catur Yogyakarta Yogyakarta Jawa Timur Jl. Intan No.1 Tg. Perak Surabaya Jawa Timur Bali Jl. Raya Pelabuahan Benoa Denpasar, Bali Nusa Tenggara Timur Jl. Timtim No.37 Kupang Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Jl. Majapahit Mataram Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Jl. Khatulistiwa No.300 Pontianak Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Jl. HM Arrsyad KM 15 Sampit Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Jl. Teluk Tiram Laut No.6 Banjarmasin Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Jl. A.W. Syahrani No.1 Balikpapan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Jl. Tarsius No.1 Tanduk Rusa Bitung Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Jl. Samudra No.10 Laiba Wani Palu Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
Jl. Perintis No.15 Suppa Kabupaten Pinrang
Sulawesi Tenggara
Jl. Bhayangkara Bahari Kendari
Maluku
Jl. Wolter Mongonsidi Lateri III Ambon
Banten
Jl. Yos Sudarso No.99 Banten
Bangka Belitung
Jl. Yos Sudarso Pelabuhan Pangkal Balan Pangkal Pinang Bangka Belitung
79
Lanjutan lampiran 1 Alamat Polair daerah di seluruh Indonesia
No. 28. 29. 30.
Polair Kepulauan Riau Gorontalo Maluku Utara
31.
Papua
Sumber: www.polair.or.id
Alamat Jl. RE Martadinata Sekupang Batam Jl. Mayor Dula Kota Gorontalo Jl. Komplek Pelabuhan A Yani Ternate Maluku Utara Jl. Samratulangi No.08 Jayapura
80
Lampiran 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14. 15.
16. 17.
18. 19.
Nama Dinas Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Selatan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Riau Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Riau Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bengkulu Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jambi Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DI Yogyakarta Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah
Alamat Jl. Tengku Malam No.7 Kuta Alam Banda Aceh 23121 Kotak Pos 124 Jl. Sei Batugingging No. 6 Medan, Sumatera Utara 25128 Jl. Koto Tinggi No. 9/II PO BOX 42, Padang 25128 Jl. Pangeran Ratu, Jakabaring Palembang knn Jl. Patimura No. 6 PO BOX 1052Pekan Baru 28131 Jl. R.E. martadinata Tanjung Pinang 29125 Jl. Cendana No.61 Bengkulu 38228 Jl. MT. Haryono No.9 Telanai Pura, Jambi Jl. Drs. Warsito No. 76 Bandar Lampung Teluk Betung 35215 Jl. Gunung Sahari Raya No. 11 Lt. 8 Jakarta Pusat Jl. Wastu Kencana No.17 Bandung 40117 Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DI Yogyakarta Jl. Imam Bonjol 134 Semarang, Jawa Tengah 50132
Dinas Perikanan Propinsi Jawa Timur Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku
Jl. Jend. A. Yani 152B Surabaya Jl. DR. Siwabessy No.16 PO BOX 75 Ambon 97117
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Utara
Jl. Tuna Raya No. 6 Sofifi Jl. Komp. Pertanian Kalasey PO BOX 1038, Manado 95013
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Balaikota No. 4 Kendari 93111
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah
20.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan
21.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Selatan
Jl. Undata no. 7 Palu 94111 Jl. Bajimanasa No. 12 Ujung Pandang Bautoloe Makassar 90126 Jl. Jend. Sudirman No. 9 Banjarbaru 70713
81
Lanjutan lampiran 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No.
23.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat
24.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Tengah
Alamat Jl. Kesuma Bangsa No. 1 Samarinda 75001 Jl. Sutan Sahrir No. 16 PO BOX 17 Pontianak 78116 Jl. Brigjen Katamso No. 2 PO BOX 41, Palangkaraya 73112
25.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali
Jl. Pattimura No. 77 Denpasar
26.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Barat Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kep. Bangka Belitung
22.
Nama Dinas Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Timur
27. 28. 29.
30.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten
31. 32.
33.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Gorontalo Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Papua Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Papua Barat
Sumber: www.kkp.go.id
Jl. Semanggi No. 8 Mataram 8125 Jl. Sangkar Mas Nunbaun Sabu Kupang Jl. Cut Nya Dien No. 13 Mamuju 91511 Jl. Komp. Perkantoran Kep. Babel Kec.Bukit Intan Pakalpinang Jln. Jenderal Sudirman Ruko Glodok Blok F 1-5 Kota Serang Baru, Serang-Banten Jl. M.H. Thamrin No. 170 Kota Gorontalo Jl. Sulawesi No.6-8 Dok VII PO BOX 1604, Jaya Pura 99116 Jl. Merdeka no. 7B Manokwari
82
Lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. 1.
UPT Pangkalan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Jakarta
Satker Pos 1. Muara Angke Cilincing P.Pramuka - Kepulauan Seribu Muara Kamal 2. Lempasing Kuala Taladas – Tulang Bawang 3. Pelabuhan Ratu Cidaun – Cianjur Garut 4. Karangantu Pulo Kale, Terate dan P.Panjang Labuan Kab.Tanggerang Lebak 5. Kejawanan Blanakan Karongsong Eretan 6. Pekalongan Wonokerto 7. Tegal Sari Brebes Pelabuhan Tegal Tanjung Sari – Pemalang 8. Cilacap Kebumen Sadeng / DIY 9. Juwana Karimun Jawa Sarang Karanganyar Tasik Agung Banyutowo – Pati Jobokunto – Jepara Morodemak 10. Batang Kendal Roban 11. Banyuwangi Muncar 12. Surabaya Gresik Sumenep Sampang 13. Prigi Malang Tulung Agung 14. Brondong Tuban
15. Probolinggo - 16. Bawean - 17. Benoa -
83
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. 1.
UPT Pangkalan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Jakarta
2.
Pengkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung
Satker Pos 18. Pengambengan - 19. Kupang Atapupu – Belu Atabua 20. Larantuka Ende Maumere 21. Labuan Lombok - Tobelo Donggala Parigi Mountong Banggai Malibago – Bolsel Banggai Kepualuan Labuan Uki – Bolmang Amurang – Minahasa Selatan Belang – Minahasa Tenggara Tumumpang Manado Likupang Kema Mamuju Utara Mamuju Majene Polewali Mandar Palopo Kota Balikpapan Samarinda Kota Botang 1. Bagho / Tahuna - 2. Melanguane P.Karatung Beo Salibabu 3. Makassar Selayar Sinjai Bone Pangkajene Kepulauan Jeneponto 4. Gorontalo Pahuwanto Boalemo 5. Kwandang Toli Toli
84
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. 2.
UPT Pengkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung
3.
Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pontianak
Satker Pos 6. Kendari Bau Bau Pasarwajo Wakatobi Kolaka Torobulu 7. Ternate Halmahera Utara Goto 8. Bacan - 9. Tarakan Derawan Sebatik – Nunukan Kab.Bulungan Kab.Berau 10. Banjarmasin Kotabaru Batu Licin Muara Kintap Entikong Badau Sajingan Jagoibabang P.Maya Sungai Rengas Sungai Kakap Kuala Mempawah Jakabarig – Palembang Sungsang Banyuasin Sungai Lumpur – Kabu – Paten OKI 1. Pemangkat Singkawang 2. Teluk Batang Pangkalanbun 3. Tanjung Balai - Karimun 4. Moro - 5. Batam - 6. Tarempa - 7. Natuna / Ranai - 8. P.Kijang / Bintan - 9. Sungai Liat Pangkal Balam PPI Sadai Kurau Muntok 10. Tanjung Pinang -
85
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. 4.
UPT Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Belawan
5.
Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Tual
Sumber: KKP (2012)
Satker
Pos Serdang Bedagai 1. Sabang / Sabang Lampulo Idi Aceh Selatan Aceh Besar 2. Tanjung Balai Bagansiapi – api Asahan P.Jemur Panipahan Sinaboi Batubara Indagiri Hilir Bengkalis 3. Sibolga P.Telo Pandan – Tapanuli Tengah Barus Mandaling Natal Sorkam Barat 4. Bungus Sikakap Carocok Tarusan Muara Padang Air Bangis 5. Kuala Tungkal Nipah Panjang 6. Panjung Pandan Manggar Gantung 7. P.Bali Bengkulu - 1. Ambon Banda Masohi Bula Tulehu 2. Merauke Wanam 3. Sorong Kab.Sorong Sorong Selatan Raja Ampat 4. Biak - 5. Jayapura - 6. Wimro Manokwari 7. Kimaan - 8. Kaimana Timika 9. Avonah - 10. Fak-fak Dobo Asmat
86
Lampiran 4 Jumlah personil patroli pada kapal PSDKP tahun 2007 hingga 2011
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Nama Kapal 2007 KP. Barracuda 001 8 KP. Barracuda 001 8 KP. Hiu 001 11 KP. Hiu 002 10 KP. Hiu 003 10 KP. Hiu 004 13 KP. Hiu 005 11 KP. Hiu 006 11 KP. Hiu 007 11 KP. Hiu 008 10 KP. Hiu 009 11 KP. Hiu 010 10 KP. Hiu Macan 001 14 KP. Hiu Macan 002 14 KP. Hiu Macan 003 14 KP. Hiu Macan 004 14 KP. Hiu Macan 005 0 KP. Hiu Macan 006 0 KP. Todak 001 9 KP. Todak 002 8 KP. Takalamungan 9 KP. Padaido 9 KP. Catamaran 1202 0 KP. Hiu Macan Tutul 001 0 KP. Akar Bahar 0
Sumber: KKP (2011)
2008 9 8 12 11 12 11 12 12 11 11 12 12 15 15 15 15 15 0 9 9 10 10 6 0 0
2009 9 9 13 14 14 13 14 12 13 12 12 13 18 16 18 17 17 16 8 10 10 10 5 20 0
2010 8 9 14 14 13 13 14 13 13 13 13 13 19 21 19 18 20 20 9 10 11 10 5 22 6
2011 10 11 13 13 14 14 12 15 13 15 14 14 18 19 17 18 20 20 9 9 13 10 7 21 7
87
Lampiran 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Nama Kapal KP. Baracuda 001 KP. Baracuda 002 KP. Hiu 001 KP. Hiu 002 KP. Hiu 003 KP. Hiu 004 KP. Hiu 005 KP. Hiu 006 KP. Hiu 007 KP. Hiu 008 KP. Hiu 008 KP. Hiu 010 KP. Hiu Macan 001 KP. Hiu Macan 002 KP. Hiu Macan 003 KP. Hiu Macan 004 KP. Hiu Macan 005 KP. Hiu Macan 006 KP. Todak 01 KP. Todak 02 KP. Takalamongan KP. Padaido KP. Kamla 1202 KP. Hiu Macan Tutul 001 KP. Akar Bahar KP. Marlin 1 (Speed Boat) KP. Marlin 2 (Speed Boat) KP. Marlin 3 (Speed Boat) KP. Marlin 4 (Speed Boat) KP. Marlin 5 (Speed Boat) KP. Marlin 6 (Speed Boat) KP. Marlin 7 (Speed Boat) KP. Marlin 8 (Speed Boat) KP. Marlin 9 (Speed Boat) KP. Marlin 10 (Speed Boat) KP. Marlin 11 (Speed Boat) KP. Marlin 12 (Speed Boat) KP. Marlin 13 (Speed Boat) KP. Marlin 14 (Speed Boat) KP. Marlin 15 (Speed Boat) KP. Marlin 16 (Speed Boat) KP. Marlin 17 (Speed Boat) KP. Marlin 18 (Speed Boat) KP. Marlin 19 (Speed Boat) KP. Marlin 20 (Speed Boat)
Penempatan Jakarta Jakarta Jakarta Bitung Jakarta Jakarta Bitung Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Bitung Bitung Bitung Bitung Jakarta Bitung Bitung Bali Bali Cilacap Muna Kota Baru Lombok Banjarmasin Bima Jakarta Makasar Manokwari Wondama Kaimana Timika Nabire Pengkep Sambas Padang Bulungan Pontianak
88
Lanjutan lampiran 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya
No. Nama Kapal 46. KP. Marlin 21 (Speed Boat) 47. KP. Marlin 22 (Speed Boat) 48. KP. Marlin 23 (Speed Boat) 49. KP. Marlin 24 (Speed Boat) 50. KP. Marlin 25 (Speed Boat) 51. KP. Marlin 26 (Speed Boat) 52. Dolphin 01 (Speed Boat) 53. Dolphin 02 (Speed Boat) 54. Dolphin 03 (Speed Boat) 55. Dolphin 04 (Speed Boat) 56. Dolphin 05 (Speed Boat) 57. Dolphin 06 (Speed Boat) 58. Dolphin 07 (Speed Boat) 59. Dolphin 08 (Speed Boat) 60. Dolphin 09 (Speed Boat) 61. Dolphin 10 (Speed Boat) 62. Dolphin 11 (Speed Boat) 63. Dolphin 12 (Speed Boat) 64. Dolphin 13 (Speed Boat) 65. Dolphin 14 (Speed Boat) 66. Dolphin 15 (Speed Boat) 67. Dolphin 16 (Speed Boat) 68. Dolphin 17 (Speed Boat) 69. Dolphin 18 (Speed Boat) 70. Dolphin 19 (Speed Boat) 71. Dolphin 20 (Speed Boat) 72. Napoleon 01 (Speed Boat) 73. Napoleon 02 (Speed Boat) 74. Dolphin 21 (Speed Boat) 75. Dolphin 22 (Speed Boat) 76. Dolphin 23 (Speed Boat) 77. Dolphin 24 (Speed Boat) 78. Dolphin 25 (Speed Boat) 79. Dolphin 26 (Speed Boat) 80. Dolphin 27 (Speed Boat) 81. Napoleon 03 (Speed Boat) 82. Napoleon 04 (Speed Boat) 83. Napoleon 05 (Speed Boat) 84. Napoleon 06 (Speed Boat) 85. Napoleon 07 (Speed Boat) 86. Napoleon 08 (Speed Boat) 87. Napoleon 09 (Speed Boat) 88. Napoleon 10 (Speed Boat) 89. Tenggiri 01 (Speed Boat) Sumber: KKP (2012)
Penempatan Sula Bangga Asmat Waropen Kalimantan Barat Pontianak Kota Bengkulu Utara Sibolga Bitung Jakarta Belawan Tual Biak Tanjung Pandan Tarempa Ranai Ternate Aru Marauke Asahan Jayapura Karimun Tarakan Batam Kendiri Waropen Jayapura Kaimana Satket PSDKP Brodong Satket PSDKP Kejawanan Satket PSDKP Kuala Tungkal Satket PSDKP Moro Satket PSDKP Fak-Fak Satket PSDKP Kwandang Satket PSDKP Ambon Satket PSDKP Pontianak Satket PSDKP Ranai Dinas PSDKP Kab.Flores Timur Dinas PSDKP Kab.Majene Dinas PSDKP Kab.Aceh Barat Satker PSDKP Tarempa Dinas PSDKP Kab.Toli-Toli Dinas PSDKP Prov.Maluku Utara Dinas PSDKP Prov.Gorontalo
89
Lampiran 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair
No. 1. 2.
Klasifikasi, Ukuran Kapal, dan Jumlah Senjata di Atas Kapal Klasifikasi A2, Ukuran 80 meter, Jumlah Senjata 3 buah Klasifikasi A3, Ukuran 48 meter, Jumlah Senjata 3 buah
3.
Klasifikasi B2, Ukuran 36 meter, Jumlah Senjata 2 buah
4.
Klasifikasi B3, Ukuran 28 meter, Jumlah Senjata 1 buah
Nama Kapal
KP. Bisma KP. Baladewa KP. Arjuna KP. Nakula KP. Sadewa KP. Kresna KP. Setyaki KP. Antasena KP. Antareja KP. Gatotkaca KP. Parikesit KP. Abimanyu KP. Kepodang KP. Jalak KP. Manyar KP. Cucak Rawa KP. Kutilang KP. Bangau KP. Belibis KP. Pelikan KP. Punai KP. Tekukur KP. Pinguin KP. Kakatua KP. Beo KP. Puyuh KP. Enggano KP. Gelatik KP. Perenjak KP. Anis Kembang KP. Anis Macan KP. Walet KP. Maleo KP. Elang KP. Camar KP. Srigunting KP. Alap-alap KP. Rajawali KP. Jatayu KP. Cendrawasih
90
Lanjutan lampiran 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair
No. 4.
Klasifikasi, Ukuran Kapal, dan Jumlah Senjata di Atas Kapal Klasifikasi B3, Ukuran 28 meter, Jumlah Senjata 1 buah
5.
Klasifikasi C1, Ukuran 16 meter, Jumlah Senjata 1 buah
6.
Klasifikasi C2, Ukuran 15 meter, Jumlah Senjata 1 buah
Nama Kapal
KP. Merpati KP. Kasuari KP. Merak KP. Kolibri KP. Enggang KP. Balam KP. Murai KP. Albatros KP. Eider KP. Pipit KP. Parkit KP. Perkutut KP. Nuri KP. Kenari KP. Hayabusa KP. Anis Madu KP. Taka KP. Sundaicus KP. Starnaja KP. Elang Laut KP. Zaitun KP. Kedidi KP. Bitern KP. Perkakak KP. Lory KP. Gagak KP. Sikatan KP. Pelatuk
Sumber: Polair (2012)
91
Lampiran 7 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan Kegiatan tahun 2011
No. Kegiatan Alokasi Anggaran Persentase 1. Peningkatan Operasional 143.428.513.000 39,54 Pemeliharaan Kapal Pengawasan 15.769.379.000 4,35 2. Penyelesaian Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan 14.597.760.000 4,02 3. Peningkatan Operasional Pengawasan Sumberdaya Kelautan 26.288.679.000 7,25 4. Peningkatan Operasional Pengawasan Sumberdaya Perikanan 63.460.107.000 17,50 5. Peningkatan Operasional Pemantauan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dan Pengembangan Infrastruktur Pengawasan 99.159.562.000 27,34 6. Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Ditjen.PSDKP Total 362.704.000.000 100
Sumber: KKP (2012)
92
Lampiran 8 Jumlah masing-masing tindak pidana perikanan tahun 2007 hingga 2011
No. Jenis tindak pidana perikanan 2007 2008 2009 2010 2011 1. Tanpa izin 65 35 59 45 17 2. Tanpa izin dan alat tangkap 27 11 20 116 39 terlarang 3. Dokumen tidak lengkap 18 27 17 3 13 4. Alat tangkap terlarang 5 4 4 6 - 5. Fishing ground 10 1 3 2 5 6. Alat tangkap tidak sesuai izin 8 4 6 - 2 (SIPI) 7. Dokumen tidak lengkap dan 4 5 3 - 5 Fishing ground 8. Tidak ada transmitter 5 15 4 - - 9. Fishing ground dan alat tangkap 1 1 - - 2 terlarang 10. Pengangkutan ikan (transhipment) 7 - 2 - - 11. Menampung ikan tidak sesuai - - - - 1 SIKPI 12. Tanpa keterangan jenis tindak - - - - 2 pidana perikanan 13. Transhipment dan alat tangkap - - - - - 14. Pemalsuan dokumen - - - - - 15. Pencurian terumbu karang 1 - - - - 16. Penyetruman (ACCU) - - - - - 17. Dokumen tidak lengkap dan tidak - 1 - - - ada transmitter 18. Bahan peledak/bom 3 - - - - 19. Tanpa izin dan dokumen palsu - - - - 1 20. Pasir laut tanpa dokumen - - - - - 21. Tidak memiliki SLO - - - - 1 22. Bongkar muat tidak sesuai SIPI - - - - 1 23. ABK asing tidak sesuai SIPI 1 - - - 1
Sumber: KKP (2011)